SlideShare a Scribd company logo
1 of 23
Download to read offline
1
EDISI #18 SEPTEMBER 2015
BIJAK KATA
BIJAK BERBAGI
Ilustrasi: http://penultimateword.com/
2
DUKUNG MAJALAH LENTERA NEWS
DENGAN DOA DAN DANA
Kunjungi kami di sini:
Bank Nasional Indonesia
Rek.No. 0307532799 a.n. Hubertus Agustus Lidy
/LENTERA-NEWS MAJALAHLENTERA.COM
daftarisi
Tajuk Redaksi3
Telisik
4
6 Lentera khusus
9 Embun katekese
13
Opini
20 Ilham sehat
Awas, Pemakaman
Karakter!!
18
Rumah Joss
14
Sastra
RP Hubertus Lidi, OSC [Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi], Ananta Bangun [Redaktur Tulis], ­Jansudin
Saragih [Redaktur Foto], Rina Malem Barus [Keuangan]
Penerbit: Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Agung Medan (KOMSOS-KAM) ­Jalan S.Parman No. 107
Telp. +62614572457 , mp. 085361618545| www.majalahlentera.com | ­redaksi@majalahlentera.com ,
beritalentera@gmail.com | Facebook Fan Page: facebook.com/lentera-news
REDAKSI
Berbicara
Tidak Sekedar Asbun
Pelanggaran Liturgi
Dalam Perayaan
­Ekaristi (IV)
Ini Indonesia?
Target & Fokus
Velangkanni
23 Lapo Aksara
Ranjang Prokrustes
3
Redaksi
3
TAJUK REDAKSI
Berkomunikasi merupakan satu ­keindahan.
Disebut demikian, karena peran kasat
­mata-nya yang menjembatani gagasan
dan perasaan. Tidak hanya di kalangan
­manusia saja. Bahkan sejumlah besar
­penelitian dan pengalaman menitinya
hingga ­dengan ­mahluk hidup lain, ­semisal
hewan juga ­tanaman. Kesadaran akan
­penyelenggaraan Ilahi juga menuntun iman
untuk ­berkomunikasi dengan Tuhan. Tentu
saja melalui doa dan pengalaman spiritual
lainnya.
Pastor Irfantinus Tarigan, dalam edisi ini,
­berkenan membagi pencerahannya perihal
laku komunikasi manusia. Terutama dalam
ragam kehidupan sehari-hari. Dengan analogi
‘lebah & lalat’yang sungguh mengena, ilham
Imam ­Diosesan KAM ini menuntun dan‘sedikit’
­menohok tentang perilaku yang selama ini
kita abaikan. Yakni karakter yang kian jauh
­menuturkan dan berbagi kata-kata positif.
Bagaikan satu fikiran, Pastor Hubertus Lidi,
OSC juga turut menyorot persoalan ini dalam
­tulisannya di kolom Telisik. Yang berjudul
­“Berbicara Tidak Sekedar Asbun”. Pandangan
­kritis beliau saling melengkapi dengan ilham
dari Pastor Irfantinus. Tentu ini merupakan
suguhan nilai yang berharga bagi sesama kita.
Terutama bagi pembaca Lentera News yang
kami cintai.
Sahabat Pembaca. Kami dari Redaksi dengan
hati terbuka dan bahagia menerima percikan
­ilham lainnya yang hendak dibagi bersama.
Tidak hanya Pastor Irfantinus maupun Pastor
Hubertus sahaja. Banyak dari kita tentu telah
menuai buah pengalaman dan pembelajaran
yang juga berharga untuk kita sharing bersama.
Jangan lupa untuk menulusur pencerahan
senada dari Eka Dalanta Tarigan yang ­mengupas
sisi lain wilayah Indonesia. Desa terisolasi dari
teknologi dan infrastruktur yang biasa kita
kecap, khususnya di perkotaan. Tentu banyak
nilai yang dapat kita petik dalam berbagai sudut
pandang.
Seluruh gagasan dan pencerahan di Lentera
News edisi September ini, kami persembahkan
bagi setiap kita. Termasuk sahabat Pembaca
Lentera News. Terima kasih untuk doa dan
­motivasi yang dicurahkan bagi kami, ­sehingga
tiada padam semangat kami untuk terus
­menerbitkan majalah online kesayangan kita ini.
Shalom.
4
RP Hubertus Lidi, OSC
hubertuslidiosc@gmail.com
TELISIK | AKU DI ANTARA YANG LAIN
Prolog
“Julio berceritera kepada Grasianus
bahwa ia bertemu dengan Rama
dan Shinta di jalan. Grasianus
­berceritera kepada Laura, bahwa
Julio bertemu dengan Ramah
dan Shinta lagi asyik berceritera
­berduaan di jalan. Laura berceritera
kepada Prudensia, istrinya Rama,
bahwaiamendengardariGrasianus,
bahwa Julio bertemu dengan Rama
dan Shinta yang lagi asyik ­berdua
sambil bergandengan tangan.
Prudesia berceritera kepada
Markus suaminya Shinta bahwa
ia ­mendengar dari Laura, bahwa
­suaminya dan istrinya Markus,
lagi asyik berdua di jalan sambil
­bergandengan tangan.
Akhirnya ceritera yang ­berkembang
di masyarakat adalah Rama
­berselingkuh dengan Shinta. Rose
memberitahukan ­Prudensia,
bahwa ternyata Rama itu ­hobinya
berselingkuh. Paradigma
­bertuturnya berubah dari berjumpa
di jalan menjadi isyu‘berselingkuh.”
Kisah fiktif ini mengundang kita,
­secara sadar berefleksi tentang
berbicara. Dampak, kekuatan, dan
komplesitasnya.
Merekat dan Meretakan
Berbicara atau berkomunikasi
­secara oral, bagi orang-orang
­beriman merupakan anugerah
­Tuhan. Pada hakekatnya ­manusia
sadar dan tahu akan hal yang
­dibicarakan. Pada ­bagian lain
anugerah ­berbicara ­merupakan
bagian dari ekspresi ­manusia
­sebagai makhluk yang berakal
budi. Makhluk yang tahu dan sadar
akan tindakan dan keberadaannya.
Konteks berbicara dalam refleksi
ini ­secara ­eksistensial merupakan
­bagian dari ­ungkapan ‘tahu dan
­sadar.’ itu. Toh aspek ­kesadaran
inilah yang ­membedakan manusia
dengan ciptaan Allah yang lainnya.
Pada saat berbicara, kita ­berperan
sebagai komunikator atau ­subyek
yang mengekspreskan dan
­mengkomunikasikan, ide, gagasan,
pendapat, dan perasaannya secara
BERBICARA
TIDAK SEKEDAR ‘ASBUN’
5
oral. Tujuannya agar hal-hal yang
­diungkapkan itu didengar, ­dimengerti
dan ditanggapi oleh audiens atau
pendengar.
Pada saat yang sama orang yang
mendengar berperan sebagai
­komunikan, yang menerima pesan.
Tali persaudaraan, rasa solidaritas, dan
kesetiakawanan serta ­persahabatan
dengan sesama bertumbuh dan
­selanjutnya secara pelan serta ­pasti,
terajut menjadi sahabat, karena
­berbicara. Lebih jauh dari itu ­terjadi
keakraban dan intiminitas antar
­pribadi dalam komunitas-komunitas
manusia. Hal ini tergantung intensitas,
kecocokan, dan tercapainya tujuan.
Dr. A. Supratiknya dalam bukunya:
­KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI dalam
konteks kedalaman komunikasi,
­menyebutnya sebagai Taraf Pertama,
atauhubunganPuncak­Komununikasi,
yang ditandai dengan kejujuran,
­keterbukaan, dan saling percaya.
Dalam pandangan Jhon Powell yang
dikutip ­Supratiknya, bahwa dalam
konteks ­kedalaman ­komunikasi ada 5
taraf mulai dari taraf basa-basi ­sampai
pada ­puncaknya tahap ­pertama,
saling ­percaya ­(Kanisius:2003)
Tak dapat dipungkiri....berbicara
pada tataran lain merupakan komu-
nikasi oral yang juga tidak ditandai
­dengan kejujuran, keterbukaan, bah-
kan bearomakan kebenciaan dan
balas dendam. Dalam konteks ini
berbicara ­merupakanmediayangber-
peranmengumbaremosidan amarah.
­Berbicara mempunyai‘kekuatan’yang
­memecah bahkan menghancurkan
relasi dan ­hubungan antar ­manusia.
Berdampak pada permusuhan,
­perkelahian, perang dll. Untaian kata-
kata menjadi rangkaian‘kampanye
­hitam’, ­mengkompor-kompori
­sehingga menjadi panas dan mem-
bara. Ibaratnya: penyulut yang
siap disentuhkan ke rumput yang
­tersiram bensin. Pasti terbakar dan
­menghanguskan segalanya.
Analogi Lidah
Lidah- tongue, merupakan salah satu
organ tubuh dalam mulut/oral. Dalam
Konteks berbicara lidah ­merupakan
salah satu organ yang berperan
­penting, mengartikulasikan setiap
kata yang keluar dari ­mulut. Dalam
kerjasama dengan organ ­mulut yang
lain, maka setiap kata yang keluar
­mulut selalu mempunyai makna.
Dari perspektif positif dan negatif,
­sebagaimana yang digambar dalam
kisah fiktif itu. Lidah itu bak ­pedang
bermata dua; Tajam dua sisi. Sisi
positif, berdampak mempererat tali
persaudaraan-silaturahmi, dan sisi
negatif, mengurai bahkan memutus-
kan tali silaturahmi itu. Pilihan ada
pada kita yang mempunyai lidah.
Kaitan dengan dampak, maka ­subyek
yang berbicara alias komunikator
­perlu mempertangung jawabkan
­setiap kata-kata atau ­pembicaraan
yang ­keluar dari ­mulutnya. Ia
­menghadapidanmenyikapinya­secara
positif dan negatif pula. Positif berarti
akur atau ­sebaliknya negatif berarti
­bertentangan dengan ­pendengar
atau ­komunikan. Tindak lanjut akibat
dari pertanggung ­jawaban ini tentu
berjalan sebagaimana prosesnya
menuju pada tahapan penyelesaian
atau endingnya. Happy ending atau
tragic ending.
Ungkapan ‘Lidah Tak Bertulang’,
­lentur, dan fleksibel itu bukan ­berarti
yang mempunyai lidah seenaknya
mengerak-gerakan alias ‘memain-
kan’ dari segala sisi. Ia tidak boleh
seenak bokongnya, bersembunyi di
balik ungkapanya, membenarkan
diri; ­memanipulasi, memutar- balikan
fakta, serta mempelintir kebenaran.
Lalu ia menghidangkan kebenaran
­versinya, yang belum tentu benar, dan
‘bersilat lidah.’ Aspek yang dipaparkan
ke permukaan merupakan ‘polesan’.
Yang lapisan dalamnya adalah palsu.
(bersambung)
6
LENTERA KHUSUS | KARAKTER POSITIF
“Mengapa LEBAH cepat
­menemukan bunga? Sedangkan
LALAT cepat menemukan ­kotoran?
Karena naluri lebah hanya ­untuk
menemukan bunga, ­sedangkan
naluri lalat hanya ­untuk
­menemukan kotoran. LEBAH tidak
tertarik pada kotoran. Sebaliknya,
LALAT tidak tertarik pada harum
dan keindahan bunga.
Alhasil, LEBAH kaya akan madu
­sedangakan LALAT kaya kuman
­penyakit.”Demikian kata-kata seorang
motivator yang menganut kepercayaan,
“apa yang kamu pikirkan tentang
orang lain atau sesuatu biasanya itu
yang kamu dapatkan, sebab kamu
memang selalu memandang mereka
dengan kacamata pikiranmu itu. Kalau
­kacamata Lebah ya .. kamu dapat madu
.. kalau kacamata Lalat ... ya kamu
dapat ­kotoran.”Saya sedikit banyak
­mengamini juga cara pikirnya itu. 	
Berawal dari seorang teman ...
Pagi hari, ketika tahu seorang teman
lagi sibuk-sibuknya, dengan sengaja
saya kerjai dia. Saya kirim sms:
“Lagi sibuk ya?”(Itu hanya basa-basi
sebab saya tahu ritmenya)
“Iya ... memang ada apa ya?”
“Ada yang sangat penting mau
­kukatakan ...”
“Oh ... tunggu ya ... nanti saya telepon
balik ...”
“Ok ..”(Dalam benak saya terbayang: dia
buru-buru meninggalkan kerjanya, pasti
dengan harap-harap cemas. Kemudian
dia telepon saya ...)
“Ada apa tadi, kok tumben bicara seperti
tadi ..”
“Gimana kabarnya? Baikkah?”
“Oh ... baik-baik saja ... kamu kenapa ...
lagi ada masalahkah?”
“Endak juga, tetapi memang ada yang
sangat penting mau kukatakan untukmu
..”
“Wah ... apa itu ya?”
“Iya ... penting sekali ...”
“Apa?”
“AKU MENGASIHIMU ...”(Sengaja saya
buat lambat-lambat. Saya tunggu
­reaksinya. Dalam benak sudah saya
bayangkan reaksinya, dan benar saja
perkiraan saya itulah yang terjadi ...)
“Ihh ... itu aja pun... kukira tadi entah
apa, ... iihhh ...”(Lalu dia mulai merepet
sana-sini. Saya cengar-cengir saja,
sebab sudah memperkirakan reaksi itu
­sebelumnya.)
Saya katakan“kerjai”, tidak berarti
saya main-main dengan kata AKU
­MENGASIHIMU itu. Konteks kerjai itu
hanya dalam hal pemilihan waktu saja,
yakni tepat saya pilih ketika dia sibuk.
Soal“mengasihi”itu memang betul
­demikian. Saya sungguh-sungguh
dengan kata itu. Pengakuan itu mun-
cul setelah sekian lama mengenal dan
bergaul dengannya; setelah ada ragam
pengalaman yang terjadi.
Cuplikan cerita tadi bukan
­bohong-bohongan, tetapi real ­terjadi.
Titik renung yang mau ­disasar:
orang cenderung menganggap
­berita ­baik-agung-mulia seperti AKU
­MENGASIHIMU bukan berita penting,
malah dianggap main-main. Sementara
kalau saya mengatakan,“Kamu tahu
enggak kalau Pastor IT itu tak pernah
ibadat harian, dan lihat saja bentar lagi
dia akan mengundurkan diri ...”, ini pasti
dianggap berita penting. Karena begitu
pentingnya, tidak lama kemudian akan
menjadi menu percakapan tambahan di
meja-meja makan. Tampaknya memang
tiap orang memiliki“spirit”jurnalis: bad
news is good news (berita buruk adalah
berita baik).
RD Irfantinus
Tarigan
Formator di Seminari
Menengah Pematang-
siantar,
dan sedang berjuang
memproduksi kata-
kata positif
AWAS, PEMAKAMAN KARAKTER!!
6
7
Secara naluriah, berita negatif ­memang
sering dianggap lebih penting, lebih
­menarik, dan tentu cenderung lebih
lama diingat. Tetapi apakah lebih
­membangun, lebih ­menggembirakan?
Rasanya tidak. Secara tak sadar,
­energi dari dalam diri akan dikuras
saat mendengar berita-berita negatif,
­sebaliknya kabar sukacita justru
akan menambah energi. Bisa dibuat
tes ­sederhana: tontonlah video
­pemenggalan oleh ISIS lalu tonton
juga cuplikan Kick Andy. Bandingkan
­perasaan yang muncul setelahnya! Saya
telah coba: video ISIS itu membuat mual,
muak dan anti-pati, sedangkan video
kedua menyegarkan pikiran.
Saya amat-amati, kecenderungan untuk
menyebarkan hal-hal negatif juga jauh
lebih tinggi daripada menyebarkan hal-
hal positif. Misalnya saja, berita tentang
seorang suster yang keluar akan cepat
tersebar/menyebar/disebarkan, ­daripada
misalnya berita tentang seorang ­suster
yang kena malaria tropicana ­karena
harus berjibaku di tanah misi. Itu
­kecenderungan, tetapi haruskah tunduk
pada kecenderungan? Tidak rasanya.
Aku mencintaimu atau Aku
­membencimu
Kalau ada orang yang mengatakan
kepada saya,“Pastor aku mencintaimu,”
atau“Pastor aku membencimu”saya
tidak sekadar menerima informasi
yang ­berguna bagi saya. Kata-kata itu
mengerjakan sesuatu dalam diri saya.
Kata-kata itu membuat darah saya
bergerak, ­jantung saya berdetak, nafas
saya menjadi lebih cepat. Kata-kata itu
mempunyai daya untuk menyembuhkan
atau malah menghancurkan saya.
Secara ilmiah, kekuatan kata-kata
­manusia itu sudah dibuktikan: Prof
Emoto Masaru (http://www.masaru-
emoto.net/english/water-crystal.html)
dari Jepang telah meneliti kristal-
kristal air selama bertahun-tahun.
­Kemudian dia menemukan bahwa
air yang ­dihadapannya diucapkan
kata-kata syukur, terimakasih, ganteng,
cantik atau kata-kata positif lainnya
­kemudian memiliki kristal-kristal yang
sungguh indah dan teratur. Sementara
air yang ­dihadapannya dirapalkan
setiap hari kata-kata buruk, misalnya
bodoh, ­pembunuh dst... memiliki
bentuk ­susunan kristal yang jelek dan
­menyeramkan. Ini menunjukkan bahwa
kata-kata manusia itu punya daya yang
menghidupkan tapi juga daya yang
merusak.
Model Problem Solving dan
­Appreciative Inquary
Perbincangan sebelumnya, lebih
­menyangkut gerakan pribadi; ajakan
untuk memakai kata-kata positif. Berikut
coba kita lihat, dalam konteks ­gerakan
bersama dalam sebuah organisasi
­(Gereja).
Ada ragam model yang digunakan
untuk mengembangkan sebuah
­organisasi. Model Problem Solving (PS)
dan ­Appreciative Inquary (AI) adalah
dua diantaranya. Model AI dimulai pada
1987 oleh Cooperrider DL & Srivastva, S.
(1987), pakar tentang organisasi.
Ini merupakan semacam
­pemberontakan pada model PS, yang
dianggap tak memadai lagi untuk
membenahi sebuah organisasi. Hakekat
AI dan PS sebenarnya sama yakni, ingin
membuat organisasi berjalan lebih baik.
Namun bagi Cooperrider dan ­Srivasti
model PS tak lagi cocok. Model PS
melulu menanyakan apa masalah, dan
bagaimana mengatasinya. Model PS
masih melandaskan pada asas insentif/
penghargaan (bagi yang berprestasi)
dan punishment/hukuman (bagi yang
tidak berprestasi). Model PS ­otoritatif,
dan bahkan dianggap jauh dari
­persuasif. Padahal tujuannya adalah,
bagaimana membenahi organisasi.
Nampaknya, akhir-akhir ini sudah
­semakin banyak perusahaan yang
­menggunakan metode AI ketimbang
PS. Mengapa AI? Model ini memaksa
­manajamen atau pimpinan ­perusahaan
untuk mendengar, ketimbang
­menanyakan masalah semata. Model
PS, ekstremnya demikian: ketika kita
­mencoba memecahkan sebuah masalah,
sering terjadi masalah itu malah jadi
dua (sebab sudah dipecah), lagi pula
kemungkinan munculnya resistensi/
Saya amati,
­kecenderungan
untuk
­
menyebarkan
hal-hal negatif
juga jauh lebih
tinggi ­daripada
­menyebarkan
hal-hal positif.
.....
tetapi haruskah
­tunduk pada
kecenderungan?
7
8
perlawanan sangat besar dengan model
PS. Efek psikologis yang ditimbulkan dari
pendekatan ini adalah kita akan merasa
bahwa ternyata masalahnya banyak
sekali dan untuk memecahkannya akan
sulit sekali.
“Menurut kamu, apa yang terbaik, dan
apa yang paling berkesan?” demikian
kira-kira pesan model AI ini. Model AI
ini, menurut dua pakar itu, menuntut
kita untuk berkomunikasi langsung,
bahkan sampai komunikasi“one on one”.
Mendengar siapa saja yang dianggap
bisa memberikan ide tentang perbaikan
organisasi.
Contoh konkret: Ada seorang ­bapak
yang marah pada anaknya, dan
­bertanya,“kenapa kamu malas-malas
saja?”, dengan nada tinggi. Model AI
menuntut, si bapak ini harus menyelami
betul apa yang membuat anaknya
­malas. Si bapak kemudian memilih untuk
­berkomunikasi dari hati ke hati. Dite-
mukanlah, si anak malas karena merasa
dilecehkan rekan sekelasnya. Artinya,
model AI membutuhkan afeksi, empati,
understanding. ( info lain misalnya di
http://www.academia.edu/3666487/
Mengenal_Appreciative_Inquiry)
Kemana arah pembicaraan?
Kalau diringkaskan, baik Prof ­Emoto
Masaru maupun pendekatan
­pengembangan organisasi model
­Appreciatif Inquary, sama-sama
­menawarkan: penggunaan kata-kata
positif meneguhkan ketimbang kata-
kata negatif melelahkan; lebih melihat
kemungkinan pengembangan daripada
masalah-masalah. Paling tidak ada tiga
titik refleksi yang menggugah saya:
Pertama, hati-hati berkata-kata atau
­menyebarkan kata-kata, terutama
­dengan kata-kata negatif. Setiap kata
yang lepas punya daya tertentu, entah
merusak entah membangun. Jangan-
jangan komentar-komentar saya malah
mematikan/memakamkan karakter
orang lain. (Tapi juga saya harus hati-
hati dengan tulisan ini sendiri, sebab
­mungkin akan memancing komentar
negatif juga hehe ...)
Kedua, sebagai seorang ­Pengurus
­Gereja/Pastor yang sering
­menyampaikan kotbah boleh ­bertanya:
Apakah aku lebih banyak bicara
­tentang dosa-dosa yang menakut-
nakuti (hal-hal negatif) daripada ­rahmat
yang ­menyegarkan (hal-hal positif,
­kemungkinan-kemungkinan)? Apakah
kotbahku menggugah semangat umat
untuk berbuat baik atau malah berseru
dalam hati sembuhkan dahulu dirimu
tabib?
Paus Fransiskus berpesan (saya per-
luas pesan itu),“hendaknya wajah-
wajah orang Katolik yang pulang dari
Gereja (doa lingkungan/pernikahan/
tahbisan/kaul kekal dll) jangan ­seperti
wajah orang yang baru pulang dari
­pemakaman (bisa juga dibaca-direfleksi-
kan: jangan jadikan Gereja Pemakaman
Karakter dengan pintu mimbar kotbah)”
Saya perhatikan, soal keceriaan itu
sangat banyak dipengaruhi oleh kotbah-
kotbah yang disampaikan forhanger/
pastor/uskup. Kotbah yang baik biasanya
membangkitkan karakter baik yang ter-
pendam di dalam diri pendengar.
	
Ketiga, lewat model AI, si Bapak/­
Pimpinan membuat anaknya ­merasa
­telah didengar, dimengerti dan
­dipahami. Dia tidak hanya menjadi
­sasaran pertanyaan atau kemarahan
(apalagi di hadapan publik misalnya),
“Mengapa kamu malas?”karena si anak
sudah tahu bahwa ia sedang malas. Dia
hanya ingin sesuatu agar ­kemalasannya,
yang dia tahu turut mengganggu
­dirinya, bisa dia lepaskan.
8
9
EMBUN KATAKESE | LITURGI
PELANGGARAN LITURGI
DALAM PERAYAAN EKARISTI
(IV)
OLEH:
Katolisitas.org
10
Harus
­dibedakan
bahwa ­untuk
lagu-lagu
­liturgis, lagu
bukan ­hanya
­sebagai
­ungkapan
­perasaan
­tetapi
­ungkapan
iman (lex
orandi lex
­credendi)
“
Sejumlah pelanggaran berkenaan
dengan Penerimaan Komuni telah
rampung diulas dalam edisi ­Agustus
lalu. Dalam edisi ini, kita akan men-
gulas Pelanggaran dalam hal musik
liturgis.
Pelanggaran Dalam Hal Musik
­Liturgis
1. Dinyanyikannya lagu-lagu pop
rohani dalam perayaan Ekaristi
Seharusnya:
Tra le Sollecitudini 1 Musik liturgis
(sacred music)… mengambil bagian
dalam ruang lingkup umum liturgi,
yaitu kemuliaan Tuhan, pengudusan
dan pengajaran umat beriman.
Musik liturgis memberi kontribusi
kepada keindahan dan keagungan
upacara gerejawi, dan karena tujuan
prinsipnya adalah untuk ­melingkupi
teks liturgis dengan melodi yang
cocok demi ­pemahaman umat
­beriman, tujuan utamanya adalah
untuk­menambahkan­dayaguna-nya
kepada teks, agar melaluinya umat
dapatlebih­terdorongkepada­devosi
dan lebih baik diarahkan ­kepada
penerimaan buah-buah ­rahmat
yang dihasilkan oleh ­perayaan
misteri-misteri yang ­paling kudus
­tersebut.
Tra le Sollecitudini 2 Karena itu
musik liturgis (sacred music) … harus
kudus, dan harus tidak memasukkan
segala bentuk profanitas, tidak hanya
di dalam musik itu sendiri, tetapi juga
di dalam cara pembawaannya oleh
mereka yang memainkannya.
Tra le Sollecitudini 5 Gereja telah
­selalu mengakui dan menyukai ke-
majuan dalam hal seni, dan men-
erima bagi pelayanan agama semua
yang baik dan indah yang ditemukan
oleh para pakar yang ada sepan-
jang ­sejarah — namun demikian,
selalu sesuai dengan kaidah- kaidah
liturgi. Karena itu musik modern juga
­diterima Gereja, sebab musik ­tersebut
menyelesaikan komposisi dengan
keistimewaan, keagungan dan
­kedalaman, sehingga bukannya tak
layak bagi fungsi-fungsi liturgis.
Namun karena musik modern
­telah timbul kebanyakan untuk
­melayani penggunaan profan,
maka ­perhatian yang khusus harus
­diberikan sehubungan dengan itu,
agar komposisi musik dengan gaya
modern yang diterima oleh Gereja
tidak mengandung apapun yang
profan, menjadi bebas dari sisa-si-
sa motif yang diangkat dari teater,
dan tidak disusun bahkan di dalam
­bentuk- bentuk teatrikal seperti cara
menyusun lagu- lagu profan.
Harus dibedakan bahwa untuk
lagu-lagu liturgis, lagu bukan ­hanya
­sebagai ungkapan perasaan ­tetapi
ungkapan iman (lex orandi lex
­credendi).
2. Adanya tari-tarian yang
­menyerupai pertunjukan/
­performance diadakan dalam
­perayaan Ekaristi, kemudian
­diikuti dengan tepuk tangan umat.
Seharusnya:
RS 78 … Perlu dihindarkan ­suatu
Perayaan Ekaristi yang hanya
­dilangsungkan sebagai pertunjukan
atau menurut gaya ­upacara-upacara
lain, termasuk upacara-upacara
­profan: agar Ekaristi tidak kehilangan
artinya yang otentik.
Direktorium tentang ­Kesalehan Umat
dan Liturgi 17 …. Di kalangan
­sejumlah suku, nyanyian secara
­naluriah terkait dengan tepuk
tangan, gerak tubuh secara ritmis,
dan ­bahkan tarian. Ini semua adalah
bentuk lahiriah dari gejolak batin dan
merupakan bagian dari tradisi suku
….
11
Jelas, itu hendaknya menjadi
­ungkapan tulus doa jemaat dan tidak
sekedar menjadi tontonan…
Paus Benediktus XVI dalam The Spirit
of the Liturgy (San Francisco: ­Ignatius
Press, 2000), p. 198: “Adalah suatu
kekacauan untuk mencoba ­membuat
liturgi menjadi “menarik” dengan
memperkenalkan tarian pantomim
(bahkan sedapat mungkin ­ditarikan
oleh grop dansa ternama), yang ­sering
kali (dan benar, dari sudut ­pandang
profesionalisme) berakhir dengan
­applause -tepuk tangan.
Setiap kali tepuk tangan terjadi di
tengah liturgi yang disebabkan
oleh semacam prestasi manusia, itu
­adalah tanda yang pasti bahwa esensi
liturgi telah secara total hilang, dan
telah ­digantikan dengan semacam
­pertunjukan religius.
Atraksi sedemikian akan memudar
dengan cepat- ia tak dapat bersaing
di arena pertunjukan untuk mencapai
kesenangan (leisure pursuits), dengan
memasukkan tambahan berbagai
bentuk gelitik religius.”
Kardinal Arinze ­menjelaskannya
­demikian:bahwapada­budaya-budaya
tertentu (yaitu di Afrika dan Asia),
­tarian menjadi bagian yang tak
­terpisahkan dari cara penyembahan,
namun gerakan ini adalah ‘graceful
movement‘ untuk menunjukkan suka
cita dan penghormatan, dan bukan
‘performance‘.
Dalam budaya ini, gerakan ­tersebut
­dapat diadakan dalam ­prosesi
­perayaan Ekaristi, namun ­bukan
­sebagai ­pertunjukan. ­Sedangkan
di tempat- tempat lain di mana
tarian tidak menjadi bagian dari
­penyembahan/ penghormatan
­(seperti di Eropa dan Amerika)
maka memasukkan tarian ke dalam
­perayaan Ekaristi menjadi tidak
­relevan.
3.Bandmasukgerejadan­digunakan
sebagai alat musik liturgi.
Seharusnya:
Tra le Sollecitudini 19 Penggunaan
alat musik piano tidak ­diperkenankan
di gereja, sebagaimana juga alat
musik yang ribut atau berkesan tidak
serius(frivolous), seperti drum, cymbals,
bells dan sejenisnya.
Tra le Sollecitudini 20 Dilarang keras
menggunakanalatmusikbanddidalam
gereja, dan hanya di dalam kondisi-
kondisi khusus ­dengan ­persetujuan
Ordinaris dapat ­diizinkan ­penggunaan
alat musik tiup, yang ­terbatas
­jumlahnya, dengan ­penggunaan yang
bijaksana, sesuai dengan ukuran tem-
pat yang tersedia dan komposisi dan
aransemen yang ditulis dengan gaya
yang sesuai, dan sesuai dalam segala
hal dengan ­penggunaan organ.
Maka diperlukan izin khusus untuk
menggunakan alat-alat musik lain,
terutama jika alat tersebut dapat
memberikan efek ribut/ keras, dan
berkesan profan/ tidak serius.
12
13
KOLOM “RUMAH JOSS” | TARGET & FOKUS
Yoseph Tien
Wakil Ketua ­KomIsi
Kepemudaan di
­Keuskupan Agung
Medan
14
TARGET DAN FOKUS
S
iang ini saya belajar lagi
tentang target, sasaran
yang ingin dicapai, melalui
sebuah permainan ­sederhana
“Dart”. Untuk menuju sasaran
­secara tepat ­dengan ­perolehan
angka tertinggi, ­semuanya
butuh perjuangan dan
­pengorbanan. Semuanya butuh
waktu dan proses.
Latihan dan latihan terus menerus,
tampaknya akan menentukan anak
panah meluncur mengenai ­sasaran
secara tepat atau tidak. Disini
­dibutuhkan: arah dan titik sasaran,
sudut lemparan, kecepatan dan
ketepatan lemparan.
Sejatinya setiap kita harus punya
­target...dalam hal apa saja...dalam
hidup pribadi...pada aspek kognitif,
afeksi, maupun konatif. Pada aspek
spiritualitas, kesehatan, keuangan,
relasi sosial, juga dibutuhkan target
tertentu. Itulah pencapaian-penca-
paian yang kita inginkan-yang kita
harapkan-yang kita impikan.
Kalaupun dalam proses ke arah
­sasaran, ada seonggok ketertundaan,
target meleset, bangun lagi, berlatih
lagi dan terus kejar target itu.
Sesungguhnya target tak pernah
bergeser, semangat kita yang bisa
berubah setiap waktu. ­Selanjutnya,
problem pokoknya bukan pada saat
engkau jatuh, tetapi ­bagaimana
­engkau bangkit dari setiap
­kejatuhanmu.
Jadi, mari tetapkan target kita dan
berlatih mencapainya. Mulailah dari
yang kecil dan sederhana, mulai dari
diri sendiri, mulailah dari sekarang,
semangat dan tetap fokus!
Sementara itu, tentang fokus, mentor
saya Bang Ikhwan Sopa, penulis buku
“Manajemen Pikiran dan Perasaan”,
pernah menulis demikian:
“Fokus itu tentang tujuan. Fokus itu
fleksibel dalam pendekatan, tetapi
tetap teguh dalam prinsip. Fokus itu
bukan hanya cupet seperti berkaca
mata kuda.
Agar semakin fokus, perluaslah
­wawasan. Fokus itu mengharuskan
adanya berbagai hal yang tidak ­jelas
sebagai nuansa lingkungan. Jika
­semuanya jelas di dalam frame, maka
itubukanlahfokus.Perluas­bingkainya
dan masukkan yang tidak terlalu jelas
ke dalamnya. Dari situ, kita akan tahu
perbedaannya dan tahu bagaimana
harus berfokus. Fokus, tidak sama
dengan katak dalam tempurung!”
1414
OPINII | PENDIDIKAN
Eka Dalanta Tarigan
Founder @ KemanaAja.
com
Owner @ BrandTalkID
15
D
ari mana ditakar nilai keindonesiaan kita?
­Apakahdaribahasayangkitagunakan?Atau
dari nama yang melekat di diri kita. Seperti
namasaya­misalnya,bagimasyarakatsesukusaya,
sangat mudah menilai bahwa saya adalah bagian
dari mereka hanya dengan ­mengandalkan nama
saja. Lalu apakah nilai keindonesiaan kita dinilai
dari itu? Saya pikir tidak! Lalu apa keindonesiaan
itu?
INI
INDONESIA?
Ilustrasi: HipWee.com -- Herman Damar
15
16
Yang paling pantas disebut ­dengan
Keindonesiaan adalah sesuatu
yang melekat dalam pikiran saat
­menyebutkan Indonesia. Sesuatu
yang muncul dalam pikiran saat
­menyebut Indonesia. Buat saya,
Indonesia selalu muncul sebagai
negeri yang kaya raya bertanah
subur dengan hasil alam yang
­melimpah. Seperti yang biasa saya
terima ­sejak di bangku ­sekolah dasar.
­Perjalanan saya ke beberapa bagian
kecil Indonesia ­mengukuhkannya.
Dalam setiap perjalanan saya saya
selalu bertemu dengan keinda-
han, pemandangan tropis yang
selalu membuat saya ­berdecak
kagum. ­Keanekaragaman budaya,
­keramahannya, ­kesediaannya
­menolong yang itu selalu
­bergandengan dengan ironi. Di
dekatnya, kemiskinan selalu melekat.
Saya memang tidak lahir ­sebagai
anak orang kaya. Saya akrab
­dengan dunia pasar dan keseharian
masyarakat awam. Tapi saya masih
bisa bersekolah hingga tingkat
universitas -walau untuk itu mesti
membuat keluarga dan diri sendiri
sedikit ngos-ngosan- bisa makan tiga
kali sehari, bisa sesekali hang out
dengan teman di kafe, bisa membaca
buku dan mengoleksi buku kesukaan,
bahkan sesekali bisa travelling.
Dan perjalanan kali ini, membuat
saya tersentak. Ini Indonesia?
­Benarkah ini masih Indonesia? Di
belahan manakah ia dalam peta
­kesejahteraan yang digaung-gaung-
kan itu? Apa ini sudah ada yang tahu?
Atau memang sengaja tutup mata?
Kenapa ­pembangunan tidak merata.
Kata-kata itu terus ­menghantui
pikiran. Mencoba mencari ­kepastian,
membangunkan diri dari mimpi
­buruk sebuah realitas tetang
­Indonesia.
Hari itu, saya bertugas sebagai
­penulis skrip untuk video profil
­sebuah lembaga swadaya masyarakat
di Sumatera Utara. Bersama dengan
dua orang pendamping dari yayasan,
saya dan dua orang rekan kerja
­lainnya berangkat menuju sebuah
desa kecil di Kecamatan Sibolangit,
Sumatera Utara. Desa Laja namanya
“Di mana itu bang?”tanya saya pada
salah satu staf.“Ah, kau juga belum
pernah kemari,”kata teman yang lain
protes pada saya karena tidak tahu
tempatnya.“Orang Karo juga tidak
semua tahu ya?”Sindirnya lagi.
“Ah… tak usah dibahas lah, bang
seberapa jauhnya. Nanti jadi enggak
selera berangkat dan mual sebelum
sampai,”kata staf yayasan yang lain
sambil bercanda. Dalam pikirian,
saya hanya membayangkan rute
­perjalanan yang hanya jauh.
“Sekitar 3 jam lah, tapi kita harus naik
motor trail,”lanjutnya lagi. ­Bayangan
terburuk saya ternyata hanya
­separuh dari kenyataan perjalanan
­sesungguhnya.
Berbekal 5 nasi bungkus, minuman
botol, rasa percaya diri, ­mengendarai
3 sepeda motor kami menuju lokasi
tujuan. Meninggalkan jalan ­besar
­Jamin Ginting kami memasuki
perkampungan masyarakat Karo
di Simpang Pasar Baru, ­Sibolangit.
­Melewati jalanan Desa Rumah
­Kinangkung. Jalanan beraspal
­sudah habis. Jalanan tanah sudah
­menyambut di depan. 300 meter
kemudian, jalanan tanah sudah
habis diganti jalanan tanah basah
dan licin kemudian berganti dengan
jalanan berlumpur. Walah… apa ini?
­Butuh tenaga ekstra agar motor tidak
­terhalang jalannya.
Saya yang berada dalam boncengan
harus selalu berpegangan erat. Gila…
saya tidak akan berani mengendarai
motor di jalanan seperti itu. Di kiri
atau kanan jalan –bergantian- jurang
dalam dan dangkal siap menam-
pung. Sementara itu jalanan ber-
17
lumpur terkadang berbelok menurun
dan menukik tajam ke atas diganti
­jalanan berbatu besar dan berserpih.
Beberapa kali saya harus turun dan
berjalan kaki demi keamanan.
Celana jeans saya sudah digulung ke
atas agar nyaman. Sepatu kets saya
sudah tidak jelas lagi ­bentuknya.
­Bercampur tanah lembek dan
rumput kering. Kepala saya panas
didera angin gerah siang. Teman
saya Anto dan Onny, harus merela-
kan sandal gunungnya yang tak
kuat ­menarik gravitasi dari lumpur.
Sesekali ­motor harus didorong atau
diangkat. Sekali kami melihat ular
melintas mencoba ­menyambut
perjalanan kami. ­Sembari tak lupa
juga kami menikmati keindahan
alam. ­Pengobat lelah dan penat.
­Menghirup hijau klorofil dan
­keluasan ­semesta. Saya merasa kerdil
di tengah alam begini.
Kami melewati beberapa
­perkampungan. Kami telah masuk ke
dalam hutan tropis. Saat beristirahat
setelah setengah perjalanan sebuah
pemandangan membuat saya tidak
bisa tidur malamnya. Dua bocah kecil
berjalan akrab di tengah hutan itu.
Mereka mengenakan seragam putih
merah. Baru pulang sekolah. Sebuah
kantong plastik menjadi wadah
­penyimpan buku-buku. Seragam
putih itu telah terkena lumpur, rok
dan celana merah itu telah berubah
warna. Tidak ada alas kaki. Kaki-
kaki mungil itu penuh lumpur dan
­bersisik.
Perjalanan mereka ke sekolah
­membutuhkan waktu 2 jam ­berjalan
kaki. Mereka telah melewati
­jalanan yang kami lalui tadi. Juga
­melewati sungai yang kami lalui
atau ­jalan potong lain yang sama
saja. Namun bagi mereka itu sudah
menjadi ­
keseharian dan tak perlu
­diperdebatkan apalagi dikeluhkan.
Sambil berjalan mereka bisa men-
cari buah hutan, serangga hutan,
­bermain rumput, mencari belalang
atau capung.
Tapi hati kecil saya sulit menerima.
“Ya… Tuhan… Terima kasih buat
hari ini. Saya bisa melihat dari
dekat, belajar banyak dari mereka,
dan ­menjejakkan kaki pada bumi.”
­Kesadaran yang tumbuh. Dan hati
kecil saya masih terus bertanya,“Di
bagian mana Indonesia lagi yang
seperti ini?”
Setibanya di Desa Laja, kami
­disambut dengan suguhan buah
durian dan duku. Rasa lelah masih
tersisa. Tapi saya menyerap ­banyak
hal, ­termasuk gotong-royong
­memperbaiki sumber air bersih di
sungai yang terkena longsor, tanpa
pamrih demi kepentingan bersama.
Inilah Indonesia yang sesungguhnya.
Namun begitu tidak ­terbayangkan
bila harus tinggal di sana. Lain
­ceritanya kawan jika saya memang
sedang ingin trekking ke dalam
­hutan. Untuk tinggal di sebuah
­tempat seperti itu, saya berdoa,
“­Tuhan, jangan, ku mohon!.”Satu
hal lagi yang akan terus saya ingat,
seberapa berjelagapun kemiskinan
itu, miskin nurani adalah yang paling
hina.
18
SASTRA | VELANGKANNI
P
agi, seperti biasa. Surya
menguak cahya dari
ufuk Timur. Namun, aku
­mengistimewakan pagi ini
­untuk suatu tujuan. Sebuah
­rumah ibadah. Tak jauh dari
kediaman pribadi dan yang
­terpenting ini: hening.
Sebuah keheningan bisa jadi ­teramat
penting. Jika hiruk lalu-lintas di
­jantung kota bisa kalah bising
dengan gemuruh kerja otak, ini
menandakan sesuatu tidak ­beres.
Coba mengutip nasihat orang
­bijak“menyeimbangkan”. Hmmm.
­Sebenarnya, aku lebih ingin ­bungkam
saja swara-swara tersebut. Atau lebih
asyiknya dimisalkan cecuit-cecuit
burung gereja taling-tarung berebut
betina.
Derak terali sepeda motor turut
bersumbang swara menuju‘syurga
hening’. Aku sempatkan mengumpat
debu kemarau yang berebut masuk
ke lubang hidung. Sedikit nanar, di
mulut gang rumah, kulihat sesosok
manusia. Tiada bertangan. Tak
pernah kutahu namanya. Namun,
lebih ­mudah dikenali karena ia
cacat tangan, dan berjualan tape.
Ia ­mencari-cari sinar mataku. Aku
­melihat bola matanya. Kami tak
ubahnya dokter mata dan pasien.
Tetapi tidak jelas, siapa dokter dan
pasien.
“Mas, hendak pigi kemana?,”ia
­membuka cakap sembari senyum.
“Velangkanni,”jawabku sekenanya.
Aku kurang suka senyum pria ini.
Setiap kali bersua dengan sepeda
penjaja tape yang dikemudi ­dengan
dadanya, ia selalu tersenyum.
Acap kali seperti ejekan. Aku yang
­bertubuh lengkap, malas tersenyum.
Berkebalikan dengannnya.“­Apakah
aku harus tak bertangan untuk
­tersenyum,”rutuk dalam hatiku.
“Saya minta tolong. Numpang
­diboncengin ke (Rumah Sakit) Adam
Malik,”pintanya.
VELANGKANNI
Ananta Bangun
anantabangun.com
Redaktur Tulis di
­Lentera News
19
“Ndak ada becak?”
“Ndak ada duit.”
“Lho? Hmm. Ya, sudah. Pulang, sendiri
ya.”Ia mengangguk. Aku masih belum
tanya nama.
Derak terali sepeda motor dan swara
pria di belakang kini berpadu ria.
Pun, sebuah firasat ia berbicara
­sesenggukan. Ya, Tuhan. Jangan
bilang ia sedang menitikkan air mata.
“Saya baru mendapat surat BPJS, mas,”
ia bertutur ­sendirian.“Untuk operasi
mata anak saya. Saya ndak tega setiap
kali dia minta dibeliin krayon warna
untuk menggambar.”
“Putri saya ini juga bilang bercita-
cita jadi penemu. Agar saya punya
tangan utuh. Dan bisa ­menggambar
­bersama. Ekh”. Ban motorku
­terjerembab satu lubang ­peninggalan
semenjak zaman penjajah. Dan
­menyela cakapnya.
Tak tahan bungkam, aku nyahut:
“­Memang anak kam, sakit apa?”
“Ndak tahu.”
“Lho? Kok dioperasi.”
“Kata dokter. Tapi, saya sudah syukur
bisa dapat surat ini. Sudah 3 minggu
bolak-balik kantor pemerintah, baru
dapat sekarang.”
Ia pun sedu sedan mengalami
­perlakuan tak adil selama proses
­pengurusan tersebut. Terzolimi.
“Yeahhh,”aku dengus nafas berat.
“Kalau yang begituan, musti ada duit
dulu.”Memang pelik, fikirku, layanan
untuk orang kurang duit harus setor
duit laiknya orang bergelimang
duit. Dan cecuit-cecuit burung galak
­kembali riuh di kepalaku.
Kami tiba (akhirnya).“Terima kasih ya,
Mas. Mau ke Velangkanni untuk apa?”
ia tak henti juga bercakap.“Berdoa,”
aku sedikit risih. Mungkin, ia kira
hendak berfoto gaya dan pajang di
Facebook segala. Tapi, dengan segala
umpatan rutuk tadi sepertinya bukan
awal tepat mengawali doa.
Karenanya, aku sedikit kaget saat ia
meminta:“Tolong doakan anak saya
ya, Mas,”pintanya dengan lirih. Aku
menatap wajahnya. Benar, ia sedang
menitikkan air mata.
----
Kini, aku bersimpuh di ­bantalan
bangku Velangkanni. Hanya
­permintaan pria tiada bertangan itu
tersisa sebagai ngiang. Cecuit-cecuit
tak lagi menjepit relung jiwa. Hanya
ngiang permintaan pria itu, dan kibas
putaran kipas angin sedikit mengusik.
Aku pun tenggelam dalam hening.
“Sayang, aku lupa tanya namanya,”
aku membathin.
Aku pun merasa amat kecil kini.
Kesal dan bising-bising itu tak lagi
memamah kewarasanku. Hanya
aku, mendekap punggung bangku.
­Berdoa untuk seorang insan tak
kukenal namanya, agar matanya
­sembuh. Berdoa untuk seorang ayah
tak bertangan.
Dalam doa, aku merasa tak bermata
dan bertangan. Hingga air mata
­berlinang sendiri.
“Puji syukur atas kemurahan-Mu,
Tuhan,”aku membathin lagi. Dan,
beringsut perlahan keluar, menuruni
lekuk tangga berundak kerikil kecil.
Aku melap kerjap air mata tera-
khir. Senja memeluk pinggang
­Velangkanni kini.
ilustrasi: Velangkanni.blogspot.com
20
ILHAM SEHAT | OLAH RAGA
20
OLAHRAGA
DENGAN
KURSI KERJA
2121
J
am kerja yang tinggi membuat karyawan lebih banyak
menghabiskan waktu dengan duduk untuk bekerja.
Secara tidak sadar, aktivitas itu malah mengurangi
kegiatan fisik, yang justru berbahaya bagi kesehatan.
Baiknya, selama di kantor kegiatan bekerja memang harus
­diselingi dengan aktivitas fisik yang bergerak. Para pakar
­kesehatan menganjurkan agar Anda berdiri dan berjalan-jalan
setiap 30 menit sekali.
Tidak mau berjalan karena pekerjaan Anda ­menuntut ­untuk
selalu memantau pekerjaan secara online di ­komputer?
Denny Santoso, pakar olahraga, memberikan tip
­melakukan olahraga dengan memanfaatkan kursi kerja.
Cat cow stretch. Caranya, duduk dengan posisi punggung
tegak dan kedua tangan memegang lutut. Tarik napas
dan condongkan pinggang ke depan. Tahan beberapa
detik. Embuskan napas, dan lengkungkan punggung ke
­belakang. Lakukan masing-masing sebanyak 10 repetisi
dalam tempo lambat.
Chair dip. Latihan ini berguna untuk melatih tubuh ­bagian
atas. Caranya, berdiri membelakangi kursi dan ­tumpukan
berat badan Anda dengan kedua tangan ­memegang
ujung kursi. Pastikan kursi yang Anda pergunakan cukup
kuat dan stabil menopang berat tubuh Anda. Angkat tubuh
Anda dengan memberikan kontraksi otot dada, bahu dan
trisep secara bersamaan. Turunkan tubuh secara perlahan
ke bawah dengan posisi punggung tetap lurus, kemudian
­angkat tubuh Anda kembali. Ulangi gerakan ini sebanyak 8-10
kali.
Sumber: http://www.readersdigest.co.id
22
23
LAPO AKSARA
Ananta Bangun
anantabangun.com
Redaktur Tulis di
­Lentera News
23
Alkisah pada suatu masa di neg-
eri Yunani, nama‘Prokrustes’
menimbulkan kegegeran. Siapa
Prokrustes? Dalam ­bukunya
­“Ranjang Prokrustes”, Nassim
Nicholas Taleb coba menuturkan
sosok tersebut memiliki nama asli
Damastes. Ia dijuluki Prokrustes
yang berarti‘meregangkan’. Sang
penjagal ini terkenal karena
­muslihatnya mengundang para
musafir yang bertualang ke daerah
Attica.
Usai menjamu dengan suguhan
nikmat. Ia mengajak tamunya untuk
tidur di ranjang besi miliknya. Bila
ukuran ranjang terlalu panjang, maka
Prokrustes akan meregangkan tangan
dan kaki tamunya hingga benar-benar
pas. Acapkali hingga anggota tubuh
tersebut lepas. Bila kaki tamunya
terlalu panjang dari ukuran ranjang,
ia akan memotongnya sesuai panjang
ranjang tersebut.
Prokrustes mungkin tak lebih dari
satu cemooh yang dibungkus dalam
sebuah epos. Perihal laku manusia
menilai dan mengukur ­sesamanya.
Terkotak-kotak dalam status,
­kepemilikan materi serta prestasinya.
Tidak jarang pula‘ukuran-ukuran’ini
menjagal keyakinan dan kehidupan
banyak insan.
Fanatisme Prokrustes untuk
­mendapatkan segala sesuatu ideal
menurut egonya menjadi inspirasi
Nassim Nicholas Taleb. Ia mencibir
ego serupa yang mewabah pada
masyarakat kita kini. Dalam aforisme
di bukunya“Ranjang Prokrustes”
Taleb mendapati banyak manusia
yang ­sejatinya hendak mewujudkan
sesuatu yang ideal terjebak dalam
fanatisme Prokrustes.
Ukuran ideal yang diterakan oleh
sesama manusia, sayangnya,
­seolah ­tiada berkesudahan. ­Menilai
­kesalahan semasing laiknya
­pencaharian harta karun yang mesti
ada. Karena kerasukan ruh Prokrustes
ini, kita (juga saya) kerap lupa bahwa
manusia itu lemah adanya.
Kegusaran tersebut lah kiranya
­mendorong Rasul Paulus ­menorehkan
pesannya, yang berlaku bagi kita.
­Yakni:“Berdasarkan kasih karunia yang
dianugerahkan kepadaku, aku berkata
kepada setiap orang di antara kamu:
Janganlah kamu memikirkan hal-hal
yang lebih tinggi dari pada yang patut
kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu
berpikir begitu rupa, sehingga kamu
menguasai diri ­menurut ukuran iman,
yang dikaruniakan Allah kepada kamu
masing-masing.”(Roma 12:3).
Nasihat Paulus tersebut bukan
­sekedar berlaku bagi Jemaat di
Roma. Sabda yang dicurahkan Allah
dalam suratnya itu, telah memahami
bahwa Prokrustes bukan sekedar
legenda tentang satu pribadi. Ia
ada ­sebagai laku yang menjangkiti.
Inilah ­sebabnya, Firman Allah juga
tiada henti menjadi rujukan. Sang
Maha ­Rahim yang menilai kita bukan
­seturut ukuran manusia.
RANJANG PROKRUSTES

More Related Content

Viewers also liked

Wii目錄(美版)
Wii目錄(美版)Wii目錄(美版)
Wii目錄(美版)GameShop
 
Projecte comenius powerpoint
Projecte comenius powerpointProjecte comenius powerpoint
Projecte comenius powerpointmaribelherrera72
 
Lucas going to burger king book
Lucas going to burger king bookLucas going to burger king book
Lucas going to burger king bookbowenslide
 
Presentación ansgar
 Presentación ansgar Presentación ansgar
Presentación ansgardescargas20
 
Ls flumgilleon
Ls flumgilleonLs flumgilleon
Ls flumgilleonJazDine
 
Affiliatedag Christiaan Solcer
Affiliatedag Christiaan SolcerAffiliatedag Christiaan Solcer
Affiliatedag Christiaan SolcerAffiliate Dag
 
проект «большое путешествие»
проект «большое путешествие»проект «большое путешествие»
проект «большое путешествие»Ольга Комарова
 
Advance et proofofconceptpresentation-2
Advance et proofofconceptpresentation-2Advance et proofofconceptpresentation-2
Advance et proofofconceptpresentation-2OliviaHenley
 
Things to do in the Digital Afterlife when you're dead
Things to do in the Digital Afterlife when you're deadThings to do in the Digital Afterlife when you're dead
Things to do in the Digital Afterlife when you're deaddanbuzzo
 
How crowded is your class
How crowded is your class How crowded is your class
How crowded is your class lms030
 
OMI Shanghai workshop on Social Analytics 23 May 2011
OMI Shanghai workshop on Social Analytics 23 May 2011OMI Shanghai workshop on Social Analytics 23 May 2011
OMI Shanghai workshop on Social Analytics 23 May 2011frontiersdigital
 
《十年》
《十年》《十年》
《十年》sammy_luo
 
Poetry book
Poetry bookPoetry book
Poetry booktmfc22
 
Presentation on youtube
Presentation on youtubePresentation on youtube
Presentation on youtube1loveyut
 
Brett my cousin and my friend book
Brett my cousin and my friend bookBrett my cousin and my friend book
Brett my cousin and my friend bookbowenslide
 
Awanrenss international
Awanrenss internationalAwanrenss international
Awanrenss internationalagvozden
 

Viewers also liked (20)

Wii目錄(美版)
Wii目錄(美版)Wii目錄(美版)
Wii目錄(美版)
 
Projecte comenius powerpoint
Projecte comenius powerpointProjecte comenius powerpoint
Projecte comenius powerpoint
 
Lucas going to burger king book
Lucas going to burger king bookLucas going to burger king book
Lucas going to burger king book
 
Presentación ansgar
 Presentación ansgar Presentación ansgar
Presentación ansgar
 
Ls flumgilleon
Ls flumgilleonLs flumgilleon
Ls flumgilleon
 
Affiliatedag Christiaan Solcer
Affiliatedag Christiaan SolcerAffiliatedag Christiaan Solcer
Affiliatedag Christiaan Solcer
 
проект «большое путешествие»
проект «большое путешествие»проект «большое путешествие»
проект «большое путешествие»
 
Advance et proofofconceptpresentation-2
Advance et proofofconceptpresentation-2Advance et proofofconceptpresentation-2
Advance et proofofconceptpresentation-2
 
Things to do in the Digital Afterlife when you're dead
Things to do in the Digital Afterlife when you're deadThings to do in the Digital Afterlife when you're dead
Things to do in the Digital Afterlife when you're dead
 
How crowded is your class
How crowded is your class How crowded is your class
How crowded is your class
 
Netizons brand
Netizons brandNetizons brand
Netizons brand
 
OMI Shanghai workshop on Social Analytics 23 May 2011
OMI Shanghai workshop on Social Analytics 23 May 2011OMI Shanghai workshop on Social Analytics 23 May 2011
OMI Shanghai workshop on Social Analytics 23 May 2011
 
Seo september 2012
Seo september 2012Seo september 2012
Seo september 2012
 
《十年》
《十年》《十年》
《十年》
 
Poetry book
Poetry bookPoetry book
Poetry book
 
Presentation on youtube
Presentation on youtubePresentation on youtube
Presentation on youtube
 
Brett my cousin and my friend book
Brett my cousin and my friend bookBrett my cousin and my friend book
Brett my cousin and my friend book
 
Awanrenss international
Awanrenss internationalAwanrenss international
Awanrenss international
 
España
EspañaEspaña
España
 
Mik 31
Mik 31Mik 31
Mik 31
 

Similar to Lentera News edisi September 2015 | Bijak Kata Bijak Berbagi

Lentera news ed.#23 April 2016
Lentera news  ed.#23 April 2016Lentera news  ed.#23 April 2016
Lentera news ed.#23 April 2016Ananta Bangun
 
majalah online Lentera News edisi Maret 2015
majalah online Lentera News edisi Maret 2015majalah online Lentera News edisi Maret 2015
majalah online Lentera News edisi Maret 2015Ananta Bangun
 
Lentera News edisi #16 Juli 2015
Lentera News edisi #16 Juli 2015Lentera News edisi #16 Juli 2015
Lentera News edisi #16 Juli 2015Ananta Bangun
 
Lenteranews Oktober 2015
Lenteranews Oktober 2015Lenteranews Oktober 2015
Lenteranews Oktober 2015Ananta Bangun
 
Lentera news #17 Agustus 2015 | Merayakan Agustus
Lentera news #17 Agustus 2015 | Merayakan AgustusLentera news #17 Agustus 2015 | Merayakan Agustus
Lentera news #17 Agustus 2015 | Merayakan AgustusAnanta Bangun
 
MAJALAH ABSOLUT SMAN 1 BANDONGAN Edisi VI.pdf
MAJALAH ABSOLUT SMAN 1 BANDONGAN Edisi VI.pdfMAJALAH ABSOLUT SMAN 1 BANDONGAN Edisi VI.pdf
MAJALAH ABSOLUT SMAN 1 BANDONGAN Edisi VI.pdfSMABAPERS
 
Perjalanan seseorang bermasyarakat
Perjalanan seseorang bermasyarakatPerjalanan seseorang bermasyarakat
Perjalanan seseorang bermasyarakatAni Mahisarani
 
Komunikasi keperawatan
Komunikasi keperawatanKomunikasi keperawatan
Komunikasi keperawatanOkta-Shi Sama
 
ANALISIS-KESALAHPAHAMAN-MENILAI-KARAKTER-TEMAN-KERJA (1).docx
ANALISIS-KESALAHPAHAMAN-MENILAI-KARAKTER-TEMAN-KERJA (1).docxANALISIS-KESALAHPAHAMAN-MENILAI-KARAKTER-TEMAN-KERJA (1).docx
ANALISIS-KESALAHPAHAMAN-MENILAI-KARAKTER-TEMAN-KERJA (1).docxarlnleticia
 
ANALISIS KESALAHPAHAMAN MENILAI KARAKTER TEMAN KERJA
ANALISIS KESALAHPAHAMAN MENILAI KARAKTER TEMAN KERJAANALISIS KESALAHPAHAMAN MENILAI KARAKTER TEMAN KERJA
ANALISIS KESALAHPAHAMAN MENILAI KARAKTER TEMAN KERJAarlnleticia
 
LENTERA NEWS Edisi #14 Mei 2015
LENTERA NEWS Edisi #14 Mei 2015LENTERA NEWS Edisi #14 Mei 2015
LENTERA NEWS Edisi #14 Mei 2015Ananta Bangun
 
KEVIN AKSAMA - NASKAH DRAMA PENDEK DRUPADI DALAM ADEGAN PERMAINAN DADU
KEVIN AKSAMA - NASKAH DRAMA PENDEK DRUPADI DALAM ADEGAN PERMAINAN DADUKEVIN AKSAMA - NASKAH DRAMA PENDEK DRUPADI DALAM ADEGAN PERMAINAN DADU
KEVIN AKSAMA - NASKAH DRAMA PENDEK DRUPADI DALAM ADEGAN PERMAINAN DADUKevin Aksama
 
Mencintai Buku dan Perpustakaan.pdf
Mencintai Buku dan Perpustakaan.pdfMencintai Buku dan Perpustakaan.pdf
Mencintai Buku dan Perpustakaan.pdfLusius Sinurat
 
Jarak antara Hati Kita (4.2), Kumpulan Cerpen oleh Tiga Orang dengan Masalah ...
Jarak antara Hati Kita (4.2), Kumpulan Cerpen oleh Tiga Orang dengan Masalah ...Jarak antara Hati Kita (4.2), Kumpulan Cerpen oleh Tiga Orang dengan Masalah ...
Jarak antara Hati Kita (4.2), Kumpulan Cerpen oleh Tiga Orang dengan Masalah ...Lautan Jiwa
 
Hubungan tugas ilkom
Hubungan tugas ilkomHubungan tugas ilkom
Hubungan tugas ilkomRatih Aini
 
Lentera news ed. #21 Januari 2016
Lentera news  ed. #21 Januari 2016Lentera news  ed. #21 Januari 2016
Lentera news ed. #21 Januari 2016Ananta Bangun
 
Buletin Juwiter SMPN 1 Suralaga
Buletin Juwiter SMPN 1 SuralagaBuletin Juwiter SMPN 1 Suralaga
Buletin Juwiter SMPN 1 SuralagaEmzet Juwitour
 
Agar Anak Jujur
Agar Anak JujurAgar Anak Jujur
Agar Anak Jujurdevunira
 

Similar to Lentera News edisi September 2015 | Bijak Kata Bijak Berbagi (20)

Lentera news ed.#23 April 2016
Lentera news  ed.#23 April 2016Lentera news  ed.#23 April 2016
Lentera news ed.#23 April 2016
 
majalah online Lentera News edisi Maret 2015
majalah online Lentera News edisi Maret 2015majalah online Lentera News edisi Maret 2015
majalah online Lentera News edisi Maret 2015
 
Lentera News edisi #16 Juli 2015
Lentera News edisi #16 Juli 2015Lentera News edisi #16 Juli 2015
Lentera News edisi #16 Juli 2015
 
Lenteranews Oktober 2015
Lenteranews Oktober 2015Lenteranews Oktober 2015
Lenteranews Oktober 2015
 
Lentera news #17 Agustus 2015 | Merayakan Agustus
Lentera news #17 Agustus 2015 | Merayakan AgustusLentera news #17 Agustus 2015 | Merayakan Agustus
Lentera news #17 Agustus 2015 | Merayakan Agustus
 
Bahasa tubuh
Bahasa tubuhBahasa tubuh
Bahasa tubuh
 
MAJALAH ABSOLUT SMAN 1 BANDONGAN Edisi VI.pdf
MAJALAH ABSOLUT SMAN 1 BANDONGAN Edisi VI.pdfMAJALAH ABSOLUT SMAN 1 BANDONGAN Edisi VI.pdf
MAJALAH ABSOLUT SMAN 1 BANDONGAN Edisi VI.pdf
 
8.0 komunikasi berkesan 2014
8.0 komunikasi berkesan 20148.0 komunikasi berkesan 2014
8.0 komunikasi berkesan 2014
 
Perjalanan seseorang bermasyarakat
Perjalanan seseorang bermasyarakatPerjalanan seseorang bermasyarakat
Perjalanan seseorang bermasyarakat
 
Komunikasi keperawatan
Komunikasi keperawatanKomunikasi keperawatan
Komunikasi keperawatan
 
ANALISIS-KESALAHPAHAMAN-MENILAI-KARAKTER-TEMAN-KERJA (1).docx
ANALISIS-KESALAHPAHAMAN-MENILAI-KARAKTER-TEMAN-KERJA (1).docxANALISIS-KESALAHPAHAMAN-MENILAI-KARAKTER-TEMAN-KERJA (1).docx
ANALISIS-KESALAHPAHAMAN-MENILAI-KARAKTER-TEMAN-KERJA (1).docx
 
ANALISIS KESALAHPAHAMAN MENILAI KARAKTER TEMAN KERJA
ANALISIS KESALAHPAHAMAN MENILAI KARAKTER TEMAN KERJAANALISIS KESALAHPAHAMAN MENILAI KARAKTER TEMAN KERJA
ANALISIS KESALAHPAHAMAN MENILAI KARAKTER TEMAN KERJA
 
LENTERA NEWS Edisi #14 Mei 2015
LENTERA NEWS Edisi #14 Mei 2015LENTERA NEWS Edisi #14 Mei 2015
LENTERA NEWS Edisi #14 Mei 2015
 
KEVIN AKSAMA - NASKAH DRAMA PENDEK DRUPADI DALAM ADEGAN PERMAINAN DADU
KEVIN AKSAMA - NASKAH DRAMA PENDEK DRUPADI DALAM ADEGAN PERMAINAN DADUKEVIN AKSAMA - NASKAH DRAMA PENDEK DRUPADI DALAM ADEGAN PERMAINAN DADU
KEVIN AKSAMA - NASKAH DRAMA PENDEK DRUPADI DALAM ADEGAN PERMAINAN DADU
 
Mencintai Buku dan Perpustakaan.pdf
Mencintai Buku dan Perpustakaan.pdfMencintai Buku dan Perpustakaan.pdf
Mencintai Buku dan Perpustakaan.pdf
 
Jarak antara Hati Kita (4.2), Kumpulan Cerpen oleh Tiga Orang dengan Masalah ...
Jarak antara Hati Kita (4.2), Kumpulan Cerpen oleh Tiga Orang dengan Masalah ...Jarak antara Hati Kita (4.2), Kumpulan Cerpen oleh Tiga Orang dengan Masalah ...
Jarak antara Hati Kita (4.2), Kumpulan Cerpen oleh Tiga Orang dengan Masalah ...
 
Hubungan tugas ilkom
Hubungan tugas ilkomHubungan tugas ilkom
Hubungan tugas ilkom
 
Lentera news ed. #21 Januari 2016
Lentera news  ed. #21 Januari 2016Lentera news  ed. #21 Januari 2016
Lentera news ed. #21 Januari 2016
 
Buletin Juwiter SMPN 1 Suralaga
Buletin Juwiter SMPN 1 SuralagaBuletin Juwiter SMPN 1 Suralaga
Buletin Juwiter SMPN 1 Suralaga
 
Agar Anak Jujur
Agar Anak JujurAgar Anak Jujur
Agar Anak Jujur
 

More from Ananta Bangun

Seminar "Bijak Bermedia Sosial"
Seminar "Bijak Bermedia Sosial"Seminar "Bijak Bermedia Sosial"
Seminar "Bijak Bermedia Sosial"Ananta Bangun
 
Lentera #31 edisi juni 2017
Lentera #31 edisi juni 2017Lentera #31 edisi juni 2017
Lentera #31 edisi juni 2017Ananta Bangun
 
Presentasi untuk semiloka aksi umat menulis
Presentasi untuk semiloka aksi umat menulisPresentasi untuk semiloka aksi umat menulis
Presentasi untuk semiloka aksi umat menulisAnanta Bangun
 
Lentera news - mei 2016
Lentera news  - mei 2016Lentera news  - mei 2016
Lentera news - mei 2016Ananta Bangun
 
Lentera news ed. #22 Maret 2016
Lentera news ed. #22 Maret 2016Lentera news ed. #22 Maret 2016
Lentera news ed. #22 Maret 2016Ananta Bangun
 
Lentera News edisi #15 Juni 2015
Lentera News edisi #15 Juni 2015Lentera News edisi #15 Juni 2015
Lentera News edisi #15 Juni 2015Ananta Bangun
 
Pendidikan dan TIK, Jatuh Cinta (lagi)
Pendidikan dan TIK, Jatuh Cinta (lagi)Pendidikan dan TIK, Jatuh Cinta (lagi)
Pendidikan dan TIK, Jatuh Cinta (lagi)Ananta Bangun
 
Mengenal & Mendaftar Gmail
Mengenal & Mendaftar GmailMengenal & Mendaftar Gmail
Mengenal & Mendaftar GmailAnanta Bangun
 
Mengenal & Mendaftar di Gmail
Mengenal & Mendaftar di GmailMengenal & Mendaftar di Gmail
Mengenal & Mendaftar di GmailAnanta Bangun
 

More from Ananta Bangun (11)

Seminar "Bijak Bermedia Sosial"
Seminar "Bijak Bermedia Sosial"Seminar "Bijak Bermedia Sosial"
Seminar "Bijak Bermedia Sosial"
 
Lentera #31 edisi juni 2017
Lentera #31 edisi juni 2017Lentera #31 edisi juni 2017
Lentera #31 edisi juni 2017
 
Presentasi untuk semiloka aksi umat menulis
Presentasi untuk semiloka aksi umat menulisPresentasi untuk semiloka aksi umat menulis
Presentasi untuk semiloka aksi umat menulis
 
Lentera news - mei 2016
Lentera news  - mei 2016Lentera news  - mei 2016
Lentera news - mei 2016
 
Lentera news ed. #22 Maret 2016
Lentera news ed. #22 Maret 2016Lentera news ed. #22 Maret 2016
Lentera news ed. #22 Maret 2016
 
Lentera News edisi #15 Juni 2015
Lentera News edisi #15 Juni 2015Lentera News edisi #15 Juni 2015
Lentera News edisi #15 Juni 2015
 
Internet bijak
Internet bijakInternet bijak
Internet bijak
 
Pendidikan dan TIK, Jatuh Cinta (lagi)
Pendidikan dan TIK, Jatuh Cinta (lagi)Pendidikan dan TIK, Jatuh Cinta (lagi)
Pendidikan dan TIK, Jatuh Cinta (lagi)
 
Mengenal & Mendaftar Gmail
Mengenal & Mendaftar GmailMengenal & Mendaftar Gmail
Mengenal & Mendaftar Gmail
 
Mengenal & Mendaftar di Gmail
Mengenal & Mendaftar di GmailMengenal & Mendaftar di Gmail
Mengenal & Mendaftar di Gmail
 
Parts of speech
Parts of speechParts of speech
Parts of speech
 

Lentera News edisi September 2015 | Bijak Kata Bijak Berbagi

  • 1. 1 EDISI #18 SEPTEMBER 2015 BIJAK KATA BIJAK BERBAGI Ilustrasi: http://penultimateword.com/
  • 2. 2 DUKUNG MAJALAH LENTERA NEWS DENGAN DOA DAN DANA Kunjungi kami di sini: Bank Nasional Indonesia Rek.No. 0307532799 a.n. Hubertus Agustus Lidy /LENTERA-NEWS MAJALAHLENTERA.COM daftarisi Tajuk Redaksi3 Telisik 4 6 Lentera khusus 9 Embun katekese 13 Opini 20 Ilham sehat Awas, Pemakaman Karakter!! 18 Rumah Joss 14 Sastra RP Hubertus Lidi, OSC [Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi], Ananta Bangun [Redaktur Tulis], ­Jansudin Saragih [Redaktur Foto], Rina Malem Barus [Keuangan] Penerbit: Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Agung Medan (KOMSOS-KAM) ­Jalan S.Parman No. 107 Telp. +62614572457 , mp. 085361618545| www.majalahlentera.com | ­redaksi@majalahlentera.com , beritalentera@gmail.com | Facebook Fan Page: facebook.com/lentera-news REDAKSI Berbicara Tidak Sekedar Asbun Pelanggaran Liturgi Dalam Perayaan ­Ekaristi (IV) Ini Indonesia? Target & Fokus Velangkanni 23 Lapo Aksara Ranjang Prokrustes
  • 3. 3 Redaksi 3 TAJUK REDAKSI Berkomunikasi merupakan satu ­keindahan. Disebut demikian, karena peran kasat ­mata-nya yang menjembatani gagasan dan perasaan. Tidak hanya di kalangan ­manusia saja. Bahkan sejumlah besar ­penelitian dan pengalaman menitinya hingga ­dengan ­mahluk hidup lain, ­semisal hewan juga ­tanaman. Kesadaran akan ­penyelenggaraan Ilahi juga menuntun iman untuk ­berkomunikasi dengan Tuhan. Tentu saja melalui doa dan pengalaman spiritual lainnya. Pastor Irfantinus Tarigan, dalam edisi ini, ­berkenan membagi pencerahannya perihal laku komunikasi manusia. Terutama dalam ragam kehidupan sehari-hari. Dengan analogi ‘lebah & lalat’yang sungguh mengena, ilham Imam ­Diosesan KAM ini menuntun dan‘sedikit’ ­menohok tentang perilaku yang selama ini kita abaikan. Yakni karakter yang kian jauh ­menuturkan dan berbagi kata-kata positif. Bagaikan satu fikiran, Pastor Hubertus Lidi, OSC juga turut menyorot persoalan ini dalam ­tulisannya di kolom Telisik. Yang berjudul ­“Berbicara Tidak Sekedar Asbun”. Pandangan ­kritis beliau saling melengkapi dengan ilham dari Pastor Irfantinus. Tentu ini merupakan suguhan nilai yang berharga bagi sesama kita. Terutama bagi pembaca Lentera News yang kami cintai. Sahabat Pembaca. Kami dari Redaksi dengan hati terbuka dan bahagia menerima percikan ­ilham lainnya yang hendak dibagi bersama. Tidak hanya Pastor Irfantinus maupun Pastor Hubertus sahaja. Banyak dari kita tentu telah menuai buah pengalaman dan pembelajaran yang juga berharga untuk kita sharing bersama. Jangan lupa untuk menulusur pencerahan senada dari Eka Dalanta Tarigan yang ­mengupas sisi lain wilayah Indonesia. Desa terisolasi dari teknologi dan infrastruktur yang biasa kita kecap, khususnya di perkotaan. Tentu banyak nilai yang dapat kita petik dalam berbagai sudut pandang. Seluruh gagasan dan pencerahan di Lentera News edisi September ini, kami persembahkan bagi setiap kita. Termasuk sahabat Pembaca Lentera News. Terima kasih untuk doa dan ­motivasi yang dicurahkan bagi kami, ­sehingga tiada padam semangat kami untuk terus ­menerbitkan majalah online kesayangan kita ini. Shalom.
  • 4. 4 RP Hubertus Lidi, OSC hubertuslidiosc@gmail.com TELISIK | AKU DI ANTARA YANG LAIN Prolog “Julio berceritera kepada Grasianus bahwa ia bertemu dengan Rama dan Shinta di jalan. Grasianus ­berceritera kepada Laura, bahwa Julio bertemu dengan Ramah dan Shinta lagi asyik berceritera ­berduaan di jalan. Laura berceritera kepada Prudensia, istrinya Rama, bahwaiamendengardariGrasianus, bahwa Julio bertemu dengan Rama dan Shinta yang lagi asyik ­berdua sambil bergandengan tangan. Prudesia berceritera kepada Markus suaminya Shinta bahwa ia ­mendengar dari Laura, bahwa ­suaminya dan istrinya Markus, lagi asyik berdua di jalan sambil ­bergandengan tangan. Akhirnya ceritera yang ­berkembang di masyarakat adalah Rama ­berselingkuh dengan Shinta. Rose memberitahukan ­Prudensia, bahwa ternyata Rama itu ­hobinya berselingkuh. Paradigma ­bertuturnya berubah dari berjumpa di jalan menjadi isyu‘berselingkuh.” Kisah fiktif ini mengundang kita, ­secara sadar berefleksi tentang berbicara. Dampak, kekuatan, dan komplesitasnya. Merekat dan Meretakan Berbicara atau berkomunikasi ­secara oral, bagi orang-orang ­beriman merupakan anugerah ­Tuhan. Pada hakekatnya ­manusia sadar dan tahu akan hal yang ­dibicarakan. Pada ­bagian lain anugerah ­berbicara ­merupakan bagian dari ekspresi ­manusia ­sebagai makhluk yang berakal budi. Makhluk yang tahu dan sadar akan tindakan dan keberadaannya. Konteks berbicara dalam refleksi ini ­secara ­eksistensial merupakan ­bagian dari ­ungkapan ‘tahu dan ­sadar.’ itu. Toh aspek ­kesadaran inilah yang ­membedakan manusia dengan ciptaan Allah yang lainnya. Pada saat berbicara, kita ­berperan sebagai komunikator atau ­subyek yang mengekspreskan dan ­mengkomunikasikan, ide, gagasan, pendapat, dan perasaannya secara BERBICARA TIDAK SEKEDAR ‘ASBUN’
  • 5. 5 oral. Tujuannya agar hal-hal yang ­diungkapkan itu didengar, ­dimengerti dan ditanggapi oleh audiens atau pendengar. Pada saat yang sama orang yang mendengar berperan sebagai ­komunikan, yang menerima pesan. Tali persaudaraan, rasa solidaritas, dan kesetiakawanan serta ­persahabatan dengan sesama bertumbuh dan ­selanjutnya secara pelan serta ­pasti, terajut menjadi sahabat, karena ­berbicara. Lebih jauh dari itu ­terjadi keakraban dan intiminitas antar ­pribadi dalam komunitas-komunitas manusia. Hal ini tergantung intensitas, kecocokan, dan tercapainya tujuan. Dr. A. Supratiknya dalam bukunya: ­KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI dalam konteks kedalaman komunikasi, ­menyebutnya sebagai Taraf Pertama, atauhubunganPuncak­Komununikasi, yang ditandai dengan kejujuran, ­keterbukaan, dan saling percaya. Dalam pandangan Jhon Powell yang dikutip ­Supratiknya, bahwa dalam konteks ­kedalaman ­komunikasi ada 5 taraf mulai dari taraf basa-basi ­sampai pada ­puncaknya tahap ­pertama, saling ­percaya ­(Kanisius:2003) Tak dapat dipungkiri....berbicara pada tataran lain merupakan komu- nikasi oral yang juga tidak ditandai ­dengan kejujuran, keterbukaan, bah- kan bearomakan kebenciaan dan balas dendam. Dalam konteks ini berbicara ­merupakanmediayangber- peranmengumbaremosidan amarah. ­Berbicara mempunyai‘kekuatan’yang ­memecah bahkan menghancurkan relasi dan ­hubungan antar ­manusia. Berdampak pada permusuhan, ­perkelahian, perang dll. Untaian kata- kata menjadi rangkaian‘kampanye ­hitam’, ­mengkompor-kompori ­sehingga menjadi panas dan mem- bara. Ibaratnya: penyulut yang siap disentuhkan ke rumput yang ­tersiram bensin. Pasti terbakar dan ­menghanguskan segalanya. Analogi Lidah Lidah- tongue, merupakan salah satu organ tubuh dalam mulut/oral. Dalam Konteks berbicara lidah ­merupakan salah satu organ yang berperan ­penting, mengartikulasikan setiap kata yang keluar dari ­mulut. Dalam kerjasama dengan organ ­mulut yang lain, maka setiap kata yang keluar ­mulut selalu mempunyai makna. Dari perspektif positif dan negatif, ­sebagaimana yang digambar dalam kisah fiktif itu. Lidah itu bak ­pedang bermata dua; Tajam dua sisi. Sisi positif, berdampak mempererat tali persaudaraan-silaturahmi, dan sisi negatif, mengurai bahkan memutus- kan tali silaturahmi itu. Pilihan ada pada kita yang mempunyai lidah. Kaitan dengan dampak, maka ­subyek yang berbicara alias komunikator ­perlu mempertangung jawabkan ­setiap kata-kata atau ­pembicaraan yang ­keluar dari ­mulutnya. Ia ­menghadapidanmenyikapinya­secara positif dan negatif pula. Positif berarti akur atau ­sebaliknya negatif berarti ­bertentangan dengan ­pendengar atau ­komunikan. Tindak lanjut akibat dari pertanggung ­jawaban ini tentu berjalan sebagaimana prosesnya menuju pada tahapan penyelesaian atau endingnya. Happy ending atau tragic ending. Ungkapan ‘Lidah Tak Bertulang’, ­lentur, dan fleksibel itu bukan ­berarti yang mempunyai lidah seenaknya mengerak-gerakan alias ‘memain- kan’ dari segala sisi. Ia tidak boleh seenak bokongnya, bersembunyi di balik ungkapanya, membenarkan diri; ­memanipulasi, memutar- balikan fakta, serta mempelintir kebenaran. Lalu ia menghidangkan kebenaran ­versinya, yang belum tentu benar, dan ‘bersilat lidah.’ Aspek yang dipaparkan ke permukaan merupakan ‘polesan’. Yang lapisan dalamnya adalah palsu. (bersambung)
  • 6. 6 LENTERA KHUSUS | KARAKTER POSITIF “Mengapa LEBAH cepat ­menemukan bunga? Sedangkan LALAT cepat menemukan ­kotoran? Karena naluri lebah hanya ­untuk menemukan bunga, ­sedangkan naluri lalat hanya ­untuk ­menemukan kotoran. LEBAH tidak tertarik pada kotoran. Sebaliknya, LALAT tidak tertarik pada harum dan keindahan bunga. Alhasil, LEBAH kaya akan madu ­sedangakan LALAT kaya kuman ­penyakit.”Demikian kata-kata seorang motivator yang menganut kepercayaan, “apa yang kamu pikirkan tentang orang lain atau sesuatu biasanya itu yang kamu dapatkan, sebab kamu memang selalu memandang mereka dengan kacamata pikiranmu itu. Kalau ­kacamata Lebah ya .. kamu dapat madu .. kalau kacamata Lalat ... ya kamu dapat ­kotoran.”Saya sedikit banyak ­mengamini juga cara pikirnya itu. Berawal dari seorang teman ... Pagi hari, ketika tahu seorang teman lagi sibuk-sibuknya, dengan sengaja saya kerjai dia. Saya kirim sms: “Lagi sibuk ya?”(Itu hanya basa-basi sebab saya tahu ritmenya) “Iya ... memang ada apa ya?” “Ada yang sangat penting mau ­kukatakan ...” “Oh ... tunggu ya ... nanti saya telepon balik ...” “Ok ..”(Dalam benak saya terbayang: dia buru-buru meninggalkan kerjanya, pasti dengan harap-harap cemas. Kemudian dia telepon saya ...) “Ada apa tadi, kok tumben bicara seperti tadi ..” “Gimana kabarnya? Baikkah?” “Oh ... baik-baik saja ... kamu kenapa ... lagi ada masalahkah?” “Endak juga, tetapi memang ada yang sangat penting mau kukatakan untukmu ..” “Wah ... apa itu ya?” “Iya ... penting sekali ...” “Apa?” “AKU MENGASIHIMU ...”(Sengaja saya buat lambat-lambat. Saya tunggu ­reaksinya. Dalam benak sudah saya bayangkan reaksinya, dan benar saja perkiraan saya itulah yang terjadi ...) “Ihh ... itu aja pun... kukira tadi entah apa, ... iihhh ...”(Lalu dia mulai merepet sana-sini. Saya cengar-cengir saja, sebab sudah memperkirakan reaksi itu ­sebelumnya.) Saya katakan“kerjai”, tidak berarti saya main-main dengan kata AKU ­MENGASIHIMU itu. Konteks kerjai itu hanya dalam hal pemilihan waktu saja, yakni tepat saya pilih ketika dia sibuk. Soal“mengasihi”itu memang betul ­demikian. Saya sungguh-sungguh dengan kata itu. Pengakuan itu mun- cul setelah sekian lama mengenal dan bergaul dengannya; setelah ada ragam pengalaman yang terjadi. Cuplikan cerita tadi bukan ­bohong-bohongan, tetapi real ­terjadi. Titik renung yang mau ­disasar: orang cenderung menganggap ­berita ­baik-agung-mulia seperti AKU ­MENGASIHIMU bukan berita penting, malah dianggap main-main. Sementara kalau saya mengatakan,“Kamu tahu enggak kalau Pastor IT itu tak pernah ibadat harian, dan lihat saja bentar lagi dia akan mengundurkan diri ...”, ini pasti dianggap berita penting. Karena begitu pentingnya, tidak lama kemudian akan menjadi menu percakapan tambahan di meja-meja makan. Tampaknya memang tiap orang memiliki“spirit”jurnalis: bad news is good news (berita buruk adalah berita baik). RD Irfantinus Tarigan Formator di Seminari Menengah Pematang- siantar, dan sedang berjuang memproduksi kata- kata positif AWAS, PEMAKAMAN KARAKTER!! 6
  • 7. 7 Secara naluriah, berita negatif ­memang sering dianggap lebih penting, lebih ­menarik, dan tentu cenderung lebih lama diingat. Tetapi apakah lebih ­membangun, lebih ­menggembirakan? Rasanya tidak. Secara tak sadar, ­energi dari dalam diri akan dikuras saat mendengar berita-berita negatif, ­sebaliknya kabar sukacita justru akan menambah energi. Bisa dibuat tes ­sederhana: tontonlah video ­pemenggalan oleh ISIS lalu tonton juga cuplikan Kick Andy. Bandingkan ­perasaan yang muncul setelahnya! Saya telah coba: video ISIS itu membuat mual, muak dan anti-pati, sedangkan video kedua menyegarkan pikiran. Saya amat-amati, kecenderungan untuk menyebarkan hal-hal negatif juga jauh lebih tinggi daripada menyebarkan hal- hal positif. Misalnya saja, berita tentang seorang suster yang keluar akan cepat tersebar/menyebar/disebarkan, ­daripada misalnya berita tentang seorang ­suster yang kena malaria tropicana ­karena harus berjibaku di tanah misi. Itu ­kecenderungan, tetapi haruskah tunduk pada kecenderungan? Tidak rasanya. Aku mencintaimu atau Aku ­membencimu Kalau ada orang yang mengatakan kepada saya,“Pastor aku mencintaimu,” atau“Pastor aku membencimu”saya tidak sekadar menerima informasi yang ­berguna bagi saya. Kata-kata itu mengerjakan sesuatu dalam diri saya. Kata-kata itu membuat darah saya bergerak, ­jantung saya berdetak, nafas saya menjadi lebih cepat. Kata-kata itu mempunyai daya untuk menyembuhkan atau malah menghancurkan saya. Secara ilmiah, kekuatan kata-kata ­manusia itu sudah dibuktikan: Prof Emoto Masaru (http://www.masaru- emoto.net/english/water-crystal.html) dari Jepang telah meneliti kristal- kristal air selama bertahun-tahun. ­Kemudian dia menemukan bahwa air yang ­dihadapannya diucapkan kata-kata syukur, terimakasih, ganteng, cantik atau kata-kata positif lainnya ­kemudian memiliki kristal-kristal yang sungguh indah dan teratur. Sementara air yang ­dihadapannya dirapalkan setiap hari kata-kata buruk, misalnya bodoh, ­pembunuh dst... memiliki bentuk ­susunan kristal yang jelek dan ­menyeramkan. Ini menunjukkan bahwa kata-kata manusia itu punya daya yang menghidupkan tapi juga daya yang merusak. Model Problem Solving dan ­Appreciative Inquary Perbincangan sebelumnya, lebih ­menyangkut gerakan pribadi; ajakan untuk memakai kata-kata positif. Berikut coba kita lihat, dalam konteks ­gerakan bersama dalam sebuah organisasi ­(Gereja). Ada ragam model yang digunakan untuk mengembangkan sebuah ­organisasi. Model Problem Solving (PS) dan ­Appreciative Inquary (AI) adalah dua diantaranya. Model AI dimulai pada 1987 oleh Cooperrider DL & Srivastva, S. (1987), pakar tentang organisasi. Ini merupakan semacam ­pemberontakan pada model PS, yang dianggap tak memadai lagi untuk membenahi sebuah organisasi. Hakekat AI dan PS sebenarnya sama yakni, ingin membuat organisasi berjalan lebih baik. Namun bagi Cooperrider dan ­Srivasti model PS tak lagi cocok. Model PS melulu menanyakan apa masalah, dan bagaimana mengatasinya. Model PS masih melandaskan pada asas insentif/ penghargaan (bagi yang berprestasi) dan punishment/hukuman (bagi yang tidak berprestasi). Model PS ­otoritatif, dan bahkan dianggap jauh dari ­persuasif. Padahal tujuannya adalah, bagaimana membenahi organisasi. Nampaknya, akhir-akhir ini sudah ­semakin banyak perusahaan yang ­menggunakan metode AI ketimbang PS. Mengapa AI? Model ini memaksa ­manajamen atau pimpinan ­perusahaan untuk mendengar, ketimbang ­menanyakan masalah semata. Model PS, ekstremnya demikian: ketika kita ­mencoba memecahkan sebuah masalah, sering terjadi masalah itu malah jadi dua (sebab sudah dipecah), lagi pula kemungkinan munculnya resistensi/ Saya amati, ­kecenderungan untuk ­ menyebarkan hal-hal negatif juga jauh lebih tinggi ­daripada ­menyebarkan hal-hal positif. ..... tetapi haruskah ­tunduk pada kecenderungan? 7
  • 8. 8 perlawanan sangat besar dengan model PS. Efek psikologis yang ditimbulkan dari pendekatan ini adalah kita akan merasa bahwa ternyata masalahnya banyak sekali dan untuk memecahkannya akan sulit sekali. “Menurut kamu, apa yang terbaik, dan apa yang paling berkesan?” demikian kira-kira pesan model AI ini. Model AI ini, menurut dua pakar itu, menuntut kita untuk berkomunikasi langsung, bahkan sampai komunikasi“one on one”. Mendengar siapa saja yang dianggap bisa memberikan ide tentang perbaikan organisasi. Contoh konkret: Ada seorang ­bapak yang marah pada anaknya, dan ­bertanya,“kenapa kamu malas-malas saja?”, dengan nada tinggi. Model AI menuntut, si bapak ini harus menyelami betul apa yang membuat anaknya ­malas. Si bapak kemudian memilih untuk ­berkomunikasi dari hati ke hati. Dite- mukanlah, si anak malas karena merasa dilecehkan rekan sekelasnya. Artinya, model AI membutuhkan afeksi, empati, understanding. ( info lain misalnya di http://www.academia.edu/3666487/ Mengenal_Appreciative_Inquiry) Kemana arah pembicaraan? Kalau diringkaskan, baik Prof ­Emoto Masaru maupun pendekatan ­pengembangan organisasi model ­Appreciatif Inquary, sama-sama ­menawarkan: penggunaan kata-kata positif meneguhkan ketimbang kata- kata negatif melelahkan; lebih melihat kemungkinan pengembangan daripada masalah-masalah. Paling tidak ada tiga titik refleksi yang menggugah saya: Pertama, hati-hati berkata-kata atau ­menyebarkan kata-kata, terutama ­dengan kata-kata negatif. Setiap kata yang lepas punya daya tertentu, entah merusak entah membangun. Jangan- jangan komentar-komentar saya malah mematikan/memakamkan karakter orang lain. (Tapi juga saya harus hati- hati dengan tulisan ini sendiri, sebab ­mungkin akan memancing komentar negatif juga hehe ...) Kedua, sebagai seorang ­Pengurus ­Gereja/Pastor yang sering ­menyampaikan kotbah boleh ­bertanya: Apakah aku lebih banyak bicara ­tentang dosa-dosa yang menakut- nakuti (hal-hal negatif) daripada ­rahmat yang ­menyegarkan (hal-hal positif, ­kemungkinan-kemungkinan)? Apakah kotbahku menggugah semangat umat untuk berbuat baik atau malah berseru dalam hati sembuhkan dahulu dirimu tabib? Paus Fransiskus berpesan (saya per- luas pesan itu),“hendaknya wajah- wajah orang Katolik yang pulang dari Gereja (doa lingkungan/pernikahan/ tahbisan/kaul kekal dll) jangan ­seperti wajah orang yang baru pulang dari ­pemakaman (bisa juga dibaca-direfleksi- kan: jangan jadikan Gereja Pemakaman Karakter dengan pintu mimbar kotbah)” Saya perhatikan, soal keceriaan itu sangat banyak dipengaruhi oleh kotbah- kotbah yang disampaikan forhanger/ pastor/uskup. Kotbah yang baik biasanya membangkitkan karakter baik yang ter- pendam di dalam diri pendengar. Ketiga, lewat model AI, si Bapak/­ Pimpinan membuat anaknya ­merasa ­telah didengar, dimengerti dan ­dipahami. Dia tidak hanya menjadi ­sasaran pertanyaan atau kemarahan (apalagi di hadapan publik misalnya), “Mengapa kamu malas?”karena si anak sudah tahu bahwa ia sedang malas. Dia hanya ingin sesuatu agar ­kemalasannya, yang dia tahu turut mengganggu ­dirinya, bisa dia lepaskan. 8
  • 9. 9 EMBUN KATAKESE | LITURGI PELANGGARAN LITURGI DALAM PERAYAAN EKARISTI (IV) OLEH: Katolisitas.org
  • 10. 10 Harus ­dibedakan bahwa ­untuk lagu-lagu ­liturgis, lagu bukan ­hanya ­sebagai ­ungkapan ­perasaan ­tetapi ­ungkapan iman (lex orandi lex ­credendi) “ Sejumlah pelanggaran berkenaan dengan Penerimaan Komuni telah rampung diulas dalam edisi ­Agustus lalu. Dalam edisi ini, kita akan men- gulas Pelanggaran dalam hal musik liturgis. Pelanggaran Dalam Hal Musik ­Liturgis 1. Dinyanyikannya lagu-lagu pop rohani dalam perayaan Ekaristi Seharusnya: Tra le Sollecitudini 1 Musik liturgis (sacred music)… mengambil bagian dalam ruang lingkup umum liturgi, yaitu kemuliaan Tuhan, pengudusan dan pengajaran umat beriman. Musik liturgis memberi kontribusi kepada keindahan dan keagungan upacara gerejawi, dan karena tujuan prinsipnya adalah untuk ­melingkupi teks liturgis dengan melodi yang cocok demi ­pemahaman umat ­beriman, tujuan utamanya adalah untuk­menambahkan­dayaguna-nya kepada teks, agar melaluinya umat dapatlebih­terdorongkepada­devosi dan lebih baik diarahkan ­kepada penerimaan buah-buah ­rahmat yang dihasilkan oleh ­perayaan misteri-misteri yang ­paling kudus ­tersebut. Tra le Sollecitudini 2 Karena itu musik liturgis (sacred music) … harus kudus, dan harus tidak memasukkan segala bentuk profanitas, tidak hanya di dalam musik itu sendiri, tetapi juga di dalam cara pembawaannya oleh mereka yang memainkannya. Tra le Sollecitudini 5 Gereja telah ­selalu mengakui dan menyukai ke- majuan dalam hal seni, dan men- erima bagi pelayanan agama semua yang baik dan indah yang ditemukan oleh para pakar yang ada sepan- jang ­sejarah — namun demikian, selalu sesuai dengan kaidah- kaidah liturgi. Karena itu musik modern juga ­diterima Gereja, sebab musik ­tersebut menyelesaikan komposisi dengan keistimewaan, keagungan dan ­kedalaman, sehingga bukannya tak layak bagi fungsi-fungsi liturgis. Namun karena musik modern ­telah timbul kebanyakan untuk ­melayani penggunaan profan, maka ­perhatian yang khusus harus ­diberikan sehubungan dengan itu, agar komposisi musik dengan gaya modern yang diterima oleh Gereja tidak mengandung apapun yang profan, menjadi bebas dari sisa-si- sa motif yang diangkat dari teater, dan tidak disusun bahkan di dalam ­bentuk- bentuk teatrikal seperti cara menyusun lagu- lagu profan. Harus dibedakan bahwa untuk lagu-lagu liturgis, lagu bukan ­hanya ­sebagai ungkapan perasaan ­tetapi ungkapan iman (lex orandi lex ­credendi). 2. Adanya tari-tarian yang ­menyerupai pertunjukan/ ­performance diadakan dalam ­perayaan Ekaristi, kemudian ­diikuti dengan tepuk tangan umat. Seharusnya: RS 78 … Perlu dihindarkan ­suatu Perayaan Ekaristi yang hanya ­dilangsungkan sebagai pertunjukan atau menurut gaya ­upacara-upacara lain, termasuk upacara-upacara ­profan: agar Ekaristi tidak kehilangan artinya yang otentik. Direktorium tentang ­Kesalehan Umat dan Liturgi 17 …. Di kalangan ­sejumlah suku, nyanyian secara ­naluriah terkait dengan tepuk tangan, gerak tubuh secara ritmis, dan ­bahkan tarian. Ini semua adalah bentuk lahiriah dari gejolak batin dan merupakan bagian dari tradisi suku ….
  • 11. 11 Jelas, itu hendaknya menjadi ­ungkapan tulus doa jemaat dan tidak sekedar menjadi tontonan… Paus Benediktus XVI dalam The Spirit of the Liturgy (San Francisco: ­Ignatius Press, 2000), p. 198: “Adalah suatu kekacauan untuk mencoba ­membuat liturgi menjadi “menarik” dengan memperkenalkan tarian pantomim (bahkan sedapat mungkin ­ditarikan oleh grop dansa ternama), yang ­sering kali (dan benar, dari sudut ­pandang profesionalisme) berakhir dengan ­applause -tepuk tangan. Setiap kali tepuk tangan terjadi di tengah liturgi yang disebabkan oleh semacam prestasi manusia, itu ­adalah tanda yang pasti bahwa esensi liturgi telah secara total hilang, dan telah ­digantikan dengan semacam ­pertunjukan religius. Atraksi sedemikian akan memudar dengan cepat- ia tak dapat bersaing di arena pertunjukan untuk mencapai kesenangan (leisure pursuits), dengan memasukkan tambahan berbagai bentuk gelitik religius.” Kardinal Arinze ­menjelaskannya ­demikian:bahwapada­budaya-budaya tertentu (yaitu di Afrika dan Asia), ­tarian menjadi bagian yang tak ­terpisahkan dari cara penyembahan, namun gerakan ini adalah ‘graceful movement‘ untuk menunjukkan suka cita dan penghormatan, dan bukan ‘performance‘. Dalam budaya ini, gerakan ­tersebut ­dapat diadakan dalam ­prosesi ­perayaan Ekaristi, namun ­bukan ­sebagai ­pertunjukan. ­Sedangkan di tempat- tempat lain di mana tarian tidak menjadi bagian dari ­penyembahan/ penghormatan ­(seperti di Eropa dan Amerika) maka memasukkan tarian ke dalam ­perayaan Ekaristi menjadi tidak ­relevan. 3.Bandmasukgerejadan­digunakan sebagai alat musik liturgi. Seharusnya: Tra le Sollecitudini 19 Penggunaan alat musik piano tidak ­diperkenankan di gereja, sebagaimana juga alat musik yang ribut atau berkesan tidak serius(frivolous), seperti drum, cymbals, bells dan sejenisnya. Tra le Sollecitudini 20 Dilarang keras menggunakanalatmusikbanddidalam gereja, dan hanya di dalam kondisi- kondisi khusus ­dengan ­persetujuan Ordinaris dapat ­diizinkan ­penggunaan alat musik tiup, yang ­terbatas ­jumlahnya, dengan ­penggunaan yang bijaksana, sesuai dengan ukuran tem- pat yang tersedia dan komposisi dan aransemen yang ditulis dengan gaya yang sesuai, dan sesuai dalam segala hal dengan ­penggunaan organ. Maka diperlukan izin khusus untuk menggunakan alat-alat musik lain, terutama jika alat tersebut dapat memberikan efek ribut/ keras, dan berkesan profan/ tidak serius.
  • 12. 12
  • 13. 13 KOLOM “RUMAH JOSS” | TARGET & FOKUS Yoseph Tien Wakil Ketua ­KomIsi Kepemudaan di ­Keuskupan Agung Medan 14 TARGET DAN FOKUS S iang ini saya belajar lagi tentang target, sasaran yang ingin dicapai, melalui sebuah permainan ­sederhana “Dart”. Untuk menuju sasaran ­secara tepat ­dengan ­perolehan angka tertinggi, ­semuanya butuh perjuangan dan ­pengorbanan. Semuanya butuh waktu dan proses. Latihan dan latihan terus menerus, tampaknya akan menentukan anak panah meluncur mengenai ­sasaran secara tepat atau tidak. Disini ­dibutuhkan: arah dan titik sasaran, sudut lemparan, kecepatan dan ketepatan lemparan. Sejatinya setiap kita harus punya ­target...dalam hal apa saja...dalam hidup pribadi...pada aspek kognitif, afeksi, maupun konatif. Pada aspek spiritualitas, kesehatan, keuangan, relasi sosial, juga dibutuhkan target tertentu. Itulah pencapaian-penca- paian yang kita inginkan-yang kita harapkan-yang kita impikan. Kalaupun dalam proses ke arah ­sasaran, ada seonggok ketertundaan, target meleset, bangun lagi, berlatih lagi dan terus kejar target itu. Sesungguhnya target tak pernah bergeser, semangat kita yang bisa berubah setiap waktu. ­Selanjutnya, problem pokoknya bukan pada saat engkau jatuh, tetapi ­bagaimana ­engkau bangkit dari setiap ­kejatuhanmu. Jadi, mari tetapkan target kita dan berlatih mencapainya. Mulailah dari yang kecil dan sederhana, mulai dari diri sendiri, mulailah dari sekarang, semangat dan tetap fokus! Sementara itu, tentang fokus, mentor saya Bang Ikhwan Sopa, penulis buku “Manajemen Pikiran dan Perasaan”, pernah menulis demikian: “Fokus itu tentang tujuan. Fokus itu fleksibel dalam pendekatan, tetapi tetap teguh dalam prinsip. Fokus itu bukan hanya cupet seperti berkaca mata kuda. Agar semakin fokus, perluaslah ­wawasan. Fokus itu mengharuskan adanya berbagai hal yang tidak ­jelas sebagai nuansa lingkungan. Jika ­semuanya jelas di dalam frame, maka itubukanlahfokus.Perluas­bingkainya dan masukkan yang tidak terlalu jelas ke dalamnya. Dari situ, kita akan tahu perbedaannya dan tahu bagaimana harus berfokus. Fokus, tidak sama dengan katak dalam tempurung!”
  • 14. 1414 OPINII | PENDIDIKAN Eka Dalanta Tarigan Founder @ KemanaAja. com Owner @ BrandTalkID
  • 15. 15 D ari mana ditakar nilai keindonesiaan kita? ­Apakahdaribahasayangkitagunakan?Atau dari nama yang melekat di diri kita. Seperti namasaya­misalnya,bagimasyarakatsesukusaya, sangat mudah menilai bahwa saya adalah bagian dari mereka hanya dengan ­mengandalkan nama saja. Lalu apakah nilai keindonesiaan kita dinilai dari itu? Saya pikir tidak! Lalu apa keindonesiaan itu? INI INDONESIA? Ilustrasi: HipWee.com -- Herman Damar 15
  • 16. 16 Yang paling pantas disebut ­dengan Keindonesiaan adalah sesuatu yang melekat dalam pikiran saat ­menyebutkan Indonesia. Sesuatu yang muncul dalam pikiran saat ­menyebut Indonesia. Buat saya, Indonesia selalu muncul sebagai negeri yang kaya raya bertanah subur dengan hasil alam yang ­melimpah. Seperti yang biasa saya terima ­sejak di bangku ­sekolah dasar. ­Perjalanan saya ke beberapa bagian kecil Indonesia ­mengukuhkannya. Dalam setiap perjalanan saya saya selalu bertemu dengan keinda- han, pemandangan tropis yang selalu membuat saya ­berdecak kagum. ­Keanekaragaman budaya, ­keramahannya, ­kesediaannya ­menolong yang itu selalu ­bergandengan dengan ironi. Di dekatnya, kemiskinan selalu melekat. Saya memang tidak lahir ­sebagai anak orang kaya. Saya akrab ­dengan dunia pasar dan keseharian masyarakat awam. Tapi saya masih bisa bersekolah hingga tingkat universitas -walau untuk itu mesti membuat keluarga dan diri sendiri sedikit ngos-ngosan- bisa makan tiga kali sehari, bisa sesekali hang out dengan teman di kafe, bisa membaca buku dan mengoleksi buku kesukaan, bahkan sesekali bisa travelling. Dan perjalanan kali ini, membuat saya tersentak. Ini Indonesia? ­Benarkah ini masih Indonesia? Di belahan manakah ia dalam peta ­kesejahteraan yang digaung-gaung- kan itu? Apa ini sudah ada yang tahu? Atau memang sengaja tutup mata? Kenapa ­pembangunan tidak merata. Kata-kata itu terus ­menghantui pikiran. Mencoba mencari ­kepastian, membangunkan diri dari mimpi ­buruk sebuah realitas tetang ­Indonesia. Hari itu, saya bertugas sebagai ­penulis skrip untuk video profil ­sebuah lembaga swadaya masyarakat di Sumatera Utara. Bersama dengan dua orang pendamping dari yayasan, saya dan dua orang rekan kerja ­lainnya berangkat menuju sebuah desa kecil di Kecamatan Sibolangit, Sumatera Utara. Desa Laja namanya “Di mana itu bang?”tanya saya pada salah satu staf.“Ah, kau juga belum pernah kemari,”kata teman yang lain protes pada saya karena tidak tahu tempatnya.“Orang Karo juga tidak semua tahu ya?”Sindirnya lagi. “Ah… tak usah dibahas lah, bang seberapa jauhnya. Nanti jadi enggak selera berangkat dan mual sebelum sampai,”kata staf yayasan yang lain sambil bercanda. Dalam pikirian, saya hanya membayangkan rute ­perjalanan yang hanya jauh. “Sekitar 3 jam lah, tapi kita harus naik motor trail,”lanjutnya lagi. ­Bayangan terburuk saya ternyata hanya ­separuh dari kenyataan perjalanan ­sesungguhnya. Berbekal 5 nasi bungkus, minuman botol, rasa percaya diri, ­mengendarai 3 sepeda motor kami menuju lokasi tujuan. Meninggalkan jalan ­besar ­Jamin Ginting kami memasuki perkampungan masyarakat Karo di Simpang Pasar Baru, ­Sibolangit. ­Melewati jalanan Desa Rumah ­Kinangkung. Jalanan beraspal ­sudah habis. Jalanan tanah sudah ­menyambut di depan. 300 meter kemudian, jalanan tanah sudah habis diganti jalanan tanah basah dan licin kemudian berganti dengan jalanan berlumpur. Walah… apa ini? ­Butuh tenaga ekstra agar motor tidak ­terhalang jalannya. Saya yang berada dalam boncengan harus selalu berpegangan erat. Gila… saya tidak akan berani mengendarai motor di jalanan seperti itu. Di kiri atau kanan jalan –bergantian- jurang dalam dan dangkal siap menam- pung. Sementara itu jalanan ber-
  • 17. 17 lumpur terkadang berbelok menurun dan menukik tajam ke atas diganti ­jalanan berbatu besar dan berserpih. Beberapa kali saya harus turun dan berjalan kaki demi keamanan. Celana jeans saya sudah digulung ke atas agar nyaman. Sepatu kets saya sudah tidak jelas lagi ­bentuknya. ­Bercampur tanah lembek dan rumput kering. Kepala saya panas didera angin gerah siang. Teman saya Anto dan Onny, harus merela- kan sandal gunungnya yang tak kuat ­menarik gravitasi dari lumpur. Sesekali ­motor harus didorong atau diangkat. Sekali kami melihat ular melintas mencoba ­menyambut perjalanan kami. ­Sembari tak lupa juga kami menikmati keindahan alam. ­Pengobat lelah dan penat. ­Menghirup hijau klorofil dan ­keluasan ­semesta. Saya merasa kerdil di tengah alam begini. Kami melewati beberapa ­perkampungan. Kami telah masuk ke dalam hutan tropis. Saat beristirahat setelah setengah perjalanan sebuah pemandangan membuat saya tidak bisa tidur malamnya. Dua bocah kecil berjalan akrab di tengah hutan itu. Mereka mengenakan seragam putih merah. Baru pulang sekolah. Sebuah kantong plastik menjadi wadah ­penyimpan buku-buku. Seragam putih itu telah terkena lumpur, rok dan celana merah itu telah berubah warna. Tidak ada alas kaki. Kaki- kaki mungil itu penuh lumpur dan ­bersisik. Perjalanan mereka ke sekolah ­membutuhkan waktu 2 jam ­berjalan kaki. Mereka telah melewati ­jalanan yang kami lalui tadi. Juga ­melewati sungai yang kami lalui atau ­jalan potong lain yang sama saja. Namun bagi mereka itu sudah menjadi ­ keseharian dan tak perlu ­diperdebatkan apalagi dikeluhkan. Sambil berjalan mereka bisa men- cari buah hutan, serangga hutan, ­bermain rumput, mencari belalang atau capung. Tapi hati kecil saya sulit menerima. “Ya… Tuhan… Terima kasih buat hari ini. Saya bisa melihat dari dekat, belajar banyak dari mereka, dan ­menjejakkan kaki pada bumi.” ­Kesadaran yang tumbuh. Dan hati kecil saya masih terus bertanya,“Di bagian mana Indonesia lagi yang seperti ini?” Setibanya di Desa Laja, kami ­disambut dengan suguhan buah durian dan duku. Rasa lelah masih tersisa. Tapi saya menyerap ­banyak hal, ­termasuk gotong-royong ­memperbaiki sumber air bersih di sungai yang terkena longsor, tanpa pamrih demi kepentingan bersama. Inilah Indonesia yang sesungguhnya. Namun begitu tidak ­terbayangkan bila harus tinggal di sana. Lain ­ceritanya kawan jika saya memang sedang ingin trekking ke dalam ­hutan. Untuk tinggal di sebuah ­tempat seperti itu, saya berdoa, “­Tuhan, jangan, ku mohon!.”Satu hal lagi yang akan terus saya ingat, seberapa berjelagapun kemiskinan itu, miskin nurani adalah yang paling hina.
  • 18. 18 SASTRA | VELANGKANNI P agi, seperti biasa. Surya menguak cahya dari ufuk Timur. Namun, aku ­mengistimewakan pagi ini ­untuk suatu tujuan. Sebuah ­rumah ibadah. Tak jauh dari kediaman pribadi dan yang ­terpenting ini: hening. Sebuah keheningan bisa jadi ­teramat penting. Jika hiruk lalu-lintas di ­jantung kota bisa kalah bising dengan gemuruh kerja otak, ini menandakan sesuatu tidak ­beres. Coba mengutip nasihat orang ­bijak“menyeimbangkan”. Hmmm. ­Sebenarnya, aku lebih ingin ­bungkam saja swara-swara tersebut. Atau lebih asyiknya dimisalkan cecuit-cecuit burung gereja taling-tarung berebut betina. Derak terali sepeda motor turut bersumbang swara menuju‘syurga hening’. Aku sempatkan mengumpat debu kemarau yang berebut masuk ke lubang hidung. Sedikit nanar, di mulut gang rumah, kulihat sesosok manusia. Tiada bertangan. Tak pernah kutahu namanya. Namun, lebih ­mudah dikenali karena ia cacat tangan, dan berjualan tape. Ia ­mencari-cari sinar mataku. Aku ­melihat bola matanya. Kami tak ubahnya dokter mata dan pasien. Tetapi tidak jelas, siapa dokter dan pasien. “Mas, hendak pigi kemana?,”ia ­membuka cakap sembari senyum. “Velangkanni,”jawabku sekenanya. Aku kurang suka senyum pria ini. Setiap kali bersua dengan sepeda penjaja tape yang dikemudi ­dengan dadanya, ia selalu tersenyum. Acap kali seperti ejekan. Aku yang ­bertubuh lengkap, malas tersenyum. Berkebalikan dengannnya.“­Apakah aku harus tak bertangan untuk ­tersenyum,”rutuk dalam hatiku. “Saya minta tolong. Numpang ­diboncengin ke (Rumah Sakit) Adam Malik,”pintanya. VELANGKANNI Ananta Bangun anantabangun.com Redaktur Tulis di ­Lentera News
  • 19. 19 “Ndak ada becak?” “Ndak ada duit.” “Lho? Hmm. Ya, sudah. Pulang, sendiri ya.”Ia mengangguk. Aku masih belum tanya nama. Derak terali sepeda motor dan swara pria di belakang kini berpadu ria. Pun, sebuah firasat ia berbicara ­sesenggukan. Ya, Tuhan. Jangan bilang ia sedang menitikkan air mata. “Saya baru mendapat surat BPJS, mas,” ia bertutur ­sendirian.“Untuk operasi mata anak saya. Saya ndak tega setiap kali dia minta dibeliin krayon warna untuk menggambar.” “Putri saya ini juga bilang bercita- cita jadi penemu. Agar saya punya tangan utuh. Dan bisa ­menggambar ­bersama. Ekh”. Ban motorku ­terjerembab satu lubang ­peninggalan semenjak zaman penjajah. Dan ­menyela cakapnya. Tak tahan bungkam, aku nyahut: “­Memang anak kam, sakit apa?” “Ndak tahu.” “Lho? Kok dioperasi.” “Kata dokter. Tapi, saya sudah syukur bisa dapat surat ini. Sudah 3 minggu bolak-balik kantor pemerintah, baru dapat sekarang.” Ia pun sedu sedan mengalami ­perlakuan tak adil selama proses ­pengurusan tersebut. Terzolimi. “Yeahhh,”aku dengus nafas berat. “Kalau yang begituan, musti ada duit dulu.”Memang pelik, fikirku, layanan untuk orang kurang duit harus setor duit laiknya orang bergelimang duit. Dan cecuit-cecuit burung galak ­kembali riuh di kepalaku. Kami tiba (akhirnya).“Terima kasih ya, Mas. Mau ke Velangkanni untuk apa?” ia tak henti juga bercakap.“Berdoa,” aku sedikit risih. Mungkin, ia kira hendak berfoto gaya dan pajang di Facebook segala. Tapi, dengan segala umpatan rutuk tadi sepertinya bukan awal tepat mengawali doa. Karenanya, aku sedikit kaget saat ia meminta:“Tolong doakan anak saya ya, Mas,”pintanya dengan lirih. Aku menatap wajahnya. Benar, ia sedang menitikkan air mata. ---- Kini, aku bersimpuh di ­bantalan bangku Velangkanni. Hanya ­permintaan pria tiada bertangan itu tersisa sebagai ngiang. Cecuit-cecuit tak lagi menjepit relung jiwa. Hanya ngiang permintaan pria itu, dan kibas putaran kipas angin sedikit mengusik. Aku pun tenggelam dalam hening. “Sayang, aku lupa tanya namanya,” aku membathin. Aku pun merasa amat kecil kini. Kesal dan bising-bising itu tak lagi memamah kewarasanku. Hanya aku, mendekap punggung bangku. ­Berdoa untuk seorang insan tak kukenal namanya, agar matanya ­sembuh. Berdoa untuk seorang ayah tak bertangan. Dalam doa, aku merasa tak bermata dan bertangan. Hingga air mata ­berlinang sendiri. “Puji syukur atas kemurahan-Mu, Tuhan,”aku membathin lagi. Dan, beringsut perlahan keluar, menuruni lekuk tangga berundak kerikil kecil. Aku melap kerjap air mata tera- khir. Senja memeluk pinggang ­Velangkanni kini. ilustrasi: Velangkanni.blogspot.com
  • 20. 20 ILHAM SEHAT | OLAH RAGA 20 OLAHRAGA DENGAN KURSI KERJA
  • 21. 2121 J am kerja yang tinggi membuat karyawan lebih banyak menghabiskan waktu dengan duduk untuk bekerja. Secara tidak sadar, aktivitas itu malah mengurangi kegiatan fisik, yang justru berbahaya bagi kesehatan. Baiknya, selama di kantor kegiatan bekerja memang harus ­diselingi dengan aktivitas fisik yang bergerak. Para pakar ­kesehatan menganjurkan agar Anda berdiri dan berjalan-jalan setiap 30 menit sekali. Tidak mau berjalan karena pekerjaan Anda ­menuntut ­untuk selalu memantau pekerjaan secara online di ­komputer? Denny Santoso, pakar olahraga, memberikan tip ­melakukan olahraga dengan memanfaatkan kursi kerja. Cat cow stretch. Caranya, duduk dengan posisi punggung tegak dan kedua tangan memegang lutut. Tarik napas dan condongkan pinggang ke depan. Tahan beberapa detik. Embuskan napas, dan lengkungkan punggung ke ­belakang. Lakukan masing-masing sebanyak 10 repetisi dalam tempo lambat. Chair dip. Latihan ini berguna untuk melatih tubuh ­bagian atas. Caranya, berdiri membelakangi kursi dan ­tumpukan berat badan Anda dengan kedua tangan ­memegang ujung kursi. Pastikan kursi yang Anda pergunakan cukup kuat dan stabil menopang berat tubuh Anda. Angkat tubuh Anda dengan memberikan kontraksi otot dada, bahu dan trisep secara bersamaan. Turunkan tubuh secara perlahan ke bawah dengan posisi punggung tetap lurus, kemudian ­angkat tubuh Anda kembali. Ulangi gerakan ini sebanyak 8-10 kali. Sumber: http://www.readersdigest.co.id
  • 22. 22
  • 23. 23 LAPO AKSARA Ananta Bangun anantabangun.com Redaktur Tulis di ­Lentera News 23 Alkisah pada suatu masa di neg- eri Yunani, nama‘Prokrustes’ menimbulkan kegegeran. Siapa Prokrustes? Dalam ­bukunya ­“Ranjang Prokrustes”, Nassim Nicholas Taleb coba menuturkan sosok tersebut memiliki nama asli Damastes. Ia dijuluki Prokrustes yang berarti‘meregangkan’. Sang penjagal ini terkenal karena ­muslihatnya mengundang para musafir yang bertualang ke daerah Attica. Usai menjamu dengan suguhan nikmat. Ia mengajak tamunya untuk tidur di ranjang besi miliknya. Bila ukuran ranjang terlalu panjang, maka Prokrustes akan meregangkan tangan dan kaki tamunya hingga benar-benar pas. Acapkali hingga anggota tubuh tersebut lepas. Bila kaki tamunya terlalu panjang dari ukuran ranjang, ia akan memotongnya sesuai panjang ranjang tersebut. Prokrustes mungkin tak lebih dari satu cemooh yang dibungkus dalam sebuah epos. Perihal laku manusia menilai dan mengukur ­sesamanya. Terkotak-kotak dalam status, ­kepemilikan materi serta prestasinya. Tidak jarang pula‘ukuran-ukuran’ini menjagal keyakinan dan kehidupan banyak insan. Fanatisme Prokrustes untuk ­mendapatkan segala sesuatu ideal menurut egonya menjadi inspirasi Nassim Nicholas Taleb. Ia mencibir ego serupa yang mewabah pada masyarakat kita kini. Dalam aforisme di bukunya“Ranjang Prokrustes” Taleb mendapati banyak manusia yang ­sejatinya hendak mewujudkan sesuatu yang ideal terjebak dalam fanatisme Prokrustes. Ukuran ideal yang diterakan oleh sesama manusia, sayangnya, ­seolah ­tiada berkesudahan. ­Menilai ­kesalahan semasing laiknya ­pencaharian harta karun yang mesti ada. Karena kerasukan ruh Prokrustes ini, kita (juga saya) kerap lupa bahwa manusia itu lemah adanya. Kegusaran tersebut lah kiranya ­mendorong Rasul Paulus ­menorehkan pesannya, yang berlaku bagi kita. ­Yakni:“Berdasarkan kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, aku berkata kepada setiap orang di antara kamu: Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri ­menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing.”(Roma 12:3). Nasihat Paulus tersebut bukan ­sekedar berlaku bagi Jemaat di Roma. Sabda yang dicurahkan Allah dalam suratnya itu, telah memahami bahwa Prokrustes bukan sekedar legenda tentang satu pribadi. Ia ada ­sebagai laku yang menjangkiti. Inilah ­sebabnya, Firman Allah juga tiada henti menjadi rujukan. Sang Maha ­Rahim yang menilai kita bukan ­seturut ukuran manusia. RANJANG PROKRUSTES