Dokumen tersebut memberikan kesimpulan dan saran mengenai penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase. Kesimpulannya adalah bahwa arbitrase masih menjadi pilihan utama pengusaha untuk menyelesaikan sengketanya dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia masih mengalami hambatan. Saran yang diberikan adalah agar pengadilan menghormati keputusan arbitrase dan perlu adanya ketentuan mengenai waktu pendaftaran putusan
1. BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, penulis dapat memberikan
kesimpulan bahwa:
1. Penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase masih menjadi pilihan
utama dan merupakan cara yang paling disukai oleh para pengusaha, karena
lembaga arbitrase dinilai sebagai cara yang paling serasi dengan kebutuhan
dalam dunia bisnis. Kecenderungan untuk menyelesaikan sengketa melalui
arbitrase terlihat pada pencantuman arbitration clause (klausul arbitrase)
dalam kontrak-kontrak bisnis.
2. Pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing tidak meliputi semua
bidang persengketaan umum, putusan arbitrase asing hanya dapat diakui dan
dilaksanakan sepanjang sengketa yang terjadi mencakup bidang
perdagangan dan bisnis.
3. Terhadap pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia, masih
mengalami kendala-kendala dalam pelaksanaannya. Kendala tersebut datang
dari peradilan umum yang sering kali menolak atau membatalkan putusan
arbitrase asing untuk dapat di eksekusi di Indonesia. Dalam kasus Pertamina
melawan Karaha Bodas Company (KBC), seharusnya pengadilan negeri
menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase yang di ajukan oleh
2. Pertamina, karena putusan arbitrase tersebut belum di daftarkan oleh KBC
sebagai pihak yang menang dalam arbitrase yang dilakukan di Jenewa
tersebut. Dalam Pasal 71 UU No.30 Tahun 1999 dengan jelas menyatakan
bahwa pendaftaran putusan arbitrase harus dilakukan terlebih dahulu,
sebelum putusan tersebut dapat dimohonkan pembatalannya.
4. Mengenai prosedur pelaksanaan putusan arbitrase asing dan juga
pembatalannya telah diatur secara rinci dalam UU No.30 Tahun 1999,
dimana Pengadilan Negeri Jakarta Pusat adalah satu-satunya institusi yang
diberi kewenangan untuk mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase
internasional tersebut.
B. Saran
Selain hasil kesimpulan diatas, penulis juga ingin memberikan
beberapa saran dari hasil analisis dan pembahasan yang telah penulis kemukakan,
saran-saran tersebut adalah sebagai berikut:
1. Oleh karena arbitrase merupakan alternatif penyelesaian sengketa yang
cukup diminati oleh para pihak yang ingin menyelesaikan perselisihannya
melalui lembaga arbitrase tersebut, maka sudah seharusnya pengadilan-
pengadilan di Indonesia menghormati dan menyerahkan sepenuhnya
penyelesaian perselisihan tersebut kepada lembaga arbitrase sesuai dengan
yang sudah di sepakati oleh para pihak yang berselisih tersebut tanpa adanya
campur tangan dari pengadilan.
3. 2. Materi UU No.30 Tahun 1999, tidak ada ketentuan mengenai jangka waktu
bagi pendaftaran putusan arbitrase internasional. Pengaturan mengenai
periode waktu itu sangat penting karena putusan arbitrase asing hanya dapat
dilaksanakan setelah didaftarkan. Hal itu merupakan suatu kelemahan
karena menimbulkan kebingungan dan dapat menjadi alasan bagi
penundaan.
3. Penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase hanya dapat efektif jika
para pihak yang terlibat dalam sengketa mempunyai niat baik untuk
menerima dan menghormati keputusan arbiter. Efektifitas putusan arbitrase
juga sangat tergantung ketaatan Pengadilan Negeri untuk menghormati
yurisdiksi lembaga arbitrase yang berwenang untuk memeriksa dan
memutuskan perkara yang mengandung klausula arbitrase. Jika kedua hal
tersebut tidak ada kepastian, maka penyelesaian sengketa melalui arbitrase
bisa jadi lebih lama dan mahal dari pada proses pengadilan negeri.