SlideShare a Scribd company logo
THE FEEL OF SILK
Pelarian Cinta Seorang Gadis Australia dan Pencarian Cinta Sejati
Seorang Bangsawan Portugis
Oleh
JOYCE DINGWELL
Alih Bahasa
BERTI NURUL KHAJATI
Diterbitkan pertama kali pada tahun 1967 oleh Mills & Boon Limited, 50 Grafton
Way, Fitzroy Square, London, England.
SBN 373-01342-6
Semua karakter dalam buku ini tidak nyata melainkan hanya rekaan penulis, dan
tidak hubungannya dengan siapapun yang memiliki nama yang serupa, bahkan
tidak terinspirasi oleh seseorang baik yang dikenal maupun tidak dikenal oleh
penulis. Semua kesamaan hanyalah kebetulan belaka.
BAGIAN KEDUA
Asia Timur seperti cheongsam, batin Faith terpesona. Karena hari-hari di
pelabuhan yang berlalu dengan cepat itu berwarna, mengalir, bergerak.
Selembut sutera.
Faith merasa agak kecewa ketika pesiar-pesiar misterius yang telah
dinikmatinya di setiap pelabuhan sudah berakhir di sini, namun Victoria, ibukota
Hong Kong yang anggun di seberang sana tempat lokasi Cathay Queen
bersandar, mempunyai garis cakrawala yang menawan, sementara Kowloon
yang berdenyut, di sisi pelabuhan ini, segala sesuatunya padat dan mempesona,
sehingga bahkan tanpa dolar Hong Kongpun untuk membeli mutiara, gading,
mawar kristal, jutaan benda-benda indah lainnnya yang sedang ditawar para
turis, hidup masih terasa menggairahkan.
Faith berhenti mengikuti gadis-gadis itu menuruni jalan-jalan Shantung
dan Nathan yang mengagumkan di Kowloon, untuk menjelajahi beberapa dari
sekian banyak jalan-jalan ‘tangga’ di sisi Victoria yang menanjak perlahan,
dengan toko-toko di kedua sisinya, menaiki lereng terjal puncak itu.
Lalu ada Tiger Balm Gardens, gratis pula, dan meskipun Faith ingin
membeli tirai merah, sandal kayu berukir, memesan gaun sutera Thai dan
memintanya mengirimkan malam ini, nampaknya, itulah yang dilakukan di
Cathay Queen, dia sudah cukup puas dengan memandang, mencium dan
menyerap atmosfer timur.
Pria tinggi, gelap, tak seperti penumpang lain di kapal pesiar yang tetap
tinggal untuk perjalanan pulang, sudah meninggalkan kapal, dan meskipun Faith
gembira karenanya, tak lagi diingatkan pada saat-saat memalukan ketika pria itu
menyaksikan dirinya berpelukan di depan umum di taman itu, sesuatu yang
nampaknya tak pernah terjadi di negaranya sendiri, namun Faith masih tetap
menyimpan rasa penasaran tentangnya, mengapa dia di Australia, mengapa dia
kembali ke Hong Kong, kembali ataupun sekedar lewat, karena seharusnya dia
tetap tinggal bersama para turis di Cathay Queen.
Pada saat terakhir dari hari-hari yang menakjubkan, merasa lebih yakin
dengan wilayah itu dan terhadap dirinya sendiri, percaya diri bahwa dia tak perlu
ditemani oleh yang lain, dia tak mengharapkan untuk pergi bersama mereka,
meskipun mereka juga sekali lagi berbelanja di Kowloon, dia memutuskan untuk
pergi sendiri. Dia sudah dijamin hanya ada sedikit resiko. Orang Cina pada
dasarnya jujur dan kekerasan terhadap orang asing hampir tak diketahui.
Bahkan seorang gadis muda, bendahara kapal meyakinkan, bisa berjalan di
jalan raya kapan saja, hanyalah di bioskop dan televisi saja Hong Kong muncul
sebagai latar belakang misteri dan kejahatan.
Faith menuruni gang sempit, melepaskan diri dari sejumlah “pemandu”
yang menawarkan dirinya sendiri untuk membuat penawaran terbaik Kowloon,
dan menemukan jalannya ke Star Ferry, sebuah jalur eksklusif dari bis air yang
menyeberangi jalur pelabuhan setiap lima menit menuju ibukota Victoria di sisi
lainnya.
Kembali dia terpesona dengan jumlah dan kesibukanan kapal-kapal besar
dan perahu-perahu kecil dari adanya keluarga-keluarga yang benar-benar tinggal
di atas air hijau lumut yang harum itu, silhuet yang sedikit hina dari Victoria di
mana bis air hilir-mudik dan yang menarik, lagi lusuh, wajah Kowloon sekarang
tertinggal di belakang. Dia keluar dari dermaga Victoria dan berjalan santai
melewati hotel Mandarin yang megah, setengah berharap si Grandee
Spanyol ...dia menyebutnya demikian ...untuk muncul, karena Mandarin, dengan
penjaga pintunya yang cantik, udaranya yang khas kemewahan timur,
bagaimanapun juga menarik si Grandee. Dia tak akan muncul, tentu saja;
mungkin sekarang dia sudah keluar dari Hong Kong. Faith sedikit cemberut . Ke
mana pria Spanyol akan pergi dari sudut Cathay yang dulu?
Perhatiannya tertarik oleh butik-butik yang mengagumkankan di Queens
Road; dia sudah membaca bahkan gaya cantik Paris dan Roma tak dapat
menandingi pertunjukan ini. Dia berkelana dari salon ke salon, tanpa mengingat
di mana dia berbelok, karena di sana selalu ada pelabuhan dengan
menunjukkan tempatnya sendiri dengan tepat, dan jika air hijau lumut menjauh,
puncak Victoria naik secara menggiurkan di atas sana, dan seseorang hanya
perlu menaiki jalan tangga untuk melihat lokasi daratan.
Dia tidak tahu kapan dia keluar dari Queen, dari banyak jalan-jalan
modern lain yang menariknya dari kemolekan, tidak sampai hari tiba-tiba menjadi
gelap ...tapi bagaimana bisa menjadi gelap; sekarang masih siang, dan
cuacapun masih cerah?...bahwa Faith menyadari dia telah keluar jalur.
Bukan karena jalan ini yang tak pernah dilewati, pikirnya menyesal; jalan
ini penuh dengan manusia, meskipun mungkin gang yang terlalu sempit itulah
yang membuat kerumunan manusia tampak lebih padat, dan tentu saja ruangan
yang terbatas itu menghalangi sinar matahari.
Seketika dia berjalan dengan penuh kegembiraan dan tanpa sadar dia
berjalan dengan sedikit gugup dan dengan ketakutan. Dia hanya tak tahu di
mana dia berada, atau bagaimana dia bisa keluar lagi. Memang mudah
meyakinkan seseorang bahwa orang hanya perlu satu tanda untuk menemukan
pelabuhan, tapi di mana pelabuhan itu? Dan di mana puncak Victoria yang
menjulang tinggi? Semua yang bisa dilihat hanyalah gang yang gelap, semua
yang didengarnya hanyalah suara-suara nyaring dalam celotehan yang tak
pernah putus, dan tak sepatah kata pun bisa dipahaminya.
Pada pesiar-pesiar sebelumnya dia terkejut dan senang pada jawaban-
jawaban berbahasa Inggris untuk setiap pertanyaan yang diajukannya, dia puas
dijawab dengan kata-kata lembut, terbata-bata namun dapat dipahami. Buklet di
Cathay Queen yang dibagikan kepada penumpang menyatakan bahwa di
manapun orang akan menemukan seseorang yang berbahasa Inggris, maka
Faith, mencoba untuk tidak merasakan semua mata di sekitarnya memusatkan
perhatian kepada seorang wanita tanpa cheongsam, atau celana longgar, atau
kimono, satu-satunya orang yang berambut pucat, menanyakan jalan keluar
dengan sopan kepada penjaga kios.
Baru saja kata-kata meluncur dari bibirnya, dia sudah dikelilingi anak-
anak, di belakang anak-anak itu wajah-wajah penasaran para penjaja, pedagang
pasar, orang-orang, seperti dirinya, hanya lewat saja. Hanya dirinya, karena
kehilangan arah, yang tak lagi lewat.
“Kapal,” katanya mengenaskan, karena dia dapat melihat mereka tak
mengerti pertanyaannya, “air, jalan besar.” Apa lagi namanya? Queens. “Queens
Road,” teriaknya.
Celotehan-celotehan bahasa Kanton...dia memperkirakan itu bahasa
Kanton...semua yang diterimanya sebagai jawaban. Anak-anak mengelilinginya,
meminta, sebagaimana semua anak meminta, uang, atau oleh tangan-tangan
kecil yang tengadah dia memperkirakan itu uang, menyentuh pakaiannya,
sepatunya, orang tua, sambil mencoba menjauhkan anak-anak, makin mendekat
juga. Tiba-tiba Faith merasa takut, dia nampak dalam penjara manusia, dan
meskipun telah diberitahu bahwa mereka orang-orang yang sangat baik, masih
saja cerita-cerita dari televisi kembali menghantuinya, cerita kota sampan, Suzie
Wong, dan semuanya tak dapat dienyahkan dari benaknya sehingga dalam
kepanikannya Faith lari, lari membabi-buta.
“Jalan besar...Queens...kapal besar...star Ferry...ke mana, tolong, ke
mana?” Dalam kecemasannya Faith mengeluarkan dompetnya, dan ini hal
terburuk yang dapat dilakukannya, dia melihat hal ini seketika. Ini wilayah yang
sangat miskin, anak-anak ini mungkin bayi-bayi yang hanya mendapat makanan
pokok, dan sedikit uang yang dikeluarkannya seperti korek bertemu kapas.
Suara-suara kecil mereka meningkat seperti lengkingan belalang, tangan-tangan
coklat kecil mereka terulur dan terulur ke atas. Mareka tak akan
membahayakannya, orang tua mereka berusaha menarik anak-anaknya, namun
Faith ngeri sekarang, dia berlari ke mana saja dia bisa, dia terisak dalam
nafasnya. Dalam kebutaannya dia tak melihat mobil besar menapaki jalan
menuruni gang sempit ini, penjaga-penjaga toko menarik mundur kios-kiosnya
agar mobil itu dapat lewat, dia tak tahu sama sekali sampai menabrak bemper
mobil yang harus berhenti karena hanya dia sendiri dari semua orang di jalan itu
yang belum menepi.
Hal berikutnya yang dia tahu seorang sopir berseragam mendekatinya,
namun sebelum sopir Cina itu berbicara ada orang lain berbicara, berbicara
dalam bahasa Inggris asing yang sempurna yang sangat diingatnya, berkata,
“Apakah kau begitu gila, senorita, apakah kautak punya akal sehat sama sekali?”
Faith mendapati dirinya didorong ke dalam mobil besar itu, lebih merasa
daripada melihat bangsawan Spanyol itu naik di sebelahnya, lalu mobil itu
menapaki gang keluar lagi, memutari jaringan jalan-jalan...benarkah dia telah
berkelana sejauh ini?...lalu akhirnya menuju parkir caravanserai yang
dikaguminya sebelumnya, hotel Mandarin, udara dinginnya menghembus segar
dan mengundang ke luar jalanan yang panas, dan, setelah saat-saat Faith di
gang yang gelap dan padat, membuatnyn ingin berteriak lega.
“Aku baik-baik saja sekarang,” dia komat-kamit pada bangsawan Spanyol
itu, namun mungkin lebih baik tak mengatakan apapun. Pria itu memberikan
perintah kepada supirnya, dalam bahasa Cina yang lancar, dan mengabaikan
Faith sampai dia selesai. Lalu dia berpaling dan berkata secara formal, “Anda
kebingungan, senorita. Kurasa mungkin teh.”
Dia sedikit menyentuh lengan Faith dengan jari-jari yang dingin dan kuat,
dan, mengabaikan protes lemahnya, dia menuntunnya memasuki hotel besar itu.
Faith senang duduk di kursi besar yang nyaman di samping
jendela,mendapatkan udara yang terkontrol bukannya nafas bau dan panas di
gang itu. Dia patuh dengan rendah hati ketika, dengan isyarat perintah secara
naluri dari tangannya, pria itu menyuruhnya tetap tenang dan rileks sampai teh
pesanannya datang.
Bahkan kemudian dia tak mengizinkan Faith menyuarakan permintaan
maaf. Dia berkata dengan bahasa percakapan dengan bahasa Inggrisnya yang
jelas dan benar, melambaikan tangannya ke arah pemandangan di luar, “Victoria,
senorita, lebih memuaskan dipandang daripada kota kembarnya, kau setuju
bukan? Itu pasti pengaruh Inggris, di mana di Inggris, pohon-pohon itu selalu
muncul. Contohnya yang lembayung muda dan ungu tua itu bauhinnia; jika kau
menciumnya ada wangi limau Inggris.”
Faith berbisik bahwa pastilah Kowloon itu Inggris juga.
“Tapi tak pernah dalam penampilannya, senorita. Pemandangannya murni
Cina.” Sekarang lengan itu melambai ke kota di seberang pelabuhan.
“Kowloon artinya ‘sembilan naga’ ,” dia menjelaskan. “dan ini mengacu
pada sembilan kaki bukit granit pendek yang terkena erosi.” Dia tak mengizinkan
Faith menuangkan tehnya, sesuatu yang disukainya, karena dia masih
terguncang, namun sebaliknya dia tak menuangnya sendiri. Dia memandang
sekilas terutama dengan bangga kepada pelayan, dan seketika pelayanan
diberikan. Faith mempunyai perasaan bahwa bagi bangsawan Spanyol itu
semua pelayanan diberikan dengan segera dan dengan rendah hati.
Ketika pelayan sudah pergi, dia berkata dengan caranya yang kering,
“Kau baru saja berkata bahwa Kowloon itu Inggris. Namun tidak.”
“Hanya Victoria?”
“Bukan”
“Tapi anda berbicara dengan pengaruh Inggris - “
“Tepat sekali. Pengaruh, senorita. Hong Kong adalah koloni Inggris,
namun hanya menyewa selama sembilan puluh sembilan tahun.” Pria itu mulai
bercerita tentang sejarah koloni, tapi Faith mempunyai kesan ini hanyalah
permulaan dari hal yang lain. Sebuah ceramah, tak diragukan lagi, pada
spekulasi yang bodoh di negara asing jauh dari garis yang diterima.
Faith tak ingin diceramahi oleh pria ini; dia sudah mengalami celaannya
yang tenang tapi pasti, untuk semua yang dapat disebut dari tatapan dinginnya di
Hyde Park, mencela, jadi Faith menyela agak sembrono, “Anda menyebut limau
Inggris. Anda nampaknya tahu banyak tentang negara Inggris untuk seorang
Spanyol.”
Seketika Faith sadar celaan itu lebih pasti, bahkan penuh permusuhan,
daripada sensasi lain itu.
“Orang Spanyol, senorita?”
“Ya. Bukankah anda - maksudku, ya, maksudku - “
“Apa maksudmu?”
“Senorita,” kata Faith mengenaskan.
“Senhorita,” dia mengoreksi dengan dingin, dan untuk pertama kalinya
Faith mengenali bunyi samar sebelum suku kata kedua. Portugis. Pasti!
“Maaf,” kata Faith.
Pria itu melebarkan tangannya, tangan yang halus, agak kurus, kuku-kuku
yang sempurna. “Tak mengapa, “ katanya.
Dia belum makan, meninggalkan susunan kue-kue kecil dan daging manis
untuk Faith, namun ketika Faith tak makan juga, dia mengisyaratkan pelayan
yang melangkah tanpa suara untuk mengambil piring itu. Namun dia meminta
tehnya dituang lagi, dan saat pelayan itu sudah melaksanakan tugasnya dan
pergi, dia meminta izin Faith untuk merokok.
“Bagaimana jika kukatakan tidak?” Faith berkata menuruti gerak hatinya,
dia hanya tak bisa membayangkan seseorang mengatakan tidak pada pria ini.
Alis matanya terangkat dengan susah payah. “Senhorita?”
“Tak mengapa, itu bercanda.”
“Aku tak merasa itu canda, aku merasa itu kesimpulan bahwa aku akan
melakukan seperti yang kuinginkan baik kauizinkan maupun tidak.”
“Apakah wanita-wanita Portugis anda memberikan hak izin istimewa?”
lagi-lagi dia mengatakannya dengan kurang sopan.
Dia tak ragu memarahinya. “Kau berbicara dengan cita rasa yang buruk.”
“Ya. Aku minta maaf. Itu hanya - “
“Ya?”
“Anda begitu - agung. Begitulah aku menyebutmu. Bangsawan Spanyol.”
Faith tertawa ragu saat mengatakannya dan berkurang ketika pria itu benar-
benar balas tertawa.
“Hanya saya bukan.”
“Bukan bangsawan Spanyol?”
“Grandee kembali ka zaman Kastilian, Spanyol awal.”
“Dan anda orang Portugis.”
“Aku Marques de Velira.” Pria itu menatap Faith menunjukkan
derajatnya.”Jauh lebih bersahaja, dari seorang Grandee.”
“Seorang Marques?”
“Aku sengaja memberitahumu, senhorita, karena kau mungkin
mendengarnya dari sumber lain dan merasa malu bahwa kau belum tahu. Itu tak
berarti apa-apa. Di zaman modern seperti ini hal itu sangat tak berguna, dan
pada zamannya” - wajah zaitun halusnya sedikit mendung - “sebuah beban.”
Faith, untuk menghalau mawas diri yang membungkus pria itu, cepat-
cepat berkata, “Terima kasih, Yang Mulia. Apakah itu benar?”
“Tidak,” dia berkata keras seketika. “Kau tak boleh menyebutku dengan
cara itu lagi. Mengerti?”
“Ya, senhor. Apakah itu benar?”
Dia sedikit mendesah, desahan yang terlalu singkat yang bisa
dibayangkannya. “Kenyataannya benar, tapi -”
“Tapi, senhor?”
Dia mengangkat bahu, dan malah bertanya, “Mengapa kau berterima
kasih padaku?”
“Untuk menyelamatkanku dari rasa malu karena tak tahu gelar anda,
seperti yang kaukatakan, namun tentu saja, untuk tak bertemu anda lagi
sesudah nanti malam aku hampir tak berpikir -”
“Nanti malam?” Pertanyaan itu tajam.
“Cathay Queen berlayar pukul sebelas.”
Dia menatap lambaian asap biru dari rokok yang diambilnya dari kotak
bermonogram perak ketika meminta izin merokok. Aromanya tajamnya
menyenangkan, dan Faith berpikir betapa cocoknya rokok ramping yang elegan
dengan gaya estetisnya.
“Jadi kau berpikir bahwa tak perlu bagiku untuk memperkenalkan diriku,
senhorita?”
“Begitulah,” Faith mengakui, “kapal yang lewat di malam hari, senhor.
Sudah pasti aku takkan bertemu anda lagi.”
“Tidak?” dia membuat jawaban yang sangat malas, tapi entah bagaimana,
tak ada yang malas dalam kata itu sama sekali.
“Sekarang kau tahu ‘nama kapal’ku,” dia berkata dengan nada yang
sama, hampir tanpa perbedaan, “namun aku belum tahu ‘nama kapal’mu. Aku
tahu itu nona Black, nona F. Black, tapi -”
“Bagaimana kau tahu itu?”
“Itu penting, tentu saja.”
“Penting, senhor?”
“Kau suka menyelidiki, senhorita.” Dia menghembuskan nafas. “Ada daftar
penumpang, ingat?”
“Tapi tak disarankan untuk membacanya.”
“Kupikir kau sudah cukup menyelidiki. Namamu, tolong.”
“Kau telah memilikinya.”
“Aku Jacinto de Velira. Dan kau?”
“Faith,” Faith berkata. Dia menyerah karena tahu, meskipun dia
memberontak, bahwa akhirnya dia harus menyerah.
“Jadi.” Rokoknya sekarang dibuang. Dia menangkupkan ujung-ujung jari
yang kurus dan kuat, dia menatap Faith. “Fidelia, ya?”
“Senhor,” Faith sangsi.
“Ini nama yang digunakan di negara kami, berarti, seperti milikmu, orang
yang tepat. Ini bella, kupikir.”
“Cantik?” Faith menafsirkan. “Aku tak tahu. Aku hanya tahu bahwa
sebagai seorang anak sulit untuk sesuai.”
“Dan sebagai seorang wanita?” Pertanyaan itu datang setajam anak
panah, dan seketika pipi Faith terbakar. Pria itu mengingat sebagaimana Faith
mengingat pelukan itu. Namun untuk yang diketahuinya, Faith berpikir dengan
marah, itu adalah pelukan yang nyata.
Seolah membaca pikirannya pria itu berkata dengan lemah-lembut,
“Bahkan di Australia, yang mendukung kegiatan di luar rumah lebih dari kejadian
romantis, atau sebagaimana kutemui, aku tak berpikir bahwa para pecinta yang
berjanji dalam ikatan pernikahan akan berpisah.”
“Kau sangat salah,” Faith segera berkata, “Kelima rekan sekabinku semua
gadis yang bertunangan yang sedang berbelanja pakaian pengantin wanita di
Hong Kong.”
“Biarkan aku mengembangkan pernyataanku, senhorita, dan katakan kau
bukan bagian dari mereka.”
“Kau sangat kurang ajar, Marques.”
“Tapi benar? Bahwa lelaki muda itu sesungguhnya bukan apa-apa
bagimu?”
“Aku tak mau menjawab. Kau menuduhku menyelidik, tapi -”
“Kau tak perlu menjawab. Aku punya jawabanku sendiri, dan aku puas.
Kau tidak, dan belum bertunangan dengan orang itu.”
“Beraninya kau!”
“Ini tak termaafkan, kuakui, namun ini perlu kuketahui.”
“Mengapa?” Faith menuntut.
Dia mengangkat bahu, gerakan yang sering dilakukannya yang ditemukan
Faith.
“Ini bukan waktunya, senhorita.”
“Lalu kalau bukan sekarang takkan ada waktu lagi. Cathay Queen -”
“Berlayar nanti malam pukul sebelas.” Lagi-lagi dia mengangkat bahu.
Karena Faith duduk diam, bingung dan agak marah, dia berkata, “Aku
agak sedih karena Fidelia bisa berlaku seperti itu, dan sekalipun begitu,
kukatakan pada diri sendiri, mungkin ini benar-benar isyarat yang bagus, bahwa
dalam tablo kecil itu kau pasti menyesuaikan dengan namamu.”
“Senhor” - Faith mulai meninggi - “semua ini sangat menyakitkan! Aku
harus pergi sekarang.”
Dia meletakkan tanggannya di atas tangan Faith yang ada di atas meja
untuk menenangkan dirinya sendiri dan sentuhan itu ringan, namun itu
mendorongnya kembali.
“Aku belum menghukummu, senhorita.”
“Menghukumku?” Faith meledak.
“Oh, bukan untuk itu.” Dia melambaikan rokok yang dinyalakannya
kembali dan spiral asap biru dengannya. “Tidak untuk pelukan seorang gadis
muda di taman, untuk itu adalah kau, bukan, gadis muda?”
“Senhor, itu bukan urusanmu.”
“Mungkin. Bagaimanapun juga kita tak akan membicarakannya -
sekarang.”
“Atau selamanya.” Faith bertanya, matanya menyala, “Apa sebab lain
yang membuatku ‘dihukum’?”
“Kebodohanmu berjalan-jalan sendirian hari ini, perlu diselamatkan.”
“Ya,” Faith menyetujui dengan jujur, “Aku benar-benar pantas dicela untuk
itu. Namun bendahara kapal itu meyakinkanku bahwa itu aman -”
“Yang benar, senhorita, kau akan tetap aman.”
“Tapi anak-anak itu -” Faith memulai.
“Mereka hanya bereaksi sebagaimana semua anak di mana saja.”
“Lalu - ?”
“Itu masih bodoh. Kau tak memahami bahasa Kanton, mereka tak
memahami bahasamu. Ini mungkin terjadi, jika mengkin tak berbahaya, menjadi
saat-saat yang tak disukai dan mengkhawatirkan. Apa yang membuatmu pergi
sendiri?”
“Aku ingin melihat Hong Kong lebih dari sekedar jalan-jalan perbelanjaan.
Pada pelabuhan-pelabuhan sebelumnya aku sangat beruntung untuk beberapa
alasan. Aku dibagi perjalanan turis gratis.”
“Namun tidak di sini?” Dia berbicara spontan, ...terlalu spontan? ...dan
Faith memandangnya tajam untuk meneliti wajahnya. Mungkinkah dia - Namun
tidak, tentu tidak.
Faith menetapkan, “Tidak di sini.”
“Kau tidak biasa,” dia berkata, sedikit menilai. “Kau tak berkeinginan,
seperti kebanyakan turis, hanya menjelajahi toko.”
“Mungkin,” Faith mengaku, “aku akan, hanya -”
“Hanya, senhorita?”
“Uang, “Faith tersenyum. Dia menunggu sesaat, lalu meraih tas
tangannya. “Apakah aku telah dihukum sekarang, dan bolehkah aku pergi?”
“Kau terburu-buru?”
“Teman-temanku, rekan sekabin, mungkin khawatir.”
“Namun sebaliknya. Itu cukup bagi seseorang untuk merasa khawatir.”
“Seseorang?”
“Aku, senhorita.” Dia sedikit membungkuk. “Kau sangat kebingungan
ketika aku menubrukmu di gang itu.”
“Aku belum berterima kasih untuk hal itu,” Faith berkata sedikit kasar.
“Karena menubrukmu?” Pria ini mempunyai bahasa Inggris yang halus,
hampir cakap untuk pembicaraan ringan, pikir Faith. “Aku dididik di Inggris.” Lagi-
lagi, agak aneh, dia membaca pikirannya.
“Aku berterima kasih,” Faith berkata dengan formal, “atas pertolongannya,
dan membawaku minum teh.” Dia bangkit.
Faith agak terkejut, dia juga bangkit, tanpa membuat penolakan.
“Aku akan menyuruh sopirku mengantarmu sampai Star Ferry,” katanya.
Ketika mobil datang dan portir membukakan pintu, pria Portugis itu
membungkuk dengan sopan. “Ini sangat menyenangkan, nona Blake.”
“Kau - kau tak ikut?”
“Aku punya urusan di sini, namun sopirku akan mengantarmu
menyeberang, menemanimu ke kapal.”
“Itu tak perlu.” Untuk beberapa alasan Faith merasa diremehkan, bahkan
marah. “Aku sangat mampu -” Faith berhenti saat dia mengangkat tangan.
“Bom dias, nona Blake.”
“Selamat tinggal, senhor.”
“Aku tak mengatakan itu, aku tak mengatakan adeus, aku mengatakan
hari yang baik.”
“Aku mengatakan selamat tinggal.” Faith naik ke mobil dan
mencondongkan kepalanya dengan dingin kepada pria yang membungkuk
dengan dingin pula.
Mobil besar itu menjauh melalui lalu lintas macet ke pelabuhan di mana
sopirnya memarkirnya dengan hati-hati, lalu membeli dua tiket, kelas satu dan
kelas dua untuk penyeberangan singkat, mengawal Faith ke kompartemen
utama, lalu pergi ke ujung perahu yang lain, namun ketika ferry itu menuju
Kowloon dia di sana, sebagaimana diperintahkan, untuk menemani Faith ke
Cathay Queen.
Itu semua paling mengesankan dan Faith mungkin sudah memikirkan
senhor Portugis itu dengan baik jika saja dia sudah membuat dirinya sendiri
memikirkannya .
Namun, meraba-raba koin untuk memberikan tip kepada sopir dan
bertemu dengan tatapan penuh cela yang tentu saja mengejutkan Faith, karena
sampai sekarang dia belajar bahwa di Hong Kong seseorang pasti memberikan
tip dan seandainya tidak orang akan mengingatkan dengan memelas “Tippu?
Dollar tippu?” Faith terhukum, terkecam...mungkin semua kerendahan hati oleh
penerimaam yang sedikit tak diperkirakan dan sangat tidak berbeda ketika dia
menyatakan bahwa dia benar-benar harus pergi...takut akan memorinya pada
awalnya, lalu akhirnya, bertemu dengan Marques Jacinto de Velira.
(bersambung)

More Related Content

Viewers also liked

Portafolio de Química
Portafolio de Química Portafolio de Química
Portafolio de Química
Vanesa Gavin
 
Martin
MartinMartin
Martin
badsah13
 
CV Salma
CV SalmaCV Salma
CV Salma
Salma Khan
 
In-Class Blended Learning in a vocational school in Greece.
In-Class Blended Learning in a vocational school in Greece. In-Class Blended Learning in a vocational school in Greece.
In-Class Blended Learning in a vocational school in Greece.
Grundtvig Multilateral Project Quality in Blended Learning
 
Worksheets
WorksheetsWorksheets
Pulling Back the Cloud Curtain
Pulling Back the Cloud CurtainPulling Back the Cloud Curtain
Pulling Back the Cloud Curtain
Sagi Brody
 
Company Profile EITS! 2015
Company Profile EITS! 2015Company Profile EITS! 2015
Company Profile EITS! 2015
egha gets
 
Quality criteria for Blended Learning courses implemented via Virtual Worlds
Quality criteria for Blended Learning courses implemented via Virtual WorldsQuality criteria for Blended Learning courses implemented via Virtual Worlds
Quality criteria for Blended Learning courses implemented via Virtual Worlds
Grundtvig Multilateral Project Quality in Blended Learning
 
Silabus smp-ing-7
Silabus smp-ing-7Silabus smp-ing-7
Silabus smp-ing-7
Berti Subagijo
 
The feel of silk bagian pertama
The feel of silk bagian pertamaThe feel of silk bagian pertama
The feel of silk bagian pertamaBerti Subagijo
 
8/21 Keynote Speech 3
8/21 Keynote Speech 38/21 Keynote Speech 3
8/21 Keynote Speech 3
CDRI_snowshih
 
8/21 Keynote Speech 4
8/21 Keynote Speech 48/21 Keynote Speech 4
8/21 Keynote Speech 4
CDRI_snowshih
 
Gujranwala Medical College (GMC) Gujranwala Merit List 2014
Gujranwala Medical College (GMC) Gujranwala Merit List 2014Gujranwala Medical College (GMC) Gujranwala Merit List 2014
Gujranwala Medical College (GMC) Gujranwala Merit List 2014
Rana Waqar
 
Miri Tries a Legacy Chapter 12
Miri Tries a Legacy Chapter 12Miri Tries a Legacy Chapter 12
Miri Tries a Legacy Chapter 12
MiriVille
 
Untitled haiku-deck
Untitled haiku-deckUntitled haiku-deck
Untitled haiku-deck
Masanori Tanaka
 

Viewers also liked (15)

Portafolio de Química
Portafolio de Química Portafolio de Química
Portafolio de Química
 
Martin
MartinMartin
Martin
 
CV Salma
CV SalmaCV Salma
CV Salma
 
In-Class Blended Learning in a vocational school in Greece.
In-Class Blended Learning in a vocational school in Greece. In-Class Blended Learning in a vocational school in Greece.
In-Class Blended Learning in a vocational school in Greece.
 
Worksheets
WorksheetsWorksheets
Worksheets
 
Pulling Back the Cloud Curtain
Pulling Back the Cloud CurtainPulling Back the Cloud Curtain
Pulling Back the Cloud Curtain
 
Company Profile EITS! 2015
Company Profile EITS! 2015Company Profile EITS! 2015
Company Profile EITS! 2015
 
Quality criteria for Blended Learning courses implemented via Virtual Worlds
Quality criteria for Blended Learning courses implemented via Virtual WorldsQuality criteria for Blended Learning courses implemented via Virtual Worlds
Quality criteria for Blended Learning courses implemented via Virtual Worlds
 
Silabus smp-ing-7
Silabus smp-ing-7Silabus smp-ing-7
Silabus smp-ing-7
 
The feel of silk bagian pertama
The feel of silk bagian pertamaThe feel of silk bagian pertama
The feel of silk bagian pertama
 
8/21 Keynote Speech 3
8/21 Keynote Speech 38/21 Keynote Speech 3
8/21 Keynote Speech 3
 
8/21 Keynote Speech 4
8/21 Keynote Speech 48/21 Keynote Speech 4
8/21 Keynote Speech 4
 
Gujranwala Medical College (GMC) Gujranwala Merit List 2014
Gujranwala Medical College (GMC) Gujranwala Merit List 2014Gujranwala Medical College (GMC) Gujranwala Merit List 2014
Gujranwala Medical College (GMC) Gujranwala Merit List 2014
 
Miri Tries a Legacy Chapter 12
Miri Tries a Legacy Chapter 12Miri Tries a Legacy Chapter 12
Miri Tries a Legacy Chapter 12
 
Untitled haiku-deck
Untitled haiku-deckUntitled haiku-deck
Untitled haiku-deck
 

More from Berti Subagijo

Buku guru bhs inggris kls viii crc
Buku guru bhs inggris kls viii crcBuku guru bhs inggris kls viii crc
Buku guru bhs inggris kls viii crcBerti Subagijo
 
The feel of silk bagian kedua
The feel of silk bagian keduaThe feel of silk bagian kedua
The feel of silk bagian kedua
Berti Subagijo
 
Kelas 07 smp_bhs_inggris_siswa
Kelas 07 smp_bhs_inggris_siswaKelas 07 smp_bhs_inggris_siswa
Kelas 07 smp_bhs_inggris_siswa
Berti Subagijo
 
7 bahasa inggris_buku guru
7 bahasa inggris_buku guru7 bahasa inggris_buku guru
7 bahasa inggris_buku guruBerti Subagijo
 
The feel of silk bagian pertama
The feel of silk bagian pertamaThe feel of silk bagian pertama
The feel of silk bagian pertama
Berti Subagijo
 
An untold memory
An untold memoryAn untold memory
An untold memory
Berti Subagijo
 
Bs inggris 8 crc
Bs inggris 8 crcBs inggris 8 crc
Bs inggris 8 crc
Berti Subagijo
 
An untold memory
An untold memoryAn untold memory
An untold memory
Berti Subagijo
 
I really wanted to marry her
I really wanted to marry herI really wanted to marry her
I really wanted to marry her
Berti Subagijo
 
A chapter named bandungan
A chapter named bandunganA chapter named bandungan
A chapter named bandungan
Berti Subagijo
 
A scout's story
A scout's storyA scout's story
A scout's story
Berti Subagijo
 
An untold memory
An untold memoryAn untold memory
An untold memory
Berti Subagijo
 
Making sense of functional grammar
Making sense of functional grammarMaking sense of functional grammar
Making sense of functional grammar
Berti Subagijo
 
Making sense of functional grammar cover
Making sense of functional grammar coverMaking sense of functional grammar cover
Making sense of functional grammar cover
Berti Subagijo
 
Making sense of functional grammar preface
Making sense of functional grammar prefaceMaking sense of functional grammar preface
Making sense of functional grammar preface
Berti Subagijo
 

More from Berti Subagijo (15)

Buku guru bhs inggris kls viii crc
Buku guru bhs inggris kls viii crcBuku guru bhs inggris kls viii crc
Buku guru bhs inggris kls viii crc
 
The feel of silk bagian kedua
The feel of silk bagian keduaThe feel of silk bagian kedua
The feel of silk bagian kedua
 
Kelas 07 smp_bhs_inggris_siswa
Kelas 07 smp_bhs_inggris_siswaKelas 07 smp_bhs_inggris_siswa
Kelas 07 smp_bhs_inggris_siswa
 
7 bahasa inggris_buku guru
7 bahasa inggris_buku guru7 bahasa inggris_buku guru
7 bahasa inggris_buku guru
 
The feel of silk bagian pertama
The feel of silk bagian pertamaThe feel of silk bagian pertama
The feel of silk bagian pertama
 
An untold memory
An untold memoryAn untold memory
An untold memory
 
Bs inggris 8 crc
Bs inggris 8 crcBs inggris 8 crc
Bs inggris 8 crc
 
An untold memory
An untold memoryAn untold memory
An untold memory
 
I really wanted to marry her
I really wanted to marry herI really wanted to marry her
I really wanted to marry her
 
A chapter named bandungan
A chapter named bandunganA chapter named bandungan
A chapter named bandungan
 
A scout's story
A scout's storyA scout's story
A scout's story
 
An untold memory
An untold memoryAn untold memory
An untold memory
 
Making sense of functional grammar
Making sense of functional grammarMaking sense of functional grammar
Making sense of functional grammar
 
Making sense of functional grammar cover
Making sense of functional grammar coverMaking sense of functional grammar cover
Making sense of functional grammar cover
 
Making sense of functional grammar preface
Making sense of functional grammar prefaceMaking sense of functional grammar preface
Making sense of functional grammar preface
 

The feel of silk bagian kedua

  • 1. THE FEEL OF SILK Pelarian Cinta Seorang Gadis Australia dan Pencarian Cinta Sejati Seorang Bangsawan Portugis Oleh JOYCE DINGWELL Alih Bahasa BERTI NURUL KHAJATI Diterbitkan pertama kali pada tahun 1967 oleh Mills & Boon Limited, 50 Grafton Way, Fitzroy Square, London, England. SBN 373-01342-6 Semua karakter dalam buku ini tidak nyata melainkan hanya rekaan penulis, dan tidak hubungannya dengan siapapun yang memiliki nama yang serupa, bahkan tidak terinspirasi oleh seseorang baik yang dikenal maupun tidak dikenal oleh penulis. Semua kesamaan hanyalah kebetulan belaka.
  • 2. BAGIAN KEDUA Asia Timur seperti cheongsam, batin Faith terpesona. Karena hari-hari di pelabuhan yang berlalu dengan cepat itu berwarna, mengalir, bergerak. Selembut sutera. Faith merasa agak kecewa ketika pesiar-pesiar misterius yang telah dinikmatinya di setiap pelabuhan sudah berakhir di sini, namun Victoria, ibukota Hong Kong yang anggun di seberang sana tempat lokasi Cathay Queen bersandar, mempunyai garis cakrawala yang menawan, sementara Kowloon yang berdenyut, di sisi pelabuhan ini, segala sesuatunya padat dan mempesona, sehingga bahkan tanpa dolar Hong Kongpun untuk membeli mutiara, gading, mawar kristal, jutaan benda-benda indah lainnnya yang sedang ditawar para turis, hidup masih terasa menggairahkan. Faith berhenti mengikuti gadis-gadis itu menuruni jalan-jalan Shantung dan Nathan yang mengagumkan di Kowloon, untuk menjelajahi beberapa dari sekian banyak jalan-jalan ‘tangga’ di sisi Victoria yang menanjak perlahan, dengan toko-toko di kedua sisinya, menaiki lereng terjal puncak itu. Lalu ada Tiger Balm Gardens, gratis pula, dan meskipun Faith ingin membeli tirai merah, sandal kayu berukir, memesan gaun sutera Thai dan memintanya mengirimkan malam ini, nampaknya, itulah yang dilakukan di Cathay Queen, dia sudah cukup puas dengan memandang, mencium dan menyerap atmosfer timur. Pria tinggi, gelap, tak seperti penumpang lain di kapal pesiar yang tetap tinggal untuk perjalanan pulang, sudah meninggalkan kapal, dan meskipun Faith gembira karenanya, tak lagi diingatkan pada saat-saat memalukan ketika pria itu menyaksikan dirinya berpelukan di depan umum di taman itu, sesuatu yang nampaknya tak pernah terjadi di negaranya sendiri, namun Faith masih tetap menyimpan rasa penasaran tentangnya, mengapa dia di Australia, mengapa dia kembali ke Hong Kong, kembali ataupun sekedar lewat, karena seharusnya dia tetap tinggal bersama para turis di Cathay Queen. Pada saat terakhir dari hari-hari yang menakjubkan, merasa lebih yakin
  • 3. dengan wilayah itu dan terhadap dirinya sendiri, percaya diri bahwa dia tak perlu ditemani oleh yang lain, dia tak mengharapkan untuk pergi bersama mereka, meskipun mereka juga sekali lagi berbelanja di Kowloon, dia memutuskan untuk pergi sendiri. Dia sudah dijamin hanya ada sedikit resiko. Orang Cina pada dasarnya jujur dan kekerasan terhadap orang asing hampir tak diketahui. Bahkan seorang gadis muda, bendahara kapal meyakinkan, bisa berjalan di jalan raya kapan saja, hanyalah di bioskop dan televisi saja Hong Kong muncul sebagai latar belakang misteri dan kejahatan. Faith menuruni gang sempit, melepaskan diri dari sejumlah “pemandu” yang menawarkan dirinya sendiri untuk membuat penawaran terbaik Kowloon, dan menemukan jalannya ke Star Ferry, sebuah jalur eksklusif dari bis air yang menyeberangi jalur pelabuhan setiap lima menit menuju ibukota Victoria di sisi lainnya. Kembali dia terpesona dengan jumlah dan kesibukanan kapal-kapal besar dan perahu-perahu kecil dari adanya keluarga-keluarga yang benar-benar tinggal di atas air hijau lumut yang harum itu, silhuet yang sedikit hina dari Victoria di mana bis air hilir-mudik dan yang menarik, lagi lusuh, wajah Kowloon sekarang tertinggal di belakang. Dia keluar dari dermaga Victoria dan berjalan santai melewati hotel Mandarin yang megah, setengah berharap si Grandee Spanyol ...dia menyebutnya demikian ...untuk muncul, karena Mandarin, dengan penjaga pintunya yang cantik, udaranya yang khas kemewahan timur, bagaimanapun juga menarik si Grandee. Dia tak akan muncul, tentu saja; mungkin sekarang dia sudah keluar dari Hong Kong. Faith sedikit cemberut . Ke mana pria Spanyol akan pergi dari sudut Cathay yang dulu? Perhatiannya tertarik oleh butik-butik yang mengagumkankan di Queens Road; dia sudah membaca bahkan gaya cantik Paris dan Roma tak dapat menandingi pertunjukan ini. Dia berkelana dari salon ke salon, tanpa mengingat di mana dia berbelok, karena di sana selalu ada pelabuhan dengan menunjukkan tempatnya sendiri dengan tepat, dan jika air hijau lumut menjauh, puncak Victoria naik secara menggiurkan di atas sana, dan seseorang hanya perlu menaiki jalan tangga untuk melihat lokasi daratan.
  • 4. Dia tidak tahu kapan dia keluar dari Queen, dari banyak jalan-jalan modern lain yang menariknya dari kemolekan, tidak sampai hari tiba-tiba menjadi gelap ...tapi bagaimana bisa menjadi gelap; sekarang masih siang, dan cuacapun masih cerah?...bahwa Faith menyadari dia telah keluar jalur. Bukan karena jalan ini yang tak pernah dilewati, pikirnya menyesal; jalan ini penuh dengan manusia, meskipun mungkin gang yang terlalu sempit itulah yang membuat kerumunan manusia tampak lebih padat, dan tentu saja ruangan yang terbatas itu menghalangi sinar matahari. Seketika dia berjalan dengan penuh kegembiraan dan tanpa sadar dia berjalan dengan sedikit gugup dan dengan ketakutan. Dia hanya tak tahu di mana dia berada, atau bagaimana dia bisa keluar lagi. Memang mudah meyakinkan seseorang bahwa orang hanya perlu satu tanda untuk menemukan pelabuhan, tapi di mana pelabuhan itu? Dan di mana puncak Victoria yang menjulang tinggi? Semua yang bisa dilihat hanyalah gang yang gelap, semua yang didengarnya hanyalah suara-suara nyaring dalam celotehan yang tak pernah putus, dan tak sepatah kata pun bisa dipahaminya. Pada pesiar-pesiar sebelumnya dia terkejut dan senang pada jawaban- jawaban berbahasa Inggris untuk setiap pertanyaan yang diajukannya, dia puas dijawab dengan kata-kata lembut, terbata-bata namun dapat dipahami. Buklet di Cathay Queen yang dibagikan kepada penumpang menyatakan bahwa di manapun orang akan menemukan seseorang yang berbahasa Inggris, maka Faith, mencoba untuk tidak merasakan semua mata di sekitarnya memusatkan perhatian kepada seorang wanita tanpa cheongsam, atau celana longgar, atau kimono, satu-satunya orang yang berambut pucat, menanyakan jalan keluar dengan sopan kepada penjaga kios. Baru saja kata-kata meluncur dari bibirnya, dia sudah dikelilingi anak- anak, di belakang anak-anak itu wajah-wajah penasaran para penjaja, pedagang pasar, orang-orang, seperti dirinya, hanya lewat saja. Hanya dirinya, karena kehilangan arah, yang tak lagi lewat. “Kapal,” katanya mengenaskan, karena dia dapat melihat mereka tak mengerti pertanyaannya, “air, jalan besar.” Apa lagi namanya? Queens. “Queens
  • 5. Road,” teriaknya. Celotehan-celotehan bahasa Kanton...dia memperkirakan itu bahasa Kanton...semua yang diterimanya sebagai jawaban. Anak-anak mengelilinginya, meminta, sebagaimana semua anak meminta, uang, atau oleh tangan-tangan kecil yang tengadah dia memperkirakan itu uang, menyentuh pakaiannya, sepatunya, orang tua, sambil mencoba menjauhkan anak-anak, makin mendekat juga. Tiba-tiba Faith merasa takut, dia nampak dalam penjara manusia, dan meskipun telah diberitahu bahwa mereka orang-orang yang sangat baik, masih saja cerita-cerita dari televisi kembali menghantuinya, cerita kota sampan, Suzie Wong, dan semuanya tak dapat dienyahkan dari benaknya sehingga dalam kepanikannya Faith lari, lari membabi-buta. “Jalan besar...Queens...kapal besar...star Ferry...ke mana, tolong, ke mana?” Dalam kecemasannya Faith mengeluarkan dompetnya, dan ini hal terburuk yang dapat dilakukannya, dia melihat hal ini seketika. Ini wilayah yang sangat miskin, anak-anak ini mungkin bayi-bayi yang hanya mendapat makanan pokok, dan sedikit uang yang dikeluarkannya seperti korek bertemu kapas. Suara-suara kecil mereka meningkat seperti lengkingan belalang, tangan-tangan coklat kecil mereka terulur dan terulur ke atas. Mareka tak akan membahayakannya, orang tua mereka berusaha menarik anak-anaknya, namun Faith ngeri sekarang, dia berlari ke mana saja dia bisa, dia terisak dalam nafasnya. Dalam kebutaannya dia tak melihat mobil besar menapaki jalan menuruni gang sempit ini, penjaga-penjaga toko menarik mundur kios-kiosnya agar mobil itu dapat lewat, dia tak tahu sama sekali sampai menabrak bemper mobil yang harus berhenti karena hanya dia sendiri dari semua orang di jalan itu yang belum menepi. Hal berikutnya yang dia tahu seorang sopir berseragam mendekatinya, namun sebelum sopir Cina itu berbicara ada orang lain berbicara, berbicara dalam bahasa Inggris asing yang sempurna yang sangat diingatnya, berkata, “Apakah kau begitu gila, senorita, apakah kautak punya akal sehat sama sekali?” Faith mendapati dirinya didorong ke dalam mobil besar itu, lebih merasa daripada melihat bangsawan Spanyol itu naik di sebelahnya, lalu mobil itu
  • 6. menapaki gang keluar lagi, memutari jaringan jalan-jalan...benarkah dia telah berkelana sejauh ini?...lalu akhirnya menuju parkir caravanserai yang dikaguminya sebelumnya, hotel Mandarin, udara dinginnya menghembus segar dan mengundang ke luar jalanan yang panas, dan, setelah saat-saat Faith di gang yang gelap dan padat, membuatnyn ingin berteriak lega. “Aku baik-baik saja sekarang,” dia komat-kamit pada bangsawan Spanyol itu, namun mungkin lebih baik tak mengatakan apapun. Pria itu memberikan perintah kepada supirnya, dalam bahasa Cina yang lancar, dan mengabaikan Faith sampai dia selesai. Lalu dia berpaling dan berkata secara formal, “Anda kebingungan, senorita. Kurasa mungkin teh.” Dia sedikit menyentuh lengan Faith dengan jari-jari yang dingin dan kuat, dan, mengabaikan protes lemahnya, dia menuntunnya memasuki hotel besar itu. Faith senang duduk di kursi besar yang nyaman di samping jendela,mendapatkan udara yang terkontrol bukannya nafas bau dan panas di gang itu. Dia patuh dengan rendah hati ketika, dengan isyarat perintah secara naluri dari tangannya, pria itu menyuruhnya tetap tenang dan rileks sampai teh pesanannya datang. Bahkan kemudian dia tak mengizinkan Faith menyuarakan permintaan maaf. Dia berkata dengan bahasa percakapan dengan bahasa Inggrisnya yang jelas dan benar, melambaikan tangannya ke arah pemandangan di luar, “Victoria, senorita, lebih memuaskan dipandang daripada kota kembarnya, kau setuju bukan? Itu pasti pengaruh Inggris, di mana di Inggris, pohon-pohon itu selalu muncul. Contohnya yang lembayung muda dan ungu tua itu bauhinnia; jika kau menciumnya ada wangi limau Inggris.” Faith berbisik bahwa pastilah Kowloon itu Inggris juga. “Tapi tak pernah dalam penampilannya, senorita. Pemandangannya murni Cina.” Sekarang lengan itu melambai ke kota di seberang pelabuhan. “Kowloon artinya ‘sembilan naga’ ,” dia menjelaskan. “dan ini mengacu pada sembilan kaki bukit granit pendek yang terkena erosi.” Dia tak mengizinkan Faith menuangkan tehnya, sesuatu yang disukainya, karena dia masih terguncang, namun sebaliknya dia tak menuangnya sendiri. Dia memandang
  • 7. sekilas terutama dengan bangga kepada pelayan, dan seketika pelayanan diberikan. Faith mempunyai perasaan bahwa bagi bangsawan Spanyol itu semua pelayanan diberikan dengan segera dan dengan rendah hati. Ketika pelayan sudah pergi, dia berkata dengan caranya yang kering, “Kau baru saja berkata bahwa Kowloon itu Inggris. Namun tidak.” “Hanya Victoria?” “Bukan” “Tapi anda berbicara dengan pengaruh Inggris - “ “Tepat sekali. Pengaruh, senorita. Hong Kong adalah koloni Inggris, namun hanya menyewa selama sembilan puluh sembilan tahun.” Pria itu mulai bercerita tentang sejarah koloni, tapi Faith mempunyai kesan ini hanyalah permulaan dari hal yang lain. Sebuah ceramah, tak diragukan lagi, pada spekulasi yang bodoh di negara asing jauh dari garis yang diterima. Faith tak ingin diceramahi oleh pria ini; dia sudah mengalami celaannya yang tenang tapi pasti, untuk semua yang dapat disebut dari tatapan dinginnya di Hyde Park, mencela, jadi Faith menyela agak sembrono, “Anda menyebut limau Inggris. Anda nampaknya tahu banyak tentang negara Inggris untuk seorang Spanyol.” Seketika Faith sadar celaan itu lebih pasti, bahkan penuh permusuhan, daripada sensasi lain itu. “Orang Spanyol, senorita?” “Ya. Bukankah anda - maksudku, ya, maksudku - “ “Apa maksudmu?” “Senorita,” kata Faith mengenaskan. “Senhorita,” dia mengoreksi dengan dingin, dan untuk pertama kalinya Faith mengenali bunyi samar sebelum suku kata kedua. Portugis. Pasti! “Maaf,” kata Faith. Pria itu melebarkan tangannya, tangan yang halus, agak kurus, kuku-kuku yang sempurna. “Tak mengapa, “ katanya. Dia belum makan, meninggalkan susunan kue-kue kecil dan daging manis untuk Faith, namun ketika Faith tak makan juga, dia mengisyaratkan pelayan
  • 8. yang melangkah tanpa suara untuk mengambil piring itu. Namun dia meminta tehnya dituang lagi, dan saat pelayan itu sudah melaksanakan tugasnya dan pergi, dia meminta izin Faith untuk merokok. “Bagaimana jika kukatakan tidak?” Faith berkata menuruti gerak hatinya, dia hanya tak bisa membayangkan seseorang mengatakan tidak pada pria ini. Alis matanya terangkat dengan susah payah. “Senhorita?” “Tak mengapa, itu bercanda.” “Aku tak merasa itu canda, aku merasa itu kesimpulan bahwa aku akan melakukan seperti yang kuinginkan baik kauizinkan maupun tidak.” “Apakah wanita-wanita Portugis anda memberikan hak izin istimewa?” lagi-lagi dia mengatakannya dengan kurang sopan. Dia tak ragu memarahinya. “Kau berbicara dengan cita rasa yang buruk.” “Ya. Aku minta maaf. Itu hanya - “ “Ya?” “Anda begitu - agung. Begitulah aku menyebutmu. Bangsawan Spanyol.” Faith tertawa ragu saat mengatakannya dan berkurang ketika pria itu benar- benar balas tertawa. “Hanya saya bukan.” “Bukan bangsawan Spanyol?” “Grandee kembali ka zaman Kastilian, Spanyol awal.” “Dan anda orang Portugis.” “Aku Marques de Velira.” Pria itu menatap Faith menunjukkan derajatnya.”Jauh lebih bersahaja, dari seorang Grandee.” “Seorang Marques?” “Aku sengaja memberitahumu, senhorita, karena kau mungkin mendengarnya dari sumber lain dan merasa malu bahwa kau belum tahu. Itu tak berarti apa-apa. Di zaman modern seperti ini hal itu sangat tak berguna, dan pada zamannya” - wajah zaitun halusnya sedikit mendung - “sebuah beban.” Faith, untuk menghalau mawas diri yang membungkus pria itu, cepat- cepat berkata, “Terima kasih, Yang Mulia. Apakah itu benar?” “Tidak,” dia berkata keras seketika. “Kau tak boleh menyebutku dengan
  • 9. cara itu lagi. Mengerti?” “Ya, senhor. Apakah itu benar?” Dia sedikit mendesah, desahan yang terlalu singkat yang bisa dibayangkannya. “Kenyataannya benar, tapi -” “Tapi, senhor?” Dia mengangkat bahu, dan malah bertanya, “Mengapa kau berterima kasih padaku?” “Untuk menyelamatkanku dari rasa malu karena tak tahu gelar anda, seperti yang kaukatakan, namun tentu saja, untuk tak bertemu anda lagi sesudah nanti malam aku hampir tak berpikir -” “Nanti malam?” Pertanyaan itu tajam. “Cathay Queen berlayar pukul sebelas.” Dia menatap lambaian asap biru dari rokok yang diambilnya dari kotak bermonogram perak ketika meminta izin merokok. Aromanya tajamnya menyenangkan, dan Faith berpikir betapa cocoknya rokok ramping yang elegan dengan gaya estetisnya. “Jadi kau berpikir bahwa tak perlu bagiku untuk memperkenalkan diriku, senhorita?” “Begitulah,” Faith mengakui, “kapal yang lewat di malam hari, senhor. Sudah pasti aku takkan bertemu anda lagi.” “Tidak?” dia membuat jawaban yang sangat malas, tapi entah bagaimana, tak ada yang malas dalam kata itu sama sekali. “Sekarang kau tahu ‘nama kapal’ku,” dia berkata dengan nada yang sama, hampir tanpa perbedaan, “namun aku belum tahu ‘nama kapal’mu. Aku tahu itu nona Black, nona F. Black, tapi -” “Bagaimana kau tahu itu?” “Itu penting, tentu saja.” “Penting, senhor?” “Kau suka menyelidiki, senhorita.” Dia menghembuskan nafas. “Ada daftar penumpang, ingat?” “Tapi tak disarankan untuk membacanya.”
  • 10. “Kupikir kau sudah cukup menyelidiki. Namamu, tolong.” “Kau telah memilikinya.” “Aku Jacinto de Velira. Dan kau?” “Faith,” Faith berkata. Dia menyerah karena tahu, meskipun dia memberontak, bahwa akhirnya dia harus menyerah. “Jadi.” Rokoknya sekarang dibuang. Dia menangkupkan ujung-ujung jari yang kurus dan kuat, dia menatap Faith. “Fidelia, ya?” “Senhor,” Faith sangsi. “Ini nama yang digunakan di negara kami, berarti, seperti milikmu, orang yang tepat. Ini bella, kupikir.” “Cantik?” Faith menafsirkan. “Aku tak tahu. Aku hanya tahu bahwa sebagai seorang anak sulit untuk sesuai.” “Dan sebagai seorang wanita?” Pertanyaan itu datang setajam anak panah, dan seketika pipi Faith terbakar. Pria itu mengingat sebagaimana Faith mengingat pelukan itu. Namun untuk yang diketahuinya, Faith berpikir dengan marah, itu adalah pelukan yang nyata. Seolah membaca pikirannya pria itu berkata dengan lemah-lembut, “Bahkan di Australia, yang mendukung kegiatan di luar rumah lebih dari kejadian romantis, atau sebagaimana kutemui, aku tak berpikir bahwa para pecinta yang berjanji dalam ikatan pernikahan akan berpisah.” “Kau sangat salah,” Faith segera berkata, “Kelima rekan sekabinku semua gadis yang bertunangan yang sedang berbelanja pakaian pengantin wanita di Hong Kong.” “Biarkan aku mengembangkan pernyataanku, senhorita, dan katakan kau bukan bagian dari mereka.” “Kau sangat kurang ajar, Marques.” “Tapi benar? Bahwa lelaki muda itu sesungguhnya bukan apa-apa bagimu?” “Aku tak mau menjawab. Kau menuduhku menyelidik, tapi -” “Kau tak perlu menjawab. Aku punya jawabanku sendiri, dan aku puas. Kau tidak, dan belum bertunangan dengan orang itu.”
  • 11. “Beraninya kau!” “Ini tak termaafkan, kuakui, namun ini perlu kuketahui.” “Mengapa?” Faith menuntut. Dia mengangkat bahu, gerakan yang sering dilakukannya yang ditemukan Faith. “Ini bukan waktunya, senhorita.” “Lalu kalau bukan sekarang takkan ada waktu lagi. Cathay Queen -” “Berlayar nanti malam pukul sebelas.” Lagi-lagi dia mengangkat bahu. Karena Faith duduk diam, bingung dan agak marah, dia berkata, “Aku agak sedih karena Fidelia bisa berlaku seperti itu, dan sekalipun begitu, kukatakan pada diri sendiri, mungkin ini benar-benar isyarat yang bagus, bahwa dalam tablo kecil itu kau pasti menyesuaikan dengan namamu.” “Senhor” - Faith mulai meninggi - “semua ini sangat menyakitkan! Aku harus pergi sekarang.” Dia meletakkan tanggannya di atas tangan Faith yang ada di atas meja untuk menenangkan dirinya sendiri dan sentuhan itu ringan, namun itu mendorongnya kembali. “Aku belum menghukummu, senhorita.” “Menghukumku?” Faith meledak. “Oh, bukan untuk itu.” Dia melambaikan rokok yang dinyalakannya kembali dan spiral asap biru dengannya. “Tidak untuk pelukan seorang gadis muda di taman, untuk itu adalah kau, bukan, gadis muda?” “Senhor, itu bukan urusanmu.” “Mungkin. Bagaimanapun juga kita tak akan membicarakannya - sekarang.” “Atau selamanya.” Faith bertanya, matanya menyala, “Apa sebab lain yang membuatku ‘dihukum’?” “Kebodohanmu berjalan-jalan sendirian hari ini, perlu diselamatkan.” “Ya,” Faith menyetujui dengan jujur, “Aku benar-benar pantas dicela untuk itu. Namun bendahara kapal itu meyakinkanku bahwa itu aman -” “Yang benar, senhorita, kau akan tetap aman.”
  • 12. “Tapi anak-anak itu -” Faith memulai. “Mereka hanya bereaksi sebagaimana semua anak di mana saja.” “Lalu - ?” “Itu masih bodoh. Kau tak memahami bahasa Kanton, mereka tak memahami bahasamu. Ini mungkin terjadi, jika mengkin tak berbahaya, menjadi saat-saat yang tak disukai dan mengkhawatirkan. Apa yang membuatmu pergi sendiri?” “Aku ingin melihat Hong Kong lebih dari sekedar jalan-jalan perbelanjaan. Pada pelabuhan-pelabuhan sebelumnya aku sangat beruntung untuk beberapa alasan. Aku dibagi perjalanan turis gratis.” “Namun tidak di sini?” Dia berbicara spontan, ...terlalu spontan? ...dan Faith memandangnya tajam untuk meneliti wajahnya. Mungkinkah dia - Namun tidak, tentu tidak. Faith menetapkan, “Tidak di sini.” “Kau tidak biasa,” dia berkata, sedikit menilai. “Kau tak berkeinginan, seperti kebanyakan turis, hanya menjelajahi toko.” “Mungkin,” Faith mengaku, “aku akan, hanya -” “Hanya, senhorita?” “Uang, “Faith tersenyum. Dia menunggu sesaat, lalu meraih tas tangannya. “Apakah aku telah dihukum sekarang, dan bolehkah aku pergi?” “Kau terburu-buru?” “Teman-temanku, rekan sekabin, mungkin khawatir.” “Namun sebaliknya. Itu cukup bagi seseorang untuk merasa khawatir.” “Seseorang?” “Aku, senhorita.” Dia sedikit membungkuk. “Kau sangat kebingungan ketika aku menubrukmu di gang itu.” “Aku belum berterima kasih untuk hal itu,” Faith berkata sedikit kasar. “Karena menubrukmu?” Pria ini mempunyai bahasa Inggris yang halus, hampir cakap untuk pembicaraan ringan, pikir Faith. “Aku dididik di Inggris.” Lagi- lagi, agak aneh, dia membaca pikirannya. “Aku berterima kasih,” Faith berkata dengan formal, “atas pertolongannya,
  • 13. dan membawaku minum teh.” Dia bangkit. Faith agak terkejut, dia juga bangkit, tanpa membuat penolakan. “Aku akan menyuruh sopirku mengantarmu sampai Star Ferry,” katanya. Ketika mobil datang dan portir membukakan pintu, pria Portugis itu membungkuk dengan sopan. “Ini sangat menyenangkan, nona Blake.” “Kau - kau tak ikut?” “Aku punya urusan di sini, namun sopirku akan mengantarmu menyeberang, menemanimu ke kapal.” “Itu tak perlu.” Untuk beberapa alasan Faith merasa diremehkan, bahkan marah. “Aku sangat mampu -” Faith berhenti saat dia mengangkat tangan. “Bom dias, nona Blake.” “Selamat tinggal, senhor.” “Aku tak mengatakan itu, aku tak mengatakan adeus, aku mengatakan hari yang baik.” “Aku mengatakan selamat tinggal.” Faith naik ke mobil dan mencondongkan kepalanya dengan dingin kepada pria yang membungkuk dengan dingin pula. Mobil besar itu menjauh melalui lalu lintas macet ke pelabuhan di mana sopirnya memarkirnya dengan hati-hati, lalu membeli dua tiket, kelas satu dan kelas dua untuk penyeberangan singkat, mengawal Faith ke kompartemen utama, lalu pergi ke ujung perahu yang lain, namun ketika ferry itu menuju Kowloon dia di sana, sebagaimana diperintahkan, untuk menemani Faith ke Cathay Queen. Itu semua paling mengesankan dan Faith mungkin sudah memikirkan senhor Portugis itu dengan baik jika saja dia sudah membuat dirinya sendiri memikirkannya . Namun, meraba-raba koin untuk memberikan tip kepada sopir dan bertemu dengan tatapan penuh cela yang tentu saja mengejutkan Faith, karena sampai sekarang dia belajar bahwa di Hong Kong seseorang pasti memberikan tip dan seandainya tidak orang akan mengingatkan dengan memelas “Tippu? Dollar tippu?” Faith terhukum, terkecam...mungkin semua kerendahan hati oleh
  • 14. penerimaam yang sedikit tak diperkirakan dan sangat tidak berbeda ketika dia menyatakan bahwa dia benar-benar harus pergi...takut akan memorinya pada awalnya, lalu akhirnya, bertemu dengan Marques Jacinto de Velira. (bersambung)