SlideShare a Scribd company logo
1 of 126
Download to read offline
1
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BIMA
NOMOR 9 TAHUN 2011
T E N T A N G
RENCANA TATA RUANG WILAYAH
KABUPATEN BIMA TAHUN 2011-2031
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI BIMA,
Menimbang : a. bahwa untuk mengarahkan pembangunan di Kabupaten Bima
dengan memanfaatkan ruang wilayah secara berdaya guna,
berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
pertahanan keamanan, perlu disusun rencana tata ruang
wilayah;
b. bahwa dalam mewujudkan keterpaduan pembangunan antar
sektor, daerah dan masyarakat, maka rencana tata ruang
merupakan arahan dalam pemanfaatan ruang bagi semua
kepentingan secara terpadu yang dilaksanakan secara bersama
oleh pemerintah daerah, masyarakat dan/atau badan usaha;
c. bahwa dengan terbentuknya Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang, Peraturan Pemerintah Nomor 26
Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional,
dan Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 3
Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
Nusa Tenggara Barat Tahun 2009-2029, maka Peraturan
Daerah Kabupaten Bima Nomor 11 Tahun 2007 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bima Tahun 2007 –
2027 perlu diganti;
2
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c maka perlu membentuk
Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Bima Tahun 2011-2031;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan
Daerah-daerah Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-daerah
Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 115,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1649);
2. Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1960 Nomor 105, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2013);
3. Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981
Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3209);
4. Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3274);
5. Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);
6. Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar
Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3470);
7. Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistim Budi
Daya Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3478);
8. Undang – Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang
Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3881);
9. Undang – Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
3
tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4412);
10.Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2002 tentang Pembentukan
Kota Bima Di Wilayah Nusa Tenggara Barat (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 26, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4188 );
11.Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan
Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4247);
12.Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4286);
13.Undang – Undang Nomor 28 Tahun 1999 yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi,dan Nepotisme (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851);
14.Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4355);
15.Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4247);
16.Undang – Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4389);
17.Undang – Undang Nomor 25 Tahun 2004 Sistim Perencanaan
Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4421 );
18.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah
diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik
4
Indonesia Nomor 4844);
19.Undang – Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444);
20.Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33 ,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700);
21.Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4723);
22.Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4724);
23.Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4725);
24.Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 69, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4726);
25.Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 96,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4746);
26.Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849);
27.Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sampah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4851);
28.Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956);
29.Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4959);
5
30.Undang – Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4966);
31.Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas dan
Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5025);
32.Undang – Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5038);
33.Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
34.Undang – Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068);
35.Undang – Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan
Atas Undang – Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4433);
36.Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan
dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5188);
37.Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 44,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3445);
38.Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1993 tentang Benda
Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1993 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3516);
39.Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Hutan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 132, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2831);
6
40.Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisa
Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Ngara
Republik Indonesia Nomor 3838);
41.Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2000 tentang Tingkat
Ketelitian Peta untuk Penataan Ruang Wilayah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 20, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3934);
42.Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Penatagunaan Lahan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4385;
43.Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang
Perencanaan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4452);
44.Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang
Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4453);
45.Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang
Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 33, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4490);
46.Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4593);
47.Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 46,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4624);
48.Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 86,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4655);
49.Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan
dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta
Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4696);
7
50.Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Propinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/ Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4737);
51.Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Kerjasama Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 112, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4761);
52.Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 42, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4828);
53.Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 48 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4833);
54.Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2008 tentang
Pemindahan Ibukota Bima dari Wilayah Raba Kota Bima ke
Wilayah Woha Kabupaten Bima (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4841);
55.Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4858);
56.Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 83,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4859);
57.Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara
Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 15, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5097);
58.Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 21 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5103);
59.Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Serta Kedudukan
Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Di Wilayah
Provinsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5107);
8
60.Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah
Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2010 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5110);
61.Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5111);
62.Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2010 tentang Tata Cara
Penetapan Kawasan Khusus (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 59 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5125);
63.Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk
dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 118,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5160);
64.Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang
Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah;
65.Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2008 tentang
Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Tentang
Rencana Tata Ruang Daerah;
66.Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2009 tentang
Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah;
67.Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 11/PRT/M/2009
tentang Pedoman Persetujuan Substansi dalam Penetapan
Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Kota, Beserta Rencana Rincinya;
68.Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/PRT/M/2009
tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten;
69.Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.50/Menhut-II/2009
tentang Penegasan Status dan Fungsi Kawasan Hutan;
70.Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 3
Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
Nusa Tenggara Barat Tahun 2009-2029 (Lembaran Daerah
Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 Nomor 26,
Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Tahun 2010 Nomor 56).
9
71.Peraturan Daerah Kabupaten Bima Nomor 2 Tahun 2011
tentang Pembentukan Kecamatan Ambalawi, Lambu,
Madapangga, dan Tambora dalam Wilayah di Kabupaten Bima;
72.Peraturan Daerah Kabupaten Bima Nomor 2 Tahun 2008
tentang Urusan Pemerintahan Daerah Kabupaten Bima
(Lembaran Daerah Kabupaten Bima Tahun 2008 Nomor 2,
Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Bima Nomor 25);
73.Peraturan Daerah Kabupaten Bima Nomor 5 Tahun 2010
tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD) Kabupaten Bima Tahun 2011-2015 (Lembaran
Daerah Kabupaten Bima Tahun 2010 Nomor 5, Tambahan
Lembaran Daerah Kabupaten Bima Nomor 35);
74.Peraturan Daerah Kabupaten Bima Nomor 7 Tahun 2010
tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Bima
Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan, Susunan,
Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi Organisasi Perangkat
Daerah Kabupaten Bima (Lembaran Daerah Kabupaten Bima
Tahun 2010 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten
Bima Nomor 37).
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BIMA
dan
BUPATI BIMA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG
WILAYAH (RTRW) KABUPATEN BIMA TAHUN 2011-2031.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Kabupaten Bima.
2. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat Daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah.
3. Bupati adalah Bupati Bima.
4. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara,
termasuk ruang didalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia
10
dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan
hidupnya.
5. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.
6. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan
prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial
ekonomi masyarakat yang secara hierarkhis memiliki hubungan fungsional.
7. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang
meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk
fungsi budidaya.
8. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
9. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bima yang selanjutnya disingkat
RTRW Kabupaten Bima adalah arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan
ruang wilayah daerah yang menjadi pedoman bagi penataan wilayah yang
merupakan dasar dalam penyusunan program pembangunan.
10. Wilayah Daerah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta
segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.
11. Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam
satu atau lebih daerah aliran sungai dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya
kurang dari atau sama dengan 2.000 km2
.
12. Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu
kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi
menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke
danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah
topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih
terpengaruh aktivitas daratan.
13. Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya.
14. Pusat Kegiatan Wilayah yang selanjutnya disebut PKW adalah kawasan
perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala provinsi atau beberapa
kabupaten/kota.
15. Pusat Kegiatan Wilayah Promosi yang selanjutnya disebut PKWp adalah
kawasan perkotaan yang akan dipromosikan untuk menjadi PKW dengan fungsi
untuk melayani kegiatan skala provinsi atau beberapa kabupaten/kota.
16. Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disebut PKL adalah kawasan perkotaan
yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten/kota atau beberapa
kecamatan.
17. Pusat Kegiatan Lokal Promosi yang selanjutnya disebut PKLp adalah kawasan
perkotaan yang akan dipromosikan untuk menjadi PKL dengan fungsi untuk
melayani kegiatan skala kabupaten/kota atau beberapa kecamatan.
18. Pusat Pelayanan Kawasan yang selanjutnya disebut PPK merupakan kawasan
perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kecamatan atau
beberapa desa.
19. Pusat Pelayanan Lingkungan yang selanjutnya disebut PPL adalah pusat
permukiman yang berfungsi untuk melayani kegiatan sekala antar desa.
20. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan
sumber daya buatan.
11
21. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk
dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya
manusia dan sumber daya buatan.
22. Kawasan strategis kabupaten adalah wilayah yang penataan ruangnya
diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup
kabupaten terhadap ekonomi, sosial, budaya dan atau lingkungan.
23. Ruang Terbuka Hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok,
yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang
tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
24. Peraturan zonasi adalah ketentuan yang mengatur tentang persyaratan
pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap
blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata ruang.
25. Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas wilayah yang berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
26. Kawasan pesisir adalah kawasan yang merupakan peralihan antara darat dan
laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
27. Masyarakat adalah orang perorangan, kelompok orang, termasuk masyarakat
hukum adat dan badan hukum.
28. Peran Masyarakat adalah partisipasi aktif masyarakat dalam proses
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan
ruang.
29. Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional yang selanjutnya disebut BKPRN
adalah badan yang dibentuk dengan Keputusan Presiden yang bertugas untuk
mengkoordinasikan penataan ruang Nasional.
30. Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah Propinsi Nusa Tenggara Barat yang
selanjutnya disebut BKPRD Provinsi adalah Badan yang dibentuk dengan
Keputusan Gubernur yang bertugas untuk mengkoordinasikan penataan ruang
wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat.
31. Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah yang selanjutnya disebut BKPRD
Kabupaten Bima adalah Badan yang dibentuk dengan Keputusan Bupati yang
bertugas untuk mengkoordinasikan penataan ruang wilayah Kabupaten Bima.
32. Register Tanah Kehutanan yang selanjutnya disebut RTK adalah sistem
penomoran tiap-tiap kelompok hutan menurut fungsi.
33. Kawasan Pertahanan Negara adalah wilayah yang ditetapkan secara nasional
yang digunakan untuk kepentingan pertahanan.
12
BAB II
TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI
PENATAAN RUANG WILAYAH
Bagian kesatu
Tujuan
Pasal 2
Tujuan penataan ruang wilayah Kabupaten Bima adalah untuk mewujudkan
Kabupaten Bima sebagai kawasan pengembangan agrobisnis berbasis pertanian,
peternakan, agroindustri berbasis perikanan, dan wisata bahari.
Bagian kedua
Kebijakan
Pasal 3
Untuk menjadikan tujuan penataan ruang wilayah kabupaten tercapai perlu disusun
kebijakan penataan ruang kabupaten.
Pasal 4
Kebijakan penataan ruang terdiri atas :
a. pengembangan wilayah-wilayah yang berbasis pertanian, perikanan, dan wisata
bahari;
b. peningkatan pertumbuhan dan pengembangan wilayah dengan konsep
agrobisnis dan agroindustri;
c. pengembangan kawasan pariwisata yang berbasis potensi alam dan budaya;
d. pengendalian pemanfaatan lahan pertanian;
e. penataan pusat-pusat pertumbuhan wilayah dan ekonomi perkotaan dan
menunjang sistem pemasaran produksi pertanian, perikanan dan pariwisata;
f. pengembangan sistem prasarana wilayah yang mendukung pemasaran hasil
pertanian, perikanan dan pariwisata;
g. pengelolaan pemanfaatan lahan dengan memperhatikan peruntukan lahan, daya
tampung lahan dan aspek konservasi;
h. pengembangan kawasan budidaya dengan memperhatikan aspek keberlanjutan
dan lingkungan hidup yang didahului dengan kajian lingkungan hidup strategis;
dan
i. peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan kemanan.
13
Bagian Ketiga
Strategi
Pasal 5
Untuk melaksanakan kebijakan penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam pasal
4 ditetapkan strategi penataan ruang wilayah yang terdiri atas :
a. Strategi pengembangan wilayah-wilayah yang berbasis pertanian, perikanan,
dan wisata bahari;
b. Strategi peningkatan Pertumbuhan dan pengembangan wilayah dengan konsep
agrobisnis dan agro industri;
c. Strategi Pengendalian pemanfaatan lahan pertanian;
d. Strategi Penataan pusat pusat pertumbuhan wilayah dan ekonomi perkotaan
yang menunjang sistem mpemasaran produksi pertanian, perikanan, pariwisata
dan pertambangan;
e. Strategi pengembangan sistim prasarana wilayah yang mendukung pemasaran
hasil pertanian, perikanan, pariwisata, dan pertambangan;
f. Strategi pengelolaan pemanfaatan lahan dengan memperhatikan peruntukan
lahan, daya tampung lahan dan aspek konservasi;
g. Strategi pengembangan kawasan budidaya dengan memperhatikan aspek
keberlanjutan dan lingkungan hidup;
h. Strategi pengembangan kawasan pariwisata yang berbasis pada potensi alam
dan budaya; dan
i. Strategi peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan.
Pasal 6
(1) Strategi pengembangan wilayah-wilayah yang berbasis pertanian, perikanan,
dan wisata bahari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a meliputi :
a. mengembangkan wilayah-wilayah dengan potensi unggulan pertanian dan
perikanan sebagai daerah produksi;
b. mengembangkan objek-objek wisata potensial;dan
c. meningkatkan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana penunjang
produksi.
(2) Strategi Peningkatan Pertumbuhan dan pengembangan wilayah dengan konsep
agrobisnis dan agroindustri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b
meliputi :
a. menetapkan wilayah agrobisnis di Kecamatan Belo, Bolo, Sape, Tambora,dan
Wera;
b. menetapkan wilayah agroindustri di Kecamatan Woha;
c. meningkatkan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana penunjang
kawasan agrobisnis dan agroindustri; dan
d. meningkatkan kelembagaan pengelolaan kawasan agrobisnis dan
agroindustri.
14
(3) Strategi Pengendalian pemanfaatan lahan pertanian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 huruf c meliputi:
a. menekan pengurangan luasan lahan sawah beririgasi;
b. menetapkan lahan sawah abadi atau lahan sawah berkelanjutan dan menekan
pengurangan luasan lajan sawah beririgasi;
c. mengembangkan sawah baru pada kawasan potensial; dan
d. mengoptimalkan pemanfaatan kawasan pertanian lahan kering.
(4). Strategi Penataan pusat-pusat pertumbuhan wilayah dan ekonomi perkotaan
yang menunjang sistem pemasaran produksi pertanian, perikanan, dan wisata
bahari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf d meliputi:
a. menetapkan hierarki simpul-simpul pertumbuhan ekonomi wilayah;
b. memantapkan fungsi simpul-simpul wilayah;
c. memantapkan keterkaitan antar simpul-simpul wilayah dan interaksi antara
simpul wilayah dengan kawasan perdesaan sebagai hinterlandnya;
d. menjaga keterkaitan antar kawasan perkotaan, antara kawasan perkotaan dan
kawasan perdesaan, serta antara kawasan perkotaan dan wilayah di
sekitarnya;
e. mengembangkan pusat pertumbuhan baru di kawasan yang belum terlayani
oleh pusat pertumbuhan; dan
f. mendorong kawasan perkotaan dan pusat pertumbuhan agar lebih kompetitif
dan lebih efektif dalam pengembangan wilayah di sekitarnya.
(5). Strategi pengembangan sistem prasarana wilayah yang mendukung pemasaran
hasil pertanian, perikanan, dan wisata bahari sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 huruf e meliputi:
a. mengembangkan sistem jaringan infrastruktur dalam mewujudkan
keterpaduan pelayanan transportasi darat, laut, dan udara;
b. mengembangkan akses jaringan jalan menuju kawasan pertanian, perikanan,
pariwisata, industri dan daerah terisolir;
c. mengembangkan dan meningkatkan jalan lingkar perkotaan dan jalan lingkar
utara-selatan wilayah Kabupaten Bima;
d. mendorong pengembangan jaringan telekomunikasi dan informasi terutama di
kawasan terisolir ; dan
e. meningkatkan jaringan energi dengan memanfaatkan energi terbarukan dan
tak terbarukan secara optimal serta mewujudkan keterpaduan sistem
penyediaan tenaga listrik.
(6).Strategi pengelolaan pemanfaatan lahan dengan memperhatikan peruntukan
lahan, daya tampung lahan dan aspek konservasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 huruf f meliputi:
a. mempertahankan luas kawasan lindung;
b. mempertahankan luasan hutan lindung dan mengembangkan luas kawasan
hutan minimal 30% dari luasan daerah aliran sungai;
15
c. mengembalikan dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang telah
menurun akibat pengembangan kegiatan budidaya, dalam rangka
mewujudkan dan memelihara keseimbangan ekosistem wilayah;
d. menyelenggarakan upaya terpadu untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas
fungsi kawasan lindung;
e. melestarikan sumber air dan mengembangkan sistem cadangan air untuk
musim kemarau;
f. memelihara kemampuan lingkungan hidup dari tekanan perubahan dan/atau
dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan agar tetap mampu
mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya; dan
g. mencegah terjadinya tindakan yang dapat secara langsung atau tidak
langsung menimbulkan perubahan sifat fisik lingkungan yang mengakibatkan
lingkungan hidup tidak berfungsi dalam menunjang pembangunan yang
berkelanjutan.
(7) Strategi pengembangan kawasan budidaya dengan memperhatikan aspek
keberlanjutan dan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf
g meliputi:
a. mendukung kebijakan moratorium logging dalam kawasan hutan serta
mendorong berlangsungnya investasi bidang kehutanan yang diawali dengan
kegiatan penanaman/rehabilitasi hutan;
b. mengembangkan produksi hasil hutan kayu dari hasil kegiatan budidaya
tanaman hutan dalam kawasan hutan produksi;
c. mengembangkan produksi hasil hutan kayu yang berasal dari hutan alam, dari
kegiatan penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan dengan izin yang sah;
d. memelihara kawasan peninggalan sejarah dan situs budaya sebagai objek
penelitian dan pariwisata;
e. mengembangkan ruang terbuka hijau dengan luas paling sedikit 30% (tiga
puluh persen) dari luas kawasan perkotaan;
f. mengelola pemanfaatan sumber daya alam agar tidak melampaui daya
dukung dan daya tampung kawasan;
g. mengelola dampak negatif kegiatan budi daya agar tidak menurunkan kualitas
lingkungan hidup dan efisiensi kawasan;
h. membatasi perkembangan kawasan terbangun pada kawasan perkotaan
dengan mengoptimalkan pemanfaaatan ruang secara vertikal dan tidak
sporadis untuk mengefektifkan tingkat pelayanan infrastruktur dan sarana
kawasan perkotaan serta mempertahankan fungsi kawasan perdesaan;
i. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana untuk
menjamin kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan; dan
j. mengelola sumber daya alam tak terbarukan untuk menjamin
pemanfaatannya secara bijaksana dan sumber daya alam yang terbarukan
untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara
dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya.
(8). Strategi pengembangan kawasan pariwisata yang berbasis potensi alam dan
budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf h, meliputi :
a. mengembangkan kawasan pariwisata dengan obyek wisata unggulan;
b. mengelola, mengembangkan dan melestariukan peninggalan sejarah
purbakala;
16
c. merevitalisasi nilai-nilai budaya serta situs/cagar budaya yang bernilai
historis; dan
d. mengembangkan sarana dan prasarana penunjang kepariwisataan.
(9) Strategi peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf i, meliputi :
a. menetapkan kawasan strategis nasional dengan fungsi khusus pertahanan
dan keamanan;
b. mengembangkan budidaya secara selektif di dalam dan di sekitar kawasan
strategis nasional untuk menjaga fungsi pertahanan dan keamanan;
c. mengembangkan kawasan lindung dan/atau kawasan budidaya tak
terbangun di sekitar kawasan strategis nasional sebagai zona penyangga
yang memisahkan kawasan strategis nasional dengan kawasan budidaya
terbangun; dan
d. turut serta memelihara dan menjaga aset – aset pertahanan/TNI.
BAB III
RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 7
Rencana Struktur Ruang Wilayah meliputi :
a. pusat-pusat kegiatan;
b. sistem jaringan prasarana utama; dan
c. sistem jaringan prasarana lainnya.
Bagian Kedua
Pusat-Pusat Kegiatan
Pasal 8
Pusat-pusat kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a meliputi :
a. PKWp di Kota Woha;
b. PKL terdiri atas Kore (Sanggar), O’o (Donggo), Naru (Sape), Sila (Bolo), Tangga
(Monta), Maria (Wawo), dan Tawali (Wera);
c. PPK terdiri atas Karumbu (Langgudu), Cenggu (Belo), Kananta (Soromandi),
Labuan Kananga (Tambora), Sumi (Lambu), Nipa (Amblawi), Kuta (Lambitu),
Teke (Palibelo) , Parado Rato (Parado) dan Dena (Madapangga); dan
d. PPL terdiri atas Ntonggu Baru, Karampi, Wila Maci, Wadu Kopa, Oi Bura,
Nggelu, Lere, Campa.
17
Pasal 9
(1) PKWp sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a berfungsi sebagai :
a. simpul transportasi skala wilayah;
b. pusat perdagangan, bisnis, keuangan, dan jasa skala regional dan atau
nasional;
c. pusat pelayanan pemerintahan skala kabupaten;
d. pusat pelayanan pendidikan dan kesehatan; dan
e. pusat pelayanan umum dan sosial skala regional.
(2) PKL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b berfungsi sebagai :
a. simpul transportasi skala lokal;
b. pusat perdagangan, bisnis, keuangan, dan jasa skala lokal dan/atau regional;
dan
c. pusat pelayanan pendidikan dan kesehatan skala lokal dan/atau regional.
(3) PPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c berfungsi sebagai:
a. simpul transportasi skala kawasan;
b. pusat perdagangan, bisnis, keuangan, dan jasa skala kawasan dan atau lokal;
dan
c. pusat pelayanan umum dan sosial skala kawasan.
(4) PPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf d berfungsi sebagai:
a. simpul transportasi skala lingkungan;
b. pusat perdagangan, bisnis, keuangan, dan jasa skala lingkungan dan atau
kawasan; dan
c. pusat pelayanan umum dan sosial skala lingkungan.
Bagian Ketiga
Sistem Jaringan Prasarana Utama
Pasal 10
(1) Rencana pengembangan sistem jaringan prasarana utama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 huruf b meliputi :
a. sistem transportasi darat;
b. sistem transportasi laut; dan
c. sistem transportasi udara.
(2) Rencana pengembangan sistem jaringan transportasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran 1 yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Daerah ini.
18
Paragraf 1
Sistem Transportasi Darat
Pasal 11
(1) Rencana pengembangan Sistem transportasi darat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a terdiri atas :
a. jaringan lalu lintas dan angkutan jalan yang terdiri atas jaringan jalan, jaringan
prasarana lalu lintas, dan jaringan layanan lalu lintas; dan
b. jaringan transportasi penyeberangan.
(2) Jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi :
a. jaringan jalan arteri primer meliputi : jalan penghubung Sila – Talabiu – Bima –
melewati Kota Bima;
b. jaringan jalan kolektor primer meliputi:
1. jalan penghubung Sila-Donggo;
2. jalan penghubung Talabiu-Tangga-Parado-Wilamaci-Karumbu-Sape;
3. jalan penghubung Bima-Tawali-Sape;
4. jalan penghubung Labuan Kananga – Kawinda To’i – Piong – Sp.Kore –
Kiwu – Sampungu – Bajo – Sampungu;
5. jalan penghubung Kore-Labuan Kananga;
6. jalan penghubung Lere-batas Kabupaten Dompu;
7. jalan penghubung simpang Nipa-batas Kota Bima; dan
8. jalan penghubung Kananta-Sampungu-batas Kabupaten Dompu.
c. jaringan jalan lokal primer meliputi :
1. jalan penghubung Simpang Laju-Tolouwi-Simpang Paradorato;
2. jalan penghubung Sondo-Rupe- Simpang Tanggabaru-Lere;
3. jalan penghubung Lambu-Sumi-Nggelu;
4. jalan penghubung Wora-Nunggi-Ntoke-batas Kota Bima;
5. jalan penghubung Monggo-Tonda-Keli-Risa;
6. jalan penghubung Ndano-Dena-Mpuri-Tonda; dan
7. jalan penghubung Simpang O’O-Kala-Kananta.
d. jaringan jalan arteri sekunder meliputi :
simpang Kara Timur (Arteri Primer)-jalan lintas pantai Barat-jalan lintas pantai
Timur- simpang Bandara.
e. jaringan jalan kolektor sekunder meliputi :
1. jalan penghubung arteri Primer – Panda – Woha – Risa – Tenga- Kolektor
Primer;
2. jalan penghubung Donggobolo-Risa;
3. jalan penghubung Kalampa-Samili-Rabakodo-Talabiu;
4. jalan penghubung Panda – Donggo-Penapali; dan
5. jalan penghubung Woha-Kalampa.
(3) Jaringan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a meliputi :
a. jaringan prasarana terdiri atas terminal penumpang Kelas B berada di
Kecamatan Woha; dan
19
b. Pembangunan terminal tipe C tersebar di kecamatan Belo, Bolo, Lambu,
Wawo, Ambalawi, Monta, Langgudu, Donggo, Tambora, Lambitu, Soromandi .
(4) Jaringan pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a meliputi :
a. jaringan trayek antar kota dalam provinsi (AKDP) meliputi : Woha-Bima,
Woha-Dompu, Woha-Sumbawa, Woha – Mataram; dan
b. jaringan trayek angkutan perdesaan meliputi : Woha-Belo, Woha-Bolo, Woha-
Sape, Bolo-Kananta, Bolo-O’o, Kore-Labuan Kananga, Naru-Wora, Naru
Waworada, Woha-Waworada.
(5) Jaringan transportasi penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b meliputi :
a. pelabuhan penyeberangan lintas provinsi yaitu Pelabuhan Sape di Kecamatan
Sape;penyebrangan terdiri atas :
Sape – Labuan Bajo, Sape-Waikelo
b. lintas penyeberangan antar Kabupaten :
1. Labuan Kananga – Bima (Kota Bima); Labuan Kananga-Moyo (Kab.
Sumbawa);
2. Cempi (Kab. Dompu) – Waworada (Kab. Bima);
3. Waworada (Kab.Bima) – Sape (Kab.Bima); dan
4. Bima (Kota Bima) – Sape (Kab. Bima).
(6) Rencana pengembangan jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diwujudkan dalam bentuk peta Rencana Jaringan Jalan Wilayah Kabupaten
Bima sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah ini.
Paragraf 2
Sistem Transportasi Laut
Pasal 12
Rencana Pengembangan Sistem transportasi laut sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (1) huruf b terdiri atas :
a. pelabuhan pengumpan lintas provinsi berada di Sape dengan alur pelayaran
meliputi: Sape-Labuan Bajo, Sape-Waikelo;
b. pelabuhan pengumpan berada di Waworada dengan alur pelayaran meliputi:
Waworada-Cempi, Waworada-Sape; dan
c. pelabuhan pengumpan berada di Labuan Kananga Kecamatan Tambora dengan
alur pelayaran meliputi: Lb. Kananga – Bima (Kota Bima).
20
Paragraf 3
Sistem Transportasi Udara
Pasal 13
Rencana Pengembangan Sistem transportasi udara Kabupaten Bima sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c yaitu bandar udara pusat pengumpul
skala tersier berada di Bandar Udara Sultan Muhammad Salahuddin Bima.
Bagian Keempat
Sistem Jaringan Prasarana Lainnya
Pasal 14
(1) Rencana pengembangan sistem jaringan prasarana lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 huruf c meliputi:
a. sistem jaringan energi;
b. sistem jaringan telekomunikasi;
c. sistem jaringan sumber daya air;
d. sistem jaringan prasarana air bersih;
e. sistem jaringan drainase;
f. sistem jaringan pengolahan air limbah; dan
g. sistem jaringan prasarana persampahan.
(2) Rencana pengembangan sistem jaringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tercantum dalam Lampiran I dan diwujudkan dalam bentuk peta Rencana
Jaringan Prasarana Wilayah Kabupaten Bima sebagaimana tercantum dalam
Lampiran III yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
Paragraf 1
Sistem Jaringan Energi
Pasal 15
(1) Rencana pengembangan sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (1) huruf a meliputi :
a. gardu induk di Raba Kota Bima;
b. gardu pembagi di Woha dan Bolo; dan
c. jaringan transmisi tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Bima.
(2) Rencana pengembangan sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) direncanakan sebesar 81,5 MW.
(3) Rencana pengembangan sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan dengan cara :
a. pengembangan Listrik Tenaga Diesel di Bajo Pulau Kecamatan Sape, Nggelu,
Pai, Sai, Sampungu, Sape, Monta dan Kore;
b. pengembangan Listrik Tenaga Surya di Kecamatan Langgudu, Tambora,
Sanggar dan Wera ;
c. pengembangan Listrik Tenaga Mikrohidro di Kecamatan Tambora;
21
d. pengembangan Listrik Tenaga Bayu/Angin di Kecamatan Langgudu, dan
Wera; dan
e. pembangkit Listrik Tenaga Arus Bawah Laut di Kecamatan Soromandi.
Paragraf 2
Sistem Jaringan Telekomunikasi
Pasal 16
(1) Rencana pengembangan sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b meliputi :
a.Stasiun Telepon Otomat (STO) tersebar di Kecamatan Woha, Bolo dan Sape;
b.Rumah Kabel dan kotak pembagi tersebar di Kecamatan Woha, Bolo dan
Sape;
c.jaringan kabel sekunder tersebar di Kecamatan Woha, Bolo dan Sape;
d.Satuan Sambungan Telepon (SST) tersebar di Kecamatan Woha, Bolo dan
Sape; dan
e.Tower Telekomunikasi Seluler tersebar di seluruh kecamatan Kabupaten
Bima.
(2) Rencana Pengembangan sistem Jaringan Telekomunikasi berupa microdigital
dan serat optik dilakukan dalam rangka memperlancar arus komunikasi dan
mendukung lancarnya kegiatan perekonomian di wilayah Kabupaten Bima.
(3) Rencana pengembangan sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diwujudkan dalam bentuk peta Rencana Jaringan Prasarana
Wilayah Kabupaten Bima sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
Paragraf 3
Sistem Jaringan Sumber Daya Air
Pasal 17
(1) Rencana pengembangan sistem jaringan sumber daya air sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf c dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
air bersih dan irigasi dengan cara rencana pengembangan wilayah sungai dan
sistem jaringan irigasi dalam wilayah.
(2) Rencana pengembangan sistem jaringan sumber daya air sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf c diwujudkan dalam bentuk peta
Rencana Jaringan Prasarana Wilayah Kabupaten Bima sebagaimana tercantum
dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Daerah ini.
22
Pasal 18
(1) Rencana pengembangan Wilayah Sungai (WS) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (1) meliputi:
a. Wilayah Sungai Strategis Nasional yaitu wilayah sungai Sumbawa dan wilayah
sungai Bima Dompu yang meliputi wilayah sungai lintas kabupaten dan/atau
kota terdiri atas sungai lampe meliputi Sungai Wawo-Sungai Lampe-Sungai
Rontu dan Sungai Padolo; dan
b. Wilayah Sungai utuh kabupaten terdiri atas ; sungai Sori Campa, Sori
Kampasi, Sori Kawuwu Ncera, Sori Sumi, Sori Na,e Sape, Sori Karenggo, Sori
Padende, Sori Monca O’o, Sori Raba Ncanga Mbawa, Sori Kala, Sori Na,e
Sampungu, Sori Na,e, Sori Sai, Sori Manggi, Sori Boroloka, Sori Roka, Sori
Kuta, Sori Ntonggu, Sori Kaleli, Sori Nunggi, Sori Karumbu, Sori Sambu, Sori
Diwumoro, Sori Sari, Sori Oi Marai, dan Sori Lere.
(2) Pola dan strategi pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (1) wilayah sungai pulau sumbawa yang merupakan wilayah
sungai strategis nasional.
(3) Rincian rencana pengelolaan sistem jaringan prasarana sumberdaya air
kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
Pasal 19
(1) Rencana pengembangan sistem jaringan irigasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (1) meliputi :
a. pembangunan bendungan/bendung/embung dan sistem jaringan irigasi yang
merupakan kewenangan pemerintah sebanyak 5 unit/buah yang tersebar di
Kecamatan Parado, Sape, Tambora, Wawo, dan Wera;
b. operasi dan pemeliharaan bendungan/bendung/embung dan sistem jaringan
irigasi yang merupakan kewenangan pemerintah sebanyak 6 unit/buah yang
tersebar di Kecamatan Monta, Parado, Sape, Tambora, Wawo, dan Wera;
c. operasi dan pemeliharaan bendungan/ bendung/ embung dan sistem jaringan
irigasi yang merupakan kewenangan Pemerintah Provinsi sebanyak 4
unit/buah yang tersebar di Kecamatan Bolo, Lambu, Madapangga, Parado;
dan
d. operasi dan pemeliharaan bendungan/ bendung/ embung dan sistem jaringan
irigasi yang merupakan kewenangan Pemerintah Kabupaten Bima sebanyak
45 unit/buah tersebar di seluruh kecamatan Kabupaten Bima.
(2) Rencana pengembangan sistem jaringan irigasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bertujuan untuk :
a. membatasi perubahan alih fungsi sawah irigasi teknis dan setengah teknis
menjadi kegiatan budidaya lainnya;
b. mengembangkan prasarana irigasi; dan
c. meningkatkan kualitas jaringan irigasi teknis.
23
(3) Rincian rencana pengelolaan sistem jaringan prasarana sumberdaya air
kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) tercantum dalam
Lampiran I yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
Paragraf 4
Sistem Jaringan Prasarana Air Bersih
Pasal 20
(1) Rencana pengembangan sistem jaringan prasarana air bersih sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf d dilakukan dalam rangka peningkatan
cakupan pelayanan, peningkatan kualitas air, dan efisiensi pemanfaatan air
bersih dengan memperhatikan konservasi sumber–sumber air dan
keanekaragaman sumber air baku .
(2) Rencana Pengembangan Sistem Jaringan prasarana air bersih sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. pengembangan jaringan perpipaan air baku dan air bersih terdapat di
beberapa Kecamatan antara lain Kecamatan Monta, Woha, dan Palibelo;
b. saluran perpipaan air baku terdapat di lokasi, antara lain Kecamatan Monta;
c. instalasi air bersih terdapat di lokasi, antara lain di Kecamatan Monta;
d. sumber air baku terdapat dilokasi, antara lain dari Sungai Parado Kanca; dan
e. reservoir sebanyak 1 unit terdapat dilokasi, antara lain Kecamatan Palibelo.
Paragraf 5
Sistem Jaringan Prasarana Drainase
Pasal 21
Rencana pengembangan sistem jaringan prasarana drainase sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf e dilakukan dengan cara :
a. normalisasi dan perkuatan tebing: Sungai Ambalawi, Sungai Bontokape, Sungai
Palibelo, Sungai Parado, dan Sungai Sumi;
b. drainase primer adalah saluran pengumpul dari drainase sekunder dan dapat
dialirkan ke sungai;
c. drainase sekunder dilakukan pembangunan sistem drainase pada daerah
permukiman perkotaan dan perdesaan yang rawan bencana banjir dan
genangan air limbah menuju drainase primer; dan
d. drainase tersier dilakukan pembangunan sistem drainase pada lingkungan
permukiman perkotaan dan perdesaan menuju drainase sekunder.
Paragraf 6
Sistem Jaringan Prasarana Pengolahan Air Limbah
Pasal 22
(1) Rencana pengembangan sistem jaringan prasarana pengelolaan air limbah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf f bertujuan untuk
pengurangan, pemanfaatan kembali, dan pengolahan bagi limbah dari kegiatan
24
permukiman, perkantoran dan kegiatan ekonomi dengan memperhatikan baku
mutu limbah yang berlaku.
(2) Sistem pengelolaan air limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
sistem pembuangan air limbah setempat dan/atau terpusat.
(3) Sistem pengelolaan air limbah setempat dilakukan secara individual melalui
pengolahan dan pembuangan air limbah setempat pada kawasan-kawasan yang
belum memiliki sistem terpusat di Kabupaten Bima.
(4) Sistem pengelolaan air limbah terpusat dilakukan secara kolektif melalui jaringan
pengumpul dan diolah serta dibuang secara terpusat pada kawasan bandara,
kawasan pusat pemerintahan, kawasan pariwisata, kawasan industri, kawasan
perdagangan dan jasa, kawasan perumahan dan kawasan permukiman padat di
Kabupaten Bima.
(5) Lokasi instalasi pengolahan air limbah harus memperhatikan aspek teknis,
lingkungan, sosial budaya masyarakat setempat, serta dilengkapi dengan zona
penyangga, berlokasi di Kecamatan Woha.
Paragraf 7
Sistem Jaringan Prasarana Persampahan
Pasal 23
Rencana pengembangan sistem jaringan prasarana persampahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf g meliputi :
a. Tempat Penampungan Sementara (TPS) sebanyak kurang lebih 400 unit tersebar
di setiap desa; dan
b. Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sebanyak 5 unit tersebar pada setiap
kecamatan yaitu Kecamatan Sape, Kecamatan Woha, Kecamatan Bolo,
Kecamatan Sanggar, dan Kecamatan Wera;
BAB IV
RENCANA POLA RUANG WILAYAH
Bagian kesatu
Umum
Pasal 24
(1) Rencana pola ruang wilayah dilaksanakan berdasarkan arahan perencanaan:
a. rencana pengembangan kawasan lindung dengan luas kurang lebih 140.790
Ha; dan
b. rencana pengembangan kawasan budidaya dengan luas kurang lebih 298.149
Ha.
25
(2) Rencana pola ruang wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan
dalam bentuk Peta Rencana Pola Ruang Wilayah Kabupaten Bima Tahun 2011 –
2031 sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
Bagian Kedua
Kawasan Lindung
Pasal 25
(1) Rencana pengelolaan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
ayat (1) huruf a meliputi semua upaya perlindungan, konservasi, dan pelestarian
fungsi sumber daya alam dan lingkungannya guna mendukung kehidupan secara
serasi yang berkelanjutan dan tidak dapat dialihfungsikan menjadi kawasan
budidaya.
(2) Kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf a
meliputi:
a. kawasan hutan lindung;
b. kawasan yang memberikan perlindungan bagi kawasan bawahannya;
c. kawasan perlindungan setempat;
d. kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya;
e. kawasan rawan bencana alam; dan
f. kawasan lindung geologi.
(3) Kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a adalah
seluas kurang lebih 83.190 Ha meliputi: Kawasan hutan lindung persebarannya
terletak pada kelompok hutan Maria (RTK 25) , Pamali (RTK 52), Tambora (RTK
53), Soromandi (RTK 55), Toffo Rompu (RTK 65), Nipa Pusu (RTK 66), Kota
Donggomasa (RTK 67).
(4) Kawasan yang memberikan perlindungan bagi kawasan bawahannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berupa Kawasan resapan air
meliputi: Kawasan Gunung Tambora dan Kawasan Doro Daria, Kawasan Doro
Sando, Kawasan Doro Donggo;
(5) Kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c
meliputi:
a. kawasan sempadan sungai dilakukan pengelolaan sungai yaitu :
1. kegiatan pinggir sungai mampu melindungi dan memperkuat serta
pengaturan aliran air, dengan tanaman keras dan rib pengendali saluran
air;
2. daerah sempadan untuk sungai kecil masing-masing selebar 50 meter
dijadikan kawasan lindung pada kawasan non pemukiman dan selebar 10
meter untuk sungai yang melewati pemukiman; dan
3. sungai yang terdapat di tengah pemukiman dapat dilakukan dengan
membuat jalan inspeksi dengan lebar jalan 10 meter.
26
b. kawasan sekitar danau atau waduk diarahkan ke seluruh kawasan sekitar
danau dan waduk yang tersebar di Kabupaten Bima : Pela Parado, Campa,
Rababaka, Sumi, lebarnya berimbang dengan bentuk kondisi fisik
danau/waduk antara 50-100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat;
Rencana kawasan sekitar danau/waduk di Kabupaten Bima yaitu sekitar
Danau Vulkanik Gunung Tambora, kawasan Waduk Sumi di Kecamatan
Lambu, Bendungan Pela Parado di Kecamatan Parado, Waduk Roka, Waduk
Ncera di Kecamatan Belo;
c. kawasan mata air, garis sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 200 m
disekitar mata air dan tersebar di beberapa kecamatan di Kabupaten Bima,
yaitu di Kecamatan Tambora 3 titik, Kecamatan Sanggar 2 titik, Kecamatan
Donggo 2 titik, Kecamatan Bolo 4 titik, Kecamatan Madapangga 1 titik,
Kecamatan Woha 2 titik, Kecamatan Monta 4 titik, Kecamatan Parado 2 titik,
Kecamatan Belo 1 titik, Kecamatan Wawo 1 titik, Kecamatan Lambitu 1 titik,
Kecamatan Sape 3 titik, dan Kecamatan Wera 2 titik;
d. sempadan pantai, Kawasan sempadan pantai ditetapkan pada kawasan
sepanjang tepian pantai sejauh 100 meter dari pasang tertinggi secara
proporsional sesuai dengan bentuk, letak dan kondisi fisik pantai; dan
e. ruang terbuka hijau kota. Kawasan Hutan Kota yang berfungsi sebagai Ruang
Terbuka Hijau (RTH) dikembangkan pada Ibukota Kabupaten dan Kota
Kecamatan.
(6) Kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf d meliputi:
a. kawasan Cagar Alam (CA) di Kabupaten Bima meliputi CA Gunung Tambora
Selatan, CA Pulau Sangiang, dan CA Toffo Kota Lambu dengan luas kurang
lebih 21.095 Ha;
b. kawasan pantai berhutan bakau meliputi kawasan pantai di sekitar pantai
Kecamatan Ambalawi, Bolo, Lambu, Monta, Palibelo, Sape, Wera, dan Woha
dengan luas kurang lebih 621 Ha;
c. kawasan suaka alam laut dan perairan meliputi Karampi Kecamatan
Langgudu, Pulau Gilibanta Kecamatan Sape dan Tanjung Mas di Kecamatan
Monta;
d. kawasan suaka margasatwa di Tambora (RTK 53) dengan luas kurang lebih
17.686 Ha;
e. kawasan wisata alam Madapangga di Toffo Rompu (RTK 65) dengan luas
kurang lebih 232 Ha;
f. kawasan taman buru Tambora (RTK 53) dengan luas kurang lebih 16.586 Ha;
g. kawasan cagar budaya meliputi :
1. megalitik Lesung Batu, Wadu Sigi, Kompleks rumah adat,
Pesanggarahan Oi Wobo di Kecamatan Wawo;
2. perkampungan Tradisional Sambori di Kecamatan Lambitu, Bekas tapak
kaki di Kecamatan Langgudu;
3. sumur tembaga di Kecamatan Lambu, Nakara Perunggu , Makam Rato
Wara Bewi, Wadu Nocu, dan Gua Sangiang di Kecamatan Wera;
27
4. perkampungan tradisional Mbawa, Makam kuno, Wadu Tunti, Uma
Leme, Makam La Ncahu, Makam La Hila, Kompleks Dana Mbojo, Wadu
Ntori, Pesanggrahan, situs Wadu Kopa, Kecamatan Donggo, ;
5. kompleks Wadu Pa’a di Kecamatan Soromandi;
6. Wadu Tunti, Temba Romba, bekas tapak kaki, Wadu Sura, Makam kuno
di Kecamatan Sape;
7. situs Bukit Kaniki, Situs Bukit Henca, Makam Kuno, Situs Lawangkuning,
bekas tapak kaki, Situs Gua La Hami, Rasa Mantoi, Wadu Nocu, Makam
Raja Sanggar, Gua Abarahi, Sarkopagus di Kecamatan Sanggar;
8. bekas candi di Kecamatan Madapangga;
9. wadu Genda di Kecamatan Bolo;
10. gua Doro Parewa, Makam Kuno di Kecamatan Monta;
11. arca Gajah di Kecamatan Parado;
12. nekara Batu, Sarkofagus, Tapak Kaki di Kecamatan Belo; dan
13. wadu Bara Sila, Temba Ndori di Kecamatan Woha.
(7) Kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e
meliputi:
a. kawasan rawan bencana angin topan meliputi Kecamatan Woha dsk, Monta
dsk, Poja dsk, Wera dsk;
b. kawasan rawan bencana tanah longsor meliputi kecamatan Kawasan sekitar
Tambora bagian timur, Karumbu, dan Gunung kuta;
c. kawasan rawan bencana kekeringan meliputi kecamatan Bolo; Paradowane,
Paradorato, Tawali, Sape, dan P. Sangiang;
d. kawasan rawan bencana banjir meliputi Daerah di sepanjang aliran sungai di
Sori Wawo Maria, daerah Sape dan sekitarnya, Karumbu, Lambu, Ntoke-
Tawali, Wera, Ambalawi, Palibelo, Parado, Campa dan Sori Lante-Bolo, Sori
Nae Sampungu-Soromandi dan daerah sekitar aliran sungai lainnya di
wilayah Kabupaten Bima;
e. kawasan rawan bencana gelombang pasang meliputi Pantai bagian utara dan
timur Kabupaten Bima, yakni Soromandi dsk, Sape dan Lambu, Wera,
Karumbu, Woha, Bolo, Palibelo dan Parado;
f. kawasan rawan tsunami meliputi Kawasan pesisir bagian timur dan selatan
Kabupaten Bima, yakni Sape dan Lambu, Karumbu dan daerah sekitarnya;
g. kawasan rawan gempa bumi meliputi seluruh wilayah Kabupaten Bima, zonasi
kegempaan Kabupaten Bima termasuk gempa sedang dan rendah yakni
Kecamatan Tambora, Kecamatan Sanggar, Kecamatan Wera; Kecamatan
Langgudu, dan Kecamatan Soromandi; dan
h. kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud dalam ayat (6)
diwujudkan dalam bentuk peta rawan bencana wilayah Kabupaten Bima
sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
(8) Kawasan lindung geologi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f meliputi:
a. kawasan cagar alam geologi, berupa kawasan keunikan bentang alam yaitu
kawasan Gunung Tambora; dan
b. kawasan rawan bencana alam letusan gunung berapi meliputi wilayah
Tambora, Sanggar dan Wera (Gunung Sangiang).
28
Bagian Ketiga
Kawasan Budidaya
Pasal 26
(1) Kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b
sebagai berikut :
a. kawasan peruntukan hutan produksi;
b. kawasan peruntukan hutan rakyat;
c. kawasan peruntukan pertanian;
d. kawasan peruntukan perikanan;
e. kawasan peruntukan pertambangan;
f. kawasan peruntukan permukiman;
g. kawasan peruntukan industri;
h. kawasan peruntukan pariwisata; dan
i. kawasan peruntukan lain.
(2) Rencana kawasan budidaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan
dalam bentuk Peta Rencana Pola Ruang Wilayah sebagaimana tercantum
dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Daerah ini.
Pasal 27
(1) Kawasan peruntukan hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 25
ayat (1) huruf a terdiri atas:
a. kawasan hutan produksi terbatas; dan
b. kawasan hutan produksi tetap.
(2) Kawasan peruntukan hutan produksi terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a meliputi kawasan Tolowata (RTK 23), Tololai (RTK 24), Maria (RTK
25), Tambora (RTK 53), Soromandi (RTK 55), Toffo Rompu (RTK 65), Nipa Pusu
(RTK 66), Kota Donggomasa (RTK 67), Nanganae Kapenta (RTK 68), Pulau
Sangiang (RTK 86), dan Pulau Gilibanta (RTK 87) dengan luasan kurang lebih
66.867 Ha.
(3) Kawasan peruntukan hutan produksi tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b meliputi Tololai (RTK 24), Maria (RTK 25), Tambora (RTK 53), Toffo
Rompu (RTK 65), Nipa Pusu (RTK 66), Kota Donggomasa (RTK 67), dan
Nanganae Kapenta (RTK 68) dengan luasan kurang lebih 44.740 Ha.
Pasal 28
Kawasan peruntukan hutan rakyat sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (1)
huruf b seluas 43.088 Ha, tersebar di seluruh kecamatan di Kabupaten Bima.
29
Pasal 29
(1) Kawasan peruntukan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1)
huruf c meliputi :
a. kawasan pertanian tanaman pangan;
b. kawasan pertanian hortikultura;
c. kawasan perkebunan; dan
d. kawasan peternakan.
(2) Kawasan pertanian tanaman pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a tersebar di seluruh Kabupaten Bima dengan luas kurang lebih 23.336 Ha.
(3) Kawasan pertanian hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
tersebar diseluruh Kabupaten Bima dengan luas kurang lebih 111.268 Ha.
(4) Kawasan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
diprioritaskan dikembangkan di daerah, Soromandi dan Tambora dengan
komoditi Jambu Mete; Parado, dan Tambora dengan komoditi Kopi; Wawo, dan
Parado dengan komoditi Kakao; Parado, Wawo, Langgudu, dan Lambitu dengan
komoditi Kemiri; Lambu, Wera, dan Sanggar dengan komoditi asam dengan luas
kurang lebih 15.796 Ha.
(5) Kawasan peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi :
a. sebaran kawasan peruntukan peternakan di Kabupaten Bima antara lain :
Ambalawi (kurang lebih 373 Ha), Belo (kurang lebih 352 Ha), Donggo (kurang
lebih 620 Ha), Langgudu (kurang lebih 648 Ha), Sanggar (kurang lebih 2.214
Ha), Tambora (kurang lebih 1.100 Ha), Wawo (kurang lebih 250 Ha), Wera
(kurang lebih 9.997 Ha), Woha (kurang lebih 35 Ha);
b. kawasan peruntukan peternakan diprioritaskan dikembangkan di kecamatan
Sanggar, Tambora, dan Wera. dalam rangka mendukung program Bumi
Sejuta Sapi (BSS);
c. pengembangan dan pengelolaan peternakan dilakukan dengan cara
peningkatan jumlah ternak, penggemukan ternak, pembibitan ternak,
penyediaan pakan ternak, dan pengembangan industri pengolahan hasil
ternak; dan
d. pengembangan kawasan agrobisnis dan agroindustri yang berbasis perikanan
tersebar dibeberapa Kecamatan yaitu kecamatan Woha, Bolo, Palibelo,
Langgudu, dan Sape.
(6) Penetapan kawasan peruntukan lahan pertanian sebagai lahan sawah
berkelanjutan diatur dengan Peraturan Daerah.
Pasal 30
(1) Kawasan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf d
meliputi : kawasan budidaya perikanan.
30
(2) Kawasan budidaya perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diprioritaskan dikembangkan di daerah yang tersedia pasokan air yang cukup dan
diarahkan ke Kecamatan Bolo, Lambu, Palibelo,Langgudu, Sape, Woha, Monta,
dan Soromandi dengan luas kurang lebih 5.169 Ha.
Pasal 31
(1) Kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
ayat (1) huruf e meliputi :
a. Pertambangan mineral logam eksisting emas tersebar di Kecamatan Donggo,
Soromandi, Wawo, Lambitu, Sape, Lambu;Tembaga tersebar di Kecamatan
Madapangga, Bolo, Parado, Woha, Monta, Sape, Lambu, Langgudu;mangan
tersebar di Kecamatan Belo, Bolo, Lambitu, Langgudu, Monta, Palibelo,
Parado; dan
b. Pertambangan mineral bukan logam dan batuan existing pasir besi tersebar di
Kecamatan Amabalawi, Sanggar, Soromandi, Tambora, Wera dan Donggo.
(2) Pertambangan mineral logam dan bukan logam sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, huruf b dan huruf c dilaksanakan setelah ditetapkannya Wilayah
Pertambangan berdasarkan usulan penetapan WP.
(3) Usulan penetapan WP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan Bupati
kepada Pemerintah Propinsi dan berdasarkan pertimbangan BKPRD Kabupaten.
(4) Usulan penetapan WP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk mineral
logam dan bukan logam disusun melalui kajian dengan mematuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan dan harus berada di luar kawasan lindung,
kawasan permukiman, kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan, dan
kawasan pariwisata sampai batas tidak adanya dampak negatif secara teknis,
ekonomi, dan lingkungan yang ditimbulkan akibat usaha pertambangan.
(5) Izin pertambangan mineral logam, bukan logam yang telah diterbitkan dan masih
berlaku, tetap diakui sampai masa berlakunya habis dan perpanjangannya
menyesuaikan dengan ketentuan peraturan daerah Ini; dan
(6) Tata cara dan mekanisme penyusunan usulan WP sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 32
Kawasan peruntukan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1)
huruf f dikembangkan di daerah yang datar sampai bergelombang dengan
kelerengan lahan 0%-25%, bukan lahan irigasi teknis, bukan kawasan lindung, bukan
kawasan rawan bencana, aksesibilitas baik dan tersedia air bersih yang cukup.
Pasal 33
(1) Kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1)
huruf g meliputi : sentra industri sedang, dan industri rumah tangga.
31
(2) Kawasan sentra industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. sentra industri pengolahan hasil perikanan di Woha;
b. sentra industri pengolahan kulit dan tulang sapi di Tambora; dan
c. sentra industri maritim di Langgudu dan Sape.
(3) Rencana pengelolaan kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 34
Kawasan peruntukan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1)
huruf h diarahkan pada :
a. kawasan wisata alam direncanakan di Pantai Toro Wamba, Pantai Mata Mboko,
dan kawasan budidaya Sarang Burung Walet Bajo Pulau (Kecamatan Sape),
Pantai Papa dan Budidaya Mutiara (Kecamatan Lambu), Pulau Ular dan
Karombo Wera (Kecamatan Wera), Oi Wobo (Kecamatan Wawo), Kawasan
Wisata Alam Gunung Tambora(Kecamatan Tambora) dan Pantai Kalaki
(Kecamatan Palibelo); dan
b. kawasan wisata budaya direncanakan pada Taji Tuta, Uma Lengge (Kecamatan
Wawo), Pesangrahan Donggo, Rumah Ncuhi, Uma Leme (Kecamatan Donggo),
Masjid Pertama di Desa Kalodu (Kecamatan Langgudu), dan Pacuan Kuda
(Kecamatan Palibelo).
Pasal 35
(1) Kawasan peruntukan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf i
terdiri atas:
a. kawasan perdagangan dan jasa;
b. kawasan pusat pemerintahan;
c. kawasan pesisir dan pulau pulau kecil; dan
d. kawasan pertahanan dan keamanan.
(2) Kawasan peruntukan perdagangan dan jasa termasuk distribusi migas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikembangkan di kecamatan
Woha, Bolo, Sape, Wera, Langgudu dan Sanggar dengan luas kurang lebih
257 Ha;
(3) Kawasan peruntukan pusat pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b terletak pada Desa Dadibou Kecamatan Woha dengan luas kurang lebih
129 Ha.
(4) Kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c meliputi :
a. kawasan Teluk Sanggar dan sekitarnya, meliputi Kecamatan Sanggar (Mbuju,
Keramat, Malaju, Lasi, Qiwu, Oi Saro, Piong, Boro, dan Kore);
b. kawasan Teluk Bima dan sekitarnya, meliputi Kecamatan Bolo (Sanolo,
Sondosia, Bontokape, Nggembe), Kecamatan Soromandi (Bajo, Punti,
32
Kananta, Sai, Sampungu), Kecamatan Woha (Pandai, Donggobolo, Dadibou,
Talabiu), Kecamatan Palibelo (Belo, Panda);
c. kawasan Sape dan sekitarnya, meliputi Kecamatan Sape (Bajopulo, Bugis,
Kowo, Buncu, Poja, Lamere, Pulau Gilibanta), Kecamatan Lambu (Mangge,
Nggelu, Lambu, Soro, Sumi, Rato, Pulau Burung), Kecamatan Wera (Wora,
Tawali, Bala, Hidirasa, Sangiang, Oi Tui, Pai, Pulau Ular), Kecamatan
Ambalawi (Nipa, Mawu);
d. kawasan Teluk Waworada dan sekitarnya, meliputi Kecamatan Langgudu
(Laju, UPT Laju, Doro O’o, UPT Doro O’o, Waworada, UPT Waworada,
Karumbu, Rupe, Kangga, Karampi), Kecamatan Parado (Kuta, Paradorato,
Paradowane), Kecamatan Monta (Tolotangga, Sondo); dan
e. kawasan Pantai Utara Tambora, meliputi Labuan Kananga, Kawinda Na’e,
Kawinda To’i (Kecamatan Tambora).
(5) Kawasan pertahanan dan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
d meliputi kawasan yang diperuntukan bagi kegiatan pemerintah di bidang
pertahanan dan keamanan di wilayah darat, laut dan udara.
BAB V
PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS
Pasal 36
(1) Penetapan kawasan strategis ditetapkan sesuai dengan prioritas kebutuhan
dan kegunaannya.
(2) Penetapan kawasan strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
a. kawasan strategis nasional yang berada di wilayah Kabupaten Bima;
b. kawasan strategis provinsi yang berada di wilayah Kabupaten Bima; dan
c. kawasan strategis kabupaten.
(3) Kawasan strategis Kabupaten, Provinsi dan Nasional yang ada di wilayah
Kabupaten Bima sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diwujudkan dalam
bentuk Peta Kawasan Strategis Wilayah Kabupaten Bima, Provinsi dan
Nasional sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
Pasal 37
(1) Kawasan strategis nasional yang berada di wilayah Kabupaten Bima
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) huruf a adalah Kawasan
Pengembangan Ekonomi Terpadu Bima.
(2) Kawasan strategis provinsi yang berada di wilayah Kabupaten Bima
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) huruf b antara lain:
33
a. kawasan Teluk Bima dan sekitarnya dengan sektor unggulan perikanan,
pariwisata dan fungsi transportasi;
b. kawasan Waworada-Sape dan sekitarnya yang meliputi wilayah administrasi
pemerintahan sebagian Kabupaten Bima (Kecamatan Sape, Lambu, Wawo
dan Langgudu) dengan sektor unggulan industri, pertanian, dan perikanan;
c. kawasan Ekosistem Gunung Tambora; dan
d. kawasan Ekosistem Pulau Sangiang.
(3) Kawasan strategis kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2)
huruf c terdiri atas :
a. kawasan strategis dengan sudut kepentingan ekonomi
1. Kawasan Strategis Lewamori meliputi Woha sebagai Ibukota Kabupaten
Bima dengan fungsi utama sebagai pusat pemerintahan serta
perdagangan dan jasa, Kawasan Minapolitan yang berpusat di Penapali
Kecamatan Woha dan kawasan pariwisata di Pantai Kalaki;
2. Kawasan Strategis Kota Terpadu Mandiri (KTM) Tambora dengan sektor
unggulan pertanian, peternakan, dan perkebunan;
3. Kawasan Strategis Wera yang meliputi Pai dan Oi Tui dengan sektor
unggulan peternakan (sapi), perikanan (rumput laut) dan pariwisata;
4. Kawasan Strategis Monta yang meliputi Wilamaci, Laju, Doro O’o
Waworada, Tolo Uwi, dsk dengan sektor unggulan perikanan (rumput
laut), perikanan tangkap dan pariwisata (pantai Wane, Pantai Rontu);dan
5. Kawasan Strategis Lambu yang meliputi Sumi dan Nggelu dengan sektor
unggulan peternakan (sapi), pertanian (jagung) dan perikanan tangkap.
b. kawasan strategis dengan sudut kepentingan lingkungan hidup adalah
Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Gilibanta;
c. kawasan strategis dengan sudut kepentingan sosial budaya adalah
kawasan Strategis Cagar Budaya yang meliputi :
1. Kompleks rumah adat-Wawo;
2. Perkampungan tradisional Sambori;
3. Perkampungan tradisional Mbawa-Donggo;
4. Kompleks Dana Mbojo-Donggo; dan
5. Situs Wadu Pa’a-Soromandi.
d. Kawasan strategis dengan sudut kepentingan pertahanan dan keamanan
yang meliputi :
1. kawasan peruntukan bagi kepentingan pemeliharaan keamanan dan
pertahanan negara berdasarkan geostrategi nasional;
2. kawasan peruntukan bagi basis militer, daerah uji coba sistem
persenjataan dan/atau kawasan industri sistem persenjataan;
3. pembatasan dan penataan antara lahan terbangun disekitar pertahanan
dan keamanan; dan
4. penetapan jarak bebas aman kawasan pertahanan dan keamanan.
(4) Kawasan Strategis Kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
lanjut melalui rencana rinci yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(5) Kawasan strategis Kabupaten, Provinsi dan Nasional yang ada di wilayah
Kabupaten Bima sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
34
diwujudkan dalam bentuk Peta Kawasan Strategis Wilayah Kabupaten Bima,
Provinsi dan Nasional sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
BAB VI
ARAHAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH
Pasal 38
(1) Arahan pemanfaatan ruang meliputi indikasi program utama, indikasi lokasi,
indikasi sumber pendanaan, indikasi pelaksana kegiatan, dan waktu
pelaksanaan.
(2) Indikasi program utama pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a. indikasi program utama perwujudan struktur ruang; dan
b. indikasi program utama perwujudan pola ruang.
(3) Indikasi sumber pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari
dana Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten;
(4) Indikasi pelaksana kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari
Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten, BUMN, swasta, dan
masyarakat.
(5) Indikasi waktu pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari 4
(empat) tahapan jangka lima tahunan, yaitu:
a. tahap pertama, lima tahun pertama (2011 – 2016) yang terbagi atas
program tahunan;
b. tahap kedua, lima tahun kedua (2017 – 2021);
c. tahap ketiga, lima tahun ketiga (2022 – 2026); dan
d. tahap keempat, lima tahun keempat (2027 – 2031).
(6) Indikasi program utama, indikasi sumber pendanaan, indikasi pelaksana
kegiatan, dan waktu pelaksanaan yang lebih rinci diwujudkan dalam Tabel
Indikasi Program Utama Tahunan dan Lima Tahunan Periode Tahun 2011 –
2031 sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
35
BAB VII
KETENTUAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 39
(1) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten Bima menjadi
acuan pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten Bima.
(2) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan dengan cara :
a. ketentuan umum peraturan zonasi;
b. ketentuan umum perizinan;
c. ketentuan umum insentif, disinsentif; dan
d. ketentuan sanksi.
Bagian kedua
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi
Paragraf 1
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Untuk Sistem Perkotaan
Pasal 40
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem perkotaan meliputi :
a. peraturan zonasi untuk Pusat Kegiatan Wilayah Promosi (PKWp);
b. peraturan zonasi untuk Pusat Kegiatan Lokal (PKL);
c. peraturan zonasi untuk Pusat Pelayanan Kawasan (PPK); dan
d. peraturan zonasi untuk Pusat Pelayanan Lingkungan (PPL).
(2) Peraturan zonasi untuk Pusat Kegiatan Wilayah Promosi (PKWp) disusun dengan
memperhatikan pemanfaatan untuk kegiatan ekonomi perkotaan berskala
propinsi dan fungsi kawasan perkotaan sebagai pusat permukiman dapat di
bangun dan di kembangkan di wilayah Woha.
(3) Peraturan zonasi untuk Pusat Kegiatan Lokal (PKL) disusun dengan
memperhatikan pemanfaatan ruang untuk kegiatan ekonomi berskala kabupaten
yang didukung dengan pembangunan fasilitas dan infrastruktur perkotaan
dilaksanakan di wilayah kecamatan Sape, Wera, Bolo, dan Sanggar.
(4) Peraturan zonasi untuk Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) disusun dengan
memperhatikan pemanfaatan ruang untuk melayani kegiatan berskala kecamatan
atau beberapa desa yang didukung dengan pembangunan fasilitas dan
infrastruktur kecamatan yang di laksanakan di Kecamatan Langgudu, Belo,
Monta, Soromandi, dan Tambora.
(5) Peraturan zonasi untuk Pusat Pelayanan Lingkungan (PPL) disusun dengan
memperhatikan pemanfaatan ruang untuk melayani kegiatan berskala desa atau
36
beberapa lingkungan yang didukung dengan pembangunan fasilitas dan
infrastruktur lingkungan yang di laksanakan di Kecamatan Lambu, Ambalawi,
Lambitu, Palibelo, Parado, Madapangga, Donggo, dan Wawo.
Paragraf 2
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Untuk Sistem Jaringan
Transportasi Darat
Pasal 41
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem jaringan transportasi darat
meliputi :
a. peraturan zonasi untuk jaringan jalan arteri primer;
b. peraturan zonasi untuk jaringan jalan kolektor primer; dan
c. peraturan zonasi untuk jaringan jalan kolektor sekunder dan lokal primer.
(2) Peraturan zonasi untuk jaringan jalan arteri primer disusun dengan
memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jalan arteri primer dengan tingkat
intensitas menengah hingga tinggi yang kecenderungan pengembangan
ruangnya dibatasi;
b. ketentuan pelarangan alih fungsi lahan yang berfungsi lindung di sepanjang
sisi jalan arteri primer;
c. penetapan garis sempadan bangunan di sisi jalan arteri primer yang
memenuhi ketentuan ruang pengawasan jalan sepanjang 33,00 meter;
d. penetapan koofisien dasar bangunan disisi jalan arteri primer sebesar 80%;
dan
e. penetapan koofisien lantai bangunan disisi jalan arteri primer sebesar 160%.
(3) Peraturan zonasi untuk jaringan jalan kolektor primer disusun dengan
memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jalan kolektor primer dengan tingkat
intensitas sedang hingga menengah yang kecenderungan pengembangan
ruangnya dibatasi;
b. ketentuan pelarangan alih fungsi lahan yang berfungsi lindung di sepanjang
sisi jalan kolektor primer;
c. penetapan garis sempadan bangunan di sisi jalan kolektor primer yang
memenuhi ketentuan ruang pengawasan jalan sepanjang 22,00 meter;
d. penetapan koofisien dasar bangunan disisi jalan kolektor primer sebesar 80%;
dan
e. penetapan koofisien lantai bangunan disisi jalan kolektor primer sebesar
160%.
(4) Peraturan zonasi untuk jaringan jalan kolektor sekunder disusun dengan
memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jalan kolektor sekunder dengan tingkat
intensitas rendah hingga sedang yang kecenderungan pengembangan
ruangnya dibatasi;
37
b. ketentuan pelarangan alih fungsi lahan yang berfungsi lindung di sepanjang
sisi jalan kolektor sekunder;
c. penetapan garis sempadan bangunan di sisi jalan kolektor sekunder yang
memenuhi ketentuan ruang pengawasan jalan sepanjang 8,50 meter;
d. penetapan koofisien dasar bangunan disisi jalan kolektor sekunder sebesar
60%; dan
e. penetapan koofisien lantai bangunan disisi jalan kolektor sekunder sebesar
120%.
Paragraf 3
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Untuk Sistem Jaringan
Transportasi Laut
Pasal 42
(1) Peraturan zonasi untuk pelabuhan laut harus disusun dengan mematuhi
ketentuan mengenai:
a. pemanfaatan ruang untuk kebutuhan operasional dan pengembangan
kawasan pelabuhan;
b. ketentuan pelarangan kegiatan di ruang udara bebas di atas badan air yang
berdampak pada keberadaan jalur transportasi laut; dan
c. pemanfaatan ruang di dalam DLKr/DLKp harus mendapatkan izin sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Peraturan zonasi untuk alur pelayaran harus disusun dengan mematuhi
ketentuan mengenai:
a. pemanfaatan ruang pada badan air di sepanjang alur pelayaran harus sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
b. pemanfaatan ruang pada kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di sekitar
badan air di sepanjang alur pelayaran dilakukan dengan tidak mengganggu
aktivitas pelayaran.
Paragraf 4
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Untuk Sistem Jaringan
Transportasi Udara
Pasal 43
Peraturan zonasi untuk bandar udara umum harus disusun dengan mematuhi
ketentuan mengenai:
a. pemanfaatan ruang untuk kebutuhan operasional bandar udara;
b. pemanfaatan ruang di sekitar bandar udara sesuai dengan kebutuhan
pengembangan bandar udara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan
c. batas-batas kawasan keselamatan operasi penerbangan dan batas-batas
kawasan kebisingan.
38
Paragraf 5
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Untuk Sistem Jaringan Energi
Pasal 44
(1) Ketentuan peraturan zonasi untuk sistem jaringan energi meliputi :
a. peraturan zonasi untuk Gardu induk;
b. peraturan zonasi untuk Gardu pembagi; dan
c. peraturan zonasi untuk Jaringan transmisi tenaga listrik.
(2) Peraturan zonasi untuk sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) disusun dengan memperhatikan pemanfaatan ruang di sekitar sistem jaringan
energi dan harus memperhatikan jarak aman dari kegiatan lain.
Paragraf 6
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Untuk Sistem Jaringan Telekomunikasi
Pasal 45
(1) Peraturan zonasi untuk sistem jaringan telekomunikasi meliputi:
a. peraturan zonasi untuk jaringan tetap dan sentral telekomunikasi; dan
b. peraturan zonasi untuk jaringan bergerak selular.
(2) Peraturan zonasi untuk jaringan tetap adalah sebagai berikut :
a. zonasi jaringan tetap terdiri dari zona ruang manfaat dan zona ruang bebas;
b. zona ruang manfaat adalah untuk tiang dan kabel-kabel dan dapat diletakkan
pada zona manfaat jalan; dan
c. zona ruang bebas dibebaskan dari bangunan dan pohon yang dapat
mengganggu fungsi jaringan.
(3) Peraturan zonasi untuk sentral telekomunikasi adalah sebagai berikut :
a. zonasi sentral telekomunikasi terdiri dari zona fasilitas utama dan zona
fasilitas penunjang;
b. zona fasilitas utama adalah untuk instalasi peralatan telekomunikasi;
c. zona fasilitas penunjang adalah untuk bangunan kantor pegawai, dan
pelayanan publik;
d. persentase luas lahan terbangun maksimal sebesar 50 % ; dan
e. prasarana dan sarana penunjang terdiri dari parkir kendaraan, sarana
kesehatan, ibadah gudang peralatan, papan informasi, dan loket pembayaran.
(4) Peraturan zonasi untuk jaringan bergerak selular (menara telekomunikasi) diatur
sebagai berikut :
a. zona menara telekomunikasi terdiri dari zona manfaat dan zona aman;
b. zona manfaat adalah untuk instalasi menara baik di atas tanah atau di atas
bangunan;
c. zona aman dilarang untuk kegiatan yang mengganggu sejauh radius sesuai
tinggi menara;
d. menara harus dilengkapi dengan sarana pendukung dan identitas hukum yang
jelas. sarana pendukung antara lain pentanahan (grounding), penangkal petir,
39
catu daya, lampu halangan penerbangan (aviation obstruction light), dan
marka halangan penerbangan (aviation obstruction marking), identitas hukum
antara lain nama pemilik, lokasi, tinggi, tahun pembuatan / pemasangan,
kontraktor, dan beban maksimum menara;
e. dilarang membangun menara telekomunikasi pada bangunan bertingkat yang
menyediakan fasilitas helipad;
f. jarak antar menara BTS pada wilayah yang datar minimal 10 km, dan pada
wilayah yang bergelombang/berbukit/ pegunungan minimal 5 km;
g. menara telekomunikasi untuk mendukung sistem transmisi radio microwave,
apabila merupakan menara rangka yang dibangun diatas permukaan tanah
maksimum tingginya 72 m;
h. menara telekomunikasi untuk sistem telekomunikasi yang dibangun diatas
permukaan tanah maksimum tingginya 50 m;
i. menara telekomunikasi dilarang dibangun pada lahan dengan topografi lebih
dari 800 m dpl dan lereng lebih dari 20%; dan
j. demi efisiensi dan efektifitas penggunaan ruang, maka menara harus
digunakan secara bersama dengan tetap memperhatikan kesinambungan
pertumbuhan industri telekomunikasi.
Paragraf 7
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Untuk Sistem Jaringan
Sumber Daya Air
Pasal 46
Ketentuan Peraturan zonasi untuk sistem jaringan sumber daya air pada wilayah
sungai disusun dengan memperhatikan :
a. pemanfaatan ruang pada kawasan di sekitar wilayah sungai dengan tetap
menjaga kelestarian lingkungan dan fungsi lindung kawasan; dan dilarang untuk
membuang sampah, limbah padat dan atau cair dan mendirikan bangunan
permanen untuk hunian dan tempat usaha;
b. pemanfaatan ruang di sekitar wilayah sungai lintas kabupaten secara selaras
dengan pemanfaatan ruang pada wilayah sungai di kabupaten yang berbatasan;
dan
c. pemanfaatan ruang sekitar sungai dapat dilakukan pada jarak 50 meter dari
sungai besar dan 10 meter dari sungai kecil.
Paragraf 8
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Untuk Sistem Jaringan Air Bersih
Pasal 47
Peraturan zonasi untuk sistem penyediaan air bersih diatur sebagai berikut:
a. zonasi penyediaan air bersih terdiri atas zona unit air baku, zona unit produksi,
zona unit distribusi, zona unit pelayanan dan zona unit pengelolaan;
40
b. zona unit air baku adalah untuk bangunan penampungan air, bangunan
pengambilan/penyadapan, alat pengukuran dan peralatan pemantauan, sistem
pemompaan, dan/atau bangunan sarana pembawa serta perlengkapannya;
c. zona unit produksi adalah untuk prasarana dan sarana pengolahan air baku
menjadi air bersih;
d. zona unit distribusi adalah untuk sistem perpompaan, jaringan distribusi,
bangunan penampungan, alat ukur dan peralatan pemantauan;
e. zona unit pelayanan adalah untuk sambungan rumah, hidran umum, dan hidran
kebakaran;
f. zona unit pengelolaan adalah untuk pengelolaan teknis yang meliputi kegiatan
operasional, pemeliharaan dan pemantauan dari unit air baku, unit produksi dan
unit distribusi dan pengelolaan non teknis yang meliputi administrasi dan
pelayanan;
g. persentase luas lahan terbangun pada zona unit air baku maksimal sebesar
20 %;
h. persentase luas lahan terbangun pada zona unit produksi maksimal sebesar
40 %;
i. persentase luas lahan terbangun pada zona unit distribusi maksimal sebesar
20 %;
j. unit produksi terdiri dari bangunan pengolahan dan perlengkapannya, perangkat
operasional, alat pengukuran dan peralatan pemantauan, serta bangunan
penampungan air bersih;
k. limbah akhir dari proses pengolahan air baku menjadi air bersih wajib diolah
terlebih dahulu sebelum dibuang ke sumber air baku dan daerah terbuka;
l. unit distribusi wajib memberikan kepastian kuantitas, kualitas air, dan jaminan
kontinuitas pengaliran 24 jam per hari; dan
m. untuk mengukur besaran pelayanan pada sambungan rumah dan hidran umum
harus dipasang alat ukur berupa meter air yang wajib ditera secara berkala oleh
instansi yang berwenang.
Paragraf 9
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Untuk Sistem Jaringan Drainase
Pasal 48
Peraturan zonasi untuk sistem jaringan drainase diatur sebagai berikut :
a. zona jaringan drainase terdiri dari zona manfaat dan zona bebas;
b. zona manfaat adalah untuk penyaluran air dan dapat diletakkan pada zona
manfaat jalan;
c. zona bebas di sekitar jaringan drainase dibebaskan dari kegiatan yang dapat
mengganggu kelancaran penyaluran air; dan
d. pemeliharan dan pengembangan jaringan drainase dilakukan selaras dengan
pemeliharaan dan pengembangan atas ruang milik jalan.
41
Paragraf 10
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Untuk Sistem Pengelolaan Limbah
Pasal 49
(1) Peraturan zonasi untuk sistem pembuangan air limbah meliputi sistem jaringan
limbah domestik, limbah industri, dan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
(2) Peraturan zonasi untuk sistem jaringan limbah diatur sebagai berikut :
a. zona limbah domestik terpusat terdiri dari zona ruang manfaat dan zona ruang
penyangga;
b. zona ruang manfaat adalah untuk bangunan atau instalasi pengolahan limbah;
c. zona ruang penyangga dilarang untuk kegiatan yang mengganggu fungsi
pengolahan limbah hingga jarak 10 m sekeliling ruang manfaat;
d. persentase luas lahan terbangun maksimal sebesar 10 %;
e. pelayanan minimal sistem pembuangan air limbah berupa unit pengolahan
kotoran manusia/tinja dilakukan dengan menggunakan sistem setempat atau
sistem terpusat agar tidak mencemari daerah tangkapan air/ resapan air baku;
f. perumahan dengan kepadatan rendah hingga sedang, setiap rumah wajib
dilengkapi dengan sistem pembuangan air limbah setempat atau individual
yang berjarak minimal 10 m dari sumur;
g. perumahan dengan kepadatan tinggi, wajib dilengkapi dengan sistem
pembuangan air limbah terpusat atau komunal, dengan skala pelayanan satu
lingkungan, hingga satu kelurahan serta memperhatikan kondisi daya dukung
lahan dan SPAM serta mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi
masyarakat; dan
h. sistem pengolahan limbah domestic pada kawasan dapat berupa IPAL sistem
konvensional atau alamiah dan pada bangunan tinggi berupa IPAL dengan
teknologi modern.
Paragraf 11
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Untuk Sistem Pengelolaan Sampah
Pasal 50
(1) Peraturan zonasi untuk sistem jaringan persampahan terdiri atas Tempat
Penampungan Sementara (TPS), Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST),
dan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA).
(2) Peraturan zonasi untuk Tempat Penampungan Sementara (TPS) diatur sebagai
berikut:
a. zona TPS terdiri dari zona ruang manfaat dan zona ruang penyangga;
b. zona ruang manfaat adalah untuk penampungan sampah dan tempat
peralatan angkutan sampah;
c. zona ruang penyanggah dilarang untuk kegiatan yang mengganggu
penampungan dan pengangkutan sampah sampai sejarak 10m dari sekeliling
zona ruang manfaat;
d. persentase luas lahan terbangun sebesar 10 %;
42
e. dilengkapi dengan prasarana dan sarana minimum berupa ruang pemilahan,
gudang, tempat pemindah sampah yang dilengkapi dengan landasan
container dan pagar tembok keliling; dan
f. luas lahan minimal 100 m2
untuk melayani penduduk pendukung 2500 jiwa.
(3) Peraturan zonasi untuk Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) diatur
sebagai berikut :
a. zona TPST terdiri dari zona ruang manfaat dan zona ruang penyangga;
b. zona ruang manfaat adalah untuk kegiatan pengumpulan, pemilahan,
penggunaan ulang, pendauran ulang, pengolahan, dan pemrosesan akhir
sampah;
c. zona ruang penyanggah dilarang untuk kegiatan yang mengganggu
pemrosesan sampah sampai sejarak 10 m;
d. persentase luas lahan terbangun sebesar 10 %;
e. dilengkapi dengan prasarana dan sarana minimum berupa ruang pemilahan
(30 m2
), pengomposan sampah organik (200 m2
), gudang (100 m2
), tempat
pemindah sampah yang dilengkapi dengan landasan container (60 m2
) dan
pagar tembok keliling; dan
f. luas lahan minimal 300 m2
untuk melayani penduduk pendukung 30.000 jiwa.
(4) Peraturan zonasi untuk Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) diatur sebagai berikut:
a. zona TPA terdiri dari zona ruang manfaat dan zona ruang penyangga;
b. zona ruang manfaat adalah untuk pengurugan dan pemrosesan akhir sampah;
c. zona ruang penyanggah dilarang untuk kegiatan yang mengganggu
pemrosesan sampah sampai sejarak 300 m untuk perumahan, 3 km untuk
penerbangan, dan 90 m untuk sumber air bersih dari sekeliling zona ruang
manfaat;
d. persentase luas lahan terbangun sebesar 20 %;
e. dilengkapi dengan prasarana dan sarana minimum berupa lahan
penampungan, sarana dan peralatan pemrosesan sampah, jalan khusus
kendaraan sampah, kantor pengelola, tempat parkir kendaraan, tempat
ibadah, tempat olahraga dan pagar tembok keliling;
f. menggunakan metode lahan urug terkendali;
g. tempat pemrosesan akhir adalah tempat untuk mengembalikan sampah ke
media lingkungan secara aman; dan
h. lokasi dilarang di tengah permukiman.
Paragraf 12
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Untuk Kawasan Lindung
Pasal 51
Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan lindung antara lain :
a. peraturan zonasi untuk kawasan lindung terdiri dari :
1. peraturan zonasi untuk kawasan hutan lindung;
2. peraturan zonasi untuk kawasan yang memberikan perlindungan terhadap
kawasan bawahannya;
43
3. peraturan zonasi untuk kawasan perlindungan setempat;
4. peraturan zonasi untuk ruang terbuka hijau kota;
5. peraturan zonasi untuk kawasan cagar budaya;
6. peraturan zonasi untuk kawasan cagar alam;
7. peraturan zonasi untuk kawasan rawan bencana alam; dan
8. peraturan zonasi untuk kawasan lindung geologi.
b. peraturan zonasi untuk kawasan hutan lindung adalah sebagai berikut :
1. zonasi hutan lindung terdiri dari zona perlindungan, dan zona lainnya;
2. zona perlindungan adalah untuk pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa
lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak mengurangi
fungsi utama kawasan dan tidak merusak lingkungan;
3. zona pemanfaatan adalah untuk pemanfaatan kawasan meliputi usaha
budidaya tanaman obat (herbal), usaha budidaya tanaman hias, usaha
budidaya jamur, usaha budidaya perlebahan, usaha budidaya penangkaran
satwa liar atau usaha budidaya sarang burung walet, pemanfaatan jasa
lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu;
4. pada kawasan hutan lindung dilarang:
a) menyelenggarakan pemanfaatan ruang yang mengganggu bentang alam,
mengganggu kesuburan serta keawetan tanah, fungsi hidrologi, kelestarian
flora dan fauna, serta kelestarian fungsi lingkungan hidup; dan/atau; dan
b) kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan dan perusakan terhadap
keutuhan kawasan dan ekosistemnya sehingga mengurangi/
menghilangkan fungsi dan luas kawasan seperti perambahan hutan,
pembukaan lahan, penebangan pohon, dan perburuan satwa yang
dilindungi.
5. zona lainnya adalah untuk kegiatan budidaya kehutanan;
a) luas zona inti perlindungan adalah bagian dari keseluruhan luas hutan
yang telah ditetapkan;
b) pemanfaatan kawasan adalah bentuk usaha seperti: budidaya jamur,
penangkaran satwa, dan budidaya tanaman obat dan tanaman hias;
c) pemanfaatan jasa lingkungan adalah bentuk usaha jasa lingkungan
seperti: pemanfaatan untuk wisata alam, pemanfaatan air, dan
pemanfaatan keindahan dan kenyamanan; dan
d) pemungutan hasil hutan bukan kayu bentuk kegiatan seperti: mengambil
madu, dan mengambil buah.
c. peraturan zonasi untuk kawasan yang memberikan perlindungan terhadap
kawasan bawahannya meliputi kawasan resapan air adalah sebagai berikut :
1. zona resapan air adalah untuk kegiatan budi daya terbangun secara terbatas
yang memiliki kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air hujan dan
dilarang untuk menyelenggarakan kegiatan yang mengurangi daya serap
tanah terhadap air;
2. persentase luas lahan terbangun maksimum 10 %;
3. luas kawasan resapan air adalah bagian dari keseluruhan luas hutan yang
telah ditetapkan dengan luas minimum sebesar 30%; dan
4. dilengkapi dengan prasarana dan sarana penunjang sumur resapan dan/atau
waduk.
44
d. peraturan zonasi untuk kawasan perlindungan setempat meliputi sempadan
sungai, sempadan waduk/danau dan mata air adalah sebagai berikut:
1. peraturan zonasi untuk sempadan sungai diarahkan sebagai berikut:
a) pemanfaatan ruang yang mengganggu bentang alam,mengganggu
kesuburan dan keawetan tanah, fungsi hidrologi dan hidraulis, kelestarian
flora dan fauna, serta kelestarian fungsi lingkungan hidup;
b) pemanfaatan hasil tegakan; dan/atau
c) kegiatan yang merusak kualitas air sungai, kondisi fisik tepi sungai dan
dasar sungai, serta mengganggu aliran air.
2. peraturan zonasi untuk sempadan danau/waduk diarahkan sebagai berikut:
a) pemanfaatan ruang yang mengganggu bentang alam, mengganggu
kesuburan dan keawetan tanah, fungsi hidrologi, kelestarian flora dan
fauna, serta kelestarian fungsi lingkungan hidup;
b) pemanfaatan hasil tegakan; dan/atau
c) kegiatan yang merusak kualitas air, kondisi fisik kawasan sekitarnya, dan
daerah tangkapan air kawasan yang bersangkutan.
3. peraturan zonasi untuk sempadan sekitar mata air diarahkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a, dan huruf b.
e. peraturan zonasi untuk ruang terbuka hijau untuk kawasan perkotaan adalah
sebagai berikut :
1. zona ruang terbuka hijau adalah untuk RTH kawasan perlindungan setempat
berupa RTH sempadan sungai, RTH pengamanan sumber air baku/mata air,
dan rekreasi, serta dilarang untuk kegiatan yang mengakibatkan terganggunya
fungsi ruang terbuka hijau;
2. proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30 % yang
terdiri dari 20 % ruang terbuka hijau publik dan 10 % terdiri dari ruang terbuka
hijau privat; dan
3. pendirian bangunan dibatasi untuk bangunan penunjang kegiatan rekreasi dan
fasilitas umum lainnya, dan bukan bangunan permanen.
f. peraturan zonasi kawasan cagar budaya diarahkan sebagai berikut :
1. zona cagar budaya terdiri dari zona mintakat inti, zona mintakat penyangga,
dan mintakat pengembang;
2. zona mintakat inti adalah untuk lahan situs; dan dilarang melakukan kegiatan
yang mengurangi, menambah, mengubah, memindahkan, dan mencemari
benda cagar budaya;
3. zona mintakat penyangga di sekitar situs adalah untuk kegiatan yang
mendukung dan sesuai dengan bagi kelestarian situs; serta dilarang untuk
kegiatan yang dapat mengganggu fungsi cagar budaya;
4. zona mintakat pengembangan adalah untuk kegiatan untuk sarana sosial,
ekonomi, dan budaya, serta dilarang untuk kegiatan yang bertentangan
dengan prinsip pelestarian benda cagar budaya dan situsnya;
5. kawasan cagar budaya dilarang untuk menyelenggarakan:
a) kegiatan yang merusak kekayaan budaya bangsa yang berupa
peninggalan sejarah, bangunan arkeologi;
45
b) pemanfaatan ruang dan kegiatan yang mengubah bentukan geologi
tertentu yang mempunyai manfaat tinggi untuk pengembangan ilmu
pengetahuan;
c) pemanfaatan ruang yang mengganggu kelestarian lingkungan di sekitar
peninggalan sejarah, bangunan arkeologi, serta wilayah dengan bentukan
geologi tertentu; dan/atau
d) pemanfaatan ruang yang mengganggu upaya pelestarian budaya
masyarakat setempat.
6. persentase luas lahan terbangun untuk zona mintakat inti dan penyangga
maksimum 40 %,dan untuk zona mintakat pengembang maksimum 50 %.
g. peraturan zonasi kawasan cagar alam diarahkan sebagai berikut :
1. pemanfaatan jasa lingkungan yang terdapat pada kawasan Taman Wisata
Alam di Toffo Rompu (RTK 65) sesuai ketentuan yang berlaku; dan
2. pemanfaatan satwa liar yang dilindungi UU di Taman Buru Tambora (RTK 53)
dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku.
h. peraturan zonasi kawasan rawan bencana alam tanah longsor diarahkan sebagai
berikut :
1. zona kawasan rawan bencana alam tanah longsor terdiri dari zona tingkat
kerawanan tinggi, zona tingkat kerawanan menengah/sedang, dan zona
tingkat kerawanan rendah;
2. zona tingkat kerawanan tinggi untuk tipologi A (lereng bukit dan gunung)
adalah untuk kawasan lindung, untuk tipologi B dan C (kaki bukit dan gunung,
tebing/lembah sungai) adalah untuk kegiatan pertanian, kegiatan pariwisata
terbatas; dilarang untuk budidaya dan kegiatan yang dapat mengurangi gaya
penahan gerakan tanah;
3. zona tingkat kerawanan menengah untuk tipologi A, B, C adalah untuk
kegiatan perumahan, transportasi, pariwisata, pertanian, perkebunan,
perikanan, hutan kota/rakyat/produksi, dan dilarang untuk kegiatan industri.
4. zona tingkat kerawanan rendah tipologi A, B, dan C adalah untuk kegiatan
budidaya, dilarang untuk kegiatan industri;
5. persentase luas lahan terbangun untuk zona tingkat kerawanan tinggi untuk
tipologi A maksimum 5 %; dan untuk tipologi B maksimum 10 %;
6. persentase luas lahan terbangun untuk zona tingkat kerawanan menengah
untuk tipologi A, B, C maksimum 40 %; dan
7. persentase luas lahan terbangun untuk zona tingkat kerawanan rendah untuk
tipologi A, B, C maksimum 60 %. Penerapan prinsip terhadap setiap kegiatan
budi daya terbangun yang diajukan izinnya.
i. peraturan zonasi kawasan rawan bencana alam tsunami diarahkan sebagai
berikut :
1. zona rawan tsunami kegiatan yang diperbolehkan adalah hutan bakau
disesuaikan peraturan sempadan pantai;
2. zona penyanggah rawan tsunami kegiatan yang diperbolehkan adalah tambak
dan perkebunan; dan
3. peraturan zonasi pemanfaatan ruang pada kawasan rawan bencana tsunami
diatur dalam peraturan daerah tentang tata ruang pesisir.
46
j. peraturan zonasi kawasan lindung geologi meliputi zona kawasan rawan letusan
gunung berapi terdiri atas zona A (tingkat resiko rendah), zona B (tingkat resiko
sedang) dan zona C (tingkat resiko tinggi):
1. zona A adalah kawasan yang berpotensi terlanda banjir lahar dan tidak
menutup kemungkinan dapat terkena perluasan awan panas dan aliran lava.
Selama letusan membesar, kawasan ini berpotensi tertimpa material jatuhan
berupa hujan abu lebat dan lontaran batu pijar;
2. zona B adalah kawasan yang berpotensi terlanda awan panas, aliran lahar
dan lava, lontaran atau guguran batu pijar, hujan abu lebat, hujan lumpur
panas, aliran panas dan gas beracun;
3. zona C adalah kawasan yang sering terlanda awan panas, aliran lahar dan
lava, lontaran atau guguran batu pijar, hjan abu lebat, hujan lumpur panas,
aliran panas dan gas beracun;
4. acuan peraturan zonasi pada zona A diantaranya :
a) dapat dikembangkan menjadi kawasan budidaya dan berbagai infrastruktur
penunjangnya.
b) diizinkan untuk kegiatan perumahan dengan syarat:
1) konstruksi bangunan beton bertulang maupun tidak bertulang;
2) kepadatan bangunan tinggi (>60 unit/ha), sedang (30-60 unit/ha), dan
rendah (<30 unit/ha);
3) pola perumahan dapt mengelompok maupun menyebar;
4) diizinkan untuk kegiatan perdagangan dan perkantoran dengan syarat
kepadatan bangunan diperbolehkan tinggi (KDB>70, KLB>200) hingga
rendah (KDB<50, KLB<100); dan
5) diizinkan untuk kegiatan industri dengan persyaratan, pengawasan dan
pengendalian yang ketat, yaitu : Konstruksi bangunan tahan gempa;
dan Skala industri (besar, sedang, maupun kecil).
c) diizinkan untuk kegiatan lahan usaha pertaian lahan basah, pertanian
lahan kering, perikanan, perkebunan dengan syarat pemilihan jenis
vegetasi yang sesuai serta mendukung konsep kelestarian lingkungan;
d) diizinkan untuk pariwisata dengan jenis wisata sosio-kultural dan wisata
agro-kultural; dan
e) diizinkan untuk kegiatan pertambangan rakyat, antara lain batu dan pasir.
5. acuan peraturan zonasi pada zona B diantarnya :
a) dapat dikembangkan menjadi kawasan budidaya dan berbagai infrastruktur
penunjangnya;
b) diizinkan untuk kegiatan perumahan dengan persyaratan :
1) konstruksi bangunan beton bertulang; kepadatan bangunan sedang
dan rendah; pola perumahan menyebar;
2) konstruksi bangunan semi permanen; kepadatan bangunan tinggi,
sedang, dan rendah; pola perumahan mengelompok dan menyebar;
dan
3) konstruksi bangunan tradisional; kepadatan bangunan tinggi, sedang
dan rendah; pola perumahan mengelompok dan menyebar.
c) diizinkan untuk kegiatan perdagangan dan perkantoran dengan syarat
kepadatan bangunan sedang (KDB 50-70, KLB 100-200) hingga rendah
(KDB<50, KLB<100);
47
d) diizinkan untuk kegiatan industri dengan persyaratan, pengawasan, dan
pengendalian yang ketat, yaitu :
1) Konstruksi bangunan tahan gempa; dan
2) Skala industri sedang, maupun kecil.
e) diizinkan untuk kegiatan lahan usaha pertanian lahan basah, pertanian
lahan kering, perikanan, perkebunan dengan syarat pemilihan jenis
vegetasi yang sesuai serta mendukung konsep kelestarian lingkungan;
f) diizinkan untuk pariwisata dengan jenis wisata biotis dan abiotis;
g) diizinkan untuk kegiatan pertambangan rakyat, antara lain pertambangan
batu dan pasir; dan
h) untuk kawasan yang tidak konsisten dalam pemanfaatan, akan
dikembalikan pada kondisi dan fungsi semula secara bertahap.
6. acuan zonasi pada zona C diantarnya :
a) ditentukan sebagai kawasan lindung;
b) masih dapat dimanfaatkan sebagai kawasan budidaya terbatas, antara
lain:
1) kehutanan; dan
2) pariwisata dengan jenis wisata geofisik (kawasan puncak gunung
berapi).
k. penegakan sektor pada pelaku pelanggaran dengan jalan pemberian sanksi.
Paragraf 13
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Untuk Kawasan Budidaya
Pasal 52
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan budidaya meliputi :
a. peraturan zonasi kawasan hutan produksi;
b. peraturan zonasi kawasan hutan rakyat;
c. peraturan zonasi kawasan pertanian;
d. peraturan zonasi kawasan perikanan
e. peraturan zonasi kawasan pertambangan;
f. peraturan zonasi kawasan permukiman;
g. peraturan zonasi kawasan industri;
h. peraturan zonasi kawasan pariwisata;
i. peraturan zonasi kawasan pertahanan dan keamanan; dan
j. peraturan zonasi kawasan peruntukan lain terdiri atas : perdagangan dan
jasa, kawasan pusat pemerintahan, kawasan pesisir dan pulau pulau kecil.
(2) Peraturan zonasi untuk kawasan hutan produksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a meliputi :
a. produksi hasil hutan kayu hanya diperkenankan dari hasil kegiatan budidaya
tanaman hutan dalam kawasan hutan produksi;
b. produksi hutan kayu yang berasal dari hutan alam, hanya dimungkinkan dari
kegiatan penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan dengan izin yang
sah; dan
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031
RTRW BIMA 2011-2031

More Related Content

What's hot

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pekalongan
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota PekalonganRencana Tata Ruang Wilayah Kota Pekalongan
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota PekalonganPenataan Ruang
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Batang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten BatangRencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Batang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten BatangPenataan Ruang
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota SemarangRencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota SemarangPenataan Ruang
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pemalang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten PemalangRencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pemalang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten PemalangPenataan Ruang
 
Rtrw kota semarang 2011 2031
Rtrw kota semarang 2011 2031Rtrw kota semarang 2011 2031
Rtrw kota semarang 2011 2031pamboedi
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Semarang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten SemarangRencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Semarang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten SemarangPenataan Ruang
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tegal
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota TegalRencana Tata Ruang Wilayah Kota Tegal
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota TegalPenataan Ruang
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Wonogiri
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten WonogiriRencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Wonogiri
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten WonogiriPenataan Ruang
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pasuruan
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten PasuruanRencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pasuruan
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten PasuruanPenataan Ruang
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa TengahRencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa TengahPenataan Ruang
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Boyolali
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten BoyolaliRencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Boyolali
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten BoyolaliPenataan Ruang
 
Perda rtrw kabupaten tasikmalaya
Perda rtrw kabupaten tasikmalayaPerda rtrw kabupaten tasikmalaya
Perda rtrw kabupaten tasikmalayaTrian Oktafianto
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Magelang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota MagelangRencana Tata Ruang Wilayah Kota Magelang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota MagelangPenataan Ruang
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyumas
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten BanyumasRencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyumas
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten BanyumasPenataan Ruang
 
RTRW Kab Boyolali. No. 9 Tahun 2011
RTRW Kab Boyolali. No. 9 Tahun 2011RTRW Kab Boyolali. No. 9 Tahun 2011
RTRW Kab Boyolali. No. 9 Tahun 2011Adi T Wibowo
 
Ranperda rpjmd 2011 2015 Kab. Boyolali
Ranperda rpjmd 2011 2015 Kab. BoyolaliRanperda rpjmd 2011 2015 Kab. Boyolali
Ranperda rpjmd 2011 2015 Kab. BoyolaliAdi T Wibowo
 
perda-rtrw-kab-blora-2011-2031
perda-rtrw-kab-blora-2011-2031perda-rtrw-kab-blora-2011-2031
perda-rtrw-kab-blora-2011-2031Jhon Blora
 

What's hot (20)

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pekalongan
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota PekalonganRencana Tata Ruang Wilayah Kota Pekalongan
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pekalongan
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Batang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten BatangRencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Batang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Batang
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota SemarangRencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pemalang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten PemalangRencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pemalang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pemalang
 
Perda Cianjur no 17 tahun 2012
Perda Cianjur no 17 tahun 2012Perda Cianjur no 17 tahun 2012
Perda Cianjur no 17 tahun 2012
 
Rtrw kota semarang 2011 2031
Rtrw kota semarang 2011 2031Rtrw kota semarang 2011 2031
Rtrw kota semarang 2011 2031
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Semarang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten SemarangRencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Semarang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Semarang
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tegal
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota TegalRencana Tata Ruang Wilayah Kota Tegal
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tegal
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Wonogiri
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten WonogiriRencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Wonogiri
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Wonogiri
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pasuruan
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten PasuruanRencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pasuruan
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pasuruan
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa TengahRencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Boyolali
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten BoyolaliRencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Boyolali
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Boyolali
 
Perda rtrw kabupaten tasikmalaya
Perda rtrw kabupaten tasikmalayaPerda rtrw kabupaten tasikmalaya
Perda rtrw kabupaten tasikmalaya
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Magelang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota MagelangRencana Tata Ruang Wilayah Kota Magelang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Magelang
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyumas
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten BanyumasRencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyumas
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyumas
 
RTRW Kota pasuruan
RTRW Kota pasuruanRTRW Kota pasuruan
RTRW Kota pasuruan
 
RTRW Kab Boyolali. No. 9 Tahun 2011
RTRW Kab Boyolali. No. 9 Tahun 2011RTRW Kab Boyolali. No. 9 Tahun 2011
RTRW Kab Boyolali. No. 9 Tahun 2011
 
Ranperda rpjmd 2011 2015 Kab. Boyolali
Ranperda rpjmd 2011 2015 Kab. BoyolaliRanperda rpjmd 2011 2015 Kab. Boyolali
Ranperda rpjmd 2011 2015 Kab. Boyolali
 
perda-rtrw-kab-blora-2011-2031
perda-rtrw-kab-blora-2011-2031perda-rtrw-kab-blora-2011-2031
perda-rtrw-kab-blora-2011-2031
 
rtrw jawa tengah
rtrw jawa tengahrtrw jawa tengah
rtrw jawa tengah
 

Similar to RTRW BIMA 2011-2031

Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah Tahun 2010 - 2030
Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah Tahun 2010 - 2030Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah Tahun 2010 - 2030
Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah Tahun 2010 - 2030Agus Supriyanto
 
PERATURAN DAERAH KABUPATEN NOMOR 09 TAHUN 2012
PERATURAN DAERAH KABUPATEN NOMOR 09 TAHUN 2012 PERATURAN DAERAH KABUPATEN NOMOR 09 TAHUN 2012
PERATURAN DAERAH KABUPATEN NOMOR 09 TAHUN 2012 Adi T Wibowo
 
PERDA RTRW Kab Pasuruan Periode 2009-2029 12 Juli 2010
PERDA RTRW Kab Pasuruan Periode 2009-2029 12 Juli 2010PERDA RTRW Kab Pasuruan Periode 2009-2029 12 Juli 2010
PERDA RTRW Kab Pasuruan Periode 2009-2029 12 Juli 2010Probolinggo Property
 
Perda no 22_2010_ttg_rtrwp_jabar_2009-20291 (1)
Perda no 22_2010_ttg_rtrwp_jabar_2009-20291 (1)Perda no 22_2010_ttg_rtrwp_jabar_2009-20291 (1)
Perda no 22_2010_ttg_rtrwp_jabar_2009-20291 (1)Rini Purnamasari
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bima
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten BimaRencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bima
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten BimaPenataan Ruang
 
Provinsi jawatengah 2010-6
Provinsi jawatengah 2010-6Provinsi jawatengah 2010-6
Provinsi jawatengah 2010-6pamboedi
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Probolinggo
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota ProbolinggoRencana Tata Ruang Wilayah Kota Probolinggo
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota ProbolinggoProbolinggo Property
 
perda no 22 2010 ttg rtrwp jabar 2009 2029
perda no 22 2010 ttg rtrwp jabar 2009 2029perda no 22 2010 ttg rtrwp jabar 2009 2029
perda no 22 2010 ttg rtrwp jabar 2009 2029Probolinggo Property
 
RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SIDOARJO
RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SIDOARJO RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SIDOARJO
RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SIDOARJO Adi Wibowo
 
Perda3 2010 prov-ntb
Perda3 2010 prov-ntbPerda3 2010 prov-ntb
Perda3 2010 prov-ntbDadangsaputra
 
rancangan perda rtrw 2010-2030 makassar
rancangan perda rtrw 2010-2030 makassarrancangan perda rtrw 2010-2030 makassar
rancangan perda rtrw 2010-2030 makassarImam Nur Alam
 
Perda no. 2 tahun 2010 tentang rtrw kota probolinggo 2009 2028
Perda no. 2 tahun 2010 tentang rtrw kota probolinggo 2009 2028 Perda no. 2 tahun 2010 tentang rtrw kota probolinggo 2009 2028
Perda no. 2 tahun 2010 tentang rtrw kota probolinggo 2009 2028 Adi T Wibowo
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Purbalingga
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten PurbalinggaRencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Purbalingga
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten PurbalinggaPenataan Ruang
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lombok Utara
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lombok UtaraRencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lombok Utara
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lombok UtaraPenataan Ruang
 
Kab pamekasan 16_2012
Kab pamekasan 16_2012Kab pamekasan 16_2012
Kab pamekasan 16_2012Gathot Msp
 
Rtrwkab pemalang 228 2016
Rtrwkab pemalang 228 2016Rtrwkab pemalang 228 2016
Rtrwkab pemalang 228 2016Rizki Fitrianto
 
Batang tubuh raperda rtrw kab. banyuwangi th. 2012 2032
Batang tubuh raperda rtrw kab. banyuwangi th. 2012 2032Batang tubuh raperda rtrw kab. banyuwangi th. 2012 2032
Batang tubuh raperda rtrw kab. banyuwangi th. 2012 2032Probolinggo Property
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batu
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota BatuRencana Tata Ruang Wilayah Kota Batu
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota BatuPenataan Ruang
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Timor Tengah Utara
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Timor Tengah UtaraRencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Timor Tengah Utara
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Timor Tengah UtaraPenataan Ruang
 

Similar to RTRW BIMA 2011-2031 (20)

Rtrw gresik
Rtrw gresik Rtrw gresik
Rtrw gresik
 
Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah Tahun 2010 - 2030
Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah Tahun 2010 - 2030Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah Tahun 2010 - 2030
Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah Tahun 2010 - 2030
 
PERATURAN DAERAH KABUPATEN NOMOR 09 TAHUN 2012
PERATURAN DAERAH KABUPATEN NOMOR 09 TAHUN 2012 PERATURAN DAERAH KABUPATEN NOMOR 09 TAHUN 2012
PERATURAN DAERAH KABUPATEN NOMOR 09 TAHUN 2012
 
PERDA RTRW Kab Pasuruan Periode 2009-2029 12 Juli 2010
PERDA RTRW Kab Pasuruan Periode 2009-2029 12 Juli 2010PERDA RTRW Kab Pasuruan Periode 2009-2029 12 Juli 2010
PERDA RTRW Kab Pasuruan Periode 2009-2029 12 Juli 2010
 
Perda no 22_2010_ttg_rtrwp_jabar_2009-20291 (1)
Perda no 22_2010_ttg_rtrwp_jabar_2009-20291 (1)Perda no 22_2010_ttg_rtrwp_jabar_2009-20291 (1)
Perda no 22_2010_ttg_rtrwp_jabar_2009-20291 (1)
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bima
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten BimaRencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bima
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bima
 
Provinsi jawatengah 2010-6
Provinsi jawatengah 2010-6Provinsi jawatengah 2010-6
Provinsi jawatengah 2010-6
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Probolinggo
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota ProbolinggoRencana Tata Ruang Wilayah Kota Probolinggo
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Probolinggo
 
perda no 22 2010 ttg rtrwp jabar 2009 2029
perda no 22 2010 ttg rtrwp jabar 2009 2029perda no 22 2010 ttg rtrwp jabar 2009 2029
perda no 22 2010 ttg rtrwp jabar 2009 2029
 
RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SIDOARJO
RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SIDOARJO RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SIDOARJO
RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SIDOARJO
 
Perda3 2010 prov-ntb
Perda3 2010 prov-ntbPerda3 2010 prov-ntb
Perda3 2010 prov-ntb
 
rancangan perda rtrw 2010-2030 makassar
rancangan perda rtrw 2010-2030 makassarrancangan perda rtrw 2010-2030 makassar
rancangan perda rtrw 2010-2030 makassar
 
Perda no. 2 tahun 2010 tentang rtrw kota probolinggo 2009 2028
Perda no. 2 tahun 2010 tentang rtrw kota probolinggo 2009 2028 Perda no. 2 tahun 2010 tentang rtrw kota probolinggo 2009 2028
Perda no. 2 tahun 2010 tentang rtrw kota probolinggo 2009 2028
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Purbalingga
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten PurbalinggaRencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Purbalingga
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Purbalingga
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lombok Utara
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lombok UtaraRencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lombok Utara
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lombok Utara
 
Kab pamekasan 16_2012
Kab pamekasan 16_2012Kab pamekasan 16_2012
Kab pamekasan 16_2012
 
Rtrwkab pemalang 228 2016
Rtrwkab pemalang 228 2016Rtrwkab pemalang 228 2016
Rtrwkab pemalang 228 2016
 
Batang tubuh raperda rtrw kab. banyuwangi th. 2012 2032
Batang tubuh raperda rtrw kab. banyuwangi th. 2012 2032Batang tubuh raperda rtrw kab. banyuwangi th. 2012 2032
Batang tubuh raperda rtrw kab. banyuwangi th. 2012 2032
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batu
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota BatuRencana Tata Ruang Wilayah Kota Batu
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batu
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Timor Tengah Utara
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Timor Tengah UtaraRencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Timor Tengah Utara
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Timor Tengah Utara
 

Recently uploaded

PPT Olah Nilai Kurikulum merdeka belajar.pptx
PPT Olah Nilai Kurikulum merdeka belajar.pptxPPT Olah Nilai Kurikulum merdeka belajar.pptx
PPT Olah Nilai Kurikulum merdeka belajar.pptxnursariheldaseptiana
 
MATERI SESI 2 KONSEP ETIKA KOMUNIKASI.pptx
MATERI SESI 2 KONSEP ETIKA KOMUNIKASI.pptxMATERI SESI 2 KONSEP ETIKA KOMUNIKASI.pptx
MATERI SESI 2 KONSEP ETIKA KOMUNIKASI.pptxrikosyahputra0173
 
kesalahan tipe 1 dan 2 pada statistik.pptx
kesalahan tipe 1 dan 2 pada statistik.pptxkesalahan tipe 1 dan 2 pada statistik.pptx
kesalahan tipe 1 dan 2 pada statistik.pptxAhmadSyajili
 
Metode penelitian Deskriptif atau Survei
Metode penelitian Deskriptif atau SurveiMetode penelitian Deskriptif atau Survei
Metode penelitian Deskriptif atau Surveikustiyantidew94
 
Manajemen Lalu Lintas Baru Di Jalan Selamet Riyadi
Manajemen Lalu Lintas Baru Di Jalan Selamet RiyadiManajemen Lalu Lintas Baru Di Jalan Selamet Riyadi
Manajemen Lalu Lintas Baru Di Jalan Selamet RiyadiCristianoRonaldo185977
 
SKP GURU satuan kinerja pegawai tahun 2023 untuk PNS Aceh
SKP GURU satuan kinerja pegawai tahun 2023 untuk PNS AcehSKP GURU satuan kinerja pegawai tahun 2023 untuk PNS Aceh
SKP GURU satuan kinerja pegawai tahun 2023 untuk PNS AcehBISMIAULIA
 
pertemuan-3-distribusi pada-frekuensi.ppt
pertemuan-3-distribusi pada-frekuensi.pptpertemuan-3-distribusi pada-frekuensi.ppt
pertemuan-3-distribusi pada-frekuensi.pptAhmadSyajili
 
415418921-statistika- mean media modus data tunggal dan data kelompok
415418921-statistika- mean media modus data tunggal dan data kelompok415418921-statistika- mean media modus data tunggal dan data kelompok
415418921-statistika- mean media modus data tunggal dan data kelompokelmalinda2
 
MARIA NOVILIA BOISALA FASILITATOR PMM.pptx
MARIA NOVILIA BOISALA FASILITATOR PMM.pptxMARIA NOVILIA BOISALA FASILITATOR PMM.pptx
MARIA NOVILIA BOISALA FASILITATOR PMM.pptxmariaboisala21
 

Recently uploaded (9)

PPT Olah Nilai Kurikulum merdeka belajar.pptx
PPT Olah Nilai Kurikulum merdeka belajar.pptxPPT Olah Nilai Kurikulum merdeka belajar.pptx
PPT Olah Nilai Kurikulum merdeka belajar.pptx
 
MATERI SESI 2 KONSEP ETIKA KOMUNIKASI.pptx
MATERI SESI 2 KONSEP ETIKA KOMUNIKASI.pptxMATERI SESI 2 KONSEP ETIKA KOMUNIKASI.pptx
MATERI SESI 2 KONSEP ETIKA KOMUNIKASI.pptx
 
kesalahan tipe 1 dan 2 pada statistik.pptx
kesalahan tipe 1 dan 2 pada statistik.pptxkesalahan tipe 1 dan 2 pada statistik.pptx
kesalahan tipe 1 dan 2 pada statistik.pptx
 
Metode penelitian Deskriptif atau Survei
Metode penelitian Deskriptif atau SurveiMetode penelitian Deskriptif atau Survei
Metode penelitian Deskriptif atau Survei
 
Manajemen Lalu Lintas Baru Di Jalan Selamet Riyadi
Manajemen Lalu Lintas Baru Di Jalan Selamet RiyadiManajemen Lalu Lintas Baru Di Jalan Selamet Riyadi
Manajemen Lalu Lintas Baru Di Jalan Selamet Riyadi
 
SKP GURU satuan kinerja pegawai tahun 2023 untuk PNS Aceh
SKP GURU satuan kinerja pegawai tahun 2023 untuk PNS AcehSKP GURU satuan kinerja pegawai tahun 2023 untuk PNS Aceh
SKP GURU satuan kinerja pegawai tahun 2023 untuk PNS Aceh
 
pertemuan-3-distribusi pada-frekuensi.ppt
pertemuan-3-distribusi pada-frekuensi.pptpertemuan-3-distribusi pada-frekuensi.ppt
pertemuan-3-distribusi pada-frekuensi.ppt
 
415418921-statistika- mean media modus data tunggal dan data kelompok
415418921-statistika- mean media modus data tunggal dan data kelompok415418921-statistika- mean media modus data tunggal dan data kelompok
415418921-statistika- mean media modus data tunggal dan data kelompok
 
MARIA NOVILIA BOISALA FASILITATOR PMM.pptx
MARIA NOVILIA BOISALA FASILITATOR PMM.pptxMARIA NOVILIA BOISALA FASILITATOR PMM.pptx
MARIA NOVILIA BOISALA FASILITATOR PMM.pptx
 

RTRW BIMA 2011-2031

  • 1. 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BIMA NOMOR 9 TAHUN 2011 T E N T A N G RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BIMA TAHUN 2011-2031 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BIMA, Menimbang : a. bahwa untuk mengarahkan pembangunan di Kabupaten Bima dengan memanfaatkan ruang wilayah secara berdaya guna, berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan, perlu disusun rencana tata ruang wilayah; b. bahwa dalam mewujudkan keterpaduan pembangunan antar sektor, daerah dan masyarakat, maka rencana tata ruang merupakan arahan dalam pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu yang dilaksanakan secara bersama oleh pemerintah daerah, masyarakat dan/atau badan usaha; c. bahwa dengan terbentuknya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, dan Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 3 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2009-2029, maka Peraturan Daerah Kabupaten Bima Nomor 11 Tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bima Tahun 2007 – 2027 perlu diganti;
  • 2. 2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c maka perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bima Tahun 2011-2031; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1649); 2. Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2013); 3. Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209); 4. Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3274); 5. Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 6. Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3470); 7. Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistim Budi Daya Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3478); 8. Undang – Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3881); 9. Undang – Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
  • 3. 3 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412); 10.Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kota Bima Di Wilayah Nusa Tenggara Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4188 ); 11.Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247); 12.Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286); 13.Undang – Undang Nomor 28 Tahun 1999 yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi,dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); 14.Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355); 15.Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247); 16.Undang – Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389); 17.Undang – Undang Nomor 25 Tahun 2004 Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421 ); 18.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik
  • 4. 4 Indonesia Nomor 4844); 19.Undang – Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444); 20.Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33 , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700); 21.Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723); 22.Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724); 23.Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725); 24.Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4726); 25.Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4746); 26.Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849); 27.Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4851); 28.Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956); 29.Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959);
  • 5. 5 30.Undang – Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966); 31.Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025); 32.Undang – Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5038); 33.Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); 34.Undang – Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068); 35.Undang – Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433); 36.Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188); 37.Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3445); 38.Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1993 tentang Benda Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3516); 39.Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2831);
  • 6. 6 40.Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Ngara Republik Indonesia Nomor 3838); 41.Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2000 tentang Tingkat Ketelitian Peta untuk Penataan Ruang Wilayah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3934); 42.Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Lahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4385; 43.Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4452); 44.Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4453); 45.Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4490); 46.Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593); 47.Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4624); 48.Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4655); 49.Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696);
  • 7. 7 50.Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Propinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 51.Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4761); 52.Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4828); 53.Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833); 54.Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2008 tentang Pemindahan Ibukota Bima dari Wilayah Raba Kota Bima ke Wilayah Woha Kabupaten Bima (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4841); 55.Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4858); 56.Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4859); 57.Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5097); 58.Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103); 59.Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Di Wilayah Provinsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5107);
  • 8. 8 60.Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5110); 61.Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5111); 62.Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Khusus (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 59 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5125); 63.Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5160); 64.Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah; 65.Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2008 tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana Tata Ruang Daerah; 66.Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2009 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah; 67.Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 11/PRT/M/2009 tentang Pedoman Persetujuan Substansi dalam Penetapan Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kota, Beserta Rencana Rincinya; 68.Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten; 69.Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.50/Menhut-II/2009 tentang Penegasan Status dan Fungsi Kawasan Hutan; 70.Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 3 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2009-2029 (Lembaran Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 Nomor 26, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 Nomor 56).
  • 9. 9 71.Peraturan Daerah Kabupaten Bima Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pembentukan Kecamatan Ambalawi, Lambu, Madapangga, dan Tambora dalam Wilayah di Kabupaten Bima; 72.Peraturan Daerah Kabupaten Bima Nomor 2 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan Daerah Kabupaten Bima (Lembaran Daerah Kabupaten Bima Tahun 2008 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Bima Nomor 25); 73.Peraturan Daerah Kabupaten Bima Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Bima Tahun 2011-2015 (Lembaran Daerah Kabupaten Bima Tahun 2010 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Bima Nomor 35); 74.Peraturan Daerah Kabupaten Bima Nomor 7 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Bima Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan, Susunan, Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Bima (Lembaran Daerah Kabupaten Bima Tahun 2010 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Bima Nomor 37). Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BIMA dan BUPATI BIMA MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KABUPATEN BIMA TAHUN 2011-2031. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1. Daerah adalah Kabupaten Bima. 2. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. 3. Bupati adalah Bupati Bima. 4. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara, termasuk ruang didalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia
  • 10. 10 dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. 5. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. 6. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkhis memiliki hubungan fungsional. 7. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya. 8. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. 9. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bima yang selanjutnya disingkat RTRW Kabupaten Bima adalah arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah daerah yang menjadi pedoman bagi penataan wilayah yang merupakan dasar dalam penyusunan program pembangunan. 10. Wilayah Daerah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. 11. Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam satu atau lebih daerah aliran sungai dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 km2 . 12. Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. 13. Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya. 14. Pusat Kegiatan Wilayah yang selanjutnya disebut PKW adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala provinsi atau beberapa kabupaten/kota. 15. Pusat Kegiatan Wilayah Promosi yang selanjutnya disebut PKWp adalah kawasan perkotaan yang akan dipromosikan untuk menjadi PKW dengan fungsi untuk melayani kegiatan skala provinsi atau beberapa kabupaten/kota. 16. Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disebut PKL adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten/kota atau beberapa kecamatan. 17. Pusat Kegiatan Lokal Promosi yang selanjutnya disebut PKLp adalah kawasan perkotaan yang akan dipromosikan untuk menjadi PKL dengan fungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten/kota atau beberapa kecamatan. 18. Pusat Pelayanan Kawasan yang selanjutnya disebut PPK merupakan kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kecamatan atau beberapa desa. 19. Pusat Pelayanan Lingkungan yang selanjutnya disebut PPL adalah pusat permukiman yang berfungsi untuk melayani kegiatan sekala antar desa. 20. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.
  • 11. 11 21. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan. 22. Kawasan strategis kabupaten adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten terhadap ekonomi, sosial, budaya dan atau lingkungan. 23. Ruang Terbuka Hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. 24. Peraturan zonasi adalah ketentuan yang mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata ruang. 25. Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 26. Kawasan pesisir adalah kawasan yang merupakan peralihan antara darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. 27. Masyarakat adalah orang perorangan, kelompok orang, termasuk masyarakat hukum adat dan badan hukum. 28. Peran Masyarakat adalah partisipasi aktif masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. 29. Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional yang selanjutnya disebut BKPRN adalah badan yang dibentuk dengan Keputusan Presiden yang bertugas untuk mengkoordinasikan penataan ruang Nasional. 30. Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah Propinsi Nusa Tenggara Barat yang selanjutnya disebut BKPRD Provinsi adalah Badan yang dibentuk dengan Keputusan Gubernur yang bertugas untuk mengkoordinasikan penataan ruang wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat. 31. Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah yang selanjutnya disebut BKPRD Kabupaten Bima adalah Badan yang dibentuk dengan Keputusan Bupati yang bertugas untuk mengkoordinasikan penataan ruang wilayah Kabupaten Bima. 32. Register Tanah Kehutanan yang selanjutnya disebut RTK adalah sistem penomoran tiap-tiap kelompok hutan menurut fungsi. 33. Kawasan Pertahanan Negara adalah wilayah yang ditetapkan secara nasional yang digunakan untuk kepentingan pertahanan.
  • 12. 12 BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH Bagian kesatu Tujuan Pasal 2 Tujuan penataan ruang wilayah Kabupaten Bima adalah untuk mewujudkan Kabupaten Bima sebagai kawasan pengembangan agrobisnis berbasis pertanian, peternakan, agroindustri berbasis perikanan, dan wisata bahari. Bagian kedua Kebijakan Pasal 3 Untuk menjadikan tujuan penataan ruang wilayah kabupaten tercapai perlu disusun kebijakan penataan ruang kabupaten. Pasal 4 Kebijakan penataan ruang terdiri atas : a. pengembangan wilayah-wilayah yang berbasis pertanian, perikanan, dan wisata bahari; b. peningkatan pertumbuhan dan pengembangan wilayah dengan konsep agrobisnis dan agroindustri; c. pengembangan kawasan pariwisata yang berbasis potensi alam dan budaya; d. pengendalian pemanfaatan lahan pertanian; e. penataan pusat-pusat pertumbuhan wilayah dan ekonomi perkotaan dan menunjang sistem pemasaran produksi pertanian, perikanan dan pariwisata; f. pengembangan sistem prasarana wilayah yang mendukung pemasaran hasil pertanian, perikanan dan pariwisata; g. pengelolaan pemanfaatan lahan dengan memperhatikan peruntukan lahan, daya tampung lahan dan aspek konservasi; h. pengembangan kawasan budidaya dengan memperhatikan aspek keberlanjutan dan lingkungan hidup yang didahului dengan kajian lingkungan hidup strategis; dan i. peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan kemanan.
  • 13. 13 Bagian Ketiga Strategi Pasal 5 Untuk melaksanakan kebijakan penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ditetapkan strategi penataan ruang wilayah yang terdiri atas : a. Strategi pengembangan wilayah-wilayah yang berbasis pertanian, perikanan, dan wisata bahari; b. Strategi peningkatan Pertumbuhan dan pengembangan wilayah dengan konsep agrobisnis dan agro industri; c. Strategi Pengendalian pemanfaatan lahan pertanian; d. Strategi Penataan pusat pusat pertumbuhan wilayah dan ekonomi perkotaan yang menunjang sistem mpemasaran produksi pertanian, perikanan, pariwisata dan pertambangan; e. Strategi pengembangan sistim prasarana wilayah yang mendukung pemasaran hasil pertanian, perikanan, pariwisata, dan pertambangan; f. Strategi pengelolaan pemanfaatan lahan dengan memperhatikan peruntukan lahan, daya tampung lahan dan aspek konservasi; g. Strategi pengembangan kawasan budidaya dengan memperhatikan aspek keberlanjutan dan lingkungan hidup; h. Strategi pengembangan kawasan pariwisata yang berbasis pada potensi alam dan budaya; dan i. Strategi peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan. Pasal 6 (1) Strategi pengembangan wilayah-wilayah yang berbasis pertanian, perikanan, dan wisata bahari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a meliputi : a. mengembangkan wilayah-wilayah dengan potensi unggulan pertanian dan perikanan sebagai daerah produksi; b. mengembangkan objek-objek wisata potensial;dan c. meningkatkan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana penunjang produksi. (2) Strategi Peningkatan Pertumbuhan dan pengembangan wilayah dengan konsep agrobisnis dan agroindustri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b meliputi : a. menetapkan wilayah agrobisnis di Kecamatan Belo, Bolo, Sape, Tambora,dan Wera; b. menetapkan wilayah agroindustri di Kecamatan Woha; c. meningkatkan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana penunjang kawasan agrobisnis dan agroindustri; dan d. meningkatkan kelembagaan pengelolaan kawasan agrobisnis dan agroindustri.
  • 14. 14 (3) Strategi Pengendalian pemanfaatan lahan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi: a. menekan pengurangan luasan lahan sawah beririgasi; b. menetapkan lahan sawah abadi atau lahan sawah berkelanjutan dan menekan pengurangan luasan lajan sawah beririgasi; c. mengembangkan sawah baru pada kawasan potensial; dan d. mengoptimalkan pemanfaatan kawasan pertanian lahan kering. (4). Strategi Penataan pusat-pusat pertumbuhan wilayah dan ekonomi perkotaan yang menunjang sistem pemasaran produksi pertanian, perikanan, dan wisata bahari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf d meliputi: a. menetapkan hierarki simpul-simpul pertumbuhan ekonomi wilayah; b. memantapkan fungsi simpul-simpul wilayah; c. memantapkan keterkaitan antar simpul-simpul wilayah dan interaksi antara simpul wilayah dengan kawasan perdesaan sebagai hinterlandnya; d. menjaga keterkaitan antar kawasan perkotaan, antara kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan, serta antara kawasan perkotaan dan wilayah di sekitarnya; e. mengembangkan pusat pertumbuhan baru di kawasan yang belum terlayani oleh pusat pertumbuhan; dan f. mendorong kawasan perkotaan dan pusat pertumbuhan agar lebih kompetitif dan lebih efektif dalam pengembangan wilayah di sekitarnya. (5). Strategi pengembangan sistem prasarana wilayah yang mendukung pemasaran hasil pertanian, perikanan, dan wisata bahari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf e meliputi: a. mengembangkan sistem jaringan infrastruktur dalam mewujudkan keterpaduan pelayanan transportasi darat, laut, dan udara; b. mengembangkan akses jaringan jalan menuju kawasan pertanian, perikanan, pariwisata, industri dan daerah terisolir; c. mengembangkan dan meningkatkan jalan lingkar perkotaan dan jalan lingkar utara-selatan wilayah Kabupaten Bima; d. mendorong pengembangan jaringan telekomunikasi dan informasi terutama di kawasan terisolir ; dan e. meningkatkan jaringan energi dengan memanfaatkan energi terbarukan dan tak terbarukan secara optimal serta mewujudkan keterpaduan sistem penyediaan tenaga listrik. (6).Strategi pengelolaan pemanfaatan lahan dengan memperhatikan peruntukan lahan, daya tampung lahan dan aspek konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf f meliputi: a. mempertahankan luas kawasan lindung; b. mempertahankan luasan hutan lindung dan mengembangkan luas kawasan hutan minimal 30% dari luasan daerah aliran sungai;
  • 15. 15 c. mengembalikan dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang telah menurun akibat pengembangan kegiatan budidaya, dalam rangka mewujudkan dan memelihara keseimbangan ekosistem wilayah; d. menyelenggarakan upaya terpadu untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas fungsi kawasan lindung; e. melestarikan sumber air dan mengembangkan sistem cadangan air untuk musim kemarau; f. memelihara kemampuan lingkungan hidup dari tekanan perubahan dan/atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan agar tetap mampu mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya; dan g. mencegah terjadinya tindakan yang dapat secara langsung atau tidak langsung menimbulkan perubahan sifat fisik lingkungan yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan. (7) Strategi pengembangan kawasan budidaya dengan memperhatikan aspek keberlanjutan dan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf g meliputi: a. mendukung kebijakan moratorium logging dalam kawasan hutan serta mendorong berlangsungnya investasi bidang kehutanan yang diawali dengan kegiatan penanaman/rehabilitasi hutan; b. mengembangkan produksi hasil hutan kayu dari hasil kegiatan budidaya tanaman hutan dalam kawasan hutan produksi; c. mengembangkan produksi hasil hutan kayu yang berasal dari hutan alam, dari kegiatan penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan dengan izin yang sah; d. memelihara kawasan peninggalan sejarah dan situs budaya sebagai objek penelitian dan pariwisata; e. mengembangkan ruang terbuka hijau dengan luas paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas kawasan perkotaan; f. mengelola pemanfaatan sumber daya alam agar tidak melampaui daya dukung dan daya tampung kawasan; g. mengelola dampak negatif kegiatan budi daya agar tidak menurunkan kualitas lingkungan hidup dan efisiensi kawasan; h. membatasi perkembangan kawasan terbangun pada kawasan perkotaan dengan mengoptimalkan pemanfaaatan ruang secara vertikal dan tidak sporadis untuk mengefektifkan tingkat pelayanan infrastruktur dan sarana kawasan perkotaan serta mempertahankan fungsi kawasan perdesaan; i. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana untuk menjamin kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan; dan j. mengelola sumber daya alam tak terbarukan untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan sumber daya alam yang terbarukan untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya. (8). Strategi pengembangan kawasan pariwisata yang berbasis potensi alam dan budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf h, meliputi : a. mengembangkan kawasan pariwisata dengan obyek wisata unggulan; b. mengelola, mengembangkan dan melestariukan peninggalan sejarah purbakala;
  • 16. 16 c. merevitalisasi nilai-nilai budaya serta situs/cagar budaya yang bernilai historis; dan d. mengembangkan sarana dan prasarana penunjang kepariwisataan. (9) Strategi peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf i, meliputi : a. menetapkan kawasan strategis nasional dengan fungsi khusus pertahanan dan keamanan; b. mengembangkan budidaya secara selektif di dalam dan di sekitar kawasan strategis nasional untuk menjaga fungsi pertahanan dan keamanan; c. mengembangkan kawasan lindung dan/atau kawasan budidaya tak terbangun di sekitar kawasan strategis nasional sebagai zona penyangga yang memisahkan kawasan strategis nasional dengan kawasan budidaya terbangun; dan d. turut serta memelihara dan menjaga aset – aset pertahanan/TNI. BAB III RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH Bagian Kesatu Umum Pasal 7 Rencana Struktur Ruang Wilayah meliputi : a. pusat-pusat kegiatan; b. sistem jaringan prasarana utama; dan c. sistem jaringan prasarana lainnya. Bagian Kedua Pusat-Pusat Kegiatan Pasal 8 Pusat-pusat kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a meliputi : a. PKWp di Kota Woha; b. PKL terdiri atas Kore (Sanggar), O’o (Donggo), Naru (Sape), Sila (Bolo), Tangga (Monta), Maria (Wawo), dan Tawali (Wera); c. PPK terdiri atas Karumbu (Langgudu), Cenggu (Belo), Kananta (Soromandi), Labuan Kananga (Tambora), Sumi (Lambu), Nipa (Amblawi), Kuta (Lambitu), Teke (Palibelo) , Parado Rato (Parado) dan Dena (Madapangga); dan d. PPL terdiri atas Ntonggu Baru, Karampi, Wila Maci, Wadu Kopa, Oi Bura, Nggelu, Lere, Campa.
  • 17. 17 Pasal 9 (1) PKWp sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a berfungsi sebagai : a. simpul transportasi skala wilayah; b. pusat perdagangan, bisnis, keuangan, dan jasa skala regional dan atau nasional; c. pusat pelayanan pemerintahan skala kabupaten; d. pusat pelayanan pendidikan dan kesehatan; dan e. pusat pelayanan umum dan sosial skala regional. (2) PKL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b berfungsi sebagai : a. simpul transportasi skala lokal; b. pusat perdagangan, bisnis, keuangan, dan jasa skala lokal dan/atau regional; dan c. pusat pelayanan pendidikan dan kesehatan skala lokal dan/atau regional. (3) PPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c berfungsi sebagai: a. simpul transportasi skala kawasan; b. pusat perdagangan, bisnis, keuangan, dan jasa skala kawasan dan atau lokal; dan c. pusat pelayanan umum dan sosial skala kawasan. (4) PPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf d berfungsi sebagai: a. simpul transportasi skala lingkungan; b. pusat perdagangan, bisnis, keuangan, dan jasa skala lingkungan dan atau kawasan; dan c. pusat pelayanan umum dan sosial skala lingkungan. Bagian Ketiga Sistem Jaringan Prasarana Utama Pasal 10 (1) Rencana pengembangan sistem jaringan prasarana utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b meliputi : a. sistem transportasi darat; b. sistem transportasi laut; dan c. sistem transportasi udara. (2) Rencana pengembangan sistem jaringan transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran 1 yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
  • 18. 18 Paragraf 1 Sistem Transportasi Darat Pasal 11 (1) Rencana pengembangan Sistem transportasi darat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a terdiri atas : a. jaringan lalu lintas dan angkutan jalan yang terdiri atas jaringan jalan, jaringan prasarana lalu lintas, dan jaringan layanan lalu lintas; dan b. jaringan transportasi penyeberangan. (2) Jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi : a. jaringan jalan arteri primer meliputi : jalan penghubung Sila – Talabiu – Bima – melewati Kota Bima; b. jaringan jalan kolektor primer meliputi: 1. jalan penghubung Sila-Donggo; 2. jalan penghubung Talabiu-Tangga-Parado-Wilamaci-Karumbu-Sape; 3. jalan penghubung Bima-Tawali-Sape; 4. jalan penghubung Labuan Kananga – Kawinda To’i – Piong – Sp.Kore – Kiwu – Sampungu – Bajo – Sampungu; 5. jalan penghubung Kore-Labuan Kananga; 6. jalan penghubung Lere-batas Kabupaten Dompu; 7. jalan penghubung simpang Nipa-batas Kota Bima; dan 8. jalan penghubung Kananta-Sampungu-batas Kabupaten Dompu. c. jaringan jalan lokal primer meliputi : 1. jalan penghubung Simpang Laju-Tolouwi-Simpang Paradorato; 2. jalan penghubung Sondo-Rupe- Simpang Tanggabaru-Lere; 3. jalan penghubung Lambu-Sumi-Nggelu; 4. jalan penghubung Wora-Nunggi-Ntoke-batas Kota Bima; 5. jalan penghubung Monggo-Tonda-Keli-Risa; 6. jalan penghubung Ndano-Dena-Mpuri-Tonda; dan 7. jalan penghubung Simpang O’O-Kala-Kananta. d. jaringan jalan arteri sekunder meliputi : simpang Kara Timur (Arteri Primer)-jalan lintas pantai Barat-jalan lintas pantai Timur- simpang Bandara. e. jaringan jalan kolektor sekunder meliputi : 1. jalan penghubung arteri Primer – Panda – Woha – Risa – Tenga- Kolektor Primer; 2. jalan penghubung Donggobolo-Risa; 3. jalan penghubung Kalampa-Samili-Rabakodo-Talabiu; 4. jalan penghubung Panda – Donggo-Penapali; dan 5. jalan penghubung Woha-Kalampa. (3) Jaringan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi : a. jaringan prasarana terdiri atas terminal penumpang Kelas B berada di Kecamatan Woha; dan
  • 19. 19 b. Pembangunan terminal tipe C tersebar di kecamatan Belo, Bolo, Lambu, Wawo, Ambalawi, Monta, Langgudu, Donggo, Tambora, Lambitu, Soromandi . (4) Jaringan pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi : a. jaringan trayek antar kota dalam provinsi (AKDP) meliputi : Woha-Bima, Woha-Dompu, Woha-Sumbawa, Woha – Mataram; dan b. jaringan trayek angkutan perdesaan meliputi : Woha-Belo, Woha-Bolo, Woha- Sape, Bolo-Kananta, Bolo-O’o, Kore-Labuan Kananga, Naru-Wora, Naru Waworada, Woha-Waworada. (5) Jaringan transportasi penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi : a. pelabuhan penyeberangan lintas provinsi yaitu Pelabuhan Sape di Kecamatan Sape;penyebrangan terdiri atas : Sape – Labuan Bajo, Sape-Waikelo b. lintas penyeberangan antar Kabupaten : 1. Labuan Kananga – Bima (Kota Bima); Labuan Kananga-Moyo (Kab. Sumbawa); 2. Cempi (Kab. Dompu) – Waworada (Kab. Bima); 3. Waworada (Kab.Bima) – Sape (Kab.Bima); dan 4. Bima (Kota Bima) – Sape (Kab. Bima). (6) Rencana pengembangan jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dalam bentuk peta Rencana Jaringan Jalan Wilayah Kabupaten Bima sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Paragraf 2 Sistem Transportasi Laut Pasal 12 Rencana Pengembangan Sistem transportasi laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b terdiri atas : a. pelabuhan pengumpan lintas provinsi berada di Sape dengan alur pelayaran meliputi: Sape-Labuan Bajo, Sape-Waikelo; b. pelabuhan pengumpan berada di Waworada dengan alur pelayaran meliputi: Waworada-Cempi, Waworada-Sape; dan c. pelabuhan pengumpan berada di Labuan Kananga Kecamatan Tambora dengan alur pelayaran meliputi: Lb. Kananga – Bima (Kota Bima).
  • 20. 20 Paragraf 3 Sistem Transportasi Udara Pasal 13 Rencana Pengembangan Sistem transportasi udara Kabupaten Bima sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c yaitu bandar udara pusat pengumpul skala tersier berada di Bandar Udara Sultan Muhammad Salahuddin Bima. Bagian Keempat Sistem Jaringan Prasarana Lainnya Pasal 14 (1) Rencana pengembangan sistem jaringan prasarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c meliputi: a. sistem jaringan energi; b. sistem jaringan telekomunikasi; c. sistem jaringan sumber daya air; d. sistem jaringan prasarana air bersih; e. sistem jaringan drainase; f. sistem jaringan pengolahan air limbah; dan g. sistem jaringan prasarana persampahan. (2) Rencana pengembangan sistem jaringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I dan diwujudkan dalam bentuk peta Rencana Jaringan Prasarana Wilayah Kabupaten Bima sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Paragraf 1 Sistem Jaringan Energi Pasal 15 (1) Rencana pengembangan sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a meliputi : a. gardu induk di Raba Kota Bima; b. gardu pembagi di Woha dan Bolo; dan c. jaringan transmisi tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Bima. (2) Rencana pengembangan sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) direncanakan sebesar 81,5 MW. (3) Rencana pengembangan sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan cara : a. pengembangan Listrik Tenaga Diesel di Bajo Pulau Kecamatan Sape, Nggelu, Pai, Sai, Sampungu, Sape, Monta dan Kore; b. pengembangan Listrik Tenaga Surya di Kecamatan Langgudu, Tambora, Sanggar dan Wera ; c. pengembangan Listrik Tenaga Mikrohidro di Kecamatan Tambora;
  • 21. 21 d. pengembangan Listrik Tenaga Bayu/Angin di Kecamatan Langgudu, dan Wera; dan e. pembangkit Listrik Tenaga Arus Bawah Laut di Kecamatan Soromandi. Paragraf 2 Sistem Jaringan Telekomunikasi Pasal 16 (1) Rencana pengembangan sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b meliputi : a.Stasiun Telepon Otomat (STO) tersebar di Kecamatan Woha, Bolo dan Sape; b.Rumah Kabel dan kotak pembagi tersebar di Kecamatan Woha, Bolo dan Sape; c.jaringan kabel sekunder tersebar di Kecamatan Woha, Bolo dan Sape; d.Satuan Sambungan Telepon (SST) tersebar di Kecamatan Woha, Bolo dan Sape; dan e.Tower Telekomunikasi Seluler tersebar di seluruh kecamatan Kabupaten Bima. (2) Rencana Pengembangan sistem Jaringan Telekomunikasi berupa microdigital dan serat optik dilakukan dalam rangka memperlancar arus komunikasi dan mendukung lancarnya kegiatan perekonomian di wilayah Kabupaten Bima. (3) Rencana pengembangan sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diwujudkan dalam bentuk peta Rencana Jaringan Prasarana Wilayah Kabupaten Bima sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Paragraf 3 Sistem Jaringan Sumber Daya Air Pasal 17 (1) Rencana pengembangan sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf c dilakukan untuk memenuhi kebutuhan air bersih dan irigasi dengan cara rencana pengembangan wilayah sungai dan sistem jaringan irigasi dalam wilayah. (2) Rencana pengembangan sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf c diwujudkan dalam bentuk peta Rencana Jaringan Prasarana Wilayah Kabupaten Bima sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
  • 22. 22 Pasal 18 (1) Rencana pengembangan Wilayah Sungai (WS) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) meliputi: a. Wilayah Sungai Strategis Nasional yaitu wilayah sungai Sumbawa dan wilayah sungai Bima Dompu yang meliputi wilayah sungai lintas kabupaten dan/atau kota terdiri atas sungai lampe meliputi Sungai Wawo-Sungai Lampe-Sungai Rontu dan Sungai Padolo; dan b. Wilayah Sungai utuh kabupaten terdiri atas ; sungai Sori Campa, Sori Kampasi, Sori Kawuwu Ncera, Sori Sumi, Sori Na,e Sape, Sori Karenggo, Sori Padende, Sori Monca O’o, Sori Raba Ncanga Mbawa, Sori Kala, Sori Na,e Sampungu, Sori Na,e, Sori Sai, Sori Manggi, Sori Boroloka, Sori Roka, Sori Kuta, Sori Ntonggu, Sori Kaleli, Sori Nunggi, Sori Karumbu, Sori Sambu, Sori Diwumoro, Sori Sari, Sori Oi Marai, dan Sori Lere. (2) Pola dan strategi pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) wilayah sungai pulau sumbawa yang merupakan wilayah sungai strategis nasional. (3) Rincian rencana pengelolaan sistem jaringan prasarana sumberdaya air kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Pasal 19 (1) Rencana pengembangan sistem jaringan irigasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) meliputi : a. pembangunan bendungan/bendung/embung dan sistem jaringan irigasi yang merupakan kewenangan pemerintah sebanyak 5 unit/buah yang tersebar di Kecamatan Parado, Sape, Tambora, Wawo, dan Wera; b. operasi dan pemeliharaan bendungan/bendung/embung dan sistem jaringan irigasi yang merupakan kewenangan pemerintah sebanyak 6 unit/buah yang tersebar di Kecamatan Monta, Parado, Sape, Tambora, Wawo, dan Wera; c. operasi dan pemeliharaan bendungan/ bendung/ embung dan sistem jaringan irigasi yang merupakan kewenangan Pemerintah Provinsi sebanyak 4 unit/buah yang tersebar di Kecamatan Bolo, Lambu, Madapangga, Parado; dan d. operasi dan pemeliharaan bendungan/ bendung/ embung dan sistem jaringan irigasi yang merupakan kewenangan Pemerintah Kabupaten Bima sebanyak 45 unit/buah tersebar di seluruh kecamatan Kabupaten Bima. (2) Rencana pengembangan sistem jaringan irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk : a. membatasi perubahan alih fungsi sawah irigasi teknis dan setengah teknis menjadi kegiatan budidaya lainnya; b. mengembangkan prasarana irigasi; dan c. meningkatkan kualitas jaringan irigasi teknis.
  • 23. 23 (3) Rincian rencana pengelolaan sistem jaringan prasarana sumberdaya air kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Paragraf 4 Sistem Jaringan Prasarana Air Bersih Pasal 20 (1) Rencana pengembangan sistem jaringan prasarana air bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf d dilakukan dalam rangka peningkatan cakupan pelayanan, peningkatan kualitas air, dan efisiensi pemanfaatan air bersih dengan memperhatikan konservasi sumber–sumber air dan keanekaragaman sumber air baku . (2) Rencana Pengembangan Sistem Jaringan prasarana air bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. pengembangan jaringan perpipaan air baku dan air bersih terdapat di beberapa Kecamatan antara lain Kecamatan Monta, Woha, dan Palibelo; b. saluran perpipaan air baku terdapat di lokasi, antara lain Kecamatan Monta; c. instalasi air bersih terdapat di lokasi, antara lain di Kecamatan Monta; d. sumber air baku terdapat dilokasi, antara lain dari Sungai Parado Kanca; dan e. reservoir sebanyak 1 unit terdapat dilokasi, antara lain Kecamatan Palibelo. Paragraf 5 Sistem Jaringan Prasarana Drainase Pasal 21 Rencana pengembangan sistem jaringan prasarana drainase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf e dilakukan dengan cara : a. normalisasi dan perkuatan tebing: Sungai Ambalawi, Sungai Bontokape, Sungai Palibelo, Sungai Parado, dan Sungai Sumi; b. drainase primer adalah saluran pengumpul dari drainase sekunder dan dapat dialirkan ke sungai; c. drainase sekunder dilakukan pembangunan sistem drainase pada daerah permukiman perkotaan dan perdesaan yang rawan bencana banjir dan genangan air limbah menuju drainase primer; dan d. drainase tersier dilakukan pembangunan sistem drainase pada lingkungan permukiman perkotaan dan perdesaan menuju drainase sekunder. Paragraf 6 Sistem Jaringan Prasarana Pengolahan Air Limbah Pasal 22 (1) Rencana pengembangan sistem jaringan prasarana pengelolaan air limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf f bertujuan untuk pengurangan, pemanfaatan kembali, dan pengolahan bagi limbah dari kegiatan
  • 24. 24 permukiman, perkantoran dan kegiatan ekonomi dengan memperhatikan baku mutu limbah yang berlaku. (2) Sistem pengelolaan air limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi sistem pembuangan air limbah setempat dan/atau terpusat. (3) Sistem pengelolaan air limbah setempat dilakukan secara individual melalui pengolahan dan pembuangan air limbah setempat pada kawasan-kawasan yang belum memiliki sistem terpusat di Kabupaten Bima. (4) Sistem pengelolaan air limbah terpusat dilakukan secara kolektif melalui jaringan pengumpul dan diolah serta dibuang secara terpusat pada kawasan bandara, kawasan pusat pemerintahan, kawasan pariwisata, kawasan industri, kawasan perdagangan dan jasa, kawasan perumahan dan kawasan permukiman padat di Kabupaten Bima. (5) Lokasi instalasi pengolahan air limbah harus memperhatikan aspek teknis, lingkungan, sosial budaya masyarakat setempat, serta dilengkapi dengan zona penyangga, berlokasi di Kecamatan Woha. Paragraf 7 Sistem Jaringan Prasarana Persampahan Pasal 23 Rencana pengembangan sistem jaringan prasarana persampahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf g meliputi : a. Tempat Penampungan Sementara (TPS) sebanyak kurang lebih 400 unit tersebar di setiap desa; dan b. Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sebanyak 5 unit tersebar pada setiap kecamatan yaitu Kecamatan Sape, Kecamatan Woha, Kecamatan Bolo, Kecamatan Sanggar, dan Kecamatan Wera; BAB IV RENCANA POLA RUANG WILAYAH Bagian kesatu Umum Pasal 24 (1) Rencana pola ruang wilayah dilaksanakan berdasarkan arahan perencanaan: a. rencana pengembangan kawasan lindung dengan luas kurang lebih 140.790 Ha; dan b. rencana pengembangan kawasan budidaya dengan luas kurang lebih 298.149 Ha.
  • 25. 25 (2) Rencana pola ruang wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dalam bentuk Peta Rencana Pola Ruang Wilayah Kabupaten Bima Tahun 2011 – 2031 sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Bagian Kedua Kawasan Lindung Pasal 25 (1) Rencana pengelolaan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf a meliputi semua upaya perlindungan, konservasi, dan pelestarian fungsi sumber daya alam dan lingkungannya guna mendukung kehidupan secara serasi yang berkelanjutan dan tidak dapat dialihfungsikan menjadi kawasan budidaya. (2) Kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf a meliputi: a. kawasan hutan lindung; b. kawasan yang memberikan perlindungan bagi kawasan bawahannya; c. kawasan perlindungan setempat; d. kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya; e. kawasan rawan bencana alam; dan f. kawasan lindung geologi. (3) Kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a adalah seluas kurang lebih 83.190 Ha meliputi: Kawasan hutan lindung persebarannya terletak pada kelompok hutan Maria (RTK 25) , Pamali (RTK 52), Tambora (RTK 53), Soromandi (RTK 55), Toffo Rompu (RTK 65), Nipa Pusu (RTK 66), Kota Donggomasa (RTK 67). (4) Kawasan yang memberikan perlindungan bagi kawasan bawahannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berupa Kawasan resapan air meliputi: Kawasan Gunung Tambora dan Kawasan Doro Daria, Kawasan Doro Sando, Kawasan Doro Donggo; (5) Kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi: a. kawasan sempadan sungai dilakukan pengelolaan sungai yaitu : 1. kegiatan pinggir sungai mampu melindungi dan memperkuat serta pengaturan aliran air, dengan tanaman keras dan rib pengendali saluran air; 2. daerah sempadan untuk sungai kecil masing-masing selebar 50 meter dijadikan kawasan lindung pada kawasan non pemukiman dan selebar 10 meter untuk sungai yang melewati pemukiman; dan 3. sungai yang terdapat di tengah pemukiman dapat dilakukan dengan membuat jalan inspeksi dengan lebar jalan 10 meter.
  • 26. 26 b. kawasan sekitar danau atau waduk diarahkan ke seluruh kawasan sekitar danau dan waduk yang tersebar di Kabupaten Bima : Pela Parado, Campa, Rababaka, Sumi, lebarnya berimbang dengan bentuk kondisi fisik danau/waduk antara 50-100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat; Rencana kawasan sekitar danau/waduk di Kabupaten Bima yaitu sekitar Danau Vulkanik Gunung Tambora, kawasan Waduk Sumi di Kecamatan Lambu, Bendungan Pela Parado di Kecamatan Parado, Waduk Roka, Waduk Ncera di Kecamatan Belo; c. kawasan mata air, garis sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 200 m disekitar mata air dan tersebar di beberapa kecamatan di Kabupaten Bima, yaitu di Kecamatan Tambora 3 titik, Kecamatan Sanggar 2 titik, Kecamatan Donggo 2 titik, Kecamatan Bolo 4 titik, Kecamatan Madapangga 1 titik, Kecamatan Woha 2 titik, Kecamatan Monta 4 titik, Kecamatan Parado 2 titik, Kecamatan Belo 1 titik, Kecamatan Wawo 1 titik, Kecamatan Lambitu 1 titik, Kecamatan Sape 3 titik, dan Kecamatan Wera 2 titik; d. sempadan pantai, Kawasan sempadan pantai ditetapkan pada kawasan sepanjang tepian pantai sejauh 100 meter dari pasang tertinggi secara proporsional sesuai dengan bentuk, letak dan kondisi fisik pantai; dan e. ruang terbuka hijau kota. Kawasan Hutan Kota yang berfungsi sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) dikembangkan pada Ibukota Kabupaten dan Kota Kecamatan. (6) Kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d meliputi: a. kawasan Cagar Alam (CA) di Kabupaten Bima meliputi CA Gunung Tambora Selatan, CA Pulau Sangiang, dan CA Toffo Kota Lambu dengan luas kurang lebih 21.095 Ha; b. kawasan pantai berhutan bakau meliputi kawasan pantai di sekitar pantai Kecamatan Ambalawi, Bolo, Lambu, Monta, Palibelo, Sape, Wera, dan Woha dengan luas kurang lebih 621 Ha; c. kawasan suaka alam laut dan perairan meliputi Karampi Kecamatan Langgudu, Pulau Gilibanta Kecamatan Sape dan Tanjung Mas di Kecamatan Monta; d. kawasan suaka margasatwa di Tambora (RTK 53) dengan luas kurang lebih 17.686 Ha; e. kawasan wisata alam Madapangga di Toffo Rompu (RTK 65) dengan luas kurang lebih 232 Ha; f. kawasan taman buru Tambora (RTK 53) dengan luas kurang lebih 16.586 Ha; g. kawasan cagar budaya meliputi : 1. megalitik Lesung Batu, Wadu Sigi, Kompleks rumah adat, Pesanggarahan Oi Wobo di Kecamatan Wawo; 2. perkampungan Tradisional Sambori di Kecamatan Lambitu, Bekas tapak kaki di Kecamatan Langgudu; 3. sumur tembaga di Kecamatan Lambu, Nakara Perunggu , Makam Rato Wara Bewi, Wadu Nocu, dan Gua Sangiang di Kecamatan Wera;
  • 27. 27 4. perkampungan tradisional Mbawa, Makam kuno, Wadu Tunti, Uma Leme, Makam La Ncahu, Makam La Hila, Kompleks Dana Mbojo, Wadu Ntori, Pesanggrahan, situs Wadu Kopa, Kecamatan Donggo, ; 5. kompleks Wadu Pa’a di Kecamatan Soromandi; 6. Wadu Tunti, Temba Romba, bekas tapak kaki, Wadu Sura, Makam kuno di Kecamatan Sape; 7. situs Bukit Kaniki, Situs Bukit Henca, Makam Kuno, Situs Lawangkuning, bekas tapak kaki, Situs Gua La Hami, Rasa Mantoi, Wadu Nocu, Makam Raja Sanggar, Gua Abarahi, Sarkopagus di Kecamatan Sanggar; 8. bekas candi di Kecamatan Madapangga; 9. wadu Genda di Kecamatan Bolo; 10. gua Doro Parewa, Makam Kuno di Kecamatan Monta; 11. arca Gajah di Kecamatan Parado; 12. nekara Batu, Sarkofagus, Tapak Kaki di Kecamatan Belo; dan 13. wadu Bara Sila, Temba Ndori di Kecamatan Woha. (7) Kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e meliputi: a. kawasan rawan bencana angin topan meliputi Kecamatan Woha dsk, Monta dsk, Poja dsk, Wera dsk; b. kawasan rawan bencana tanah longsor meliputi kecamatan Kawasan sekitar Tambora bagian timur, Karumbu, dan Gunung kuta; c. kawasan rawan bencana kekeringan meliputi kecamatan Bolo; Paradowane, Paradorato, Tawali, Sape, dan P. Sangiang; d. kawasan rawan bencana banjir meliputi Daerah di sepanjang aliran sungai di Sori Wawo Maria, daerah Sape dan sekitarnya, Karumbu, Lambu, Ntoke- Tawali, Wera, Ambalawi, Palibelo, Parado, Campa dan Sori Lante-Bolo, Sori Nae Sampungu-Soromandi dan daerah sekitar aliran sungai lainnya di wilayah Kabupaten Bima; e. kawasan rawan bencana gelombang pasang meliputi Pantai bagian utara dan timur Kabupaten Bima, yakni Soromandi dsk, Sape dan Lambu, Wera, Karumbu, Woha, Bolo, Palibelo dan Parado; f. kawasan rawan tsunami meliputi Kawasan pesisir bagian timur dan selatan Kabupaten Bima, yakni Sape dan Lambu, Karumbu dan daerah sekitarnya; g. kawasan rawan gempa bumi meliputi seluruh wilayah Kabupaten Bima, zonasi kegempaan Kabupaten Bima termasuk gempa sedang dan rendah yakni Kecamatan Tambora, Kecamatan Sanggar, Kecamatan Wera; Kecamatan Langgudu, dan Kecamatan Soromandi; dan h. kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) diwujudkan dalam bentuk peta rawan bencana wilayah Kabupaten Bima sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. (8) Kawasan lindung geologi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f meliputi: a. kawasan cagar alam geologi, berupa kawasan keunikan bentang alam yaitu kawasan Gunung Tambora; dan b. kawasan rawan bencana alam letusan gunung berapi meliputi wilayah Tambora, Sanggar dan Wera (Gunung Sangiang).
  • 28. 28 Bagian Ketiga Kawasan Budidaya Pasal 26 (1) Kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b sebagai berikut : a. kawasan peruntukan hutan produksi; b. kawasan peruntukan hutan rakyat; c. kawasan peruntukan pertanian; d. kawasan peruntukan perikanan; e. kawasan peruntukan pertambangan; f. kawasan peruntukan permukiman; g. kawasan peruntukan industri; h. kawasan peruntukan pariwisata; dan i. kawasan peruntukan lain. (2) Rencana kawasan budidaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dalam bentuk Peta Rencana Pola Ruang Wilayah sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Pasal 27 (1) Kawasan peruntukan hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat (1) huruf a terdiri atas: a. kawasan hutan produksi terbatas; dan b. kawasan hutan produksi tetap. (2) Kawasan peruntukan hutan produksi terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi kawasan Tolowata (RTK 23), Tololai (RTK 24), Maria (RTK 25), Tambora (RTK 53), Soromandi (RTK 55), Toffo Rompu (RTK 65), Nipa Pusu (RTK 66), Kota Donggomasa (RTK 67), Nanganae Kapenta (RTK 68), Pulau Sangiang (RTK 86), dan Pulau Gilibanta (RTK 87) dengan luasan kurang lebih 66.867 Ha. (3) Kawasan peruntukan hutan produksi tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi Tololai (RTK 24), Maria (RTK 25), Tambora (RTK 53), Toffo Rompu (RTK 65), Nipa Pusu (RTK 66), Kota Donggomasa (RTK 67), dan Nanganae Kapenta (RTK 68) dengan luasan kurang lebih 44.740 Ha. Pasal 28 Kawasan peruntukan hutan rakyat sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (1) huruf b seluas 43.088 Ha, tersebar di seluruh kecamatan di Kabupaten Bima.
  • 29. 29 Pasal 29 (1) Kawasan peruntukan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf c meliputi : a. kawasan pertanian tanaman pangan; b. kawasan pertanian hortikultura; c. kawasan perkebunan; dan d. kawasan peternakan. (2) Kawasan pertanian tanaman pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tersebar di seluruh Kabupaten Bima dengan luas kurang lebih 23.336 Ha. (3) Kawasan pertanian hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tersebar diseluruh Kabupaten Bima dengan luas kurang lebih 111.268 Ha. (4) Kawasan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diprioritaskan dikembangkan di daerah, Soromandi dan Tambora dengan komoditi Jambu Mete; Parado, dan Tambora dengan komoditi Kopi; Wawo, dan Parado dengan komoditi Kakao; Parado, Wawo, Langgudu, dan Lambitu dengan komoditi Kemiri; Lambu, Wera, dan Sanggar dengan komoditi asam dengan luas kurang lebih 15.796 Ha. (5) Kawasan peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi : a. sebaran kawasan peruntukan peternakan di Kabupaten Bima antara lain : Ambalawi (kurang lebih 373 Ha), Belo (kurang lebih 352 Ha), Donggo (kurang lebih 620 Ha), Langgudu (kurang lebih 648 Ha), Sanggar (kurang lebih 2.214 Ha), Tambora (kurang lebih 1.100 Ha), Wawo (kurang lebih 250 Ha), Wera (kurang lebih 9.997 Ha), Woha (kurang lebih 35 Ha); b. kawasan peruntukan peternakan diprioritaskan dikembangkan di kecamatan Sanggar, Tambora, dan Wera. dalam rangka mendukung program Bumi Sejuta Sapi (BSS); c. pengembangan dan pengelolaan peternakan dilakukan dengan cara peningkatan jumlah ternak, penggemukan ternak, pembibitan ternak, penyediaan pakan ternak, dan pengembangan industri pengolahan hasil ternak; dan d. pengembangan kawasan agrobisnis dan agroindustri yang berbasis perikanan tersebar dibeberapa Kecamatan yaitu kecamatan Woha, Bolo, Palibelo, Langgudu, dan Sape. (6) Penetapan kawasan peruntukan lahan pertanian sebagai lahan sawah berkelanjutan diatur dengan Peraturan Daerah. Pasal 30 (1) Kawasan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf d meliputi : kawasan budidaya perikanan.
  • 30. 30 (2) Kawasan budidaya perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diprioritaskan dikembangkan di daerah yang tersedia pasokan air yang cukup dan diarahkan ke Kecamatan Bolo, Lambu, Palibelo,Langgudu, Sape, Woha, Monta, dan Soromandi dengan luas kurang lebih 5.169 Ha. Pasal 31 (1) Kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf e meliputi : a. Pertambangan mineral logam eksisting emas tersebar di Kecamatan Donggo, Soromandi, Wawo, Lambitu, Sape, Lambu;Tembaga tersebar di Kecamatan Madapangga, Bolo, Parado, Woha, Monta, Sape, Lambu, Langgudu;mangan tersebar di Kecamatan Belo, Bolo, Lambitu, Langgudu, Monta, Palibelo, Parado; dan b. Pertambangan mineral bukan logam dan batuan existing pasir besi tersebar di Kecamatan Amabalawi, Sanggar, Soromandi, Tambora, Wera dan Donggo. (2) Pertambangan mineral logam dan bukan logam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b dan huruf c dilaksanakan setelah ditetapkannya Wilayah Pertambangan berdasarkan usulan penetapan WP. (3) Usulan penetapan WP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan Bupati kepada Pemerintah Propinsi dan berdasarkan pertimbangan BKPRD Kabupaten. (4) Usulan penetapan WP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk mineral logam dan bukan logam disusun melalui kajian dengan mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dan harus berada di luar kawasan lindung, kawasan permukiman, kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan, dan kawasan pariwisata sampai batas tidak adanya dampak negatif secara teknis, ekonomi, dan lingkungan yang ditimbulkan akibat usaha pertambangan. (5) Izin pertambangan mineral logam, bukan logam yang telah diterbitkan dan masih berlaku, tetap diakui sampai masa berlakunya habis dan perpanjangannya menyesuaikan dengan ketentuan peraturan daerah Ini; dan (6) Tata cara dan mekanisme penyusunan usulan WP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Bupati. Pasal 32 Kawasan peruntukan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf f dikembangkan di daerah yang datar sampai bergelombang dengan kelerengan lahan 0%-25%, bukan lahan irigasi teknis, bukan kawasan lindung, bukan kawasan rawan bencana, aksesibilitas baik dan tersedia air bersih yang cukup. Pasal 33 (1) Kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf g meliputi : sentra industri sedang, dan industri rumah tangga.
  • 31. 31 (2) Kawasan sentra industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. sentra industri pengolahan hasil perikanan di Woha; b. sentra industri pengolahan kulit dan tulang sapi di Tambora; dan c. sentra industri maritim di Langgudu dan Sape. (3) Rencana pengelolaan kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati. Pasal 34 Kawasan peruntukan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf h diarahkan pada : a. kawasan wisata alam direncanakan di Pantai Toro Wamba, Pantai Mata Mboko, dan kawasan budidaya Sarang Burung Walet Bajo Pulau (Kecamatan Sape), Pantai Papa dan Budidaya Mutiara (Kecamatan Lambu), Pulau Ular dan Karombo Wera (Kecamatan Wera), Oi Wobo (Kecamatan Wawo), Kawasan Wisata Alam Gunung Tambora(Kecamatan Tambora) dan Pantai Kalaki (Kecamatan Palibelo); dan b. kawasan wisata budaya direncanakan pada Taji Tuta, Uma Lengge (Kecamatan Wawo), Pesangrahan Donggo, Rumah Ncuhi, Uma Leme (Kecamatan Donggo), Masjid Pertama di Desa Kalodu (Kecamatan Langgudu), dan Pacuan Kuda (Kecamatan Palibelo). Pasal 35 (1) Kawasan peruntukan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf i terdiri atas: a. kawasan perdagangan dan jasa; b. kawasan pusat pemerintahan; c. kawasan pesisir dan pulau pulau kecil; dan d. kawasan pertahanan dan keamanan. (2) Kawasan peruntukan perdagangan dan jasa termasuk distribusi migas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikembangkan di kecamatan Woha, Bolo, Sape, Wera, Langgudu dan Sanggar dengan luas kurang lebih 257 Ha; (3) Kawasan peruntukan pusat pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terletak pada Desa Dadibou Kecamatan Woha dengan luas kurang lebih 129 Ha. (4) Kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi : a. kawasan Teluk Sanggar dan sekitarnya, meliputi Kecamatan Sanggar (Mbuju, Keramat, Malaju, Lasi, Qiwu, Oi Saro, Piong, Boro, dan Kore); b. kawasan Teluk Bima dan sekitarnya, meliputi Kecamatan Bolo (Sanolo, Sondosia, Bontokape, Nggembe), Kecamatan Soromandi (Bajo, Punti,
  • 32. 32 Kananta, Sai, Sampungu), Kecamatan Woha (Pandai, Donggobolo, Dadibou, Talabiu), Kecamatan Palibelo (Belo, Panda); c. kawasan Sape dan sekitarnya, meliputi Kecamatan Sape (Bajopulo, Bugis, Kowo, Buncu, Poja, Lamere, Pulau Gilibanta), Kecamatan Lambu (Mangge, Nggelu, Lambu, Soro, Sumi, Rato, Pulau Burung), Kecamatan Wera (Wora, Tawali, Bala, Hidirasa, Sangiang, Oi Tui, Pai, Pulau Ular), Kecamatan Ambalawi (Nipa, Mawu); d. kawasan Teluk Waworada dan sekitarnya, meliputi Kecamatan Langgudu (Laju, UPT Laju, Doro O’o, UPT Doro O’o, Waworada, UPT Waworada, Karumbu, Rupe, Kangga, Karampi), Kecamatan Parado (Kuta, Paradorato, Paradowane), Kecamatan Monta (Tolotangga, Sondo); dan e. kawasan Pantai Utara Tambora, meliputi Labuan Kananga, Kawinda Na’e, Kawinda To’i (Kecamatan Tambora). (5) Kawasan pertahanan dan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi kawasan yang diperuntukan bagi kegiatan pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan di wilayah darat, laut dan udara. BAB V PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS Pasal 36 (1) Penetapan kawasan strategis ditetapkan sesuai dengan prioritas kebutuhan dan kegunaannya. (2) Penetapan kawasan strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi a. kawasan strategis nasional yang berada di wilayah Kabupaten Bima; b. kawasan strategis provinsi yang berada di wilayah Kabupaten Bima; dan c. kawasan strategis kabupaten. (3) Kawasan strategis Kabupaten, Provinsi dan Nasional yang ada di wilayah Kabupaten Bima sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diwujudkan dalam bentuk Peta Kawasan Strategis Wilayah Kabupaten Bima, Provinsi dan Nasional sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Pasal 37 (1) Kawasan strategis nasional yang berada di wilayah Kabupaten Bima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) huruf a adalah Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Bima. (2) Kawasan strategis provinsi yang berada di wilayah Kabupaten Bima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) huruf b antara lain:
  • 33. 33 a. kawasan Teluk Bima dan sekitarnya dengan sektor unggulan perikanan, pariwisata dan fungsi transportasi; b. kawasan Waworada-Sape dan sekitarnya yang meliputi wilayah administrasi pemerintahan sebagian Kabupaten Bima (Kecamatan Sape, Lambu, Wawo dan Langgudu) dengan sektor unggulan industri, pertanian, dan perikanan; c. kawasan Ekosistem Gunung Tambora; dan d. kawasan Ekosistem Pulau Sangiang. (3) Kawasan strategis kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) huruf c terdiri atas : a. kawasan strategis dengan sudut kepentingan ekonomi 1. Kawasan Strategis Lewamori meliputi Woha sebagai Ibukota Kabupaten Bima dengan fungsi utama sebagai pusat pemerintahan serta perdagangan dan jasa, Kawasan Minapolitan yang berpusat di Penapali Kecamatan Woha dan kawasan pariwisata di Pantai Kalaki; 2. Kawasan Strategis Kota Terpadu Mandiri (KTM) Tambora dengan sektor unggulan pertanian, peternakan, dan perkebunan; 3. Kawasan Strategis Wera yang meliputi Pai dan Oi Tui dengan sektor unggulan peternakan (sapi), perikanan (rumput laut) dan pariwisata; 4. Kawasan Strategis Monta yang meliputi Wilamaci, Laju, Doro O’o Waworada, Tolo Uwi, dsk dengan sektor unggulan perikanan (rumput laut), perikanan tangkap dan pariwisata (pantai Wane, Pantai Rontu);dan 5. Kawasan Strategis Lambu yang meliputi Sumi dan Nggelu dengan sektor unggulan peternakan (sapi), pertanian (jagung) dan perikanan tangkap. b. kawasan strategis dengan sudut kepentingan lingkungan hidup adalah Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Gilibanta; c. kawasan strategis dengan sudut kepentingan sosial budaya adalah kawasan Strategis Cagar Budaya yang meliputi : 1. Kompleks rumah adat-Wawo; 2. Perkampungan tradisional Sambori; 3. Perkampungan tradisional Mbawa-Donggo; 4. Kompleks Dana Mbojo-Donggo; dan 5. Situs Wadu Pa’a-Soromandi. d. Kawasan strategis dengan sudut kepentingan pertahanan dan keamanan yang meliputi : 1. kawasan peruntukan bagi kepentingan pemeliharaan keamanan dan pertahanan negara berdasarkan geostrategi nasional; 2. kawasan peruntukan bagi basis militer, daerah uji coba sistem persenjataan dan/atau kawasan industri sistem persenjataan; 3. pembatasan dan penataan antara lahan terbangun disekitar pertahanan dan keamanan; dan 4. penetapan jarak bebas aman kawasan pertahanan dan keamanan. (4) Kawasan Strategis Kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut melalui rencana rinci yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah. (5) Kawasan strategis Kabupaten, Provinsi dan Nasional yang ada di wilayah Kabupaten Bima sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
  • 34. 34 diwujudkan dalam bentuk Peta Kawasan Strategis Wilayah Kabupaten Bima, Provinsi dan Nasional sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. BAB VI ARAHAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH Pasal 38 (1) Arahan pemanfaatan ruang meliputi indikasi program utama, indikasi lokasi, indikasi sumber pendanaan, indikasi pelaksana kegiatan, dan waktu pelaksanaan. (2) Indikasi program utama pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. indikasi program utama perwujudan struktur ruang; dan b. indikasi program utama perwujudan pola ruang. (3) Indikasi sumber pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari dana Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten; (4) Indikasi pelaksana kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten, BUMN, swasta, dan masyarakat. (5) Indikasi waktu pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari 4 (empat) tahapan jangka lima tahunan, yaitu: a. tahap pertama, lima tahun pertama (2011 – 2016) yang terbagi atas program tahunan; b. tahap kedua, lima tahun kedua (2017 – 2021); c. tahap ketiga, lima tahun ketiga (2022 – 2026); dan d. tahap keempat, lima tahun keempat (2027 – 2031). (6) Indikasi program utama, indikasi sumber pendanaan, indikasi pelaksana kegiatan, dan waktu pelaksanaan yang lebih rinci diwujudkan dalam Tabel Indikasi Program Utama Tahunan dan Lima Tahunan Periode Tahun 2011 – 2031 sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
  • 35. 35 BAB VII KETENTUAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG Bagian Kesatu Umum Pasal 39 (1) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten Bima menjadi acuan pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten Bima. (2) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan dengan cara : a. ketentuan umum peraturan zonasi; b. ketentuan umum perizinan; c. ketentuan umum insentif, disinsentif; dan d. ketentuan sanksi. Bagian kedua Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Paragraf 1 Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Untuk Sistem Perkotaan Pasal 40 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem perkotaan meliputi : a. peraturan zonasi untuk Pusat Kegiatan Wilayah Promosi (PKWp); b. peraturan zonasi untuk Pusat Kegiatan Lokal (PKL); c. peraturan zonasi untuk Pusat Pelayanan Kawasan (PPK); dan d. peraturan zonasi untuk Pusat Pelayanan Lingkungan (PPL). (2) Peraturan zonasi untuk Pusat Kegiatan Wilayah Promosi (PKWp) disusun dengan memperhatikan pemanfaatan untuk kegiatan ekonomi perkotaan berskala propinsi dan fungsi kawasan perkotaan sebagai pusat permukiman dapat di bangun dan di kembangkan di wilayah Woha. (3) Peraturan zonasi untuk Pusat Kegiatan Lokal (PKL) disusun dengan memperhatikan pemanfaatan ruang untuk kegiatan ekonomi berskala kabupaten yang didukung dengan pembangunan fasilitas dan infrastruktur perkotaan dilaksanakan di wilayah kecamatan Sape, Wera, Bolo, dan Sanggar. (4) Peraturan zonasi untuk Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) disusun dengan memperhatikan pemanfaatan ruang untuk melayani kegiatan berskala kecamatan atau beberapa desa yang didukung dengan pembangunan fasilitas dan infrastruktur kecamatan yang di laksanakan di Kecamatan Langgudu, Belo, Monta, Soromandi, dan Tambora. (5) Peraturan zonasi untuk Pusat Pelayanan Lingkungan (PPL) disusun dengan memperhatikan pemanfaatan ruang untuk melayani kegiatan berskala desa atau
  • 36. 36 beberapa lingkungan yang didukung dengan pembangunan fasilitas dan infrastruktur lingkungan yang di laksanakan di Kecamatan Lambu, Ambalawi, Lambitu, Palibelo, Parado, Madapangga, Donggo, dan Wawo. Paragraf 2 Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Untuk Sistem Jaringan Transportasi Darat Pasal 41 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem jaringan transportasi darat meliputi : a. peraturan zonasi untuk jaringan jalan arteri primer; b. peraturan zonasi untuk jaringan jalan kolektor primer; dan c. peraturan zonasi untuk jaringan jalan kolektor sekunder dan lokal primer. (2) Peraturan zonasi untuk jaringan jalan arteri primer disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jalan arteri primer dengan tingkat intensitas menengah hingga tinggi yang kecenderungan pengembangan ruangnya dibatasi; b. ketentuan pelarangan alih fungsi lahan yang berfungsi lindung di sepanjang sisi jalan arteri primer; c. penetapan garis sempadan bangunan di sisi jalan arteri primer yang memenuhi ketentuan ruang pengawasan jalan sepanjang 33,00 meter; d. penetapan koofisien dasar bangunan disisi jalan arteri primer sebesar 80%; dan e. penetapan koofisien lantai bangunan disisi jalan arteri primer sebesar 160%. (3) Peraturan zonasi untuk jaringan jalan kolektor primer disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jalan kolektor primer dengan tingkat intensitas sedang hingga menengah yang kecenderungan pengembangan ruangnya dibatasi; b. ketentuan pelarangan alih fungsi lahan yang berfungsi lindung di sepanjang sisi jalan kolektor primer; c. penetapan garis sempadan bangunan di sisi jalan kolektor primer yang memenuhi ketentuan ruang pengawasan jalan sepanjang 22,00 meter; d. penetapan koofisien dasar bangunan disisi jalan kolektor primer sebesar 80%; dan e. penetapan koofisien lantai bangunan disisi jalan kolektor primer sebesar 160%. (4) Peraturan zonasi untuk jaringan jalan kolektor sekunder disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jalan kolektor sekunder dengan tingkat intensitas rendah hingga sedang yang kecenderungan pengembangan ruangnya dibatasi;
  • 37. 37 b. ketentuan pelarangan alih fungsi lahan yang berfungsi lindung di sepanjang sisi jalan kolektor sekunder; c. penetapan garis sempadan bangunan di sisi jalan kolektor sekunder yang memenuhi ketentuan ruang pengawasan jalan sepanjang 8,50 meter; d. penetapan koofisien dasar bangunan disisi jalan kolektor sekunder sebesar 60%; dan e. penetapan koofisien lantai bangunan disisi jalan kolektor sekunder sebesar 120%. Paragraf 3 Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Untuk Sistem Jaringan Transportasi Laut Pasal 42 (1) Peraturan zonasi untuk pelabuhan laut harus disusun dengan mematuhi ketentuan mengenai: a. pemanfaatan ruang untuk kebutuhan operasional dan pengembangan kawasan pelabuhan; b. ketentuan pelarangan kegiatan di ruang udara bebas di atas badan air yang berdampak pada keberadaan jalur transportasi laut; dan c. pemanfaatan ruang di dalam DLKr/DLKp harus mendapatkan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Peraturan zonasi untuk alur pelayaran harus disusun dengan mematuhi ketentuan mengenai: a. pemanfaatan ruang pada badan air di sepanjang alur pelayaran harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan b. pemanfaatan ruang pada kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di sekitar badan air di sepanjang alur pelayaran dilakukan dengan tidak mengganggu aktivitas pelayaran. Paragraf 4 Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Untuk Sistem Jaringan Transportasi Udara Pasal 43 Peraturan zonasi untuk bandar udara umum harus disusun dengan mematuhi ketentuan mengenai: a. pemanfaatan ruang untuk kebutuhan operasional bandar udara; b. pemanfaatan ruang di sekitar bandar udara sesuai dengan kebutuhan pengembangan bandar udara berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan; dan c. batas-batas kawasan keselamatan operasi penerbangan dan batas-batas kawasan kebisingan.
  • 38. 38 Paragraf 5 Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Untuk Sistem Jaringan Energi Pasal 44 (1) Ketentuan peraturan zonasi untuk sistem jaringan energi meliputi : a. peraturan zonasi untuk Gardu induk; b. peraturan zonasi untuk Gardu pembagi; dan c. peraturan zonasi untuk Jaringan transmisi tenaga listrik. (2) Peraturan zonasi untuk sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan memperhatikan pemanfaatan ruang di sekitar sistem jaringan energi dan harus memperhatikan jarak aman dari kegiatan lain. Paragraf 6 Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Untuk Sistem Jaringan Telekomunikasi Pasal 45 (1) Peraturan zonasi untuk sistem jaringan telekomunikasi meliputi: a. peraturan zonasi untuk jaringan tetap dan sentral telekomunikasi; dan b. peraturan zonasi untuk jaringan bergerak selular. (2) Peraturan zonasi untuk jaringan tetap adalah sebagai berikut : a. zonasi jaringan tetap terdiri dari zona ruang manfaat dan zona ruang bebas; b. zona ruang manfaat adalah untuk tiang dan kabel-kabel dan dapat diletakkan pada zona manfaat jalan; dan c. zona ruang bebas dibebaskan dari bangunan dan pohon yang dapat mengganggu fungsi jaringan. (3) Peraturan zonasi untuk sentral telekomunikasi adalah sebagai berikut : a. zonasi sentral telekomunikasi terdiri dari zona fasilitas utama dan zona fasilitas penunjang; b. zona fasilitas utama adalah untuk instalasi peralatan telekomunikasi; c. zona fasilitas penunjang adalah untuk bangunan kantor pegawai, dan pelayanan publik; d. persentase luas lahan terbangun maksimal sebesar 50 % ; dan e. prasarana dan sarana penunjang terdiri dari parkir kendaraan, sarana kesehatan, ibadah gudang peralatan, papan informasi, dan loket pembayaran. (4) Peraturan zonasi untuk jaringan bergerak selular (menara telekomunikasi) diatur sebagai berikut : a. zona menara telekomunikasi terdiri dari zona manfaat dan zona aman; b. zona manfaat adalah untuk instalasi menara baik di atas tanah atau di atas bangunan; c. zona aman dilarang untuk kegiatan yang mengganggu sejauh radius sesuai tinggi menara; d. menara harus dilengkapi dengan sarana pendukung dan identitas hukum yang jelas. sarana pendukung antara lain pentanahan (grounding), penangkal petir,
  • 39. 39 catu daya, lampu halangan penerbangan (aviation obstruction light), dan marka halangan penerbangan (aviation obstruction marking), identitas hukum antara lain nama pemilik, lokasi, tinggi, tahun pembuatan / pemasangan, kontraktor, dan beban maksimum menara; e. dilarang membangun menara telekomunikasi pada bangunan bertingkat yang menyediakan fasilitas helipad; f. jarak antar menara BTS pada wilayah yang datar minimal 10 km, dan pada wilayah yang bergelombang/berbukit/ pegunungan minimal 5 km; g. menara telekomunikasi untuk mendukung sistem transmisi radio microwave, apabila merupakan menara rangka yang dibangun diatas permukaan tanah maksimum tingginya 72 m; h. menara telekomunikasi untuk sistem telekomunikasi yang dibangun diatas permukaan tanah maksimum tingginya 50 m; i. menara telekomunikasi dilarang dibangun pada lahan dengan topografi lebih dari 800 m dpl dan lereng lebih dari 20%; dan j. demi efisiensi dan efektifitas penggunaan ruang, maka menara harus digunakan secara bersama dengan tetap memperhatikan kesinambungan pertumbuhan industri telekomunikasi. Paragraf 7 Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Untuk Sistem Jaringan Sumber Daya Air Pasal 46 Ketentuan Peraturan zonasi untuk sistem jaringan sumber daya air pada wilayah sungai disusun dengan memperhatikan : a. pemanfaatan ruang pada kawasan di sekitar wilayah sungai dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan dan fungsi lindung kawasan; dan dilarang untuk membuang sampah, limbah padat dan atau cair dan mendirikan bangunan permanen untuk hunian dan tempat usaha; b. pemanfaatan ruang di sekitar wilayah sungai lintas kabupaten secara selaras dengan pemanfaatan ruang pada wilayah sungai di kabupaten yang berbatasan; dan c. pemanfaatan ruang sekitar sungai dapat dilakukan pada jarak 50 meter dari sungai besar dan 10 meter dari sungai kecil. Paragraf 8 Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Untuk Sistem Jaringan Air Bersih Pasal 47 Peraturan zonasi untuk sistem penyediaan air bersih diatur sebagai berikut: a. zonasi penyediaan air bersih terdiri atas zona unit air baku, zona unit produksi, zona unit distribusi, zona unit pelayanan dan zona unit pengelolaan;
  • 40. 40 b. zona unit air baku adalah untuk bangunan penampungan air, bangunan pengambilan/penyadapan, alat pengukuran dan peralatan pemantauan, sistem pemompaan, dan/atau bangunan sarana pembawa serta perlengkapannya; c. zona unit produksi adalah untuk prasarana dan sarana pengolahan air baku menjadi air bersih; d. zona unit distribusi adalah untuk sistem perpompaan, jaringan distribusi, bangunan penampungan, alat ukur dan peralatan pemantauan; e. zona unit pelayanan adalah untuk sambungan rumah, hidran umum, dan hidran kebakaran; f. zona unit pengelolaan adalah untuk pengelolaan teknis yang meliputi kegiatan operasional, pemeliharaan dan pemantauan dari unit air baku, unit produksi dan unit distribusi dan pengelolaan non teknis yang meliputi administrasi dan pelayanan; g. persentase luas lahan terbangun pada zona unit air baku maksimal sebesar 20 %; h. persentase luas lahan terbangun pada zona unit produksi maksimal sebesar 40 %; i. persentase luas lahan terbangun pada zona unit distribusi maksimal sebesar 20 %; j. unit produksi terdiri dari bangunan pengolahan dan perlengkapannya, perangkat operasional, alat pengukuran dan peralatan pemantauan, serta bangunan penampungan air bersih; k. limbah akhir dari proses pengolahan air baku menjadi air bersih wajib diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke sumber air baku dan daerah terbuka; l. unit distribusi wajib memberikan kepastian kuantitas, kualitas air, dan jaminan kontinuitas pengaliran 24 jam per hari; dan m. untuk mengukur besaran pelayanan pada sambungan rumah dan hidran umum harus dipasang alat ukur berupa meter air yang wajib ditera secara berkala oleh instansi yang berwenang. Paragraf 9 Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Untuk Sistem Jaringan Drainase Pasal 48 Peraturan zonasi untuk sistem jaringan drainase diatur sebagai berikut : a. zona jaringan drainase terdiri dari zona manfaat dan zona bebas; b. zona manfaat adalah untuk penyaluran air dan dapat diletakkan pada zona manfaat jalan; c. zona bebas di sekitar jaringan drainase dibebaskan dari kegiatan yang dapat mengganggu kelancaran penyaluran air; dan d. pemeliharan dan pengembangan jaringan drainase dilakukan selaras dengan pemeliharaan dan pengembangan atas ruang milik jalan.
  • 41. 41 Paragraf 10 Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Untuk Sistem Pengelolaan Limbah Pasal 49 (1) Peraturan zonasi untuk sistem pembuangan air limbah meliputi sistem jaringan limbah domestik, limbah industri, dan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). (2) Peraturan zonasi untuk sistem jaringan limbah diatur sebagai berikut : a. zona limbah domestik terpusat terdiri dari zona ruang manfaat dan zona ruang penyangga; b. zona ruang manfaat adalah untuk bangunan atau instalasi pengolahan limbah; c. zona ruang penyangga dilarang untuk kegiatan yang mengganggu fungsi pengolahan limbah hingga jarak 10 m sekeliling ruang manfaat; d. persentase luas lahan terbangun maksimal sebesar 10 %; e. pelayanan minimal sistem pembuangan air limbah berupa unit pengolahan kotoran manusia/tinja dilakukan dengan menggunakan sistem setempat atau sistem terpusat agar tidak mencemari daerah tangkapan air/ resapan air baku; f. perumahan dengan kepadatan rendah hingga sedang, setiap rumah wajib dilengkapi dengan sistem pembuangan air limbah setempat atau individual yang berjarak minimal 10 m dari sumur; g. perumahan dengan kepadatan tinggi, wajib dilengkapi dengan sistem pembuangan air limbah terpusat atau komunal, dengan skala pelayanan satu lingkungan, hingga satu kelurahan serta memperhatikan kondisi daya dukung lahan dan SPAM serta mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat; dan h. sistem pengolahan limbah domestic pada kawasan dapat berupa IPAL sistem konvensional atau alamiah dan pada bangunan tinggi berupa IPAL dengan teknologi modern. Paragraf 11 Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Untuk Sistem Pengelolaan Sampah Pasal 50 (1) Peraturan zonasi untuk sistem jaringan persampahan terdiri atas Tempat Penampungan Sementara (TPS), Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST), dan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). (2) Peraturan zonasi untuk Tempat Penampungan Sementara (TPS) diatur sebagai berikut: a. zona TPS terdiri dari zona ruang manfaat dan zona ruang penyangga; b. zona ruang manfaat adalah untuk penampungan sampah dan tempat peralatan angkutan sampah; c. zona ruang penyanggah dilarang untuk kegiatan yang mengganggu penampungan dan pengangkutan sampah sampai sejarak 10m dari sekeliling zona ruang manfaat; d. persentase luas lahan terbangun sebesar 10 %;
  • 42. 42 e. dilengkapi dengan prasarana dan sarana minimum berupa ruang pemilahan, gudang, tempat pemindah sampah yang dilengkapi dengan landasan container dan pagar tembok keliling; dan f. luas lahan minimal 100 m2 untuk melayani penduduk pendukung 2500 jiwa. (3) Peraturan zonasi untuk Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) diatur sebagai berikut : a. zona TPST terdiri dari zona ruang manfaat dan zona ruang penyangga; b. zona ruang manfaat adalah untuk kegiatan pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang, pendauran ulang, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah; c. zona ruang penyanggah dilarang untuk kegiatan yang mengganggu pemrosesan sampah sampai sejarak 10 m; d. persentase luas lahan terbangun sebesar 10 %; e. dilengkapi dengan prasarana dan sarana minimum berupa ruang pemilahan (30 m2 ), pengomposan sampah organik (200 m2 ), gudang (100 m2 ), tempat pemindah sampah yang dilengkapi dengan landasan container (60 m2 ) dan pagar tembok keliling; dan f. luas lahan minimal 300 m2 untuk melayani penduduk pendukung 30.000 jiwa. (4) Peraturan zonasi untuk Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) diatur sebagai berikut: a. zona TPA terdiri dari zona ruang manfaat dan zona ruang penyangga; b. zona ruang manfaat adalah untuk pengurugan dan pemrosesan akhir sampah; c. zona ruang penyanggah dilarang untuk kegiatan yang mengganggu pemrosesan sampah sampai sejarak 300 m untuk perumahan, 3 km untuk penerbangan, dan 90 m untuk sumber air bersih dari sekeliling zona ruang manfaat; d. persentase luas lahan terbangun sebesar 20 %; e. dilengkapi dengan prasarana dan sarana minimum berupa lahan penampungan, sarana dan peralatan pemrosesan sampah, jalan khusus kendaraan sampah, kantor pengelola, tempat parkir kendaraan, tempat ibadah, tempat olahraga dan pagar tembok keliling; f. menggunakan metode lahan urug terkendali; g. tempat pemrosesan akhir adalah tempat untuk mengembalikan sampah ke media lingkungan secara aman; dan h. lokasi dilarang di tengah permukiman. Paragraf 12 Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Untuk Kawasan Lindung Pasal 51 Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan lindung antara lain : a. peraturan zonasi untuk kawasan lindung terdiri dari : 1. peraturan zonasi untuk kawasan hutan lindung; 2. peraturan zonasi untuk kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya;
  • 43. 43 3. peraturan zonasi untuk kawasan perlindungan setempat; 4. peraturan zonasi untuk ruang terbuka hijau kota; 5. peraturan zonasi untuk kawasan cagar budaya; 6. peraturan zonasi untuk kawasan cagar alam; 7. peraturan zonasi untuk kawasan rawan bencana alam; dan 8. peraturan zonasi untuk kawasan lindung geologi. b. peraturan zonasi untuk kawasan hutan lindung adalah sebagai berikut : 1. zonasi hutan lindung terdiri dari zona perlindungan, dan zona lainnya; 2. zona perlindungan adalah untuk pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak mengurangi fungsi utama kawasan dan tidak merusak lingkungan; 3. zona pemanfaatan adalah untuk pemanfaatan kawasan meliputi usaha budidaya tanaman obat (herbal), usaha budidaya tanaman hias, usaha budidaya jamur, usaha budidaya perlebahan, usaha budidaya penangkaran satwa liar atau usaha budidaya sarang burung walet, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu; 4. pada kawasan hutan lindung dilarang: a) menyelenggarakan pemanfaatan ruang yang mengganggu bentang alam, mengganggu kesuburan serta keawetan tanah, fungsi hidrologi, kelestarian flora dan fauna, serta kelestarian fungsi lingkungan hidup; dan/atau; dan b) kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan dan perusakan terhadap keutuhan kawasan dan ekosistemnya sehingga mengurangi/ menghilangkan fungsi dan luas kawasan seperti perambahan hutan, pembukaan lahan, penebangan pohon, dan perburuan satwa yang dilindungi. 5. zona lainnya adalah untuk kegiatan budidaya kehutanan; a) luas zona inti perlindungan adalah bagian dari keseluruhan luas hutan yang telah ditetapkan; b) pemanfaatan kawasan adalah bentuk usaha seperti: budidaya jamur, penangkaran satwa, dan budidaya tanaman obat dan tanaman hias; c) pemanfaatan jasa lingkungan adalah bentuk usaha jasa lingkungan seperti: pemanfaatan untuk wisata alam, pemanfaatan air, dan pemanfaatan keindahan dan kenyamanan; dan d) pemungutan hasil hutan bukan kayu bentuk kegiatan seperti: mengambil madu, dan mengambil buah. c. peraturan zonasi untuk kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya meliputi kawasan resapan air adalah sebagai berikut : 1. zona resapan air adalah untuk kegiatan budi daya terbangun secara terbatas yang memiliki kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air hujan dan dilarang untuk menyelenggarakan kegiatan yang mengurangi daya serap tanah terhadap air; 2. persentase luas lahan terbangun maksimum 10 %; 3. luas kawasan resapan air adalah bagian dari keseluruhan luas hutan yang telah ditetapkan dengan luas minimum sebesar 30%; dan 4. dilengkapi dengan prasarana dan sarana penunjang sumur resapan dan/atau waduk.
  • 44. 44 d. peraturan zonasi untuk kawasan perlindungan setempat meliputi sempadan sungai, sempadan waduk/danau dan mata air adalah sebagai berikut: 1. peraturan zonasi untuk sempadan sungai diarahkan sebagai berikut: a) pemanfaatan ruang yang mengganggu bentang alam,mengganggu kesuburan dan keawetan tanah, fungsi hidrologi dan hidraulis, kelestarian flora dan fauna, serta kelestarian fungsi lingkungan hidup; b) pemanfaatan hasil tegakan; dan/atau c) kegiatan yang merusak kualitas air sungai, kondisi fisik tepi sungai dan dasar sungai, serta mengganggu aliran air. 2. peraturan zonasi untuk sempadan danau/waduk diarahkan sebagai berikut: a) pemanfaatan ruang yang mengganggu bentang alam, mengganggu kesuburan dan keawetan tanah, fungsi hidrologi, kelestarian flora dan fauna, serta kelestarian fungsi lingkungan hidup; b) pemanfaatan hasil tegakan; dan/atau c) kegiatan yang merusak kualitas air, kondisi fisik kawasan sekitarnya, dan daerah tangkapan air kawasan yang bersangkutan. 3. peraturan zonasi untuk sempadan sekitar mata air diarahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, dan huruf b. e. peraturan zonasi untuk ruang terbuka hijau untuk kawasan perkotaan adalah sebagai berikut : 1. zona ruang terbuka hijau adalah untuk RTH kawasan perlindungan setempat berupa RTH sempadan sungai, RTH pengamanan sumber air baku/mata air, dan rekreasi, serta dilarang untuk kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi ruang terbuka hijau; 2. proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30 % yang terdiri dari 20 % ruang terbuka hijau publik dan 10 % terdiri dari ruang terbuka hijau privat; dan 3. pendirian bangunan dibatasi untuk bangunan penunjang kegiatan rekreasi dan fasilitas umum lainnya, dan bukan bangunan permanen. f. peraturan zonasi kawasan cagar budaya diarahkan sebagai berikut : 1. zona cagar budaya terdiri dari zona mintakat inti, zona mintakat penyangga, dan mintakat pengembang; 2. zona mintakat inti adalah untuk lahan situs; dan dilarang melakukan kegiatan yang mengurangi, menambah, mengubah, memindahkan, dan mencemari benda cagar budaya; 3. zona mintakat penyangga di sekitar situs adalah untuk kegiatan yang mendukung dan sesuai dengan bagi kelestarian situs; serta dilarang untuk kegiatan yang dapat mengganggu fungsi cagar budaya; 4. zona mintakat pengembangan adalah untuk kegiatan untuk sarana sosial, ekonomi, dan budaya, serta dilarang untuk kegiatan yang bertentangan dengan prinsip pelestarian benda cagar budaya dan situsnya; 5. kawasan cagar budaya dilarang untuk menyelenggarakan: a) kegiatan yang merusak kekayaan budaya bangsa yang berupa peninggalan sejarah, bangunan arkeologi;
  • 45. 45 b) pemanfaatan ruang dan kegiatan yang mengubah bentukan geologi tertentu yang mempunyai manfaat tinggi untuk pengembangan ilmu pengetahuan; c) pemanfaatan ruang yang mengganggu kelestarian lingkungan di sekitar peninggalan sejarah, bangunan arkeologi, serta wilayah dengan bentukan geologi tertentu; dan/atau d) pemanfaatan ruang yang mengganggu upaya pelestarian budaya masyarakat setempat. 6. persentase luas lahan terbangun untuk zona mintakat inti dan penyangga maksimum 40 %,dan untuk zona mintakat pengembang maksimum 50 %. g. peraturan zonasi kawasan cagar alam diarahkan sebagai berikut : 1. pemanfaatan jasa lingkungan yang terdapat pada kawasan Taman Wisata Alam di Toffo Rompu (RTK 65) sesuai ketentuan yang berlaku; dan 2. pemanfaatan satwa liar yang dilindungi UU di Taman Buru Tambora (RTK 53) dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku. h. peraturan zonasi kawasan rawan bencana alam tanah longsor diarahkan sebagai berikut : 1. zona kawasan rawan bencana alam tanah longsor terdiri dari zona tingkat kerawanan tinggi, zona tingkat kerawanan menengah/sedang, dan zona tingkat kerawanan rendah; 2. zona tingkat kerawanan tinggi untuk tipologi A (lereng bukit dan gunung) adalah untuk kawasan lindung, untuk tipologi B dan C (kaki bukit dan gunung, tebing/lembah sungai) adalah untuk kegiatan pertanian, kegiatan pariwisata terbatas; dilarang untuk budidaya dan kegiatan yang dapat mengurangi gaya penahan gerakan tanah; 3. zona tingkat kerawanan menengah untuk tipologi A, B, C adalah untuk kegiatan perumahan, transportasi, pariwisata, pertanian, perkebunan, perikanan, hutan kota/rakyat/produksi, dan dilarang untuk kegiatan industri. 4. zona tingkat kerawanan rendah tipologi A, B, dan C adalah untuk kegiatan budidaya, dilarang untuk kegiatan industri; 5. persentase luas lahan terbangun untuk zona tingkat kerawanan tinggi untuk tipologi A maksimum 5 %; dan untuk tipologi B maksimum 10 %; 6. persentase luas lahan terbangun untuk zona tingkat kerawanan menengah untuk tipologi A, B, C maksimum 40 %; dan 7. persentase luas lahan terbangun untuk zona tingkat kerawanan rendah untuk tipologi A, B, C maksimum 60 %. Penerapan prinsip terhadap setiap kegiatan budi daya terbangun yang diajukan izinnya. i. peraturan zonasi kawasan rawan bencana alam tsunami diarahkan sebagai berikut : 1. zona rawan tsunami kegiatan yang diperbolehkan adalah hutan bakau disesuaikan peraturan sempadan pantai; 2. zona penyanggah rawan tsunami kegiatan yang diperbolehkan adalah tambak dan perkebunan; dan 3. peraturan zonasi pemanfaatan ruang pada kawasan rawan bencana tsunami diatur dalam peraturan daerah tentang tata ruang pesisir.
  • 46. 46 j. peraturan zonasi kawasan lindung geologi meliputi zona kawasan rawan letusan gunung berapi terdiri atas zona A (tingkat resiko rendah), zona B (tingkat resiko sedang) dan zona C (tingkat resiko tinggi): 1. zona A adalah kawasan yang berpotensi terlanda banjir lahar dan tidak menutup kemungkinan dapat terkena perluasan awan panas dan aliran lava. Selama letusan membesar, kawasan ini berpotensi tertimpa material jatuhan berupa hujan abu lebat dan lontaran batu pijar; 2. zona B adalah kawasan yang berpotensi terlanda awan panas, aliran lahar dan lava, lontaran atau guguran batu pijar, hujan abu lebat, hujan lumpur panas, aliran panas dan gas beracun; 3. zona C adalah kawasan yang sering terlanda awan panas, aliran lahar dan lava, lontaran atau guguran batu pijar, hjan abu lebat, hujan lumpur panas, aliran panas dan gas beracun; 4. acuan peraturan zonasi pada zona A diantaranya : a) dapat dikembangkan menjadi kawasan budidaya dan berbagai infrastruktur penunjangnya. b) diizinkan untuk kegiatan perumahan dengan syarat: 1) konstruksi bangunan beton bertulang maupun tidak bertulang; 2) kepadatan bangunan tinggi (>60 unit/ha), sedang (30-60 unit/ha), dan rendah (<30 unit/ha); 3) pola perumahan dapt mengelompok maupun menyebar; 4) diizinkan untuk kegiatan perdagangan dan perkantoran dengan syarat kepadatan bangunan diperbolehkan tinggi (KDB>70, KLB>200) hingga rendah (KDB<50, KLB<100); dan 5) diizinkan untuk kegiatan industri dengan persyaratan, pengawasan dan pengendalian yang ketat, yaitu : Konstruksi bangunan tahan gempa; dan Skala industri (besar, sedang, maupun kecil). c) diizinkan untuk kegiatan lahan usaha pertaian lahan basah, pertanian lahan kering, perikanan, perkebunan dengan syarat pemilihan jenis vegetasi yang sesuai serta mendukung konsep kelestarian lingkungan; d) diizinkan untuk pariwisata dengan jenis wisata sosio-kultural dan wisata agro-kultural; dan e) diizinkan untuk kegiatan pertambangan rakyat, antara lain batu dan pasir. 5. acuan peraturan zonasi pada zona B diantarnya : a) dapat dikembangkan menjadi kawasan budidaya dan berbagai infrastruktur penunjangnya; b) diizinkan untuk kegiatan perumahan dengan persyaratan : 1) konstruksi bangunan beton bertulang; kepadatan bangunan sedang dan rendah; pola perumahan menyebar; 2) konstruksi bangunan semi permanen; kepadatan bangunan tinggi, sedang, dan rendah; pola perumahan mengelompok dan menyebar; dan 3) konstruksi bangunan tradisional; kepadatan bangunan tinggi, sedang dan rendah; pola perumahan mengelompok dan menyebar. c) diizinkan untuk kegiatan perdagangan dan perkantoran dengan syarat kepadatan bangunan sedang (KDB 50-70, KLB 100-200) hingga rendah (KDB<50, KLB<100);
  • 47. 47 d) diizinkan untuk kegiatan industri dengan persyaratan, pengawasan, dan pengendalian yang ketat, yaitu : 1) Konstruksi bangunan tahan gempa; dan 2) Skala industri sedang, maupun kecil. e) diizinkan untuk kegiatan lahan usaha pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, perikanan, perkebunan dengan syarat pemilihan jenis vegetasi yang sesuai serta mendukung konsep kelestarian lingkungan; f) diizinkan untuk pariwisata dengan jenis wisata biotis dan abiotis; g) diizinkan untuk kegiatan pertambangan rakyat, antara lain pertambangan batu dan pasir; dan h) untuk kawasan yang tidak konsisten dalam pemanfaatan, akan dikembalikan pada kondisi dan fungsi semula secara bertahap. 6. acuan zonasi pada zona C diantarnya : a) ditentukan sebagai kawasan lindung; b) masih dapat dimanfaatkan sebagai kawasan budidaya terbatas, antara lain: 1) kehutanan; dan 2) pariwisata dengan jenis wisata geofisik (kawasan puncak gunung berapi). k. penegakan sektor pada pelaku pelanggaran dengan jalan pemberian sanksi. Paragraf 13 Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Untuk Kawasan Budidaya Pasal 52 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan budidaya meliputi : a. peraturan zonasi kawasan hutan produksi; b. peraturan zonasi kawasan hutan rakyat; c. peraturan zonasi kawasan pertanian; d. peraturan zonasi kawasan perikanan e. peraturan zonasi kawasan pertambangan; f. peraturan zonasi kawasan permukiman; g. peraturan zonasi kawasan industri; h. peraturan zonasi kawasan pariwisata; i. peraturan zonasi kawasan pertahanan dan keamanan; dan j. peraturan zonasi kawasan peruntukan lain terdiri atas : perdagangan dan jasa, kawasan pusat pemerintahan, kawasan pesisir dan pulau pulau kecil. (2) Peraturan zonasi untuk kawasan hutan produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi : a. produksi hasil hutan kayu hanya diperkenankan dari hasil kegiatan budidaya tanaman hutan dalam kawasan hutan produksi; b. produksi hutan kayu yang berasal dari hutan alam, hanya dimungkinkan dari kegiatan penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan dengan izin yang sah; dan