3. Bekantan merupakan hewan endemik Indonesia yang tersebar di
seluruh Pulau Kalimantan, Sabah, Sarawak, dan Brunei Darussalam.
Bekantan merupakan hewan mamalia dari genus Nasalis. Bekantan
berasal dari species Nasalis Larvatus.
Dikutip dari IUCN Redlist, bekantan terdaftar dalam kategori hewan
yang terancam punah sejak tahun 2015. Di Kalimantan Selatan,
populasi bekantan hanya tersisa sekitar 3.500 ekor, data ini diambil dari
tahun 2022. Angka tersebut semakin berkurang seiringnya waktu
karena banyaknya peralihan lahan.
4. diketahui bahwa habitat bekantan
berada di Pulau Kalimantan, namun wilayah habitatnya semakin
berkurang akibat peralihan lahan dan kebakaran hutan. Bekantan
lebih senang tinggal di hutan campuran, hutan bakau, mangrove,
hutan dataran rendah yang dekat air tawar dan sungai. Bekantan
juga dikenal sebagai hewan arboreal, yaitu hewan yang tinggal di
pohon dan akan pindah dari satu pohon ke pohon yang lain.
5. Dilansir dari Pantau Gambut, bekantan dan rasau merupakan bagian dari
ekosistem gambut, lahan gambut sangat bermanfaat di alam liar karena
meningkatkan kesuburan dan populasi flora dan fauna pada daerah tersebut. Dalam
ekosistem gambut, bekantan memiliki fungsi sebagai pengatur silvikultur hutan
dengan memakan daun dan pucuk tanaman, termasuk tanaman rasau yang
kemudian tumbuh semakin lebat. Selain itu, pemberdayaan bekantan dalam
pengembangan ekowisata berbasis masyarakat juga dapat memberikan manfaat
ekonomi bagi masyarakat lokal.
Hilangnya bekantan juga dapat berdampak pada menurunnya kualitas
lahan basah dan populasi macan dahan di Kalimantan sehingga populasi bekantan
menjadi simbol hutan yang baik dan sehat di Kalimantan.
6. Untuk melestarikan bekantan dan mengatasi ancaman
kepunahan bekantan, pemerintah telah membuat
beberapa upaya seperti membuat tempat penangkaran,
baik ex-situ maupun in-situ. Tempat penangkaran
tersebut adalah Kawasan Konservasi Mangrove dan
Bekantan, Suaka Margasatwa Kuala Lupak, Taman
Wisata Pulau Bakut, Suaka Margasatwa Pulau Kaget,
Kebun Binatang Surabaya, dan Ragunan pada tahun
2018 silam.
7. Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan dibentuk pada tahun 2001
dengan luas 9 hektar. Tiga tahun kemudian, wilayah konservasi diperluas hingga 22
hektar. Pada awalnya kawasan konservasi ini hanya memiliki 6 bekantan (empat
jantan dan dua betina). Pada tahun 2022, populasi bekantan sudah meningkat
menjadi 40 ekor. Pihak KSDAE juga berhasil menyelamatkan 8 ekor bekantan saat
terjadi konflik satwa, bekantan tersebut akhirnya berhasil dikembalikan ke Suaka
Margasatwa Pulau Kaget.
Menurut penelitian yang dilakukan Mila Rabiati, Agus Priyono
Kartono,dan Burhanuddin Masyud, populasi bekantan di Kuala Lupak didominasi oleh
kelas umur dewasa (betina) dan remaja dengan jumlah 349 ekor untuk dewasa betina
dan 116 untuk remaja. Sedangkan, pada daerah konservasi Pulau Bakut dan Rawa
Gelam, populasi bekantan didominasi oleh kelas umur remaja.
Meskipun populasi kelas umur anak rendah, hal ini tidak bisa menjadi satu-
satunya indikasi penurunan tingkat kelahiran. Namun ada baiknya jika pemerintah
memberi perhatian lebih terhadap satwa di Pulau Kalimantan. Terlebih lagi sedang
berlangsung pembangunan ibu kota baru yang akan memakai sebagian besar habitat
hewan liar.
8. Dalam menangaini penurunan populasi bekantan, pemerintah dapat
memastikan penangkaran in-situ untuk bekantan memenuhi syarat dan sesuai
dengan tempat tinggal bekantan di alam liar, menempatkan pos pengamatan
untuk memantau dan menjaga bekantan dari pemburu liar. Mengamati jalan
yang sering dilewati bekantan agar mereka tidak tersangkut kabel listrik seperti
di Pararawen. Memperbanyak vegetasi yang dikonsumsi bekantan serta
memperketat pengecekan di arus keluar masuk Kalimantan untuk menghindari
penyelundupan anak bekantan. Pemerintah juga harus menjaga ketentraman
anatara warga sekitar dengan satwa liar agar mengurangi jumlah konflik satwa,
terlebih lagi di daerah dekat penagkaran ex-situ bekantan.
Pemerintah juga harus mempertahankan kualitas bekantan agar tetap
bagus dalam bidang kesehatan. Hal ini harus diperhaitkan karena habitat
bekantan yang semakin kecil dan terpecah-pecah, kelompok besar biasanya
terpecah menjadi beberapa bagian dan berpencar. Kelompok kecil tersebut
pun akhirnya melakukan persilangan saudara untuk melanjutkan keturunan.
Hal ini membuat kualitas anak bekantan semakin buruk.