SlideShare a Scribd company logo
1 of 10
Download to read offline
Lampiran KESATU
Harmonisasi Kebijakan dan
Peraturan Perundangan
Sub Bab 1.1. Pendahuluan
Konflik perizinan
dan hak terjadi
atas klaim pada
areal yang sama
Keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi No: 45/PUU-IX/2011
terkait pengujian Pasal 1 angka 3 UU 41/1999 tentang
Kehutanan merupakan salah satu bukti bahwa pengaturan
keruangan termasuk khususnya kawasan hutan masih belum
optimal dan perlu disempurnakan. Tidak hanya berupa
sengketa agraria yang jumlahnya tercatat mencapai 1.918 kasus
(Sayogyo Institute, 2010), tetapi juga dalam bentuk tumpang
tindih dalam perizinan sektoral, yang jumlahnya tidak kalah
besar. Di Kalimantan, Sumatera, dan Papua saja tercatat
setidaknya ada 1.052 pemegang izin pertambangan yang
tumpang tindih dengan kawasan hutan hingga seluas 15 juta
hektar (Silvagama dalam FWI, 2011). Angka-angka tersebut
memberikan indikasi bahwa saling klaim terhadap kawasan
yang sama menjadi persoalan kronis. Mendukung fakta-fakta
[Renaksi Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan] 2
statistik tersebut, berbagai tumpang tindih peruntukan,
pemanfaatan dan penggunaan kawasan terjadi di berbagai
wilayah di Indonesia. Di Sumatera, konflik tenurial mencuat di
(baca: akibat) konsesi HTI Toba Pulp Lestari di Sumatera Utara,
PT Wira Karya Sakti di Jambi, PT RAPP di Pulau Padang dan
Semenanjung Kampar, Riau, PT SIL di Lampung (DKN, 2011).
Konsesi pengusahaan hutan Finantara Intiga seluas 299.700 ha
di Kalimantan Barat, tumpang tindih dengan setidaknya 160
kampung (WG Tenure, 2005). HPH Austral Byna Kalimantan
Tengah yang memiliki konsesi seluas 294.600 ha di Kalimantan
Tengah tumpang tindih dengan puluhan konsesi, baik
perkebunan sawit, perkebunan karet, maupun pertambangan
batubara. Di kawasan tetangganya, perkebunan sawit PT
Antang Ganda Utama pun berkonflik dengan masyarakat
karena saling klaim pada kawasan yang sama (FWI, 2011).Data
yang dihimpun Kementerian Kehutanan (2012) menunjukkan
terdapat 17 tipologi konflik penggunaan lahan dan kawasan
hutan yang terkait dengan pelaksanaan transmigrasi, perizinan
perkebunan dan tambang, serta perkembangan pemukiman di
semua fungsi hutan konservasi, lindung maupun produksi.
Sementara itu Kementerian Kehutanan juga menginventarisir
sebanyak 49 konflik yang secara khusus berada di dalam lokasi
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman
(IUPHHK-HT).
Ego sektoral dari
perspektif legal
formal terlihat
dari bagaimana
regulasi yang ada
pada masing-
masing sektoral
enggan untuk
saling
berekonsiliasi
Bentuk konflik lainnya sengketa kewenangan antara lembaga
negara baik pusat-daerah maupun sektoral. Dalam konteks
keruangan sektoral salah satu konflik yang mengemuka adalah
kata “pemerintah” dalam menentukan kawasan hutan
sebagaimana UU 41/1999 tentang Kehutanan telah dipahami
secara umum didefinisikan sebagai Menteri Kehutanan 1 ,
padahal di satu sisi daerah dengan otonominya juga memiliki
kewenangan mengatur penataan ruang di wilayahnya masing-
masing. Di sisi lain, pengertian Pemerintah dalam menentukan
kawasan hutan sebagaimana UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan dipahami secara umum didefinisikan sebagai
Menteri Kehutanan juga beralasan, baik mendasarkan pada UU
Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU
Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara2. Hal ini
1Bahwa konflik kewenangan terjadi karena kata pemerintah dalam UU No. 41/1999 oleh PP 44/2004
ditafsirkan sempit sebagai Menteri Kehutanan. Padahal, Pemerintah semestinya dipahami sebagai
seluruh instansi Pemerintah Pusat.
2 Termasuk Keputusan Untuk urusan kehutanan, Presiden telah menunjuk Menteri Kehutanan (Keppres
Nomor 84/P Tahun 2009.
[Renaksi Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan] 3
seolah menjadi polemik dalam perumusan perencanaan
pembangunan, tetapi juga kemudian menjadi konflik antara
hubungan pusat-daerah. Ini pula yang menjadi dasar bagi
Bupati di lima kabupaten di Kalimantan Tengah menggugat
Pasal 1 angka 3 UU 41/1999 tentang Kehutanan. Hal ini
diperumit pula dengan keberadaan berbagai peraturan
perundang-undangan yang seolah ikut berebut wilayah Negara.
Sementara UU 41/1999 tentang Kehutanan memberikan ruang
bagi Pemerintah untuk menunjuk kawasan hutan yang saat ini
mencapai 130-an juta hektar, rezim UU 4/2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara seolah membiarkan begitu
saja daratan yang sama kemudian harus dibagi habis pula ke
dalam wilayah pertambangan. Hiruk pikuk keruangan ini
kemudian ditambah lagi dengan konsep kawasan lainnya dalam
pelbagai peraturan perundang-undangan misalnya pola dan
struktur ruang dalam UU 26/2007 tentang Penataan Ruang,
dan kawasan pertanian pangan berkelanjutan dalam UU
41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan. Persoalan tumpang tindih kewenangan tersebut
merupakan salah satu alasan mengapa hingga saat ini dari 33
provinsi, baru 7 provinsi yang menyelesaikan penataan
ruangnya (KPK, 2010).
Menyelesaikan
konflik regulasi
dan kepastian
usaha menjadi
salah satu fondasi
dasar bagi
tercapainya upaya
pemberantasan
korupsi
Permasalahan tumpang tindih pengaturan ini bukannya tidak
disadari. Bahkan dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun
2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan Dan Pemberantasan
Korupsi Jangka Menengah Tahun 2012-2014 dan Jangka Pan-
jang Tahun 2012-2025, telah menegaskan perlunya harmonisasi
dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan sesuai dengan
kebijakan nasional dengan kebutuhan daerah terkait masalah
sumber daya alam, khususnya terkait masalah bidang kehu-
tanan, mineral dan batu bara, sumberdaya air, pertanahan, tata
ruang, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai
bagian dari fokus strategi jangka menengah pencegahan dan
pemberantasan korupsi.
[Renaksi Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan] 4
Sub Bab 1.2. Permasalahan dan Rencana Aksi
Permasalahan 1.Belum selarasnya berbagai regulasi yang mengatur urusan
sumberdaya alam sehingga menghambat rekonsiliasi terhadap wilayah usaha
pemanfaatan SDA untuk masing-masing sektoral.
Beberapa kementerian pada dasarnya akan dibebankan untuk membangun wilayah
usaha sektornya masing-masing. Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara3 melalui Wilayah Usaha Pertambangan,
yang kemudian diklasifikasi lagi ke dalam Wilayah Izin Usaha Pertambangan dan
Wilayah Pertambangan Rakyat, misalnya menentukan lokasi yang akan diberikan
izin. Sementara Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan juga
mengatur adanya blok-blok tata pemanfaatan hutan berdasarkan Pasal 22. Secara
normatif dalam Undang-nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan diatur juga
tentang perlunya penyusunan perencanaan perkebunan termasuk dalam segi
wilayahnya dengan memperhatian rencana tata ruang dan lingkungan hidup
diantaranya 4 . Sementara itu Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan juga menetapkan adanya lahan
pertanian berkelanjutan yang perlu diadakan oleh Pemerintah Daerah dalam
penetapan tata ruangnya. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang 5 seharusnya mampu menjadi basis bagi seluruh penataan usaha seluruh
sektor. Namun pengaturan kawasan budi daya dalam UU 26/2007 tidak menjelaskan
bagaimana rencana pembangunan dan usaha masing-masing sektor tersebut harus
diintegrasikan.
Dampak 1. Memberikan peluang adanya tumpang tindih usaha
Persoalan ini menyebabkan tidak adanya pedoman secara spasial bagi Pemerintah
Daerah dalam menerbitkan kebijakan untuk mengelola sumberdaya alam dari
berbagai sektor. Termasuk diantaranya dalam menerbitkan izin. Tanpa pedoman
wilayah usaha tersebut, penerbitan izin memang diatur oleh pengaturan peruntukan
sebagaimana diatur dalam penataan ruang, namun demikian regulasi masih
memungkinkannya terjadi alokasi usaha untuk dua atau lebih sektor dalam satu
fungsi peruntukan. Hal ini menyebabkan fungsi usaha tidak hanya tidak dapat
dilakukan secara terencana, tetapi juga memberikan peluang bagi pemberian izin
yang tumpang tindih antara kegiatan usaha. Persoalan ini menjadi titik rentan yang
disalah gunakan sehingga berpotensi tidak hanya menjadi titik koruptif tetapi juga
3 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, selanjutnya disebut UU 4/2009.
4 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 84, selanjutnya disebut UU 18/2004. Lihat
Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU 18/2004.
5 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, selanjutnya disebut UU 26/2007.
[Renaksi Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan] 5
menimbulkan konflik.
(Usulan) Rencana Aksi 1. Harmonisasi regulasi dalam rangka penyelarasan wila-
yah usaha sektoral
Pihak Terkait Upaya yang Telah Dilakukan Rencana Aksi
Kementerian
Kehutanan
 Membangun peta
penunjukan kawasan
hutan/ tata guna hutan
kesepakatan (TGHK) dan
Perubahannya.
 Meningkatkan kinerja pe-
nataan batas.
 Melakukan penetapan
kawasan hutan secara
parsial.
 Membentuk KPH model.
 Menetapkan pemantapan
kawasan hutan sebagai
prioritas rencana kerja
Kementerian Kehutanan.
 Penyempurnaan aturan tentang
pengukuhan kawasan hutan.
 Melakukan evaluasi terhadap
pelaksanaan pengukuhan kawasan
hutan.
.
Kementerian
Kehutanan,
Badan Perencanaan
Pembangunan
Nasional
 Kementerian Kehutanan
menjabarkan Rencana Kehutanan
Tingkat Nasional (RKTN) ke dalam
perencanaan pemanfaatan kawasan
hutan yang lebih rinci dengan
melibatkan Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional.
 Percepatan pembentukan KPH.
Kementerian
Lingkungan
Hidup
 Menerbitkan PP 27 tahun
2012 tentang Izin
Lingkungan
 Menerbitkan PermenLH
Nomor 09 tahun 2011
tentang Pedoman Umum
KLHS
 Menerbitkan PermenLH
Nomor 17 tahun 2009
tentang Pedoman
Penentuan Daya Dukung
dalam Penataan Ruang
Wilayah
 Menyusun Pedoman
Penggunaan Kriteria dan
Standar untuk Aplikasi
Daya Dukung dan Daya
Tampung Lingkugan
Hidup dalam
Pengendalian
perkembangan Kawasan.
 Penyelesaian peraturan perundangan
yang merupakan penjabaran UU
32/2009 tentang Pelindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
terutama yang terkait dengan
kebijakan pemanfaatan dan
pencadangan Sumber Daya Alam.
[Renaksi Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan] 6
Kementerian
Lingkungan
Hidup,
Kementerian
Kehutanan,
Kementerian
Pekerjaan Umum
 Kementerian Lingkungan Hidup
mengkoordinasikan penyusunan
kriteria daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup dengan
melibatkan Kementerian Kehutanan
dan Kementerian Pekerjaan Umum
serta stakeholder terkait.
Kementerian ESDM
 Menyusun Wilayah Usaha
Pertambangan.
 Melakukan evaluasi terhadap
penetapan wilayah usaha
pertambangan dan potensi tumpang-
tindihnya dengan perizinan lain.
 Mempercepat penyusunan wilayah
izin usaha pertambangan, wilayah
usaha pertambangan rakyat.
Kementerian ESDM,
Kementerian
Pekerjaan Umum
 Kementerian ESDM
mengkoordinasikan penyusunan
kriteria dalam penentuan wilayah
terkait pertambangan, termasuk
WUP, WIUP, dan WPR dengan
melibatkan Kementerian Pekerjaan
Umum.
Kementerian
Pertanian
 Menyusun aturan penjelasan bagi
Pasal 7 UU 18/2004 yang berbasis
spasial dengan memastikan bahwa
perencanaan perkebunan
kabupaten/kota mengacu kepada
perencanaan perkebunan provinsi
yang diselaraskan dengan
perencanaan perkebunan nasional.
Kementerian
Pertanian,
Kementerian
Pekerjaan Umum
 Kementerian Pertanian
mengkoordinasikan penyusunan
kriteria dalam penentuan areal
peruntukan budidaya perkebunan
dengan melibatkan Kementerian
Pekerjaan Umum.
Kementerian
Pekerjaan Umum
 Menyusun regulasi yang tidak hanya
melakukan rekonsiliasi ruang
peruntukkan tetapi juga alokasi
usaha masing-masing sektoral.
 Menyusun regulasi terkait
perencanaan dan pemanfaatan
ruang yang menjamin
terakomodasinya semua kepentingan
sektor dalam bentuk alokasi
peruntukan ruang sebagaimana
termuat dalam rencana tata ruang.
Kementerian
Pekerjaan Umum,
Kementerian ESDM
 Kementerian ESDM menyusun
kriteria dalam penentuan wilayah
terkait pertambangan, termasuk
WUP, WIUP, dan WPR dengan
melibatkan melibatkan Kementerian
Pekerjaan Umum.
[Renaksi Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan] 7
Kementerian
Hukum dan HAM
 Bersama kementerian terkait
melakukan inventarisasi atas
ketidakharmonisan Peraturan
Perundangan dan kebijakan sektoral
yang berkaitan dengan kawasan
hutan.
 Bersama kementerian terkait
melakukan harmonisasi Peraturan
Perundangan dan kebijakan sektoral
yangberkaitan dengan kawasan
hutan.
Permasalahan 2. Mekanisme penerbitan izin terfragmentasi
Dengan fragmentasi tersebut, tumpang tindih dalam perizinan terjadi tanpa ada
pejabat administrasi negara yang dapat dimintakan pertanggungjawaban. Artinya,
fungsi izin (vergunning) sebagai instrumen tata usaha negara untuk pengendalian
menjadi kehilangan fungsinya. Sementara itu, dari sisi kepentingan usaha, perizinan
yang demikian membuat proses perizinan tidak hanya menjadi rumit tetapi juga
berisiko tinggi, pengambilan keputusan cenderung berbasis legal formil dan membuka
ruang diskretif, dan mengahancurkan sendi-sendi kepastian hukum bahkan koruptif.
Hal ini pada akhirnya memberikan insentif terjadinya pelaksanaan kegiatan usaha
yang menafikan proses perizinan yang harus dijalani.
(Usulan) Rencana Aksi 2. Mendorong proses perizinan yang terintegratif
Pihak Terkait Upaya yang Telah Dilakukan Rencana Aksi
Kementerian
Pertanian
 Revisi Permentan
26/2007 yang merubah
bisnis proses perizinan
sehingga IUP diterbitkan
setelah pelepasan kawa-
san hutan.
 Melakukan revisi terhadap
mekanisme perizinan perkebunan,
sehingga izin usaha perkebunan
menjadi instrumen administrasi
Negara yang berada di ujung proses
mendapatkan izin. Dalam hal
berada di dalam kawasan hutan,
IUP diterbitkan setelah pelepasan
kawasan hutan.
Kementerian
Pertanian,
Kementerian
Kehutanan,
Badan Pertanahan
Nasional
 Kementerian Kehutanan
mengkoordinasikan kegiatan
evaluasi terhadap tindak lanjut
pelepasan kawasan hutan dengan
melibatkan Badan Pertanahan
Nasional dan Kementerian
Pertanian.
Kementerian ESDM
 Melakukan revisi terhadap
mekanisme perizinan
pertambangan, sehingga izin usaha
pertambangan menjadi instrumen
administrasi negara yang berada di
[Renaksi Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan] 8
ujung proses mendapatkan izin.
Dalam hal berada di dalam kawasan
hutan, sebelum penerbitan WIUP
yang baru sesuai UU 4/2009
ditetapkan oleh MESDM, Gubernur,
Bupati/Walikota sesuai
kewenangannya sudah tercapai
kesepakatan dengan Kementerian
Kehutanan untuk menerbitkan
IPPKH kepada pemenang lelang
WIUP Mineral Logam dan Batubara
atau pemohon yang sudah
mendapatkan peta WIUP Mineral
Bukan Logam dan Batuan sebelum
mengajukan Permohonan IUP.
Kementerian
Kehutanan,
Kementerian ESDM
 Kementerian Kehutanan
mengkoordinasikan kegiatan
evaluasi terhadap pinjam pakai
kawasan hutan untuk penggunaan
di luar sektor kehutanan dengan
melibatkan Kementerian ESDM.
Kementerian
Kehutanan
Melakukan review serta sinkronisasi
dengan sektor terkait terhadap
mekanisme pelepasan kawasan
hutan untuk keperluan perizinan
dan pinjam pakai kawasan hutan
dengan memperhatikan prinsip-
prinsip transparansi dan
akuntabilitas serta sinkronisasi
dengan instansi terkait.
 Segera melaksanakan penegakan
hukum bagi pejabat pemberi izin
yang tidak tepat lokasinya sesuai
Undang-undang No 41/1999.
Kementerian PU
 Mendorong operasionalisasi
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
Penataan Ruang sebagai instrumen
strategis dalam pengendalian
pemanfaatan ruang dan
pengawasan penataan ruang.
Kementerian
Lingkungan Hidup
 Menerbitkan PP 27
tahun 2011 tentang Ijin
Lingkungan
 Sosialisasi dan internalisasi aturan
tentang izin lingkungan,
melaksanakan penegakan hukum
bagi pelanggaran terhadap izin
lingkungan.
 Membangun basis data kegiatan
usaha SDA yang menggunakan izin
lingkungan.
Permasalahan 3. Lemahnya kewenangan fungsi pengendalian pusat
Dengan adanya otonomi daerah terjadi proses pelimpahan wewenang dalam
pengurusan terhadap sektor sumberdaya alam. Namun, dengan adanya pelimpahan
[Renaksi Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan] 9
wewenang tersebut tidak dibarengi dengan mekanisme pengendalian terhadap
kewenangan pengurusan izin. Hal ini membuat kebijakan pengelolaan sumberdaya
alam tidak jarang berjalan tanpa terkendali, lebih jauh bahkan hingga menyebabkan
kesewenang-wenangan. Pengendalian tersebut sebenarnya berusaha diperkuat
dengan peningkatan transparansi seperti kewajiban untuk menyampaikan tembusan
kepada pusat terhadap izin yang diterbitkan. Misalnya, dalam Permentan 26/2007,
disebutkan bahwa Pemerintah Daerah harus menyampaikan izin usaha yang sudah
diterbitkannya kepada Kementerian Pertanian, pada kenyataannya aturan tersebut
seolah tidak mengikat dengan kuat. Sementara di satu sisi, Kementerian Pertanian
tidak memiliki kewenangan yang memadai untuk melakukan pengendalian terhadap
penerbitan izin tersebut.
Dampak 3. Memberikan celah bagi penerbitan izin berjalan secara sewenang-
wenang.
Dengan mengingat permasalahan nomor 1, ketidak pastian hukum dalam penentuan
kawasan, dan tidak adanya pelapis kedua dalam pengawasan (second line) pemberian
izin (karena lemahnya pengawasan dan pengendalian perijinan oleh Pusat), hal ini
kemudian memberikan celah bagi pelaksanaan pengelolaan sumberdaya alam secara
sewenang-wenang. Persoalanini diperumit dengan sektoralisme dan otonomi daerah
yang seolah mengkaburkan fungsi pengawasan, sementara Kementerian Dalam Negeri
merasa tidak memiliki kompetensi teknis dalam hal mengawasi dan mengendalikan
kebijakan dan keputusan administrasi negara Pemerintah Daerah, Kementerian
Teknis di sisi lain merasa tidak memiliki kewenangan untuk mencabut keputusan
yang dilakukan oleh daerah.
(Usulan) Rencana Aksi 3. Menguatkan alat-alat pengendalian dalam pengelolaan
sumberdaya alam.
Pihak Terkait
Upaya yang Telah
Dilakukan
Rencana Aksi ke Depan
Kementerian
Kehutanan,
Kementerian
Keuangan,
Kementerian Per-
tanian,
Kementerian Da-
lam Negeri,
Badan
Pertanahan
Nasional
 Membangun protokol
jaringan data nasional
dimana masing-
masing sektor
merupakan simpul.
Kementerian Kehutanan
mengkoordinasikan kemungkinan
implementasi mekanisme jaminan
pelepasan kawasan hutan dengan
melibatkan Kementerian Keuangan,
Kementerian Pertanian, Kementerian
Dalam Negeri, dan Badan Pertanahan
Nasional
Badan
Pertanahan
Nasional,
 Badan Pertanahan Nasional membangun
kriteria tanah terlantar dan tindak lanjut
pendistribusian tanah terlantar,
[Renaksi Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan] 10
Kementerian
Kehutanan,
Kementerian
Pertanian,
termasuk jika diperlukan dikembalikan
sebagai kawasan hutan dengan
melibatkan Kementerian Pertanian dan
Kementerian Kehutanan.
Kementerian
Pertanian
 Pembahasan
mengenai jaminan
pelepasan.
 Pelaporan izin usaha
diakomodir dalam
revisi terhadap
Permenten 26/2007.
 Memberikan hak akses data seluruh izin
yang diterbitkan kepada Badan Informasi
Geospasial.
 Menggunakan data dan informasi
geospasial yang disusun BIG sebagai
dasar evaluasi dan proses perizinan.
 Melakukan revisi terhadap Permentan
26/2007 dengan mengharuskan setiap
daerah melaporkan izin yang diterbitkan
kepada Kementan dan Badan Informasi
Geospasial.
 Menyusun NSPK untuk mengendalikan
perizinan yang diterbitkan oleh daerah.
Kementerian
ESDM
 Memberikan hak akses data spasial Izin
Usaha Pertambangan yang terbaru
kepada Badan Informasi Geospasial.
 Menyusun aturan yang menjadikan
setiap daerah melaporkan izin yang
diterbitkan kepada Kementerian ESDM
dan Badan Informasi Geospasial.
 Menyusun NSPK untuk mengendalikan
perizinan yang diterbitkan oleh daerah.
Kementerian
Dalam Negeri
 Melaksanakan pengendalian terhadap
izin-izin yang telah diterbitkan Bupati
berdasarkan NSPK yang disusun oleh
kementerian sektoral.
 Bersama kementerian terkait menyusun
NSPK pengendalian terpadu.
Badan Informasi
Geospasial
 Membangun basis data dan informasi
geospasial terhadap seluruh perizinan
sektoral.
Badan
Pertanahan
Nasional
 Menyusun aturan NSPK untuk
penerbitan dan pencabutan HGU.

More Related Content

Viewers also liked

Tambang Kawasan Lindung
Tambang Kawasan LindungTambang Kawasan Lindung
Tambang Kawasan Lindungpius
 
Kpk gerakan-nasional-penyelamatan-sda
Kpk gerakan-nasional-penyelamatan-sdaKpk gerakan-nasional-penyelamatan-sda
Kpk gerakan-nasional-penyelamatan-sdaAksi SETAPAK
 
Digital Agriculture Services for Cotton - Information Brochure
Digital Agriculture Services for Cotton - Information BrochureDigital Agriculture Services for Cotton - Information Brochure
Digital Agriculture Services for Cotton - Information BrochureAnthony Willmott
 
Pedoman kriteria teknis kawasan budidaya
Pedoman kriteria teknis kawasan budidayaPedoman kriteria teknis kawasan budidaya
Pedoman kriteria teknis kawasan budidayaPenataan Ruang
 

Viewers also liked (6)

Tambang Kawasan Lindung
Tambang Kawasan LindungTambang Kawasan Lindung
Tambang Kawasan Lindung
 
Kpk gerakan-nasional-penyelamatan-sda
Kpk gerakan-nasional-penyelamatan-sdaKpk gerakan-nasional-penyelamatan-sda
Kpk gerakan-nasional-penyelamatan-sda
 
Rancangan UU Migas Usulan Masyarakat Sipil
Rancangan UU Migas Usulan Masyarakat SipilRancangan UU Migas Usulan Masyarakat Sipil
Rancangan UU Migas Usulan Masyarakat Sipil
 
Tata Kelola Energi dan Penyelamatan Lingkungan Hidup
Tata Kelola Energi dan Penyelamatan Lingkungan HidupTata Kelola Energi dan Penyelamatan Lingkungan Hidup
Tata Kelola Energi dan Penyelamatan Lingkungan Hidup
 
Digital Agriculture Services for Cotton - Information Brochure
Digital Agriculture Services for Cotton - Information BrochureDigital Agriculture Services for Cotton - Information Brochure
Digital Agriculture Services for Cotton - Information Brochure
 
Pedoman kriteria teknis kawasan budidaya
Pedoman kriteria teknis kawasan budidayaPedoman kriteria teknis kawasan budidaya
Pedoman kriteria teknis kawasan budidaya
 

Similar to Lampiran 1 harmonisasi kebijakan dan perundangan

Lampiran 2 penyelarasan teknik dan prosedur
Lampiran 2   penyelarasan teknik dan prosedurLampiran 2   penyelarasan teknik dan prosedur
Lampiran 2 penyelarasan teknik dan prosedurAji Sahdi Sutisna
 
Relevansi tghk dan rtrw dalam tata ruang
Relevansi tghk dan rtrw dalam tata ruangRelevansi tghk dan rtrw dalam tata ruang
Relevansi tghk dan rtrw dalam tata ruangFahmi Hamid
 
Relevansi tghk dan rtrw dalam tata ruang
Relevansi tghk dan rtrw dalam tata ruangRelevansi tghk dan rtrw dalam tata ruang
Relevansi tghk dan rtrw dalam tata ruangFahmi Hamid
 
Mengurus hutan indonesia
Mengurus hutan indonesiaMengurus hutan indonesia
Mengurus hutan indonesiarazitakhalyla
 
Bagaimana negara dan korporasi mengurus hutan indonesia
Bagaimana negara dan korporasi mengurus hutan indonesiaBagaimana negara dan korporasi mengurus hutan indonesia
Bagaimana negara dan korporasi mengurus hutan indonesiaRaflis Ssi
 
Catatan Akhir Tahun 2011 : Karpet Merah Bagi Investor Perusak Lingkungan
Catatan Akhir Tahun 2011 : Karpet Merah Bagi Investor Perusak LingkunganCatatan Akhir Tahun 2011 : Karpet Merah Bagi Investor Perusak Lingkungan
Catatan Akhir Tahun 2011 : Karpet Merah Bagi Investor Perusak LingkunganGiorgio JoJo
 
TUGAS Tutorial Online 1 Hukum Agraria HKUM4211.pdf
TUGAS Tutorial Online 1 Hukum Agraria HKUM4211.pdfTUGAS Tutorial Online 1 Hukum Agraria HKUM4211.pdf
TUGAS Tutorial Online 1 Hukum Agraria HKUM4211.pdfIndra Sofian
 
Mengatasi tumpang tindih antara lahan pertambangan dan
Mengatasi tumpang tindih antara lahan pertambangan danMengatasi tumpang tindih antara lahan pertambangan dan
Mengatasi tumpang tindih antara lahan pertambangan danIndra Yu
 
Buku Panduan Perizinan HKm
Buku Panduan Perizinan HKmBuku Panduan Perizinan HKm
Buku Panduan Perizinan HKmAmien Saliwu
 
Jalan Panjang Perwujudan Ketahanan Nasional dalam Persfektif Penguasaan Ruang
Jalan Panjang  Perwujudan Ketahanan Nasional dalam Persfektif Penguasaan RuangJalan Panjang  Perwujudan Ketahanan Nasional dalam Persfektif Penguasaan Ruang
Jalan Panjang Perwujudan Ketahanan Nasional dalam Persfektif Penguasaan RuangAdriansyah Rustandi
 
Korupsi dan kepastian hukum kawasan hutan
Korupsi dan kepastian hukum kawasan hutanKorupsi dan kepastian hukum kawasan hutan
Korupsi dan kepastian hukum kawasan hutanRaflis Ssi
 
Putusan sidang 35 puu 2012-kehutanan-telah ucap 16 mei 2013
Putusan sidang 35 puu 2012-kehutanan-telah ucap 16 mei 2013Putusan sidang 35 puu 2012-kehutanan-telah ucap 16 mei 2013
Putusan sidang 35 puu 2012-kehutanan-telah ucap 16 mei 2013Medan Comonity
 
Kawasan hutan dan rencana tata ruang
Kawasan hutan dan rencana tata ruangKawasan hutan dan rencana tata ruang
Kawasan hutan dan rencana tata ruangRaflis Ssi
 
Pemen_Kehuanan_P.39_Tahun2013_pemberdayaan_masy_melalui_kemitraan
Pemen_Kehuanan_P.39_Tahun2013_pemberdayaan_masy_melalui_kemitraanPemen_Kehuanan_P.39_Tahun2013_pemberdayaan_masy_melalui_kemitraan
Pemen_Kehuanan_P.39_Tahun2013_pemberdayaan_masy_melalui_kemitraanPipiet Noorch
 
Panel 1.1 - Perlunya Kementerian Koordinator Agraria & Ling, Hidup (Rachman)
Panel 1.1 - Perlunya Kementerian Koordinator Agraria & Ling, Hidup (Rachman)Panel 1.1 - Perlunya Kementerian Koordinator Agraria & Ling, Hidup (Rachman)
Panel 1.1 - Perlunya Kementerian Koordinator Agraria & Ling, Hidup (Rachman)Kurniawan Saputra
 
Buku saku pembentukan_kph_fpic_di_tnll
Buku saku pembentukan_kph_fpic_di_tnllBuku saku pembentukan_kph_fpic_di_tnll
Buku saku pembentukan_kph_fpic_di_tnllnita292601
 
Trend perubahan rencana tata ruang riau
Trend perubahan rencana tata ruang riauTrend perubahan rencana tata ruang riau
Trend perubahan rencana tata ruang riauRaflis Ssi
 
Kebakaran Hutan Dari Walhi Riau
Kebakaran Hutan Dari Walhi RiauKebakaran Hutan Dari Walhi Riau
Kebakaran Hutan Dari Walhi RiauPeople Power
 
Jalan panjang perwujudan ketahanan nasional dalam persfektif penguasaan ruang
Jalan panjang  perwujudan ketahanan nasional dalam persfektif penguasaan ruangJalan panjang  perwujudan ketahanan nasional dalam persfektif penguasaan ruang
Jalan panjang perwujudan ketahanan nasional dalam persfektif penguasaan ruangAdriansyah Rustandi
 

Similar to Lampiran 1 harmonisasi kebijakan dan perundangan (20)

Lampiran 2 penyelarasan teknik dan prosedur
Lampiran 2   penyelarasan teknik dan prosedurLampiran 2   penyelarasan teknik dan prosedur
Lampiran 2 penyelarasan teknik dan prosedur
 
Relevansi tghk dan rtrw dalam tata ruang
Relevansi tghk dan rtrw dalam tata ruangRelevansi tghk dan rtrw dalam tata ruang
Relevansi tghk dan rtrw dalam tata ruang
 
Relevansi tghk dan rtrw dalam tata ruang
Relevansi tghk dan rtrw dalam tata ruangRelevansi tghk dan rtrw dalam tata ruang
Relevansi tghk dan rtrw dalam tata ruang
 
Mengurus hutan indonesia
Mengurus hutan indonesiaMengurus hutan indonesia
Mengurus hutan indonesia
 
Bagaimana negara dan korporasi mengurus hutan indonesia
Bagaimana negara dan korporasi mengurus hutan indonesiaBagaimana negara dan korporasi mengurus hutan indonesia
Bagaimana negara dan korporasi mengurus hutan indonesia
 
Catatan Akhir Tahun 2011 : Karpet Merah Bagi Investor Perusak Lingkungan
Catatan Akhir Tahun 2011 : Karpet Merah Bagi Investor Perusak LingkunganCatatan Akhir Tahun 2011 : Karpet Merah Bagi Investor Perusak Lingkungan
Catatan Akhir Tahun 2011 : Karpet Merah Bagi Investor Perusak Lingkungan
 
TUGAS Tutorial Online 1 Hukum Agraria HKUM4211.pdf
TUGAS Tutorial Online 1 Hukum Agraria HKUM4211.pdfTUGAS Tutorial Online 1 Hukum Agraria HKUM4211.pdf
TUGAS Tutorial Online 1 Hukum Agraria HKUM4211.pdf
 
Mengatasi tumpang tindih antara lahan pertambangan dan
Mengatasi tumpang tindih antara lahan pertambangan danMengatasi tumpang tindih antara lahan pertambangan dan
Mengatasi tumpang tindih antara lahan pertambangan dan
 
Buku Panduan Perizinan HKm
Buku Panduan Perizinan HKmBuku Panduan Perizinan HKm
Buku Panduan Perizinan HKm
 
Jalan Panjang Perwujudan Ketahanan Nasional dalam Persfektif Penguasaan Ruang
Jalan Panjang  Perwujudan Ketahanan Nasional dalam Persfektif Penguasaan RuangJalan Panjang  Perwujudan Ketahanan Nasional dalam Persfektif Penguasaan Ruang
Jalan Panjang Perwujudan Ketahanan Nasional dalam Persfektif Penguasaan Ruang
 
Korupsi dan kepastian hukum kawasan hutan
Korupsi dan kepastian hukum kawasan hutanKorupsi dan kepastian hukum kawasan hutan
Korupsi dan kepastian hukum kawasan hutan
 
Putusan sidang 35 puu 2012-kehutanan-telah ucap 16 mei 2013
Putusan sidang 35 puu 2012-kehutanan-telah ucap 16 mei 2013Putusan sidang 35 puu 2012-kehutanan-telah ucap 16 mei 2013
Putusan sidang 35 puu 2012-kehutanan-telah ucap 16 mei 2013
 
Kawasan hutan dan rencana tata ruang
Kawasan hutan dan rencana tata ruangKawasan hutan dan rencana tata ruang
Kawasan hutan dan rencana tata ruang
 
Pemen_Kehuanan_P.39_Tahun2013_pemberdayaan_masy_melalui_kemitraan
Pemen_Kehuanan_P.39_Tahun2013_pemberdayaan_masy_melalui_kemitraanPemen_Kehuanan_P.39_Tahun2013_pemberdayaan_masy_melalui_kemitraan
Pemen_Kehuanan_P.39_Tahun2013_pemberdayaan_masy_melalui_kemitraan
 
Panel 1.1 - Perlunya Kementerian Koordinator Agraria & Ling, Hidup (Rachman)
Panel 1.1 - Perlunya Kementerian Koordinator Agraria & Ling, Hidup (Rachman)Panel 1.1 - Perlunya Kementerian Koordinator Agraria & Ling, Hidup (Rachman)
Panel 1.1 - Perlunya Kementerian Koordinator Agraria & Ling, Hidup (Rachman)
 
Buku saku pembentukan_kph_fpic_di_tnll
Buku saku pembentukan_kph_fpic_di_tnllBuku saku pembentukan_kph_fpic_di_tnll
Buku saku pembentukan_kph_fpic_di_tnll
 
Trend perubahan rencana tata ruang riau
Trend perubahan rencana tata ruang riauTrend perubahan rencana tata ruang riau
Trend perubahan rencana tata ruang riau
 
Torang Pe Kobong So Dapa Rampas (Land Grabbing) - Hutbun gorontalo
Torang Pe Kobong So Dapa Rampas (Land Grabbing) - Hutbun gorontaloTorang Pe Kobong So Dapa Rampas (Land Grabbing) - Hutbun gorontalo
Torang Pe Kobong So Dapa Rampas (Land Grabbing) - Hutbun gorontalo
 
Kebakaran Hutan Dari Walhi Riau
Kebakaran Hutan Dari Walhi RiauKebakaran Hutan Dari Walhi Riau
Kebakaran Hutan Dari Walhi Riau
 
Jalan panjang perwujudan ketahanan nasional dalam persfektif penguasaan ruang
Jalan panjang  perwujudan ketahanan nasional dalam persfektif penguasaan ruangJalan panjang  perwujudan ketahanan nasional dalam persfektif penguasaan ruang
Jalan panjang perwujudan ketahanan nasional dalam persfektif penguasaan ruang
 

More from Aji Sahdi Sutisna

SK KPS Sasaka Patengan tentang Perlindungan Hutan dan Keanekaragaman Hayati d...
SK KPS Sasaka Patengan tentang Perlindungan Hutan dan Keanekaragaman Hayati d...SK KPS Sasaka Patengan tentang Perlindungan Hutan dan Keanekaragaman Hayati d...
SK KPS Sasaka Patengan tentang Perlindungan Hutan dan Keanekaragaman Hayati d...Aji Sahdi Sutisna
 
Kepmen No. 287/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2022
Kepmen No. 287/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2022Kepmen No. 287/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2022
Kepmen No. 287/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2022Aji Sahdi Sutisna
 
Rundown Upacara Adat Sakral Nyangku dan Festival Budaya Panjalu 2019
Rundown Upacara Adat Sakral Nyangku dan Festival Budaya Panjalu 2019Rundown Upacara Adat Sakral Nyangku dan Festival Budaya Panjalu 2019
Rundown Upacara Adat Sakral Nyangku dan Festival Budaya Panjalu 2019Aji Sahdi Sutisna
 
APBDES Desa Warungbanten Tahun 2018
APBDES Desa Warungbanten Tahun 2018APBDES Desa Warungbanten Tahun 2018
APBDES Desa Warungbanten Tahun 2018Aji Sahdi Sutisna
 
Perda No. 15 tahun 2016 tentang Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Kampung Kuta
Perda No. 15 tahun 2016 tentang Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Kampung KutaPerda No. 15 tahun 2016 tentang Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Kampung Kuta
Perda No. 15 tahun 2016 tentang Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Kampung KutaAji Sahdi Sutisna
 
Modul Panduan Pemetaan Pemetaan Partisipatif Pesisir, Laut dan Pulau-pulau Kecil
Modul Panduan Pemetaan Pemetaan Partisipatif Pesisir, Laut dan Pulau-pulau KecilModul Panduan Pemetaan Pemetaan Partisipatif Pesisir, Laut dan Pulau-pulau Kecil
Modul Panduan Pemetaan Pemetaan Partisipatif Pesisir, Laut dan Pulau-pulau KecilAji Sahdi Sutisna
 
UU No 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
UU No 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan PetaniUU No 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
UU No 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan PetaniAji Sahdi Sutisna
 
Perpres No. 9 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta
Perpres No. 9 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu PetaPerpres No. 9 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta
Perpres No. 9 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu PetaAji Sahdi Sutisna
 
TOR Seminar Nasional Forum Anggota Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP...
TOR Seminar Nasional Forum Anggota Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP...TOR Seminar Nasional Forum Anggota Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP...
TOR Seminar Nasional Forum Anggota Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP...Aji Sahdi Sutisna
 
Permendagri no 110 thn 2016 Tentang Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
Permendagri no 110 thn 2016 Tentang Badan Permusyawaratan Desa (BPD)Permendagri no 110 thn 2016 Tentang Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
Permendagri no 110 thn 2016 Tentang Badan Permusyawaratan Desa (BPD)Aji Sahdi Sutisna
 
Kerangka Acuan Kegiatan Festival Baduy 2016
Kerangka Acuan Kegiatan Festival Baduy 2016Kerangka Acuan Kegiatan Festival Baduy 2016
Kerangka Acuan Kegiatan Festival Baduy 2016Aji Sahdi Sutisna
 
Rundown acara festival baduy 2016
Rundown acara festival baduy 2016Rundown acara festival baduy 2016
Rundown acara festival baduy 2016Aji Sahdi Sutisna
 
Daftar Desa Melek IT Kab. Lebak
Daftar Desa Melek IT Kab. LebakDaftar Desa Melek IT Kab. Lebak
Daftar Desa Melek IT Kab. LebakAji Sahdi Sutisna
 
Roundown Acara Festival Desa Melek IT Kab. Lebak 2015
Roundown Acara Festival Desa Melek IT Kab. Lebak 2015Roundown Acara Festival Desa Melek IT Kab. Lebak 2015
Roundown Acara Festival Desa Melek IT Kab. Lebak 2015Aji Sahdi Sutisna
 
Proposal Festival Desa Melek IT Kab. Lebak 2015
Proposal Festival Desa Melek IT Kab. Lebak 2015Proposal Festival Desa Melek IT Kab. Lebak 2015
Proposal Festival Desa Melek IT Kab. Lebak 2015Aji Sahdi Sutisna
 
Jadwal Acara Riungan Sesepuh Adat Sabaki Ke 10
Jadwal Acara Riungan Sesepuh Adat Sabaki  Ke 10Jadwal Acara Riungan Sesepuh Adat Sabaki  Ke 10
Jadwal Acara Riungan Sesepuh Adat Sabaki Ke 10Aji Sahdi Sutisna
 
Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara Pilpres 2014 Tingkat PPK Kec. Panjalu K...
Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara Pilpres 2014 Tingkat PPK Kec. Panjalu K...Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara Pilpres 2014 Tingkat PPK Kec. Panjalu K...
Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara Pilpres 2014 Tingkat PPK Kec. Panjalu K...Aji Sahdi Sutisna
 
Surat permohonan domain desa.id
Surat permohonan domain desa.idSurat permohonan domain desa.id
Surat permohonan domain desa.idAji Sahdi Sutisna
 
Laporan kegiatan relawan tik kabupaten ciamis 2013 2014
Laporan kegiatan relawan tik kabupaten ciamis 2013 2014Laporan kegiatan relawan tik kabupaten ciamis 2013 2014
Laporan kegiatan relawan tik kabupaten ciamis 2013 2014Aji Sahdi Sutisna
 

More from Aji Sahdi Sutisna (20)

SK KPS Sasaka Patengan tentang Perlindungan Hutan dan Keanekaragaman Hayati d...
SK KPS Sasaka Patengan tentang Perlindungan Hutan dan Keanekaragaman Hayati d...SK KPS Sasaka Patengan tentang Perlindungan Hutan dan Keanekaragaman Hayati d...
SK KPS Sasaka Patengan tentang Perlindungan Hutan dan Keanekaragaman Hayati d...
 
Kepmen No. 287/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2022
Kepmen No. 287/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2022Kepmen No. 287/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2022
Kepmen No. 287/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2022
 
Rundown Upacara Adat Sakral Nyangku dan Festival Budaya Panjalu 2019
Rundown Upacara Adat Sakral Nyangku dan Festival Budaya Panjalu 2019Rundown Upacara Adat Sakral Nyangku dan Festival Budaya Panjalu 2019
Rundown Upacara Adat Sakral Nyangku dan Festival Budaya Panjalu 2019
 
APBDES Desa Warungbanten Tahun 2018
APBDES Desa Warungbanten Tahun 2018APBDES Desa Warungbanten Tahun 2018
APBDES Desa Warungbanten Tahun 2018
 
Perda No. 15 tahun 2016 tentang Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Kampung Kuta
Perda No. 15 tahun 2016 tentang Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Kampung KutaPerda No. 15 tahun 2016 tentang Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Kampung Kuta
Perda No. 15 tahun 2016 tentang Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Kampung Kuta
 
Modul Panduan Pemetaan Pemetaan Partisipatif Pesisir, Laut dan Pulau-pulau Kecil
Modul Panduan Pemetaan Pemetaan Partisipatif Pesisir, Laut dan Pulau-pulau KecilModul Panduan Pemetaan Pemetaan Partisipatif Pesisir, Laut dan Pulau-pulau Kecil
Modul Panduan Pemetaan Pemetaan Partisipatif Pesisir, Laut dan Pulau-pulau Kecil
 
UU No 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
UU No 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan PetaniUU No 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
UU No 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
 
Perpres No. 9 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta
Perpres No. 9 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu PetaPerpres No. 9 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta
Perpres No. 9 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta
 
TOR Seminar Nasional Forum Anggota Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP...
TOR Seminar Nasional Forum Anggota Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP...TOR Seminar Nasional Forum Anggota Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP...
TOR Seminar Nasional Forum Anggota Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP...
 
Permendagri no 110 thn 2016 Tentang Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
Permendagri no 110 thn 2016 Tentang Badan Permusyawaratan Desa (BPD)Permendagri no 110 thn 2016 Tentang Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
Permendagri no 110 thn 2016 Tentang Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
 
Kerangka Acuan Kegiatan Festival Baduy 2016
Kerangka Acuan Kegiatan Festival Baduy 2016Kerangka Acuan Kegiatan Festival Baduy 2016
Kerangka Acuan Kegiatan Festival Baduy 2016
 
Rundown acara festival baduy 2016
Rundown acara festival baduy 2016Rundown acara festival baduy 2016
Rundown acara festival baduy 2016
 
Daftar Desa Melek IT Kab. Lebak
Daftar Desa Melek IT Kab. LebakDaftar Desa Melek IT Kab. Lebak
Daftar Desa Melek IT Kab. Lebak
 
Roundown Acara Festival Desa Melek IT Kab. Lebak 2015
Roundown Acara Festival Desa Melek IT Kab. Lebak 2015Roundown Acara Festival Desa Melek IT Kab. Lebak 2015
Roundown Acara Festival Desa Melek IT Kab. Lebak 2015
 
Proposal Festival Desa Melek IT Kab. Lebak 2015
Proposal Festival Desa Melek IT Kab. Lebak 2015Proposal Festival Desa Melek IT Kab. Lebak 2015
Proposal Festival Desa Melek IT Kab. Lebak 2015
 
Jadwal Acara Riungan Sesepuh Adat Sabaki Ke 10
Jadwal Acara Riungan Sesepuh Adat Sabaki  Ke 10Jadwal Acara Riungan Sesepuh Adat Sabaki  Ke 10
Jadwal Acara Riungan Sesepuh Adat Sabaki Ke 10
 
Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara Pilpres 2014 Tingkat PPK Kec. Panjalu K...
Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara Pilpres 2014 Tingkat PPK Kec. Panjalu K...Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara Pilpres 2014 Tingkat PPK Kec. Panjalu K...
Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara Pilpres 2014 Tingkat PPK Kec. Panjalu K...
 
Surat permohonan domain desa.id
Surat permohonan domain desa.idSurat permohonan domain desa.id
Surat permohonan domain desa.id
 
Laporan kegiatan relawan tik kabupaten ciamis 2013 2014
Laporan kegiatan relawan tik kabupaten ciamis 2013 2014Laporan kegiatan relawan tik kabupaten ciamis 2013 2014
Laporan kegiatan relawan tik kabupaten ciamis 2013 2014
 
Sk rbm
Sk rbmSk rbm
Sk rbm
 

Lampiran 1 harmonisasi kebijakan dan perundangan

  • 1. Lampiran KESATU Harmonisasi Kebijakan dan Peraturan Perundangan Sub Bab 1.1. Pendahuluan Konflik perizinan dan hak terjadi atas klaim pada areal yang sama Keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi No: 45/PUU-IX/2011 terkait pengujian Pasal 1 angka 3 UU 41/1999 tentang Kehutanan merupakan salah satu bukti bahwa pengaturan keruangan termasuk khususnya kawasan hutan masih belum optimal dan perlu disempurnakan. Tidak hanya berupa sengketa agraria yang jumlahnya tercatat mencapai 1.918 kasus (Sayogyo Institute, 2010), tetapi juga dalam bentuk tumpang tindih dalam perizinan sektoral, yang jumlahnya tidak kalah besar. Di Kalimantan, Sumatera, dan Papua saja tercatat setidaknya ada 1.052 pemegang izin pertambangan yang tumpang tindih dengan kawasan hutan hingga seluas 15 juta hektar (Silvagama dalam FWI, 2011). Angka-angka tersebut memberikan indikasi bahwa saling klaim terhadap kawasan yang sama menjadi persoalan kronis. Mendukung fakta-fakta
  • 2. [Renaksi Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan] 2 statistik tersebut, berbagai tumpang tindih peruntukan, pemanfaatan dan penggunaan kawasan terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Di Sumatera, konflik tenurial mencuat di (baca: akibat) konsesi HTI Toba Pulp Lestari di Sumatera Utara, PT Wira Karya Sakti di Jambi, PT RAPP di Pulau Padang dan Semenanjung Kampar, Riau, PT SIL di Lampung (DKN, 2011). Konsesi pengusahaan hutan Finantara Intiga seluas 299.700 ha di Kalimantan Barat, tumpang tindih dengan setidaknya 160 kampung (WG Tenure, 2005). HPH Austral Byna Kalimantan Tengah yang memiliki konsesi seluas 294.600 ha di Kalimantan Tengah tumpang tindih dengan puluhan konsesi, baik perkebunan sawit, perkebunan karet, maupun pertambangan batubara. Di kawasan tetangganya, perkebunan sawit PT Antang Ganda Utama pun berkonflik dengan masyarakat karena saling klaim pada kawasan yang sama (FWI, 2011).Data yang dihimpun Kementerian Kehutanan (2012) menunjukkan terdapat 17 tipologi konflik penggunaan lahan dan kawasan hutan yang terkait dengan pelaksanaan transmigrasi, perizinan perkebunan dan tambang, serta perkembangan pemukiman di semua fungsi hutan konservasi, lindung maupun produksi. Sementara itu Kementerian Kehutanan juga menginventarisir sebanyak 49 konflik yang secara khusus berada di dalam lokasi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman (IUPHHK-HT). Ego sektoral dari perspektif legal formal terlihat dari bagaimana regulasi yang ada pada masing- masing sektoral enggan untuk saling berekonsiliasi Bentuk konflik lainnya sengketa kewenangan antara lembaga negara baik pusat-daerah maupun sektoral. Dalam konteks keruangan sektoral salah satu konflik yang mengemuka adalah kata “pemerintah” dalam menentukan kawasan hutan sebagaimana UU 41/1999 tentang Kehutanan telah dipahami secara umum didefinisikan sebagai Menteri Kehutanan 1 , padahal di satu sisi daerah dengan otonominya juga memiliki kewenangan mengatur penataan ruang di wilayahnya masing- masing. Di sisi lain, pengertian Pemerintah dalam menentukan kawasan hutan sebagaimana UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dipahami secara umum didefinisikan sebagai Menteri Kehutanan juga beralasan, baik mendasarkan pada UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara2. Hal ini 1Bahwa konflik kewenangan terjadi karena kata pemerintah dalam UU No. 41/1999 oleh PP 44/2004 ditafsirkan sempit sebagai Menteri Kehutanan. Padahal, Pemerintah semestinya dipahami sebagai seluruh instansi Pemerintah Pusat. 2 Termasuk Keputusan Untuk urusan kehutanan, Presiden telah menunjuk Menteri Kehutanan (Keppres Nomor 84/P Tahun 2009.
  • 3. [Renaksi Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan] 3 seolah menjadi polemik dalam perumusan perencanaan pembangunan, tetapi juga kemudian menjadi konflik antara hubungan pusat-daerah. Ini pula yang menjadi dasar bagi Bupati di lima kabupaten di Kalimantan Tengah menggugat Pasal 1 angka 3 UU 41/1999 tentang Kehutanan. Hal ini diperumit pula dengan keberadaan berbagai peraturan perundang-undangan yang seolah ikut berebut wilayah Negara. Sementara UU 41/1999 tentang Kehutanan memberikan ruang bagi Pemerintah untuk menunjuk kawasan hutan yang saat ini mencapai 130-an juta hektar, rezim UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara seolah membiarkan begitu saja daratan yang sama kemudian harus dibagi habis pula ke dalam wilayah pertambangan. Hiruk pikuk keruangan ini kemudian ditambah lagi dengan konsep kawasan lainnya dalam pelbagai peraturan perundang-undangan misalnya pola dan struktur ruang dalam UU 26/2007 tentang Penataan Ruang, dan kawasan pertanian pangan berkelanjutan dalam UU 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Persoalan tumpang tindih kewenangan tersebut merupakan salah satu alasan mengapa hingga saat ini dari 33 provinsi, baru 7 provinsi yang menyelesaikan penataan ruangnya (KPK, 2010). Menyelesaikan konflik regulasi dan kepastian usaha menjadi salah satu fondasi dasar bagi tercapainya upaya pemberantasan korupsi Permasalahan tumpang tindih pengaturan ini bukannya tidak disadari. Bahkan dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan Dan Pemberantasan Korupsi Jangka Menengah Tahun 2012-2014 dan Jangka Pan- jang Tahun 2012-2025, telah menegaskan perlunya harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan sesuai dengan kebijakan nasional dengan kebutuhan daerah terkait masalah sumber daya alam, khususnya terkait masalah bidang kehu- tanan, mineral dan batu bara, sumberdaya air, pertanahan, tata ruang, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai bagian dari fokus strategi jangka menengah pencegahan dan pemberantasan korupsi.
  • 4. [Renaksi Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan] 4 Sub Bab 1.2. Permasalahan dan Rencana Aksi Permasalahan 1.Belum selarasnya berbagai regulasi yang mengatur urusan sumberdaya alam sehingga menghambat rekonsiliasi terhadap wilayah usaha pemanfaatan SDA untuk masing-masing sektoral. Beberapa kementerian pada dasarnya akan dibebankan untuk membangun wilayah usaha sektornya masing-masing. Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara3 melalui Wilayah Usaha Pertambangan, yang kemudian diklasifikasi lagi ke dalam Wilayah Izin Usaha Pertambangan dan Wilayah Pertambangan Rakyat, misalnya menentukan lokasi yang akan diberikan izin. Sementara Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan juga mengatur adanya blok-blok tata pemanfaatan hutan berdasarkan Pasal 22. Secara normatif dalam Undang-nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan diatur juga tentang perlunya penyusunan perencanaan perkebunan termasuk dalam segi wilayahnya dengan memperhatian rencana tata ruang dan lingkungan hidup diantaranya 4 . Sementara itu Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan juga menetapkan adanya lahan pertanian berkelanjutan yang perlu diadakan oleh Pemerintah Daerah dalam penetapan tata ruangnya. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang 5 seharusnya mampu menjadi basis bagi seluruh penataan usaha seluruh sektor. Namun pengaturan kawasan budi daya dalam UU 26/2007 tidak menjelaskan bagaimana rencana pembangunan dan usaha masing-masing sektor tersebut harus diintegrasikan. Dampak 1. Memberikan peluang adanya tumpang tindih usaha Persoalan ini menyebabkan tidak adanya pedoman secara spasial bagi Pemerintah Daerah dalam menerbitkan kebijakan untuk mengelola sumberdaya alam dari berbagai sektor. Termasuk diantaranya dalam menerbitkan izin. Tanpa pedoman wilayah usaha tersebut, penerbitan izin memang diatur oleh pengaturan peruntukan sebagaimana diatur dalam penataan ruang, namun demikian regulasi masih memungkinkannya terjadi alokasi usaha untuk dua atau lebih sektor dalam satu fungsi peruntukan. Hal ini menyebabkan fungsi usaha tidak hanya tidak dapat dilakukan secara terencana, tetapi juga memberikan peluang bagi pemberian izin yang tumpang tindih antara kegiatan usaha. Persoalan ini menjadi titik rentan yang disalah gunakan sehingga berpotensi tidak hanya menjadi titik koruptif tetapi juga 3 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, selanjutnya disebut UU 4/2009. 4 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 84, selanjutnya disebut UU 18/2004. Lihat Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU 18/2004. 5 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, selanjutnya disebut UU 26/2007.
  • 5. [Renaksi Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan] 5 menimbulkan konflik. (Usulan) Rencana Aksi 1. Harmonisasi regulasi dalam rangka penyelarasan wila- yah usaha sektoral Pihak Terkait Upaya yang Telah Dilakukan Rencana Aksi Kementerian Kehutanan  Membangun peta penunjukan kawasan hutan/ tata guna hutan kesepakatan (TGHK) dan Perubahannya.  Meningkatkan kinerja pe- nataan batas.  Melakukan penetapan kawasan hutan secara parsial.  Membentuk KPH model.  Menetapkan pemantapan kawasan hutan sebagai prioritas rencana kerja Kementerian Kehutanan.  Penyempurnaan aturan tentang pengukuhan kawasan hutan.  Melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan. . Kementerian Kehutanan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional  Kementerian Kehutanan menjabarkan Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) ke dalam perencanaan pemanfaatan kawasan hutan yang lebih rinci dengan melibatkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.  Percepatan pembentukan KPH. Kementerian Lingkungan Hidup  Menerbitkan PP 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan  Menerbitkan PermenLH Nomor 09 tahun 2011 tentang Pedoman Umum KLHS  Menerbitkan PermenLH Nomor 17 tahun 2009 tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung dalam Penataan Ruang Wilayah  Menyusun Pedoman Penggunaan Kriteria dan Standar untuk Aplikasi Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkugan Hidup dalam Pengendalian perkembangan Kawasan.  Penyelesaian peraturan perundangan yang merupakan penjabaran UU 32/2009 tentang Pelindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terutama yang terkait dengan kebijakan pemanfaatan dan pencadangan Sumber Daya Alam.
  • 6. [Renaksi Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan] 6 Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, Kementerian Pekerjaan Umum  Kementerian Lingkungan Hidup mengkoordinasikan penyusunan kriteria daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dengan melibatkan Kementerian Kehutanan dan Kementerian Pekerjaan Umum serta stakeholder terkait. Kementerian ESDM  Menyusun Wilayah Usaha Pertambangan.  Melakukan evaluasi terhadap penetapan wilayah usaha pertambangan dan potensi tumpang- tindihnya dengan perizinan lain.  Mempercepat penyusunan wilayah izin usaha pertambangan, wilayah usaha pertambangan rakyat. Kementerian ESDM, Kementerian Pekerjaan Umum  Kementerian ESDM mengkoordinasikan penyusunan kriteria dalam penentuan wilayah terkait pertambangan, termasuk WUP, WIUP, dan WPR dengan melibatkan Kementerian Pekerjaan Umum. Kementerian Pertanian  Menyusun aturan penjelasan bagi Pasal 7 UU 18/2004 yang berbasis spasial dengan memastikan bahwa perencanaan perkebunan kabupaten/kota mengacu kepada perencanaan perkebunan provinsi yang diselaraskan dengan perencanaan perkebunan nasional. Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum  Kementerian Pertanian mengkoordinasikan penyusunan kriteria dalam penentuan areal peruntukan budidaya perkebunan dengan melibatkan Kementerian Pekerjaan Umum. Kementerian Pekerjaan Umum  Menyusun regulasi yang tidak hanya melakukan rekonsiliasi ruang peruntukkan tetapi juga alokasi usaha masing-masing sektoral.  Menyusun regulasi terkait perencanaan dan pemanfaatan ruang yang menjamin terakomodasinya semua kepentingan sektor dalam bentuk alokasi peruntukan ruang sebagaimana termuat dalam rencana tata ruang. Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian ESDM  Kementerian ESDM menyusun kriteria dalam penentuan wilayah terkait pertambangan, termasuk WUP, WIUP, dan WPR dengan melibatkan melibatkan Kementerian Pekerjaan Umum.
  • 7. [Renaksi Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan] 7 Kementerian Hukum dan HAM  Bersama kementerian terkait melakukan inventarisasi atas ketidakharmonisan Peraturan Perundangan dan kebijakan sektoral yang berkaitan dengan kawasan hutan.  Bersama kementerian terkait melakukan harmonisasi Peraturan Perundangan dan kebijakan sektoral yangberkaitan dengan kawasan hutan. Permasalahan 2. Mekanisme penerbitan izin terfragmentasi Dengan fragmentasi tersebut, tumpang tindih dalam perizinan terjadi tanpa ada pejabat administrasi negara yang dapat dimintakan pertanggungjawaban. Artinya, fungsi izin (vergunning) sebagai instrumen tata usaha negara untuk pengendalian menjadi kehilangan fungsinya. Sementara itu, dari sisi kepentingan usaha, perizinan yang demikian membuat proses perizinan tidak hanya menjadi rumit tetapi juga berisiko tinggi, pengambilan keputusan cenderung berbasis legal formil dan membuka ruang diskretif, dan mengahancurkan sendi-sendi kepastian hukum bahkan koruptif. Hal ini pada akhirnya memberikan insentif terjadinya pelaksanaan kegiatan usaha yang menafikan proses perizinan yang harus dijalani. (Usulan) Rencana Aksi 2. Mendorong proses perizinan yang terintegratif Pihak Terkait Upaya yang Telah Dilakukan Rencana Aksi Kementerian Pertanian  Revisi Permentan 26/2007 yang merubah bisnis proses perizinan sehingga IUP diterbitkan setelah pelepasan kawa- san hutan.  Melakukan revisi terhadap mekanisme perizinan perkebunan, sehingga izin usaha perkebunan menjadi instrumen administrasi Negara yang berada di ujung proses mendapatkan izin. Dalam hal berada di dalam kawasan hutan, IUP diterbitkan setelah pelepasan kawasan hutan. Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional  Kementerian Kehutanan mengkoordinasikan kegiatan evaluasi terhadap tindak lanjut pelepasan kawasan hutan dengan melibatkan Badan Pertanahan Nasional dan Kementerian Pertanian. Kementerian ESDM  Melakukan revisi terhadap mekanisme perizinan pertambangan, sehingga izin usaha pertambangan menjadi instrumen administrasi negara yang berada di
  • 8. [Renaksi Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan] 8 ujung proses mendapatkan izin. Dalam hal berada di dalam kawasan hutan, sebelum penerbitan WIUP yang baru sesuai UU 4/2009 ditetapkan oleh MESDM, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya sudah tercapai kesepakatan dengan Kementerian Kehutanan untuk menerbitkan IPPKH kepada pemenang lelang WIUP Mineral Logam dan Batubara atau pemohon yang sudah mendapatkan peta WIUP Mineral Bukan Logam dan Batuan sebelum mengajukan Permohonan IUP. Kementerian Kehutanan, Kementerian ESDM  Kementerian Kehutanan mengkoordinasikan kegiatan evaluasi terhadap pinjam pakai kawasan hutan untuk penggunaan di luar sektor kehutanan dengan melibatkan Kementerian ESDM. Kementerian Kehutanan Melakukan review serta sinkronisasi dengan sektor terkait terhadap mekanisme pelepasan kawasan hutan untuk keperluan perizinan dan pinjam pakai kawasan hutan dengan memperhatikan prinsip- prinsip transparansi dan akuntabilitas serta sinkronisasi dengan instansi terkait.  Segera melaksanakan penegakan hukum bagi pejabat pemberi izin yang tidak tepat lokasinya sesuai Undang-undang No 41/1999. Kementerian PU  Mendorong operasionalisasi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Penataan Ruang sebagai instrumen strategis dalam pengendalian pemanfaatan ruang dan pengawasan penataan ruang. Kementerian Lingkungan Hidup  Menerbitkan PP 27 tahun 2011 tentang Ijin Lingkungan  Sosialisasi dan internalisasi aturan tentang izin lingkungan, melaksanakan penegakan hukum bagi pelanggaran terhadap izin lingkungan.  Membangun basis data kegiatan usaha SDA yang menggunakan izin lingkungan. Permasalahan 3. Lemahnya kewenangan fungsi pengendalian pusat Dengan adanya otonomi daerah terjadi proses pelimpahan wewenang dalam pengurusan terhadap sektor sumberdaya alam. Namun, dengan adanya pelimpahan
  • 9. [Renaksi Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan] 9 wewenang tersebut tidak dibarengi dengan mekanisme pengendalian terhadap kewenangan pengurusan izin. Hal ini membuat kebijakan pengelolaan sumberdaya alam tidak jarang berjalan tanpa terkendali, lebih jauh bahkan hingga menyebabkan kesewenang-wenangan. Pengendalian tersebut sebenarnya berusaha diperkuat dengan peningkatan transparansi seperti kewajiban untuk menyampaikan tembusan kepada pusat terhadap izin yang diterbitkan. Misalnya, dalam Permentan 26/2007, disebutkan bahwa Pemerintah Daerah harus menyampaikan izin usaha yang sudah diterbitkannya kepada Kementerian Pertanian, pada kenyataannya aturan tersebut seolah tidak mengikat dengan kuat. Sementara di satu sisi, Kementerian Pertanian tidak memiliki kewenangan yang memadai untuk melakukan pengendalian terhadap penerbitan izin tersebut. Dampak 3. Memberikan celah bagi penerbitan izin berjalan secara sewenang- wenang. Dengan mengingat permasalahan nomor 1, ketidak pastian hukum dalam penentuan kawasan, dan tidak adanya pelapis kedua dalam pengawasan (second line) pemberian izin (karena lemahnya pengawasan dan pengendalian perijinan oleh Pusat), hal ini kemudian memberikan celah bagi pelaksanaan pengelolaan sumberdaya alam secara sewenang-wenang. Persoalanini diperumit dengan sektoralisme dan otonomi daerah yang seolah mengkaburkan fungsi pengawasan, sementara Kementerian Dalam Negeri merasa tidak memiliki kompetensi teknis dalam hal mengawasi dan mengendalikan kebijakan dan keputusan administrasi negara Pemerintah Daerah, Kementerian Teknis di sisi lain merasa tidak memiliki kewenangan untuk mencabut keputusan yang dilakukan oleh daerah. (Usulan) Rencana Aksi 3. Menguatkan alat-alat pengendalian dalam pengelolaan sumberdaya alam. Pihak Terkait Upaya yang Telah Dilakukan Rencana Aksi ke Depan Kementerian Kehutanan, Kementerian Keuangan, Kementerian Per- tanian, Kementerian Da- lam Negeri, Badan Pertanahan Nasional  Membangun protokol jaringan data nasional dimana masing- masing sektor merupakan simpul. Kementerian Kehutanan mengkoordinasikan kemungkinan implementasi mekanisme jaminan pelepasan kawasan hutan dengan melibatkan Kementerian Keuangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Dalam Negeri, dan Badan Pertanahan Nasional Badan Pertanahan Nasional,  Badan Pertanahan Nasional membangun kriteria tanah terlantar dan tindak lanjut pendistribusian tanah terlantar,
  • 10. [Renaksi Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan] 10 Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, termasuk jika diperlukan dikembalikan sebagai kawasan hutan dengan melibatkan Kementerian Pertanian dan Kementerian Kehutanan. Kementerian Pertanian  Pembahasan mengenai jaminan pelepasan.  Pelaporan izin usaha diakomodir dalam revisi terhadap Permenten 26/2007.  Memberikan hak akses data seluruh izin yang diterbitkan kepada Badan Informasi Geospasial.  Menggunakan data dan informasi geospasial yang disusun BIG sebagai dasar evaluasi dan proses perizinan.  Melakukan revisi terhadap Permentan 26/2007 dengan mengharuskan setiap daerah melaporkan izin yang diterbitkan kepada Kementan dan Badan Informasi Geospasial.  Menyusun NSPK untuk mengendalikan perizinan yang diterbitkan oleh daerah. Kementerian ESDM  Memberikan hak akses data spasial Izin Usaha Pertambangan yang terbaru kepada Badan Informasi Geospasial.  Menyusun aturan yang menjadikan setiap daerah melaporkan izin yang diterbitkan kepada Kementerian ESDM dan Badan Informasi Geospasial.  Menyusun NSPK untuk mengendalikan perizinan yang diterbitkan oleh daerah. Kementerian Dalam Negeri  Melaksanakan pengendalian terhadap izin-izin yang telah diterbitkan Bupati berdasarkan NSPK yang disusun oleh kementerian sektoral.  Bersama kementerian terkait menyusun NSPK pengendalian terpadu. Badan Informasi Geospasial  Membangun basis data dan informasi geospasial terhadap seluruh perizinan sektoral. Badan Pertanahan Nasional  Menyusun aturan NSPK untuk penerbitan dan pencabutan HGU.