SlideShare a Scribd company logo
Kajian Terhadap
Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara
dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan
Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19)
Departemen Hukum Universitas Bali Dwipa
TANGGUNG JAWAB
Pengertian tanggung jawab secara umum :
Tangung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatan, baik yang
disengaja maupun yang tidak di sengaja.
Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajiban.
KBBI :
Tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-
apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya)
Sugeng Istanto :
Pertanggungjawaban berarti sebuah kewajiban memberikan jawaban yang merupakan
perhitungan atas semua hal yang terjadi dan kewajiban untuk memberikan pemulihan atas
kerugian yang mungkin ditimbulkannya.
Black's Law Dictionary :
Tanggung jawab (liability) mempunyai 3 (tiga) arti, antara lain :
a. Merupakan satu kewajiban terikat dalam hukum atau keadilan untuk melakukan sesuatu.
b. Kondisi menjadi bertanggung jawab atas kerugian atau aktual.
c. Kondisi yang menciptakan tugas untuk melakukan tindakan segera atau di masa depan.
Bilamana lahirnya tanggung jawab ?
Dalam pandangan umum :
Tanggung jawab lahir manakala adanya KESALAHAN  tanggung jawab PERDATA dan/atau
PIDANA (dan/atau ADMINISTRASI) berupa SANKSI.
Menurut pendapat saya :
Tanggung jawab adalah melaksanakan suatu kewajiban secara sadar (do the obligation
consciously). Jika dilaksanakan dengan baik akan mendapatkan penghargaan (reward),
sebaliknya jika dilaksanakan dengan tidak baik (terjadi kesalahan) akan dikenai hukuman
(punishment).
PENYELENGGARA NEGARA
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan
Nepotisme,
Pasal 1 angka 1 :
“Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi
eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas
pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Pasal 2 :
Penyelenggara Negara meliputi :
1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;
2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
3. Menteri;
4. Gubernur;
5. Hakim;
6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku; dan
7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
PANDEMI
Pandemi adalah penyakit yang menyebar secara global meliputi area geografis yang luas.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pandemi tidak ada hubungannya dengan tingkat
keparahan penyakit, jumlah korban atau infeksi, akan tetapi, pandemi berhubungan dengan
penyebaran secara geografis.
Wikipedia :
Pandemi (dari Bahasa Yunani πᾶν pan yang artinya semua dan δήμος demos yang artinya
orang) adalah epidemi penyakit yang menyebar di wilayah yang luas, misalnya
beberapa benua, atau di seluruh dunia.
KBBI :
Pandemi/pan·de·mi/ /pandémi/ n wabah yang berjangkit serempak di mana-mana, meliputi
daerah geografi yang luas.
Apakah Covid-19 merupakan Pandemi ?
Virus corona yang menyebabkan penyakit Covid-19, saat ini
dinyatakan oleh WHO sebagai pandemi, oleh karena penyakit yang
diduga muncul pertama kali di Wuhan, Tiongkok tersebut telah
menyebar ke berbagai negara di dunia.
Apakah Pandemi Covid-19 di Indonesia merupakan hal
ikwal kegentingan yang memaksa sehingga Pemerintah
perlu menerbitkan PERPPU ?
POLEMIK PERPPU  ISU HUKUM
PERPPU Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan
Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease
(Covid-19), ditetapkan oleh Presiden pada tanggal 31 Maret 2020, membawa
polemik di masyarakat karena :
• adanya dugaan kekebalan hukum dari penyelenggara negara;
• dianggap memberi perlindungan hukum yang tidak sesuai UU;
• anggapan seolah-olah adanya kekebalan hukum;
Hal tersebut di atas terkait dengan ketentuan BAB V KETENTUAN PENUTUP
Pasal 27 ayat 1, 2 dan 3 PERPPU.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 27
(1) Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan
kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara
termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem
keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk
penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.
(2) Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian
Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat
lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini,
tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas
didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan
tata usaha negara.
DAPATKAH TANGGUNG JAWAB DIKESAMPINGKAN (DIHAPUS/DIBEBASKAN) ?
MENURUT HUKUM PERDATA
Pasal 1244 KUH Perdata
Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga bila ia tak dapat membuktikan
bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan
itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya
walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya.
Pasal 1245 KUH Perdata
Tidak ada penggantian biaya, kerugian dan bunga bila karena keadaan memaksa atau karena hal
yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang
diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.
 Jadi jika ada Sesuatu Hal Yang Tak Terduga dan/atau Keadaan Memaksa maka debitur dibebaskan
dari hukuman (tanggung jawab) untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga.
Sesuatu Hal Yang Tak Terduga dan/atau Keadaan Memaksa = Force Majeur
Berdasarkan ketentuan Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata tersebut, maka unsur utama yang
dapat menimbulkan keadaan force majeur adalah:
1) Adanya kejadian yang tidak terduga;
2) Adanya halangan yang menyebabkan suatu prestasi tidak mungkin dilaksanakan;
3) Ketidakmampuan tersebut tidak disebabkan oleh kesalahan debitur;
4) Ketidakmampuan tersebut tidak dapat dibebankan risiko kepada debitur.
Force majeur diartikan sebagai kejadian yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para
pihak yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak atau kedua belah pihak.
Karena luasnya kemungkinan keadaan atau situasi force majeur, maka para pihak untuk
mendapatkan kepastian hukum biasanya mencantumkan klausula dengan daftar peristiwa yang
dapat menjadi force majeur dalam perjanjian mereka, seperti :
Force Mejeure Event means the occurrence of an event of :
a. Act of God (such as, but not limited to fires, explosions, earthquakes, drought, tidal waves
and floods);
b. War, hostilities (whether war be declared or not), invasion, act of foreign enemies,
mobilization, requisition, or embargo;
c. Rebellion, revolution, insurrection, or military or usurped power, or civil war;
d. Contamination by radio-activity from any nuclear fuel, or from any nuclear waste from the
combustion of nuclear fuel, radio-active toxic explosive, or other hazardous properties of
any explosive nuclear assembly or nuclear component of such assembly;
e. Riot, commotion, strikes, go slows, lock outs or disorder, unless solely restricted to
employees of the Supplier or of his Subcontractors;
f. Acts or threats of terrorism; or
g. Other unforeseeable circumstances beyond the control of the Parties against which it would
have been unreasonable for the affected party to take precautions an which the affected
party cannot avoid event by using best efforts.
Subekti dalam buku Pokok-pokok Hukum Perdata (hal. 150) menerangkan bahwa keadaan memaksa
mencakup :
a. keadaan memaksa yang bersifat mutlak (absolut) yakni bahwa para pihak tidak, mungkin
melaksanakan hak dan kewajibannya;dan
b. keadaan memaksa yang bersifat tidak mutlak (relatif), yakni bahwa para pihak masih dimungkinkan
untuk melaksanakan hak dan kewajibannya.
Risiko yang diakibatkan oleh keadaan memaksa dapat diperjanjikan oleh para pihak, antara lain melalui
lembaga pertanggungan (asuransi).
Mariam Darus Badrulzaman dalam buku KUH Perdata Buku III : Hukum Perikatan dengan
Penjelasan menerangkan bahwa “force majeure absolut terjadi apabila kewajiban benar-benar tidak dapat
dilaksanakan seluruhnya, misalnya ketika objek benda hancur karena bencana alam. Dalam hal ini
pemenuhan prestasi tidak mungkin dilaksanakan oleh siapapun juga atau oleh setiap orang” (hal. 37).
“Force majeure relatif terjadi ketika suatu perjanjian masih mungkin untuk dilaksanakan namun dengan
pengorbanan atau biaya yang sangat besar dari pihak debitur, misalnya harga bahan baku impor menjadi
sangat tinggi atau pemerintah tiba-tiba melarang membawa barang objek perjanjian keluar dari suatu
pelabuhan” (hal. 37).
Asser dalam buku Pengajian Hukum Perdata Belanda (hal. 368 – 369) terdapat dua
kemungkinan akibat dari force majeur, yaitu :
1) Pengakhiran perjanjian, terjadi ketika halangan bersifat tetap. Dengan berakhirnya
perjanjian, maka kontra prestasi juga ikut berakhir
2) Penundaan kewajiban, terjadi ketika peristiwa force majeur sifatnya sementara. Bila
keadaan halangan telah pulih kembali, maka kewajiban prestasi dan kontra prestasi kembali
pulih.
Mariam Darus Badrulzaman dalam buku yang sama menerangkan bahwa agar debitur dapat
mengemukakan alasan force majeur harus dipenuhi 3 (tiga) persyaratan (hal. 39) :
1) Ia harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah;
2) Ia tidak dapat memenuhi kewajibannya secara lain; dan
3) Ia tidak menanggung risiko, baik menurut ketentuan undang-undang maupun perjanjian
atau karena itikad baik harus menanggung risiko.
Pandemi Virus Corona (Covid-19)
=
Force Majeur ???
MENURUT HUKUM PIDANA
Dalam ilmu hukum pidana dikenal alasan penghapus pidana yaitu alasan pembenar dan alasan
pemaaf menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) :
a. Alasan pembenar berarti alasan yang menghapus sifat melawan hukum suatu tindak
pidana. Jadi, dalam alasan pembenar dilihat dari sisi perbuatannya (objektif). Misalnya,
tindakan 'pencabutan nyawa' yang dilakukan eksekutor penembak mati terhadap terpidana
mati (Pasal 50 KUHP);
b. Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapus kesalahan dari si pelaku suatu tindak
pidana, sedangkan perbuatannya tetap melawan hukum. Jadi, dalam alasan pemaaf dilihat
dari sisi orang/pelakunya (subjektif). Misalnya, lantaran pelakunya tak waras atau gila
sehingga tak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya itu (Pasal 44 KUHP).
Di dalam KUHP (KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA) dijelaskan rinciannya apa itu 2 jenis alasan
tersebut.
Alasan Pembenar yaitu :
a. Perbuatan yang dilakukan dalam ‘keadaan darurat’ (Pasal 48 KUHP)
b. Perbuatan yang dilakukan karena pembelaan terpaksa (Pasal 49 ayat (1) KUHP)
c. Perbuatan untuk menjalankan peraturan perundang-undangan (Pasal 50 KUHP)
d. Perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 KUHP).
Alasan Pemaaf yaitu :
a. Perbuatan yang dilakukan oleh orang yang ‘tidak mampu bertanggung jawab’ (Pasal 44 KUHP)
b. Perbuatan yang dilakukan karena terdapat ‘daya paksa’ (Pasal 48 KUHP)
c. Perbuatan karena ‘pembelaan terpaksa yang melampaui batas’ (Pasal 49 ayat (2) KUHP)
d. Perbuatan yang dilakukan untuk menjalankan perintah jabatan yang tidak sah (Pasal 51 ayat (2) KUHP).
Pandemi Virus Corona (Covid-19)
=
Keadaan Darurat ???
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
( PERPPU )
DASAR HUKUM PENERBITAN PERPPU
Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945(“UUD 1945”) :
“Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan
peraturan pemerintah pengganti undang-undang.”
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No, 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU 12/2011”) :
“Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan
Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal
kegentingan yang memaksa.”
Dari Dasar Hukum di atas dapat disarikan :
1. Syarat utama (atau bahkan syarat mutlak) untuk terbitnya PERPPU adalah “hal
ikwal kegentingan yang memaksa”;
2. Presiden yang “berhak” menetapkan “hal ikwal kegentingan yang memaksa”
 berdasarkan Subyektivitas Presiden (benar terjadi atau akan terjadi)
 Dasar hukum penerbitan PERPPU merupakan “norma subyektif”
Nantinya akan dinilai oleh DPR RI dengan memberikan persetujuan atau tidak
memberikan persetujuan (menolak) untuk kemudian disahkan menjadi Undang-
Undang (UU).
 Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011, PERPPU harus diajukan ke DPR dalam
“persidangan berikut”, yakni masa sidang pertama DPR setelah PERPPU
(penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011).
Kedudukan PERPPU sebagai norma subjektif juga dinyatakan Jimly
Asshiddiqie :
“Pasal 22 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk secara subjektif
menilai keadaan negara atau hal ihwal yang terkait dengan negara yang
menyebabkan suatu undang-undang tidak dapat dibentuk segera, sedangkan
kebutuhan akan pengaturan materiil mengenai hal yang perlu diatur sudah
sangat mendesak sehingga Pasal 22 UUD 1945 memberikan kewenangan
kepada Presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-
undang (Perppu)” (Asshiddiqie, 2010: 209)
Ukuran objektif penerbitan PERPPU baru dirumuskan oleh Mahkamah
Konstitusi (“MK”) dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009.
Berdasarkan Putusan MK tersebut, ada tiga syarat sebagai parameter
adanya “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan PERPU,
yaitu:
1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah
hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga
terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak
memadai;
3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat
Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu
yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu
kepastian untuk diselesaikan.
PERPPU ini jangka waktunya terbatas (sementara) sebab secepat mungkin
harus dimintakan persetujuan pada DPR, yaitu pada persidangan berikutnya.
Apabila PERPPU itu disetujui oleh DPR, akan dijadikan Undang-Undang
(UU). Sebaliknya, apabila PERPPU itu tidak disetujui oleh DPR, akan dicabut.
Persetujuan DPR ini sangat penting karena DPR-lah yang memiliki kekuasaan
legislatif, dan yang secara obyektif menilai ada tidaknya kegentingan yang
memaksa, sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Meskipun PERPPU tersebut belum dibahas oleh DPR, konsekuensi hukum dari
PERPPU itu sudah ada  artinya, PERPPU tersebut sudah berlaku, bisa
dilaksanakan, dan memiliki kedudukan yang setingkat dengan UU sebagaimana
yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011.
Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 menyatakan bahwa jenis dan hierarki
Peraturan Perundang-undangan terdiri atas :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Kedudukan PERPPU dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan  ada 2 (dua)
pandangan :
1) PERPPU Sejajar/Setingkat dengan UU
Karena itu, hierarkinya adalah setingkat/sama dengan Undang-Undang sehingga fungsi
maupun materi muatan Perpu adalah sama dengan fungsi maupun materi muatan
Undang-Undang
2) PERPPU di Bawah UU
Perpu ini kadang-kadang dikatakan tidak sama dengan UU atau dianggap memiliki
kedudukan di bawah UU karena belum disetujui oleh DPR.
Perbedaan UU dan PERPPU
UU selalu dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan DPR, dan dalam keadaan normal, atau
menurut Perubahan UUD 1945 dibentuk oleh DPR dan disetujui bersama oleh DPR dan
Presiden, serta disahkan oleh Presiden, sedangkan Perpu dibentuk oleh Presiden tanpa
persetujuan DPR karena adanya “suatu hal ihwal kegentingan yang memaksa.
KAJIAN
PERPPU NOMOR 1 TAHUN 2020
ISU HUKUM :
1. Sudah tepatkah syarat penerbitan PERPPU 1 Tahun 2020 ?
2. Dugaan kekebalan hukum dari penyelenggara negara, Anggapan
memberi perlindungan hukum yang tidak sesuai UU, anggapan
seolah-olah adanya kekebalan hukum bagi penyelenggara negara.
Benarkah ?
HAL IKWAL KEGENTINGAN YANG MEMAKSA
Diuraikan dalam dasar menimbang sbb :
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK TNDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang dinyatakan oleh Organisasi
Kesehatan Dunia (World Health Organization) sebagai pandemi pada sebagian besar negara-
negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, menunjukkan peningkatan dari waktu ke
waktu dan telah menimbulkan korban jiwa, dan kerugian material yang semakin besar,
sehingga berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesej ahteraan masyarakat;
b. bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah berdampak antara lain
terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurLlnan penerimaan negara, dan
peningkatan belanja negara dan pembiayaan, sehingga diperlukan berbagai upaya
Pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan
fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety netl, serta
pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak;
c. bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) telah berdampak pula
terhadap memburuknya sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai
aktivitas ekonomi domestik sehingga perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan Komite
Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk melakukan tindakan antisipasi (forward looking)
dalam rangka menjaga stabilitas sektor keuangan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf
c, Pemerintah dan lembaga terkait perlu segera mengambil kebijakan dan langkah-langkah
luar biasa dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan
melalui berbagai kebijakan relaksasi yang berkaitan dengan pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) khususnya dengan melakukan peningkatan belanja
untuk kesehatan, pengeluaran untuk jaring pengaman sosial (social safety net), dan
pemulihan perekonomian, serta memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sektor
keuangan;
e bahwa kondisi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, telah
memenuhi parameter sebagai kegentingan memaksa yang memberikan kewenangan kepada
Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang sebagaimana
diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Uji dengan Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009
Berdasarkan Putusan MK tersebut, ada tiga syarat sebagai parameter adanya “kegentingan yang
memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan PERPU, yaitu :
1) Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara
cepat berdasarkan Undang-Undang;
2) Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum,
atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
3) Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang
secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan
keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan;
Hasil pengujian :
Apakah PERPPU Nomor 1 Tahun 2020 Memenuhi Syarat / Tidak Memenuhi Syarat ?
 Pada saatnya akan diuji oleh DPR untuk disahkan atau ditolak menjadi UU.
Uji dengan Fakta dan Data
1. Kegentingan yang memaksa adalah timbulnya Pandemi yang disebabkan oleh Corona Virus
Desease – 2019 (Covid-19) yang per 12 April 2020, jumlah kasus positif Covid-19 sudah
mencapai 1.775.586 dan dari jumlah itu, sebanyak 108.558 meninggal. Sementara di
Indonesia Sabtu (11/4/2020), jumlah kasus konfirmasi positif Covid-19 sebanyak 3.842 kasus
dan sebanyak 327 meninggal dunia (sumber kompas.com)
2. Covid-19 telah berdampak antara lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional,
penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan.
3. Dengan pertimbangan tersebut diperlukan berbagai upaya Pemerintah untuk melakukan
penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada :
(1) belanja untuk kesehatan,
(2) jaring pengaman sosial (social safety net), dan
(3) pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak.
Uji dengan Fakta dan Data
4. Tiga fokus utama penyelamatan negara dari pandemi Corona tersebut di atas menyebabkan
adanya kebutuhan tambahan anggaran untuk penanganan Covid-19 sebesar Rp 405,1 triliun
dan anggaran tersebut belum ada dalam APBN 2020. Tambahan anggaran tersebut
diperhitungkan dalam penganggaran dan akan terdapat pembiayaan defisit yang melampaui
3 persen (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB).
5. Hal itu tentu saja membuat situasi menjadi mendesak untuk mengganti (sementara) UU
Keuangan Negara yang membatasi defisit belanja negara maksimal 3 persen dari PDB.
6. Keadaan mendesak juga diperlukan untuk pemberian kewenangan bagi Pemerintah agar
dapat melakukan realokasi dan refocusing anggaran yang sebelumnya telah dialokasikan
dalam APBN tahun 2020. Melalui realokasi dan refocusing yang bersifat segera diharapkan
dapat segera memulihkan ekonomi
DUGAAN KEKEBALAN HUKUM DARI PENYELENGGARA NEGARA,
ANGGAPAN MEMBERI PERLINDUNGAN HUKUM YANG TIDAK SESUAI UU,
ANGGAPAN SEOLAH-OLAH ADANYA KEKEBALAN HUKUM BAGI PENYELENGGARA NEGARA.
Fakta dan data :
1. Adanya kebutuhan tambahan anggaran untuk penanganan Covid-19 sebesar Rp 405,1 triliun
yang terdiri dari: a. Rp 75 triliun untuk intervensi penanggulangan Covid-19 berupa tambahan belanja
kesehatan, pemberian insentif tenaga kesehatan, dan pemberian alat kesehatan termasuk Alat
Pelindung Diri (APD) bagi seluruh 132 rumah sakit rujukan. b. Rp 110 Triliun untuk memperkuat jaring
pengaman sosial. Program tersebut antara lain kenaikan anggaran Keluarga Harapan (PKH), perluasan
program kartu sembako, peningkatan Kartu Pra Kerja sebanyak 2 kali lipat untuk masyarakat yang
terkena PHK, pembebasan tagihan listrik selama 3 (tiga) bulan untuk 24 juta pelanggan 450VA, dan
pemberian diskon 50 persen selama 3 bulan untuk 7 juta pelanggan 900VA bersubsidi. Juga diberikan
dukungan logistik sembako dan kebutuhan pokok bagi daerah yang mengalami pembatasan sosial luas
atau karantina. c. Rp 70,1 triliun dukungan insentif dan relaksasi perpajakan bagi sektor dunia usaha
yang terdampak dan termasuk penundaan pembayaran cicilan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Ultra
Mikro dan Penundaan pembayaran pinjaman terutama untuk Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dan
pelaku ekonomi kecil lainnya. Pemerintah juga melakukan penurunan tarif PPh badan dari 25 persen
menjadi 22 persen. d. Dukungan pembiayaan anggaran untuk penanganan Covid-19 sebesar Rp150
triliun dalam rangka mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional.
2. Rincian kebutuhan anggaran ini berdampak pada sisi belanja dan juga
pendapatan negara dalam APBN 2020.
3. Biaya yang dikeluarkan pemerintah ini adalah biaya ekomomi yang bertujuan
untuk penyelamatan negara dari krisis dan tidak bisa dianggap sebagai
merupakan kerugian negara.
4. Biaya yang dikeluarkan ini disadari tidak akan sepenuhnya kembali dan juga
hilangnya potensi penerimaan negara, namun di sisi lain telah timbul manfaat
yang lebih besar yaitu pulihnya perekonomian dan dunia usaha sehingga
dapat menyelamatkan ekonomi Indonesia, sehingga biaya yang dikeluarkan
tidak bisa disebut sebagai kerugian negara.
Hak Istimewa yang diberikan PERPPU kepada Penyelenggara Negara (Pasal 27)
1. BUKAN MERUPAKAN KERUGIAN NEGARA  Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau
lembaga anggota KSSK merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari
krisis;
2. TIDAK DAPAT DITUNTUT BAIK SECARA PERDATA MAUPUN PIDANA  bagi penyelenggara
negara yang berkaitan dengan pelaksanaan PERPPU
3. BUKAN MERUPAKAN OBJEK GUGATAN YANG DAPAT DIAJUKAN KEPADA PERADILAN TATA
USAHA NEGARA  segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan PERPPU
Benarkah dugaan dan anggapan bahwa penyelenggara negara dalam pelaksanaan PERPPU ini
memiliki kekebalan hukum, mendapatkan perlindungan hukum yang tidak sesuai UU, dan
mendapatkan kekebalan hokum ?
BUKAN MERUPAKAN KERUGIAN NEGARA
Definisi kerugian negara
Terdapat dalam beberapa undang-undang, antara lain adalah sebagai berikut:
Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan
(UU BPK) :
“Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti
jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.”
Pasal 1 Angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara (UU
Perbendaharaan Negara) :
“Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti
jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.”
Definisi kerugian negara berdasarkan ketentuan-ketentuan hokum di atas dikatakan menganut konsep
kerugian negara dalam arti delik materiil.
BUKAN MERUPAKAN KERUGIAN NEGARA
Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara dikatakan bahwa kerugian negara dapat
terjadi karena pelanggaran hukum atau kelalaian pejabat negara atau pegawai negeri bukan bendahara
dalam rangka pelaksanaan kewenangan administratif atau oleh bendahara dalam rangka pelaksanaan
kewenangan kebendaharaan. Penyelesaian kerugian negara perlu segera dilakukan untuk mengembalikan
kekayaan negara yang hilang atau berkurang serta meningkatkan disiplin dan tanggung jawab para
pegawai negeri/pejabat negara pada umumnya, dan para pengelola keuangan pada khususnya.
Berdasarkan UU BPK dan Keppres No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen yang
menilai / menetapkan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa
Keuangan (“BPK”) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (“BPKP”).
BUKAN MERUPAKAN KERUGIAN NEGARA
Pelanggaran hokum atau kelalaian pejabat negara yang menyebabkan kerugian negara masuk dalam ranah
perkara korupsi  delik korupsi.
Bagaimana jika perkara korupsi tersebut telah sampai pada ranah pengadilan? Bagaimana cara hakim
menilai sejauh mana keuangan negara tersebut dikatakan mengalami kerugian?
Karena menyangkut perkara korupsi, maka hakim akan menggunakan Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  Hukum Pidana  Delik Pidana.
Dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 menggunakan frasa “yang dapat merugikan
keuangan negara” sehingga UU Nomor 31 Tahun 1999 dikatakan menganut konsep kerugian negara dalam
arti delik formil.
BUKAN MERUPAKAN KERUGIAN NEGARA
Berdasarkan Ketentuan Pasal 27 ayat (1) PERPPU Nomor 1 Tahun 2020, yang menyatakan bahwa
biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka
penanganan Pandemi Covid-19 bukan merupakan kerugian negara.
Dengan demikian maka jika dikaji berdasarkan asas-asas hokum, maka Biaya yang telah
dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan
pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk
kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem
keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi
untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan karena itu dapat dipahami, dimengerti, bahwa
demi hokum biaya-biaya tersebut adalah :
BUKAN MERUPAKAN KERUGIAN NEGARA.
TIDAK DAPAT DITUNTUT BAIK SECARA PERDATA MAUPUN PIDANA
Ketentuan yang tercantum Pasal 27 ayat (2) PERPPU Nomor 1 Tahun 2020 ini dimaksudkan
sebagai alasan pembenar untuk menghapuskan tanggung jawab penyelenggara negara atas
suatu tindak pidana dalam hokum pidana maupun perbuatan melawan hokum dalam hokum
perdata karena terjadinya pandemi Covid-19 merupakan force majeur (kejadian luar biasa).
Alasan pembenar dalam perkara pidana karena apa yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara
dalam penanganan pandemi Covid-19 merupakan Perbuatan untuk menjalankan peraturan
perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 50 KUHP.
Sedangkan dalam perkara perdata apa yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dalam
penanganan pandemi Covid-19 sehingga tidak memenuhi kewajiban perdatanya adalah karena
disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga (Pasal 1244 KUH Perdata) atau keadaan
memaksa (Pasal 1245 KUH Perdata) sehinga tidak harus dihukum untuk mengganti biaya,
kerugian dan bunga.
Dengan demikian penyelenggara negara dalam penanganan pandemi Covid-19 TIDAK DAPAT
DITUNTUT BAIK SECARA PERDATA MAUPUN PIDANA ???.
TIDAK DAPAT DITUNTUT BAIK SECARA PERDATA MAUPUN PIDANA
Namun ketentuan Pasal 27 ayat (2) PERPPU Nomor 1 Tahun 2020 ini memberikan SYARAT bahwa
penyelenggara negara tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana bilamana dalam
melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
ITIKAD BAIK
Pengertian itikad baik (setidaknya menurut saya) dapat dirumuskan sebagai “kejujuran seseorang
dalam melakukan suatu perbuatan hukum yang didasarkan pada sikap batin dan kesadaran akan
tanggung jawabnya sesuai dengan norma yang berlaku”.
Ada beberapa ketentuan hokum yang mengkaitkan dengan itikad baik, diantaranya ketetuan
Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang mensyaratkan bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan
dengan itikad baik.
TIDAK DAPAT DITUNTUT BAIK SECARA PERDATA MAUPUN PIDANA
SESUAI DENGAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Berarti bahwa apa yang dilakukan semata-mata berdasarkan dan sesuai dengan apa yang telah
diatur atau ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Untuk penggunaan keuangan negara yang pastinya bersumber dari APBN, maka harus mengacu
pada Pasal 23 Ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Anggaran pendapatan dan belanja
negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan
undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat”.
Dengan demikian pelaksanaan keuangan negara harus dilakukan secara “terbuka” (transparansi)
dan bertanggung jawab (akuntabilitas).
TIDAK DAPAT DITUNTUT BAIK SECARA PERDATA MAUPUN PIDANA
Transparansi adalah prinsip yang sangat penting dalam kontrak yang dibuat oleh
pemerintah, utamanya ditujukan untuk melindungi keuangan negara.
Transparansi adalah salah satu prinsip terpenting dalam United Nations
Commission On International Trade Law (UNCITRAL) Model Law On
Procurenment of Good, Construction and Services.
Akuntabilitas berorientasi pada hasil. Dalam konteks pengadaan oleh
pemerintah, yakni pengadan barang dan jasa, prinsip akuntabilitas juga harus
diarahkan pada kesejahteraan umum dan perlindungan keselamatan umum.
Inspeksi oleh pemerintah atas pelaksanaan kontrak oleh kontraktor untuk
menentukan apakah persyaratan spesifikasi teknik telah ditaati, merupakan
contoh tindakan dalam rangka melindungi keselamatan umum.
TIDAK DAPAT DITUNTUT BAIK SECARA PERDATA MAUPUN PIDANA
Dengan demikian bilamana dalam penanganan pandemi Covid-19 ini
penyelenggara negara yang dimaksud dalam PERPPU Nomor 1 Tahun 2020 tidak
melaksanakannya dengan itikad baik dan tidak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan maka berarti ada “KESALAHAN” yang dilakukan
oleh Penyelenggara Negara, sehingga Penyelenggara Negara yang bersangkutan
DAPAT DITUNTUT BAIK SECARA PERDATA MAUPUN PIDANA
BUKAN MERUPAKAN OBJEK GUGATAN YANG DAPAT DIAJUKAN
KEPADA PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Pasal 1 Angka 10 UU Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tata Usaha Negara*)
Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara
antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik
di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara,
termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan Pasal 1 angka 9 UU 51/2009 didefinisikan sebagai
berikut:
Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan
atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual,
dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
*) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara (“UU 5/1986”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Pertama atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU
9/2004”) dan terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU 51/2009”)
BUKAN MERUPAKAN OBJEK GUGATAN YANG DAPAT DIAJUKAN
KEPADA PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Sengketa Tata Usaha Negara diselesaikan di Pengadilan Tata Usaha Negara
dengan mengajukan gugatan tertulis yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata
Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan
atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.
Alasan yang dapat digunakan dalam gugatan tertulis disebutkan dalam Pasal 53
ayat (2) UU 9/2004 sebagai berikut :
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-
asas umum pemerintahan yang baik.
BUKAN MERUPAKAN OBJEK GUGATAN YANG DAPAT DIAJUKAN
KEPADA PERADILAN TATA USAHA NEGARA
ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK.
Dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggara pemerintahan serta mendukung
pelaksanaan reformasi birokrasi maka diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Administrasi Pemerintahan.
Kehadiran UU yang terdiri atas 89 pasal ini dimaksudkan untuk menciptakan hukum, mencegah
terjadinya penyalahgunaan wewenang, menjamin akuntabilitas Badan dan/atau Pejabat
Pemerintah, memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat dan aparatur pemerintah serta
menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).
AUPB merupakan prinsip yang digunakan sebagai acuan penggunaan wewenang bagi pejabat
pemerintahan dalam mengeluarkan keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan
pemerintahan.
BUKAN MERUPAKAN OBJEK GUGATAN YANG DAPAT DIAJUKAN
KEPADA PERADILAN TATA USAHA NEGARA
BUKAN MERUPAKAN OBJEK GUGATAN YANG DAPAT DIAJUKAN
KEPADA PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Dengan demikian bilamana dalam penanganan pandemi Covid-19 ini penyelenggara negara yang
dimaksud dalam PERPPU Nomor 1 Tahun 2020 membuat Keputusan Tata Usaha Negara yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau Keputusan Tata
Usaha Negara yang bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, maka
Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan
MERUPAKAN OBJEK GUGATAN YANG DAPAT DIAJUKAN
KEPADA PERADILAN TATA USAHA NEGARA
1. Jaga Jarak Aman (1-2 M) 2. Gunakan Masker 3. Cek Suhu Tubuh 4. Cuci Tangan / Hand Sanitizer 5. Batasi
Jumlah Kerumunan

More Related Content

Similar to Tanggungjawab Penyelenggara Negara Dalam Penanganan Pandemi Covid-19

Hbl 4,nurcholis muttaqin,hapzi ali,asuransi, universitas mercu buana, 2018
Hbl 4,nurcholis muttaqin,hapzi ali,asuransi, universitas mercu buana, 2018Hbl 4,nurcholis muttaqin,hapzi ali,asuransi, universitas mercu buana, 2018
Hbl 4,nurcholis muttaqin,hapzi ali,asuransi, universitas mercu buana, 2018
nurcholismn
 
Pertemuan 3 Materi Presentasi Kelompok Pt 2.pptx
Pertemuan 3 Materi Presentasi Kelompok Pt 2.pptxPertemuan 3 Materi Presentasi Kelompok Pt 2.pptx
Pertemuan 3 Materi Presentasi Kelompok Pt 2.pptx
Sunan Ampel Islamic State University, Surabaya
 
HUKUM_INTERNASIONAL_Tanggung_Jawab_Negar.docx
HUKUM_INTERNASIONAL_Tanggung_Jawab_Negar.docxHUKUM_INTERNASIONAL_Tanggung_Jawab_Negar.docx
HUKUM_INTERNASIONAL_Tanggung_Jawab_Negar.docx
YusBaimbangBilabora
 
Ceramah fh
Ceramah fhCeramah fh
Ceramah fh
ekosetio16
 
Makalah manajemen bencana pada penanganan covid 19 di indonesia
Makalah manajemen bencana pada penanganan covid 19 di indonesiaMakalah manajemen bencana pada penanganan covid 19 di indonesia
Makalah manajemen bencana pada penanganan covid 19 di indonesia
Teuku Maulidin
 
Makalah Mata Kuliah Hukum Bisnis tentang Kasus Hukum Perdata dan Pidana dalam...
Makalah Mata Kuliah Hukum Bisnis tentang Kasus Hukum Perdata dan Pidana dalam...Makalah Mata Kuliah Hukum Bisnis tentang Kasus Hukum Perdata dan Pidana dalam...
Makalah Mata Kuliah Hukum Bisnis tentang Kasus Hukum Perdata dan Pidana dalam...
Yayasan Pendidikan Pomparan Toga Siregar
 
Hari Anti Korupsi Internasional
Hari Anti Korupsi InternasionalHari Anti Korupsi Internasional
Hari Anti Korupsi Internasional
Lestari Moerdijat
 
Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan BencanaUndang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
Penataan Ruang
 
Undang undang nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana
Undang undang nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencanaUndang undang nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana
Undang undang nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana
Rizki Fitrianto
 
UU 24 Tahun 2007.pdf
UU 24 Tahun 2007.pdfUU 24 Tahun 2007.pdf
UU 24 Tahun 2007.pdf
BasoRezkiMaulana1
 
Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007
Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007
Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007
JalinKrakatau
 
Hukum prestasi dan wanprestasi di indonesia
Hukum prestasi dan wanprestasi di indonesiaHukum prestasi dan wanprestasi di indonesia
Hukum prestasi dan wanprestasi di indonesia
noviyulia2
 
HUKUM-PERIKATAN-PPM.pptx
HUKUM-PERIKATAN-PPM.pptxHUKUM-PERIKATAN-PPM.pptx
HUKUM-PERIKATAN-PPM.pptx
DEWISARAH13
 
Asuransi Kesehatan
Asuransi KesehatanAsuransi Kesehatan
Asuransi Kesehatan
Safira Sahida
 
Hukum asuransi
Hukum asuransiHukum asuransi
Hukum asuransi
Defina Sulastiningtiyas
 
Artikel konsep pembangunan saat ini
Artikel konsep pembangunan saat iniArtikel konsep pembangunan saat ini
Artikel konsep pembangunan saat ini
arnoldjansen10
 
Asuransi Hazards Risiko
Asuransi   Hazards   RisikoAsuransi   Hazards   Risiko
Asuransi Hazards Risiko
Bagus Budiono
 
Good government governance
Good government governanceGood government governance
Good government governance
Elly Willy
 

Similar to Tanggungjawab Penyelenggara Negara Dalam Penanganan Pandemi Covid-19 (20)

Hbl 4,nurcholis muttaqin,hapzi ali,asuransi, universitas mercu buana, 2018
Hbl 4,nurcholis muttaqin,hapzi ali,asuransi, universitas mercu buana, 2018Hbl 4,nurcholis muttaqin,hapzi ali,asuransi, universitas mercu buana, 2018
Hbl 4,nurcholis muttaqin,hapzi ali,asuransi, universitas mercu buana, 2018
 
Pertemuan 3 Materi Presentasi Kelompok Pt 2.pptx
Pertemuan 3 Materi Presentasi Kelompok Pt 2.pptxPertemuan 3 Materi Presentasi Kelompok Pt 2.pptx
Pertemuan 3 Materi Presentasi Kelompok Pt 2.pptx
 
HUKUM_INTERNASIONAL_Tanggung_Jawab_Negar.docx
HUKUM_INTERNASIONAL_Tanggung_Jawab_Negar.docxHUKUM_INTERNASIONAL_Tanggung_Jawab_Negar.docx
HUKUM_INTERNASIONAL_Tanggung_Jawab_Negar.docx
 
Ceramah fh
Ceramah fhCeramah fh
Ceramah fh
 
Makalah Asuransi Kesehatan & BPJS
Makalah Asuransi Kesehatan & BPJSMakalah Asuransi Kesehatan & BPJS
Makalah Asuransi Kesehatan & BPJS
 
Makalah manajemen bencana pada penanganan covid 19 di indonesia
Makalah manajemen bencana pada penanganan covid 19 di indonesiaMakalah manajemen bencana pada penanganan covid 19 di indonesia
Makalah manajemen bencana pada penanganan covid 19 di indonesia
 
Makalah Mata Kuliah Hukum Bisnis tentang Kasus Hukum Perdata dan Pidana dalam...
Makalah Mata Kuliah Hukum Bisnis tentang Kasus Hukum Perdata dan Pidana dalam...Makalah Mata Kuliah Hukum Bisnis tentang Kasus Hukum Perdata dan Pidana dalam...
Makalah Mata Kuliah Hukum Bisnis tentang Kasus Hukum Perdata dan Pidana dalam...
 
Hari Anti Korupsi Internasional
Hari Anti Korupsi InternasionalHari Anti Korupsi Internasional
Hari Anti Korupsi Internasional
 
Konsekuensi yuridis terhadap timbulnya kerugian keuangan negara dalam tindak ...
Konsekuensi yuridis terhadap timbulnya kerugian keuangan negara dalam tindak ...Konsekuensi yuridis terhadap timbulnya kerugian keuangan negara dalam tindak ...
Konsekuensi yuridis terhadap timbulnya kerugian keuangan negara dalam tindak ...
 
Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan BencanaUndang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
 
Undang undang nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana
Undang undang nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencanaUndang undang nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana
Undang undang nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana
 
UU 24 Tahun 2007.pdf
UU 24 Tahun 2007.pdfUU 24 Tahun 2007.pdf
UU 24 Tahun 2007.pdf
 
Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007
Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007
Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007
 
Hukum prestasi dan wanprestasi di indonesia
Hukum prestasi dan wanprestasi di indonesiaHukum prestasi dan wanprestasi di indonesia
Hukum prestasi dan wanprestasi di indonesia
 
HUKUM-PERIKATAN-PPM.pptx
HUKUM-PERIKATAN-PPM.pptxHUKUM-PERIKATAN-PPM.pptx
HUKUM-PERIKATAN-PPM.pptx
 
Asuransi Kesehatan
Asuransi KesehatanAsuransi Kesehatan
Asuransi Kesehatan
 
Hukum asuransi
Hukum asuransiHukum asuransi
Hukum asuransi
 
Artikel konsep pembangunan saat ini
Artikel konsep pembangunan saat iniArtikel konsep pembangunan saat ini
Artikel konsep pembangunan saat ini
 
Asuransi Hazards Risiko
Asuransi   Hazards   RisikoAsuransi   Hazards   Risiko
Asuransi Hazards Risiko
 
Good government governance
Good government governanceGood government governance
Good government governance
 

Tanggungjawab Penyelenggara Negara Dalam Penanganan Pandemi Covid-19

  • 1. Kajian Terhadap Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) Departemen Hukum Universitas Bali Dwipa
  • 2. TANGGUNG JAWAB Pengertian tanggung jawab secara umum : Tangung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatan, baik yang disengaja maupun yang tidak di sengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajiban. KBBI : Tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa- apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya) Sugeng Istanto : Pertanggungjawaban berarti sebuah kewajiban memberikan jawaban yang merupakan perhitungan atas semua hal yang terjadi dan kewajiban untuk memberikan pemulihan atas kerugian yang mungkin ditimbulkannya.
  • 3. Black's Law Dictionary : Tanggung jawab (liability) mempunyai 3 (tiga) arti, antara lain : a. Merupakan satu kewajiban terikat dalam hukum atau keadilan untuk melakukan sesuatu. b. Kondisi menjadi bertanggung jawab atas kerugian atau aktual. c. Kondisi yang menciptakan tugas untuk melakukan tindakan segera atau di masa depan.
  • 4. Bilamana lahirnya tanggung jawab ? Dalam pandangan umum : Tanggung jawab lahir manakala adanya KESALAHAN  tanggung jawab PERDATA dan/atau PIDANA (dan/atau ADMINISTRASI) berupa SANKSI. Menurut pendapat saya : Tanggung jawab adalah melaksanakan suatu kewajiban secara sadar (do the obligation consciously). Jika dilaksanakan dengan baik akan mendapatkan penghargaan (reward), sebaliknya jika dilaksanakan dengan tidak baik (terjadi kesalahan) akan dikenai hukuman (punishment).
  • 5. PENYELENGGARA NEGARA Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, Pasal 1 angka 1 : “Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
  • 6. Pasal 2 : Penyelenggara Negara meliputi : 1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara; 2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; 3. Menteri; 4. Gubernur; 5. Hakim; 6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku; dan 7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
  • 7. PANDEMI Pandemi adalah penyakit yang menyebar secara global meliputi area geografis yang luas. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pandemi tidak ada hubungannya dengan tingkat keparahan penyakit, jumlah korban atau infeksi, akan tetapi, pandemi berhubungan dengan penyebaran secara geografis. Wikipedia : Pandemi (dari Bahasa Yunani πᾶν pan yang artinya semua dan δήμος demos yang artinya orang) adalah epidemi penyakit yang menyebar di wilayah yang luas, misalnya beberapa benua, atau di seluruh dunia. KBBI : Pandemi/pan·de·mi/ /pandémi/ n wabah yang berjangkit serempak di mana-mana, meliputi daerah geografi yang luas.
  • 8. Apakah Covid-19 merupakan Pandemi ? Virus corona yang menyebabkan penyakit Covid-19, saat ini dinyatakan oleh WHO sebagai pandemi, oleh karena penyakit yang diduga muncul pertama kali di Wuhan, Tiongkok tersebut telah menyebar ke berbagai negara di dunia. Apakah Pandemi Covid-19 di Indonesia merupakan hal ikwal kegentingan yang memaksa sehingga Pemerintah perlu menerbitkan PERPPU ?
  • 9. POLEMIK PERPPU  ISU HUKUM PERPPU Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19), ditetapkan oleh Presiden pada tanggal 31 Maret 2020, membawa polemik di masyarakat karena : • adanya dugaan kekebalan hukum dari penyelenggara negara; • dianggap memberi perlindungan hukum yang tidak sesuai UU; • anggapan seolah-olah adanya kekebalan hukum; Hal tersebut di atas terkait dengan ketentuan BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 27 ayat 1, 2 dan 3 PERPPU.
  • 10. BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 27 (1) Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara. (2) Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
  • 11. DAPATKAH TANGGUNG JAWAB DIKESAMPINGKAN (DIHAPUS/DIBEBASKAN) ? MENURUT HUKUM PERDATA Pasal 1244 KUH Perdata Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya. Pasal 1245 KUH Perdata Tidak ada penggantian biaya, kerugian dan bunga bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.  Jadi jika ada Sesuatu Hal Yang Tak Terduga dan/atau Keadaan Memaksa maka debitur dibebaskan dari hukuman (tanggung jawab) untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. Sesuatu Hal Yang Tak Terduga dan/atau Keadaan Memaksa = Force Majeur
  • 12. Berdasarkan ketentuan Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata tersebut, maka unsur utama yang dapat menimbulkan keadaan force majeur adalah: 1) Adanya kejadian yang tidak terduga; 2) Adanya halangan yang menyebabkan suatu prestasi tidak mungkin dilaksanakan; 3) Ketidakmampuan tersebut tidak disebabkan oleh kesalahan debitur; 4) Ketidakmampuan tersebut tidak dapat dibebankan risiko kepada debitur. Force majeur diartikan sebagai kejadian yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak atau kedua belah pihak. Karena luasnya kemungkinan keadaan atau situasi force majeur, maka para pihak untuk mendapatkan kepastian hukum biasanya mencantumkan klausula dengan daftar peristiwa yang dapat menjadi force majeur dalam perjanjian mereka, seperti :
  • 13. Force Mejeure Event means the occurrence of an event of : a. Act of God (such as, but not limited to fires, explosions, earthquakes, drought, tidal waves and floods); b. War, hostilities (whether war be declared or not), invasion, act of foreign enemies, mobilization, requisition, or embargo; c. Rebellion, revolution, insurrection, or military or usurped power, or civil war; d. Contamination by radio-activity from any nuclear fuel, or from any nuclear waste from the combustion of nuclear fuel, radio-active toxic explosive, or other hazardous properties of any explosive nuclear assembly or nuclear component of such assembly; e. Riot, commotion, strikes, go slows, lock outs or disorder, unless solely restricted to employees of the Supplier or of his Subcontractors; f. Acts or threats of terrorism; or g. Other unforeseeable circumstances beyond the control of the Parties against which it would have been unreasonable for the affected party to take precautions an which the affected party cannot avoid event by using best efforts.
  • 14. Subekti dalam buku Pokok-pokok Hukum Perdata (hal. 150) menerangkan bahwa keadaan memaksa mencakup : a. keadaan memaksa yang bersifat mutlak (absolut) yakni bahwa para pihak tidak, mungkin melaksanakan hak dan kewajibannya;dan b. keadaan memaksa yang bersifat tidak mutlak (relatif), yakni bahwa para pihak masih dimungkinkan untuk melaksanakan hak dan kewajibannya. Risiko yang diakibatkan oleh keadaan memaksa dapat diperjanjikan oleh para pihak, antara lain melalui lembaga pertanggungan (asuransi). Mariam Darus Badrulzaman dalam buku KUH Perdata Buku III : Hukum Perikatan dengan Penjelasan menerangkan bahwa “force majeure absolut terjadi apabila kewajiban benar-benar tidak dapat dilaksanakan seluruhnya, misalnya ketika objek benda hancur karena bencana alam. Dalam hal ini pemenuhan prestasi tidak mungkin dilaksanakan oleh siapapun juga atau oleh setiap orang” (hal. 37). “Force majeure relatif terjadi ketika suatu perjanjian masih mungkin untuk dilaksanakan namun dengan pengorbanan atau biaya yang sangat besar dari pihak debitur, misalnya harga bahan baku impor menjadi sangat tinggi atau pemerintah tiba-tiba melarang membawa barang objek perjanjian keluar dari suatu pelabuhan” (hal. 37).
  • 15. Asser dalam buku Pengajian Hukum Perdata Belanda (hal. 368 – 369) terdapat dua kemungkinan akibat dari force majeur, yaitu : 1) Pengakhiran perjanjian, terjadi ketika halangan bersifat tetap. Dengan berakhirnya perjanjian, maka kontra prestasi juga ikut berakhir 2) Penundaan kewajiban, terjadi ketika peristiwa force majeur sifatnya sementara. Bila keadaan halangan telah pulih kembali, maka kewajiban prestasi dan kontra prestasi kembali pulih. Mariam Darus Badrulzaman dalam buku yang sama menerangkan bahwa agar debitur dapat mengemukakan alasan force majeur harus dipenuhi 3 (tiga) persyaratan (hal. 39) : 1) Ia harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah; 2) Ia tidak dapat memenuhi kewajibannya secara lain; dan 3) Ia tidak menanggung risiko, baik menurut ketentuan undang-undang maupun perjanjian atau karena itikad baik harus menanggung risiko.
  • 16. Pandemi Virus Corona (Covid-19) = Force Majeur ???
  • 17. MENURUT HUKUM PIDANA Dalam ilmu hukum pidana dikenal alasan penghapus pidana yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) : a. Alasan pembenar berarti alasan yang menghapus sifat melawan hukum suatu tindak pidana. Jadi, dalam alasan pembenar dilihat dari sisi perbuatannya (objektif). Misalnya, tindakan 'pencabutan nyawa' yang dilakukan eksekutor penembak mati terhadap terpidana mati (Pasal 50 KUHP); b. Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapus kesalahan dari si pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap melawan hukum. Jadi, dalam alasan pemaaf dilihat dari sisi orang/pelakunya (subjektif). Misalnya, lantaran pelakunya tak waras atau gila sehingga tak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya itu (Pasal 44 KUHP).
  • 18. Di dalam KUHP (KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA) dijelaskan rinciannya apa itu 2 jenis alasan tersebut. Alasan Pembenar yaitu : a. Perbuatan yang dilakukan dalam ‘keadaan darurat’ (Pasal 48 KUHP) b. Perbuatan yang dilakukan karena pembelaan terpaksa (Pasal 49 ayat (1) KUHP) c. Perbuatan untuk menjalankan peraturan perundang-undangan (Pasal 50 KUHP) d. Perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 KUHP). Alasan Pemaaf yaitu : a. Perbuatan yang dilakukan oleh orang yang ‘tidak mampu bertanggung jawab’ (Pasal 44 KUHP) b. Perbuatan yang dilakukan karena terdapat ‘daya paksa’ (Pasal 48 KUHP) c. Perbuatan karena ‘pembelaan terpaksa yang melampaui batas’ (Pasal 49 ayat (2) KUHP) d. Perbuatan yang dilakukan untuk menjalankan perintah jabatan yang tidak sah (Pasal 51 ayat (2) KUHP).
  • 19. Pandemi Virus Corona (Covid-19) = Keadaan Darurat ???
  • 20. PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG ( PERPPU ) DASAR HUKUM PENERBITAN PERPPU Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945(“UUD 1945”) : “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.” Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No, 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU 12/2011”) : “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.”
  • 21. Dari Dasar Hukum di atas dapat disarikan : 1. Syarat utama (atau bahkan syarat mutlak) untuk terbitnya PERPPU adalah “hal ikwal kegentingan yang memaksa”; 2. Presiden yang “berhak” menetapkan “hal ikwal kegentingan yang memaksa”  berdasarkan Subyektivitas Presiden (benar terjadi atau akan terjadi)  Dasar hukum penerbitan PERPPU merupakan “norma subyektif” Nantinya akan dinilai oleh DPR RI dengan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan (menolak) untuk kemudian disahkan menjadi Undang- Undang (UU).  Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011, PERPPU harus diajukan ke DPR dalam “persidangan berikut”, yakni masa sidang pertama DPR setelah PERPPU (penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011).
  • 22. Kedudukan PERPPU sebagai norma subjektif juga dinyatakan Jimly Asshiddiqie : “Pasal 22 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk secara subjektif menilai keadaan negara atau hal ihwal yang terkait dengan negara yang menyebabkan suatu undang-undang tidak dapat dibentuk segera, sedangkan kebutuhan akan pengaturan materiil mengenai hal yang perlu diatur sudah sangat mendesak sehingga Pasal 22 UUD 1945 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang- undang (Perppu)” (Asshiddiqie, 2010: 209)
  • 23. Ukuran objektif penerbitan PERPPU baru dirumuskan oleh Mahkamah Konstitusi (“MK”) dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Berdasarkan Putusan MK tersebut, ada tiga syarat sebagai parameter adanya “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan PERPU, yaitu: 1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; 2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; 3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
  • 24. PERPPU ini jangka waktunya terbatas (sementara) sebab secepat mungkin harus dimintakan persetujuan pada DPR, yaitu pada persidangan berikutnya. Apabila PERPPU itu disetujui oleh DPR, akan dijadikan Undang-Undang (UU). Sebaliknya, apabila PERPPU itu tidak disetujui oleh DPR, akan dicabut. Persetujuan DPR ini sangat penting karena DPR-lah yang memiliki kekuasaan legislatif, dan yang secara obyektif menilai ada tidaknya kegentingan yang memaksa, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Meskipun PERPPU tersebut belum dibahas oleh DPR, konsekuensi hukum dari PERPPU itu sudah ada  artinya, PERPPU tersebut sudah berlaku, bisa dilaksanakan, dan memiliki kedudukan yang setingkat dengan UU sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011.
  • 25. Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 menyatakan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
  • 26. Kedudukan PERPPU dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan  ada 2 (dua) pandangan : 1) PERPPU Sejajar/Setingkat dengan UU Karena itu, hierarkinya adalah setingkat/sama dengan Undang-Undang sehingga fungsi maupun materi muatan Perpu adalah sama dengan fungsi maupun materi muatan Undang-Undang 2) PERPPU di Bawah UU Perpu ini kadang-kadang dikatakan tidak sama dengan UU atau dianggap memiliki kedudukan di bawah UU karena belum disetujui oleh DPR. Perbedaan UU dan PERPPU UU selalu dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan DPR, dan dalam keadaan normal, atau menurut Perubahan UUD 1945 dibentuk oleh DPR dan disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, serta disahkan oleh Presiden, sedangkan Perpu dibentuk oleh Presiden tanpa persetujuan DPR karena adanya “suatu hal ihwal kegentingan yang memaksa.
  • 27. KAJIAN PERPPU NOMOR 1 TAHUN 2020 ISU HUKUM : 1. Sudah tepatkah syarat penerbitan PERPPU 1 Tahun 2020 ? 2. Dugaan kekebalan hukum dari penyelenggara negara, Anggapan memberi perlindungan hukum yang tidak sesuai UU, anggapan seolah-olah adanya kekebalan hukum bagi penyelenggara negara. Benarkah ?
  • 28. HAL IKWAL KEGENTINGAN YANG MEMAKSA Diuraikan dalam dasar menimbang sbb : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK TNDONESIA, Menimbang : a. bahwa penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang dinyatakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) sebagai pandemi pada sebagian besar negara- negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu dan telah menimbulkan korban jiwa, dan kerugian material yang semakin besar, sehingga berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesej ahteraan masyarakat; b. bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah berdampak antara lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurLlnan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan, sehingga diperlukan berbagai upaya Pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety netl, serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak;
  • 29. c. bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) telah berdampak pula terhadap memburuknya sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik sehingga perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk melakukan tindakan antisipasi (forward looking) dalam rangka menjaga stabilitas sektor keuangan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, Pemerintah dan lembaga terkait perlu segera mengambil kebijakan dan langkah-langkah luar biasa dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan melalui berbagai kebijakan relaksasi yang berkaitan dengan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) khususnya dengan melakukan peningkatan belanja untuk kesehatan, pengeluaran untuk jaring pengaman sosial (social safety net), dan pemulihan perekonomian, serta memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sektor keuangan; e bahwa kondisi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, telah memenuhi parameter sebagai kegentingan memaksa yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  • 30. Uji dengan Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 Berdasarkan Putusan MK tersebut, ada tiga syarat sebagai parameter adanya “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan PERPU, yaitu : 1) Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; 2) Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; 3) Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan; Hasil pengujian : Apakah PERPPU Nomor 1 Tahun 2020 Memenuhi Syarat / Tidak Memenuhi Syarat ?  Pada saatnya akan diuji oleh DPR untuk disahkan atau ditolak menjadi UU.
  • 31. Uji dengan Fakta dan Data 1. Kegentingan yang memaksa adalah timbulnya Pandemi yang disebabkan oleh Corona Virus Desease – 2019 (Covid-19) yang per 12 April 2020, jumlah kasus positif Covid-19 sudah mencapai 1.775.586 dan dari jumlah itu, sebanyak 108.558 meninggal. Sementara di Indonesia Sabtu (11/4/2020), jumlah kasus konfirmasi positif Covid-19 sebanyak 3.842 kasus dan sebanyak 327 meninggal dunia (sumber kompas.com) 2. Covid-19 telah berdampak antara lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan. 3. Dengan pertimbangan tersebut diperlukan berbagai upaya Pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada : (1) belanja untuk kesehatan, (2) jaring pengaman sosial (social safety net), dan (3) pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak.
  • 32. Uji dengan Fakta dan Data 4. Tiga fokus utama penyelamatan negara dari pandemi Corona tersebut di atas menyebabkan adanya kebutuhan tambahan anggaran untuk penanganan Covid-19 sebesar Rp 405,1 triliun dan anggaran tersebut belum ada dalam APBN 2020. Tambahan anggaran tersebut diperhitungkan dalam penganggaran dan akan terdapat pembiayaan defisit yang melampaui 3 persen (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB). 5. Hal itu tentu saja membuat situasi menjadi mendesak untuk mengganti (sementara) UU Keuangan Negara yang membatasi defisit belanja negara maksimal 3 persen dari PDB. 6. Keadaan mendesak juga diperlukan untuk pemberian kewenangan bagi Pemerintah agar dapat melakukan realokasi dan refocusing anggaran yang sebelumnya telah dialokasikan dalam APBN tahun 2020. Melalui realokasi dan refocusing yang bersifat segera diharapkan dapat segera memulihkan ekonomi
  • 33. DUGAAN KEKEBALAN HUKUM DARI PENYELENGGARA NEGARA, ANGGAPAN MEMBERI PERLINDUNGAN HUKUM YANG TIDAK SESUAI UU, ANGGAPAN SEOLAH-OLAH ADANYA KEKEBALAN HUKUM BAGI PENYELENGGARA NEGARA. Fakta dan data : 1. Adanya kebutuhan tambahan anggaran untuk penanganan Covid-19 sebesar Rp 405,1 triliun yang terdiri dari: a. Rp 75 triliun untuk intervensi penanggulangan Covid-19 berupa tambahan belanja kesehatan, pemberian insentif tenaga kesehatan, dan pemberian alat kesehatan termasuk Alat Pelindung Diri (APD) bagi seluruh 132 rumah sakit rujukan. b. Rp 110 Triliun untuk memperkuat jaring pengaman sosial. Program tersebut antara lain kenaikan anggaran Keluarga Harapan (PKH), perluasan program kartu sembako, peningkatan Kartu Pra Kerja sebanyak 2 kali lipat untuk masyarakat yang terkena PHK, pembebasan tagihan listrik selama 3 (tiga) bulan untuk 24 juta pelanggan 450VA, dan pemberian diskon 50 persen selama 3 bulan untuk 7 juta pelanggan 900VA bersubsidi. Juga diberikan dukungan logistik sembako dan kebutuhan pokok bagi daerah yang mengalami pembatasan sosial luas atau karantina. c. Rp 70,1 triliun dukungan insentif dan relaksasi perpajakan bagi sektor dunia usaha yang terdampak dan termasuk penundaan pembayaran cicilan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Ultra Mikro dan Penundaan pembayaran pinjaman terutama untuk Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dan pelaku ekonomi kecil lainnya. Pemerintah juga melakukan penurunan tarif PPh badan dari 25 persen menjadi 22 persen. d. Dukungan pembiayaan anggaran untuk penanganan Covid-19 sebesar Rp150 triliun dalam rangka mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional.
  • 34. 2. Rincian kebutuhan anggaran ini berdampak pada sisi belanja dan juga pendapatan negara dalam APBN 2020. 3. Biaya yang dikeluarkan pemerintah ini adalah biaya ekomomi yang bertujuan untuk penyelamatan negara dari krisis dan tidak bisa dianggap sebagai merupakan kerugian negara. 4. Biaya yang dikeluarkan ini disadari tidak akan sepenuhnya kembali dan juga hilangnya potensi penerimaan negara, namun di sisi lain telah timbul manfaat yang lebih besar yaitu pulihnya perekonomian dan dunia usaha sehingga dapat menyelamatkan ekonomi Indonesia, sehingga biaya yang dikeluarkan tidak bisa disebut sebagai kerugian negara.
  • 35. Hak Istimewa yang diberikan PERPPU kepada Penyelenggara Negara (Pasal 27) 1. BUKAN MERUPAKAN KERUGIAN NEGARA  Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis; 2. TIDAK DAPAT DITUNTUT BAIK SECARA PERDATA MAUPUN PIDANA  bagi penyelenggara negara yang berkaitan dengan pelaksanaan PERPPU 3. BUKAN MERUPAKAN OBJEK GUGATAN YANG DAPAT DIAJUKAN KEPADA PERADILAN TATA USAHA NEGARA  segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan PERPPU Benarkah dugaan dan anggapan bahwa penyelenggara negara dalam pelaksanaan PERPPU ini memiliki kekebalan hukum, mendapatkan perlindungan hukum yang tidak sesuai UU, dan mendapatkan kekebalan hokum ?
  • 36. BUKAN MERUPAKAN KERUGIAN NEGARA Definisi kerugian negara Terdapat dalam beberapa undang-undang, antara lain adalah sebagai berikut: Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK) : “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” Pasal 1 Angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan Negara) : “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” Definisi kerugian negara berdasarkan ketentuan-ketentuan hokum di atas dikatakan menganut konsep kerugian negara dalam arti delik materiil.
  • 37. BUKAN MERUPAKAN KERUGIAN NEGARA Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara dikatakan bahwa kerugian negara dapat terjadi karena pelanggaran hukum atau kelalaian pejabat negara atau pegawai negeri bukan bendahara dalam rangka pelaksanaan kewenangan administratif atau oleh bendahara dalam rangka pelaksanaan kewenangan kebendaharaan. Penyelesaian kerugian negara perlu segera dilakukan untuk mengembalikan kekayaan negara yang hilang atau berkurang serta meningkatkan disiplin dan tanggung jawab para pegawai negeri/pejabat negara pada umumnya, dan para pengelola keuangan pada khususnya. Berdasarkan UU BPK dan Keppres No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen yang menilai / menetapkan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (“BPK”) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (“BPKP”).
  • 38. BUKAN MERUPAKAN KERUGIAN NEGARA Pelanggaran hokum atau kelalaian pejabat negara yang menyebabkan kerugian negara masuk dalam ranah perkara korupsi  delik korupsi. Bagaimana jika perkara korupsi tersebut telah sampai pada ranah pengadilan? Bagaimana cara hakim menilai sejauh mana keuangan negara tersebut dikatakan mengalami kerugian? Karena menyangkut perkara korupsi, maka hakim akan menggunakan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  Hukum Pidana  Delik Pidana. Dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 menggunakan frasa “yang dapat merugikan keuangan negara” sehingga UU Nomor 31 Tahun 1999 dikatakan menganut konsep kerugian negara dalam arti delik formil.
  • 39. BUKAN MERUPAKAN KERUGIAN NEGARA Berdasarkan Ketentuan Pasal 27 ayat (1) PERPPU Nomor 1 Tahun 2020, yang menyatakan bahwa biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka penanganan Pandemi Covid-19 bukan merupakan kerugian negara. Dengan demikian maka jika dikaji berdasarkan asas-asas hokum, maka Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan karena itu dapat dipahami, dimengerti, bahwa demi hokum biaya-biaya tersebut adalah : BUKAN MERUPAKAN KERUGIAN NEGARA.
  • 40. TIDAK DAPAT DITUNTUT BAIK SECARA PERDATA MAUPUN PIDANA Ketentuan yang tercantum Pasal 27 ayat (2) PERPPU Nomor 1 Tahun 2020 ini dimaksudkan sebagai alasan pembenar untuk menghapuskan tanggung jawab penyelenggara negara atas suatu tindak pidana dalam hokum pidana maupun perbuatan melawan hokum dalam hokum perdata karena terjadinya pandemi Covid-19 merupakan force majeur (kejadian luar biasa). Alasan pembenar dalam perkara pidana karena apa yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dalam penanganan pandemi Covid-19 merupakan Perbuatan untuk menjalankan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 50 KUHP. Sedangkan dalam perkara perdata apa yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dalam penanganan pandemi Covid-19 sehingga tidak memenuhi kewajiban perdatanya adalah karena disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga (Pasal 1244 KUH Perdata) atau keadaan memaksa (Pasal 1245 KUH Perdata) sehinga tidak harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. Dengan demikian penyelenggara negara dalam penanganan pandemi Covid-19 TIDAK DAPAT DITUNTUT BAIK SECARA PERDATA MAUPUN PIDANA ???.
  • 41. TIDAK DAPAT DITUNTUT BAIK SECARA PERDATA MAUPUN PIDANA Namun ketentuan Pasal 27 ayat (2) PERPPU Nomor 1 Tahun 2020 ini memberikan SYARAT bahwa penyelenggara negara tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana bilamana dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. ITIKAD BAIK Pengertian itikad baik (setidaknya menurut saya) dapat dirumuskan sebagai “kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum yang didasarkan pada sikap batin dan kesadaran akan tanggung jawabnya sesuai dengan norma yang berlaku”. Ada beberapa ketentuan hokum yang mengkaitkan dengan itikad baik, diantaranya ketetuan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang mensyaratkan bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
  • 42. TIDAK DAPAT DITUNTUT BAIK SECARA PERDATA MAUPUN PIDANA SESUAI DENGAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Berarti bahwa apa yang dilakukan semata-mata berdasarkan dan sesuai dengan apa yang telah diatur atau ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Untuk penggunaan keuangan negara yang pastinya bersumber dari APBN, maka harus mengacu pada Pasal 23 Ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat”. Dengan demikian pelaksanaan keuangan negara harus dilakukan secara “terbuka” (transparansi) dan bertanggung jawab (akuntabilitas).
  • 43. TIDAK DAPAT DITUNTUT BAIK SECARA PERDATA MAUPUN PIDANA Transparansi adalah prinsip yang sangat penting dalam kontrak yang dibuat oleh pemerintah, utamanya ditujukan untuk melindungi keuangan negara. Transparansi adalah salah satu prinsip terpenting dalam United Nations Commission On International Trade Law (UNCITRAL) Model Law On Procurenment of Good, Construction and Services. Akuntabilitas berorientasi pada hasil. Dalam konteks pengadaan oleh pemerintah, yakni pengadan barang dan jasa, prinsip akuntabilitas juga harus diarahkan pada kesejahteraan umum dan perlindungan keselamatan umum. Inspeksi oleh pemerintah atas pelaksanaan kontrak oleh kontraktor untuk menentukan apakah persyaratan spesifikasi teknik telah ditaati, merupakan contoh tindakan dalam rangka melindungi keselamatan umum.
  • 44. TIDAK DAPAT DITUNTUT BAIK SECARA PERDATA MAUPUN PIDANA Dengan demikian bilamana dalam penanganan pandemi Covid-19 ini penyelenggara negara yang dimaksud dalam PERPPU Nomor 1 Tahun 2020 tidak melaksanakannya dengan itikad baik dan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan maka berarti ada “KESALAHAN” yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara, sehingga Penyelenggara Negara yang bersangkutan DAPAT DITUNTUT BAIK SECARA PERDATA MAUPUN PIDANA
  • 45. BUKAN MERUPAKAN OBJEK GUGATAN YANG DAPAT DIAJUKAN KEPADA PERADILAN TATA USAHA NEGARA Pasal 1 Angka 10 UU Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tata Usaha Negara*) Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan Pasal 1 angka 9 UU 51/2009 didefinisikan sebagai berikut: Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. *) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara (“UU 5/1986”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Pertama atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU 9/2004”) dan terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU 51/2009”)
  • 46. BUKAN MERUPAKAN OBJEK GUGATAN YANG DAPAT DIAJUKAN KEPADA PERADILAN TATA USAHA NEGARA Sengketa Tata Usaha Negara diselesaikan di Pengadilan Tata Usaha Negara dengan mengajukan gugatan tertulis yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi. Alasan yang dapat digunakan dalam gugatan tertulis disebutkan dalam Pasal 53 ayat (2) UU 9/2004 sebagai berikut : a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas- asas umum pemerintahan yang baik.
  • 47. BUKAN MERUPAKAN OBJEK GUGATAN YANG DAPAT DIAJUKAN KEPADA PERADILAN TATA USAHA NEGARA ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK. Dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggara pemerintahan serta mendukung pelaksanaan reformasi birokrasi maka diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Administrasi Pemerintahan. Kehadiran UU yang terdiri atas 89 pasal ini dimaksudkan untuk menciptakan hukum, mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang, menjamin akuntabilitas Badan dan/atau Pejabat Pemerintah, memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat dan aparatur pemerintah serta menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB). AUPB merupakan prinsip yang digunakan sebagai acuan penggunaan wewenang bagi pejabat pemerintahan dalam mengeluarkan keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
  • 48. BUKAN MERUPAKAN OBJEK GUGATAN YANG DAPAT DIAJUKAN KEPADA PERADILAN TATA USAHA NEGARA
  • 49. BUKAN MERUPAKAN OBJEK GUGATAN YANG DAPAT DIAJUKAN KEPADA PERADILAN TATA USAHA NEGARA Dengan demikian bilamana dalam penanganan pandemi Covid-19 ini penyelenggara negara yang dimaksud dalam PERPPU Nomor 1 Tahun 2020 membuat Keputusan Tata Usaha Negara yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau Keputusan Tata Usaha Negara yang bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan MERUPAKAN OBJEK GUGATAN YANG DAPAT DIAJUKAN KEPADA PERADILAN TATA USAHA NEGARA
  • 50.
  • 51. 1. Jaga Jarak Aman (1-2 M) 2. Gunakan Masker 3. Cek Suhu Tubuh 4. Cuci Tangan / Hand Sanitizer 5. Batasi Jumlah Kerumunan