SlideShare a Scribd company logo
1
DAFTAR ISI
IMPOR DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
Abustan 4
KARTU TERAKHIR PEMERINTAH
Ariyo DP Irhamna 7
CARA PINTAR PILIH SAHAM 2.0
Lukas Setia Atmaja 10
KUALITAS DATA PANGAN
Khudori 12
MOMENTUM WUJUDKAN PMD
Rokhmin Dahuri 15
MENANTI KEAMPUHAN KETIGA DEKLARASI DJUANDA
Ketut Aria Pria Utama 19
MELAMPAUI PENCAPAIAN DJUANDA
M Riza Damanik 22
INVESTOR SAHAM ALA RUDY HARTONO
Lukas Setia Atmaja 25
RUMAH SUSUN BUKAN IMPIAN
Basuki Hadimuljono 27
KEBANGKITAN DIRGANTARA
John Brata 30
KESENJANGAN DAN THE FED
Firmanzah 32
PEKERJAAN & KERJA
Dinna Wisnu 35
NAWACITA DAN IMPOR BERAS
Posman Sibuea 38
TANTANGAN PETERNAK RAKYAT MENGHADAPI MEA
Aunur Rofiq 41
INOVASI DAN SISTEM PEMBAYARAN PERBANKAN
Achmad Deni Daruri 44
KONTROVERSI PENGHENTIAN GOJEK
2
Elfindri 47
“BRAND RAKYAT”
Yuswohady 50
THE NYANGKUTERS SEUMUR HIDUP
Lukas Setia Atmaja 52
ANTISIPASI KENAIKAN LANJUTAN SUKU BUNGA THE FED
Firmanzah 54
MENGELOLA TRANSPORTASI DI 2016
Dinna Wisnu 57
MENCAMPUR SAHAM DENGAN EMAS
Lukas Setia Atmaja 61
GREAT MARKETING TEAM
Yuswohady 63
TANTANGAN 2016: KEMISKINAN, PENGANGGURAN, DAN FISKAL
Firmanzah 66
TUKANG CATUT, RENTENIR, LINTAH DARAT, & NEGARA
Bambang Setiaji 69
TAHUN KONSOLIDASI SARAT GADUH
Bambang Soesatyo 72
DARI PETRAL KE FREEPORT
Fahmy Radhi 76
EKONOMI DUNIA DAN PROGRAM PENYESUAIAN 2016
Elfindri 79
REFLEKSI MARITIM AKHIR TAHUN
Siswanto Rusdi 83
MAY THE FORCE BE WITH YOU
Lukas Setia Atmaja 86
KETIKA TAX AMNESTY KURANG MENARIK
Candra Fajri Ananda 88
MODAL EKONOMI 2016
Firmanzah 92
5 TANTANGAN EKONOMI 2016
Berly Martawardaya 95
3
MENGAKHIRI SIKLUS HARGA KOMODITAS
Bhima Yudhistira Adhinegara 97
OPEC, AMERIKA SERIKAT, DAN HARGA MINYAK 2016
Sunarsip 100
PELABUHAN
Rhenald Kasali 103
TRILOGI KETIMPANGAN YANG MENCEMASKAN
Khudori 106
BRAND IN CRISIS
Yuswohady 109
HANTU STOCK MARKET BUBBLE
Lukas Setia Atmaja 112
KEMISKINAN PERLU FOKUS PENANGANAN
Firmanzah 114
MEA DAN STRATEGI KOLEKTIF ANTARNEGARA
Sudjito 117
EKONOMI DIGITAL DAN KUALITAS HIDUP RAKYAT
Dian Siswarini 120
MENGGIATKAN (LAGI) EKONOMI KREATIF
Dedi Purwana ES 123
INVESTASI ASING DAN SISTEM PEMBAYARAN
Achmad Deni Daruri 126
MEA DAN PEMBANGUNAN SOSIAL
Dinna Wisnu 129
STATUS HUKUM MEA
Handa Abidin 133
STRATEGI UKM HADAPI MEA
Aunur Rofiq 136
KOMODITAS KITA DAN PASAR DUNIA
Rhenald Kasali 139
WE ARE NOT AFRAID
Lukas Setia Atmaja 143
4
Impor dan Perlindungan Konsumen
05-12-2015
Beberapa pekan terakhir ini, kita menyaksikan masalah impor ramai diperbincangkan di
masyarakat. Tak hanya impor produk pertanian seperti beras dan perikanan, tetapi juga
produk industri seperti elektronik, sepatu, mainan anak, kosmetik, dan alat-alat rumah
tangga.
Bahkan, Presiden Jokowi sudah menyentil dalam akun Facebooknya, “Dalam rapat terbatas
tadi siang, saya perintahkan impor ilegal, baik produk baru maupun bekas, harus diberantas.
Produk impor ilegal sudah lama mengganggu pasar dalam negeri, merugikan keuangan
negara, dan melemahkan daya saing produk industri dalam negeri”.
Pertanyaan dasar buat kita, apakah Indonesia sudah siap berkompetisi dengan memiliki daya
saing, apakah kita sudah memastikan daya saing itu berkelanjutan melalui penyiapan
kelembagaan dan sumber daya manusia, terakhir apakah kebijakan perdagangan kita sudah
memiliki landasan hukum yang kuat?
Nasionalisme konsumen
Harus diakui, dengan jumlah penduduk mencapai 260 juta jiwa, Indonesia memang
merupakan pasar yang menggiurkan. Bahkan satu-satunya sumber daya saing Indonesia yang
menonjol dalam 10 tahun terakhir ini adalah pasar yang besar (big market), seperti laporan
Global Competitiveness Report dari waktu ke waktu. Tidak hanya itu, Indonesia juga disebut
sebagai bagian dari motor pertumbuhan PDB Global.
Maka tak aneh jika kemudian investor melirik Indonesia sebagai negara tujuan karena
dianggap akan memberikan nilai plus atau keuntungan yang besar. Tak hanya mereka yang
menggunakan surat-surat resmi, tetapi juga yang melalui jalur black market adalah tidak
sedikit. Inilah saya kira yang menjadi kekhawatiran pemerintah sekarang ini.
Asumsi dasarnya adalah barang impor ilegal akan melemahkan daya saing produk nasional,
serta mengancam keberlangsungan industri dalam negeri. Padahal untuk bisa memiliki neraca
keuangan yang sehat, pemerintah harus memiliki perekonomian yang kuat. Hal itu antara lain
dilakukan dengan memperbesar porsi ekspor dibanding impor. Untuk itu, pemerintah perlu
meningkatkan produksi dalam negeri.
Daya saing produk lokal pun harus terus diperkuat sehingga dapat melawan barang-barang
dari negara lain. Sebab persaingan yang paling terasa, yaitu dari sisi harga dan kualitas. Akan
tetapi, dengan adanya produk impor ilegal, maka produk lokal akan sulit untuk bersaing.
5
Namun yang paling penting pula adalah kesadaran masyarakat terhadap pentingnya larangan
produk impor ilegal. Karena logikanya, jika menggunakan kaca mata hukum ekonomi, bisa
dikatakan tingginya ilegal karena besarnya permintaan (demand) dari masyarakat (konsumen)
itu sendiri. Dengan kata lain, masih banyak konsumen yang lebih memilih produk seperti itu
ketimbang produk yang melalui jalur resmi, atau bahkan produk lokal. Bandingkan dengan
warga Korea Selatan yang sangat berbangga ketika menggunakan produk yang diproduksi di
dalam negeri.
Jadi, dalam konteks ini, dalam rangka menghadapi serangan impor dari luar, mau tak mau
“ideologi nasionalisme” yang harus ditumbuhkembangkan dalam jiwa konsumen. Inilah
saatnya mengubah paradigma berpikir konsumen yang setiap kali memperoleh dan atau
membeli suatu barang hanya didasari oleh keinginan semata. Tanpa mempertimbangkan
secara matang kualitas barang dan faktor kebutuhan konsumen itu sendiri.
Di era globalisasi seperti sekarang ini, apalagi dengan datangnya Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA) yang sudah dideklarasikan oleh semua kepala negara ASEAN yang akan
berkomitmen untuk menjadikan kawasan ASEAN sebagai masyarakat ekonomi ASEAN.
Maka tentu menjadi keharusan bagi konsumen untuk ditingkatkan pengetahuannya agar
konsumen bisa lebih cerdas (smart consumer) dalam memilih/melakukan transaksi atas
sebuah barang dan/atau jasa.
Untuk itulah, masyarakat konsumen Indonesia harus memiliki semangat seperti yang
dikobarkan bangsa Korea. Di negeri ini, haruslah mampu membangun karakter dan watak
nasionalisme Indonesia agar menjadi tangguh sehingga pada gilirannya akan mampu
membangun perekonomian yang kuat dan dapat bersaing dengan negara-negara lain.
Perlindungan Konsumen
Harus diakui, Indonesia saat ini terkesan ambigu, yaitu di satu sisi sangat antusias
menggunakan perangkat penguasaan pasar. Akan tetapi, di sisi lain, argumentasi efisiensi
menjadi aksesori. Ini juga menjadi jawaban mengapa sejumlah kasus praktek usaha yang
tidak sehat sulit diselesaikan. Karena memang tujuannya sekadar efisiensi, bukan melindungi
konsumen.
Dengan demikian, pertanyaan pertama buat kita: seberapa besar daya tawar konsumen yaitu
individu dan rumah tangga saat ini terhadap berbagai barang dan jasa? Pertanyaan kedua,
apakah memang faktanya berbahaya produk impor yang beredar sekarang ini? Sebab
perdagangan luar negeri adalah dua arah: impor dan ekspor.
Kalau kita selalu melihat dari kacamata impor itu membahayakan produksi dalam negeri,
mungkin persepsi ini kurang tepat karena kompetisi yang sehat diperlukan untuk
terbentuknya harga yang wajar dan kualitas barang yang baik bagi konsumen. Tak dapat
dimungkiri, akan mengalir dengan deras barang-barang konsumsi seperti elektronik dan besi
baja, tekstil, sandal, dan berbagai merek sepatu, sampai kepada konsumsi makanan dan
6
minuman.
Menghadapi kondisi yang serius seperti ini, tentu pihak pemerintah (regulator) harus cermat
dan cerdas menyikapinya. Dalam konteks itulah, pemerintah harus membuat kebijakan
(regulasi) perdagangan, sehingga pelaku usaha dan pasar dalam negeri tetap kondusif serta
keberadaan konsumen tetap terlindungi. Intinya, konsumen harus diberi kesempatan untuk
memilih berbagai ragam barang impor yang ada.
Sebab pada dasarnya, satu-satunya tujuan utama regulasi adalah menciptakan keseimbangan
dan keadilan antara produsen dengan konsumen. Apalagi dalam situasi persaingan yang
kompleks dan dinamika lingkungan yang cair, kebutuhan terhadap regulasi yang kuat
diperlukan untuk mengoptimalkan proteksi terhadap perlindungan konsumen. Memberikan
perlindungan dan kedaulatan bagi konsumen adalah ultimate goal yang seharusnya melekat
pada negara.
Oleh karena itu, impor dan perlindungan konsumen adalah ibarat dua sisi mata uang yang tak
terpisahkan. Pada titik inilah Indonesia harus menunjukkan kredibilitasnya kalau ingin sukses
dalam merespons dinamika perdagangan yang dicirikan mobilitas impor yang begitu deras,
tetapi, di sisi lain, tetap menunjukkan konsistensi dan penghormatan terhadap kedaulatan dan
perlindungan konsumen.
DR ABUSTAN, SH MH
Komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)RI
7
Kartu Terakhir Pemerintah
05-12-2015
Dalam merespons kinerja ekonomi global yang penuh ketidakpastian, dalam kurun waktu
kurang dari 3 bulan pemerintah telah mengeluarkan 6 paket kebijakan ekonomi agar kinerja
ekonomi Indonesia tidak semakin terpuruk.
Pertumbuhan ekonomi pada triwulan pertama dan kedua tahun ini masing-masing hanya
tumbuh 4,71% dan 4,67%, tetapi pada triwulan ketiga mulai lebih baik, yakni tumbuh 4,73%.
Namun dampak pertumbuhan di triwulan pertama dan kedua sudah terasa, tingkat
pengangguran terbuka Agustus 2015 sebesar 6,18% meningkat dibanding TPT Februari 2015
(5,81%) dan TPT Agustus 2014 (5,94%).
Dari 6 paket kebijakan ekonomi yang sudah dirilis, ada pesan yang jelas dari serangkaian
paket pertama hingga keenam, pemerintah berhasrat untuk mengundang investor berinvestasi
lebih masif di Indonesia dengan melakukan kebijakan insentif, deregulasi dan debirokratisasi.
Harapannya investor dapat berbisnis lebih mudah sehingga sektor riil dapat bergerak
sehingga sektor investasi dapat menjadi prime mover dalam struktur pertumbuhan ekonomi.
Paket Kebijakan Ekonomi
Paket kebijakan ekonomi tahap 1 mencakup deregulasi 98 peraturan untuk memangkas
peraturan yang menghambat daya saing industri, subsidi bunga kredit untuk UMKM hingga
rumah murah untuk masyarakat pekerja. Tentu tidak mudah untuk merealisasikannya dan
kebijakan tersebut dampaknya baru dirasakan dalam jangka panjang. Padahal yang mendesak
dibutuhkan adalah kebijakan yang mampu menggerakkan aktivitas ekonomi dalam jangka
pendek.
Kebijakan deregulasi berlanjut ke paket jilid 2 yang fokus untuk memperbaiki iklim investasi
dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Misalnya insentif pengurangan pajak devisa hasil
ekspor untuk eksportir yang menyimpan DHE di perbankan yang beroperasi di dalam
negeri. Upaya ini patut diapresiasi karena salah satu penyebab rentannya nilai tukar mata
uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat adalah sistem devisa bebas yang kita terapkan.
Namun akan lebih bagus jika pemerintah meninggalkan sistem devisa bebas dengan
mengajukan revisi UU Nomor 24/1999 tentang lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar
sebagai Prolegnas 2016.
Kemudian di paket kebijakan ekonomi jilid 3, pemerintah menurunkan harga BBM, gas, dan
listrik untuk kegiatan industri, penambahan jenis kegiatan usaha yang menerima kredit usaha
rakyat, dan simplifikasi izin pertanahan untuk kegiatan penanaman modal. Pada paket
8
kebijakan ekonomi keempat, pemerintah mengesahkan formula baru perhitungan upah
minimum dan kredit modal kerja untuk produsen barang ekspor.
Dalam paket kebijakan ekonomi kelima, pemerintah memberikan insentif pajak bagi individu
atau badan usaha yang ingin melakukan revaluasi aset. Selain itu, instrumen investasi Real
Estate Investment Trust (REIT) akan bebas dari pajak berganda. Jika kebijakan yang terakhir
dapat berjalan tentu akan mampu menarik dana REIT yang selama ini diinvestasikan di
Singapura.
Dan terakhir, paket kebijakan keenam, pemerintah ingin merealisasi janji membangun dari
pinggir dengan pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) melalui pemberian insentif.
Upaya untuk mendorong kinerja ekonomi dengan insentif perlu diapresiasi, namun akan lebih
efektif jika kawasan ekonomi tersebut sudah siap dalam hal infrastruktur, seperti jalan, listrik,
dan air.
Dari serangkaian paket kebijakan tersebut, terlihat jelas bahwa pemerintah ingin mendorong
kinerja investasi seperti yang sering dikemukakan Jokowi. Namun dari sisi investor, terdapat
2 respons yang muncul terkait serangkaian paket kebijakan ekonomi tersebut. Pertama, tentu
respons yang positif, yakni investor berbondong-bondong berinvestasi di Indonesia karena
ingin memanfaatkan kemudahan dan insentif yang diberikan oleh pemerintah. Kedua,
investor bisa juga melihat bahwa serial paket kebijakan yang sudah diumumkan menjadi
sinyal buruk terkait kondisi amunisi ekonomi pemerintah yang dapat dilihat dari kondisi
fiskal.
Kondisi Fiskal Pemerintah
Sekarang kondisi fiskal pemerintah dalam keadaan mengkhawatirkan. Hingga Oktober 2015,
realisasi pendapatan negara dan hibah sebesar Rp1.099,8 triliun atau 62,4 persen dari total
target APBN-P 2015. Namun realisasi belanja pemerintah sudah mencapai Rp1.383,8 triliun
atau 69,7 persen, sehingga ada defisit sebesar Rp284 triliun.
Untuk menutupi defisit fiskal tersebut, pemerintah bisa saja menggunakan utang, tetapi target
utang untuk tahun 2015 sebesar Rp222,5 triliun. Ironisnya, hingga kini pemerintah sudah
berutang senilai Rp340.4 triliun, padahal target utang tahun ini sebesar Rp286,3 triliun.
Kondisi ini berakar pada melesetnya realisasi penerimaan pajak.
Per Oktober 2015, penerimaan pajak hanya mencapai Rp894 triliun atau 60% dari target
sedangkan masih tersisa kurang dari 1 bulan untuk mendorong penerimaan pajak. Angka ini
lebih rendah 0,23% dibandingkan dengan periode yang sama di tahun lalu.
Turunnya realisasi pendapatan negara ditengarai oleh realisasi PPn yang baru mencapai
Rp308,2 triliun atau 53,5%, pajak perdagangan internasional sebesar Rp28,4 triliun atau
57,6%, dan penerimaan sumber daya alam non-migas yang baru mencapai Rp21,8 triliun atau
57,9%. Artinya, melihat kondisi fiskal pemerintah sekarang, memang hal itu berarti bahwa
9
pemerintah membutuhkan kontribusi yang lebih besar dari investasi untuk mendorong kinerja
ekonomi.
Kondisi fiskal tahun ini tentu tidak boleh terulang di tahun depan, sebab hal itu akan menjadi
sinyal buruk bagi investor atas kredibilitas pemerintah. Di sisi lain, kinerja ekonomi global
yang belum juga pulih membuat pemerintah perlu bekerja lebih keras. Maka serial paket
kebijakan yang sudah diumumkan patut diapresiasi dan tentunya dikritik secara konstruktif
sebagai upaya pemerintah untuk mendorong ekonomi.
Faktor birokrasi dan politik menjadi tantangan besar untuk merealisasikan semua paket
kebijakan ekonomi, terlebih lagi akhir tahun ini terdapat pilkada serentak tahap pertama yang
semoga saja tidak membuat pemerintah kehilangan fokus. Karena itu implementasi serial
paket kebijakan ekonomi menjadi kartu terakhir bagi pemerintahan Jokowi-JK.
ARIYO DP IRHAMNA
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef)
10
Cara Pintar Pilih Saham 2.0
06-12-2015
Kalau Albert Einstein punya formula hebat E = mc2, dunia keuangan punya formula sakti
P/E = G. Formula ini dipopulerkan oleh pengelola dana (fund manager) legendaris, Peter
Lynch. Reksa dana Fidelity Magellan yang dikelola Lynch memberikan imbal hasil rata-rata
29% per tahun selama kurun waktu 13 tahun.
Jika minggu lalu kita sudah belajar memilih saham berdasarkan P/E ratio dan ROE, minggu
ini kita akan belajar satu dua jurus dari Peter Lynch. Strategi yang digunakan Lynch selama
13 tahun mengelola reksa dana Fidelity Magellan Fund adalah growth at a reasonable price
(GARP).
Menurut Lynch, ”The P/E ratio of any company that is fairly priced will equal its growth
rate.” Artinya, P/E ratio (PER) yang wajar adalah yang sama dengan pertumbuhan laba
bersihnya. Jika ada saham dengan PER 10 kali, harganya dikatakan wajar jika pertumbuhan
laba bersihnya ke depan (G) juga 10 persen. Jika PER dibagi G (disebut PEG ratio), hasilnya
menjadi 1. Jika P/E ratio adalah 10 kali, tapi G-nya hanya 5%, PEG ratio menjadi 2 kali (dari
10 dibagi 5). Artinya, saham tersebut kemahalan. Jika PER adalah 10 kali, dan G-nya 20%,
maka PEG ratio menjadi 0,5 (dari 10 dibagi 20). Artinya sahamnya murah. Nah, Lynch
berusaha mencari saham-saham dengan PEG ratio kurang dari satu.
GARP sejatinya adalah strategi hasil gabungan antara gaya investasi mencari saham yang
bertumbuh cepat (growth investing) dengan gaya investasi mencari saham yang memiliki
nilai bagus (value investing). Investor beraliran growth investing biasanya mencari saham
menggunakan kriteria pertumbuhan laba bersih atau earnings per share (EPS). Pertumbuhan
EPS sebesar minimal 20% per tahun selama 5 tahun terakhir bisa dijadikan kriteria memilih
growth stock. Pada umumnya growth investor kurang peduli terhadap kriteria P/E ratio.
Mereka tetap nekat membeli saham yang memiliki PER jauh di atas rata-rata PER sektor.
Sebaliknya, investor beraliran value investing berusaha mencari saham berfundamental bagus
dengan harga murah.
Kriteria utama memilih value stock adalah PER. Cari saham dengan PER rendah di
industrinya. Sayangnya, value investor cenderung melupakan potensi pertumbuhan laba
bersih. Jika saham PER-nya tinggi, misalnya 20 kali, namun jika potensi pertumbuhan laba
bersih lebih dari 20% per tahun, berarti saham ini masih menarik.
Menghitung PEG ratio tidak sulit. Kita bisa memanfaatkan informasi di www.reuters.com. Di
Google, kita ketik reuters, lalu tekan spasi, kode saham.jk. Misalnya, ketik ”reuters ASII.jk”
di Google untuk saham PT Astra International, Tbk (ASII). Setelah berada di laman ASII,
11
kita klik ”financials”. Kita bisa menemukan informasi ”P/E ratio (TTM)”, yakni PER
menggunakan EPS 12 bulan terakhir. Selain itu ada informasi ”EPS-5 year growth rate, ”
yaitu pertumbuhan EPS per tahun selama lima tahun terakhir.
Kita gunakan rata-rata pertumbuhan EPS di masa lalu untuk mengestimasi pertumbuhan EPS
di masa mendatang. Kita tinggal membagi PER dengan angka pertumbuhan EPS (abaikan
persennya). Saya menghitung PER ratio dari 18 perusahaan dengan fundamental yang bagus.
Hasilnya bisa dilihat pada tabel. Ada tujuh perusahaan dengan PEG ratio di bawah 1.
Yang paling bagus adalah saham Bumi Serpong Damai. Saham ini memiliki pertumbuhan
EPS yang tinggi selama lima tahun terakhir (49,6% per tahun). PERnya hanya 14 kali. Saham
HM Sampoerna memiliki PER dan G yang sama, sehingga PEG ratio-nya 1. Artinya harga
saham ini wajar. Saham-saham lainnya memiliki PEG ratio di atas 1. Ada potensi kemahalan
jika kita membeli saham-saham ini.
Dengan PEG ratio memilih saham menjadi lebih pintar, tapi mudah. Namun harus
diperhatikan bahwa kita menggunakan rata-rata pertumbuhan EPS di masa lalu. Maka
keberhasilan metode ini tergantung pada akurasi pertumbuhan EPS di masa lalu dalam
meramal pertumbuhan EPS di masa mendatang. Jika pertumbuhan EPS di masa mendatang
ternyata lebih lambat, bisa jadi kita salah.
Karena ini, kita juga harus memperhatikan apakah ada perbedaan lingkungan bisnis
(misalnya regulasi, persaingan, selera konsumen, dll.) yang nyata antara masa lalu dan masa
depan. Selamat berburu saham bertumbuh tapi murah menggunakan GARP atau PEG ratio.
LUKAS SETIA ATMAJA
Financial Expert - Prasetiya Mulya Business School
12
Kualitas Data Pangan
07-12-2015
Gugatan terhadap kualitas data pangan kembali muncul. Kali ini gugatan datang dari BPS
yang mempertanyakan kualitas data luas panen yang dikumpulkan Kementerian Pertanian
(Kementan).
Selama ini, data yang dikumpulkan menjadi justifikasi berhasil-tidaknya program.
Pengumpulan data luas panen oleh aparat yang kinerja dan capaiannya diukur lewat data
yang dikumpulkan sendiri berpeluang terjadi konflik kepentingan. Di Kabinet Kerja, gugatan
serupa disuarakan Menko Perekonomian Darmin Nasution dan Wapres Jusuf Kalla. Darmin
dan JK meragukan data produksi beras yang amat tinggi.
Gugatan serupa sudah lama disuarakan oleh sejumlah pihak. Mantan Kepala BPS Sugito
Suwito lewat artikel “Statistik Beras“ (2007) telah menguliti ketidakakuratan data beras.
Selama ini BPS tidak pernah memublikasikan data produksi beras. Produksi beras dihitung
dari angka produksi padi dalam kualitas gabah kering giling (GKG) dikalikan angka
konversi. Produksi padi nasional merupakan perkalian dari luas panen dengan
produktivitas. Data luas panen dikumpulkan mantri tani (Kementan), sedangkan produktivitas
antara BPS dan Kementan berbagi tugas, masing-masing 50%.
Dalam praktik, pengumpulan data kedua komponen perhitungan itu berbeda. Data
produktivitas dikumpulkan melalui survei statistik pada petak sawah yang akan dipanen
dengan metode probability sampling. Data dihasilkan dari hasil panen ubinan ukuran 2,5x2,5
meter yang dikonversi ke satuan hektare. Jadi, diterapkan sistem objective measurement.
Sebaliknya, data luas panen hanya dikumpulkan lewat cara penaksiran melalui sistem blok
pengairan, penggunaan bibit, dan pandangan mata (eye estimate) di sawah. Pengumpulan data
tidak berdasarkan survei statistik. Dalam teori statistik, data ini termasuk catatan administrasi
sehingga akurasinya sulit diuji ulang secara statistik. Oleh BPS, data luas panen dan
produktivitas kemudian diolah jadi angka produksi padi nasional (official statistics).
Data yang keluar disebut “angka BPS”. Padahal, dalam praktik, BPS hanya mengumpulkan
25% dari keseluruhan data produksi padi, sisanya (75%) dikumpulkan oleh Kementan.
Stempel “angka BPS” membawa konsekuensi berat: BPS harus bertanggung jawab terhadap
akurasi dan validitas data. Ketika data produksi padi digugat, serta-merta BPS jadi tertuduh.
Instansi teknis bisa lepas dan cuci tangan.
13
Kompromi dua sistem pengumpulan data yang berbeda ini sudah berlangsung sejak 1973
tanpa pernah direvisi. Padahal, teknologi metode pengumpulan data sudah berkembang pesat
seiring perkembangan teknologi informasi-komunikasi.
***
Jika mau objektif, penyebab utama ketidakakuratan data produksi padi adalah komponen luas
panen. Data produktivitas juga tak lepas dari kesalahan. Namun, metode penaksiran dalam
pengumpulan data luas panen memang subjektif dan sulit diuji akurasinya secara statistik.
Data luas panen inilah biang overestimate data produksi padi. Menurut berbagai studi BPS
(Sastrotaruno dan Maksum, 2002), besarnya overestimate mencapai 17%. Laporan produksi
berlebih itu memang masuk akal. Konversi lahan pertanian untuk real estate, kawasan
industri, dan infrastruktur terus berlangsung tanpa jeda. Ada yang menyebut 70 ribu, 110
ribu, bahkan 145 ribu ha per tahun (Sapuan, 2006). Di sisi lain, pencetakan sawah baru hanya
50 ribu ha per tahun. Anehnya, laporan luas panen tidak menurun. Dalam 20 tahun terakhir 2
juta ha sawah hilang, tetapi luas panen padi terus naik: dari 10,99 juta ha (1993) jadi 13,77
juta ha (2013). Di manakah sawah itu?
Data hanya deretan angka. Data hanya alat. Masalahnya, jika data itu bias karena
dikumpulkan lewat cara yang tidak reliable lalu dijadikan batu pijak kebijakan, output-nya
tak hanya menyesatkan tapi juga menyengsarakan. Petani cengkih pernah dibuat sengsara
karena ini. Pada 1980-an data produksi cengkih jauh di bawah kebutuhan konsumsi. Maka
diprogramkan peningkatan tanaman cengkih baru 25% per tahun. Hasilnya overproduksi.
Setelah diteliti, ternyata data pijak konsumsi cengkih untuk rokok di-mark-up.
Jika benar data produksi beras kita salah, sementara kita telanjur mengekspor beras, biaya
ekonomi, sosial, dan politiknya akan amat mahal. Sudah saatnya data luas panen
dikumpulkan lewat survei statistik. Teknologi pengumpulan data berdasarkan objective
measurement telah berkembang pesat. Ahli-ahli Indonesia pasti bisa melakukannya.
Pasal 1 UU No. 16 Tahun 1997 tentang Statistik membagi tiga data statistik: statistik dasar,
statistik sektoral, dan statistik khusus. Statistik dasar adalah statistik yang pemanfaatannya
ditujukan untuk keperluan yang bersifat luas, baik bagi pemerintah maupun masyarakat, yang
memiliki ciri-ciri lintas sektoral, berskala nasional dan makro.
Data pangan, termasuk padi, merupakan data statistik dasar, yang penyelenggaraannya jadi
tanggung jawab BPS. Jajaran dinas pertanian tetap bisa mengumpulkan data seperti selama
ini. Tapi menurut UU Statistik, data itu termasuk kategori statistik sektoral yang digunakan
untuk keperluan internal, bukan untuk lintas sektor sebagai statistik dasar.
Merujuk pada ketentuan itu, sudah seharusnya proses pengumpulan, pengolahan dan
publikasi data pangan dikembalikan pada mandat yang ada: diserahkan kepada BPS. Bisa
saja dalam proses pengumpulan data BPS melibatkan dinas-dinas pertanian. Namun, metode
14
dan proses pengumpulan data sepenuhnya di bawah tanggung jawab BPS. Jika tidak, semua
data harus dikumpulkan oleh BPS. Jika kemudian BPS terkendala jumlah SDM dan
pendanaan, pemerintah wajib memenuhi keduanya.
Untuk menghasilkan data yang akurat dan valid memang tidak murah. Tapi output dan
outcome-nya akan setimpal.
KHUDORI
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat; Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik
Indonesia (AEPI); Penulis Buku “Ironi Negeri Beras”
15
Momentum Wujudkan PMD
12-12-2015
Meskipun Deklarasi Djuanda, 13 Desember 1957, secara geopolitik dan geoekonomi sangat
penting bagi kejayaan dan kedaulatan bangsa Indonesia, kita baru memperingatinya sejak
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid pada 13 Desember 2000. Kemudian melalui
Keppres No. 126/2001 Presiden Megawati Soekarnoputri mengukuhkan Hari Nusantara
(Harnus), 13 Desember sebagai Hari Nasional, yang kemudian diperingati setiap tahun.
Tanpa Deklarasi Djuanda, potensi kekayaan laut Indonesia hanya sekitar 1/3 dari potensi
yang kita miliki sekarang. Wilayah laut Indonesia saat itu hanya meliputi laut sejauh 3 mil
dari garis pantai yang mengelilingi pulau-pulau kita. Dengan begitu, di antara pulau-pulau
Indonesia terdapat laut bebas (internasional) yang memisahkan satu pulau dengan lainnya dan
merupakan ancaman bagi persatuan dan kesatuan NKRI.
Kita patut bersyukur bahwa Ir H Djuanda, perdana menteri saat itu, dengan berani pada 13
Desember 1957 mendeklarasikan kepada dunia bahwa wilayah laut Indonesia tidaklah
sebatas itu seperti diatur dalam Territoriale Zee Maritiem Kringen Ordonantie 1939. Wilayah
laut Indonesia meliputi laut di sekitar, di antara, dan di dalam kepulauan Indonesia.
Deklarasi Djuanda tidak langsung diterima oleh masyarakat dunia, bahkan Amerika Serikat
dan Australia menentangnya. Namun, berkat kegigihan perjuangan diplomasi para
penerusnya seperti Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja dan Dr Hasyim Djalal, deklarasi yang
berisikan konsepsi negara kepulauan tersebut diterima oleh masyarakat dunia dan akhirnya
ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB (United Nation Convention on Law of the
Sea/UNCLOS) 1982.
Peran Strategis Laut
Kini kita memiliki wilayah laut, termasuk ZEEI, sangat luas 5,8 juta km2 yang merupakan
tiga per empat dari total wilayah Indonesia. Di dalamnya terdapat 17.504 pulau dan
dikelilingi garis pantai sepanjang 95.200 km, terpanjang kedua setelah Kanada. Fakta fisik
inilah yang membuat Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia.
Di sinilah Deklarasi Djuanda mendapatkan peran geopolitik yang sangat mendasar bagi
kesatuan, persatuan, dan kedaulatan Indonesia. Karena itu, Deklarasi Djuanda sejatinya salah
satu dari tiga pilar utama bangunan kesatuan dan persatuan NKRI yaitu kesatuan kejiwaan
yang dinyatakan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928; kesatuan kenegaraan dalam NKRI
yang diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945; dan kesatuan kewilayahan
(darat, laut, dan udara) yang diumumkan oleh Perdana Menteri Djuanda 13 Desember 1957.
16
Selain geopolitik, laut juga memiliki peran geoekonomi yang sangat strategis bagi kemajuan
dan kemakmuran Indonesia. Laut Indonesia mengandung kekayaan alam yang sangat besar,
baik berupa SDA terbarukan, SDA tak terbarukan, energi kelautan , maupun jasa-jasa
lingkungan kelautan.
Kekayaan SDA kelautan tersebut dapat kita dayagunakan untuk kemajuan dan kemakmuran
bangsa melalui 11 sektor ekonomi kelautan: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budi daya,
(3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan, (5) pertambangan
dan energi, (6) pariwisata bahari, (7) hutan mangrove, (8) perhubungan laut, (9) sumber daya
wilayah pulau-pulau kecil, (10) industri dan jasa maritim, dan (11) SDA non-konvensional.
Total nilai ekonomi dari kesebelas sektor ekonomi kelautan itu diperkirakan mencapai
USD1,2 triliun/tahun, sekitar 1,2 kali PDB dan delapan kali APBN 2014, serta dapat
menyediakan lapangan kerja untuk 40 juta orang. Lebih dari itu, sekitar 45% dari seluruh
barang dan komoditas yang diperdagangkan di dunia dengan nilai 1.500 triliun dolar AS per
tahun ditransportasikan melalui laut Indonesia (UNCTAD, 2012).
Sayangnya, posisi Indonesia yang sangat strategis dalam sistem rantai suplai global itu belum
kita manfaatkan sebagai keunggulan kita sebagai bangsa produsen/penjual barang dan jasa
yang dibutuhkan oleh bangsa-bangsa lain. Sebaliknya, Indonesia merupakan pasar gemuk dan
empuk bagi sebagian besar barang dan jasa dari bangsa-bangsa lain. Sejak 1987 sampai
sekarang kita menghamburkan devisa rata-rata USD15 miliar/tahun untuk membayar jasa
kapal-kapal asing yang mengangkut sekitar 90% total barang yang kita ekspor dan impor.
Agenda Pembangunan
Sebab itu, visi Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla untuk menjadikan Indonesia sebagai
Poros Maritim Dunia (PMD) adalah sangat tepat. Wujud nyata dari Indonesia sebagai PMD
adalah berkembangnya kawasan-kawasan pesisir, pulau kecil, dan wilayah perbatasan
menjadi pusat daya saing, pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan baru yang inklusif,
ramah lingkungan dan berkelanjutan di seluruh wilayah NKRI.
Sayangnya, kebijakan dan gebrakan pemerintah selama setahun ini terlalu dominan berupa
larangan, moratorium, dan restriksi lainnya yang membuat iklim investasi sangat menakutkan
dan tidak kondusif. Akibatnya menyulut demonstrasi nelayan dan pembudi daya ikan di
mana-mana, mengakibatkan ratusan ribuan nelayan dan pembudi daya menganggur, sentra-
sentra industri pengolahan ikan (seperti Belawan, Muara Baru, Benoa, Bitung, dan Ambon)
mengalami mati suri, ribuan ton kerapu dan kepiting soka tidak terjual dan mati membusuk,
perikanan lobster bangkrut, dan sejumlah dampak negatif lainnya.
Karena itu, puncak peringatan Harnus Ke-15 yang bakal digelar di Banda Aceh pada 13
Desember tahun ini momentum untuk meluruskan arah kebijakan pembangunan
kelautan/kemaritiman. Dari yang terlalu dominan pada konservasi dan larangan menuju
sebuah keseimbangan antara peningkatan daya saing dan pertumbuhan ekonomi,
17
kesejahteraan nelayan dan masyarakat kelautan lainnya dengan pelestarian lingkungan dan
SDA seperti visi PMD Presiden Jokowi di atas.
Hal ini sangat penting karena dalam jangka pendek–menengah (2015–2019) gerakan nasional
PMD diharapkan mampu mengatasi permasalahan utama bangsa berupa tingginya
pengangguran dan kemiskinan, kesenjangan kaya vs miskin yang kian melebar, disparitas
pembangunan antarwilayah, dan rendahnya daya saing serta indeks pembangunan manusia.
Untuk mewujudkan Indonesia sebagai PMD, dalam jangka panjang kita mesti melaksanakan
12 kebijakan dan program utama berikut. Pertama, penegakan kedaulatan wilayah laut NKRI
melalui diplomasi maritim; penyelesaian batas dan sengketa wilayah laut; penguatan dan
pengembangan sarana dan prasarana hankam laut; dan peningkatan kesejahteraan, etos kerja,
dan kapasitas aparat penegak hukum.
Kedua, penataan ruang wilayah laut–pesisir–darat secara terpadu sebagai instrumen untuk
menjamin kepastian usaha (bisnis) dan keberlanjutan (sustainability) SDA kelautan. Ketiga,
revitalisasi sektor-sektor ekonomi kelautan yang ada (existing) dengan cara meningkatkan
produktivitas, efisiensi, dan sustainability-nya melalui aplikasi teknologi dan manajemen
yang tepat.
Keempat, pengembangan sektor-sektor ekonomi kelautan baru seperti industri bioteknologi
kelautan, nanoteknologi, shale and hydrate gas, fiber optics, deep sea water industry, deep
sea fisheries, dan coastal and ocean engineering. Kelima, pengembangan pusat-pusat
pertumbuhan ekonomi (kemakmuran) baru di wilayah pesisir sepanjang alur laut kepulauan
Indonesia (ALKI), pulau-pulau kecil, dan wilayah perbatasan.
Keenam, penguatan dan pengembangan konektivitas dan sistem logistik maritim dengan
membangun “tol laut”, pelabuhan dan infrastruktur lainnya, dan konektivitas digital di
seluruh wilayah Nusantara. Ketujuh, pengembangan energi kelautan, terutama yang baru dan
terbarukan seperti energi gelombang, pasang surut, angin, biofuel dari microalgae dan biota
laut lainnya, dan OTEC.
Kedelapan, rehabilitasi dan pencegahan kerusakan ekosistem pesisir dan laut dari
pencemaran dan perusakan lingkungan lainnya. Kesembilan, mitigasi dan adaptasi terhadap
perubahan iklim global, tsunami, dan bencana alam lainnya. Kesepuluh, penguatan dan
pengembangan R&D (litbang) kelautan supaya kita mampu mentransformasi diri, dari yang
hingga saat ini sebagai bangsa pembeli (konsumen) menjadi produsen (penjual) teknologi.
Kesebelas, pembangunan sumber daya manusia (human capital) melalui program pendidikan,
pelatihan, dan penyuluhan secara tepat, benar, dan berkesinambungan. Kedua belas,
kebijakan politik-ekonomi dan kemudahan berbisnis (seperti stabilitas politik, moneter,
fiskal, izin usaha, ketenagakerjaan, pajak, dan konsistensi kebijakan) yang kondusif.
Dalam jangka pendek-menengah (2015–2020), kita mesti merevitalisasi dan mengembangkan
18
sektor-sektor ekonomi kelautan yang banyak menyerap tenaga kerja, meningkatkan
kesejahteraan rakyat kecil, membangun ketahanan pangan dan energi, meningkatkan daya
saing dan pertumbuhan ekonomi, dan menghasilkan devisa. Sektor-sektor ekonomi kelautan
yang dimaksud adalah perikanan budi daya, perikanan tangkap, industri pengolahan hasil
perikanan, pariwisata bahari, galangan kapal, industri peralatan dan mesin kelautan, energi
dan sumber daya mineral dari laut, dan coastal and ocean engineering.
Kini saatnya untuk menyediakan skema kredit perbankan khusus bagi sektor-sektor kelautan
dengan bunga yang relatif murah dan persyaratan yang relatif lunak seperti di negara-negara
maju dan emerging economies lainnya.
Dengan mengimplementasikan segenap kebijakan dan program pembangunan kelautan
seperti di atas, Indonesia diyakini tidak hanya akan mampu mengatasi sejumlah masalah
kekinian seperti penurunan pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan kemiskinan, rentannya
ketahanan pangan dan energi, serta rendahnya daya saing dan IPM. Tetapi, juga bakal mampu
menjadi negara maritim yang kuat, maju, sejahtera, dan berdaulat dalam waktu tidak terlalu
lama, tahun 2025 insha Allah.
PROF DR IR ROKHMIN DAHURI MS
Guru Besar Manajemen Pembangunan Pesisir dan Lautan IPB
19
Menanti Keampuhan Ketiga Deklarasi
Djuanda
12-12-2015
Bulan Desember (tepatnya 13 Desember) akan selalu dikenang sebagai Hari Nusantara oleh
bangsa Indonesia. Semua itu berpulang kembali pada 13 Desember 1957 saat deklarasi
mahapenting tersebut dikumandangkan oleh Perdana Menteri Djuanda.
Deklarasi ini menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di
antara dan di dalam kepulauan Indonesia, menjadi satu kesatuan wilayah NKRI. Isi lengkap
dari Deklarasi Djuanda ini menyatakan: (1) Indonesia menyatakan diri sebagai negara
kepulauan yang mempunyai corak tersendiri, (2) sejak dahulu kala kepulauan Nusantara ini
sudah merupakan satu kesatuan, dan (3) ketentuan Ordonansi 1939 yang dapat memecah
belah keutuhan wilayah Indonesia dipatahkan oleh deklarasi tersebut dan mengandung suatu
tujuan: mewujudkan bentuk wilayah kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan bulat,
menentukan batas-batas wilayah NKRI sesuai dengan asas negara kepulauan dan mengatur
lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan keselamatan NKRI.
Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS)
Pernyataan Deklarasi Djuanda tersebut tidak serta-merta mendapatkan pengakuan dunia
internasional. Banyak negara menentang karena kekhawatiran terhadap berkurangnya
kebebasan berlayar di laut. Terbitnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tentang Keputusan
Pemerintah untuk kembali ke bentuk negara kesatuan memaksa Djuanda meletakkan jabatan
pada 9 Juli 1959 dan menyebabkan Djuanda tidak lagi memiliki akses dan kekuasaan untuk
mengawal dan mewujudkan deklarasi tersebut.
Syukurlah Presiden Soekarno memberikan dukungan penuh terhadap cita-cita tersebut.
Dukungan yang sama juga diberikan oleh Presiden Soeharto sehingga perjuangan tidak
mengenal lelah untuk mewujudkan NKRI yang bulat dan utuh gencar dilakukan. Berbagai
sidang hukum laut PBB diikuti oleh para diplomat Indonesia selama sembilan tahun sejak
1973 sampai 1982. Diplomat hebat tersebut antara lain Adam Malik (mantan menteri luar
negeri dan wakil presiden) dan Prof Mochtar Kusumaatmaja (mantan menteri kehakiman dan
menteri luar negeri).
Kerja keras para diplomat tersebut melahirkan UNCLOS 1982, pengakuan terhadap wawasan
nusantara. Konsekuensinya, wilayah NKRI bertambah dua kali lipat! Tanpa sebutir peluru
dan negosiasi berbusa-busa atau berdarah-darah. Semua ini terjadi berkat Deklarasi Djuanda.
20
Perubahan konstelasi politik global pada akhir 1980-an berlangsung sangat cepat. Uni Soviet
yang sangat kokoh saat itu tidak disangka dan dinyana akhirnya runtuh dan tercerai berai
pada 1990 menjadi sejumlah negara antara lain Rusia (yang paling luas), Ukraina, Belarusia,
dan Kazakstan. Kehancuran yang sama juga menimpa Yugoslavia yang diwujudkan oleh
Jozeph Broz Tito menjadi negara-negara kecil yakni Serbia, Kroasia, Slovenia, dan Bosnia-
Herzegovina. Di sisi lain, Jerman Barat dan Jerman Timur akhirnya bersatu kembali.
Deklarasi Djuanda kembali menunjukkan keampuhan atau kesaktiannya. Lahirnya UNCLOS
1982 yang menyatukan wilayah darat dan perairan Nusantara sebagai kesatuan yang utuh dan
bulat mampu mencegah terpecahnya NKRI dari rongrongan pihak asing yang ingin memecah
belah kita. Bila tidak ada Deklarasi Djuanda, mungkin wujud NKRI pasca-runtuhnya Uni
Soviet akan jauh berbeda dan tidak seperti sekarang.
Tol Laut dan Poros Maritim Presiden Jokowi
Setuju atau tidak setuju, tujuan utama dari Deklarasi Djuanda adalah mengembalikan
kejayaan Sriwijaya dan Majapahit yang malang melintang menguasai laut Nusantara masa
lalu. Tujuh puluh tahun sudah Indonesia merdeka dan 33 tahun sudah UNCLOS 1982
dilahirkan, tetapi kejayaan maritim Indonesia masih jauh dari harapan. Pembangunan dunia
maritim belum menjadi prioritas dan cenderung dianaktirikan.
Meskipun pernah disebutkan dalam GBHN era Presiden Soeharto dan memperoleh perhatian
penting era Presiden SBY melalui program MP3EI, pembangunan dunia maritim Indonesia
belum mampu menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi negara. Kemunculan Joko
Widodo (Jokowi) membawa harapan baru. Sejak masa kampanye dan awal pemerintahannya,
Jokowi dengan gencar mengumandangkan konsep tol laut dan Poros Maritim Dunia.
Tol laut dimaksudkan untuk memperlancar sistem transportasi berbasis laut di mana tersedia
fasilitas pelabuhan dan kapal dalam jumlah yang cukup dan berfungsi efisien dan efektif.
Poros Maritim Dunia dimaknai Indonesia sebagai salah satu pusat perekonomian dunia
berbasis laut. Dua konsep tersebut diharapkan akan memberikan kontribusi besar bagi
pertumbuhan ekonomi Indonesia dan mampu menghantarkan Indonesia sebagai salah satu
raksasa ekonomi dunia sesuai prediksi Bank Dunia.
Sejumlah gebrakan dilakukan Jokowi dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang dipimpinnya.
Sebut saja Susi Pujiastuti atau Bu Susi -- Menteri Kelautan dan Perikanan. Meskipun bukan
sarjana, Bu Susi mampu menunjukkan kemampuan kerja yang luar biasa. Bu Susi dengan
berani memerintahkan pembakaran kapal-kapal asing yang menjadi biang kerok pencurian
ikan di perairan Nusantara sebagai upaya untuk menunjukkan wibawa Pemerintah RI dan
meningkatkan kesejahteraan rakyat menggunakan sumber kekayaan dari laut.
Gebrakan Jokowi tidak itu saja. Sejumlah paket pemerintah untuk menggairahkan investasi
diluncurkan di mana mampu mengembalikan stabilitas mata uang rupiah yang sempat
merosot beberapa waktu lalu. Kebijakan Jokowi di bidang maritim termasuk penghapusan
21
pajak pertambahan nilai (PPN) atas impor komponen kapal menyebabkan industri galangan
nasional kebanjiran order hingga Rp17,7 triliun.
Stimulus tersebut juga memangkas biaya produksi kapal hingga 6% sehingga diharapkan
mampu mendongkrak daya saing industri kapal nasional. Keputusan mahapenting Jokowi
tersebut berkah sekaligus tantangan bagi dunia maritim Indonesia, termasuk industri galangan
kapal, perusahaan pelayaran, perguruan tinggi, dan seluruh rakyat Indonesia yang berharap
banyak akan lebih sejahtera dan makmur berbasiskan kemaritiman.
Presiden Jokowi menyadari betul bahwa kejayaan Sriwijaya dan Majapahit pada masa
lampau bukanlah sekadar kenangan dan catatan sejarah. Kejayaan tersebut niscaya dapat
diwujudkan kembali dan Nusantara Indonesia akan menjadi salah satu raksasa ekonomi
dunia. Kesadaran akan pentingnya laut bagi kesejahteraan dan kejayaan Indonesia harus terus
didengungkan dan diwujudkan.
Dua kali sudah Deklarasi Djuanda menunjukkan keampuhannya dan keduanya memberikan
berkah luar biasa bagi Indonesia tercinta. Mari kita bekerja keras bahu-membahu bersama
Jokowi dan seluruh komponen bangsa untuk menyambut keampuhan ketiga dari Deklarasi
Djuanda. Selamat Hari Nusantara tanggal 13 Desember 2015, jayalah Indonesia tercinta.
KETUT ARIA PRIA UTAMA
Guru Besar Teknik Perkapalan; Insinyur Professional dan Anggota Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia (AIPI)
22
Melampaui Pencapaian Djuanda
12-12-2015
Peringatan momentum 58 tahun Deklarasi Djuanda tahun ini (13 Desember 1957-13
Desember 2015) ditandai pasang-surut ikhtiar kebangsaan kita mewujudkan Indonesia
sebagai negara kepulauan yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian.
Pada satu sisi, kita bangga sekaligus optimistis akan kembali menjadi negara kepulauan kuat
dan berpengaruh di dunia saat Presiden Joko Widodo (terus-menerus) menyampaikan
tekadnya membawa Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia. Sebaliknya, kembali melemah
ketika Presiden menyampaikan niatnya membawa Indonesia bergabung ke dalam Kerja Sama
Trans-Pasifik (TPP). Mengapa?
Mengotori
Motor penggerak utama TPP adalah Amerika Serikat, lalu diikuti 11 negara lain di kawasan
Pasifik. Selain menjadi salah satu negara dengan nilai investasi terbesar di Indonesia, AS
adalah satu dari sedikit negara di dunia yang belum meratifikasi Konvensi PBB tentang
Hukum Laut (United Nations Convention On The Law Of The Sea/UNCLOS 1982).
Berbeda dengan AS, Indonesia justru sebagai motor penggerak sekaligus pihak paling
berkepentingan disahkan UNCLOS 1982. Sejarah mencatat, sejak dikumandangkan pertama
kali pada 13 Desember 1957, klaim sepihak Indonesia terhadap kedaulatan perairan di
sekeliling dan di antara pulau-pulau melalui Deklarasi Djuanda telah menjadi inspirasi dan
motivasi tersepakatinya konsepsi negara kepulauan di dalam UNCLOS 1982. Pasal 46
konvensi ini menyebutkan negara kepulauan sebagai sebuah negara yang seluruhnya terdiri
atas satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain.
Secara lebih operasional, Pasal 49 ayat (2) menjamin kedaulatan ruang udara di atas perairan
kepulauan, juga di dasar laut dan tanah di bawahnya, termasuk sumber kekayaan yang
terkandung di dalamnya. Maka itu, konsepsi negara kepulauan tidak lagi sekadar urusan
domestik Indonesia. Namun, telah menjadi jalan efektif melunasi janji kemerdekaan:
membalik ketidakadilan global.
Di sektor perikanan misalnya negara-negara di Utara, meski didukung teknologi dan modal
besar, tidak (lagi) bebas memasuki dan memanfaatkan kekayaan laut di negara lain, termasuk
mengambil ikan. Jika sebelum 1982, sekitar 75% produksi ikan dunia tercatat dari negara-
negara Utara. Bertahap setelah UNCLOS disahkan (hingga sekarang), mayoritas produksi
bergeser ke Selatan, termasuk Thailand, Vietnam, dan Indonesia.
23
Di dalam negeri, UNCLOS 1982 bahkan telah memperluas perairan Indonesia menjadi 6,32
juta kilometer persegi, masing masing perairan kedaulatan 3,37 juta dan perairan berdaulat
2,94 juta (Surat Badan Informasi Geospasial No B- 3.4/SESMA/IGD/07/2014). Potensi
ekonomi kelautan Indonesia diperkirakan akan terus bertambah dari angka USD1,2 triliun per
tahun dan dapat digunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Indonesia
bahkan memiliki kedaulatan hukum dan kewenangan mengusir armada-armada asing yang
dinilai membahayakan pertahanan dan keamanan nasional.
Dus, di bawah komando AS, TPP berpotensi mengaburkan sederet pencapaian terbaik
diplomasi Indonesia tersebut. Contoh paling aktual adalah insiden Bawean pada 2003.
Pesawat Hornet F-18 milik Angkatan Perang AS melintasi Pulau Bawean dan tertangkap
radar Bandara Juanda Surabaya. Amerika Serikat berpegang pada hukum udara menurut
Konvensi Paris maupun Chicago 1918 (bukan UNCLOS 1982) dan berdalih bahwa konvoi
kapal induk yang dijaga pesawat tempur sah melintasi perairan internasional.
Sebaliknya, Indonesia menyatakan Hornet F-18 keluar jalur Alur Laut Kepulauan Indonesia
(ALKI) dan melanggar ketentuan di dalam UNCLOS 1982. Insiden dan ancaman semacam
ini terbuka untuk semakin kerap terjadi bilamana Indonesia bergabung ke dalam TPP.
Melampaui Pencapaian
Dalam sebuah kesempatan, Bung Hatta, Wakil Presiden RI pertama, pernah mengatakan,
“Politik luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah mestilah sejalan dengan politik dalam
negeri. Seluruh rakyat harus berdiri tegap dan rapat di belakang pemerintah. Persatuan yang
sekuat-kuatnya harus ada, barulah pemerintah dapat mencapai hasil yang sebaik-baiknya dari
diplomasi yang dijalankan.”
Senapas dengan perjuangan para pendiri bangsa, Presiden Joko Widodo tidaklah perlu
melanjutkan niatnya membawa Indonesia bergabung ke dalam TPP. Sebaliknya, Jokowi
dapat fokus merawat dan melampaui pencapaian Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja,
Mochtar Kusumaatmaja, dan para diplomat andal masa itu.
Presiden dapat menginstruksikan seluruh diplomat Indonesia (masa kini) untuk
memaksimalkan forum-forum bilateral maupun multilateral seperti Konferensi Tingkat
Menteri Ke-10 Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Kenya untuk mengajak AS (segera)
meratifikasi UNCLOS 1982. Hal ini penting menjadi dasar pertimbangan kerja sama taktis-
strategis mewujudkan agenda-agenda di dalam Poros Maritim ke depan.
Para menteri juga harus lebih awas mengevaluasi keterlibatan AS dalam pembiayaan
program kelautan dan perikanan di Indonesia. Ambil contoh keterlibatannya dalam
membiayai dan mempromosikan proyek Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle Initiative)
di sebahagian besar perairan Indonesia. Selain keberhasilan menjadikan program CTI
semakin populer di berbagai forum internasional dan kalangan korporasi, ketermanfaatan
24
proyek ini bagi perbaikan lingkungan laut dan peningkatan kesejahteraan nelayan Indonesia
belum terlihat hingga saat ini.
Tahun depan inisiatif semacam CTI akan kembali hadir dengan nama berbeda yakni Inisiatif
Perikanan Pesisir Global (Global Coastal Fisheries Initiative). Proyek mercusuar ini meliputi
hampir seluruh perairan di timur Indonesia dengan menelan biaya mencapai USD58 juta.
Maka itu, TPP bukan lagi sekadar urusan daya saing dan dominasi ekonomi. Inisiatif ini telah
menjadi pertaruhan besar eksistensi Indonesia sebagai negara kepulauan.
M RIZA DAMANIK
Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia; Koordinator Asia untuk Forum
Masyarakat Asia-Eropa (AEPF)
25
Investor Saham ala Rudy Hartono
13-12-2015
Mengapa investor saham sebaiknya berwawasan jangka panjang?
Saya suka menganalogikan investor saham yang sukses dengan Rudy Hartono. Dia maestro
bulutangkis Indonesia yang menjuarai All England delapan kali. Apa rahasia kesuksesan
Rudi? Selain berteknik tinggi dan bermental juara, Rudi juga selalu siap bertanding dalam
waktu yang panjang.
Uniknya, salah satu pelatih Rudy ternyata tidak piawai bermain bulutangkis, namun jago
dalam membentuk stamina unggul. Tahir Djide, pelatih Rudi, punya prinsip bahwa teknik
bagus tanpa stamina yang baik tidak berguna. Sebelum berlatih teknik, Rudy harus lari
mengelilingi Stadion Gelora Senayan 10 kali! Tak heran jika ia begitu tangguh.
Investor saham bisa disamakan dengan atlet, tidak sekadar punya teknik (skill) yang bagus
dalam memilih saham, tetapi juga stamina atau staying power investasi. Yang dimaksud
adalah kemampuan investor untuk tidak menjual sahamnya, seberat apa pun krisis keuangan
yang terjadi.
Dalam bukunya yang best seller, A Random Walk Down Wall Street, Burton Malkiel, pakar
ekonomi Princeton, berargumen bahwa semakin panjang holding period investor, semakin
kecil risiko investasi. Mengapa? Jika investor memiliki staying power yang panjang, ia punya
kemampuan menunggu hingga pasar pulih kembali. Jika investor punya kewajiban
pengeluaran uang dalam jangka waktu pendek, staying power-nya buruk. Apalagi jika
investor membeli saham menggunakan dana dari berutang misalnya melalui skenario margin
trading.
Malkiel menggunakan data S&P 500 Index di AS sejak 1950 hingga 1997 untuk menjelaskan
argumentasi tersebut. Untuk holding period selama setahun, rentang imbal hasil tahunan
berkisar 53% hingga minus 27%. Namun, jika holding period investasi diperpanjang
misalnya 10 tahun, rentang rata-rata imbal hasil tahunan berkisar 1% hingga 19%. Untuk
holding period 25 tahun, rentang rata-rata imbal hasil tahunan berkisar 8 hingga 13%.
***
Jika Archimedes, filsuf Yunani, mengatakan, ”Give me a lever long enough, and I can move
the Earth”, investor bisa bilang, ”Give me enough time, and I can reduce the risk.” Jika
misalnya Anda bertanya kepada saya, ”Harga saham PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR)
26
bakalan naik atau turun nanti sore, besok pagi, atau minggu depan?” Saya hanya bisa
berspekulasi. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi dalam jangka waktu relatif pendek.
Namun, jika pertanyaannya adalah ”Apakah harga saham UNVR lima tahun mendatang lebih
tinggi dari harga hari ini?” Jawabnya, kemungkinan besar ya karena saya yakin UNVR
adalah perusahaan besar yang menghasilkan laba yang tinggi, dikelola secara profesional, dan
produknya masih dibutuhkan hingga lima tahun mendatang.
Semakin panjang holding period, semakin jelas tren positif nilai atau harga saham sebuah
perusahaan yang bagus. Sebagai contoh, silakan cermati empat grafik pergerakan saham
UNVR untuk periode waktu satu hari, satu minggu, satu tahun, dan lima tahun yang diambil
dari www.bloomberg.com. Dalam buku kartun investasi Smiling Investor, saya menggunakan
kondisi pasar modal periode 2006 hingga 2011 untuk menjelaskan kelebihan staying power
investasi.
Misalkan ada tiga investor, Mr Long-Term, Mr Nervous, dan Mr Fragile. Mereka mulai
membeli saham pada awal 2006 ketika indeks harga saham gabungan (IHSG) ada di angka
1.160. Dua tahun kemudian IHSG telah menjadi 2.700, alias naik 130%. Namun, pada
semester II 2008, krisis finansial global telah menjatuhkan IHSG ke level di bawah 1.160.
Imbal hasil besar yang terkumpul selama dua tahun raib begitu saja.
Mr Long-Term adalah investor yang sabar. Ia tidak panik dan ikut-ikutan menjual saham-
sahamnya secara murah. Sebaliknya, Mr Nervous tidak tahan melihat penurunan tajam harga
saham. Ia memilih menjual saham untuk menghindari potensi kerugian lebih lanjut. Lain lagi
dengan Mr Fragile. Ia terpaksa menjual sebagian besar sahamnya untuk menutup kerugian
bisnisnya yang terkena dampak krisis.
Ending-nya, Mr Long-Term memperoleh kembali kekayaannya dan bahkan bertambah ketika
IHSG rebound secara cepat selama 2009 dan 2010 ke angka 3.700. Mr Nervous hanya bisa
gigit jari, sedangkan Mr Fragile menyesali nasib buruknya.
Kesimpulannya, jadikan waktu sebagai sahabat terbaik Anda dalam berinvestasi saham dan
selalu gunakan ”uang dingin” alias duit bebas untuk membeli saham.
LUKAS SETIA ATMAJA
Financial Expert - Prasetiya Mulya Business School
27
Rumah Susun Bukan Impian
14-12-2015
Sebagai dampak kemajuan ekonomi, urbanisasi merupakan kecenderungan yang sukar
dihindari (saat ini diperkirakan 53% penduduk Indonesia tinggal di daerah perkotaan)
sehingga memunculkan sejumlah tantangan yang mau tidak mau harus segera ditangani.
Salah satunya adalah tantangan papan atau tempat tinggal. Selain mendesak dan
kebutuhannya dalam jumlah banyak, masalah hunian kaum urban juga memiliki sejumlah
kendala, yakni masalah keterbatasan lahan. Sementara itu, dari sisi jumlah pasokan,
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mencatat ada backlog
(kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dan jumlah rumah yang dibutuhkan rakyat)
mencapai 13,5 juta unit pada 2014.
Pada kondisi seperti ini, jelaslah tantangan penyediaan perumahan merupakan pekerjaan
rumah bagi pemerintah yang tentu saja jawabannya tidak mudah. Tidak hanya memangkas
kesenjangan yang sudah telanjur ada, kebutuhan rumah yang terus meningkat pun tiap tahun
dipastikan akan menambah jumlah backlog. Kebutuhan rumah baru, demikian catatan PUPR,
mencapai 800.000 unit/tahun. Sementara itu, kemampuan pengembang, pemerintah, dan
masyarakat dalam menyediakan rumah saat ini baru 400.000 unit/tahun.
Tingginya angka backlog ini disebabkan rendahnya tingkat daya beli masyarakat, terutama
bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Karena itu, tidak bisa tidak, solusi dalam
mengatasi backlog adalah upaya dalam memfasilitasi MBR agar mampu memiliki rumah atau
minimal mampu menempati rumah yang layak huni melalui rumah susun sewa.
Rumah Susun Impian
Terkait langkah memangkas backlog, pemerintah sudah mencanangkan program “Sejuta
Rumah untuk Rakyat” pada 2015. Target sejuta rumah tersebut direncanakan untuk
memfasilitasi kebutuhan rumah bagi MBR sebanyak 603.516 unit dan kebutuhan bagi
kelompok masyarakat menengah dan atas sebanyak 396.484 unit.
Perlu diingat, program ini tidak hanya mencakup pembangunan rumah baru milik, tetapi juga
mencakup pembangunan rumah susun sewa, pembangunan baru, dan peningkatan kualitas
melalui swadaya serta pembangunan rumah khusus. Dalam lima tahun ke depan, pemerintah
mematok target backlog menjadi 8 juta unit. Target yang cukup realistis, mengingat
dukungan yang besar dari para stakeholder, yang utama dalam hal ini adalah dukungan
pemerintah daerah, BUMN bidang infrastruktur, dan sektor swasta, serta lembaga
pembiayaan.
28
Antusiasme itu terlihat saat groundbreaking program “Sejuta Rumah untuk Rakyat” yang
dilakukan Presiden Joko Widodo di Semarang, 1 Mei 2015. Tercatat sembilan pemerintah
daerah ikut berpartisipasi. Antara lain; Sumatera Utara (Nias Utara) untuk jenis rumah tapak
dengan kelompok sasaran adalah perumahan PNS; Sumatera Selatan (Banyuasin) untuk
rumah tapak dengan sasaran perumahan umum; DKI Jakarta (Jakarta Barat) untuk
pembangunan rusunami; serta rumah tapak untuk PNS dan umum di Banten (Tangerang),
Jawa Barat (Cirebon), Jawa Timur (Malang), dan Kalimantan Tengah (Kotawaringin
Timur). Kemudian pembangunan rusunawa yang berada di Jawa Tengah (Semarang) untuk
buruh dan Sulawesi Selatan (Bantaeng) untuk nelayan.
Potensi pembiayaan untuk program satu juta rumah pada 2015 sebesar Rp67,8 triliun dengan
rincian sebanyak Rp48,5 triliun berasal dari Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS)
Ketenagakerjaan, Rp3,1 triliun berasal dari Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan
(Bapertarum) PNS, Rp2 triliun dari Taspen, Rp1 triliun dari Perum Perumnas, Rp5,1 triliun
anggaran untuk Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dan Rp8,1 triliun berasal
dari APBN Kementerian PUPR.
Menarik untuk disimak, bahwa dalam program Sejuta Rumah untuk Rakyat tersebut,
sebagian arah rumah yang dibangun adalah berupa Rusunawa dan Rusunami (di Jakarta,
Semarang, dan Bantaeng). Apa arti arah pembangunan ini?
Tantangan besar dalam membangun rumah di daerah perkotaan, sebagaimana disinggung di
atas, adalah masalah lahan yang sangat terbatas. Akibatnya, sesuai dengan hukum ekonomi,
segala sesuatu yang amat terbatas berdampak pada harga yang menjadi mahal. Di sisi lain,
tingkat urbanisasi ke kota yang tetap tinggi dan kawasan permukiman di perkotaan yang
terbatas, sehingga jika tidak diatur akan berpotensi menjadi permukiman kumuh dan tidak
layak huni.
Menghadapi kenyataan seperti ini, pilihan yang tersedia tentu tidak banyak. Salah satu
alternatif yang realistis adalah membangun rumah vertikal, baik itu apartemen untuk kelas
atas, maupun rumah susun untuk masyarakat bawah. Dengan rumah vertikal, di atas lahan
yang terbatas, akan dihasilkan ruang yang lebih banyak. Masalahnya, untuk masyarakat
Indonesia, tinggal di rumah susun memang masih belum menjadi budaya. Pilihan pertama
bagi sebagian warga adalah memilih rumah tinggal atau hunian jenis rumah tapak.
Seiring perkembangan zaman dan utamanya keterbatasan lahan serta biaya, pilihan rumah
vertikal tidak terhindarkan. Pembangunan rumah vertikal, khususnya rusunawa dapat
dijadikan program pemerintah kota untuk penataan dan menghindarkan kawasan kumuh. Hal
ini juga ditunjukkan oleh sebagian besar kota-kota di dunia, termasuk di Indonesia yang
dipelopori kota Jakarta yang menargetkan pembangunan rusunawa lebih dari 200 unit tower
per tahun. Berdasarkan RPJMN 2015-2018, Pemerintah menargetkan 550.000 unit rumah
susun.
29
Perencanaan Matang
Guna mewujudkan ketersediaan rumah susun, komitmen pemerintah menjadi faktor penting.
Kehadiran pemerintah utamanya adalah penyediaan akses pelayanan perumahan dan
permukiman sebagai bentuk aksi untuk menanggulangi kemiskinan. Pemerintah tak bisa
begitu saja membiarkan kekuatan pasar yang dapat menyebabkan ketidakpastian MBR untuk
mendapatkan rumah sebagai pemenuhan hak untuk bermukim.
Pengertian rumah susun sederhana sewa (rusunawa) sendiri, berdasarkan Permen No.14/
2007 tentang Pengelolaan Rumah Susun Sederhana Sewa, adalah bangunan gedung
bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang
distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan
satuan-satuan yang masing-masing digunakan secara terpisah. Status penguasaannya sewa
serta dibangun dengan menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dengan fungsi utama sebagai hunian.
Idealnya rumah susun kelak merupakan masa depan dari pembangunan perumahan di
wilayah permukiman perkotaan. Dengan penataan yang terencana dengan baik serta
komprehensif, rusunawa adalah solusi utama untuk menampung MBR di wilayah
perkotaan. Untuk itu, ke depan perencanaan pembangunan rusunawa harus dilakukan secara
lebih cermat dan matang.
Rusunawa bukan sekadar menghindarkan wilayah urban dari kehadiran rumah tapak kumuh,
rusunawa juga harus dibangun di atas lahan yang sesuai peruntukannya dan sekaligus sesuai
dengan peraturan zonasi wilayah tersebut. Dengan demikian pembangunan rumah susun
harus sesuai masterplan dan sudah mempertimbangkan daya tampung, daya dukung dan
terkoneksi dengan sistem perkotaan seperti sistem transportasi terpadu.
Keterlibatan pemda dan pemerintah pusat dalam mengatasi problema lahan yang terbatas dan
menjadi semakin mahal, merupakan solusi awal. Di sinilah negara benar-benar hadir sebagai
public service masyarakat yang membutuhkan, khususnya yang berpenghasilan rendah dan
tidak memiliki akses untuk memiliki rumah milik. Dengan kehadiran negara untuk
pembangunan rumah susun sewa, hak bermukim bagi setiap warga yang menjadi hak asasi
manusia paling tidak sudah terpenuhi.
Dengan pembangunan rusun sewa berskala besar di seluruh perkotaan di Indonesia,
permasalahan permukiman kumuh di perkotaan dapat terpecahkan dan bukan lagi menjadi
wajah sebagian besar perkotaan di negeri ini.
BASUKI HADIMULJONO
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
30
Kebangkitan Dirgantara
14-12-2015
Zaman dulu, tahun 1960-an, yang pasti sebelum 1965-an, ada sebuah lembaga yang disebut
Lipnur, yang kalau benar merupakan kepanjangan dari Lembaga Industri Penerbangan
Nurtanio. Lipnur banyak menyekolahkan tenaga teknik dan penerbang di Akademi
Penerbangan Indonesia (API) yang bermarkas di Curug, Tangerang.
Kalau benar lagi, Laksamana Muda Udara Nurtanio menciptakan pesawat latih Belalalang
dan Sikumbang. Kedua pesawat ini menggunakan single piston engine dan bahan bakarnya
avigas, dengan oktan 100. Sederhana, tapi memang asli buatan orang Indonesia. Bahkan
Belalang dipergunakan mendidik penerbang-penerbang TNI AD. Pendidikannya di Bandara
Achmad Yani Semarang, Sekolah Penerbang Angkatan Darat.
Lipnur juga membuat duplikasi pesawat bermesin satu yang dinamakan Gelatik yang
dimanfaatkan PT Deraya yang dedengkotnya Ibu Yayuk, pemilik commercial pilot license
(CPL) Indonesia. PT Deraya merupakan sekolah penerbang swasta pertama di republik ini.
Markasnya di Bandara Kemayoran, bandara yang kemudian digusur oleh manusia-manusia
yang tidak memiliki kemampuan melihat kemajuan penerbangan republik ini.
Penerbangan komersial seperti Garuda Indonesia, Merpati Nusantara, Mandala, dan lain-lain
harus hengkang ke Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang. Kemudian
penerbangan Kepolisian RI pertama kali hengkang ke Bandara Pondok Cabe yang
sebenarnya milik PT Pelita Air Service tahun 1987, disusul TNI AL dan TNI AD. TNI AU ya
balik semua ke Landasan Udara Halim Perdanakusuma.
Sebagai catatan, kalau pada saat itu para decision maker agak cerdas sedikit, tidak
“membedoldesakan” Bandara Internasional Kemayoran menjadi kawasan yang pada
kenyataannya saat ini tidak jelas-jelas amat, mungkin Bandara Halim tidak coba dikuasai
sebuah penerbangan swasta. Mungkin juga Bandara Pondok Cabe tidak dilirik sebagai
bandara alternatif oleh Garuda Indonesia.
***
Kembali ke judul kebangkitan dirgantara, ya dirgantara republik kita yang tercinta ini cukup
membuat kaget. Memang selama ini ke mana saja industri penerbangan Indonesia yang saat
ini diwakili PT Dirgantara Indonesia (PT DI) yang merupakan gantinya Industri Pesawat
Terbang Nusantara (IPTN) yang merupakan gantinya Lipnur?
IPTN berdiri pada 1976. Mulanya “N”-nya singkatan dari “Nurtanio” kemudian diganti
31
“Nusantara” karena sedikit timbul dispute penggunaan nama keluarga Nurtanio. Seharusnya
Laksamada Muda Udara Nurtanio ini pantas dijadikan Bapak Penerbangan Indonesia.
Bersama beliau ada Letnan Kolonel Udara Soemarsono yang menciptakan helikopter pertama
Indonesia.
N 219 yang baru diperkenalkan dan akan diresmikan, apa maksudnya baru akan
diterbangkan, kurang jelas. Dilihat dari bentuknya memang mirip De Havilland Canada 6
Twin Otter, pesawat jenis short take off landing (STOL). DHC 6 Twin Otter series 100, 200,
300 telah dipergunakan Merpati Nusantara Airlines sebagai pesawat penerbangan perintis.
Operasinya terutama di Irian Jaya dulu dan di beberapa daerah Indonesia timur.
Katanya N 219 itu bisa mengangkut penumpang 19 orang, jenis STOL dan sesuai tuntutan
performa sebagai pesawat yang akan dioperasikan di daerah remote yang jenis landasannya
“ala kadarnya”, cuma perlu panjang sekitar 500 meteran, permukaannya pasti lebih jelek dari
padang rumput lapangan golf. Harganya tentu harus lebih murah dari DHC 6 Twin Otter. Bila
sama atau lebih mahal, terlepas dari rasa nasionalisme sesuai logika, ya mending beli DHC 6
Twin Otter.
Kita berdoa saja semoga N219 memang bisa disejajarkan dengan DHC 6 Twin Otter. Jenis
STOL, jelas turbo, perlengkapan yang bukan optional seperti weather radar, ground
proximity warning system (GPWS) atau yang lebih canggih lagi mampu terbang dengan
kecepatan rendah, slow speed agar membantu penerbang “mengintip” letak landasan bila
cuaca kurang bersahabat.
N 219 pasti ditunggu semua rakyat. Sudah amat sangat pantas PT DI yang reinkarnasi IPTN
Lipnur benar-benar memproduksi pesawat terbang sayap tetap (fix wing) atau sayap
putar/helikopter (rotary wing) yang benar-benar dengan nama depan N (Nusantara) yang
membanggakan. Tidak pakai embel-embel C dari CASA , CN atau NBO N.
Rakyat di republik ini pasti akan sangat bangga mengetahui PT DI benar-benar telah
memproduksi pesawat terbang hasil karya bangsa sendiri, bukan sekadar assembling
(rakitan). Namun ada yang menarik, sampai saat ini belum jelas benar hasil assembling atau
rakitan IPTN/PT DI itu dibeli negara mana saja? Mestinya dengan hasil produksi 395
pesawat IPTN/PT DI dan Republik Indonesia sudah sangat kaya.
Berita tentang negara mengirim tenaga penerbangan Republik ke Korea Selatan hanya untuk
belajar latihan merakit pesawat mestinya, harusnya, kudunya tidak pernah terjadi. Masa,
hampir 50 tahun industri penerbangan kita mampunya cuma merakit dan masih harus
mengirim putra-putrinya belajar merakit? Ampun!
JOHN BRATA
Pemegang ATPL 760 (IAW)
32
Kesenjangan dan The Fed
14-12-2015
Dalam beberapa waktu ke depan ekonomi nasional akan terfokus pada dua hal penting: isu
tentang kesenjangan dan kepastian besaran kenaikan suku bunga bank sentral Amerika
Serikat (The Fed). Isu kesenjangan lebih berorientasi pada sektor riil, sementara kenaikan
suku bunga The Fed lebih berdimensi moneter dan pasar keuangan.
Secara sepintas, isu kesenjangan hanya menjadi domain pemerintah atau otoritas fiskal dan
sektor riil, sedangkan kenaikan suku bunga The Fed menjadi tanggung jawab Bank Indonesia
untuk meresponsnya. Namun, kalau kita analisis lebih dalam justru dalam situasi seperti ini,
baik pemerintah maupun BI, semakin dituntut untuk meningkatkan koordinasi dan policy-
harmonization dalam menyusun kebijakan untuk kedua isu tersebut. Baik kebijakan moneter
maupun fiskal harus saling mendukung dan jangan sampai saling melemahkan.
Isu kesenjangan mencuat kembali setelah Bank Dunia baru-baru ini merilis data tentang
kesenjangan ekonomi. Meskipun terdapat sejumlah capaian yang mengesankan pasca-
reformasi di bidang ekonomi, persoalan kesenjangan kaya-miskin justru semakin lebar.
Menurut Bank Dunia, terdapat disparitas pertumbuhan konsumsi antara kelompok kaya-
miskin selama kurun waktu 2003-2010. Sebanyak 10% masyarakat terkaya Indonesia
konsumsinya tumbuh 6%, sementara 40% masyarakat termiskin konsumsinya tumbuh di
bawah 2%. Hal ini yang membuat koefisien gini meningkat dari 30 pada tahun 2000 menjadi
41 pada 2013.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, industrialisasi, disparitas kualifikasi tenaga kerja
terampil, kepemilikan aset dan commodity-boom menjadi beberapa faktor melebarnya
kesenjangan. Bank Dunia juga mengidentifikasi empat penyebab ketimpangan, yaitu
ketimpangan peluang, ketimpangan pasar kerja, ketimpangan kekayaan dan ketimpangan
dalam menghadapi guncangan.
Kondisi ini perlu lebih menjadi perhatian khususnya pemerintah lantaran pada September
2014-Maret 2015, menurut data BPS, terdapat tambahan 860.000 orang miskin di Indonesia.
Kenaikan tersebut karena jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan bertambah besar dari
27,73 juta orang (10,96%) pada September 2014 menjadi 28,59 juta (11,22%) di Maret
2015. Banyak kalangan memperkirakan jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan pada
survei BPS per September 2015 akan bertambah banyak akibat bencana kabut asap yang
melanda sejumlah wilayah di Sumatera dan Kalimantan.
Data lain menunjukkan tren kesenjangan masih akan menjadi tantangan besar bagi
perekonomian kita. Misalnya, angka tingkat pengangguran terbuka (TPK) pada Agustus 2015
33
yang meningkat menjadi 6,18% lebih tinggi dibandingkan dengan posisi Agustus 2014 yang
mencapai 5,94%.
Tantangan kedua lebih berasal dari eksternal, yaitu kenaikan suku bunga The Fed yang
diperkirakan banyak analis akan diputuskan dalam rapat gubernur bank sentral Amerika
Serikat, 15-16 Desember 2015. Banyak analis memperkirakan The Fed akan menaikkan suku
bunga secara bertahap, dimulai dengan kenaikan 25 basis poin di bulan ini. Kenaikan suku
bunga di AS membuat imbal hasil investasi portofolio di AS menjadi lebih menarik seiring
berakhirnya likuiditas melimpah akibat program pembelian aset oleh The Fed dalam jumlah
besar.
Salah satu risiko yang dihadapi oleh banyak negara berkembang dan emerging adalah
pembalikan modal (capital outflow) dalam jumlah besar dari pasar modal dan pasar keuangan
yang berakibat melemahnya nilai tukar mata uang di banyak negara. Bagi Indonesia, tekanan
keluarnya modal asing tecermin dari beberapa indikator, misalnya nilai tukar mata uang
rupiah yang terdepresiasi terhadap dolar AS, turunnya cadangan devisa, dan melemahnya
IHSG. Hal ini juga terjadi di sejumlah negara emerging lain seperti Brasil, Rusia, Afrika
Selatan, Malaysia, dan Thailand.
Meskipun sinyal naiknya suku bunga di Amerika Serikat akan dilakukan secara bertahap,
perilaku investor mengonsolidasi aset di luar negeri dan pengalihan investasi ke dolar AS di
tengah melemahnya harga minyak mentah dunia membuat permintaan terhadap dolar AS
semakin tinggi. Hal ini belum memperhitungkan kebutuhan dolar AS untuk keperluan impor
dan cicilan pelunasan utang luar negeri, yang membuat nilai tukar mata uang di banyak
negara akan mengalami tekanan dalam beberapa waktu ke depan. Nilai tukar rupiah
berfluktuasi dan berada di level Rp14.000/dolar AS pada perdagangan minggu lalu.
***
Otoritas moneter (BI) dan fiskal (pemerintah) akan sangat disibukkan dengan kedua isu di
atas. Di satu sisi persoalan kesenjangan, kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja; di sisi
lain bagaimana respons kebijakan terhadap rencana kenaikan suku bunga The Fed.
Salah satu kunci titik temu antara kedua otoritas terkait dengan hal ini adalah bagaimana
sektor moneter dapat membantu bergeraknya sektor riil dan kebijakan fiskal juga turut
menguatkan stabilitas sistem keuangan nasional. Kebijakan suku bunga Bank Indonesia (BI
Rate) perlu melihat dua aspek sekaligus, yaitu sisi moneter serta stabilitas pasar keuangan dan
dapat mendorong bergeraknya sektor riil di Tanah Air yang mengalami perlambatan di
sepanjang tahun 2015.
Dari sisi lain, pemerintah juga memiliki andil sangat besar terhadap stabilitas pasar keuangan
seperti pengaturan hedging utang luar negeri BUMN yang telah dilakukan, diversifikasi
portofolio penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), mendorong ekspor serta sektor lain
untuk menambah devisa.
34
Apa pun kebijakan yang akan ditempuh baik oleh BI, OJK, LPS maupun pemerintah akan
semakin membutuhkan keterpaduan antarlembaga. Di tengah situasi perekonomian dunia
yang masih belum dapat dipastikan arahnya setelah kenaikan suku bunga The Fed, para
pelaku usaha dan konsumen nasional semakin membutuhkan arah kebijakan nasional yang
jelas dan terpadu.
Selain faktor ketidakpastian kondisi luar negeri, kita juga akan masih menghadapi sejumlah
agenda pembangunan terkait dengan upaya pemerataan pembangunan nasional, memajukan
kawasan timur Indonesia, mengefektifkan dana transfer ke daerah dan dana desa, penguatan
konsumsi dalam negeri, serta realisasi pembangunan infrastruktur.
Soliditas kebijakan antar otoritas semakin diperlukan dan silang pendapat di ruang publik
perlu dihindari agar tidak muncul kebingungan serta dapat menurunkan optimisme para
pelaku usaha dan konsumen dalam negeri menghadapi tahun 2016.
PROF FIRMANZAH PhD
Rektor Universitas Paramadina; Guru Besar FEB Universitas Indonesia
35
Pekerjaan & Kerja
16-12-2015
Kerja dan kerja adalah moto atau slogan yang selalu diucapkan oleh Presiden Joko Widodo
(Jokowi) dalam setiap kesempatan berpidato di muka umum. Slogan ini kemudian juga
menjadi slogan Ayo Kerja Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-70 pada Agustus lalu.
Kendati demikian, tidak semua kerja membawa hal yang positif. Ada kerja-kerja yang justru
negatif. Kerja negatif itu antara lain seperti buruh anak, perbudakan, pekerjaan di bawah upah
minimum, pekerjaan di lingkungan yang tidak menghargai hak asasi manusia (HAM) dan
pekerjaan lain yang tidak memanusiakan manusia.
Keterangan tersebut adalah salah satu dari definisi Human Development Index 2015. Laporan
ini membedakan antara kata jobs (pekerjaan) dan work (kerja). Kerja memiliki arti yang lebih
luas dari pekerjaan. Apabila pekerjaan lebih diukur dalam konteks indikator ekonomi, maka
makna kerja mencakup pekerjaan yang tidak dibayar seperti sukarelawan, pekerjaan merawat
orang tua lanjut usia, atau pekerjaan di akar rumput. Dengan kata lain, kerja dapat menjadi
alat atau sarana untuk mengurangi kesenjangan sosial, menjamin keberlangsungan hidup dan
memberdayakan manusia.
Oleh sebab itu, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, laporan pada tahun ini memiliki
indikator-indikator yang diperbarui sehingga urutan negara dalam laporan terbaru ini tidak
bisa dibandingkan dengan laporan sebelumnya kecuali beberapa indikator seperti kelahiran
dan pekerjaan.
Yang secara implisit menarik dari laporan ini adalah penegasan bahwa investasi dan
pertumbuhan ekonomi adalah sarana untuk membangun kualitas manusia yang lebih baik.
Pertumbuhan ekonomi tidak boleh hanya sebatas diukur dari banyaknya investasi yang
masuk, uang yang berputar atau lapangan pekerjaan yang dibuka. Namun, yang lebih penting
apakah pertumbuhan itu telah menciptakan keadaan-keadaan yang dapat mendorong warga
untuk lebih terlibat dalam pembangunan, terjamin hak asasinya, tercapai rasa keadilan dan
kesetaraannya, memiliki kesehatan yang lebih baik, berpendidikan dan memiliki standar
hidup yang layak.
Mengacu pada batasan atau kriteria tersebut maka tidak heran apabila Cina sebagai negara
dengan ekonomi terkuat di dunia yang GNI per kapitanya sebesar USD12.547 ternyata lebih
rendah prestasi pembangunan manusianya daripada Kuba yang hanya memiliki GNI per
kapita USD7.301. Salah satu alasannya, angka harapan hidup penduduk di Kuba lebih tinggi
daripada penduduk di Cina walaupun di Cina pendapatannya lebih tinggi.
36
Memang tidak berarti bahwa negara dengan pendapatan per kapita yang lebih rendah tetapi
memiliki indeks HDI lebih tinggi itu lebih baik. Apabila memperhatikan dengan saksama,
negara-negara yang mencapai tingkat HDI paling tinggi adalah juga negara-negara yang
memiliki pendapatan per kapita yang tinggi. Negara-negara tersebut hampir memiliki
pendapatan per kapita di atas USD20.000. Hal ini berarti bahwa pekerjaan yang dilahirkan
dari investasi jutaan dolar harus berkesinambungan dengan pembangunan manusianya.
Saat ini tidak dipungkiri bahwa pertumbuhan ekonomi di dunia memang telah menghasilkan
perubahan-perubahan yang baik. Pendapatan negara-negara negara berkembang lebih baik
pada tahun ini dibandingkan tahun 1990. Masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan
tahun ini telah turun sepertiga dibandingkan tahun 1990, yaitu dari 1,9 miliar menjadi 836
juta orang. Angka kematian bayi juga telah turun setengah dari 12,7 juta menjadi 6 juta bayi.
Namun demikian, kemajuan itu ternyata juga disertai oleh ketimpangan pembangunan
manusianya. Misalnya angka kematian pasca-kelahiran di negara-negara Asia Selatan masih
lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara OECD yaitu 183 dan 21 untuk per 100.000
kelahiran. Dari sisi gender, pendapatan perempuan masih 24% lebih rendah dari pendapatan
laki-laki untuk jenis pekerjaan yang sama.
Untuk mengatasi masalah itu, para ekonom umumnya hanya melihat perlunya modal atau
investasi lagi untuk membuka lapangan pekerjaan agar dapat memberikan pendapatan yang
lebih banyak kepada masyarakat. Namun, solusi ini telah dijalankan dan terbukti tidak
mampu mengatasi ketimpangan tersebut.
Faktor lain yang sering kali luput atau dihindari adalah keberpihakan dari negara terhadap
kelompok masyarakat yang terpinggirkan tersebut. Negara harus menutupi ketimpangan
tersebut dengan kebijakan politik yang melindungi masyarakat yang rentan terhadap
pertumbuhan ekonomi itu sendiri, misalnya memberikan upah layak agar para pekerja dapat
menabung apabila terdapat ancaman PHK, atau memberikan akses kesehatan yang mudah
dan murah bagi kelas menengah agar tidak menjadi jatuh miskin ketika mengalami penyakit
kronis seperti jantung atau stroke.
Bagaimana dengan Indonesia? Laporan itu menempatkan Indonesia dalam urutan 110
bersama negara-negara lain yang masuk dalam kategori medium human development. HDI
membagi pembangunan manusia negara-negara di dunia menjadi empat bagian, Very High
Human Development, High Development, Medium Human Development, dan Low Human
Development.
Negara-negara ASEAN lain yang ada dalam kategori sama dengan Indonesia adalah Filipina
(115), Vietnam (116), dan Kamboja (143). Sementara itu Singapura (11) dan Brunei
Darussalam (31) termasuk dalam kategori Very High Human Development; lalu Malaysia
(62) dan Thailand (93) berada di High Human Development.
37
Pencapaian HDI Indonesia sudah cukup baik apabila dibandingkan dengan rata-rata negara-
negara yang masuk dalam kategori Medium HDI. Namun apabila kita bandingkan di tingkat
regional Asia-Pasifik, posisi Indonesia masih tertinggal.
Di satu sisi, laporan ini dapat kita gunakan sebagai daya dorong untuk lebih memperbaiki
kualitas pembangunan di Indonesia. Tujuan, gagasan, dan konsep yang melatarbelakangi
laporan ini adalah untuk memperbaiki kualitas pembangunan ekonomi di dunia. Di sisi lain,
laporan ini semoga membangkitkan dialog akademik tentang bagaimana indeks penilaian
”sangat tinggi”, ”tinggi”, ”medium”, dan ”rendah” ditentukan.
Jika dicermati, sejumlah negara yang dikenal kurang menghargai kebebasan HAM justru
berada di klasifikasi sangat tinggi atau tinggi, misalnya sejumlah negara di Timur Tengah
atau Eropa Timur. Cukup ganjil jika menjadikan kasus-kasus tersebut sebagai model
pembangunan yang patut dirujuk.
Selain itu, laporan ini belum memberikan pencerahan tentang caranya mengejar pertumbuhan
ekonomi yang tinggi sambil memperbaiki kualitas pembangunan karena bagi mayoritas
ekonom, kedua hal ini tidak bisa berjalan beriringan.
DINNA WISNU, PhD
Pengamat Hubungan Internasional; Co-founder & Director Paramadina Graduate School of
Diplomacy
@dinnawisnu
38
Nawacita dan Impor Beras
16-12-2015
Pemerintah akhirnya memutuskan membuka keran impor beras. Kebijakan mengimpor beras
sebanyak 1,5 juta ton menjadi bentuk kegagalan kedaulatan pangan.
Ketergantungan pangan dari impor menjadi sebuah ironi di tengah kekayaan sumber pangan
lokal. Berdasarkan data terkini, impor tujuh pangan utama meningkat pesat dalam lima tahun
terakhir, yaitu beras, cabai, daging sapi, gula, jagung, kedelai, dan bawang merah.
Yang menjadi pertanyaan setelah setahun politik Nawacita pemerintahan Jokowi-JK,
berhasilkah sembilan program prioritas atau Nawacita menjadi penunjuk arah pembangunan
nasional, khususnya dalam bidang pangan? Dari sembilan butir Nawacita setidaknya empat
butir bersentuhan langsung dengan politik pangan dan swasembada beras. Butir 3:
membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa; butir 5:
meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia; butir 6: meningkatkan produktivitas rakyat
dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit; dan
butir 7: mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan ekonomi domestik.
Tampak Mengkhawatirkan
Niat mewujudkan swasembada beras dan meningkatkan produktivitas pangan sebenarnya
sudah tampak mengkhawatirkan dengan rencana pemerintah hendak membuka keran impor
beras sebanyak 1,5 juta ton sejak tiga bulan terakhir. Alasannya memperkuat cadangan beras
pemerintah.
Padahal, Presiden Jokowi pada awal pemerintahannya sangat optimistis target swasembada
beras akan tercapai 2 tahun ke depan. Kementerian Pertanian pun diminta menetapkan
produksi gabah kering giling (GKG) tahun 2015 sebanyak 75,55 juta ton, atau meningkat
6,64% juta ton dari produksi 2014 sebesar 70,61 juta ton.
Meski Bank Indonesia mendukung kebijakan impor beras karena bisa menahan laju inflasi,
tidak sedikit yang menentang karena impor merugikan petani lokal dan menambah
ketergantungan pada negara-negara lain. Idealnya, kurangi impor dan harga beras terjangkau
daya beli. Namun, hal ideal ini tidak mungkin dicapai dalam waktu dekat ini.
Karut-marut persoalan produksi beras nasional sangat kompleks. Selain faktor cuaca, alih
fungsi lahan dan penyediaan bibit unggul dan subsidi pupuk adalah hal yang terus
mengganggu produksi. Implikasinya, kedaulatan pangan sebagai buah program Nawacita di
bidang pertanian belum terwujud.
39
Kedaulatan pangan yang disebutkan sebagai hak negara memacu kemandirian untuk
menentukan kebijakan pangan sesuai dengan potensi sumber daya lokal kini mulai panen
keraguan. Pembangunan pertanian dalam kurun waktu 15 tahun terakhir untuk menciptakan
kemandirian pangan yang kuat dan meningkatkan kesejahteraan petani terkesan mengalami
kegagalan. Indonesia pun berada di ambang krisis pangan yang membuat bangsa ini menjadi
pangsa pasar pangan global yang empuk dan petani lokal makin miskin.
Berbeda dengan itu, pemerintah negara maju amat melindungi petaninya. Mereka menyadari
persoalan kebutuhan dasar ini tidak boleh bergantung pada negara lain sehingga sektor
pertaniannya disubsidi dalam jumlah luar biasa besar untuk meningkatkan produksi pangan
dan terjadi surplus produksi. Kelebihan pangan memungkinkan mereka menjual di bawah
harga dasar ke negara-negara berkembang. Itulah yang mengganggu pasar.
Namun, yang membuat para pengamat ketahanan pangan di negeri ini takjub adalah produksi
beras menurut versi pemerintah selalu di atas kebutuhan konsumsi dan surplus. Badan Pusat
Statistik (BPS) memprediksikan angka produksi padi pada 2015 akan meningkat 6,64 persen
atau sebanyak 75,55 juta ton dibandingkan tahun sebelumnya. Angka ini merupakan yang
tertinggi dalam 10 tahun terakhir dengan kenaikan yang mendekati 7,0%. Produksi gabah
kering giling 2014 sebanyak 70,85 juta ton atau turun 0,43 juta ton dibanding 2013.
Peningkatan produksi 2015 yang signifikan ini seakan-akan mengabaikan sejumlah kendala
yang menghambat peningkatan produksi beras. Harga pupuk yang kian mahal, meningkatnya
laju konversi lahan pertanian, dan buruknya penyediaan benih unggul sudah pasti bermuara
pada produktivitas padi yang kian melandai. Lahan pertanian pangan kian menyempit dengan
laju tahunan konversi yang mencapai rata-rata sekitar 100.000 hektare. Tanpa diikuti
pencetakan sawah baru di luar Jawa, sulit meningkatkan produksi padi signifikan.
Objek Pembangunan
Pola konsumsi masyarakat yang masih berpusat pada beras memaksa pemerintah menutup
defisit beras dengan membuka keran impor yang justru memukul harga beras produk
domestik. Petani yang sudah lama menjadi objek pembangunan kembali mengalami hidup di
bawah bayang-bayang kemelaratan. Mereka bahkan semakin terpuruk dalam kesengsaraan
karena terus merugi. Harga produk pangan domestik kalah bersaing dengan impor. Belum
lagi aksi penyelundupan beras impor yang merajalela.
Patut disadari, karakteristik pasar beras global sangat tipis. Volume beras yang
diperdagangkan hanya 4% dari total produksi global. Dengan jumlah penduduk besar dan
sekitar 60% dari mereka membelanjakan pendapatannya sejumlah 25% untuk beras,
sangatlah berbahaya jika Indonesia mengandalkan pasokan beras dari pasar internasional.
Lantas, mengapa pemerintah masih berencana mengimpor beras? Impor terjadi akibat
gurihnya rente yang dinikmati para importir yang pada gilirannya memukul petani.
Pemerintah sepatutnya melarang sementara impor beras untuk mencegah anjloknya harga
40
bahan makanan pokok ini. Apabila kebijakan itu bisa diimplementasikan pada tahun 2015,
patut diacungi jempol sebagai pro-petani!
Sudah bukan rahasia, urusan logistik beras yang sebagian dipenuhi dengan cara mengimpor
menjadi lahan empuk untuk meraup uang (fund rising) bagi pencari rente bergaya
mafioso. Indonesia sudah lama masuk perangkap pangan impor karena perilaku semacam ini.
Ditambah dengan kesepakatan yang menguntungkan antara importir dan oknum pejabat yang
bermain di belakangnya menjadikan ”tradisi impor” seakan-akan legal sebagai pilihan tepat
daripada memproduksi beras dari dalam negeri. Terciptalah lingkaran setan penyediaan beras
nasional. Impor dihentikan, defisit beras otomatis terjadi. Di sisi lain, jika impor beras
dilakukan dapat membunuh hidup dan kehidupan petani kecil, yang pada gilirannya
mendorong stagnasi proses produksi perberasan dalam negeri.
Namun, jika pemerintah masih mempertahankan kebijakan lama mengimpor beras dalam
jumlah besar, efek jangka panjangnya sama dengan menyimpan bom waktu. Pemerintah
harus mengakhiri politik beras murah untuk mengatasi kemiskinan dengan mengatur-atur tata
niaganya. Jenis politik yang satu ini sesungguhnya menekan petani secara tidak adil.
Meski para pemimpin silih berganti yang menjanjikan pembangunan pertanian dengan
berbagai istilah dan program, masalah defisit dan impor beras tidak ada akhirnya. Presiden
Jokowi yang melontarkan gagasan kedaulatan pangan sebagai buah Nawacita, misalnya,
sampai sekarang belum terlihat jelas arahnya. Pemerintah patut belajar dari negara-negara
maju seperti Korea Selatan dan Jepang yang menyubsidi petaninya secara besar-besaran guna
mendorong pembangunan pertanian berkelanjutan.
Sudah saatnya memperluas diversifikasi produk pangan Nusantara berbasis non-beras untuk
mengawal penguatan kedaulatan pangan guna memutus mata rantai impor sekaligus
mengatrol kesejahteraan petani lokal.
POSMAN SIBUEA
Guru Besar Ilmu Pangan di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas
Sumatera Utara
41
Tantangan Peternak Rakyat Menghadapi
MEA
17-12-2015
Terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah tinggal menghitung hari, tepatnya
31 Desember 2015.
Terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) bertujuan untuk mengintegrasikan
perekonomian Asia Tenggara yang beragam, dengan potensi pasar 630 juta orang dan produk
domestik bruto gabungan USD2,4 triliun dan nilai perdagangan ASEAN yang mencapai
USD1,5 triliun per tahun. Terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) terdiri atas
empat pilar yakni menciptakan pasar tunggal dan basis produksi, meningkatkan daya saing,
meningkatkan pembangunan ekonomi yang adil, dan lebih mengintegrasikan ASEAN ke
dalam ekonomi global.
Untuk mensinergikan pasar di kawasan ini dan hub produksi ini akan memerlukan aliran
bebas barang, jasa, investasi, modal, dan tenaga kerja terampil. Lebih dari 70% dari produk
yang dibuat di ASEAN tidak akan dikenakan tarif, alias nol tarif. Ini membuat pergerakan
bebas barang dan jasa yang diperkirakan dapat menurunkan harga bahan baku dan biaya
produksi mencapai 10-20%.
Dalam menghadapi terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) ada banyak hal yang
harus dikerjakan untuk mempersiapkan diri menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN ini.
Termasuk di dalamnya adalah akankah kerangka kerja sama regional itu menggusur industri
perunggasan ayam nasional, khususnya industri perunggasan rakyat?
***
Harus kita akui ancaman terbesar sektor perunggasan datang dari sektor unggas Malaysia
yang tumbuh sangat pesat dan mampu mencapai skala ekonomi. Usaha budi daya ternak
dijalankan dengan prinsip efisiensi tinggi. Selain itu, kaidah halal baik pada produk segar dan
olahan menjadi syarat menjalankan usaha peternakan unggas.
Selain itu, pesatnya produksi unggas ayam Malaysia itu didukung oleh tingkat konsumsi
masyarakatnya. Untuk daging dan telur, konsumsinya masing-masing mencapai 36 kilogram
(kg) dan 19,44 kg /kapita/tahun atau lebih dari 350 butir. Indonesia saat ini sudah
swasembada daging unggas dengan kontribusi daging unggas mencapai 67% dari produksi
daging nasional. Namun, konsumsi nasional akan daging ayam saat ini sebesar 8 kg per
kapita per hari.
42
Sementara produksi daging ayam dapat mencukupi hingga 15 kg per kapita per tahun.
Bandingkan dengan konsumsi ayam di negara ASEAN bisa mencapai 12 kg per kapita per
tahun hingga 15 per kapita per tahun. Produksi day old chick (DOC) dalam negeri mencapai
50 juta ekor per minggu. Sementara konsumsi nasional mencapai 41 juta ekspor per minggu.
Begitu juga dengan produksi telur ayam yang konsumsinya per tahun baru mencapai 80 butir
per kapita sampai 90 butir setahun. Padahal, idealnya, konsumsi telur ayam setahun mencapai
1 juta butir per kapita hingga 2 juta. Produksi telur ayam mencapai 2,4 juta butir per tahun.
Ada beberapa faktor mengapa perunggasan Malaysia lebih efisien dari Indonesia. Pertama,
ongkos distribusi yang dikeluarkan peternak tiga hingga lima kali lebih mahal. Biaya logistik
pelabuhan kita lebih mahal se-ASEAN.
Kedua, bunga kredit yang diberikan hanya 2-3%, bandingkan peternak yang menjadi debitur
harus dikenakan bunga hingga 14-16%. Selain itu, peternak rakyat juga menghadapi kendala
persaingan dalam negeri dengan peternak besar. Hal ini terjadi karena perusahaan besar yang
selama ini main di sektor hulu ikut ramai-ramai masuk ke budi daya. Mereka masuk sebagai
peternak terintegrasi dan dengan modal besar mereka mampu menjual berapa pun harga jual
unggas.
Peternak besar terintegrasi, selain memiliki usaha di hilir dalam bentuk budi daya unggas,
juga memproduksi DOC dan pakan. Sementara peternak mandiri dan kemitraan mengambil
bibit dan pakan dari mereka. Akibatnya, peternak unggas mandiri dan kemitraan ini kalah
efisien dengan peternak terintegrasi. Artinya, persaingan harga seringkali memukul peternak
rakyat atau peternak mandiri karena tidak mampu bersaing dengan peternak besar.
Masalah harga jual unggas yang tidak sebanding dengan biaya pokok produksi per kg ayam
pedaging. Biaya pokok produksi paling banyak dipengaruhi oleh kenaikan harga pakan dan
ayam usia sehari (day old chick/DOC). Selain itu, masalah harga pakan juga bisa menekan
peternak rakyat.
***
Petani unggas perlu perlindungan karena pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi juga
sangat signifikan. Dari sisi ekonomi, perunggasan telah menyerap 2,5 juta tenaga kerja
langsung dengan total omzet berkisar Rp120 triliun per tahun. Di samping itu juga
memberikan kontribusi terhadap lapangan kerja di pedesaan karena dengan ada usaha
peternakan unggas dapat menghambat laju urbanisasi ke kota.
Di samping itu, perunggasan juga merupakan faktor penggerak industri terkait lainnya di
bidang pertanian antara lain usaha budi daya jagung, usaha dedak padi, dan sebagainya. Hal
ini membuktikan perlu dilakukannya upaya pengawasan dan perlindungan terhadap
komoditas unggas yang dilakukan oleh rakyat atau petani kecil.
43
Untuk mengatasi masalah petani unggas ini, salah satu bagian yang perlu memperoleh
perhatian memadai adalah: Pertama, rata-rata peternak unggas di Indonesia adalah peternak
dengan skala kecil yakni beternak tidak lebih dari 5.000 ekor unggas per peternak. Dengan
kondisi tersebut, sesungguhnya masih kurang ekonomis karena tingkat keuntungan yang
diraih hanya cukup memutar usaha dan biaya hidup. Dukungan pembiayaan dari pemerintah
atau perbankan untuk petani unggas juga kecil. Petani unggas juga tidak mampu menyerap
tingkat kredit perbankan kita yang masih tinggi sekitar 13%. Hal ini menyebabkan petani
unggas tidak mampu berkembang dalam skala yang lebih ekonomis.
Kondisi berbeda bisa dilihat dari peternak negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia
yang memiliki rata-rata sepuluh kali lipat dari petani unggas kita yaitu mencapai sekitar
50.000 ekor unggas per peternak. Permasalahannya adalah peternak unggas kita jumlahnya
banyak, namun dengan skala usaha yang tidak terlalu besar sehingga total jumlah unggas
yang diternakkan tetap besar.
Kedua, ancaman lain yang perlu disoroti adalah lemahnya fasilitas dalam penjagaan kualitas
unggas, fasilitas yang kurang baik dari awal pemeliharaan, penjagaan kesehatan dan kualitas,
hingga fasilitas penyembelihan unggas masih sederhana dan belum menjadi fokus peternak
unggas. Dengan begitu, menyebabkan rentan munculnya penyakit dan gangguan kesehatan
bagi ternaknya.
Ketiga, bahan baku pakan unggas masih bergantung 70% berasal dari luar negeri. Artinya,
secara tidak langsung komoditas unggas nasional juga masih dipengaruhi oleh pasar luar
negeri. Industri unggas nasional masih sangat tergantung dengan industri lainnya terutama
pertanian. Pasalnya, pembuatan pakan ternak unggas, terutama jagung, sangat tergantung
dengan ketersediaan pasokan impor dan bukan dari petani dalam negeri.
Keempat, daya dukung pasar terutama dalam negeri yang menjadi penentu berjalannya
komoditas unggas ini. Negara tetangga kita seperti Malaysia konsumsi daging unggas sudah
tinggi. Permintaan yang rendah perlu untuk diubah agar permintaan dan kebutuhan
masyarakat meningkat. Masalahnya, jika peternak kita kalah bersaing dengan peternak luar
negeri seperti Malaysia dan Thailand, potensi peningkatan konsumsi masa mendatang itu
justru dimanfaatkan oleh petani unggas negara lain yang lebih bersaing.
Pemerintah perlu turun tangan menyelamatkan nasib peternak rakyat dalam menghadapi
MEA. Pada satu sisi untuk meningkatkan kesejahteraan petani, pada sisi lain upaya
menyediakan daging ayam/unggas sebagai sumber protein yang disediakan melalui produksi
dalam negeri.
AUNUR ROFIQ
Praktisi Bisnis/Dewan Pembina Himpunan Alumni IPB
44
Inovasi dan Sistem Pembayaran Perbankan
17-12-2015
Masyarakat bersama ASEAN akan menentukan negara mana yang akan menjadi lokomotif
dari inovasi sistem pembayaran di ASEAN.
Inovasi dalam sistem pembayaran nasional hanya akan berjalan jika inovasi dalam industri
manufaktur dapat berjalan baik. Jika tidak bisa mengembangkan sistem pembayaran yang
inovatif, industri manufakturnya tertinggal.
Selain faktor di atas, ada juga masalah yang terkait informasi teknologi dan dukungan jasa
yang menghubungkan antara infrastruktur research and development (R&D) publik dan
perusahaan manufaktur yang sangat lemah. Hal ini tercermin dalam kenyataan bahwa
manajer beberapa perusahaan telah menyatakan ketidakpuasan mereka, terutama dengan para
peneliti yang dalam pandangan mereka memiliki sedikit pemahaman tentang kebutuhan
teknologi dari perusahaan yang seharusnya mereka sarankan dan sering bahkan tidak
menyadari perkembangan teknologi terbaru di bidang keahlian mereka.
Selain itu, banyak perusahaan yang tidak menyadari kemampuan R&D dari lembaga ilmu
pengetahuan dan teknologi negara atau skeptis terhadap relevansi kegiatan mereka untuk
kebutuhan teknologi mereka sendiri yang spesifik. Bahkan terdapat argumentasi yang
diutarakan bahwa baik pemerintah maupun sektor swasta tidak memiliki kepentingan dalam
mempromosikan penelitian dan pengembangan, terutama untuk teknologi menengah dan
tinggi.
Akibatnya, perkembangan teknologi industri di Indonesia jauh di belakang dibandingkan
dengan negara-negara ASEAN lainnya. Hal ini tercermin dalam sejumlah besar industri yang
masih terlibat dalam berteknologi rendah, tradisional, kegiatan manufaktur skala kecil dengan
dan rendahnya tingkat produktivitas. Hal ini juga menunjukkan bahwa kualitas tenaga kerja
memengaruhi kinerja produktivitas perekonomian Indonesia.
***
Kurangnya pembangunan infrastruktur merupakan faktor penting yang menentukan
pertumbuhan produktivitas. Ada banyak keluhan tentang infrastruktur, khususnya yang
berkaitan dengan kesulitan yang dialami di bidang komunikasi dan sistem transportasi dan
ketersediaan listrik dan air. Pasokan listrik mungkin adalah masalah yang paling jelas karena
perusahaan melaporkan kerugian pendapatan produksi hingga 4% karena masalah pasokan
listrik.
45
Di Indonesia rasio sambungan telepon tetap dan seluler dalam hal ukuran populasi juga masih
sangat kecil dibandingkan dengan di sebagian besar Asia Tenggara. Standar infrastruktur di
Indonesia, dalam segala hal, di bawah negara ASEAN lainnya (terutama Thailand, Malaysia,
dan Filipina). Infrastruktur memiliki proporsi yang lebih rendah atas jalan beraspal, kurang
kapasitas generator listrik dan saluran telepon utama yang lebih sedikit per 1.000 penduduk.
Hal ini sangat membatasi kemampuan Indonesia untuk mencapai distribusi geografis yang
baik dari kegiatan ekonomi dan industrialisasi serta menuai keuntungan dari teknologi
informasi. Situasi ini bahkan lebih serius jika kita juga menggarisbawahi rendahnya kualitas
infrastruktur yang ada.
Prioritas karenanya harus diberikan pada investasi infrastruktur baik untuk kebutuhan
pertumbuhan masa depan karena potensi infrastruktur yang baik untuk penciptaan lapangan
kerja dan peningkatan aktivitas ekspor. Penekanan harus ditempatkan pada jembatan dan
jalan, terutama di daerah pedesaan, dan pada jaringan komunikasi untuk pertumbuhan
ekonomi berbasis luas.
***
Akhirnya, faktor spesifik negara dan iklim investasi memainkan peran penting dalam
menentukan produktivitas kinerja. Berdasarkan sejarah, faktor spesifik negara termasuk
warisan alam, khususnya minyak bumi, telah menjadi penentu utama untuk pertumbuhan
yang cepat sebelum 1982.
Namun, sebagian besar ekspor Indonesia terdiri atas produk yang berasal dari sumber daya
alam (misalnya minyak) dan ini telah menghambat industrialisasi karena menciptakan
masalah penyakit Belanda. Hal ini menunjukkan bahwa faktor-faktor spesifik negara dalam
bentuk sumber daya minyak bumi misalnya diperlukan, tetapi tidak cukup untuk menentukan
pertumbuhan produktivitas.
Jelas bahwa keunggulan komparatif sumber daya alam harus disertai dengan kebijakan yang
tepat yang mengatur penggunaan aktual dari sumber daya. Demikian pula, masih banyak
masalah yang berkaitan dengan iklim investasi, termasuk prosedur birokrasi yang panjang
dan membingungkan, tumpang tindih kebijakan pembangunan pusat dan daerah atas investasi
dan antarsektor, serta variasi besar dalam program investasi daerah.
Untuk mengembangkan sistem pembayaran yang inovatif, diperlukan langkah
proaktif. Karena itu, ada kebutuhan untuk memeriksa kembali kebijakan yang berkaitan
dengan pendidikan, pelatihan, dan pengembangan teknologi, juga menangani bidang investasi
langsung asing sebagai kendaraan untuk transfer teknologi.
Hal yang paling penting adalah membangun keseimbangan antara kegiatan berbasis sumber
daya alam, produksi massal padat karya, dan teknologi dengan nilai tambah tinggi dan
intensif, diferensiasi operasi manufaktur, mengingat fakta bahwa produksi manufaktur telah
46
sangat terkonsentrasi, sangat bergantung pada bahan baku impor dan kurang keterkaitan ke
belakang.
Harus ada link antara sistem pembayaran perbankan yang inovatif dan kemajuan industri
manufaktur yang juga inovatif.
ACHMAD DENI DARURI
President Director Center for Banking Crisis
47
Kontroversi Penghentian GoJek
19-12-2015
Lebih kurang awal Desember, tulisan Jahen F Rezki (KORAN SINDO, 2/12) mencontohkan
bahwa bisnis yang mulai tumbuh atau start-up perlu didorong untuk lebih tumbuh lagi.
Bisnis start-up seperti GoJek yang dikelola kelompok anak muda dengan memanfaatkan
kemajuan teknologi informasi (TI) telah dapat setidaknya mengatasi masalah kehidupan
perkotaan. Bisnis ini mampu menyediakan jasa angkutan barang dan jasa dan pekerjanya
dapat mengurangi tekanan pengangguran anak muda perkotaan.
Go- Jek dan juga ojek online lainnya telah membuka lapangan kerja pada sektor transportasi
sekaligus penyediaan alternatif pengangkutan barang dan orang yang sulit ketika sektor
transportasi umum belum tersedia dengan mudah. Lalu, apa salah dan dosa mereka sehingga
usahanya dihentikan melalui surat dari Menteri Perhubungan ke Kapolri pada Kamis (17/12)
yang meminta penertiban bisnis tersebut?
Pelarangan beroperasinya GoJek berpotensi menciptakan PHK massal tanpa ampun pada
sektor yang baru tumbuh ini. Padahal sektor transportasi massal dan murah di perkotaan,
sekelas Jakarta dan sekitarnya, belum teratasi secara signifikan. Selesaikanlah dulu
kesemrawutan angkutan kota, ketika sistemnya sudah terbangun lebih baik, berangsur-angsur
kebijakan untuk membatasi sektor informal menjadi semakin rasional.
Menghentikan bisnis GoJek secara massal, hanya gara-gara ketentuan yang tidak mendukung,
memang menuai kontroversi. Program Jokowi-JK untuk pro terhadap kerja dengan slogan
“kerja, kerja dan kerja” mesti diartikan pada semakin banyaknya kehidupan yang bisa dibuat
akibat alokasi jam kerja yang bisa ditambah, baik skala individu, rumah tangga maupun
perusahaan.
Pemahaman lintas sektoral dan instansi mesti benar dalam menerjemahkan dan mendukung
alur pikirnya. Untunglah akhirnya keesokan hari setelah surat edaran tersebut keluar, Menteri
Perhubungan Ignasius Jonan menggelar konferensi pers bahwa ojek online tidak dilarang.
Presiden Jokowi pun men-twit melalui akun resminya dengan menyatakan, “Ojek dibutuhkan
rakyat, jangan karena aturan rakyat jadi susah, harusnya ditata.”
Program Jokowi- JK tentang ketenagakerjaan dengan slogan “kerja, kerja, dan kerja” adalah
benar ketika penawaran angkatan kerja lebih besar dari laju pertumbuhan permintaan tenaga
kerja. Kelesuan ekonomi dunia yang diikuti penurunan ekonomi domestik dengan kasatmata
telah membuat jumlah pencari kerja muda membengkak. Baik mereka pencari kerja aktif,
yakni mereka yang menganggur, maupun pekerja pasif idleness adalah beban sosial yang
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016

More Related Content

Similar to (Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016

interaksi manusia dengan lingkungan hidup ekonomi
interaksi manusia dengan lingkungan hidup ekonomi interaksi manusia dengan lingkungan hidup ekonomi
interaksi manusia dengan lingkungan hidup ekonomi
gabrielpanjaitan
 
Perkuat pasar modal butuh dukungan seluruh pihak
Perkuat pasar modal butuh dukungan seluruh pihakPerkuat pasar modal butuh dukungan seluruh pihak
Perkuat pasar modal butuh dukungan seluruh pihak
https://wartawatikeuangan.blogspot.com/
 
Perkuat Pasar Modal Butuh Dukungan Seluruh Pihak
Perkuat Pasar Modal Butuh Dukungan Seluruh PihakPerkuat Pasar Modal Butuh Dukungan Seluruh Pihak
Perkuat Pasar Modal Butuh Dukungan Seluruh Pihak
https://wartawatikeuangan.blogspot.com/
 
Perkuat Pasar Modal Butuh Dukungan Seluruh Pihak
Perkuat Pasar Modal Butuh Dukungan Seluruh PihakPerkuat Pasar Modal Butuh Dukungan Seluruh Pihak
Perkuat Pasar Modal Butuh Dukungan Seluruh Pihak
https://wartawatikeuangan.blogspot.com/
 
Resume ekonomi internasional bab 2-7
Resume ekonomi internasional bab 2-7Resume ekonomi internasional bab 2-7
Resume ekonomi internasional bab 2-7
universitas bina bangsa banten
 
Analisis Prospektif, Retrospektif dan terintegritas Hal 5.docx
Analisis Prospektif, Retrospektif dan terintegritas Hal 5.docxAnalisis Prospektif, Retrospektif dan terintegritas Hal 5.docx
Analisis Prospektif, Retrospektif dan terintegritas Hal 5.docx
ANAS MULDER
 
13 prospek ukm dalam era perdagangan bebas
13 prospek ukm dalam era perdagangan bebas13 prospek ukm dalam era perdagangan bebas
13 prospek ukm dalam era perdagangan bebas
firman sahari
 
Prospek ukm dalam era perdagangan bebas
Prospek ukm dalam era perdagangan bebasProspek ukm dalam era perdagangan bebas
Prospek ukm dalam era perdagangan bebas
Nursyidah alit
 
Resume pertemuan ke 2 sampai 7 dan pertemuan ke 9 sampai 14 EKONOMI INTERNASI...
Resume pertemuan ke 2 sampai 7 dan pertemuan ke 9 sampai 14 EKONOMI INTERNASI...Resume pertemuan ke 2 sampai 7 dan pertemuan ke 9 sampai 14 EKONOMI INTERNASI...
Resume pertemuan ke 2 sampai 7 dan pertemuan ke 9 sampai 14 EKONOMI INTERNASI...
erika herawati
 
Prospek ukm dalam perdagangan bebas
Prospek ukm dalam perdagangan bebasProspek ukm dalam perdagangan bebas
Prospek ukm dalam perdagangan bebas
achmadseno15
 
6, BE & GG, Riana Fitri, Prof. Dr. Ir. Hapzi Ali, MM, CMA, Ethical Issues In ...
6, BE & GG, Riana Fitri, Prof. Dr. Ir. Hapzi Ali, MM, CMA, Ethical Issues In ...6, BE & GG, Riana Fitri, Prof. Dr. Ir. Hapzi Ali, MM, CMA, Ethical Issues In ...
6, BE & GG, Riana Fitri, Prof. Dr. Ir. Hapzi Ali, MM, CMA, Ethical Issues In ...
rianafitri1
 
Makalah pkn indonesia kuat
Makalah pkn indonesia kuatMakalah pkn indonesia kuat
Makalah pkn indonesia kuat
Shisyah Hye
 
sistem Ekonomi Negara-Negara di ASEAN
sistem Ekonomi Negara-Negara di ASEANsistem Ekonomi Negara-Negara di ASEAN
sistem Ekonomi Negara-Negara di ASEANHerlambang Bagus
 
LPK-ylbk 2019.pdf
LPK-ylbk 2019.pdfLPK-ylbk 2019.pdf
LPK-ylbk 2019.pdf
Mohammad Shafari
 
Teori perencanaan & pengendalian Pembangunan review visi indonesia 2025
Teori perencanaan & pengendalian Pembangunan review visi indonesia 2025Teori perencanaan & pengendalian Pembangunan review visi indonesia 2025
Teori perencanaan & pengendalian Pembangunan review visi indonesia 2025Herlambang Bagus
 
83327517 ketahanan-nasional-di-bidang-ekonomi
83327517 ketahanan-nasional-di-bidang-ekonomi83327517 ketahanan-nasional-di-bidang-ekonomi
83327517 ketahanan-nasional-di-bidang-ekonomi
Adly AL
 
Ekonomi_Indonesia_dalam_Era_Globalisasi.docx
Ekonomi_Indonesia_dalam_Era_Globalisasi.docxEkonomi_Indonesia_dalam_Era_Globalisasi.docx
Ekonomi_Indonesia_dalam_Era_Globalisasi.docx
Rajaindahpermatasari1
 

Similar to (Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016 (20)

interaksi manusia dengan lingkungan hidup ekonomi
interaksi manusia dengan lingkungan hidup ekonomi interaksi manusia dengan lingkungan hidup ekonomi
interaksi manusia dengan lingkungan hidup ekonomi
 
466-1623-1-PB.pdf
466-1623-1-PB.pdf466-1623-1-PB.pdf
466-1623-1-PB.pdf
 
orasi ilmia
orasi ilmiaorasi ilmia
orasi ilmia
 
Perkuat pasar modal butuh dukungan seluruh pihak
Perkuat pasar modal butuh dukungan seluruh pihakPerkuat pasar modal butuh dukungan seluruh pihak
Perkuat pasar modal butuh dukungan seluruh pihak
 
Perkuat Pasar Modal Butuh Dukungan Seluruh Pihak
Perkuat Pasar Modal Butuh Dukungan Seluruh PihakPerkuat Pasar Modal Butuh Dukungan Seluruh Pihak
Perkuat Pasar Modal Butuh Dukungan Seluruh Pihak
 
Perkuat Pasar Modal Butuh Dukungan Seluruh Pihak
Perkuat Pasar Modal Butuh Dukungan Seluruh PihakPerkuat Pasar Modal Butuh Dukungan Seluruh Pihak
Perkuat Pasar Modal Butuh Dukungan Seluruh Pihak
 
Resume ekonomi internasional bab 2-7
Resume ekonomi internasional bab 2-7Resume ekonomi internasional bab 2-7
Resume ekonomi internasional bab 2-7
 
Analisis Prospektif, Retrospektif dan terintegritas Hal 5.docx
Analisis Prospektif, Retrospektif dan terintegritas Hal 5.docxAnalisis Prospektif, Retrospektif dan terintegritas Hal 5.docx
Analisis Prospektif, Retrospektif dan terintegritas Hal 5.docx
 
13 prospek ukm dalam era perdagangan bebas
13 prospek ukm dalam era perdagangan bebas13 prospek ukm dalam era perdagangan bebas
13 prospek ukm dalam era perdagangan bebas
 
Prospek ukm dalam era perdagangan bebas
Prospek ukm dalam era perdagangan bebasProspek ukm dalam era perdagangan bebas
Prospek ukm dalam era perdagangan bebas
 
Resume pertemuan ke 2 sampai 7 dan pertemuan ke 9 sampai 14 EKONOMI INTERNASI...
Resume pertemuan ke 2 sampai 7 dan pertemuan ke 9 sampai 14 EKONOMI INTERNASI...Resume pertemuan ke 2 sampai 7 dan pertemuan ke 9 sampai 14 EKONOMI INTERNASI...
Resume pertemuan ke 2 sampai 7 dan pertemuan ke 9 sampai 14 EKONOMI INTERNASI...
 
Prospek ukm dalam perdagangan bebas
Prospek ukm dalam perdagangan bebasProspek ukm dalam perdagangan bebas
Prospek ukm dalam perdagangan bebas
 
6, BE & GG, Riana Fitri, Prof. Dr. Ir. Hapzi Ali, MM, CMA, Ethical Issues In ...
6, BE & GG, Riana Fitri, Prof. Dr. Ir. Hapzi Ali, MM, CMA, Ethical Issues In ...6, BE & GG, Riana Fitri, Prof. Dr. Ir. Hapzi Ali, MM, CMA, Ethical Issues In ...
6, BE & GG, Riana Fitri, Prof. Dr. Ir. Hapzi Ali, MM, CMA, Ethical Issues In ...
 
Makalah pkn indonesia kuat
Makalah pkn indonesia kuatMakalah pkn indonesia kuat
Makalah pkn indonesia kuat
 
sistem Ekonomi Negara-Negara di ASEAN
sistem Ekonomi Negara-Negara di ASEANsistem Ekonomi Negara-Negara di ASEAN
sistem Ekonomi Negara-Negara di ASEAN
 
LPK-ylbk 2019.pdf
LPK-ylbk 2019.pdfLPK-ylbk 2019.pdf
LPK-ylbk 2019.pdf
 
Teori perencanaan & pengendalian Pembangunan review visi indonesia 2025
Teori perencanaan & pengendalian Pembangunan review visi indonesia 2025Teori perencanaan & pengendalian Pembangunan review visi indonesia 2025
Teori perencanaan & pengendalian Pembangunan review visi indonesia 2025
 
83327517 ketahanan-nasional-di-bidang-ekonomi
83327517 ketahanan-nasional-di-bidang-ekonomi83327517 ketahanan-nasional-di-bidang-ekonomi
83327517 ketahanan-nasional-di-bidang-ekonomi
 
Ekonomi_Indonesia_dalam_Era_Globalisasi.docx
Ekonomi_Indonesia_dalam_Era_Globalisasi.docxEkonomi_Indonesia_dalam_Era_Globalisasi.docx
Ekonomi_Indonesia_dalam_Era_Globalisasi.docx
 
Bab i
Bab iBab i
Bab i
 

Recently uploaded

Pengertian Surplus Konsumen dan Produsen.pdf
Pengertian Surplus Konsumen dan Produsen.pdfPengertian Surplus Konsumen dan Produsen.pdf
Pengertian Surplus Konsumen dan Produsen.pdf
fadilahsaleh427
 
Prosedur Ekspor : Studi Kasus Ekspor Briket ke Yaman dan Proses Produksi Brik...
Prosedur Ekspor : Studi Kasus Ekspor Briket ke Yaman dan Proses Produksi Brik...Prosedur Ekspor : Studi Kasus Ekspor Briket ke Yaman dan Proses Produksi Brik...
Prosedur Ekspor : Studi Kasus Ekspor Briket ke Yaman dan Proses Produksi Brik...
Anisa Rizki Rahmawati
 
MATERI-1-BIMTEK KURIKULUM 2024-PTV-LENGKAP - PESERTA-REVISI-MALANG-MEI 2024.pdf
MATERI-1-BIMTEK KURIKULUM 2024-PTV-LENGKAP - PESERTA-REVISI-MALANG-MEI 2024.pdfMATERI-1-BIMTEK KURIKULUM 2024-PTV-LENGKAP - PESERTA-REVISI-MALANG-MEI 2024.pdf
MATERI-1-BIMTEK KURIKULUM 2024-PTV-LENGKAP - PESERTA-REVISI-MALANG-MEI 2024.pdf
IGNATIUSOKIDEWABRATA
 
METODE STEPPING STONE (BATU LONCATANA) REVISI.pptx
METODE STEPPING STONE (BATU LONCATANA) REVISI.pptxMETODE STEPPING STONE (BATU LONCATANA) REVISI.pptx
METODE STEPPING STONE (BATU LONCATANA) REVISI.pptx
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BERAU
 
Sesi 4_Kelompok 3 Kode Etik Profesi Akuntan Publik.pptx
Sesi 4_Kelompok 3 Kode Etik Profesi Akuntan Publik.pptxSesi 4_Kelompok 3 Kode Etik Profesi Akuntan Publik.pptx
Sesi 4_Kelompok 3 Kode Etik Profesi Akuntan Publik.pptx
bidakara2016
 
reksadana syariah lutfi nihayatul khusniah
reksadana syariah lutfi nihayatul khusniahreksadana syariah lutfi nihayatul khusniah
reksadana syariah lutfi nihayatul khusniah
AhmadVikriKhoirulAna
 
460012937-Rpp-kelas-rangkap-model-221-docx.docx
460012937-Rpp-kelas-rangkap-model-221-docx.docx460012937-Rpp-kelas-rangkap-model-221-docx.docx
460012937-Rpp-kelas-rangkap-model-221-docx.docx
JefryColter
 
METODE MODI (MODIFIED DISTRIBUTION METHODE).pptx
METODE MODI (MODIFIED DISTRIBUTION METHODE).pptxMETODE MODI (MODIFIED DISTRIBUTION METHODE).pptx
METODE MODI (MODIFIED DISTRIBUTION METHODE).pptx
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BERAU
 
Pendapatan dan beban dalam Akuntansi.pptx
Pendapatan dan beban dalam Akuntansi.pptxPendapatan dan beban dalam Akuntansi.pptx
Pendapatan dan beban dalam Akuntansi.pptx
LidyaManuelia1
 
Ppt_perdagangan_luar_negeri_proteksi_dan.ppt
Ppt_perdagangan_luar_negeri_proteksi_dan.pptPpt_perdagangan_luar_negeri_proteksi_dan.ppt
Ppt_perdagangan_luar_negeri_proteksi_dan.ppt
mariapasaribu13
 
Modul Ajar Kurikulum Merdeka Tahun 2024.pptx
Modul Ajar Kurikulum Merdeka Tahun 2024.pptxModul Ajar Kurikulum Merdeka Tahun 2024.pptx
Modul Ajar Kurikulum Merdeka Tahun 2024.pptx
MarkusPiyusmanZebua
 
Konsep Perbankan Syariah di Indonesia.ppt
Konsep Perbankan Syariah di Indonesia.pptKonsep Perbankan Syariah di Indonesia.ppt
Konsep Perbankan Syariah di Indonesia.ppt
AchmadHasanHafidzi
 
PPT SEMPRO PENGARUH JIWA KEWIRAUSAHAAN MOTIVASI DAN MODAL USAHA TERHADAP PERK...
PPT SEMPRO PENGARUH JIWA KEWIRAUSAHAAN MOTIVASI DAN MODAL USAHA TERHADAP PERK...PPT SEMPRO PENGARUH JIWA KEWIRAUSAHAAN MOTIVASI DAN MODAL USAHA TERHADAP PERK...
PPT SEMPRO PENGARUH JIWA KEWIRAUSAHAAN MOTIVASI DAN MODAL USAHA TERHADAP PERK...
hoiriyono
 
DJP - RUU KUP.pdf RUU Perubahan Kelima UU KUP
DJP - RUU KUP.pdf RUU Perubahan Kelima UU KUPDJP - RUU KUP.pdf RUU Perubahan Kelima UU KUP
DJP - RUU KUP.pdf RUU Perubahan Kelima UU KUP
adjhe17ks1
 
Makalah Kelompok 2 mengenai materi manajemen keuangan
Makalah Kelompok 2 mengenai materi manajemen keuanganMakalah Kelompok 2 mengenai materi manajemen keuangan
Makalah Kelompok 2 mengenai materi manajemen keuangan
MohammadAthianManan
 
PPT METODE PENELITIAN YEFTIKA MUTIARA SIANTURI .pptx
PPT METODE PENELITIAN YEFTIKA MUTIARA SIANTURI .pptxPPT METODE PENELITIAN YEFTIKA MUTIARA SIANTURI .pptx
PPT METODE PENELITIAN YEFTIKA MUTIARA SIANTURI .pptx
tikasianturi1410
 
Dapat SP2DK, Harus Apa? Bagimana cara merespon surat cinta DJP?
Dapat SP2DK, Harus Apa? Bagimana cara merespon surat cinta DJP?Dapat SP2DK, Harus Apa? Bagimana cara merespon surat cinta DJP?
Dapat SP2DK, Harus Apa? Bagimana cara merespon surat cinta DJP?
EnforceA Real Solution
 

Recently uploaded (17)

Pengertian Surplus Konsumen dan Produsen.pdf
Pengertian Surplus Konsumen dan Produsen.pdfPengertian Surplus Konsumen dan Produsen.pdf
Pengertian Surplus Konsumen dan Produsen.pdf
 
Prosedur Ekspor : Studi Kasus Ekspor Briket ke Yaman dan Proses Produksi Brik...
Prosedur Ekspor : Studi Kasus Ekspor Briket ke Yaman dan Proses Produksi Brik...Prosedur Ekspor : Studi Kasus Ekspor Briket ke Yaman dan Proses Produksi Brik...
Prosedur Ekspor : Studi Kasus Ekspor Briket ke Yaman dan Proses Produksi Brik...
 
MATERI-1-BIMTEK KURIKULUM 2024-PTV-LENGKAP - PESERTA-REVISI-MALANG-MEI 2024.pdf
MATERI-1-BIMTEK KURIKULUM 2024-PTV-LENGKAP - PESERTA-REVISI-MALANG-MEI 2024.pdfMATERI-1-BIMTEK KURIKULUM 2024-PTV-LENGKAP - PESERTA-REVISI-MALANG-MEI 2024.pdf
MATERI-1-BIMTEK KURIKULUM 2024-PTV-LENGKAP - PESERTA-REVISI-MALANG-MEI 2024.pdf
 
METODE STEPPING STONE (BATU LONCATANA) REVISI.pptx
METODE STEPPING STONE (BATU LONCATANA) REVISI.pptxMETODE STEPPING STONE (BATU LONCATANA) REVISI.pptx
METODE STEPPING STONE (BATU LONCATANA) REVISI.pptx
 
Sesi 4_Kelompok 3 Kode Etik Profesi Akuntan Publik.pptx
Sesi 4_Kelompok 3 Kode Etik Profesi Akuntan Publik.pptxSesi 4_Kelompok 3 Kode Etik Profesi Akuntan Publik.pptx
Sesi 4_Kelompok 3 Kode Etik Profesi Akuntan Publik.pptx
 
reksadana syariah lutfi nihayatul khusniah
reksadana syariah lutfi nihayatul khusniahreksadana syariah lutfi nihayatul khusniah
reksadana syariah lutfi nihayatul khusniah
 
460012937-Rpp-kelas-rangkap-model-221-docx.docx
460012937-Rpp-kelas-rangkap-model-221-docx.docx460012937-Rpp-kelas-rangkap-model-221-docx.docx
460012937-Rpp-kelas-rangkap-model-221-docx.docx
 
METODE MODI (MODIFIED DISTRIBUTION METHODE).pptx
METODE MODI (MODIFIED DISTRIBUTION METHODE).pptxMETODE MODI (MODIFIED DISTRIBUTION METHODE).pptx
METODE MODI (MODIFIED DISTRIBUTION METHODE).pptx
 
Pendapatan dan beban dalam Akuntansi.pptx
Pendapatan dan beban dalam Akuntansi.pptxPendapatan dan beban dalam Akuntansi.pptx
Pendapatan dan beban dalam Akuntansi.pptx
 
Ppt_perdagangan_luar_negeri_proteksi_dan.ppt
Ppt_perdagangan_luar_negeri_proteksi_dan.pptPpt_perdagangan_luar_negeri_proteksi_dan.ppt
Ppt_perdagangan_luar_negeri_proteksi_dan.ppt
 
Modul Ajar Kurikulum Merdeka Tahun 2024.pptx
Modul Ajar Kurikulum Merdeka Tahun 2024.pptxModul Ajar Kurikulum Merdeka Tahun 2024.pptx
Modul Ajar Kurikulum Merdeka Tahun 2024.pptx
 
Konsep Perbankan Syariah di Indonesia.ppt
Konsep Perbankan Syariah di Indonesia.pptKonsep Perbankan Syariah di Indonesia.ppt
Konsep Perbankan Syariah di Indonesia.ppt
 
PPT SEMPRO PENGARUH JIWA KEWIRAUSAHAAN MOTIVASI DAN MODAL USAHA TERHADAP PERK...
PPT SEMPRO PENGARUH JIWA KEWIRAUSAHAAN MOTIVASI DAN MODAL USAHA TERHADAP PERK...PPT SEMPRO PENGARUH JIWA KEWIRAUSAHAAN MOTIVASI DAN MODAL USAHA TERHADAP PERK...
PPT SEMPRO PENGARUH JIWA KEWIRAUSAHAAN MOTIVASI DAN MODAL USAHA TERHADAP PERK...
 
DJP - RUU KUP.pdf RUU Perubahan Kelima UU KUP
DJP - RUU KUP.pdf RUU Perubahan Kelima UU KUPDJP - RUU KUP.pdf RUU Perubahan Kelima UU KUP
DJP - RUU KUP.pdf RUU Perubahan Kelima UU KUP
 
Makalah Kelompok 2 mengenai materi manajemen keuangan
Makalah Kelompok 2 mengenai materi manajemen keuanganMakalah Kelompok 2 mengenai materi manajemen keuangan
Makalah Kelompok 2 mengenai materi manajemen keuangan
 
PPT METODE PENELITIAN YEFTIKA MUTIARA SIANTURI .pptx
PPT METODE PENELITIAN YEFTIKA MUTIARA SIANTURI .pptxPPT METODE PENELITIAN YEFTIKA MUTIARA SIANTURI .pptx
PPT METODE PENELITIAN YEFTIKA MUTIARA SIANTURI .pptx
 
Dapat SP2DK, Harus Apa? Bagimana cara merespon surat cinta DJP?
Dapat SP2DK, Harus Apa? Bagimana cara merespon surat cinta DJP?Dapat SP2DK, Harus Apa? Bagimana cara merespon surat cinta DJP?
Dapat SP2DK, Harus Apa? Bagimana cara merespon surat cinta DJP?
 

(Sindonews.com) Opini ekonomi 5 desember 2015-17 Januari 2016

  • 1. 1 DAFTAR ISI IMPOR DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN Abustan 4 KARTU TERAKHIR PEMERINTAH Ariyo DP Irhamna 7 CARA PINTAR PILIH SAHAM 2.0 Lukas Setia Atmaja 10 KUALITAS DATA PANGAN Khudori 12 MOMENTUM WUJUDKAN PMD Rokhmin Dahuri 15 MENANTI KEAMPUHAN KETIGA DEKLARASI DJUANDA Ketut Aria Pria Utama 19 MELAMPAUI PENCAPAIAN DJUANDA M Riza Damanik 22 INVESTOR SAHAM ALA RUDY HARTONO Lukas Setia Atmaja 25 RUMAH SUSUN BUKAN IMPIAN Basuki Hadimuljono 27 KEBANGKITAN DIRGANTARA John Brata 30 KESENJANGAN DAN THE FED Firmanzah 32 PEKERJAAN & KERJA Dinna Wisnu 35 NAWACITA DAN IMPOR BERAS Posman Sibuea 38 TANTANGAN PETERNAK RAKYAT MENGHADAPI MEA Aunur Rofiq 41 INOVASI DAN SISTEM PEMBAYARAN PERBANKAN Achmad Deni Daruri 44 KONTROVERSI PENGHENTIAN GOJEK
  • 2. 2 Elfindri 47 “BRAND RAKYAT” Yuswohady 50 THE NYANGKUTERS SEUMUR HIDUP Lukas Setia Atmaja 52 ANTISIPASI KENAIKAN LANJUTAN SUKU BUNGA THE FED Firmanzah 54 MENGELOLA TRANSPORTASI DI 2016 Dinna Wisnu 57 MENCAMPUR SAHAM DENGAN EMAS Lukas Setia Atmaja 61 GREAT MARKETING TEAM Yuswohady 63 TANTANGAN 2016: KEMISKINAN, PENGANGGURAN, DAN FISKAL Firmanzah 66 TUKANG CATUT, RENTENIR, LINTAH DARAT, & NEGARA Bambang Setiaji 69 TAHUN KONSOLIDASI SARAT GADUH Bambang Soesatyo 72 DARI PETRAL KE FREEPORT Fahmy Radhi 76 EKONOMI DUNIA DAN PROGRAM PENYESUAIAN 2016 Elfindri 79 REFLEKSI MARITIM AKHIR TAHUN Siswanto Rusdi 83 MAY THE FORCE BE WITH YOU Lukas Setia Atmaja 86 KETIKA TAX AMNESTY KURANG MENARIK Candra Fajri Ananda 88 MODAL EKONOMI 2016 Firmanzah 92 5 TANTANGAN EKONOMI 2016 Berly Martawardaya 95
  • 3. 3 MENGAKHIRI SIKLUS HARGA KOMODITAS Bhima Yudhistira Adhinegara 97 OPEC, AMERIKA SERIKAT, DAN HARGA MINYAK 2016 Sunarsip 100 PELABUHAN Rhenald Kasali 103 TRILOGI KETIMPANGAN YANG MENCEMASKAN Khudori 106 BRAND IN CRISIS Yuswohady 109 HANTU STOCK MARKET BUBBLE Lukas Setia Atmaja 112 KEMISKINAN PERLU FOKUS PENANGANAN Firmanzah 114 MEA DAN STRATEGI KOLEKTIF ANTARNEGARA Sudjito 117 EKONOMI DIGITAL DAN KUALITAS HIDUP RAKYAT Dian Siswarini 120 MENGGIATKAN (LAGI) EKONOMI KREATIF Dedi Purwana ES 123 INVESTASI ASING DAN SISTEM PEMBAYARAN Achmad Deni Daruri 126 MEA DAN PEMBANGUNAN SOSIAL Dinna Wisnu 129 STATUS HUKUM MEA Handa Abidin 133 STRATEGI UKM HADAPI MEA Aunur Rofiq 136 KOMODITAS KITA DAN PASAR DUNIA Rhenald Kasali 139 WE ARE NOT AFRAID Lukas Setia Atmaja 143
  • 4. 4 Impor dan Perlindungan Konsumen 05-12-2015 Beberapa pekan terakhir ini, kita menyaksikan masalah impor ramai diperbincangkan di masyarakat. Tak hanya impor produk pertanian seperti beras dan perikanan, tetapi juga produk industri seperti elektronik, sepatu, mainan anak, kosmetik, dan alat-alat rumah tangga. Bahkan, Presiden Jokowi sudah menyentil dalam akun Facebooknya, “Dalam rapat terbatas tadi siang, saya perintahkan impor ilegal, baik produk baru maupun bekas, harus diberantas. Produk impor ilegal sudah lama mengganggu pasar dalam negeri, merugikan keuangan negara, dan melemahkan daya saing produk industri dalam negeri”. Pertanyaan dasar buat kita, apakah Indonesia sudah siap berkompetisi dengan memiliki daya saing, apakah kita sudah memastikan daya saing itu berkelanjutan melalui penyiapan kelembagaan dan sumber daya manusia, terakhir apakah kebijakan perdagangan kita sudah memiliki landasan hukum yang kuat? Nasionalisme konsumen Harus diakui, dengan jumlah penduduk mencapai 260 juta jiwa, Indonesia memang merupakan pasar yang menggiurkan. Bahkan satu-satunya sumber daya saing Indonesia yang menonjol dalam 10 tahun terakhir ini adalah pasar yang besar (big market), seperti laporan Global Competitiveness Report dari waktu ke waktu. Tidak hanya itu, Indonesia juga disebut sebagai bagian dari motor pertumbuhan PDB Global. Maka tak aneh jika kemudian investor melirik Indonesia sebagai negara tujuan karena dianggap akan memberikan nilai plus atau keuntungan yang besar. Tak hanya mereka yang menggunakan surat-surat resmi, tetapi juga yang melalui jalur black market adalah tidak sedikit. Inilah saya kira yang menjadi kekhawatiran pemerintah sekarang ini. Asumsi dasarnya adalah barang impor ilegal akan melemahkan daya saing produk nasional, serta mengancam keberlangsungan industri dalam negeri. Padahal untuk bisa memiliki neraca keuangan yang sehat, pemerintah harus memiliki perekonomian yang kuat. Hal itu antara lain dilakukan dengan memperbesar porsi ekspor dibanding impor. Untuk itu, pemerintah perlu meningkatkan produksi dalam negeri. Daya saing produk lokal pun harus terus diperkuat sehingga dapat melawan barang-barang dari negara lain. Sebab persaingan yang paling terasa, yaitu dari sisi harga dan kualitas. Akan tetapi, dengan adanya produk impor ilegal, maka produk lokal akan sulit untuk bersaing.
  • 5. 5 Namun yang paling penting pula adalah kesadaran masyarakat terhadap pentingnya larangan produk impor ilegal. Karena logikanya, jika menggunakan kaca mata hukum ekonomi, bisa dikatakan tingginya ilegal karena besarnya permintaan (demand) dari masyarakat (konsumen) itu sendiri. Dengan kata lain, masih banyak konsumen yang lebih memilih produk seperti itu ketimbang produk yang melalui jalur resmi, atau bahkan produk lokal. Bandingkan dengan warga Korea Selatan yang sangat berbangga ketika menggunakan produk yang diproduksi di dalam negeri. Jadi, dalam konteks ini, dalam rangka menghadapi serangan impor dari luar, mau tak mau “ideologi nasionalisme” yang harus ditumbuhkembangkan dalam jiwa konsumen. Inilah saatnya mengubah paradigma berpikir konsumen yang setiap kali memperoleh dan atau membeli suatu barang hanya didasari oleh keinginan semata. Tanpa mempertimbangkan secara matang kualitas barang dan faktor kebutuhan konsumen itu sendiri. Di era globalisasi seperti sekarang ini, apalagi dengan datangnya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang sudah dideklarasikan oleh semua kepala negara ASEAN yang akan berkomitmen untuk menjadikan kawasan ASEAN sebagai masyarakat ekonomi ASEAN. Maka tentu menjadi keharusan bagi konsumen untuk ditingkatkan pengetahuannya agar konsumen bisa lebih cerdas (smart consumer) dalam memilih/melakukan transaksi atas sebuah barang dan/atau jasa. Untuk itulah, masyarakat konsumen Indonesia harus memiliki semangat seperti yang dikobarkan bangsa Korea. Di negeri ini, haruslah mampu membangun karakter dan watak nasionalisme Indonesia agar menjadi tangguh sehingga pada gilirannya akan mampu membangun perekonomian yang kuat dan dapat bersaing dengan negara-negara lain. Perlindungan Konsumen Harus diakui, Indonesia saat ini terkesan ambigu, yaitu di satu sisi sangat antusias menggunakan perangkat penguasaan pasar. Akan tetapi, di sisi lain, argumentasi efisiensi menjadi aksesori. Ini juga menjadi jawaban mengapa sejumlah kasus praktek usaha yang tidak sehat sulit diselesaikan. Karena memang tujuannya sekadar efisiensi, bukan melindungi konsumen. Dengan demikian, pertanyaan pertama buat kita: seberapa besar daya tawar konsumen yaitu individu dan rumah tangga saat ini terhadap berbagai barang dan jasa? Pertanyaan kedua, apakah memang faktanya berbahaya produk impor yang beredar sekarang ini? Sebab perdagangan luar negeri adalah dua arah: impor dan ekspor. Kalau kita selalu melihat dari kacamata impor itu membahayakan produksi dalam negeri, mungkin persepsi ini kurang tepat karena kompetisi yang sehat diperlukan untuk terbentuknya harga yang wajar dan kualitas barang yang baik bagi konsumen. Tak dapat dimungkiri, akan mengalir dengan deras barang-barang konsumsi seperti elektronik dan besi baja, tekstil, sandal, dan berbagai merek sepatu, sampai kepada konsumsi makanan dan
  • 6. 6 minuman. Menghadapi kondisi yang serius seperti ini, tentu pihak pemerintah (regulator) harus cermat dan cerdas menyikapinya. Dalam konteks itulah, pemerintah harus membuat kebijakan (regulasi) perdagangan, sehingga pelaku usaha dan pasar dalam negeri tetap kondusif serta keberadaan konsumen tetap terlindungi. Intinya, konsumen harus diberi kesempatan untuk memilih berbagai ragam barang impor yang ada. Sebab pada dasarnya, satu-satunya tujuan utama regulasi adalah menciptakan keseimbangan dan keadilan antara produsen dengan konsumen. Apalagi dalam situasi persaingan yang kompleks dan dinamika lingkungan yang cair, kebutuhan terhadap regulasi yang kuat diperlukan untuk mengoptimalkan proteksi terhadap perlindungan konsumen. Memberikan perlindungan dan kedaulatan bagi konsumen adalah ultimate goal yang seharusnya melekat pada negara. Oleh karena itu, impor dan perlindungan konsumen adalah ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Pada titik inilah Indonesia harus menunjukkan kredibilitasnya kalau ingin sukses dalam merespons dinamika perdagangan yang dicirikan mobilitas impor yang begitu deras, tetapi, di sisi lain, tetap menunjukkan konsistensi dan penghormatan terhadap kedaulatan dan perlindungan konsumen. DR ABUSTAN, SH MH Komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)RI
  • 7. 7 Kartu Terakhir Pemerintah 05-12-2015 Dalam merespons kinerja ekonomi global yang penuh ketidakpastian, dalam kurun waktu kurang dari 3 bulan pemerintah telah mengeluarkan 6 paket kebijakan ekonomi agar kinerja ekonomi Indonesia tidak semakin terpuruk. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan pertama dan kedua tahun ini masing-masing hanya tumbuh 4,71% dan 4,67%, tetapi pada triwulan ketiga mulai lebih baik, yakni tumbuh 4,73%. Namun dampak pertumbuhan di triwulan pertama dan kedua sudah terasa, tingkat pengangguran terbuka Agustus 2015 sebesar 6,18% meningkat dibanding TPT Februari 2015 (5,81%) dan TPT Agustus 2014 (5,94%). Dari 6 paket kebijakan ekonomi yang sudah dirilis, ada pesan yang jelas dari serangkaian paket pertama hingga keenam, pemerintah berhasrat untuk mengundang investor berinvestasi lebih masif di Indonesia dengan melakukan kebijakan insentif, deregulasi dan debirokratisasi. Harapannya investor dapat berbisnis lebih mudah sehingga sektor riil dapat bergerak sehingga sektor investasi dapat menjadi prime mover dalam struktur pertumbuhan ekonomi. Paket Kebijakan Ekonomi Paket kebijakan ekonomi tahap 1 mencakup deregulasi 98 peraturan untuk memangkas peraturan yang menghambat daya saing industri, subsidi bunga kredit untuk UMKM hingga rumah murah untuk masyarakat pekerja. Tentu tidak mudah untuk merealisasikannya dan kebijakan tersebut dampaknya baru dirasakan dalam jangka panjang. Padahal yang mendesak dibutuhkan adalah kebijakan yang mampu menggerakkan aktivitas ekonomi dalam jangka pendek. Kebijakan deregulasi berlanjut ke paket jilid 2 yang fokus untuk memperbaiki iklim investasi dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Misalnya insentif pengurangan pajak devisa hasil ekspor untuk eksportir yang menyimpan DHE di perbankan yang beroperasi di dalam negeri. Upaya ini patut diapresiasi karena salah satu penyebab rentannya nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat adalah sistem devisa bebas yang kita terapkan. Namun akan lebih bagus jika pemerintah meninggalkan sistem devisa bebas dengan mengajukan revisi UU Nomor 24/1999 tentang lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar sebagai Prolegnas 2016. Kemudian di paket kebijakan ekonomi jilid 3, pemerintah menurunkan harga BBM, gas, dan listrik untuk kegiatan industri, penambahan jenis kegiatan usaha yang menerima kredit usaha rakyat, dan simplifikasi izin pertanahan untuk kegiatan penanaman modal. Pada paket
  • 8. 8 kebijakan ekonomi keempat, pemerintah mengesahkan formula baru perhitungan upah minimum dan kredit modal kerja untuk produsen barang ekspor. Dalam paket kebijakan ekonomi kelima, pemerintah memberikan insentif pajak bagi individu atau badan usaha yang ingin melakukan revaluasi aset. Selain itu, instrumen investasi Real Estate Investment Trust (REIT) akan bebas dari pajak berganda. Jika kebijakan yang terakhir dapat berjalan tentu akan mampu menarik dana REIT yang selama ini diinvestasikan di Singapura. Dan terakhir, paket kebijakan keenam, pemerintah ingin merealisasi janji membangun dari pinggir dengan pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) melalui pemberian insentif. Upaya untuk mendorong kinerja ekonomi dengan insentif perlu diapresiasi, namun akan lebih efektif jika kawasan ekonomi tersebut sudah siap dalam hal infrastruktur, seperti jalan, listrik, dan air. Dari serangkaian paket kebijakan tersebut, terlihat jelas bahwa pemerintah ingin mendorong kinerja investasi seperti yang sering dikemukakan Jokowi. Namun dari sisi investor, terdapat 2 respons yang muncul terkait serangkaian paket kebijakan ekonomi tersebut. Pertama, tentu respons yang positif, yakni investor berbondong-bondong berinvestasi di Indonesia karena ingin memanfaatkan kemudahan dan insentif yang diberikan oleh pemerintah. Kedua, investor bisa juga melihat bahwa serial paket kebijakan yang sudah diumumkan menjadi sinyal buruk terkait kondisi amunisi ekonomi pemerintah yang dapat dilihat dari kondisi fiskal. Kondisi Fiskal Pemerintah Sekarang kondisi fiskal pemerintah dalam keadaan mengkhawatirkan. Hingga Oktober 2015, realisasi pendapatan negara dan hibah sebesar Rp1.099,8 triliun atau 62,4 persen dari total target APBN-P 2015. Namun realisasi belanja pemerintah sudah mencapai Rp1.383,8 triliun atau 69,7 persen, sehingga ada defisit sebesar Rp284 triliun. Untuk menutupi defisit fiskal tersebut, pemerintah bisa saja menggunakan utang, tetapi target utang untuk tahun 2015 sebesar Rp222,5 triliun. Ironisnya, hingga kini pemerintah sudah berutang senilai Rp340.4 triliun, padahal target utang tahun ini sebesar Rp286,3 triliun. Kondisi ini berakar pada melesetnya realisasi penerimaan pajak. Per Oktober 2015, penerimaan pajak hanya mencapai Rp894 triliun atau 60% dari target sedangkan masih tersisa kurang dari 1 bulan untuk mendorong penerimaan pajak. Angka ini lebih rendah 0,23% dibandingkan dengan periode yang sama di tahun lalu. Turunnya realisasi pendapatan negara ditengarai oleh realisasi PPn yang baru mencapai Rp308,2 triliun atau 53,5%, pajak perdagangan internasional sebesar Rp28,4 triliun atau 57,6%, dan penerimaan sumber daya alam non-migas yang baru mencapai Rp21,8 triliun atau 57,9%. Artinya, melihat kondisi fiskal pemerintah sekarang, memang hal itu berarti bahwa
  • 9. 9 pemerintah membutuhkan kontribusi yang lebih besar dari investasi untuk mendorong kinerja ekonomi. Kondisi fiskal tahun ini tentu tidak boleh terulang di tahun depan, sebab hal itu akan menjadi sinyal buruk bagi investor atas kredibilitas pemerintah. Di sisi lain, kinerja ekonomi global yang belum juga pulih membuat pemerintah perlu bekerja lebih keras. Maka serial paket kebijakan yang sudah diumumkan patut diapresiasi dan tentunya dikritik secara konstruktif sebagai upaya pemerintah untuk mendorong ekonomi. Faktor birokrasi dan politik menjadi tantangan besar untuk merealisasikan semua paket kebijakan ekonomi, terlebih lagi akhir tahun ini terdapat pilkada serentak tahap pertama yang semoga saja tidak membuat pemerintah kehilangan fokus. Karena itu implementasi serial paket kebijakan ekonomi menjadi kartu terakhir bagi pemerintahan Jokowi-JK. ARIYO DP IRHAMNA Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef)
  • 10. 10 Cara Pintar Pilih Saham 2.0 06-12-2015 Kalau Albert Einstein punya formula hebat E = mc2, dunia keuangan punya formula sakti P/E = G. Formula ini dipopulerkan oleh pengelola dana (fund manager) legendaris, Peter Lynch. Reksa dana Fidelity Magellan yang dikelola Lynch memberikan imbal hasil rata-rata 29% per tahun selama kurun waktu 13 tahun. Jika minggu lalu kita sudah belajar memilih saham berdasarkan P/E ratio dan ROE, minggu ini kita akan belajar satu dua jurus dari Peter Lynch. Strategi yang digunakan Lynch selama 13 tahun mengelola reksa dana Fidelity Magellan Fund adalah growth at a reasonable price (GARP). Menurut Lynch, ”The P/E ratio of any company that is fairly priced will equal its growth rate.” Artinya, P/E ratio (PER) yang wajar adalah yang sama dengan pertumbuhan laba bersihnya. Jika ada saham dengan PER 10 kali, harganya dikatakan wajar jika pertumbuhan laba bersihnya ke depan (G) juga 10 persen. Jika PER dibagi G (disebut PEG ratio), hasilnya menjadi 1. Jika P/E ratio adalah 10 kali, tapi G-nya hanya 5%, PEG ratio menjadi 2 kali (dari 10 dibagi 5). Artinya, saham tersebut kemahalan. Jika PER adalah 10 kali, dan G-nya 20%, maka PEG ratio menjadi 0,5 (dari 10 dibagi 20). Artinya sahamnya murah. Nah, Lynch berusaha mencari saham-saham dengan PEG ratio kurang dari satu. GARP sejatinya adalah strategi hasil gabungan antara gaya investasi mencari saham yang bertumbuh cepat (growth investing) dengan gaya investasi mencari saham yang memiliki nilai bagus (value investing). Investor beraliran growth investing biasanya mencari saham menggunakan kriteria pertumbuhan laba bersih atau earnings per share (EPS). Pertumbuhan EPS sebesar minimal 20% per tahun selama 5 tahun terakhir bisa dijadikan kriteria memilih growth stock. Pada umumnya growth investor kurang peduli terhadap kriteria P/E ratio. Mereka tetap nekat membeli saham yang memiliki PER jauh di atas rata-rata PER sektor. Sebaliknya, investor beraliran value investing berusaha mencari saham berfundamental bagus dengan harga murah. Kriteria utama memilih value stock adalah PER. Cari saham dengan PER rendah di industrinya. Sayangnya, value investor cenderung melupakan potensi pertumbuhan laba bersih. Jika saham PER-nya tinggi, misalnya 20 kali, namun jika potensi pertumbuhan laba bersih lebih dari 20% per tahun, berarti saham ini masih menarik. Menghitung PEG ratio tidak sulit. Kita bisa memanfaatkan informasi di www.reuters.com. Di Google, kita ketik reuters, lalu tekan spasi, kode saham.jk. Misalnya, ketik ”reuters ASII.jk” di Google untuk saham PT Astra International, Tbk (ASII). Setelah berada di laman ASII,
  • 11. 11 kita klik ”financials”. Kita bisa menemukan informasi ”P/E ratio (TTM)”, yakni PER menggunakan EPS 12 bulan terakhir. Selain itu ada informasi ”EPS-5 year growth rate, ” yaitu pertumbuhan EPS per tahun selama lima tahun terakhir. Kita gunakan rata-rata pertumbuhan EPS di masa lalu untuk mengestimasi pertumbuhan EPS di masa mendatang. Kita tinggal membagi PER dengan angka pertumbuhan EPS (abaikan persennya). Saya menghitung PER ratio dari 18 perusahaan dengan fundamental yang bagus. Hasilnya bisa dilihat pada tabel. Ada tujuh perusahaan dengan PEG ratio di bawah 1. Yang paling bagus adalah saham Bumi Serpong Damai. Saham ini memiliki pertumbuhan EPS yang tinggi selama lima tahun terakhir (49,6% per tahun). PERnya hanya 14 kali. Saham HM Sampoerna memiliki PER dan G yang sama, sehingga PEG ratio-nya 1. Artinya harga saham ini wajar. Saham-saham lainnya memiliki PEG ratio di atas 1. Ada potensi kemahalan jika kita membeli saham-saham ini. Dengan PEG ratio memilih saham menjadi lebih pintar, tapi mudah. Namun harus diperhatikan bahwa kita menggunakan rata-rata pertumbuhan EPS di masa lalu. Maka keberhasilan metode ini tergantung pada akurasi pertumbuhan EPS di masa lalu dalam meramal pertumbuhan EPS di masa mendatang. Jika pertumbuhan EPS di masa mendatang ternyata lebih lambat, bisa jadi kita salah. Karena ini, kita juga harus memperhatikan apakah ada perbedaan lingkungan bisnis (misalnya regulasi, persaingan, selera konsumen, dll.) yang nyata antara masa lalu dan masa depan. Selamat berburu saham bertumbuh tapi murah menggunakan GARP atau PEG ratio. LUKAS SETIA ATMAJA Financial Expert - Prasetiya Mulya Business School
  • 12. 12 Kualitas Data Pangan 07-12-2015 Gugatan terhadap kualitas data pangan kembali muncul. Kali ini gugatan datang dari BPS yang mempertanyakan kualitas data luas panen yang dikumpulkan Kementerian Pertanian (Kementan). Selama ini, data yang dikumpulkan menjadi justifikasi berhasil-tidaknya program. Pengumpulan data luas panen oleh aparat yang kinerja dan capaiannya diukur lewat data yang dikumpulkan sendiri berpeluang terjadi konflik kepentingan. Di Kabinet Kerja, gugatan serupa disuarakan Menko Perekonomian Darmin Nasution dan Wapres Jusuf Kalla. Darmin dan JK meragukan data produksi beras yang amat tinggi. Gugatan serupa sudah lama disuarakan oleh sejumlah pihak. Mantan Kepala BPS Sugito Suwito lewat artikel “Statistik Beras“ (2007) telah menguliti ketidakakuratan data beras. Selama ini BPS tidak pernah memublikasikan data produksi beras. Produksi beras dihitung dari angka produksi padi dalam kualitas gabah kering giling (GKG) dikalikan angka konversi. Produksi padi nasional merupakan perkalian dari luas panen dengan produktivitas. Data luas panen dikumpulkan mantri tani (Kementan), sedangkan produktivitas antara BPS dan Kementan berbagi tugas, masing-masing 50%. Dalam praktik, pengumpulan data kedua komponen perhitungan itu berbeda. Data produktivitas dikumpulkan melalui survei statistik pada petak sawah yang akan dipanen dengan metode probability sampling. Data dihasilkan dari hasil panen ubinan ukuran 2,5x2,5 meter yang dikonversi ke satuan hektare. Jadi, diterapkan sistem objective measurement. Sebaliknya, data luas panen hanya dikumpulkan lewat cara penaksiran melalui sistem blok pengairan, penggunaan bibit, dan pandangan mata (eye estimate) di sawah. Pengumpulan data tidak berdasarkan survei statistik. Dalam teori statistik, data ini termasuk catatan administrasi sehingga akurasinya sulit diuji ulang secara statistik. Oleh BPS, data luas panen dan produktivitas kemudian diolah jadi angka produksi padi nasional (official statistics). Data yang keluar disebut “angka BPS”. Padahal, dalam praktik, BPS hanya mengumpulkan 25% dari keseluruhan data produksi padi, sisanya (75%) dikumpulkan oleh Kementan. Stempel “angka BPS” membawa konsekuensi berat: BPS harus bertanggung jawab terhadap akurasi dan validitas data. Ketika data produksi padi digugat, serta-merta BPS jadi tertuduh. Instansi teknis bisa lepas dan cuci tangan.
  • 13. 13 Kompromi dua sistem pengumpulan data yang berbeda ini sudah berlangsung sejak 1973 tanpa pernah direvisi. Padahal, teknologi metode pengumpulan data sudah berkembang pesat seiring perkembangan teknologi informasi-komunikasi. *** Jika mau objektif, penyebab utama ketidakakuratan data produksi padi adalah komponen luas panen. Data produktivitas juga tak lepas dari kesalahan. Namun, metode penaksiran dalam pengumpulan data luas panen memang subjektif dan sulit diuji akurasinya secara statistik. Data luas panen inilah biang overestimate data produksi padi. Menurut berbagai studi BPS (Sastrotaruno dan Maksum, 2002), besarnya overestimate mencapai 17%. Laporan produksi berlebih itu memang masuk akal. Konversi lahan pertanian untuk real estate, kawasan industri, dan infrastruktur terus berlangsung tanpa jeda. Ada yang menyebut 70 ribu, 110 ribu, bahkan 145 ribu ha per tahun (Sapuan, 2006). Di sisi lain, pencetakan sawah baru hanya 50 ribu ha per tahun. Anehnya, laporan luas panen tidak menurun. Dalam 20 tahun terakhir 2 juta ha sawah hilang, tetapi luas panen padi terus naik: dari 10,99 juta ha (1993) jadi 13,77 juta ha (2013). Di manakah sawah itu? Data hanya deretan angka. Data hanya alat. Masalahnya, jika data itu bias karena dikumpulkan lewat cara yang tidak reliable lalu dijadikan batu pijak kebijakan, output-nya tak hanya menyesatkan tapi juga menyengsarakan. Petani cengkih pernah dibuat sengsara karena ini. Pada 1980-an data produksi cengkih jauh di bawah kebutuhan konsumsi. Maka diprogramkan peningkatan tanaman cengkih baru 25% per tahun. Hasilnya overproduksi. Setelah diteliti, ternyata data pijak konsumsi cengkih untuk rokok di-mark-up. Jika benar data produksi beras kita salah, sementara kita telanjur mengekspor beras, biaya ekonomi, sosial, dan politiknya akan amat mahal. Sudah saatnya data luas panen dikumpulkan lewat survei statistik. Teknologi pengumpulan data berdasarkan objective measurement telah berkembang pesat. Ahli-ahli Indonesia pasti bisa melakukannya. Pasal 1 UU No. 16 Tahun 1997 tentang Statistik membagi tiga data statistik: statistik dasar, statistik sektoral, dan statistik khusus. Statistik dasar adalah statistik yang pemanfaatannya ditujukan untuk keperluan yang bersifat luas, baik bagi pemerintah maupun masyarakat, yang memiliki ciri-ciri lintas sektoral, berskala nasional dan makro. Data pangan, termasuk padi, merupakan data statistik dasar, yang penyelenggaraannya jadi tanggung jawab BPS. Jajaran dinas pertanian tetap bisa mengumpulkan data seperti selama ini. Tapi menurut UU Statistik, data itu termasuk kategori statistik sektoral yang digunakan untuk keperluan internal, bukan untuk lintas sektor sebagai statistik dasar. Merujuk pada ketentuan itu, sudah seharusnya proses pengumpulan, pengolahan dan publikasi data pangan dikembalikan pada mandat yang ada: diserahkan kepada BPS. Bisa saja dalam proses pengumpulan data BPS melibatkan dinas-dinas pertanian. Namun, metode
  • 14. 14 dan proses pengumpulan data sepenuhnya di bawah tanggung jawab BPS. Jika tidak, semua data harus dikumpulkan oleh BPS. Jika kemudian BPS terkendala jumlah SDM dan pendanaan, pemerintah wajib memenuhi keduanya. Untuk menghasilkan data yang akurat dan valid memang tidak murah. Tapi output dan outcome-nya akan setimpal. KHUDORI Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat; Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI); Penulis Buku “Ironi Negeri Beras”
  • 15. 15 Momentum Wujudkan PMD 12-12-2015 Meskipun Deklarasi Djuanda, 13 Desember 1957, secara geopolitik dan geoekonomi sangat penting bagi kejayaan dan kedaulatan bangsa Indonesia, kita baru memperingatinya sejak pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid pada 13 Desember 2000. Kemudian melalui Keppres No. 126/2001 Presiden Megawati Soekarnoputri mengukuhkan Hari Nusantara (Harnus), 13 Desember sebagai Hari Nasional, yang kemudian diperingati setiap tahun. Tanpa Deklarasi Djuanda, potensi kekayaan laut Indonesia hanya sekitar 1/3 dari potensi yang kita miliki sekarang. Wilayah laut Indonesia saat itu hanya meliputi laut sejauh 3 mil dari garis pantai yang mengelilingi pulau-pulau kita. Dengan begitu, di antara pulau-pulau Indonesia terdapat laut bebas (internasional) yang memisahkan satu pulau dengan lainnya dan merupakan ancaman bagi persatuan dan kesatuan NKRI. Kita patut bersyukur bahwa Ir H Djuanda, perdana menteri saat itu, dengan berani pada 13 Desember 1957 mendeklarasikan kepada dunia bahwa wilayah laut Indonesia tidaklah sebatas itu seperti diatur dalam Territoriale Zee Maritiem Kringen Ordonantie 1939. Wilayah laut Indonesia meliputi laut di sekitar, di antara, dan di dalam kepulauan Indonesia. Deklarasi Djuanda tidak langsung diterima oleh masyarakat dunia, bahkan Amerika Serikat dan Australia menentangnya. Namun, berkat kegigihan perjuangan diplomasi para penerusnya seperti Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja dan Dr Hasyim Djalal, deklarasi yang berisikan konsepsi negara kepulauan tersebut diterima oleh masyarakat dunia dan akhirnya ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB (United Nation Convention on Law of the Sea/UNCLOS) 1982. Peran Strategis Laut Kini kita memiliki wilayah laut, termasuk ZEEI, sangat luas 5,8 juta km2 yang merupakan tiga per empat dari total wilayah Indonesia. Di dalamnya terdapat 17.504 pulau dan dikelilingi garis pantai sepanjang 95.200 km, terpanjang kedua setelah Kanada. Fakta fisik inilah yang membuat Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Di sinilah Deklarasi Djuanda mendapatkan peran geopolitik yang sangat mendasar bagi kesatuan, persatuan, dan kedaulatan Indonesia. Karena itu, Deklarasi Djuanda sejatinya salah satu dari tiga pilar utama bangunan kesatuan dan persatuan NKRI yaitu kesatuan kejiwaan yang dinyatakan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928; kesatuan kenegaraan dalam NKRI yang diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945; dan kesatuan kewilayahan (darat, laut, dan udara) yang diumumkan oleh Perdana Menteri Djuanda 13 Desember 1957.
  • 16. 16 Selain geopolitik, laut juga memiliki peran geoekonomi yang sangat strategis bagi kemajuan dan kemakmuran Indonesia. Laut Indonesia mengandung kekayaan alam yang sangat besar, baik berupa SDA terbarukan, SDA tak terbarukan, energi kelautan , maupun jasa-jasa lingkungan kelautan. Kekayaan SDA kelautan tersebut dapat kita dayagunakan untuk kemajuan dan kemakmuran bangsa melalui 11 sektor ekonomi kelautan: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budi daya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan, (5) pertambangan dan energi, (6) pariwisata bahari, (7) hutan mangrove, (8) perhubungan laut, (9) sumber daya wilayah pulau-pulau kecil, (10) industri dan jasa maritim, dan (11) SDA non-konvensional. Total nilai ekonomi dari kesebelas sektor ekonomi kelautan itu diperkirakan mencapai USD1,2 triliun/tahun, sekitar 1,2 kali PDB dan delapan kali APBN 2014, serta dapat menyediakan lapangan kerja untuk 40 juta orang. Lebih dari itu, sekitar 45% dari seluruh barang dan komoditas yang diperdagangkan di dunia dengan nilai 1.500 triliun dolar AS per tahun ditransportasikan melalui laut Indonesia (UNCTAD, 2012). Sayangnya, posisi Indonesia yang sangat strategis dalam sistem rantai suplai global itu belum kita manfaatkan sebagai keunggulan kita sebagai bangsa produsen/penjual barang dan jasa yang dibutuhkan oleh bangsa-bangsa lain. Sebaliknya, Indonesia merupakan pasar gemuk dan empuk bagi sebagian besar barang dan jasa dari bangsa-bangsa lain. Sejak 1987 sampai sekarang kita menghamburkan devisa rata-rata USD15 miliar/tahun untuk membayar jasa kapal-kapal asing yang mengangkut sekitar 90% total barang yang kita ekspor dan impor. Agenda Pembangunan Sebab itu, visi Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla untuk menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia (PMD) adalah sangat tepat. Wujud nyata dari Indonesia sebagai PMD adalah berkembangnya kawasan-kawasan pesisir, pulau kecil, dan wilayah perbatasan menjadi pusat daya saing, pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan baru yang inklusif, ramah lingkungan dan berkelanjutan di seluruh wilayah NKRI. Sayangnya, kebijakan dan gebrakan pemerintah selama setahun ini terlalu dominan berupa larangan, moratorium, dan restriksi lainnya yang membuat iklim investasi sangat menakutkan dan tidak kondusif. Akibatnya menyulut demonstrasi nelayan dan pembudi daya ikan di mana-mana, mengakibatkan ratusan ribuan nelayan dan pembudi daya menganggur, sentra- sentra industri pengolahan ikan (seperti Belawan, Muara Baru, Benoa, Bitung, dan Ambon) mengalami mati suri, ribuan ton kerapu dan kepiting soka tidak terjual dan mati membusuk, perikanan lobster bangkrut, dan sejumlah dampak negatif lainnya. Karena itu, puncak peringatan Harnus Ke-15 yang bakal digelar di Banda Aceh pada 13 Desember tahun ini momentum untuk meluruskan arah kebijakan pembangunan kelautan/kemaritiman. Dari yang terlalu dominan pada konservasi dan larangan menuju sebuah keseimbangan antara peningkatan daya saing dan pertumbuhan ekonomi,
  • 17. 17 kesejahteraan nelayan dan masyarakat kelautan lainnya dengan pelestarian lingkungan dan SDA seperti visi PMD Presiden Jokowi di atas. Hal ini sangat penting karena dalam jangka pendek–menengah (2015–2019) gerakan nasional PMD diharapkan mampu mengatasi permasalahan utama bangsa berupa tingginya pengangguran dan kemiskinan, kesenjangan kaya vs miskin yang kian melebar, disparitas pembangunan antarwilayah, dan rendahnya daya saing serta indeks pembangunan manusia. Untuk mewujudkan Indonesia sebagai PMD, dalam jangka panjang kita mesti melaksanakan 12 kebijakan dan program utama berikut. Pertama, penegakan kedaulatan wilayah laut NKRI melalui diplomasi maritim; penyelesaian batas dan sengketa wilayah laut; penguatan dan pengembangan sarana dan prasarana hankam laut; dan peningkatan kesejahteraan, etos kerja, dan kapasitas aparat penegak hukum. Kedua, penataan ruang wilayah laut–pesisir–darat secara terpadu sebagai instrumen untuk menjamin kepastian usaha (bisnis) dan keberlanjutan (sustainability) SDA kelautan. Ketiga, revitalisasi sektor-sektor ekonomi kelautan yang ada (existing) dengan cara meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan sustainability-nya melalui aplikasi teknologi dan manajemen yang tepat. Keempat, pengembangan sektor-sektor ekonomi kelautan baru seperti industri bioteknologi kelautan, nanoteknologi, shale and hydrate gas, fiber optics, deep sea water industry, deep sea fisheries, dan coastal and ocean engineering. Kelima, pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi (kemakmuran) baru di wilayah pesisir sepanjang alur laut kepulauan Indonesia (ALKI), pulau-pulau kecil, dan wilayah perbatasan. Keenam, penguatan dan pengembangan konektivitas dan sistem logistik maritim dengan membangun “tol laut”, pelabuhan dan infrastruktur lainnya, dan konektivitas digital di seluruh wilayah Nusantara. Ketujuh, pengembangan energi kelautan, terutama yang baru dan terbarukan seperti energi gelombang, pasang surut, angin, biofuel dari microalgae dan biota laut lainnya, dan OTEC. Kedelapan, rehabilitasi dan pencegahan kerusakan ekosistem pesisir dan laut dari pencemaran dan perusakan lingkungan lainnya. Kesembilan, mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global, tsunami, dan bencana alam lainnya. Kesepuluh, penguatan dan pengembangan R&D (litbang) kelautan supaya kita mampu mentransformasi diri, dari yang hingga saat ini sebagai bangsa pembeli (konsumen) menjadi produsen (penjual) teknologi. Kesebelas, pembangunan sumber daya manusia (human capital) melalui program pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan secara tepat, benar, dan berkesinambungan. Kedua belas, kebijakan politik-ekonomi dan kemudahan berbisnis (seperti stabilitas politik, moneter, fiskal, izin usaha, ketenagakerjaan, pajak, dan konsistensi kebijakan) yang kondusif. Dalam jangka pendek-menengah (2015–2020), kita mesti merevitalisasi dan mengembangkan
  • 18. 18 sektor-sektor ekonomi kelautan yang banyak menyerap tenaga kerja, meningkatkan kesejahteraan rakyat kecil, membangun ketahanan pangan dan energi, meningkatkan daya saing dan pertumbuhan ekonomi, dan menghasilkan devisa. Sektor-sektor ekonomi kelautan yang dimaksud adalah perikanan budi daya, perikanan tangkap, industri pengolahan hasil perikanan, pariwisata bahari, galangan kapal, industri peralatan dan mesin kelautan, energi dan sumber daya mineral dari laut, dan coastal and ocean engineering. Kini saatnya untuk menyediakan skema kredit perbankan khusus bagi sektor-sektor kelautan dengan bunga yang relatif murah dan persyaratan yang relatif lunak seperti di negara-negara maju dan emerging economies lainnya. Dengan mengimplementasikan segenap kebijakan dan program pembangunan kelautan seperti di atas, Indonesia diyakini tidak hanya akan mampu mengatasi sejumlah masalah kekinian seperti penurunan pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan kemiskinan, rentannya ketahanan pangan dan energi, serta rendahnya daya saing dan IPM. Tetapi, juga bakal mampu menjadi negara maritim yang kuat, maju, sejahtera, dan berdaulat dalam waktu tidak terlalu lama, tahun 2025 insha Allah. PROF DR IR ROKHMIN DAHURI MS Guru Besar Manajemen Pembangunan Pesisir dan Lautan IPB
  • 19. 19 Menanti Keampuhan Ketiga Deklarasi Djuanda 12-12-2015 Bulan Desember (tepatnya 13 Desember) akan selalu dikenang sebagai Hari Nusantara oleh bangsa Indonesia. Semua itu berpulang kembali pada 13 Desember 1957 saat deklarasi mahapenting tersebut dikumandangkan oleh Perdana Menteri Djuanda. Deklarasi ini menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia, menjadi satu kesatuan wilayah NKRI. Isi lengkap dari Deklarasi Djuanda ini menyatakan: (1) Indonesia menyatakan diri sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri, (2) sejak dahulu kala kepulauan Nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan, dan (3) ketentuan Ordonansi 1939 yang dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia dipatahkan oleh deklarasi tersebut dan mengandung suatu tujuan: mewujudkan bentuk wilayah kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan bulat, menentukan batas-batas wilayah NKRI sesuai dengan asas negara kepulauan dan mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan keselamatan NKRI. Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) Pernyataan Deklarasi Djuanda tersebut tidak serta-merta mendapatkan pengakuan dunia internasional. Banyak negara menentang karena kekhawatiran terhadap berkurangnya kebebasan berlayar di laut. Terbitnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tentang Keputusan Pemerintah untuk kembali ke bentuk negara kesatuan memaksa Djuanda meletakkan jabatan pada 9 Juli 1959 dan menyebabkan Djuanda tidak lagi memiliki akses dan kekuasaan untuk mengawal dan mewujudkan deklarasi tersebut. Syukurlah Presiden Soekarno memberikan dukungan penuh terhadap cita-cita tersebut. Dukungan yang sama juga diberikan oleh Presiden Soeharto sehingga perjuangan tidak mengenal lelah untuk mewujudkan NKRI yang bulat dan utuh gencar dilakukan. Berbagai sidang hukum laut PBB diikuti oleh para diplomat Indonesia selama sembilan tahun sejak 1973 sampai 1982. Diplomat hebat tersebut antara lain Adam Malik (mantan menteri luar negeri dan wakil presiden) dan Prof Mochtar Kusumaatmaja (mantan menteri kehakiman dan menteri luar negeri). Kerja keras para diplomat tersebut melahirkan UNCLOS 1982, pengakuan terhadap wawasan nusantara. Konsekuensinya, wilayah NKRI bertambah dua kali lipat! Tanpa sebutir peluru dan negosiasi berbusa-busa atau berdarah-darah. Semua ini terjadi berkat Deklarasi Djuanda.
  • 20. 20 Perubahan konstelasi politik global pada akhir 1980-an berlangsung sangat cepat. Uni Soviet yang sangat kokoh saat itu tidak disangka dan dinyana akhirnya runtuh dan tercerai berai pada 1990 menjadi sejumlah negara antara lain Rusia (yang paling luas), Ukraina, Belarusia, dan Kazakstan. Kehancuran yang sama juga menimpa Yugoslavia yang diwujudkan oleh Jozeph Broz Tito menjadi negara-negara kecil yakni Serbia, Kroasia, Slovenia, dan Bosnia- Herzegovina. Di sisi lain, Jerman Barat dan Jerman Timur akhirnya bersatu kembali. Deklarasi Djuanda kembali menunjukkan keampuhan atau kesaktiannya. Lahirnya UNCLOS 1982 yang menyatukan wilayah darat dan perairan Nusantara sebagai kesatuan yang utuh dan bulat mampu mencegah terpecahnya NKRI dari rongrongan pihak asing yang ingin memecah belah kita. Bila tidak ada Deklarasi Djuanda, mungkin wujud NKRI pasca-runtuhnya Uni Soviet akan jauh berbeda dan tidak seperti sekarang. Tol Laut dan Poros Maritim Presiden Jokowi Setuju atau tidak setuju, tujuan utama dari Deklarasi Djuanda adalah mengembalikan kejayaan Sriwijaya dan Majapahit yang malang melintang menguasai laut Nusantara masa lalu. Tujuh puluh tahun sudah Indonesia merdeka dan 33 tahun sudah UNCLOS 1982 dilahirkan, tetapi kejayaan maritim Indonesia masih jauh dari harapan. Pembangunan dunia maritim belum menjadi prioritas dan cenderung dianaktirikan. Meskipun pernah disebutkan dalam GBHN era Presiden Soeharto dan memperoleh perhatian penting era Presiden SBY melalui program MP3EI, pembangunan dunia maritim Indonesia belum mampu menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi negara. Kemunculan Joko Widodo (Jokowi) membawa harapan baru. Sejak masa kampanye dan awal pemerintahannya, Jokowi dengan gencar mengumandangkan konsep tol laut dan Poros Maritim Dunia. Tol laut dimaksudkan untuk memperlancar sistem transportasi berbasis laut di mana tersedia fasilitas pelabuhan dan kapal dalam jumlah yang cukup dan berfungsi efisien dan efektif. Poros Maritim Dunia dimaknai Indonesia sebagai salah satu pusat perekonomian dunia berbasis laut. Dua konsep tersebut diharapkan akan memberikan kontribusi besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia dan mampu menghantarkan Indonesia sebagai salah satu raksasa ekonomi dunia sesuai prediksi Bank Dunia. Sejumlah gebrakan dilakukan Jokowi dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang dipimpinnya. Sebut saja Susi Pujiastuti atau Bu Susi -- Menteri Kelautan dan Perikanan. Meskipun bukan sarjana, Bu Susi mampu menunjukkan kemampuan kerja yang luar biasa. Bu Susi dengan berani memerintahkan pembakaran kapal-kapal asing yang menjadi biang kerok pencurian ikan di perairan Nusantara sebagai upaya untuk menunjukkan wibawa Pemerintah RI dan meningkatkan kesejahteraan rakyat menggunakan sumber kekayaan dari laut. Gebrakan Jokowi tidak itu saja. Sejumlah paket pemerintah untuk menggairahkan investasi diluncurkan di mana mampu mengembalikan stabilitas mata uang rupiah yang sempat merosot beberapa waktu lalu. Kebijakan Jokowi di bidang maritim termasuk penghapusan
  • 21. 21 pajak pertambahan nilai (PPN) atas impor komponen kapal menyebabkan industri galangan nasional kebanjiran order hingga Rp17,7 triliun. Stimulus tersebut juga memangkas biaya produksi kapal hingga 6% sehingga diharapkan mampu mendongkrak daya saing industri kapal nasional. Keputusan mahapenting Jokowi tersebut berkah sekaligus tantangan bagi dunia maritim Indonesia, termasuk industri galangan kapal, perusahaan pelayaran, perguruan tinggi, dan seluruh rakyat Indonesia yang berharap banyak akan lebih sejahtera dan makmur berbasiskan kemaritiman. Presiden Jokowi menyadari betul bahwa kejayaan Sriwijaya dan Majapahit pada masa lampau bukanlah sekadar kenangan dan catatan sejarah. Kejayaan tersebut niscaya dapat diwujudkan kembali dan Nusantara Indonesia akan menjadi salah satu raksasa ekonomi dunia. Kesadaran akan pentingnya laut bagi kesejahteraan dan kejayaan Indonesia harus terus didengungkan dan diwujudkan. Dua kali sudah Deklarasi Djuanda menunjukkan keampuhannya dan keduanya memberikan berkah luar biasa bagi Indonesia tercinta. Mari kita bekerja keras bahu-membahu bersama Jokowi dan seluruh komponen bangsa untuk menyambut keampuhan ketiga dari Deklarasi Djuanda. Selamat Hari Nusantara tanggal 13 Desember 2015, jayalah Indonesia tercinta. KETUT ARIA PRIA UTAMA Guru Besar Teknik Perkapalan; Insinyur Professional dan Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)
  • 22. 22 Melampaui Pencapaian Djuanda 12-12-2015 Peringatan momentum 58 tahun Deklarasi Djuanda tahun ini (13 Desember 1957-13 Desember 2015) ditandai pasang-surut ikhtiar kebangsaan kita mewujudkan Indonesia sebagai negara kepulauan yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian. Pada satu sisi, kita bangga sekaligus optimistis akan kembali menjadi negara kepulauan kuat dan berpengaruh di dunia saat Presiden Joko Widodo (terus-menerus) menyampaikan tekadnya membawa Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia. Sebaliknya, kembali melemah ketika Presiden menyampaikan niatnya membawa Indonesia bergabung ke dalam Kerja Sama Trans-Pasifik (TPP). Mengapa? Mengotori Motor penggerak utama TPP adalah Amerika Serikat, lalu diikuti 11 negara lain di kawasan Pasifik. Selain menjadi salah satu negara dengan nilai investasi terbesar di Indonesia, AS adalah satu dari sedikit negara di dunia yang belum meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention On The Law Of The Sea/UNCLOS 1982). Berbeda dengan AS, Indonesia justru sebagai motor penggerak sekaligus pihak paling berkepentingan disahkan UNCLOS 1982. Sejarah mencatat, sejak dikumandangkan pertama kali pada 13 Desember 1957, klaim sepihak Indonesia terhadap kedaulatan perairan di sekeliling dan di antara pulau-pulau melalui Deklarasi Djuanda telah menjadi inspirasi dan motivasi tersepakatinya konsepsi negara kepulauan di dalam UNCLOS 1982. Pasal 46 konvensi ini menyebutkan negara kepulauan sebagai sebuah negara yang seluruhnya terdiri atas satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Secara lebih operasional, Pasal 49 ayat (2) menjamin kedaulatan ruang udara di atas perairan kepulauan, juga di dasar laut dan tanah di bawahnya, termasuk sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya. Maka itu, konsepsi negara kepulauan tidak lagi sekadar urusan domestik Indonesia. Namun, telah menjadi jalan efektif melunasi janji kemerdekaan: membalik ketidakadilan global. Di sektor perikanan misalnya negara-negara di Utara, meski didukung teknologi dan modal besar, tidak (lagi) bebas memasuki dan memanfaatkan kekayaan laut di negara lain, termasuk mengambil ikan. Jika sebelum 1982, sekitar 75% produksi ikan dunia tercatat dari negara- negara Utara. Bertahap setelah UNCLOS disahkan (hingga sekarang), mayoritas produksi bergeser ke Selatan, termasuk Thailand, Vietnam, dan Indonesia.
  • 23. 23 Di dalam negeri, UNCLOS 1982 bahkan telah memperluas perairan Indonesia menjadi 6,32 juta kilometer persegi, masing masing perairan kedaulatan 3,37 juta dan perairan berdaulat 2,94 juta (Surat Badan Informasi Geospasial No B- 3.4/SESMA/IGD/07/2014). Potensi ekonomi kelautan Indonesia diperkirakan akan terus bertambah dari angka USD1,2 triliun per tahun dan dapat digunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Indonesia bahkan memiliki kedaulatan hukum dan kewenangan mengusir armada-armada asing yang dinilai membahayakan pertahanan dan keamanan nasional. Dus, di bawah komando AS, TPP berpotensi mengaburkan sederet pencapaian terbaik diplomasi Indonesia tersebut. Contoh paling aktual adalah insiden Bawean pada 2003. Pesawat Hornet F-18 milik Angkatan Perang AS melintasi Pulau Bawean dan tertangkap radar Bandara Juanda Surabaya. Amerika Serikat berpegang pada hukum udara menurut Konvensi Paris maupun Chicago 1918 (bukan UNCLOS 1982) dan berdalih bahwa konvoi kapal induk yang dijaga pesawat tempur sah melintasi perairan internasional. Sebaliknya, Indonesia menyatakan Hornet F-18 keluar jalur Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) dan melanggar ketentuan di dalam UNCLOS 1982. Insiden dan ancaman semacam ini terbuka untuk semakin kerap terjadi bilamana Indonesia bergabung ke dalam TPP. Melampaui Pencapaian Dalam sebuah kesempatan, Bung Hatta, Wakil Presiden RI pertama, pernah mengatakan, “Politik luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah mestilah sejalan dengan politik dalam negeri. Seluruh rakyat harus berdiri tegap dan rapat di belakang pemerintah. Persatuan yang sekuat-kuatnya harus ada, barulah pemerintah dapat mencapai hasil yang sebaik-baiknya dari diplomasi yang dijalankan.” Senapas dengan perjuangan para pendiri bangsa, Presiden Joko Widodo tidaklah perlu melanjutkan niatnya membawa Indonesia bergabung ke dalam TPP. Sebaliknya, Jokowi dapat fokus merawat dan melampaui pencapaian Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja, Mochtar Kusumaatmaja, dan para diplomat andal masa itu. Presiden dapat menginstruksikan seluruh diplomat Indonesia (masa kini) untuk memaksimalkan forum-forum bilateral maupun multilateral seperti Konferensi Tingkat Menteri Ke-10 Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Kenya untuk mengajak AS (segera) meratifikasi UNCLOS 1982. Hal ini penting menjadi dasar pertimbangan kerja sama taktis- strategis mewujudkan agenda-agenda di dalam Poros Maritim ke depan. Para menteri juga harus lebih awas mengevaluasi keterlibatan AS dalam pembiayaan program kelautan dan perikanan di Indonesia. Ambil contoh keterlibatannya dalam membiayai dan mempromosikan proyek Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle Initiative) di sebahagian besar perairan Indonesia. Selain keberhasilan menjadikan program CTI semakin populer di berbagai forum internasional dan kalangan korporasi, ketermanfaatan
  • 24. 24 proyek ini bagi perbaikan lingkungan laut dan peningkatan kesejahteraan nelayan Indonesia belum terlihat hingga saat ini. Tahun depan inisiatif semacam CTI akan kembali hadir dengan nama berbeda yakni Inisiatif Perikanan Pesisir Global (Global Coastal Fisheries Initiative). Proyek mercusuar ini meliputi hampir seluruh perairan di timur Indonesia dengan menelan biaya mencapai USD58 juta. Maka itu, TPP bukan lagi sekadar urusan daya saing dan dominasi ekonomi. Inisiatif ini telah menjadi pertaruhan besar eksistensi Indonesia sebagai negara kepulauan. M RIZA DAMANIK Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia; Koordinator Asia untuk Forum Masyarakat Asia-Eropa (AEPF)
  • 25. 25 Investor Saham ala Rudy Hartono 13-12-2015 Mengapa investor saham sebaiknya berwawasan jangka panjang? Saya suka menganalogikan investor saham yang sukses dengan Rudy Hartono. Dia maestro bulutangkis Indonesia yang menjuarai All England delapan kali. Apa rahasia kesuksesan Rudi? Selain berteknik tinggi dan bermental juara, Rudi juga selalu siap bertanding dalam waktu yang panjang. Uniknya, salah satu pelatih Rudy ternyata tidak piawai bermain bulutangkis, namun jago dalam membentuk stamina unggul. Tahir Djide, pelatih Rudi, punya prinsip bahwa teknik bagus tanpa stamina yang baik tidak berguna. Sebelum berlatih teknik, Rudy harus lari mengelilingi Stadion Gelora Senayan 10 kali! Tak heran jika ia begitu tangguh. Investor saham bisa disamakan dengan atlet, tidak sekadar punya teknik (skill) yang bagus dalam memilih saham, tetapi juga stamina atau staying power investasi. Yang dimaksud adalah kemampuan investor untuk tidak menjual sahamnya, seberat apa pun krisis keuangan yang terjadi. Dalam bukunya yang best seller, A Random Walk Down Wall Street, Burton Malkiel, pakar ekonomi Princeton, berargumen bahwa semakin panjang holding period investor, semakin kecil risiko investasi. Mengapa? Jika investor memiliki staying power yang panjang, ia punya kemampuan menunggu hingga pasar pulih kembali. Jika investor punya kewajiban pengeluaran uang dalam jangka waktu pendek, staying power-nya buruk. Apalagi jika investor membeli saham menggunakan dana dari berutang misalnya melalui skenario margin trading. Malkiel menggunakan data S&P 500 Index di AS sejak 1950 hingga 1997 untuk menjelaskan argumentasi tersebut. Untuk holding period selama setahun, rentang imbal hasil tahunan berkisar 53% hingga minus 27%. Namun, jika holding period investasi diperpanjang misalnya 10 tahun, rentang rata-rata imbal hasil tahunan berkisar 1% hingga 19%. Untuk holding period 25 tahun, rentang rata-rata imbal hasil tahunan berkisar 8 hingga 13%. *** Jika Archimedes, filsuf Yunani, mengatakan, ”Give me a lever long enough, and I can move the Earth”, investor bisa bilang, ”Give me enough time, and I can reduce the risk.” Jika misalnya Anda bertanya kepada saya, ”Harga saham PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR)
  • 26. 26 bakalan naik atau turun nanti sore, besok pagi, atau minggu depan?” Saya hanya bisa berspekulasi. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi dalam jangka waktu relatif pendek. Namun, jika pertanyaannya adalah ”Apakah harga saham UNVR lima tahun mendatang lebih tinggi dari harga hari ini?” Jawabnya, kemungkinan besar ya karena saya yakin UNVR adalah perusahaan besar yang menghasilkan laba yang tinggi, dikelola secara profesional, dan produknya masih dibutuhkan hingga lima tahun mendatang. Semakin panjang holding period, semakin jelas tren positif nilai atau harga saham sebuah perusahaan yang bagus. Sebagai contoh, silakan cermati empat grafik pergerakan saham UNVR untuk periode waktu satu hari, satu minggu, satu tahun, dan lima tahun yang diambil dari www.bloomberg.com. Dalam buku kartun investasi Smiling Investor, saya menggunakan kondisi pasar modal periode 2006 hingga 2011 untuk menjelaskan kelebihan staying power investasi. Misalkan ada tiga investor, Mr Long-Term, Mr Nervous, dan Mr Fragile. Mereka mulai membeli saham pada awal 2006 ketika indeks harga saham gabungan (IHSG) ada di angka 1.160. Dua tahun kemudian IHSG telah menjadi 2.700, alias naik 130%. Namun, pada semester II 2008, krisis finansial global telah menjatuhkan IHSG ke level di bawah 1.160. Imbal hasil besar yang terkumpul selama dua tahun raib begitu saja. Mr Long-Term adalah investor yang sabar. Ia tidak panik dan ikut-ikutan menjual saham- sahamnya secara murah. Sebaliknya, Mr Nervous tidak tahan melihat penurunan tajam harga saham. Ia memilih menjual saham untuk menghindari potensi kerugian lebih lanjut. Lain lagi dengan Mr Fragile. Ia terpaksa menjual sebagian besar sahamnya untuk menutup kerugian bisnisnya yang terkena dampak krisis. Ending-nya, Mr Long-Term memperoleh kembali kekayaannya dan bahkan bertambah ketika IHSG rebound secara cepat selama 2009 dan 2010 ke angka 3.700. Mr Nervous hanya bisa gigit jari, sedangkan Mr Fragile menyesali nasib buruknya. Kesimpulannya, jadikan waktu sebagai sahabat terbaik Anda dalam berinvestasi saham dan selalu gunakan ”uang dingin” alias duit bebas untuk membeli saham. LUKAS SETIA ATMAJA Financial Expert - Prasetiya Mulya Business School
  • 27. 27 Rumah Susun Bukan Impian 14-12-2015 Sebagai dampak kemajuan ekonomi, urbanisasi merupakan kecenderungan yang sukar dihindari (saat ini diperkirakan 53% penduduk Indonesia tinggal di daerah perkotaan) sehingga memunculkan sejumlah tantangan yang mau tidak mau harus segera ditangani. Salah satunya adalah tantangan papan atau tempat tinggal. Selain mendesak dan kebutuhannya dalam jumlah banyak, masalah hunian kaum urban juga memiliki sejumlah kendala, yakni masalah keterbatasan lahan. Sementara itu, dari sisi jumlah pasokan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mencatat ada backlog (kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dan jumlah rumah yang dibutuhkan rakyat) mencapai 13,5 juta unit pada 2014. Pada kondisi seperti ini, jelaslah tantangan penyediaan perumahan merupakan pekerjaan rumah bagi pemerintah yang tentu saja jawabannya tidak mudah. Tidak hanya memangkas kesenjangan yang sudah telanjur ada, kebutuhan rumah yang terus meningkat pun tiap tahun dipastikan akan menambah jumlah backlog. Kebutuhan rumah baru, demikian catatan PUPR, mencapai 800.000 unit/tahun. Sementara itu, kemampuan pengembang, pemerintah, dan masyarakat dalam menyediakan rumah saat ini baru 400.000 unit/tahun. Tingginya angka backlog ini disebabkan rendahnya tingkat daya beli masyarakat, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Karena itu, tidak bisa tidak, solusi dalam mengatasi backlog adalah upaya dalam memfasilitasi MBR agar mampu memiliki rumah atau minimal mampu menempati rumah yang layak huni melalui rumah susun sewa. Rumah Susun Impian Terkait langkah memangkas backlog, pemerintah sudah mencanangkan program “Sejuta Rumah untuk Rakyat” pada 2015. Target sejuta rumah tersebut direncanakan untuk memfasilitasi kebutuhan rumah bagi MBR sebanyak 603.516 unit dan kebutuhan bagi kelompok masyarakat menengah dan atas sebanyak 396.484 unit. Perlu diingat, program ini tidak hanya mencakup pembangunan rumah baru milik, tetapi juga mencakup pembangunan rumah susun sewa, pembangunan baru, dan peningkatan kualitas melalui swadaya serta pembangunan rumah khusus. Dalam lima tahun ke depan, pemerintah mematok target backlog menjadi 8 juta unit. Target yang cukup realistis, mengingat dukungan yang besar dari para stakeholder, yang utama dalam hal ini adalah dukungan pemerintah daerah, BUMN bidang infrastruktur, dan sektor swasta, serta lembaga pembiayaan.
  • 28. 28 Antusiasme itu terlihat saat groundbreaking program “Sejuta Rumah untuk Rakyat” yang dilakukan Presiden Joko Widodo di Semarang, 1 Mei 2015. Tercatat sembilan pemerintah daerah ikut berpartisipasi. Antara lain; Sumatera Utara (Nias Utara) untuk jenis rumah tapak dengan kelompok sasaran adalah perumahan PNS; Sumatera Selatan (Banyuasin) untuk rumah tapak dengan sasaran perumahan umum; DKI Jakarta (Jakarta Barat) untuk pembangunan rusunami; serta rumah tapak untuk PNS dan umum di Banten (Tangerang), Jawa Barat (Cirebon), Jawa Timur (Malang), dan Kalimantan Tengah (Kotawaringin Timur). Kemudian pembangunan rusunawa yang berada di Jawa Tengah (Semarang) untuk buruh dan Sulawesi Selatan (Bantaeng) untuk nelayan. Potensi pembiayaan untuk program satu juta rumah pada 2015 sebesar Rp67,8 triliun dengan rincian sebanyak Rp48,5 triliun berasal dari Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, Rp3,1 triliun berasal dari Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan (Bapertarum) PNS, Rp2 triliun dari Taspen, Rp1 triliun dari Perum Perumnas, Rp5,1 triliun anggaran untuk Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dan Rp8,1 triliun berasal dari APBN Kementerian PUPR. Menarik untuk disimak, bahwa dalam program Sejuta Rumah untuk Rakyat tersebut, sebagian arah rumah yang dibangun adalah berupa Rusunawa dan Rusunami (di Jakarta, Semarang, dan Bantaeng). Apa arti arah pembangunan ini? Tantangan besar dalam membangun rumah di daerah perkotaan, sebagaimana disinggung di atas, adalah masalah lahan yang sangat terbatas. Akibatnya, sesuai dengan hukum ekonomi, segala sesuatu yang amat terbatas berdampak pada harga yang menjadi mahal. Di sisi lain, tingkat urbanisasi ke kota yang tetap tinggi dan kawasan permukiman di perkotaan yang terbatas, sehingga jika tidak diatur akan berpotensi menjadi permukiman kumuh dan tidak layak huni. Menghadapi kenyataan seperti ini, pilihan yang tersedia tentu tidak banyak. Salah satu alternatif yang realistis adalah membangun rumah vertikal, baik itu apartemen untuk kelas atas, maupun rumah susun untuk masyarakat bawah. Dengan rumah vertikal, di atas lahan yang terbatas, akan dihasilkan ruang yang lebih banyak. Masalahnya, untuk masyarakat Indonesia, tinggal di rumah susun memang masih belum menjadi budaya. Pilihan pertama bagi sebagian warga adalah memilih rumah tinggal atau hunian jenis rumah tapak. Seiring perkembangan zaman dan utamanya keterbatasan lahan serta biaya, pilihan rumah vertikal tidak terhindarkan. Pembangunan rumah vertikal, khususnya rusunawa dapat dijadikan program pemerintah kota untuk penataan dan menghindarkan kawasan kumuh. Hal ini juga ditunjukkan oleh sebagian besar kota-kota di dunia, termasuk di Indonesia yang dipelopori kota Jakarta yang menargetkan pembangunan rusunawa lebih dari 200 unit tower per tahun. Berdasarkan RPJMN 2015-2018, Pemerintah menargetkan 550.000 unit rumah susun.
  • 29. 29 Perencanaan Matang Guna mewujudkan ketersediaan rumah susun, komitmen pemerintah menjadi faktor penting. Kehadiran pemerintah utamanya adalah penyediaan akses pelayanan perumahan dan permukiman sebagai bentuk aksi untuk menanggulangi kemiskinan. Pemerintah tak bisa begitu saja membiarkan kekuatan pasar yang dapat menyebabkan ketidakpastian MBR untuk mendapatkan rumah sebagai pemenuhan hak untuk bermukim. Pengertian rumah susun sederhana sewa (rusunawa) sendiri, berdasarkan Permen No.14/ 2007 tentang Pengelolaan Rumah Susun Sederhana Sewa, adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing digunakan secara terpisah. Status penguasaannya sewa serta dibangun dengan menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dengan fungsi utama sebagai hunian. Idealnya rumah susun kelak merupakan masa depan dari pembangunan perumahan di wilayah permukiman perkotaan. Dengan penataan yang terencana dengan baik serta komprehensif, rusunawa adalah solusi utama untuk menampung MBR di wilayah perkotaan. Untuk itu, ke depan perencanaan pembangunan rusunawa harus dilakukan secara lebih cermat dan matang. Rusunawa bukan sekadar menghindarkan wilayah urban dari kehadiran rumah tapak kumuh, rusunawa juga harus dibangun di atas lahan yang sesuai peruntukannya dan sekaligus sesuai dengan peraturan zonasi wilayah tersebut. Dengan demikian pembangunan rumah susun harus sesuai masterplan dan sudah mempertimbangkan daya tampung, daya dukung dan terkoneksi dengan sistem perkotaan seperti sistem transportasi terpadu. Keterlibatan pemda dan pemerintah pusat dalam mengatasi problema lahan yang terbatas dan menjadi semakin mahal, merupakan solusi awal. Di sinilah negara benar-benar hadir sebagai public service masyarakat yang membutuhkan, khususnya yang berpenghasilan rendah dan tidak memiliki akses untuk memiliki rumah milik. Dengan kehadiran negara untuk pembangunan rumah susun sewa, hak bermukim bagi setiap warga yang menjadi hak asasi manusia paling tidak sudah terpenuhi. Dengan pembangunan rusun sewa berskala besar di seluruh perkotaan di Indonesia, permasalahan permukiman kumuh di perkotaan dapat terpecahkan dan bukan lagi menjadi wajah sebagian besar perkotaan di negeri ini. BASUKI HADIMULJONO Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
  • 30. 30 Kebangkitan Dirgantara 14-12-2015 Zaman dulu, tahun 1960-an, yang pasti sebelum 1965-an, ada sebuah lembaga yang disebut Lipnur, yang kalau benar merupakan kepanjangan dari Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio. Lipnur banyak menyekolahkan tenaga teknik dan penerbang di Akademi Penerbangan Indonesia (API) yang bermarkas di Curug, Tangerang. Kalau benar lagi, Laksamana Muda Udara Nurtanio menciptakan pesawat latih Belalalang dan Sikumbang. Kedua pesawat ini menggunakan single piston engine dan bahan bakarnya avigas, dengan oktan 100. Sederhana, tapi memang asli buatan orang Indonesia. Bahkan Belalang dipergunakan mendidik penerbang-penerbang TNI AD. Pendidikannya di Bandara Achmad Yani Semarang, Sekolah Penerbang Angkatan Darat. Lipnur juga membuat duplikasi pesawat bermesin satu yang dinamakan Gelatik yang dimanfaatkan PT Deraya yang dedengkotnya Ibu Yayuk, pemilik commercial pilot license (CPL) Indonesia. PT Deraya merupakan sekolah penerbang swasta pertama di republik ini. Markasnya di Bandara Kemayoran, bandara yang kemudian digusur oleh manusia-manusia yang tidak memiliki kemampuan melihat kemajuan penerbangan republik ini. Penerbangan komersial seperti Garuda Indonesia, Merpati Nusantara, Mandala, dan lain-lain harus hengkang ke Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang. Kemudian penerbangan Kepolisian RI pertama kali hengkang ke Bandara Pondok Cabe yang sebenarnya milik PT Pelita Air Service tahun 1987, disusul TNI AL dan TNI AD. TNI AU ya balik semua ke Landasan Udara Halim Perdanakusuma. Sebagai catatan, kalau pada saat itu para decision maker agak cerdas sedikit, tidak “membedoldesakan” Bandara Internasional Kemayoran menjadi kawasan yang pada kenyataannya saat ini tidak jelas-jelas amat, mungkin Bandara Halim tidak coba dikuasai sebuah penerbangan swasta. Mungkin juga Bandara Pondok Cabe tidak dilirik sebagai bandara alternatif oleh Garuda Indonesia. *** Kembali ke judul kebangkitan dirgantara, ya dirgantara republik kita yang tercinta ini cukup membuat kaget. Memang selama ini ke mana saja industri penerbangan Indonesia yang saat ini diwakili PT Dirgantara Indonesia (PT DI) yang merupakan gantinya Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) yang merupakan gantinya Lipnur? IPTN berdiri pada 1976. Mulanya “N”-nya singkatan dari “Nurtanio” kemudian diganti
  • 31. 31 “Nusantara” karena sedikit timbul dispute penggunaan nama keluarga Nurtanio. Seharusnya Laksamada Muda Udara Nurtanio ini pantas dijadikan Bapak Penerbangan Indonesia. Bersama beliau ada Letnan Kolonel Udara Soemarsono yang menciptakan helikopter pertama Indonesia. N 219 yang baru diperkenalkan dan akan diresmikan, apa maksudnya baru akan diterbangkan, kurang jelas. Dilihat dari bentuknya memang mirip De Havilland Canada 6 Twin Otter, pesawat jenis short take off landing (STOL). DHC 6 Twin Otter series 100, 200, 300 telah dipergunakan Merpati Nusantara Airlines sebagai pesawat penerbangan perintis. Operasinya terutama di Irian Jaya dulu dan di beberapa daerah Indonesia timur. Katanya N 219 itu bisa mengangkut penumpang 19 orang, jenis STOL dan sesuai tuntutan performa sebagai pesawat yang akan dioperasikan di daerah remote yang jenis landasannya “ala kadarnya”, cuma perlu panjang sekitar 500 meteran, permukaannya pasti lebih jelek dari padang rumput lapangan golf. Harganya tentu harus lebih murah dari DHC 6 Twin Otter. Bila sama atau lebih mahal, terlepas dari rasa nasionalisme sesuai logika, ya mending beli DHC 6 Twin Otter. Kita berdoa saja semoga N219 memang bisa disejajarkan dengan DHC 6 Twin Otter. Jenis STOL, jelas turbo, perlengkapan yang bukan optional seperti weather radar, ground proximity warning system (GPWS) atau yang lebih canggih lagi mampu terbang dengan kecepatan rendah, slow speed agar membantu penerbang “mengintip” letak landasan bila cuaca kurang bersahabat. N 219 pasti ditunggu semua rakyat. Sudah amat sangat pantas PT DI yang reinkarnasi IPTN Lipnur benar-benar memproduksi pesawat terbang sayap tetap (fix wing) atau sayap putar/helikopter (rotary wing) yang benar-benar dengan nama depan N (Nusantara) yang membanggakan. Tidak pakai embel-embel C dari CASA , CN atau NBO N. Rakyat di republik ini pasti akan sangat bangga mengetahui PT DI benar-benar telah memproduksi pesawat terbang hasil karya bangsa sendiri, bukan sekadar assembling (rakitan). Namun ada yang menarik, sampai saat ini belum jelas benar hasil assembling atau rakitan IPTN/PT DI itu dibeli negara mana saja? Mestinya dengan hasil produksi 395 pesawat IPTN/PT DI dan Republik Indonesia sudah sangat kaya. Berita tentang negara mengirim tenaga penerbangan Republik ke Korea Selatan hanya untuk belajar latihan merakit pesawat mestinya, harusnya, kudunya tidak pernah terjadi. Masa, hampir 50 tahun industri penerbangan kita mampunya cuma merakit dan masih harus mengirim putra-putrinya belajar merakit? Ampun! JOHN BRATA Pemegang ATPL 760 (IAW)
  • 32. 32 Kesenjangan dan The Fed 14-12-2015 Dalam beberapa waktu ke depan ekonomi nasional akan terfokus pada dua hal penting: isu tentang kesenjangan dan kepastian besaran kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (The Fed). Isu kesenjangan lebih berorientasi pada sektor riil, sementara kenaikan suku bunga The Fed lebih berdimensi moneter dan pasar keuangan. Secara sepintas, isu kesenjangan hanya menjadi domain pemerintah atau otoritas fiskal dan sektor riil, sedangkan kenaikan suku bunga The Fed menjadi tanggung jawab Bank Indonesia untuk meresponsnya. Namun, kalau kita analisis lebih dalam justru dalam situasi seperti ini, baik pemerintah maupun BI, semakin dituntut untuk meningkatkan koordinasi dan policy- harmonization dalam menyusun kebijakan untuk kedua isu tersebut. Baik kebijakan moneter maupun fiskal harus saling mendukung dan jangan sampai saling melemahkan. Isu kesenjangan mencuat kembali setelah Bank Dunia baru-baru ini merilis data tentang kesenjangan ekonomi. Meskipun terdapat sejumlah capaian yang mengesankan pasca- reformasi di bidang ekonomi, persoalan kesenjangan kaya-miskin justru semakin lebar. Menurut Bank Dunia, terdapat disparitas pertumbuhan konsumsi antara kelompok kaya- miskin selama kurun waktu 2003-2010. Sebanyak 10% masyarakat terkaya Indonesia konsumsinya tumbuh 6%, sementara 40% masyarakat termiskin konsumsinya tumbuh di bawah 2%. Hal ini yang membuat koefisien gini meningkat dari 30 pada tahun 2000 menjadi 41 pada 2013. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, industrialisasi, disparitas kualifikasi tenaga kerja terampil, kepemilikan aset dan commodity-boom menjadi beberapa faktor melebarnya kesenjangan. Bank Dunia juga mengidentifikasi empat penyebab ketimpangan, yaitu ketimpangan peluang, ketimpangan pasar kerja, ketimpangan kekayaan dan ketimpangan dalam menghadapi guncangan. Kondisi ini perlu lebih menjadi perhatian khususnya pemerintah lantaran pada September 2014-Maret 2015, menurut data BPS, terdapat tambahan 860.000 orang miskin di Indonesia. Kenaikan tersebut karena jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan bertambah besar dari 27,73 juta orang (10,96%) pada September 2014 menjadi 28,59 juta (11,22%) di Maret 2015. Banyak kalangan memperkirakan jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan pada survei BPS per September 2015 akan bertambah banyak akibat bencana kabut asap yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera dan Kalimantan. Data lain menunjukkan tren kesenjangan masih akan menjadi tantangan besar bagi perekonomian kita. Misalnya, angka tingkat pengangguran terbuka (TPK) pada Agustus 2015
  • 33. 33 yang meningkat menjadi 6,18% lebih tinggi dibandingkan dengan posisi Agustus 2014 yang mencapai 5,94%. Tantangan kedua lebih berasal dari eksternal, yaitu kenaikan suku bunga The Fed yang diperkirakan banyak analis akan diputuskan dalam rapat gubernur bank sentral Amerika Serikat, 15-16 Desember 2015. Banyak analis memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga secara bertahap, dimulai dengan kenaikan 25 basis poin di bulan ini. Kenaikan suku bunga di AS membuat imbal hasil investasi portofolio di AS menjadi lebih menarik seiring berakhirnya likuiditas melimpah akibat program pembelian aset oleh The Fed dalam jumlah besar. Salah satu risiko yang dihadapi oleh banyak negara berkembang dan emerging adalah pembalikan modal (capital outflow) dalam jumlah besar dari pasar modal dan pasar keuangan yang berakibat melemahnya nilai tukar mata uang di banyak negara. Bagi Indonesia, tekanan keluarnya modal asing tecermin dari beberapa indikator, misalnya nilai tukar mata uang rupiah yang terdepresiasi terhadap dolar AS, turunnya cadangan devisa, dan melemahnya IHSG. Hal ini juga terjadi di sejumlah negara emerging lain seperti Brasil, Rusia, Afrika Selatan, Malaysia, dan Thailand. Meskipun sinyal naiknya suku bunga di Amerika Serikat akan dilakukan secara bertahap, perilaku investor mengonsolidasi aset di luar negeri dan pengalihan investasi ke dolar AS di tengah melemahnya harga minyak mentah dunia membuat permintaan terhadap dolar AS semakin tinggi. Hal ini belum memperhitungkan kebutuhan dolar AS untuk keperluan impor dan cicilan pelunasan utang luar negeri, yang membuat nilai tukar mata uang di banyak negara akan mengalami tekanan dalam beberapa waktu ke depan. Nilai tukar rupiah berfluktuasi dan berada di level Rp14.000/dolar AS pada perdagangan minggu lalu. *** Otoritas moneter (BI) dan fiskal (pemerintah) akan sangat disibukkan dengan kedua isu di atas. Di satu sisi persoalan kesenjangan, kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja; di sisi lain bagaimana respons kebijakan terhadap rencana kenaikan suku bunga The Fed. Salah satu kunci titik temu antara kedua otoritas terkait dengan hal ini adalah bagaimana sektor moneter dapat membantu bergeraknya sektor riil dan kebijakan fiskal juga turut menguatkan stabilitas sistem keuangan nasional. Kebijakan suku bunga Bank Indonesia (BI Rate) perlu melihat dua aspek sekaligus, yaitu sisi moneter serta stabilitas pasar keuangan dan dapat mendorong bergeraknya sektor riil di Tanah Air yang mengalami perlambatan di sepanjang tahun 2015. Dari sisi lain, pemerintah juga memiliki andil sangat besar terhadap stabilitas pasar keuangan seperti pengaturan hedging utang luar negeri BUMN yang telah dilakukan, diversifikasi portofolio penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), mendorong ekspor serta sektor lain untuk menambah devisa.
  • 34. 34 Apa pun kebijakan yang akan ditempuh baik oleh BI, OJK, LPS maupun pemerintah akan semakin membutuhkan keterpaduan antarlembaga. Di tengah situasi perekonomian dunia yang masih belum dapat dipastikan arahnya setelah kenaikan suku bunga The Fed, para pelaku usaha dan konsumen nasional semakin membutuhkan arah kebijakan nasional yang jelas dan terpadu. Selain faktor ketidakpastian kondisi luar negeri, kita juga akan masih menghadapi sejumlah agenda pembangunan terkait dengan upaya pemerataan pembangunan nasional, memajukan kawasan timur Indonesia, mengefektifkan dana transfer ke daerah dan dana desa, penguatan konsumsi dalam negeri, serta realisasi pembangunan infrastruktur. Soliditas kebijakan antar otoritas semakin diperlukan dan silang pendapat di ruang publik perlu dihindari agar tidak muncul kebingungan serta dapat menurunkan optimisme para pelaku usaha dan konsumen dalam negeri menghadapi tahun 2016. PROF FIRMANZAH PhD Rektor Universitas Paramadina; Guru Besar FEB Universitas Indonesia
  • 35. 35 Pekerjaan & Kerja 16-12-2015 Kerja dan kerja adalah moto atau slogan yang selalu diucapkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam setiap kesempatan berpidato di muka umum. Slogan ini kemudian juga menjadi slogan Ayo Kerja Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-70 pada Agustus lalu. Kendati demikian, tidak semua kerja membawa hal yang positif. Ada kerja-kerja yang justru negatif. Kerja negatif itu antara lain seperti buruh anak, perbudakan, pekerjaan di bawah upah minimum, pekerjaan di lingkungan yang tidak menghargai hak asasi manusia (HAM) dan pekerjaan lain yang tidak memanusiakan manusia. Keterangan tersebut adalah salah satu dari definisi Human Development Index 2015. Laporan ini membedakan antara kata jobs (pekerjaan) dan work (kerja). Kerja memiliki arti yang lebih luas dari pekerjaan. Apabila pekerjaan lebih diukur dalam konteks indikator ekonomi, maka makna kerja mencakup pekerjaan yang tidak dibayar seperti sukarelawan, pekerjaan merawat orang tua lanjut usia, atau pekerjaan di akar rumput. Dengan kata lain, kerja dapat menjadi alat atau sarana untuk mengurangi kesenjangan sosial, menjamin keberlangsungan hidup dan memberdayakan manusia. Oleh sebab itu, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, laporan pada tahun ini memiliki indikator-indikator yang diperbarui sehingga urutan negara dalam laporan terbaru ini tidak bisa dibandingkan dengan laporan sebelumnya kecuali beberapa indikator seperti kelahiran dan pekerjaan. Yang secara implisit menarik dari laporan ini adalah penegasan bahwa investasi dan pertumbuhan ekonomi adalah sarana untuk membangun kualitas manusia yang lebih baik. Pertumbuhan ekonomi tidak boleh hanya sebatas diukur dari banyaknya investasi yang masuk, uang yang berputar atau lapangan pekerjaan yang dibuka. Namun, yang lebih penting apakah pertumbuhan itu telah menciptakan keadaan-keadaan yang dapat mendorong warga untuk lebih terlibat dalam pembangunan, terjamin hak asasinya, tercapai rasa keadilan dan kesetaraannya, memiliki kesehatan yang lebih baik, berpendidikan dan memiliki standar hidup yang layak. Mengacu pada batasan atau kriteria tersebut maka tidak heran apabila Cina sebagai negara dengan ekonomi terkuat di dunia yang GNI per kapitanya sebesar USD12.547 ternyata lebih rendah prestasi pembangunan manusianya daripada Kuba yang hanya memiliki GNI per kapita USD7.301. Salah satu alasannya, angka harapan hidup penduduk di Kuba lebih tinggi daripada penduduk di Cina walaupun di Cina pendapatannya lebih tinggi.
  • 36. 36 Memang tidak berarti bahwa negara dengan pendapatan per kapita yang lebih rendah tetapi memiliki indeks HDI lebih tinggi itu lebih baik. Apabila memperhatikan dengan saksama, negara-negara yang mencapai tingkat HDI paling tinggi adalah juga negara-negara yang memiliki pendapatan per kapita yang tinggi. Negara-negara tersebut hampir memiliki pendapatan per kapita di atas USD20.000. Hal ini berarti bahwa pekerjaan yang dilahirkan dari investasi jutaan dolar harus berkesinambungan dengan pembangunan manusianya. Saat ini tidak dipungkiri bahwa pertumbuhan ekonomi di dunia memang telah menghasilkan perubahan-perubahan yang baik. Pendapatan negara-negara negara berkembang lebih baik pada tahun ini dibandingkan tahun 1990. Masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan tahun ini telah turun sepertiga dibandingkan tahun 1990, yaitu dari 1,9 miliar menjadi 836 juta orang. Angka kematian bayi juga telah turun setengah dari 12,7 juta menjadi 6 juta bayi. Namun demikian, kemajuan itu ternyata juga disertai oleh ketimpangan pembangunan manusianya. Misalnya angka kematian pasca-kelahiran di negara-negara Asia Selatan masih lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara OECD yaitu 183 dan 21 untuk per 100.000 kelahiran. Dari sisi gender, pendapatan perempuan masih 24% lebih rendah dari pendapatan laki-laki untuk jenis pekerjaan yang sama. Untuk mengatasi masalah itu, para ekonom umumnya hanya melihat perlunya modal atau investasi lagi untuk membuka lapangan pekerjaan agar dapat memberikan pendapatan yang lebih banyak kepada masyarakat. Namun, solusi ini telah dijalankan dan terbukti tidak mampu mengatasi ketimpangan tersebut. Faktor lain yang sering kali luput atau dihindari adalah keberpihakan dari negara terhadap kelompok masyarakat yang terpinggirkan tersebut. Negara harus menutupi ketimpangan tersebut dengan kebijakan politik yang melindungi masyarakat yang rentan terhadap pertumbuhan ekonomi itu sendiri, misalnya memberikan upah layak agar para pekerja dapat menabung apabila terdapat ancaman PHK, atau memberikan akses kesehatan yang mudah dan murah bagi kelas menengah agar tidak menjadi jatuh miskin ketika mengalami penyakit kronis seperti jantung atau stroke. Bagaimana dengan Indonesia? Laporan itu menempatkan Indonesia dalam urutan 110 bersama negara-negara lain yang masuk dalam kategori medium human development. HDI membagi pembangunan manusia negara-negara di dunia menjadi empat bagian, Very High Human Development, High Development, Medium Human Development, dan Low Human Development. Negara-negara ASEAN lain yang ada dalam kategori sama dengan Indonesia adalah Filipina (115), Vietnam (116), dan Kamboja (143). Sementara itu Singapura (11) dan Brunei Darussalam (31) termasuk dalam kategori Very High Human Development; lalu Malaysia (62) dan Thailand (93) berada di High Human Development.
  • 37. 37 Pencapaian HDI Indonesia sudah cukup baik apabila dibandingkan dengan rata-rata negara- negara yang masuk dalam kategori Medium HDI. Namun apabila kita bandingkan di tingkat regional Asia-Pasifik, posisi Indonesia masih tertinggal. Di satu sisi, laporan ini dapat kita gunakan sebagai daya dorong untuk lebih memperbaiki kualitas pembangunan di Indonesia. Tujuan, gagasan, dan konsep yang melatarbelakangi laporan ini adalah untuk memperbaiki kualitas pembangunan ekonomi di dunia. Di sisi lain, laporan ini semoga membangkitkan dialog akademik tentang bagaimana indeks penilaian ”sangat tinggi”, ”tinggi”, ”medium”, dan ”rendah” ditentukan. Jika dicermati, sejumlah negara yang dikenal kurang menghargai kebebasan HAM justru berada di klasifikasi sangat tinggi atau tinggi, misalnya sejumlah negara di Timur Tengah atau Eropa Timur. Cukup ganjil jika menjadikan kasus-kasus tersebut sebagai model pembangunan yang patut dirujuk. Selain itu, laporan ini belum memberikan pencerahan tentang caranya mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi sambil memperbaiki kualitas pembangunan karena bagi mayoritas ekonom, kedua hal ini tidak bisa berjalan beriringan. DINNA WISNU, PhD Pengamat Hubungan Internasional; Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy @dinnawisnu
  • 38. 38 Nawacita dan Impor Beras 16-12-2015 Pemerintah akhirnya memutuskan membuka keran impor beras. Kebijakan mengimpor beras sebanyak 1,5 juta ton menjadi bentuk kegagalan kedaulatan pangan. Ketergantungan pangan dari impor menjadi sebuah ironi di tengah kekayaan sumber pangan lokal. Berdasarkan data terkini, impor tujuh pangan utama meningkat pesat dalam lima tahun terakhir, yaitu beras, cabai, daging sapi, gula, jagung, kedelai, dan bawang merah. Yang menjadi pertanyaan setelah setahun politik Nawacita pemerintahan Jokowi-JK, berhasilkah sembilan program prioritas atau Nawacita menjadi penunjuk arah pembangunan nasional, khususnya dalam bidang pangan? Dari sembilan butir Nawacita setidaknya empat butir bersentuhan langsung dengan politik pangan dan swasembada beras. Butir 3: membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa; butir 5: meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia; butir 6: meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit; dan butir 7: mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan ekonomi domestik. Tampak Mengkhawatirkan Niat mewujudkan swasembada beras dan meningkatkan produktivitas pangan sebenarnya sudah tampak mengkhawatirkan dengan rencana pemerintah hendak membuka keran impor beras sebanyak 1,5 juta ton sejak tiga bulan terakhir. Alasannya memperkuat cadangan beras pemerintah. Padahal, Presiden Jokowi pada awal pemerintahannya sangat optimistis target swasembada beras akan tercapai 2 tahun ke depan. Kementerian Pertanian pun diminta menetapkan produksi gabah kering giling (GKG) tahun 2015 sebanyak 75,55 juta ton, atau meningkat 6,64% juta ton dari produksi 2014 sebesar 70,61 juta ton. Meski Bank Indonesia mendukung kebijakan impor beras karena bisa menahan laju inflasi, tidak sedikit yang menentang karena impor merugikan petani lokal dan menambah ketergantungan pada negara-negara lain. Idealnya, kurangi impor dan harga beras terjangkau daya beli. Namun, hal ideal ini tidak mungkin dicapai dalam waktu dekat ini. Karut-marut persoalan produksi beras nasional sangat kompleks. Selain faktor cuaca, alih fungsi lahan dan penyediaan bibit unggul dan subsidi pupuk adalah hal yang terus mengganggu produksi. Implikasinya, kedaulatan pangan sebagai buah program Nawacita di bidang pertanian belum terwujud.
  • 39. 39 Kedaulatan pangan yang disebutkan sebagai hak negara memacu kemandirian untuk menentukan kebijakan pangan sesuai dengan potensi sumber daya lokal kini mulai panen keraguan. Pembangunan pertanian dalam kurun waktu 15 tahun terakhir untuk menciptakan kemandirian pangan yang kuat dan meningkatkan kesejahteraan petani terkesan mengalami kegagalan. Indonesia pun berada di ambang krisis pangan yang membuat bangsa ini menjadi pangsa pasar pangan global yang empuk dan petani lokal makin miskin. Berbeda dengan itu, pemerintah negara maju amat melindungi petaninya. Mereka menyadari persoalan kebutuhan dasar ini tidak boleh bergantung pada negara lain sehingga sektor pertaniannya disubsidi dalam jumlah luar biasa besar untuk meningkatkan produksi pangan dan terjadi surplus produksi. Kelebihan pangan memungkinkan mereka menjual di bawah harga dasar ke negara-negara berkembang. Itulah yang mengganggu pasar. Namun, yang membuat para pengamat ketahanan pangan di negeri ini takjub adalah produksi beras menurut versi pemerintah selalu di atas kebutuhan konsumsi dan surplus. Badan Pusat Statistik (BPS) memprediksikan angka produksi padi pada 2015 akan meningkat 6,64 persen atau sebanyak 75,55 juta ton dibandingkan tahun sebelumnya. Angka ini merupakan yang tertinggi dalam 10 tahun terakhir dengan kenaikan yang mendekati 7,0%. Produksi gabah kering giling 2014 sebanyak 70,85 juta ton atau turun 0,43 juta ton dibanding 2013. Peningkatan produksi 2015 yang signifikan ini seakan-akan mengabaikan sejumlah kendala yang menghambat peningkatan produksi beras. Harga pupuk yang kian mahal, meningkatnya laju konversi lahan pertanian, dan buruknya penyediaan benih unggul sudah pasti bermuara pada produktivitas padi yang kian melandai. Lahan pertanian pangan kian menyempit dengan laju tahunan konversi yang mencapai rata-rata sekitar 100.000 hektare. Tanpa diikuti pencetakan sawah baru di luar Jawa, sulit meningkatkan produksi padi signifikan. Objek Pembangunan Pola konsumsi masyarakat yang masih berpusat pada beras memaksa pemerintah menutup defisit beras dengan membuka keran impor yang justru memukul harga beras produk domestik. Petani yang sudah lama menjadi objek pembangunan kembali mengalami hidup di bawah bayang-bayang kemelaratan. Mereka bahkan semakin terpuruk dalam kesengsaraan karena terus merugi. Harga produk pangan domestik kalah bersaing dengan impor. Belum lagi aksi penyelundupan beras impor yang merajalela. Patut disadari, karakteristik pasar beras global sangat tipis. Volume beras yang diperdagangkan hanya 4% dari total produksi global. Dengan jumlah penduduk besar dan sekitar 60% dari mereka membelanjakan pendapatannya sejumlah 25% untuk beras, sangatlah berbahaya jika Indonesia mengandalkan pasokan beras dari pasar internasional. Lantas, mengapa pemerintah masih berencana mengimpor beras? Impor terjadi akibat gurihnya rente yang dinikmati para importir yang pada gilirannya memukul petani. Pemerintah sepatutnya melarang sementara impor beras untuk mencegah anjloknya harga
  • 40. 40 bahan makanan pokok ini. Apabila kebijakan itu bisa diimplementasikan pada tahun 2015, patut diacungi jempol sebagai pro-petani! Sudah bukan rahasia, urusan logistik beras yang sebagian dipenuhi dengan cara mengimpor menjadi lahan empuk untuk meraup uang (fund rising) bagi pencari rente bergaya mafioso. Indonesia sudah lama masuk perangkap pangan impor karena perilaku semacam ini. Ditambah dengan kesepakatan yang menguntungkan antara importir dan oknum pejabat yang bermain di belakangnya menjadikan ”tradisi impor” seakan-akan legal sebagai pilihan tepat daripada memproduksi beras dari dalam negeri. Terciptalah lingkaran setan penyediaan beras nasional. Impor dihentikan, defisit beras otomatis terjadi. Di sisi lain, jika impor beras dilakukan dapat membunuh hidup dan kehidupan petani kecil, yang pada gilirannya mendorong stagnasi proses produksi perberasan dalam negeri. Namun, jika pemerintah masih mempertahankan kebijakan lama mengimpor beras dalam jumlah besar, efek jangka panjangnya sama dengan menyimpan bom waktu. Pemerintah harus mengakhiri politik beras murah untuk mengatasi kemiskinan dengan mengatur-atur tata niaganya. Jenis politik yang satu ini sesungguhnya menekan petani secara tidak adil. Meski para pemimpin silih berganti yang menjanjikan pembangunan pertanian dengan berbagai istilah dan program, masalah defisit dan impor beras tidak ada akhirnya. Presiden Jokowi yang melontarkan gagasan kedaulatan pangan sebagai buah Nawacita, misalnya, sampai sekarang belum terlihat jelas arahnya. Pemerintah patut belajar dari negara-negara maju seperti Korea Selatan dan Jepang yang menyubsidi petaninya secara besar-besaran guna mendorong pembangunan pertanian berkelanjutan. Sudah saatnya memperluas diversifikasi produk pangan Nusantara berbasis non-beras untuk mengawal penguatan kedaulatan pangan guna memutus mata rantai impor sekaligus mengatrol kesejahteraan petani lokal. POSMAN SIBUEA Guru Besar Ilmu Pangan di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Sumatera Utara
  • 41. 41 Tantangan Peternak Rakyat Menghadapi MEA 17-12-2015 Terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah tinggal menghitung hari, tepatnya 31 Desember 2015. Terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) bertujuan untuk mengintegrasikan perekonomian Asia Tenggara yang beragam, dengan potensi pasar 630 juta orang dan produk domestik bruto gabungan USD2,4 triliun dan nilai perdagangan ASEAN yang mencapai USD1,5 triliun per tahun. Terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) terdiri atas empat pilar yakni menciptakan pasar tunggal dan basis produksi, meningkatkan daya saing, meningkatkan pembangunan ekonomi yang adil, dan lebih mengintegrasikan ASEAN ke dalam ekonomi global. Untuk mensinergikan pasar di kawasan ini dan hub produksi ini akan memerlukan aliran bebas barang, jasa, investasi, modal, dan tenaga kerja terampil. Lebih dari 70% dari produk yang dibuat di ASEAN tidak akan dikenakan tarif, alias nol tarif. Ini membuat pergerakan bebas barang dan jasa yang diperkirakan dapat menurunkan harga bahan baku dan biaya produksi mencapai 10-20%. Dalam menghadapi terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) ada banyak hal yang harus dikerjakan untuk mempersiapkan diri menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN ini. Termasuk di dalamnya adalah akankah kerangka kerja sama regional itu menggusur industri perunggasan ayam nasional, khususnya industri perunggasan rakyat? *** Harus kita akui ancaman terbesar sektor perunggasan datang dari sektor unggas Malaysia yang tumbuh sangat pesat dan mampu mencapai skala ekonomi. Usaha budi daya ternak dijalankan dengan prinsip efisiensi tinggi. Selain itu, kaidah halal baik pada produk segar dan olahan menjadi syarat menjalankan usaha peternakan unggas. Selain itu, pesatnya produksi unggas ayam Malaysia itu didukung oleh tingkat konsumsi masyarakatnya. Untuk daging dan telur, konsumsinya masing-masing mencapai 36 kilogram (kg) dan 19,44 kg /kapita/tahun atau lebih dari 350 butir. Indonesia saat ini sudah swasembada daging unggas dengan kontribusi daging unggas mencapai 67% dari produksi daging nasional. Namun, konsumsi nasional akan daging ayam saat ini sebesar 8 kg per kapita per hari.
  • 42. 42 Sementara produksi daging ayam dapat mencukupi hingga 15 kg per kapita per tahun. Bandingkan dengan konsumsi ayam di negara ASEAN bisa mencapai 12 kg per kapita per tahun hingga 15 per kapita per tahun. Produksi day old chick (DOC) dalam negeri mencapai 50 juta ekor per minggu. Sementara konsumsi nasional mencapai 41 juta ekspor per minggu. Begitu juga dengan produksi telur ayam yang konsumsinya per tahun baru mencapai 80 butir per kapita sampai 90 butir setahun. Padahal, idealnya, konsumsi telur ayam setahun mencapai 1 juta butir per kapita hingga 2 juta. Produksi telur ayam mencapai 2,4 juta butir per tahun. Ada beberapa faktor mengapa perunggasan Malaysia lebih efisien dari Indonesia. Pertama, ongkos distribusi yang dikeluarkan peternak tiga hingga lima kali lebih mahal. Biaya logistik pelabuhan kita lebih mahal se-ASEAN. Kedua, bunga kredit yang diberikan hanya 2-3%, bandingkan peternak yang menjadi debitur harus dikenakan bunga hingga 14-16%. Selain itu, peternak rakyat juga menghadapi kendala persaingan dalam negeri dengan peternak besar. Hal ini terjadi karena perusahaan besar yang selama ini main di sektor hulu ikut ramai-ramai masuk ke budi daya. Mereka masuk sebagai peternak terintegrasi dan dengan modal besar mereka mampu menjual berapa pun harga jual unggas. Peternak besar terintegrasi, selain memiliki usaha di hilir dalam bentuk budi daya unggas, juga memproduksi DOC dan pakan. Sementara peternak mandiri dan kemitraan mengambil bibit dan pakan dari mereka. Akibatnya, peternak unggas mandiri dan kemitraan ini kalah efisien dengan peternak terintegrasi. Artinya, persaingan harga seringkali memukul peternak rakyat atau peternak mandiri karena tidak mampu bersaing dengan peternak besar. Masalah harga jual unggas yang tidak sebanding dengan biaya pokok produksi per kg ayam pedaging. Biaya pokok produksi paling banyak dipengaruhi oleh kenaikan harga pakan dan ayam usia sehari (day old chick/DOC). Selain itu, masalah harga pakan juga bisa menekan peternak rakyat. *** Petani unggas perlu perlindungan karena pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi juga sangat signifikan. Dari sisi ekonomi, perunggasan telah menyerap 2,5 juta tenaga kerja langsung dengan total omzet berkisar Rp120 triliun per tahun. Di samping itu juga memberikan kontribusi terhadap lapangan kerja di pedesaan karena dengan ada usaha peternakan unggas dapat menghambat laju urbanisasi ke kota. Di samping itu, perunggasan juga merupakan faktor penggerak industri terkait lainnya di bidang pertanian antara lain usaha budi daya jagung, usaha dedak padi, dan sebagainya. Hal ini membuktikan perlu dilakukannya upaya pengawasan dan perlindungan terhadap komoditas unggas yang dilakukan oleh rakyat atau petani kecil.
  • 43. 43 Untuk mengatasi masalah petani unggas ini, salah satu bagian yang perlu memperoleh perhatian memadai adalah: Pertama, rata-rata peternak unggas di Indonesia adalah peternak dengan skala kecil yakni beternak tidak lebih dari 5.000 ekor unggas per peternak. Dengan kondisi tersebut, sesungguhnya masih kurang ekonomis karena tingkat keuntungan yang diraih hanya cukup memutar usaha dan biaya hidup. Dukungan pembiayaan dari pemerintah atau perbankan untuk petani unggas juga kecil. Petani unggas juga tidak mampu menyerap tingkat kredit perbankan kita yang masih tinggi sekitar 13%. Hal ini menyebabkan petani unggas tidak mampu berkembang dalam skala yang lebih ekonomis. Kondisi berbeda bisa dilihat dari peternak negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia yang memiliki rata-rata sepuluh kali lipat dari petani unggas kita yaitu mencapai sekitar 50.000 ekor unggas per peternak. Permasalahannya adalah peternak unggas kita jumlahnya banyak, namun dengan skala usaha yang tidak terlalu besar sehingga total jumlah unggas yang diternakkan tetap besar. Kedua, ancaman lain yang perlu disoroti adalah lemahnya fasilitas dalam penjagaan kualitas unggas, fasilitas yang kurang baik dari awal pemeliharaan, penjagaan kesehatan dan kualitas, hingga fasilitas penyembelihan unggas masih sederhana dan belum menjadi fokus peternak unggas. Dengan begitu, menyebabkan rentan munculnya penyakit dan gangguan kesehatan bagi ternaknya. Ketiga, bahan baku pakan unggas masih bergantung 70% berasal dari luar negeri. Artinya, secara tidak langsung komoditas unggas nasional juga masih dipengaruhi oleh pasar luar negeri. Industri unggas nasional masih sangat tergantung dengan industri lainnya terutama pertanian. Pasalnya, pembuatan pakan ternak unggas, terutama jagung, sangat tergantung dengan ketersediaan pasokan impor dan bukan dari petani dalam negeri. Keempat, daya dukung pasar terutama dalam negeri yang menjadi penentu berjalannya komoditas unggas ini. Negara tetangga kita seperti Malaysia konsumsi daging unggas sudah tinggi. Permintaan yang rendah perlu untuk diubah agar permintaan dan kebutuhan masyarakat meningkat. Masalahnya, jika peternak kita kalah bersaing dengan peternak luar negeri seperti Malaysia dan Thailand, potensi peningkatan konsumsi masa mendatang itu justru dimanfaatkan oleh petani unggas negara lain yang lebih bersaing. Pemerintah perlu turun tangan menyelamatkan nasib peternak rakyat dalam menghadapi MEA. Pada satu sisi untuk meningkatkan kesejahteraan petani, pada sisi lain upaya menyediakan daging ayam/unggas sebagai sumber protein yang disediakan melalui produksi dalam negeri. AUNUR ROFIQ Praktisi Bisnis/Dewan Pembina Himpunan Alumni IPB
  • 44. 44 Inovasi dan Sistem Pembayaran Perbankan 17-12-2015 Masyarakat bersama ASEAN akan menentukan negara mana yang akan menjadi lokomotif dari inovasi sistem pembayaran di ASEAN. Inovasi dalam sistem pembayaran nasional hanya akan berjalan jika inovasi dalam industri manufaktur dapat berjalan baik. Jika tidak bisa mengembangkan sistem pembayaran yang inovatif, industri manufakturnya tertinggal. Selain faktor di atas, ada juga masalah yang terkait informasi teknologi dan dukungan jasa yang menghubungkan antara infrastruktur research and development (R&D) publik dan perusahaan manufaktur yang sangat lemah. Hal ini tercermin dalam kenyataan bahwa manajer beberapa perusahaan telah menyatakan ketidakpuasan mereka, terutama dengan para peneliti yang dalam pandangan mereka memiliki sedikit pemahaman tentang kebutuhan teknologi dari perusahaan yang seharusnya mereka sarankan dan sering bahkan tidak menyadari perkembangan teknologi terbaru di bidang keahlian mereka. Selain itu, banyak perusahaan yang tidak menyadari kemampuan R&D dari lembaga ilmu pengetahuan dan teknologi negara atau skeptis terhadap relevansi kegiatan mereka untuk kebutuhan teknologi mereka sendiri yang spesifik. Bahkan terdapat argumentasi yang diutarakan bahwa baik pemerintah maupun sektor swasta tidak memiliki kepentingan dalam mempromosikan penelitian dan pengembangan, terutama untuk teknologi menengah dan tinggi. Akibatnya, perkembangan teknologi industri di Indonesia jauh di belakang dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Hal ini tercermin dalam sejumlah besar industri yang masih terlibat dalam berteknologi rendah, tradisional, kegiatan manufaktur skala kecil dengan dan rendahnya tingkat produktivitas. Hal ini juga menunjukkan bahwa kualitas tenaga kerja memengaruhi kinerja produktivitas perekonomian Indonesia. *** Kurangnya pembangunan infrastruktur merupakan faktor penting yang menentukan pertumbuhan produktivitas. Ada banyak keluhan tentang infrastruktur, khususnya yang berkaitan dengan kesulitan yang dialami di bidang komunikasi dan sistem transportasi dan ketersediaan listrik dan air. Pasokan listrik mungkin adalah masalah yang paling jelas karena perusahaan melaporkan kerugian pendapatan produksi hingga 4% karena masalah pasokan listrik.
  • 45. 45 Di Indonesia rasio sambungan telepon tetap dan seluler dalam hal ukuran populasi juga masih sangat kecil dibandingkan dengan di sebagian besar Asia Tenggara. Standar infrastruktur di Indonesia, dalam segala hal, di bawah negara ASEAN lainnya (terutama Thailand, Malaysia, dan Filipina). Infrastruktur memiliki proporsi yang lebih rendah atas jalan beraspal, kurang kapasitas generator listrik dan saluran telepon utama yang lebih sedikit per 1.000 penduduk. Hal ini sangat membatasi kemampuan Indonesia untuk mencapai distribusi geografis yang baik dari kegiatan ekonomi dan industrialisasi serta menuai keuntungan dari teknologi informasi. Situasi ini bahkan lebih serius jika kita juga menggarisbawahi rendahnya kualitas infrastruktur yang ada. Prioritas karenanya harus diberikan pada investasi infrastruktur baik untuk kebutuhan pertumbuhan masa depan karena potensi infrastruktur yang baik untuk penciptaan lapangan kerja dan peningkatan aktivitas ekspor. Penekanan harus ditempatkan pada jembatan dan jalan, terutama di daerah pedesaan, dan pada jaringan komunikasi untuk pertumbuhan ekonomi berbasis luas. *** Akhirnya, faktor spesifik negara dan iklim investasi memainkan peran penting dalam menentukan produktivitas kinerja. Berdasarkan sejarah, faktor spesifik negara termasuk warisan alam, khususnya minyak bumi, telah menjadi penentu utama untuk pertumbuhan yang cepat sebelum 1982. Namun, sebagian besar ekspor Indonesia terdiri atas produk yang berasal dari sumber daya alam (misalnya minyak) dan ini telah menghambat industrialisasi karena menciptakan masalah penyakit Belanda. Hal ini menunjukkan bahwa faktor-faktor spesifik negara dalam bentuk sumber daya minyak bumi misalnya diperlukan, tetapi tidak cukup untuk menentukan pertumbuhan produktivitas. Jelas bahwa keunggulan komparatif sumber daya alam harus disertai dengan kebijakan yang tepat yang mengatur penggunaan aktual dari sumber daya. Demikian pula, masih banyak masalah yang berkaitan dengan iklim investasi, termasuk prosedur birokrasi yang panjang dan membingungkan, tumpang tindih kebijakan pembangunan pusat dan daerah atas investasi dan antarsektor, serta variasi besar dalam program investasi daerah. Untuk mengembangkan sistem pembayaran yang inovatif, diperlukan langkah proaktif. Karena itu, ada kebutuhan untuk memeriksa kembali kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan, pelatihan, dan pengembangan teknologi, juga menangani bidang investasi langsung asing sebagai kendaraan untuk transfer teknologi. Hal yang paling penting adalah membangun keseimbangan antara kegiatan berbasis sumber daya alam, produksi massal padat karya, dan teknologi dengan nilai tambah tinggi dan intensif, diferensiasi operasi manufaktur, mengingat fakta bahwa produksi manufaktur telah
  • 46. 46 sangat terkonsentrasi, sangat bergantung pada bahan baku impor dan kurang keterkaitan ke belakang. Harus ada link antara sistem pembayaran perbankan yang inovatif dan kemajuan industri manufaktur yang juga inovatif. ACHMAD DENI DARURI President Director Center for Banking Crisis
  • 47. 47 Kontroversi Penghentian GoJek 19-12-2015 Lebih kurang awal Desember, tulisan Jahen F Rezki (KORAN SINDO, 2/12) mencontohkan bahwa bisnis yang mulai tumbuh atau start-up perlu didorong untuk lebih tumbuh lagi. Bisnis start-up seperti GoJek yang dikelola kelompok anak muda dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi (TI) telah dapat setidaknya mengatasi masalah kehidupan perkotaan. Bisnis ini mampu menyediakan jasa angkutan barang dan jasa dan pekerjanya dapat mengurangi tekanan pengangguran anak muda perkotaan. Go- Jek dan juga ojek online lainnya telah membuka lapangan kerja pada sektor transportasi sekaligus penyediaan alternatif pengangkutan barang dan orang yang sulit ketika sektor transportasi umum belum tersedia dengan mudah. Lalu, apa salah dan dosa mereka sehingga usahanya dihentikan melalui surat dari Menteri Perhubungan ke Kapolri pada Kamis (17/12) yang meminta penertiban bisnis tersebut? Pelarangan beroperasinya GoJek berpotensi menciptakan PHK massal tanpa ampun pada sektor yang baru tumbuh ini. Padahal sektor transportasi massal dan murah di perkotaan, sekelas Jakarta dan sekitarnya, belum teratasi secara signifikan. Selesaikanlah dulu kesemrawutan angkutan kota, ketika sistemnya sudah terbangun lebih baik, berangsur-angsur kebijakan untuk membatasi sektor informal menjadi semakin rasional. Menghentikan bisnis GoJek secara massal, hanya gara-gara ketentuan yang tidak mendukung, memang menuai kontroversi. Program Jokowi-JK untuk pro terhadap kerja dengan slogan “kerja, kerja dan kerja” mesti diartikan pada semakin banyaknya kehidupan yang bisa dibuat akibat alokasi jam kerja yang bisa ditambah, baik skala individu, rumah tangga maupun perusahaan. Pemahaman lintas sektoral dan instansi mesti benar dalam menerjemahkan dan mendukung alur pikirnya. Untunglah akhirnya keesokan hari setelah surat edaran tersebut keluar, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan menggelar konferensi pers bahwa ojek online tidak dilarang. Presiden Jokowi pun men-twit melalui akun resminya dengan menyatakan, “Ojek dibutuhkan rakyat, jangan karena aturan rakyat jadi susah, harusnya ditata.” Program Jokowi- JK tentang ketenagakerjaan dengan slogan “kerja, kerja, dan kerja” adalah benar ketika penawaran angkatan kerja lebih besar dari laju pertumbuhan permintaan tenaga kerja. Kelesuan ekonomi dunia yang diikuti penurunan ekonomi domestik dengan kasatmata telah membuat jumlah pencari kerja muda membengkak. Baik mereka pencari kerja aktif, yakni mereka yang menganggur, maupun pekerja pasif idleness adalah beban sosial yang