Teks tersebut membahas tentang godaan-godaan duniawi seperti kekuasaan, materi, dan seksual serta cara menghadapinya. Teori-teori agama seperti Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha menekankan pentingnya mengendalikan diri dan bertanggung jawab atas perbuatan sendiri.
1. Bahasan: menahan dan mengendalikan tubuh
Teori: menghadapi berbagai godaan
A. DAYA TARIK DUNIAWI
Manusia hidup di dalam dunia yang begitu banyak daya tariknya. Inilah godaan besar bagi
manusia, yang entah darimana pun datangnya, jelas tujuannya mau menguasai dan merusak
kehidupan manusia. Bahaya bagi orang beriman apabila dia tidak bisa mengambil jarak yang
tepat terhadap dunia, terlebih lagi kalau memandang dan memperlakukan dunia sebagai hal yang
utama dan segalanya baginya. Apa yang dkatakan disini bukan dimaksudkan agar membenci
dunia dan merusak segala daya tariknya. Yang mau dikatakan adalah agar kita tidak menjadikan
dunia ini, dengan segala daya tariknya dengan sebagai segalanya bagi kita, sehingga seluruh
perhatian dan perjuangan kita hanya terbatas untuk meraih kenikmatan sebanyak mungkin
dengan melupakan dasar dan tujuan luhur kita sebagai orang beriman. Kenyataan menunjukkan
bahwa akiba kenikmatan dunia ini, banyak orang malah jadi rusak, dan semakin jauh dari
hakekat keberadaan yang sebenarnya.
Walau ada banyak daya tarik yang merupakan godaan bagi manusia, namun pada bagian berikut
hanya disinggug 3 hal yang tergolong paling kritis dalam kehidupan seorang manusia. Tiga hal
yang dimaksud adalah : daya tarik kekuasaan, materi dan seksual.
1. Daya tarik kekuasaan
Memegang kekuasaan dan berkuasa atas orang lain adalah suatu kenikmatan, sehingga banyak
orang ingin memilikinya. Dengan berkuasa atas orang lain, maka seseorang memiliki peluang
untuk bisa memaksakan kehendaknya, mudah memperoleh kehormatan dan sikap tunduk dari
orang yang dikuasainya. Pada tahap yang lebih memprihatinkan, dengan kekuasaan yang ada di
tangannya, seseorang mampu memperlakukan orang lain yang dikuasainya sesuka hatinya, untuk
memuaskan keinginannya. Inilah salah satu yang biasa disebut sebagai penyalahgunaan
kekuasaan. Penyalahgunaan kekuasaan ada banyak ragamnya, bisa demi memperoleh kekuasaan
yang lebih tinggi dan luas lagi, menguasi materi (korupsi), memaksakan kehendak,
menghancurkan lawan atau saingan, memperalat orang lain sebagai pemuas nafsu, dan
sebaginya.
Kekuasaa diperoleh seseorang atau juga sekelompok orang karena berbagai sebab. Bisa karena
jabatan, pengaruh, kekuatan (fisik dan nonfisik), kekayaan, pengetahuan dan ketrampilan
(keahlian). Bisa juga karena nama baik, keturunan, kelompok, prestasi, keberanian, kecantikan
atau ketampanan, bakat-bakat atau talenta yang dimiliki secara dominan. Diantara semua itu
biasanya yang paling dominan adalah jabatan dan uang. Orang yg memilikinya biasanya lebih
mudah untuk memiliki pengaruh dibidang-bidang lain. Kedua kekuatan itulah yang lebih banyak
menggoda dan mengarahkan orang pada penyalahgunaan kekuasaan. Tentu saja hal-hal lain
selain dua hal itu tetap berpotensi untuk penyalahgunaan kekuasaan.
Kekuasaan itu dalam dirinya sendiri tidaklah jelek, karena bagaimana pun kekuasaan merupakan
hal yg penting dalam kehidupan bersama. Kekuasaan diperlukan untuk memperjuangkan sesuatu
untuk meraih cita-cita kelompok dan pribadi, untuk mewujudkan harapan dan keinginan
bersama. Kekuasaan di perlukan untuk bisa mempengaruhi dan mengarahkan orang untuk
melakukan sesuatu sebagaimana di inginkan oleh pemegang kekuasaan atau kelompok yang
diwakilinya. Tanpa kekuasaan maka kelompok tidak mungkin ada, dan dengan demikian cita-
cita sulit di raih atau diwujudkan. Jadi yang salah disini bukanlah kekuasaan, melainkan orang
2. yang memegang kekuasaan itu. Kesalahan terjadi karena orang menyalahgunakan kekuasaan
yang ada ditangannya demi kepuasaan egonya sendiri.
2. Daya Tarik Material
Kepemilikan materi merupakan satu daya ikat yang menguasai hati semua orang. Kita ingin
memiliki sesuatu, ingin memiliki apa yang kita lihat dimiliki oleh orang lain, oleh tetangga, oleh
lingkungan dan sebagainya. Sering sekali keinginan kita melebihi dari sekedar keperluan,
sehingga banyak orang memiliki materi melebihi dari yang dia butuhkan. Akibatnya, menjadi
berlimpah, mubazir, dan tidak sedikit yang menjadi terlantar, karena tidak sanggup
menggunakannya, dan juga tidak memberikannya kepada orang lain yang lebih
membutuhkannya. Keinginan dalam hal kepemilikan materi sering bagaikan kehausan yang tak
pernah terpuaskan secara tuntas. Ketika sesorang sudah memiliki barang yang sebenerya masih
berfungsi dengan baik, tapi melihat produk baru yang sudah mulai dipasarkan atau sudah
dimiliki oleh orang lain, maka orang tadi mulai tertarik terhadap produk baru tersebut, dan
berjuang untuk memilikinya. Ketika dia telah berhasil memiliki produk baru tersebut (entah
bagaimana cara dia bisa memperolehnya), dia mulai tertarik lagi untuk produk yag lebih baru
lagi, yang modifikasinya jauh lebih baik dan lengkap dibanding dengan produk yang telah
dimiliki dia sebelumnya. Dan, begitulah seterusnya, jiwa manusia begitu mudah terbuka untuk
menginginkan sesuatu, walau sebenarnya dia tidak terlalu membutuhkannya. Jiwa konsumeritis,
keinginan untuk membelanjakan uang, membeli barang, merupakan masalah serius zaman kita
ini.
“ uang sangatlah dibutuhkan, tetapi bukanlah hal utama, apalagi segalanya”
3. Daya tarik seksual
Ini adalah bagian dari hedonisme (dari kata yunani hedeno = kesenangan, kenikmatan) yang
menyamakan kebaikan dengan kesenangan. Kaum hedonis menjadikan kesenangan atau
kenikmatan sebagai tujuan hidup dan tindakan manusia. Daya tarik seksual adalah daya tarik
yang mengarah pada hal-hal yang berkaitan dengan fisik-genetikal. Tidak dapat disangkal bahwa
daya tarik seksual adalah salah satu daya tarik insani yang melekat begitu mendalam dalam
kehidupan setiap orang. Justru karena daya tarik jenis inilah maka hubungan antara pria dan
wanita menjadi menarik, indah dan selalu baru. Namun hal yang indah itu telah banyak
disalahgunakan. Terjadi manipulasi seksual yang mereduksi makna hubungan seksual sebagai
tujuan dalam dirinya sendiri, dan bukan lagi sebagai ungkapan cinta personal, otentik dan sejati.
Ada banyak terjadi pelecehan seksual, perselingkuhan, yang dapat kita dengar dan lihat beritanya
melalui berbagai media. Bisa dipastikan bahwa penyelewengan seksual yang tidak terekspous di
media masa atau terungkap kepada orang lain, jauh lebih banyak dibandingkan yang terungkap
dan diketahui orang lain. Ada kesan bahwa memberantas berbagai praktek pelecehan dan
penyelewengan seksual merupakan sesuatu yang absurd, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan.
Padahal kalau kita memahami makna seksualitas dengan moralitas keagamaan, maka manusia
sesungguhnya bisa menempatkan masalah seksualitasnya pada pengungkapan dan penghayatan
yang tepat.
“Hidup terbentuk dari dalam ke luar. Bagaimana saya didalam, menentukan perihal-perihal
dalam perjuangan hidup saya” ( William Hornadai)
3. B. Menghadapi Berbagai Godaan
Sebagai orang beriman kita harus mampu melepaskan diri dari kekangan dunia, yang hanya
mengejar kenikmatan dan kekuasaan. Kita tidak boleh membiarkan diri terbelenggung oleh
berbagai keinginan yang jelas-jelas semakin menjauhkan kita dari pengenalan akan Allah dan
kehendak-Nya. Kita harus tetap menjadi subyek dan bukan objek dari berbagai kemajuan dan
perkembangan yang terjadi di dunia ini. Kita bertindak sebagai subjek ketika kita pengambil
posisi atau menempatkan diri sebagai pengendali, dan bukan sebagai yang dikendalikan. Hal
yang penting untuk diwaspadai adalah godaan itu datang pada saat kita sedang lengah. Dan,
kenyataan banyak memperlihatkan bahwa orang jatuh dan terjerumus oleh godaan yang datang
bersamaan dengan masalah lain yang sedang dihadapi. Jiwanya yang sedang labil dan kacau
menyebabkan dia kehilangan kontrol atas keputusan dan tindakannya.
1. Memegang Kendali
Dalam menghadapi berbagai godaan dan daya tarik dunia ini, hal mendasar perlu kita tegaskan
pada diri kita adalah bahwa kita tetap sebagai pengendali dari berbagai perubahan yang ada,
khususnya dalam mengendalikan pengaruhnya pada diri kita. Dalam prakteknya hal ini jelas
tidak semudah seperti mengatakannya. Kita mengalami bahwa kita bagai tidak berdaya
menghadapi berbagai perubahan yang ada. Kita sepertinya dipaksa untuk menyesuaikan diri
dengan berbagai perubahan yang ada. Ketika dunia mendewa-dewakan kekuasaan, materi dan
seks, banyak dari kita juga seperti tidak punya pilihan lain kecuali menyesuaikan diri dengan
situasi yang sedang berlangsung. Maka terjadilah bahwa sebagai pemegang kendali berubah
menjadi yang dikendalikan. Padahal sebagai orang beriman, kita memiliki berbagai pegangan
yang seharusnya tetap menjadi pedoman dan kekuatan kita dalam menyikapi berbagai
perkembangan yang ada.
Dalam ajaran agama Islam dinyatakan bahwa suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang itu
adalah tanggungjawabnya sendiri. Barang siapa berbuat kebaikan, sebesar apapun perbuatan itu
maka dia akan mendapatkan imbalan dari perbuatan itu. Sebaliknya, barang siapa berbuat
kejahatan atau keburukan, sekecil apapun perbuatan itu, dia pasti akan merasakan balasan dari
perbuatan itu. (Az-zalzalah 7-8). “Dan bahwasanya seseorang yang berdosa itu tidak akan
memikul dosa orang lain. Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang
telah diusahakannya. Dan bahwasanya usaha itu kelak akan di perhatikan kepadanya” (An-Najm
38-40). Dalam literature theology Islam disebutkan bahwa ada theologi Qodariah dan teologi
Muktazilah, yang menyatakan bahwa manusia bebas memilih perbuatanya sendiri, karena Tuhan
telah menyerahkan semua perbuatan manusia itu kepada manusia untuk memilihnya, apakah
yang baik ataukah yang buruk. Yang baik akan mendapatkan imbalan kebaikan, sementara yang
tidak baik akan mendapatkan akibat yang tidak baik. Tuhan hanya minta pertanggungjawaban
atas perbuatan yang dilakukannya. Karena Tuhan itu Maha Adil, pasti akan memberikan imbalan
yang adil pula.
Ada teks-teks kitab suci agama Kristen yang juga mengajak umat agar bersikap kritis dalam
menjalankan hidupnya ditengah-tengah dunia ini. Surat rasul Paulus kepada umat di Roma
dengan tegas mengatakan: “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah
oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah, apa
yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Rom. 12:2). Dan, dalam suratnya
yang kedua kepada Timoteus, Paulus menandaskan lagi: “Tetapi kuasailah dirimu dalam segala
hal, sabarlah menderita, lakukanlah pekerjaan penderita Injil, dan tunaikalah tugas pelayananmu”
(II Tim.4:5). Penguasaan diri dalam segala hal harus menjadi pembawaan dan sikap yang selalu
4. tampak dalam diri setiap orng beriman. Dengan sikap seperti itu maka orang tetap sebagai
pengendalian hidupnya sendiri, sekaligus yang bertangungjawab atas pilihan tindakannya.
Dalam keyakinan agama Hindu dikenal adanya yang “reinkarnasi” dan dalam agama Buddha
disebut “tumimbal lahir”, yang berarti “lahir kembali”. Dalam kehidupan ini berlaku hukum
karma, yaitu hukum sebab-akibat perbuatan. Karma maksudnya adalah perbuatan dengan
kehendak. Dalam agama Buddha dikatakan bahwa sesuai dengan karmanya, mereka akan
bertumimbal-lahir, dan dalam tumimbal-lahirnya itu mereka akan menerima akibat dari
perbuatannya sendiri. Karena itu, Buddha menyatakan: “Semua makhluk adalah ahli waris dari
perbuatannya sendiri” (A.V, 291). Dengan keyakinan seperti ini diharapkan orang tetap kritis
dan penuh hati-hati dalam mnjalankan hidupannya. Dia harus bisa mengendalikan dan
menguasai dirinya, agar tidak terjerumus dalam keburukan, karena tahu bahwa hidupnya
selanjutnya sangat ditentukan oleh kehidupannya sekarang ini. Setiap orang adalah pelindung
bagi dirinya sendiri, dan mempuyai arah tujuannya sendiri (Dhp.380).
Dalam agama Hindu kita kenal kata Moksa, sebagai sebuah tanda jika seseorang itu sukses
dalam hidup, karena dia sudah tidak lagi terikat atau dikendalikan oleh harta dan dunia, dia
sudah bebas dari samsara atau kehidupan sekarang ini. Dalam agama Buddha dinyatakan
seseorang berasal sebelum terlahir di dunia. Tetapi dengan melihat dan memperhatikan nasib
seseorang, kita bisa memperkirakan bagaimana hidupnya terdahulu. Begitupun kita dapat
meramalkan kemana perginya seseorang setelah meninggal dunia. Mereka yang dicengkerem
kebencian, setelah meninggal dunia akan pergi ke neraka. Yang diliputi awidya
(kegelapan/kebodohan) dilahirkan ke tempat yang lebih rendah. Yang penuh kekeserakahan
dilahirkan sebagai hantu kelaparan. Manusia yang taat menjalankan panca-sila dan perbuatan
baik, kembali menjadi manusia. Yang telah mengembangkan kebijakan luhur, tahu malu dan
takut berbuat salah, akan pergi ke alam dewa. Sedangkan orang yang berhasil melaksanakan
semedi pengembangan ketenangan batin dengan memiliki jhana, akan terlahir di alam Brahman.
Orang yang berhasil melaksanakan semedi pengembangan pandangangan terang akan
merealisasi Nirwana. Manusialah yang mengendalikan semua perbuatan dan menentukan
pilihan-pilihan, perbuatan mana yang akan diambilnya. Manusia juga akan merasakan akibat dari
dipilihnya suatu perbuatan, apakah itu perbuatan baik atau tidak baik. Perbuatan yang baik akan
mengakibatkan karma yang tidak baik. Dan, itulah hakekat penderitaan. Untuk melepaskan diri
dari semua itu maka perlu pengendalian diri, dan memilih melakukan perbuatan-perbuatan baik.
“Satu-satunya orang yang benar-benar menguasai diri Anda adalah Anda sendiri”
(Robet Anthony)
2. Mengedepankan Rasio
Kalau dikatakan kita sebagai pengendali maka yang akan terutama dimaksudkan adalah bahwa
rasio atau pikiran kita berfungsi dengan baik. Keputusan penting yang kita ambil haruslah
terutama dikendalikan oleh pemikiran kita yang rasional. Kita mengakui bahwa perasaan
memegang peranan penting dalam menggerakan hidup kita, namun itu tidak cukup.
Pertanggungjawaban umumnya terletak pada rasio. Yang sebaiknya adalah, dorongan hati yang
digerakan oleh perasaan sebaiknya dipertimbangkan secara rasional sebelumnya ditindaklanjuti
dalam perbuatan. Sebaliknya, apa yang sudah diputuskan secara rasional perlu hati tergerak
untuk melaksanakannya, sehingga dapat terlaksana dengan baik dan tuntas.
5. Ada banyak hal yang dapat menyentuh perasaan kita, bahkan menggerakan hati kita. Sebuah
iklan atau reklame yang dirancang sedemikian rupa, dengan mudah bisa menimbulkan keinginan
orang untuk mencari tahu atau ingin mencoba sebagaimana yang diiklankan tersebut. Tidak
jarang reklame atau iklan yang sangat propagandaris dan menghasut dapat benar-benar
mengubah pikiran seeorang. Seseorang yang tadinya mengatakan “tidak” terhadap sesuatu
(produk atau jasa layanan lainnya) bisa berubah seketika ketika dia baru saja menyaksikan
sebuah iklan yang mempropagandakan hal itu. Sebelumnya kita tidak berkeinginan membeli
produk tertentu, berubah menjadi ingin sekali membelinya, hanya karna iklan yang sudah
sedemikian menggugah minat kehendak kita. Dengan rangkain kata-kata bujukan, dapat saja
memunculkan minat orang lain untuk mengikuti keinginannya, walau sebenarnya hal itu tidak
begitu diperlukan. Di sinilah pentingnya rasio, suatu wilayah dimana segala sesuatu yang masuk
dalam perasaan kita hendak dipertimbangkan dengan tenang, memikirkannya dengan matang
sebelum mengambil keputusan mau atau tidak, menerima atau menolaknya. Jadi, peranan
perasaan begitu besar dalam hidup kita, namun untuk hal-hal tertentu kita tidak boleh bertindak
hanya atas dasar perasaan. Mengambil waktu yang tenang sering dapat menolong untuk memberi
kesempatan kepada pikiran untuk berperan mempertimbangkan banyak hal, sebelum akirnya
sampai pada suatu keputusan yang dapat kita pertanggungjawabkan, terutama secara moral.
“Biarlah keinginnan-keinginan kita tunduk pada pikiran kita”
(Unknown)
3. Melawan dengan Iman
Sebagai orang beriman harus kita akui bahwa satu senjata ampuh yang kita miliki dalam
menghadapi berbagai godaan adalah iman kita sendiri. Justru dalam keadaan tertentu iman kita
harus dikedepankan. Rupa-rupa godaan, dengan berbagai daya tariknya, dapat dipandang juga
sebagai ujian bagi seberapa kuatnya iman kita. Godaan-godaan dalam dunia ini sering begitu
kuat, dan betapa orang kebanyakan tidak mampu melawannya. Mengapa? Ternyata semua
tantangan itu tidak bisa kita kalahkan hanya dengan kekuatan sendiri. Kita membutuhkan
bantuan Tuhan. Maka kita perlu semakin mematangkan iman kita, dan memohon bantuan Tuhan
agar kita dikuatkan oleh-Nya. Iman kita memberikan wawasan dan pertimbangan lain. Dengan
iman, kita dapat memaknai sesuatu dalam kaitannya dengan yang lain, sebagai yang utuh. Iman
yang kuat dapat membuat kita memiliki sikap yang jelas dan tegas dalam menghadapi sesuatu.
Juga dengan iman orang rela berkorban demi sesuatu yang nilainya lebih tinggi. Banyak hal
dimana seseorang tidak sanggup memahami, menerima, atau mengendalikan diri, namun iman
sering dapat menolong dan sesuatu beban batin yang dihadapinya, umpamanya kepergian
seseorang kekasih atau orang yang dicintainya. Namun dalam situasi sulit biasanya iman
berperan, memaknai sesuatu dalam kesatuannya dengan yang lain dalam kehidupan kita. Sering
dengan iman orang mampu keluar dari rasa putus asa, bahkan sebaliknya, orang mampu
menjadikan peristiwa yang dihadapinya (yang buruk sekalipun) sebagai moment untuk
mendekatan diri kepada Tuhan, sehingga akhirnya tetap keluar sebagai pemenang.
C. Saling Menjaga Satu Sama Lain
Kita tidak melihat diri hanya sebagai yang digoda. Pada sisi lain kita harus melihat diri kita juga
sebagai penggoda, yang menyebabkan masalah bagi orang lain. Masalah menahan dan
mengendalikan diri dimaksudkan untuk kedua hal ini, yakni untuk tidak tergoda dan juga untuk
tidak menggoda. Saling menjaga satu sama lain dimaksudkan terutama untuk tidak menjadi
6. penyebab bagi kejatuhan sesama. Hal berikut yang perlu diperhatikan adalah agar kita dapat
saling membantu mengatasi godaan yang sedang dialami oleh teman atau sesama kita.
1. Tidak Menyebabkan Jatuhnya Orang Lain.
Selain menahan dan mengendalikan diri agar tidak jatuh dalam godaan, baik yang datang dari
dalam diri kita sendiri maupun yang datang dari luar, kita juga perlu untuk mengambil sikap
yang tegas pada diri kita, yakni bahwa kita tidak mau menjadikan diri kita sebagai penyebab
jatuhnya seseorang. Kita menjadi penyebab celaka atau jatuhnya seseorang ketika kita dengan
sengaja, langsung atau tidak langsung, menggunakan kekuatan atau pengaruh kita untuk
menjerumuskan seseorang. Menghalangi seseorang untuk meraih kesempatan tertentu juga
merupakan tindakan menghancurkan orang lain. Begitu juga kita disebut salah ketika dengan
sengaja memberikan informasi yang keliru kepada orang lain, yang kita tahu bahwa ketika
informasi itu digunakan akan membawa akibat buruk baginya dan barangkali juga bagi orang
lain. Ada banyak hal di mana kita bisa menjadi penyebabab bagi jatuh atau tergodanya
seseorang. Betapa jahatnya kita apabila melakukan tindakan yang, selain menghancurkan
integritas diri kita sendiri, juga menghancurkan orang lain. Jadi, menahan dan mengendalikan
diri untuk tidak jatuh dalam godaan, sama pentingnya untuk tidak menjadikan diri kita sebagai
godaan yang menjatuhkan orang lain.
2. Saling Membantu Mengatasi Godaan.
Sebenarnya godaan-godaan yang dihadapi manusia dalam hidupnya sudah begitu umum,
sehingga satu sama lain dengan mudah bisa mengerti apabila sesamanya juga menghadapi
godaan yang sama. Artinya jenis-jenis godaan itu sudah sama-sama diketahui bersama, sehingga
dapat dikatakan sudah merupakan pengalaman bersama dalam hidup ini. Kalau orang sedang
puasa, sudah saling tahu godaan apa yang sering datang, kalau seseorang sedang kesepian atau
jatuh cinta, juga sudah sama-sama paham godaan apa yang sering muncul. Kalau orang lain
kehabisan uang, sementara kebutuhan semakin banyak, atau sebaliknya ketika orang semakin
banyak uangnya, sudah sama-sama bisa mengetahui godaan-godaan apa yang tepat muncul tanpa
diundang, dan sebagainya. Intinya, godaan-godaan dalam hidup manusia sudah diketahui secara
bersama-sama. Maka sebenarnya orang dapat berbagai pengalaman, dapat saling menguatkan
dalam mengatasi berbagai godaan yang sedang dihadapi, entah oleh diri sendri, oleh teman atau
sesama kita. Mengatasi godaan-godaan itu tidak memerlukan banyak uang, melainkan sikap hati
dan pikiran saja. Kita pasti pernah mengalami bagaimana hati dan pikiran kita menjadi terbuka
oleh bantuan teman, dan sebaliknya, membantu teman dengan membuka hati dan pikiran.
Artinya, bahwa kita bisa saling membantu dalam mengatasi godaan, merupakan sesuatu yang
dapat dilakukan. Hadirlah dikala teman sedang membutuhkanmu.
“Selalu ada cara yang terbaik untuk melakukan segala sesuatu,termasuk untuk keluar dari
godaan”
(Unknown)
D. Dari Pengendalian Diri Menuju Cinta
Menahan dan mengendalikan diri, tidak saja hanya supaya kita tidak binasa, melainkan juga
supaya kita semakin mampu mencintai, dan hidup seturut kehendak Tuhan. Semakin kita mampu
mengendalikan diri, membuat kita semakin mampu menghayati cinta, mampu berkorban dan
memberi kontribusi yang berlimpah pada kebaikan sesama. Makna dari menahan dan
mengendalikan diri bukan hanya sekedar agar diri sendiri selamat, bukan juga hanya sekedar
7. untuk tidak mencelakakan orang lain, dengan menjadi sumber godaan bagi mereka. Lebih dari
itu, kita hendaknya bisa menyelamatkan dan membahagiakan orang lain. Artinya, menahan dan
mengendalikan diri untuk tidak terjerumus dalam godaan, dan tidak menggoda orang lain,
berulah mencapai makna minimal (negatif) apabila kita berhenti sampai disitu. Makna maksimal
(positif) tercapai apabila keberhasilan kita menahan dan mengendalikan diri itu (tidak berbuat
dosa) membuat kita semakin berani dan mampu untuk mencintai. Jadi, dari pengendalian diri
menuju cinta. Semakin kita mampu mengendalikan diri, semakin kita mampu menghayati cinta.
Dengan menghayati cinta Tuhan, yang selalu dapat wujudkan dalam cinta kepada sesama dan
semua makhluk ciptaan-Nya, sebenarnya kita juga mencintai hidup kita sendiri.
1. Membebaskan Diri dari Hambatan
Segala godaan dalam hidup kita dapat kita sebut sebagai hambatan penghalang untuk berbuat
baik (mencintai dengan tulus). Maka ketika kita tidak mampu melepaskan diri dari kekangan
godaan-godaan itu, artinya terjerumus di dalamnya, maka kita sebenarnya sudah sudah
merupakan orang yang kehilangan kemampuan untuk mencintai. Diantara banyak penghambat
yang membuat kita tidak mampu untuk mencintai, kekangan paling serius dalam hidup manusia
adalah keterikatan hati dan pikiran pada harta. Maka tidak heran kalau teks-teks kitab keagamaan
sering berbicara keras mengenai hal itu. Ada satu nats Hadis menyatakan bahwa: Kalian itu
belumlah sempurna imannya sebelum kalian rela menyedekahan kepada orang lain harta yang
paling kamu cintai. Gara-gara ada Hadis tersebut, lalu pernah ada orang yang menyerahkan
kebun anggurnya kepada Nabi Muhammad, untuk kepentingan umat, karena dia takut jika
disebut orang yang tidak sempura imannya. Atau kisah lain, ketika seorang kaya bertanya kepada
Yesus, perbuatan baik apa yang haru kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal, sementara
saya sudah menjalankan perintah Allah. Kata Yesus kepadanya: “Dikalau engkau hendak
sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang miskin, maka
engkau akan beroleh harta di surga, kemudian datanglah kemari dan ikutlah itu”. Tapi, ketika
orang muda itu mendengar perkataan itu, pegilah ia dengan sedih, sebab banyak hartanya. (Mat
19:21). Orang bisa mencintai dengan tulus hanya dengan cara melepaskan keterikatan hati dan
pikiran dari segala egoisme dan cinta diri yang berlebihan. Dan sesungguhnya orang bisa
membebaskan diri dari keterikatan itu. Tapi masalahnya adalah, apakah orang mau
melakukannya atau tidak, dan apakah keinginannya itu diikuti oleh komitmen yang kuat atau
tidak.
“Memberi tidak harus mengasihi tetapi mengasihi selalu disertai dengan pemberian”
(Unknown)
2. Memusatkan Perhatian pada Sesama
Bagi orang yang masih terbelenggu oleh kekangan egoismenya akan sulit untuk mengalihkan
perhatiannya kepada orang lain Dia hanya terpusat pada dirinya sendiri, memikirkan dirinya dan
pemenuhan keinginannya secara tak terkendali. Hanya orang yang mampu melawan egoismenya
mampu keluar dari dirinya, untuk mengarahkan perhatian dan memberikan cinta yang tulus
kepada sesama. Hendaknya pernyataan-pernyataan di atas tidak di simpulkan bahwa kita tidak
perlu mencintai diri kita sendiri, bahkan lebih lagi, harus membencinya. Dalam mencintai diri
kita sendirilah kita belajar mencintai sesam. Yesus mengajarkan : “Cintailah sesamamu seperti
kau mencintai dirimu sendiri” (Markus 12:31) atau dikatakan dalam Hadis Nabi: “Tidaklah
sempurna iman kalian sebelum kalian mampu mencintai orang lain seperti mencintai dirimu
sendiri” (Hadis Riwayat Imam Bukhori). Buddha mengingatkan bahwa setiap orang menyayangi
8. dirinya masing-masing. Atas dasar itu orang yang mencintai dirinya sendiri tidak boleh
mencelakakan orang lain (Ud: 47) setelah membandingkan orang lain dengan dirinya sendiri,
maka hendaknya seseorang tidak melakukan sesuatu yang tidak ia inginkan perbuat oleh orang
lain terhadapnya. Tempatkan dirimu di dalam diri makhluk lain (Dhp. 129). Dalam character
building I dan II sudah ditegaskan juga bahwa sikap baik yang kita tujukan kepada sesama harus
merupakan ungkapan dari kenyataan bahwa kita bersikap baik pada diri kita sendiri. Karena kita
mencintai diri kita maka kita melakukan hal terbaik baginya, yakni menyempurnakannya yang
dicapai dengan menghayati cinta, sebagaimana Tuhan ajarkan. Dan cinta yang secara eksplisit
Tuhan ajarkan dalam cinta terhadap sesama. Intinya adalah: iman kita menganjurkan kita untuk
mencintai sesama, dan itulah yang kita laksanakan dengan penuh semangat. Inilah pembuktian
nyata bagi dunia bahwa kita benar-benar orang yang beriman.
“Semakin seseorang mampu mengendalikan dirinya mebuatnya semakin berani dam mampu
menghayati cinta.”