SlideShare a Scribd company logo
1 of 148
1
DAFTAR ISI
LEICESTER DADI RATU
Lukas Setia Atmaja 4
NABI ADAM
Kuswaidi Syafi’ie 7
INSPIRASI DAN SOLUSI ISLAM NUSANTARA
A Helmy Faishal Zaini 10
SADIQ KHAN DAN ISLAM DI DUNIA BARAT
Amidhan Shaberah 13
MEMULIHKAN WIBAWA NEGARA
M Riza Damanik 16
STANDAR PENILAIAN PUBLIKASI ILMIAH
Irwan Trinugroho 19
KULIAH SAMBIL KERJA
Komaruddin Hidayat 22
ETOS SAUDAGAR MUHAMMADIYAH
Mukhaer Pakkanna 24
BERTEMU SOEKARNO DI LENINGRAD
Yadi Hendriana 27
KEBIRI ADALAH KEGAGALAN PEMERINTAH
Ninik Rahayu 31
BUAH HATI
Sarlito Wirawan Sarwono 36
NABI ADAM (2)
Kuswaidi Syafi’ie 39
MORAL PERMISIF DAN ABORSI ILEGAL
Faisal Ismail 41
STOP BULLYING SEJAK DINI
Susanto 44
TARI DAN LAKON
Mohamad Sobary 47
MEMAKNAI KEBANGKITAN NASIONAL
2
Jazuli Juwaini 50
AKTUALISASI KEBANGKITAN NASIONAL
Sudjito 53
SETELAH GAJAH YANI MATI, APA SELANJUTNYA?
Nyoto Santoso 56
SEBERAPA GAGAH ANGKATAN 1998?
Indra J Piliang 59
MENJADI JEMBATAN
Mudji Sutrisno 62
NASIONALISME VERSUS TRANSNASIONALISME
Biyanto 67
KASUS YY DAN PROBLEM AGRARIA
Siti Maimunah 70
HUKUMAN PELAKU KEKERASAN SEKSUAL ANAK
Yulina Eva Riany 73
DOKTOR ITU BEBAN
Komaruddin Hidayat 76
KEBIRI DI KEDIRI
Sarlito Wirawan Sarwono 78
(RE)FORMASI PENDIDIKAN KELUARGA
Benni Setiawan 81
KERINDUAN KITA KEPADA PANCASILA
Mohamad Sobary 83
AKTUALISASI GOTONG-ROYONG
Sudjito 86
GENERASI PENIKMAT
Komaruddin Hidayat 89
DARI MUHAMMADIYAH UNTUK INDONESIA BERKEMAJUAN
Ahmad Fuad Fanani 91
HORMON DI BALIK KUASA DAN DAHAGA
Reza Indragiri Amriel 95
MASIHKAH PANCASILA DIJADIKAN ACUAN KEBIJAKAN PUBLIK
Benny Susetyo 98
3
NEGERI YANG MENAKUTKAN
Matdon 101
AGAMA MASA GITU?
Sarlito Wirawan Sarwono 103
MERENGKUH NILAI TAMBAH RAMADAN
Faisal Ismail 106
PUASA SEBAGAI GERAKAN SOSIAL
Abdul Mu’ti 109
MANAJEMEN MUTU TERPADU RAMADAN
Muhbib Abdul Wahab 111
PUASA UNTUK KESEIMBANGAN FITRAH
Mahmud 115
PUASA MOMENTUM PENINGKATAN KINERJA
M Nasir 117
PROGRAM “RELIGI” DI TELEVISI
Gun Gun Heryanto 119
PUASA DAN KEUTUHAN KEMANUSIAAN
Hasan Asari 122
MEREVOLUSI CARA KERJA PEGAWAI NEGERI
Rhenald Kasali 124
PELAYANAN PUBLIK DAN PERDAGANGAN ORANG
Ninik Rahayu 128
KEBANGKITAN PENDIDIKAN TINGGI KITA
Tirta N Mursitama 133
URBAN SUFISM
Komaruddin Hidayat 136
PUASA DAN MAKANAN HALAL
Amidhan Shaberah 138
RAMADAN MOMENTUM PERBAIKAN MORAL
Bachtiar Nasir 142
MAKNA SPIRITUAL DAN MATEMATIKA PAHALA PUASA
Abdul Munir Mulkhan 144
JABATAN DAN LOBI POLITIK
Mohamad Sobary 146
4
Leicester Dadi Ratu
08-05-2016
Keajaiban yang ditunggu selama sembilan bulan terakhir akhirnya tiba. Leicester City FC
juara Liga Inggris musim 2015-2016.
Klub Liga Inggris berusia 132 tahun ini tidak pernah juara Liga Inggris sebelumnya. Pada
awal musim kompetisi 2015-2016, oleh bandar taruhan sepak bola di Inggris hanya dihargai
1:5.000. Artinya, jika Leicester juara, petaruh akan memperoleh 5.000 kali lipat dari uang
taruhan. Di mata bandar taruhan, dalam 5.000 kompetisi (tahun), diperkirakan Leicester
hanya bisa juara sekali. Bagi penggemar berat Leicester City FC, hal ini merupakan sebuah
”penghinaan”. Untuk juara di tahun 2016, klub mereka harus sudah berdiri sejak tahun 2.984
sebelum Masehi, saat monumen prasejarah Stonehenge di Inggris dibangun.
Namun kenyataan bicara lain, hanya dalam waktu 132 tahun Leicester sudah berhasil menjadi
juara. Artinya, bandar taruhan terlalu menganggap remeh Leicester City. Benarkah bandar
taruhan yang profesional dan sangat berpengalaman seperti William Hill dan Sky Bet
membuat kesalahan?
Memang siapa yang bisa menebak Leicester mampu jadi jawara? Bahkan Cludio Ranieri,
sang manajer Leicester City FC sendiri, terus terang tidak pernah bermimpi Leicester bisa
juara. ”Kami hanya berusaha bermain sebaiknya dari minggu ke minggu,” ungkap Ranieri
yang kini mendapat perlakuan bak ”orang suci” di Kota Leicester. Tahun lalu Leicester City
hampir terdegradasi dari Divisi Utama Liga Inggris.
Selama 20 tahun terakhir hanya ada empat klub yang bisa jadi juara Liga Inggris: Manchester
United, Arsenal, Chelsea, dan Manchester City. Semuanya adalah klub besar dan kaya. Klub
besar lain seperti Liverpool dan Tottenham Hotspurs saja belum mampu menembus dominasi
empat besar klub Liga Inggris tersebut, apalagi, maaf, Leicester.
Total nilai seluruh pemain Leicester hanya 30 juta poundsterling. Sedangkan, harga satu
pemain Manchester City seperti Raheem Sterling adalah 50 juta poundsterling. Tak ada yang
mengenal para pemain Leicester sebelumnya. Mereka adalah pemain kelas kambing yang
tidak layak bermain di klub besar. Manajernya pun baru saja dipecat sebagai kepala tim
nasional Yunani karena prestasinya memble.
Kemenangan Leicester adalah kemenangan bagi banyak orang, tidak hanya penggemar
setianya. Bahkan, aktor tenar Tom Hanks mengaku mengharapkan Leicester juara.
Kemenangan Leicester adalah kemenangan ”wong cilik”, rakyat jelata, pihak yang fungsinya
hanya sebagai pelengkap penderita.
5
Leicester dan klub gurem lainnya harus ada agar klub besar seperti Chelsea dan Manchester
United bisa mengklaim dirinya sebagai juara. Namun, kini mendadak dunia jadi terbalik.
Majikan menjadi pelayan dan pelayan menjadi majikan. Leicester memberi asa bagi mereka
yang suka bermimpi menggapai sesuatu yang rasanya mustahil. Leicester adalah Cinderella
dalam kehidupan nyata.
Di pewayangan Jawa adalah lakon (cerita) berjudul Petruk Dadi Ratu (Petruk Menjadi Raja).
Petruk yang punakawan (pengikut/pelayan kesatria) mendadak punya kesempatan jadi raja,
dan ganti nama jadi Prabu Belgeduwel Beh alias Tong Tong Sot alias Kanthong Bolong. Jika
dalam legenda, sang Prabu Khantong Bolong bikin dunia pewayangan jadi kacau, Leicester
justru membawa keberuntungan. Klub-klub gurem kini sadar bahwa mereka juga punya kans
jadi juara.
***
Sebagian penggemar Leicester mempertaruhkan uangnya untuk Leicester jadi juara. Total
ada 128 orang yang memegang taruhannya hingga Leicester menjadi juara. Sisanya sudah
tergoda untuk menghentikan taruhannya, dan menikmati imbalan pasti yang lumayan besar
namun tidak 5.000 kali. Tercatat jumlah uang taruhan untuk Leicester juara berkisar dari 0,5
hingga 20 poundsterling per orang. Dalam sejarah industri taruhan, kemenangan 1:5.000 ini
adalah yang terbesar sepanjang masa.
Sebenarnya fenomena seperti Leicester jadi juara sudah dijelaskan oleh Nassim Nicholas
Taleb, pakar keuangan dari New York University dan mantan trader saham di Wall Street. Ia
menyebut kejadian yang hampir mustahil tersebut sebagai ”Black Swan.” Istilah ini diambil
dari cerita tentang keyakinan bahwa semua angsa berwarna putih. Angsa hitam adalah
mustahil. Orang tidak tahu bahwa di Australia terdapat angsa hitam. Maka, angsa hitam
adalah kejadian yang tidak umum (unusual), namun bukan tak mungkin (impossible). Karena
probabilitasnya teramat kecil, kejadian angsa hitam sulit diprediksi.
Dalam bukunya, The Black Swan: The Impact of Highly Improbable (2007), Nassem Taleb
memberi contoh kejadian angsa hitam. Mulai dari penggunaan internet, komputer pribadi,
Perang Dunia I, pecahnya negara Uni Soviet, serangan September 11, market crash di Wall
Street 1929, kebangkrutan Lehman Brothers, raksasa keuangan berusia 150 tahun, long term
capital management (LTCM), hedge fund terkenal di Amerika Serikat yang dikelola dua
pemenang Nobel bidang ekonomi.
Maka, berhentilah terbelalak melihat fenomena Leicester Dadi Ratu. Dalam hidup ini,
termasuk investasi di bidang apa pun, bermimpilah setinggi-tingginya. Jika kita kukuh dalam
usaha keras dan doa, meminjam jargon pelawak Srimulat, Asmuni, ”Tidak ada hil yang
mustahal...”
6
LUKAS SETIA ATMAJA
Financial Expert - Prasetiya Mulya Business School
7
Nabi Adam
08-05-2016
Pembahasan tentang manusia sekaligus nabi pertama dalam kolom ini (juga tentang nabi-nabi
yang lain pada kolom-kolom berikutnya) terutama mengacu kepada kitab terakhir yang
ditulis oleh asy-Syaikh al-Akbar Muhyiddin Ibn ‘Arabi (1165-1240) yang berumbul Fushush
al-Hikam. Kitab ini secara filosofis-sufistik memang mengurai tentang substansi dan falsafah
kehidupan nabi-nabi dari mulai Nabi Adam hingga Nabi Muhammad ‘alayhim ash-shalatu
wa assalam.
Sebelum menciptakan sang khalifah pertama yang merupakan asal-usul umat manusia itu,
Dia telah terlebih dahulu menciptakan air, tanah, bebatuan, mineral-mineral, bintang-
gemintang, seluruh galaksi dan tata surya, langit yang tak terperi, dan lain sebagainya. Tentu
saja juga dengan malaikat-malaikat yang diberi tugas untuk menjaga dan memfungsikan
makhluk-makhluk tersebut.
Setelah itu Allah SWT menciptakan aneka ragam tumbuh-tumbuhan yang begitu banyak.
Bahkan sampai hari ini tidak terhitung jumlahnya secara pasti. Dari mulai yang merambat,
yang umurnya hanya beberapa bulan, yang tumbuh di genangan air atau rawa-rawa, yang
tumbuh di gunung-gunung dan padang sahara yang tandus, sampai yang sangat besar dan
umurnya bisa mencapai ratusan atau bahkan ribuan tahun.
Kemudian, Dia menciptakan berbagai macam binatang dengan sejumlah karakter dan
kecenderungan masing-masing. Ada yang buas dan ada pula yang jinak. Ada yang halal
dikonsumsi dan ada juga yang tidak. Semua itu diciptakan oleh hadirat-Nya untuk menjaga
keberlangsungan ekosistem dan lingkungan kosmik yang sehat.
Hingga tumbuh-tumbuhan diciptakan, sebelumnya tanah dan bebatuan tidak pernah
sepenuhnya mengerti untuk apa diciptakan. Hingga hewan-hewan diciptakan, sebelumnya
tumbuh-tumbuhan tidak pernah sepenuhnya mengerti untuk apa diciptakan. Dan sebelum
manusia diciptakan, hewan-hewan juga tidak sepenuhnya mengerti untuk apa diciptakan.
Yang demikian itu setidaknya mengindikasikan dua hal. Pertama, Allah SWT ingin
mengajarkan kepada umat manusia tentang urgensi proses transendental, dari yang paling
bawah menuju puncak. Dia sendiri sesungguhnya bisa menciptakan segala sesuatu secara
serempak dengan hanya sekejap mata atau bahkan tidak sampai malah.
Kedua, dengan adanya tahapan-tahapan penciptaan itu di mana suatu hal bergantung kepada
suatu hal yang lain, Allah SWT sebenarnya mau mengajarkan bagaimana makhluk-makhluk
8
itu mesti saling bermanfaat dan berguna di antara yang satu dengan yang lain. Sehingga
hidup ini berjalan dengan penuh melodi, harmoni dan sangat menyenangkan.
Walau berbagai anasir dan ornamen semesta sudah “lengkap”, tanpa kehadiran Nabi Adam
dunia ini tetap tidak lebih posisinya sebagai cermin yang buram. Karena tanpa kehadiran
manusia pertama itu, semesta hanya bisa memantulkan dengan samar adanya sifat wujud,
sifat ilmu, sifat qudrah, sifat iradah dan sifat hayat-Nya.
Secara empiris-sufistik, Nabi Adam merupakan kaca semesta pertama yang dipakai oleh
Allah SWT untuk bercermin memandang diri-Nya sendiri secara lebih gamblang dan
transparan. Saya menggunakan terminologi “empiris-sufistik” dengan alasan yang jelas
bahwa jika ditinjau dengan paradigma spiritual secara murni, maka makhluk yang pertama
kali diciptakan adalah Nur Muhammad atau al-Haqiqah al-Muhammadiyyah yang darinya
kemudian dimunculkan seluruh makhluk.
Dengan demikian, posisi Nabi Adam dengan seluruh anak-cucu keturunannya yang beriman
dan secara estafet senantiasa berpegang teguh terhadap spiritualitas asal-usul manusia itu,
mereka tidak lain merupakan ruh bagi alam semesta. Tanpa kehadiran mereka, semesta raya
ini hanyalah semata jasad, tidak ada bayang-bayang kehadiran Tuhan yang begitu transparan
di situ.
Sesungguhnya, apa makna kehendak Allah SWT dengan menciptakan alam semesta yang
lengkap dengan ruhnya ini? Sepotong hadis qudsi memberikan suatu jawaban: “Kuntu kanzan
makhfiyyan, fa uhibbu an u’raf, fa lidzalika khalaqtul ‘alam/Aku adalah tambang kekayaan
yang tersembunyi. Aku cinta untuk dikenal. Karena itulah Aku menciptakan alam.“
Tapi bukankah hadirat-Nya itu sanggup menyaksikan gambaran segala sesuatu yang akan
diciptakan-Nya dan sekaligus menjadikan semua itu secara serentak menyanyikan lagu-lagu
kemahaan-Nya? Masalahnya adalah bahwa Allah SWT menghendaki untuk melihat diri-Nya
lewat sesuatu “yang lain”.
Sengaja saya meletakkan “yang lain” itu dalam tanda kutip. Karena sesungguhnya tidak ada
yang betul-betul lain, yang benar-benar terpisah dari hadirat-Nya. Semua berada di
genggaman-Nya. Apa pun yang terjadi pada semua itu, itulah realisasi dari kehendak-Nya
semata. Tidak mungkin tidak.
Melihat diri sendiri secara langsung tentu saja tidak sama dengan melihat diri sendiri lewat
sesuatu yang lain. Melihat diri sendiri lewat perantara sama halnya dengan menyaksikan diri
sendiri pada sebuah cermin di hadapan. Itu jauh lebih mengasyikkan. Dan itulah yang
dikehendaki oleh Tuhan semesta alam.
Betapa beruntung orang yang dianugerahi kesanggupan untuk menjadikan dirinya sebagai
cermin bening bagi Allah SWT yang diletakkan persis di hadapan-Nya. Wallahu a’lamu bish-
9
shawab.
KUSWAIDI SYAFI’IE
Pengasuh Pondok Pesantren Maulana Rumi, Sewon, Bantul,Yogyakarta.
kuswaidisyafiie@ymail.com.
10
Inspirasi dan Solusi Islam Nusantara
09-05-2016
Ibnu Khordabeh, seorang sejarawan asal Persia, dalam kitabnya, Al-Masalik Wal Mamalik,
mencatat sekaligus memberikan gambaran rinci fakta masyarakat Indonesia/Nusantara zaman
dulu.
Ibnu Khordabeh menjelaskan masyarakat Nusantara adalah masyarakat yang jujur, santun,
terbuka, toleran, kosmopolit, juga beragam dan multikultural. Menurut catatan Ar-
Romahurmuzy dalam Ajayibul Hindi, Islam datang ke Nusantara pada abad ke-7 M. Hari ini
banyak kalangan sejarawan mulai menemukan fakta baru bahwa di Barus, Tapanuli Selatan,
sudah ada sebuah komunitas muslim yang melakukan aktivitas perdagangan di sana, tapi
skalanya masih kecil. Komoditas yang diperdagangkan salah satunya yang paling terkenal:
komoditas kapur Barus.
Pada abad ke-7 M tersebut Islam tampaknya kurang bisa berkembang di Nusantara. Baru
kemudian setelah era kedatangan Walisongo sekitar abad 13 M, Islam bisa menyebar secara
massif dalam waktu yang relatif sangat singkat, 50 tahun. Apa rahasianya? Pertama,
Walisongo sangat memahami esensi dakwah yang sesungguhnya dan seharusnya. Dakwah
yang dilakukan Walisongo adalah dakwah dengan jalan pendekatan kebudayaan dan bersifat
memberi wejangan. Dakwah yang mengedepankan laku-lampah dan tindakan, bukan semata-
mata pemulas bibir atau lips service semata.
Kedua, dakwah yang dilakukan Walisongo bersifat dakwah yang metodik. Walisongo sangat
mengerti derajat, tahapan, dan juga gradasi dalam berdakwah. Ketika terjun dan berdakwah
ke masyarakat mula-mula Walisongo menggunakan hikmah, kemudian menggunakan
nasihat-nasihat yang baik, dan yang terakhir—jika dua cara tersebut masih gagal—yang
ditempuh adalah jalur perdebatan. Itu pun dengan catatan harus dilakukan dengan santun dan
sopan.
Ketiga, Islam diajarkan sebagai manifestasi dari pesan memberi rahmat kepada seluruh alam
(rahmatan lil alamin). Islam bukan semata-mata hanya rahmat bagi manusia, namun lebih
dari itu, Islam adalah rahmat bagi seluruh alam raya seisinya. Kitab-kitab fikih mengajarkan
hal itu.
Hari ini jumlah penduduk Indonesia mencapai 254,9 juta jiwa. Dari jumlah penduduk
Indonesia secara keseluruhan tersebut, jumlah pemeluk agama Islam hari ini mencapai lebih
dari 205 juta jiwa. Angka yang sangat luar biasa. Angka tersebut menempatkan Indonesia
sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia.
11
***
Ada sebuah pertanyaan menggelitik yang laik dijadikan bahan renungan bersama: Andaikan
Candi Borobudur ini dibangun di negara-negara Teluk, apakah candi peninggalan agama
Hindu tersebut akan bisa terus lestari sebagaimana yang bisa kita jumpai di Indonesia saat
ini? Tidak ada jaminan. Menjaga Candi Borobudur—meminjam Franz Magnis Suseno
(2008)—dibutuhkan kelapangan psikologis juga teologis serta toleransi yang tinggi.
Menjaga Candi Borobudur bukan hanya membutuhkan toleransi, namun justru yang utama
dibutuhkan adalah sikap menghargai warisan-warisan kebudayaan peninggalan para
pendahulu meski itu dibuat dan diwariskan oleh mereka yang berbeda keyakinan. Ini bukti
bahwa dakwah Islam di Indonesia adalah dakwah yang mengedepankan kompromi terhadap
budaya dan kearifan lokal.
Maka itu, miris dan sangat patut disayangkan sekali jika dengan non-muslim yang berbeda
agama dan keyakinan saja, kita utamanya di Indonesia, bisa saling hidup rukun berdampingan
dan saling membantu, mengapa justru dengan sesama muslim yang hanya berbeda mazhab,
berbeda pandangan, justru kita perangi? Sudah saatnya kita mengakhiri era Islam yang
dipenuhi citra pertempuran, permusuhan sebagaimana yang terjadi di negara-negara Teluk
sampai saat ini.
Ulama-ulama harus bekerja keras menjalankan—meminjam analisis Said Aqil Siroj (2016)—
fungsinya. Pertama, ulama harus menjadi penyebar ilmu dan kepahaman (yatafaqqohu
fiddin). Fungsi pertama ini harus dijalankan secara serius dan lebih nyata. Ulama harus
memberi pemahaman yang komprehensif kepada umatnya.
Kedua, ulama harus ”memberi arahan” (yunzira qoumahun) kepada umat. Fungsi kedua ini
pada kenyataannya kurang mendapatkan porsi dan perhatian. Utamanya di negara-negara
yang hingga saat ini masih terus berkonflik. Indonesia sekali lagi bisa menjadi contoh.
Ulama-ulama Indonesia adalah ulama-ulama yang selalu berusaha untuk memerankan dua
peran itu. Ulama-ulama Indonesia tidak sebatas memberi pemahaman pada umatnya, namun
di luar itu, mereka juga memberi contoh langsung. Mereka menjadi suri tauladan bagi
umatnya.
Maka itu, tidak mengherankan jika banyak konflik di Indonesia bisa segera teratasi, dan
berhenti menjadi sebatas konflik lokal. Apa sebabnya? Karena, kiai, ulama, dan pemuka
agamanya turun tangan untuk berperan langsung melerai dan meredam konflik tersebut.
NU selama ini sudah membuktikan komitmennya untuk menyebarkan Islam yang ramah,
damai, dan toleran. Laporan Kompas yang dirilis 2015 mengatakan bahwa peran terbesar NU
dalam bingkai berbangsa bernegara adalah mewujudkan kehidupan yang damai dan toleran di
Indonesia. Pada 17 Februari 2016, NU menginisiasi apel kebinekaan lintas iman bela negara
dengan menggandeng agama-agama dan kepercayaan lain yang ada di Indonesia. Apel
12
kebinekaan selain merespons isu bom Thamrin yang mencoba menyudutkan Islam, juga
sebagai ikhtiar untuk menjaga kebersamaan dalam keragaman keyakinan.
Dengan jumlah warga NU yang mencapai 91,2 juta jiwa, NU menjadi salah satu kekuatan
Indonesia dalam rangka menjaga kesatuan dan keutuhan berbangsa dan bernegara. Atas dasar
itu semua, upaya NU untuk menyebarkan pola dakwah yang ramah dengan jalan menghelat
International Summit of the Moderate Islamic Leader (Isomil) di Jakarta 9-11 Mei mendatang
harus kita sambut dengan sukacita sekaligus kita maknai sebagai bagian dari upaya
”mengkloning” pola dakwah Islam yang ramah di pelbagai belahan dunia. Wallahualam.
A HELMY FAISHAL ZAINI
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
13
Sadiq Khan dan Islam di Dunia Barat
10-05-2016
”You’re going to be sworn in before the Queen, what sort of bible would you like?” I said: ”I
swear on the Koran, I’m a Muslim”. They said: ”We haven’t got a Koran, can you bring
your own?”. So I went to Buckingham Palace with my Koran and afterwards they returned it
and I said: ”No, can I leave it here for the next person?”
Petikan kalimat di atas diucapkan Sadiq Khan ketika Gordon Brown, Perdana Menteri Inggris
dari Partai Buruh, mengangkatnya sebagai menteri transportasi Inggris pada 2009. Dalam
sebuah wawancara, Khan bercerita bahwa dirinya ditanya, ”Kau akan disumpah di depan
Ratu, Injil apa yang kau pilih?”
Dia menjawab, ”Saya muslim, saya bersumpah dengan Alquran.” Mereka berkata, ”Tapi,
kami tidak punya Alquran. Bisakah kamu membawa Alquran sendiri?” Setelah disumpah
Ratu, mereka mengembalikan Alquran itu kepada Khan dan dia berkata: ”Tidak usah
dikembalikan. Bisakah saya meninggalkan Alquran itu di sini untuk dipakai orang lain
kelak?” (Evening Standard, 13 May 2016).
Mengomentari pernyataan Khan, seorang netizen menyatakan, ”Biarkan Alquran itu berada di
Istana Buckingham untuk melantik muslim lain yang akan jadi perdana menteri Inggris. Luar
biasa. Itulah ”Islam” di Inggris— sebuah negeri kiblat Dunia Barat.
Hari-hari ini dunia masih heboh ketika Sadiq Khan, 45, Sabtu (7/5) terpilih menjadi wali kota
(Major) London, ibu kota Inggris. Khan, putra imigran asal Pakistan, yang ayahnya bekerja
sebagai sopir bus, dalam pemilihan wali kota London tersebut menang 57% dari rivalnya,
Zac Goldsmith, 41, dari Partai Konservatif, putra keluarga konglomerat Yahudi Inggris.
Terpilihnya Sadiq Khan sebagai wali kota London ini benar-benar mengejutkan dunia.
Mengejutkan karena kampanye rasis yang diluncurkan kubu Goldsmith ternyata tak
memengaruhi pilihan warga Inggris. Bayangkan, kampanye Goldsmith yang sangat rasis ini:
”Apakah kita akan menyerahkan kota terhebat di dunia ini pada Partai Buruh yang
menganggap teroris sebagai teman?”
Sadiq Khan memang dari Partai Buruh. Dan, setiap warga London pasti tahu Sadiq Khan juga
beragama Islam – agama yang diidentikkan (sebagian besar media massa Barat) dengan
agama terorisme. Apalagi, sekarang dunia tengah diramaikan isu kebiadaban tentara ISIS—
Negara Islam Irak-Suriah—yang telah membunuh ratusan ribu orang di berbagai belahan
dunia.
14
Kenapa Sadiq Khan bisa terpilih sebagai wali kota di ibu kota negeri kiblat peradaban Barat
tersebut? Jawabnya mungkin panjang sekali. Tapi, satu hal sangat jelas: Islam di Barat meski
babak belur citranya (oleh isu terorisme yang dilakukan sebagian kecil umat Islam), tetaplah
menarik bagi orang Barat yang berpikir obyektif dan rasional. Orang Barat yang berpikir
kritis niscaya tahu, Islam mengajarkan perdamaian dan kasih sayang, bukan terorisme.
Banyak sekali ayat Alquran yang menjelaskan bahwa Islam sangat menghormati nyawa
manusia. Dalam Alquran dinyatakan bahwa dosa orang yang membunuh satu manusia tidak
bersalah sama dengan dosa membunuh seluruh umat manusia. Sebaliknya, orang yang
menyelamatkan hidup satu manusia, seakan-akan ia menyelamatkan seluruh umat manusia
(QS 5:32). Ayat ini menunjukkan penghargaan Alquran terhadap nyawa manusia yang luar
biasa.
Sejarah penaklukan Yerusalem (yang dikuasai Byzantium) oleh Salahuddin Al-Ayyubi pada
abad ke-12 yang berlangsung ”damai” misalnya sampai sekarang masih menjadi kisah paling
mengharukan di Barat. Betapa tidak, ketika Panglima Tentara Salib Richard The Lion Heart
sakit, dengan menyamar, Salahuddin justru mengobatinya. Dalam Perang Salib tersebut,
meski pasukan Kristen kalah, Salahuddin tetap menghormati Richard dan pasukannya. Karen
Armstrong dalam bukunya, Holy War, menggambarkan, saat Salahuddin dan pasukan Islam
membebaskan Yerusalem, tak ada satu orang Kristen pun yang dibunuh.
Tapi, bagaimana kini? ISIS, Al-Qaedah, dan Al-Shabab—untuk menyebut tiga contoh
organisasi teroris yang memakai baju Islam—adalah pembantai-pembantai manusia tak
bersalah. Mereka bertiga adalah contoh dari radikalisme, ekstremisme, dan terorisme yang
”menempel” pada Islam.
Barat juga tidak akan pernah melupakan peristiwa pemboman WTC di New York
(11/9/2001), pembantaian Paris (13/11/2015) dan kantor redaksi majalah Charlie Hebdo
(7/1/2015), peledakan kereta api di London (7/7/2005), dan pemboman Paddy’s Club, Bali
(12/10/2002) yang pelakunya ”para teroris” berbaju Islam itu.
Tapi, masyarakat Barat terdidik yang berpikir kritis dan obyektif juga tak terpengaruh dengan
”embel-embel” terorisme pada Islam. Justru sebaliknya yang terjadi: pasca-tragedi WTC
ketika media massa Barat menghujat Islam, banyak orang Barat yang intelek penasaran ingin
mempelajari Islam dan Alquran. Betulkah Islam itu identik dengan terorisme? Hasilnya di
luar dugaan: alih-alih membenci Islam, mereka justru tertarik dan simpati kepada Islam.
Bahkan banyak di antara mereka kemudian masuk Islam. Pasca-tragedi 11/9/2001 tercatat
rata-rata 20.000 warga Amerika Serikat masuk Islam per tahun.
Penelitian terbaru di AS makin mengejutkan: saat ini hampir 47% kaum muda AS justru
simpati kepada perjuangan rakyat Palestina. Padahal, 10 tahun lalu jumlah mereka yang
simpati hanya 15%. Jika simpati kepada perjuangan rakyat Palestina ini identik dengan
simpati kepada Islam dan kebencian kepada Israel, data ini jelas sangat mengejutkan. Cepat
15
atau lambat, umat Islam akan menjadi warga masyarakat AS yang jumlahnya signifikan dan
bisa memengaruhi kebijakan White House dan Capitol Hill.
Kondisi yang sama terjadi di Eropa. Jumlah umat Islam terus bertambah, baik di Eropa Barat,
Eropa Tengah, maupun Eropa Timur. Pertumbuhan jumlah kaum muslimin di Eropa ini
bukan hanya terjadi karena faktor kaum imigran muslim yang berasal dari Timur Tengah,
Asia Selatan (India, Pakistan, Bangladesh), dan Afrika, tapi juga berasal dari warga setempat
yang berdarah asli Eropa.
Di Inggris misalnya, menurut CNN, jumlah umat Islam sekarang sudah mencapai 4,7% dari
populasi atau sekitar 3 juta jiwa. Ini artinya, dalam 10 tahun terakhir, populasi kaum muslim
di Inggris naik 100%. Yang menarik, kata CNN, jumlah umat Islam di Inggris ini tiap tahun
terus meningkat. Hal yang hampir sama terjadi di Prancis, Belgia, dan Spanyol. Jumlah umat
Islam terus meningkat. Ironinya, peningkatan tersebut justru terjadi ketika citra Islam
terpuruk akibat isu-isu terorisme.
Saat ini memang citra Islam masih terpuruk di Inggris akibat isu-isu terorisme, tapi orang-
orang Inggris percaya, para pelaku terorisme adalah orang-orang biadab yang ”menggunakan
Islam” sebagai topeng. Sedangkan Islam adalah agama yang dalam sejarah terbukti pernah
memberikan teladan hidup yang damai, toleran, dan cinta pengetahuan kepada umat
manusia. Sejarah juga membuktikan revolusi industri di Inggris pun terpicu oleh penyebaran
dan perkembangan ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh umat Islam.
Akhirnya, terpilihnya Sadiq Khan sebagai wali kota London menyadarkan Barat, terutama
Inggris, bahwa kampanye hitam terhadap Islam sudah bukan zamannya lagi. Yang sekarang
dibutuhkan dunia adalah kerja sama antaragama untuk membangun peradaban yang cinta
damai dan membangun kesejahteraan umat manusia. Dalam Alquran disebutkan, Allah
menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan dan menjadikan manusia berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya saling kenal-mengenal (Al-Hujarat 13). Ayat ini menyuruh manusia
agar berpikir universal, humanis, dan saling menghargai. Nabi Muhammad sendiri
menyatakan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang paling bermanfaat bagi
manusia lain.
AMIDHAN SHABERAH
Ketua MUI (1995-2015)/Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Departemen Agama RI (1991-
1996)
16
Memulihkan Wibawa Negara
12-05-2016
Setelah diketahui sarat praktik koruptif dan melanggar sejumlah peraturan perundang-
undangan di Indonesia, teranyar proyek reklamasi Teluk Jakarta menampakkan tabiat
utuhnya: melemahkan kewibawaan negara.
Pemerintahan Jokowi-JK di dalam visi misinya, ”Jalan Perubahan untuk Indonesia Yang
Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian” (Mei, 2014), telah berhasil mendeteksi perihal
merosotnya wibawa negara sebagai satu dari tiga persoalan pokok bangsa. Ada lima kondisi
yang menyebabkan menurunnya wibawa negara.
Pertama, ketika negara tidak kuasa memberikan rasa aman kepada segenap warga. Kedua,
tidak mampu mendeteksi ancaman terhadap kedaulatan wilayah. Ketiga, membiarkan
pelanggaran HAM. Keempat, lemah dalam penegakan hukum. Kelima, tidak berdaya dalam
mengelola konflik sosial. Gejala kelimanya semakin terasa pada tahapan stadium lanjut
polemik reklamasi di Teluk Jakarta.
Abai Reklamasi 17 pulau baru maupun tanggul raksasa di depan Teluk Jakarta bukanlah
solusi mengatasi banjir dan kemiskinan bagi warga Ibu Kota. Sebaliknya, proyek ini
berpotensi memperluas area genangan banjir Jakarta hingga 31.000 hektare pada 2100 (KKP,
2015).
Tidak cukup banjir, dua proyek ini bahkan berpeluang menggerus Pulau Onrust dan pulau-
pulau lain di sebelah barat Teluk Jakarta. Kerusakan lingkungan dan penggusuran nelayan di
luar Jakarta bahkan semakin sulit dihindari. Untuk keperluan pengurukan tanggul raksasa
beserta 17 pulau barunya dibutuhkan sedikitnya 800 juta metrik ton material pasir. Kini
risikonya justru semakin besar.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menemukan hampir seluruh
dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) pulau-pulau reklamasi di Pantai
Utara Jakarta tidak memasukkan kajian kebutuhan bahan urukan, ketersediaan air bersih, dan
pengaruh reklamasi terhadap kegiatan vital.
Tepatlah prakarsa Menteri Koordinator Bidang Maritim Rizal Ramli pada 18 April 2016
bersama-sama Menteri LHK Siti Nurbaya, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama
(Ahok), serta sejumlah pejabat di lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
untuk menghentikan sementara (moratorium) proyek reklamasi di Teluk Jakarta.
Sayangnya, dua pekan setelah moratorium, kegiatan reklamasi dengan seluruh risikonya
17
masih saja membayangi kehidupan warga. Dari Muara Angke, Jakarta, warga nelayan dengan
mudah menyaksikan masih ada kegiatan reklamasi di Pulau G. Beragam aktivitas
pembangunan juga masih berlangsung di Pulau C dan D, dengan dalih ketelanjuran.
Di Desa Lontar, Banten, keresahan warga bahkan berlanjut setelah melihat kapal-kapal
penambang pasir masih beroperasi dengan jarak hanya 2-3 mil dari garis pantai. Dus,
tersungkurnya kewibawaan negara akibat tidak dijalankannya seruan moratorium reklamasi
di Jakarta akan berdampak buruk terhadap penanganan lebih dari 30 proyek reklamasi lain, di
luar Ibu Kota.
Memulihkan
Semua kita dapat berkontribusi memulihkan kewibawaan negara. Pertama, masyarakat luas,
termasuk nelayan berkewajiban untuk terus-menerus mengingatkan penyelenggara negara
agar tidak korup dan tebang pilih dalam menuntaskan polemik reklamasi Jakarta. Tentunya,
tindakan konstitusional ini harus dapat membebaskan dirinya dari kebencian berbasis suku,
agama, ras, maupun antargolongan.
Kedua, Gubernur Ahok dapat merujuk pada laporan warga nelayan terdampak, temuan
KLHK dan KKP untuk menyelenggarakan audit kepatuhan kepada seluruh pengembang
reklamasi di Teluk Jakarta. Bila terbukti melanggar, gubernur sesuai kewenangannya dapat
memberikan teguran, penyegelan, bahkan pencabutan izin. Namun, bila Gubernur Ahok
sungkan atau ragu menjalankan tugasnya, Menteri Siti Nurbaya dapat menyelamatkan
kewibawaan negara dengan mengambil alih kewenangan tersebut.
Penyegelan yang dilakukan kemarin bisa jadi langkah awal. Selanjutnya, segera memberikan
sanksi kepada Gubernur Ahok dan para pengembang sebagaimana telah diatur di dalam
Undang-Undang (UU) Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Terobosan (hukum) serupa dapat dilakukan oleh Menteri Susi Pudjiastuti sesuai
kewenangannya.
Ketiga, hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) juga dapat berpartisipasi menegaskan
posisi negara terhadap polemik reklamasi. Hakim dibenarkan untuk mengambil putusan sela
terhadap perkara Nomor 193/G.LH/2015, Nomor 14/G/LH/2016, Nomor 15/G/LH/2016, dan
Nomor 13/G/LH/2016 untuk membatalkan sementara dan menunda pelaksanaan izin
reklamasi Pulau G, F, I, dan K, sambil menunggu proses persidangan berkekuatan hukum
tetap (inkracht).
Keempat, Presiden memiliki kemewahan konstitusional untuk mengurai pembangkangan
kebijakan moratorium reklamasi dengan mengeluarkan instruksi presiden (inpres) tentang
moratorium reklamasi pantai di seluruh Indonesia. Inpres ini dimaksudkan untuk
memperjelas dan mengakselerasi kerja para pembantu Presiden pada tiga hal pokok. Mulai
dari menghentikan perusakan lingkungan dan penggusuran warga pesisir dan nelayan. Lalu,
mempercepat eksekusi penegakan hukum. Puncaknya, memperjelas strategi pemerintah
18
meningkatkan partisipasi masyarakat pesisir dan nelayan dalam agenda pembangunan kota-
kota pantai dan poros maritim dunia. Seperti visi Presiden, inilah momentum ”emas”
melunasi janji memulihkan kewibawaan negara.
M RIZA DAMANIK
Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI); Wakil Ketua Umum Ikatan
Sarjana Kelautan Indonesia (Iskindo)
19
Standar Penilaian Publikasi Ilmiah
13-05-2016
Dalam beberapa waktu terakhir ini publikasi ilmiah di jurnal internasional menjadi isu yang
sangat hangat di Indonesia khususnya di perguruan tinggi. Dipicu oleh relatif rendahnya
jumlah dan kualitas publikasi ilmiah Indonesia di jurnal internasional, terutama dibandingkan
dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand.
Pemerintah (dalam hal ini Kementrian Ristek-dikti maupun perguruan tinggi) membuat
berbagai program untuk mengakselerasi kuantitas dan kualitas penelitian serta publikasi
ilmiah agar dapat terdiseminasi di jurnal internasional. Bahkan bereputasi baik dalam bentuk
kewajiban publikasi bagi penerima hibah penelitian, pelatihan dan pendampingan penulisan,
dan sebagai syarat untuk kenaikan jabatan fungsional. Di samping itu, baik perguruan tinggi,
Kementrian Ristek-dikti, maupun Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) juga
membuat program insentif yang nilainya cukup fantastis untuk artikel yang terpublikasi di
jurnal internasional bereputasi.
Yang kemudian menjadi permasalahan dan perdebatan adalah terkait standar dan kriteria
untuk mengklasifikasikan suatu jurnal internasional dapat dikatakan bereputasi. Seperti yang
sudah diketahui secara umum, Kementrian Ristek-dikti saat ini menggunakan indeksasi dari
Scopus (Elsevier) dan Web of Science (Thompson Reuters) sebagai acuan. Demikian pula
LPDP menggunakan dua acuan tersebut dengan tambahan kriteria impact factor dan jumlah
sitasi untuk memberikan penghargaan publikasi internasional.
Hal ini kemudian menimbulkan berbagai perdebatan. Di satu pihak, banyak yang berargumen
bahwa dua lembaga pengindeks tersebut memang yang paling kredibel dan valid dalam
menilai standar suatu jurnal dan paling layak digunakan sebagai acuan di dalam dunia
akademis. Di samping itu memang ada beberapa lembaga pemeringkat perguruan tinggi,
yang secara spesifik menggunakan Scopus dalam beberapa standarnya seperti QS World
University Rankings, di mana untuk kategori kinerja dalam riset yang diukur dengan jumlah
sitasi per paper mengambil data dari Scopus.
Di satu sisi, muncul argumen kontra yang mengatakan bahwa penggunaan Scopus sebagai
acuan utama penilaian kualitas suatu jurnal dan digunakan dalam banyak aspek (kenaikan
pangkat, insentif, dan kinerja dosen). Hal ini menjadikan kita hanya sebagai pengikut
(followers) dari lembaga asing dan cenderung terjadi “penjajahan dalam dunia
akademik”. Kemudian muncul di media sosial mengenai besarnya pendapatan tahunan
Scopus (Elsevier) dan Thompson Reuters yang dihasilkan dari berbagai unit bisnisnya
termasuk dalam indeksasi.
20
Permasalahan selanjutnya, timbul ketika Jeffrey Beall, seorang pustakawan dari University of
Colorado Denver USA, membuat sebuah blog yang di dalamnya memuat daftar publishers
(penerbit jurnal) dan stand alone journals (jurnal-jurnal yang berdiri sendiri tidak menginduk
penerbit tertentu). Jurnal tersebut open access, yang dikategorikan sebagai berpotensi,
dimungkinkan, dan kemungkinan besar adalah penerbit dan jurnal predator. Beall
menggunakan beberapa standar untuk mengevaluasi apakah suatu penerbit atau stand alone
journal dapat dimasukkan dalam daftar tersebut, yang secara umum adalah terkait dewan
editor dan staf redaksi, manajemen dan bisnis dari penerbit dan jurnal, integritas dan kriteria-
kriteria lain.
Perdebatan di Indonesia kemudian kembali muncul terkait dengan keberadaan Bealls List
karena beberapa institusi menggunakan daftar ini sebagai acuan pula untuk mengevaluasi
kualitas suatu jurnal. Ada sejumlah jurnal yang terindeks di Scopus, namun juga masuk
dalam daftarnya Jeffrey Beall. Di satu sisi keberadaan daftar ini cukup bagus karena memang
memuat banyak jurnal dan penerbit yang cenderung “money making“ dengan menerbitkan
artikel di dalam jurnalnya tanpa peer-review process yang rigid. Tanpa proses reviu, tetapi
mengharuskan penulis untuk membayar sejumlah uang tertentu untuk biaya publikasi.
Namun, pada sisi yang lain, ada beberapa pendapat yang menyebutkan bahwa Beall
cenderung subyektif dalam menentukan penerbit dan jurnal yang masuk dalam daftarnya.
Saya beberapa kali berkomunikasi dengan Jeffrey Beall terkait beberapa penerbit dan jurnal
yang ada di dalam daftarnya maupun yang belum ada di daftarnya. Suatu waktu saya pernah
menanyakan ke beliau terkait jurnal terindeks di Scopus yang memiliki proses reviu yang
bagus dan tidak ada biaya publikasi (hanya membayar biaya membership untuk setahun yang
nilainya relatif cukup kecil), tetapi masuk dalam Bealls List. Beall waktu itu meminta semua
contoh proses reviu dan menanyakan biaya publikasi.
Setelah saya kirimkan semua, kemudian dia sampaikan bahwa jurnal tersebut tetap dia
pertahankan dalam daftarnya karena penerbit dari jurnal baru saja mengakuisisi beberapa
jurnal open access yang berkualitas rendah. Perlu pula dicatat bahwa Bealls List ini dapat
berubah (utamanya bertambah) setiap saat yang juga menimbulkan ketidakpastian bagi yang
menggunakannya sebagai acuan.
Kemudian bagaimana sebaiknya kita menyikapi mengenai standar dalam evaluasi terhadap
jurnal internasional? Saat ini khususnya di kalangan sivitas akademika perguruan tinggi di
Indonesia, terjadi keresahan terkait hal tersebut yang berujung pada debat-debat yang
menghabiskan energi.
Sebagai negara besar, Indonesia seharusnya memiliki standar tersendiri dalam mengevaluasi
kualitas suatu jurnal internasional, yang tidak serta-merta mengacu pada indeksasi atau daftar
yang dikeluarkan lembaga di luar negeri. Dalam hal ini, standar publikasi ilmiah serta daftar
jurnal internasional yang diakui berdasarkan pada standar yang disusun tersebut dapat
ditetapkan oleh regulator (misalnya Kementrian Ristek-dikti bekerja sama dengan LIPI).
21
Untuk menetapkan standar dan daftar jurnal yang diakui, diperlukan suatu tim yang terdiri
atas para pakar di masing-masing bidang (rumpun) ilmu yang sudah berpengalaman dan
kompeten dalam kaitan dengan publikasi di jurnal internasional untuk menentukan
kriteria/standar serta kemudian menentukan daftar jurnal internasional yang diakui
berdasarkan pada standar-standar tersebut. Standar dan daftar jurnal tersebut harus dievaluasi
secara periodik misalnya setiap dua atau satu tahun sekali.
Keberadaan standar dan panduan tersebut akan memberikan kejelasan dan kepastian
khususnya bagi dosen dan mahasiswa pascasarjana yang sangat didorong untuk publikasi di
jurnal internasional bereputasi. Beberapa negara juga menetapkan standar sendiri dalam
menentukan kualitas suatu jurnal dan membuat daftar yang menjadi acuan di negaranya.
Contohnya Prancis, yang memiliki standar pemeringkatan jurnal tersendiri yang dikeluarkan
CNRS, suatu lembaga riset ilmiah negara. Contoh lain misalnya Denmark, yang mendesain
BFI (Danish Bibliometric Research Indicator), Brasil yang memiliki Qualis, dan sebagainya.
Dapat pula standar tersebut ditetapkan untuk masing-masing bidang ilmu misalnya asosiasi
dekan sekolah bisnis di Australia (ABDC) menetapkan standar penilaian dan membuat
rangking jurnal untuk bidang bisnis dan ekonomi. Rangking tersebut kemudian dipakai
sebagai acuan semua sekolah bisnis di Australia.
DR IRWAN TRINUGROHO
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Sebelas Maret (UNS)
22
Kuliah Sambil Kerja
13-05-2016
Bisa studi lanjut ke luar negeri itu menjadi idaman bagi banyak mahasiswa. Orang
membayangkan betapa enak dan kerennya kalau bisa memperoleh beasiswa ke negara maju.
Tentu saja bayangan itu tidak salah, namun bagi mereka yang menjalani akan memiliki
pengalaman dan cerita lain. Adalah hal yang lumrah, kuliah sambil bekerja untuk mencari
tambahan biaya. Terlebih jika mengambil program pascasarjana dengan disertai istri dan
anak, beban psikologis dan ekonomis cukup berat dirasakan yang berimplikasi pada
kelancaran dan prestasi studinya.
Secara intelektual, para penerima beasiswa ke perguruan tinggi di Barat, misalnya, mesti
melewati persaingan yang berat dan ketat. Oleh karenanya, mereka yang telah lolos ujian
seleksi bahasa dan potensi intelektual pasti bagus kualitasnya. Jadi, sesungguhnya masalah
yang lebih berat berakar pada masalah non-akademis.
Banyak tantangan dan hambatan yang mesti dihadapi oleh mahasiswa di luar negeri. Tradisi
belajar di Timur Tengah berbeda dari perguruan tinggi di Barat. Di samping iklim, ada pula
faktor makanan. Orang Indonesia sulit berpisah dari makan nasi.
Juga kecenderungan untuk selalu berkumpul dengan teman sedaerah. Kebiasaan ini akan
menghambat proses sosialisasi memasuki pergaulan internasional. Akibatnya, sekalipun
tinggal di luar negeri, mayoritas waktunya diisi dengan berpikir dan berbicara dalam bahasa
Indonesia. Makanya ada beberapa mahasiswa yang memilih berkawan dekat dengan orang
asing agar lebih terasa belajar di luar negeri dan juga untuk memperlancar bahasa.
Mahasiswa yang membawa keluarga, istri dan anak misalnya, umumnya istri mencari
pekerjaan untuk mendapatkan uang tambahan karena dana beasiswa yang diterima suami
tidak cukup. Ada yang jadi baby sitter, kerja di restoran, jualan makanan, dan sebagainya.
Tidak jarang ketika datang libur musim panas selama tiga bulan suami juga bekerja musiman.
Saya sendiri pernah kerja pada KBRI di Jeddah Arab Saudi selama musim haji. Lama kerja
40 hari di bagian informasi haji. Tugas saya mencatat jamaah haji yang sakit dan meninggal
lalu tiap malam mengirim berita ke Jakarta. Selama kuliah di Turki saya tiga kali menjadi
tenaga musim haji, dengan honor 50 riyal per hari. Jumlah yang lumayan untuk tambahan
biaya hidup dan membeli buku serta keperluan lain. Beruntunglah mereka yang memperoleh
beasiswa cukup sehingga waktunya hanya diisi untuk studi.
Sekali lagi, problem belajar di luar negeri cukup beragam. Ada teman yang studi di Belanda
23
dan gagal di tengah jalan karena bermasalah dengan profesornya yang menurutnya kaku, sulit
diajak berdiskusi, memandang rendah mahasiswa Indonesia sebagai inlander. Profesor
pembimbing disertasi pada umumnya memang demanding, ingin perfeksionis karena kalau
mahasiswa bimbingannya tidak bagus hasilnya, yang menjadi taruhan nama baik dirinya. Ini
berbeda dari profesor pembimbing di Indonesia yang kurang serius dan kurang fokus karena
sambil mencari kerja sampingan.
Kembali ke soal kerja, setiap datang musim haji KBRI di Arab Saudi selalu membuka
lowongan kerja bagi mahasiswa Indonesia khususnya di Timur Tengah mengingat
dibutuhkan tenaga kerja untuk membantu melayani jamaah haji. Keuntungan bagi
mahasiswa, di samping memperoleh honor, juga dapat menunaikan ibadah haji. Bagi KBRI
juga diuntungkan karena mahasiswa menguasai bahasa Arab dan memahami tata cara ibadah
haji serta lingkungan sosial Arab.
Umumnya mahasiswa di Timur Tengah pernah bekerja sebagai temus haji. Sebuah istilah
yang sangat akrab, maksudnya tenaga musim haji. Peminat menjadi temus haji ini juga
menarik mahasiswa Indonesia yang tengah belajar di India dan Eropa. Mungkin juga
sekarang sudah merembet ke Amerika.
Banyak cerita suka dan duka kuliah di luar negeri. Terutama ketika keluarga sakit, bersamaan
tugas kuliah yang menuntut kerja keras, sementara uang beasiswa tidak mencukupi. Lebih
stres lagi ketika sudah diperingatkan batas waktu beasiswa mendekati berakhir, padahal tugas
riset dan penulisan disertasi belum selesai.
Bagi kita yang di Indonesia selalu membayangkan kuliah di luar negeri itu serbamewah dan
menyenangkan. Ini bisa dipahami karena setelah tamat dan kembali ke Indonesia jarang yang
mau bercerita pengalaman pahitnya. Bahkan ada yang sengaja menutupinya.
Saya merasa beruntung karena sejak kuliah strata satu di Jakarta memang sambil bekerja.
Jadi, sudah punya tabungan mental bagaimana rasanya menjadi mahasiswa miskin, yang
kemudian justru saya jadikan cambuk untuk menaklukkan berbagai rintangan yang
menghadang.
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
24
Etos Saudagar Muhammadiyah
13-05-2016
Pada 13-14 Mei 2016, Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan (MEK) PP Muhammadiyah
menggelar temu Jaringan Saudagar Muhammadiyah (JSM) di DI Yogyakarta. Wahana ini
tidak sekadar ritual membangunkan romantisme terhadap masa-masa awal kebangkitan para
saudagar Muhammadiyah, tapi juga menjadi momentum membangkitkan etos kemandirian
Persyarikatan.
Mengapa etos ini perlu digelorakan? Fakta berbicara, di tengah masyarakat masih banyak
menyeruak stigma terhadap profesi saudagar, yang diasumsikan sebagai sifat eksploitatif,
agresif, ekspansif, egois, tidak mau rugi, hitung-hitungan, pelit, tidak jujur, curang, tidak
terbuka, sumber penghasilan tidak stabil, ketidakpastian kehidupan, kurang terhormat, dan
lainnya. Tidak mengherankan, jika banyak orang tua yang tidak menginginkan anak-anaknya
terjun dalam profesi sebagai saudagar. Bahkan, banyak orang tua mengatakan “untuk apa
sekolah tinggi-tinggi jika hanya menjadi saudagar alias pedagang”.
Sayangnya, stigma ini pula menjangkiti saudagar-saudagar muslim generasi pertama, yang
dulunya sukses mengembangkan jaringan usaha di beberapa sentra bisnis di Tanah Air.
Awalnya dikuasai saudagar Islam, tapi pada periode generasi berikutnya, akhirnya
gagal. Generasi pertama sukses, tapi pada generasi keduanya gagap melanjutkan.
Stigma seperti itu sudah mengental dan menjadi pemahaman umum masyarakat. Padahal
menjadi saudagar adalah kegiatan mulia. Pernah suatu ketika Rasulullah SAW ditanya para
sahabat, “Pekerjaan apakah yang paling baik ya Rasulullah?” Rasulullah SAW menjawab,
“seseorang bekerja dengan tangannya sendiri dan setiap jual-beli yang bersih” (HR. al-
Bazzar).
Konstatasi tersebut mengabarkan, Islam mengajarkan umatnya menjadi saudagar, dan bahkan
sepanjang sejarah Muhammad SAW dan para sahabatnya tidak sedikit sebagai pelaku usaha
(saudagar). Dan tidak dimungkiri, masuknya Islam ke Indonesia juga melalui jalur saudagar.
Bagaimana Muhammadiyah?
Melacak sejarah, pada periode awal pergerakan Muhammadiyah selalu diinisiasi oleh kaum
saudagar. Mereka ini berfungsi ganda; selain sebagai juru dakwah, juga sebagai saudagar
dalam menyiarkan Islam di mana mereka berkunjung. Pada periode awal, para saudagar
Muhammadiyah sukses membangun kemandirian organisasinya. Figur KH Ahmad Dahlan
sebagai tokoh sentral dan merupakan prototype saudagar sejati, kerap berdagang di pelbagai
25
kota. Bahkan, KH Ahmad tidak bosan mengajarkan murid-muridnya untuk menjadi orang
yang mandiri secara ekonomi.
Hasilnya, cukup impresif. Pada tahun 1916 kaum saudagar yang menjadi anggota
Persyarikatan Muhammadiyah, tercatat dalam sejarah mencapai 47% dari total anggota
Muhammadiyah. Mengapa Kiai Dahlan mengajarkan itu? Tentu terkait doktrin bahwa
menjadi saudagar merupakan jalan cepat mandiri. Riwayat Rasulullah SAW; “Sembilan
persepuluh dari sumber rezeki itu dari kegiatan saudagar”. Malah dinukilkan “Bahwa
saudagar yang jujur dan amanah (akan ditempatkan) beserta para nabi, shidiqin dan para
syuhada” (HR. At-Tirmidzi).
Etos saudagar telah terpatri dalam diri generasi awal Muhammadiyah. Hasilnya
Muhammadiyah cukup disegani dalam berdakwah, baik oleh pemerintah (kolonial dan
pemerintah Indonesia) maupun masyarakat sipil lainnya. Tidak heran, telah menjadi
kenangan indah, bagaimana para saudagar Muhammadiyah di Sumatera Barat, Bugis-
Makassar, Solo, Yogyakarta, Pekalongan, Tasikmalaya, Garut, dan lain-lain, mampu
menggerakkan organisasi Muhammadiyah dengan kekuatan bisnisnya.
Namun kenangan indah, bahwa Muhammadiyah selalu dimotori kaum saudagar telah
menjadi cerita masa lalu. Generasi Muhammadiyah dalam empat dekade belakangan ini
bukan lagi dimotori kaum saudagar, tapi dijejali oleh kaum pamong praja dan pegawai negeri
sipil (PNS). Bahkan, dalam struktur kepengurusan Muhammadiyah, mulai Pimpinan Pusat
(PP) hingga Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM), sulit lagi ditemukan kaum saudagar.
Pelbagai perhelatan organisasi pun selalu berharap sponsor pemerintah, pejabat, dan
pengusaha di luar kalangan warga Muhammadiyah. Pertanyaannya, mengapa etos saudagar
warga Persyarikatan semakin pudar?
Etos Saudagar
Hambatan terbesar untuk menjadi saudagar adalah etos keberanian. Budaya penakut dan
bayangan terhadap risiko gagal, kerap menjangkiti setiap orang yang mau melangkah
berbisnis. Rasa takut itu bermula dari dalam diri, karena tidak terbiasa dengan tanggung
jawab.
Boleh jadi budaya kita sejak kecil selalu ditakut-takuti baik oleh orang tua, guru maupun
masyarakat (Khamsa, 2011). Kita diajari “tidak boleh ini dan tidak boleh itu”, karena
dikhawatirkan akan terjadi “begini atau begitu”. Akibatnya, kita jadi penakut untuk
melakukan sesuatu, karena takut gagal dan disalahkan orang.
Orang tua, pendidik (guru), pendakwah agama, tokoh masyarakat, sesepuh masyarakat, dan
lingkungan masyarakat, sejak dulu tidak mendidik kita untuk berani mengambil risiko,
terutama berkaitan dalam risiko usaha. Padahal keberanian adalah modal awal dalam
26
menjejakkan kaki menjadi saudagar. Tanpa keberanian, tidak akan pernah bisa dimulai.
Orang akan selalu dibayang-bayangi oleh perasaan takut rugi.
Kesuksesan selalu dicapai dengan sebuah proses setelah melewati berbagai hambatan,
sehingga tidak ada alasan untuk takut gagal. Karena kegagalan adalah sebuah proses
pembelajaran (Suyanto, 2008). Kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda. Setiap orang
akan melalui suatu proses pembelajaran, maka tentu kemampuan orang juga akan semakin
meningkat. Sense of business juga meningkat sehingga kemampuan orang dalam menilai dan
memilih bisnis semakin tepat.
Sebenarnya kata gagal hanyalah milik orang yang berhenti mencoba, berhenti berinovasi, dan
berhenti berbuat. Artinya, orang yang takut gagal adalah orang yang keluar dari fitrah
kemanusiaannya, atau orang yang menginterupsi sunatullah.
Selain etos keberanian sebagai modal awal dalam memulai usaha, hal yang sangat penting
adalah selalu berpikir positif, selalu optimistis bahwa kita akan berhasil. Berpikir positif dan
optimistis dapat dicapai dengan selalu berinteraksi dengan orang-orang yang bermental
positif dan optimis dalam melakukan banyak hal. Maka, sering-seringlah bergaul dengan
komunitas yang sama visinya dengan kita karena energinya akan ikut mengalir kepada kita
(Chandra & Deryandri, 2010).
Etos keberanian, tanggung jawab, jujur, amanah, berpikir positif, adalah serangkaian modal
utama untuk menjadi saudagar. Tapi sebagai umat Islam (yang mungkin boleh jadi, sebelum
lahir sudah menjadi “Islam turunan”), bahwa serangkaian etos itu (keberanian, tanggung
jawab, jujur, amanah, berpikir positif), sesungguhnya sudah diajarkan dan ditebar oleh Allah
SWT melalui ayat-ayat-Nya atau sunatullah-Nya dalam Alquran dan di alam semesta.
Bahkan, Rasulullah SAW dan para sahabatnya pun telah memberikan uswah (contoh
teladan), bagaimana sejatinya berbisnis menurut ajaran dan perilaku Islam (Antonio, 2009).
Tapi, mengapa umat Islam terutama Muhammadiyah generasi sekarang ini, kurang memiliki
perhatian dan keberanian untuk bergumul dalam dunia usaha?
MUKHAER PAKKANNA
Wakil Ketua Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PP Muhammadiyah
27
Bertemu Soekarno di Leningrad
14-05-2016
Angin dingin terasa menembus tulang di sekitar Benteng Paul and Peters, St. Petersburg,
Rusia. Benteng megah yang dikenal penduduk Petersburg dengan nama Petropavlovskaya
Krepost itu berada di sepanjang Sungai Neva. Dibangun pada 1703, benteng itu digunakan
ketika Peter The Great mengklaim daratan di sepanjang Sungai Neva, sebagai perlindungan
dari serangan pasukan Swedia. Di dalam benteng penuh sejarah itu juga berdiri katedral
megah yang pertama didirikan di St. Petersburg. Sebuah katedral kuno yang kini dikenal
dengan nama Paul & Peters.
Tapi bukan itu yang ingin saya ceritakan, St. Petersburg merupakan kota tercantik di daratan
Eropa dan menyimpan banyak sejarah. Di sepanjang sungai yang membentang sepanjang
2.428 km dan berlabuh langsung ke Teluk Finlandia, tumbuh juga pusat-pusat industri,
pendidikan dan juga budaya masyarakat sekitar yang beragam.
Pada 1914-1991 kota ini dikenal dengan nama Petrograd, namun berubah menjadi Leningrad
pada masa Uni Soviet (1924-1991), sebuah nama yang disematkan untuk menghormati
Vladimir Lenin, yang kita kenal dengan ajaran leninisme, yang banyak ”diharamkan” di
negara-negara anti-komunis, termasuk di Indonesia. Kini, kota di tepi Sungai Neva ini resmi
dikenal dengan St. Petersburg, namun penduduk sekitar lebih suka menyebut Leningrad.
Di Petersburg berdiri bangunan-bangunan kokoh dan megah, ada dua istana terkenal seperti
istana musim panas Peterhof, istana musim dingin Hermitage, serta Gereja Berdarah Nevsky
Prospect. Kota terindah ini juga sudah dilengkapi sistem transportasi Metro di bawah tanah
sejak tahun 1950-an dengan kedalaman 400 meter di bawah tanah.
Saat berkunjung ke Benteng Paul & Peters, tepat di depan pintu masuk benteng, saya melihat
bangunan seperti kubah masjid, jaraknya mungkin sekitar satu kilometer dari pinggir sungai.
Saya sempat bertanya kepada Emile, seorang pedagang ice cream di sekitar benteng. Tak
seperti penduduk kebanyakan di Petersburg, Emile tak sungkan berbahasa Inggris dibanding
kebanyakan orang Rusia yang lebih suka berbahasa Rusia daripada bahasa Inggris. ”Itu
masjid terbesar di Petersburg,” ujar Emile. Tak salah, dalam benak saya ini mungkin yang
disebut dengan Masjid Soekarno di Petersburg.
Esok harinya, saya mengunjungi Masjid Soekarno, seperti yang ditunjukkan oleh Emile.
Letaknya memang tak jauh dari Sungai Neva dan Benteng Paul & Peters, persisnya berada di
Jalan Kroverkskiy prospekt, 7, St. Petersburg, 1900. Jika naik Metro (kereta bawah tanah),
stasiun terdekat adalah Gorovska, sekitar 10 menit jalan kaki sudah sampai ke Mesjid
Soekarno.
28
Dari dekat, masjid ini sangat indah sekali, diapit dua menara tinggi, masing-masing sekitar 49
meter, di tengah-tengah juga berdiri kubah setinggi 39 meter. Di Petersburg, ini satu-satunya
masjid terbesar dan mampu menampung sekitar 5.000 orang jemaah. Saat salat Jumat, hampir
seluruh muslim Petersburg melaksanakan ibadah salat Jumat di masjid ini. Tak terkecuali
jemaah wanita, yang disiapkan tempat di lantai dua.
Masjid dengan arsitek Nikolay Vasilyev ini mulai dibangun pada 1910, namun baru selesai
pembangunannya secara keseluruhan pada 1921. Awalnya masjid ini memang dibangun
untuk memperingati tahun ke-25 masa pemerintahan Abdul Ahat Khan di Bukhara. Saat itu
komunitas muslim di Petersburg berjumlah delapan ribu orang dan saat ini jumlah muslim di
Petersburg sudah berlipat-lipat karena banyaknya imigran. Vasilyev membangun masjid ini
sesuai Gur e Amir, makam Temerlane di Samarkand.
Cerita berubah, setelah pada 1917 kekuasaan Tsar (kaisar) di Rusia runtuh oleh rezim
komunis Uni Soviet. Rezim yang tak toleran dengan agama ini, membuat Mesjid Agung
Petersburg terbengkalai dan berubah fungsi menjadi gudang penyimpanan perlengkapan
medis dan juga senjata, pada 1940 hingga 1956. Menurut cerita dari beberapa sumber, setelah
16 tahun terbengkalai fungsi masjid ini kembali berubah setelah kedatangan Presiden
Soekarno yang ditemani putrinya, Megawati, ke Petersburg, pada 1955.
Pada siang hari dalam lawatannya ke Petersburg (saat itu masih ibu kota Uni Soviet) untuk
memenuhi jamuan di Kremlin atas undangan Presiden Rusia Nikita Kruschev, Soekarno
sempat melintas di samping Benteng Paul and Peters, persis di samping Sungai Neva.
Sebagai seorang insinyur, kita tahu benar, Soekarno memang gemar memperhatikan
bangunan-bangunan kuno.
Persis di depan jembatan Trinity Bridge, di dalam mobil yang dinaikinya Soekarno
memperhatikan sebuah bangunan menyerupai masjid. Saat itu Soekarno sempat meminta
sang sopir untuk berhenti dan mengantarnya ke bangunan tua tersebut. Namun, sesuai
protokoler Soekarno tak diperbolehkan untuk turun dan kembali. ”Bangunan apakah itu?”
tanya Soekarno. ”Itu dahulu berupa masjid, dan sekarang digunakan untuk gudang,” ungkap
sang sopir menjelaskan secara detil.
Sebagai seorang muslim, Soekarno sempat gelisah dengan fungsi Masjid Petersburg yang
sudah berubah menjadi gudang. Padahal, bangunan masjid itu sangat kokoh, dindingnya yang
dibuat khusus dari batu, dengan ukiran-ukiran yang khas, membawa kesan unik. Kualitas
bangunan pun tak beda jauh dengan Katedral Paul & Peters yang berada di belakang benteng
pertahanan Petersburg.
Dua hari Soekarno berada di Petersburg, sebelum akhirnya dia terbang ke Moskow untuk
melakukan pembicaraan tingkat tinggi, kerja sama bilateral antara Indonesia dan Soviet. Pada
1955, memang sedang bergejolak Perang Dingin, dan kita tahu bahwa posisi Indonesia sangat
dekat sekali dengan Soviet. Bahkan hubungan kedua negara ini juga diikuti dengan kerja
29
sama berupa pengiriman ribuan mahasiswa ke Soviet berupa ikatan dinas, tak terkecuali
pembangunan di Tanah Air juga dibantu oleh pemerintah Soviet.
Dalam berbagai cerita, sampai di Moskow, Soekarno melakukan pembicaraan serius dengan
Nikita Kruschev di Istana Kremlin terkait situasi blok dunia yang terpecah. Namun, sebelum
pembicaraan serius dimulai, Kruschev memulai perbincangan ringan, ”Bagaimana kunjungan
Anda ke Leningrad Mr. Presiden, apakah menyenangkan?” Kruschev membuka pembicaraan.
Soekarno memang negosiator ulung, di luar dugaan dia bilang ”Rasanya saya belum pernah
ke Leningrad,” katanya mengagetkan Kruschev. ”Mr Presiden memang pandai bertutur, apa
ada yang salah dengan Leningrad. Bukannya kemarin jalan-jalan bersama sang putri
(Megawati) di sana?” Sambung Kruschev. ”Kami memang berada di sana, tapi kami tidak ke
sana, karena tidak diberikan kesempatan untuk menengok bangunan yang disebut masjid
biru,” tutup Soekarno.
Singkat cerita, dalam jamuan makan itu, sebagai seorang muslim dia menumpahkan
kekecewaannya karena masjid digunakan untuk gudang dan dalam kondisi tidak terawat.
Barangkali, benak Soekarno saat itu tahu benar Kruschev berat untuk mengabulkan
permintaannya, agar masjid kembali difungsikan untuk ibadah umat muslim Petersburg,
apalagi Soviet menerapkan ideologi komunis marxis secara tegas dalam bernegara.
Namun sejarah menghendaki lain, tak sampai dua minggu setelah pertemuan itu, keluar
perintah dari Kremlin, untuk kembali memfungsikan masjid biru Petersburg sebagai tempat
ibadah umat muslim tanpa syarat apa pun. Rasa terima kasih muslim Petersburg tak
terbayangkan, luar biasa dengan kelihaian diplomasinya, Soekarno bisa mengubah kebijakan
sebuah negara adikuasa, meskipun bertentangan dengan dasar ideologi negaranya.
Hingga saat ini, 700.000 dari 5 juta penduduk Petersburg bisa melakukan salat lima waktu
dengan tenang di Masjid Biru Soekarno. Mesjid itu setiap hari ramai dikunjungi umat
muslim, apalagi banyak imigran-imigran dari Timur Tengah yang mencari peruntungan di
Petersburg, menambah semarak ibadah mereka.
Kondisi bangunan pun sangat terawat dengan baik, bentuk bangunannya pun hampir mirip
dengan Mesjid Kuba di Madinah Al Munawaroh. Dinding sekeliling bangunan berwarna biru
dengan corak yang unik, penuh guratan cokelat, menambah sempurna estetika mesjid ini.
Kembali ke sosok Soekarno, kebesarannya memang tak pernah pudar, bahkan pada
peresmian Masjid Agung Moskow atau Moskovskiy Soborniy Mecat sempat dikenang.
Kamis 24 September 2015, Presiden Rusia Vladimir Putin dan Duta Besar Indonesia untuk
Rusia Djauhari Oratmangun sempat menyaksikan karisma Soekarno, saat diputar film
dokumenter tentang kunjungan Presiden Soekarno ke Moskow.
Kita berharap, Soekarno muda akan banyak lahir di tanah air dan mereka bisa membawa
30
harum bangsa. Kita harus yakinkan, Soekarno bisa menjadi inspirator bagi pemimpin-
pemimpin kita.
Sebagai bangsa besar, Indonesia memiliki posisi strategis dalam agenda dunia. Selayaknya,
Indonesia mengambil peran strategis, dan para pemimpin kita harus belajar kepada Soekarno
seperti ”diplomasi Leningrad”.
YADI HENDRIANA
Wartawan MNC Media
31
Kebiri adalah Kegagalan Pemerintah
14-05-2016
Presiden beberapa waktu lalu membuat pernyataan agar penegak hukum menghukum pelaku
kekerasan seksual dengan hukuman yang sangat berat, yang setinggi-tingginya agar
memberikan efek jera. Pernyataan ini masih relevan karena sistem penghukuman kekerasan
seksual saat ini, secara materiil maupun formil, belum memberikan keadilan bagi korban.
Tapi sebagaimana yang dirilis berbagai media, Presiden menyampaikan, sesuai dengan hasil
sidang kabinet terbatas, menyetujui disahkannya penghukuman dengan cara kebiri atau
pemberian micro-chip kepada pelaku. Tentu selaku aktivis perempuan yang memiliki
pengalaman mendampingi korban kekerasan seksual, saya menyesalkan keputusan ini. Sebab
pemberian hukuman yang setinggi-tingginya dan bertujuan memberikan efek jera pada
pelaku adalah hal yang berbeda dengan bentuk pengebirian atau pemberian micro-chip
kepada pelaku. Produk hukum ini hanya akan menjadi bagian dari kegagalan pemerintah
membangun sistem hukum yang utuh, tentang melakukan upaya pencegahan dan penanganan
kekerasan seksual.
Kekerasan Seksual dan Penyebabnya
Kekerasan seksual telah menjadi fenomena yang akhir-akhir ini menjadi sorotan publik.
Betapa tidak, hampir setiap hari kita disuguhi pemberitaan-pemberitaan mengenai maraknya
kejadian kekerasan yang menjadikan organ seksual dan seksualitas sebagai objeknya. Hal
demikian menjadi perhatian publik akhir-akhir ini setelah kasus yang dialami korban YY.
Dengan maraknya peristiwa kekerasan seksual yang tidak juga memandang umur, tampaknya
tidak juga berlebihan jika di salah satu televisi ditayangkan tagline “Darurat kekerasan
seksual di Indonesia”. Hal ini menjadi pesan serius terhadap semua anak bangsa. Kekerasan
seksual yang dahulu luput dari perhatian, sekarang telah berubah menjadi hal yang sangat
menakutkan dan memilukan.
Apakah ini fenomena baru? Saya pastikan tidak. Karena sekitar tahun 2000-an, aktivis
perempuan Kota Jember mengatakan, wilayahnya menjadi kota pemerkosaan karena sangat
tingginya kasus kekerasan seksual. Di sisi lain, upaya penegakan hukum tidak berjalan
sebagaimana yang diinginkan.
Data yang didokumentasikan Komisi Nasional Antikekerasan (Komnas) Perempuan atas
kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 1998-2013 menunjukkan bahwa kasus
kekerasan seksual berjumlah hampir seperempat dari seluruh total kasus kekerasan (400.939)
atau sebanyak 93.960 kasus. Jumlah itu sama artinya dengan 35 orang setiap hari menjadi
32
korban kekerasan seksual. Selain itu kekerasan seksual juga bisa terjadi kepada siapa pun, di
mana pun dan kapan pun.
Data Komnas Perempuan menunjukkan kekerasan seksual terjadi di semua ranah, yaitu
personal, publik, dan negara. Jumlah kekerasan seksual paling tinggi terjadi di ranah
personal, yaitu 3/4 dari total kekerasan seksual. Di ranah personal artinya kekerasan seksual
dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman, kakek),
kekerabatan, perkawinan (suami) maupun relasi intim (pacaran) dengan korban.
Banyaknya jumlah kasus di tingkat personal bisa jadi terkait dengan kehadiran Undang-
Undang (UU) Nomor 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
(PKDRT), yang telah disosialisasi secara meluas ke masyarakat. Selain itu didukung dengan
bertambahnya lembaga pengada layanan yang dapat diakses oleh perempuan korban serta
meningkatnya kepercayaan dan harapan korban pada proses keadilan dan pemulihan dengan
melaporkan kasusnya. Pada saat bersamaan, informasi ini mematahkan mitos bahwa rumah
adalah tempat yang aman bagi perempuan dan perempuan akan terlindungi bila selalu
bersama dengan anggota keluarganya yang laki-laki.
Kemudian berkaitan dengan kekerasan seksual di ranah publik, dalam rentan waktu 1998-
2013 terdapat 22.284 kasus. Kekerasan seksual di ranah publik berarti kasus di mana korban
dan pelaku tidak memiliki hubungan kekerabatan, darah, atau pun perkawinan. Bisa jadi
pelakunya adalah majikan, tetangga, guru, teman sekerja, tokoh masyarakat, atau pun orang
yang tidak dikenal.
Selain itu ditemukan pula pelaku kekerasan adalah aparatur negara dalam kapasitas tugas
(1.561 kasus). Termasuk kasus di ranah negara adalah ketika pada peristiwa kekerasan, aparat
negara berada di lokasi kejadian, tetapi tidak berupaya untuk menghentikan atau justru
membiarkan tindak kekerasan tersebut berlanjut.
Aspek Hukum Kekerasan Seksual
Dari sisi yuridis, ada 3 aspek yang harus diperhatikan dalam memahami hambatan yang
dihadapi korban. Ketiga aspek itu adalah aspek substansi, struktur, dan budaya hukum. Di
tingkat substansi, sekalipun ada penegasan pada hak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi, berbagai jenis kekerasan seksual belum dikenali oleh hukum Indonesia atau pun
pengakuan pada tindak kekerasan tersebut belum utuh.
Dalam konteks pemerkosaan, hukum Indonesia hanya mengakomodasi tindak pemaksaan
hubungan seksual yang berbentuk penetrasi penis ke vagina dan dengan bukti-bukti
kekerasan fisik akibat penetrasi tersebut (KUHP Pasal 285, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 289,
Pasal 291, Pasal 294). Padahal, ada banyak keragaman pengalaman perempuan akan
pemerkosaan sehingga perempuan tidak dapat menuntut keadilan dengan menggunakan
hukum yang hanya memiliki definisi sempit atas tindak pemerkosaan itu.
33
Di tingkat struktur, lembaga penegak hukum mulai membuat unit dan prosedur khusus untuk
menangani kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual. Akan tetapi
unit dan prosedur ini belum tersedia di semua tingkat penyelenggara layanan hukum dan
belum didukung dengan fasilitas yang memadai.
Di tingkat kultur atau budaya hukum, banyak aparat penegak hukum yang masih mengadopsi
cara pandang masyarakat tentang moralitas absolut sebagai kausalitas dari adanya kekerasan
seksual. Akibatnya, penyikapan terhadap kasus tidak menunjukkan empati pada perempuan
korban, bahkan cenderung ikut menyalahkan korban.
Pertanyaan seperti memakai baju apa, sedang berada di mana, dengan siapa, jam berapa
merupakan beberapa pertanyaan yang kerap ditanyakan oleh aparat penegak hukum ketika
menerima laporan kasus pemerkosaan. Pertanyaan semacam itu tidak saja menunjukkan
bahwa tiadanya perspektif korban, tapi juga bentuk menghakimi korban. Bahkan menjadikan
korban mengalami kekerasan kembali (reviktimisasi).
Singkat kata, dalam konteks struktur dan budaya hukum, prioritas terhadap perlindungan
korban belum sepenuhnya dilakukan. Hal ini mengingat dalam sistem hukum pidana,
Indonesia masih menggunakan pendekatan penindakan terhadap pelaku semata.
Berkaitan dengan aspek kultur (budaya), salah satu akar persoalan kesulitan penegakan
hukum dan keadilan atas kekerasan seksual pada akhirnya dipahami bahwa sistem dan
budaya hukum yang ada saat ini merupakan warisan budaya patriarki, yang masih
menggunakan kosakata atau bahasa maskulin. Itu mengapa ada kendala untuk menyampaikan
pengalaman-pengalaman para perempuan yang mengalami kejahatan seksual dan
menerjemahkannya menjadi persoalan hukum negara.
Louise du Toit menjelaskan lebih mendalam: “A public, shareable, political and moral
language has not yet been found in which to name it—the large-scale sexual violation and
rape of women and girls by men in this country—in a way that would make sense to women
and men, rape victims and perpetrators, a language that could carry weight in a public-
political, intersubjective setting.” (Saras Dewi, Kajian Filosofis tentang Kekerasan Seksual).
Dengan kata lain, hukum di Indonesia belum sepenuhnya mengenali problem kekerasan
seksual yang ada seperti yang disampaikan Du Toit, belum ada bahasa yang memadai untuk
menceritakan kejahatan tersebut. Kosakata yang ada merupakan bentukan dari struktur yang
tendensius diskriminatif terhadap perempuan.
Dengan kondisi tersebut, dituntut adanya suatu politik hukum yang mampu memberikan
pembaharuan terhadap sistem hukum yang ada (ius constitutum) menuju pada hukum ideal
(ius constituendum) yang memberikan respons perlindungan dan keadilan kepada korban,
menimbulkan efek jera dan mengubah perilaku kekerasan bagi pelaku, serta memberikan
edukasi bagi masyarakat.
34
Singkatnya, pembaharuan hukum itu harus mampu membentuk sistem baru yang lebih
melindungi perempuan. Baik dari sisi penegakan hukum maupun mendorong peran negara
agar lebih bertanggung jawab terhadap upaya pemulihan korban dan pencegahannya di masa
datang.
Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Menurut WHO, kekerasan
adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri
sendiri, perseorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau
kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan
perkembangan atau perampasan hak (Bagong S., dkk 2000) Sexual abuse meliputi
pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup
rumah tangga tersebut (seperti istri, anak dan pekerja rumah tangga).
Selanjutnya dijelaskan bahwa sexual abuse adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan
hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak
disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial. Kekerasan
seksual merupakan bentuk kontak seksual atau bentuk lain yang tidak diinginkan secara
seksual.
Kekerasan seksual biasanya disertai dengan tekanan psikologis atau fisik (Matlin, Margareth
W, 2008: The Psychology of Woman). Kebanyakan survivor kekerasan seksual merasakan
kriteria psychological disorder yang disebut post-traumatic stress disorder (PTSD). Simtom-
simtomnya berupa ketakutan yang intens terjadi, kecemasan yang tinggi, emosi yang kaku
setelah peristiwa traumatis.
Hukuman Terapeutik
Secara normatif pengaturan terkait kekerasan seksual terdapat pada UU Nomor 23/2002 jo
Nomor 35/2014 tentang Perlindungan Anak Indonesia (PAI), lalu dalam UU Nomor 21/2007
tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Dalam KUHP tidak dikenal istilah kekerasan seksual, tetapi ditemukan delik perkosa, cabul
di Pasal 281 KUHP, delik pemerkosaan dan bentuk-bentuknya di Pasal 285-299 KUHP, Pasal
8 UU Nomor 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
(PKDRT). Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi: (1)
pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup
rumah tangga tersebut; (2) pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam
lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu
(Komnas Perempuan).
Kekerasan seksual diterjemahkan sebagai setiap perbuatan melanggar martabat kemanusiaan
seseorang, berdasarkan diskriminasi gender yang menjadikan tubuh dan seksualitas seseorang
sebagai sasaran, yang berakibat atau dapat berakibat kerugian atau penderitaan fisik, psikis,
35
ekonomi, seksual, politik dan/atau sosial korban. Konsep ini oleh Komnas Perempuan
diidentifikasi ada enam bentuk norma kekerasan seksual, yaitu pelecehan seksual, kontrol
seksual, perkosaan, eksploitasi seksual, penyiksaan seksual, dan perlakuan atau
penghukuman lain yang tidak manusiawi, yang menjadikan seksualitas sebagai sasaran atau
merendahkan martabat kemanusiaan.
Secara materiil, luasnya pemaknaan kekerasan seksual yang didasarkan kondisi faktual di
atas, belum diatur dalam hukum yang saat ini ada. Di sisi lain, hukum formal yang tersedia
dalam KUHAP dan aturan undang-undang khusus juga tidak memungkinkan melindungi
korban mengakses keadilan.
Persoalan lainnya adalah belum tersedianya sistem penghukuman yang tidak sekadar
menghukum, tetapi memberikan efek jera kepada pelaku dan sekaligus mengembalikan
pelaku sebagai manusia tetap bermartabat. Maka hukuman tidak sekadar menghukum
fisiknya semata seperti rencana pemerintah yang akan menerapkan hukuman kebiri atau
microchip.
Memberikan efek jera harus dimaknai dengan mengembalikan pemahaman pelaku tentang
bagaimana menghargai manusia lainnya, termasuk perempuan dan anak, tidak lagi
memandang rendah, apalagi sampai mengondisikan dan memosisikan mereka sebagai sasaran
kekerasan. Diperlukan sistem hukum terapeutik bagi pelaku dan pemulihan bagi korban.
NINIK RAHAYU
Anggota Ombudsman Republik Indonesia
36
Buah Hati
15-05-2016
Dalam ungkapan bahasa Melayu, anak adalah ”buah hati” bunda. Buah di mana-mana
tumbuh dari pohonnya, merupakan kepanjangan atau ekstensi dari pohon, setelah melalui
proses putik dan bunga.
Ketika buah itu terlepas dari pohonnya pun, identitasnya tidak terlepas dari pohon induknya.
Pohon pepaya ya membuahkan buah pepaya. Tidak ada pohon pepaya membuahkan pisang
atau jambu, apalagi durian.
Lain hal dengan sebutan ”permata hati” atau ”pujaan hati”. Ungkapan seperti itu bisa
ditujukan kepada siapa saja, baik dari ibu terhadap anaknya, maupun dari anak terhadap
ibunya, atau ayahnya, bahkan pacarnya. Seseorang yang menganggap orang lain sebagai
permata akan menilai orang lain itu sesuatu yang indah, tak ternilai harganya, dan patut
dipuja. Perasaan seperti itu bisa terjadi pada diri siapa saja terhadap siapa saja.
Biasanya yang dijadikan permata itu dipuja, tetapi yang dipuja belum tentu dimaknai sebagai
permata hati. Misalnya, orang bisa memuja Tuhan tanpa harus membuat Tuhan itu sebagai
permata hatinya. Sebaliknya, seorang anak yang memandang ibunya sebagai permata hatinya
biasanya dengan sendirinya memuja ibunya itu. Namun, singkatnya, antara ”permata” dan
”pujaan” hati ada persamaan, yaitu keduanya merupakan ekspresi dari emosi-emosi positif
terhadap sesuatu yang ada di luar atau berasal dari luar diri kita sendiri.
Sedangkan obyek ”buah hati” adalah bagian yang tumbuh dan berkembang (ekstensi) dari
diri kita sendiri. Ibaratnya orang menambah paviliun dari rumahnya, paviliun itu adalah
ekstensi dari rumah utama itu sendiri. Apa pun yang terjadi pada paviliun misalnya atap
bocor dan sebagainya secara langsung atau tidak langsung akan berpengaruh pada rumah
utama.
Demikian pula, kalau si buah hati (anak) sakit, atau sedang senang bermain, ibunya juga ikut
merasa sakit, atau bahagia. Lihat saja betapa seorang ibu sangat menderita ketika
mendampingi anaknya yang sedang tergolek di rumah sakit, dan betapa lebar senyumnya
ketika menemani anaknya sedang bermain perosotan di taman.
***
Dalam teori psikologi kepribadian dari psikolog GW Allport (1897-1067), gejala ”buah hati”
adalah salah satu simptom dari ”extension of the self”, yaitu gejala pertumbuhan dan
perkembangan dari diri (self) yang tadinya terpusat dari ego sendiri, kemudian disambungkan
37
ke hal lain di luar dirinya. Memang waktu bayi baru dilahirkan, dia belum bisa membedakan
mana yang dirinya mana yang bukan dirinya. Tetapi, ketika dia berumur 1-2 tahun, yaitu
pada saat dia mulai bisa bilang ”tidak”, dia mulai sadar bahwa dirinya berbeda dari hal lain di
luar dirinya.
Cobalah pada umur-umur 1-2 tahun, hadapkan seorang anak ke cermin dengan noda (lipstik
atau bedak) di hidung atau di pipinya. Lihatlah reaksinya. Kalau dia masih tidak peduli,
masih usrek sendiri di depan cermin, dia belum bisa membedakan antara dirinya (wajahnya)
dan bukan dirinya (noda). Tetapi, kalau dia sudah memperhatikan noda itu, dan
menganggapnya sebagai benda asing, apalagi sudah mencoba menghapuskan noda dengan
tangannya, itulah tandanya dia mulai bisa membedakan mana yang ”diriku” dan mana yang
”bukan diriku”.
Untuk beberapa tahun ke depan, sampai ia remaja atau masuk usia dewasa muda, anak itu
akan disibukkan dengan dirinya sendiri yang makin berbeda dari lingkungan di luar
dirinya. Tetapi, dirinya itu masih terbatas pada jasad dan jiwanya sendiri saja. Dia belum bisa
berbagi perasaan seperti seorang bunda dengan buah hatinya. Setakat ini anak baru bisa
menemukan ”permata” atau ”pujaan” hati.
Ketika seseorang menemukan sebuah permata yang dipujanya, ada perasaan ingin memiliki
yang bersifat egois (mementingkan pribadi sendiri). Perasaan takut akan kehilangan permata
yang dipuja itu akan berwujud misalnya dalam perilaku posesif seperti waktu anak muda
pacaran, ketika dia banyak menuntut, banyak melarang, menelepon, atau SMS/WA tiap 30
menit untuk menanyakan, ”Kamu di mana?”, ”Lagi ngapain?”, ”Udah makan belum?”,
”Kamu bener tar ada yang jemput?” dan 1.001 macam pertanyaan dan sapaan enggak penting
lainnya yang isinya sebenarnya adalah ikhtiar agar si pacar tetap dalam kontrol dia atau selalu
jadi miliknya.
Sebaliknya, memperlakukan buah hati jauh dari egoisme, bahkan justru egonya si anak yang
lebih diperhatikan oleh orang tua. Kalau anak kedinginan misalnya ibu atau ayah rela
melepas jaketnya sendiri untuk menambah kehangatan si anak walaupun si ayah atau si
bunda sendiri kedinginan setengah mati.
Menurut Allport, ekstensi dari self atau sering juga disebut ego ini adalah salah satu tanda
dari kedewasaan (mature personality). Pada tahapan selanjutnya, ekstensi diri ini bisa
berkembang bukan hanya kepada anak sendiri, tetapi juga kepada alam sekitar, kepada anak
yatim, kepada organisasi, kampus atau perusahaan di mana dia bergabung atau bekerja, pada
kelompok teman yang sehobi atau seminat atau pada apa pun yang lain. Tanpa ekstensi diri
ini, menurut Allport, orang itu belum dewasa.
Tetapi, hati-hati, suatu buah hati tidak otomatis selamanya menjadi buah hati. Pada suatu saat
seorang ibu bisa menginginkan anaknya masuk rangking 10 besar di sekolah sehingga ibu ini
memaksa anaknya les ini-itu sampai anaknya kelelahan untuk mencapai ambisinya sendiri. Di
sini si buah hati sudah berubah menjadi permata hati. Namanya juga permata, tidak hanya
38
untuk dimiliki, tetapi juga untuk dipoles dan diproses sebegitu rupa sehingga tampak makin
cantik dan makin elok untuk dipuja. Nasib si permata sendiri tidak dipikirkan lagi oleh si
pemilik.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
39
Nabi Adam (2)
15-05-2016
Allah SWT memiliki al-Asma’ al-Husna atau nama-nama yang indah yang terdiri dari 99
poin. Nama-nama yang disandang-Nya itu sama sekali tidaklah arbitrer atau semena-mena
sebagaimana yang banyak terjadi pada penamaan makhluk-makhluk-Nya.
Daun, misalnya, sungguh tidak ada argumentasi ilmiah mengapa ia ditempeli dengan sebutan
daun. Demikian pula awan, mendung, hujan, sungai, lautan dan sebagainya. Nama-nama-Nya
yang indah itu tidak saja memiliki makna yang korelatif dengan kemahaan-Nya, tapi juga
memiliki garapan yang sesuai dengan kecenderungan masing-masing.
Bukan hanya beraneka ragam, di antara nama-nama yang sangat sakral itu juga ada yang
bertentangan antara yang satu dengan yang lain. Al-Muntaqim (Yang Maha Menuntut Balas)
jelas berseberangan dengan al-Ghaffar (Yang Maha Pengampun), al-Lathif (Yang Maha
Lembut) jelas berlawanan dengan al-Mutakabbir (Yang Maha Sombong) dan sebagainya.
Dari sini kita kemudian bisa memahami mengapa yang berlangsung dalam kehidupan ini
tidak saja harmoni dan keserasian, tetapi juga pergesekan, friksi, pertikaian dan peperangan
yang tidak kunjung usai.
Dengarkan dengan saksama, kita akan menyimak gemuruh kehidupan ini sebagai melodi
kolosal yang begitu rancak, menghentak-hentak, mengiris-iris hati, melenakan, memberikan
pengharapan, sekaligus menenteramkan. Atau pandanglah kehidupan ini secara utuh dan jeli,
kita akan menyaksikan karnaval paling raksasa dengan warna-warni tidak terhingga yang
senantiasa gemerincing dan berdentam-dentam dengan lakon demi lakon yang tidak ada
putusnya. Itulah realisasi penggarapan-penggarapan yang dimotori nama-nama-Nya yang
sangat indah tersebut.
Nah, ketika Allah SWT berkehendak untuk menyaksikan realisasi dari nama-nama-Nya
sendiri pada suatu ciptaan yang sanggup menampung bersemayamnya substansi al-Asma’ al-
Husna itu, diciptakanlah Adam oleh hadirat-Nya dengan “kedua tangan-Nya” sebagaimana
termaktub dalam QS Shad ayat 75. Menurut Syaikh Muhyiddin Ibn ‘Arabi (1165- 1240)
dalam kitab tafsirnya, yang dimaksud dengan kedua tangan Allah SWT itu tak lain adalah
sifat jamal dan sifat jalal yang disandang-Nya, yakni keindahan dan keagunganNya,
keperkasaan dan kelembutan-Nya.
Kedua sifat itu juga mencakup nama-nama hadirat-Nya yang berhadap-hadapan atau
berlawanan. Hal itu dimaksudkan agar kedua sifat yang pokok bagi Allah SWT juga tertanam
dalam diri Adam dan siapa pun dari kalangan keturunannya yang sanggup menjaga warisan-
warisan spiritual leluhur umat manusia itu. Andaikan Adam hanya diciptakan dengan tangan
40
keagungan-Nya semata, tentu beliau tidak akan sanggup untuk melepas seutas senyum pun
sebagaimana yang dialami Malaikat Malik, si penjaga neraka. Begitu pun seandainya beliau
diciptakan hanya dengan tangan keindahan-Nya belaka, tentu beliau tidak akan mampu untuk
marah walau hanya sekali sebagaimana yang dirasakan Malaikat Ridwan, si penjaga surga.
Dengan melibatkan kedua tangan-Nya dalam penciptaan Adam, maka si Abul Basyar itu
tidak saja berarti dianugerahi kemampuan dalam menampung nama-nama-Nya yang lain.
Akan tetapi, beliau juga dijadikan layak untuk mengejawantahkan kehadiran-Nya dengan
mengimplementasikan nama-nama itu secara keseluruhan dalam sikap dan sepak terjang
kehidupannya.
Adam dengan demikian bisa disebut sebagai realisasi dari gumpalan nama-nama-Nya atau
bahkan malah sebagai miniatur dari dimensi lahiriah-Nya sendiri. Cermin semesta bagi Ilahi
menjadi terang-benderang karenanya. Itulah tafsir Syaikh ‘Abdul Qadir Jailani (wafat pada
1166 M) terhadap sebuah hadis Nabi Muhammad Saw: “Almu’minu mir’atul mu’min.”
Yakni, orang yang beriman adalah cermin bagi Allah yang memberikan rasa aman.
Dengan dimunculkannya Adam, nama-nama Allah SWT yang semula menggigil di dalam
kegaiban zat-Nya kemudian menjadi sedemikian gamblang terhadap hadirat-Nya sendiri.
Penglihatan Allah SWT terhadap realitas nama-namaNya sendiri sama sekali tidaklah sama
dengan pengetahuan-Nya terhadap nama-nama tersebut. Karena pengetahuan-Nya benar-
benar azali sekaligus abadi yang tidak memerlukan adanya pengejawantahan dan kehendak
terlebih dahulu terhadap obyek-obyek yang diketahui-Nya.
Alam semesta itu kini, dengan Adam yang merupakan fokus kejernihan cermin-Nya, tampil
sebagai salah satu nama-Nya, yaitu azh-Zhahir sebagaimana yang diisyaratkan oleh
hadiratNya sendiri dalam Quran surat al-Hadid ayat 3: “Huwal awwalu wal akhiru wazh-
zhahiru wal-bathin.“ Lantaran itulah, dengan ketegasan dan kecermatan spiritual dapat
dipastikan bahwa perbuatan-perbuatan Allah SWT dan sifat-sifatNya itu akan senantiasa
begitu gamblang mengejawantah pada seluruh partikel dari alam ciptaanNya, terutama pada
kehidupan orang-orang beriman.
Maka suatu hal berikutnya menjadi pasti: seluruh isi semesta ini merupakan seabrek jalan
ruhani yang bisa dipakai oleh setiap salik (penempuh lorong spiritual) untuk menyusuri
“alamat-Nya.” Wallahu a’lamu bish-shawab.
KUSWAIDI SYAFI’IE
Pengasuh Pondok Pesantren Maulana Rumi, Sewon, Bantul, Yogyakarta.
41
Moral Permisif dan Aborsi Ilegal
17-05-2016
KORAN SINDO (11/5) memberitakan tentang praktik aborsi ilegal yang dilakukan di Klinik
Budi Mulia, Kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara. Praktik aborsi ilegal ini terbongkar
setelah petugas Kepolisian Daerah Sumatera Utara melakukan penggerebekan di klinik
tersebut.
Polisi telah menetapkan dua dokter, seorang bidan, dan seorang pasien sebagai tersangka.
Ketika diinterogasi oleh penyidik kepolisian, dua dokter itu (sekaligus pemilik klinik)
mengaku bahwa kliniknya telah beroperasi selama 15 tahun dan dalam setahun melakukan 30
kali aborsi ilegal. Tarifnya dipatok sampai Rp2,5 juta per aborsi. Penyidik kepolisian
memeriksa 15 bungkus plastik yang ditemukan dalam septic tank klinik.
Penyidik kepolisian terus mendalami kasus ini dan tidak mempercayai begitu saja pengakuan
tersangka tentang jumlah aborsi yang telah mereka lakukan. Penyidik memperkirakan, dua
dokter itu telah melakukan aborsi ilegal lebih dari angka yang mereka sebutkan.
Terbongkarnya praktik aborsi ilegal di Klinik Budi Mulia, Kabupaten Deliserdang,
menambah daftar panjang praktik aborsi ilegal yang situasinya sangat memprihatinkan di
negeri ini. Hampir bersamaan waktunya dengan kasus aborsi ilegal yang terjadi di Klinik
Budi Mulia, terbongkar pula praktik aborsi ilegal di sebuah rumah sakit di Bekasi, Jawa
Barat. Aborsi ilegal sudah dilakukan di berbagai kota di negeri ini dan terjadi dalam kurun
waktu yang panjang.
Tidak diragukan lagi, ada korelasi antara moral permisif (permissive morality) dan praktik
aborsi ilegal. Akibat moral permisif, terjadilah hubungan seks di luar nikah, janin yang
dikandungnya tidak ingin dilahirkan karena dirinya malu atau malu mempunyai anak jadah,
dan ditempuhlah jalan pintas dengan cara aborsi ilegal. Dokter yang mau melakukan praktik
aborsi ilegal juga bermoral permisif, melanggar etika kedokteran, dan melanggar sumpah
jabatan demi fulus atau uang.
Walaupun tidak legal, dokter tersebut mau mengaborsi janin yang ada dalam kandungan
pasiennya. Tanpa alasan medis, praktik aborsi di Indonesia dinyatakan ilegal dan pelakunya
bisa diproses hukum. Di Barat praktik aborsi sepenuhnya dinyatakan legal dan orang yang
menentang dinyatakan sebagai kriminal.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 1998 melaporkan kira-kira 4,2 juta aborsi
dilakukan di Asia Tenggara dengan rincian data sebagai berikut: 1,3 juta di Vietnam dan
Singapura, 750.000-1,5 juta di Indonesia, 150.000-750.000 di Filipina, dan 300.000- 900.000
42
di Thailand. Dengan demikian, berdasarkan data WHO tersebut, tingkat aborsi di Indonesia
(750.000-1,5 juta) menduduki peringkat pertama di Asia Tenggara. Situasi ini sangat serius
dan sekaligus sangat memprihatinkan. Ironis! Di negara yang berpenduduk muslim terbesar
di dunia justru tingkat aborsi menempati peringkat tertinggi di Asia Tenggara. Keadaan ini
sudah pasti perlu kita tanggulangi secara serius agar tidak bertambah parah.
***
Tidak dapat diragukan, kultur permisif (permissive culture) dan moral permisif menyumbang
besar bagi praktik aborsi. Aborsi telah terjadi dalam skala yang tinggi dan luas, baik di Barat
maupun di Timur. Fakta ini sudah pasti sangat memprihatinkan semua pihak, terutama para
orang tua, pendidik/guru, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan para moralis.
Sejauh menyangkut masyarakat Indonesia, kita harus mengambil langkah dan upaya untuk
mencegah meluasnya moral permisif dan aborsi ini agar keadaannya tidak semakin parah.
Upaya yang harus kita lakukan secara edukasional, moral, kultural, dan sosial antara lain
sebagai berikut. Pertama, pendidikan keagamaan harus ditingkatkan pada semua jenjang, baik
pendidikan formal maupun pendidikan non-formal.
Perilaku baik dan buruk sebenarnya merupakan cerminan dari kualitas keagamaan. Kualitas
keimanan dan keagamaan yang baik akan dapat mencegah seseorang atau kelompok
masyarakat dari segala perilaku moral permisif, aborsi, dan perbuatan amoral dan asusila
yang lain. Keimanan kepada Tuhan dan kepercayaan agama yang solid akan menjadi benteng
yang kukuh dan tameng yang kuat terhadap segala perilaku moral permisif.
Kedua, para orang tua, guru-pendidik, agamawan, tokoh masyarakat, dan moralis dalam
lingkungannya masing-masing hendaknya terus melakukan pembinaan dasar-dasar moral
terhadap anak-anak, generasi muda, dan masyarakat pada umumnya. Keteladanan moral yang
baik dari para pemuka dan tokoh masyarakat (termasuk aparat pemerintah dari tingkat pusat
sampai ke daerah) hendaknya selalu diberikan kepada anak-anak, generasi muda, dan
masyarakat. Karena mereka menjadi panutan masyarakat dalam perilaku moral.
Ketiga, pemerintah (dengan semua aparat keamanan dan aparat penegak hukumnya)
hendaknya dapat melaksanakan kebijakan strategis yang bertujuan untuk menanggulangi dan
mencegah perilaku moral permisif dan aborsi. Semua aparat pemerintah dari pusat sampai ke
daerah (bersama semua lapisan masyarakat) hendaknya selalu bersungguh-sungguh dalam
menegakkan kebijakan tersebut. Dalam hubungan ini, UU Pornografi yang telah dikeluarkan
dan diterapkan di Tanah Air hendaknya dilaksanakan secara konsisten dalam melakukan
pencegahan dan penanggulangan pornografi karena pornografi dapat melicinkan jalan ke
moral permisif yang dapat mendorong terjadi aborsi.
Keempat, majelis-majelis agama dan organisasi-organisasi sosial keagamaan hendaknya
memikul tanggung jawab moral bersama dalam memberikan tuntunan, bimbingan, dan
pendidikan keimanan-keagamaan di lingkungan komunitasnya masing-masing dalam rangka
43
mencegah moral permisif dan aborsi. Dengan memakai pendekatan keagamaan, kultur
permisif dan moral permisif yang melicinkan jalan ke praktik aborsi dapat dicegah.
Kelima, organisasi-organisasi dakwah (baik yang bernaung di bawah organisasi-organisasi
sosial-keagamaan maupun yang independen), majelis-majelis pengajian dan majelis-majelis
taklim hendaknya terus melakukan pembinaan moral dan akhlak secara lebih intensif di
lingkungan jamaahnya masing-masing. Upaya demikian sudah barang tentu dapat
memberikan kontribusi positif yang sangat besar dalam mencegah perilaku moral permisif
dan aborsi.
Keenam, sebagai masyarakat yang beriman dan beragama, semua elemen masyarakat
Indonesia hendaknya memperkokoh pilar keimanan dan memperkuat sendi keberagamaan
dalam menghadapi moral permisif dan budaya permisif. Budaya dan moral permisif
sebenarnya merupakan budaya dan moral yang lepas dari nilai-nilai keimanan dan
keagamaan. Dengan benteng keimanan yang kokoh dan dengan tameng keberagamaan yang
kuat, segala bentuk budaya dan moral permisif (termasuk aborsi ilegal) dapat dicegah dan
ditangkal.
FAISAL ISMAIL
Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
44
Stop Bullying Sejak Dini
17-05-2016
Kasus bullying kembali mencuat. Kali ini bullying terjadi di SMA di Jakarta. Sebuah video
beredar terdapat beberapa siswi SMA disiram, disuruh merokok, dan dipaksa memakai bra di
luar seragam oleh siswa senior. Kasus ini menjadi fakta bahwa bullying masih mengakar
dalam dunia pendidikan dan sekaligus dapat menjadi trigger untuk percepatan penerbitan
peraturan presiden (perpres) tentang pencegahan kekerasan di satuan pendidikan.
Bullying merupakan fenomena gunung es. Data bullying yang ada sejatinya belum
merepresentasikan masalah yang sesungguhnya. Faktanya, kasus bullying masih banyak
terjadi baik di sekolah negeri maupun swasta, baik sekolah di perkotaan maupun di desa.
Fatalnya, kasus bullying yang seringkali terjadi selalu terwariskan dari generasi ke generasi
dan kurang terpantau oleh guru, bahkan orang tua.
Kasus bullying bukan hanya terjadi pada jenjang SMP dan SLTA. Dari sejumlah data dan
pantauan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), bullying terjadi pula pada jenjang
anak usia dini. Pada usia inilah, kasus bullying kurang mendapat perhatian lebih karena
dianggap hal yang wajar. Anak usia dini yang pasif, kurang bisa bersosialisasi dan cenderung
mengalah, umumnya rentan menjadi korban bullying. Namun, kondisi ini seringkali lepas
dari perhatian orang tua, guru, bahkan orang sekitar.
Dari sisi norma, Indonesia dapat dikategorikan sebagai negara yang memiliki komitmen besar
bagi perlindungan anak. Undang-Undang (UU) Nomor 35/2014 atas Perubahan UU Nomor
23/2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 9 ayat 1 secara tegas menyatakan (a), ”setiap anak
berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan
kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik,
dan/atau pihak lain”. Meski secara normatif negara telah menunjukkan komitmennya,
beragam permisivitas bullying masih terus terjadi dengan berbagai variasi dan polanya.
Kompleksitas Bullying
Data pengaduan KPAI pada 2015 menunjukkan anak korban kekerasan sebanyak 127 siswa,
sementara anak menjadi pelaku kekerasan di sekolah 64 siswa. Anak korban tawuran 71
siswa, sementara anak menjadi pelaku tawuran 88 siswa. Di pihak lain, hasil riset global
Ispsos bekerjasama dengan Reuters menempatkan kasus bullying sebagai masalah serius.
Sebanyak 74% responden dari Indonesia menunjuk Facebook sebagai media tempat terjadi
cyber bullying. Korban cyber bullying umumnya anak usia sekolah.
Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW) melaporkan
45
bahwa terdapat 84% anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Angka tersebut lebih
tinggi dari tren di kawasan Asia yakni 70%. Menurut penelitian Universities of Oxford,
Warwick, Bristol, dan UCL, anak-anak yang sering di-bully baik oleh temannya maupun
saudaranya sendiri berpotensi dua kali lebih besar mengalami depresi saat dewasa nanti.
Selain itu, mereka juga berisiko dua kali lipat melakukan penganiayaan terhadap diri sendiri.
Dampak dari bullying sangat besar apabila dilakukan oleh saudara sendiri daripada oleh
orang lain. Dari pengakuan anak korban bully oleh saudara mereka beberapa kali seminggu,
dua kali lipat lebih besar mengalami depresi hingga 12,3%, kecemasan 16%, dan 19%
kemungkinan menyakiti diri sendiri.
Mencegah Bullying pada Anak
Maraknya kasus bullying yang menjadi tradisi membutuhkan upaya serius dari berbagai
elemen bangsa. Tokoh agama, tokoh masyarakat, perguruan tinggi, organisasi profesi, serta
paguyuban berbasis masyarakat perlu terlibat aktif sebelum terjadi kasus, bukan sebaliknya.
Orang tua, lingkungan sekitar, dan tenaga pendidik perlu melakukan langkah antisipatif agar
anak tidak menjadi korban dan pelaku bullying. Berikut tips yang perlu dikembangkan.
Pertama, selalu waspada terhadap perilaku yang tidak biasa. Meski tak memiliki gejala yang
sama, secara umum ada keluhan seperti sakit perut, khawatir, ketakutan, tidak mau ke
sekolah, mudah marah, gampang tersinggung, membangkang, atau ada perubahan dalam tidur
dan nafsu makan, merupakan pertanda ada masalah. Bisa kemungkinan bullying atau ada
masalah lain yang perlu didalami lebih jauh.
Kedua, jadilah role model positif bagi anak. Menurut teori belajar Bandura, yang dikenal
sebagai social learning (belajar sosial), anak belajar dari meniru ihwal yang dilakukan orang
lain. Pendek kata, lingkungan adalah faktor penting yang memengaruhi perilaku. Jika anak
dibesarkan di lingkungan permisif dengan bully, berpotensi anak melakukan hal yang sama.
Pola asuh orang tuanya dan orang terdekat seperti kakak, kakek, nenek, pengasuh, dan orang
sekitar yang sering berinteraksi dengan anak bisa menjadi stimulus. Maka itu, jadilah model
perilaku yang tepat dan terbaik untuk anak.
Ketiga, ajarilah anak apa makna menjadi teman baik. Tidak sedikit orang tua menyerahkan
proses berteman anak secara alamiah, namun kurang mengenalkan nilai bagaimana berteman
dengan baik dan apa manfaat berteman jika dilakukan dengan cara baik. Di antara skill
berteman yang perlu ditumbuhkan pada anak adalah melatih kemampuan pengelolaan emosi,
melatih anak bertemu sikap teman yang berbeda, serta melatih keterampilan sosial. Anak
belajar mendengarkan sekaligus belajar berbicara. Anak belajar menyetujui sekaligus
menolak ajakan teman secara efektif.
Keempat, jadikan rumah sebagai surga yang aman bagi anak seusai jam sekolah. Jadikan
rumah sebagai surga bagi penghuninya. Lingkungan keluarga yang mendatangkan rasa aman
dan nyaman, tanpa ada muatan kekerasan/diskriminasi dalam bertutur kata, bersikap, dan
46
bertindak adalah lingkungan terbaik. Tempat kembali dari aktivitas, untuk sama-sama
menjadi pribadi yang saling menghargai dan saling melindungi, saling memahami, saling
berbagi informasi, saling belajar, dan tak akan berhenti berlatih menjadi lebih baik. Inilah
oleh Peter Senge disebut sebagai mastery learning (belajar tuntas).
Kelima, manfaatkan televisi sebagai media sarana belajar dan lindungi anak dari
tayangan/hiburan/pemberitaan yang bermuatan kekerasan. Saat ini televisi belum semua
acara TV memberikan jaminan aman bagi tumbuh kembang anak. Dampingi anak, pilihkan
acara yang tepat untuk mereka dan jika ada tayangan bermuatan kekerasan, jelaskan secara
tepat untuk tidak mencontoh perilaku tersebut. Tumbuhkan literasi anak agar mampu memilih
dan memilah acara yang terbaik sesuai fase perkembangannya.
Keenam, jadilah pendengar yang baik untuk anak. Kesibukan kerja terkadang membuat orang
tua mengabaikan cerita-cerita anak. Ada baiknya luangkan waktu sejenak untuk
mendengarkan cerita, curhat, usulan, atau pandangan anak. Jauhkan kesan menghindar dari
anak untuk menyampaikan cerita apalagi tertutup.
Dengan menjadi pendengar yang baik, anak menjadi nyaman untuk mengungkapkan sesuatu
serta membiasakan anak mendialogkan dengan orang tua jika ada ihwal yang terjadi pada diri
anak, termasuk kemungkinan menjadi korban atau pelaku bully. Semoga...!
SUSANTO
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia
47
Tari dan Lakon
19-05-2016
Pesta seni tahunan di Institut Seni Indonesia Surakarta akhir bulan lalu menampilkan tema
pokok: Menyemai Rasa Semesta Raga.
Pesta itu berupa menari selama 24 jam, dua hari, berturut-turut tanpa henti. Kelompok seni
tari dari Institut Seni di berbagai daerah turut ambil bagian. Kekayaan seni tari seluruh
Nusantara— itu pun kelihatannya belum mewakili semua kelompok yang ada—membuat
suasana pesta menjadi begitu meriah.
Dalam acara tahunan, yang kini sudah memasuki tahun ke-10 itu, penampilan tiap kelompok
tidak dimaksudkan untuk mencari juara satu. Tiap kelompok hadir hanya untuk menampilkan
suasana nasional yang “guyub”, rukun, dan berkesenian secara semarak. Seni membuat hidup
terasa lembut, feminin, dan ramah.
Berbagai kelompok yang hadir dari seluruh pelosok Tanah Air itu hadir karena masing-
masing merasa perlu untuk hadir. Beberapa kelompok yang bersemangat sudah memesan
tempat penginapan hampir setahun sebelum acara berlangsung. Pesta besar itu membuat
tempat menjadi benda ekonomi yang mahal. Mereka yang terampil mengantisipasi keadaan
bisa memperoleh tempat yang mereka inginkan di lingkungan kampus: posisi strategis, dekat
pusat kegiatan, tanpa transportasi tambahan, murah dan leluasa untuk memilih acara mana,
atau agenda apa untuk diikuti.
Acara 24 jam menari itu berarti dalam 24 jam itu para seniman menciptakan kelembutan, dan
suasana kejiwaan yang “ning“, “tintrim“, dan damai. Di kampus itu tak terdengar teriakan,
makian, atau kejengkelan seperti di dalam suatu keramaian politik. Iringan lembut suara
gamelan membikin jenis garis bawah yang menandai kelembutan ekspresi kejiwaan yang
dalam, yang diolah dengan tertib, dengan dukungan gerak raga yang teratur, berpola, dan
estetis. Inilah mungkin yang diungkapkan dalam tema: Menyemai Rasa Semesta Raga yang
sudah disebut di atas.
Raga itu utusan rasa. Raga hanya “manut“, dan taat pada dorongan gerak yang diperintahkan
rasa. Gerak itu dari waktu ke waktu kelihatannya “itu-itu” saja, statis dan pakem. Tapi,
sebenarnya mungkin tidak. Demi kebutuhan estetika dan kematangan jiwa seorang penari
maka gerak memperoleh kemungkinan untuk berkembang. Kreativitas seni membuat gerak
menjadi bukan hanya dinamis, tapi penuh pemaknaan.
***
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016

More Related Content

Viewers also liked

A Bibliography women and planning produced for the RTPI Equal Opps Panel
A Bibliography women and planning produced for the RTPI Equal Opps PanelA Bibliography women and planning produced for the RTPI Equal Opps Panel
A Bibliography women and planning produced for the RTPI Equal Opps Panel
Dory Reeves
 
Uniwersytet dzieci jak zachęcić dziecko do nauki
Uniwersytet dzieci   jak zachęcić dziecko do naukiUniwersytet dzieci   jak zachęcić dziecko do nauki
Uniwersytet dzieci jak zachęcić dziecko do nauki
milenam23
 

Viewers also liked (9)

(Sindonews.com) Opini ekonomi 6 juni 2016-19 juli 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 6 juni 2016-19 juli 2016(Sindonews.com) Opini ekonomi 6 juni 2016-19 juli 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 6 juni 2016-19 juli 2016
 
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 23 juni 2016-19 agustus 2016
 
A Bibliography women and planning produced for the RTPI Equal Opps Panel
A Bibliography women and planning produced for the RTPI Equal Opps PanelA Bibliography women and planning produced for the RTPI Equal Opps Panel
A Bibliography women and planning produced for the RTPI Equal Opps Panel
 
Holly.meredith power pointpresentation_unit 1
Holly.meredith power pointpresentation_unit 1Holly.meredith power pointpresentation_unit 1
Holly.meredith power pointpresentation_unit 1
 
(Sindonews.com) Opini ekonomi 20 juli 2016-31 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 20 juli 2016-31 agustus 2016(Sindonews.com) Opini ekonomi 20 juli 2016-31 agustus 2016
(Sindonews.com) Opini ekonomi 20 juli 2016-31 agustus 2016
 
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 31 agustus 2016-8 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 31 agustus 2016-8 oktober 2016(Sindonews.com) Opini sosial budaya 31 agustus 2016-8 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 31 agustus 2016-8 oktober 2016
 
Honors awards & accolades of Percept Group - Celebrating 30 years
Honors awards & accolades of Percept Group - Celebrating 30 yearsHonors awards & accolades of Percept Group - Celebrating 30 years
Honors awards & accolades of Percept Group - Celebrating 30 years
 
Uniwersytet dzieci jak zachęcić dziecko do nauki
Uniwersytet dzieci   jak zachęcić dziecko do naukiUniwersytet dzieci   jak zachęcić dziecko do nauki
Uniwersytet dzieci jak zachęcić dziecko do nauki
 
Scada df
Scada dfScada df
Scada df
 

(sindonews.com) Opini sosial-budaya 8 mei 2016-11 juni 2016

  • 1. 1 DAFTAR ISI LEICESTER DADI RATU Lukas Setia Atmaja 4 NABI ADAM Kuswaidi Syafi’ie 7 INSPIRASI DAN SOLUSI ISLAM NUSANTARA A Helmy Faishal Zaini 10 SADIQ KHAN DAN ISLAM DI DUNIA BARAT Amidhan Shaberah 13 MEMULIHKAN WIBAWA NEGARA M Riza Damanik 16 STANDAR PENILAIAN PUBLIKASI ILMIAH Irwan Trinugroho 19 KULIAH SAMBIL KERJA Komaruddin Hidayat 22 ETOS SAUDAGAR MUHAMMADIYAH Mukhaer Pakkanna 24 BERTEMU SOEKARNO DI LENINGRAD Yadi Hendriana 27 KEBIRI ADALAH KEGAGALAN PEMERINTAH Ninik Rahayu 31 BUAH HATI Sarlito Wirawan Sarwono 36 NABI ADAM (2) Kuswaidi Syafi’ie 39 MORAL PERMISIF DAN ABORSI ILEGAL Faisal Ismail 41 STOP BULLYING SEJAK DINI Susanto 44 TARI DAN LAKON Mohamad Sobary 47 MEMAKNAI KEBANGKITAN NASIONAL
  • 2. 2 Jazuli Juwaini 50 AKTUALISASI KEBANGKITAN NASIONAL Sudjito 53 SETELAH GAJAH YANI MATI, APA SELANJUTNYA? Nyoto Santoso 56 SEBERAPA GAGAH ANGKATAN 1998? Indra J Piliang 59 MENJADI JEMBATAN Mudji Sutrisno 62 NASIONALISME VERSUS TRANSNASIONALISME Biyanto 67 KASUS YY DAN PROBLEM AGRARIA Siti Maimunah 70 HUKUMAN PELAKU KEKERASAN SEKSUAL ANAK Yulina Eva Riany 73 DOKTOR ITU BEBAN Komaruddin Hidayat 76 KEBIRI DI KEDIRI Sarlito Wirawan Sarwono 78 (RE)FORMASI PENDIDIKAN KELUARGA Benni Setiawan 81 KERINDUAN KITA KEPADA PANCASILA Mohamad Sobary 83 AKTUALISASI GOTONG-ROYONG Sudjito 86 GENERASI PENIKMAT Komaruddin Hidayat 89 DARI MUHAMMADIYAH UNTUK INDONESIA BERKEMAJUAN Ahmad Fuad Fanani 91 HORMON DI BALIK KUASA DAN DAHAGA Reza Indragiri Amriel 95 MASIHKAH PANCASILA DIJADIKAN ACUAN KEBIJAKAN PUBLIK Benny Susetyo 98
  • 3. 3 NEGERI YANG MENAKUTKAN Matdon 101 AGAMA MASA GITU? Sarlito Wirawan Sarwono 103 MERENGKUH NILAI TAMBAH RAMADAN Faisal Ismail 106 PUASA SEBAGAI GERAKAN SOSIAL Abdul Mu’ti 109 MANAJEMEN MUTU TERPADU RAMADAN Muhbib Abdul Wahab 111 PUASA UNTUK KESEIMBANGAN FITRAH Mahmud 115 PUASA MOMENTUM PENINGKATAN KINERJA M Nasir 117 PROGRAM “RELIGI” DI TELEVISI Gun Gun Heryanto 119 PUASA DAN KEUTUHAN KEMANUSIAAN Hasan Asari 122 MEREVOLUSI CARA KERJA PEGAWAI NEGERI Rhenald Kasali 124 PELAYANAN PUBLIK DAN PERDAGANGAN ORANG Ninik Rahayu 128 KEBANGKITAN PENDIDIKAN TINGGI KITA Tirta N Mursitama 133 URBAN SUFISM Komaruddin Hidayat 136 PUASA DAN MAKANAN HALAL Amidhan Shaberah 138 RAMADAN MOMENTUM PERBAIKAN MORAL Bachtiar Nasir 142 MAKNA SPIRITUAL DAN MATEMATIKA PAHALA PUASA Abdul Munir Mulkhan 144 JABATAN DAN LOBI POLITIK Mohamad Sobary 146
  • 4. 4 Leicester Dadi Ratu 08-05-2016 Keajaiban yang ditunggu selama sembilan bulan terakhir akhirnya tiba. Leicester City FC juara Liga Inggris musim 2015-2016. Klub Liga Inggris berusia 132 tahun ini tidak pernah juara Liga Inggris sebelumnya. Pada awal musim kompetisi 2015-2016, oleh bandar taruhan sepak bola di Inggris hanya dihargai 1:5.000. Artinya, jika Leicester juara, petaruh akan memperoleh 5.000 kali lipat dari uang taruhan. Di mata bandar taruhan, dalam 5.000 kompetisi (tahun), diperkirakan Leicester hanya bisa juara sekali. Bagi penggemar berat Leicester City FC, hal ini merupakan sebuah ”penghinaan”. Untuk juara di tahun 2016, klub mereka harus sudah berdiri sejak tahun 2.984 sebelum Masehi, saat monumen prasejarah Stonehenge di Inggris dibangun. Namun kenyataan bicara lain, hanya dalam waktu 132 tahun Leicester sudah berhasil menjadi juara. Artinya, bandar taruhan terlalu menganggap remeh Leicester City. Benarkah bandar taruhan yang profesional dan sangat berpengalaman seperti William Hill dan Sky Bet membuat kesalahan? Memang siapa yang bisa menebak Leicester mampu jadi jawara? Bahkan Cludio Ranieri, sang manajer Leicester City FC sendiri, terus terang tidak pernah bermimpi Leicester bisa juara. ”Kami hanya berusaha bermain sebaiknya dari minggu ke minggu,” ungkap Ranieri yang kini mendapat perlakuan bak ”orang suci” di Kota Leicester. Tahun lalu Leicester City hampir terdegradasi dari Divisi Utama Liga Inggris. Selama 20 tahun terakhir hanya ada empat klub yang bisa jadi juara Liga Inggris: Manchester United, Arsenal, Chelsea, dan Manchester City. Semuanya adalah klub besar dan kaya. Klub besar lain seperti Liverpool dan Tottenham Hotspurs saja belum mampu menembus dominasi empat besar klub Liga Inggris tersebut, apalagi, maaf, Leicester. Total nilai seluruh pemain Leicester hanya 30 juta poundsterling. Sedangkan, harga satu pemain Manchester City seperti Raheem Sterling adalah 50 juta poundsterling. Tak ada yang mengenal para pemain Leicester sebelumnya. Mereka adalah pemain kelas kambing yang tidak layak bermain di klub besar. Manajernya pun baru saja dipecat sebagai kepala tim nasional Yunani karena prestasinya memble. Kemenangan Leicester adalah kemenangan bagi banyak orang, tidak hanya penggemar setianya. Bahkan, aktor tenar Tom Hanks mengaku mengharapkan Leicester juara. Kemenangan Leicester adalah kemenangan ”wong cilik”, rakyat jelata, pihak yang fungsinya hanya sebagai pelengkap penderita.
  • 5. 5 Leicester dan klub gurem lainnya harus ada agar klub besar seperti Chelsea dan Manchester United bisa mengklaim dirinya sebagai juara. Namun, kini mendadak dunia jadi terbalik. Majikan menjadi pelayan dan pelayan menjadi majikan. Leicester memberi asa bagi mereka yang suka bermimpi menggapai sesuatu yang rasanya mustahil. Leicester adalah Cinderella dalam kehidupan nyata. Di pewayangan Jawa adalah lakon (cerita) berjudul Petruk Dadi Ratu (Petruk Menjadi Raja). Petruk yang punakawan (pengikut/pelayan kesatria) mendadak punya kesempatan jadi raja, dan ganti nama jadi Prabu Belgeduwel Beh alias Tong Tong Sot alias Kanthong Bolong. Jika dalam legenda, sang Prabu Khantong Bolong bikin dunia pewayangan jadi kacau, Leicester justru membawa keberuntungan. Klub-klub gurem kini sadar bahwa mereka juga punya kans jadi juara. *** Sebagian penggemar Leicester mempertaruhkan uangnya untuk Leicester jadi juara. Total ada 128 orang yang memegang taruhannya hingga Leicester menjadi juara. Sisanya sudah tergoda untuk menghentikan taruhannya, dan menikmati imbalan pasti yang lumayan besar namun tidak 5.000 kali. Tercatat jumlah uang taruhan untuk Leicester juara berkisar dari 0,5 hingga 20 poundsterling per orang. Dalam sejarah industri taruhan, kemenangan 1:5.000 ini adalah yang terbesar sepanjang masa. Sebenarnya fenomena seperti Leicester jadi juara sudah dijelaskan oleh Nassim Nicholas Taleb, pakar keuangan dari New York University dan mantan trader saham di Wall Street. Ia menyebut kejadian yang hampir mustahil tersebut sebagai ”Black Swan.” Istilah ini diambil dari cerita tentang keyakinan bahwa semua angsa berwarna putih. Angsa hitam adalah mustahil. Orang tidak tahu bahwa di Australia terdapat angsa hitam. Maka, angsa hitam adalah kejadian yang tidak umum (unusual), namun bukan tak mungkin (impossible). Karena probabilitasnya teramat kecil, kejadian angsa hitam sulit diprediksi. Dalam bukunya, The Black Swan: The Impact of Highly Improbable (2007), Nassem Taleb memberi contoh kejadian angsa hitam. Mulai dari penggunaan internet, komputer pribadi, Perang Dunia I, pecahnya negara Uni Soviet, serangan September 11, market crash di Wall Street 1929, kebangkrutan Lehman Brothers, raksasa keuangan berusia 150 tahun, long term capital management (LTCM), hedge fund terkenal di Amerika Serikat yang dikelola dua pemenang Nobel bidang ekonomi. Maka, berhentilah terbelalak melihat fenomena Leicester Dadi Ratu. Dalam hidup ini, termasuk investasi di bidang apa pun, bermimpilah setinggi-tingginya. Jika kita kukuh dalam usaha keras dan doa, meminjam jargon pelawak Srimulat, Asmuni, ”Tidak ada hil yang mustahal...”
  • 6. 6 LUKAS SETIA ATMAJA Financial Expert - Prasetiya Mulya Business School
  • 7. 7 Nabi Adam 08-05-2016 Pembahasan tentang manusia sekaligus nabi pertama dalam kolom ini (juga tentang nabi-nabi yang lain pada kolom-kolom berikutnya) terutama mengacu kepada kitab terakhir yang ditulis oleh asy-Syaikh al-Akbar Muhyiddin Ibn ‘Arabi (1165-1240) yang berumbul Fushush al-Hikam. Kitab ini secara filosofis-sufistik memang mengurai tentang substansi dan falsafah kehidupan nabi-nabi dari mulai Nabi Adam hingga Nabi Muhammad ‘alayhim ash-shalatu wa assalam. Sebelum menciptakan sang khalifah pertama yang merupakan asal-usul umat manusia itu, Dia telah terlebih dahulu menciptakan air, tanah, bebatuan, mineral-mineral, bintang- gemintang, seluruh galaksi dan tata surya, langit yang tak terperi, dan lain sebagainya. Tentu saja juga dengan malaikat-malaikat yang diberi tugas untuk menjaga dan memfungsikan makhluk-makhluk tersebut. Setelah itu Allah SWT menciptakan aneka ragam tumbuh-tumbuhan yang begitu banyak. Bahkan sampai hari ini tidak terhitung jumlahnya secara pasti. Dari mulai yang merambat, yang umurnya hanya beberapa bulan, yang tumbuh di genangan air atau rawa-rawa, yang tumbuh di gunung-gunung dan padang sahara yang tandus, sampai yang sangat besar dan umurnya bisa mencapai ratusan atau bahkan ribuan tahun. Kemudian, Dia menciptakan berbagai macam binatang dengan sejumlah karakter dan kecenderungan masing-masing. Ada yang buas dan ada pula yang jinak. Ada yang halal dikonsumsi dan ada juga yang tidak. Semua itu diciptakan oleh hadirat-Nya untuk menjaga keberlangsungan ekosistem dan lingkungan kosmik yang sehat. Hingga tumbuh-tumbuhan diciptakan, sebelumnya tanah dan bebatuan tidak pernah sepenuhnya mengerti untuk apa diciptakan. Hingga hewan-hewan diciptakan, sebelumnya tumbuh-tumbuhan tidak pernah sepenuhnya mengerti untuk apa diciptakan. Dan sebelum manusia diciptakan, hewan-hewan juga tidak sepenuhnya mengerti untuk apa diciptakan. Yang demikian itu setidaknya mengindikasikan dua hal. Pertama, Allah SWT ingin mengajarkan kepada umat manusia tentang urgensi proses transendental, dari yang paling bawah menuju puncak. Dia sendiri sesungguhnya bisa menciptakan segala sesuatu secara serempak dengan hanya sekejap mata atau bahkan tidak sampai malah. Kedua, dengan adanya tahapan-tahapan penciptaan itu di mana suatu hal bergantung kepada suatu hal yang lain, Allah SWT sebenarnya mau mengajarkan bagaimana makhluk-makhluk
  • 8. 8 itu mesti saling bermanfaat dan berguna di antara yang satu dengan yang lain. Sehingga hidup ini berjalan dengan penuh melodi, harmoni dan sangat menyenangkan. Walau berbagai anasir dan ornamen semesta sudah “lengkap”, tanpa kehadiran Nabi Adam dunia ini tetap tidak lebih posisinya sebagai cermin yang buram. Karena tanpa kehadiran manusia pertama itu, semesta hanya bisa memantulkan dengan samar adanya sifat wujud, sifat ilmu, sifat qudrah, sifat iradah dan sifat hayat-Nya. Secara empiris-sufistik, Nabi Adam merupakan kaca semesta pertama yang dipakai oleh Allah SWT untuk bercermin memandang diri-Nya sendiri secara lebih gamblang dan transparan. Saya menggunakan terminologi “empiris-sufistik” dengan alasan yang jelas bahwa jika ditinjau dengan paradigma spiritual secara murni, maka makhluk yang pertama kali diciptakan adalah Nur Muhammad atau al-Haqiqah al-Muhammadiyyah yang darinya kemudian dimunculkan seluruh makhluk. Dengan demikian, posisi Nabi Adam dengan seluruh anak-cucu keturunannya yang beriman dan secara estafet senantiasa berpegang teguh terhadap spiritualitas asal-usul manusia itu, mereka tidak lain merupakan ruh bagi alam semesta. Tanpa kehadiran mereka, semesta raya ini hanyalah semata jasad, tidak ada bayang-bayang kehadiran Tuhan yang begitu transparan di situ. Sesungguhnya, apa makna kehendak Allah SWT dengan menciptakan alam semesta yang lengkap dengan ruhnya ini? Sepotong hadis qudsi memberikan suatu jawaban: “Kuntu kanzan makhfiyyan, fa uhibbu an u’raf, fa lidzalika khalaqtul ‘alam/Aku adalah tambang kekayaan yang tersembunyi. Aku cinta untuk dikenal. Karena itulah Aku menciptakan alam.“ Tapi bukankah hadirat-Nya itu sanggup menyaksikan gambaran segala sesuatu yang akan diciptakan-Nya dan sekaligus menjadikan semua itu secara serentak menyanyikan lagu-lagu kemahaan-Nya? Masalahnya adalah bahwa Allah SWT menghendaki untuk melihat diri-Nya lewat sesuatu “yang lain”. Sengaja saya meletakkan “yang lain” itu dalam tanda kutip. Karena sesungguhnya tidak ada yang betul-betul lain, yang benar-benar terpisah dari hadirat-Nya. Semua berada di genggaman-Nya. Apa pun yang terjadi pada semua itu, itulah realisasi dari kehendak-Nya semata. Tidak mungkin tidak. Melihat diri sendiri secara langsung tentu saja tidak sama dengan melihat diri sendiri lewat sesuatu yang lain. Melihat diri sendiri lewat perantara sama halnya dengan menyaksikan diri sendiri pada sebuah cermin di hadapan. Itu jauh lebih mengasyikkan. Dan itulah yang dikehendaki oleh Tuhan semesta alam. Betapa beruntung orang yang dianugerahi kesanggupan untuk menjadikan dirinya sebagai cermin bening bagi Allah SWT yang diletakkan persis di hadapan-Nya. Wallahu a’lamu bish-
  • 9. 9 shawab. KUSWAIDI SYAFI’IE Pengasuh Pondok Pesantren Maulana Rumi, Sewon, Bantul,Yogyakarta. kuswaidisyafiie@ymail.com.
  • 10. 10 Inspirasi dan Solusi Islam Nusantara 09-05-2016 Ibnu Khordabeh, seorang sejarawan asal Persia, dalam kitabnya, Al-Masalik Wal Mamalik, mencatat sekaligus memberikan gambaran rinci fakta masyarakat Indonesia/Nusantara zaman dulu. Ibnu Khordabeh menjelaskan masyarakat Nusantara adalah masyarakat yang jujur, santun, terbuka, toleran, kosmopolit, juga beragam dan multikultural. Menurut catatan Ar- Romahurmuzy dalam Ajayibul Hindi, Islam datang ke Nusantara pada abad ke-7 M. Hari ini banyak kalangan sejarawan mulai menemukan fakta baru bahwa di Barus, Tapanuli Selatan, sudah ada sebuah komunitas muslim yang melakukan aktivitas perdagangan di sana, tapi skalanya masih kecil. Komoditas yang diperdagangkan salah satunya yang paling terkenal: komoditas kapur Barus. Pada abad ke-7 M tersebut Islam tampaknya kurang bisa berkembang di Nusantara. Baru kemudian setelah era kedatangan Walisongo sekitar abad 13 M, Islam bisa menyebar secara massif dalam waktu yang relatif sangat singkat, 50 tahun. Apa rahasianya? Pertama, Walisongo sangat memahami esensi dakwah yang sesungguhnya dan seharusnya. Dakwah yang dilakukan Walisongo adalah dakwah dengan jalan pendekatan kebudayaan dan bersifat memberi wejangan. Dakwah yang mengedepankan laku-lampah dan tindakan, bukan semata- mata pemulas bibir atau lips service semata. Kedua, dakwah yang dilakukan Walisongo bersifat dakwah yang metodik. Walisongo sangat mengerti derajat, tahapan, dan juga gradasi dalam berdakwah. Ketika terjun dan berdakwah ke masyarakat mula-mula Walisongo menggunakan hikmah, kemudian menggunakan nasihat-nasihat yang baik, dan yang terakhir—jika dua cara tersebut masih gagal—yang ditempuh adalah jalur perdebatan. Itu pun dengan catatan harus dilakukan dengan santun dan sopan. Ketiga, Islam diajarkan sebagai manifestasi dari pesan memberi rahmat kepada seluruh alam (rahmatan lil alamin). Islam bukan semata-mata hanya rahmat bagi manusia, namun lebih dari itu, Islam adalah rahmat bagi seluruh alam raya seisinya. Kitab-kitab fikih mengajarkan hal itu. Hari ini jumlah penduduk Indonesia mencapai 254,9 juta jiwa. Dari jumlah penduduk Indonesia secara keseluruhan tersebut, jumlah pemeluk agama Islam hari ini mencapai lebih dari 205 juta jiwa. Angka yang sangat luar biasa. Angka tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia.
  • 11. 11 *** Ada sebuah pertanyaan menggelitik yang laik dijadikan bahan renungan bersama: Andaikan Candi Borobudur ini dibangun di negara-negara Teluk, apakah candi peninggalan agama Hindu tersebut akan bisa terus lestari sebagaimana yang bisa kita jumpai di Indonesia saat ini? Tidak ada jaminan. Menjaga Candi Borobudur—meminjam Franz Magnis Suseno (2008)—dibutuhkan kelapangan psikologis juga teologis serta toleransi yang tinggi. Menjaga Candi Borobudur bukan hanya membutuhkan toleransi, namun justru yang utama dibutuhkan adalah sikap menghargai warisan-warisan kebudayaan peninggalan para pendahulu meski itu dibuat dan diwariskan oleh mereka yang berbeda keyakinan. Ini bukti bahwa dakwah Islam di Indonesia adalah dakwah yang mengedepankan kompromi terhadap budaya dan kearifan lokal. Maka itu, miris dan sangat patut disayangkan sekali jika dengan non-muslim yang berbeda agama dan keyakinan saja, kita utamanya di Indonesia, bisa saling hidup rukun berdampingan dan saling membantu, mengapa justru dengan sesama muslim yang hanya berbeda mazhab, berbeda pandangan, justru kita perangi? Sudah saatnya kita mengakhiri era Islam yang dipenuhi citra pertempuran, permusuhan sebagaimana yang terjadi di negara-negara Teluk sampai saat ini. Ulama-ulama harus bekerja keras menjalankan—meminjam analisis Said Aqil Siroj (2016)— fungsinya. Pertama, ulama harus menjadi penyebar ilmu dan kepahaman (yatafaqqohu fiddin). Fungsi pertama ini harus dijalankan secara serius dan lebih nyata. Ulama harus memberi pemahaman yang komprehensif kepada umatnya. Kedua, ulama harus ”memberi arahan” (yunzira qoumahun) kepada umat. Fungsi kedua ini pada kenyataannya kurang mendapatkan porsi dan perhatian. Utamanya di negara-negara yang hingga saat ini masih terus berkonflik. Indonesia sekali lagi bisa menjadi contoh. Ulama-ulama Indonesia adalah ulama-ulama yang selalu berusaha untuk memerankan dua peran itu. Ulama-ulama Indonesia tidak sebatas memberi pemahaman pada umatnya, namun di luar itu, mereka juga memberi contoh langsung. Mereka menjadi suri tauladan bagi umatnya. Maka itu, tidak mengherankan jika banyak konflik di Indonesia bisa segera teratasi, dan berhenti menjadi sebatas konflik lokal. Apa sebabnya? Karena, kiai, ulama, dan pemuka agamanya turun tangan untuk berperan langsung melerai dan meredam konflik tersebut. NU selama ini sudah membuktikan komitmennya untuk menyebarkan Islam yang ramah, damai, dan toleran. Laporan Kompas yang dirilis 2015 mengatakan bahwa peran terbesar NU dalam bingkai berbangsa bernegara adalah mewujudkan kehidupan yang damai dan toleran di Indonesia. Pada 17 Februari 2016, NU menginisiasi apel kebinekaan lintas iman bela negara dengan menggandeng agama-agama dan kepercayaan lain yang ada di Indonesia. Apel
  • 12. 12 kebinekaan selain merespons isu bom Thamrin yang mencoba menyudutkan Islam, juga sebagai ikhtiar untuk menjaga kebersamaan dalam keragaman keyakinan. Dengan jumlah warga NU yang mencapai 91,2 juta jiwa, NU menjadi salah satu kekuatan Indonesia dalam rangka menjaga kesatuan dan keutuhan berbangsa dan bernegara. Atas dasar itu semua, upaya NU untuk menyebarkan pola dakwah yang ramah dengan jalan menghelat International Summit of the Moderate Islamic Leader (Isomil) di Jakarta 9-11 Mei mendatang harus kita sambut dengan sukacita sekaligus kita maknai sebagai bagian dari upaya ”mengkloning” pola dakwah Islam yang ramah di pelbagai belahan dunia. Wallahualam. A HELMY FAISHAL ZAINI Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
  • 13. 13 Sadiq Khan dan Islam di Dunia Barat 10-05-2016 ”You’re going to be sworn in before the Queen, what sort of bible would you like?” I said: ”I swear on the Koran, I’m a Muslim”. They said: ”We haven’t got a Koran, can you bring your own?”. So I went to Buckingham Palace with my Koran and afterwards they returned it and I said: ”No, can I leave it here for the next person?” Petikan kalimat di atas diucapkan Sadiq Khan ketika Gordon Brown, Perdana Menteri Inggris dari Partai Buruh, mengangkatnya sebagai menteri transportasi Inggris pada 2009. Dalam sebuah wawancara, Khan bercerita bahwa dirinya ditanya, ”Kau akan disumpah di depan Ratu, Injil apa yang kau pilih?” Dia menjawab, ”Saya muslim, saya bersumpah dengan Alquran.” Mereka berkata, ”Tapi, kami tidak punya Alquran. Bisakah kamu membawa Alquran sendiri?” Setelah disumpah Ratu, mereka mengembalikan Alquran itu kepada Khan dan dia berkata: ”Tidak usah dikembalikan. Bisakah saya meninggalkan Alquran itu di sini untuk dipakai orang lain kelak?” (Evening Standard, 13 May 2016). Mengomentari pernyataan Khan, seorang netizen menyatakan, ”Biarkan Alquran itu berada di Istana Buckingham untuk melantik muslim lain yang akan jadi perdana menteri Inggris. Luar biasa. Itulah ”Islam” di Inggris— sebuah negeri kiblat Dunia Barat. Hari-hari ini dunia masih heboh ketika Sadiq Khan, 45, Sabtu (7/5) terpilih menjadi wali kota (Major) London, ibu kota Inggris. Khan, putra imigran asal Pakistan, yang ayahnya bekerja sebagai sopir bus, dalam pemilihan wali kota London tersebut menang 57% dari rivalnya, Zac Goldsmith, 41, dari Partai Konservatif, putra keluarga konglomerat Yahudi Inggris. Terpilihnya Sadiq Khan sebagai wali kota London ini benar-benar mengejutkan dunia. Mengejutkan karena kampanye rasis yang diluncurkan kubu Goldsmith ternyata tak memengaruhi pilihan warga Inggris. Bayangkan, kampanye Goldsmith yang sangat rasis ini: ”Apakah kita akan menyerahkan kota terhebat di dunia ini pada Partai Buruh yang menganggap teroris sebagai teman?” Sadiq Khan memang dari Partai Buruh. Dan, setiap warga London pasti tahu Sadiq Khan juga beragama Islam – agama yang diidentikkan (sebagian besar media massa Barat) dengan agama terorisme. Apalagi, sekarang dunia tengah diramaikan isu kebiadaban tentara ISIS— Negara Islam Irak-Suriah—yang telah membunuh ratusan ribu orang di berbagai belahan dunia.
  • 14. 14 Kenapa Sadiq Khan bisa terpilih sebagai wali kota di ibu kota negeri kiblat peradaban Barat tersebut? Jawabnya mungkin panjang sekali. Tapi, satu hal sangat jelas: Islam di Barat meski babak belur citranya (oleh isu terorisme yang dilakukan sebagian kecil umat Islam), tetaplah menarik bagi orang Barat yang berpikir obyektif dan rasional. Orang Barat yang berpikir kritis niscaya tahu, Islam mengajarkan perdamaian dan kasih sayang, bukan terorisme. Banyak sekali ayat Alquran yang menjelaskan bahwa Islam sangat menghormati nyawa manusia. Dalam Alquran dinyatakan bahwa dosa orang yang membunuh satu manusia tidak bersalah sama dengan dosa membunuh seluruh umat manusia. Sebaliknya, orang yang menyelamatkan hidup satu manusia, seakan-akan ia menyelamatkan seluruh umat manusia (QS 5:32). Ayat ini menunjukkan penghargaan Alquran terhadap nyawa manusia yang luar biasa. Sejarah penaklukan Yerusalem (yang dikuasai Byzantium) oleh Salahuddin Al-Ayyubi pada abad ke-12 yang berlangsung ”damai” misalnya sampai sekarang masih menjadi kisah paling mengharukan di Barat. Betapa tidak, ketika Panglima Tentara Salib Richard The Lion Heart sakit, dengan menyamar, Salahuddin justru mengobatinya. Dalam Perang Salib tersebut, meski pasukan Kristen kalah, Salahuddin tetap menghormati Richard dan pasukannya. Karen Armstrong dalam bukunya, Holy War, menggambarkan, saat Salahuddin dan pasukan Islam membebaskan Yerusalem, tak ada satu orang Kristen pun yang dibunuh. Tapi, bagaimana kini? ISIS, Al-Qaedah, dan Al-Shabab—untuk menyebut tiga contoh organisasi teroris yang memakai baju Islam—adalah pembantai-pembantai manusia tak bersalah. Mereka bertiga adalah contoh dari radikalisme, ekstremisme, dan terorisme yang ”menempel” pada Islam. Barat juga tidak akan pernah melupakan peristiwa pemboman WTC di New York (11/9/2001), pembantaian Paris (13/11/2015) dan kantor redaksi majalah Charlie Hebdo (7/1/2015), peledakan kereta api di London (7/7/2005), dan pemboman Paddy’s Club, Bali (12/10/2002) yang pelakunya ”para teroris” berbaju Islam itu. Tapi, masyarakat Barat terdidik yang berpikir kritis dan obyektif juga tak terpengaruh dengan ”embel-embel” terorisme pada Islam. Justru sebaliknya yang terjadi: pasca-tragedi WTC ketika media massa Barat menghujat Islam, banyak orang Barat yang intelek penasaran ingin mempelajari Islam dan Alquran. Betulkah Islam itu identik dengan terorisme? Hasilnya di luar dugaan: alih-alih membenci Islam, mereka justru tertarik dan simpati kepada Islam. Bahkan banyak di antara mereka kemudian masuk Islam. Pasca-tragedi 11/9/2001 tercatat rata-rata 20.000 warga Amerika Serikat masuk Islam per tahun. Penelitian terbaru di AS makin mengejutkan: saat ini hampir 47% kaum muda AS justru simpati kepada perjuangan rakyat Palestina. Padahal, 10 tahun lalu jumlah mereka yang simpati hanya 15%. Jika simpati kepada perjuangan rakyat Palestina ini identik dengan simpati kepada Islam dan kebencian kepada Israel, data ini jelas sangat mengejutkan. Cepat
  • 15. 15 atau lambat, umat Islam akan menjadi warga masyarakat AS yang jumlahnya signifikan dan bisa memengaruhi kebijakan White House dan Capitol Hill. Kondisi yang sama terjadi di Eropa. Jumlah umat Islam terus bertambah, baik di Eropa Barat, Eropa Tengah, maupun Eropa Timur. Pertumbuhan jumlah kaum muslimin di Eropa ini bukan hanya terjadi karena faktor kaum imigran muslim yang berasal dari Timur Tengah, Asia Selatan (India, Pakistan, Bangladesh), dan Afrika, tapi juga berasal dari warga setempat yang berdarah asli Eropa. Di Inggris misalnya, menurut CNN, jumlah umat Islam sekarang sudah mencapai 4,7% dari populasi atau sekitar 3 juta jiwa. Ini artinya, dalam 10 tahun terakhir, populasi kaum muslim di Inggris naik 100%. Yang menarik, kata CNN, jumlah umat Islam di Inggris ini tiap tahun terus meningkat. Hal yang hampir sama terjadi di Prancis, Belgia, dan Spanyol. Jumlah umat Islam terus meningkat. Ironinya, peningkatan tersebut justru terjadi ketika citra Islam terpuruk akibat isu-isu terorisme. Saat ini memang citra Islam masih terpuruk di Inggris akibat isu-isu terorisme, tapi orang- orang Inggris percaya, para pelaku terorisme adalah orang-orang biadab yang ”menggunakan Islam” sebagai topeng. Sedangkan Islam adalah agama yang dalam sejarah terbukti pernah memberikan teladan hidup yang damai, toleran, dan cinta pengetahuan kepada umat manusia. Sejarah juga membuktikan revolusi industri di Inggris pun terpicu oleh penyebaran dan perkembangan ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh umat Islam. Akhirnya, terpilihnya Sadiq Khan sebagai wali kota London menyadarkan Barat, terutama Inggris, bahwa kampanye hitam terhadap Islam sudah bukan zamannya lagi. Yang sekarang dibutuhkan dunia adalah kerja sama antaragama untuk membangun peradaban yang cinta damai dan membangun kesejahteraan umat manusia. Dalam Alquran disebutkan, Allah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan dan menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling kenal-mengenal (Al-Hujarat 13). Ayat ini menyuruh manusia agar berpikir universal, humanis, dan saling menghargai. Nabi Muhammad sendiri menyatakan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lain. AMIDHAN SHABERAH Ketua MUI (1995-2015)/Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Departemen Agama RI (1991- 1996)
  • 16. 16 Memulihkan Wibawa Negara 12-05-2016 Setelah diketahui sarat praktik koruptif dan melanggar sejumlah peraturan perundang- undangan di Indonesia, teranyar proyek reklamasi Teluk Jakarta menampakkan tabiat utuhnya: melemahkan kewibawaan negara. Pemerintahan Jokowi-JK di dalam visi misinya, ”Jalan Perubahan untuk Indonesia Yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian” (Mei, 2014), telah berhasil mendeteksi perihal merosotnya wibawa negara sebagai satu dari tiga persoalan pokok bangsa. Ada lima kondisi yang menyebabkan menurunnya wibawa negara. Pertama, ketika negara tidak kuasa memberikan rasa aman kepada segenap warga. Kedua, tidak mampu mendeteksi ancaman terhadap kedaulatan wilayah. Ketiga, membiarkan pelanggaran HAM. Keempat, lemah dalam penegakan hukum. Kelima, tidak berdaya dalam mengelola konflik sosial. Gejala kelimanya semakin terasa pada tahapan stadium lanjut polemik reklamasi di Teluk Jakarta. Abai Reklamasi 17 pulau baru maupun tanggul raksasa di depan Teluk Jakarta bukanlah solusi mengatasi banjir dan kemiskinan bagi warga Ibu Kota. Sebaliknya, proyek ini berpotensi memperluas area genangan banjir Jakarta hingga 31.000 hektare pada 2100 (KKP, 2015). Tidak cukup banjir, dua proyek ini bahkan berpeluang menggerus Pulau Onrust dan pulau- pulau lain di sebelah barat Teluk Jakarta. Kerusakan lingkungan dan penggusuran nelayan di luar Jakarta bahkan semakin sulit dihindari. Untuk keperluan pengurukan tanggul raksasa beserta 17 pulau barunya dibutuhkan sedikitnya 800 juta metrik ton material pasir. Kini risikonya justru semakin besar. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menemukan hampir seluruh dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) pulau-pulau reklamasi di Pantai Utara Jakarta tidak memasukkan kajian kebutuhan bahan urukan, ketersediaan air bersih, dan pengaruh reklamasi terhadap kegiatan vital. Tepatlah prakarsa Menteri Koordinator Bidang Maritim Rizal Ramli pada 18 April 2016 bersama-sama Menteri LHK Siti Nurbaya, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), serta sejumlah pejabat di lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk menghentikan sementara (moratorium) proyek reklamasi di Teluk Jakarta. Sayangnya, dua pekan setelah moratorium, kegiatan reklamasi dengan seluruh risikonya
  • 17. 17 masih saja membayangi kehidupan warga. Dari Muara Angke, Jakarta, warga nelayan dengan mudah menyaksikan masih ada kegiatan reklamasi di Pulau G. Beragam aktivitas pembangunan juga masih berlangsung di Pulau C dan D, dengan dalih ketelanjuran. Di Desa Lontar, Banten, keresahan warga bahkan berlanjut setelah melihat kapal-kapal penambang pasir masih beroperasi dengan jarak hanya 2-3 mil dari garis pantai. Dus, tersungkurnya kewibawaan negara akibat tidak dijalankannya seruan moratorium reklamasi di Jakarta akan berdampak buruk terhadap penanganan lebih dari 30 proyek reklamasi lain, di luar Ibu Kota. Memulihkan Semua kita dapat berkontribusi memulihkan kewibawaan negara. Pertama, masyarakat luas, termasuk nelayan berkewajiban untuk terus-menerus mengingatkan penyelenggara negara agar tidak korup dan tebang pilih dalam menuntaskan polemik reklamasi Jakarta. Tentunya, tindakan konstitusional ini harus dapat membebaskan dirinya dari kebencian berbasis suku, agama, ras, maupun antargolongan. Kedua, Gubernur Ahok dapat merujuk pada laporan warga nelayan terdampak, temuan KLHK dan KKP untuk menyelenggarakan audit kepatuhan kepada seluruh pengembang reklamasi di Teluk Jakarta. Bila terbukti melanggar, gubernur sesuai kewenangannya dapat memberikan teguran, penyegelan, bahkan pencabutan izin. Namun, bila Gubernur Ahok sungkan atau ragu menjalankan tugasnya, Menteri Siti Nurbaya dapat menyelamatkan kewibawaan negara dengan mengambil alih kewenangan tersebut. Penyegelan yang dilakukan kemarin bisa jadi langkah awal. Selanjutnya, segera memberikan sanksi kepada Gubernur Ahok dan para pengembang sebagaimana telah diatur di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Terobosan (hukum) serupa dapat dilakukan oleh Menteri Susi Pudjiastuti sesuai kewenangannya. Ketiga, hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) juga dapat berpartisipasi menegaskan posisi negara terhadap polemik reklamasi. Hakim dibenarkan untuk mengambil putusan sela terhadap perkara Nomor 193/G.LH/2015, Nomor 14/G/LH/2016, Nomor 15/G/LH/2016, dan Nomor 13/G/LH/2016 untuk membatalkan sementara dan menunda pelaksanaan izin reklamasi Pulau G, F, I, dan K, sambil menunggu proses persidangan berkekuatan hukum tetap (inkracht). Keempat, Presiden memiliki kemewahan konstitusional untuk mengurai pembangkangan kebijakan moratorium reklamasi dengan mengeluarkan instruksi presiden (inpres) tentang moratorium reklamasi pantai di seluruh Indonesia. Inpres ini dimaksudkan untuk memperjelas dan mengakselerasi kerja para pembantu Presiden pada tiga hal pokok. Mulai dari menghentikan perusakan lingkungan dan penggusuran warga pesisir dan nelayan. Lalu, mempercepat eksekusi penegakan hukum. Puncaknya, memperjelas strategi pemerintah
  • 18. 18 meningkatkan partisipasi masyarakat pesisir dan nelayan dalam agenda pembangunan kota- kota pantai dan poros maritim dunia. Seperti visi Presiden, inilah momentum ”emas” melunasi janji memulihkan kewibawaan negara. M RIZA DAMANIK Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI); Wakil Ketua Umum Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (Iskindo)
  • 19. 19 Standar Penilaian Publikasi Ilmiah 13-05-2016 Dalam beberapa waktu terakhir ini publikasi ilmiah di jurnal internasional menjadi isu yang sangat hangat di Indonesia khususnya di perguruan tinggi. Dipicu oleh relatif rendahnya jumlah dan kualitas publikasi ilmiah Indonesia di jurnal internasional, terutama dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand. Pemerintah (dalam hal ini Kementrian Ristek-dikti maupun perguruan tinggi) membuat berbagai program untuk mengakselerasi kuantitas dan kualitas penelitian serta publikasi ilmiah agar dapat terdiseminasi di jurnal internasional. Bahkan bereputasi baik dalam bentuk kewajiban publikasi bagi penerima hibah penelitian, pelatihan dan pendampingan penulisan, dan sebagai syarat untuk kenaikan jabatan fungsional. Di samping itu, baik perguruan tinggi, Kementrian Ristek-dikti, maupun Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) juga membuat program insentif yang nilainya cukup fantastis untuk artikel yang terpublikasi di jurnal internasional bereputasi. Yang kemudian menjadi permasalahan dan perdebatan adalah terkait standar dan kriteria untuk mengklasifikasikan suatu jurnal internasional dapat dikatakan bereputasi. Seperti yang sudah diketahui secara umum, Kementrian Ristek-dikti saat ini menggunakan indeksasi dari Scopus (Elsevier) dan Web of Science (Thompson Reuters) sebagai acuan. Demikian pula LPDP menggunakan dua acuan tersebut dengan tambahan kriteria impact factor dan jumlah sitasi untuk memberikan penghargaan publikasi internasional. Hal ini kemudian menimbulkan berbagai perdebatan. Di satu pihak, banyak yang berargumen bahwa dua lembaga pengindeks tersebut memang yang paling kredibel dan valid dalam menilai standar suatu jurnal dan paling layak digunakan sebagai acuan di dalam dunia akademis. Di samping itu memang ada beberapa lembaga pemeringkat perguruan tinggi, yang secara spesifik menggunakan Scopus dalam beberapa standarnya seperti QS World University Rankings, di mana untuk kategori kinerja dalam riset yang diukur dengan jumlah sitasi per paper mengambil data dari Scopus. Di satu sisi, muncul argumen kontra yang mengatakan bahwa penggunaan Scopus sebagai acuan utama penilaian kualitas suatu jurnal dan digunakan dalam banyak aspek (kenaikan pangkat, insentif, dan kinerja dosen). Hal ini menjadikan kita hanya sebagai pengikut (followers) dari lembaga asing dan cenderung terjadi “penjajahan dalam dunia akademik”. Kemudian muncul di media sosial mengenai besarnya pendapatan tahunan Scopus (Elsevier) dan Thompson Reuters yang dihasilkan dari berbagai unit bisnisnya termasuk dalam indeksasi.
  • 20. 20 Permasalahan selanjutnya, timbul ketika Jeffrey Beall, seorang pustakawan dari University of Colorado Denver USA, membuat sebuah blog yang di dalamnya memuat daftar publishers (penerbit jurnal) dan stand alone journals (jurnal-jurnal yang berdiri sendiri tidak menginduk penerbit tertentu). Jurnal tersebut open access, yang dikategorikan sebagai berpotensi, dimungkinkan, dan kemungkinan besar adalah penerbit dan jurnal predator. Beall menggunakan beberapa standar untuk mengevaluasi apakah suatu penerbit atau stand alone journal dapat dimasukkan dalam daftar tersebut, yang secara umum adalah terkait dewan editor dan staf redaksi, manajemen dan bisnis dari penerbit dan jurnal, integritas dan kriteria- kriteria lain. Perdebatan di Indonesia kemudian kembali muncul terkait dengan keberadaan Bealls List karena beberapa institusi menggunakan daftar ini sebagai acuan pula untuk mengevaluasi kualitas suatu jurnal. Ada sejumlah jurnal yang terindeks di Scopus, namun juga masuk dalam daftarnya Jeffrey Beall. Di satu sisi keberadaan daftar ini cukup bagus karena memang memuat banyak jurnal dan penerbit yang cenderung “money making“ dengan menerbitkan artikel di dalam jurnalnya tanpa peer-review process yang rigid. Tanpa proses reviu, tetapi mengharuskan penulis untuk membayar sejumlah uang tertentu untuk biaya publikasi. Namun, pada sisi yang lain, ada beberapa pendapat yang menyebutkan bahwa Beall cenderung subyektif dalam menentukan penerbit dan jurnal yang masuk dalam daftarnya. Saya beberapa kali berkomunikasi dengan Jeffrey Beall terkait beberapa penerbit dan jurnal yang ada di dalam daftarnya maupun yang belum ada di daftarnya. Suatu waktu saya pernah menanyakan ke beliau terkait jurnal terindeks di Scopus yang memiliki proses reviu yang bagus dan tidak ada biaya publikasi (hanya membayar biaya membership untuk setahun yang nilainya relatif cukup kecil), tetapi masuk dalam Bealls List. Beall waktu itu meminta semua contoh proses reviu dan menanyakan biaya publikasi. Setelah saya kirimkan semua, kemudian dia sampaikan bahwa jurnal tersebut tetap dia pertahankan dalam daftarnya karena penerbit dari jurnal baru saja mengakuisisi beberapa jurnal open access yang berkualitas rendah. Perlu pula dicatat bahwa Bealls List ini dapat berubah (utamanya bertambah) setiap saat yang juga menimbulkan ketidakpastian bagi yang menggunakannya sebagai acuan. Kemudian bagaimana sebaiknya kita menyikapi mengenai standar dalam evaluasi terhadap jurnal internasional? Saat ini khususnya di kalangan sivitas akademika perguruan tinggi di Indonesia, terjadi keresahan terkait hal tersebut yang berujung pada debat-debat yang menghabiskan energi. Sebagai negara besar, Indonesia seharusnya memiliki standar tersendiri dalam mengevaluasi kualitas suatu jurnal internasional, yang tidak serta-merta mengacu pada indeksasi atau daftar yang dikeluarkan lembaga di luar negeri. Dalam hal ini, standar publikasi ilmiah serta daftar jurnal internasional yang diakui berdasarkan pada standar yang disusun tersebut dapat ditetapkan oleh regulator (misalnya Kementrian Ristek-dikti bekerja sama dengan LIPI).
  • 21. 21 Untuk menetapkan standar dan daftar jurnal yang diakui, diperlukan suatu tim yang terdiri atas para pakar di masing-masing bidang (rumpun) ilmu yang sudah berpengalaman dan kompeten dalam kaitan dengan publikasi di jurnal internasional untuk menentukan kriteria/standar serta kemudian menentukan daftar jurnal internasional yang diakui berdasarkan pada standar-standar tersebut. Standar dan daftar jurnal tersebut harus dievaluasi secara periodik misalnya setiap dua atau satu tahun sekali. Keberadaan standar dan panduan tersebut akan memberikan kejelasan dan kepastian khususnya bagi dosen dan mahasiswa pascasarjana yang sangat didorong untuk publikasi di jurnal internasional bereputasi. Beberapa negara juga menetapkan standar sendiri dalam menentukan kualitas suatu jurnal dan membuat daftar yang menjadi acuan di negaranya. Contohnya Prancis, yang memiliki standar pemeringkatan jurnal tersendiri yang dikeluarkan CNRS, suatu lembaga riset ilmiah negara. Contoh lain misalnya Denmark, yang mendesain BFI (Danish Bibliometric Research Indicator), Brasil yang memiliki Qualis, dan sebagainya. Dapat pula standar tersebut ditetapkan untuk masing-masing bidang ilmu misalnya asosiasi dekan sekolah bisnis di Australia (ABDC) menetapkan standar penilaian dan membuat rangking jurnal untuk bidang bisnis dan ekonomi. Rangking tersebut kemudian dipakai sebagai acuan semua sekolah bisnis di Australia. DR IRWAN TRINUGROHO Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Sebelas Maret (UNS)
  • 22. 22 Kuliah Sambil Kerja 13-05-2016 Bisa studi lanjut ke luar negeri itu menjadi idaman bagi banyak mahasiswa. Orang membayangkan betapa enak dan kerennya kalau bisa memperoleh beasiswa ke negara maju. Tentu saja bayangan itu tidak salah, namun bagi mereka yang menjalani akan memiliki pengalaman dan cerita lain. Adalah hal yang lumrah, kuliah sambil bekerja untuk mencari tambahan biaya. Terlebih jika mengambil program pascasarjana dengan disertai istri dan anak, beban psikologis dan ekonomis cukup berat dirasakan yang berimplikasi pada kelancaran dan prestasi studinya. Secara intelektual, para penerima beasiswa ke perguruan tinggi di Barat, misalnya, mesti melewati persaingan yang berat dan ketat. Oleh karenanya, mereka yang telah lolos ujian seleksi bahasa dan potensi intelektual pasti bagus kualitasnya. Jadi, sesungguhnya masalah yang lebih berat berakar pada masalah non-akademis. Banyak tantangan dan hambatan yang mesti dihadapi oleh mahasiswa di luar negeri. Tradisi belajar di Timur Tengah berbeda dari perguruan tinggi di Barat. Di samping iklim, ada pula faktor makanan. Orang Indonesia sulit berpisah dari makan nasi. Juga kecenderungan untuk selalu berkumpul dengan teman sedaerah. Kebiasaan ini akan menghambat proses sosialisasi memasuki pergaulan internasional. Akibatnya, sekalipun tinggal di luar negeri, mayoritas waktunya diisi dengan berpikir dan berbicara dalam bahasa Indonesia. Makanya ada beberapa mahasiswa yang memilih berkawan dekat dengan orang asing agar lebih terasa belajar di luar negeri dan juga untuk memperlancar bahasa. Mahasiswa yang membawa keluarga, istri dan anak misalnya, umumnya istri mencari pekerjaan untuk mendapatkan uang tambahan karena dana beasiswa yang diterima suami tidak cukup. Ada yang jadi baby sitter, kerja di restoran, jualan makanan, dan sebagainya. Tidak jarang ketika datang libur musim panas selama tiga bulan suami juga bekerja musiman. Saya sendiri pernah kerja pada KBRI di Jeddah Arab Saudi selama musim haji. Lama kerja 40 hari di bagian informasi haji. Tugas saya mencatat jamaah haji yang sakit dan meninggal lalu tiap malam mengirim berita ke Jakarta. Selama kuliah di Turki saya tiga kali menjadi tenaga musim haji, dengan honor 50 riyal per hari. Jumlah yang lumayan untuk tambahan biaya hidup dan membeli buku serta keperluan lain. Beruntunglah mereka yang memperoleh beasiswa cukup sehingga waktunya hanya diisi untuk studi. Sekali lagi, problem belajar di luar negeri cukup beragam. Ada teman yang studi di Belanda
  • 23. 23 dan gagal di tengah jalan karena bermasalah dengan profesornya yang menurutnya kaku, sulit diajak berdiskusi, memandang rendah mahasiswa Indonesia sebagai inlander. Profesor pembimbing disertasi pada umumnya memang demanding, ingin perfeksionis karena kalau mahasiswa bimbingannya tidak bagus hasilnya, yang menjadi taruhan nama baik dirinya. Ini berbeda dari profesor pembimbing di Indonesia yang kurang serius dan kurang fokus karena sambil mencari kerja sampingan. Kembali ke soal kerja, setiap datang musim haji KBRI di Arab Saudi selalu membuka lowongan kerja bagi mahasiswa Indonesia khususnya di Timur Tengah mengingat dibutuhkan tenaga kerja untuk membantu melayani jamaah haji. Keuntungan bagi mahasiswa, di samping memperoleh honor, juga dapat menunaikan ibadah haji. Bagi KBRI juga diuntungkan karena mahasiswa menguasai bahasa Arab dan memahami tata cara ibadah haji serta lingkungan sosial Arab. Umumnya mahasiswa di Timur Tengah pernah bekerja sebagai temus haji. Sebuah istilah yang sangat akrab, maksudnya tenaga musim haji. Peminat menjadi temus haji ini juga menarik mahasiswa Indonesia yang tengah belajar di India dan Eropa. Mungkin juga sekarang sudah merembet ke Amerika. Banyak cerita suka dan duka kuliah di luar negeri. Terutama ketika keluarga sakit, bersamaan tugas kuliah yang menuntut kerja keras, sementara uang beasiswa tidak mencukupi. Lebih stres lagi ketika sudah diperingatkan batas waktu beasiswa mendekati berakhir, padahal tugas riset dan penulisan disertasi belum selesai. Bagi kita yang di Indonesia selalu membayangkan kuliah di luar negeri itu serbamewah dan menyenangkan. Ini bisa dipahami karena setelah tamat dan kembali ke Indonesia jarang yang mau bercerita pengalaman pahitnya. Bahkan ada yang sengaja menutupinya. Saya merasa beruntung karena sejak kuliah strata satu di Jakarta memang sambil bekerja. Jadi, sudah punya tabungan mental bagaimana rasanya menjadi mahasiswa miskin, yang kemudian justru saya jadikan cambuk untuk menaklukkan berbagai rintangan yang menghadang. PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah @komar_hidayat
  • 24. 24 Etos Saudagar Muhammadiyah 13-05-2016 Pada 13-14 Mei 2016, Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan (MEK) PP Muhammadiyah menggelar temu Jaringan Saudagar Muhammadiyah (JSM) di DI Yogyakarta. Wahana ini tidak sekadar ritual membangunkan romantisme terhadap masa-masa awal kebangkitan para saudagar Muhammadiyah, tapi juga menjadi momentum membangkitkan etos kemandirian Persyarikatan. Mengapa etos ini perlu digelorakan? Fakta berbicara, di tengah masyarakat masih banyak menyeruak stigma terhadap profesi saudagar, yang diasumsikan sebagai sifat eksploitatif, agresif, ekspansif, egois, tidak mau rugi, hitung-hitungan, pelit, tidak jujur, curang, tidak terbuka, sumber penghasilan tidak stabil, ketidakpastian kehidupan, kurang terhormat, dan lainnya. Tidak mengherankan, jika banyak orang tua yang tidak menginginkan anak-anaknya terjun dalam profesi sebagai saudagar. Bahkan, banyak orang tua mengatakan “untuk apa sekolah tinggi-tinggi jika hanya menjadi saudagar alias pedagang”. Sayangnya, stigma ini pula menjangkiti saudagar-saudagar muslim generasi pertama, yang dulunya sukses mengembangkan jaringan usaha di beberapa sentra bisnis di Tanah Air. Awalnya dikuasai saudagar Islam, tapi pada periode generasi berikutnya, akhirnya gagal. Generasi pertama sukses, tapi pada generasi keduanya gagap melanjutkan. Stigma seperti itu sudah mengental dan menjadi pemahaman umum masyarakat. Padahal menjadi saudagar adalah kegiatan mulia. Pernah suatu ketika Rasulullah SAW ditanya para sahabat, “Pekerjaan apakah yang paling baik ya Rasulullah?” Rasulullah SAW menjawab, “seseorang bekerja dengan tangannya sendiri dan setiap jual-beli yang bersih” (HR. al- Bazzar). Konstatasi tersebut mengabarkan, Islam mengajarkan umatnya menjadi saudagar, dan bahkan sepanjang sejarah Muhammad SAW dan para sahabatnya tidak sedikit sebagai pelaku usaha (saudagar). Dan tidak dimungkiri, masuknya Islam ke Indonesia juga melalui jalur saudagar. Bagaimana Muhammadiyah? Melacak sejarah, pada periode awal pergerakan Muhammadiyah selalu diinisiasi oleh kaum saudagar. Mereka ini berfungsi ganda; selain sebagai juru dakwah, juga sebagai saudagar dalam menyiarkan Islam di mana mereka berkunjung. Pada periode awal, para saudagar Muhammadiyah sukses membangun kemandirian organisasinya. Figur KH Ahmad Dahlan sebagai tokoh sentral dan merupakan prototype saudagar sejati, kerap berdagang di pelbagai
  • 25. 25 kota. Bahkan, KH Ahmad tidak bosan mengajarkan murid-muridnya untuk menjadi orang yang mandiri secara ekonomi. Hasilnya, cukup impresif. Pada tahun 1916 kaum saudagar yang menjadi anggota Persyarikatan Muhammadiyah, tercatat dalam sejarah mencapai 47% dari total anggota Muhammadiyah. Mengapa Kiai Dahlan mengajarkan itu? Tentu terkait doktrin bahwa menjadi saudagar merupakan jalan cepat mandiri. Riwayat Rasulullah SAW; “Sembilan persepuluh dari sumber rezeki itu dari kegiatan saudagar”. Malah dinukilkan “Bahwa saudagar yang jujur dan amanah (akan ditempatkan) beserta para nabi, shidiqin dan para syuhada” (HR. At-Tirmidzi). Etos saudagar telah terpatri dalam diri generasi awal Muhammadiyah. Hasilnya Muhammadiyah cukup disegani dalam berdakwah, baik oleh pemerintah (kolonial dan pemerintah Indonesia) maupun masyarakat sipil lainnya. Tidak heran, telah menjadi kenangan indah, bagaimana para saudagar Muhammadiyah di Sumatera Barat, Bugis- Makassar, Solo, Yogyakarta, Pekalongan, Tasikmalaya, Garut, dan lain-lain, mampu menggerakkan organisasi Muhammadiyah dengan kekuatan bisnisnya. Namun kenangan indah, bahwa Muhammadiyah selalu dimotori kaum saudagar telah menjadi cerita masa lalu. Generasi Muhammadiyah dalam empat dekade belakangan ini bukan lagi dimotori kaum saudagar, tapi dijejali oleh kaum pamong praja dan pegawai negeri sipil (PNS). Bahkan, dalam struktur kepengurusan Muhammadiyah, mulai Pimpinan Pusat (PP) hingga Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM), sulit lagi ditemukan kaum saudagar. Pelbagai perhelatan organisasi pun selalu berharap sponsor pemerintah, pejabat, dan pengusaha di luar kalangan warga Muhammadiyah. Pertanyaannya, mengapa etos saudagar warga Persyarikatan semakin pudar? Etos Saudagar Hambatan terbesar untuk menjadi saudagar adalah etos keberanian. Budaya penakut dan bayangan terhadap risiko gagal, kerap menjangkiti setiap orang yang mau melangkah berbisnis. Rasa takut itu bermula dari dalam diri, karena tidak terbiasa dengan tanggung jawab. Boleh jadi budaya kita sejak kecil selalu ditakut-takuti baik oleh orang tua, guru maupun masyarakat (Khamsa, 2011). Kita diajari “tidak boleh ini dan tidak boleh itu”, karena dikhawatirkan akan terjadi “begini atau begitu”. Akibatnya, kita jadi penakut untuk melakukan sesuatu, karena takut gagal dan disalahkan orang. Orang tua, pendidik (guru), pendakwah agama, tokoh masyarakat, sesepuh masyarakat, dan lingkungan masyarakat, sejak dulu tidak mendidik kita untuk berani mengambil risiko, terutama berkaitan dalam risiko usaha. Padahal keberanian adalah modal awal dalam
  • 26. 26 menjejakkan kaki menjadi saudagar. Tanpa keberanian, tidak akan pernah bisa dimulai. Orang akan selalu dibayang-bayangi oleh perasaan takut rugi. Kesuksesan selalu dicapai dengan sebuah proses setelah melewati berbagai hambatan, sehingga tidak ada alasan untuk takut gagal. Karena kegagalan adalah sebuah proses pembelajaran (Suyanto, 2008). Kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda. Setiap orang akan melalui suatu proses pembelajaran, maka tentu kemampuan orang juga akan semakin meningkat. Sense of business juga meningkat sehingga kemampuan orang dalam menilai dan memilih bisnis semakin tepat. Sebenarnya kata gagal hanyalah milik orang yang berhenti mencoba, berhenti berinovasi, dan berhenti berbuat. Artinya, orang yang takut gagal adalah orang yang keluar dari fitrah kemanusiaannya, atau orang yang menginterupsi sunatullah. Selain etos keberanian sebagai modal awal dalam memulai usaha, hal yang sangat penting adalah selalu berpikir positif, selalu optimistis bahwa kita akan berhasil. Berpikir positif dan optimistis dapat dicapai dengan selalu berinteraksi dengan orang-orang yang bermental positif dan optimis dalam melakukan banyak hal. Maka, sering-seringlah bergaul dengan komunitas yang sama visinya dengan kita karena energinya akan ikut mengalir kepada kita (Chandra & Deryandri, 2010). Etos keberanian, tanggung jawab, jujur, amanah, berpikir positif, adalah serangkaian modal utama untuk menjadi saudagar. Tapi sebagai umat Islam (yang mungkin boleh jadi, sebelum lahir sudah menjadi “Islam turunan”), bahwa serangkaian etos itu (keberanian, tanggung jawab, jujur, amanah, berpikir positif), sesungguhnya sudah diajarkan dan ditebar oleh Allah SWT melalui ayat-ayat-Nya atau sunatullah-Nya dalam Alquran dan di alam semesta. Bahkan, Rasulullah SAW dan para sahabatnya pun telah memberikan uswah (contoh teladan), bagaimana sejatinya berbisnis menurut ajaran dan perilaku Islam (Antonio, 2009). Tapi, mengapa umat Islam terutama Muhammadiyah generasi sekarang ini, kurang memiliki perhatian dan keberanian untuk bergumul dalam dunia usaha? MUKHAER PAKKANNA Wakil Ketua Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PP Muhammadiyah
  • 27. 27 Bertemu Soekarno di Leningrad 14-05-2016 Angin dingin terasa menembus tulang di sekitar Benteng Paul and Peters, St. Petersburg, Rusia. Benteng megah yang dikenal penduduk Petersburg dengan nama Petropavlovskaya Krepost itu berada di sepanjang Sungai Neva. Dibangun pada 1703, benteng itu digunakan ketika Peter The Great mengklaim daratan di sepanjang Sungai Neva, sebagai perlindungan dari serangan pasukan Swedia. Di dalam benteng penuh sejarah itu juga berdiri katedral megah yang pertama didirikan di St. Petersburg. Sebuah katedral kuno yang kini dikenal dengan nama Paul & Peters. Tapi bukan itu yang ingin saya ceritakan, St. Petersburg merupakan kota tercantik di daratan Eropa dan menyimpan banyak sejarah. Di sepanjang sungai yang membentang sepanjang 2.428 km dan berlabuh langsung ke Teluk Finlandia, tumbuh juga pusat-pusat industri, pendidikan dan juga budaya masyarakat sekitar yang beragam. Pada 1914-1991 kota ini dikenal dengan nama Petrograd, namun berubah menjadi Leningrad pada masa Uni Soviet (1924-1991), sebuah nama yang disematkan untuk menghormati Vladimir Lenin, yang kita kenal dengan ajaran leninisme, yang banyak ”diharamkan” di negara-negara anti-komunis, termasuk di Indonesia. Kini, kota di tepi Sungai Neva ini resmi dikenal dengan St. Petersburg, namun penduduk sekitar lebih suka menyebut Leningrad. Di Petersburg berdiri bangunan-bangunan kokoh dan megah, ada dua istana terkenal seperti istana musim panas Peterhof, istana musim dingin Hermitage, serta Gereja Berdarah Nevsky Prospect. Kota terindah ini juga sudah dilengkapi sistem transportasi Metro di bawah tanah sejak tahun 1950-an dengan kedalaman 400 meter di bawah tanah. Saat berkunjung ke Benteng Paul & Peters, tepat di depan pintu masuk benteng, saya melihat bangunan seperti kubah masjid, jaraknya mungkin sekitar satu kilometer dari pinggir sungai. Saya sempat bertanya kepada Emile, seorang pedagang ice cream di sekitar benteng. Tak seperti penduduk kebanyakan di Petersburg, Emile tak sungkan berbahasa Inggris dibanding kebanyakan orang Rusia yang lebih suka berbahasa Rusia daripada bahasa Inggris. ”Itu masjid terbesar di Petersburg,” ujar Emile. Tak salah, dalam benak saya ini mungkin yang disebut dengan Masjid Soekarno di Petersburg. Esok harinya, saya mengunjungi Masjid Soekarno, seperti yang ditunjukkan oleh Emile. Letaknya memang tak jauh dari Sungai Neva dan Benteng Paul & Peters, persisnya berada di Jalan Kroverkskiy prospekt, 7, St. Petersburg, 1900. Jika naik Metro (kereta bawah tanah), stasiun terdekat adalah Gorovska, sekitar 10 menit jalan kaki sudah sampai ke Mesjid Soekarno.
  • 28. 28 Dari dekat, masjid ini sangat indah sekali, diapit dua menara tinggi, masing-masing sekitar 49 meter, di tengah-tengah juga berdiri kubah setinggi 39 meter. Di Petersburg, ini satu-satunya masjid terbesar dan mampu menampung sekitar 5.000 orang jemaah. Saat salat Jumat, hampir seluruh muslim Petersburg melaksanakan ibadah salat Jumat di masjid ini. Tak terkecuali jemaah wanita, yang disiapkan tempat di lantai dua. Masjid dengan arsitek Nikolay Vasilyev ini mulai dibangun pada 1910, namun baru selesai pembangunannya secara keseluruhan pada 1921. Awalnya masjid ini memang dibangun untuk memperingati tahun ke-25 masa pemerintahan Abdul Ahat Khan di Bukhara. Saat itu komunitas muslim di Petersburg berjumlah delapan ribu orang dan saat ini jumlah muslim di Petersburg sudah berlipat-lipat karena banyaknya imigran. Vasilyev membangun masjid ini sesuai Gur e Amir, makam Temerlane di Samarkand. Cerita berubah, setelah pada 1917 kekuasaan Tsar (kaisar) di Rusia runtuh oleh rezim komunis Uni Soviet. Rezim yang tak toleran dengan agama ini, membuat Mesjid Agung Petersburg terbengkalai dan berubah fungsi menjadi gudang penyimpanan perlengkapan medis dan juga senjata, pada 1940 hingga 1956. Menurut cerita dari beberapa sumber, setelah 16 tahun terbengkalai fungsi masjid ini kembali berubah setelah kedatangan Presiden Soekarno yang ditemani putrinya, Megawati, ke Petersburg, pada 1955. Pada siang hari dalam lawatannya ke Petersburg (saat itu masih ibu kota Uni Soviet) untuk memenuhi jamuan di Kremlin atas undangan Presiden Rusia Nikita Kruschev, Soekarno sempat melintas di samping Benteng Paul and Peters, persis di samping Sungai Neva. Sebagai seorang insinyur, kita tahu benar, Soekarno memang gemar memperhatikan bangunan-bangunan kuno. Persis di depan jembatan Trinity Bridge, di dalam mobil yang dinaikinya Soekarno memperhatikan sebuah bangunan menyerupai masjid. Saat itu Soekarno sempat meminta sang sopir untuk berhenti dan mengantarnya ke bangunan tua tersebut. Namun, sesuai protokoler Soekarno tak diperbolehkan untuk turun dan kembali. ”Bangunan apakah itu?” tanya Soekarno. ”Itu dahulu berupa masjid, dan sekarang digunakan untuk gudang,” ungkap sang sopir menjelaskan secara detil. Sebagai seorang muslim, Soekarno sempat gelisah dengan fungsi Masjid Petersburg yang sudah berubah menjadi gudang. Padahal, bangunan masjid itu sangat kokoh, dindingnya yang dibuat khusus dari batu, dengan ukiran-ukiran yang khas, membawa kesan unik. Kualitas bangunan pun tak beda jauh dengan Katedral Paul & Peters yang berada di belakang benteng pertahanan Petersburg. Dua hari Soekarno berada di Petersburg, sebelum akhirnya dia terbang ke Moskow untuk melakukan pembicaraan tingkat tinggi, kerja sama bilateral antara Indonesia dan Soviet. Pada 1955, memang sedang bergejolak Perang Dingin, dan kita tahu bahwa posisi Indonesia sangat dekat sekali dengan Soviet. Bahkan hubungan kedua negara ini juga diikuti dengan kerja
  • 29. 29 sama berupa pengiriman ribuan mahasiswa ke Soviet berupa ikatan dinas, tak terkecuali pembangunan di Tanah Air juga dibantu oleh pemerintah Soviet. Dalam berbagai cerita, sampai di Moskow, Soekarno melakukan pembicaraan serius dengan Nikita Kruschev di Istana Kremlin terkait situasi blok dunia yang terpecah. Namun, sebelum pembicaraan serius dimulai, Kruschev memulai perbincangan ringan, ”Bagaimana kunjungan Anda ke Leningrad Mr. Presiden, apakah menyenangkan?” Kruschev membuka pembicaraan. Soekarno memang negosiator ulung, di luar dugaan dia bilang ”Rasanya saya belum pernah ke Leningrad,” katanya mengagetkan Kruschev. ”Mr Presiden memang pandai bertutur, apa ada yang salah dengan Leningrad. Bukannya kemarin jalan-jalan bersama sang putri (Megawati) di sana?” Sambung Kruschev. ”Kami memang berada di sana, tapi kami tidak ke sana, karena tidak diberikan kesempatan untuk menengok bangunan yang disebut masjid biru,” tutup Soekarno. Singkat cerita, dalam jamuan makan itu, sebagai seorang muslim dia menumpahkan kekecewaannya karena masjid digunakan untuk gudang dan dalam kondisi tidak terawat. Barangkali, benak Soekarno saat itu tahu benar Kruschev berat untuk mengabulkan permintaannya, agar masjid kembali difungsikan untuk ibadah umat muslim Petersburg, apalagi Soviet menerapkan ideologi komunis marxis secara tegas dalam bernegara. Namun sejarah menghendaki lain, tak sampai dua minggu setelah pertemuan itu, keluar perintah dari Kremlin, untuk kembali memfungsikan masjid biru Petersburg sebagai tempat ibadah umat muslim tanpa syarat apa pun. Rasa terima kasih muslim Petersburg tak terbayangkan, luar biasa dengan kelihaian diplomasinya, Soekarno bisa mengubah kebijakan sebuah negara adikuasa, meskipun bertentangan dengan dasar ideologi negaranya. Hingga saat ini, 700.000 dari 5 juta penduduk Petersburg bisa melakukan salat lima waktu dengan tenang di Masjid Biru Soekarno. Mesjid itu setiap hari ramai dikunjungi umat muslim, apalagi banyak imigran-imigran dari Timur Tengah yang mencari peruntungan di Petersburg, menambah semarak ibadah mereka. Kondisi bangunan pun sangat terawat dengan baik, bentuk bangunannya pun hampir mirip dengan Mesjid Kuba di Madinah Al Munawaroh. Dinding sekeliling bangunan berwarna biru dengan corak yang unik, penuh guratan cokelat, menambah sempurna estetika mesjid ini. Kembali ke sosok Soekarno, kebesarannya memang tak pernah pudar, bahkan pada peresmian Masjid Agung Moskow atau Moskovskiy Soborniy Mecat sempat dikenang. Kamis 24 September 2015, Presiden Rusia Vladimir Putin dan Duta Besar Indonesia untuk Rusia Djauhari Oratmangun sempat menyaksikan karisma Soekarno, saat diputar film dokumenter tentang kunjungan Presiden Soekarno ke Moskow. Kita berharap, Soekarno muda akan banyak lahir di tanah air dan mereka bisa membawa
  • 30. 30 harum bangsa. Kita harus yakinkan, Soekarno bisa menjadi inspirator bagi pemimpin- pemimpin kita. Sebagai bangsa besar, Indonesia memiliki posisi strategis dalam agenda dunia. Selayaknya, Indonesia mengambil peran strategis, dan para pemimpin kita harus belajar kepada Soekarno seperti ”diplomasi Leningrad”. YADI HENDRIANA Wartawan MNC Media
  • 31. 31 Kebiri adalah Kegagalan Pemerintah 14-05-2016 Presiden beberapa waktu lalu membuat pernyataan agar penegak hukum menghukum pelaku kekerasan seksual dengan hukuman yang sangat berat, yang setinggi-tingginya agar memberikan efek jera. Pernyataan ini masih relevan karena sistem penghukuman kekerasan seksual saat ini, secara materiil maupun formil, belum memberikan keadilan bagi korban. Tapi sebagaimana yang dirilis berbagai media, Presiden menyampaikan, sesuai dengan hasil sidang kabinet terbatas, menyetujui disahkannya penghukuman dengan cara kebiri atau pemberian micro-chip kepada pelaku. Tentu selaku aktivis perempuan yang memiliki pengalaman mendampingi korban kekerasan seksual, saya menyesalkan keputusan ini. Sebab pemberian hukuman yang setinggi-tingginya dan bertujuan memberikan efek jera pada pelaku adalah hal yang berbeda dengan bentuk pengebirian atau pemberian micro-chip kepada pelaku. Produk hukum ini hanya akan menjadi bagian dari kegagalan pemerintah membangun sistem hukum yang utuh, tentang melakukan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Kekerasan Seksual dan Penyebabnya Kekerasan seksual telah menjadi fenomena yang akhir-akhir ini menjadi sorotan publik. Betapa tidak, hampir setiap hari kita disuguhi pemberitaan-pemberitaan mengenai maraknya kejadian kekerasan yang menjadikan organ seksual dan seksualitas sebagai objeknya. Hal demikian menjadi perhatian publik akhir-akhir ini setelah kasus yang dialami korban YY. Dengan maraknya peristiwa kekerasan seksual yang tidak juga memandang umur, tampaknya tidak juga berlebihan jika di salah satu televisi ditayangkan tagline “Darurat kekerasan seksual di Indonesia”. Hal ini menjadi pesan serius terhadap semua anak bangsa. Kekerasan seksual yang dahulu luput dari perhatian, sekarang telah berubah menjadi hal yang sangat menakutkan dan memilukan. Apakah ini fenomena baru? Saya pastikan tidak. Karena sekitar tahun 2000-an, aktivis perempuan Kota Jember mengatakan, wilayahnya menjadi kota pemerkosaan karena sangat tingginya kasus kekerasan seksual. Di sisi lain, upaya penegakan hukum tidak berjalan sebagaimana yang diinginkan. Data yang didokumentasikan Komisi Nasional Antikekerasan (Komnas) Perempuan atas kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 1998-2013 menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual berjumlah hampir seperempat dari seluruh total kasus kekerasan (400.939) atau sebanyak 93.960 kasus. Jumlah itu sama artinya dengan 35 orang setiap hari menjadi
  • 32. 32 korban kekerasan seksual. Selain itu kekerasan seksual juga bisa terjadi kepada siapa pun, di mana pun dan kapan pun. Data Komnas Perempuan menunjukkan kekerasan seksual terjadi di semua ranah, yaitu personal, publik, dan negara. Jumlah kekerasan seksual paling tinggi terjadi di ranah personal, yaitu 3/4 dari total kekerasan seksual. Di ranah personal artinya kekerasan seksual dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman, kakek), kekerabatan, perkawinan (suami) maupun relasi intim (pacaran) dengan korban. Banyaknya jumlah kasus di tingkat personal bisa jadi terkait dengan kehadiran Undang- Undang (UU) Nomor 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), yang telah disosialisasi secara meluas ke masyarakat. Selain itu didukung dengan bertambahnya lembaga pengada layanan yang dapat diakses oleh perempuan korban serta meningkatnya kepercayaan dan harapan korban pada proses keadilan dan pemulihan dengan melaporkan kasusnya. Pada saat bersamaan, informasi ini mematahkan mitos bahwa rumah adalah tempat yang aman bagi perempuan dan perempuan akan terlindungi bila selalu bersama dengan anggota keluarganya yang laki-laki. Kemudian berkaitan dengan kekerasan seksual di ranah publik, dalam rentan waktu 1998- 2013 terdapat 22.284 kasus. Kekerasan seksual di ranah publik berarti kasus di mana korban dan pelaku tidak memiliki hubungan kekerabatan, darah, atau pun perkawinan. Bisa jadi pelakunya adalah majikan, tetangga, guru, teman sekerja, tokoh masyarakat, atau pun orang yang tidak dikenal. Selain itu ditemukan pula pelaku kekerasan adalah aparatur negara dalam kapasitas tugas (1.561 kasus). Termasuk kasus di ranah negara adalah ketika pada peristiwa kekerasan, aparat negara berada di lokasi kejadian, tetapi tidak berupaya untuk menghentikan atau justru membiarkan tindak kekerasan tersebut berlanjut. Aspek Hukum Kekerasan Seksual Dari sisi yuridis, ada 3 aspek yang harus diperhatikan dalam memahami hambatan yang dihadapi korban. Ketiga aspek itu adalah aspek substansi, struktur, dan budaya hukum. Di tingkat substansi, sekalipun ada penegasan pada hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, berbagai jenis kekerasan seksual belum dikenali oleh hukum Indonesia atau pun pengakuan pada tindak kekerasan tersebut belum utuh. Dalam konteks pemerkosaan, hukum Indonesia hanya mengakomodasi tindak pemaksaan hubungan seksual yang berbentuk penetrasi penis ke vagina dan dengan bukti-bukti kekerasan fisik akibat penetrasi tersebut (KUHP Pasal 285, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 289, Pasal 291, Pasal 294). Padahal, ada banyak keragaman pengalaman perempuan akan pemerkosaan sehingga perempuan tidak dapat menuntut keadilan dengan menggunakan hukum yang hanya memiliki definisi sempit atas tindak pemerkosaan itu.
  • 33. 33 Di tingkat struktur, lembaga penegak hukum mulai membuat unit dan prosedur khusus untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual. Akan tetapi unit dan prosedur ini belum tersedia di semua tingkat penyelenggara layanan hukum dan belum didukung dengan fasilitas yang memadai. Di tingkat kultur atau budaya hukum, banyak aparat penegak hukum yang masih mengadopsi cara pandang masyarakat tentang moralitas absolut sebagai kausalitas dari adanya kekerasan seksual. Akibatnya, penyikapan terhadap kasus tidak menunjukkan empati pada perempuan korban, bahkan cenderung ikut menyalahkan korban. Pertanyaan seperti memakai baju apa, sedang berada di mana, dengan siapa, jam berapa merupakan beberapa pertanyaan yang kerap ditanyakan oleh aparat penegak hukum ketika menerima laporan kasus pemerkosaan. Pertanyaan semacam itu tidak saja menunjukkan bahwa tiadanya perspektif korban, tapi juga bentuk menghakimi korban. Bahkan menjadikan korban mengalami kekerasan kembali (reviktimisasi). Singkat kata, dalam konteks struktur dan budaya hukum, prioritas terhadap perlindungan korban belum sepenuhnya dilakukan. Hal ini mengingat dalam sistem hukum pidana, Indonesia masih menggunakan pendekatan penindakan terhadap pelaku semata. Berkaitan dengan aspek kultur (budaya), salah satu akar persoalan kesulitan penegakan hukum dan keadilan atas kekerasan seksual pada akhirnya dipahami bahwa sistem dan budaya hukum yang ada saat ini merupakan warisan budaya patriarki, yang masih menggunakan kosakata atau bahasa maskulin. Itu mengapa ada kendala untuk menyampaikan pengalaman-pengalaman para perempuan yang mengalami kejahatan seksual dan menerjemahkannya menjadi persoalan hukum negara. Louise du Toit menjelaskan lebih mendalam: “A public, shareable, political and moral language has not yet been found in which to name it—the large-scale sexual violation and rape of women and girls by men in this country—in a way that would make sense to women and men, rape victims and perpetrators, a language that could carry weight in a public- political, intersubjective setting.” (Saras Dewi, Kajian Filosofis tentang Kekerasan Seksual). Dengan kata lain, hukum di Indonesia belum sepenuhnya mengenali problem kekerasan seksual yang ada seperti yang disampaikan Du Toit, belum ada bahasa yang memadai untuk menceritakan kejahatan tersebut. Kosakata yang ada merupakan bentukan dari struktur yang tendensius diskriminatif terhadap perempuan. Dengan kondisi tersebut, dituntut adanya suatu politik hukum yang mampu memberikan pembaharuan terhadap sistem hukum yang ada (ius constitutum) menuju pada hukum ideal (ius constituendum) yang memberikan respons perlindungan dan keadilan kepada korban, menimbulkan efek jera dan mengubah perilaku kekerasan bagi pelaku, serta memberikan edukasi bagi masyarakat.
  • 34. 34 Singkatnya, pembaharuan hukum itu harus mampu membentuk sistem baru yang lebih melindungi perempuan. Baik dari sisi penegakan hukum maupun mendorong peran negara agar lebih bertanggung jawab terhadap upaya pemulihan korban dan pencegahannya di masa datang. Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Menurut WHO, kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perseorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak (Bagong S., dkk 2000) Sexual abuse meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut (seperti istri, anak dan pekerja rumah tangga). Selanjutnya dijelaskan bahwa sexual abuse adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial. Kekerasan seksual merupakan bentuk kontak seksual atau bentuk lain yang tidak diinginkan secara seksual. Kekerasan seksual biasanya disertai dengan tekanan psikologis atau fisik (Matlin, Margareth W, 2008: The Psychology of Woman). Kebanyakan survivor kekerasan seksual merasakan kriteria psychological disorder yang disebut post-traumatic stress disorder (PTSD). Simtom- simtomnya berupa ketakutan yang intens terjadi, kecemasan yang tinggi, emosi yang kaku setelah peristiwa traumatis. Hukuman Terapeutik Secara normatif pengaturan terkait kekerasan seksual terdapat pada UU Nomor 23/2002 jo Nomor 35/2014 tentang Perlindungan Anak Indonesia (PAI), lalu dalam UU Nomor 21/2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Dalam KUHP tidak dikenal istilah kekerasan seksual, tetapi ditemukan delik perkosa, cabul di Pasal 281 KUHP, delik pemerkosaan dan bentuk-bentuknya di Pasal 285-299 KUHP, Pasal 8 UU Nomor 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT). Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi: (1) pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; (2) pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu (Komnas Perempuan). Kekerasan seksual diterjemahkan sebagai setiap perbuatan melanggar martabat kemanusiaan seseorang, berdasarkan diskriminasi gender yang menjadikan tubuh dan seksualitas seseorang sebagai sasaran, yang berakibat atau dapat berakibat kerugian atau penderitaan fisik, psikis,
  • 35. 35 ekonomi, seksual, politik dan/atau sosial korban. Konsep ini oleh Komnas Perempuan diidentifikasi ada enam bentuk norma kekerasan seksual, yaitu pelecehan seksual, kontrol seksual, perkosaan, eksploitasi seksual, penyiksaan seksual, dan perlakuan atau penghukuman lain yang tidak manusiawi, yang menjadikan seksualitas sebagai sasaran atau merendahkan martabat kemanusiaan. Secara materiil, luasnya pemaknaan kekerasan seksual yang didasarkan kondisi faktual di atas, belum diatur dalam hukum yang saat ini ada. Di sisi lain, hukum formal yang tersedia dalam KUHAP dan aturan undang-undang khusus juga tidak memungkinkan melindungi korban mengakses keadilan. Persoalan lainnya adalah belum tersedianya sistem penghukuman yang tidak sekadar menghukum, tetapi memberikan efek jera kepada pelaku dan sekaligus mengembalikan pelaku sebagai manusia tetap bermartabat. Maka hukuman tidak sekadar menghukum fisiknya semata seperti rencana pemerintah yang akan menerapkan hukuman kebiri atau microchip. Memberikan efek jera harus dimaknai dengan mengembalikan pemahaman pelaku tentang bagaimana menghargai manusia lainnya, termasuk perempuan dan anak, tidak lagi memandang rendah, apalagi sampai mengondisikan dan memosisikan mereka sebagai sasaran kekerasan. Diperlukan sistem hukum terapeutik bagi pelaku dan pemulihan bagi korban. NINIK RAHAYU Anggota Ombudsman Republik Indonesia
  • 36. 36 Buah Hati 15-05-2016 Dalam ungkapan bahasa Melayu, anak adalah ”buah hati” bunda. Buah di mana-mana tumbuh dari pohonnya, merupakan kepanjangan atau ekstensi dari pohon, setelah melalui proses putik dan bunga. Ketika buah itu terlepas dari pohonnya pun, identitasnya tidak terlepas dari pohon induknya. Pohon pepaya ya membuahkan buah pepaya. Tidak ada pohon pepaya membuahkan pisang atau jambu, apalagi durian. Lain hal dengan sebutan ”permata hati” atau ”pujaan hati”. Ungkapan seperti itu bisa ditujukan kepada siapa saja, baik dari ibu terhadap anaknya, maupun dari anak terhadap ibunya, atau ayahnya, bahkan pacarnya. Seseorang yang menganggap orang lain sebagai permata akan menilai orang lain itu sesuatu yang indah, tak ternilai harganya, dan patut dipuja. Perasaan seperti itu bisa terjadi pada diri siapa saja terhadap siapa saja. Biasanya yang dijadikan permata itu dipuja, tetapi yang dipuja belum tentu dimaknai sebagai permata hati. Misalnya, orang bisa memuja Tuhan tanpa harus membuat Tuhan itu sebagai permata hatinya. Sebaliknya, seorang anak yang memandang ibunya sebagai permata hatinya biasanya dengan sendirinya memuja ibunya itu. Namun, singkatnya, antara ”permata” dan ”pujaan” hati ada persamaan, yaitu keduanya merupakan ekspresi dari emosi-emosi positif terhadap sesuatu yang ada di luar atau berasal dari luar diri kita sendiri. Sedangkan obyek ”buah hati” adalah bagian yang tumbuh dan berkembang (ekstensi) dari diri kita sendiri. Ibaratnya orang menambah paviliun dari rumahnya, paviliun itu adalah ekstensi dari rumah utama itu sendiri. Apa pun yang terjadi pada paviliun misalnya atap bocor dan sebagainya secara langsung atau tidak langsung akan berpengaruh pada rumah utama. Demikian pula, kalau si buah hati (anak) sakit, atau sedang senang bermain, ibunya juga ikut merasa sakit, atau bahagia. Lihat saja betapa seorang ibu sangat menderita ketika mendampingi anaknya yang sedang tergolek di rumah sakit, dan betapa lebar senyumnya ketika menemani anaknya sedang bermain perosotan di taman. *** Dalam teori psikologi kepribadian dari psikolog GW Allport (1897-1067), gejala ”buah hati” adalah salah satu simptom dari ”extension of the self”, yaitu gejala pertumbuhan dan perkembangan dari diri (self) yang tadinya terpusat dari ego sendiri, kemudian disambungkan
  • 37. 37 ke hal lain di luar dirinya. Memang waktu bayi baru dilahirkan, dia belum bisa membedakan mana yang dirinya mana yang bukan dirinya. Tetapi, ketika dia berumur 1-2 tahun, yaitu pada saat dia mulai bisa bilang ”tidak”, dia mulai sadar bahwa dirinya berbeda dari hal lain di luar dirinya. Cobalah pada umur-umur 1-2 tahun, hadapkan seorang anak ke cermin dengan noda (lipstik atau bedak) di hidung atau di pipinya. Lihatlah reaksinya. Kalau dia masih tidak peduli, masih usrek sendiri di depan cermin, dia belum bisa membedakan antara dirinya (wajahnya) dan bukan dirinya (noda). Tetapi, kalau dia sudah memperhatikan noda itu, dan menganggapnya sebagai benda asing, apalagi sudah mencoba menghapuskan noda dengan tangannya, itulah tandanya dia mulai bisa membedakan mana yang ”diriku” dan mana yang ”bukan diriku”. Untuk beberapa tahun ke depan, sampai ia remaja atau masuk usia dewasa muda, anak itu akan disibukkan dengan dirinya sendiri yang makin berbeda dari lingkungan di luar dirinya. Tetapi, dirinya itu masih terbatas pada jasad dan jiwanya sendiri saja. Dia belum bisa berbagi perasaan seperti seorang bunda dengan buah hatinya. Setakat ini anak baru bisa menemukan ”permata” atau ”pujaan” hati. Ketika seseorang menemukan sebuah permata yang dipujanya, ada perasaan ingin memiliki yang bersifat egois (mementingkan pribadi sendiri). Perasaan takut akan kehilangan permata yang dipuja itu akan berwujud misalnya dalam perilaku posesif seperti waktu anak muda pacaran, ketika dia banyak menuntut, banyak melarang, menelepon, atau SMS/WA tiap 30 menit untuk menanyakan, ”Kamu di mana?”, ”Lagi ngapain?”, ”Udah makan belum?”, ”Kamu bener tar ada yang jemput?” dan 1.001 macam pertanyaan dan sapaan enggak penting lainnya yang isinya sebenarnya adalah ikhtiar agar si pacar tetap dalam kontrol dia atau selalu jadi miliknya. Sebaliknya, memperlakukan buah hati jauh dari egoisme, bahkan justru egonya si anak yang lebih diperhatikan oleh orang tua. Kalau anak kedinginan misalnya ibu atau ayah rela melepas jaketnya sendiri untuk menambah kehangatan si anak walaupun si ayah atau si bunda sendiri kedinginan setengah mati. Menurut Allport, ekstensi dari self atau sering juga disebut ego ini adalah salah satu tanda dari kedewasaan (mature personality). Pada tahapan selanjutnya, ekstensi diri ini bisa berkembang bukan hanya kepada anak sendiri, tetapi juga kepada alam sekitar, kepada anak yatim, kepada organisasi, kampus atau perusahaan di mana dia bergabung atau bekerja, pada kelompok teman yang sehobi atau seminat atau pada apa pun yang lain. Tanpa ekstensi diri ini, menurut Allport, orang itu belum dewasa. Tetapi, hati-hati, suatu buah hati tidak otomatis selamanya menjadi buah hati. Pada suatu saat seorang ibu bisa menginginkan anaknya masuk rangking 10 besar di sekolah sehingga ibu ini memaksa anaknya les ini-itu sampai anaknya kelelahan untuk mencapai ambisinya sendiri. Di sini si buah hati sudah berubah menjadi permata hati. Namanya juga permata, tidak hanya
  • 38. 38 untuk dimiliki, tetapi juga untuk dipoles dan diproses sebegitu rupa sehingga tampak makin cantik dan makin elok untuk dipuja. Nasib si permata sendiri tidak dipikirkan lagi oleh si pemilik. SARLITO WIRAWAN SARWONO Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
  • 39. 39 Nabi Adam (2) 15-05-2016 Allah SWT memiliki al-Asma’ al-Husna atau nama-nama yang indah yang terdiri dari 99 poin. Nama-nama yang disandang-Nya itu sama sekali tidaklah arbitrer atau semena-mena sebagaimana yang banyak terjadi pada penamaan makhluk-makhluk-Nya. Daun, misalnya, sungguh tidak ada argumentasi ilmiah mengapa ia ditempeli dengan sebutan daun. Demikian pula awan, mendung, hujan, sungai, lautan dan sebagainya. Nama-nama-Nya yang indah itu tidak saja memiliki makna yang korelatif dengan kemahaan-Nya, tapi juga memiliki garapan yang sesuai dengan kecenderungan masing-masing. Bukan hanya beraneka ragam, di antara nama-nama yang sangat sakral itu juga ada yang bertentangan antara yang satu dengan yang lain. Al-Muntaqim (Yang Maha Menuntut Balas) jelas berseberangan dengan al-Ghaffar (Yang Maha Pengampun), al-Lathif (Yang Maha Lembut) jelas berlawanan dengan al-Mutakabbir (Yang Maha Sombong) dan sebagainya. Dari sini kita kemudian bisa memahami mengapa yang berlangsung dalam kehidupan ini tidak saja harmoni dan keserasian, tetapi juga pergesekan, friksi, pertikaian dan peperangan yang tidak kunjung usai. Dengarkan dengan saksama, kita akan menyimak gemuruh kehidupan ini sebagai melodi kolosal yang begitu rancak, menghentak-hentak, mengiris-iris hati, melenakan, memberikan pengharapan, sekaligus menenteramkan. Atau pandanglah kehidupan ini secara utuh dan jeli, kita akan menyaksikan karnaval paling raksasa dengan warna-warni tidak terhingga yang senantiasa gemerincing dan berdentam-dentam dengan lakon demi lakon yang tidak ada putusnya. Itulah realisasi penggarapan-penggarapan yang dimotori nama-nama-Nya yang sangat indah tersebut. Nah, ketika Allah SWT berkehendak untuk menyaksikan realisasi dari nama-nama-Nya sendiri pada suatu ciptaan yang sanggup menampung bersemayamnya substansi al-Asma’ al- Husna itu, diciptakanlah Adam oleh hadirat-Nya dengan “kedua tangan-Nya” sebagaimana termaktub dalam QS Shad ayat 75. Menurut Syaikh Muhyiddin Ibn ‘Arabi (1165- 1240) dalam kitab tafsirnya, yang dimaksud dengan kedua tangan Allah SWT itu tak lain adalah sifat jamal dan sifat jalal yang disandang-Nya, yakni keindahan dan keagunganNya, keperkasaan dan kelembutan-Nya. Kedua sifat itu juga mencakup nama-nama hadirat-Nya yang berhadap-hadapan atau berlawanan. Hal itu dimaksudkan agar kedua sifat yang pokok bagi Allah SWT juga tertanam dalam diri Adam dan siapa pun dari kalangan keturunannya yang sanggup menjaga warisan- warisan spiritual leluhur umat manusia itu. Andaikan Adam hanya diciptakan dengan tangan
  • 40. 40 keagungan-Nya semata, tentu beliau tidak akan sanggup untuk melepas seutas senyum pun sebagaimana yang dialami Malaikat Malik, si penjaga neraka. Begitu pun seandainya beliau diciptakan hanya dengan tangan keindahan-Nya belaka, tentu beliau tidak akan mampu untuk marah walau hanya sekali sebagaimana yang dirasakan Malaikat Ridwan, si penjaga surga. Dengan melibatkan kedua tangan-Nya dalam penciptaan Adam, maka si Abul Basyar itu tidak saja berarti dianugerahi kemampuan dalam menampung nama-nama-Nya yang lain. Akan tetapi, beliau juga dijadikan layak untuk mengejawantahkan kehadiran-Nya dengan mengimplementasikan nama-nama itu secara keseluruhan dalam sikap dan sepak terjang kehidupannya. Adam dengan demikian bisa disebut sebagai realisasi dari gumpalan nama-nama-Nya atau bahkan malah sebagai miniatur dari dimensi lahiriah-Nya sendiri. Cermin semesta bagi Ilahi menjadi terang-benderang karenanya. Itulah tafsir Syaikh ‘Abdul Qadir Jailani (wafat pada 1166 M) terhadap sebuah hadis Nabi Muhammad Saw: “Almu’minu mir’atul mu’min.” Yakni, orang yang beriman adalah cermin bagi Allah yang memberikan rasa aman. Dengan dimunculkannya Adam, nama-nama Allah SWT yang semula menggigil di dalam kegaiban zat-Nya kemudian menjadi sedemikian gamblang terhadap hadirat-Nya sendiri. Penglihatan Allah SWT terhadap realitas nama-namaNya sendiri sama sekali tidaklah sama dengan pengetahuan-Nya terhadap nama-nama tersebut. Karena pengetahuan-Nya benar- benar azali sekaligus abadi yang tidak memerlukan adanya pengejawantahan dan kehendak terlebih dahulu terhadap obyek-obyek yang diketahui-Nya. Alam semesta itu kini, dengan Adam yang merupakan fokus kejernihan cermin-Nya, tampil sebagai salah satu nama-Nya, yaitu azh-Zhahir sebagaimana yang diisyaratkan oleh hadiratNya sendiri dalam Quran surat al-Hadid ayat 3: “Huwal awwalu wal akhiru wazh- zhahiru wal-bathin.“ Lantaran itulah, dengan ketegasan dan kecermatan spiritual dapat dipastikan bahwa perbuatan-perbuatan Allah SWT dan sifat-sifatNya itu akan senantiasa begitu gamblang mengejawantah pada seluruh partikel dari alam ciptaanNya, terutama pada kehidupan orang-orang beriman. Maka suatu hal berikutnya menjadi pasti: seluruh isi semesta ini merupakan seabrek jalan ruhani yang bisa dipakai oleh setiap salik (penempuh lorong spiritual) untuk menyusuri “alamat-Nya.” Wallahu a’lamu bish-shawab. KUSWAIDI SYAFI’IE Pengasuh Pondok Pesantren Maulana Rumi, Sewon, Bantul, Yogyakarta.
  • 41. 41 Moral Permisif dan Aborsi Ilegal 17-05-2016 KORAN SINDO (11/5) memberitakan tentang praktik aborsi ilegal yang dilakukan di Klinik Budi Mulia, Kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara. Praktik aborsi ilegal ini terbongkar setelah petugas Kepolisian Daerah Sumatera Utara melakukan penggerebekan di klinik tersebut. Polisi telah menetapkan dua dokter, seorang bidan, dan seorang pasien sebagai tersangka. Ketika diinterogasi oleh penyidik kepolisian, dua dokter itu (sekaligus pemilik klinik) mengaku bahwa kliniknya telah beroperasi selama 15 tahun dan dalam setahun melakukan 30 kali aborsi ilegal. Tarifnya dipatok sampai Rp2,5 juta per aborsi. Penyidik kepolisian memeriksa 15 bungkus plastik yang ditemukan dalam septic tank klinik. Penyidik kepolisian terus mendalami kasus ini dan tidak mempercayai begitu saja pengakuan tersangka tentang jumlah aborsi yang telah mereka lakukan. Penyidik memperkirakan, dua dokter itu telah melakukan aborsi ilegal lebih dari angka yang mereka sebutkan. Terbongkarnya praktik aborsi ilegal di Klinik Budi Mulia, Kabupaten Deliserdang, menambah daftar panjang praktik aborsi ilegal yang situasinya sangat memprihatinkan di negeri ini. Hampir bersamaan waktunya dengan kasus aborsi ilegal yang terjadi di Klinik Budi Mulia, terbongkar pula praktik aborsi ilegal di sebuah rumah sakit di Bekasi, Jawa Barat. Aborsi ilegal sudah dilakukan di berbagai kota di negeri ini dan terjadi dalam kurun waktu yang panjang. Tidak diragukan lagi, ada korelasi antara moral permisif (permissive morality) dan praktik aborsi ilegal. Akibat moral permisif, terjadilah hubungan seks di luar nikah, janin yang dikandungnya tidak ingin dilahirkan karena dirinya malu atau malu mempunyai anak jadah, dan ditempuhlah jalan pintas dengan cara aborsi ilegal. Dokter yang mau melakukan praktik aborsi ilegal juga bermoral permisif, melanggar etika kedokteran, dan melanggar sumpah jabatan demi fulus atau uang. Walaupun tidak legal, dokter tersebut mau mengaborsi janin yang ada dalam kandungan pasiennya. Tanpa alasan medis, praktik aborsi di Indonesia dinyatakan ilegal dan pelakunya bisa diproses hukum. Di Barat praktik aborsi sepenuhnya dinyatakan legal dan orang yang menentang dinyatakan sebagai kriminal. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 1998 melaporkan kira-kira 4,2 juta aborsi dilakukan di Asia Tenggara dengan rincian data sebagai berikut: 1,3 juta di Vietnam dan Singapura, 750.000-1,5 juta di Indonesia, 150.000-750.000 di Filipina, dan 300.000- 900.000
  • 42. 42 di Thailand. Dengan demikian, berdasarkan data WHO tersebut, tingkat aborsi di Indonesia (750.000-1,5 juta) menduduki peringkat pertama di Asia Tenggara. Situasi ini sangat serius dan sekaligus sangat memprihatinkan. Ironis! Di negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia justru tingkat aborsi menempati peringkat tertinggi di Asia Tenggara. Keadaan ini sudah pasti perlu kita tanggulangi secara serius agar tidak bertambah parah. *** Tidak dapat diragukan, kultur permisif (permissive culture) dan moral permisif menyumbang besar bagi praktik aborsi. Aborsi telah terjadi dalam skala yang tinggi dan luas, baik di Barat maupun di Timur. Fakta ini sudah pasti sangat memprihatinkan semua pihak, terutama para orang tua, pendidik/guru, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan para moralis. Sejauh menyangkut masyarakat Indonesia, kita harus mengambil langkah dan upaya untuk mencegah meluasnya moral permisif dan aborsi ini agar keadaannya tidak semakin parah. Upaya yang harus kita lakukan secara edukasional, moral, kultural, dan sosial antara lain sebagai berikut. Pertama, pendidikan keagamaan harus ditingkatkan pada semua jenjang, baik pendidikan formal maupun pendidikan non-formal. Perilaku baik dan buruk sebenarnya merupakan cerminan dari kualitas keagamaan. Kualitas keimanan dan keagamaan yang baik akan dapat mencegah seseorang atau kelompok masyarakat dari segala perilaku moral permisif, aborsi, dan perbuatan amoral dan asusila yang lain. Keimanan kepada Tuhan dan kepercayaan agama yang solid akan menjadi benteng yang kukuh dan tameng yang kuat terhadap segala perilaku moral permisif. Kedua, para orang tua, guru-pendidik, agamawan, tokoh masyarakat, dan moralis dalam lingkungannya masing-masing hendaknya terus melakukan pembinaan dasar-dasar moral terhadap anak-anak, generasi muda, dan masyarakat pada umumnya. Keteladanan moral yang baik dari para pemuka dan tokoh masyarakat (termasuk aparat pemerintah dari tingkat pusat sampai ke daerah) hendaknya selalu diberikan kepada anak-anak, generasi muda, dan masyarakat. Karena mereka menjadi panutan masyarakat dalam perilaku moral. Ketiga, pemerintah (dengan semua aparat keamanan dan aparat penegak hukumnya) hendaknya dapat melaksanakan kebijakan strategis yang bertujuan untuk menanggulangi dan mencegah perilaku moral permisif dan aborsi. Semua aparat pemerintah dari pusat sampai ke daerah (bersama semua lapisan masyarakat) hendaknya selalu bersungguh-sungguh dalam menegakkan kebijakan tersebut. Dalam hubungan ini, UU Pornografi yang telah dikeluarkan dan diterapkan di Tanah Air hendaknya dilaksanakan secara konsisten dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan pornografi karena pornografi dapat melicinkan jalan ke moral permisif yang dapat mendorong terjadi aborsi. Keempat, majelis-majelis agama dan organisasi-organisasi sosial keagamaan hendaknya memikul tanggung jawab moral bersama dalam memberikan tuntunan, bimbingan, dan pendidikan keimanan-keagamaan di lingkungan komunitasnya masing-masing dalam rangka
  • 43. 43 mencegah moral permisif dan aborsi. Dengan memakai pendekatan keagamaan, kultur permisif dan moral permisif yang melicinkan jalan ke praktik aborsi dapat dicegah. Kelima, organisasi-organisasi dakwah (baik yang bernaung di bawah organisasi-organisasi sosial-keagamaan maupun yang independen), majelis-majelis pengajian dan majelis-majelis taklim hendaknya terus melakukan pembinaan moral dan akhlak secara lebih intensif di lingkungan jamaahnya masing-masing. Upaya demikian sudah barang tentu dapat memberikan kontribusi positif yang sangat besar dalam mencegah perilaku moral permisif dan aborsi. Keenam, sebagai masyarakat yang beriman dan beragama, semua elemen masyarakat Indonesia hendaknya memperkokoh pilar keimanan dan memperkuat sendi keberagamaan dalam menghadapi moral permisif dan budaya permisif. Budaya dan moral permisif sebenarnya merupakan budaya dan moral yang lepas dari nilai-nilai keimanan dan keagamaan. Dengan benteng keimanan yang kokoh dan dengan tameng keberagamaan yang kuat, segala bentuk budaya dan moral permisif (termasuk aborsi ilegal) dapat dicegah dan ditangkal. FAISAL ISMAIL Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
  • 44. 44 Stop Bullying Sejak Dini 17-05-2016 Kasus bullying kembali mencuat. Kali ini bullying terjadi di SMA di Jakarta. Sebuah video beredar terdapat beberapa siswi SMA disiram, disuruh merokok, dan dipaksa memakai bra di luar seragam oleh siswa senior. Kasus ini menjadi fakta bahwa bullying masih mengakar dalam dunia pendidikan dan sekaligus dapat menjadi trigger untuk percepatan penerbitan peraturan presiden (perpres) tentang pencegahan kekerasan di satuan pendidikan. Bullying merupakan fenomena gunung es. Data bullying yang ada sejatinya belum merepresentasikan masalah yang sesungguhnya. Faktanya, kasus bullying masih banyak terjadi baik di sekolah negeri maupun swasta, baik sekolah di perkotaan maupun di desa. Fatalnya, kasus bullying yang seringkali terjadi selalu terwariskan dari generasi ke generasi dan kurang terpantau oleh guru, bahkan orang tua. Kasus bullying bukan hanya terjadi pada jenjang SMP dan SLTA. Dari sejumlah data dan pantauan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), bullying terjadi pula pada jenjang anak usia dini. Pada usia inilah, kasus bullying kurang mendapat perhatian lebih karena dianggap hal yang wajar. Anak usia dini yang pasif, kurang bisa bersosialisasi dan cenderung mengalah, umumnya rentan menjadi korban bullying. Namun, kondisi ini seringkali lepas dari perhatian orang tua, guru, bahkan orang sekitar. Dari sisi norma, Indonesia dapat dikategorikan sebagai negara yang memiliki komitmen besar bagi perlindungan anak. Undang-Undang (UU) Nomor 35/2014 atas Perubahan UU Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 9 ayat 1 secara tegas menyatakan (a), ”setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain”. Meski secara normatif negara telah menunjukkan komitmennya, beragam permisivitas bullying masih terus terjadi dengan berbagai variasi dan polanya. Kompleksitas Bullying Data pengaduan KPAI pada 2015 menunjukkan anak korban kekerasan sebanyak 127 siswa, sementara anak menjadi pelaku kekerasan di sekolah 64 siswa. Anak korban tawuran 71 siswa, sementara anak menjadi pelaku tawuran 88 siswa. Di pihak lain, hasil riset global Ispsos bekerjasama dengan Reuters menempatkan kasus bullying sebagai masalah serius. Sebanyak 74% responden dari Indonesia menunjuk Facebook sebagai media tempat terjadi cyber bullying. Korban cyber bullying umumnya anak usia sekolah. Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW) melaporkan
  • 45. 45 bahwa terdapat 84% anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Angka tersebut lebih tinggi dari tren di kawasan Asia yakni 70%. Menurut penelitian Universities of Oxford, Warwick, Bristol, dan UCL, anak-anak yang sering di-bully baik oleh temannya maupun saudaranya sendiri berpotensi dua kali lebih besar mengalami depresi saat dewasa nanti. Selain itu, mereka juga berisiko dua kali lipat melakukan penganiayaan terhadap diri sendiri. Dampak dari bullying sangat besar apabila dilakukan oleh saudara sendiri daripada oleh orang lain. Dari pengakuan anak korban bully oleh saudara mereka beberapa kali seminggu, dua kali lipat lebih besar mengalami depresi hingga 12,3%, kecemasan 16%, dan 19% kemungkinan menyakiti diri sendiri. Mencegah Bullying pada Anak Maraknya kasus bullying yang menjadi tradisi membutuhkan upaya serius dari berbagai elemen bangsa. Tokoh agama, tokoh masyarakat, perguruan tinggi, organisasi profesi, serta paguyuban berbasis masyarakat perlu terlibat aktif sebelum terjadi kasus, bukan sebaliknya. Orang tua, lingkungan sekitar, dan tenaga pendidik perlu melakukan langkah antisipatif agar anak tidak menjadi korban dan pelaku bullying. Berikut tips yang perlu dikembangkan. Pertama, selalu waspada terhadap perilaku yang tidak biasa. Meski tak memiliki gejala yang sama, secara umum ada keluhan seperti sakit perut, khawatir, ketakutan, tidak mau ke sekolah, mudah marah, gampang tersinggung, membangkang, atau ada perubahan dalam tidur dan nafsu makan, merupakan pertanda ada masalah. Bisa kemungkinan bullying atau ada masalah lain yang perlu didalami lebih jauh. Kedua, jadilah role model positif bagi anak. Menurut teori belajar Bandura, yang dikenal sebagai social learning (belajar sosial), anak belajar dari meniru ihwal yang dilakukan orang lain. Pendek kata, lingkungan adalah faktor penting yang memengaruhi perilaku. Jika anak dibesarkan di lingkungan permisif dengan bully, berpotensi anak melakukan hal yang sama. Pola asuh orang tuanya dan orang terdekat seperti kakak, kakek, nenek, pengasuh, dan orang sekitar yang sering berinteraksi dengan anak bisa menjadi stimulus. Maka itu, jadilah model perilaku yang tepat dan terbaik untuk anak. Ketiga, ajarilah anak apa makna menjadi teman baik. Tidak sedikit orang tua menyerahkan proses berteman anak secara alamiah, namun kurang mengenalkan nilai bagaimana berteman dengan baik dan apa manfaat berteman jika dilakukan dengan cara baik. Di antara skill berteman yang perlu ditumbuhkan pada anak adalah melatih kemampuan pengelolaan emosi, melatih anak bertemu sikap teman yang berbeda, serta melatih keterampilan sosial. Anak belajar mendengarkan sekaligus belajar berbicara. Anak belajar menyetujui sekaligus menolak ajakan teman secara efektif. Keempat, jadikan rumah sebagai surga yang aman bagi anak seusai jam sekolah. Jadikan rumah sebagai surga bagi penghuninya. Lingkungan keluarga yang mendatangkan rasa aman dan nyaman, tanpa ada muatan kekerasan/diskriminasi dalam bertutur kata, bersikap, dan
  • 46. 46 bertindak adalah lingkungan terbaik. Tempat kembali dari aktivitas, untuk sama-sama menjadi pribadi yang saling menghargai dan saling melindungi, saling memahami, saling berbagi informasi, saling belajar, dan tak akan berhenti berlatih menjadi lebih baik. Inilah oleh Peter Senge disebut sebagai mastery learning (belajar tuntas). Kelima, manfaatkan televisi sebagai media sarana belajar dan lindungi anak dari tayangan/hiburan/pemberitaan yang bermuatan kekerasan. Saat ini televisi belum semua acara TV memberikan jaminan aman bagi tumbuh kembang anak. Dampingi anak, pilihkan acara yang tepat untuk mereka dan jika ada tayangan bermuatan kekerasan, jelaskan secara tepat untuk tidak mencontoh perilaku tersebut. Tumbuhkan literasi anak agar mampu memilih dan memilah acara yang terbaik sesuai fase perkembangannya. Keenam, jadilah pendengar yang baik untuk anak. Kesibukan kerja terkadang membuat orang tua mengabaikan cerita-cerita anak. Ada baiknya luangkan waktu sejenak untuk mendengarkan cerita, curhat, usulan, atau pandangan anak. Jauhkan kesan menghindar dari anak untuk menyampaikan cerita apalagi tertutup. Dengan menjadi pendengar yang baik, anak menjadi nyaman untuk mengungkapkan sesuatu serta membiasakan anak mendialogkan dengan orang tua jika ada ihwal yang terjadi pada diri anak, termasuk kemungkinan menjadi korban atau pelaku bully. Semoga...! SUSANTO Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia
  • 47. 47 Tari dan Lakon 19-05-2016 Pesta seni tahunan di Institut Seni Indonesia Surakarta akhir bulan lalu menampilkan tema pokok: Menyemai Rasa Semesta Raga. Pesta itu berupa menari selama 24 jam, dua hari, berturut-turut tanpa henti. Kelompok seni tari dari Institut Seni di berbagai daerah turut ambil bagian. Kekayaan seni tari seluruh Nusantara— itu pun kelihatannya belum mewakili semua kelompok yang ada—membuat suasana pesta menjadi begitu meriah. Dalam acara tahunan, yang kini sudah memasuki tahun ke-10 itu, penampilan tiap kelompok tidak dimaksudkan untuk mencari juara satu. Tiap kelompok hadir hanya untuk menampilkan suasana nasional yang “guyub”, rukun, dan berkesenian secara semarak. Seni membuat hidup terasa lembut, feminin, dan ramah. Berbagai kelompok yang hadir dari seluruh pelosok Tanah Air itu hadir karena masing- masing merasa perlu untuk hadir. Beberapa kelompok yang bersemangat sudah memesan tempat penginapan hampir setahun sebelum acara berlangsung. Pesta besar itu membuat tempat menjadi benda ekonomi yang mahal. Mereka yang terampil mengantisipasi keadaan bisa memperoleh tempat yang mereka inginkan di lingkungan kampus: posisi strategis, dekat pusat kegiatan, tanpa transportasi tambahan, murah dan leluasa untuk memilih acara mana, atau agenda apa untuk diikuti. Acara 24 jam menari itu berarti dalam 24 jam itu para seniman menciptakan kelembutan, dan suasana kejiwaan yang “ning“, “tintrim“, dan damai. Di kampus itu tak terdengar teriakan, makian, atau kejengkelan seperti di dalam suatu keramaian politik. Iringan lembut suara gamelan membikin jenis garis bawah yang menandai kelembutan ekspresi kejiwaan yang dalam, yang diolah dengan tertib, dengan dukungan gerak raga yang teratur, berpola, dan estetis. Inilah mungkin yang diungkapkan dalam tema: Menyemai Rasa Semesta Raga yang sudah disebut di atas. Raga itu utusan rasa. Raga hanya “manut“, dan taat pada dorongan gerak yang diperintahkan rasa. Gerak itu dari waktu ke waktu kelihatannya “itu-itu” saja, statis dan pakem. Tapi, sebenarnya mungkin tidak. Demi kebutuhan estetika dan kematangan jiwa seorang penari maka gerak memperoleh kemungkinan untuk berkembang. Kreativitas seni membuat gerak menjadi bukan hanya dinamis, tapi penuh pemaknaan. ***