SlideShare a Scribd company logo
1 of 13
Download to read offline
Perjalanan Mencari Rumah
Oleh:
Fahri Salam
www.pindai.org | t: @pindaimedia | f: facebook.com/pindai.org | e: redaksi@pindai.org
PINDAI.ORG – Perjalanan Mencari Rumah /26 Agustus 2015
	
  
H a l a m a n 	
  2	
  |	
  13	
  
	
  	
  
Perjalanan Mencari Rumah
oleh Fahri Salam
Buku-buku yang menemani pemiliknya dan dibiarkan terbuka.
KETIKA George Junus Aditjondro sakit parah dalam usia 66 tahun, yang menyebabkan dia koma dan
menjalani pemulihan sampai sekarang, kolega terdekatnya saat itu beserta anaknya, Enrico Aditjondro,
mulai mempertimbangkan buku-buku koleksi Aditjondro.
Ria Panhar, yang memanggil Aditjondro “Papa”, menghubungi Perpustakaan Gelaran Iboekoe, bertempat
di Patehan, dekat Alun-Alun Selatan Yogyakarta. Panhar memberitahu Muhidin M. Dahlan, salah satu
pendiri Iboekoe, yang lantas melimpahkan urusan-urusan teknis kepada Faiz Ahsoul, kawan lama
Muhidin serta pegiat Iboekoe.
Faiz, salah satu dari puluhan anak muda yang ikut dalam arus pasang dunia perbukuan di Yogyakarta
tahun 2000-an (ia tampil sebagai model sampul buku Muhidin, Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta),
segera mengurusi tawaran dari mereka yang disebut Faiz “pihak keluarga Pak George”. Obrolan pertama
mereka dimulai di Rumah Sakit Bethesda, tempat Aditjondro terbaring sakit di ruang perawatan intensif.
Obrolan serius berlanjut di “rumah buku”—begitu sebagian sejawat menyebut sebuah rumah sewa yang
dipakai Aditjondro untuk menyimpan semua koleksi bukunya.
“Rumah buku” ini bertempat di Deresan, sengaja dipilih yang berdekatan dengan rumah pondokan yang
ditempati Aditjondro bersama istrinya sekarang Erna Tenge. Aditjondro bermukim di Yogya seiring
diminta menjadi dosen tamu di Sanata Dharma pada 2005. Dia mengajar studi marxisme, metode
penelitian, dan gerakan sosial baru untuk program magister Ilmu Religi dan Budaya. Hubungan mesra
ini—bila bisa disebut demikian—antara Aditjondro dan Yogyakarta maupun kampus akan mengalami
situasi tegang pada pengujung 2011. Menyosong tahun 2012 adalah awal periode tersulit, meski bukan
satu-satunya, terutama bagi kesehatan Aditjondro.
Woro Wahyuningtyas, yang bergiat dalam pekerjaan-pekerjaan sosial dan sudah menganggap Aditjondro
sebagai keluarga, membantu menata semua buku Aditjondro. Tyas, sapaan akrabnya, menyebut “tahun
2005 adalah tahun yang menjadi awal perjalanan buku-buku GJA”—akronim untuk nama panjang
Aditjondro yang kerap jadi sapaan lazim untuknya.
Menurut Tyas, kini pindah ke Jakarta dan membagi ceritanya kepada saya lewat surat elektronik, sebagian
buku Aditjondro semula ada di Semarang, kota yang juga tempat saudara keluarga Aditjondro tinggal.
Tyas membawa buku-buku beserta lemari dan rak dari Semarang ke Yogya. Hunian pertama buku-buku
ini, untuk disusun ulang, berlabuh di Mrican, dekat kampus pascasarjana Sanata Dharma, di sebuah
“rumah kosong milik kolega GJA”. Bersama Lian Gogali, perempuan asal Poso dan kini terlibat dalam
gerakan perdamaian Poso lewat Institut Mosintuwu yang dia dirikan, Tyas diminta oleh Aditjondro
“untuk bisa menyusun buku-buku”.
Namun, pendataan dan klasifikasi tematik buku tidak berjalan dengan cepat karena kesibukan mereka
berdua. Betapapun semua buku termasuk koleksi kaset dan kliping bisa disimpan dalam lemari kaca.
PINDAI.ORG – Perjalanan Mencari Rumah /26 Agustus 2015
	
  
H a l a m a n 	
  3	
  |	
  13	
  
	
  	
  
Koleksi buku Aditjondro ini masih belum bisa diakses leluasa, hanya sesekali mahasiswa Aditjondro
datang dan meminjam buku untuk disalin, atas sepengetahuan Aditjondro, demikian Tyas.
Ketika rumah kolega itu hendak dipakai pemiliknya, buku-buku Aditjondro kembali dipindah ke rumah
sewa di Deresan itu. Sebutan “rumah buku” adalah usulan Aditjondro sendiri.
“Proses perpindahan ini melibatkan banyak kawan, baik mahasiswa GJA maupun kawan aktivis yang
lain. Tahun pertama, saya hanya bisa membantu menyusun, memasukkan ke dalam rak, juga lemari
buku,” tulis Tyas.
Sejak ikut dalam proses perpindahan buku-buku ini, Lian Gogali mulai terpikir untuk menerbitkan
sejumlah tulisan lepas gurunya, terutama yang berfokus pada isu korupsi. Gogali mengenal Aditjondro
saat dia masih menjadi mahasiswi teologi di Universitas Kristen Duta Wacana sewaktu Aditjondro masih
sering menginap di kantor CD Bethesda, salah satu unit mandiri dan lembaga nirlaba dari Rumah Sakit
Bethesda yang melayani kebutuhan kesehatan masyarakat dalam situasi darurat dan bencana. Kelak,
tempat ini akan jadi lokasi perpisahan Aditjondro sebelum meninggalkan Yogyakarta untuk menetap di
Palu pada September 2014.
Gogali bertemu Aditjondro kali pertama dalam satu pertemuan pelajar dan mahasiswa Poso sekitar tahun
2000-an, ketika Aditjondro membagi pengetahuan tentang kepentingan ekonomi-politik yang membakar
konflik Poso sejak 1998, satu eskalasi kekerasan komunal pasca-Soeharto (menurut Human Right Watch,
konflik Poso 1998-2001 menewaskan 500–1.000 jiwa). Gogali menyebut “buku-buku bapak di CD
Bethesda banyak yang belum dibuka karena baru dikirim dari Australia”. Sejak pertemuan itu, Gogali
mulai menjadi asisten Aditjondro, termasuk untuk mengurus keperluan administrasi, kesehatan, sampai
urusan undangan seminar.
Dia kemudian membongkar buku-buku dalam kardus itu dan “menemukan banyak sekali cuplikan tulisan
bapak di luar negeri tentang korupsi”. Tak hanya dalam bahasa Inggris, tapi juga bahasa Belanda, Jepang,
dan Jerman.
Menurut Aditjondro, usulan Gogali spontan terlontar pada akhir 2003 dengan motivasi agar orang
Indonesia bisa mengetahui “luasnya wilayah penyebaran kekayaan keluarga Soeharto di mancanegara
yang memiskinkan rakyat Indonesia” dan “supaya rakyat Indonesia tidak lupa”.
Aditjondro menjawab, “Siapa yang mau membantu? Siapa yang mau menyunting?”
Gogali lalu menghubungi penerbit LKiS Yogyakarta, sebuah lembaga yang mengusung pemikiran Islam
inklusif dan toleran yang menerbitkan banyak buku kritis, didirikan oleh sekelompok anak muda lulusan
pesantren pada 1992. LKiS rupanya setuju dan bersedia membiayai proses penerjemahan artikel-artikel
itu. Menghadapi “sifat perfeksionis George”— istilah penerbit itu—dan menyatupadankan nuansa
terjemahan dari bahasa asing yang bisa senapas dengan gaya penyampaian Aditjondro dalam bahasa
Indonesia, membuat penyuntingan buku itu baru selesai 1,5 tahun kemudian.
Gogali menulis dalam surat elektroniknya kepada saya, “Sulit cari editor yang mau melihat tulisan
bapak”. Akhirnya, diimbuhi canda, dia yang menjadi “editor amatiran”.
Pada Mei 2006 buku itu terbit dengan judul Korupsi Kepresidenan—Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga:
Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa. Tesis buku ini, dengan memakai istilah “reproduksi”, merujuk pada
melanggengnya korupsi di lingkaran istana (keluarga presiden dan kroni-kroninya) selepas Soeharto
lengser, yang tiada bedanya atau melanjutkan era Soeharto. Korupsi ini ditopang tangsi (militer) dan
PINDAI.ORG – Perjalanan Mencari Rumah /26 Agustus 2015
	
  
H a l a m a n 	
  4	
  |	
  13	
  
	
  	
  
partai penguasa (dari Golkar sampai partai pengusung presiden selanjutnya). Aditjondro menulis dua bab
tambahan: periode korupsi Presiden Megawati dan periode pertama Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono. Buku ini terbit, dalam istilah Aditjondro, sebagai “pertanggungjawaban” dirinya selama
hijrah dari “bumi Pertiwi” sejak Februari 1995–Oktober 2002 ke Australia, dan “merangkum pelbagai
tulisan tentang harta jarahan Soeharto bersama kerabat dan kroni-kroninya di belasan negara di dunia”.
Akan selalu melekat sebagai ciri khas penggalian data atau metodologi Aditjondro untuk menggabungkan
antara agensi dan struktur dengan pendekatan analisis ekonomi-politik di hampir semua kasus yang dia
teliti. Dia menyebut jejaring korupsi ini sebagai “cabal”—istilah dari sosiolog radikal Amerika Serikat,
William Chambliss, untuk mengidentifikasi bahwa jejaring ini meliputi birokat, politisi, pengusaha,
aparat hukum, serta lembaga yang memberikan legitimasi “ilmiah”. Teorinya ini dia elaborasi dalam
sebuah buku saku yang terbit tahun 2002—satu kajian sosiologi korupsi yang dia ajarkan saat menjadi
dosen di Universitas Newcastle, New South Wales, Australia.
Gogali ingin membuat “perpustakaan George Aditjondro” dan akhirnya terkabul juga, meski tidak seideal
yang dia impikan, ketika proses perpindahan kedua itu ke “rumah buku”.
Seiring meneruskan kuliah pascasarjana di Sanata Dharma dan menjadi murid Aditjondro, Gogali
menyebut “sangat sulit” untuk mengategorikan koleksi buku Aditjondro. Selain karena belum ada yang
berminat untuk bantu bikin rak buku, juga “buku-buku bapak banyak sekali dan langka-langka”. Dia tahu
langka dengan merujuk kategori buku yang dilihatnya dalam daftar di perpustakaan Sanata Dharma.
Sembari belajar mengklasifikasikan buku sambil-lalu lewat perpustakaan kampus, dia bantu menyusun
buku-buku itu seraya mendiskusikannya dengan Aditjondro.
“Sewaktu rumah kontrakan itu menjadi perpustakaan mini buku-buku Bapak, kami punya ide untuk
menjadikan itu tempat berdiskusi mahasiswa-mahasiswa di Yogya tentang isu-isu konflik, sumberdaya
alam, korupsi, dan gerakan sosial. Sayangnya, mungkin karena di lorong kecil, dan saya tidak paham soal
mengampanyekan perpustakaan mini, jadinya hanya beberapa orang saja yang berkunjung,” kata Gogali.
Lulus dari studinya di Ilmu Religi dan Budaya di Sanata Dharma, Gogali kembali ke Poso. Dia masih
terus menjalin kontak dengan Aditjondro untuk mengobrolkan “buku-buku (di) perpustakaan itu” melalui
telepon. Mereka makin dekat terlebih sesudah Aditjondro pindah ke Palu, Ibu Kota Sulawesi Tengah
tempat Aditjondro bergiat di Yayasan Tanah Merdeka sepulang dari Australia. Di yayasan itu dia bekerja
bersama Arianto Sangaji, kolega sehaluan pemikiran dan salah satu sahabat baiknya, dan kedua anak
Sangaji memanggilnya “Om Aditjondro”.
Woro Wahyuningtyas, dalam bagian ini, mulai mengambil peran setelah setengah tahun pertama tinggal
di rumah buku itu.
“Di sana, interaksi saya dengan beberapa buku GJA lumayan banyak. Beberapa kawan dekat sering hadir
untuk bisa membaca, bahkan meminjam untuk di-copy. Pencatatan memang belum seperti perpustakaan,
hanya dilakukan saat saya berada di rumah dan juga hanya sangat terbatas untuk kawan dekat, dan
tentunya orang-orang yang direkomendasikan oleh GJA,” tulis Tyas.
Namun ada perasaan tawar. Ruang-ruang tempat buku disimpan itu rupanya terpapar rayap, dan risiko ini
mudah terjadi mengingat bahan kayu dari rak buku bukan dari kayu yang bagus—kekhawatiran yang bisa
dimaklumi dari Gogali saat dia mengeluhkan tiada yang bikin rak saat penyusunan perdana (suami Ria
Panhar, yang menjalankan usaha mebel, berkata kepada saya soal rendahnya kualitas rak buku milik
Aditjondro). Tyas menulis, “rayap sudah merajalela memakan beberapa buku penting.”
PINDAI.ORG – Perjalanan Mencari Rumah /26 Agustus 2015
	
  
H a l a m a n 	
  5	
  |	
  13	
  
	
  	
  
Aditjondro mengatakan, masih dengan gaya humorisnya kendati dia juga temperamental, bahwa rayap-
rayap ini tidak suka pada gerakan Kiri.
Kebanyakan buku yang termakan rayap itu adalah literatur Kiri. Faiz Ahsoul, dalam kesempatan
wawancara kepada saya, menambahkan bahwa selain koleksi buku pemikiran marxian, sebagian koleksi
militer terpapras juga. Menurut Tyas, “segala upaya dilakukan untuk menyelamatkan buku-buku ini,
sampai harus kami bakar dan musnahkan.”
Untuk buku yang masih selamat, akhirnya Tyas dan Aditjondro memutuskan untuk melakukan
fumigasi—sebuah metode pengasapan yang biayanya terhitung “sangat mahal bagi kami” (Tyas tak
menyebutkan angkanya). Fumigasi juga dilakukan untuk lemari, rak buku serta ruangan tempat buku
disimpan. Itu dilakukan selama dua minggu dan tak ada orang yang diizinkan untuk memasuki “rumah
buku” mengingat bahan-bahan kimia ini sensitif bagi manusia. Fungsi fumigasi adalah untuk membunuh
telur dan larva serangga, biasanya jenis silverfish dan tentu kutubuku, yang menyerang buku karena
mengandung selulosa selain pula didukung temperatur udara yang lembab, habitat yang cocok bagi
berkembangbiaknya rayap.
Sesudah insiden dirayapi serangga ini, koleksi buku bisa aman. Tetapi Tyas, karena pekerjaannya, harus
meninggalkan Yogya menuju Wamena, sebuah kabupaten di pegunungan tengah Papua.
“Ada sedih karena selain jauh dari GJA dan Tante Erna, aku akan banyak kehilangan momen untuk
membaca koleksi (buku) GJA. Hampir dua tahun aku tidak bersentuhan dengan buku-buku GJA karena
harus merawat bayi perempuanku,” tulis Tyas.
KUS SRI ANTORO, relawan Forum Komunikasi Masyarakat Agraris, termasuk salah satu—mungkin
dari ratusan anak muda—dalam lingkaran aktivisme yang bersentuhan dengan George Junus Aditjondro.
Dia termasuk yang sering datang ke “rumah buku” dan menerangkan di rumah itu “ada lemari-lemari
berisi buku, kasur, dan meja tempat mengetik GJA”.
Kus sering menginap di rumah tersebut. Kadangpula jadi tempat kumpul sejumlah kolega dalam aktivitas
gerakan sosial. Kus dan sejumlah anak muda lain yang biasa mampir ke “rumah buku” juga
membersihkan rumah itu. Bagi yang meminjam buku koleksi Aditjondro, biasanya akan minta izin, dan
mencatat. Tetapi Kus sendiri tidak tahu jumlah buku yang keluar dan belum dikembalikan karena
pendataannya belum rapi saat itu. Dia termasuk yang terlibat dalam pendataan buku saat usulan pihak
keluarga Aditjondro mulai terang agar koleksinya “dititip-kelola” di perpustakaan Iboekoe.
Ini masa ketika Aditjondro kritis. Orang mungkin tidak mengira bahwa Aditjondro bisa pulih dari masa
rentan itu sejak dia masuk rumah sakit pada medio 2012. Dalam kondisi koma, tersadar, dirawat intensif,
Aditjondro bisa bertahan. Kendati kemudian, akibat terus berbaring, dia juga mengalami dekubitus atau
luka tekan di punggungnya dan memakai kursi roda. Seakan-akan itu menunjukkan pula perlawanannya
di luar aktivisme sosial dan politiknya.
Sejak Mei dan Juni tahun itu Aditjondro mengalami stroke akut. Dia segera dibawa ke unit darurat dan,
dalam tempo cepat, menjalani operasi bedah guna mengeluarkan darah membeku di otak kecil. Dia
sempat keluar dari unit perawatan tapi cuma bertahan sehari. Kondisi tubuhnya sulit untuk stabil. Infeksi
paru-paru, diabetes, jantung, memicu apa yang disebut dokter “sulit memprediksi” progresi
PINDAI.ORG – Perjalanan Mencari Rumah /26 Agustus 2015
	
  
H a l a m a n 	
  6	
  |	
  13	
  
	
  	
  
kesembuhannya. Dia kadang membaik tapi juga, serumit selang ventilator yang ditanam di tubuhnya, bisa
cepat memburuk.
Kesehatan Aditjondro tak pernah stabil sejak menderita kencing manis. Dia diharuskan cek rutin, minum
banyak obat atas petunjuk medis, dan tubuhnya cepat mengalami komplikasi. Dia juga diharuskan untuk
lebih sering istirahat. Tubuhnya begitu sensitif hingga dokter, yang merawatnya pada 2011 di Jakarta,
mengatakan Aditjondro mengalami “sindrom metabolisme”.
Aditjondro dibawa oleh pihak keluarga—antar-jemput ini akan melibatkan banyak peran Ria Panhar dan
suaminya sewaktu anak mereka berusia sekira 11 bulan—ke Rumah Sakit Sardjito, dan pelan-pelan,
setelah sekitar sebulan, bisa dibawa untuk rawat jalan. Rumah sewa Aditjondro dan Erna Tenge sudah
pindah ke bilangan Kaliurang Km 5. Ini mungkin periode yang bisa tenang bagi Tante Erna—sapaan saya
baginya—untuk kembali menekuri studi doktoralnya di Universitas Gadjah Mada sembari mengurusi
masa pemulihan Aditjondro.
Panhar mengenal keluarga Aditjondro sewaktu di Kotaraja, Jayapura, saat dia masih usia sekolah dasar,
tetapi saat itu masih lebih dekat dengan “Mama Esti Sumarah” dan Enrico. Dia dekat dengan “Papa
Aditjondro” dan “Mama Erna Tenge” saat periode sakit ini meski Panhar sendiri sudah di Yogyakarta
untuk studi sarjana sejak 2000.
Panhar tahu “Papa Aditjondro” sakit saat diberitahu Enrico. Dari sana “kita mulai memikirkan soal buku-
buku GJA”.
Panhar kenal dengan Iboekoe saat riset tentang pelarangan buku oleh Kejaksaan Agung tahun 2009, kala
dia bekerja di Friedrich Ebert Stiftung, sebuah yayasan dari Jerman yang memiliki kantor di Jakarta.
Termasuk salah satu yang dilarang beredar adalah Lekra Tak Membakar Buku karangan Rhoma Dwi Aria
Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan.
Dia kemudian ikut bergiat sebagai penyiar Radiobuku, salah satu kegiatan siaran Iboekoe dengan saluran
internet, termasuk nantinya mewawancarai Aditjondro sekeluar dari rumah sakit dalam tajuk “Program
Buku Pertamaku”. Panhar, lewat suaminya, membantu bikin studio Radiobuku saat di Patehan, Kota
Yogyakarta.
Saat memikirkan buku-buku koleksi Aditjondro tersebut, situasi juga tengah mendesak lantaran rumah
buku yang disewa sudah habis masa kontrak.
Enrico Aditjondro, Woro Wahyuningtyas, dan Ria Panhar sepakat menyimpan buku-buku di
perpustakaan Iboekoe. Obrolan mulai berkembang serius ketika Faiz Ahsoul berdiskusi dengan mereka di
“rumah buku”.
Faiz sebelumnya “masih belum tahu” keinginan keluarga Aditjondro soal status buku-buku ini bila
dipindahkan ke Perpustakaan Gelaran Iboekoe. Faiz mengajukan tiga usulan: apakah sebatas dititipkan—
artinya hanya dipak lalu dipindah sehingga tak bisa diakses oleh siapapun; kedua, apakah dihibahkan—
dengan begitu semua koleksi buku ini mengikuti sistem Iboekoe (sistem katalog dan peminjaman berlaku
sama termasuk bagi pihak keluarga); atau ketiga, titip-kelola?
Yang disebut terakhir, Faiz menjelaskan, berarti hak buku-buku masih dimiliki Aditjondro dan keluarga
meski akan dikelola Iboekoe. Sistem katalog dibuat tersendiri dan akses baca pun di tempat. Tetapi bagi
mereka yang tengah meneliti kiprah Aditjondro misalnya, termasuk saya dalam kepentingan penulisan ini,
bisa membawa pulang sejumlah buku untuk sementara (saya meminjam sembilan buku dari koleksinya).
PINDAI.ORG – Perjalanan Mencari Rumah /26 Agustus 2015
	
  
H a l a m a n 	
  7	
  |	
  13	
  
	
  	
  
Pihak keluarga saat itu memilih opsi terakhir.
Seingatn Faiz pada bulan puasa atau Juli 2012, dia meminta waktu dua pekan untuk mendata semua
koleksi buku Aditjondro. Total, menurut Faiz, ada sekitar 2.000-2.500 buku. Menurut Faiz, ada sekitar 8
sejawat yang ikut membantu proses pendataan ini. Setelah lebaran, sekira bulan Agustus, semua buku
diangkut lewat mobil bak terbuka, bolak-balik lima kali jalan, yang dibantu sekira empat orang. Seluruh
biaya transportasi ditanggung pihak keluarga Aditjondro.
Dari Patehan, tempat Iboekoe berkantor, semua buku dikeluarkan dan disusun lagi ke dalam lemari
seperti di “rumah buku”. Kus Sri Antoro masih sering datang untuk membaca koleksi tersebut.
Lian Gogali dari Poso datang ke Yogya untuk “mengurus lagi buku bapak” saat proses pemindahan ini.
Gogali menulis, “Bapak penuh semangat cerita kepada saya setiap kali pindahan buku, dan tidak lupa
cerita bagaimana kondisi buku-buku saya (bukan hanya buku-buku bapak), termasuk saat kebanjiran.”
Gogali, menemani Aditjondro ke Iboekoe, mengingat bahwa “wajah bapak terlihat sangat lega ketika
melihat buku-bukunya”.
Menurut Faiz, Tyas juga sempat membawa koleksi dokumen dan barang-barang lain, serta kertas-kertas,
kliping koran dan catatan, ke dalam kardus-kardus ke Iboekoe dengan sebuah mobil bak terbuka.
Koleksi buku Aditjondro ini, kata Faiz, “telah meluluskan seorang mahasiswa dari Papua yang kuliah
pascasarjana di Sanata Dharma”—barangkali juga dulunya murid Aditjondro. Sayangnya Faiz lupa nama
mahasiswa tersebut dan, sayangnya lagi, dia tidak menyerahkan salinan tesisnya untuk dikoleksi Iboekoe.
PERJALANAN akademis dan intelektual Aditjondro takkan bisa dilepaskan dari perannya dalam
kemerdekaan Timor Leste. Dalam solidaritas untuk negara bekas jajahan Portugis itu yang dipaksa
integrasi di bawah kolonialisme dunia ketiga (atau “pendudukan seberang kampung”) pada 1974,
lingkaran pergaulan Aditjondro bisa diikuti lewat jaringan para aktivis pro-demokrasi di Solidamor dan
Fortilos. Yang disebut pertama, akronim untuk Solidaritas untuk Penyelesaian Damai Timor Leste,
pernah menerbitkan sebuah buku tentang, lagi-lagi, jejaring agensi dan struktur dalam politik minyak di
balik kepentingan pencaplokan Timor Leste.
Salah seorang pegiat di Solidamor, Tri Agus Susanto Siswowihardjo—biasa dipanggil TASS—bergiat di
Pijar, dan organisasi yang dibentuk tahun 1989 ini merilis buku Dari Soeharto ke Habibie—barangkali
masih salah satu karya terbaik Aditjondro dalam sekali pukauan—pada 1998.
Seingat TASS, yang sejak 2011 mengajar ilmu komunikasi di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat
Desa, Yogyakarta, ide menerbitkan buku “Guru-Murid Kencing” itu ketika dalam satu kesempatan
Aditjondro berkata, “Saya memiliki banyak bahan tulisan tentang korupsi Soeharto. Tapi saya kira tak ada
penerbit yang berani menerbitkannya.”
Bonar Tigor Naipospos dari Solidamor menanggapi bahwa penerbitan itu soal gampang dan Pijar saja
yang melakukan.
Buku itu diluncurkan di sebuah kafe di Blok M, Jakarta. TASS mengingat, dalam dua bulan, buku itu
terus naik cetak, sampai-sampai kewalahan melayani para pembeli borongan yang mengantre di depan
kantor.
PINDAI.ORG – Perjalanan Mencari Rumah /26 Agustus 2015
	
  
H a l a m a n 	
  8	
  |	
  13	
  
	
  	
  
TASS bertemu Aditjondro kali pertama di Manila pada 1994 saat mereka bicara “East Timor”. Dia
termasuk yang rajin membesuk, sesekali mengantar sejumlah kolega lama Aditjondro saat terbaring sakit
maupun sewaktu rawat jalan. Di antara kolega lama ini adalah Max Lane (penerjemah tetralogi
Pramoedya Ananta Toer), Harry Poeze (sejarawan Tan Malaka), dan Jose Ramos-Horta, peraih nobel
perdamaian tahun 1996 dan mantan perdana menteri dan presiden Timor Leste (Aditjondro menullis,
“Barangkali tidak ada aktivis pro-demokrasi Indonesia yang mengenal Ramos-Horta, selama dan
semendalam saya, yakni sejak 1974”).
Ketika Aditjondro sakit, bersamaan itu pula keluarga dan kolega terdekatnya mengumpulkan
penggalangan dana untuk biaya pengobatan, selain pula ditopang oleh kartu asuransi kesehatan milik
Tante Erna.
LINGKARAN-lingkaran sahabat Aditjondro meluas, dari Aceh sampai Papua, dari Australia, Timor
Leste, sampai negara-negara Asia Tenggara dan Pasifik, serta Amerika Serikat. Ini adalah tempat dia
menjalani studi seriusnya, dari Salatiga di Jawa bagian tengah hingga Universitas Cornell di Ithaca, AS.
Sebelum banyak orang terjun ke Papua, Aditjondro sudah meretasnya. Sebuah lingkaran terpelajar di
Papua mengenal sejarah pers bukan dari mengikuti “sejarah pers Indonesia”—apapun definisi dan
kategorinya—tetapi lewat Kabar dari Kampung yang dibikin Aditjondro di sebuah yayasan
pengembangan masyarakat desa di Abepura selepas dia berhenti sebagai wartawan Tempo pada akhir
1970-an.
Dia terus mengembangkan perhatiannya pada isu lingkungan. Kemudian berjejalin isu-isu baru dalam
politik lokal seiring otonomi pasca-Soeharto, yang juga kian membuatnya memperbesar sorotan pada
sebaran praktik pemburu rente dan korupsi di daerah-daerah. Dia terus menguji tesisnya sekaligus
menawarkan gagasan penguatan arus gerakan sosial akar rumput, sambil tetap kritis untuk isu
pelanggaran hak asasi manusia. Sebuah pengantar untuk satu kegiatan lokakarya misalnya, dia
menjelaskan apa yang disebut “peta konsep”—bentuk pedagogi yang mengajak para peserta mengenali
setiap masalah dengan mengurutkan dari paling kompleks atau abstrak ke konsep yang paling sederhana
atau konkret.
“Tidak adakah tempat buat lagu, puisi, melodi, goyang pinggul Inul, lukisan, grafiti atau jokes dalam
pengumpulan data atau interaksi kita dengan teman belajar kita?”—demikian Aditjondro saat
mengenalkan matakuliah metode penelitian yang dia buat tahun 2006.
Itu yang khas dari artikel Aditjondro. Dia bisa menyampaikan gambaran kompleks dengan cukup satu
metafora—tantangan yang selalu peka bagi penulis baik manapun. Menyebut jejaring korupsi
kepresidenan misalnya, dia bisa sebatas mengistilahkan “gurita”. Sebagimana kemudian buku yang jadi
polemik itu pada 2010, Membongkar Gurita Cikeas—yang bagi saya sendiri tidak sebaik dan sedalam
buku korupsi dia sebelumnya; satu hal yang sesungguhnya menyimpang dari sifat perfeksionis dan
kecerewetan dia bila menyangkut standar data.
Selama 1998-2010, setidaknya Aditjondro menulis 11 buku dalam bahasa Indonesia: empat tentang
korupsi, tiga amatan isu lingkungan yang diterbitkan serentak, dua soal Timor Leste, dan masing-masing
satu untuk Papua dan Toraja (buku tipis). Selain itu dia menulis puluhan “kata pengantar” dan artikel
PINDAI.ORG – Perjalanan Mencari Rumah /26 Agustus 2015
	
  
H a l a m a n 	
  9	
  |	
  13	
  
	
  	
  
lepas untuk sejumlah buku dan terbitan dari wilayah-wilayah yang sering dia datangi sebagai pedagog
populer maupun peneliti.
Tri Agus Susanto misalnya mengumpulkan setidaknya 26 kata pengantar, umumnya bernapas panjang
dan lebih sering ditempatkan sebagai artikel yang memperdalam substansi buku.
Sewaktu Aditjondro menginjakkan kaki dari pesawat yang mendarat Jakarta pada 2002, kembali ke
Indonesia sesudah Soeharto lengser dan Timor Leste resmi sebagai negara berdaulat, sekelompok pemuda
dari negara baru itu menyambutnya dengan mengelilingi dan mengangkatnya ke udara.
Itu adalah jalan permulaan lagi baginya mengenali dan menyampaikan kabar perlawanan dari-dalam-
Indonesia. Dari Poso, Aceh, Sumatra, Kalimantan, lalu mendatangi lagi Papua. Ini masa pasang
demokrasi, dan tuntutan rakyat masih diperam oleh momentum, kendati terjadi kesulitan-kesulitan sebuah
negara yang dianggap oleh sebagian pengamat bakal seperti Balkan. Sampai kemudian momentum itu
hilang.
Soeharto, setidak-tidaknya dari riset Aditjondro yang menunjukkan sifat kleptokrasi rezim itu, bernasib
sangat berbeda dari para tiran di negara-negara lain yang dijalankan persis sama seperti pemerintahan
represif Orde Baru. Soeharto tetap menikmati masa tua di rumahnya di Cendana sampai meninggal, dia
tidak dihukum, basis kekuasaannya tidak dipreteli atau rontok, dan kekayaan keluarga besar dan kroni-
kroninya tidak mengalami pengurangan.
Apakah Aditjondro kecewa?
MASA ketika dia kembali ke Indonesia, agaknya juga, menggambarkan satu kehidupan pelik, pada tahun-
tahun berikutnya, sebagaimana nantinya dia tulis lewat satu monograf dalam sebuah bunga rampai
terbitan 2011: “Aku tidak bisa mengklaim menjadi orangtua yang baik, tapi aku bisa ceritakan pengaruh
Papa dan Ibu terhadap perkembangan diriku.”
Aditjondro pulang setelah meninggalkan Indonesia selama delapan tahun sejak komentarnya tentang
pembantaian Dili pada Maret 1994 di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, menarik perhatian
wartawan lantas dikutip dalam satu artikel. Itu bikin dia menerima serangan dan pemberitaan negatif serta
posisinya sebagai dosen di Satya Wacana digoyang. Dia juga menyampaikan lelucon dalam satu pidato di
kampus di Yogyakarta bahwa stuktur kekuasaan di Indonesia ditopang oleh “Ha Ha Ha Ha” —
maksudnya SuHarto, Habibie, Harmoko dan Bob Hasan—yang seketika jadi slogan populer di kalangan
mahasiswa dan sekaligus mengundang aparat negara menguntitnya untuk memanjarakan dia.
“Aktivis subaltern terkemuka”—sebutan dari mantan koleganya di kampus itu—pada satu kesempatan
bertandang ke kamar pondokan Saleh Abdullah di Tebet, Jakarta. Saleh saat itu bekerja di organisasi
nonpemerintah lingkungan dan hak asasi manusia, belum begitu dekat persahabatan mereka, dan
Aditjondro datang “mau minta pendapat teman-teman” soal apa yang sebaiknya dia putuskan.
“Aku mesti bertahan di tanah air ini, atau sebaiknya aku lari ke luar negeri? Kalau aku di penjara, sebagai
intelektual, kau tahu sendiri, matilah aku.”
PINDAI.ORG – Perjalanan Mencari Rumah /26 Agustus 2015
	
  
H a l a m a n 	
  10	
  |	
  13	
  
	
  
Menurut ingatan Saleh, Aditjondro berkata “ngeri” membayangkan situasi dia tak bisa membaca dan
menulis dengan bebas saat di penjara, “Beberapa teman menganjurkan aku tetap tinggal dan terus
melawan Soeharto. Dan tidak menjadi pengecut.”
“Menurutku,” tulis Saleh dalam satu komentarnya di Facebook, “Pertama dan utama, takut itu manusiawi.
Kita tidak boleh sok revolusioner dengan mengabaikan hati kecil kita sendiri. Memangnya orang-orang
yang meledek kamu itu punya kemampuan dan keberanian apa? Apa yang sudah mereka lakukan? Risiko
apa yang sudah mereka tanggung? Kamu sudah melakukan dobrakan lewat tulisan-tulisanmu ketika para
intelek dan aktivis tiarap atau setengah tiarap. Tentukan sendiri pilihanmu dan jujurlah pada nurani.
Mungkin di luar negeri kau akan lebih banyak bisa membaca dan menulis terus.”
Kepada saya, Saleh berkata bahwa saat itu “banyak dari teman-teman nyaranin dia sekalian nyebur,
jangan tanggung-tanggung”.
“Tetapi dia sangsi dan, menurutku, teman-teman juga tidak fair,” ujar Saleh, kini bergiat di Insist tempat
Aditjondro, pada masa aktifnya, kerap diminta sebagai redaktur tamu untuk jurnal Wacana, terbitan
berkala untuk kajian perubahan sosial.
Melihat bahwa Aditjondro mengirim semua buku dari Australia, yang akan bertemu dengan Lian Gogali,
Woro Wahyuningtyas, dan sejumlah sejawat muda lain dalam perjalanan aktivisme, saya bisa mengatakan
bahwa seseorang dengan kekayaan pemikirannya—betapapun dia pribadi yang tidak mudah—akan terus
menarik kaum muda, dan bahkan rela membantunya.
Itu juga perjalanan lain, yakni perjalanan buku-buku si pemilik, yang sudah jadi seakan bayangan yang
menemani dia bila kau bekerja sebagai dirinya.
Lian Gogali masih berharap bahwa buku-buku itu, yang kini ada di Iboekoe, bisa dibawa ke Poso “supaya
orang habis perang bisa baca buku dan berhenti perang”. Usulan ini pernah muncul sewaktu proses
perpindahan pertama dan bagi mereka itu masuk akal, tapi dengan cepat mereka menyerah lantaran biaya
pengiriman yang mahal.
Aditjondro berkata, “Bikin baik dulu perpustakaanmu di sana (Poso), kuatkan anak-anak dan ibu-ibu, cari
peneliti dan penulis muda di Poso, lalu datang negosiasi ulang dengan Iboekoe.”
Menurut Gogali itu adalah “tugas amat berat!”
Gogali tentu tetap senang karena “sudah ada yang mengurus buku-buku bapak”. Dia “merasa yakin bapak
lebih tenang sekarang karena ada yang mewarisi buku-bukunya”.
Buku-buku koleksi Aditjondro ikut dipindahkan ke lokasi tetap Iboekoe di Sewon, Bantul, belakang
kampus Institut Seni Indonesia, pada Februari 2014. Boyongan ini karena pemilik rumah di Patehan
sungkan memperpanjang kontrak. Lokasi sekarang adalah sebuah bangunan persegi lantai dua yang
kosong, bekas studio lukisan milik seniman sekaligus pendiri Gelaran Iboekoe. Ini langkah taktis
sekaligus strategis bagi pegiat Iboekoe. Pekerjaan memindah barang selalu berat, dan jika sebagian besar
barang adalah buku, maka pekerjaan tersebut nyaris mustahil. Koleksi buku dalam perpustakaan Iboekoe
tak hanya buku, tapi juga jilid-jilid majalah, tumpukan koran, yang memakan hampir 80% seluruh
ruangan.
Rak yang menjadi buku Aditjondro terpacak melintang, membagi partisi antara ruangan tengah dan ruang
belakang. Ruang tengah yang lapang, terhubung pada pintu depan, diisi meja yang disusun memanjang,
PINDAI.ORG – Perjalanan Mencari Rumah /26 Agustus 2015
	
  
H a l a m a n 	
  11	
  |	
  13	
  
	
  
dan kursi-kursi mengitarinya. Di belakang rak itu juga meja memanjang, tempat biasanya pegiat Iboekoe
mengetik. Di ruang belakang itu ada sebuah dapur.
Rak buku Aditjondro tingginya hampir menyentuh plafon, tebal dan berkisi lebar. Sebagian buku yang
dipajang itu mewakili titik perhatian Aditjondro, selain buku-buku teori. Masih ada, setidaknya saat saya
berkunjung ke sana pada pekan ketiga Agustus, sekira 31 kardus besar berisi buku-buku Aditjondro,
selain 9 kontainer yang memuat rupa-rupa jejak tertulis Aditjondro dalam penelitian dan perjalanan
akademis. Lemari kaca yang semula jadi tempat menyimpan bukunya sewaktu di “rumah buku” dan
Patehan disebar ke para pegiat Iboekoe, karena menurut Faiz Ahsoul, rumah Iboekoe sekarang tidak
cukup ruang untuk membawa lemari-lemari tersebut.
Faiz Ahsoul “masih kesulitan secara teknis” untuk mengeluarkan semua koleksi buku Aditjondro di
dalam kardus mengingat ruang-ruang di Iboekoe perlu ditata ulang. Rak-rak besi yang berkumpul di satu
ruangan berisi kliping koran yang terhubung ruang tengah misalnya, mungkin bisa dipakai nanti—tetapi
itu butuh waktu juga tenaga.
Sampai saya mendatanginya, meski tak seintensif sewaktu masih di Patehan karena jarak rumah saya
terlalu jauh, belum ada yang meriset atau mencoba untuk menggali kerja-kerja tertulis Aditjondro.
Enrico Aditjondro mengatakan bahwa kerja “teman-teman Iboekoe jauh lebih inspirasional” dalam
mengurus koleksi buku papanya.
Tante Erna lulus studi doktoralnya. Rasa haru bahagia tetap muncul kendati sebelumnya mereka dalam
situasi sulit. Aditjondro berkaca-kaca ketika hadir dalam upaya pengukuhan istrinya.
Menurut Ria Panhar, Papa gampang sensitif sekeluar dari rumah sakit dan sesudahnya. Dalam masa
pemulihan itu, Ria menyebut Papa bertingkah “seperti anak kecil banget—minta jalan-jalan dan kesukaan
dia makan ayam goreng kampung”.
Di masa pemulihan itu juga kadang Aditjondro melantur dan, seingat Panhar, setelah dibawa kembali ke
rumah dari rumah sakit Sardjito, ingin segera membaca buku karena mendesak “mau buat outline untuk
bahan kuliah”.
Sewaktu-waktu Tante Erna mengontak Faiz Ahsoul untuk minta tolong mengambil buku, sesuai pesanan
Aditjondro. Aditjondro kerap melontarkan keinginan “pengin ngajar” dan karena itu dia butuh buku-buku
yang dimaksudnya, dengan gerak bibir yang kesulitan membentuk kalimat, dan mungkin apa yang
sesungguhnya dia inginkan masih dalam kabut pikiran.
Pada Jumat sore, 5 September 2014, sejumlah kolega dekat termasuk Ria Panhar, Woro Wahyuningtyas,
Faiz Ahsoul, dan Tri Agus Susanto bikin satu acara apa yang mereka namakan “Ngeteh Bersama George
Aditjondro”. Mereka mengundang sejumlah teman lama Aditjondro termasuk dari Salatiga selain
sejumlah wartawan. Acara itu bertempat di CD Bethesda. Pegiat Radiobuku datang dan merekam
testimoni dari sejumlah kolega lama, saudara, dan sahabat dekatnya. Aditjondro diminta untuk bicara tapi
lebih sering terharu.
Aditjondro lahir dari keluarga campuran: garis ningrat Jawa-Solo menurun dari papanya dan keturunan
Belanda dari garis mamanya. Papanya lulusan sarjana hukum di Belanda dan berkarier dengan kehidupan
sederhana dan menolak suap sebagai ketua pengadilan negeri termasuk di Pekalongan (tempat Aditjondro
lahir) sampai pensiun di Makassar.
PINDAI.ORG – Perjalanan Mencari Rumah /26 Agustus 2015
	
  
H a l a m a n 	
  12	
  |	
  13	
  
	
  
Dalam satu profil yang ditulis majalah Time Asia, edisi “Soeharto Inc.” (24 Mei 1999)—yang digugat
keluarga Soeharto secara hukum—Aditjondro mengatakan, “Anak-anak Belanda memanggil saya negro,
sementara anak-anak Indonesia menyebut saya bule. Jika kamu jadi orang marjinal, ketimbang
identitasmu hancur karena terus berusaha dipaksa asimilasi, kamu memakai posisimu sebagai orang
marjinal untuk mengungkap semua sisi: mereka yang ditindas, para penindas, dan sistem yang
melanggengkan penindasan.”
Mas Junus—saya menyapanya demikian—dan Tante Erna pulang ke Palu pada 6 September 2014. Itu
mungkin jadi perjalanan yang lebih tenang bagi keduanya setelah Aditjondro menghadapi dua pengaduan
pidana dan terus menyimpan daya hidup yang tiada disangka untuk melewati krisis terberat dalam
sakitnya.
Buku-bukunya berada di belakang punggung dia dan sekali, sampai saya menuliskan ini, Faiz pernah
mengirim sejumlah buku ke Palu: buku-buku Karl Marx dan Antonio Gramsci. Pria ini, dalam satu
wawancara terakhir di Radiobuku, masih kukuh pada cita-cita “masyarakat Indonesia punya kebebasan
memilih untuk negara yang dia suka—misalnya negara federal, yang diperjuangkan secara damai melalui
pemerintahan sipil”. Dia berkata kepada Lian Gogali, bertahun-tahun lalu, “Kalau saya mati, setidaknya
ada warisan saya untuk orang lain atau siapapun untuk meneruskan apa yang saya tulis atau minati.”
Tyas berharap, buku-buku Aditjondro bisa menebar terang ketika “GJA harus menikmati masa pemulihan
dan masa tuanya di Palu bersama istri tercinta”.
Kepada saya, Gogali menulis di komentar Facebook, bila naskah ini sudah terbit, dia akan “beritahu
bapak” dan “bantu bacakan ke bapak dengan semangat”.
Saya khawatir naskah ini terlalu rumit dan tidak ramah bagi seseorang yang sudah berumur 69 tahun,
terserang stroke dan beberapa kali serangan jantung. Saya ingin menulis humor-humor yang dia sukai.
Sayangnya, kekurangan saya sebagai penulis, saya tidak pandai membuat humor.[]
Fahri Salam, editor Pindai, tengah-sambil-jalan menekuni sejumlah catatan tertulis George Junus
Aditjondro. @fahrisalam
_____________
Sumber rujukan
“Investigator: A man on a mission to track the loot”—laporan majalah Time Asia edisi sampul “Soeharto
Inc.” (24 Mei 1999).
“Eskalasi di Poso” dalam Gerry van Klinken, Perang Kota Kecil (Jakarta: YOI, 2007, hal. 120‒147).
“Arus Balik dari Oslo: Mengetuk Hati Nurani Gereja Katolik Indonesia”, dalam buku 100 hari
meninggalnya Romo Mangun, Pergulatan Intelektual dalam Era Kegelisahan (Sindhunata—ed.
Yogyakarta: Kanisius, 1999, hal. 201‒213).
PINDAI.ORG – Perjalanan Mencari Rumah /26 Agustus 2015
	
  
H a l a m a n 	
  13	
  |	
  13	
  
	
  
“Anti Sogok dan Cinta Budaya”, dalam Berkah Kehidupan (Baskara Wardana—ed, Jakarta: GPU, 2011,
hal. 232‒243).
“Renungan Buat Papa Nanda, Anak Domba Paskah dari Tentena”, pengantar dalam Rinaldy Damanik,
Tragedi Kemanusiaan Poso (PBHI, Yakoma PGI, CD Bethesda, 2003, hal. xviii‒l).
Dari Wina ke Yogyakarta: Kisah Hidup Herb Feith, Jemma Purdey (Jakarta: KPG, 2014, hal. 465).
Rekaman wawancara Radiobuku antara Ria Panhar dan GJ Aditjondro (16:51 menit, akhir tahun 2012).
Di antara buku George Junus Aditjondro (mayoritas bunga rampai):
Korupsi
Dari Soeharto ke Habibie —Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari: Kedua Puncak Korupsi,
Kolusi, dan Nepotimes Rezim Orde Baru (Jakarta: Pijar & MIK, 1998).
Membedah Kembar Siam Penguasa Politik & Ekonomi Indonesia: Metodologi Investigasi Korupsi
Sistemik bagi Aktivis & Wartawan (Jakarta: LSPP, 2004).
Korupsi Kepresidenan —Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa
(Yogyakarta: LKiS, 2006).
Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century (Yogyakarta: Galangpress, 2010).
Lingkungan
Trilogi: Kebohongan-Kebohongan Negara; Korban-korban Pembangunan; Pola-pola Gerakan
Lingkungan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).
Timor Leste
Menyongsong Matahari Terbit di Puncak Ramelau: Dampak Pendudukan Timor Lorosa’e dan
Munculnya Gerakan Pro-Timor Lorosa’e di Indonesia (Jakarta: Yayasan HAK & Fortilos, 2000).
Tangan-tangan Berlumuran Minyak: Politik Minyak di Balik Tragedi Timor Lorosae (Jakarta: Solidamor,
2010).
Papua
Cahaya Bintang Kejora: Papua Barat dalam Kajian Sejarah, Budaya, Ekonomi, dan Hak Asasi Manusia
(Jakarta: Elsam, 2000).

More Related Content

Viewers also liked

Viewers also liked (7)

111111
111111111111
111111
 
UNIV Chinatown Visist
UNIV Chinatown VisistUNIV Chinatown Visist
UNIV Chinatown Visist
 
gubbio_new 2014
gubbio_new 2014gubbio_new 2014
gubbio_new 2014
 
Q dps
Q dpsQ dps
Q dps
 
PrimaDonna: take control of sexy! by Yeiniz Nevarez - #BHMASLife
PrimaDonna: take control of sexy! by Yeiniz Nevarez - #BHMASLifePrimaDonna: take control of sexy! by Yeiniz Nevarez - #BHMASLife
PrimaDonna: take control of sexy! by Yeiniz Nevarez - #BHMASLife
 
Astronomi fisika bab va
Astronomi fisika bab vaAstronomi fisika bab va
Astronomi fisika bab va
 
Estructura del-proyecto-de-vida
Estructura del-proyecto-de-vidaEstructura del-proyecto-de-vida
Estructura del-proyecto-de-vida
 

Similar to Perjalanan Mencari Rumah

Setia Bekerja di Pasar yang Sepi
Setia Bekerja di Pasar yang SepiSetia Bekerja di Pasar yang Sepi
Setia Bekerja di Pasar yang SepiPindai Media
 
Pkn ( biografi )
Pkn ( biografi )Pkn ( biografi )
Pkn ( biografi )pihankaratu
 
Julian millie, muslim etnis dan muslim indonesia
Julian millie, muslim etnis dan muslim indonesiaJulian millie, muslim etnis dan muslim indonesia
Julian millie, muslim etnis dan muslim indonesiaarief permadi arief
 
Ki hajar dewantara
Ki hajar dewantaraKi hajar dewantara
Ki hajar dewantaradiahaisyah01
 
Mencari Jejak Buku yang Hilang
Mencari Jejak Buku yang HilangMencari Jejak Buku yang Hilang
Mencari Jejak Buku yang HilangPindai Media
 
Gay archipelago-bahasa-indonesia
Gay archipelago-bahasa-indonesiaGay archipelago-bahasa-indonesia
Gay archipelago-bahasa-indonesiaUmi Zainab
 
Warta Pustaka MPR RI November 2013
Warta Pustaka MPR RI November 2013 Warta Pustaka MPR RI November 2013
Warta Pustaka MPR RI November 2013 wartapustaka
 
BEDAH BUKU SESI 1 ISLAM SEBAGAI ILMU
BEDAH BUKU SESI 1 ISLAM SEBAGAI ILMUBEDAH BUKU SESI 1 ISLAM SEBAGAI ILMU
BEDAH BUKU SESI 1 ISLAM SEBAGAI ILMURidwan M. Said
 
Dari Hugo hingga Pram
Dari Hugo hingga PramDari Hugo hingga Pram
Dari Hugo hingga PramPindai Media
 
Biografi Bapak Pendidikan Nasional.pdf
Biografi Bapak Pendidikan Nasional.pdfBiografi Bapak Pendidikan Nasional.pdf
Biografi Bapak Pendidikan Nasional.pdfNurindahSetyawati1
 
Warta Pustaka Februari 2014
Warta Pustaka Februari 2014Warta Pustaka Februari 2014
Warta Pustaka Februari 2014wartapustaka
 
Buku putih islam jawa 1
Buku putih islam jawa 1Buku putih islam jawa 1
Buku putih islam jawa 1Edi Awaludin
 
5 pahlawan yang sangat berjasa bagi indonesia
5 pahlawan yang sangat berjasa bagi indonesia5 pahlawan yang sangat berjasa bagi indonesia
5 pahlawan yang sangat berjasa bagi indonesiaYasirecin Yasir
 

Similar to Perjalanan Mencari Rumah (20)

Setia Bekerja di Pasar yang Sepi
Setia Bekerja di Pasar yang SepiSetia Bekerja di Pasar yang Sepi
Setia Bekerja di Pasar yang Sepi
 
Pkn ( biografi )
Pkn ( biografi )Pkn ( biografi )
Pkn ( biografi )
 
Julian millie, muslim etnis dan muslim indonesia
Julian millie, muslim etnis dan muslim indonesiaJulian millie, muslim etnis dan muslim indonesia
Julian millie, muslim etnis dan muslim indonesia
 
Ki hajar dewantara
Ki hajar dewantaraKi hajar dewantara
Ki hajar dewantara
 
Mencari Jejak Buku yang Hilang
Mencari Jejak Buku yang HilangMencari Jejak Buku yang Hilang
Mencari Jejak Buku yang Hilang
 
Dari wikipedia bahasa indonesia
Dari wikipedia bahasa indonesiaDari wikipedia bahasa indonesia
Dari wikipedia bahasa indonesia
 
Ki Hadjar Dewantara
Ki Hadjar DewantaraKi Hadjar Dewantara
Ki Hadjar Dewantara
 
PK Ojong
PK OjongPK Ojong
PK Ojong
 
Gay archipelago-bahasa-indonesia
Gay archipelago-bahasa-indonesiaGay archipelago-bahasa-indonesia
Gay archipelago-bahasa-indonesia
 
Warta Pustaka MPR RI November 2013
Warta Pustaka MPR RI November 2013 Warta Pustaka MPR RI November 2013
Warta Pustaka MPR RI November 2013
 
BEDAH BUKU SESI 1 ISLAM SEBAGAI ILMU
BEDAH BUKU SESI 1 ISLAM SEBAGAI ILMUBEDAH BUKU SESI 1 ISLAM SEBAGAI ILMU
BEDAH BUKU SESI 1 ISLAM SEBAGAI ILMU
 
pahlawan.pptx
pahlawan.pptxpahlawan.pptx
pahlawan.pptx
 
Dari Hugo hingga Pram
Dari Hugo hingga PramDari Hugo hingga Pram
Dari Hugo hingga Pram
 
Biografi Bapak Pendidikan Nasional.pdf
Biografi Bapak Pendidikan Nasional.pdfBiografi Bapak Pendidikan Nasional.pdf
Biografi Bapak Pendidikan Nasional.pdf
 
Peluncuran buku attock suharto
Peluncuran buku attock suhartoPeluncuran buku attock suharto
Peluncuran buku attock suharto
 
Warta Pustaka Februari 2014
Warta Pustaka Februari 2014Warta Pustaka Februari 2014
Warta Pustaka Februari 2014
 
Buku putih islam jawa 1
Buku putih islam jawa 1Buku putih islam jawa 1
Buku putih islam jawa 1
 
Biografi
BiografiBiografi
Biografi
 
5 pahlawan yang sangat berjasa bagi indonesia
5 pahlawan yang sangat berjasa bagi indonesia5 pahlawan yang sangat berjasa bagi indonesia
5 pahlawan yang sangat berjasa bagi indonesia
 
Profil Goodreads Indonesia
Profil Goodreads IndonesiaProfil Goodreads Indonesia
Profil Goodreads Indonesia
 

More from Pindai Media

Ditimang Irama Bang Haji
Ditimang Irama Bang HajiDitimang Irama Bang Haji
Ditimang Irama Bang HajiPindai Media
 
Aroma Cengkeh di Kaki Menoreh
Aroma Cengkeh di Kaki MenorehAroma Cengkeh di Kaki Menoreh
Aroma Cengkeh di Kaki MenorehPindai Media
 
Poncke Princen, Pembela Kemanusiaan Paripurna
Poncke Princen, Pembela Kemanusiaan ParipurnaPoncke Princen, Pembela Kemanusiaan Paripurna
Poncke Princen, Pembela Kemanusiaan ParipurnaPindai Media
 
Ugur Mumcu dan Mereka yang Dilenyapkan
Ugur Mumcu dan Mereka yang DilenyapkanUgur Mumcu dan Mereka yang Dilenyapkan
Ugur Mumcu dan Mereka yang DilenyapkanPindai Media
 
Paranoid indonesia, nestapa papua phelim kine
Paranoid indonesia, nestapa papua   phelim kineParanoid indonesia, nestapa papua   phelim kine
Paranoid indonesia, nestapa papua phelim kinePindai Media
 
Media dalam Terorisme
Media dalam TerorismeMedia dalam Terorisme
Media dalam TerorismePindai Media
 
Orang-Orang Tegaldowo
Orang-Orang TegaldowoOrang-Orang Tegaldowo
Orang-Orang TegaldowoPindai Media
 
Menari di Medan yang Riuh
Menari di Medan yang RiuhMenari di Medan yang Riuh
Menari di Medan yang RiuhPindai Media
 
Sengketa tanah di bumi mataram anang zakaria
Sengketa tanah di bumi mataram   anang zakariaSengketa tanah di bumi mataram   anang zakaria
Sengketa tanah di bumi mataram anang zakariaPindai Media
 
Pak Raden dan Buku Dongeng
Pak Raden dan Buku DongengPak Raden dan Buku Dongeng
Pak Raden dan Buku DongengPindai Media
 
Putu Wijaya Berputar di Planet
Putu Wijaya Berputar di PlanetPutu Wijaya Berputar di Planet
Putu Wijaya Berputar di PlanetPindai Media
 
Semangat Anti-Tank
Semangat Anti-TankSemangat Anti-Tank
Semangat Anti-TankPindai Media
 
Senjakala Media Cetak
Senjakala Media CetakSenjakala Media Cetak
Senjakala Media CetakPindai Media
 
Merumahkan Orang Rimba
Merumahkan Orang RimbaMerumahkan Orang Rimba
Merumahkan Orang RimbaPindai Media
 
Serikat Buruh dan Media Propaganda
Serikat Buruh dan Media PropagandaSerikat Buruh dan Media Propaganda
Serikat Buruh dan Media PropagandaPindai Media
 
Anomali Industri Buku
Anomali Industri BukuAnomali Industri Buku
Anomali Industri BukuPindai Media
 
Orhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara Buku
Orhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara BukuOrhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara Buku
Orhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara BukuPindai Media
 

More from Pindai Media (20)

Ditimang Irama Bang Haji
Ditimang Irama Bang HajiDitimang Irama Bang Haji
Ditimang Irama Bang Haji
 
Aroma Cengkeh di Kaki Menoreh
Aroma Cengkeh di Kaki MenorehAroma Cengkeh di Kaki Menoreh
Aroma Cengkeh di Kaki Menoreh
 
Poncke Princen, Pembela Kemanusiaan Paripurna
Poncke Princen, Pembela Kemanusiaan ParipurnaPoncke Princen, Pembela Kemanusiaan Paripurna
Poncke Princen, Pembela Kemanusiaan Paripurna
 
Ugur Mumcu dan Mereka yang Dilenyapkan
Ugur Mumcu dan Mereka yang DilenyapkanUgur Mumcu dan Mereka yang Dilenyapkan
Ugur Mumcu dan Mereka yang Dilenyapkan
 
Paranoid indonesia, nestapa papua phelim kine
Paranoid indonesia, nestapa papua   phelim kineParanoid indonesia, nestapa papua   phelim kine
Paranoid indonesia, nestapa papua phelim kine
 
Media dalam Terorisme
Media dalam TerorismeMedia dalam Terorisme
Media dalam Terorisme
 
Orang-Orang Tegaldowo
Orang-Orang TegaldowoOrang-Orang Tegaldowo
Orang-Orang Tegaldowo
 
Menari di Medan yang Riuh
Menari di Medan yang RiuhMenari di Medan yang Riuh
Menari di Medan yang Riuh
 
Sengketa tanah di bumi mataram anang zakaria
Sengketa tanah di bumi mataram   anang zakariaSengketa tanah di bumi mataram   anang zakaria
Sengketa tanah di bumi mataram anang zakaria
 
Pak Raden dan Buku Dongeng
Pak Raden dan Buku DongengPak Raden dan Buku Dongeng
Pak Raden dan Buku Dongeng
 
Putu Wijaya Berputar di Planet
Putu Wijaya Berputar di PlanetPutu Wijaya Berputar di Planet
Putu Wijaya Berputar di Planet
 
Semangat Anti-Tank
Semangat Anti-TankSemangat Anti-Tank
Semangat Anti-Tank
 
Senjakala Media Cetak
Senjakala Media CetakSenjakala Media Cetak
Senjakala Media Cetak
 
Merumahkan Orang Rimba
Merumahkan Orang RimbaMerumahkan Orang Rimba
Merumahkan Orang Rimba
 
Serikat Buruh dan Media Propaganda
Serikat Buruh dan Media PropagandaSerikat Buruh dan Media Propaganda
Serikat Buruh dan Media Propaganda
 
Anomali Industri Buku
Anomali Industri BukuAnomali Industri Buku
Anomali Industri Buku
 
Hikayat Virginia
Hikayat VirginiaHikayat Virginia
Hikayat Virginia
 
Perang Balon
Perang BalonPerang Balon
Perang Balon
 
Mario
MarioMario
Mario
 
Orhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara Buku
Orhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara BukuOrhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara Buku
Orhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara Buku
 

Perjalanan Mencari Rumah

  • 1. Perjalanan Mencari Rumah Oleh: Fahri Salam www.pindai.org | t: @pindaimedia | f: facebook.com/pindai.org | e: redaksi@pindai.org
  • 2. PINDAI.ORG – Perjalanan Mencari Rumah /26 Agustus 2015   H a l a m a n  2  |  13       Perjalanan Mencari Rumah oleh Fahri Salam Buku-buku yang menemani pemiliknya dan dibiarkan terbuka. KETIKA George Junus Aditjondro sakit parah dalam usia 66 tahun, yang menyebabkan dia koma dan menjalani pemulihan sampai sekarang, kolega terdekatnya saat itu beserta anaknya, Enrico Aditjondro, mulai mempertimbangkan buku-buku koleksi Aditjondro. Ria Panhar, yang memanggil Aditjondro “Papa”, menghubungi Perpustakaan Gelaran Iboekoe, bertempat di Patehan, dekat Alun-Alun Selatan Yogyakarta. Panhar memberitahu Muhidin M. Dahlan, salah satu pendiri Iboekoe, yang lantas melimpahkan urusan-urusan teknis kepada Faiz Ahsoul, kawan lama Muhidin serta pegiat Iboekoe. Faiz, salah satu dari puluhan anak muda yang ikut dalam arus pasang dunia perbukuan di Yogyakarta tahun 2000-an (ia tampil sebagai model sampul buku Muhidin, Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta), segera mengurusi tawaran dari mereka yang disebut Faiz “pihak keluarga Pak George”. Obrolan pertama mereka dimulai di Rumah Sakit Bethesda, tempat Aditjondro terbaring sakit di ruang perawatan intensif. Obrolan serius berlanjut di “rumah buku”—begitu sebagian sejawat menyebut sebuah rumah sewa yang dipakai Aditjondro untuk menyimpan semua koleksi bukunya. “Rumah buku” ini bertempat di Deresan, sengaja dipilih yang berdekatan dengan rumah pondokan yang ditempati Aditjondro bersama istrinya sekarang Erna Tenge. Aditjondro bermukim di Yogya seiring diminta menjadi dosen tamu di Sanata Dharma pada 2005. Dia mengajar studi marxisme, metode penelitian, dan gerakan sosial baru untuk program magister Ilmu Religi dan Budaya. Hubungan mesra ini—bila bisa disebut demikian—antara Aditjondro dan Yogyakarta maupun kampus akan mengalami situasi tegang pada pengujung 2011. Menyosong tahun 2012 adalah awal periode tersulit, meski bukan satu-satunya, terutama bagi kesehatan Aditjondro. Woro Wahyuningtyas, yang bergiat dalam pekerjaan-pekerjaan sosial dan sudah menganggap Aditjondro sebagai keluarga, membantu menata semua buku Aditjondro. Tyas, sapaan akrabnya, menyebut “tahun 2005 adalah tahun yang menjadi awal perjalanan buku-buku GJA”—akronim untuk nama panjang Aditjondro yang kerap jadi sapaan lazim untuknya. Menurut Tyas, kini pindah ke Jakarta dan membagi ceritanya kepada saya lewat surat elektronik, sebagian buku Aditjondro semula ada di Semarang, kota yang juga tempat saudara keluarga Aditjondro tinggal. Tyas membawa buku-buku beserta lemari dan rak dari Semarang ke Yogya. Hunian pertama buku-buku ini, untuk disusun ulang, berlabuh di Mrican, dekat kampus pascasarjana Sanata Dharma, di sebuah “rumah kosong milik kolega GJA”. Bersama Lian Gogali, perempuan asal Poso dan kini terlibat dalam gerakan perdamaian Poso lewat Institut Mosintuwu yang dia dirikan, Tyas diminta oleh Aditjondro “untuk bisa menyusun buku-buku”. Namun, pendataan dan klasifikasi tematik buku tidak berjalan dengan cepat karena kesibukan mereka berdua. Betapapun semua buku termasuk koleksi kaset dan kliping bisa disimpan dalam lemari kaca.
  • 3. PINDAI.ORG – Perjalanan Mencari Rumah /26 Agustus 2015   H a l a m a n  3  |  13       Koleksi buku Aditjondro ini masih belum bisa diakses leluasa, hanya sesekali mahasiswa Aditjondro datang dan meminjam buku untuk disalin, atas sepengetahuan Aditjondro, demikian Tyas. Ketika rumah kolega itu hendak dipakai pemiliknya, buku-buku Aditjondro kembali dipindah ke rumah sewa di Deresan itu. Sebutan “rumah buku” adalah usulan Aditjondro sendiri. “Proses perpindahan ini melibatkan banyak kawan, baik mahasiswa GJA maupun kawan aktivis yang lain. Tahun pertama, saya hanya bisa membantu menyusun, memasukkan ke dalam rak, juga lemari buku,” tulis Tyas. Sejak ikut dalam proses perpindahan buku-buku ini, Lian Gogali mulai terpikir untuk menerbitkan sejumlah tulisan lepas gurunya, terutama yang berfokus pada isu korupsi. Gogali mengenal Aditjondro saat dia masih menjadi mahasiswi teologi di Universitas Kristen Duta Wacana sewaktu Aditjondro masih sering menginap di kantor CD Bethesda, salah satu unit mandiri dan lembaga nirlaba dari Rumah Sakit Bethesda yang melayani kebutuhan kesehatan masyarakat dalam situasi darurat dan bencana. Kelak, tempat ini akan jadi lokasi perpisahan Aditjondro sebelum meninggalkan Yogyakarta untuk menetap di Palu pada September 2014. Gogali bertemu Aditjondro kali pertama dalam satu pertemuan pelajar dan mahasiswa Poso sekitar tahun 2000-an, ketika Aditjondro membagi pengetahuan tentang kepentingan ekonomi-politik yang membakar konflik Poso sejak 1998, satu eskalasi kekerasan komunal pasca-Soeharto (menurut Human Right Watch, konflik Poso 1998-2001 menewaskan 500–1.000 jiwa). Gogali menyebut “buku-buku bapak di CD Bethesda banyak yang belum dibuka karena baru dikirim dari Australia”. Sejak pertemuan itu, Gogali mulai menjadi asisten Aditjondro, termasuk untuk mengurus keperluan administrasi, kesehatan, sampai urusan undangan seminar. Dia kemudian membongkar buku-buku dalam kardus itu dan “menemukan banyak sekali cuplikan tulisan bapak di luar negeri tentang korupsi”. Tak hanya dalam bahasa Inggris, tapi juga bahasa Belanda, Jepang, dan Jerman. Menurut Aditjondro, usulan Gogali spontan terlontar pada akhir 2003 dengan motivasi agar orang Indonesia bisa mengetahui “luasnya wilayah penyebaran kekayaan keluarga Soeharto di mancanegara yang memiskinkan rakyat Indonesia” dan “supaya rakyat Indonesia tidak lupa”. Aditjondro menjawab, “Siapa yang mau membantu? Siapa yang mau menyunting?” Gogali lalu menghubungi penerbit LKiS Yogyakarta, sebuah lembaga yang mengusung pemikiran Islam inklusif dan toleran yang menerbitkan banyak buku kritis, didirikan oleh sekelompok anak muda lulusan pesantren pada 1992. LKiS rupanya setuju dan bersedia membiayai proses penerjemahan artikel-artikel itu. Menghadapi “sifat perfeksionis George”— istilah penerbit itu—dan menyatupadankan nuansa terjemahan dari bahasa asing yang bisa senapas dengan gaya penyampaian Aditjondro dalam bahasa Indonesia, membuat penyuntingan buku itu baru selesai 1,5 tahun kemudian. Gogali menulis dalam surat elektroniknya kepada saya, “Sulit cari editor yang mau melihat tulisan bapak”. Akhirnya, diimbuhi canda, dia yang menjadi “editor amatiran”. Pada Mei 2006 buku itu terbit dengan judul Korupsi Kepresidenan—Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa. Tesis buku ini, dengan memakai istilah “reproduksi”, merujuk pada melanggengnya korupsi di lingkaran istana (keluarga presiden dan kroni-kroninya) selepas Soeharto lengser, yang tiada bedanya atau melanjutkan era Soeharto. Korupsi ini ditopang tangsi (militer) dan
  • 4. PINDAI.ORG – Perjalanan Mencari Rumah /26 Agustus 2015   H a l a m a n  4  |  13       partai penguasa (dari Golkar sampai partai pengusung presiden selanjutnya). Aditjondro menulis dua bab tambahan: periode korupsi Presiden Megawati dan periode pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Buku ini terbit, dalam istilah Aditjondro, sebagai “pertanggungjawaban” dirinya selama hijrah dari “bumi Pertiwi” sejak Februari 1995–Oktober 2002 ke Australia, dan “merangkum pelbagai tulisan tentang harta jarahan Soeharto bersama kerabat dan kroni-kroninya di belasan negara di dunia”. Akan selalu melekat sebagai ciri khas penggalian data atau metodologi Aditjondro untuk menggabungkan antara agensi dan struktur dengan pendekatan analisis ekonomi-politik di hampir semua kasus yang dia teliti. Dia menyebut jejaring korupsi ini sebagai “cabal”—istilah dari sosiolog radikal Amerika Serikat, William Chambliss, untuk mengidentifikasi bahwa jejaring ini meliputi birokat, politisi, pengusaha, aparat hukum, serta lembaga yang memberikan legitimasi “ilmiah”. Teorinya ini dia elaborasi dalam sebuah buku saku yang terbit tahun 2002—satu kajian sosiologi korupsi yang dia ajarkan saat menjadi dosen di Universitas Newcastle, New South Wales, Australia. Gogali ingin membuat “perpustakaan George Aditjondro” dan akhirnya terkabul juga, meski tidak seideal yang dia impikan, ketika proses perpindahan kedua itu ke “rumah buku”. Seiring meneruskan kuliah pascasarjana di Sanata Dharma dan menjadi murid Aditjondro, Gogali menyebut “sangat sulit” untuk mengategorikan koleksi buku Aditjondro. Selain karena belum ada yang berminat untuk bantu bikin rak buku, juga “buku-buku bapak banyak sekali dan langka-langka”. Dia tahu langka dengan merujuk kategori buku yang dilihatnya dalam daftar di perpustakaan Sanata Dharma. Sembari belajar mengklasifikasikan buku sambil-lalu lewat perpustakaan kampus, dia bantu menyusun buku-buku itu seraya mendiskusikannya dengan Aditjondro. “Sewaktu rumah kontrakan itu menjadi perpustakaan mini buku-buku Bapak, kami punya ide untuk menjadikan itu tempat berdiskusi mahasiswa-mahasiswa di Yogya tentang isu-isu konflik, sumberdaya alam, korupsi, dan gerakan sosial. Sayangnya, mungkin karena di lorong kecil, dan saya tidak paham soal mengampanyekan perpustakaan mini, jadinya hanya beberapa orang saja yang berkunjung,” kata Gogali. Lulus dari studinya di Ilmu Religi dan Budaya di Sanata Dharma, Gogali kembali ke Poso. Dia masih terus menjalin kontak dengan Aditjondro untuk mengobrolkan “buku-buku (di) perpustakaan itu” melalui telepon. Mereka makin dekat terlebih sesudah Aditjondro pindah ke Palu, Ibu Kota Sulawesi Tengah tempat Aditjondro bergiat di Yayasan Tanah Merdeka sepulang dari Australia. Di yayasan itu dia bekerja bersama Arianto Sangaji, kolega sehaluan pemikiran dan salah satu sahabat baiknya, dan kedua anak Sangaji memanggilnya “Om Aditjondro”. Woro Wahyuningtyas, dalam bagian ini, mulai mengambil peran setelah setengah tahun pertama tinggal di rumah buku itu. “Di sana, interaksi saya dengan beberapa buku GJA lumayan banyak. Beberapa kawan dekat sering hadir untuk bisa membaca, bahkan meminjam untuk di-copy. Pencatatan memang belum seperti perpustakaan, hanya dilakukan saat saya berada di rumah dan juga hanya sangat terbatas untuk kawan dekat, dan tentunya orang-orang yang direkomendasikan oleh GJA,” tulis Tyas. Namun ada perasaan tawar. Ruang-ruang tempat buku disimpan itu rupanya terpapar rayap, dan risiko ini mudah terjadi mengingat bahan kayu dari rak buku bukan dari kayu yang bagus—kekhawatiran yang bisa dimaklumi dari Gogali saat dia mengeluhkan tiada yang bikin rak saat penyusunan perdana (suami Ria Panhar, yang menjalankan usaha mebel, berkata kepada saya soal rendahnya kualitas rak buku milik Aditjondro). Tyas menulis, “rayap sudah merajalela memakan beberapa buku penting.”
  • 5. PINDAI.ORG – Perjalanan Mencari Rumah /26 Agustus 2015   H a l a m a n  5  |  13       Aditjondro mengatakan, masih dengan gaya humorisnya kendati dia juga temperamental, bahwa rayap- rayap ini tidak suka pada gerakan Kiri. Kebanyakan buku yang termakan rayap itu adalah literatur Kiri. Faiz Ahsoul, dalam kesempatan wawancara kepada saya, menambahkan bahwa selain koleksi buku pemikiran marxian, sebagian koleksi militer terpapras juga. Menurut Tyas, “segala upaya dilakukan untuk menyelamatkan buku-buku ini, sampai harus kami bakar dan musnahkan.” Untuk buku yang masih selamat, akhirnya Tyas dan Aditjondro memutuskan untuk melakukan fumigasi—sebuah metode pengasapan yang biayanya terhitung “sangat mahal bagi kami” (Tyas tak menyebutkan angkanya). Fumigasi juga dilakukan untuk lemari, rak buku serta ruangan tempat buku disimpan. Itu dilakukan selama dua minggu dan tak ada orang yang diizinkan untuk memasuki “rumah buku” mengingat bahan-bahan kimia ini sensitif bagi manusia. Fungsi fumigasi adalah untuk membunuh telur dan larva serangga, biasanya jenis silverfish dan tentu kutubuku, yang menyerang buku karena mengandung selulosa selain pula didukung temperatur udara yang lembab, habitat yang cocok bagi berkembangbiaknya rayap. Sesudah insiden dirayapi serangga ini, koleksi buku bisa aman. Tetapi Tyas, karena pekerjaannya, harus meninggalkan Yogya menuju Wamena, sebuah kabupaten di pegunungan tengah Papua. “Ada sedih karena selain jauh dari GJA dan Tante Erna, aku akan banyak kehilangan momen untuk membaca koleksi (buku) GJA. Hampir dua tahun aku tidak bersentuhan dengan buku-buku GJA karena harus merawat bayi perempuanku,” tulis Tyas. KUS SRI ANTORO, relawan Forum Komunikasi Masyarakat Agraris, termasuk salah satu—mungkin dari ratusan anak muda—dalam lingkaran aktivisme yang bersentuhan dengan George Junus Aditjondro. Dia termasuk yang sering datang ke “rumah buku” dan menerangkan di rumah itu “ada lemari-lemari berisi buku, kasur, dan meja tempat mengetik GJA”. Kus sering menginap di rumah tersebut. Kadangpula jadi tempat kumpul sejumlah kolega dalam aktivitas gerakan sosial. Kus dan sejumlah anak muda lain yang biasa mampir ke “rumah buku” juga membersihkan rumah itu. Bagi yang meminjam buku koleksi Aditjondro, biasanya akan minta izin, dan mencatat. Tetapi Kus sendiri tidak tahu jumlah buku yang keluar dan belum dikembalikan karena pendataannya belum rapi saat itu. Dia termasuk yang terlibat dalam pendataan buku saat usulan pihak keluarga Aditjondro mulai terang agar koleksinya “dititip-kelola” di perpustakaan Iboekoe. Ini masa ketika Aditjondro kritis. Orang mungkin tidak mengira bahwa Aditjondro bisa pulih dari masa rentan itu sejak dia masuk rumah sakit pada medio 2012. Dalam kondisi koma, tersadar, dirawat intensif, Aditjondro bisa bertahan. Kendati kemudian, akibat terus berbaring, dia juga mengalami dekubitus atau luka tekan di punggungnya dan memakai kursi roda. Seakan-akan itu menunjukkan pula perlawanannya di luar aktivisme sosial dan politiknya. Sejak Mei dan Juni tahun itu Aditjondro mengalami stroke akut. Dia segera dibawa ke unit darurat dan, dalam tempo cepat, menjalani operasi bedah guna mengeluarkan darah membeku di otak kecil. Dia sempat keluar dari unit perawatan tapi cuma bertahan sehari. Kondisi tubuhnya sulit untuk stabil. Infeksi paru-paru, diabetes, jantung, memicu apa yang disebut dokter “sulit memprediksi” progresi
  • 6. PINDAI.ORG – Perjalanan Mencari Rumah /26 Agustus 2015   H a l a m a n  6  |  13       kesembuhannya. Dia kadang membaik tapi juga, serumit selang ventilator yang ditanam di tubuhnya, bisa cepat memburuk. Kesehatan Aditjondro tak pernah stabil sejak menderita kencing manis. Dia diharuskan cek rutin, minum banyak obat atas petunjuk medis, dan tubuhnya cepat mengalami komplikasi. Dia juga diharuskan untuk lebih sering istirahat. Tubuhnya begitu sensitif hingga dokter, yang merawatnya pada 2011 di Jakarta, mengatakan Aditjondro mengalami “sindrom metabolisme”. Aditjondro dibawa oleh pihak keluarga—antar-jemput ini akan melibatkan banyak peran Ria Panhar dan suaminya sewaktu anak mereka berusia sekira 11 bulan—ke Rumah Sakit Sardjito, dan pelan-pelan, setelah sekitar sebulan, bisa dibawa untuk rawat jalan. Rumah sewa Aditjondro dan Erna Tenge sudah pindah ke bilangan Kaliurang Km 5. Ini mungkin periode yang bisa tenang bagi Tante Erna—sapaan saya baginya—untuk kembali menekuri studi doktoralnya di Universitas Gadjah Mada sembari mengurusi masa pemulihan Aditjondro. Panhar mengenal keluarga Aditjondro sewaktu di Kotaraja, Jayapura, saat dia masih usia sekolah dasar, tetapi saat itu masih lebih dekat dengan “Mama Esti Sumarah” dan Enrico. Dia dekat dengan “Papa Aditjondro” dan “Mama Erna Tenge” saat periode sakit ini meski Panhar sendiri sudah di Yogyakarta untuk studi sarjana sejak 2000. Panhar tahu “Papa Aditjondro” sakit saat diberitahu Enrico. Dari sana “kita mulai memikirkan soal buku- buku GJA”. Panhar kenal dengan Iboekoe saat riset tentang pelarangan buku oleh Kejaksaan Agung tahun 2009, kala dia bekerja di Friedrich Ebert Stiftung, sebuah yayasan dari Jerman yang memiliki kantor di Jakarta. Termasuk salah satu yang dilarang beredar adalah Lekra Tak Membakar Buku karangan Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan. Dia kemudian ikut bergiat sebagai penyiar Radiobuku, salah satu kegiatan siaran Iboekoe dengan saluran internet, termasuk nantinya mewawancarai Aditjondro sekeluar dari rumah sakit dalam tajuk “Program Buku Pertamaku”. Panhar, lewat suaminya, membantu bikin studio Radiobuku saat di Patehan, Kota Yogyakarta. Saat memikirkan buku-buku koleksi Aditjondro tersebut, situasi juga tengah mendesak lantaran rumah buku yang disewa sudah habis masa kontrak. Enrico Aditjondro, Woro Wahyuningtyas, dan Ria Panhar sepakat menyimpan buku-buku di perpustakaan Iboekoe. Obrolan mulai berkembang serius ketika Faiz Ahsoul berdiskusi dengan mereka di “rumah buku”. Faiz sebelumnya “masih belum tahu” keinginan keluarga Aditjondro soal status buku-buku ini bila dipindahkan ke Perpustakaan Gelaran Iboekoe. Faiz mengajukan tiga usulan: apakah sebatas dititipkan— artinya hanya dipak lalu dipindah sehingga tak bisa diakses oleh siapapun; kedua, apakah dihibahkan— dengan begitu semua koleksi buku ini mengikuti sistem Iboekoe (sistem katalog dan peminjaman berlaku sama termasuk bagi pihak keluarga); atau ketiga, titip-kelola? Yang disebut terakhir, Faiz menjelaskan, berarti hak buku-buku masih dimiliki Aditjondro dan keluarga meski akan dikelola Iboekoe. Sistem katalog dibuat tersendiri dan akses baca pun di tempat. Tetapi bagi mereka yang tengah meneliti kiprah Aditjondro misalnya, termasuk saya dalam kepentingan penulisan ini, bisa membawa pulang sejumlah buku untuk sementara (saya meminjam sembilan buku dari koleksinya).
  • 7. PINDAI.ORG – Perjalanan Mencari Rumah /26 Agustus 2015   H a l a m a n  7  |  13       Pihak keluarga saat itu memilih opsi terakhir. Seingatn Faiz pada bulan puasa atau Juli 2012, dia meminta waktu dua pekan untuk mendata semua koleksi buku Aditjondro. Total, menurut Faiz, ada sekitar 2.000-2.500 buku. Menurut Faiz, ada sekitar 8 sejawat yang ikut membantu proses pendataan ini. Setelah lebaran, sekira bulan Agustus, semua buku diangkut lewat mobil bak terbuka, bolak-balik lima kali jalan, yang dibantu sekira empat orang. Seluruh biaya transportasi ditanggung pihak keluarga Aditjondro. Dari Patehan, tempat Iboekoe berkantor, semua buku dikeluarkan dan disusun lagi ke dalam lemari seperti di “rumah buku”. Kus Sri Antoro masih sering datang untuk membaca koleksi tersebut. Lian Gogali dari Poso datang ke Yogya untuk “mengurus lagi buku bapak” saat proses pemindahan ini. Gogali menulis, “Bapak penuh semangat cerita kepada saya setiap kali pindahan buku, dan tidak lupa cerita bagaimana kondisi buku-buku saya (bukan hanya buku-buku bapak), termasuk saat kebanjiran.” Gogali, menemani Aditjondro ke Iboekoe, mengingat bahwa “wajah bapak terlihat sangat lega ketika melihat buku-bukunya”. Menurut Faiz, Tyas juga sempat membawa koleksi dokumen dan barang-barang lain, serta kertas-kertas, kliping koran dan catatan, ke dalam kardus-kardus ke Iboekoe dengan sebuah mobil bak terbuka. Koleksi buku Aditjondro ini, kata Faiz, “telah meluluskan seorang mahasiswa dari Papua yang kuliah pascasarjana di Sanata Dharma”—barangkali juga dulunya murid Aditjondro. Sayangnya Faiz lupa nama mahasiswa tersebut dan, sayangnya lagi, dia tidak menyerahkan salinan tesisnya untuk dikoleksi Iboekoe. PERJALANAN akademis dan intelektual Aditjondro takkan bisa dilepaskan dari perannya dalam kemerdekaan Timor Leste. Dalam solidaritas untuk negara bekas jajahan Portugis itu yang dipaksa integrasi di bawah kolonialisme dunia ketiga (atau “pendudukan seberang kampung”) pada 1974, lingkaran pergaulan Aditjondro bisa diikuti lewat jaringan para aktivis pro-demokrasi di Solidamor dan Fortilos. Yang disebut pertama, akronim untuk Solidaritas untuk Penyelesaian Damai Timor Leste, pernah menerbitkan sebuah buku tentang, lagi-lagi, jejaring agensi dan struktur dalam politik minyak di balik kepentingan pencaplokan Timor Leste. Salah seorang pegiat di Solidamor, Tri Agus Susanto Siswowihardjo—biasa dipanggil TASS—bergiat di Pijar, dan organisasi yang dibentuk tahun 1989 ini merilis buku Dari Soeharto ke Habibie—barangkali masih salah satu karya terbaik Aditjondro dalam sekali pukauan—pada 1998. Seingat TASS, yang sejak 2011 mengajar ilmu komunikasi di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa, Yogyakarta, ide menerbitkan buku “Guru-Murid Kencing” itu ketika dalam satu kesempatan Aditjondro berkata, “Saya memiliki banyak bahan tulisan tentang korupsi Soeharto. Tapi saya kira tak ada penerbit yang berani menerbitkannya.” Bonar Tigor Naipospos dari Solidamor menanggapi bahwa penerbitan itu soal gampang dan Pijar saja yang melakukan. Buku itu diluncurkan di sebuah kafe di Blok M, Jakarta. TASS mengingat, dalam dua bulan, buku itu terus naik cetak, sampai-sampai kewalahan melayani para pembeli borongan yang mengantre di depan kantor.
  • 8. PINDAI.ORG – Perjalanan Mencari Rumah /26 Agustus 2015   H a l a m a n  8  |  13       TASS bertemu Aditjondro kali pertama di Manila pada 1994 saat mereka bicara “East Timor”. Dia termasuk yang rajin membesuk, sesekali mengantar sejumlah kolega lama Aditjondro saat terbaring sakit maupun sewaktu rawat jalan. Di antara kolega lama ini adalah Max Lane (penerjemah tetralogi Pramoedya Ananta Toer), Harry Poeze (sejarawan Tan Malaka), dan Jose Ramos-Horta, peraih nobel perdamaian tahun 1996 dan mantan perdana menteri dan presiden Timor Leste (Aditjondro menullis, “Barangkali tidak ada aktivis pro-demokrasi Indonesia yang mengenal Ramos-Horta, selama dan semendalam saya, yakni sejak 1974”). Ketika Aditjondro sakit, bersamaan itu pula keluarga dan kolega terdekatnya mengumpulkan penggalangan dana untuk biaya pengobatan, selain pula ditopang oleh kartu asuransi kesehatan milik Tante Erna. LINGKARAN-lingkaran sahabat Aditjondro meluas, dari Aceh sampai Papua, dari Australia, Timor Leste, sampai negara-negara Asia Tenggara dan Pasifik, serta Amerika Serikat. Ini adalah tempat dia menjalani studi seriusnya, dari Salatiga di Jawa bagian tengah hingga Universitas Cornell di Ithaca, AS. Sebelum banyak orang terjun ke Papua, Aditjondro sudah meretasnya. Sebuah lingkaran terpelajar di Papua mengenal sejarah pers bukan dari mengikuti “sejarah pers Indonesia”—apapun definisi dan kategorinya—tetapi lewat Kabar dari Kampung yang dibikin Aditjondro di sebuah yayasan pengembangan masyarakat desa di Abepura selepas dia berhenti sebagai wartawan Tempo pada akhir 1970-an. Dia terus mengembangkan perhatiannya pada isu lingkungan. Kemudian berjejalin isu-isu baru dalam politik lokal seiring otonomi pasca-Soeharto, yang juga kian membuatnya memperbesar sorotan pada sebaran praktik pemburu rente dan korupsi di daerah-daerah. Dia terus menguji tesisnya sekaligus menawarkan gagasan penguatan arus gerakan sosial akar rumput, sambil tetap kritis untuk isu pelanggaran hak asasi manusia. Sebuah pengantar untuk satu kegiatan lokakarya misalnya, dia menjelaskan apa yang disebut “peta konsep”—bentuk pedagogi yang mengajak para peserta mengenali setiap masalah dengan mengurutkan dari paling kompleks atau abstrak ke konsep yang paling sederhana atau konkret. “Tidak adakah tempat buat lagu, puisi, melodi, goyang pinggul Inul, lukisan, grafiti atau jokes dalam pengumpulan data atau interaksi kita dengan teman belajar kita?”—demikian Aditjondro saat mengenalkan matakuliah metode penelitian yang dia buat tahun 2006. Itu yang khas dari artikel Aditjondro. Dia bisa menyampaikan gambaran kompleks dengan cukup satu metafora—tantangan yang selalu peka bagi penulis baik manapun. Menyebut jejaring korupsi kepresidenan misalnya, dia bisa sebatas mengistilahkan “gurita”. Sebagimana kemudian buku yang jadi polemik itu pada 2010, Membongkar Gurita Cikeas—yang bagi saya sendiri tidak sebaik dan sedalam buku korupsi dia sebelumnya; satu hal yang sesungguhnya menyimpang dari sifat perfeksionis dan kecerewetan dia bila menyangkut standar data. Selama 1998-2010, setidaknya Aditjondro menulis 11 buku dalam bahasa Indonesia: empat tentang korupsi, tiga amatan isu lingkungan yang diterbitkan serentak, dua soal Timor Leste, dan masing-masing satu untuk Papua dan Toraja (buku tipis). Selain itu dia menulis puluhan “kata pengantar” dan artikel
  • 9. PINDAI.ORG – Perjalanan Mencari Rumah /26 Agustus 2015   H a l a m a n  9  |  13       lepas untuk sejumlah buku dan terbitan dari wilayah-wilayah yang sering dia datangi sebagai pedagog populer maupun peneliti. Tri Agus Susanto misalnya mengumpulkan setidaknya 26 kata pengantar, umumnya bernapas panjang dan lebih sering ditempatkan sebagai artikel yang memperdalam substansi buku. Sewaktu Aditjondro menginjakkan kaki dari pesawat yang mendarat Jakarta pada 2002, kembali ke Indonesia sesudah Soeharto lengser dan Timor Leste resmi sebagai negara berdaulat, sekelompok pemuda dari negara baru itu menyambutnya dengan mengelilingi dan mengangkatnya ke udara. Itu adalah jalan permulaan lagi baginya mengenali dan menyampaikan kabar perlawanan dari-dalam- Indonesia. Dari Poso, Aceh, Sumatra, Kalimantan, lalu mendatangi lagi Papua. Ini masa pasang demokrasi, dan tuntutan rakyat masih diperam oleh momentum, kendati terjadi kesulitan-kesulitan sebuah negara yang dianggap oleh sebagian pengamat bakal seperti Balkan. Sampai kemudian momentum itu hilang. Soeharto, setidak-tidaknya dari riset Aditjondro yang menunjukkan sifat kleptokrasi rezim itu, bernasib sangat berbeda dari para tiran di negara-negara lain yang dijalankan persis sama seperti pemerintahan represif Orde Baru. Soeharto tetap menikmati masa tua di rumahnya di Cendana sampai meninggal, dia tidak dihukum, basis kekuasaannya tidak dipreteli atau rontok, dan kekayaan keluarga besar dan kroni- kroninya tidak mengalami pengurangan. Apakah Aditjondro kecewa? MASA ketika dia kembali ke Indonesia, agaknya juga, menggambarkan satu kehidupan pelik, pada tahun- tahun berikutnya, sebagaimana nantinya dia tulis lewat satu monograf dalam sebuah bunga rampai terbitan 2011: “Aku tidak bisa mengklaim menjadi orangtua yang baik, tapi aku bisa ceritakan pengaruh Papa dan Ibu terhadap perkembangan diriku.” Aditjondro pulang setelah meninggalkan Indonesia selama delapan tahun sejak komentarnya tentang pembantaian Dili pada Maret 1994 di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, menarik perhatian wartawan lantas dikutip dalam satu artikel. Itu bikin dia menerima serangan dan pemberitaan negatif serta posisinya sebagai dosen di Satya Wacana digoyang. Dia juga menyampaikan lelucon dalam satu pidato di kampus di Yogyakarta bahwa stuktur kekuasaan di Indonesia ditopang oleh “Ha Ha Ha Ha” — maksudnya SuHarto, Habibie, Harmoko dan Bob Hasan—yang seketika jadi slogan populer di kalangan mahasiswa dan sekaligus mengundang aparat negara menguntitnya untuk memanjarakan dia. “Aktivis subaltern terkemuka”—sebutan dari mantan koleganya di kampus itu—pada satu kesempatan bertandang ke kamar pondokan Saleh Abdullah di Tebet, Jakarta. Saleh saat itu bekerja di organisasi nonpemerintah lingkungan dan hak asasi manusia, belum begitu dekat persahabatan mereka, dan Aditjondro datang “mau minta pendapat teman-teman” soal apa yang sebaiknya dia putuskan. “Aku mesti bertahan di tanah air ini, atau sebaiknya aku lari ke luar negeri? Kalau aku di penjara, sebagai intelektual, kau tahu sendiri, matilah aku.”
  • 10. PINDAI.ORG – Perjalanan Mencari Rumah /26 Agustus 2015   H a l a m a n  10  |  13     Menurut ingatan Saleh, Aditjondro berkata “ngeri” membayangkan situasi dia tak bisa membaca dan menulis dengan bebas saat di penjara, “Beberapa teman menganjurkan aku tetap tinggal dan terus melawan Soeharto. Dan tidak menjadi pengecut.” “Menurutku,” tulis Saleh dalam satu komentarnya di Facebook, “Pertama dan utama, takut itu manusiawi. Kita tidak boleh sok revolusioner dengan mengabaikan hati kecil kita sendiri. Memangnya orang-orang yang meledek kamu itu punya kemampuan dan keberanian apa? Apa yang sudah mereka lakukan? Risiko apa yang sudah mereka tanggung? Kamu sudah melakukan dobrakan lewat tulisan-tulisanmu ketika para intelek dan aktivis tiarap atau setengah tiarap. Tentukan sendiri pilihanmu dan jujurlah pada nurani. Mungkin di luar negeri kau akan lebih banyak bisa membaca dan menulis terus.” Kepada saya, Saleh berkata bahwa saat itu “banyak dari teman-teman nyaranin dia sekalian nyebur, jangan tanggung-tanggung”. “Tetapi dia sangsi dan, menurutku, teman-teman juga tidak fair,” ujar Saleh, kini bergiat di Insist tempat Aditjondro, pada masa aktifnya, kerap diminta sebagai redaktur tamu untuk jurnal Wacana, terbitan berkala untuk kajian perubahan sosial. Melihat bahwa Aditjondro mengirim semua buku dari Australia, yang akan bertemu dengan Lian Gogali, Woro Wahyuningtyas, dan sejumlah sejawat muda lain dalam perjalanan aktivisme, saya bisa mengatakan bahwa seseorang dengan kekayaan pemikirannya—betapapun dia pribadi yang tidak mudah—akan terus menarik kaum muda, dan bahkan rela membantunya. Itu juga perjalanan lain, yakni perjalanan buku-buku si pemilik, yang sudah jadi seakan bayangan yang menemani dia bila kau bekerja sebagai dirinya. Lian Gogali masih berharap bahwa buku-buku itu, yang kini ada di Iboekoe, bisa dibawa ke Poso “supaya orang habis perang bisa baca buku dan berhenti perang”. Usulan ini pernah muncul sewaktu proses perpindahan pertama dan bagi mereka itu masuk akal, tapi dengan cepat mereka menyerah lantaran biaya pengiriman yang mahal. Aditjondro berkata, “Bikin baik dulu perpustakaanmu di sana (Poso), kuatkan anak-anak dan ibu-ibu, cari peneliti dan penulis muda di Poso, lalu datang negosiasi ulang dengan Iboekoe.” Menurut Gogali itu adalah “tugas amat berat!” Gogali tentu tetap senang karena “sudah ada yang mengurus buku-buku bapak”. Dia “merasa yakin bapak lebih tenang sekarang karena ada yang mewarisi buku-bukunya”. Buku-buku koleksi Aditjondro ikut dipindahkan ke lokasi tetap Iboekoe di Sewon, Bantul, belakang kampus Institut Seni Indonesia, pada Februari 2014. Boyongan ini karena pemilik rumah di Patehan sungkan memperpanjang kontrak. Lokasi sekarang adalah sebuah bangunan persegi lantai dua yang kosong, bekas studio lukisan milik seniman sekaligus pendiri Gelaran Iboekoe. Ini langkah taktis sekaligus strategis bagi pegiat Iboekoe. Pekerjaan memindah barang selalu berat, dan jika sebagian besar barang adalah buku, maka pekerjaan tersebut nyaris mustahil. Koleksi buku dalam perpustakaan Iboekoe tak hanya buku, tapi juga jilid-jilid majalah, tumpukan koran, yang memakan hampir 80% seluruh ruangan. Rak yang menjadi buku Aditjondro terpacak melintang, membagi partisi antara ruangan tengah dan ruang belakang. Ruang tengah yang lapang, terhubung pada pintu depan, diisi meja yang disusun memanjang,
  • 11. PINDAI.ORG – Perjalanan Mencari Rumah /26 Agustus 2015   H a l a m a n  11  |  13     dan kursi-kursi mengitarinya. Di belakang rak itu juga meja memanjang, tempat biasanya pegiat Iboekoe mengetik. Di ruang belakang itu ada sebuah dapur. Rak buku Aditjondro tingginya hampir menyentuh plafon, tebal dan berkisi lebar. Sebagian buku yang dipajang itu mewakili titik perhatian Aditjondro, selain buku-buku teori. Masih ada, setidaknya saat saya berkunjung ke sana pada pekan ketiga Agustus, sekira 31 kardus besar berisi buku-buku Aditjondro, selain 9 kontainer yang memuat rupa-rupa jejak tertulis Aditjondro dalam penelitian dan perjalanan akademis. Lemari kaca yang semula jadi tempat menyimpan bukunya sewaktu di “rumah buku” dan Patehan disebar ke para pegiat Iboekoe, karena menurut Faiz Ahsoul, rumah Iboekoe sekarang tidak cukup ruang untuk membawa lemari-lemari tersebut. Faiz Ahsoul “masih kesulitan secara teknis” untuk mengeluarkan semua koleksi buku Aditjondro di dalam kardus mengingat ruang-ruang di Iboekoe perlu ditata ulang. Rak-rak besi yang berkumpul di satu ruangan berisi kliping koran yang terhubung ruang tengah misalnya, mungkin bisa dipakai nanti—tetapi itu butuh waktu juga tenaga. Sampai saya mendatanginya, meski tak seintensif sewaktu masih di Patehan karena jarak rumah saya terlalu jauh, belum ada yang meriset atau mencoba untuk menggali kerja-kerja tertulis Aditjondro. Enrico Aditjondro mengatakan bahwa kerja “teman-teman Iboekoe jauh lebih inspirasional” dalam mengurus koleksi buku papanya. Tante Erna lulus studi doktoralnya. Rasa haru bahagia tetap muncul kendati sebelumnya mereka dalam situasi sulit. Aditjondro berkaca-kaca ketika hadir dalam upaya pengukuhan istrinya. Menurut Ria Panhar, Papa gampang sensitif sekeluar dari rumah sakit dan sesudahnya. Dalam masa pemulihan itu, Ria menyebut Papa bertingkah “seperti anak kecil banget—minta jalan-jalan dan kesukaan dia makan ayam goreng kampung”. Di masa pemulihan itu juga kadang Aditjondro melantur dan, seingat Panhar, setelah dibawa kembali ke rumah dari rumah sakit Sardjito, ingin segera membaca buku karena mendesak “mau buat outline untuk bahan kuliah”. Sewaktu-waktu Tante Erna mengontak Faiz Ahsoul untuk minta tolong mengambil buku, sesuai pesanan Aditjondro. Aditjondro kerap melontarkan keinginan “pengin ngajar” dan karena itu dia butuh buku-buku yang dimaksudnya, dengan gerak bibir yang kesulitan membentuk kalimat, dan mungkin apa yang sesungguhnya dia inginkan masih dalam kabut pikiran. Pada Jumat sore, 5 September 2014, sejumlah kolega dekat termasuk Ria Panhar, Woro Wahyuningtyas, Faiz Ahsoul, dan Tri Agus Susanto bikin satu acara apa yang mereka namakan “Ngeteh Bersama George Aditjondro”. Mereka mengundang sejumlah teman lama Aditjondro termasuk dari Salatiga selain sejumlah wartawan. Acara itu bertempat di CD Bethesda. Pegiat Radiobuku datang dan merekam testimoni dari sejumlah kolega lama, saudara, dan sahabat dekatnya. Aditjondro diminta untuk bicara tapi lebih sering terharu. Aditjondro lahir dari keluarga campuran: garis ningrat Jawa-Solo menurun dari papanya dan keturunan Belanda dari garis mamanya. Papanya lulusan sarjana hukum di Belanda dan berkarier dengan kehidupan sederhana dan menolak suap sebagai ketua pengadilan negeri termasuk di Pekalongan (tempat Aditjondro lahir) sampai pensiun di Makassar.
  • 12. PINDAI.ORG – Perjalanan Mencari Rumah /26 Agustus 2015   H a l a m a n  12  |  13     Dalam satu profil yang ditulis majalah Time Asia, edisi “Soeharto Inc.” (24 Mei 1999)—yang digugat keluarga Soeharto secara hukum—Aditjondro mengatakan, “Anak-anak Belanda memanggil saya negro, sementara anak-anak Indonesia menyebut saya bule. Jika kamu jadi orang marjinal, ketimbang identitasmu hancur karena terus berusaha dipaksa asimilasi, kamu memakai posisimu sebagai orang marjinal untuk mengungkap semua sisi: mereka yang ditindas, para penindas, dan sistem yang melanggengkan penindasan.” Mas Junus—saya menyapanya demikian—dan Tante Erna pulang ke Palu pada 6 September 2014. Itu mungkin jadi perjalanan yang lebih tenang bagi keduanya setelah Aditjondro menghadapi dua pengaduan pidana dan terus menyimpan daya hidup yang tiada disangka untuk melewati krisis terberat dalam sakitnya. Buku-bukunya berada di belakang punggung dia dan sekali, sampai saya menuliskan ini, Faiz pernah mengirim sejumlah buku ke Palu: buku-buku Karl Marx dan Antonio Gramsci. Pria ini, dalam satu wawancara terakhir di Radiobuku, masih kukuh pada cita-cita “masyarakat Indonesia punya kebebasan memilih untuk negara yang dia suka—misalnya negara federal, yang diperjuangkan secara damai melalui pemerintahan sipil”. Dia berkata kepada Lian Gogali, bertahun-tahun lalu, “Kalau saya mati, setidaknya ada warisan saya untuk orang lain atau siapapun untuk meneruskan apa yang saya tulis atau minati.” Tyas berharap, buku-buku Aditjondro bisa menebar terang ketika “GJA harus menikmati masa pemulihan dan masa tuanya di Palu bersama istri tercinta”. Kepada saya, Gogali menulis di komentar Facebook, bila naskah ini sudah terbit, dia akan “beritahu bapak” dan “bantu bacakan ke bapak dengan semangat”. Saya khawatir naskah ini terlalu rumit dan tidak ramah bagi seseorang yang sudah berumur 69 tahun, terserang stroke dan beberapa kali serangan jantung. Saya ingin menulis humor-humor yang dia sukai. Sayangnya, kekurangan saya sebagai penulis, saya tidak pandai membuat humor.[] Fahri Salam, editor Pindai, tengah-sambil-jalan menekuni sejumlah catatan tertulis George Junus Aditjondro. @fahrisalam _____________ Sumber rujukan “Investigator: A man on a mission to track the loot”—laporan majalah Time Asia edisi sampul “Soeharto Inc.” (24 Mei 1999). “Eskalasi di Poso” dalam Gerry van Klinken, Perang Kota Kecil (Jakarta: YOI, 2007, hal. 120‒147). “Arus Balik dari Oslo: Mengetuk Hati Nurani Gereja Katolik Indonesia”, dalam buku 100 hari meninggalnya Romo Mangun, Pergulatan Intelektual dalam Era Kegelisahan (Sindhunata—ed. Yogyakarta: Kanisius, 1999, hal. 201‒213).
  • 13. PINDAI.ORG – Perjalanan Mencari Rumah /26 Agustus 2015   H a l a m a n  13  |  13     “Anti Sogok dan Cinta Budaya”, dalam Berkah Kehidupan (Baskara Wardana—ed, Jakarta: GPU, 2011, hal. 232‒243). “Renungan Buat Papa Nanda, Anak Domba Paskah dari Tentena”, pengantar dalam Rinaldy Damanik, Tragedi Kemanusiaan Poso (PBHI, Yakoma PGI, CD Bethesda, 2003, hal. xviii‒l). Dari Wina ke Yogyakarta: Kisah Hidup Herb Feith, Jemma Purdey (Jakarta: KPG, 2014, hal. 465). Rekaman wawancara Radiobuku antara Ria Panhar dan GJ Aditjondro (16:51 menit, akhir tahun 2012). Di antara buku George Junus Aditjondro (mayoritas bunga rampai): Korupsi Dari Soeharto ke Habibie —Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari: Kedua Puncak Korupsi, Kolusi, dan Nepotimes Rezim Orde Baru (Jakarta: Pijar & MIK, 1998). Membedah Kembar Siam Penguasa Politik & Ekonomi Indonesia: Metodologi Investigasi Korupsi Sistemik bagi Aktivis & Wartawan (Jakarta: LSPP, 2004). Korupsi Kepresidenan —Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa (Yogyakarta: LKiS, 2006). Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century (Yogyakarta: Galangpress, 2010). Lingkungan Trilogi: Kebohongan-Kebohongan Negara; Korban-korban Pembangunan; Pola-pola Gerakan Lingkungan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003). Timor Leste Menyongsong Matahari Terbit di Puncak Ramelau: Dampak Pendudukan Timor Lorosa’e dan Munculnya Gerakan Pro-Timor Lorosa’e di Indonesia (Jakarta: Yayasan HAK & Fortilos, 2000). Tangan-tangan Berlumuran Minyak: Politik Minyak di Balik Tragedi Timor Lorosae (Jakarta: Solidamor, 2010). Papua Cahaya Bintang Kejora: Papua Barat dalam Kajian Sejarah, Budaya, Ekonomi, dan Hak Asasi Manusia (Jakarta: Elsam, 2000).