1. Profil Lengkap Gajah Mada
Nama : Gajah Mada
Meninggal : 1364
Kebangsaan : Majapahit
Agama : Hindu
Ayah : Curadharmawyasa
Ibu : Nariratih
Lahirnya Gajah Mada
“Pada saka 1213/1291 M, Bulan Jyesta, pada waktu itu saat wafatnya Paduka Bhatara yang
dimakamkan di Siwabudha…Rakryan Mapatih Mpu Mada, yang seolah-olah sebagai yoni bagi
Bhatara Sapta Prabhu, dengan yang terutama di antaranya ialah Sri Tribhuwanottunggadewi
Maharajasa Jayawisnuwarddhani, cucu-cucu putra dan putri paduka Bhatara Sri
Krtanagarajnaneuwarabraja Namabhiseka pada waktu itu saat Rakryan Mapatih Jirnnodhara
membuat caitya bagi para brahmana tertinggi Siwa dan Buddha yang mengikuti wafatnya paduka
Bhatara dan sang Mahawrddhamantri (Mpu Raganatha) yang gugur di kaki Bhatara.”
Demikian bunyi Prasasti Gajah Mada yang bertarikh 1273 saka atau tahun 1351. Sebagai
mahamantri terkemuka, Gajah Mada dapat mengeluarkan prasastinya sendiri dan berhak
memberi titah membangun bangunan suci (caitya) untuk tokoh yang sudah meninggal. Prasasti
itu memberitakan pembangunan caitya bagi Kertanagara. Raja terakhir Singhasari itu gugur di
2. istananya bersama patihnya, Mpu Raganatha dan para brahmana Siva dan Buddha, akibat
serangan tentara Jayakatwang dari Kadiri.
Menurut arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar, agaknya Gajah Mada memiliki
alasan khusus mengapa memilih membangunkan caitya bagi Kertanagara daripada tokoh-tokoh
pendahulu lainnya. Padahal, selama era Majapahit yang dipandang penting tentunya Raden
Wijaya sebagai pendiri Kerajaan Majapahit. kemungkinan besar bangunan suci yang didirikan
atas perintah Gajah Mada adalah Candi Singhasari di Malang. Pasalnya, Prasasti Gajah Mada
ditemukan di halaman Candi Singhasari. Bangunan candi lain yang dihubungkan dengan
Kertanagara, yaitu Candi Jawi di Pasuruan. Candi ini sangat mungkin didirikan tidak lama
setelah tewasnya Kertanagara di Kedaton Singhasari.[9]
Menurut Agus, berdasarkan data prasasti, karya sastra, dan tinggalan arkeologis, ada dua alasan
mengapa Gajah Mada memuliakan Kertanagara hingga mendirikan candi baginya. Pertama,
Gajah Mada mencari legitimasi untuk membuktikan Sumpah Palapa. Dia berupaya keras agar
wilayah Nusantara mengakui kejayaan Majapahit. Kertanagara adalah raja yang memiliki
wawasan politik luas. Dengan wawasan Dwipantara Mandala, dia memperhatikan daerah-daerah
lain di luar Pulau Jawa. Dengan demikian Gajah Mada seakan meneruskan politik
pengembangan mandala hingga seluruh Dwipantara (Nusantara) yang awalnya telah dirintis oleh
Kertanegara.
Kedua, dalam masa Jawa Kuno, candi atau caitya pen-dharma-an tokoh selalu dibangun oleh
kerabat atau keturunan langsung tokoh itu, seperti Candi Sumberjati bagi Raden Wijaya
dibangun tahun 1321 pada masa Jayanegara; dan Candi Bhayalango bagi Rajapatmi Gayatri
dibangun tahun 1362 oleh cucunya, Hayam Wuruk. Atas alasan itu, Gajah Mada masih
keturunan dari Raja Kertanagara. Setidaknya Gajah Mada masih punya hubungan darah dengan
Kertanagara.
Ayah Gajah Mada mungkin sekali bernama Gajah Pagon yang mengiringi Raden Wijaya ketika
berperang melawan pengikut Jayakatwang dari Kediri. Gajah Pagon tidak mungkin orang biasa,
bahkan sangat mungkin anak dari salah satu selir Kertanagara karena dalam kitab Pararaton,
nama Gajah Pagon disebut secara khusus. Ketika itu, Raden Wijaya begitu mengkhawatirkan
Gajah Pagon yang terluka dan dititipkan kepada seorang kepala desa Pandakan. Menurutnya,
sangat mungkin Gajah Pagon selamat kemudian menikah dengan putri kepala desa Pandakan dan
akhirnya memiliki anak, yaitu Gajah Mada yang mengabdi pada Majapahit.
Gajah Mada mungkin memiliki eyang yang sama dengan Tribhuwana Tunggadewi. Bedanya
Gajah Mada cucu dari istri selir, sedangkan Tribhuwana adalah cucu dari istri resmi Kertanagara.
Dengan demikian, tidak mengherankan dan dapat dipahami mengapa Gajah Mada sangat
menghormati Kertanagara karena Raja itu adalah eyangnya sendiri. Hanya keturunan
Kertanegara saja yang akan dengan senang hati membangun caitya berupa Candi Singasari untuk
mengenang kebesaran leluhurnya itu. Bahkan konsepsi Dwipantra Mandala dari Kertanagara
mungkin menginspirasi dan mendorong Gajah Mada dalam mencetuskan Sumpah Palapa
3. Akhir hidup Gajah Mada
"Tersebut pada tahun saka angin delapan utama (1285). Baginda menuju Simping demi
pemindahan candi makam... Sekembalinya dari Simping segera masuk ke pura. Terpaku
mendengar Adimenteri Gajah Mada gering. Pernah mencurahkan tenaga untuk keluhuran ke
Jawa. Di Pulau Bali serta Kota Sadeng memusnahkan musuh.”
Begitulah bunyi pemberitaan dalam Kakawin Nagarakretagama pupuh 70/1-3 dikutip Slamet
Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama. Raja Majapahit Rajasanegara atau Hayam
Wuruk yang sedang melakukan perjalanan upacara keagamaan ke Simping (Blitar) dikejutkan
dengan berita Gajah Mada sakit. Dia segera kembali ke ibukota Majapahit.
Meski perannya di Kerajaan Majapahit begitu melegenda, akhir riwayat Gajah Mada hingga kini
masih belum jelas. Arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar dalam Gajah Mada
Biografi Politik menulis, ada berbagai sumber yang mencoba menjelaskan akhir hidup Gajah
Mada. Sumber pertama adalah Kakawin Nagarakretagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca itu
mengisahkan akhir hidup Gajah Mada dengan kematiannya yang wajar pada tahun 1286 Saka
(1364 M). Dari cerita-cerita rakyat Jawa Timur, Gajah Mada dikisahkan menarik diri setelah
Peristiwa Bubat dan memilih hidup sebagai pertapa di Madakaripura di pedalaman Probolinggo
selatan, wilayah kaki pegunungan Bromo-Semeru. Di wilayah Probolinggo ini memang terdapat
air terjun bernama Madakaripura yang airnya jatuh dari tebing yang tinggi. Di balik air terjun
yang mengguyur bak tirai itu terdapat deretan ceruk dan satu goa yang cukup menjorok dalam
dan dipercaya dulu Gajah Mada menjadi pertapa dengan menarik diri dari dunia ramai
sebagai wanaprastha (menyepi tinggal di hutan) hingga akhir hayatnya.
Adapun Kidung Sunda menyebutkan bahwa Gajah Mada tidak meninggal. Kidung ini
membeberkan bahwa Gajah Mada moksa dalam pakaian kebesaran bak Dewa Visnu. Dia moksa
di halaman kepatihan kembali ke khayangan. Namun, Agus Aris Munandar menyatakan bahwa
akhir kehidupan Gajah Mada lenyap dalam uraian ketidakpastian karena dia malu dengan
pecahnya tragedi Bubat. Selanjutnya, menurut Agus, bisa ditafsirkan bahwa Gajah Mada
memang sakit dan meninggal di Kota Majapahit atau di area Karsyan yang tak jauh dari sana. Itu
sebagaimana dengan keterangan kembalinya Rajasanagara ke ibukota Majapahit
dalam Nagarakretagama, segera setelah mendengar sang patih sakit.
Absennya Gajah Mada dalam politik Majapahit meninggalkan luka bagi sang raja. Hayam
Wuruk sangat bersedih. Bahkan dikisahkan raja itu begitu putus asa. Dia langsung menemui
ibunya, kedua adik, dan kedua iparnya untuk membicarakan pengganti kedudukan sang
Mahapatih Amangkubhumi. Namun, "Baginda berpegang teguh, Adimenteri Gadjah Mada tak
akan diganti,” tulis Nagarakretagama pupuh
Hayam Wuruk pun mengadakan sidang Dewan Sapta Prabu untuk memutuskan pengganti Gajah
Mada. Karena tidak ada satu pun yang sanggup menggantikan Patih Gajah Mada, Hayam Wuruk
kemudian memilih empat Mahamantri Agung dibawah pimpinan Mpu Nala Tanding untuk
selanjutnya membantunya dalam menyelenggarakan segala urusan negara. Namun hal itu tidak
berlangsung lama. Mereka pun digantikan oleh dua orang mentri yaitu Gajah Enggon dan Gajah
4. Manguri. Akhirnya Hayam Wuruk memutuskan untuk mengangkat Gajah Enggon sebagai
Mahapatih Amangkubhumi menggantikan posisi Gajah Mada.
Nilai Luhur Gajah Mada
Berjiwa besar
Rela berkorban
Pantang menyerah
Memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi
Memiliki jiwa kepemimpinan
Selalu Bertnggung jawab