Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...
Teknik berkomunikasi dengan klien yang memiliki gangguan pendengaran dan bicara
1. Teknik Berkomunikasi dengan Klien yang Memiliki Gangguan Pendengaran dan Bicara
Oleh Anggita Oksyrana, KK-7, 1206243192
Orang yang mengalami kerusakan pendengaran, baik tuli maupun sulit mendengar,
kepekaannya terhadap bunyi akan hilang sama sekali atau berkurang. Berapapun tingkat
keparahan hilangnya pendengaran, seseorang yang memiliki gangguan pendengaran akan
menghadapi hambatan dalam berkomunikasi. Hilangnya kemampuan mendengar menimbulkan
masalah komunikasi yang sangat nyata karena orang yang tuli atau kurang mendengar mungkin
juga tidak mampu berbicara atau memiliki kemampuan verbal yang terbatas dan seringkali
miskin kosa kata. Orang yang mengalami gangguan pendengaran barangkali rentan terhadap
gangguan bicara, karena proses belajar yang terhambat. Hal ini disebabkan oleh proses belajar
mengenal kosa kata diperoleh dari kegiatan mendengar. Keterampilan membaca orang dewasa
dengan gangguan pendengaran pun rendah, kira-kira setaraf dengan kemampuan membaca kelas
empat. Keterampilan menulis mereka juga mungkin lemah. Tingkat baca-tulis yang rendah ini
disebut melek huruf fungsional.
Mereka yang tunarungu memiliki keterampilan dan kebutuhan yang berbeda-beda
bergantung pada jenis ketuliannya dan berapa lama mereka kehilangan kemampuan
mendengarnya itu. Bagi mereka yang menderita tunarungu sejak lahir, belajar bahasa mungkin
tidak ada manfaatnya, sehingga mereka mungkin tidak dapat berbicara dengan jelas.
Kemungkinan besar, model utama komunikasi mereka adalah dengan bahasa isyarat atau
membaca gerak bibir. Berikut ini beberapa model komunikasi yang disarankan sebagai jalan
untuk mengurangi hambatan dalam komunikasi dan memfasilitasi pengajaran dan pembelajaran
bagi klien yang mengalami gangguan pendengaran dan bicara.
1. Bahasa Isyarat
Bagi kebanyakan penderita gangguan pendengaran dan bicara yang berbahasa induk
bahasa isyarat, model ini seringkali menjadi bentuk komunikasi yang lebih disukai. Jika
tenaga kesehatan tidak menguasai bahasa isyarat, meminta bantuan seorang penerjemah
profesional bisa menjadi alternatif. Selain itu, tenaga kesehatan juga bisa meminta bantuan
teman atau kerabat klien yang terampil menggunakan bahasa isyarat. Akan tetapi, sebelum
meminta bantuan penerjemah, sebaiknya meminta persetujuan klien terlebih dahulu karena
2. informasi yang disampaikan berkaitan dengan masalah kesehatan yang dapat dianggap
sebagai urusan pribadi.
2. Membaca Bibir
Salah satu anggapan yang salah yang muncul pada orang yang normal adalah semua
penderita gangguan pendengaran dapat membaca bibir. Tingkat kemampuan membaca bibir
mereka tentu berbeda-beda. Dengan demikian, hanya pembaca bibir terampil saja yang akan
memperoleh manfaat yang sebenarnya dari metode komunikasi ini. Jika klien dapat membaca
bibir, tenaga kesehatan tidak perlu melebih-lebihkan gerakan bibir karena tindakan itu dapat
mendistorsi gerakan bibir dan mengganggu penafsiran kata-kata. Jika klien lebih suka
membaca bibir, pastikan wajah tenaga kesehatan menghadap ruang yang cukup terang.
Sebaiknya singkirkan benda-benda yang menutupi wajah, misalnya masker bedah, tangan,
atau permen karet.
3. Materi Tulis
Informasi tertulis barangkali merupakan cara komunikasi yang dapat diandalkan,
terutama jika pemahaman sangat diperlukan. Tenaga kesehatan sebaiknya menulis informasi
yang penting untuk melengkapi kata-kata yang diucapkan kendati klien terampil membaca
bibir. Perlu diingat bahwa pemahaman bacaan rata-rata orang dewasa tunarungu setaraf
dengan kelas empat, sehingga pesan yang disampaikan hendaknya menggunakan kalimat
yang sederhana. Alat peraga seperti gambar yang sederhana, lukisan, atau diagram bisa juga
dimanfaatkan sebagai
pelengkap untuk meningkatkan pemahaman materi tertulis.
Penyampaian informasi melalui media tulis juga bisa dilakukan oleh klien—dengan gangguan
bicara—kepada tenaga kesehatan. Metode ini bisa menjadi metode yang paling fleksibel,
karena dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan klien gangguan pendengaran dan bicara
maupun klien dengan gangguan bicara saja.
4. Verbalisasi oleh Klien
Kadang-kadang klien dengan gangguan pendengaran atau tunarungu lebih memilih untuk
berkomunikasi dengan cara berbicara, terutama jika tenaga kesehatan dan klien telah memiliki
hubungan yang baik dan saling percaya. Seringkali nada dan infleksi suara mereka akan
berbeda dari cara berbicara kebanyakan orang, sehingga tenaga kesehatan perlu menyediakan
waktu untuk mendengarkan secara cermat. Tenaga kesehatan harus menghindari interupsi saat
klien berbicara. Jika masih mengalami kesulitan, tenaga kesehatan sebaiknya membuat
3. catatan tentang informasi yang didengar dari klien agar lebih mudah dalam memahami inti
pesan.
5. Memperkeras Bunyi
Bagi klien yang mengalami gangguan pendengaran tetapi tidak hilang sama sekali, alat
bantu pendengaran mungkin akan sangat berguna. Jika klien tidak memiliki alat bantu dengar,
sebaiknya meminta persetujuan klien dan keluarganya untuk mencari rujukan dari spesialis
telinga, yang dapat menentukan apakah alat bantu dengar cocok untuk klien. Cara lain untuk
memperkeras bunyi adalah dengan menelungkupkan tangan di dekat telinga klien, atau
menggunakan stetoskop yang dibalik dengan cara memasang stetoskop di telinga klien dan
tenaga kesehatan berbicara di corongnya (Babcock dan Miller, 1994). Jika salah satu telinga
klien dapat mendengar lebih jelas daripada telinga yang lain, tenaga kesehatan sebaiknya
berada dekat dengan telinga yang “baik”. Tenaga kesehatan harus berbicara lambat, tidak
berteriak, dan hendaknya memberikan waktu yang cukup banyak bagi klien untuk memproses
pesan yang disampaikan dan memberikan tanggapan. Metode ini kurang cocok jika digunakan
untuk berkomunikasi dengan klien yang mengalami gangguan bicara saja, karena meskipun
mengalami gangguan bicara, fungsi pendengaran mereka tetap bekerja dengan baik.
Berikut ini rangkuman beberapa petunjuk dari Navarro dan Lacour (1980) yang
sebaiknya diikuti ketika menerapkan bentuk-bentuk komunikasi di atas.
1. Bersikap wajar
Jangan tegang dan kaku atau mencoba mengartikulasikan kata-kata secara berlebihan
Gunakan kalimat yang sederhana.
Pastikan klien memperhatikan dengan cara menyentuh lengannya dengan lembut sebelum
mulai berbicara.
Berdiri menghadap klien dengan jarak tidak lebih dari 2 meter apabila mencoba
berkomunikasi.
2. Bersikap penuh perhatian dan hindari hal-hal berikut.
Berbicara sambil berjalan.
Terlalu sering menggerak-gerakkan kepala.
Berbicara sambil mengunyah.
Memalingkan muka dari klien saat berkomunikasi.
Berdiri langsung di depan cahaya terang yang akan menyilaukan klien.
4. Apa pun metode komunikasi yang akan digunakan, sebaiknya kedua pihak—klien dan
tenaga kesehatan—telah membuat kesepakatan terlebih dahulu agar tercipta keselarasan persepsi
sehingga komunikasi berjalan lancar. Kegiatan komunikasi harus selalu memperhatikan tujuan
utamanya yaitu menyampaikan informasi dan menerima informasi dengan baik, sehingga
seorang informan, dalam hal ini tenaga kesehatan, harus memastikan bahwa pesan kesehatan
telah diterima dan dipahami dengan baik oleh klien. Tenaga kesehatan juga harus selalu
mengingat bahwa inti dari komunikasi kepada klien dengan keadaan khusus adalah proses
pemahaman klien divalidasikan dengan cara yang tidak menakutkan.
DAFTAR PUSTAKA
Bastable, Susan B. 1999. Perawat sebagai Pendidik: Prinsip-Prinsip Pengajaran dan
Pembelajaran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Uripni, Christina Lia. 2002. Komunikasi Kebidanan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Arwani. 2002. Komunikasi dalam Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.