Aurat wanita dalam shalat hanya terbuka wajahnya saja, sedangkan untuk pandangan umum auratnya meliputi seluruh tubuh kecuali wajah. Wajah dianggap sebagai penggerak syahwat sehingga harus ditutupi di luar kegiatan shalat.
1. Perbedaan Antara Aurat Dalam Shalat Dengan Aurat Dalam Pandangan
http://www.almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=131&bagian=0
Perbedaan Antara Aurat Dalam Shalat Dengan Aurat Dalam ...
Kategori :
Wanita : Muslimah
Tanggal : Kamis, 5 Februari 2004 11:28:37 WIB
PERBEDAAN ANTARA AURAT DALAM SHALAT DENGAN AURAT DALAM PANDANGAN
Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya : Apakah bedanya aurat dalam shalat dengan aurat dalam pandangan
.?
Jawaban
Seorang wanita merdeka yang telah baligh adalah aurat dalam shalat kecuali wajahnya, bahkan disyari'atkan
bagi seorang wanita untuk melakukan shalat dengan wajah terbuka, seandainya wanita shalat dengan wajah
tertutup maka shalatnya adalah sah, akan tetapi dengan menutup wajahnya itu ia telah meninggalkan sesuatu
yang utama jika shalat ini dilakukan seorang diri dan tanpa keberadaan pria asing. Jadi perbedaan antara aurat
wanita dalam shalat dengan auratnya dalam pandangan adalah, bahwa aurat wanita dalam shalat adalah selain
wajah, sedangkan pada selain shalat maka wajah merupakan bagian daripada aurat. Karena membukakan
wajah adalah haram, membukakan wajah diharamkan dalam thawaf, shalat dan lain-lain. Membukakan wajah
diharamkan karena dapat menimbulkan fitnah (keburukan) dan termasuk bagian keindahan-keindahan yang
menggerakkan syahwat, karena di antara penggerak timbulnya syahwat adalah wajah. Walaupun memandang
ke bagian tempat bersetubuh merupakan penggerak timbulnya syahwat, akan tetapi perlu diingat bahwa wajah
wanita memiliki daya tarik tersendiri dalam menimbulkan syahwat. Kesimpulannya adalah bahwa mereka
yang membolehkan membuka wajah pada hakekatnya mereka telah tertipu dengan membuka pintu
sebesar-besarnya untuk membukakan wajah, walaupun pendapat ini telah dikemukakan oleg para imam, tapi
itu berupa ijtihad, semoga mereka mendapatkan pahal dari ijtihad yang mereka lakukan dan juga mereka dapat
dimaafkan atas kesalahan mereka dalam ijtihad itu, akan tetapi yang benar adalah mengikuti kebenaran dari
siapapun dan bagaimanapun.
[Fatawa wa Rasa'il ASy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 2/153]
[Disalin dari bukuAl-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita
penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq hal. 120-12, penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]
Halaman 1/1