H. Mahdi Soroinda Nasution, SH.M.Hum., arvinoor, arvinoor siregar, arvinoor siregar sh, arvinoor siregar sh mh, kasus arvinoor siregar, kasus arvinoor siregar sh, kasus arvinoor siregar sh mharvinoor, arvinoor siregar, arvinoor siregar sh, arvinoor siregar sh mh, kasus arvinoor siregar, Landjono bersama Arvinoor Siregar dan 1 orang lainnya, kasus arvinoor siregar sh, kasus arvinoor siregar sh
1. Lampung Post
Minggu, 16 September 2007
Nurani Manusia
Cerpen: Iskandar Saputra
GELAP malam memberi cekam di antara deru hujan. Rinainya makin menjadi ketika
malam bertambah larut. Suaranya berdetakan di atas atap kardus yang mulai lapuk, menjadi
gamelan sunyi di pinggiran kota. Gemuruh halilintar yang enggan berhenti seakan
mengisyaratkan gelisah hati Marni. Dalam bilik sempit yang diterangi temaram lampu
sentir, ada penantian tanpa kepastian.
Perlahan hawa dingin mulai menyusup. Dinding tripleks bekas yang kusam itu tidak
mampu menahan deru angin yang merobek celah-celahnya. Dengan mata yang sayu
menahan kantuk, ia pandangi wajah anaknya yang tertidur lelap.
Bocah polos ini adalah teman satu satunya dalam melewati getirnya hidup. Tempat ia
mengeluh dan membagi resah. Tapi, dua bulan terakhir bocah malang ini terserang lumpuh
layu. Ia hanya bisa terbaring di atas ranjang kusam.
Sudah berkali-kali Marni membawanya ke puskesmas, tapi tidak juga ada perubahan.
Dokter menyarankan membawanya ke rumah sakit untuk dirawat intensif. Tapi, Marni
menolak. Ia tak tega melihat anaknya telantar karena ia tak mampu membayar biaya
perawatan. Kondisi ekonomi yang memaksanya untuk pasrah menjalani nasib.
Bocah bertubuh ceking ini tak bisa menuntut apa pun dari orang tuanya. Dengan kerelaan
hati ia habiskan hari harinya dengan memandangi bekas rembesan air yang tergambar di
atap kardus rumahnya.
Marni tak beranjak dari tempat duduknya. Dingin yang serasa menusuk tulang membuat
giginya beradu. Sambil terus menghitung tetes bocoran air hujan, ia selipkan kedua
tanganya erat erat ke pangkal ketiak. Ia terus berusaha melawan dingin dan lapar yang
mengiris lambungnya. Sepeninggal suaminya, Joko, Marni terbiasa menahan perih lantaran
tak ada makanan yang bisa dimakan.
Hidup dengan segala kekurangan sudah menjadi bagian derita Marni. Sejak kecil ia sudah
menjadi yatim piatu. Beruntung, dahulu ada pemulung yang mau mengasuhnya. Tapi itu
tidak berlangsung lama. Saat Marni menginjak usia sepuluh tahun, pemulung itu meninggal
dunia karena komplikasi penyakit.
Hidup sebatangkara melatihnya untuk mandiri. Awalnya ia meminta-minta di pinggiran
jalan untuk menyambung hidup, meskipun makian dan air ludah yang lebih sering ia
terima.
Seiring bertambahnya usia, Marni mulai malu meminta belas kasihan orang. Ia bertekad
menghidupi diri sendiri dari hasil keringat yang ia cucurkan. Lalu ia pun menjadi pemulung
barang bekas di tempat pembuangan sampah. Kesulitan hidup yang terus menimpanya
benar-benar membutuhkan kesabaran yang berlapis.
Kondisi sulit ini juga yang akhirnya mempertemukannya dengan Joko. Pemuda
gelandangan yang drop out karena tak bisa membayar biaya sekolah. Laki-laki yang kini
menjadi suaminya ini sangat bersahaja. Meskipun pernah mengalami gangguan kejiwaan,
kini Joko menjadi kumbang yang berhasil meluluhkan hati Marni. Penampilannya yang apa
adanya membuat Marni terpesona.
2. Masih lekat dipelupuk matanya saat ia berebut barang bekas dengan Joko. Tempat
pembuangan sampah itu menjadi taman di mana mereka mulai mengukir kasih. Saat itulah
Joko menyatakan keinginan menyunting bunga mawar yang tumbuh di antara onggokan
sampah. Bunga yang sekian lama menanti belaian kumbang makin merekah. Warna
merahnya yang ranum menandakan bahwa ia sudah siap dipetik.
"Tapi aku kan yatim piatu, apa orang tua mas mau menerimaku? Apalagi dengan
keadaanku yang seperti ini, pemulung barang bekas." Marni menundukkan wajah ayunya
untuk menguji keseriusan cinta Joko. Walaupun binar matanya tak bisa menutupi
kebahagiaan hatinya.
"Aku juga seperti dirimu, gelandangan yang kini menjadi pemulung. Hidupku pun tak jauh
beda dengan hidupmu," Joko mencoba meyakinkan.
"Apa Mas mau?" Marni mencari jawab atas keraguan dihatinya.
"Ketulusan, yang akan membuat kita tak pernah lelah untuk saling memahami. Siap
menerima apa adanya, dengan segala kekurangan dan keterbatasan. Getirnya hidupmu akan
menjadi bagian deritaku. Aku memang pecundang yang terlindas laju hedonisme
metropolitan tanpa gemerlap materi dan kuasa. Tapi saat mengenalmu, aku lebih bahagia
dibanding raja dengan istana permata". Getar rasa yang lama terpendam membuat pemuda
gelandangan itu menjelma pujangga.
Marni hanya menjatuhkan wajah malu. Hatinya dibasuh embun kebahagiaan. Rasa kagum
yang selama ini mengganggu pikirannya kini terkurangi. Ternyata bukan hanya Marni yang
memendam rasa, Joko pun sedang menunggu di mana syair-syair cinta dihatinya
terkatakan. Joko menjadi labuhan sampan Marni yang lelah mengarungi badai dilautan. Ia
juga tempat berkeluh kesah dan teman meraih secercah harapan masa depan.
***
Matahari yang terik siang itu membakar kulit Joko hingga legam. Keringat mengucur dari
tubuhnya yang kotor dan berdaki. Sejak pagi buta ia telah mengorek-ngorek tumpukan
sampah, mengais barang bekas yang masih bisa dijual ke pengumpul. Hasilnya memang tak
seberapa, sekadar untuk ditukar dengan secanting beras dan sejimpit garam untuk
menghilangkan rasa hambar.
Sudah setengah hari ia menelusuri setiap sisi pembuangan sampah, tapi tak banyak yang ia
dapat. Hanya beberapa botol plastik bekas minuman. Selebihnya sampah sisa makanan
dengan bau menyengat. Mungkin kemarin sore tidak ada mobil yang membuang sampah di
sini, pikir Joko membuang penat.
Menjelang sore ia tinggalkan tempat itu. Mukanya yang lelah mulai terlihat murung.
Ditatapnya langit sore yang mulai gelap. Seakan ikut membahasakan resah hati Joko.
Dengan langkah lesu ia berjalan pulang. Digendongnya keranjang lusuh yang berisi botol
plastik. Otaknya berputar putar. Membayang di pelupuk matanya wajah tuan Suryo. Bos
pengumpul barang bekas tempat ia menjual hasil pulungannya. Wajah lelaki bermata besar
dan berkumis tebal itu begitu akrab di benaknya. Apalagi bulan ini ia nunggak membayar
cicilan utangnya, wajah itu makin sangar saat memandangnya masam.
Sebenarnya utang yang pernah ia pinjam tidak terlalu besar, tapi karena ia belum bisa
melunasinya kini bunga utang itu menjadi berlipat-lipat. Bahkan, sepuluh kali lipat lebih
besar dari utangnya semula.
3. Di tengah kegelisahan itu, bayangan wajah Budi dan Marni muncul seketika. Budi kini
terbaring lemas. Tubuhnya yang kurus semakin ceking lantaran digerogoti penyakit yang
tak kunjung sembuh. Hanya perutnya yang membuncit.
Sebelum berangkat memulung Joko sempat mencium kening Budi. Dibelainya rambut itu
penuh kasih sayang.
"Bapak berangkat dahulu ya Nak, doakan hari ini dapat pulungan banyak."
"Inggih Pak, hati-hati. Kalau dapat pulungan banyak jangan lupa belikan Budi telur ayam,
hari ini Budi pengin makan pakai telur dadar," Budi meminta dengan suara memelas.
Entah mengapa hari ini Budi ingin makan pakai telur. Padahal tak biasanya ia meminta
seperti itu. Ia begitu paham ekonomi orang tuanya. Bapaknya yang hanya seorang
pemulung barang bekas tidak bisa menyediakan lauk bergizi setiap hari. Paling paling telur
sebulan sekali, itu pun kalau lagi dapat pulungan banyak.
Tak terasa hari beranjak petang. Langkah kakinya terus melaju menuju rumah tuan Suryo.
Ia hendak menjual barang bekas hasil pulungannya. Saat melintas di depan toko kelontong,
Joko melihat tumpukan kardus bekas di depan toko. Suasana toko saat itu benar-benar sepi.
Di jalanan pun tak banyak orang yang berlalu lalang.
Dengan sedikit mengendus-endus Joko mendekati tumpukan kardus. Lembar demi lembar
kardus bekas itu ia masukkan keranjang. Sudah belasan kardus yang ia ambil. Rencananya
ia menjual kardus itu kepada tuan Suryo untuk menambah beberapa botol plastik bekas
hasil pulungannya. Uangnya akan ia gunakan membeli sekilo beras, tiga butir telur ayam,
dan sisanya untuk membeli bumbu dapur.
Tapi malang tak dapat ditolak. Keinginan Joko untuk membahagiakan hati istri dan
anaknya mendadak buyar. Belum sempat ia meninggalkan tempatnya, pemilik toko telah
muncul dari belakang.
"Maling. Maling. Maling."
Pemilik toko berteriak sekuat kuatnya. Joko yang terkejut panik bukan main. Wajahnya
pucat bercampur takut dan bingung. Merasa dalam bahaya, ia pun lari sekencang
kencangnya. Ia tak lagi memikirkan keranjang miliknya yang berisi botol dan kardus bekas.
Tapi sayang, massa yang mendengar teriakan pemilik toko langsung mengejarnya. Secepat
kilat tubuh Joko jadi pelampiasan kekesalan massa. Mereka memukulinya tanpa belas
kasihan. Bahkan tak memberinya kesempatan mengelak dan beralasan. Entah sudah berapa
banyak pukulan yang mendarat ditubuhnya, ia tak bisa menghitung lagi.
Berkali-kali Joko memohon ampun, tapi massa yang sudah menjadi serigala kelaparan ini
terus mencabik-cabik tubuhnya. Joko hanya bisa menangis menahan sakit yang teramat
sangat. Darah segar pun mulai mengalir dari hidung dan telinganya.
"Bakar. Bakar. Bakar."
Teriakan massa yang kalut ini membuat detak jantungnya seakan terhenti. Perasaan takut
mati menyelinap diantara rintihan lirihnya.
"Ampun, ampunilah saya. Saya mohon!" Joko memohon iba di antara riuh suara massa
4. yang semakin memanas.
"Tenang. Semua tenang. Jangan main hakim sendiri, kita bawa ke kantor polisi saja biar
kita tidak kena getahnya."
"Dibakar saja Pak Satpam, biar kapok. Dia kan maling yang udah bikin resah."
Warga yang belum puas melampiaskan amarahnya terus mendesak.
"Tidak. Kalau sampai dia mati, kita juga akan dipenjara. Apa kalian semua siap dipenjara?"
Semua terdiam. Suasana yang tadinya riuh berubah hening. Setelah merenung sesaat, massa
setuju untuk membawa Joko ke kantor polisi. Dengan kedua tangan terikat tali, Joko
digiring menuju kantor polisi.
Tidak seorang pun menaruh iba padanya. Bahkan, mereka tak pernah bertanya mengapa
dan untuk apa Joko mencuri kardus kardus bekas itu. Apakah untuk memperkaya diri?
Bermegah-megahan? Bukan, Joko tidak tamak. Ia hanya ingin menukarnya dengan beras
dan tiga butir telur ayam, tidak lebih.
Joko menundukkan wajahnya yang berlumuran darah saat melewati rumahnya dengan
harapan Marni tak melihat. Tapi, ternyata Marni yang menunggunya sejak sore tak
meluputkan pemandangan itu.
"Mas Joko, kamu kenapa Mas? Mas, kamu mau ke mana? Huuk, Huk.., Huk..!" Tangis
Marni selaksa hujan yang tercurah dari langit. Ia berusaha memeluk tubuh suaminya yang
penuh luka. Tapi massa yang membawa Joko tetap tak menggubris dan terus menahannya.
Ratap Marni makin menjadi. Isak tangisnya membuat hati Joko tersayat. Ia hanya tertunduk
lesu, membenamkan wajahnya pada kerikil kerikil tajam diatas jalan yang dilaluinya.
***
"Bapak, kapan bapak pulang? Bu, bapak di mana? Kapan bapak pulang?" Suara pelan itu
terdengar hampir setiap malam. Dan suara itu pula yang membuat mata Marni selalu basah.
Bocah malang yang terbaring didepan Marni itu tak pernah tahu di mana bapaknya kini.
Marni selalu menutup-nutupinya karena tak ingin melihat Budi semakin sedih. Setiap Budi
bertanya, Marni selalu mengatakan kalau Joko sedang merantau ke kota, mencari uang
untuk biaya pengobatan Budi nanti.
Sudah sebulan Joko mendekam di kantor polisi. Di ubin tanpa tikar itu ia habiskan hari
harinya yang begitu menyiksa. Entah berapa lama lagi ia akan menunggu sangkar besi ini,
ia pun tak pernah tahu.
Polisi penjaga tahanan hanya mengatakan kalau ia nanti akan disidang. Tapi kapan, Polisi
tersebut tidak bisa memastikan yang jelas menunggu waktu yang tepat.
Rasa jenuh dan bosan menjadi teman dalam ketidakpastian penantian Joko. Perasaan
bersalah telah menelantarkan Marni dan Budi terus menghinggapi pikirannya. Sesal itu
makin pahit saat terbayang wajah Budi yang terbaring lemas. Ia tak tahu seperti apa
keadaannya, apakah masih bisa makan atau sedang berjuang melawan lapar.
Sepeninggal Joko, Marni kerja serabutan. Untuk menyambung hidup ia sering berbagi
sebungkus nasi dengan Budi. Demi sebungkus nasi ini juga, Marni terpaksa meninggalkan
Budi sendirian dengan sakit yang semakin kritis. Di siang yang begitu panas, Budi
5. mengerang menahan rasa perih di lambungnya yang hanya terisi udara. Bersama itu pula
usungan jenazah Joko memasuki dipelataran rumah.
Joko meninggal dunia. Sopir ambulans yang mengantarkan jenazahnya mengatakan kalau
Joko mengalami pendarahan di otak. Pembuluh darah di kepalanya pecah karena terkena
benturan keras ketika massa menghakiminya. Tak ada satu pesan pun yang ia ucapkan
menjelang kematian. Ia begitu rela menerima semua ketidakadilan yang berlaku padanya.
Ia mencuri kardus bekas itu untuk ditukar dengan secanting beras guna mengusir rasa lapar
yang tak bisa ditunda. Tapi massa lebih suka mengadilinya tanpa pernah bertanya. Dan
yang paling menyedihkan, negara pun ikut menghukumnya lantaran ia dinyatakan salah
karena melanggar peraturan perundang-undangan yang dibuat pemerintah.
Lalu bagaimana dengan koruptor yang mencuri uang negara puluhan miliar untuk
bermewah mewahan, memperkaya diri dan berpesta-pora di atas derita rakyat. Apakah
mereka diadili? Mereka dipenjara? Tidak. Mereka telah berhasil membeli hukum dan
undang-undang dengan uang.
Joko memang malang. Ia tidak punya uang untuk membayar aparat agar kasusnya
dimaafkan. Ia tidak punya kekuatan berapologi. Joko tidak punya keahlian beretorika dan
berdalih atas masalahnya. Joko tidak punya pembela atau pengacara yang akan
meringankan beban hukumnya.
Ia hanyalah pemulung. Rakyat jelata yang begitu polos. Tapi lantaran kepolosannya inilah
ia dijajah pemerintahnya sendiri, pejabat yang makan dari keringat rakyat kecil seperti
dirinya. Tapi Joko tetaplah Joko. Manusia sejati yang memiliki nurani kemanusiaan.***
6. mengerang menahan rasa perih di lambungnya yang hanya terisi udara. Bersama itu pula
usungan jenazah Joko memasuki dipelataran rumah.
Joko meninggal dunia. Sopir ambulans yang mengantarkan jenazahnya mengatakan kalau
Joko mengalami pendarahan di otak. Pembuluh darah di kepalanya pecah karena terkena
benturan keras ketika massa menghakiminya. Tak ada satu pesan pun yang ia ucapkan
menjelang kematian. Ia begitu rela menerima semua ketidakadilan yang berlaku padanya.
Ia mencuri kardus bekas itu untuk ditukar dengan secanting beras guna mengusir rasa lapar
yang tak bisa ditunda. Tapi massa lebih suka mengadilinya tanpa pernah bertanya. Dan
yang paling menyedihkan, negara pun ikut menghukumnya lantaran ia dinyatakan salah
karena melanggar peraturan perundang-undangan yang dibuat pemerintah.
Lalu bagaimana dengan koruptor yang mencuri uang negara puluhan miliar untuk
bermewah mewahan, memperkaya diri dan berpesta-pora di atas derita rakyat. Apakah
mereka diadili? Mereka dipenjara? Tidak. Mereka telah berhasil membeli hukum dan
undang-undang dengan uang.
Joko memang malang. Ia tidak punya uang untuk membayar aparat agar kasusnya
dimaafkan. Ia tidak punya kekuatan berapologi. Joko tidak punya keahlian beretorika dan
berdalih atas masalahnya. Joko tidak punya pembela atau pengacara yang akan
meringankan beban hukumnya.
Ia hanyalah pemulung. Rakyat jelata yang begitu polos. Tapi lantaran kepolosannya inilah
ia dijajah pemerintahnya sendiri, pejabat yang makan dari keringat rakyat kecil seperti
dirinya. Tapi Joko tetaplah Joko. Manusia sejati yang memiliki nurani kemanusiaan.***