4. ii
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002, Tentang Hak Cipta
PASAL 2
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang
Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya,
yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa
mengurangi pembatasan menurut perundang-undangan yang
berlaku
PASAL 27
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1)
dan ayat (2) dipidana penjara masing-masing paling singkat satu
(1) bulan dan/ atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000.00 (Satu Juta
Rupiah), atau paling lama tujuh (7) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 5.000.000.000.00 (Lima Miliar Rupiah)
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau
barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama
lima (5) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000.00
(Lima Ratus Juta Rupiah)
6. iv
Aku Bukan Odiseus dan Dia Bukan Penelope
(Kumpulan Cerita-Pendek)
Dantje S Moeis
Cover dan ilustrasi Cerita-Pendek: Dantje S Moeis
Tata Letak: Rudi Yulisman
Hak cipta dilindungi undang-undang. Diperbolehkan
mengutip sebagian tetapi dilarang mengutip keseluruhan atau
memperbanyak isi tanpa izin penerbit dan penulis.
7. v
Pengantar
DANTJE S Moeis lahir di Rengat (Inhu, Riau) 12 April
1952. Selama tiga periode menjadi pengelola Komite
Seni Rupa, Dewan Kesenian Riau. Sebagai perupa ia
berpengalaman mengikuti banyak sekali pameran seni
rupa baik di Pekanbaru, Medan, Batam dan kota-kota
lainnya di Sumatera dan di luar Sumatera antara lain,
Jakarta, Jogjakarta, Makasar, Balikpapan.
Dibidangsenirupayangmenjadiindukkegiatansebagai
seniman, Dantje S Moeis menjadi pelopor penciptaan
instalasi di Riau, bersama pelukis temannya Nasrun Thaher.
Mereka juga menyelenggarakan secara sendiri beberapa
kegiatan melukis yang ditaja oleh lembaga-lembaga di luar
negeri terutama dari Jepang.
Bersama Armawi KH, Dantje S Moeis pernah pula
menyelenggarakan penerbit yaitu Pucuk Rebung yang
bermarkas di Taman Budaya Riau. Selain itu, Dantje juga
sering mengerjakan penataan kulit buku-buku terbitan
beberapa penerbit di Pekanbaru.
Inovasi yang dilakukan Dantje S Moeis sebagai
seniman ialah dengan melaksanakan kegiatan melintas
batas kesenian dan menghidupkan kembali bakat lamanya
sebagai penulis. Lintas-batas yang dilakukan berupa
menciptakan cerita-cerita pendek yang memperlihatkan
bahwa ia sudah jauh dari berpengalaman di bidang ini. Hal
ini dikarenakan Dantje berpengalaman menjadi ilustrator
dan penata kulit beberapa media sastra dan budaya seperti
Menyimak, Suara dan Sagang. Dari pengalaman menjadi
8. vi
ilustrator pelukis Dantje S Moeis membuat simpulan yang
dapat digolongkan semacam poetika yang mengatakan
bahwa jika cerita yang akan dibuatnya itu bagus, maka
ilustrasinya pun terangsang untuk menjadi bagus.
Selama ini Dantje S Moeis memperlihatkan bahwa ia
menghasilkan lukisan-lukisan yang prolifik: dan bermutu.
Bakatnya di bidang seni lainnya tak diabaikannya dan hal
itu dibuktikannya dengan karya-karya tulis kreatif yang
tersebar di berbagai media massa dan pada buku-buku
antologi cerpen serta buku kumpulan cerpennya bertajuk
Semah Japura Laut dan buku ini, Aku Bukan Odiseus dan
Dia Bukan Penelope. ***
9. vii
Daftar Isi
Surat Pendek Buat Sultan ..................................................1
Vas Bunga............................................................................9
Ya…. Bebas Murni ...........................................................15
Aku Bukan Odiseus dan Dia Bukan Penelope .............21
Di-Manjamalam ...............................................................29
Dia di Luan Sampan .......................................................35
Dolah pencerita ................................................................41
Kementut...........................................................................51
Ketitiran.............................................................................61
Mati yang Indah................................................................67
“MELOPO” (Leha Perempuan Inderagiri) ...................75
Memilih Saat Mati (Yang Salah).....................................85
Ndu Amat..........................................................................91
Pengantin Bunian...........................................................101
Pisahkepala......................................................................111
Sio Sio Ngangkang..........................................................121
Baju Sultan kita...............................................................133
Tujuh Belas Agustus di Tidur Siang.............................143
Umur Panjang.................................................................151
Dipanjat Sepi...................................................................155
“Melabuh Kesumat” .......................................................161
11. 1
SURAT PENDEK
BUAT SULTAN
SiBurik kembali terbang dan kini bertengger di dahan
pohon jambu belakang rumah. Sudah hampir setengah
jam Pak long Amat mengejar ngejar ayam yang seekor ini.
Sudah habis pula secanting beras untuk pengumpan agar
siBurik ayam liar ini bisa sedikit jinak dan dapat ditangkap.
SiBurik seakan tahu apabila ia tertangkap, maka akan
tamat riwayatnya. Ia akan menjadi santapan yang akan
dihidangkan di meja makan restauran Mak Siti, sebuah
restauran yang terkenal dengan kelezatan ayam gorengnya.
Ia seakan tak perduli dengan kesulitan ekonomi yang
sedang melanda Pak long Amat. Orang yang dengan
telaten memelihara dan membesarkan, mulai dari sebutir
telur sampai menjadi seekor ayam jantan besar dan gagah
seperti sekarang ini.
“Ayam celaka, mampus dikoyak koyak musang lah
hendaknya.” Pak long Amat menyumpah nyumpah, sambil
berlalu dan meninggalkan si Burik yang masih tetap
bertengger di dahan pohon jambu belakang rumah.
Dengan tidak tertangkapnya siBurik, berarti
berkuranglah pendapatan untuk biaya masuk kuliah siAtan
anak Pak long Amat nomor tiga.
Pening dan terus menggerutu, Pak long Amat
12. 2
melangkah masuk rumah.
“Apalagi yang harus kujual, untuk mencukupi
biaya masuk kuliah siAtan. Pening, sungguh pening
aku dibuatnya.” Pak long Amat terus menggerutu dan
menghenyakkan pantatnya yang tepos di kursi kayu,
sehingga mengeluarkan bunyi berdengkang agak keras.
Atan atau nama lengkapnya Joniatan, ada lima
bersaudara.DianomortigadariurutananakPaklongAmat
denganisterinyaZaenab.Jonnordinabangnyatertua,sudah
lima tahun ini menyandang gelar sarjana, Doktorandus
sospol. Gagah, memang gagah, tapi sayangnya sampai saat
ini masih menganggur, walau sesekali ia bantu juga Pak
long Amat yang berprofesi sebagai tukang bangunan untuk
jadi assisten bahagian aduk semen.
Sebenarnya dia sadar, sesadar sadarnya bahwa untuk
pekerjaan seperti ini, tidak dituntut pendidikan khusus,
apalagi pendidikan dan gelar seperti yang disandangnya
saat ini. Tapi apa boleh buat dari pada tidak sama sekali.
Dengan segala ketabahan hati, ia lakukan juga pekerjan
yang sebenarnya bukan porsi dia.
Atan sering berkomentar mengenai abangnya.
“Pantas saja bang Nordin terus terusan menganggur,
habisdiatakpandaibergaul.Tidakpernahaktifdiorganisasi
organisasi di dalam ataupun di luar kampus. Tidak pernah
berupaya mencari sangkutan atau kata lainnya koneksi.
Kerjanya sedari dulu cuma belajar dan terus belajar jadi
kutu kampus. Nilainya memang bagus, hampir hampir dia
meraih prediket cumlaude. Tapi, ya itu tadi, setelah lulus
bang Nordin sulit mendapatkan pekerjaan yang sesuai.”
Komentar ini selalu Atan sampaikan kepada ayahnya,
13. 3
karena Pak long Amat tak ingin kejadian yang menimpa
Nordin terulang kepada Atan, di samping kondisi keuangan
yang semakin sulit dan beban tanggung jawab yang dipikul
Pak long Amat ia rasakan semakin berat.
“ Cukup sampai SMA saja, setelah itu cobalah mencari
pekerjaan, ikut tes masuk polisi atau tentara umpamanya.
Karena phisik kau aku lihat memenuhi syarat untuk itu.”
Namun Atan tetap pada pendiriannya. Ia menginginkan
terus kuliah dan apa boleh buat, akhirnya Pak long Amat
terpaksa mengalah.
Dengan sesekali dibantu Nordin, Pak long Amat dengan
segala daya upaya berusaha mencarikan biaya kuliah Atan
dan sekolah adik adiknya.
Siang itu, dua tahun yang lalu semenjak Atan diwisuda.
Doktorandus juga gelarnya. Doktorandus ekonomi.
Awalnya harapan demi harapan berlomba ingin
mendapat tempat di ruang khayal Atan.
Tajam paku sol sepatu yang menghujam hujam telapak
kaki tak berkaus, hampir tak dapat dirasakan Atan. Ia
yakin, hakkulyakin seyakin yakinnya bahwa dia tak akan
bernasib seperti Nordin abangnya.
Dia akan memanfaatkan keakrabannya selama
ini dengan pak Drs. Dahsyat Bakhil MBA yang ketua
organisasi Pemuda Cendekiawan Cerdas dan Tangkas (
PEMDEKDAS dan KAS).
Begitu juga ia coba memasang “lukah” di tempat tempat
lain, seperti mendekatkan diri ke Ibu Polandry Ningsih,
kepala bahagian air di kantor kota. Ibu ini adalah pakar
dibidang air, mulai dari air yang bersih sampai ke air kotor.
Dari air yang keluar dari tanah sampai ke air yang keluar
14. 4
dari tubuh.
Selama ini Atan selalu membantu ibu ini dalam
menjalankan tugas baik dinas maupun non dinas.
Tugas non dinas yang pernah dia kerjakan antara lain
seperti, mencuci piring dirumah bu Polandry Ningsih.
Mengantarkan si Western, anjing greyhound kesayangan
suami bu Polandry Ningsih untuk terberak di tempat
pembuangan sampah dan lain lain pekerjaan yang ia yakin
imbalannya akan ia dapatkan di kemudian hari.
Atan juga akrab dengan pak Drs. Krupusi, seorang
direktur utama dari bank pemerintah. Cuma sayangnya
sebelum Atan tamat kuliah, pak Drs. Krupusi ditamatkan
baginda Raja masa kerjanya. Ia ketahuan berkolusi bersama
beberapa menteri, melakukan korupsi menghembat duit
kerajaan. Sayang betul memang, tapi tak mengapa, masih
banyak yang lain. Memang sangat banyak gantungan
gantungan yang ia buat selama ini untuk mewujudkan
mimpi mimpi.
Tahun pertama mencari kerja. Dengan gagah
perkasanya Atan menghadap kepada semua bapak bapak
dan ibu ibu yang pernah diakrabinya.
Dalam perjalanan khayal, terasa seperti lompatan
lompatan beribu anak gamak menyeruak, mencatuk catuk
relung dadanya dan menimbulkan rasa tergeli geli sedap.
Ah……..indahnya.
Ia akan suruh ayahnya berhenti menukang. Ia akan
buatkan beliau rumah yang indah, rumah yang ada
tamannya, lengkap dengan air mancur yang menari nari
di hembus angin sejuk semilir. Setiap pagi emaknya dapat
memetik bunga yang tertata rapi tumbuh di taman sekitar
15. 5
rumah. Mengisi jambangan kristal di setiap sudut ruangan,
membaca majalah wanita dan koran terbitan pusat, untuk
penambah kadar intelektual dan wawasan.
Sayang………..
Semua khayalnya pupus karana kata kata senada
dari bapak bapak dan ibu ibu yang pernah dibantu dan
diakrabinya.
“Sabarlah Tan, untuk tahun ini penerimaan pegawai
baru di kantor ini sangat terbatas. Prioritas pertama hanya
untuk orang dalam saja. Cobalah tahun depan.”
Tahun kedua, Atan coba lagi mencucuk menyorongkan
diri melamar kerja. Walau tak segagah dulu, ia menghadap
juga kepada bapak bapak dan ibu ibu koneksinya.
Pertama tama dia temui pak Naipotis Sedulur, orang
pertama di departemen ladang.
Sengaja pak Naipotis Sedulur ia perlakukan sebagai
orang pertama yang dihubunginya untuk memberikan
jalan di luar jalur mendapatkan pekerjaan. Karena
menurutnya, di samping dia sangat akrab sekali dengan
putra beliau, Pak Naipotis sedulur adalah orang yang
paling tinggi frekwensi permintaan tolongnya kepada Atan
dan selalu saja permintaan tolong itu Atan kabulkan. Ironis
seandainya permintaan sejenis datangnya dari Emak atau
Ayah di rumah, Atan sudah pasti menolak.
Bayangkan betapa besar harap yang tertumpu kepada
pak Naipotis Sedulur.
Tapi apa. Sungguh suatu jawaban yang tidak terduga
sama sekali keluar dari mulut pak Naipotis Sedulur.
“Sedang anak saya sendiri, si Kajlun temanmu itu tak
bisa saya masukkan. Soal masuk memasukkan itu bukan
16. 6
urusan saya, coba sajalah ikut testing resmi dan tak usah
macam macam, karena di departemen ini rekruitment
pegawai murni melalui prosedural test.”
Rasa lompatan lompatan anak ikan gamak yang
menyebabkan Atan tergeli geli sedap, ketika memasuki
ruang kantor pak Naipotis Sedulur, kontan drop anjlok.
Mendadak berganti dengan rasa sakit hati, dendam dan
putus asa.
Kepada bapak bapak yang lain, begitu juga ibu ibu yang
selama ini ia harap dapat dijadikan gantungan, Atan coba
menghadap dan berharap. Namun jawaban yang didapat
selalu sama.
“Kalau kamu tak lulus test ya sudah, cobalah bersabar
lain kali dicoba lagi dan jangan putus asa.”
Atan mulai putus asa, kerennya frustrasi dan depressi.
Dalamperjalananpulangiamerasaseakandihempaskan
keluar dari gedung gedung megah, gedung kantor tempat
ia melamar. Ia merasakan dirinya tak obah anjing kurap,
walau pernah berjasa namun tetap harus dijauhi dan
dibuang karena menjijikkan.
Dalam setiap langkah gontainya yang terdengar tak
lain tak bukan hanyalah, “betul kata ayah, betul kata
ayah………betul kata ayah……betul kata ayahku…..”
Depan makam para pahlawan, Atan seperti tak sanggup
lagi melanjutkan langkah untuk pulang. Ia terhenyak
duduk di pelataran depan. Matanya gelap, keringat dingin
bercucuran. Dalam keadaan demikian, ia merasakan
seakan akan batu nisan yang tersusun rapi antri melintas
dihadapannya, bergantian menyapa.
“Kasihan kau nak. Kami tak menyangka bahwa wujud
17. 7
dari perjuangan kami akan begini jadinya.”
Atan tersentak. Bulu kuduknya berdiri. Ia bangkit,
berlari dan terus berlari pulang.
Pagi itu, Atan diminta tolong oleh tetangganya untuk
mengurus sesuatu di departemen ladang. Ia bergegas pergi,
karena jelas akan mendapatkan uang lelah dari si tetangga
orang yang super sibuk itu.
Entah mengapa, Atan tak sengaja bertemu dengan
si Kajlun putra pak Naipotis Sedulur yang waktu tesing
masuk dulu, sama sama dinyatakan tak lulus. Begitu juga
dengan pernyataan ayahnya, bahwa dia sama sekali tidak
dapat menolong Kajlun.
“Nah anehnya, kenapa si Kajlun saat ini berpakaian
dinas departeman ladang?”
Didekatinya si Kajlun, “Lun, kau kerja di sini, kan dulu
kita sama sama tak lulus testing.”
“Ah, kau ini,” kata Kajlun lalu dilanjutkan.
“Masak bapakku yang orang pertama di Departemen
ini tidak dapat memasukkan aku anaknya untuk bekerja
di sini? Mana logikamu? dan kau tahu, anak anak orang
dalam sini, mendapat prioritas utama untuk bekerja di
sini.”
Atan balik kanan gerak, tak jadi mengurus keperluan
tetangganya. Dalam benaknya hanya terbaca sebuah
kesimpulan, “Rupanya untuk menjadi pegawai, harus
punya bapak, paman, mak cik atau saudara dekat yang
berpengaruh di instansi terkait. Kalau tidak, sampai
mampus, jangan diharap akan dapat bekerja di sana. Tipis
harapan, setipis tapak sepatu yang tiap sekejap diasah aspal
bolak balik mengantarkan lamaran kerja.”
18. 8
Di rumah, berhari hari Atan terus berpikir dan bertanya
dalam hati.
“Kok bisa begini?”
Atan seperti digerakkan sesuatu. Ia bangkit dan menulis
surat buat raja. Ia mengusulkan agar di negeri ini harus
ada departemen baru. Dalam proposal yang dibuatnya
berhari hari, namanya ia cantumkan sebagai menteri yang
membawahi departeman tersebut, tentu dengan tujuan
agar bang Nordin, adiknya Talfiah, sepupunya yang banyak
masih menganggur mendapat peluang kerja formal dan
bergengsi.
Atan menunggu jawaban raja, terus menunggu dan
menunggu sembari rutin makan obat yang diberikan
dokter dari rumah sakit jiwa. Sedang di halaman rumah,
terlihat siBurik ayam jantan tua yang kini tak lagi liar, jinak
mematuk matuk antah beras yang dibuang di dekat tangga
dapur, semakin hari semakin jinak dan mendekat seakan
hendak menyerahkan diri. Tapi walau bagaimanapun
pengorbanan nyawanya taklah lagi dapat diandalkan.
19. 9
VAS BUNGA
Pada awalnya, terlihat hanya vas bunga porselein China
itu saja yang bergerak gerak, menghentak hentak berirama.
Persis seperti hentakan kaki mengiringi irama musik joget
serampang laut.
Mulanya aku sama sekali tak perduli, padahal kejadian
itu cukup aneh.
“Ah, lantaklah. Paling paling bergoyangnya vas itu
disebabkan mobil mobil besar pengangkut kayu balak
yang melintas di depan. Tanah tapak bangunan rumah ini
memang labil.”
Vas bunga yang terletak di atas rak majalah Maimun,
terus menghentak hentak dan bergerak gerak tak pasal.
Tak ada angin, tak ada gempa yang menggoyangnya, tidak
juga mobil mobil raksasa pengangkut kayu balak yang
melintas di depan.
Aku tak mengerti, mengapa aku tidak mencari
penyebab yang pasti mengapa vas bunga porselein China
itu bergoyang goyang, berjoget joget.
Vas bunga itu milik Maimun. Sudah hampir empat
hari benda itu kulihat berada di sana, di atas rak majalah.
Aku sengaja tidak menanyakan perihal keberadaan vas
tersebut. Dari mana Maimun mendapatkannya, di mana
dia membeli, aku tak perduli, sama juga dengan ketidak
acuhannya kepadaku selama lebih dari seminggu ini.
Aku menikahi Maimun tak kurang dari tiga tahun
yang lalu. Bukan sesuatu yang baru selama pernikahan
kami, Maimun tidak mengacuhkan aku. Terkadang aku
20. 10
juga tak habis mengerti, tiga tahun sebenarnya merupakan
suatu masa yang cukup panjang untuk menentukan sikap.
Sikap yang sebenarnya harus dimiliki semua suami yang
menghadapi perihal rumah tangga seperti aku ini.
Tapi, entah mengapa aku tak bisa. Aku terlalu
menyayangi Maimun, aku telah mencintainya secara
membabi buta, terlalu mengasihinya. Aku melewati
perjuangan perjuangan yang cukup berat untuk
mendapatkannya dan kuakui memang, tidak molek cara
cara yang kupakai saat itu.
“Ah, sudahlah. Mudah mudahan ia bisa berubah.”
Hentakan yang semakin keras terdengar dari vas
bunga porselein China di rak majalah itu, membuyarkan
lamunanku tentang perjalanan rumah tangga kami.
Mau tak mau terpaksa aku memperhatikan kelakuan
vas bunga yang sebenarnya cukup aneh. Tetapi keanehan
itu tidak kurasakan. Yang terasa hanya dongkol, benci dan
sakit hati melihat vas bunga porselein China tersebut.
Semakin kubeliakkan mata melihatnya, semakin
menjadi jadi saja kelakuannya.
Kali ini bukan vas itu saja yang berjoget joget.
Lukisan orang orang sebagai penghias dinding vas itu
pun ikut menari nari. Lukisan perempuan muda cantik
sedang bermain kecapi, pemuda gagah bermain seruling
dan seorang anak lelaki kecil dengan gendangnya ikut
meningkah hentakan hentakan vas bunga porselein China
yang semakin menggila, semakin memekakkan telinga.
Kemana Maimun. Mengapa ia tak merasa terganggu
oleh musik yang memekakkan telinga ini. Biasanya,
sedikit saja aku mendengarkan musik dari tape recorder
21. 11
yang ada di kamar tidur kami, atau sedang menyalakan
tape recorder mobil saat kami berdua dalam perjalanan,
selalu saja dia menggerutu dengan komentar komentar
yang menyakitkan. Yang berisiklah, lagu kampunganlah,
atau paling sedikit dengan gaya seorang nyonya besar, ia
memerintahkan aku suaminya untuk mengecilkan volume
suara. Sepertinya biasanya, aku menurut dan selalu
mengalah.
Tetapi kali ini kok aneh, ia tidak bereaksi sama sekali.
Begitu juga dengan mak Atun pembantu di rumah tangga
kami. Sedari tadi kulihat dia lalu lalang, sibuk mengerjakan
pekerjaan rutinnya. Ia selambe saja, seakan tidak peduli
dengan musik berisik, menghentak hentak gendang telinga
yang berasal dari vas bunga porselein China di atas rak
majalah.
Vas bunga porselein China semakin menjadi jadi
goyang dan hentaknya. Begitu juga dengan gambar gambar
orang yang menghiasi vas itu.
Kuusap mata seakan tak percaya dengan apa yang
kulihat. Dari dinding vas yang berlapis glassir, satu persatu
kulihat gambar gambar orang yang menghias dindingnya,
berlompatan keluar. Mereka menari nari di atas meja,
melompat ke sana sini, ke tumpukan majalah dan yang
menjengkelkan, sambil menari, bermain musik, mereka,
gambar gambar itu mencibir cibirkan mulutnya kepadaku.
Sambil bernyanyi dan bermain musik, mereka mengejekku.
Yangpalingkurangajar,perempuanmudasipemetikkecapi,
sesekali menyingkapkan rok panjang penutup bahagian
bawah tubuhnya dan kemudian melorotkan celana dalam
putih berenda sambil menyunggingkan pantatnya yang
22. 12
putih melepak ke hadapanku.
“Pukimaknya amoy sundal ‘ni.” Aku menggerutu dalam
hati dan dengan gerak refleks kuayunkan tangan untuk
menangkapnya.
“Hup,” aku menagkap angin. Ternyata mereka sudah
kembali berada di dinding vas bunga sebagai lukisan
penghias.
Aneh dan anehnya, aku tak merasakan keanehan
itu. Yang kurasakan hanya kedongkolan, sakit hati dan
penasaran.
Kuurungkan niatku untuk meraih lalu membanting vas
bunga porselein China celaka itu. Aku sadar, perbuatan itu
tentu akan berakibat semakin meruncingnya hubungan
rumah tangga kami. Maimun isteriku tersayang tentu tidak
akan tinggal diam dan tentu akan memperlebar jurang
permusuhan di antara kami, yang selama ini memang telah
dengan sengaja dibuatnya. Tapi entah mengapa, sedikitpun
aku tidak berupaya untuk menghindari pandangan dan
tetap menatap vas bunga porselein China di atas rak
majalah Maimun.
Dengan jarak yang sengaja kujauhkan dari kedekatan
pandang seperti tadi, kembali mataku kelotot melihat vas
bunga porselein China menari nari, berjoget joget dan
satu persatu gambar orang orang penghiasnya kembali
berlompatan keluar. Kembali si pemuda gagah memainkan
seruling dengan nada melengking tinggi memekakkan
telinga, sedang si anak lelaki kecil yang memegang
gendang, menabuh gendangnya keras keras seperti sengaja
dan dibuat buat untuk menyakitkan hatiku.
Sampai pada puncaknya, aku tak kuasa menahan
23. 13
amarah. Hilang kendali lupa segalanya.
Ketika si Amoy sundal pemetik kecapi kembali
menyunggingkan pantatnya yang berkilat putih melepak,
ketika itu pula aku meraih vas bunga porselein China di
rak majalah, membantingnya ke lantai, hancur berkeping
keping dan kemudian senyap, sesenyap senyapnya.
Kesenyapan yang diakhiri oleh sebuah tamparan
keras mendarat di mukaku. Aku gelagapan dan semakin
gelagapan ketika tamparan demi tamparan susul menyusul
diselingi pukulan tinju mendera di pipi, hidung dan
dadaku.
Setelah mengerdip ngerdipkan mata, aku baru sadar
bahwa tamparan dan pukulan tinju itu dilayangkan oleh
Maimun yang herannya, saat ini sedang berada di atas
tempat tidur kami bersamaku di kamar kami.
Puas menampar dan memukul, Maimun meraung
keras dan di sela raungannya ia berkata, “Betul betul kau
seorang lelaki yang tak punya hati,” terus meraung dan
membenamkan kepalanya ke bantal membelakangiku.
“Kau, kau selama ini memang bisa menguasai tubuhku.
Mungkin untuk selamanya. Tapi kau takkan pernah dapat
menguasai perasaanku, perasaan batinku.” Maimun
berhenti sejenak, menyeka air mata yang menggelinding
dengan tepi daster dan aku manfaatkan situasi ini untuk
coba menenangkannya.
“Sudahlah sayang, bukankah kau sekarang sudah
menjadi isteri abang dan demi tuhan, abang berjanji
akan selalu berupaya untuk membahagiakanmu,
menyenangkanmu,insyaallahlahirbatin.Abangrasasudah
cukup segala sesuatu yang abang buat selama ini untuk
24. 14
membuktikan bahwa abang, betul betul mencintaimu,
mengasihimu dan sampai sampai, abang mengorbankan
harga diri abang sebagai seorang suami.”
“Tidak….” Maimun berteriak keras di sela tangisnya.
“Tidak, kau telah menghancurkan mimpi mimpiku,
mimpi indahku.”
“Mimpimu?”
“Ya, mimpi indahku. Mimpi yang menjadi satu satunya
kebahagian sejak menjadi isterimu. Kau telah memecahkan
vas bunga porselein China pemberian bang Bahtiar empat
hari lalu.Sebuahvasbungayang membangkitkankenangan
kenangan manis semasa menjadi kekasihnya. Perbuatanmu
takkan pernah bisa kumaafkan.” Maimun terus dan terus
menangis. Sekali ini, entah apa yang membangkitkan
kekuatan dalam diriku. Entah apa yang menuntunku untuk
berbuat sesuatu. Perbuatan mengemasi beberapa helai
pakaian, memasukannya ke dalam kopor serta selambe dan
tanpa pamit meninggalkan Maimun yang masih menangis.
Aku, selambe menuju ke luar kamar, selambe seperti
biasanya, menyelusuri koridor, turun menapaki tangga
melewati ruang keluarga, melihat vas bunga porselein
China yang masih utuh bertengger di atas rak majalah
Maimun. Aku berpaling benci, tak perduli dan terus
melangkah ke luar merenangi malam, meninggalkan
mimpi buruk, mimpi kami.
25. 15
YA….
BEBAS MURNI
Sejak pagi tadi.
Sejak usai shalat subuh.
Sejak naik mobil tahanan dan kemudian meninggalkan
rumah tahanan ke pengadilan, hingga kini duduk sebagai
terdakwa menunggu putusan majelis hakim.
Sejak lama sebenarnya. Sejak tujuh bulan lalu, akhirnya
ke jalan berliku jua langkah lurus di sisa-sisa hidup ini
kutapaki. Keadaan yang membelokkan tanpa kehendakku,
sungguh demi Tuhan, bukan buah dari salah dan silapku.
Padahal pertengahan tahun depan aku dipastikan
pensiun dari pekerjaan dengan jabatan akhir lumayan
tinggi, berpengaruh dan menentukan dalam hampir segala
keputusan.
Rupanya jabatan tinggi juga menciptakan tantangan-
tantangan yang sebenarnya tak ada dalam pikiranku
sebelumnya. Tantangan yang terpikirkan dan lama
kupersiapkan adalah kompleksitas beban yang harus
kupikul. Di antaranya, meluangkan waktu lebih banyak
untuk kepentingan pekerjaan daripada keluarga.
Untunglah istri, anak-anak yang sudah dewasa dan terlihat
sangat memahami akan beban tanggung jawab jabatan di
26. 16
pemerintahan.
Disengaja ataupun tidak, akhir-akhir ini ada sebuah
fenomena yang terjadi di negara kita, menerima jabatan
penting, sama dengan menjemput masalah yang bermuara
pada petaka di diri pribadi. Dan itu sebuah kenyataan
yang sekarang kuhadapi. Opini-opini yang dibangun oleh
orang-orang yang tidak menyukaiku, orang-orang yang
terhenti berkesempatan meraup kekayaan dengan cara
yang tak halal dengan keputusan-keputusan dan kebijakan
yang kubuat. Demikian gencarnya mereka secara sistematis
membangun opini dan itu sangat mempengaruhi pikiran
masyarakat yang bermuara pada kenyataan bahwa aku
dicap sebagai koruptor besar dan sangat merugikan
masyarakat.
Terpuruk pada keadaan yang tak pernah kulakukan.
Ironis, sebagai sebuah kenyataan dan aku hampir
kehilangan kata-kata untuk menyampaikan kebenaran.
“Saudara terdakwa.”
“Ya..yang mulia pak hakim.”
“Apakah saudara cukup paham dan mengerti dengan
tuntutan yang dibacakan oleh jaksa penuntut umum pada
persidangan yang lalu?”
Tersedak dan kerongkongan terasa tersumbat hingga
aku kehilangan sama sekali kemampuan berkata-kata. Yang
tampak jelas di saat ini, pada saat aku harus mendengarkan
pembacaan putusan hakim adalah, gambaran kronologi
penangkapan diriku siang itu. Beberapa orang petugas
negara berkendaraan dinas, menyalib dan menghentikan
mobil yang kukendarai.
Setelah memberi salam dan hormat, secara singkat
27. 17
mereka mengatakan bahwa mereka mendapat informasi
bahwa aku telah melakukan transaksi ilegal dan meminta
izin untuk melakukan penggeledahan awal pada mobil
yang kukendarai.
“Mohon maaf, berdasarkan laporan yang kami terima,
kami terpaksa menggeledah bapak dan sekaligus mobil
yang bapak kendarai.”
“Silahkan,” aku menjawab enteng karena menurutku
tak ada sesuatu perbuatan pelanggaran hukum yang
kulakukan.
Tak memerlukan waktu yang lama. Hasil dari
penggeledahan mereka, ditemukan sebuah koper kecil tak
berkunci.
Keringat dingin mengucur dan lututku kontan
menggeletar saat koper dibuka. Demi tuhan, aku sama
sekali tidak mengetahui bahwa di bagasi mobilku
ditemukan sebuah koper dan yang membuatku tak habis
mengerti adalah, bahwa di dalam koper tersebut sarat
dipenuhi dengan lembaran-lembaran uang seratus ribuan
beserta secarik kertas bertuliskan, “terima-kasih pak,
atas penunjukan bapak kepada kami sebagai pelaksana
pekerjaan. Atas kerja sama yang baik dan berkelanjutan,
kami ucapkan terima kasih.” Di bawahnya tertera tanda
tangan dan nama yang sangat kukenal.
“Ya…Tuhan!” Bukankah dia yang berkali-kali mohon
kepadaku minta pencairan dana akhir dari pekerjaan yang
jauh dari kata selesai. Dan permohonannya sama-sekali
tidak bisa kupenuhi hingga terakhir pagi tadi.
“Saya harap anda tidak lagi datang ke sini dengan
permintaanyangsama.Sayasudahmemberikankeringanan
28. 18
dengan mengulur batas waktu penyelesaian dan itu tidak
anda manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Saya harap anda
keluar dari ruang ini dan bersiap diri menghadapi proses
hukum yang akan saya ajukan. Selamat siang.”
“Maaf pak.” Aku dikejutkan dan membuyarkan
lamunanku saat salah seorang dari petugas menggamit
lenganku.
“Bapak terpaksa kami bawa kekantor berdasarkan bukti
awal, untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, berikut
mobil dan semua barang bukti.”
“Saudara terdakwa, sekali lagi. Apakah saudara cukup
paham dan mengerti dengan tuntutan yang dibacakan oleh
jaksa penuntut umum pada persidangan yang lalu?”
Aku tetap tak dapat menjawab pertanyaan hakim.
Kesadaran dan orientasiku terhadap lingkungan seperti
hilang, walau pendengaranku masih tajam seperti
biasa. Berkali-kali hakim ketua mengingatkanku untuk
menjawab pertanyaannya dan berkali-kali pula ia dengan
nada mengancam dengan sangsi memberatkan, bagi aku
yang menurutnya mempersulit jalannya persidangan.
Tatapan kosong dan tak mampu berkata-kata karena
aku sudah sampai pada kesimpulan bahwa kata-kataku tak
lagi diperlukan di sini. Yang aku perlukan saat ini adalah
uluran tangan Tuhan yang mampu mengeluarkan aku dari
kemelut tekanan batin yang kurasa sudah mencapai titik
puncak.
29. 19
Menggumam membaca sajak yang pernah kutulis:
Betapa dinginnya hari-hari kita
Hingga beku di tanah ini terkasih
Apalagi ku, kau dan kita
Sedangkan anjing-anjing malas menyalak
Dan bisu menjaga rumah
Seperti ku, kau dan kita
Terlalu gemuk memakan sesama
Hingga ke tulang-tulang tak bersisa
Betapa dinginnya hari-hari terakhir
di tanah ini terkasih
Karena air mata hangat
enggan menetes ke lahat
Terbujur jasad dari negeri
Berisi ku, kau dan kita
Yang tak pernah mau perduli
Menghitung tasbih dan berzikir, hanya telinga yang
mendengar dan otak tak lagi mau diajak berfikir, sedangkan
hakim ketua terus membacakan amar putusan. Pasal demi
pasal dibacakan berikut tuntutan demi tuntutan sebagai
sangsi yang harus kujalani.
Berbuih-buih mulut majelis hakim, berganti-ganti
membacakan amar putusan dan aku tersedak, tak lagi
mendengar, tak lagi berzikir, tak lagi menggumamkan
sajak yang ada hanya gelap sekejap, lalu melayang.
Hilang segala tekanan, hilang segala beban sedang
30. 20
majelis hakim terus berganti-ganti membaca amar putusan.
Aku tersenyum memandang dari ketinggian langit-langit
ruang sidang. Jasadku terduduk kaku di kursi pesakitan
ketika para hadirin mengucapkan “Inalillahi waina ilaihi
rojiun,” hakim mengetuk palu memberikan keputusan
“bebas murni” dan tidak memberlakukan semua amar
putusan yang mereka bacakan hingga berbuih-buih.
“Ya…. Aku bebas murni berkat tanganmu ya Allah.”
***
31. 21
AKU BUKAN ODISEUS
DAN DIA BUKAN PENELOPE
Untuk yang ketiga-kalinya aku kembali menyeduh kopi.
Berarti sudah dua gelas besar ukuran mug beer, kopi yang
kulicin tandaskan dan berpindah ke perut. Sebetulnya kopi
ini bukanlah kopi pilihan yang selalu kuminum sebagai
pemuas hasrat, penghangat badan dan pereda kantuk saat
bekerja. Namun apa boleh buat, hanya ini yang ada. Kopi
bubuk milik Kandar, budak se kampung yang numpang
kost di rumah kami, dan Kandar bukanlah penikmat kopi
sejati. Bagi dia kopi itu sama saja rasanya. Ketika pernah
kucoba mencicipi kopi seduhan Kandar, dapatlah dibuat
kesimpulan bahwa kopinya Kandar adalah gula yang
dibubuhi sedikit kopi, bukan sebaliknya, kopi yang diberi
gula sekadarnya.
Akhir akhir ini, setiap aku menyalakan komputer, ingin
bekerja dan ingin menekan huruf huruf yang tertera pada
keyboard, mengarang cerita dari sekian puluh cerita yang
pernah dihasilkan. Perasaan muak, bosan dan benci selalu
saja semakin menghimpit. Bahkan perasaan itu terkadang
muncul juga pada saat menjelang tidur. Seharusnya dan
sudah menjadi keinginan setiap orang, bahwa pada saat
peralihan dari sadar ke tidak sadar, ingin selalu diantar
oleh kekosongan pikiran, atau oleh bayang-bayang yang
32. 22
menyenangkan dengan harapan, akan terbawa menjadi
mimpi yang menjadi musik merdu dan gambaran indah
penyerta tidur.
Perasaan muak, bosan dan benci pada sebuah nama
yang aku sendiri tak mengerti entah apa penyebabnya.
Sebuah kebosanan yang beralasan lemah untuk menuju
33. 23
pada sebuah perceraian.
Bosan yang sudah seharusnya untuk ditimbang-
timbang masak sebelum membuat keputusan.
Sangat kecil sekali alasan untuk membuang begitu
saja sebuah nama yang sudah bertahun-tahun dekat dan
lekat dalam pikiranku. Sebuah nama yang bertahun-tahun
kusanjung kupuja dan menjadi rahasia khalayak, bahwa di
mana ada aku, di sana ada dia. Bak “Mimi lan Mintuno”
atau “Rama dan Shinta” dalam legenda Jawa, atau “Sampek
dan Engtay” dalam cerita China, atau juga seperti “Romy
and Juli” yang menjadi kekasih abadi sampai ke akhir hayat.
Sebuah nama yang telah memberikan segala-galanya
dalam perjalanan hidupku, baik kepuasan batin maupun
lahir yang sampai saat ini masih kunikmati.
Untukmenjadiyangsetiadanjujur,tampaknyamemang
sulit dan perlu pengorbanan yang maha besar.
Odiseus dan Penelope pasangan percintaan dari Yunani
ini yang sejati memahami makna pengorbanan. Setelah
dicabik-cabik, mereka menunggu hari-hari yang panjang
yaitu dua puluh tahun untuk bertemu kembali. Perang
menyebabkan Odiseus menghilang tak lama setelah
pernikahannya dengan Penelope. Meskipun keadaan
memberikan hanya sedikit harapan kembalinya sang
suami, ia menolak 108 pelamar yang ingin menggantikan
suaminya. Begitupun Odiseus sama-sama setia, menolak
tawaran seorang penyihir yang cantik dan memang bahwa
cinta sejati adalah layak ditunggu. Begitu juga halnya
dengan Mintuno yang mengorbankan segalanya untuk
selalu lengket dengan Mimi, Rama yang berdarah darah
merebut Shinta dari Rahwana dengan bantuan Hanoman
34. 24
dan Jatayu, Sampek yang mati sekubur dengan Engtay dan
konon melanjutkan kebahagian mereka di Nirwana sana,
begitu juga dengan Romy dan Juli yang rela mati bersama
demi cinta.
“Mengapa aku tak bisa jadi mereka?” Tak mampu
menjadi Horase tokoh fiksi dalam cerita pendek yang
berulang kali kubaca, yang dengan cinta kasih tulus tak
terhingga, rela melawan jijik dan busuk kudis tubuh
Lisbeth, “kekasih batinnya” yang terseok-seok telanjang
bulat, berjalan di pelataran gerbang “Bandar Serai,” lalu
membersihkan, membawanya pulang dan merawatnya.
Walau kebusukan dan kekotoran Lisbeth tersebab oleh
pilihan sendiri, menggauli dan digauli para sembarang
lelaki yang kini menghindar jauh dan semakin jauh, karena
tak sudi menghidu bau busuk di tubuh malang Lisbeth dan
mungkin, boleh saja terjadi ada satu atau dua diantara
mereka yang lebih gila dari orang gila betulan, karena ingin
gratis dan “alih-alih rasa”, tetap saja menggauli Lisbeth si
busuk kotor.
Pendapat ini bukan tak beralasan, karena pada
kenyataannya sangat banyak perempuan kotor, busuk
bahkan gila betulan yang bunting berulang kali namun
tak berlaki dan yang jelas para lelaki yang lebih gila itu,
tentulah bukan Horase si pecinta abadi.
Horase adalah Horase dan Horase bukanlah aku, yang
kini sama sekali tak dapat menggerakkan jari jemari
menekan tuts huruf dan angka pada keyboard komputer.
Mataku yang semakin nanar menatap layar komputer
dengan baris kalimat yang mengalami macet, terhenti
bagai antrian panjang kemacetan jalan raya selama
35. 25
berminggu minggu. Tangan dengan jemari kokoh,
meremas remas mouse yang terletak di samping keyboard
tak dapat menghasilkan apa apa, kecuali kelelahan batin
yang bermuara pada ngilunya sendi sendi pergelangan dan
denyut kepala yang semakin menjadi, menahan kebencian
tak wajar pada sebuah nama.
Selintas terpikir juga akan alasan yang dipaksakan,
untuk dapat meyakinkan bahwa bisa saja aku menghapus
namanya dengan rasa ego yang tinggi dan tak berbelas
kasih. Karena bukankah aku adalah satu- satunya penentu
yang boleh atau tidak boleh memasukkan namanya dalam
pikiran dan relung hati ini! Bukankah aku, orang satu-
satunya yang sangat berjasa dan menjadikan ia sebagai
primadona di mata masyarakat. Menjadikan ia panutan
para perempuan, para gadis belia dan ibu-ibu, yang
memberikan kesempatan padanya untuk melanglang
buana ke manca negara, yang membuat banyak lelaki
merasa iri karena keberhasilanku membuat sebuah
nama jadi perempuan cantik, pintar yang setia sekaligus
berprediket, “Perempuan Perkasa.”
Namun segala pikiran dan alasan seperti yang
kurasakan, masih belum kuat untuk menghapus begitu
saja, sebuah nama yang terlalu besar dan tentu akan
menimbulkan berbagai pikiran tak baik yang ditujukan
padaku, dari berjuta khalayak penyanjung dan pecintanya.
Dentang lonceng dari gardu ronda yang dipukul para
penjaga malam terdengar empat kali.
Kini hanya tinggal empat jam, waktu yang diberikan
untuk sampai pada keputusan akan perceraianku dengan
sebuah nama, atau melanjutkan hubungan kami dan
36. 26
menetapkan ia sebagai bahagian abadi dari kehidupan
yang telah kulalui lebih dari separoh jalan.
Kegugupan yang timbul akibat janji yang kubuat dan
kebencian beralasan bosan dari sosok yang kujadikan
sempurna lengkap dengan kecantikan, kepintaran dan
kesetiaannya. Kecamuk pikiran yang mengalirkan kucuran
deras peluh dingin pada subuh menjelang azan, membuat
aku seakan semakin berada pada ruang gelap tak berpelita.
Dengansepitanibu-jaridantelunjuk,kuraih lempengan
metal penarik “kancing lipan” di dada dari jacket penahan
dinginsubuhyangkukenakan.Tibapadatarikanmenjelang
akhir, tepatnya pada pangkal leher aku mendengar suara
gaduh dari televisi yang memang sengaja tidak kumatikan.
Aku berpaling dan mengarahkan pandang ke kaca televisi.
Ketertarikan pada adegan yang tergambar, membuat aku
semakin memelototkan mata.
“Kau, kau Shakila. Sungguh tega kau menghianati aku.
Kau bunuh bara cinta yang semakin marak di hatiku.”
Terlihat cengeng dan sangat verbal kalimat pada adegan
itu, namun begitulah film drama versi India yang sangat
digemari berbagai kalangan terutama para nyonya yang
pengangguran, pelahap duit laki dan banyak kehendak.
“Eh…ahch…” hanya itu yang keluar dari mulut Shakila,
entah bahasa apa yang ia gunakan merespon kesal dan
marah Prakash suaminya yang memergoki ia dan seorang
pemuda tegap gagah sedang bergumul panas di ranjang
kamar mereka, kamar Prakash dan Shakila.
“Ini dia, aku temukan. Eureka! Eureka!” Spontan aku
berteriak girang, mematikan televisi dan mengalihkan
pandang berkonsentrasi penuh pada tuts keyboard yang
37. 27
dimainkan oleh jari jemariku sedemikian lancar tanpa
hambatan.
Sebuah ending dengan keputusan yang menentukan
bahwa sebuah nama harus hapus dari ingatan ini.
Prakash, Shakila dan pemuda itu, telah menolongku
dan memberikan inspirasi dan jalan yang cukup beralasan
untuk menceraikan Vony, sebuah nama yang membuat aku
kini merasa muak dan bosan ketika jari-jari ini menuliskan
namanya..
Dingin yang tadi mencekam, sekarang berubah hangat
menyegarkan. Aku tak lagi menggunakan jacket. Tak lagi
setiapsaatmenuangkanairpanaskegelasyangberisibubuk
kopi dan gula untuk penyegar dan penghangat tubuh.
Kalimat demi kalimat mengalir lancar dari pikiran
kreatif, yang dicurahkan pada cerita roman- bersambung
yang rutin dimuat di sebuah koran.
Vony hanya melengos, pada ending episode cerita yang
kubuat, ketika ia kupergoki dengan mata terkebil-kebil
sedap, merasakan nikmat kejantanan dari perzinahannya
dengan Desmond anak angkat, yang kami pelihara
sejak Sekolah Menengah Pertama hingga kini kuliah di
Perguruan Tinggi tingkat pertama.
Tak ada kalimat lain yang dapat kuucapkan selain kata
yang telah lama terpikirkan dan melompat lancar dari
mulutku.
“Kalian berdua memang binatang! Mulai detik ini nama
kau Vony, kuhapus dari pikiranku! Subuh ini kita resmi
bercerai dan kau Desmond, inilah langkah awal dan akhir
aku menyebut namamu dalam setiap pikiran kreatifku.”
Seperti juga dengan Shakila, Vony sedikitpun tidak
38. 28
menggubris dan menganggap kalimat yang kuucapkan
hanya sebagai angin lalu.
Aku berbalik meninggalkan mereka dengan senyum
kemenangan dan rasa bebas, tanpa tekanan siap membuang
nama Vony pada karya-karyaku selanjutnya. Karya cerita-
bersambung episode mendatang.
“Selamat tinggal Vony!” dan episode cerita bersambung
nomor ini usai menjelang subuh, kucopy ke flash disc dan
kukirim via e-mail ke redaksi sesuai dengan janji tepat
pada pukul delapan nanti ***
39. 29
DI-MANJAMALAM
Lamat lamat terdengar suara azan maghrib yang berasal
dari langgar di ujung jalan sana.
Perlahan malam kembali meraihnya, seperti biasa
merangkul dan memeluk hingga ia larut dalam lelap buai
yang dirasakannya indah dari malam malam lalu dan
kembali terulang hingga kini.
Wardi membetulkan dasi kupu-kupu melingkar di leher
kemeja putihnya yang berenda, menyemprotkan cukup
banyak minyak wangi lalu mengenakan jas resmi pada
acara acara pesta dansa.
Sebetulnya malam ini ia agak enggan keluar. Ada
peristiwa yang cukup mengganggu pikirannya. Hari ini
hanya selang beberapa jam, duakali ia melihat sosok
Nurul anak tunggalnya yang terlihat sudah menjadi gadis
kecil,menggunakan mukena, menatapnya dalam dalam
dan lalu raib menghilang begitu saja.
Namun menurutnya, hanya malam yang tampaknya
dapat melupakan dia pada kepahitan hidup yang dulu
mendera dan bayangan Nurul beberapa saat tadi.
Hanya malam yang dapat melupakan ia pada Mila
bininya di kampung Sekip. Yang dapat melupakan ia pada
tangis Nurul bayi kecilnya kala itu yang lapar minta diberi
susu, sedang Mila tak lagi dapat menetekinya, karena
memang puting susu yang melekat di buah dadanya tak
lagi mampu menyemprotkan air pemberi nutrisi dan
40. 30
energi, sedang Wardi juga tak mampu membeli susu
kaleng sebagai pengganti. Tak ada cara lain setelah serutan
serutan pisang kapas yang dijejal paksakan ke moncong
mungil tak juga mampu menenangkan tangis pemiliknya.
Wardi sebagai ayah, hanya bisa menutup dan berupaya
memekak mekakan telinga hingga pekik tangis si kecil
darah dagingnya berhenti karena kelelahan.
Dan hanya malamlah tampaknya yang dapat
memberikan sesuatu, sehingga ia dapat mengikuti cengkok
dan rentak irama kehidupan metropolitan.
Dan….. terus terang, hanya malamlah yang dapat
memberikan penghasilan baginya sehingga ia tetap
memiliki predikat sebagai ayah dan suami yang dapat
menafkahi keluarganya, walau pekerjaan ini tak lazim
dilakukan seorang moralis.
“Dicky, peluklah aku erat erat. Aku ingin malam ini
hanya milik kita.” Laura merengek dan tak henti mendesah
bak kuda betina ketiban berahi di musim kawin saat
mereka berpelukan erat, berdansa di ball room hotel Le
Meridien dengan iringan musik blues bersama lengkingan
lirih suara Janis Joplin. Sedangkan Wardi yang malam ini
berganti nama menjadi Dicky berupaya keras menahan
mual. Mual sedari tadi mencium bau parfum, berbancuh
minyak gosok yang ia balurkan ketubuh Laura, seperti
permintaannya sebelum pergumulan mereka di ronde
pertama tadi.
“Rasanya badanku sekarang agak mendingan, meriang
dan perih sariawan yang mendera agaknya mulai hilang.
Kau memang tabib yang piawai bagiku.”
“Oh ya, syukurlah.”
41. 31
“He….kok cuma itu kalimat yang dapat kau ucapkan.
Apakah kau sudah kehabisan kata kata atau ada sesuatu
yang mengganggu pikiranmu? Sedari tadi selain anggukan
dan gelengan kepala, yang keluar dari mulutmu cuma, oh
ya, heeh, hem, cuma itu.” Laura tak puas dengan kalimat
kalimat pendek yang terkesan hanya sekedar menimpali
pembicaraannya.
“Ehem, betul tebakanmu Laura.”
Walau jarak perbedaan umur mereka terentang cukup
jauh. Namun sesuai dengan permintaan Laura ia tak mau
dipanggil dengan panggilan Tante, atau Bu-lik apalagi
Mak-cik.
“Hal itu bisa mengurangi kemesraan hubungan kita,
panggil nama sajalah.” Begitu katanya.
Laura wanita hampir baya, dengan usia mendekati lima
puluh yang tumbuh dan besar di kalangan keraton, dengan
ikatan ikatan tradisi perawatan tubuh terbuhul ketat dalam
dirinya,berbaurdengankehidupanmodernyangmenuntut
agar dapat tampil prima setiap saat. Mulai dari luluran,
mandi rempah, mandi susu dan lain sebagainya sampai ke
mandi lumpur ia lakukan. Rutin minum jamu, mulai dari
sari rapet, sari singset, sari kenceng dan lain sebagainya
sampai ke jamu sedap malam. Juga ke fitness centre dan
body language ia terdaftar sebagai member aktif. Untuk
bidang ini, Laura patut diacungi jempol namun untuk hal
lain, entah predikat apa yang layak diberikan kepadanya.
Raden Pakubumi sebagai suami resmi Laura, baik menurut
agama, menurut adat maupun menurut undang undang
pemerintahan yang masih berlaku, otomatis tak ada yang
boleh membantah bahwa hanya Raden Pakubumi lah
42. 32
yang berhak untuk berhubungan badan dengan Laura,
bukan Wardi juga bukan dengan orang lain seperti yang
ia lakukan jauh hari sebelum mengenal Wardi alias Dicky.
Laura, terlebih lagi akhir akhir ini, semenjak Raden
Pakubumi hanya dapat berperan sebagai mesin pencetak
duit, kebinalannya semakin menjadi jadi. Keborosannya
dalammembelanjakanduitdanmemberikanupahpenikmat
bagi pejantan muda gagah dan tangguh seperti Wardi,
semakin tanpa perhitungan. Mungkin tak terpikirkan
olehnya, bahwa pria pria muda yang ia fungsikan sebagai
juru nikmat itu, lebih pantas berpasangan dengan Retno
anak gadis satu satunya dari perkawinan mereka. Mungkin
juga tak terlintas di pikirannya, bahwa Wardi alias Dicky
lebih muda beberapa tahun dari Daryo anak lelakinya yang
kini hidup menggelandang karena malu memiliki ibu yang
tak bermoral. Sedangkan Raden Pakubumi terlihat hanya
nrimo, pasrah pada keadaan.
Malam semakin larut dan memanja. Malam semakin
erat memagut mereka. Ronde demi ronde mereka lalui
dan berpindah pindah dari satu arena ke arena lain, yang
melahirkan satu kemesuman ke kemesuman kemesuman
berikutnya. Laura terus memacu diri mengejar kepuasan
yang sepertinya tak pernah dapat ia raih, sedangkan Wardi
alias Dicky hanya memberikan reaksi semu dan cenderung
seperti buruh pekerja borongan yang melaksanakan tugas
dengan harapan mendapat upah lebih besar.
Sembari terus mendayung perahu menghantar Laura
ke muara puas, bercucur peluh dan dengus nafas, Wardi
hanya mendengarkan bermacam celoteh Laura. Tentang
semakin berutalnya tingkah laku Daryo anak bujangnya,
43. 33
tentang Retno yang sudah dua tahun ini meninggalkan
bangku kuliah, hamil dan kemudian digugurkan lalu
bergonta ganti pasangan, yang kesemuanya itu bagi Laura
adalah jalan dan pilihan hidup. Tak sedikitpun terlihat
hal itu menjadi problem bagi Laura yang nota bene ibu
kandung mereka. Kekurangan Raden Pakubumi suaminya
dari berbagai hal dan seperti berkali kali ia ceritakan,
baginya Raden Pakubumi tak lebih dari sebuah mesin
pencetak uang, tak lebih dari itu.
Dalam keasikan pergumulan mereka tiba tiba, “Blar…..
braaaaaak.” Suara pintu kamar yang didobrak paksa.
Tanpa sempat berbuat apa apa, berkali kali tebasan
celurit menghantam sekujur tubuh Wardi alias Dicky.
“ Mas, mas…..mas Paku, eling mas, Daryo eling nak
nyebut nak, mas Dicky tak bersalah, aku Ibumu hanya
menjalani kodrat, aku membutuhkan dia bukan mencintai
dia. Lahir bathin aku tetap mencintai mas Paku.” Laura
menghiba memohon belas kasihan Raden Pakubumi dan
Daryo anaknya.
Tak sebuah kalimatpun keluar dari mulut Raden
Pakubumi dan Daryo anaknya, kecuali sebatan sebatan
celurit dan golok di tangan mereka. Kemudian, sebuah
terpaan ujung runcing mata celurit di tangan Raden
Pakubumi menghantam memperlebar belah selangkangan
Laura tepat di kemaluannya dan yang terakhir, sebuah
sebatan lagi dari golok Daryo anak kandungnya membuat
Laura menghembuskan nafas terakhir dengan mata
terbeliak dan lidah terjulur.
Wardi sama sekali tidak merasakan kepanikan dan
kesibukan orang di sekitarnya. Ia tidak merasakan lajunya
44. 34
usungantanduyangmenghantarkandiadanLaurakemobil
ambulance. Yang ia rasakan hanyalah semakin ketatnya
pelukan malam yang semakin dingin merengkuh, seakan
terus memanjanya dan menghantarkan dia ke lorong
panjang menuju langit, dimana pada pangkal jalan terlihat
Nurul bermukena putih tersenyum, mengulurkan tangan,
meraih tangan Wardi berpimpinan mereka menapaki
jalan di lorong kosong. Di persimpangan jalan dari bumi
menuju langit, Wardi melihat sebuah rumah, rumahnya
di kampung Sekip. Para petakziah ramai memadati ruang
tamu dan ruang tengah. Mereka melakukan kenduri arwah,
menghadiahi alfatihah berdoa dan membaca surat yasin,
semua buat Nurul bukan buatnya.
Lalu….keduanya melanjutkan perjalanan, terpaksa
berpisah di persimpangan menuju langit yang berbeda.
45. 35
DIA
DI LUAN SAMPAN
Petang menjelang maghrib, hujan gerimis turun.
Keadaan seperti ini semakin memacu keinginanku untuk
segera sampai ke tujuan.
Di langit tampak jelas lengkung pelangi, tepat
mengangkangi arah jalan tujuanku dan menurut pesan
orang tua-tua yang masih terngiang di telinga. “Urungkan
niat, jangan berjalan ke arah kangkangan pelangi. Karena
pada saat itu para bunian dan bidadari sedang menitinya
menuju bumi, menjemput para bujang berumur untuk
dibawa ke alam mereka lalu dijadikan suami.”
Bukan tak ingat, namun tak perduli, karena aku yakin
bahwa itu hanyalah tahayul belaka.
“Paling tidak ketika maghrib, sudah harus sampai
di pelayangan (sejenis rakit penyeberang) Kuala Cenaku.”
Aku menggumam sendirian di tengah kelu dan gemeretak
gigi menahan dingin.
Tak seperti biasa. Entah mengapa, ketika berangkat dari
Seberang Mumpa tadi, aku lupa mengenakan Jacket.
Sebenarnya keberangkatan tadi tidaklah terlalu
terburu-buru. Cukup banyak waktu yang tersedia,
mempersiapkan segala sesuatu keperluan untuk
mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi.
46. 36
Pompa ban, benen cadangan dan kunci-
kunci termasuk jacket dan lampu senter,
semuanya tertinggal di base camp
Seberang Mumpa.
“Mudah-mudahan lancar-lancar
sajalah,” kembali aku menggumam
memutar alat pengatur kecepatan sepeda-
motor yang berada di stang sebelah kanan
dan yang paling kutakutkan saat ini ialah,
keterlambatan sampai di Kuala Cenaku.
Sebab pelayangan yang ada, hanya
menyediakan waktu sampai saat maghrib
tiba untuk menyeberangkan segala
macam jenis kendaraan angkut, berikut
penumpangnya. Apabila terlambat
atau lewat waktu yang ditentukan oleh
peraturan yang dibuat para pengelola
pelayangan, mau tak mau hanya ada
dua pilihan. Menginap menunggu pagi,
atau diseberangkan oleh sampan kotak
yang ukuran besarnya tak seberapa dan tentu saja dengan
resiko tergelek sedikit, karamlah semua, itupun, yang dapat
diseberangkan sampan kotak hanyalah sepeda-motor,
berikut beberapa orang penumpang.
Urat-urat pokok kayu baka tepi jalan, serta dolken
sepergelangan yang disusun menjadi galar penyumbat
lubang di sana sini, di jalan bertanah gambut, membuat
kecepatan sepeda motorku tidak maksimum.
Sedangkan sepeda motor saja agak sulit menempuh
jalan ini, apa-lagi kendaraan beroda empat. Karena itulah,
47. 37
walau mendapat fasilitas
mobil dari kantor tempat
bekerja, aku lebih senang
menggunakan sepeda motor
untuk perjalanan dari Rengat
ke lokasi pekerjaan pulang
pergi dan resikonya. “Ya
seperti inilah, kepanasan di
perjalanan ketika matahari
menyengat ubun-ubun, atau
kedinginan dan basah kuyup
kala hujan dicurahkan dari
langit.”
Di sela remang menjelang
maghrib, lepas dari batas desa
Pulau Jumahat aku melirik
arloji melingkar di tangan.
“Ya Tuhan, sudah pukul
enam lewat. Tak mungkin
menjelang maghrib aku bisa
sampai di penyeberangan Kuala Cenaku. Tampaknya
terpaksa juga naik sampan kotak ke seberang sana.”
Pupus keinginan untuk memacu-laju sepeda motor.
Suara katak bangkung bersahut bunyi jangkrik dan
desis ular, agak sedikit membuat tegang suasana, apalagi
gelapnya badan jalan yang belum sempurna akibat bertaut,
gapai-menggapai jurai-jurai ujung ranting pohon besar,
saling berseberangan mengatapi jalan yang ditempuh.
“Seakan berjalan pada gua panjang yang sunyi dan
mencekam.”
48. 38
Menjelang Kuala Cenaku, kelap kelip lampu sumbu
terhembus angin sepoi dan beberapa cahaya dari lampu
petromaks pertanda waktu telah sampai di gerbang malam.
Itu semakin memperkuat rasa yakinku, bahwa tak mungkin
lagi dapat mencapai seberang dengan pelayangan.
Ada sedikit rasa penyesalan tersembul. Peristiwa tadi,
peristiwa mubazir yang sama sekali tidak aku manfaatkan,
peristiwa yang jadi penyebab hingga aku terlambat sampai
di Kuala Cenaku.
“Namun apa boleh buat.”
Perempuan itu. Entah gadis, entah janda, atau entah
isteri seseorang, tak jelas bagiku statusnya. Tetapi yang
jelas dan pasti dialah penyebab aku terlambat sampai di
pelayangan ini.
Aku begitu terkesima dengan kecantikan wajah, postur
tubuh dan pesona yang muncul dari dirinya.
Walau tak sepatah kata yang keluar dari mulutku,
sehingga memang tak ada dialog kalimat di antara
kami, tetapi aku yakin dialog batin telah terjadi saat itu.
Perempuan di warung tempat berteduh dari curahan hujan
tadi. Aku datang dan ia tiba, aku menatap dan ia, walau
malu-malu mencuri pandang membalas tatapanku dan
tertunduk, menyeka bulir-bulir air hujan yang menempel
di muka dan lengannya yang putih bersih bak porselein
cina.
Karena aku terus menerus menatapnya tak berkedip,
sehingga aku tahu pasti berkali-kali ia mencuri pandang
memperhatikanku, lalu berpaling malu-malu karena
bersongsong tatap.
Ah.....betapa tololnya memang. Mengapa kesempatan
49. 39
indah seperti tadi kubiarkan berlalu begitu saja. Tak dapat
disesal. Aku selalu cuai dengan hal seperti ini dan aku
yakin, hal inilah yang menyebabkan aku tetap melajang,
hingga usia yang sebenarnya lebih dari matang untuk
menjalani kehidupan berumah tangga.
Berkali-kali aku memaki diri, menyesali kebodohan
yang sebenarnya tak perlu terjadi, padahal paling sedikit
saat itu pasti aku mendapat keterangan tentang siapa dia,
berikut statusnya yang kemudian tentulah kalau segala
sesuatunya menjadi mungkin, aku dapat mendekatkan diri
dan menjalani tahapan-tahapan hubungan.
“Hai! Hati-hati bang. Jangan melamun saja, tergelek
sedikit mampus karamlah kita.” Lalu setelah itu, sekali lagi
terdengar teriakan penambang sampan.
“Tolooong.....” Suara kasar serta pekik penambang
sampan penyeberang, membuyarkan lamunanku dan itu
pulalah yang menyebabkan aku secara tak sengaja saling
bertatap dengan dia, dia yang duduk di luan sampan.
Mengedip-ngedipkan mata dan mengusapnya berkali-
kali, seakan tak percaya dengan apa yang dilihat.
Walau langit berselimut malam hitam pekat, tetapi bias
cahaya lampu dari dua daratan tepi Kuala Cenaku, dapat
meyakinkan penglihatanku bahwa pandang mata ini tidak
salah.
“Tak salah lagi, memang dia. Tetapi kok?”
Perempuan berkerudung di luan sampan itu tersenyum
dan aku membalas senyumnya.
“Betul memang dia, perempuan di warung tadi.”
Kembali aku berkata dalam hati, tak perduli pada
pertanyaan-pertanyaan yang muncul dan keanehan yang
50. 40
terjadi.
Sigap mendekat, melepaskan peganganku pada sepeda
motor di atas sampan, ia menyambut dan menggamit
tanganku. Dengan lincah kami melompat ketepi.
Berpegangan tangan menembus malam yang tadinya
gelap pekat dan kini menjadi terang benderang, menuntun
langkah menuju ke sana.
Dari entah di mana, setelah itu seperti melihat gambar
hidup, dengan senyum dan gelora asmara, kami berdua
melihat orang ramai di tepian Kuala Cenaku. Bersuluh
obor, lampu petromaks dan senter, mengerubungi
jasadku terbujur kaku dan kemudian sekelompok orang
lagi, beramai-ramai mengangkat sepeda motorku dari
kedalaman sungai Kuala Cenaku.
Intan Kemala, perempuan di warung kopi sekali
gus perempuan berkerudung di luan sampan, semakin
menyandarkan kepalanya ke dadaku. Aku mendekapnya,
tanganku melasak ia melasak dan kami tak perduli.***
51. 41
DOLAH PENCERITA
Derai tawa kembali terdengar bagai peningkah deru
angin badai barat kencang, seakan hendak meluluh
lantakkan atap anjungan tunggu, pelantar satu dermaga
perahu pompong pulau Penyengat.
Mereka, para tekong perahu pompong yang menambang
antar jemput Tanjungpinang pulau Penyengat, tampaknya
tak perduli dengan badai ini.
Walau akibat dari badai malam minggu ini, mereka tak
menuai rezeki seperti malam minggu biasanya, dimana
penduduk pulau, besar kecil, tua muda seperti beradu cepat
menyeberang ke Tanjung pinang, menangguk hiburan
yang beraroma jauh lebih modern jika dibanding dengan
yang di Pulau Penyengat.
Atau kalau hanya sekedar cuci-cuci mata karena duit tak
cukup, berjalan jalan seperti lalat pening sajapun jadilah.
Memang, Tanjungpinang jauh lebih mengundang
sebahagian orang ketimbang Penyengat yang hanya sebuah
pulau bermuatan puing puing bangunan Kerajaan masa
lalu.
Namun malam ini, karena badai barat yang menggila,
penduduk Penyengat enggan menyeberang.
Mereka yang muda-muda mengisi malam minggunya
dengan berbual-bual, main gitar sambil meratah kepiting
renjong yang direbus dan bagi sebahagian yang suka serta
52. 42
terbiasa, menyelingi santap kepiting dengan siraman air
kata-kata ke tenggorokan mereka, semakin memperlancar
perbualan serta menghangatkan suasana malam dengan
badai menggila.
Yang tua-tua tampaknya cenderung menghabiskan
malam minggu mereka bercengkerama dengan anak bini,
berbual-bual tentang masa depan, tentang harapan yang
bertumpu kepada para reformis pemberi perubahan dan
angin segar di negeri ini.
Derai tawa terbahak kembali terdengar dari anjungan
tunggu pelantar satu.
Kohol batuk yang bertubi-tubi keluar dari rongga
mulut Dolah kancil, seperti tak dihiraukannya. Ia terus
berceloteh sambil sesekali mereguk air kata-kata dan
tampaknya sangat berpengaruh memperlancar bual borak
yang menjadikan Dolah kancil selalu menjadi bintang
pertemuan informal budak-budak muda malam hari.
Para tekong seakan lupa pada kesialannya, bual borak
Dolah dan air kata-kata yang meluncur hanyut melalui
tenggorokan menjadi lebih menarik ketimbang hanyut
dalam duka sial musim ribut barat.
“Sungguh, kalian wajib percaya, karena percaya akan
cerita yang aku tuturkan, merupakan suatu sarat mutlak
untuk menikmati cerita itu. Kalau kalian tak percaya
sebaiknya aku stop sampai di sini.” Dolah kancil seakan
hendak beranjak meninggalkan tempat.
“Percaya, aku percaya teruskan Lah,” para tekong dan
budak-budak muda itu saling berebutan menyatakan rasa
percaya mereka akan bual Dolah, mereka takut kalau Dolah
memutus ceritanya, sehingga malam minggu musim ribut
53. 43
barat akan menjadi malam yang membosankan.
“Baiklah, aku teruskan,” Dolah kancil memulai kembali
bualannya setelah menggogok air kata-kata lalu sendawa
agak sedikit berde’ek menjijikkan bagi telinga yang tak
terbiasa.
“Bersumpah aku, tak satu katapun pernah aku ucapakan
kepada siapapun bahwa aku ini Dukun. Mereka saja yang
percaya tapi lantaklah, itu urusan mereka.”
Dolah kancil terpaksa berhenti karena kohol batuk
kembali menyerang, setelah agak reda dan mengeluarkan
ludah berdahak berkali-kali kelaut lepas, Dolah kembali
memulai bual boraknya.
“Kepopuleran aku sebagai Dukun ini sebenarnya
akibat ulah si Taib kejep, Almarhumlah yang mewisuda
aku jadi Dukun.” Dolah kancil berhenti sejenak, matanya
menerawang memandang langit gelap lalu mendehem.
“ Menyimpang dari jalan cerita, aku rasa tak ada
salahnya kalau kita menghadiahkan Alfatihah untuk
almarhum, karena aku yakin sedikit akan mengurangi
dosa kita menggunjingkan dia yang sudah mati dan
meringankan dia dari dosa bertimbun lahak yang pernah
dibuatnya.”
Suasana hening, dari sesekali cahaya kilat di langit,
terlihat komat-kamit mulut para tekong perahu pompong
dan budak-budak muda, khusuk melafaskan Alfatihah,
lalu Amin dan mengusap muka mereka dengan kedua
belah telapak tangan masing masing
Yakin akan pemahaman yang disuntikkan Dolah kancil,
mereka-mereka seakan takkan berdosa mulai nyerocos
menceritakan perilaku Taib kejep semasa hidup yang
54. 44
banyak nilai negatif ketimbang positifnya.
“Pukimaknya si Taib, memang dia pemborak, penipu
ulung,” kata Ruslan yang kemudian ditimpali Kadir hitam,.
“Betul itu, entah berapa banyak sudah duit dan harta
bendaku diradaknya.”
“Ah..bukan kau saja, aku juga pernah, bahkan
Emaknyapun,” Komeng ikut jadi batu api.
“Piringtempatdia sungkah setiaphari,itupundijualnya,
apa tak meradang Emaknya, persis macam ikan puyu
melopoh, merentang kesana-kemari,” tambah Komeng
yang kemudian dilanjutkan, “ Nyonyah Acoy, bini babah
A Liong yang terkenal pelokek, itupun kena diboraknya.
Bukan hanya duit, polongan sejengkal pusaka nyonyah
Acoypun sempat dihembatnya.”
“Sudah…..sudah, kalian yang bercerita atau aku.
Kalau kalian, aku mau pulang.” Dolah kancil meradang,
menggertak karena sedang syur bercerita.
“Mulanya begini,” Dolah kancil meraih Sumatera
Cum Laude, cerutu ringan buatan Holland milik Komeng
yang memang tinggal sebatang. Setelah menyulut dan
menghirupnya dalam-dalam, kemudian menenggak
air kata-kata bermerek White horse dari sloki terakhir
dan kembali sendawa berde’ek yang kali ini tanpa batuk,
melanjutkan cerita.
“Si Taib kejep sudah lama berjanji kepada perempuan
komplek, perempuan yang kenyang dipelasahnya, untuk
mencarikan dukun penglaris. Perempuan itu merasakan
pendapatannya mulai semakin berkurang, kalau boleh
dikatakan sepi dari hampiran hidung belang penyewa
ladang sejengkal miliknya. Si Taib kejeplah orangnya,
55. 45
seperti yang kita sama tahu, pekerjaan belum tentu ujung
pangkalnya, dia sudah bolak balik minta uang. Untuk dana
inilah, itulah dan dengan bermacam-macam dalih dia
selalu berhasil meyakinkan perempuan itu.” Dolah kancil
berhenti sejenak, kembali membuang ludahnya ke laut.
“Tapi, sampai pada tingkat titik api,” Dolah kancil
kembali melanjutkan ceritanya, “perempuan itu sudah
tidak sabar lagi dan mempergunakan tangan samseng
pendeking, untuk memaksa Taib kejep melaksanakan
janjinya.”
“Huh, rasakan, mampus kau.” Kata salah seorang
tekong perahu pompong, menggerutu dan menyumpah.
Dia mungkin lupa, dia menggerutu dan menyumpahi
orang yang benar-benar sudah tiada.
“Lanjut cerita, Taib pun setengah mati ketakutan.
Untuk menghubungi yang benar-benar dukun, sangat
tidak mungkin, Taib kejeb sudah kehabisan modal dan tak
mungkin meminta lagi dari perempuan itu, sangat, sangat
tidak mungkin. Duit yang diberikan perempuan itu sebagai
modal mencari dukun, sudah licin tandas diradaknya.
Tak lah Taib kejep namanya, kalau cepat kehabisan akal.
Pada suatu hari, ditemuinya aku. Dengan amat sangat dia
mohon aku membantunya dan pura-pura jadi Dukun.”
Lagi-lagi Dolah kancil terbatuk, kali ini batuknya agak
lain dari yang tadi-tadi, panjang beruntun bagaikan bunyi
muntahan senapan mesin, sesekali diselingi bunyi mencicit
yang keluar dari liang kerongkongannya.
Sedikit agak reda setelah ia mereguk air putih dingin,
sedingin badan Dolah kancil saat itu.
Kembali bersemangat ia melanjutkan ceritanya,
56. 46
“Karena kasihan dan kalau dikaji-kaji ranji silsilah, dia
itu masih ada hubungan tali darah dengan aku. Akupun
tanpa pikir panjang menyanggupi permintaanya dan
pada saat itu lillahi ta’ala, tak sedikitpun terpikir resiko
yang akan terjadi kemudian hari, yah.. paling-paling
yang terpikirkan hanya kalau tidak sukses misiku sebagai
Dukun, jawaban yang paling akurat adalah, dia perempuan
itu telah melanggar pantang larang yang aku wajibkan, kan
cukup mudah.”
“Karena pandai membaca keadaan, syukur aku
berhasil dan perempuan dengan modal usaha ladang
sejengkal itupun puas menikmati hasil kerjaku. Padahal,
prosesnya sederhana sekali. Mula-mula ya.. seperti
lazimnya kelakuan Dukun di Republik kita ini, aku
membakar kemenyan di pedupaan, kemudian merapal
mantera,” hik..,hik..hik Dolah kancil tak kuasa menahan
geli hati.
“Rapal mantera itu, kalau kalian nak tahu,
mendengung-dengung macam kumbang tersesak nak
kawin. Dia, perempuan itu sangat terpana dan aku semakin
beraktinglah, sambil terus membacakan rapal mantera,
sekejap aku tegak lalu mendadak sontak duduk kemudian
berguling-guling berkali-kali membuat perempuan tu,
semakin terkagum. Kemudian aku berlakon seakan
kerasukan jin penguasa kawasan kelenteng senggarang,
lalu aku pun berkata dengan lidah sengaja kupelat-
pelatkan macam orang negeri si Tan Hakseng berbahasa
kita. Aku tengok, perempuan sundal itu semakin terkagum
dan yakin bahwa aku telah berhasil mendatangkan jin
kelenteng senggarang untuk menolong dia. Yang paling
57. 47
lucu, ha…ha..ha..hik…hik…hik…hik. huk….huk…huk.”
Dolah kancil tak kuasa menahan ketawa, sampai berair
matanya dan terbatuk-batuk.
“Yang lucunya, perempuan itu, hahahaha…ha..
ha, setelah melihat aku kerasukan jin cina, dia sambil
menghiba-hiba berkata, apa dia bilang, coba kalian tebak
apa katanya.” Setelah hening sejenak, karena tidak ada yang
bisa menebak, Dolah kancil pun melanjutkan,
“Dia bilang, uhuk….uhuk…..” batuk sejenak.
“Apek jin tulunglah saya.”
“Saya pun membentak, kepala hotak engkau, engkau
panggil aku dengan apek ya, engkau tahu aku ini bukan lagi
jin cina asli, sudah beribu-ribu abad aku merantau kesini,
bahasa cina pun aku sudah banyak lupa, tak kau dengar
aku bercakap dengan bahasa melayu, walau sedikit terbawa
pelat lidah cina, jadi jangan kau panggil lagi aku dengan
sebutan apek, panggil saja aku Datuk jin.” Dolah kancil
kembali tertawa tak dapat menahan geli hati.
“Baiklah, sekarang sebutkanlah apa kehendakmu.”
“Eh. Ini, Tuk jin, usaha saya sudah mulai menurun
omset pendapatan hariannya, jadi saya minta datuk
limpahkan kembali rejeki yang banyak kepada saya.”
“Usaha jenis apa itu.”
“Ehm…ini Datuk, masa datuk tak tahu, Datuk kan jin
sakti, dagang biasalah…Dagang pusaka turunan Emak
saya Datuk, Dagang ladang sejengkal, hi..hi..hi.”
“Bukannya aku tak sakti lagi, aku cuma mau mengetes
kejujuran engkau. ayo terus lanjutkan.”
“Kalau dapat, tolong Datuk usahakan pelanggan-
pelanggan saya itu, kalau tak semuanya ya….sebahagian
58. 48
besar turis-turis Singgapur dan Melasia. Tolong Tuk ya…
juga kalau dapat yang mata-mata sipit itu lho Tuk.”
“:Mengapa harus turis Singapura dan Malaysia, ada
apa dengan mereka.”
“ Itu lah Tuk, disamping mereka itu banyak duit, tidak
pelokek, mainnya juga kebanyakan seperti itik Tuk, kesek…
kesek…. dua tiga kali selesai lalu melemparkan segepuk
duit, Dollar lagi. Tak seperti orang kita Tuk, sudah mainnya
lama, banyak permintan dan variasi lalu bayarannya
ngutang pula. Tolong Tuk ya.”
Badai barat masih berlanjut, suara berderak-derak
yang timbul dari benturan sesama perahu pompong yang
ditambat di tiang-tiang penyangga dermaga, tak mereka
perdulikan. Seakan tak terbayangkan, bahwa akibat
benturan-benturan itu, benda-benda berharga tersebut
dapat saja hancur pokah menjadi keping-keping papan tak
berguna. Begitu besar pengaruh bual borak Dolah kancil
kepada mereka tekong perahu dan budak-budak muda.
Tak ada lagi upaya mereka menyelamatkan benda pencari
nafkah itu dari terpaan gelombang dan badai barat yang
menggila.
“Untuk menghindari terbacutnya ketawa,
terpaksa rapal jampi kumbangnya aku perkeras,
mendengung-dengung seperti sirine kapal patroli Bea dan
cukai mengejar penyelundup.” Dolah kancil melanjutkan
cerita seraya tertawa dan terbatuk-batuk. Dari terang sesaat
kilatan cahaya, terlihat wajah Dolah kancil semakin pucat
pias macam mayat. Entah kenapa, tak seorangpun yang
bertanya mengapa atau kenapa. Agak aneh, ia masih terus
bersemangat melanjutkan ceritanya.
59. 49
“Kalian tahu, apa yang terjadi dengan si Taib kejep
yang mendampingi aku saat itu. Karena tak kuat
menahan keinginan tertawa, dia menghambur keluar
dan meledakkan tawanya agak jauh diluar rumah.” Dolah
berhenti sejenak, menarik nafas dalam-dalam, seperti
illustrasi musik, tarikan nafas itu diiringi bunyi mencicit
yang semakin jelas lalu seperti tersendat-sendat terdengar
suara hembusan nafas beraroma bangkai. Namun hal-hal
itu tidaklah menjadi perhatian yang hadir termasuk Dolah
sendiri, terbukti dia masih melanjutkan ceritanya.
“Tutup cerita, mulai saat itu dan kebetulan aku berhasil
menyukseskan permintaan perempuan sundal kolega si
Taib, dari mulut ke mulut dikenallah aku sebagai Dukun
sakti dan piawai.”
Dan……setelah itu, Dolah berlalu meninggalkan
anjungan dermaga pelantar satu, meninggalkan para
tekong perahu pompong, para budak-budak muda yang
masih tertawa. Dia pergi tanpa tabik tanpa pamit aneh,
terlihat melangkah menuju laut lepas, meniti gelombang
dan menguakkan buih bergumpal-gumpal di atasnya.
Tak terdengar lagi suara kohol batuk yang bertubi-tubi,
tak tampak lagi pucat pias mewarnai tubuhnya, lalu……
segumpal awan datang menyelimuti Dolah, menjemputnya
terbang, terbang jauh menuju langit yang semakin gelap
pada musim badai barat.
Para tekong perahu pompong dan budak-budak
terkesima, seperti baru tersadar dari mimpi, serentak
mereka sekali lagi membaca, “Inalillahi wa inna illahi
rojiun” karena sebelumnya, tepatnya hari Jumat dua pekan
kemarin, ba’da Subuh, mereka membaca lafaz yang sama,
60. 50
untuk orang yang sama, Almarhum Dolah kancil, wafat
karena penyakit tiga huruf yang diidapnya cukup lama.
Tak ada yang merasa ketakutan, tak ada yang gelisah
karena kejadian itu. Mereka yakin, sebagai
penghibur kelas satu, pencerita yang piawai,
Dolah kancil seakan tak rela meninggalkan dunianya.
Meninggalkan penyukanya, para tekong perahu pompong
dan budak budak muda seperti mereka.
Malam itu, saat badai musim barat yang semakin
menggila, bersama mereka menghadiahkan doa buat
Dolah kancil yang dicinta.
“Ya….Allah, tempatkanlah almarhum Dolah kancil
saudara kami, di tempat yang sebaik baiknya di sisiMu,
ampunkanlah dia dari segala dosa dan kami telah
memaafkan segala dosa yang telah dia perbuat kepada
kami. Berilah kami seorang pencerita seperti Dolah kancil,
sehingga sepi tidak menyelimuti kami disaat malam malam
seperti ini. Ya…..Allah perkenankanlah doa kami.”
61. 51
KEMENTUT
Drs. Ir. Haji Raden Baron Tingkir. SH. MBA. bin Haji
Raden Tingkir Mongsosingo untuk selanjutnya, demi
menghindari kesulitan saya mengingat nama tokoh
utama dalam cerita ini, maka saya sebagai pencerita yang
mengkedepankan efisiensi, menyingkat nama tokoh ini
cukup menjadi Pak Mentut saja.
Kenapa Pak Mentut? Tentu hal ini akan menjadi tanda
tanya berkepanjangan bagi pembaca kalau tak segera saya
jelaskan. Mentut adalah singkatan dari (Ment)eri (ut)
ama di pemerintahan sebuah negara yang sedang demam
perubahan, pembaharuan di segala lini dan sangat anti
gaya lama. “Mentut” ini agaknya mungkin semaksud
dengan “Perdana Menteri” di pemerintahan gaya lama atau
sama dengan “First Minister,” atau “Prime Minister,” atau
mungkin “Principal Minister” di pemerintahan beberapa
negeri Eropa dan Amerika sana.
Tokoh yang namanya kita sebutkan di awal cerita ini,
adalah orang yang memegang jabatan Mentut terpilih hasil
“Pemirak (pemilihan rakyat)” yang sungguh-sungguh
sangat demokratis, konstitusionis, sedikit dramatis dan
yang terpenting adalah Pemirak yang bersifat, “Betaraha
(bebas tak rahasia),” anti gaya lama.
Jadi teranglah segalanya, bahwa penggantian nama
panggilan yang saya lakukan menjadi Pak Mentut,
sangatlah kuat dan beralasan.
62. 52
***
Bukan “sahibul hikayat,” bukan “syahdan,” bukan pula
“konon menurut yang empunya cerita.” Karena cerita
ini murni kejadian sangat realistis yang tergambar bersih
dan jelas dari mimpi-mimpi saya, yang berlangsung terus
menerus selama beberapa bulan setelah pencanangan
yang berawal dari terpilihnya Menteri utama baru, yang
kemudian sebagai langkah awal kerja, beliau menerbitkan
Keputusan Menteri utama disingkat “Kementut.”
Tak lazim bagi perilaku seorang Menteri, apalagi untuk
seorang Mentut dan hal ini sungguh membuat bingung
ajudan, supir, sekretaris pribadi yang setiap saat selalu
mendampingi kepergian Pak Mentut kemana-mana dan
ketaklaziman itu kembali terulang kali ini.
Melanggar rambu-rambu protokoler, meninggalkan
setiap pertemuan resmi maupun tak resmi pulang ke
kediaman sebelum acara benar-benar usai dan hal ini
anehnya, ia lakukan setiap selesai jamuan makan.
“Mana remote control pembuka pintu pagar!” Tergesa-
gesa dengan wajah tegang tak sabar, Pak Mentut merangsak
ke depan, meraih benda segi empat kecil bertombol
banyak yang terletak di dash board mobil dinasnya.
Menekan salah salah satu tombol yang ternyata adalah
alat otomatis pembuka pintu pagar kediamannya. Tak
sempat mencapai car port, apalagi tindakan lazim ajudan
untuk membukakan pintu kendaraan, Pak Mentut
membuka sendiri pintu mobil, menghambur ke luar
menerajang pintu kediaman, menghilang masuk kamar
dan menguncinya dari dalam.
63. 53
***
Tak seorangpun tahu, baik keluarga, pegawai rumah
tangga kediaman maupun masyarakat luar, apapula
penyakit atau kelainan yang diidap Pak Mentut akhir-akhir
ini. Pernah pada suatu hari, pada kejadian yang sama, Bu
Mentut karena rasa khawatir yang tinggi dan cemas melihat
perubahan perilaku Pak Mentut bertanya.
“Kenapa bang Baron? Apa yang terjadi, apa abang
kurang sehat? Dinda panggilkan dokter keluarga kita ya.”
Beruntun pertanyaan dan jalan keluar yang di usulkan Bu
Mentut, sebagai ungkapan rasa prihatin seorang isteri yang
menurut dia tidak bertendensi apa-apa. Namun sungguh di
luar dugaan, pertanyaan dan jalan keluar yang dia berikan
seakan alat pemicu meledaknya amarah Pak Mentut.
“Diaaaaaam! Dinda telah menabur pupuk di kebun
kemarahankuyangkinimulaiberputik.Jangandindaulangi
keinginan untuk memanggil dokter. Aku sehat, sehat lahir
bathin. Tak seorangpun kuizinkan untuk memeriksaku
perihal kelainan ini. Aku yakin hal ini akan hilang dengan
sendirinya, karena itu hanyalah sebuah gejala keterkejutan
yang akan mengalami proses penyesuaian.”
“Apa yang sebenarnya terjadi bang, mengapa abang
seperti menyembunyikan sesuatu. Apakah dinda sebagai
isterimu tidak punya hak untuk mengetahui perihal yang
terjadi pada abang. Apakah dinda tak dapat lagi abang
percaya? Katakan bang, katakanlah yang sejujurnya.”
Pak Mentut tertawa terbahak-bahak di sela rasa sakit
menghimpit, sehingga matanya yang memang sipit
menjadi lebih menyipit, membentuk satu garis yang
kemudian mengeluarkan air mata, merasa ada sesuatu
64. 54
yang menggelikan dari kalimat panjang isterinya. “Ha…
ha… dinda, kalimat-kalimat dinda tadi sungguh amat
puitis, mengingatkan abang pada judul lagu ‘Katakanlah
yang sejujurnya.’ Ha…ha….dan membangkitkan kenangan
lama pada masa lalu kita, masa kita pacaran dulu. Tak
sebuahpun kalimat berbunga dinda ucapkan masa itu,
selain hanya merengek, merajuk dan tertawa lepas, ngakak
tanpa sungkan sesuai umurmu yang masih sangat muda
pada saat itu. Ha….ha….”
“Ah bang Baron, dinda jadi malu. Apakah abang
menginginkan dinda tetap seperti dulu? Cengeng, aleman,
perajuk dan selalu tertawa ngakak? Dinda juga ingin
berubah bang. Sebagai seorang Isteri Mentut yang latar
belakang pendidikan formalnya cuma tamat SMP dinda
sadar, dinda harus mengimbangi agar abang tidak malu
beristerikan dinda dan kemudian berpaling ke perempuan
lain.” Tanpa sadar Bu Mentut kembali ke sifat lamanya,
merajuk. Pak Mentut cepat mengantisipasi agar keadaan
itu tidak berlanjut.
“Abang hanya bergurau, abang bangga padamu yang
kini sangat pesat kemajuannya. Dinda sekarang sudah
bisa aktif berkomunikasi dalam beberapa bahasa asing,
sudah piawai bicara politik, sosial, ekonomi sampai ke
hal-hal yang bersifat ilmiah. Sungguh, sumpah mati dik,
abang bangga.” Pak Mentut jujur dan bukan hanya sekedar
menghibur.
“Tapi abang ingatkan, untuk hal yang satu ini jangan
dinda utik-utik lagi. Abang tak ingin kelainan yang terjadi
pada abang akhir-akhir ini diketahui orang banyak dan
menurut abang, tak perlu dibesar besarkan karena sangat
65. 55
riskan dan menjadi ancaman yang dapat menjadi peluang
empuk bagi lawan politik kita untuk membantai.”
Semakin bingung dan tak mengerti, Bu Mentut hanya
dapat mengangguk dan berkata lirih. “Ya bang, kalau itu
keinginan abang.” Kemudian mereka berpelukan dan
berlanjut di sela rasa sakit yang sementara terkalahkan.
***
Sambil memegang dan menekan seputar perut, Pak
Mentut berpeluh dingin, meringis menahan sakit yang
tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Ada rasa perih
melilit, kembung padat, mual nak muntah dan desakan
kuat dari dalam, sulit seperti tumpat dan tak dapat
disalurkan dengan kentut atau sendawa. Berkali-kali Pak
Mentut mengalami hal seperti ini dan ia sudah tahu pasti
penyebabnya. Namun sampai detik ini Pak Mentut belum
mendapatkan satu cara, atau obat yang paling efektif untuk
menangkal penyebab kelainan perutnya. Untuk mengelak
dari penyebab penderitaan seperti kali ini, ia pikir sesuatu
yang mustahil walau terkadang, akibat rasa sakit yang
begitu hebat menyerang, terlintas juga di benaknya untuk
mengangkat gagang telepon, menghubungi dokter Zacky,
dokter keluarga mereka. Pak Mentut bersyukur, keinginan
seperti itu sampai saat ini masih dapat ia tahan. Untuk hal
yang satu ini, ia takkan mempercayai siapapun dan ia yakin
penyakitnya ini tak akan menghantar ia ke liang kubur.
Permasalahannya untuk dapat dikatakan rumit,
memang rumit, namun dapat juga dikatakan sepele. Rumit
karena ia dihadapkan hanya kepada dua opsi yang kedua-
duanya mempunyai akibat yang hampir sama buruknya.
Namun akan menjadi sepele, kalau ia mau jujur dan
66. 56
menerima resiko, bahwa kredibilitasnya sebagai pejabat
sangat penting di sebuah lembaga pemerintahan mungkin
akan sedikit terganggu.
Sambil terus menekan dan mengusap perutnya dengan
berbagai macam minyak gosok. Mulai dari berbagai merek
minyak kayu putih, balsem, minyak tanah yang dicampur
dengan irisan bawang merah sampai ke upaya yang sangat
tradisional, yaitu menggulung-gulungkan botol berisi
air hangat keseputar perutnya. Tampaknya usaha tinggal
usaha, namun sakit tak juga berkurang dan ini sangat ia
sadari. Karena derita seperti hal ini sudah berulang kali
diidapnya. Yang dapat meringankan bahkan menghentikan
rasa sakit hanyalah, kalau ia dapat mengeluarkan gas
yang berkecamuk melalui proses kentut yang berlajut ke
buang air besar. Namun untuk mencapai ini kenyataannya
memang tidak mudah.
***
“Sebetulnya untuk menjadi populer dan dianggap
sukses mengatasi krisis ekonomi berkepanjangan, banyak
hal yang dapat aku lakukan.” Pak Mentut bergumam dalam
hati sambil menahan rasa sakit. “Banyak aspek yang dapat
dijadikan solusi pencerahan, demi kepentingan masa
depan sekaligus dapat mengharumkan namaku. Namun
kenapa aku terlalu gegabah mengambil keputusan. Sebuah
keputusan yang berakibat penderitaan panjang bagiku.”
***
Bu Mentut hanya dapat mengurut dada, menahan
duka melihat penderitaan yang ditanggung oleh suaminya
tercinta dan pemandangan itupun hanya dapat ia lihat dari
67. 57
lubang kunci kamar tidur mereka yang sengaja dikunci
dari dalam oleh Pak Mentut. Samasekali tak satupun yang
dapat ia perbuat. Ia sangat paham akan temperamen Pak
Mentut yang setiap petuah, pesan maupun kata-katanya
sama sekali tak boleh dibantah, apalagi dilanggar. Terlalu
besar resiko yang ia hadapi apabila hal itu coba-coba
dilanggarnya. Walau disebalik itu semua, Pak Mentut
adalah orang yang sangat besar sekali perhatiannya
terhadap isteri, anak maupun masyarakat. Karena sifat
positifnya itulah, Pak Mentut yang umurnya relatif muda,
melesat pesat karirnya di berbagai bidang, termasuk di
bidang politik dan pemerintahan.
***
Laporan Sembilan belas, dari sebuah stasiun televisi
swasta malam itu menyiarkan liputan dari berbagai daerah.
Pada intinya pemberitaan malam itu, sama seperti malam-
malam yang lalu, di mana dari berbagai tayangan terlihat
jelas kepuasan masyarakat atau rakyat, atas kebijakan yang
diambil Pak Mentut dalam banyak hal, terutama tentang
perubahan-perubahan di bidang pangan. Perubahan
yang berdampak pada peningkatan strata sosial maupun
ekonomi masyarakat banyak. Dari laporan tersebut, tidak
satupun terlihat adanya keluhan masyarakat tentang
diversifikasi makanan pokok. Puja dan puji silih berganti
datang yang kesemuanya ditujukan kepada Pak Mentut.
Berbeda halnya dengan Bu Mentut. Jelas terlihat
kecemasan yang mendalam dan tergambar dari wajah serta
tingkah lakunya. Sebuah kecemasan yang sangat beralasan.
68. 58
Sejak pukul dua belas siang tadi, sepulang dari menghadiri
temu wicara dengan para petani ubi di desa Sendolas Riau,
Pak Mentut tak keluar dari kamar. Tak makan siang. Tak
makan malam dan tak menonton televisi, terutama acara
laporan Sembilan belas. Sebuah acara yang memberikan
rona kebanggaan tersendiri bagi Pak Mentut dan tentu hal
ini sangat dapat dimaklumi.
Dari lubang kunci di mana selama ini Bu Mentut dapat
melihat situasi keadaan kamarnya, namun kali ini, hal itu
tak dapat ia lakukan. Pak Mentut entah sengaja atau tidak,
membiarkan anak kunci menetap pada lubangnya setelah
ia memutar dan mengunci pintu.
Resah berbaur pasrah, Bu Mentut tak lain hanya dapat
berdoa semoga hal yang tidak diingini tak terjadi dan
hanya itu yang dapat ia lakukan.
***
Enam bulan lalu, tepatnya Agustus tahun 2000. Pak
Mentut di awal masa jabatannya, tanpa melalui proses
yang berbelit, tanpa persetujuan staf ahli di bidang gizi dan
pangan, serta tanpa persetujuan parlemen karena yakin
keputusannya ini tidak akan mengalami rintangan berarti
dan memang pada kenyataannya, keputusannya ini sangat
disambut oleh masyarakat. Keputusan Menteri utama
yang disingkat menjadi Kementut bernomor: 01/mentut-
ri/Agus./2000 tentang diversifikasi bidang pangan, yang
singkatnyaberisikankeputusantentangkeharusanmerubah
secara progresif revolusioner, bentuk makanan pokok
dari beras ke ubi kayu (ketela pohon, singkong). Alasan
69. 59
mendasar dari Kementut yang ia keluarkan adalah, karena
semakin tingginya nilai jual beras di pasar internasional
dan berarti kalau semua beras yang dihasilkan para petani
negeri ini dilempar ke pasar internasional, maka otomatis
akan dapat lebih mensejahterakan kehidupan petani itu
sendiri dan menjadi sumber devisa terbesar bagi negara.
Sebagai alternatif pengganti, seluruh rakyat diwajibkan
untuk mengganti makanan pokoknya ke ubi, dengan
alasan ubi adalah makanan pokok pengganti yang paling
cocok dan atas pertimbangan, bahwa ubi mempunyai
kadar gizi dan karbohidrat yang memenuhi persyaratan
untuk dijadikan makanan utama. Dari sisi lain, ubi juga
dengan mudah dapat tumbuh tanpa proses penanaman,
pemeliharaan, pemupukan yang berlebihan bahkan dapat
tumbuh di halaman-halaman rumah dan tepi jalan.
***
“Ha….ha….ha….ha…..” Terdengar lantang suara tawa
yang bersumber dari kamar Pak Mentut dan membuat
terkejut Bu Mentut yang sedari tadi dirundung resah dan
gelisah.
“Aku korban dari keputusan yang kubuat sendiri.” Pak
Mentut berkata dalam hati. “Ubi tak cocok buat perutku
namun sesuai buat rakyatku. Walau demikian ketidak
cocokan ini biarlah menjadi salah satu rahasia dari sekian
rahasia pribadiku dan yang pasti, rahasia yang satu ini akan
kubawa sampai mati.”
Sekali lagi Bu Mentut, yang berdiri di depan pintu
kamar mereka dikejutkan teriakan lantang dari dalam.
70. 60
“Dindaaaaaaa! Siapkan makan malam, taruh di depan
televisi. Ingat, jangan ada ubi! Aku laparrrrrrrrr!” Disusul
derit pintu kamar yang terbuka, memunculkan wajah lega
Pak Mentut seiring bau busuk menghambur keluar. Bau
khas yang sangat dikenal Bu Mentut. Bau yang membuat
ia mau muntah. Bau Kentut Pak Mentut yang memadati
ruang kamar, melepaskan ia dari siksa “Kementut,” namun
memberi pencerahan pada kehidupan rakyat.
71. 61
KETITIRAN
Malam ini, seperti pada beberapa malam lalu, suara itu
kembali terdengar.
Suara yang selalu mulai terdengar pada saat peralihan
waktu, peralihan antara pukul dua belas tengah malam
beranjak ke pukul satu.
Tetap seperti yang lalu-lalu, suara pingkau pilu itu,
rintihan dan gumam yang semakin mendekat ke arah
rumahku, menggesek-gesek dinding, berkeliling beberapa
jenak, kemudian berpindah ke perabung atap lalu pergi
beriring suara kepak sayap dan kicau burung Ketitiran.
Kali ini aku tak mau bertanya lagi ke tetangga sekeliling,
karena yakin jawabannya akan tetap seperti pada malam-
malam lalu. Tak seorangpun di antara mereka, para
tetangga kami yang mendengar suara-suara seperti yang
kami dengar.
Apek Liong Ontha, warga keturunan, tetangga baru
yang rumahnya paling dekat dengan rumah kami, kemarin
malam menampakkan rasa kesal bercampur jengkel ketika
aku dan Kamil adikku mengetuk pintu rumahnya.
“Apa elu punya maksud? Sudah dua-kali elu gedor
pintu rumah gua pada malam buta begini. Gua tidak
tahu dan tidak dengar itu suara yang elu maksud. Kalau
satu kali lagi elu gedor pintu rumah gua dan menanyakan
hal yang sama, gua akan laporkan elu pada pak ketua RT.”
72. 62
Berkacak pinggang, dengan muka memerah bersimbah
peluh dan hanya berkain pelikat penutup bahagian bawah
tubuhnya, sedang dibelakang sekilas terlihat nyonya Apek
Liong Ontha berkimono warna krim dengan rambut kusut
seperti habis diacak-acak.
“Astaghafirullah..........ampuni dosaku ya Tuhan, tak
kusengaja memang. Seperti terlupa aku, bahwa Apek
Liong Ontha tetangga baru kami dengan isteri kesekian
yang baru dinikahinya seminggu lalu. Isteri yang ini ia
tempatkan disebelah rumah kami dan sudah pasti, malam-
malam dingin renyai gerimis seperti ini takkan ia lewatkan
begitu saja.” Aku berkata sendiri dalam hati.
Membukakan telinga lebar-lebar, dengan mata coba
menembus kegelapan malam, menyapu pandang ke
sekeliling rumah. Namun tak satu sosok makhlukpun
terlihat, sedang suara pingkau, rintih dan gumam semakin
jelas terdengar.
“Agak jelas bang,” Kamil menggamit punggungku.
“Co..coba abang dengar baik-baik, aku seperti me...
mengenal siapa pemilik suara... itu.” Jelas terlihat gugup
dan agak terbata-bata Kamil menyampaikan suara apa
yang tertangkap oleh telinganya.
“Suara itu dari sana bang, dari pintu pagar sana.”
Kamil menunjuk ke arah pintu pagar dan akupun dapat
menangkap suara yang dimaksud, suara yang datang
dari arah sana. Suara yang sangat kukenal, suara dia,
namun wujudnya tak terlihat sama-sekali. Memang sudah
seharusnya demikian, namun aneh mengapa suaranya
kembali muncul.
73. 63
“Pakcik Bronto! ya... itu suara pakcik Brontoseno.”
“Betul bang, sudah pasti itu suara almarhum pakcik
Brontoseno.”
Brontoseno, sekilas dari namanya orang-orang pasti
tahu dari mana asal-usul siempunya nama. Tapi bagi pakcik
Bronto, dari keseharian terlihat jelas bahwa asal-usul, puak
dan suku tidaklah terlalu menjadi persoalan. Pakcik Bronto
yang konon semenjak umur belasan tahun telah ditinggal
mati ayah ibunya dan semenjak itulah beliau ikut bersama
orang tua kami.
Ia di rumah kami tidak diperlakukan sebagai orang
lain, orang yang menumpang hidup dan karena perlakuan
itulah, berulang kali ia mengatakan sangat berhutang budi
sekali pada keluarga kami.
“ Ee..alah biung, engkau ini macam mane, aku ndak
ade lagi rindu-rindu tanah Jawe. Kampungku di sini, emak
bapakku di sini, ya emak bapak engkau itulah yang telah
kuanggap sebagai emak bapakku sendiri, ngarti ndak? Jadi
jangan lagi engkau nak tanye, aku rindu apa tidak dengan
tanah Jawe.” Begitulah jawaban pakcik Bronto dengan
bahasa Melayu berlogat Jawa yang sekali imbas masih
terlihat.
“ Ape engkau masih kurang yakin bahwa aku sangat
cinta dengan kampung ini? Engkau dapat lihat, lha wong
bahase sanepun aku ndak bise, apelagi dengan budaya
dan keseniannye. Aku ndak bise main wayang wong, main
ketoprak, ndak suke nonton wayang kulit, pokokke ndak
suke dan ndak bise secare betul-betul jujur, ndak dibuat-
buat, karena senar hati ini hanya dapat berbunyi apebile
74. 64
disentuh oleh seni dan budaye sini, budaye kite budaye
Melayu.”
“Percaya.....percaya, jangan marah gitulah pakcik.
Tapi........” Sengaja aku menggantung kalimat agar pakcik
Bronto jadi penasaran dan pada kenyataannya memang.
“Tapi apa? Engkau masih mbelum yakin kalau aku cinta
kampung ini, cinta keluarga sini?”
“Tapi, orang kampung sini tak ada yang punya kesukaan
seperti pakcik itu.”
“Kesukaan ape? ndak adelah...” Pakcik Bronto semakin
bersemangat dan berupaya mati-matian untuk berbahasa
Melayu yang baik dan benar, walau dengan perjuangan
yang maha berat. Jelas tampak lidah dan mulutnya
terpeletat-peletot untuk mempertahankan keinginannya
berbahasa dan berdialek sini.
“Kesukaan memelihara burung Ketitiran. Ayo, jangan
membantah. Mana ada orang kampung sini yang punya
pekerjaan gila seperti pakcik Bronto, tiap hari pagi dan
petang kerjanya menggerek sarang burung ke dahan
Kekabu, macam pesuruh kantor Bupati yang menaik dan
menurunkan bendera tiap hari.”
“Ooo...itu toh. Soal Perkutut itu.”
“Nah, Perkutut lagi. Orang sini menyebutnya bukan
Perkutut pakcik, tapi Ketitiran.”
“Yeee..podo waelah, pokokke itu-itu juge makhluknye.”
Sekelumit gambaran kenangan pada pakcik Bronto,
yang sampai akhir hayatnya tetap pada pilihan membujang,
hilang ditimbus suara almarhum yang tak berujud. Tak
sedikitpun rasa ngeri atau takut yang menghantui. Yang
75. 65
terbayang hanyalah, bahwa pasti ada beban yang tak
terpikul oleh arwah almarhum, hingga ia mengalami
kesulitan dalam perjalanan menghadap Tuhan. Beban apa?
Itulah yang menjadi tanda tanya di benak kami.
Pakcik Bronto orangnya baik, bahkan terlalu baik. Tak
ada cacat cela pakcik Bronto yang membekas lama di
hati kami dan di hati orang banyak. Beliau secara sadar,
kami yakin tak pernah menyakiti hati orang lain. Tentang
ibadah kami rasa cukuplah dan beliaulah yang mengajari
kami mengaji, banyak hal tentang akidah, ibadah dan ilmu-
ilmu agama, walau karena ketidak mampuan pada soal
keuangan, beliau tidak berkesempatan menunaikan ibadah
haji. Tapi kami rasa, bukanlah itu yang menyebabkan arwah
almarhum pakcik Bronto, agak tersendat langkahnya
menghadap Tuhan.
“Mil.” Setengah berbisik aku memanggil Kamil seraya
menggamit tangannya.
“Mari kita berwudhu dan sholat sunat bersama,
mohon ampun pada Tuhan agar arwah almarhum pakcik
Brontoseno dapat tempat di sisiNya dan semoga salah serta
dosa almarhum dapat diampuni.”
Entah sah atau tidak, sebelum shalat berakhir pada
pembacaan Alfatihah di raka’at kedua, kekhusukkan
shalatku mulai terganggu. Aku yakin Kamil juga
mengalami hal yang sama. Suara itu kini terdengar pas,
ibarat di tepi daun telinga. Kalimat berbisik dengan desis
suara hembusan nafas dingin, membuat sukujur bulu
roma menjadi berdiri. Suara itu tak putus-putus dengan
kalimat berulang dan kehendak yang jelas seakan memberi
76. 66
jawaban akan sesuatu yang harus kulakukan.
Tak ingin membuang waktu. Selesai mengucapkan lafaz
salam kedua, aku menghambur ke pintu belakang rumah
kami diikuti Kamil.
“Betul Mil! Betul kata suara itu.” Sambil menunjuk
mengarahkan lampu senter kearah dahan batang Kekabu,
dimana tempat biasanya pakcik Bronto menggantungkan
sangkar burung ketitiran kesayangannya.
“Ya, betul bang mari kita turunkan sangkar itu.”
“Nauzubillah!” di dalam sangkar itu tergeletak bangkai
seekor burung. Burung Ketitiran kesayangan pakcik
Bronto yang mati kering, kelaparan tak diberi makan sejak
kematian tuannya.
Malam itu juga, menjelang subuh seperti yang dikatakan
suara itu, aku dan Kamil menguburkan bangkai Ketitiran
peliharaan pakcik Bronto. Pada pengaisan tanah terakhir
penutup lubung kubur, kami mendengar suara kepak sayap
dan kicau Ketitiran yang semakin menjauh dan menjauh,
lalu hilang. Sekali lagi kami membaca Alfatihah yang kami
hadiahkan buat almarhum pakcik Bronto.
Dan, setelah subuh itu, kami tak lagi mendengar suara
erang, rintih dan pingkau pilu yang kami yakini adalah
suara arwah pakcik Bronto.
77. 67
MATI YANG INDAH
Hujan rintik di tengah matahari benderang panas
menyengat, semakin membuat gerah suasana siang di
lokasi pembangunan jembatan Hulu Sungai.
Gerah, hujan lebat, dingin menusuk tulang, bahkan
panas atau badai sudah lama terkubur dari rasa yang
dikalahkan pilihan sengaja, atau tak sengaja ataupun
terpaksa untuk dijadikan sandaran, karena keadaan dan
kesadaran bahwa hidup ini mau tak mau harus terus
berlanjut.
Sama sekali tak ada tanda tanda atau suara suara yang
dapat dijadikan peringatan akan tibanya suatu kejadian.
Yang terdengar hanyalah suara benturan benda berat,
menghantam cabin operator dari crawler crane, alat berat
pengangkat yang dimodifikasi sedemikian rupa untuk
keperluan ganda, hingga sekaligus dapat digunakan sebagai
pile driving unit, sebuah unit sarana pemancangan pondasi
dari bangunan bangunan besar atau jembatan jembatan
berdaya dukung tinggi.
Suara pluit sebagai tanda peringatan bahaya yang
berkali kali ditiup Pak Sarbini mandor pancang, juga suara
teriakan Penny Sailor, Mono Kopral, Buyung Markis,
Tono Napi dan para kru pancang lainnya sama sekali tak
terdengar, ditelan oleh bunyi yang meraung raung berasal
dari main engine GM, bersilinder delapan dengan diameter
78. 68
tiap silindernya hampir seukuran dengan kaleng susu
lima kiloan, ditambah derit wire rope yang digulung main
drum bergesekan dengan brake belt pada setiap saat siap
menghentikan berputarnya main drum sekaligus menahan
beban tak berdaya, terayun ayun di rotary block berpengait.
Karena tuntutan keadaan dan keterikatan aturan kerja
yang sangat ketat, dibebani lagi dengan waktu penyelesaian
yang semakin sempit, para pekerja jembatan biasanya tak
lagi dipengaruhi oleh pikiran pikiran atau kepercayaan
kepercayan lama yang cenderung tahayul, termasuk pada
keadaan hari ini.
Berkali kali Datuk Raja Mole, orang tua penghuni
kampung Tepian, memperingatkan para pekerja untuk
selalu hati hati dan tetap menghormati keberadaan para
Puaka, Jembalang, Orang Halus dan Bunian yang jadi
penunggu tak tampak di lokasi pembuatan jembatan Hulu
Sungai. Begitu juga dengan kejadian pada siang ini, Datuk
Raja Mole berteriak keras dari tepi tebing.
“Sudahlah! Keadaan seperti ini sudah sangat berbahaya,
apakahnyawasudahtidakadalaginilainyabagikalian.Yang
namanya kerja itu, umurnya lebih tua dari kita. Untuk apa
buru buru, hari sedang hujan panas, kalian tahu ini adalah
satu pertanda akan ada kematian berdarah, percayalah.
Berhentilah dulu, tunggulah hujan reda.”
Namun tak seorangpun di antara pekerja jembatan
yang menggubris peringatan orang tua itu.
“Ndak apa apa Pak, kami sudah biasa kok, pekerjaan ini
harus segera selesai lho, waktunya sudah semakin mepet.”
Jawab Pak Sarbini, dengan dialek Jawanya yang kental,
tak berpaling sedikitpun dari arah pandang yang tertuju
79. 69
pada beton pile ukuran empat puluh kali empat puluh
sentimeter, dengan panjang dua puluh meter, yang sedang
diderek berangsur naik untuk tegak bersandar di leader
pipe dengan pile hammer siap memukul menancapkan.
Sebagai seorang operator yang berada di cabin saat
itu, aku hanya melihat kilasan sesuatu yang datangnya
begitu cepat tak terduga, hingga tak dapat memberikan
reaksi apa apa. Yang terasa pada saat itu hanyalah terpaan
benda yang membuat segalanya jadi sunyi, gelap, hingga
tiba tiba terjadi suatu perubahan besar yang seyogianya
menimbulkan keterkejutan, heran dan pana.
Namun heran, terkejut dan pana itu tidak terjadi,
entah mengapa. Aku seakan sudah sangat terbiasa dengan
keadaan seperti ini. Keadaan yang sangat luar biasa
indahnya, dengan ornamen alam yang berwarna warni dan
mengesankan. Lagi lagi aku sama sekali tak merasa berada
di tempat yang baru, atau asing dalam lingkungan seperti
ini.
Sambil bersiul siul kecil, aku mengemudikan kenderaan
yang rasanya paling aman, paling nyaman, paling membuat
betah untuk duduk berlama lama di belakang kemudi tanpa
diganggu oleh buruknya kondisi jalan raya, oleh padatnya
arus lalu lintas yang membuat jalanan jadi macet, tanpa
setopan polisi yang memeriksa surat surat kelengkapan
kendaraan atau tanda izin mengemudi dan tanpa perlu
merogoh kocek, kalau kelengkapan itu tidak terpenuhi..
Tak satupun terpancang tanda, sebagai rambu lalu lintas
yang harus ditaati para pengendara. Tak ada traffic light,
tak ada zebra cross juga tak ada jembatan penyeberangan
apalagi tukang parkir. Semua berjalan secara otomatis
80. 70
mulus tanpa kendala, namun tetap tak dapat membuat aku
merasa aneh atau asing dengan keadaan seperti ini.
Terus bersiul siul kecil, melaju dengan kecepatan yang
sama sekali tidak aku pedulikan.
Hambatan angin diterpa kendaraanku yang melaju,
menimbulkan suara indah mewujudkan harmoni
musik lengkap, meningkah siul di tengah perjalanan
menyenangkan tanpa arah, namun seperti diarahkan dari
sesuatu, menuju ke sesuatu.
Dari kejauhan terlihat salah satu dari sesuatu yang
sangat kukenal, karena aku pernah ikut andil dalam
pekerjaan pembangunannya. Walau kondisinya saat ini
sama sekali jauh berbeda, jembatan Batang Tarusan di
daerah pesisir selatan Sumatera Barat yang kukenal dulu,
tanpa gemerlap cahaya lampu penerang sekali gus penghias
wajah jembatan, kini dihias beratus buah gemerlap lampu
kristal berbagai warna. Jembatan yang kukenal dulu
berwajah kusam, kini dipoles warna putih dengan lantai
bergambar lukisan indah.
Sebuah lambaian tangan dari sosok lelaki berbadan
tegap, membuat aku menghentikan kendaraan. Sosok yang
bersandar di guard rail kiri jembatan, mengingatkan aku
pada suatu peristiwa kematian yang mengenaskan. Sosok
itu, adalah sosok Anas yang dulu mati tertimpa baja gelagar
melintang dari rangka jembatan ini. Sosok yang dulu hitam
legam, hingga ia mendapat tambahan nama menjadi Anas
Keling, kini sama sekali berubah. Anas Keling kini menjadi
putih bersih tanpa noda jelaga dari cerobong asap diesel
pile hammer yang selalu malas ia bersihkan. Pakaiannya
persis sama dengan yang kukenakan, blazer dengan
81. 71
pantalon putih dan kaos oblong melapisi tubuhnya yang
kekar dengan wajah keras, dihiasi rona hijau dari kumis
dan jambang lebat yang baru dicukur.
Aku membukakan pintu kendaraan, mempersilahkan
Anas Keling masuk.
Sebagai awal perjumpaan, lazimnya dua orang
sahabat yang lama tak bertemu, pembicaraan kami tak
lebih dari sekedar basa basi. Tak ada hal hal pelik yang
kami perbualkan, hanya ada hal aneh dari pembicaraan
Anas Keling, namun tak menimbulkan tanda tanya
berkepanjangan di benakku.
“Mari kita ke suatu tempat, di sana teman teman
lainnya sudah menunggu. Kami sudah dapat berita akan
kedatanganmu dan kami sudah siap menghantarmu ke
sebuah upacara pemberian anugerah bagi orang orang
seperti kita.”
“Mungkinkah ini anugerah yang dimaksud Anas
Keling?” Aku melihat di dada mereka masing masing
menempel sebuah medali dengan pita berwarna merah
hijau kuning sebagai penggantung yang melilit di leher
mereka.
Pakaian yang mereka kenakan semuanya persis sama
dengan yang aku dan Anas Keling kenakan. Kaos bulat
leher dengan blazer di lapisan luar dan pantalon putih
sebagai penutup bahagian bawah tubuh. Sedikitpun tak
ada perbedaan. Ada rasa sungkan untuk bertanya, atau
mengamati lebih dekat tulisan tertera di lingkar medali
tersebut.
Tanpa diminta rupanya Anas Keling temanku yang
paling lama tak jumpa, dapat membaca apa apa yang