1. KUANTUM ®KORAN JAKARTA22 Senin
2 FEBRUARI 2009
S
ebuah ekspedisi pelayaran Rusia yang dipimpin
Mikhail Lazarev dan Fabian Gottlieb telah menemu-
kan Antartika pada 1820. Nama Antartika diambil
dari nama dewa-dewa Yunani kuno Antarktik yang ber-
arti lawan dari Arktik. Di Bumi terdapat dua kutub yang
berseberangan, yaitu Kutub Utara dan Kutub Selatan.
Kutub Utara disebut Benua Arktik sedangkan Kutub Sela-
tan dikenal sebagai Benua Antartika.
Antartika merupakan daratan yang lebih dari 98
persen wilayahnya dilapisi es dengan ketebalan hingga
1,6 kilometer. Bentuknya digambarkan sebagai landas
kontinen yang tertutup es. Sebaliknya, Arktik merupakan
air laut yang membeku dan membentuk “pulau” serta
gunung-gunung es. Oleh karena itu, bisa dipahami se-
cara keseluruhan Benua Arktik, selain Greenland, adalah
sebuah bongkahan es yang terapung-apung di laut.
Hingga akhir abad ke-19, Antartika hampir tidak
terjamah lagi. Suhu lingkungan yang ekstrem, minim-
nya sumber daya, serta letak geografisnya yang terisolasi
menjadikan Antartika seolah terlupakan. Jika temperatur
global meningkat ekstrem, pulau-pulau terapung di Ark-
tik akan mencair. Namun, peristiwa itu tidak akan banyak
memengaruhi ketinggian permukaan air laut. Hal itu di-
sebabkan pulau-pulau tersebut merupakan air laut yang
membeku sehingga pencairan es di Arktik hanya meng-
ubah wujudnya saja menjadi cair, tapi tidak memiliki efek
signifikan menaikkan permukaan air laut.
Peristiwa sebaliknya dapat terjadi saat gunung es
mencair di Benua Antartika. Pencairan tersebut dapat
memengaruhi ketinggian permukaan air laut. Volume to-
tal dari gunung es di Benua Antartika cukup besar untuk
menambah volume air laut. Kekhawatiran mencairnya
Antartika sebenarnya perlu dianalisis kembali. Pasalnya,
dengan suhu lingkungan yang demikian ekstrem – jauh di
bawah titik nol derajat celcius – menjadikan es di wilayah
itu sulit mencair.
Suhu Ekstrem
Pemanasan global yang terjadi pun ditengarai tidak
akan akan mampu mencairkan es di Antartika karena
temperaturnya akan tetap berada di bawah nol derajat
celcius. Jika pemanasan global mengakibatkan tem-
peratur di kutub dapat mendekati nol sehingga es mulai
mencair, dipastikan semua manusia di Bumi akan mati
akibat heat stroke sebelum berdampak pada kenaikan
permukaan air laut.
Kontradiksi atas tenggelamnya Bumi akibat kenaikan
permukaan air dapat saja terjadi. Peningkatan tempera-
tur di Kutub Selatan menyebabkan air laut di sekitarnya
menguap. Embusan angin membawa uap itu ke Kutub
Selatan yang akhirnya jatuh dan membeku di daratan
Antartika. Jika proses itu berlangsung terus, sejumlah
air di sekitar es pindah dari laut ke daratan Antartika se-
hingga terjadi penurunan permukaan air laut.
Jika pemanasan global berefek terhadap pencairan
es di Artik dan penguapan air laut di sekitar Antartika
sehingga permukaannya turun, tentunya efek yang sama
dapat terjadi pada seluruh benda cair yang eksis di muka
Bumi. Dari kasus itu bisa terlihat bahwa kondisinya tidak
sesederhana yang diduga sebagian kalangan bahwa jika
Bumi memanas, terjadi pencairan es yang akibatnya
permukaan air laut ikut naik.
Di Bumi, banyak terdapat es dan salju abadi seperti di
Pegunungan Jaya Wijaya, Papua; Pegunungan Himalaya,
India; dan beberapa pegunungan tinggi di Eropa. Pada
akhir abad ke-20 ada indikasi salju atau es tersebut men-
cair. Jika pemanasan global berlanjut, boleh jadi seluruh
es tersebut akan mencair.
Bongkahan es di Greenland pun dapat menaikkan
permukaan air laut jika mencair. Inter-governmental
Panel for Climate Change (IPCC) memperkirakan akan
terjadi kenaikan permukaan air laut sampai 29 senti-
meter pada 2030 dan pada 2070 menjadi 71 sentimeter.
Pada akhir abad ke-21 diperkirakan kenaikannya menca-
pai hampir satu meter. berbagai sumber/hag/L-2
“Dinginnya”
Kehidupan
di Benua Beku
Ketika Antartika
Semakin Memanas
B
eberapa ilmuwan dari
University of Washington,
Amerika Serikat, belum lama
ini memublikasikan bukti
konkret yang mampu memprediksi
pengaruh pemanasan global terha-
dap seluruh wilayah Antartika. Akibat
efek rumah kaca (greenhouse effect),
temperatur udara Benua Antartika
yang bagaikan sebuah rumah dari
bekuan es raksasa semakin memanas.
Kenaikan suhu udara di wilayah ter-
dingin di muka Bumi itu telah terjadi
sejak setengah abad lalu.
Peningkatan suhu akan mencair-
kan es di wilayah “putih” itu dan secara
signifikan dapat menenggelamkan
banyak kawasan pesisir dan wilayah
muara sungai. Antartika yang memiliki
luas wilayah lebih besar daripada be-
nua Australia itu memiliki persediaan
es yang cukup untuk meningkatkan
level laut setinggi 57 meter (185 kaki).
Pengamatan terdahulu menunjuk-
kan semenanjung Antartika merupa-
kan titik utama terjadinya penurunan
ribuan gletser sejak awal dekade
ini. Namun hingga kini, berita yang
beredar sering kali memberikan acuan
berbeda dengan mengatakan bahwa
suhu di Antartika justru mendingin.
Argumen tersebut mengabaikan
kehancuran dua lapisan es raksasa di
belahan barat Antartika.
Walaupun begitu, banyak ahli
berpegang teguh pada pendirian me-
reka bahwa lempengan es yang begitu
tebal di Antartika telah menipis dan
perlahan-lahan mencair. Hal itu ter-
jadi sebagai akibat dari adanya lubang
ozon di Kutub Utara. Lubang ozon
tersebut sebagai efek dari musim yang
tidak menentu.
Berdasarkan studi terbaru dike-
tahui Antartika Barat telah memanas
sekitar 0,17 derajat celcius per dekade
sejak 50 tahun yang lalu. Kondisi
tersebut melebihi pemanasan yang
terjadi di semenanjung Antartika yang
rata-rata mengalami peningkatan se-
besar 0,11 derajat celcius per dekade.
Jika Antartika Barat mengalami pe-
manasan, di wilayah Antartika Timur
justru terjadi gejala pendinginan. Na-
mun, sebenarnya gejala tersebut hanya
terjadi ketika musim gugur. Adapun
periode pendingian terkuat terjadi an-
tara tahun 1970 hingga 2000. Peristiwa
pendinginan itu pun lebih disebabkan
oleh lubang ozon yang menciptakan
suhu sangat dingin, tapi pada lain
waktu memunculkan suhu yang panas.
Secara keseluruhan dan apabila
dikalkulasikan dalam jangka waktu 50
tahun, Antartika Timur juga meng-
alami pemanasan global dengan
rata-rata peningkatan suhunya men-
capai 0,1 derajat celcius per dekade.
“Pendapat yang mengatakan bahwa
Antartika Timur mengalami pendi-
nginan sebenarnya berdasarkan pada
kejadian dalam kurun waktu antara
tahun 1970-2000. Yang terjadi selan-
jutnya adalah pemanasan. Walaupun
kami tidak memiliki banyak data untuk
beberapa periode terakhir, yang terjadi
pada periode 1970-an jelas adalah
pemanasan,” ujar Eric Steig, Profesor
Ilmu Bumi dan Angkasa dari Univer-
sity of Washington, seperti dikutip AFP.
Meningkat 0,12 Derajat
Steig menambahkan apabila
semua data digabungkan, rata-rata
peningkatan temperatur di Antar-
tika berkisar 0,12 derajat celcius per
dekade. Hasil penelitian itu berdasar-
kan pada observasi selama 25 tahun
dengan menggunakan satelit yang
mengukur intensitas cahaya inframe-
rah yang teradiasi oleh sekumpulan
es. Penelitian itu juga disokong oleh
data dari stasiun cuaca otomatis yang
menyebar di sekitar pantai Antartika
sejak 1957.
Sayangnya, data tersebut tidak
memberikan estimasi sama sekali ten-
tang pencairan es atau prediksi stabili-
tas lapisan es. Jurnal hasil penelitian
wilayah Antartika hanya menyebutkan
pemanasan global secara logika dapat
menjelaskan peningkatan temperatur
di Antartika. Dengan adanya temuan
itu, kata Steig, seharusnya tidak perlu
membuat siapa pun cemas melebihi
sebelumnya. Namun yang patut
digarisbawahi, penelitian itu telah
mematikan argumen dari beberapa
orang bahwa Antartika mengalami
pendinginan.
“Ozon dapat saja terhapuskan pada
pertengahan abad ini. Dan apabila itu
yang terjadi, seluruh Antartika akan
memanas sama seperti yang terjadi
di berbagai belahan dunia,” ujar Steig
memperingatkan. Lapisan es pada
Antartika Barat memiliki cukup kan-
dungan air untuk meningkatkan tinggi
permukaan lautan di seluruh dunia
hingga mencapai enam meter (19,5
kaki), sehingga seluruh lautan memi-
liki ketinggian rata-rata 1.800 meter
(6.000 kaki).
Sedangkan lapisan es di Antartika
Timur terpisahkan oleh rangkaian
gunung dari Antartika Barat. Lapisan
es itu memiliki rata-rata ketinggian
sekitar 3.000 meter atau 10.000 kaki
yang membuatnya menjadi lapisan es
terbesar dan terdingin di dunia. Jika
seluruh lapisan itu meleleh, jutaan
pantai di Bumi akan tenggelam hingga
ketinggian 50 meter (165 kaki).
Apabila dianalisis secara geografis,
wilayah Antartika terbagi atas dua
bagian besar, yaitu Antartika Barat dan
Antartika Timur. Tinggi es di Antartika
Timur berkisar empat kilometer dan
lebih stabil daripada es di wilayah
barat yang cenderung dinamis. Di te-
ngah kedua wilayah tersebut terdapat
Landas Kontinen Ross. Di antara Lan-
das Kontinen Ross dan Antartika Barat
terdapat rangkaian es yang bergerak
10 meter setiap bulannya. Rangkaian
es tersebut bergerak layaknya sungai
dan mengisi Landas Kontinen Ross.
Landas Kontinen Ross sebenarnya
berupa pulau yang mengapung di atas
air, sedangkan wilayah kontinental
seperti Antartika Barat dan Timur
berada di atas pulau sehingga terdapat
perbedaan signifikan pada kedua wi-
layah tersebut. Pada Landas Kontinen
Ross terdapat ratusan meter es yang
mengapung.
Hal yang patut dicatat, jika seluruh
lapisan es Antartika mencair akan
sangat memengaruhi peningkatan
volume air laut di Bumi sebanyak 70
meter. Kondisi tersebut tentu saja
mengkhawatirkan karena peningkatan
volume air beberapa meter saja bisa
berefek sangat besar pada wilayah
pantai. Kekhawatiran utama sesung-
guhnya terletak pada mencairnya es di
Landas Kontinen Ross akibat pema-
nasan global.
Apabila dianalogikan dengan hu-
kum Archimedes, saat es dimasukkan
ke dalam segelas air, es tersebut akan
mengapung dan tidak berpengaruh sig-
nifikan terhadap peningkatan volume
air dalam gelas tersebut. Namun jika
jumlah es terus ditambah, keseluruhan
es akan tenggelam dan meningkatkan
volume air dalam gelas sehingga air
tersebut meluap. Logika dasar itulah
yang menjadi kunci utama ketakutan
para ahli atas pemanasan global.
Pada 20.000 tahun yang lalu, kete-
balan lapisan es di Landas Kontinen
Ross lima kali lebih tebal dari kondisi
sekarang. Sebagai contoh, beberapa
tahun yang lalu terjadi pecahan dari
Landas Kontinen Ross dan mencip-
takan gumpalan es yang terapung.
Penyebab pastinya kurang diketahui
apakah merupakan peristiwa alamiah
atau memang karena pemanasan
global. Pada 2002, di ujung utara
Antartika terdapat Landas Kontinen
Larsen yang retak dan memberikan
efek domino pada keseluruhan wila-
yah tersebut. Seluruh retakan lapisan
es tersebut hanya terjadi dalam waktu
kurang dari satu bulan.
Di ujung paling barat Antartika
terdapat lapisan es Amundsen yang
telah mencair dalam jumlah besar.
Permukaan es tersebut semakin ren-
dah selama satu dekade ini. Apabila
lapisan itu mencair seluruhnya yang
menyerupai pencairan landas kon-
tinen, yang perlu dikhawatirkan adalah
tenggelamnya Pulau Florida, AS, dan
beberapa kepulauan lain di sekitarnya.
Satu hal yang juga perlu diperha-
tikan adalah meletusnya rangkaian
gunung yang membatasi Antartika Ba-
rat dan Antartika Timur. Seperti jamak
diketahui, Antartika Barat dulunya
terpisah dari Antartika Timur. Karena
jarak yang saling berdekatan kedua wi-
layah tersebut bertabrakan satu sama
lain dan menimbulkan Pegunungan
Transantarctic. Kekhawatiran utama
merujuk pada kejadian erosi akibat
pemanasan global yang menimpa pe-
gunungan tersebut.
Pengikisan yang terus-menerus
dapat mengakibatkan meletusnya pe-
gunungan tersebut sehingga merun-
tuhkan gletser-gletser terbesar di dunia
yang ada di sekitarnya. Padahal, gletser
dengan volume satu kilometer kubik
es itu mengaliri Landas Kontinen Ross
sepanjang tahunnya. Bagaikan efek
domino, pecahnya gletser cepat atau
lambat akan merusak Landas Kontinen
Ross. berbagai sumber/hag/L-2
Sejak setengah abad
silam, suhu di Benua
Antartika semakin
memanas. Wilayah
yang 98 persennya
tertutupi es itu kini
terancam mencair
yang secara signifikan
bisa menenggelamkan
kawasan pantai di dunia.
« Banyak ahli berpegang teguh pada pendirian
mereka bahwa lempengan es yang begitu tebal
di Antartika telah menipis dan perlahan-lahan
mencair. »
REUTERS/ALISTER DOYLE
REUTERS/SAMUEL BLANC
FOTO-FOTO: REUTERS
AFP