1. 2014 l Edisi 10 l Kinescope l1
Edisi X | 2014 | Rp. 25.000
PAGELARAN
TATO MERDEKA
Film - Seni & Edukasi
PENUMPASAN PENGKHIANATAN
AKU, KAU & KUA
MALAM MINGGU MIKO MOVIE
MY GIRL
20 FEET FROM STARDOM
REVIEW
Djamaludin
Malik
TOKOH
Lola Amaria
JALAN PULANG
LIPUTAN
INDIE
INTERVIEW
Kolosal Sejarah Mumpuni,
Propaganda Kekuasaan
G30S/PKI
4. 4 l Kinescope l Edisi 10 l 2014
COVER STORY
16
14
18
20
24
26
10
REVIEW
FESTIVAL
Daftar isi
72 SURVEI
SLAMET 52
ABDUL
SJUKUR
46
34
34
OPINI
TIPS
FILM INDONESIA BERTEMA ISLAM
DAN MITOS PEREMPUAN
5 TIPS UNTUK MENULIS KARAKTER
YANG BAIK DALAM SKENARIO DARI
NOAM KROLL
48
52
54
46
LIPUTAN
APRESIASI FILM INDONESIA 2014
PAMERAN VIDEO
KONTEMPORER AUSTRALIA
MERIAHNYA GEMAH RIPAH #2
PAGELARAN TATO MERDEKA
G30S/PKI:
KOLOSAL SEJARAH MUMPUNI,
PROPAGANDA KEKUASAAN
AKU, KAU & KUA
MALAM MINGGU MIKO MOVIE
MY GIRL
20 FEET FROM STARDOM
FKY26
Cut & Remix
MAKASSAR FILM FESTIVAL 2014:
Menceritakan Kembali yang
Nyaris Dilupakan
30 LOLA AMARIA
78
6. 6 l Kinescope l Edisi 10 l 2014
Salam Redaksi
G30S/PKI:
Kolosal Sejarah Mumpuni,
Propaganda Kekuasaan
Pengkhianatan G30S/PKI
sebuah film dokumenter
drama propaganda Indonesia
tahun 1984. Film ini dibuat
berdasarkan pada intepretsi
sejarah versi resmi menurut
pemerintah Orde Baru.
Film ini menggambarkan
masa menjelang kudeta
dan beberapa hari setelah
peristiwa tersebut.
PENASEHAT REDAKSI
Farid Gaban
Andi Bachtiar Yusuf
Wanda Hamidah
Swastika Nohara
Dandhy Laksono
PEMIMPIN UMUM
Hasreiza
PEMIMPIN REDAKSI
Reiza Patters
REDAKTUR
Abdi Kurniawan
Rian Samin
KONTRIBUTOR
Daniel Irawan
Shandy Gasella
Daniel Rudi Haryanto
Pejred Banderas
Rohman Sulistiono
Novita Rini
Thea Fathanah Arbar
Suluh Pamuji
ARTISTIK
al Fian adha
FOTOGRAFER
Kinescope Tim
DISTRIBUSI & SIRKULASI
Faisal Fadhly
DISTRIBUSI JOGJAKARTA
Athonk Sapto Raharjo
MARKETING & EVENT PROMO
Ollivia Selagusta
COMMUNITY DEVELOPMENT
Jusuf Alin Lubis
SUBSCRIPTIONS
PT. Kinescope Indonesia
Jakarta Level 3A, World Trade Centre 5
Jl. Jendral Sudirman Kav. 29-31
Jakarta 12920
Phone : +62 21 2598 5194
Fax : +62 21 2598 5001
www.kinescopeindonesia.com
info@kinescopeindonesia.com
iklan@kinescopeindonesia.com
redaksi@kinescopeindonesia.com
langganan@kinescopeindonesia.com
@KinescopeMagz
Setelah menyelesaikan edisi 9 yang lalu, kami
harus berjibaku dalam menyelesaikan edisi
10 yang tenggat waktunya tidak sampai 2
minggu sejak edisi 9 terbit. Alih-alih menyerah
dan meninggalkan “tanggung jawab” itu, semangat
kami justru terpompa untuk menyelesaikannya tepat
waktu.
Ya, kata disiplin dan konsisten itu terus mengiang
di telinga setiap dari kami. Kata-kata itu menjadi
pembakar motivasi kami. Kata-kata itu menggerakkan
pikiran dan badan kami. Semata-mata untuk
menyelesaikan tanggung jawab kami menyelesaikan
edisi 10 yang sudah di tangan anda dan siap dibaca
ini.
Kami pun terhenyak saat nama Majalah kami
ini disebut sebagai salah satu nominator peraih
penghargaan Dewantara Apresiasi Film Indonesia
2014 pada kategori apresiasi media cetak, bersama
dengan nama-nama besar dalam dunia majalah
cetak, yaitu Tempo dan Rolling Stone.
Buat kami, jangankan menang, masuk sebagai
salah satu nominasi peraih penghargaan saja sudah
merupakan bentuk apresiasi sangat besar atas apa
yang coba kami lakukan dalam setahun ini. Sebuah
kebanggaan sebagai “anak baru” yang hanya ingin
berkontribusi untuk kemajuan perfilman nasional.
Dan untuk itu kami sangat berterima kasih pada
para juri dan panitia yang sudah memberikan
apresiasi tersebut pada kami. Dan akan menjadi
motivasi kami untuk terus berjuang mewujudkan dua
kata di atas pada setiap pergerakan kami, sebagai
sebuah wadah berjuang dan kontribusi kecil bagi
negeri.
Cover Story
8. 8 l Kinescope l Edisi 10 l 2014
Mada memberontak kepada
Tuhan, karena sudah
merenggut ibunya. Ia juga
kehilangan cinta. Ia marah pada
kenyataan dan memutuskan
untuk menjadi backpacker
dan hidup bebas. Ia juga
meninggalkan Tuhan, keluarga,
dan sahabat. Mada menemukan
kebahagiaan ragawi, namun
merasa kosong secara rohani.
Di saat yang penuh kerapuhan
inilah, Tuhan mengajaknya
kembali melalui serangkaian
peristiwa. Berkelana dari
satu negara ke negara lain,
menyingkap kesadaran demi
kesadaran, Mada sadar ternyata
Tuhan sebenarnya mencintai dan
selalu menjaganya.
PREVIEW
Kesebelasan Garuda 19
berhasil mengalahkan
Vietnam pada Piala AFF
U-19 2013 di Sidoarjo
dan berhak membawa
pulang piala pertama yang
didapatkan timnas Indonesia
sejak 22 tahun sebelumnya.
Terbayang kembali
jejak para pemain Garuda
19, ketika mulai direkrut
Indra Sjafri dan tim pelatih.
Perjalanan itu dirasakan
oleh seluruh pemain, seperti
Yazid, (asal Konawe Selatan,
Sulawesi Tenggara), Sahrul
(asal Ngawi, Jawa Timur)
dan Yabes (dari Alor, Nusa
Tenggara Timur).
Indra Sjafri dan tim
pelatih menjemput dan
menyatukan mereka dengan
Evan Dimas dkk dalam
Garuda 19. Mereka sama-sama
merasakan kepahitan
dan kegembiraan. Indra
Sjafri dan tim pelatih harus
menaikkan mental dengan
menyuntikkan semangat.
KAngel (Adila Fitri), 15 tahun, tidak
pernah bisa menerima keadaan
kakaknya Hendra (Ali Mensan) yang
terlahir dengan keterbelakangan mental.
Walaupun Angel begitu malu dan
membencinya, Hendra tidak pernah
bersedih hati. Hendra menjadi anak yang
berkebutuhan khusus akibat sakit yang
di derita waktu bayi. Walaupun demikian
Ia tetap setia memberikan kasih sayang
seorang kakak kepada adiknya. Angel
sering diejek oleh teman-temannya ‘si
idiot’.
Garuda 19 My Idiot Brother
FILM TAYANG 2 Oktober 2014
SUTRADARA Danial Rifki PRODUSER Frederica
CAST Abimana Aryasatya, Dewi Sandra, Laudya Cynthia Bella
FILM TAYANG 9 Oktober 2014
SUTRADARA Andibachtiar Yusuf
PRODUSER Putut Widjanarko, Avesina Soebli
CAST Mathias Muchus, Yusuf Mahardhika,
Sumarlin Beta, Rendy Ahmad
FILM TAYANG 2 Oktober 2014
SUTRADARA Alyandra
PRODUSER Hamdani, Ferry
PENULIS Agnes Davonar
CAST Adila Fitri, Ali Mensan, Kimberly Ryder
Haji Backpacker
9. 2014 l Edisi 10 l Kinescope l9
Lima tahun lalu, Aggi (Acha
Septriasa) dan Timur (Reza
Rahadian) berpisah. Aggilah
yang memutuskan hubungan
mereka. Bagi Aggi, Timur bukan
untuknya. Timur, fotografer di
Bandung, terlalu sibuk dengan
pekerjaannya. Sedangkan Aggi
tinggal dan bekerja sebagai
kurator galeri foto di Yogyakarta.
Aggi meminta Timur menemuinya
lima tahun lagi. Jika mereka
masih sendiri, mungkin mereka
memang harus bersama.
Lima tahun kemudian,
Timur berangkat ke Yogyakarta
untuk menyambung kembali
yang terputus. Dan ternyata
Aggi memang masih sendiri.
Tapi, Aggi memberi syarat, jika
Timur memang berniat serius
dengannya, Timur harus datang
Selina adalah seorang
gadis yang hanya ingin
punya kehidupan normal.
Tapi sejak ia lahir, Selina
mempunyai kemampuan
yang membuatnya ketakutan
yaitu indra keenamnya.
Hal ini membuatnya
sering dipandang aneh
dan dikucilkan oleh
lingkungannya, termasuk
kakaknya dan suami
kakaknya yang sering
memintanya untuk pindah
dari rumah mereka. Setelah
diputuskan oleh pacarnya
dan dipermalukan oleh
teman-temannya, Selina
memutuskan untuk mulai
kehidupan baru di Bandung.
Selina pindah ke rumah
warisan orangtuanya di
Bandung, yang terkenal
dengan sebutan Rumah
Gurita. Patung gurita raksasa
yang ada di atap, nomor
rumah 666 dan desain
interior yang aneh membuat
Selina tidak nyaman di
rumah itu. Rio, tetangga
yang sudah lama tinggal
di depan rumah tersebut,
mengatakan kalau tidak ada
yang perlu ditakuti. Berita
yang beredar kalau rumah
itu adalah Gereja Setan
hanyalah rumor. Tapi Selina
tahu ia tidak sendirian di
sana…
FILM TAYANG 9 Oktober 2014 SUTRADARA Hanny R Saputra
PRODUSER Chand Parwez Servia, Fiaz Servia
PENULIS Oka Aurora, Adi Nugroho, Desi Puspitasari
CAST Reza Rahadian, Acha Septriasa, Olivia Jensen
FILM TAYANG 30 Oktober 2014
SUTRADARA Jose Poernomo
PENULIS Riheam Junianti
CAST Shandy Aulia, Boy William, Kemal Palevi,
Maria Sabita
Strawberry Surprise
Rumah Gurita
ke Yogyakarta setiap minggu
dan mendengarkan cerita-cerita
kegagalan cinta Aggi. Permintaan
Aggi dipenuhi Timur. Perlahan tapi
pasti, mereka dekat lagi. Timur
semakin yakin bahwa ia memang
mencintai Aggi, gadis penggila
buah stroberi, gadis yang selalu
bersikap tak terduga.
Aggi masih juga belum
yakin padanya. Kebingungan
Aggi memuncak ketika Inda
mendatanginya, sehari sebelum
pernikahannya. Inda mengucapkan
selamat dan berkata bahwa
Timur terlihat bahagia sekali jika
bersama Aggi. Tapi, sebelum pergi,
Inda berkata, “Kamu tahu, Timur
nggak suka makan stroberi...”
Film Indonesia Oktober 2014
1. Haji Backpacker
Tayang 02 Oktober 2014
2. My Idiot Brother
Tayang 02 Oktober 2014
3. Garuda 19: Semangat Membatu
Tayang 09 Oktober 2014
4. Strawberry Surprise
Tayang 09 Oktober 2014
5. Kuntilanak Ciliwung
Tayang 09 Oktober 2014
6. Tak Kemal Maka Tak Sayang
Tayang 23 Oktober 2014
7. Hantu Merah Casablanca
Tayang 23 Oktober 2014
8. Solit4ire
Tayang 23 Oktober 2014
9. Rumah Gurita
Tayang 30 Oktober 2014
10. 99 Cahaya di Langit Eropa
Tayang 30 Oktober 2014
10. 10 l Kinescope l Edisi 10 l 2014
COVER STORY
Pengkhianatan G30S/PKI sebuah film dokumenter drama propaganda
Indonesia tahun 1984. Film ini dibuat berdasarkan pada intepretsi sejarah
versi resmi menurut pemerintah Orde Baru. Film ini menggambarkan
masa menjelang kudeta dan beberapa hari setelah peristiwa tersebut.
REIZA PATTERS
Kolosal Sejarah Mumpuni,
Propaganda Kekuasaan
G30S/PKI:
11. 2014 l Edisi 10 l Kinescope l11
Dalam kala kekacauan
ekonomi, enam jenderal
diculik dan dibunuh oleh
PKI dan TNI Angkatan
Udara. Film ini dianggap
cukup kontroversial, khususnya dari
sisi alur cerita. Letak kontroversinya
adalah karena alur cerita yang
digunakan dianggap alur cerita dari
perspektif sejarah penguasa saat
itu.
Meski film G 30 S/PKI adalah
film proyek pemerintah, namun
dalam penggarapannya begitu
serius. Bahkan dari para pemeran
yang bermain dalam film itu
terdapat tokoh intelektual yang ikut
serta di dalamnya. Sebut saja Umar
Kayam yang memerankan tokoh
Soekarno dan Syubah Asa yang
berperan sebagai Dipa Nusantara
Aidit, Ketua Komite Sentral Partai
Komunis Indonesia.
Film Pengkhianatan G30S/PKI
ini bisa dianggap meraih sukses
secara komersil maupun kritis.
Film ini dinominasikan untuk
tujuh penghargaan di Festival
Film Indonesia 1984 dan saat itu
digunakan sebagai kendaraan
propaganda oleh pemerintah Orde
Baru selama tiga belas tahun,
di mana pemerintahan Soeharto
memerintahkan satu-satunya
stasiun televisi di Indonesia saat
itu (TVRI) untuk menayangkan film
ini setiap tahun pada tanggal 30
September malam.
Film ini juga diperintahkan
menjadi tontonan wajib bagi siswa
sekolah di Indonesia, walaupun
memperlihatkan adegan-adegan
yang penuh kekerasan berlebihan.
Pada saat stasiun-stasiun televisi
swasta bermunculan, mereka juga
dikenai kewajiban yang sama.
Namun aturan ini juga hilang
seiring pengehentian penayangan
film ini di TVRI. Pemerintah, lewat
Menteri Penerangan Yunus Yosfiah
(kala itu) mengeluarkan keputusan
untuk menghentikan pemutaran
dan peredaran film tersebut.
REVIEW SINEMATIK
Sebagai sebuah film yang base
on true story, film ini dianggap
cukup baik dari sisi sinematografi,
emosional, dan kualitas yang
hampir semuanya ada di dalam
film tersebut. Proses produksi yang
dijalankan selama dua tahun dan
menggunakan sekitar 100 figuran,
memperlihatkan bagaimana film ini
dibuat sedemikian detail.
Film ini memang kaya dengan
detail, seperti latarnya yang
berpindah-pindah dari satu
lokasi ke lokasi yang lain. Tapi,
di samping beberapa fakta yang
terkait dengan penggambaran
kejadian yang dianggap sebagai
sebuah gerakan pengkhianatan,
film ini juga menggambarkan
kerawanan ekonomi masa itu lewat
penggambaran tentang antre dan
kemiskinan.
Dalam film ini, kerawanan
politik saat itu juga dilukiskan
dengan detail dan tidak melulu
menampilkan Jakarta sebagai
daerah Pusat kejadian, tapi juga
kejadian di daerah di luar Jakarta.
Misalnya penggambaran melalui
adegan serangan PKI ke sebuah
masjid di Jawa Timur, guntingan
koran, berita radio, dan komentar-komentar
tajam. Poster dan tulisan-tulisan
graffiti tentang pandangan
politik dan manifesto-manifesto
pemikiran yang digambarkan
banyak bertebaran di tembok dan
atap rumah.
Sebagian orang menilai,
sebetulnya dari sisi kualitas
sebuah film, Pengkhianatan
G30S/PKI ini disayangkan saat
terhenti ditayangkan dan Rabu,
30 September 1998 adalah hari
12. 12 l Kinescope l Edisi 10 l 2014
COVER STORY
terakhir pemutaran film tersebut.
Karena justru dari sisi ini, kita
bisa menyaksikan sebuah film
yang dibuat dengan sangat detil,
apik dan serius. Terjaga kualitas
sinematografisnya, mampu
membangun ketegangan dari alur
ceritanya, dan benar-benar bisa
membawa emosi siapapun yang
menontonnya. “Kekuatan film luar
biasa, banyak orang menerima film
Pengkhianatan G30S/PKI sebagai
representasi kenyataan,” ujar
sejarahwan Hilman Farid seperti
dikutip dari Tempo.
Tidak seperti sekarang, proses
pembuatan film menjadi sangat
instan, dengan proses syuting
yang hanya seminggu misalnya,
dan kurang menjaga kualitas dari
berbagai sisi. Yang pada akhirnya,
kebanyakan proses pembuatan film
hanya mengandalkan nama besar
pemainnya dan kelebihan fisik
semata.
Bagi Hanung Bramantyo,
sutradara film, bagian yang paling
diingat dalam film ini adalah
adegan diskusi. “Shot big close-up
mulut-mulut sedang diskusi
atau menghisap rokok, sangat
menohok. Bayangkan saja, di layar
besar semua gelap. Hanya mulut
yang tampak. It’s brilliant,” ujarnya
seperti dikutip dari Tempo. Menurut
Hanung, terlepas film itu disebut
propaganda, secara sinematik film
Pengkhianatan G30S/PKI rapi,
detail, dan nyata. “Saya sempat
mengira itu bukan film. Tapi real!”
Lain lagi di mata sutradara film
Monty Tiwa. Adegan yang teringat
adalah kala putri D.I. Pandjaitan
histeris saat ayahnya ditembak.
Kemudian, ia mencoreng dengan
darah sang ayah. “Karena (efel)
dramatis yang tinggi dan shot yang
belum pernah saya lihat dalam
film Indonesia. Membuat campuran
emosi, ngeri, sedih, marah
nyampur jadi satu,” kata Monty.
FILM & PROPAGANDA
Meski dinilai sebagai film
sejarah, film ini dianggap tidak
mewakili keseluruhan pendapat
tentang alur cerita dan fakta
sejarah yang sebenarnya. Film
ini juga menampilkan pergantian
rezim pemerintahan Indonesia dari
Presiden Soekarno ke Soeharto
menurut versi pemerintahan Orde
Baru. Film ini menggambarkan
gerakan G30S/PKI sebagai gerakan
yang kejam.
Pada tahun 2012 para korban
tragedi kemanusiaan 1965
menyatakan film Pengkhianatan
G30S/PKI adalah bentuk
pembohongan terhadap
masyarakat yang dilakukan oleh
pemerintah Orde Baru atas
kehendak Soeharto. Film tersebut
dinilai sebagai bentuk propaganda
yang memutarbalikkan fakta di
balik tragedi kemanusiaan 1965
yang menurut penyelidikan
Komnas HAM termasuk dalam
kategori pelanggaran HAM berat.
Menurut Hilmar Farid, film
tersebut telah berhasil membuat
generasi muda mengira apa
yang terjadi di masa lalu seperti
yang ada di film. “Jangankan
film sejarah, kadang sinetron
yang ditonton itu dipercaya
benar adanya,” ujar peneliti dari
Indonesia Institute of Social
History ini. Pada kasus film
Pengkhianatan G30S/PKI, ia
menguraikan, ada campur tangan
kepentingan politik. Intervensi itu
mengeksploitasi ketidaktahuan
atau kesalahpahaman untuk
mendapatkan apa yang diinginkan.
“Film menjadi sarana
yang efektif untuk
kepentingan
semacam itu,” ujar
Hilmar.
Namun
memang, sebagai
sebuah alat
komunikasi
dan sekaligus
propaganda, film
tersebut menjadi sedikit
menakutkan karena bisa
berfungsi menjadi pencuci
otak yang bisa jadi bertujuan
untuk mengaburkan dan
membelokkan fakta sejarah
yang sebenarnya dan hanya
memperkuat hegemoni satu
perspektif sejarah saja demi
kepentingan kekuasaan
saat itu. Bagaimanapun,
film menjadi cara
yang ampuh untuk
menyebarluaskan dan
memasukkan ide, gagasan,
dan ideologi.
Analisa yang lebih
dalam dibahas dalam buku,
‘Ketika Sejarah Berseragam:
Membongkar Ideologi
Militer dalam Menyusun
Sejarah Indonesia’, karya
Katherine E McGregor. Di sana,
film Pengkhianatan G30S/PKI
adalah salah satu cara Orde Baru
dalam menggambarkan usaha
kudeta oleh PKI. Tafsir peristiwa
yang digunakan Orde Baru dalam
film itu adalah salah satu upaya
meyakinkan masyarakat, kudeta itu
dilakukan oleh komunis dan bukan
pihak militer. Peristiwa itu dijadikan
alasan oleh Orde Baru untuk
membenarkan tindakannya untuk
berkuasa.
Dalam Buku itu Katherine E.
McGregor mengakui, dia ingin
mengungkapkan peran Orde
Baru dengan militernya dalam
menggambarkan masa lalu
Indonesia. Salah satunya dengan
media visual, yang didukung oleh
buku-buku pelajaran, monumen-monumen,
film, hingga diorama
yang di pajang dalam museum.
Dalam analisa Katherine,
pembuatan dan pemaknaan
sejarah baru oleh Orde Baru
melalui media visual dan film
sangat efektif. Hal itu terkait
dengan jumlah pendudukIndonesia
pada saat itu masih memiliki
tingkat buta huruf yang tinggi,
maka dengan pembuatan
sejarah melalui media
visual diharapkan bisa
menjangkau seluruh
Indonesia.
13. 2014 l Edisi 10 l Kinescope l13
Analisa itu muncul setelah
Katherine membaca dokumen
dari Departemen Pertahanan
dan Keamanan Pusat sejarah
Angkatan Bersenjata Indonesia
dalam merancang semua itu.
Katherine mengutip Nugroho
Notosutanto dalam dokumen itu,
“Di dalam masyarakat yang sedang
berkembang seperti Indonesia, di
mana kebiasaan membaca pun
masih sedang berkembang, kiranya
historio-visual isasi masih agak
efektif bagi pengungkapan identitas
ABRI.”
Tidak mengherankan
kelanggengan Orde Baru berkuasa
dijaga dengan strategi yang
rapi. Pengaruh kekuasaan sudah
dijaga dengan doktrin yang sudah
ditanamkan dalam melalui buku
pelajaran, film, museum, monumen,
hingga rancangan diorama yang
begitu detail. Meski begitu, tidak
jarang menggunakan kekerasan.
Film sebagai representasi realitas,
tidak sekedar memindah realitas
ke layar akan tetapi dibentuk oleh
kode-kode dan konvensi ideologi
maupun budaya pembuatnya.
Oleh karena itu, film merupakan
arketipe awal media massa modern,
memiliki potensi untuk ditunggangi
rezim polik dan media propaganda.
Konstruksi propaganda dalam film
dibangun oleh penyusunan tanda
dan kata maupun tanda-tanda
dalam teks film yang membentuk
suatu tehnik propaganda untuk
mempengaruhi opini publik
sesuai dengan yang diinginkan
Propagandis.
Karena itu menjadi sangat bijak
untuk terus membangun pemikiran
kreatif dalam proses pembuatan
film dengan tanpa melupakan sisi
edukasi yang dapat didistribusikan
sebagai pesan dalam setiap film
yang dibuat oleh para pembuatnya.
Untuk itu, setiap insan perfilman,
khususnya para pembuat film
haruslah memahami bahwa film
menjadi alat yang efektif bagi
para mereka untuk berkontribusi
positif bagi Negara, masyarakat
dan peradabannya, bukan justru
memperparah dengan film-film
yang justru menyebarkan pesan
yang mendegradasi nilai-nilai positif
yang terdapat di dalam setiap sendi
kehidupan masyarakat.
SANG SUTRADARA DAN
PRESTASI
Film ini disutradari oleh Arifin
C Noer, seorang sutradara besar
sejak masanya hingga kini. Film-filmnya
kebanyakan laris dan
meraih penghargaan. Khusus
film Pengkhianatan G30S/PKI ini,
ditayangkan sejak tahun 1984
hingga 1998 di TVRI. Karena film
ini, Arifin di ganjar penghargaan
Piala Citra untuk Penulis
Skenario Terbaik pada 1985.
Dengan biaya sekitar Rp. 800
juta di tahun 1984, film ini
menjadi film pertama yang
mencapai penonton sebanyak
699.282 orang di tahun 1984. Rekor
ini bertahan sampai tahun 1995.
Film ini memang bukan film
kolosal yang pertama bagi
Arifin C Noer, namun dia sendiri
mengakui bahwa mengurus dan
menata casting yang begitu
besar memang ukan pekerjaan
yang mudah dan sebentar.
Untuk membuat film itu, Arifin
mengeluarkan usaha yang sangat
besar dengan membaca sebanyak
mungkin tentang peristiwa
tersebut, mewawancarai saksi
sejarah, dan berusaha mencari
properti asli. Arifin sebetulnya
memimikan bahwa film
Pengkhianatan G30S/PKI bisa
menjadi sebuah film pendidikan
dan renungan tanpa pesan
kebencian bagi setiap orang yang
menontonnya.
Memang, Arifin C Noer dikenal
sebagai seniman multitalenta.
Sejak SMP dia menggeluti teater
dan puisi. Ia mulai menyentuh
kamera ketika Wim Umboh
membuat film Kugapai Cintamu
pada 1976. Film perdananya,
Suci Sang Primadona (1977),
melahirkan pendatang baru,
Joice Erna, yang memenangkan
Piala Citra sebagai Aktris Terbaik
Festival Film Indonesia 1978.
Arifin C Noer meninggal pada 28
Mei 1995 di usia 54 tahun.
Pada 1984, Arifin C. Noer
meraih penghargaan Piala Citra
untuk skenario terbaik film ini.
Di perhelatan yang sama, Arifin
juga masuk unggulan untuk
kategori penyutradaraan film
terbaik. Amoroso Katamsi menjadi
kandidat pemeran utama pria
terbaik.
Yang juga kecipratan adalah
Embie C. Noer yang diunggulkan
dalam kategori tata musik terbaik,
Hasan Basri untuk kategori
tata kamera terbaik, dan Farraz
Effendy yang masuk nominasi
kategori tata artistik terbaik.
Meski akhirnya, hanya Arifin yang
berhasil menggondol pulang Piala
Citra sebagai penulis skenario
terbaik. Pada 1985, masih di
Festival Film Indonesia, film
Pengkhianatan G30S/PKI
mendapat penghargaan Piala
Antemas untuk kategori film
unggulan terlaris 1984-1985.
14. 14 l Kinescope l Edisi 10 l 2014
AKU, KAU & KUA
REVIEW
Film ini diawali dengan
cerita kandasnya
pernikahan Fira dengan
Lando (Eza Gionino)
karena ternyata Lando
adalah tukang selingkuh. Fira
yang malu karena pernikahannya
gagal, langsung menarik diri dari
pergaulan. Sebagai sahabat, Uci
berusaha untuk menyemangati
Fira dan mendukung Deon yang
sudah lama jatuh cinta dengan
Fira untuk mengajaknya ta’aruf.
Walaupun awalnya ia meragukan
proses ta’aruf, pada akhirnya ia
mencoba proses ta’aruf.
Rico yang terinspirasi dengan
pernikahan Fira dan Deon,
langsung mencoba melamar Aida
(Bianca Liza) untuk menikah.
Namun Aida yang kehidupannya
high class, menolaknya karena
tidak mau menikah dengan Rico
yang tidak punya masa depan.
Film Aku, Kamu & KUA yang diadaptasi dari buku @ THEA FATHANAH ARBAR
TweetNikah yang berjudul sama bercerita tentang
kehidupan enam sahabat yang sudah berumur
matang untuk menikah. Enam sahabat tersebut
adalah Uci (Eriska Rein), Rico (Adipati Dolken), Fira
(Nina Zatulini), Deon (Deva Mahendra), Mona (Karina
Nadila), dan Pepi (Babe Cabiita).
15. 2014 l Edisi 10 l Kinescope l15
Di sisi lain, Mona mempunyai
pacar bernama Jerry (Fandy
Christian) yang tangannya tidak
bisa ‘diam’. Mona yang jengah
dengan kelakuan pacarnya ini
langsung menginginkan Jerry untuk
menikahinya. Jerry yang tidak mau
menikah, langsung memutuskan
hubungan dengan Mona. Patah hati,
Mona langsung berubah menjadi
‘orang baik’ dan ia memakai hijab.
Mona diajak Uci untuk ikut workshop
kepribadian. Di sana Mona bertemu
dengan Kak Emil (Dwi Sasono) dan
jatuh cinta dengannya.
Film yang disutradarai oleh Monty
Tiwa ini terlalu banyak karakter
dan cerita, sehingga membuat film
ini serba setengah-setengah dan
terlihat tidak dieksekusi dengan
baik. Film ini bergenre drama,
namun menyelipkan sedikit komedi
yang nanggung karena hanya
karakter Pepi (Babe Cabiita) yang
terlihat lucu ketika sedang melucu,
sedangkan karakter yang lain tidak
terlihat lucu dan terlihat aneh ketika
mencoba melucu. Dengan sederet
nama-nama aktor dan aktris yang
mumpuni, film ini malah tidak
menyenangkan karena semuanya
serba setengah-setengah.
Banyak pertanyaan ketika
menonton film ini; siapa karakter
utama di film ini? Jika karakter
utama di film ini adalah Uci,
maka Eriska Rein gagal dalam
memerankan karakter Uci karena
karakter yang lain lebih ‘menarik’
dan lebih menonjol dibandingkan
karakter utamanya.
Dari segi visual, sayang sekali
film ini hampir terlihat sama
seperti FTV-FTV yang tayang di
televisi. Audio di film ini juga
terkadang membuat risih telinga
karena ada beberapa sound
effect yang berlebihan. Namun
kejanggalan-kejanggalan yng sangat
mengganggu sepanjang film ini
diharapkan dapat menjadi sebuah
contoh bagaimana film Indonesia
tidak seharusnya dibuat dengan
hanya mengandalkan ketenaran
artis pemerannya dan dibuat
dengan setengah hati, namun juga
bisa dibarengi dengan kemauan
yang kuat, dengan ketulusan
serta kualitas dari sisi cerita dan
sinematografinya.
16. 16 l Kinescope l Edisi 10 l 2014
REVIEW
Malam Minggu Miko Movie
Dalam dua tahun terakhir, Setidaknya Raditya Dika,
sosok fenomenal dikalangan anak muda, telah
menelurkan 5 film yang berdasarkan ide-ide kreatifnya
baik dari adaptasi novel atau web-series yang dia buat.
Belum lama rasanya penonton film Indonesia disuguhi
dengan karya penyutradaraan perdananya dalam
“Marmut Merah Jambu”, bulan September ini, kisah
Miko kembali diangkat ke layar lebar dengan judul
“Malam Minggu Miko Movie”
Malam Minggu Miko
Movie merupakan film
yang diangkat dari
Webseries dan TV
series berjudul Malam Minggu
Miko yang disutradari, ditulis, dan
diperankan sendiri oleh Raditya
Dika. Webseries Malam Minggu
Miko sendiri meraih “The Most
Popular Show” dalam ajang
“Internet Video Stars 2013” dan
sudah mencapai 52 episode
yang ditonton oleh lebih dari
1 juta penonton. Raihan yang
baik tersebut sudah menjadi
modal bagus untuk mengangkat
kisah Miko dan malam minggu
“nestapanya” tersebut kedalam
medium film. Terlebih film
pertama “Miko” yang rilis tahun
lalu, “Cinta Dalam Kardus” bisa
dikatakan berhasil baik dari segi
kualitas film maupun dari raihan
jumlah penonton.
Malam Minggu Miko Movie
bercerita mengenai tiga tokoh
utama dalam film ini, Miko
(Raditya Dika), Dovi (Andovi
DaLopez), serta Anca (Hadian
Saputra). Miko kembali bertemu
dengan sahabatnya, Ryan (Ryan
Adriandhy) yang mengabarkan
kalo dia mendapat mimpi bahwa
Miko dikutuk oleh seseorang
saat masih SMP melalui tulisan
misterius di bagian belakang
jas laboratorium miliknya yang
membuat dia selalu gagal
dalam mendapatkan pasangan.
Bersama Ryan, Miko menelusuri
beberapa teman SMPnya guna
menghapus kutukan yang selama
ini menimpanya. Dovi, mahasiswa
senior yang sok pintar harus
mengemban tugas khusus agar
bisa lulus dari mata kuliah yang
membuatnya mengulang hingga
5kali. Tugas khusus tersebut adalah
mendampingi tiga mahasiswa tamu
dari luar negeri yaitu Alexandra dari
Polandia, Suzuki dari Jepang, dan
Mamadi dari Gambia berkeliling
Jakarta dan membuktikan bahwa
dia mampu mengerjakan tugas
ini dengn baik. Dan ada Anca,
pembantu rumah tangga Miko harus
melewati ujian demi ujian yang
diberikan oleh kedua orangtua Anca
agar dapat menikahi kekasihnya,
Atik.
Bila dilihat dari raihan jumlah
penonton, nama Raditya Dika bisa
dikatakan laris dan mampu menarik
jumlah penonton (terutama ABG dan
fans-nya) yang cukup banyak. Hal
ini tentu saja tak disia-siakan oleh
Dika. Memanfaatkan aji mumpung,
dalam waktu berdekatan Dika merilis
ROHMAN SULISTIONO
17. 2014 l Edisi 10 l Kinescope l17
film-filmnya yang hampir semuanya
memiliki garis cerita yang sama,
kisah tokoh yang diperankan Dika
dengan lika-liku kehidupan cintanya.
Dika menyadari betul pasar anak
muda Indonesia, sebuah komedi
ringan dibumbui kisah cinta ala
remaja. Hasilnya, film-film Dika
selalu Laris dipasaran.
Dalam Malam Minggu Miko
Movie, Dika berperan penuh dalam
penggarapan filmnya. Mungkin
sebagai pemeran utama tak cukup
baginya, dia juga duduk di kursi
sutradara dan penulis skenario
Malam Minggu Miko. Tentu saja
Dika punya kuasa penuh dalam
Malam Minggu Miko Movie dan
paling bertanggung jawab dengan
mau dibawa kemana film ini. Malam
Minggu Miko merupakan film kedua
Dika duduk di kursi penyutradaraan.
Bila melihat karya penyutradaraan
perdananya, Marmut Merah Jambu,
Dika bisa dikatakan cukup berbakat
dalam menggarap kisah yang
diangkat dari novel buatannya
sendiri ini. Mungkin, dalam Marmut
Merah Jambu, Dika tak mengambil
banyak porsi bermain dalam filmnya.
Dalam Malam Minggu Miko, Dika
lebih banyak berakting dibanding
saat di Marmut Merah Jambu,
hasilnya beberapa adegan terasa
tidak fokus dan ada beberapa plot
hole. Ditambah humor yang disajikan
dalam Malam Minggu Miko Movie
terasa monoton dan kurang ada
inovasi baru dari Dika. Mungkin
selera humor saya yang buruk atau
gimana, namun setelah mengikuti
semua film Raditya Dika, humor
yang ditawarkan ya berputar pada
itu-itu saja dan kurang berkembang.
Dari segi ceritanya pun ada
beberapa yang terasa lebay dan
dipaksakan. Apa mungkin ke-lebay-an
yang ada dalam Malam Minggu
Miko Movie memang kesengajaan
dari Raditya Dika. Tapi jelas
bukannya memancing tawa, malah
membuat penonton mengernyitkan
dahi.
Malam Minggu Miko Movie
cukup setia dengan webseriesnya.
Selain tentu saja jajaran karakter
yang diboyong ke dalam filmnya
baik dari season pertama maupun
season kedua, setting waktu yang
melatar-belakangi Malam Minggu
Miko Movie berlangsung dalam
waktu satu hari satu malam (yang
tentu saja terjadi saat hari sabtu
dan malam minggu). Ketiga karakter
utama “berpetualang” dalam
urusannya masing-masing dalam
kurun waktu yang bersamaan dan
dalam beberapa moment mereka
dipertemukan.Gaya editing cut-to-cut
dengan pace yang cepat serta
gaya pengambilan gambarnya pun
hampir mirip dengan webseriesnya.
Ya harus diakui, kisah Miko kali
ini kualitasnya dibawah dari Cinta
Dalam Kardus (mungkin karena tidak
ada campur tangan Salman Aristo
kali ini). Film berdurasi 90 menit
ini diawali dengan cukup menarik
namun semakin film bergulir, Malam
Minggu Miko Movie terasa flat dan
pelan-pelan melepas perhatian
penonton. Beberapa “penyegaran”
yang diselipkan dari munculnya
cameo serta lawakannya pun ya
hanya berlalu begitu saja. Hanya
Arie Kiting yang mampu mencuri
perhatian sebagai dukun pribadi dari
beberapa cameo yang kebanyakan
selebtweet atau comic (stand-up
comedian) seperti Liongky
Tan dan Bayang becabita. Peran
mereka sayang sekali kurang di
explore lagi padahal masih mereka
punya potensi lebih. Hal menarik
perhatian dari Malam Minggu Miko
Movie adalah Penempatan dan
penyampaian sponsor yang terbilang
unik walau sedikit maksa, namun
menarik dan cukup mengundang
tawa.
Selebihnya Malam Minggu Miko
membuktikan eksistensi Raditya
Dika dalam dunia komedi modern
melalui media film, namun Raditya
Dika harus melakukan evaluasi
lagi untuk karyanya kedepan dan
tidak terlena dengan raihan jumlah
penonton yang tidak dipungkiri
karya-karya Dika sudah berlabel
“Pasti Laku”. Jadi ingat sebuah
pernyataan salah satu sutradara
Indonesia dalam suatu obrolan
dengan saya belum lama ini, “kalo
filmnya sudah pasti laku, kenapa
pas buat ngga ngeluarin duit “lebih”
lalu buat film yang lebih niat dan
besar?” mungkin pernyataan ini bisa
direnungkan oleh rumah produksi
yang menggarap film Raditya Dika
selanjutnya , untuk memberikan
perhatian lebih dari segi kualitas
filmnya, tidak hanya memikirkan
uang. Ya walaupun tak dipungkiri
keuntungan besar dari film adalah
hal yang dibutuhkan agar industri
terus berjalan.
18. 18 l Kinescope l Edisi 10 l 2014
Pernakah anda merasakan sebuah film begitu dekat dengan kenangan anda?
Seperti diajak bernostalgia dengan keseruan masa kecil anda yang terasa akrab?
“My Girl’ akan membawa penontonnya yang merasakan masa kecil di era 80-an
untu bernostalgia dengan segala memori masa kecil dan mengajak penonton
untuk bereuni sejenak mengingat pola tingkah anak-anak dimasa tersebut.
ROHMAN SULISTIONO
REVIEW My Girl
My Gir yang memiliki
judul asli “Fan Chan”
merupakan film tahun
2003 yang digarap
secara keroyokan oleh enam
sutradara-penulis sekaligus (Vitcha
Gojiew, Songyos Sugmakanan,
Nithiwat Tharathorn, Witthaya
Thongyooyong, Anusorn
Trisirikasem, dan Komgrit Triwimol)
yang pada saat itu, “My Girl”
merupakan film debutan mereka.
Sebuah debutan yang istimewa
untuk mereka, selain diakui dalam
segi kualitas, film ini juga sukses
dalam rahian jumlah penonton di
Thailand sana.
“My Girl” berkisah mengenai
Jeab (Charlie Trairat) mendapatkan
undangan pernikahan dari sahabat
kecilnya sekaligus cinta pertamanya,
Noi-Naa (Focus Jiracul). Pernikahan
Noi-Naa berlangsung di kampung
halaman Jeab dan Noi-Naa dimana
mereka menghabiskan masa kecil
bersama. Dalam perjalanan pulang,
Jeab bernostalgia akan memori
masa kecilnya bersama Noi-Naa.
Dan sepanjang film penonton akan
dibawa flashback dengan kenangan
masa kecil Jeab, Noi-Naa, teman-teman
mereka serta memori masa
kecil mereka. Saat itu, Jeab dan
Noi-Naa bertetangga karna rumah
mereka hanya dipisahkan oleh satu
toko kelontong. Jeab dan Noi-Naa
bersahabat sejak balita dan karena
kesulitan mendapat teman laki-laki,
Jeab-pun “terpaksa” ikut bermain
19. 2014 l Edisi 10 l Kinescope l19
permainan perempuan bersama Noi-
Naa dan teman-temannya. Walau
tentu saja, Jeab kerap diejek oleh
sekelompok anak laki-laki Jack dan
geng-nya. Kedekatan Jeab dan Noi-
Naa membuat Jeab merasakan hal
lain pada Noi-Naa, dan menyadari
Noi-Naa adalah cinta pertamanya.
Sederhana dan apa adanya,
membuat “My Girl’ terasa begitu
dekat dengan penonton, terutama
penonton Indonesia yang mempunya
kemiripan budaya dengan Thailand.
Dengan setting tahun 80-an,
penonton yang merasakan masa
kanak-kanak tahun 80-90an akan
dibangkitkan memorinya dan diajak
bernostalgia dengan masa kecilnya.
“My Girl” membuat penonton
tersenyum indah apalagi penonton
yang mempunyai pengalaman yang
sama secara personal ketika anak-anak
dalam “My Girl” memainkan
permainan sederhana khas anak-anak
seperti lompat tali dari karet,
bermain peran karakter laga dengan
kostum seadanya, bermain sepak
bola di lapangan tanah, bermain
besepeda dengan teman-teman
sore hari, main karet tiup, hingga
berenang di sungai. Sebuah
kegiatan yang mungkin sangat
langka dilakukan anak-anak zaman
sekarang yang sudah terjebak dan
terhipnotis kecanggihan gadget
sehingga melupakan keasyikan
bermain diluar bersama teman.
Sungguh disayangkan, padahal
momen kanak-kanak dengan
keseruan bermain diluar adalah
momen yang tak tergantikan.
Mengusung cerita mengenai
cinta monyet tak membuat “My
Girl” menyajikan sebuah kisah cinta
berlebihan yang tak layak untuk
anak-anak. Jeab tidak berlebihan
hingga mengejar-ngejar cinta Noi-
Naa atau sampai mengutarakan
cinta kepadanya. Kisah cinta monyet
dalam “My Girl” dibuat sesuai
dengan karakteristik anak-anak yang
polos dan lugu. Sehingga bukan
menjual kisah cinta yang berlebihan
antara dua insan, namun lebih
mengedepankan kisah persahabatan.
Sebuah pembelajaran yang baik
untuk film anak (terutama di tanah
air) agar lebih bijaksana menaruh
unsur cinta dalam film agar anak-anak
tak mencontoh dan sudah
mulai cinta-cintaan pada usia dini.
Penampilan para pemeran cilik
dalam “My Girl” patut diacungi
jempol. Memainkan peran mereka
masing-masing dengan karakter
yang kuat dan tidak terlihat
berlebihan. Penampilan anak-anak
dalam “My Girl” terkesan natural
dan seperti memainkan diri mereka
sendiri. Sineas yang menggarap “My
Girl”pun cukup piawai merajut cerita
yang dekat dengan tokoh dengan
karakter yang ada, hasilnya “My Girl”
begitu natural, sederhana, membumi,
dan tentu saja sangat sulit untuk
tidak disukai. Selain tokoh utama
Jeab dan Noi-Naa, tokoh Jack
yang diperankan Chaleumpol
Tikumpornteerawong cukup menarik
perhatian dengan bakat aktingnya.
Wajar apabila saat ini diumurnya
yang sudah cukup dewasa dia masih
lalu lalang di perfilman Thailand,
Salah satunya dalam film komedi
romantis berjudul “ATM” yang rilis
tahun 2012.
Dengan raupan pendapatan
sebesar 140 juta Bath dalam
penayangannya di Thailand, bisa
dikatakan film ini sukses dalam
segi finansial. Bagaimana dengan
kualitasnya? Film ini sangat sulit
untuk tidak disukai. Temanya yang
sederhana dan digarap dengan
sangat membumi, natural, apa
adanya namun terasa istimewa
membuat “My Girl” dengan mudah
membekas di hati penontonnya.
Perpaduan apik tema cinta monyet,
persahabatan yang kental, dan
problematika masa kanak-kanak
yang pas dari masa perkembangan
psikologisnya membuat film ini
tampil tak berlebihan dan menjadi
kekuatan dalam “My Girl”. Beberapa
moment yang memorial dibalut
dengan komedi ringan serta balutan
lagu-lagu populer Thailand tahun
80-an membuat “My Girl” semakin
memikat.
Sebagai info, “My Girl” pernah
rilis di Indonesia dengan judul “Cinta
Pertama” pada tahun 2006. “My
Girl” saat itu didubbing ke dalam
bahasa Indonesia dan lagu-lagu
Thailand dalam film ini diganti
dengan lagu-lagu populer Indonesia
tahun 80-an yang dinyanyikan oleh
musisi terkenal saat itu seperti Iwan
Fals, Chrisye, Hetty Koes Endang,
dan Ebiet G. Ade.
20. 20 l Kinescope l Edisi 10 l 2014
REVIEW
Film yang mendapatkan
penghargaan Best
Documentary Film pada
ajang OSCAR 2014 tersebut
diputar untuk umum di Kedai Kebun
Jalan Tirtodiouran No.3 Yogyakarta,
Rabu (10/9). Dalam pemutaran
film tersebut juga diadakan diskusi
mengenai film tersebut dengan
langsung menghadirkan Doug Blush
selaku editor film 20 Feet From
Stardom.
Film dokumenter yang
disutradarai oleh Morgan Neville ini
mengisahkan tentang kisah pahit
manis para penyanyi kulit hitam ini
sebagai backup singer dari penyanyi
terkenal legendaris. Penyanyi-penyanyi
latar yang kadang sering
tidak dianggap dan diperhatikan.
20 Feet From Stardom
RIAN SAMIN
Penyanyi latar atau background singer atau backing vocal sering kali kurang
mendapat perhatian. Maklum saja, yang jadi bintang di sebuah konser pastinya si
penyanyi utama. Gambaran seperti itulah yang ingin diceritakan oleh Film 20 Feet
From Stardom besutan Morgan Neville.
21. 2014 l Edisi 10 l Kinescope l21
latar bergaya gospel di tahun
60-an bahkan sempat menjadi
pembantu rumah tangga.
Ironisnya, saat ia sedang bersih-bersih,
lagu yang ia nyanyikan
diputar di radio.
Perjuangan para penyanyi latar
tersebut disampaikan ke penonton
dengan baik oleh sutradara
melalui interview dan pengakuan
baik itu dari sudut pandang si
penyanyi latar ataupun artisnya.
Interview itu silih berganti hadir
dengan rekaman-rekaman zaman
dulu dari acara televisi dan konser.
Juga yang mana dalam durasi
satu setengah jam durasinya kita
diiringi lantunan musik dan lagu
jadul yang begitu asyik dari suara
indah mereka.
Dijelaskan oleh Doug Blush,
proses pembuatan film tersebut
berlangsung selama dua tahun
dan menghasilkan stok video 7
ribu menit. Ditambahkan oleh
Gough Blush, selama proses
pembuatan film dokumenter
tersebut terdapat 60 wanita
penyanyi latar. Para penyanyi latar
tersebut hampir semuanya berasal
dari paduan suara gereja.
Masih menurut Doug Blush,
Darlene Love dipilih salah
satu tokoh utama dalam film,
karena wanita tersebut memeliki
perjuangan dan cerita hidup yang
meninspirasi. Selain Darlene Love,
para penyanyi latar lainya yang
diangkat dalam film tersebut
mewakili sejarah dan perjalanan
para penyanyi latar.
“Tidak hanya bercerita
mengenai kehidupan mereka
secara pribadi sebagai penyanyi
latar, film ini juga menceritakan
bagaimana sebagai penyanyi
berkulit hitam, mereka ikut
berjuang dalam gerakan anti rasis
dan isu-isu kemanusian,” ungkap
Doug Blush.
Pemutaran film tersebut
diselenggarakan oleh Sundance
Institute bersama Kedubes
Amerika Serikat yang menginisiasi
sebuah program bernama
Film Forward. Melalui program
tersebut Sundance Institute
bersama Kedubes Amerika
Serikat melakukan screening film,
workshop, dan diskusi film.
Darlene Love, Merry Clayton, Lisa
Fischer, Tata Vega, Jo Lawry, dan
Judith Hill adalah para penyanyi
latar yang sering bersanding dengan
Ray Charles, Tina Turner, The Rolling
Stones, Bruce Springsteen, Stevie
Wonder, David Bowie, Joe Cocker,
dan masih banyak lagi penyanyi
legendaris lainya.
Mereka berhasil merebut
perhatian penyanyi dan produser
terkenal. Lisa Fischer, misalnya,
menyanyi untuk The Rolling Stones
sejak tahun 1989 sampai sekarang.
Ia sering menemani Mick Jagger
sebagai vokal utama di beberapa
lagu saat konser.
Sebagai penyanyi latar, mereka
mengalami jatuh bangun. Terutama
saat mereka berusaha merilis
rekaman mereka sendiri. Menyanyi
adalah satu hal, menjadi bintang
adalah hal lain. Darlene Love, yang
bergabung dengan The Blossoms,
disebut sebagai pelopor penyanyi
22. 22 l Kinescope l Edisi 10 l 2014
BEHIND THE SCENE
Malam Minggu Miko Movie
24. 24 l Kinescope l Edisi 10 l 2014
FESTIVAL
Cut & Remix Festival Kesenian Yogyakarta (FKY26):
RIAN SAMIN
Cut & Remix dipilih
menjadi tema dari
pameran ini. Dikutip dari
catatan kuratorial, bahwa
tema tersebut berangkat dari
gejala budaya penciptaan sistem
dan struktur tanda sekarang yang
terlihat pada fenomena praktik
kreativitas berbahasa, merangkai
benda-benda, gambar, bunyi dan
berbagai fenomena lainnya.
Beberapa perupa undangan
di pameran kali ini diantaranya:
Ahmad Oka (Jogja), Anom
Sugiswoto (Jogja), Anti-Tank
(Jogja), Ivan Bestari Minar
Pradipta (Jogja), Justian Jafin
Rocx X (Jogja), Lifepatch (Jogja),
Mufti Amenk Priyanka (Bandung),
NSIDEONE (Jogja), Soda Jerk
(Sydney, Australia), Thedeo Mix
Blood (Jogja).
Selain itu, pada Panggung
Sastra yang menampilkan
pembacaan puisi dari 15
penyair muda terkini Yogyakarta
menggelar beragam bentuk
tafsir puisi dalam pertunjukan.
Bertempat di Plataran Tamansari,
selama tiga hari berturut-turut
yaitu pada tanggal 4 sampai 6
September ini mengapresiasi Para
Penyair Muda yang terus bergiat
mengisi dan menghidupkan dunia
sastra Yogyakarta. Divisi Media
FKY26 Ovie Ermawati mengatakan
bahwa antusiasme Para Penyair
sangatlah besar, terbukti
dari banyaknya yang telah
mengirimkan karya mereka ke
meja panitia.
Pada Jumat malam (5/9)
25. 2014 l Edisi 10 l Kinescope l25
Pada 2 September lalu, sebuah gerbang menutupi
setengah lebih sisi depan gedung Jogja Gallery
yang terletak di Jl. Pekapalan 7, Alun-alun Utara
Yogyakarta. Karya grafiti yang digambar pada
gerbang menyambut pengunjung yang datang
pada PAPERU atau Pameran Perupa Muda.
Pameran yang berlangsung hingga 9 September ini
merupakan bagian dari rangkaian FKY 26.
diadakan Pertunjukan video mapping
yang menampilkan konten modern
dan juga tradisi di bangunan khas
Yogyakarta. Pertunjukan ini dibuka
oleh performance act dari Windarti
Dance Company. Bertempat di 0 KM
/ BNI 46, para Seniman Videografis
Kolektif ini mampu menghibur
para pengunjung dan memberikan
pandangan baru tentang aplikasi
media seni pertunjukan.
Sejak 1989, Festival Kesenian
Yogyakarta (FKY) menjadi acara
tahunan seni-budaya favorit bagi
masyarakat Yogyakarta. Bisa
dikatakan selama 25 tahun lamanya,
FKY tetap eksis sebagai “etalase
seni” dalam format festival dan telah
dikenal secara luas sebagai “rumah”
segala event seni dan budaya di
Yogyakarta.
Ketua Umum FKY26 Setyo
Harwanto menjelaskan bahwa
kehadiran FKY dari sisi profit-melalui
kegiatan rutin Pasar
Seni-telah diketahui bersama
dapat memberikan dampak
ekonomis baik bagi para pelaku
seni, maupun masyarakat sekitar.
Sedangkan dari sisi non-profit, FKY
dapat memberikan kemanfaatan
secara psikologis, yaitu sebagai
ruang untuk bermain, berjalan-jalan,
bersantai bersama pasangan
maupun keluarga untuk menikmati
berbagai hal yang berkaitan dengan
seni dan budaya -senang sembari
berbelanja menikmati produk lokal,
seni dan budaya. Setyo melanjutkan
kalau tahun ini benar-benar terasa
bahwa terutama anak muda
mulai menceritakan kembali Kesenian
tradisi dan Budaya Jogja, dengan
segala bentuk keguyubannya melalui
Social Media mereka. “Senang
rasanya FKY mulai di sengkayung
lagi. Banyak kritik juga saran dari
masyarakat, artinya FKY mulai di
perhatikan lagi. Selebihnya Apresiasi
yang baik dari masyarakat,” tutupnya.
26. 26 l Kinescope l Edisi 10 l 2014
Menceritakan
Kembali yang
Nyaris Dilupakan
Makassar Film Festival 2014:
FESTIVAL
Thomas Alfa Edison
mungkin tidak
pernah berpikir kalau
keisengannya mengutak-atik
kamera foto menjadi alat
perekam objek-objek dinamis
berefek samping membuat
orang lupa diri, tetapi Polanski
menyadarinya. Ia menyampaikan
tugas utama sinema sebagai
mesin waktu. Sebuah portal
yang memindahkan orang-orang
Eropa ke benua Asia.
Pintu ajaib yang memindahkan
pemahaman orientalis ke
syaraf-syaraf otak para pemikir
Eropa. Demikian muasalnya
hingga festival sinema menjadi
bentuk ruang kelas raksasa yang
menghubungkan banyaknya
fakta, pemikiran, dan budaya
antar benua. Festival film
menjadi salah satu denyut
pengetahuan yang sulit
diabaikan.
Ada dua modal besar
bagi sebuah kota untuk turun
dalam pertempuran kredibilitas
universal. Teknologi adalah
modal pertama yang menjadi ciri
kemajuan budaya, seperti nilai-nilai
yang mengubah tembikar
bejana aluminium. Makassar
sebagai kota yang dirancang
menuju kota dunia pun sedang
melakukan perubahan besar-
REZKIYAH SALEH TJAKO
Cinema should make you forget you
are sitting in theatre
– Roman Polanski (sutradara The Pianist) -
besaran di berbagai sudut, salah
satunya dalam aspek budaya.
Karakteristik budaya merupakan
modal kedua untuk ikut pertempuran
tersebut, lahirlah Makassar Film
Festival yang dirancang menjadi
salah satu prajurit tempur utama
setiap tahunnya.
SEKILAS MAKASSAR FILM
FESTIVAL 2013
Pada gelaran Makassar Film
Festival tahun sebelumnya, komite
mengibarkan panji “Berlayar ke
Ujung Pandang”. Sebuah slogan
cerminan program-program
perkenalan eksistensi karakter
makassar dalam kancah perfilman
dan budaya. Slogan ini ditempatkan
dalam talkshow “Makassar
dalam Peta Perfilman Indonesia”,
dimoderatori oleh Iking Siahsia,
empat praktisi film yakni Dennis
Adhiswara, Ichwan Persada, Alem
Febri Sonni, dan A. Burhamzah
berbicara tentang peran sineas-sineas
Makassar dalam pergerakan
perfilman indonesia.
Dalam bentuk eksibisi, komite
menggagas layar utama, sebuah
pameran sinema eksklusif untuk
sineas Makassar dan wilayah lainnya
di KTI, yakni Festival Suara dari
Timur. Eksibisi ini memutar khusus
film-film karya sineas muda kawasan
timur indonesia yang telah melalui
kurasi ketat dari tim ahli. Mereka
terdiri dari kurator kolektif makassar
film festival dan hasil kurasi tim ahli
Apresiasi Film Indonesia 2013. “The
Backyard” (Yusuf Radjamuda, Palu),
“Cita” (A. Burhamzah, Makassar),
27. 2014 l Edisi 10 l Kinescope l27
“Umar Amir” (Ancha Latief, Palu)
dan “The Message” (Rezkiyah Saleh
Tjako, Makassar) menandai generasi
sineas muda dengan empat bentuk
film naratif yang berbeda-beda.
Di program Pemutaran Khusus,
Vakansi yang Janggal dan Penyakit
Lainnya (Joseph Anggi Noen,
2013), Denok & Gareng (Dwi Sujanti
Nugrahaeni, 2012), dan Mata
Tertutup (Garin Nugroho, 2012) juga
diputar untuk menjaring interpretasi
yang lebih luas mengenai budaya
sinema dan masyarakat.
Helatan perdana Makassar
Film Festival mendapatkan respon
positif dan kritik membangun dari
masyarakat. Fariz Budiman dari Total
Film Indonesia pun turut berbagi
ilmu di mini-workshop Penulisan
Kritik Film. Sementara Nadya Fatira
meluangkan waktu untuk sharing di
mini-workshop Musik & Film. Pesta
film ini sukses menjadi perayaan
bersama yang merakyat.
MAKASSAR FILM FESTIVAL
2014, “SATU KOTA, SERIBU
CERITA”
Misi utama komite festival adalah
mengurai kembali jejak Makassar
dalam peta perfilman Indonesia,
mengingat kota berbudaya maritim
ini telah merekam sejarah panjang
kota ini. Perjalanan tersebut ditandai
dengan penjamuran komunitas
kine di setiap sudut kota daeng
dan penyelenggaran Festival Film
Indonesia pada tahun 1978. Agenda
festival pun terbilang berbeda,
karena diselenggarakan selama tiga
hari dan membaurkan produser,
sutradara, aktor, penata kamera,
hingga para runner di kursi-kursi
penonton tanpa label “shaf khusus”.
Judul-judul film karya orang
Makassar seperti “Latando”, “Embun
Pagi”, “Senja di Pantai Losari”, dan
“Sanrego” ikut serta dalam helatan
ini. Sebagai hadiah paling berkesan,
tokoh teater, perfilman, dan sesepuh
jurnalis Rahman Arge mendapatkan
penghargaan sebagai Aktor Harapan
Terbaik.
Makassar Film Festival
berkewajiban melanjutkan
dan mempertahankan tugas
Makassar sebagai kota yang turut
membangun perfilman Indonesia.
Helatan tahun ini bekerja di
bawah gaungan “Satu Kota,
Seribu Cerita”. Komite mengurai
dan menyusun kembali sejarah
kota di bagian seni budaya, suatu
aspek kemasyarakatan yang harus
terus berdenyut. Tema ini akan
dibicarakan dalam skala yang lebih
sederhana, berbentuk sebuah
talkshow “Bioskop Makassar”.
Komite akan menghadirkan
pembicara kompeten terkait
perkembangan film Indonesia dari
perspektif yang sejalan dengan
kemajuan kota dalam berdiri dan
rubuhnya bioskop-bioskop di
Makassar.
Program Festival “Shorts of
Indonesia” mulai diadakan tahun ini.
Menyerupai program Festival Film
pelajar, program ini mencari dan
memutar film-film pendek karya
sineas di seluruh Indonesia, bersifat
umum dan berdampingan dengan
festival ikonik “Suara dari Timur”.
Festival ini dijadwalkan pada
15-16 November 2014 di Makassar,
sebagai rangkaian perayaan hari
jadi kota Makassar ke-407. Selain
mengajak kembali masyarakat
Indonesia untuk bertandang
ke Makassar, komite festival
pun berencana akan memberi
penghargaan khusus kepada
salah satu tokoh yang pernah
mengharumkan nama masyarakat
Bugis-Makassar di perfilman
nasional,
“... sebab tugas sinema adalah
membuat lupa penonton sedang
duduk dalam teater, bukan untuk
membuat orang-orang lupa
pada sejarah, sinema bahkan
merekamnya,” ujar Rezkiyah Saleh
Tjako, direktur Makassar Film
Festival 2014.
28. 28 l Kinescope l Edisi 10 l 2014
BERKARYA SLAMET ABDUL SJUKUR
TAK KENAL USIA
Proses berkarya memang tidak mengenal usia, semakin lama
berkesenian justru banyak hal yang bisa diambil dari seniman
tersebut. Satu di antaranya adalah komposer Slamet Abdul Sjukur.
Dalam rangka 79
tahun usianya,ia
menggelar Kursus
Kilat Komposisi yang
diadakan pada 4 -5 Agustus di
Auditorium House of Piano Jakarta,
Dharmawangsa Square. Slamet
menjelaskan bahwa orang kira
musik itu hanya ‘main musik’. “Anda
juga bisa ngarang musik sendiri
seperti Beethoven, Chopin, dan lain
lain, cobalah hanya dalam waktu
singkat,” tukas komposer yang telah
menyabet banyak penghargaan ini.
Program kursus kilat komposisi
ini waktunya dibagi per hari,
dalam dua sesi. Sesi pertama
dimulai pukul 09.00 - 12.00 dan
Sesi kedua pada pukul 13.00 -
16.00 WIB. Untuk mengenal sosok
seniman yang unik ini, ada cerita
ketika terjadi sebuah perdebatan
sengit antara Slamet Abdul Sjukur
dan petugas kelurahan. Pasalnya
pada formulir KTP, untuk kolom
agama, Slamet mengisinya dengan
‘musik’, dan ia mempertahankannya.
“Kepercayaan saya memang
musik, sebab musik bagi saya
merupakan usaha spiritual. Eh, saya
malah dikira komunis,” ujarnya.
Slamet Abdul Sjukur disebut-sebut
sebagai seorang pionir musik
kontemporer Indonesia. Sewaktu
kecil pria yanglahir dengan
nama Soekandar pada 30
Juni 1935 ini sering sakit-sakitan,
setelah diruwat, ia berganti
nama menjadi Slamet. Di masa
kecilnya, ia sering diganggu dan
berkelahi dengan teman-temannya,
karena kaki kanannya polio sejak
usia 6 bulan.
Persentuhan Slamet yang
pertama dengan musik terjadi
ketika ia masih berusia tujuh tahun.
Ayahnya, Abdul Sjukur, memberinya
hadiah sebuah piano, Ia
mengaku lupa kenapa dibelikan
piano, sebab, ayahnya, juga ibunya
bukanlah penggemar musik. Di usia
ke-9, anak tunggal pasangan Abdul
Sjukur dan Canna ini mulai serius
belajar dengan D. Tupan, pianis
asal Ambon yang saat itu bekerja
di RRI Surabaya. Hal ini sekaligus
menghindarkan diri dari ejekan
teman-temannya terhadap kakinya.
Slamet dibesarkan dalam
keluarga pedagang, ayahnya
mempunyai toko obat. Ia
sempat diminta untuk menjadi
apoteker, tapi Slamet menolak.
Ketertarikannya terhadap musik
ia dapatkan dari sang nenek,
yang menginginkan dia bisa main
piano seperti tetangga di sebelah
rumahnya.
Selama sembilan tahun,
sejak 1944, seniman kelahiran
Surabaya ini mengikuti les piano.
Ia mulai menempuh pendidikan
formalnya untuk semakin
mendalami musik di Sekolah Musik
Indonesia “Semind” Yogyakarta
(1952-1956). Enam tahun
kemudian, Slamet mendapatkan
beasiswa untuk belajar musik dari
Pemerintah Perancis (1962-1967).
Dia belajar organologi
untuk semakin memperdalam
pengetahuannya tentang
piano di Ecole Normale de
Musique. Beasiswa dari pemerintah
Perancis yang memungkinkannya
bersekolah di Ecole Normale de
Musique, mestinya hanya untuk satu
tahun. Tetapi ia usahakan hingga
menjadi tiga tahun. Hal tersebut
belum membuatSlamet puas. Ia
meneruskan sekolah dengan usaha
sendiri dengan menjadi tukang cuci
piring di restoran dan pianis pada
sebuah sekolah balet. Sebelum itu,
ia bahkan sempat menggelandang
menjadi pengamen di lorong-lorong
stasiun kereta api bawah tanah.
Namun nampaknya semua ilmu
yang dia dapatkan dari pendidikan
RIAN SAMIN
TOKOH
29. 2014 l Edisi 10 l Kinescope l29
formal ini seolah hanya menjadi
formalitas bagi Slamet, Slamet
lebih banyak mengembangkan
cara-cara sendiri dalam bermusik.
Dia mengajarkan pada banyak
orang bahwa musik sesungguhnya
dimulai dari diam atau tidak ada
bunyi sama sekali.
Bagi Slamet, lantunan musik
adalah tepukan tangan pada
mulut yang terbuka, gesekan kain
panjang kaum perempuan ketika
berjalan, bunyi gesekan sapu di
jalanan, bahkan juga bunyi ketiak
yang ditutup dengan telapak
tangan. Musik pada hakekatnya
bukan monopoli milik orang musik
saja. Musik adalah milik semua
orang dan bisa dimainkan dengan
alat apa saja. Bahkan desir angin,
gesekan daun, gemericik air, itu
semua sebenarnya sudah musik.
Slamet yang aneh dan
cuek selalu berkarya dengan
kemauannya sendiri. Hal inilah yang
menjadi ciri khasnya dan membuat
dia semakin dicintai dengan
karya hebatnya. Sebagai pemeluk
‘kepercayaan musik’, Slamet
memang taat. Rumah tinggalnya
tidak hanya dibangun berdasarkan
ketentuan geomensi, penyesuaian
arah mata angin dengan garis
hidup penghuninya, melainkan
juga dirancang sendiri menurut
perhitungan akustik yang njlimet.
Seluruh dinding luar rumah
berupa batu bata merah
telanjang, tanpa plesteran semen.
Posisi dindingnya unik.Dinding
rumahnya sejajar hanya ada 20
persen, semua ini ia rancang untuk
menghasilkan pantulan suara yang
baik.
Sebagian karya ciptaannya
adalah, Ketut Candu, String Quartet
I, Silence, Point Core, Parentheses
I-II-III-IV-V-VI, Jakarta 450
Tahun dan Daun Pulus. Menurut
penggemar W.R. Supratman dan
Harry Roesli ini mendapatkan
inspirasi Daun Pulus dari jaipongan,
dipesan oleh Farida Oetoyo untuk
pementasan balet pada Desember
1983. Musik Hantu, sebuah ekspresi
kelengangan total, ia suguhkan di
Erasmus Huis, Jakarta, pada 1985.
Musik memantik minat musik
Slamet dan mengantarkannya
menjadi komponis ternama
dengan karya-karya yang
dikenal di berbagai negara.
Sesuatu yang mungkin
membanggakan adalah bagaimana
seorang Debussy terinspirasi oleh
gamelan. Slamet juga telah dipilih
oleh Institut Français membuat
komposisi GAME-Land V untuk 100
tahun Debussy pada 2012 yang
lalu.
Penghargaan :
• Mendapat beasiswa dari
Pemerintah Perancis
untukbersekolah di Ecole
Normale deMusique (1962)
• Bronze Medal dari Festival
deJeux d’Automne in Dijon
(1974)
• Golden record dari
AcademieCharles Cros
in France, untukkaryanya
Angklung (1975)
• Zoltan Kodaly Commemorative
medal in Hungary (1983)
• Perintis Musik Altenative
darimajalah Gatra (1996)
• Millennium Hall of Fame of
the American Biographical
Institute (1998)
• Officier de l‘Ordre des Arts et
des Lettres (2000)
30. 30 l Kinescope l Edisi 10 l 2014
Embel-embel ‘perempuan’
di belakang kata
‘sutradara’ lebih sering
terasa tak mengenakkan.
Tapi, bagi Lola, keperempuanan
itu memang memiliki makna
tersendiri yang menjiwai karya-karya
filmnya. Lihat saja filmnya
yang berjudul ‘Minggu Pagi di
Victoria Park’ (2010) dan ‘Kisah
Tiga Titik’ (2013). Berkisah
tentang para buruh perempuan,
dua film itu memperlihatkan
secara gamlang keberpihakan
Lola terhadap isu-isu yang
mendera kaumnya.
Belum lama ini, Lola
merilis film terbarunya, ‘Negeri
Tanpa Telinga’, sebuah drama
bertema politik aktual yang
membuat Wakil Gubernur
Jakarta Basuki Tjahaja Purnama
atau Ahok mengajak segenap
anak buahnya untuk nonton
bareng. Pengamat perfilman
Indonesia yang paling ganteng
se-Jakarta Shandy Gasella
menyelinap ke balik layar untuk
mengintip kiprah dan pemikiran
Lola sebagai sutradara.
Perbincangan berlangsung di
kantornya di Cipete, Jakarta
Selatan. Hampir semua
pertanyaan yang diajukan
dijawab dengan panjang lebar.
Berikut petikannya:
Kamu kan mengawali karirmu
dengan menjadi model,
lalu menjadi aktris, sampai
pada akhirnya kamu bekerja
di belakang layar. Apa
motivasimu untuk bekerja di
belakang layar?
Sebenarnya perjalanan itu
penuh dengan proses, dari
mulai jadi aktris aja sekitar
awal tahun 2000, itu pun nggak
sengaja karena cita-citaku
sebenarnya mau jadi diplomat.
Terus iseng-iseng kirim formulir
pemilihan Wajah Femina tahun
1997. Waktu itu masih belum
banyak lomba-lomba pemilihan
seperti itu, baru Femina, None
Jakarte dan Putri Indonesia.
Satu bulan atau dua bulan
kemudian ditelepon pihak
Femina kalau aku masuk 60
besar masuk ke 20 semifinalis.
Itu momen yang aku nggak
percaya. Ketika malam final,
aku menang. Aku menang juara
busana nasional, kebaya. Jadi
sepertinya semua serba tak
terduga.
Wah, seru juga ya. Lalu?
Dalam Film, Kita Harus Tidak Seperti Politik
Lola Amaria telah berjalan jauh
dari seorang model sampul
majalah, pemain sinetron, bintang
film hingga kini dikenal sebagai
satu dari sangat sedikit sutradara
perempuan di Tanah Air.
Lola Amaria:
Waktu itu pelatihnya Mas
Denny Malik dan aku sempat
dimarahin, “Lo tu pake kebaya masa
kayak koboy jalannya!” Terus pas
diumumin menang. Dari situ mulai
ada kegiatan, jadi nggak suntuk
lagi. Setelah itu ditawarin main
di film ‘Ca Bau Kan’. Saat itu film
baru bangkit, belum banyak film
Indonesia.
Mulai aku belajar nulis, belajar
produksi, belajar nge-direct dan
semua otodidak sambil jalan. Aku
nggak sekolah film, jadi semua
belajarnya lewat nonton film,
diskusi, datang ke pemutaran-pemutaran
film. Kalau mas Garin
bikin pemutaran, ada diskusi, aku
pasti datang, pengen tau gimana
Mas Garin menjawab pertanyaan
dan mempertanggungjawabkan
karyanya. Sampai pada akhirnya
aku memutuskan untuk, menulis
sendiri, atau mungkin pakai penulis
tapi idenya tetap ide sendiri, atau
mungkin memproduksi sendiri, atau
menyutradarai.
Apakah membuat film itu sebuah
pengalaman yang mengubah
hidup?
Iya, banget. Sebab dari membuat
film aku bisa kenal banyak orang
dari pelbagai kalangan. Bila nggak
di film, mungkin nggak akan dapat,
aku bisa kenal orang-orang penting,
aku bisa dapat akses, privilege
kalau misalnya ke mana-mana.
Aku bisa tahu tempat-tempat yang
belum pernah aku tahu seperti
Flores misalnya. Terus bisa ke
luar negeri juga secara gratis bila
misalnya filmku masuk festival di
luar negeri, ada banyak hal yang
menyenangkan.
SHANDY GASELLA
INTERVIEW
31. 2014 l Edisi 10 l Kinescope l31
Harus Jujur
Politik
Biasanya bagaimana ide-ide
untuk sebuah film itu muncul di
benakmu?
Ide itu banyak, kadang-kadang
kalau lagi jalan, atau ketemu orang,
aku suka nyatet ada kejadian apa.
Kayak masalah politik ini, yang
kuangkat di ‘Negeri Tanpa
Telinga’, terbersit aja dari
nonton televisi. Ada teman
di parlemen, aku tanya
tentang banyak hal. Terus-terang
aku buta politik,
jadi pengen lebih tahu
bagaimana orang-orang
di dalamnya. Ternyata
banyak busuknya dan
penuh intrik. Dalam film
sebaliknya, kita nggak bisa
berpolitik, kita harus jujur.
Nah, itu bertolak belakang
dengan politik, maka
aku nggak bisa jadi
politikus.
32. 32 l Kinescope l Edisi 10 l 2014
Menurut saya, debutmu
sebagai sutradara di ‘Betina’
adalah sebuah bentuk
perlawanan terhadap industri
film di Tanah Air pada masa
itu. Setelah itu kamu membuat
‘Minggu Pagi di Victoria Park’,
‘Kisah 3 Titik’, ‘Negeri Tanpa
Telinga’, boleh cerita bagaimana
proses kreatifmu berkembang
dari waktu ke waktu?
‘Betina’ itu kan film yang sangat
personal, film pertama dan bikinnya
dua tahun. Setahun pertama uang
habis, tapi belum kelar dan
baru tahun
depannya diterusin. Saking
kepengennya punya karya gitu,
semua orang belum ada yang
percaya apalagi ceritanya arthouse
gitu, hanya beberapa orang yang
paham. Bioskop 21 pun nggak
bisa nerima karena formatnya
bukan seluloid. Akhirnya kami
mengedarkannya ke kampus-kampus
dan festival. Secara value
itu dapet banget, tapi secara materi
sama sekali enggak.
‘Kisah 3 Titik’ ide awalnya dari
demo-demo buruh. Kalau nggak
upah naik, terus aturan outsourcing,
ada banyak banget yang tidak
terselesaikan. Nah, itu juga riset
ke tiga tempat, ke buruhnya, ke
pengusahanya, dan ke pemerintah.
Dan kebetulan pada saat itu
memang Kementerian Tenaga
Kerja mendukung secara finansial,
budgetnya cukup untuk membuat
film yang kita inginkan, dan itu
menyenangkan.
Sebelum ‘Kisah 3 Titik’, aku
bikin ‘Sanubari Jakarta’ tentang
LGBT (lesbian, gay, bisexual, and
transgender). Prosesnya dari ngopi-ngopi
bareng teman-teman dan
lumayan hits karena omnibus juga
masih baru. Itu juga film indie
yang kami danai sendiri oleh
masing-masing sutradaranya
yang berjumlah 10 orang. Lalu
tiba-tiba kami semua kaget,
bioskop 21 bisa nerima film
jenis begitu, itu blessing in
disguise juga, ternyata bisa
menjadi panutan buat sutradara
lain untuk bikin yang serupa.
Kemudian kan ada
‘Rectoverso’, ‘Hi5teria’, dan lain-lain,
itu cukup senang sih. Dan
aku ngambilnya waktu itu memang
acak, ada artis, ada sutradara, ada
orang biasa, kami gabungin, jadinya
seperti itu, dan temanya LGBT pula!
Ketika film ini tayang, banyak yang
pada nunggu DVD-nya rilis karena
pada takut nonton (di bioskop).
Dalam ‘Novel Tanpa Hurup R’
kamu jadi produser sekaligus
pemain, dalam ‘Betina’ kamu
jadi sutradara namun tidak ikut
bermain, dalam ‘Minggu Pagi di
Victoria Park’ kamu jadi sutradara
sekaligus ikut bermain, di ‘Kisah
3 Titik’ kamu ikut bermain juga,
dalam ‘Negeri Tanpa Telinga’
kamu tak ikut bermain. Apa sih
pertimbanganmu?
Di ‘Betina’ aku sebagai produser
sekaligus director. Produksinya
memang pakai uang sendiri, jadi aku
ingin jadi produser dan nge-direct.
‘Novel Tanpa Hurup R’ waktu itu
Aria (Kusumadewa) yang minta
aku main, padahal posisi produser
juga berat pada saat itu. ‘Minggu
Pagi di Victoria Park’ awalnya sih
ke sutradara, tapi produsernya,
Bu Dewi bilang, kalau aku ngerti
banget masalah ini, jadi mendingan
ikut main.
Di film ‘Kisah 3 Titik’ menterinya
yang minta aku main, padahal aku
mau konsentrasi jadi produser aja.
Kemudian kupikir, oh ya udahlah
produserin dan main nggak terlalu
berat, yang paling berat itu nge-direct
dan sambil main juga, itu
yang terjadi di ‘Minggu Pagi di
Victoria Park’, sulit untuk terulang
lagi kecuali aku punya co-director
yang kuat ya, dan budget yang
besar.
Menurutmu apa yang membuat
sebuah film itu bagus? Adakah
kualitas tertentu yang harus
dimiliki sebuah film?
Bagus atau jelek itu relatif,
kuat atau lemah itu relatif. Tapi
yang paling penting film itu
punya tiga unsur; estetika, etika,
logika. Kemudian film harus bisa
komunikatif dengan penonton.
Estetika itu kan lebih ke teknis,
warna baju, warna background, dan
set-nya itu kan menggambarkan
estetika pembuatnya. Kemudian
ruangnya segala macam karena
film itu merupakan seni yang
paling bungsu di mana semua
seni tergabung di situ dari mulai
seni rupa, seni akting, seni musik,
fotografi, penulisan, dan lain-lain.
Bila misalnya satu unsur aja nggak
ada, bukan film namanya.
Apa pelajaran terpenting yang
pernah kamu dapatkan yang
memiliki pengaruh positif
terhadap karyamu? Dan,
bagaimana pelajaran itu terjadi?
Bekerja di dunia film. Membuat
sebuah film itu waktunya panjang,
orangnya banyak, menjadi leader
di antara sekian banyak kru dan
pemain. Keputusan harus diambil,
suasana segenting apa pun tetap
harus ada keputusan dan itu (tugas)
director. Di situlah aku belajar untuk
ambil keputusan dengan cepat dan
33. 2014 l Edisi 10 l Kinescope l33
tepat, belajar jadi pemimpin, belajar
untuk tahu psikologi orang secara
bersamaan.
Ada istilah dalam filmmaking,
it all starts with the script. Nah,
kapan kiranya kamu tahu ketika
skrip yang kamu tulis siap untuk
diproduksi?
Paling nggak draft 1, belum
ketahuan sih udah siap syuting atau
nggak, tapi paling nggak draft 1 itu
udah ketahuan budgetnya, berapa
hari syuting, berapa pemain, dan
lainya. Artinya, dengan menghitung
budget di draft 1, aku udah
bisa presentasi. Bisa kebayang
dengan panduan draft 1, kami
bisa persiapan tiga bulan, syuting
sebulan, uangnya sekian. Namun
untuk menuju draft 1 juga kan
nggak sebentar.
Film lebih dari sekedar bentu
seni pop lainnya, ia kompromi di
antara seni dan komersialisasi.
Bagaimana karyamu terbentuk
oleh ada-tidak-adanya uang?
Apakah kamu berkarya dengan
pembatasan budget dalam
benakmu?
Aku ambil contoh misalnya
‘Negeri Tanpa Telinga’ atau ‘Minggu
Pagi di Victoria Park’. Secara cerita
itu based on true events. Jadi
ketika harus dikompromikan, bagian
yang mana? Karena kita tidak bisa
membohongi realitas misalnya
mengurangi jumlah, angka, dan lain-lain
itu nggak bisa. Kita harus punya
win-win solution supaya berimbang.
Film itu budget orientation atau
idea orientation, jadi melihat standar
pembuatan film secara jumlah rupiah
di Indonesia itu masuk akal nggak?
Tapi kalau untuk idea oriented aja,
juga hampir mungkin. Jadi lebih ke
idenya, gimana lebih bisa ditekan
budgetnya. Pemainnya sedikit,
setting sedikit, tapi ceritanya kuat.
Kalau ‘The Raid’ udah jelas
mereka distribusi sampai ke luar
negeri dan itu bisa ditiru jadi contoh
yang baik untuk distribusinya.
Berharap Gareth Evans bisa jadi
agen buat film Indonesia, untuk
bawa film Indonesia ke luar
negeri dan bisa menolong teman-teman
sineas di sini untuk bisa
mendistribusikan filmnya keluar
Indonesia.
Peluang dan tantangan apa saja
yang dihadapi perempuan dalam
industri film?
Sebenarnya nggak ada
perbedaan dengan laki-laki, cuma
mungkin jumlah perempuan yang
terjun ke dunia film, apalagi di
belakang layar masih sedikit.
Kenapa kubilang sedikit, mungkin
perempuan-perempuan yang sudah
bersuami khawatir masalah jam
kerja. Di Indonesia budayanya masih
sulit untuk disamakan dengan luar
negeri, kecuali perempuan yang
single yang mengatur waktu sendiri.
Apalagi dunia film kan selain jam
kerjanya juga nggak jelas gitu,
kadang pulang pagi, masuk kerja
jam 2 siang, syuting dua bulan
meninggalkan keluarga.
Bisnis film di negeri kita ini fair
nggak?
Dalam hal apa dulu nih? Misalnya
hasil pembagian tiket, kayak tadi
soal monopoli, itu nggak fair. Selain
monopoli, menomorsatukan film
asing juga nggak fair. Pemerintah
juga nggak support, misalnya
pajak film yang sudah didapatkan
dari setahun lalu, pada ke mana?
Katanya harusnya mungkin bisa
dibagi untuk filmmker agar bisa
produksi film lagi.
Bila di Amerika pemerintahnya
mengerti bahwa film itu jendela
budaya, propaganda, dan penting
buat negara mereka. Misalnya tanpa
sadar segala hal berbau Amerika
itu ada di film, misalnya Captain
America, Crazy Alabama, Living Las
Vegas, New York I Love You, semua
pakai nama kota atau tempat yang
secara nggak langsung bikin kita jadi
kepengen lihat dan pergi ke sana. Di
Indonesia belum ada studio macam
di Hollywood yang untuk bikin film
seperti Titanic aja bisa dengan
CGI. Sekarang kita mau syuting di
bandara, tau nggak betapa susahnya
izin syuting di sana dan betapa
mahalnya kalau dapat izin, dan
itupun sangat terbatas waktunya.
Sementara, bagimana film mau
bagus kalau dari yang kecil-kecil saja
sudah nggak didukung.
Kamu pernah menerima
penghargaan best director di
Jiffest untuk ‘Minggu Pagi di
Victoria Park’, seberapa penting
peranan festival film dalam
pandanganmu?
Penting buat yang punya
kepentingan. Terus kayak menang
di Jiffest. At least aku senang,
bangga, tapi setelah itu ya sudah,
aku harus berjuang lagi, bikin film
lagi, nyari duit lagi, nyari ide lagi.
Bukan setelah menang, terlena
lalu berkoar-koar. Jadi soal festival,
menang piala, penghargaan, hadiah,
itu bisa membunuh kita bila kita
nggak manage dengan benar, jadi
sombong juga.
Gimana caramu menyikapi kritik?
Positif. Karena bila nggak ada
kritik kita nggak akan bisa maju.
Kritik dari sumber yang benar, kritik
yang dapat membangun, kritik yang
memang bisa dipercaya. Acuanku
biasanya ada filmindonesia.or.id,
Detikcom, ada juga Tempo dan kritik
mereka nggak ada yang sama. Tapi
namanya kritik, nggak ada yang
salah, nggak ada yang benar, itu kan
opini.
Tapi paling tidak, sejelek apa
pun filmnya, kita harus menghargai
bahwa mereka sudah kerja keras
untuk itu. Kritik negatif itu juga salah
satu alasan mengapa film Indonesia
nggak maju-maju. Walaupun jelek
menurut kritik, tapi jeleknya harus
bisa dijelaskan dan harus berimbang
ulasannya. Dan memang, rata-rata
orang Indonesia masih sulit untuk
nerima kritik. Dan itu tahapannya
juga berat untuk bisa sampai ke
tahap “ya udah yang penting udah
bikin...”
Bila ada satu dua hal yang dapat
membuat industri film di sini jadi
lebih baik, itu apa?
Support dari semua pihak.
pemerintah, dari lembaga sensor,
beberapa lembaga yang berkaitan
dengan film, dari pengusaha-pengusaha
yang harusnya sadar
bahwa film itu seperti di Amerika,
bisa jadi jendela dunia, bisa jadi alat
propaganda, dan bisa membawa
film Indonesia lebih mudah diakses.
Selain di dalam negeri dengan
menambah jumlah bioskop yang
tidak dimonopoli, pro film Indonesia,
dan mereka memudahkan kita
untuk bisa berangkat ke luar negeri
dengan membawa peralatan kita.
Dukungan semua pihak, kalau cuma
segelintir orang dan lembaga sih
masih kurang.
34. 34 l Kinescope l Edisi 10 l 2014
OPINI
PRIMI ROHIMI
Film-film keagamaan yang
disutradarai oleh Imam
Tantowi, Khairul Umam,
dan Dedy Mizwar, biasanya
bertema Islam. Judul-judul
seperti Titian Rambut Dibelah
Tujuh, Al-Kautsar kemudian film-film
legenda yang mengisahkan
Wali Songo juga bisa dilihat sebagai
genre keagamaan (Taufik, 2008: 90).
Peran perempuan sangat
menarik jika dikaji dalam
kaitannya dengan syariat Islam
di Indonesia dalam film Indonesia
bertema Islam. Menurut Veronika
Kusumaryati, kurator VFF 2010,
selama ini peran perempuan tidak
pernah dianggap penting dalam
penerapan syariat Islam. Selain
itu, perempuan kerap menjadi
korban yang paling terlihat dalam
penerapan syariat Islam (http://
www.tempointeraktif.com diakses
pada tanggal 24 Januari 2010).
Misalnya dalam film Ayat-ayat Cinta
(2008), peran perempuan sebagai
penentu dalam perjodohan tidak
direspon penonton dan kritikus
film. Dalam film tersebut justru isu
poligami dan kekerasan terhadap
Simbol-simbol Islam hadir dalam perfilman sudah sejak lama.
Terdapat berbagai macam jenis film di Indonesia, salah satunya yang
berhubungan dengan aktivitas dakwah adalah film yang bertema
Islam.
FILM INDONESIA
BERTEMA ISLAM
DAN MITOS
PEREMPUAN
SEBUAH THESIS:
35. 2014 l Edisi 10 l Kinescope l35
perempuan dalam Islam yang selalu
menjadi pembahasan.
Tradisi patriarkhi dalam Islam
memunculkan mitos perempuan
hanya menjadi subjek dakwah di
dalam rumah dengan perannya
sebagai ibu. Padahal sejak awal
Islam muncul, perempuan telah
memainkan peran penting dalam
kemajuan dakwah Islam. Mulai dari
pengorbanan Sumayyah hingga
peran Aisyah dalam pengumpulan
hadist-hadist, perempuan telah
berperan dalam mengembangkan
dan menyebarkan Islam.
Tampaknya ada perbedaan
penampilan perempuan dalam
film Indonesia bertema Islam
dibandingkan dengan film bertema
lainnya. Perbedaan yang terlihat
jelas adalah pada kostum. Tokoh
perempuan dalam film Indonesia
bertema Islam sering ditampilkan
mengenakan busana muslimah
atau setidaknya lebih tertutup
dibandingkan film yang tidak
bertema Islam. Penggunaan
kerudung atau jilbab pun seperti
sudah menjadi ikon dalam film
bertema Islam. Entah jilbab besar,
jilbab yang in fashion, atau sekedar
selendang dan kain tudung kepala.
Perbedaan lain adalah pada
penokohan. Perempuan yang
menjadi bagian dari film bertema
Islam cenderung sebagai muslimah
yang berakhlakul karimah, berbicara
dengan halus dan sopan serta
berwajah cantik. Peran-peran
protagonis atau setidaknya netral
menjadi stereotip perempuan
dalam film bertema Islam.
Seorang ibu yang sabar,
anak gadis yang
penurut, atau istri
yang berbakti pada
suaminya. Kalaupun
perempuan dalam
film bertema Islam
harus digambarkan
sebagai sosok
antagonis
maka kostum
yang dikenakan
cenderung dibedakan
dengan muslimah
protagonis yang berjilbab
walaupun pemeran antagonis itu
pun adalah seorang muslimah.
Perbedaan lain yang juga
tampak yaitu bahwa film
Indonesia bertema Islam tidak
ada eksploitasi wajah dan bagian
tubuh yang berlebihan melalui shot
kamera. Ada kesan implementasi
etika memandang secara Islam yang
harus dilakukan oleh sutradara. Hal
ini karena cara pandang sutradara
akan mempengaruhi cara khalayak
film melihat objek yang ditampilkan
dalam film. Melihat objek kamera
dalam film bertema Islam tidak
lagi menggunakan male gaze
(tatapan pria) tetapi harus dengan
cara yang syari. Cara memandang
lawan jenis dalam Islam hanya
terbatas pada bagian tubuh yang
bukan aurat yaitu untuk perempuan
adalah wajah dan telapak tangan.
Sedangkan dalam film bertema
percintaan bahkan horor, wajah
dan bagian tubuh yang seharusnya
tidak ditampilkan (belahan dada,
paha, dan perut), justru ditampilkan
dengan close up.
Penelitian tentang film Indonesia
bertema Islam sebagai film dakwah,
film religi, maupun film islami
muncul pada tahun 2000-an
ketika film Indonesia bertema
Islam mengalami booming dan
ketika kajian Islam semakin
tumbuh. Menarik sekali jika bisa
melihat dan menemukan
perubahan film
Indonesia bertema
Islam tahun
1980-an hingga
tahun 2010.
Penelitian yang
masih sedikit
adalah penelitian
dan/atau
kajian tentang
perempuan
dalam film
Indonesia bertema
Islam.
Apalagi
pemetaan
tentang
kehadiran
tokoh
perempuan
dalam rentang perjalanan film
Indonesia bertema Islam yang
ternyata memiliki periode masa
yang telah lama. Penelitian ini
dibatasi hanya pada tokoh (karakter)
perempuan dalam film karena
kehadiran perempuan dalam dunia
film Indonesia bertema Islam tidak
hanya sebagai pemain tapi ada
juga yang berperan sebagai film
makers. Namun efek yang lebih
terasa adalah pencitraan tokoh
(karakter) perempuan. Maka menarik
pula jika bisa melihat dan
menemukan perubahan representasi
tokoh perempuan dalam film
Indonesia bertema Islam tahun
1980-an hingga tahun 2010.
FILM SEBAGAI MEDIA DAKWAH
Media dakwah yang komunikatif
ada yang bersifat visual, auditif,
ataupun audio visual. Chusana
dalam penelitiannya menyebutkan
bahwa salah satu alternatif media
tersebut adalah melalui film (2007).
Film terbukti bisa menjadi sarana
dakwah yang efektif. Film dapat
dengan mudah menyampaikan
nilai-nilai ajaran Islam dengan
cara non doktrinasi. Film bisa
dengan menarik menyampaikan
pesan-pesan akidah, syari’ah, dan
akhlak (Munif, 2004; Fauzi, 2009;
Hidayatullah, 2010).
Hasil penelitian Munif pada
tahun 2004 dalam film Children
of Heaven menyebutkan bahwa
film Children of Heaven menjadi
media untuk menyampaikan
pesan-pesan dakwah. Pesan-pesan
dakwah di antaranya adalah
akidah, syaria’h dan akhlak. Pesan-pesan
dakwah tersebut juga
ditemukan oleh Chusana (2006)
dalam film Kiamat Sudah
Dekat. Dalam penelitian
Chusana, pendekatan
yang digunakan sama
dengan penelitian yang
dilakukan Munif. Mereka
menggunakan pendekatan
kualitatif dengan analisis
semiotik.
Pendekatan kualitatif lainnya
adalah dengan analisis wacana
seperti yang dilakukan oleh Fauzi
36. 36 l Kinescope l Edisi 10 l 2014
(2009) ketika meneliti pesan dakwah
dalam film Do’a Yang Mengancam.
Fauzi menemukan bahwa pesan
dakwah dalam film Do’a Yang
Mengancam adalah pesan-pesan
tentang akhlaq, syari’ah,
dan aqidah. Ternyata dengan
pendekatan kuantitatif pun film bisa
disimpulkan sebagai media dakwah.
Ini bisa dibaca dari hasil penelitian
Hidayatullah yang meneliti pesan
dakwah dalam film My Name Is
Khan (2010) dengan analisis isi.
Hakim dalam artikelnya tentang
“Citra Islam dalam Film dan
Sinetron” (2010) berpendapat
bahwa pada tahun 1990an, genre
film religi adalah bercorak Islam
urban, sedangkan pada tahun
1980-an genre film religi lebih
banyak berlatar Islam pedesaan.
Film religi era 1980an dan 1990an
menampilkan Islam sebagai agama
mistis-dogmatis.
Beberapa pemerhati film
mengelompokkan film-film
bertema Islam sebagai film religi.
Seperti artikel yang ditulis oleh
Patawari (lulusan IKJ yang aktif
dalam Cinema Kelana) dalam
situsnya www.cinephilia-cine.
blogspot.com, dia merumuskan
bahwa film religi
merupakan sub genre
dari film drama yang
mengangkat agama
sebagai tema
sentralnya.
Simbol-simbol
Islam dalam film
Indonesia
ini dikritisi oleh Ashaf (2008)
sebagai keniscayaan sejarah
Indonesia, mengingat dunia hiburan
berusaha melayani penontonnya
yang sebagian besar muslim.
Selain itu, Islam adalah tema yang
menarik karena ketegangan muslim
dalam menghadapi modernitas.
Ashaf menyimpulkan dalam film
Indonesia bertema Islam terdapat
dua jenis tema religius yaitu
religius mantra dan religius praksis.
Aminudin pada tahun 2010
melakukan analisis pada simbol-simbol
Islam yang muncul dalam
film Indonesia pasca orde baru.
Menurutnya simbol-simbol tersebut
terrepresentasikan dalam wujud
mistic synthetic dimana terjadi
akulturasi antara kebudayaan Islam
tradisional yang bertemu dengan
Islam modernis.
Teori Ashaf dan Aminudin ini
bisa diperjelas secara aplikatif oleh
penelitian yang dilakukan oleh
Wardani (2010). Wardani meneliti
tentang simbol- simbol keagamaan
dalam film Perempuan Berkalung
Sorban. Dengan
analisis
resepsi,
Wardani menemukan bahwa
interpretasi para informan
dalam menyaksikan film
Perempuan Berkalung Sorban
dapat dikelompokkan sesuai posisi
decoding khalayak Hall yaitu posisi
dominan hegemonik, negosiasi dan
oposisional.
Nampaknya pendekatan kualitatif
khususnya dengan analisis semiotik
menjadi alat yang sering digunakan
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
tentang simbol-simbol
Islam dalam film Indonesia bertema
Islam. Penelitian “Pesan Moral
Islami dalam Film Ayat-Ayat
Cinta” menggunakan analisis
Semiotik model Roland Barthes dan
model Wacana Van Dijk (Zakiyah,
2008).
MITOS PEREMPUAN DALAM
FILM
Studi Semiotika Representasi
Perempuan Muslim pada Tokoh
Annisa Dalam Film Perempuan
Berkalung Sorban Karya Hanung
Bramantyo, diteliti oleh Five
Yuniartin Cholil (2010). Penelitian
ini mengangkat tema tentang
gender perempuan dalam kehidupan
keluarga dan aturan pondok
pesantren salafiah yang memiliki
budaya Islam patriarkhi. Film ini
berfungsi untuk menyajikan realita
yang ada dalam masyarakat
bahwa tugas seorang perempuan
tidak selalu mengurus pekerjaan
rumah tangga saja, melainkan
mereka juga memiliki hak
untuk melakukan aktivitas di luar
37. 2014 l Edisi 10 l Kinescope l37
rumah tetapi tidak boleh sampai
melampaui kodratnya.
Namun karena budaya patriarkhi
masih melekat dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari membuat
posisi Annisa (objek dalam
penelitian ini) harus mengikuti
budaya patriarkhi tersebut dengan
menurut terhadap aturan dari
abinya (Kiai Hanan). Metode
penelitian skripsi ini menggunakan
analisis semiology Roland Barthes
untuk menganalisis tanda-tanda
representasi Annisa yang disajikan
dalam film dan mengetahui mitos
tentang perempuan muslim. Selain
menggunakan teori semiology,
peneliti juga menggunakan teori
gender perempuan dalam Islam
untuk memberikan penjelasan
terhadap tanda-tanda representasi
Annisa dalam film.
Kesimpulannya, bahwa Annisa
mampu menunjukkan kepada
lingkungannya jika ia adalah
perempuan yang mandiri, memiliki
posisi yang sederajat dengan laki-laki,
dan mampu mengubah gaya
berfikir Islam patriarkhi keluarga
dan pondok pesantrennya. Ia
menunjukkan bahwa perempuan
juga memiliki kemampuan yang
sama dengan laki-laki dan
kebebasan untuk menentukan
pilihannya sendiri namun tetap
berpegangan pada kaidah Islam.
Beroperasinya ideologi melalui
semiotika mitos dapat ditengarai
melalui asosiasi yang melekat
dalam bahasa konotatif. Barthes
mengatakan penggunaan konotasi
dalam teks ini sebagai penciptaan
mitos. Ada banyak mitos yang
diciptakan media di sekitar kita,
misalnya mitos tentang kecantikan,
keberanian, pembagian peran
domestik versus peran publik dan
banyak lagi. Mitos ini bermain
dalam tingkat bahasa yang oleh
Barthes disebutnya meta-language
(Strinati, 1995:113).
Hasil interpretasi makna konotasi
di atas menunjukkan kesan adanya
beberapa mitos dan aturan tentang
perempuan dalam film Indonesia
bertema Islam. Mitos-mitos
tersebut merupakan stereotip
perempuan yang dilabelkan oleh
masyarakat. Perempuan yang
tidak sesuai dengan gambaran
stereotype tersebut cenderung
mengalami anihilisasi dengan
interpretasi terhadap tafsiran ayat al
Quran, hadits dan beberapa kitab.
Mitos-mitos tersebut terkesan
ditampilkan ada yang bergeser dan
ada yang tetap atau sama atau tidak
bergeser. Mitos yang tidak bergeser
di antaranya istri yang tunduk
pada suami; perempuan sebagai
simbol kemiskinan; perempuan tidak
meminta tapi diminta; perempuan
tidak perlu mempunyai kemampuan
seni bela diri; perempuan bersifat
emosional; pendidikan moral dan
pengasuhan anak sebagai tanggung
jawab ibu; tidak adanya kekuasaan
ibu dalam menghukum anak-anaknya;
perempuan adalah korban
kekerasan.
Mitos yang bergeser di antaranya
perempuan menghentikan kekerasan
dengan tangisan dan kecantikan
sebagai kemampuan perempuan
dalam menyelesaikan masalah
ditampilkan berbeda karena
perempuan bisa menyelesaikan
masalah dengan ide dan komunikasi
yang dilakukannya; istri adalah pihak
yang sering bersalah ditampilkan
berbeda karena istri lebih dihormati;
ketidakberdayaan perempuan
sebagai korban ditampilkan
berbeda karena perempuan
akhirnya bisa memperjuangkan
ketidakberdayaannya; pekerjaan
perempuan ditampilkan berbeda
karena jenis pekerjaan perempuan
sudah bervariasi; ketidakpandaian
perempuan dalam menyimpulkan
sesuatu ditampilkan berbeda
karena perempuan bahkan bisa
38. 38 l Kinescope l Edisi 10 l 2014
menempuh studi lanjut; mudahnya
menarik perhatian perempuan
ditampilkan berbeda karena
perempuan hanya tertarik
dengan hal-hal yang
menjadi minatnya;
perempuan tidak boleh
menjadi pemimpin
ditampilkan berbeda
karena perempuan
memiliki keberanian
memimpin diri
sendiri, keluarga dan
komunitasnya.
Analisa tersebut
memunculkan kesan
bahwa pergeseran
mitos perempuan
dalam film Indonesia
bertema Islam pada
beberapa hal sudah
benar-benar bergeser.
Namun di beberapa
mitos hanya berubah
bentuk representasinya,
tidak sepenuhnya
berubah. Ini bisa jadi
karena interpretasi
atas teks-teks Islam
yang melandasi mitos
tersebut. Namun yang
pasti, Islam dalam
merepresentasikan
tokoh perempuan
dalam film, terkesan
lebih etis.
REPRESENTASI
PEREMPUAN
DALAM FILM
INDONESIA
Salah satu
pustaka penting
yang membahas
perempuan, Islam,
dan film yaitu
buku yang ditulis
oleh Colin.
Buku yang
merupakan
hasil
penelitiannya
ini berjudul
Women, Islam
and Cinema
(2004). Fokus
penelitiannya
adalah
film-film
di Iran dan
Turki, Kazakhstan dan Uzbekistan,
Pakistan, Bangladesh, Malaysia dan
Indonesia, serta India. Menurutnya,
di Indonesia, perempuan membuat
film mengikuti sudut pandang laki-laki.
Representasi perempuan dalam
film Indonesia dan hubungannya
dengan agama dalam buku ini
terasa kurang sesuai. Ini karena
Colin menggunakan objek film
Roro Mendut yang terasa kurang
sesuai jika dikategorikan sebagai
film Islam. Representasi pun masih
sebatas tanda denotatif atau makna
yang nampak. Colin masih belum
bisa dengan kritis melihat kaitan
makna tampilan perempuan dalam
film Indonesia khususnya yang
bertema Islam.
Membahas interaksi antara
perempuan dan film, tidak terlepas
dari membahas posisi perempuan
yang tidak menguntungkan dalam
film. Menurut Ashaf (2007) adalah
sah apabila film menempatkan
perempuan pada posisi yang
tidak menguntungkan. Ini karena
film merupakan media yang
menggambarkan suasana konflik
sosial politik. Konflik adalah domain
yang dipersepsikan sebagai milik
laki-laki, dan perempuan senantiasa
menjadi korbannya.
Perempuan Indonesia tidak
selalu dalam posisi lemah.
Sosok ibu dalam film merupakan
sosok yang sering ditampilkan.
Karena seringnya maka khalayak
tidak melihat bahwa sosok ibu
sebenarnya merupakan tokoh
sentral. Gambaran sosok ibu
menjadi pembahasan dalam film
Indonesia seperti dalam film
Rindu Kami padaMU, yang pernah
menjadi subyek penelitian pada
tahun 2007. Hasil penelitian
terhadap film ini menunjukkan ibu
direpresentasikan sebagai sosok
yang sangat menyayangi anaknya,
penuh kehangatan, dan keramahan.
Ibu juga direpresentasikan sebagai
sosok yang mampu mengerti
kebutuhan dan keinginan anak-anaknya.
Berdasarkan representasi
tersebut ibu ditampilkan sebagai
sosok yang dominan dalam
rumah tangga yang selalu bisa
diandalkan oleh anggota keluarga
lain. Petuah-petuah yang diajarkan
ibu kepada anak menjadikan ibu
39. 2014 l Edisi 10 l Kinescope l39
sebagai simbol moralitas bagi anak.
Disini ibu mewakili superego anak-anak
dimana setiap kebijakan ibu
haruslah ditaati. Hal ini tidak lepas
dari budaya masyarakat Indonesia
yang menganggap ibu sebagai
pusat rumah tangga. Selain itu,
agama Islam juga berpengaruh
di mana ajaran Islam menekankan
bahwa ibu adalah sosok yang
harus dihormati lebih besar dari
pada ayah. Kelemahlembutan dan
kasih sayang ibu dalam dimensi
barat dianggap sebagai sebuah
kelemahan perempuan.
Namun dalam film ini
kelembutan dan kasih sayang
ibu merupakan bentuk lain dari
sebuah kekuasaan wanita terhadap
suami dan anak-anaknya. Sebuah
kekuasaan yang sama sekali tidak
mengancam bagi orang-orang
yang dikuasai. Interpretasi seperti
ini bukan murni subyektifitas
peneliti. Film yang disutradarai
Garin hampir selalu menampilkan
hal-hal yang jarang ditangkap oleh
masyarakat namun merupakan
fakta yang ada di sekitar kita. Garin
tidak menunjukkan ketertindasan
perempuan sebagai suatu hal
yang lemah namun ketertindasan
tersebut dilihat sebagai bentuk
kekuatan atau resistensi yaitu
perjuangan.
Tampilan perempuan dalam film
Indonesia bertema Islam memiliki
perbedaan yang menonjol
dibanding tampilan perempuan
dalam genre film lainnya. Ini
karena nilai Islam yang memberikan
gambaran tertentu terhadap
perempuan Islam (muslimah). Tidak
mengherankan film-film Indonesia
bertema Islam kental dengan shot
dan adegan yang menampilkan
perempuan Islam yang berbau fiqih
seperti tokoh utama perempuan
pasti menggunakan kerudung
atau setidaknya berkostum sopan.
Misalnya dalam film-film Nada dan
Dakwah, Ayat- ayat Cinta, Syahadat
Cinta, Ketika Cinta Bertasbih 1&2
dan Perempuan Berkalung Sorban.
Penelitian tentang perempuan
dalam film Indonesia bertema
Islam mulai bermunculan ketika
film Perempuan Berkalung
Sorban menimbulkan pro kontra.
Di antaranya adalah penelitian
tentang Pemberontakan Perempuan
Pesantren (Analisis Pesan Dakwah
Perspektif Gender dalam Film
Perempuan Berkalung Sorban)
pada tahun 2009. Dengan analisis
isi, penelitian ini menemukan
bahwa pesan dakwah dengan
perspektif gender yang terkandung
dalam film Perempuan Berkalung
Sorban adalah yang berhubungan
dengan syariah dan akhlaq. Bentuk
ketidakadilan gender yang paling
menonjol dalam film Perempuan
Berkalung Sorban adalah kekerasan
(violence) terhadap perempuan
yang berupa kekerasan yang
berbentuk pemerkosaan dalam
perkawinan, kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) yaitu adanya tindak
pemukulan dan kekerasan dengan
bentuk pelecehan seksual.
Penelitian dengan subyek
perempuan dan obyek yang sama
yaitu film Perempuan Berkalung
Sorban juga pernah dilakukan
pada tahun 2010. Menurut
penelitian ini, film Perempuan
Berkalung Sorban menunjukkan
perempuan dalam menghadapi
berbagai bentuk diskriminasi
dalam kehidupan sehari-hari di
sebuah pesantren tradisional
yang kental akan budaya patriarki.
Terlepas dari pro kontranya
dalam merepresentasikan kondisi
perempuan dalam pesantren,
film ini menunjukkan anggapan
bahwa perempuan menempati
posisi inferior dari laki-laki.
Anggapan bahwa perempuan
hanya merupakan obyek pelengkap
atau pelayan dari laki-laki, hingga
berbagai tindak kekerasan yang
dilakukan laki-laki terhadap
perempuan ditampilkan dalam film
ini.
Film ini pada akhirnya juga
menunjukkan bagaimana
perempuan mampu membebaskan
diri dari kehidupan yang
diskriminatif dan kekerasan. Dengan
intelektualitas dan kemandirian
secara ekonomi, perempuan
kemudian menjadi manusia yang
dapat meraih kebahagiaan dan
mampu menentukan nasibnya
sendiri. Lebih dari itu, perempuan
bahkan mampu membuat
perubahan terhadap lingkungannya
yang diskriminatif terhadap
perempuan tersebut sehingga
mengetahui pentingnya kesetaraan
jender.
40. 40 l Kinescope l Edisi 10 l 2014
Sejak 8 tahun yang lalu,
“DocDays” telah menjadi
tempat bagi para sineas
film documenter untuk
mengekspresikan kreativitas dan
preferensi untuk film dokumenter
mereka. Acara kami terdiri
dari Screening In, Screening Out,
Grand Discussion dan Awarding
Night yang dihadiri oleh para
sineas film dari berbagai usia,
kelompok, dan tempat-tempat di
seluruh negeri.
Voice of The Voiceless adalah
tema besar dari Festival dan
Kompetisi Documentary Days
2014. Melalui tema ini, film
dokumenter menjadi sarana
dalam memperkenalkan masalah-masalah
yang kurang terdengar
di masyarakat luas dalam hal Hak
Asasi Manusia, Sosial Budaya, dan
Politik. Pada ini, kami tidak hanya
memutar film dari Indonesia, tetapi
juga Asia bahkan pula Global.
Voice of The Voiceless membahas
mengenai permasalahan-permasalahan
yang seharusnya
dapat diketahui,direfleksikan,
diamati, diselidiki, dan bahkan
diperbaiki membentuk perubahan
yang lebih baik.
Voice of The Voiceless AULIA RIZKY
DocDays UI 2014:
Mahasiswa Universitas Indonesia yang tergabung
dalam Badan Otonom Economica FEUI (BOE FEUI)
kembali mengadakan pagelaran Documentary
Days 2014 dengan tema “Voice of the Voiceless”.
Documentary Days 2014 merupakan Festival Film
Dokumenter skala nasional yang setiap tahunnya
diselenggarakan di bawah salah satu organisasi tertua di
Universitas Indonesia, Badan Otonom Economica FEUI.
Dalam perhelatan ini, juga
disediakan hadiah bagi film-film
terbaik, yaitu:
Juara 1: Rp 3.000.000
Juara 2: Rp 2.500.000
Juara 3: Rp 1.500.000
Film Favorit Pilihan Penonton:
Rp 500.000,
Best Cinematography
Rp 500.000
Best Idea:
Rp 500.000
LIPUTAN
41. 2014 l Edisi 10 l Kinescope l41
Pemutaran & Diskusi
Film KOLEKTIF Surabaya
Bulan Oktober ini,
pemutaran Kolektif
Surabaya kembali
digelar, kali ini
bekerjasama dengan Design It
Yourself, menampilkan film-film
pendek seperti Vulgar (Ladya
Cheryl, 2013, 7’), Lewat
Sepertiga Malam (Orizon
Astonia, 2013,16’), Sepatu
Baru (Aditya Ahmad, 2014,
14’), Someone’s Wife In The
Boat Of Someone’s Husband
(SWITBOSH) (Edwin, 2013, 55’).
SWitboSH merupakan salah satu
dari Jeonju Digital Project 2013,
sedangkan Sepatu Baru telah
mendapat apresiasi di Jogja-
NETPAC Asian Film Festival
(JAFF), XXI Short Film Festival
2014, dan Berlin International
Film Festival yang ke-64.
Selain pemutaran film
pendek ini, Design It Yourself
selama 10-26 Oktober
menampilkan rangkaian acara
kreatif dalam bentuk seminar,
pameran, lokakarya, talkshow,
tur jalan kaki, pemutaran film;
melibatkan desainer lokal dan
internasional. Selengkapnya, cek
http://diysub.com.
Selama bulan
September 2014 hingga
Januari 2015, Babibuta
Film bekerjasama dengan C2O
library & collabtive, Himpunan
Pers Mahasiswa UK Widya
Mandala, dan Wisma Jerman
menyelenggaran program
pemutaran & diskusi film
KOLEKTIF Surabaya.
Pemutaran, disertai dengan
diskusi dengan sutradara
(beberapa sesi melalui Skype),
dilakukan pkl. 16.00-18.00 di
Wisma Jerman, Jl. Taman AIS
Nasution no.15. Pemutaran
menggunakan donasi untuk
mendukung kelangsungan acara
dan mendorong perkembangan
film alternatif di Indonesia.
Tanggal dan judul film
20 September 2014
Rocket Rain
(Anggun Priambodo, 2013, 99’)
11 Oktober 2014
Program film pendek:
• Vulgar (Ladya Cheryl, 2013, 7’
• Lewat Sepertiga Malam (Orizon
Astonia, 2013,16’)
• Sepatu Baru (Aditya Ahmad, 2014,
14’)
• Someone’s Wife In The Boat Of
Someone’s Husband (SWITBOSH) (
Edwin, 2013, 55’)
9 November 2014
Lovely Man (Teddy Soeriaatmadja, 2011,
76’)
13 Desember 2014
Program film Yosep Anggi Noen:
• A Lady Caddy Who Never Saw A
Hole In One (2013, 15”)
• Vakansi Yang Janggal dan
Penyakit Lainnya (2012, 90”)
10 Januari 2015
Selamat Pagi, Malam (Lucky Kuswandi,
2014, 94)
Donasi Rp.20.000 1 program
Rp. 50.000 untuk 3 program
Rp. 80.000 untuk 5 program
Tiket donasi tersedia di:
Aiola Eatery & Cafe, Jl. Slamet no. 16
C2O library & collabtive, Jl. Dr. Cipto 20
Cosmic, Jl. Raya Gubeng 2
Ore Small Business & Cafe, Jl. Untung
Suropati 83
Informasi pemutaran & tiket: Debby
Utomo
HP/WhatsApp: 0838 5788 0369
Twitter: @debbiutomo
Email: debby.deteksi@gmail.com
42. 42 l Kinescope l Edisi 10 l 2014
LIPUTAN
9 l 2014
Wahana Apresiasi Film
Fiksi Pendek
Societo Sineklub sebagai salah satu komunitas film di Universitas
Brawijaya dalam beberapa tahun terakhir menginisiasi kegiatan
pemutaran film fiksi pendek yang bertajuk Brawijaya Movie
Exhibition (BME).
Tepat di bulan Oktober
2014, Brawijaya Movie
Exhibition kembali hadir
dengan nuansa baru bagi
insan perfilman Indonesia sebagai
wahana apresiasi.
Kehadiran lambang terbaru
Brawijaya movie Exhibition yang
terdiri dari dua unsur utama,
yaitu sosok Raden Wijaya
(Prabu Brawijaya) mengartikan
Societo Sineklub sebagai
penyelenggaranya bernaung
dibawah lembaga Universitas
Brawijaya. Mata Prabu Brawijaya
sedang terpejam dan wajah
dengan sisi terang dan gelap
menggambarkan harapan
bagi penyelenggara, sineas
dan penonton untuk memiliki
ketenangan dalam bersikap,
tidak takut menjadi salah
dalam rangka terus berproses
menuju sebuah kebenaran dan
Pita Film melambangkan Film
itu sendiri sebagai ruh utama
penyelenggaraan ajang kegiatan
ini.
Sebagai wahana sederhana
bagi para sineas untuk bersua
dan bertukar gagasan tentang
perfilman pendek di Indonesia.
Melalui program-program non
kompetisi, Brawijaya Movie
Exhibition berkomitmen secara
penuh untuk mewujudkan diri
dalam pembelajaran bagi kita,
baik penyelenggara, pembuat
film, maupun utamanya bagi para
penonton.
Brawijaya Movie Exhibition
(BME) akan diselenggarakan pada
tanggal 10, 11 dan 12 Oktober
2014 di Universitas Brawijaya,
Malang Jawa Timur. Selama tiga
hari nantinya terdapat beberapa
pemutaran, yaitu:
1. Film Utama yang merupakan
film-film fiksi pendek yang
telah lolos kurasi.
2. Film Tamu, bertemakan anak
yang sengaja dirancang
sesuai riset penyelenggara
melihat minimnya film-film
fiksi tentang anak
bila dibandingkan dengan
jumlah anak di Kota Malang
yang mencapai angka
30%. Oleh karena itu,
Brawijaya Movie Exhibition
2014 bersama Sanggar
Cantrik Yogyakarta melalui
Emmanuel Kurniawan dan
Senoaji Julius Sutradara
film “Boncengan” (2012),
“Gazebo” (2013) dan “2B”
(2014) akan membuka ruang
diskusi dengan tema: Film
Anak sebagai alternatif
penceritaan film fiksi pendek
dan tontonan yang layak
untuk media belajar anak.
3. Film Pilihan akan
menghadirkan Riri Reza
bersama film “Kuldesak”
(1998) yang akan membuka
ruang diskusi bagi para
sineas dan penonton.
4. Temu Komunitas Film se-
Indonesia, inilah ruang yang
ditunggu-tunggu untuk
kembali berkumpul dan
berdiskusi terkait kemajuan
komunitas film di Indonesia.
Melalui programnya “Brawijaya
Movie Exhibition” 2014 berusaha
memberikan alternatif-alternatif
gagasan dalam pembuatan film
pendek terutama bagi komunitas
film yang ada di Kota Malang dan
secara umum pada komunitas film
di luar Kota Malang yang telah
menjalin hubungan baik bersama
kami selama beberapa tahun ini.
Untuk informasi lengkap mengenai
program dan pendaftarannya,
dapat dilihat di twitter @
brawijayamovie atau website www.
brawijayamovieexhibition.com.
AULIA RIZKY
Brawijaya Movie Exhibition 2014:
44. 44 l Kinescope l Edisi 10 l 2014
LIPUTAN
Yogyakarta memang ditakdirkan menjadi kota
budaya, karena itulah tak heran jika di kota ini
banyak sekali digelar festival kesenian, beberapa
pekan ini saja sudah digelar acara seperti, Festival
Gamelan, Perkusi, Pasar Kangen, Bedog Art
Festival hingga yang terbesar adalah Festival
Kesenian Yogyakarta (FKY 26).
Bioskop Taman Sari
FKY 26
RIAN SAMIN
9 l 2014
Hari ini Festival Kesenian
Yogyakarta sudah me-masuki
Minggu tera-khir.
Dapat diketahui dari
jumlah pengunjung yang semakin
hari bertambah hingga mencapai
rata-rata 15 ribu pengunjung.
Ketua Umum FKY26 Setyo
Harwanto menjelaskan bahwa antu-siasme
masyarakat untuk mengi-kuti
setiap gelaran kali ini lebih
meningkat dibandingkan dengan
FKY25 tahun lalu, jumlah pengun-jung
harian tertinggi 15.800 dan
tahun ini tembus 32.000 di malam
Minggu. Festival yang digelar mulai
20 Agustus hingga 9 September
2014 ini diadakan di beberapa
titik, hingga merambah di seluruh
Kabupaten Daerah Istimewa Yogya-karta,
dan berpusat di Plasa Pasar
Ngasem.
Satu di antara program di FKY
26 ini adalah bioskop Tamansari
yang diselenggarakan selama 5
hari berturut-turut. Dimulai pada
tanggal 30 Agustus dan berakhir
pada tanggal 3 September 2014.
Mempertunjukkan film-film indie
berkualitas yang tidak bakal dite-mukan
di bioskop lai di Yogya-karta.
Menempati ruang terbuka
di Plataran Tamansari, penonton
dapat menonton film layar lebar
sambil menikmati jajanan rakyat di
landmark Yogyakarta. Beberapa film
yang diputar di Bioskop Taman-sari,
antara lain: Jampi Gugat, Saat
Kudendangkan Adzanku, Kompilasi
45. 2014 l Edisi 19 0l Kl iKniensecsocpoep el l45
Pemenang Festival Film Indie Yog-yakarta
2013, Asmaradhana, Jangan
Panggil Aku Cina, Sunset, 400
Words, Jazz Mben Senen ‘Kancaku’,
dll.
Selain itu juga ada Jogjakarta
Video Mapping Project (JVMP) yang
sempat dipamerkan di Open-ing
FKY 26 di Tugu dihadirkan
kembali ditengah-tengah acara,
dengan memamerkan karyanya
berupa video mapping yang disa-jikan
sesuai dengan tema FKY26
yaitu Dodolan. Menurut Setyo
Harwanto Video mapping merupa-kan
bentuk seni media baru yang
sedang berkembang, dan Yogya-karta
adalah tempat tumbuh bagi
banyak seniman yang mempunyai
akar budaya kuat sekaligus mampu
beradaptasi dengan cepat terhadap
perkembangan teknologi. Di dalam
#JVMP inilah perpaduan kedua hal
tersebut, budaya dan teknologi,
akan diejawantahkan.
“konten Seni Heritage, Seni
Populer, Seni Alternative men-jadi
bauran yang asik dan dapat
dinikmati masyarakat segala usia,”
ungkap Setyo.
10 l Kinescope