SlideShare a Scribd company logo
1 of 88
Download to read offline
2014 l Edisi 10 l Kinescope l1 
Edisi X | 2014 | Rp. 25.000 
PAGELARAN 
TATO MERDEKA 
Film - Seni & Edukasi 
PENUMPASAN PENGKHIANATAN 
AKU, KAU & KUA 
MALAM MINGGU MIKO MOVIE 
MY GIRL 
20 FEET FROM STARDOM 
REVIEW 
Djamaludin 
Malik 
TOKOH 
Lola Amaria 
JALAN PULANG 
LIPUTAN 
INDIE 
INTERVIEW 
Kolosal Sejarah Mumpuni, 
Propaganda Kekuasaan 
G30S/PKI
2 l Kinescope l Edisi 10 l 2014
3 
2014 l Edisi 10 l Kinescope l
4 l Kinescope l Edisi 10 l 2014 
COVER STORY 
16 
14 
18 
20 
24 
26 
10 
REVIEW 
FESTIVAL 
Daftar isi 
72 SURVEI 
SLAMET 52 
ABDUL 
SJUKUR 
46 
34 
34 
OPINI 
TIPS 
FILM INDONESIA BERTEMA ISLAM 
DAN MITOS PEREMPUAN 
5 TIPS UNTUK MENULIS KARAKTER 
YANG BAIK DALAM SKENARIO DARI 
NOAM KROLL 
48 
52 
54 
46 
LIPUTAN 
APRESIASI FILM INDONESIA 2014 
PAMERAN VIDEO 
KONTEMPORER AUSTRALIA 
MERIAHNYA GEMAH RIPAH #2 
PAGELARAN TATO MERDEKA 
G30S/PKI: 
KOLOSAL SEJARAH MUMPUNI, 
PROPAGANDA KEKUASAAN 
AKU, KAU & KUA 
MALAM MINGGU MIKO MOVIE 
MY GIRL 
20 FEET FROM STARDOM 
FKY26 
Cut & Remix 
MAKASSAR FILM FESTIVAL 2014: 
Menceritakan Kembali yang 
Nyaris Dilupakan 
30 LOLA AMARIA 
78
5 
2014 l Edisi 10 l Kinescope l
6 l Kinescope l Edisi 10 l 2014 
Salam Redaksi 
G30S/PKI: 
Kolosal Sejarah Mumpuni, 
Propaganda Kekuasaan 
Pengkhianatan G30S/PKI 
sebuah film dokumenter 
drama propaganda Indonesia 
tahun 1984. Film ini dibuat 
berdasarkan pada intepretsi 
sejarah versi resmi menurut 
pemerintah Orde Baru. 
Film ini menggambarkan 
masa menjelang kudeta 
dan beberapa hari setelah 
peristiwa tersebut. 
PENASEHAT REDAKSI 
Farid Gaban 
Andi Bachtiar Yusuf 
Wanda Hamidah 
Swastika Nohara 
Dandhy Laksono 
PEMIMPIN UMUM 
Hasreiza 
PEMIMPIN REDAKSI 
Reiza Patters 
REDAKTUR 
Abdi Kurniawan 
Rian Samin 
KONTRIBUTOR 
Daniel Irawan 
Shandy Gasella 
Daniel Rudi Haryanto 
Pejred Banderas 
Rohman Sulistiono 
Novita Rini 
Thea Fathanah Arbar 
Suluh Pamuji 
ARTISTIK 
al Fian adha 
FOTOGRAFER 
Kinescope Tim 
DISTRIBUSI & SIRKULASI 
Faisal Fadhly 
DISTRIBUSI JOGJAKARTA 
Athonk Sapto Raharjo 
MARKETING & EVENT PROMO 
Ollivia Selagusta 
COMMUNITY DEVELOPMENT 
Jusuf Alin Lubis 
SUBSCRIPTIONS 
PT. Kinescope Indonesia 
Jakarta Level 3A, World Trade Centre 5 
Jl. Jendral Sudirman Kav. 29-31 
Jakarta 12920 
Phone : +62 21 2598 5194 
Fax : +62 21 2598 5001 
www.kinescopeindonesia.com 
info@kinescopeindonesia.com 
iklan@kinescopeindonesia.com 
redaksi@kinescopeindonesia.com 
langganan@kinescopeindonesia.com 
@KinescopeMagz 
Setelah menyelesaikan edisi 9 yang lalu, kami 
harus berjibaku dalam menyelesaikan edisi 
10 yang tenggat waktunya tidak sampai 2 
minggu sejak edisi 9 terbit. Alih-alih menyerah 
dan meninggalkan “tanggung jawab” itu, semangat 
kami justru terpompa untuk menyelesaikannya tepat 
waktu. 
Ya, kata disiplin dan konsisten itu terus mengiang 
di telinga setiap dari kami. Kata-kata itu menjadi 
pembakar motivasi kami. Kata-kata itu menggerakkan 
pikiran dan badan kami. Semata-mata untuk 
menyelesaikan tanggung jawab kami menyelesaikan 
edisi 10 yang sudah di tangan anda dan siap dibaca 
ini. 
Kami pun terhenyak saat nama Majalah kami 
ini disebut sebagai salah satu nominator peraih 
penghargaan Dewantara Apresiasi Film Indonesia 
2014 pada kategori apresiasi media cetak, bersama 
dengan nama-nama besar dalam dunia majalah 
cetak, yaitu Tempo dan Rolling Stone. 
Buat kami, jangankan menang, masuk sebagai 
salah satu nominasi peraih penghargaan saja sudah 
merupakan bentuk apresiasi sangat besar atas apa 
yang coba kami lakukan dalam setahun ini. Sebuah 
kebanggaan sebagai “anak baru” yang hanya ingin 
berkontribusi untuk kemajuan perfilman nasional. 
Dan untuk itu kami sangat berterima kasih pada 
para juri dan panitia yang sudah memberikan 
apresiasi tersebut pada kami. Dan akan menjadi 
motivasi kami untuk terus berjuang mewujudkan dua 
kata di atas pada setiap pergerakan kami, sebagai 
sebuah wadah berjuang dan kontribusi kecil bagi 
negeri. 
Cover Story
7 
2014 l Edisi 10 l Kinescope l 
Mumpuni,
8 l Kinescope l Edisi 10 l 2014 
Mada memberontak kepada 
Tuhan, karena sudah 
merenggut ibunya. Ia juga 
kehilangan cinta. Ia marah pada 
kenyataan dan memutuskan 
untuk menjadi backpacker 
dan hidup bebas. Ia juga 
meninggalkan Tuhan, keluarga, 
dan sahabat. Mada menemukan 
kebahagiaan ragawi, namun 
merasa kosong secara rohani. 
Di saat yang penuh kerapuhan 
inilah, Tuhan mengajaknya 
kembali melalui serangkaian 
peristiwa. Berkelana dari 
satu negara ke negara lain, 
menyingkap kesadaran demi 
kesadaran, Mada sadar ternyata 
Tuhan sebenarnya mencintai dan 
selalu menjaganya. 
PREVIEW 
Kesebelasan Garuda 19 
berhasil mengalahkan 
Vietnam pada Piala AFF 
U-19 2013 di Sidoarjo 
dan berhak membawa 
pulang piala pertama yang 
didapatkan timnas Indonesia 
sejak 22 tahun sebelumnya. 
Terbayang kembali 
jejak para pemain Garuda 
19, ketika mulai direkrut 
Indra Sjafri dan tim pelatih. 
Perjalanan itu dirasakan 
oleh seluruh pemain, seperti 
Yazid, (asal Konawe Selatan, 
Sulawesi Tenggara), Sahrul 
(asal Ngawi, Jawa Timur) 
dan Yabes (dari Alor, Nusa 
Tenggara Timur). 
Indra Sjafri dan tim 
pelatih menjemput dan 
menyatukan mereka dengan 
Evan Dimas dkk dalam 
Garuda 19. Mereka sama-sama 
merasakan kepahitan 
dan kegembiraan. Indra 
Sjafri dan tim pelatih harus 
menaikkan mental dengan 
menyuntikkan semangat. 
KAngel (Adila Fitri), 15 tahun, tidak 
pernah bisa menerima keadaan 
kakaknya Hendra (Ali Mensan) yang 
terlahir dengan keterbelakangan mental. 
Walaupun Angel begitu malu dan 
membencinya, Hendra tidak pernah 
bersedih hati. Hendra menjadi anak yang 
berkebutuhan khusus akibat sakit yang 
di derita waktu bayi. Walaupun demikian 
Ia tetap setia memberikan kasih sayang 
seorang kakak kepada adiknya. Angel 
sering diejek oleh teman-temannya ‘si 
idiot’. 
Garuda 19 My Idiot Brother 
FILM TAYANG 2 Oktober 2014 
SUTRADARA Danial Rifki PRODUSER Frederica 
CAST Abimana Aryasatya, Dewi Sandra, Laudya Cynthia Bella 
FILM TAYANG 9 Oktober 2014 
SUTRADARA Andibachtiar Yusuf 
PRODUSER Putut Widjanarko, Avesina Soebli 
CAST Mathias Muchus, Yusuf Mahardhika, 
Sumarlin Beta, Rendy Ahmad 
FILM TAYANG 2 Oktober 2014 
SUTRADARA Alyandra 
PRODUSER Hamdani, Ferry 
PENULIS Agnes Davonar 
CAST Adila Fitri, Ali Mensan, Kimberly Ryder 
Haji Backpacker
2014 l Edisi 10 l Kinescope l9 
Lima tahun lalu, Aggi (Acha 
Septriasa) dan Timur (Reza 
Rahadian) berpisah. Aggilah 
yang memutuskan hubungan 
mereka. Bagi Aggi, Timur bukan 
untuknya. Timur, fotografer di 
Bandung, terlalu sibuk dengan 
pekerjaannya. Sedangkan Aggi 
tinggal dan bekerja sebagai 
kurator galeri foto di Yogyakarta. 
Aggi meminta Timur menemuinya 
lima tahun lagi. Jika mereka 
masih sendiri, mungkin mereka 
memang harus bersama. 
Lima tahun kemudian, 
Timur berangkat ke Yogyakarta 
untuk menyambung kembali 
yang terputus. Dan ternyata 
Aggi memang masih sendiri. 
Tapi, Aggi memberi syarat, jika 
Timur memang berniat serius 
dengannya, Timur harus datang 
Selina adalah seorang 
gadis yang hanya ingin 
punya kehidupan normal. 
Tapi sejak ia lahir, Selina 
mempunyai kemampuan 
yang membuatnya ketakutan 
yaitu indra keenamnya. 
Hal ini membuatnya 
sering dipandang aneh 
dan dikucilkan oleh 
lingkungannya, termasuk 
kakaknya dan suami 
kakaknya yang sering 
memintanya untuk pindah 
dari rumah mereka. Setelah 
diputuskan oleh pacarnya 
dan dipermalukan oleh 
teman-temannya, Selina 
memutuskan untuk mulai 
kehidupan baru di Bandung. 
Selina pindah ke rumah 
warisan orangtuanya di 
Bandung, yang terkenal 
dengan sebutan Rumah 
Gurita. Patung gurita raksasa 
yang ada di atap, nomor 
rumah 666 dan desain 
interior yang aneh membuat 
Selina tidak nyaman di 
rumah itu. Rio, tetangga 
yang sudah lama tinggal 
di depan rumah tersebut, 
mengatakan kalau tidak ada 
yang perlu ditakuti. Berita 
yang beredar kalau rumah 
itu adalah Gereja Setan 
hanyalah rumor. Tapi Selina 
tahu ia tidak sendirian di 
sana… 
FILM TAYANG 9 Oktober 2014 SUTRADARA Hanny R Saputra 
PRODUSER Chand Parwez Servia, Fiaz Servia 
PENULIS Oka Aurora, Adi Nugroho, Desi Puspitasari 
CAST Reza Rahadian, Acha Septriasa, Olivia Jensen 
FILM TAYANG 30 Oktober 2014 
SUTRADARA Jose Poernomo 
PENULIS Riheam Junianti 
CAST Shandy Aulia, Boy William, Kemal Palevi, 
Maria Sabita 
Strawberry Surprise 
Rumah Gurita 
ke Yogyakarta setiap minggu 
dan mendengarkan cerita-cerita 
kegagalan cinta Aggi. Permintaan 
Aggi dipenuhi Timur. Perlahan tapi 
pasti, mereka dekat lagi. Timur 
semakin yakin bahwa ia memang 
mencintai Aggi, gadis penggila 
buah stroberi, gadis yang selalu 
bersikap tak terduga. 
Aggi masih juga belum 
yakin padanya. Kebingungan 
Aggi memuncak ketika Inda 
mendatanginya, sehari sebelum 
pernikahannya. Inda mengucapkan 
selamat dan berkata bahwa 
Timur terlihat bahagia sekali jika 
bersama Aggi. Tapi, sebelum pergi, 
Inda berkata, “Kamu tahu, Timur 
nggak suka makan stroberi...” 
Film Indonesia Oktober 2014 
1. Haji Backpacker 
Tayang 02 Oktober 2014 
2. My Idiot Brother 
Tayang 02 Oktober 2014 
3. Garuda 19: Semangat Membatu 
Tayang 09 Oktober 2014 
4. Strawberry Surprise 
Tayang 09 Oktober 2014 
5. Kuntilanak Ciliwung 
Tayang 09 Oktober 2014 
6. Tak Kemal Maka Tak Sayang 
Tayang 23 Oktober 2014 
7. Hantu Merah Casablanca 
Tayang 23 Oktober 2014 
8. Solit4ire 
Tayang 23 Oktober 2014 
9. Rumah Gurita 
Tayang 30 Oktober 2014 
10. 99 Cahaya di Langit Eropa 
Tayang 30 Oktober 2014
10 l Kinescope l Edisi 10 l 2014 
COVER STORY 
Pengkhianatan G30S/PKI sebuah film dokumenter drama propaganda 
Indonesia tahun 1984. Film ini dibuat berdasarkan pada intepretsi sejarah 
versi resmi menurut pemerintah Orde Baru. Film ini menggambarkan 
masa menjelang kudeta dan beberapa hari setelah peristiwa tersebut. 
REIZA PATTERS 
Kolosal Sejarah Mumpuni, 
Propaganda Kekuasaan 
G30S/PKI:
2014 l Edisi 10 l Kinescope l11 
Dalam kala kekacauan 
ekonomi, enam jenderal 
diculik dan dibunuh oleh 
PKI dan TNI Angkatan 
Udara. Film ini dianggap 
cukup kontroversial, khususnya dari 
sisi alur cerita. Letak kontroversinya 
adalah karena alur cerita yang 
digunakan dianggap alur cerita dari 
perspektif sejarah penguasa saat 
itu. 
Meski film G 30 S/PKI adalah 
film proyek pemerintah, namun 
dalam penggarapannya begitu 
serius. Bahkan dari para pemeran 
yang bermain dalam film itu 
terdapat tokoh intelektual yang ikut 
serta di dalamnya. Sebut saja Umar 
Kayam yang memerankan tokoh 
Soekarno dan Syubah Asa yang 
berperan sebagai Dipa Nusantara 
Aidit, Ketua Komite Sentral Partai 
Komunis Indonesia. 
Film Pengkhianatan G30S/PKI 
ini bisa dianggap meraih sukses 
secara komersil maupun kritis. 
Film ini dinominasikan untuk 
tujuh penghargaan di Festival 
Film Indonesia 1984 dan saat itu 
digunakan sebagai kendaraan 
propaganda oleh pemerintah Orde 
Baru selama tiga belas tahun, 
di mana pemerintahan Soeharto 
memerintahkan satu-satunya 
stasiun televisi di Indonesia saat 
itu (TVRI) untuk menayangkan film 
ini setiap tahun pada tanggal 30 
September malam. 
Film ini juga diperintahkan 
menjadi tontonan wajib bagi siswa 
sekolah di Indonesia, walaupun 
memperlihatkan adegan-adegan 
yang penuh kekerasan berlebihan. 
Pada saat stasiun-stasiun televisi 
swasta bermunculan, mereka juga 
dikenai kewajiban yang sama. 
Namun aturan ini juga hilang 
seiring pengehentian penayangan 
film ini di TVRI. Pemerintah, lewat 
Menteri Penerangan Yunus Yosfiah 
(kala itu) mengeluarkan keputusan 
untuk menghentikan pemutaran 
dan peredaran film tersebut. 
REVIEW SINEMATIK 
Sebagai sebuah film yang base 
on true story, film ini dianggap 
cukup baik dari sisi sinematografi, 
emosional, dan kualitas yang 
hampir semuanya ada di dalam 
film tersebut. Proses produksi yang 
dijalankan selama dua tahun dan 
menggunakan sekitar 100 figuran, 
memperlihatkan bagaimana film ini 
dibuat sedemikian detail. 
Film ini memang kaya dengan 
detail, seperti latarnya yang 
berpindah-pindah dari satu 
lokasi ke lokasi yang lain. Tapi, 
di samping beberapa fakta yang 
terkait dengan penggambaran 
kejadian yang dianggap sebagai 
sebuah gerakan pengkhianatan, 
film ini juga menggambarkan 
kerawanan ekonomi masa itu lewat 
penggambaran tentang antre dan 
kemiskinan. 
Dalam film ini, kerawanan 
politik saat itu juga dilukiskan 
dengan detail dan tidak melulu 
menampilkan Jakarta sebagai 
daerah Pusat kejadian, tapi juga 
kejadian di daerah di luar Jakarta. 
Misalnya penggambaran melalui 
adegan serangan PKI ke sebuah 
masjid di Jawa Timur, guntingan 
koran, berita radio, dan komentar-komentar 
tajam. Poster dan tulisan-tulisan 
graffiti tentang pandangan 
politik dan manifesto-manifesto 
pemikiran yang digambarkan 
banyak bertebaran di tembok dan 
atap rumah. 
Sebagian orang menilai, 
sebetulnya dari sisi kualitas 
sebuah film, Pengkhianatan 
G30S/PKI ini disayangkan saat 
terhenti ditayangkan dan Rabu, 
30 September 1998 adalah hari
12 l Kinescope l Edisi 10 l 2014 
COVER STORY 
terakhir pemutaran film tersebut. 
Karena justru dari sisi ini, kita 
bisa menyaksikan sebuah film 
yang dibuat dengan sangat detil, 
apik dan serius. Terjaga kualitas 
sinematografisnya, mampu 
membangun ketegangan dari alur 
ceritanya, dan benar-benar bisa 
membawa emosi siapapun yang 
menontonnya. “Kekuatan film luar 
biasa, banyak orang menerima film 
Pengkhianatan G30S/PKI sebagai 
representasi kenyataan,” ujar 
sejarahwan Hilman Farid seperti 
dikutip dari Tempo. 
Tidak seperti sekarang, proses 
pembuatan film menjadi sangat 
instan, dengan proses syuting 
yang hanya seminggu misalnya, 
dan kurang menjaga kualitas dari 
berbagai sisi. Yang pada akhirnya, 
kebanyakan proses pembuatan film 
hanya mengandalkan nama besar 
pemainnya dan kelebihan fisik 
semata. 
Bagi Hanung Bramantyo, 
sutradara film, bagian yang paling 
diingat dalam film ini adalah 
adegan diskusi. “Shot big close-up 
mulut-mulut sedang diskusi 
atau menghisap rokok, sangat 
menohok. Bayangkan saja, di layar 
besar semua gelap. Hanya mulut 
yang tampak. It’s brilliant,” ujarnya 
seperti dikutip dari Tempo. Menurut 
Hanung, terlepas film itu disebut 
propaganda, secara sinematik film 
Pengkhianatan G30S/PKI rapi, 
detail, dan nyata. “Saya sempat 
mengira itu bukan film. Tapi real!” 
Lain lagi di mata sutradara film 
Monty Tiwa. Adegan yang teringat 
adalah kala putri D.I. Pandjaitan 
histeris saat ayahnya ditembak. 
Kemudian, ia mencoreng dengan 
darah sang ayah. “Karena (efel) 
dramatis yang tinggi dan shot yang 
belum pernah saya lihat dalam 
film Indonesia. Membuat campuran 
emosi, ngeri, sedih, marah 
nyampur jadi satu,” kata Monty. 
FILM & PROPAGANDA 
Meski dinilai sebagai film 
sejarah, film ini dianggap tidak 
mewakili keseluruhan pendapat 
tentang alur cerita dan fakta 
sejarah yang sebenarnya. Film 
ini juga menampilkan pergantian 
rezim pemerintahan Indonesia dari 
Presiden Soekarno ke Soeharto 
menurut versi pemerintahan Orde 
Baru. Film ini menggambarkan 
gerakan G30S/PKI sebagai gerakan 
yang kejam. 
Pada tahun 2012 para korban 
tragedi kemanusiaan 1965 
menyatakan film Pengkhianatan 
G30S/PKI adalah bentuk 
pembohongan terhadap 
masyarakat yang dilakukan oleh 
pemerintah Orde Baru atas 
kehendak Soeharto. Film tersebut 
dinilai sebagai bentuk propaganda 
yang memutarbalikkan fakta di 
balik tragedi kemanusiaan 1965 
yang menurut penyelidikan 
Komnas HAM termasuk dalam 
kategori pelanggaran HAM berat. 
Menurut Hilmar Farid, film 
tersebut telah berhasil membuat 
generasi muda mengira apa 
yang terjadi di masa lalu seperti 
yang ada di film. “Jangankan 
film sejarah, kadang sinetron 
yang ditonton itu dipercaya 
benar adanya,” ujar peneliti dari 
Indonesia Institute of Social 
History ini. Pada kasus film 
Pengkhianatan G30S/PKI, ia 
menguraikan, ada campur tangan 
kepentingan politik. Intervensi itu 
mengeksploitasi ketidaktahuan 
atau kesalahpahaman untuk 
mendapatkan apa yang diinginkan. 
“Film menjadi sarana 
yang efektif untuk 
kepentingan 
semacam itu,” ujar 
Hilmar. 
Namun 
memang, sebagai 
sebuah alat 
komunikasi 
dan sekaligus 
propaganda, film 
tersebut menjadi sedikit 
menakutkan karena bisa 
berfungsi menjadi pencuci 
otak yang bisa jadi bertujuan 
untuk mengaburkan dan 
membelokkan fakta sejarah 
yang sebenarnya dan hanya 
memperkuat hegemoni satu 
perspektif sejarah saja demi 
kepentingan kekuasaan 
saat itu. Bagaimanapun, 
film menjadi cara 
yang ampuh untuk 
menyebarluaskan dan 
memasukkan ide, gagasan, 
dan ideologi. 
Analisa yang lebih 
dalam dibahas dalam buku, 
‘Ketika Sejarah Berseragam: 
Membongkar Ideologi 
Militer dalam Menyusun 
Sejarah Indonesia’, karya 
Katherine E McGregor. Di sana, 
film Pengkhianatan G30S/PKI 
adalah salah satu cara Orde Baru 
dalam menggambarkan usaha 
kudeta oleh PKI. Tafsir peristiwa 
yang digunakan Orde Baru dalam 
film itu adalah salah satu upaya 
meyakinkan masyarakat, kudeta itu 
dilakukan oleh komunis dan bukan 
pihak militer. Peristiwa itu dijadikan 
alasan oleh Orde Baru untuk 
membenarkan tindakannya untuk 
berkuasa. 
Dalam Buku itu Katherine E. 
McGregor mengakui, dia ingin 
mengungkapkan peran Orde 
Baru dengan militernya dalam 
menggambarkan masa lalu 
Indonesia. Salah satunya dengan 
media visual, yang didukung oleh 
buku-buku pelajaran, monumen-monumen, 
film, hingga diorama 
yang di pajang dalam museum. 
Dalam analisa Katherine, 
pembuatan dan pemaknaan 
sejarah baru oleh Orde Baru 
melalui media visual dan film 
sangat efektif. Hal itu terkait 
dengan jumlah pendudukIndonesia 
pada saat itu masih memiliki 
tingkat buta huruf yang tinggi, 
maka dengan pembuatan 
sejarah melalui media 
visual diharapkan bisa 
menjangkau seluruh 
Indonesia.
2014 l Edisi 10 l Kinescope l13 
Analisa itu muncul setelah 
Katherine membaca dokumen 
dari Departemen Pertahanan 
dan Keamanan Pusat sejarah 
Angkatan Bersenjata Indonesia 
dalam merancang semua itu. 
Katherine mengutip Nugroho 
Notosutanto dalam dokumen itu, 
“Di dalam masyarakat yang sedang 
berkembang seperti Indonesia, di 
mana kebiasaan membaca pun 
masih sedang berkembang, kiranya 
historio-visual isasi masih agak 
efektif bagi pengungkapan identitas 
ABRI.” 
Tidak mengherankan 
kelanggengan Orde Baru berkuasa 
dijaga dengan strategi yang 
rapi. Pengaruh kekuasaan sudah 
dijaga dengan doktrin yang sudah 
ditanamkan dalam melalui buku 
pelajaran, film, museum, monumen, 
hingga rancangan diorama yang 
begitu detail. Meski begitu, tidak 
jarang menggunakan kekerasan. 
Film sebagai representasi realitas, 
tidak sekedar memindah realitas 
ke layar akan tetapi dibentuk oleh 
kode-kode dan konvensi ideologi 
maupun budaya pembuatnya. 
Oleh karena itu, film merupakan 
arketipe awal media massa modern, 
memiliki potensi untuk ditunggangi 
rezim polik dan media propaganda. 
Konstruksi propaganda dalam film 
dibangun oleh penyusunan tanda 
dan kata maupun tanda-tanda 
dalam teks film yang membentuk 
suatu tehnik propaganda untuk 
mempengaruhi opini publik 
sesuai dengan yang diinginkan 
Propagandis. 
Karena itu menjadi sangat bijak 
untuk terus membangun pemikiran 
kreatif dalam proses pembuatan 
film dengan tanpa melupakan sisi 
edukasi yang dapat didistribusikan 
sebagai pesan dalam setiap film 
yang dibuat oleh para pembuatnya. 
Untuk itu, setiap insan perfilman, 
khususnya para pembuat film 
haruslah memahami bahwa film 
menjadi alat yang efektif bagi 
para mereka untuk berkontribusi 
positif bagi Negara, masyarakat 
dan peradabannya, bukan justru 
memperparah dengan film-film 
yang justru menyebarkan pesan 
yang mendegradasi nilai-nilai positif 
yang terdapat di dalam setiap sendi 
kehidupan masyarakat. 
SANG SUTRADARA DAN 
PRESTASI 
Film ini disutradari oleh Arifin 
C Noer, seorang sutradara besar 
sejak masanya hingga kini. Film-filmnya 
kebanyakan laris dan 
meraih penghargaan. Khusus 
film Pengkhianatan G30S/PKI ini, 
ditayangkan sejak tahun 1984 
hingga 1998 di TVRI. Karena film 
ini, Arifin di ganjar penghargaan 
Piala Citra untuk Penulis 
Skenario Terbaik pada 1985. 
Dengan biaya sekitar Rp. 800 
juta di tahun 1984, film ini 
menjadi film pertama yang 
mencapai penonton sebanyak 
699.282 orang di tahun 1984. Rekor 
ini bertahan sampai tahun 1995. 
Film ini memang bukan film 
kolosal yang pertama bagi 
Arifin C Noer, namun dia sendiri 
mengakui bahwa mengurus dan 
menata casting yang begitu 
besar memang ukan pekerjaan 
yang mudah dan sebentar. 
Untuk membuat film itu, Arifin 
mengeluarkan usaha yang sangat 
besar dengan membaca sebanyak 
mungkin tentang peristiwa 
tersebut, mewawancarai saksi 
sejarah, dan berusaha mencari 
properti asli. Arifin sebetulnya 
memimikan bahwa film 
Pengkhianatan G30S/PKI bisa 
menjadi sebuah film pendidikan 
dan renungan tanpa pesan 
kebencian bagi setiap orang yang 
menontonnya. 
Memang, Arifin C Noer dikenal 
sebagai seniman multitalenta. 
Sejak SMP dia menggeluti teater 
dan puisi. Ia mulai menyentuh 
kamera ketika Wim Umboh 
membuat film Kugapai Cintamu 
pada 1976. Film perdananya, 
Suci Sang Primadona (1977), 
melahirkan pendatang baru, 
Joice Erna, yang memenangkan 
Piala Citra sebagai Aktris Terbaik 
Festival Film Indonesia 1978. 
Arifin C Noer meninggal pada 28 
Mei 1995 di usia 54 tahun. 
Pada 1984, Arifin C. Noer 
meraih penghargaan Piala Citra 
untuk skenario terbaik film ini. 
Di perhelatan yang sama, Arifin 
juga masuk unggulan untuk 
kategori penyutradaraan film 
terbaik. Amoroso Katamsi menjadi 
kandidat pemeran utama pria 
terbaik. 
Yang juga kecipratan adalah 
Embie C. Noer yang diunggulkan 
dalam kategori tata musik terbaik, 
Hasan Basri untuk kategori 
tata kamera terbaik, dan Farraz 
Effendy yang masuk nominasi 
kategori tata artistik terbaik. 
Meski akhirnya, hanya Arifin yang 
berhasil menggondol pulang Piala 
Citra sebagai penulis skenario 
terbaik. Pada 1985, masih di 
Festival Film Indonesia, film 
Pengkhianatan G30S/PKI 
mendapat penghargaan Piala 
Antemas untuk kategori film 
unggulan terlaris 1984-1985.
14 l Kinescope l Edisi 10 l 2014 
AKU, KAU & KUA 
REVIEW 
Film ini diawali dengan 
cerita kandasnya 
pernikahan Fira dengan 
Lando (Eza Gionino) 
karena ternyata Lando 
adalah tukang selingkuh. Fira 
yang malu karena pernikahannya 
gagal, langsung menarik diri dari 
pergaulan. Sebagai sahabat, Uci 
berusaha untuk menyemangati 
Fira dan mendukung Deon yang 
sudah lama jatuh cinta dengan 
Fira untuk mengajaknya ta’aruf. 
Walaupun awalnya ia meragukan 
proses ta’aruf, pada akhirnya ia 
mencoba proses ta’aruf. 
Rico yang terinspirasi dengan 
pernikahan Fira dan Deon, 
langsung mencoba melamar Aida 
(Bianca Liza) untuk menikah. 
Namun Aida yang kehidupannya 
high class, menolaknya karena 
tidak mau menikah dengan Rico 
yang tidak punya masa depan. 
Film Aku, Kamu & KUA yang diadaptasi dari buku @ THEA FATHANAH ARBAR 
TweetNikah yang berjudul sama bercerita tentang 
kehidupan enam sahabat yang sudah berumur 
matang untuk menikah. Enam sahabat tersebut 
adalah Uci (Eriska Rein), Rico (Adipati Dolken), Fira 
(Nina Zatulini), Deon (Deva Mahendra), Mona (Karina 
Nadila), dan Pepi (Babe Cabiita).
2014 l Edisi 10 l Kinescope l15 
Di sisi lain, Mona mempunyai 
pacar bernama Jerry (Fandy 
Christian) yang tangannya tidak 
bisa ‘diam’. Mona yang jengah 
dengan kelakuan pacarnya ini 
langsung menginginkan Jerry untuk 
menikahinya. Jerry yang tidak mau 
menikah, langsung memutuskan 
hubungan dengan Mona. Patah hati, 
Mona langsung berubah menjadi 
‘orang baik’ dan ia memakai hijab. 
Mona diajak Uci untuk ikut workshop 
kepribadian. Di sana Mona bertemu 
dengan Kak Emil (Dwi Sasono) dan 
jatuh cinta dengannya. 
Film yang disutradarai oleh Monty 
Tiwa ini terlalu banyak karakter 
dan cerita, sehingga membuat film 
ini serba setengah-setengah dan 
terlihat tidak dieksekusi dengan 
baik. Film ini bergenre drama, 
namun menyelipkan sedikit komedi 
yang nanggung karena hanya 
karakter Pepi (Babe Cabiita) yang 
terlihat lucu ketika sedang melucu, 
sedangkan karakter yang lain tidak 
terlihat lucu dan terlihat aneh ketika 
mencoba melucu. Dengan sederet 
nama-nama aktor dan aktris yang 
mumpuni, film ini malah tidak 
menyenangkan karena semuanya 
serba setengah-setengah. 
Banyak pertanyaan ketika 
menonton film ini; siapa karakter 
utama di film ini? Jika karakter 
utama di film ini adalah Uci, 
maka Eriska Rein gagal dalam 
memerankan karakter Uci karena 
karakter yang lain lebih ‘menarik’ 
dan lebih menonjol dibandingkan 
karakter utamanya. 
Dari segi visual, sayang sekali 
film ini hampir terlihat sama 
seperti FTV-FTV yang tayang di 
televisi. Audio di film ini juga 
terkadang membuat risih telinga 
karena ada beberapa sound 
effect yang berlebihan. Namun 
kejanggalan-kejanggalan yng sangat 
mengganggu sepanjang film ini 
diharapkan dapat menjadi sebuah 
contoh bagaimana film Indonesia 
tidak seharusnya dibuat dengan 
hanya mengandalkan ketenaran 
artis pemerannya dan dibuat 
dengan setengah hati, namun juga 
bisa dibarengi dengan kemauan 
yang kuat, dengan ketulusan 
serta kualitas dari sisi cerita dan 
sinematografinya.
16 l Kinescope l Edisi 10 l 2014 
REVIEW 
Malam Minggu Miko Movie 
Dalam dua tahun terakhir, Setidaknya Raditya Dika, 
sosok fenomenal dikalangan anak muda, telah 
menelurkan 5 film yang berdasarkan ide-ide kreatifnya 
baik dari adaptasi novel atau web-series yang dia buat. 
Belum lama rasanya penonton film Indonesia disuguhi 
dengan karya penyutradaraan perdananya dalam 
“Marmut Merah Jambu”, bulan September ini, kisah 
Miko kembali diangkat ke layar lebar dengan judul 
“Malam Minggu Miko Movie” 
Malam Minggu Miko 
Movie merupakan film 
yang diangkat dari 
Webseries dan TV 
series berjudul Malam Minggu 
Miko yang disutradari, ditulis, dan 
diperankan sendiri oleh Raditya 
Dika. Webseries Malam Minggu 
Miko sendiri meraih “The Most 
Popular Show” dalam ajang 
“Internet Video Stars 2013” dan 
sudah mencapai 52 episode 
yang ditonton oleh lebih dari 
1 juta penonton. Raihan yang 
baik tersebut sudah menjadi 
modal bagus untuk mengangkat 
kisah Miko dan malam minggu 
“nestapanya” tersebut kedalam 
medium film. Terlebih film 
pertama “Miko” yang rilis tahun 
lalu, “Cinta Dalam Kardus” bisa 
dikatakan berhasil baik dari segi 
kualitas film maupun dari raihan 
jumlah penonton. 
Malam Minggu Miko Movie 
bercerita mengenai tiga tokoh 
utama dalam film ini, Miko 
(Raditya Dika), Dovi (Andovi 
DaLopez), serta Anca (Hadian 
Saputra). Miko kembali bertemu 
dengan sahabatnya, Ryan (Ryan 
Adriandhy) yang mengabarkan 
kalo dia mendapat mimpi bahwa 
Miko dikutuk oleh seseorang 
saat masih SMP melalui tulisan 
misterius di bagian belakang 
jas laboratorium miliknya yang 
membuat dia selalu gagal 
dalam mendapatkan pasangan. 
Bersama Ryan, Miko menelusuri 
beberapa teman SMPnya guna 
menghapus kutukan yang selama 
ini menimpanya. Dovi, mahasiswa 
senior yang sok pintar harus 
mengemban tugas khusus agar 
bisa lulus dari mata kuliah yang 
membuatnya mengulang hingga 
5kali. Tugas khusus tersebut adalah 
mendampingi tiga mahasiswa tamu 
dari luar negeri yaitu Alexandra dari 
Polandia, Suzuki dari Jepang, dan 
Mamadi dari Gambia berkeliling 
Jakarta dan membuktikan bahwa 
dia mampu mengerjakan tugas 
ini dengn baik. Dan ada Anca, 
pembantu rumah tangga Miko harus 
melewati ujian demi ujian yang 
diberikan oleh kedua orangtua Anca 
agar dapat menikahi kekasihnya, 
Atik. 
Bila dilihat dari raihan jumlah 
penonton, nama Raditya Dika bisa 
dikatakan laris dan mampu menarik 
jumlah penonton (terutama ABG dan 
fans-nya) yang cukup banyak. Hal 
ini tentu saja tak disia-siakan oleh 
Dika. Memanfaatkan aji mumpung, 
dalam waktu berdekatan Dika merilis 
ROHMAN SULISTIONO
2014 l Edisi 10 l Kinescope l17 
film-filmnya yang hampir semuanya 
memiliki garis cerita yang sama, 
kisah tokoh yang diperankan Dika 
dengan lika-liku kehidupan cintanya. 
Dika menyadari betul pasar anak 
muda Indonesia, sebuah komedi 
ringan dibumbui kisah cinta ala 
remaja. Hasilnya, film-film Dika 
selalu Laris dipasaran. 
Dalam Malam Minggu Miko 
Movie, Dika berperan penuh dalam 
penggarapan filmnya. Mungkin 
sebagai pemeran utama tak cukup 
baginya, dia juga duduk di kursi 
sutradara dan penulis skenario 
Malam Minggu Miko. Tentu saja 
Dika punya kuasa penuh dalam 
Malam Minggu Miko Movie dan 
paling bertanggung jawab dengan 
mau dibawa kemana film ini. Malam 
Minggu Miko merupakan film kedua 
Dika duduk di kursi penyutradaraan. 
Bila melihat karya penyutradaraan 
perdananya, Marmut Merah Jambu, 
Dika bisa dikatakan cukup berbakat 
dalam menggarap kisah yang 
diangkat dari novel buatannya 
sendiri ini. Mungkin, dalam Marmut 
Merah Jambu, Dika tak mengambil 
banyak porsi bermain dalam filmnya. 
Dalam Malam Minggu Miko, Dika 
lebih banyak berakting dibanding 
saat di Marmut Merah Jambu, 
hasilnya beberapa adegan terasa 
tidak fokus dan ada beberapa plot 
hole. Ditambah humor yang disajikan 
dalam Malam Minggu Miko Movie 
terasa monoton dan kurang ada 
inovasi baru dari Dika. Mungkin 
selera humor saya yang buruk atau 
gimana, namun setelah mengikuti 
semua film Raditya Dika, humor 
yang ditawarkan ya berputar pada 
itu-itu saja dan kurang berkembang. 
Dari segi ceritanya pun ada 
beberapa yang terasa lebay dan 
dipaksakan. Apa mungkin ke-lebay-an 
yang ada dalam Malam Minggu 
Miko Movie memang kesengajaan 
dari Raditya Dika. Tapi jelas 
bukannya memancing tawa, malah 
membuat penonton mengernyitkan 
dahi. 
Malam Minggu Miko Movie 
cukup setia dengan webseriesnya. 
Selain tentu saja jajaran karakter 
yang diboyong ke dalam filmnya 
baik dari season pertama maupun 
season kedua, setting waktu yang 
melatar-belakangi Malam Minggu 
Miko Movie berlangsung dalam 
waktu satu hari satu malam (yang 
tentu saja terjadi saat hari sabtu 
dan malam minggu). Ketiga karakter 
utama “berpetualang” dalam 
urusannya masing-masing dalam 
kurun waktu yang bersamaan dan 
dalam beberapa moment mereka 
dipertemukan.Gaya editing cut-to-cut 
dengan pace yang cepat serta 
gaya pengambilan gambarnya pun 
hampir mirip dengan webseriesnya. 
Ya harus diakui, kisah Miko kali 
ini kualitasnya dibawah dari Cinta 
Dalam Kardus (mungkin karena tidak 
ada campur tangan Salman Aristo 
kali ini). Film berdurasi 90 menit 
ini diawali dengan cukup menarik 
namun semakin film bergulir, Malam 
Minggu Miko Movie terasa flat dan 
pelan-pelan melepas perhatian 
penonton. Beberapa “penyegaran” 
yang diselipkan dari munculnya 
cameo serta lawakannya pun ya 
hanya berlalu begitu saja. Hanya 
Arie Kiting yang mampu mencuri 
perhatian sebagai dukun pribadi dari 
beberapa cameo yang kebanyakan 
selebtweet atau comic (stand-up 
comedian) seperti Liongky 
Tan dan Bayang becabita. Peran 
mereka sayang sekali kurang di 
explore lagi padahal masih mereka 
punya potensi lebih. Hal menarik 
perhatian dari Malam Minggu Miko 
Movie adalah Penempatan dan 
penyampaian sponsor yang terbilang 
unik walau sedikit maksa, namun 
menarik dan cukup mengundang 
tawa. 
Selebihnya Malam Minggu Miko 
membuktikan eksistensi Raditya 
Dika dalam dunia komedi modern 
melalui media film, namun Raditya 
Dika harus melakukan evaluasi 
lagi untuk karyanya kedepan dan 
tidak terlena dengan raihan jumlah 
penonton yang tidak dipungkiri 
karya-karya Dika sudah berlabel 
“Pasti Laku”. Jadi ingat sebuah 
pernyataan salah satu sutradara 
Indonesia dalam suatu obrolan 
dengan saya belum lama ini, “kalo 
filmnya sudah pasti laku, kenapa 
pas buat ngga ngeluarin duit “lebih” 
lalu buat film yang lebih niat dan 
besar?” mungkin pernyataan ini bisa 
direnungkan oleh rumah produksi 
yang menggarap film Raditya Dika 
selanjutnya , untuk memberikan 
perhatian lebih dari segi kualitas 
filmnya, tidak hanya memikirkan 
uang. Ya walaupun tak dipungkiri 
keuntungan besar dari film adalah 
hal yang dibutuhkan agar industri 
terus berjalan.
18 l Kinescope l Edisi 10 l 2014 
Pernakah anda merasakan sebuah film begitu dekat dengan kenangan anda? 
Seperti diajak bernostalgia dengan keseruan masa kecil anda yang terasa akrab? 
“My Girl’ akan membawa penontonnya yang merasakan masa kecil di era 80-an 
untu bernostalgia dengan segala memori masa kecil dan mengajak penonton 
untuk bereuni sejenak mengingat pola tingkah anak-anak dimasa tersebut. 
ROHMAN SULISTIONO 
REVIEW My Girl 
My Gir yang memiliki 
judul asli “Fan Chan” 
merupakan film tahun 
2003 yang digarap 
secara keroyokan oleh enam 
sutradara-penulis sekaligus (Vitcha 
Gojiew, Songyos Sugmakanan, 
Nithiwat Tharathorn, Witthaya 
Thongyooyong, Anusorn 
Trisirikasem, dan Komgrit Triwimol) 
yang pada saat itu, “My Girl” 
merupakan film debutan mereka. 
Sebuah debutan yang istimewa 
untuk mereka, selain diakui dalam 
segi kualitas, film ini juga sukses 
dalam rahian jumlah penonton di 
Thailand sana. 
“My Girl” berkisah mengenai 
Jeab (Charlie Trairat) mendapatkan 
undangan pernikahan dari sahabat 
kecilnya sekaligus cinta pertamanya, 
Noi-Naa (Focus Jiracul). Pernikahan 
Noi-Naa berlangsung di kampung 
halaman Jeab dan Noi-Naa dimana 
mereka menghabiskan masa kecil 
bersama. Dalam perjalanan pulang, 
Jeab bernostalgia akan memori 
masa kecilnya bersama Noi-Naa. 
Dan sepanjang film penonton akan 
dibawa flashback dengan kenangan 
masa kecil Jeab, Noi-Naa, teman-teman 
mereka serta memori masa 
kecil mereka. Saat itu, Jeab dan 
Noi-Naa bertetangga karna rumah 
mereka hanya dipisahkan oleh satu 
toko kelontong. Jeab dan Noi-Naa 
bersahabat sejak balita dan karena 
kesulitan mendapat teman laki-laki, 
Jeab-pun “terpaksa” ikut bermain
2014 l Edisi 10 l Kinescope l19 
permainan perempuan bersama Noi- 
Naa dan teman-temannya. Walau 
tentu saja, Jeab kerap diejek oleh 
sekelompok anak laki-laki Jack dan 
geng-nya. Kedekatan Jeab dan Noi- 
Naa membuat Jeab merasakan hal 
lain pada Noi-Naa, dan menyadari 
Noi-Naa adalah cinta pertamanya. 
Sederhana dan apa adanya, 
membuat “My Girl’ terasa begitu 
dekat dengan penonton, terutama 
penonton Indonesia yang mempunya 
kemiripan budaya dengan Thailand. 
Dengan setting tahun 80-an, 
penonton yang merasakan masa 
kanak-kanak tahun 80-90an akan 
dibangkitkan memorinya dan diajak 
bernostalgia dengan masa kecilnya. 
“My Girl” membuat penonton 
tersenyum indah apalagi penonton 
yang mempunyai pengalaman yang 
sama secara personal ketika anak-anak 
dalam “My Girl” memainkan 
permainan sederhana khas anak-anak 
seperti lompat tali dari karet, 
bermain peran karakter laga dengan 
kostum seadanya, bermain sepak 
bola di lapangan tanah, bermain 
besepeda dengan teman-teman 
sore hari, main karet tiup, hingga 
berenang di sungai. Sebuah 
kegiatan yang mungkin sangat 
langka dilakukan anak-anak zaman 
sekarang yang sudah terjebak dan 
terhipnotis kecanggihan gadget 
sehingga melupakan keasyikan 
bermain diluar bersama teman. 
Sungguh disayangkan, padahal 
momen kanak-kanak dengan 
keseruan bermain diluar adalah 
momen yang tak tergantikan. 
Mengusung cerita mengenai 
cinta monyet tak membuat “My 
Girl” menyajikan sebuah kisah cinta 
berlebihan yang tak layak untuk 
anak-anak. Jeab tidak berlebihan 
hingga mengejar-ngejar cinta Noi- 
Naa atau sampai mengutarakan 
cinta kepadanya. Kisah cinta monyet 
dalam “My Girl” dibuat sesuai 
dengan karakteristik anak-anak yang 
polos dan lugu. Sehingga bukan 
menjual kisah cinta yang berlebihan 
antara dua insan, namun lebih 
mengedepankan kisah persahabatan. 
Sebuah pembelajaran yang baik 
untuk film anak (terutama di tanah 
air) agar lebih bijaksana menaruh 
unsur cinta dalam film agar anak-anak 
tak mencontoh dan sudah 
mulai cinta-cintaan pada usia dini. 
Penampilan para pemeran cilik 
dalam “My Girl” patut diacungi 
jempol. Memainkan peran mereka 
masing-masing dengan karakter 
yang kuat dan tidak terlihat 
berlebihan. Penampilan anak-anak 
dalam “My Girl” terkesan natural 
dan seperti memainkan diri mereka 
sendiri. Sineas yang menggarap “My 
Girl”pun cukup piawai merajut cerita 
yang dekat dengan tokoh dengan 
karakter yang ada, hasilnya “My Girl” 
begitu natural, sederhana, membumi, 
dan tentu saja sangat sulit untuk 
tidak disukai. Selain tokoh utama 
Jeab dan Noi-Naa, tokoh Jack 
yang diperankan Chaleumpol 
Tikumpornteerawong cukup menarik 
perhatian dengan bakat aktingnya. 
Wajar apabila saat ini diumurnya 
yang sudah cukup dewasa dia masih 
lalu lalang di perfilman Thailand, 
Salah satunya dalam film komedi 
romantis berjudul “ATM” yang rilis 
tahun 2012. 
Dengan raupan pendapatan 
sebesar 140 juta Bath dalam 
penayangannya di Thailand, bisa 
dikatakan film ini sukses dalam 
segi finansial. Bagaimana dengan 
kualitasnya? Film ini sangat sulit 
untuk tidak disukai. Temanya yang 
sederhana dan digarap dengan 
sangat membumi, natural, apa 
adanya namun terasa istimewa 
membuat “My Girl” dengan mudah 
membekas di hati penontonnya. 
Perpaduan apik tema cinta monyet, 
persahabatan yang kental, dan 
problematika masa kanak-kanak 
yang pas dari masa perkembangan 
psikologisnya membuat film ini 
tampil tak berlebihan dan menjadi 
kekuatan dalam “My Girl”. Beberapa 
moment yang memorial dibalut 
dengan komedi ringan serta balutan 
lagu-lagu populer Thailand tahun 
80-an membuat “My Girl” semakin 
memikat. 
Sebagai info, “My Girl” pernah 
rilis di Indonesia dengan judul “Cinta 
Pertama” pada tahun 2006. “My 
Girl” saat itu didubbing ke dalam 
bahasa Indonesia dan lagu-lagu 
Thailand dalam film ini diganti 
dengan lagu-lagu populer Indonesia 
tahun 80-an yang dinyanyikan oleh 
musisi terkenal saat itu seperti Iwan 
Fals, Chrisye, Hetty Koes Endang, 
dan Ebiet G. Ade.
20 l Kinescope l Edisi 10 l 2014 
REVIEW 
Film yang mendapatkan 
penghargaan Best 
Documentary Film pada 
ajang OSCAR 2014 tersebut 
diputar untuk umum di Kedai Kebun 
Jalan Tirtodiouran No.3 Yogyakarta, 
Rabu (10/9). Dalam pemutaran 
film tersebut juga diadakan diskusi 
mengenai film tersebut dengan 
langsung menghadirkan Doug Blush 
selaku editor film 20 Feet From 
Stardom. 
Film dokumenter yang 
disutradarai oleh Morgan Neville ini 
mengisahkan tentang kisah pahit 
manis para penyanyi kulit hitam ini 
sebagai backup singer dari penyanyi 
terkenal legendaris. Penyanyi-penyanyi 
latar yang kadang sering 
tidak dianggap dan diperhatikan. 
20 Feet From Stardom 
RIAN SAMIN 
Penyanyi latar atau background singer atau backing vocal sering kali kurang 
mendapat perhatian. Maklum saja, yang jadi bintang di sebuah konser pastinya si 
penyanyi utama. Gambaran seperti itulah yang ingin diceritakan oleh Film 20 Feet 
From Stardom besutan Morgan Neville.
2014 l Edisi 10 l Kinescope l21 
latar bergaya gospel di tahun 
60-an bahkan sempat menjadi 
pembantu rumah tangga. 
Ironisnya, saat ia sedang bersih-bersih, 
lagu yang ia nyanyikan 
diputar di radio. 
Perjuangan para penyanyi latar 
tersebut disampaikan ke penonton 
dengan baik oleh sutradara 
melalui interview dan pengakuan 
baik itu dari sudut pandang si 
penyanyi latar ataupun artisnya. 
Interview itu silih berganti hadir 
dengan rekaman-rekaman zaman 
dulu dari acara televisi dan konser. 
Juga yang mana dalam durasi 
satu setengah jam durasinya kita 
diiringi lantunan musik dan lagu 
jadul yang begitu asyik dari suara 
indah mereka. 
Dijelaskan oleh Doug Blush, 
proses pembuatan film tersebut 
berlangsung selama dua tahun 
dan menghasilkan stok video 7 
ribu menit. Ditambahkan oleh 
Gough Blush, selama proses 
pembuatan film dokumenter 
tersebut terdapat 60 wanita 
penyanyi latar. Para penyanyi latar 
tersebut hampir semuanya berasal 
dari paduan suara gereja. 
Masih menurut Doug Blush, 
Darlene Love dipilih salah 
satu tokoh utama dalam film, 
karena wanita tersebut memeliki 
perjuangan dan cerita hidup yang 
meninspirasi. Selain Darlene Love, 
para penyanyi latar lainya yang 
diangkat dalam film tersebut 
mewakili sejarah dan perjalanan 
para penyanyi latar. 
“Tidak hanya bercerita 
mengenai kehidupan mereka 
secara pribadi sebagai penyanyi 
latar, film ini juga menceritakan 
bagaimana sebagai penyanyi 
berkulit hitam, mereka ikut 
berjuang dalam gerakan anti rasis 
dan isu-isu kemanusian,” ungkap 
Doug Blush. 
Pemutaran film tersebut 
diselenggarakan oleh Sundance 
Institute bersama Kedubes 
Amerika Serikat yang menginisiasi 
sebuah program bernama 
Film Forward. Melalui program 
tersebut Sundance Institute 
bersama Kedubes Amerika 
Serikat melakukan screening film, 
workshop, dan diskusi film. 
Darlene Love, Merry Clayton, Lisa 
Fischer, Tata Vega, Jo Lawry, dan 
Judith Hill adalah para penyanyi 
latar yang sering bersanding dengan 
Ray Charles, Tina Turner, The Rolling 
Stones, Bruce Springsteen, Stevie 
Wonder, David Bowie, Joe Cocker, 
dan masih banyak lagi penyanyi 
legendaris lainya. 
Mereka berhasil merebut 
perhatian penyanyi dan produser 
terkenal. Lisa Fischer, misalnya, 
menyanyi untuk The Rolling Stones 
sejak tahun 1989 sampai sekarang. 
Ia sering menemani Mick Jagger 
sebagai vokal utama di beberapa 
lagu saat konser. 
Sebagai penyanyi latar, mereka 
mengalami jatuh bangun. Terutama 
saat mereka berusaha merilis 
rekaman mereka sendiri. Menyanyi 
adalah satu hal, menjadi bintang 
adalah hal lain. Darlene Love, yang 
bergabung dengan The Blossoms, 
disebut sebagai pelopor penyanyi
22 l Kinescope l Edisi 10 l 2014 
BEHIND THE SCENE 
Malam Minggu Miko Movie
2014 l Edisi 10 l Kinescope l23
24 l Kinescope l Edisi 10 l 2014 
FESTIVAL 
Cut & Remix Festival Kesenian Yogyakarta (FKY26): 
RIAN SAMIN 
Cut & Remix dipilih 
menjadi tema dari 
pameran ini. Dikutip dari 
catatan kuratorial, bahwa 
tema tersebut berangkat dari 
gejala budaya penciptaan sistem 
dan struktur tanda sekarang yang 
terlihat pada fenomena praktik 
kreativitas berbahasa, merangkai 
benda-benda, gambar, bunyi dan 
berbagai fenomena lainnya. 
Beberapa perupa undangan 
di pameran kali ini diantaranya: 
Ahmad Oka (Jogja), Anom 
Sugiswoto (Jogja), Anti-Tank 
(Jogja), Ivan Bestari Minar 
Pradipta (Jogja), Justian Jafin 
Rocx X (Jogja), Lifepatch (Jogja), 
Mufti Amenk Priyanka (Bandung), 
NSIDEONE (Jogja), Soda Jerk 
(Sydney, Australia), Thedeo Mix 
Blood (Jogja). 
Selain itu, pada Panggung 
Sastra yang menampilkan 
pembacaan puisi dari 15 
penyair muda terkini Yogyakarta 
menggelar beragam bentuk 
tafsir puisi dalam pertunjukan. 
Bertempat di Plataran Tamansari, 
selama tiga hari berturut-turut 
yaitu pada tanggal 4 sampai 6 
September ini mengapresiasi Para 
Penyair Muda yang terus bergiat 
mengisi dan menghidupkan dunia 
sastra Yogyakarta. Divisi Media 
FKY26 Ovie Ermawati mengatakan 
bahwa antusiasme Para Penyair 
sangatlah besar, terbukti 
dari banyaknya yang telah 
mengirimkan karya mereka ke 
meja panitia. 
Pada Jumat malam (5/9)
2014 l Edisi 10 l Kinescope l25 
Pada 2 September lalu, sebuah gerbang menutupi 
setengah lebih sisi depan gedung Jogja Gallery 
yang terletak di Jl. Pekapalan 7, Alun-alun Utara 
Yogyakarta. Karya grafiti yang digambar pada 
gerbang menyambut pengunjung yang datang 
pada PAPERU atau Pameran Perupa Muda. 
Pameran yang berlangsung hingga 9 September ini 
merupakan bagian dari rangkaian FKY 26. 
diadakan Pertunjukan video mapping 
yang menampilkan konten modern 
dan juga tradisi di bangunan khas 
Yogyakarta. Pertunjukan ini dibuka 
oleh performance act dari Windarti 
Dance Company. Bertempat di 0 KM 
/ BNI 46, para Seniman Videografis 
Kolektif ini mampu menghibur 
para pengunjung dan memberikan 
pandangan baru tentang aplikasi 
media seni pertunjukan. 
Sejak 1989, Festival Kesenian 
Yogyakarta (FKY) menjadi acara 
tahunan seni-budaya favorit bagi 
masyarakat Yogyakarta. Bisa 
dikatakan selama 25 tahun lamanya, 
FKY tetap eksis sebagai “etalase 
seni” dalam format festival dan telah 
dikenal secara luas sebagai “rumah” 
segala event seni dan budaya di 
Yogyakarta. 
Ketua Umum FKY26 Setyo 
Harwanto menjelaskan bahwa 
kehadiran FKY dari sisi profit-melalui 
kegiatan rutin Pasar 
Seni-telah diketahui bersama 
dapat memberikan dampak 
ekonomis baik bagi para pelaku 
seni, maupun masyarakat sekitar. 
Sedangkan dari sisi non-profit, FKY 
dapat memberikan kemanfaatan 
secara psikologis, yaitu sebagai 
ruang untuk bermain, berjalan-jalan, 
bersantai bersama pasangan 
maupun keluarga untuk menikmati 
berbagai hal yang berkaitan dengan 
seni dan budaya -senang sembari 
berbelanja menikmati produk lokal, 
seni dan budaya. Setyo melanjutkan 
kalau tahun ini benar-benar terasa 
bahwa terutama anak muda 
mulai menceritakan kembali Kesenian 
tradisi dan Budaya Jogja, dengan 
segala bentuk keguyubannya melalui 
Social Media mereka. “Senang 
rasanya FKY mulai di sengkayung 
lagi. Banyak kritik juga saran dari 
masyarakat, artinya FKY mulai di 
perhatikan lagi. Selebihnya Apresiasi 
yang baik dari masyarakat,” tutupnya.
26 l Kinescope l Edisi 10 l 2014 
Menceritakan 
Kembali yang 
Nyaris Dilupakan 
Makassar Film Festival 2014: 
FESTIVAL 
Thomas Alfa Edison 
mungkin tidak 
pernah berpikir kalau 
keisengannya mengutak-atik 
kamera foto menjadi alat 
perekam objek-objek dinamis 
berefek samping membuat 
orang lupa diri, tetapi Polanski 
menyadarinya. Ia menyampaikan 
tugas utama sinema sebagai 
mesin waktu. Sebuah portal 
yang memindahkan orang-orang 
Eropa ke benua Asia. 
Pintu ajaib yang memindahkan 
pemahaman orientalis ke 
syaraf-syaraf otak para pemikir 
Eropa. Demikian muasalnya 
hingga festival sinema menjadi 
bentuk ruang kelas raksasa yang 
menghubungkan banyaknya 
fakta, pemikiran, dan budaya 
antar benua. Festival film 
menjadi salah satu denyut 
pengetahuan yang sulit 
diabaikan. 
Ada dua modal besar 
bagi sebuah kota untuk turun 
dalam pertempuran kredibilitas 
universal. Teknologi adalah 
modal pertama yang menjadi ciri 
kemajuan budaya, seperti nilai-nilai 
yang mengubah tembikar 
bejana aluminium. Makassar 
sebagai kota yang dirancang 
menuju kota dunia pun sedang 
melakukan perubahan besar- 
REZKIYAH SALEH TJAKO 
Cinema should make you forget you 
are sitting in theatre 
– Roman Polanski (sutradara The Pianist) - 
besaran di berbagai sudut, salah 
satunya dalam aspek budaya. 
Karakteristik budaya merupakan 
modal kedua untuk ikut pertempuran 
tersebut, lahirlah Makassar Film 
Festival yang dirancang menjadi 
salah satu prajurit tempur utama 
setiap tahunnya. 
SEKILAS MAKASSAR FILM 
FESTIVAL 2013 
Pada gelaran Makassar Film 
Festival tahun sebelumnya, komite 
mengibarkan panji “Berlayar ke 
Ujung Pandang”. Sebuah slogan 
cerminan program-program 
perkenalan eksistensi karakter 
makassar dalam kancah perfilman 
dan budaya. Slogan ini ditempatkan 
dalam talkshow “Makassar 
dalam Peta Perfilman Indonesia”, 
dimoderatori oleh Iking Siahsia, 
empat praktisi film yakni Dennis 
Adhiswara, Ichwan Persada, Alem 
Febri Sonni, dan A. Burhamzah 
berbicara tentang peran sineas-sineas 
Makassar dalam pergerakan 
perfilman indonesia. 
Dalam bentuk eksibisi, komite 
menggagas layar utama, sebuah 
pameran sinema eksklusif untuk 
sineas Makassar dan wilayah lainnya 
di KTI, yakni Festival Suara dari 
Timur. Eksibisi ini memutar khusus 
film-film karya sineas muda kawasan 
timur indonesia yang telah melalui 
kurasi ketat dari tim ahli. Mereka 
terdiri dari kurator kolektif makassar 
film festival dan hasil kurasi tim ahli 
Apresiasi Film Indonesia 2013. “The 
Backyard” (Yusuf Radjamuda, Palu), 
“Cita” (A. Burhamzah, Makassar),
2014 l Edisi 10 l Kinescope l27 
“Umar Amir” (Ancha Latief, Palu) 
dan “The Message” (Rezkiyah Saleh 
Tjako, Makassar) menandai generasi 
sineas muda dengan empat bentuk 
film naratif yang berbeda-beda. 
Di program Pemutaran Khusus, 
Vakansi yang Janggal dan Penyakit 
Lainnya (Joseph Anggi Noen, 
2013), Denok & Gareng (Dwi Sujanti 
Nugrahaeni, 2012), dan Mata 
Tertutup (Garin Nugroho, 2012) juga 
diputar untuk menjaring interpretasi 
yang lebih luas mengenai budaya 
sinema dan masyarakat. 
Helatan perdana Makassar 
Film Festival mendapatkan respon 
positif dan kritik membangun dari 
masyarakat. Fariz Budiman dari Total 
Film Indonesia pun turut berbagi 
ilmu di mini-workshop Penulisan 
Kritik Film. Sementara Nadya Fatira 
meluangkan waktu untuk sharing di 
mini-workshop Musik & Film. Pesta 
film ini sukses menjadi perayaan 
bersama yang merakyat. 
MAKASSAR FILM FESTIVAL 
2014, “SATU KOTA, SERIBU 
CERITA” 
Misi utama komite festival adalah 
mengurai kembali jejak Makassar 
dalam peta perfilman Indonesia, 
mengingat kota berbudaya maritim 
ini telah merekam sejarah panjang 
kota ini. Perjalanan tersebut ditandai 
dengan penjamuran komunitas 
kine di setiap sudut kota daeng 
dan penyelenggaran Festival Film 
Indonesia pada tahun 1978. Agenda 
festival pun terbilang berbeda, 
karena diselenggarakan selama tiga 
hari dan membaurkan produser, 
sutradara, aktor, penata kamera, 
hingga para runner di kursi-kursi 
penonton tanpa label “shaf khusus”. 
Judul-judul film karya orang 
Makassar seperti “Latando”, “Embun 
Pagi”, “Senja di Pantai Losari”, dan 
“Sanrego” ikut serta dalam helatan 
ini. Sebagai hadiah paling berkesan, 
tokoh teater, perfilman, dan sesepuh 
jurnalis Rahman Arge mendapatkan 
penghargaan sebagai Aktor Harapan 
Terbaik. 
Makassar Film Festival 
berkewajiban melanjutkan 
dan mempertahankan tugas 
Makassar sebagai kota yang turut 
membangun perfilman Indonesia. 
Helatan tahun ini bekerja di 
bawah gaungan “Satu Kota, 
Seribu Cerita”. Komite mengurai 
dan menyusun kembali sejarah 
kota di bagian seni budaya, suatu 
aspek kemasyarakatan yang harus 
terus berdenyut. Tema ini akan 
dibicarakan dalam skala yang lebih 
sederhana, berbentuk sebuah 
talkshow “Bioskop Makassar”. 
Komite akan menghadirkan 
pembicara kompeten terkait 
perkembangan film Indonesia dari 
perspektif yang sejalan dengan 
kemajuan kota dalam berdiri dan 
rubuhnya bioskop-bioskop di 
Makassar. 
Program Festival “Shorts of 
Indonesia” mulai diadakan tahun ini. 
Menyerupai program Festival Film 
pelajar, program ini mencari dan 
memutar film-film pendek karya 
sineas di seluruh Indonesia, bersifat 
umum dan berdampingan dengan 
festival ikonik “Suara dari Timur”. 
Festival ini dijadwalkan pada 
15-16 November 2014 di Makassar, 
sebagai rangkaian perayaan hari 
jadi kota Makassar ke-407. Selain 
mengajak kembali masyarakat 
Indonesia untuk bertandang 
ke Makassar, komite festival 
pun berencana akan memberi 
penghargaan khusus kepada 
salah satu tokoh yang pernah 
mengharumkan nama masyarakat 
Bugis-Makassar di perfilman 
nasional, 
“... sebab tugas sinema adalah 
membuat lupa penonton sedang 
duduk dalam teater, bukan untuk 
membuat orang-orang lupa 
pada sejarah, sinema bahkan 
merekamnya,” ujar Rezkiyah Saleh 
Tjako, direktur Makassar Film 
Festival 2014.
28 l Kinescope l Edisi 10 l 2014 
BERKARYA SLAMET ABDUL SJUKUR 
TAK KENAL USIA 
Proses berkarya memang tidak mengenal usia, semakin lama 
berkesenian justru banyak hal yang bisa diambil dari seniman 
tersebut. Satu di antaranya adalah komposer Slamet Abdul Sjukur. 
Dalam rangka 79 
tahun usianya,ia 
menggelar Kursus 
Kilat Komposisi yang 
diadakan pada 4 -5 Agustus di 
Auditorium House of Piano Jakarta, 
Dharmawangsa Square. Slamet 
menjelaskan bahwa orang kira 
musik itu hanya ‘main musik’. “Anda 
juga bisa ngarang musik sendiri 
seperti Beethoven, Chopin, dan lain 
lain, cobalah hanya dalam waktu 
singkat,” tukas komposer yang telah 
menyabet banyak penghargaan ini. 
Program kursus kilat komposisi 
ini waktunya dibagi per hari, 
dalam dua sesi. Sesi pertama 
dimulai pukul 09.00 - 12.00 dan 
Sesi kedua pada pukul 13.00 - 
16.00 WIB. Untuk mengenal sosok 
seniman yang unik ini, ada cerita 
ketika terjadi sebuah perdebatan 
sengit antara Slamet Abdul Sjukur 
dan petugas kelurahan. Pasalnya 
pada formulir KTP, untuk kolom 
agama, Slamet mengisinya dengan 
‘musik’, dan ia mempertahankannya. 
“Kepercayaan saya memang 
musik, sebab musik bagi saya 
merupakan usaha spiritual. Eh, saya 
malah dikira komunis,” ujarnya. 
Slamet Abdul Sjukur disebut-sebut 
sebagai seorang pionir musik 
kontemporer Indonesia. Sewaktu 
kecil pria yanglahir dengan 
nama Soekandar pada 30 
Juni 1935 ini sering sakit-sakitan, 
setelah diruwat, ia berganti 
nama menjadi Slamet. Di masa 
kecilnya, ia sering diganggu dan 
berkelahi dengan teman-temannya, 
karena kaki kanannya polio sejak 
usia 6 bulan. 
Persentuhan Slamet yang 
pertama dengan musik terjadi 
ketika ia masih berusia tujuh tahun. 
Ayahnya, Abdul Sjukur, memberinya 
hadiah sebuah piano, Ia 
mengaku lupa kenapa dibelikan 
piano, sebab, ayahnya, juga ibunya 
bukanlah penggemar musik. Di usia 
ke-9, anak tunggal pasangan Abdul 
Sjukur dan Canna ini mulai serius 
belajar dengan D. Tupan, pianis 
asal Ambon yang saat itu bekerja 
di RRI Surabaya. Hal ini sekaligus 
menghindarkan diri dari ejekan 
teman-temannya terhadap kakinya. 
Slamet dibesarkan dalam 
keluarga pedagang, ayahnya 
mempunyai toko obat. Ia 
sempat diminta untuk menjadi 
apoteker, tapi Slamet menolak. 
Ketertarikannya terhadap musik 
ia dapatkan dari sang nenek, 
yang menginginkan dia bisa main 
piano seperti tetangga di sebelah 
rumahnya. 
Selama sembilan tahun, 
sejak 1944, seniman kelahiran 
Surabaya ini mengikuti les piano. 
Ia mulai menempuh pendidikan 
formalnya untuk semakin 
mendalami musik di Sekolah Musik 
Indonesia “Semind” Yogyakarta 
(1952-1956). Enam tahun 
kemudian, Slamet mendapatkan 
beasiswa untuk belajar musik dari 
Pemerintah Perancis (1962-1967). 
Dia belajar organologi 
untuk semakin memperdalam 
pengetahuannya tentang 
piano di Ecole Normale de 
Musique. Beasiswa dari pemerintah 
Perancis yang memungkinkannya 
bersekolah di Ecole Normale de 
Musique, mestinya hanya untuk satu 
tahun. Tetapi ia usahakan hingga 
menjadi tiga tahun. Hal tersebut 
belum membuatSlamet puas. Ia 
meneruskan sekolah dengan usaha 
sendiri dengan menjadi tukang cuci 
piring di restoran dan pianis pada 
sebuah sekolah balet. Sebelum itu, 
ia bahkan sempat menggelandang 
menjadi pengamen di lorong-lorong 
stasiun kereta api bawah tanah. 
Namun nampaknya semua ilmu 
yang dia dapatkan dari pendidikan 
RIAN SAMIN 
TOKOH
2014 l Edisi 10 l Kinescope l29 
formal ini seolah hanya menjadi 
formalitas bagi Slamet, Slamet 
lebih banyak mengembangkan 
cara-cara sendiri dalam bermusik. 
Dia mengajarkan pada banyak 
orang bahwa musik sesungguhnya 
dimulai dari diam atau tidak ada 
bunyi sama sekali. 
Bagi Slamet, lantunan musik 
adalah tepukan tangan pada 
mulut yang terbuka, gesekan kain 
panjang kaum perempuan ketika 
berjalan, bunyi gesekan sapu di 
jalanan, bahkan juga bunyi ketiak 
yang ditutup dengan telapak 
tangan. Musik pada hakekatnya 
bukan monopoli milik orang musik 
saja. Musik adalah milik semua 
orang dan bisa dimainkan dengan 
alat apa saja. Bahkan desir angin, 
gesekan daun, gemericik air, itu 
semua sebenarnya sudah musik. 
Slamet yang aneh dan 
cuek selalu berkarya dengan 
kemauannya sendiri. Hal inilah yang 
menjadi ciri khasnya dan membuat 
dia semakin dicintai dengan 
karya hebatnya. Sebagai pemeluk 
‘kepercayaan musik’, Slamet 
memang taat. Rumah tinggalnya 
tidak hanya dibangun berdasarkan 
ketentuan geomensi, penyesuaian 
arah mata angin dengan garis 
hidup penghuninya, melainkan 
juga dirancang sendiri menurut 
perhitungan akustik yang njlimet. 
Seluruh dinding luar rumah 
berupa batu bata merah 
telanjang, tanpa plesteran semen. 
Posisi dindingnya unik.Dinding 
rumahnya sejajar hanya ada 20 
persen, semua ini ia rancang untuk 
menghasilkan pantulan suara yang 
baik. 
Sebagian karya ciptaannya 
adalah, Ketut Candu, String Quartet 
I, Silence, Point Core, Parentheses 
I-II-III-IV-V-VI, Jakarta 450 
Tahun dan Daun Pulus. Menurut 
penggemar W.R. Supratman dan 
Harry Roesli ini mendapatkan 
inspirasi Daun Pulus dari jaipongan, 
dipesan oleh Farida Oetoyo untuk 
pementasan balet pada Desember 
1983. Musik Hantu, sebuah ekspresi 
kelengangan total, ia suguhkan di 
Erasmus Huis, Jakarta, pada 1985. 
Musik memantik minat musik 
Slamet dan mengantarkannya 
menjadi komponis ternama 
dengan karya-karya yang 
dikenal di berbagai negara. 
Sesuatu yang mungkin 
membanggakan adalah bagaimana 
seorang Debussy terinspirasi oleh 
gamelan. Slamet juga telah dipilih 
oleh Institut Français membuat 
komposisi GAME-Land V untuk 100 
tahun Debussy pada 2012 yang 
lalu. 
Penghargaan : 
• Mendapat beasiswa dari 
Pemerintah Perancis 
untukbersekolah di Ecole 
Normale deMusique (1962) 
• Bronze Medal dari Festival 
deJeux d’Automne in Dijon 
(1974) 
• Golden record dari 
AcademieCharles Cros 
in France, untukkaryanya 
Angklung (1975) 
• Zoltan Kodaly Commemorative 
medal in Hungary (1983) 
• Perintis Musik Altenative 
darimajalah Gatra (1996) 
• Millennium Hall of Fame of 
the American Biographical 
Institute (1998) 
• Officier de l‘Ordre des Arts et 
des Lettres (2000)
30 l Kinescope l Edisi 10 l 2014 
Embel-embel ‘perempuan’ 
di belakang kata 
‘sutradara’ lebih sering 
terasa tak mengenakkan. 
Tapi, bagi Lola, keperempuanan 
itu memang memiliki makna 
tersendiri yang menjiwai karya-karya 
filmnya. Lihat saja filmnya 
yang berjudul ‘Minggu Pagi di 
Victoria Park’ (2010) dan ‘Kisah 
Tiga Titik’ (2013). Berkisah 
tentang para buruh perempuan, 
dua film itu memperlihatkan 
secara gamlang keberpihakan 
Lola terhadap isu-isu yang 
mendera kaumnya. 
Belum lama ini, Lola 
merilis film terbarunya, ‘Negeri 
Tanpa Telinga’, sebuah drama 
bertema politik aktual yang 
membuat Wakil Gubernur 
Jakarta Basuki Tjahaja Purnama 
atau Ahok mengajak segenap 
anak buahnya untuk nonton 
bareng. Pengamat perfilman 
Indonesia yang paling ganteng 
se-Jakarta Shandy Gasella 
menyelinap ke balik layar untuk 
mengintip kiprah dan pemikiran 
Lola sebagai sutradara. 
Perbincangan berlangsung di 
kantornya di Cipete, Jakarta 
Selatan. Hampir semua 
pertanyaan yang diajukan 
dijawab dengan panjang lebar. 
Berikut petikannya: 
Kamu kan mengawali karirmu 
dengan menjadi model, 
lalu menjadi aktris, sampai 
pada akhirnya kamu bekerja 
di belakang layar. Apa 
motivasimu untuk bekerja di 
belakang layar? 
Sebenarnya perjalanan itu 
penuh dengan proses, dari 
mulai jadi aktris aja sekitar 
awal tahun 2000, itu pun nggak 
sengaja karena cita-citaku 
sebenarnya mau jadi diplomat. 
Terus iseng-iseng kirim formulir 
pemilihan Wajah Femina tahun 
1997. Waktu itu masih belum 
banyak lomba-lomba pemilihan 
seperti itu, baru Femina, None 
Jakarte dan Putri Indonesia. 
Satu bulan atau dua bulan 
kemudian ditelepon pihak 
Femina kalau aku masuk 60 
besar masuk ke 20 semifinalis. 
Itu momen yang aku nggak 
percaya. Ketika malam final, 
aku menang. Aku menang juara 
busana nasional, kebaya. Jadi 
sepertinya semua serba tak 
terduga. 
Wah, seru juga ya. Lalu? 
Dalam Film, Kita Harus Tidak Seperti Politik 
Lola Amaria telah berjalan jauh 
dari seorang model sampul 
majalah, pemain sinetron, bintang 
film hingga kini dikenal sebagai 
satu dari sangat sedikit sutradara 
perempuan di Tanah Air. 
Lola Amaria: 
Waktu itu pelatihnya Mas 
Denny Malik dan aku sempat 
dimarahin, “Lo tu pake kebaya masa 
kayak koboy jalannya!” Terus pas 
diumumin menang. Dari situ mulai 
ada kegiatan, jadi nggak suntuk 
lagi. Setelah itu ditawarin main 
di film ‘Ca Bau Kan’. Saat itu film 
baru bangkit, belum banyak film 
Indonesia. 
Mulai aku belajar nulis, belajar 
produksi, belajar nge-direct dan 
semua otodidak sambil jalan. Aku 
nggak sekolah film, jadi semua 
belajarnya lewat nonton film, 
diskusi, datang ke pemutaran-pemutaran 
film. Kalau mas Garin 
bikin pemutaran, ada diskusi, aku 
pasti datang, pengen tau gimana 
Mas Garin menjawab pertanyaan 
dan mempertanggungjawabkan 
karyanya. Sampai pada akhirnya 
aku memutuskan untuk, menulis 
sendiri, atau mungkin pakai penulis 
tapi idenya tetap ide sendiri, atau 
mungkin memproduksi sendiri, atau 
menyutradarai. 
Apakah membuat film itu sebuah 
pengalaman yang mengubah 
hidup? 
Iya, banget. Sebab dari membuat 
film aku bisa kenal banyak orang 
dari pelbagai kalangan. Bila nggak 
di film, mungkin nggak akan dapat, 
aku bisa kenal orang-orang penting, 
aku bisa dapat akses, privilege 
kalau misalnya ke mana-mana. 
Aku bisa tahu tempat-tempat yang 
belum pernah aku tahu seperti 
Flores misalnya. Terus bisa ke 
luar negeri juga secara gratis bila 
misalnya filmku masuk festival di 
luar negeri, ada banyak hal yang 
menyenangkan. 
SHANDY GASELLA 
INTERVIEW
2014 l Edisi 10 l Kinescope l31 
Harus Jujur 
Politik 
Biasanya bagaimana ide-ide 
untuk sebuah film itu muncul di 
benakmu? 
Ide itu banyak, kadang-kadang 
kalau lagi jalan, atau ketemu orang, 
aku suka nyatet ada kejadian apa. 
Kayak masalah politik ini, yang 
kuangkat di ‘Negeri Tanpa 
Telinga’, terbersit aja dari 
nonton televisi. Ada teman 
di parlemen, aku tanya 
tentang banyak hal. Terus-terang 
aku buta politik, 
jadi pengen lebih tahu 
bagaimana orang-orang 
di dalamnya. Ternyata 
banyak busuknya dan 
penuh intrik. Dalam film 
sebaliknya, kita nggak bisa 
berpolitik, kita harus jujur. 
Nah, itu bertolak belakang 
dengan politik, maka 
aku nggak bisa jadi 
politikus.
32 l Kinescope l Edisi 10 l 2014 
Menurut saya, debutmu 
sebagai sutradara di ‘Betina’ 
adalah sebuah bentuk 
perlawanan terhadap industri 
film di Tanah Air pada masa 
itu. Setelah itu kamu membuat 
‘Minggu Pagi di Victoria Park’, 
‘Kisah 3 Titik’, ‘Negeri Tanpa 
Telinga’, boleh cerita bagaimana 
proses kreatifmu berkembang 
dari waktu ke waktu? 
‘Betina’ itu kan film yang sangat 
personal, film pertama dan bikinnya 
dua tahun. Setahun pertama uang 
habis, tapi belum kelar dan 
baru tahun 
depannya diterusin. Saking 
kepengennya punya karya gitu, 
semua orang belum ada yang 
percaya apalagi ceritanya arthouse 
gitu, hanya beberapa orang yang 
paham. Bioskop 21 pun nggak 
bisa nerima karena formatnya 
bukan seluloid. Akhirnya kami 
mengedarkannya ke kampus-kampus 
dan festival. Secara value 
itu dapet banget, tapi secara materi 
sama sekali enggak. 
‘Kisah 3 Titik’ ide awalnya dari 
demo-demo buruh. Kalau nggak 
upah naik, terus aturan outsourcing, 
ada banyak banget yang tidak 
terselesaikan. Nah, itu juga riset 
ke tiga tempat, ke buruhnya, ke 
pengusahanya, dan ke pemerintah. 
Dan kebetulan pada saat itu 
memang Kementerian Tenaga 
Kerja mendukung secara finansial, 
budgetnya cukup untuk membuat 
film yang kita inginkan, dan itu 
menyenangkan. 
Sebelum ‘Kisah 3 Titik’, aku 
bikin ‘Sanubari Jakarta’ tentang 
LGBT (lesbian, gay, bisexual, and 
transgender). Prosesnya dari ngopi-ngopi 
bareng teman-teman dan 
lumayan hits karena omnibus juga 
masih baru. Itu juga film indie 
yang kami danai sendiri oleh 
masing-masing sutradaranya 
yang berjumlah 10 orang. Lalu 
tiba-tiba kami semua kaget, 
bioskop 21 bisa nerima film 
jenis begitu, itu blessing in 
disguise juga, ternyata bisa 
menjadi panutan buat sutradara 
lain untuk bikin yang serupa. 
Kemudian kan ada 
‘Rectoverso’, ‘Hi5teria’, dan lain-lain, 
itu cukup senang sih. Dan 
aku ngambilnya waktu itu memang 
acak, ada artis, ada sutradara, ada 
orang biasa, kami gabungin, jadinya 
seperti itu, dan temanya LGBT pula! 
Ketika film ini tayang, banyak yang 
pada nunggu DVD-nya rilis karena 
pada takut nonton (di bioskop). 
Dalam ‘Novel Tanpa Hurup R’ 
kamu jadi produser sekaligus 
pemain, dalam ‘Betina’ kamu 
jadi sutradara namun tidak ikut 
bermain, dalam ‘Minggu Pagi di 
Victoria Park’ kamu jadi sutradara 
sekaligus ikut bermain, di ‘Kisah 
3 Titik’ kamu ikut bermain juga, 
dalam ‘Negeri Tanpa Telinga’ 
kamu tak ikut bermain. Apa sih 
pertimbanganmu? 
Di ‘Betina’ aku sebagai produser 
sekaligus director. Produksinya 
memang pakai uang sendiri, jadi aku 
ingin jadi produser dan nge-direct. 
‘Novel Tanpa Hurup R’ waktu itu 
Aria (Kusumadewa) yang minta 
aku main, padahal posisi produser 
juga berat pada saat itu. ‘Minggu 
Pagi di Victoria Park’ awalnya sih 
ke sutradara, tapi produsernya, 
Bu Dewi bilang, kalau aku ngerti 
banget masalah ini, jadi mendingan 
ikut main. 
Di film ‘Kisah 3 Titik’ menterinya 
yang minta aku main, padahal aku 
mau konsentrasi jadi produser aja. 
Kemudian kupikir, oh ya udahlah 
produserin dan main nggak terlalu 
berat, yang paling berat itu nge-direct 
dan sambil main juga, itu 
yang terjadi di ‘Minggu Pagi di 
Victoria Park’, sulit untuk terulang 
lagi kecuali aku punya co-director 
yang kuat ya, dan budget yang 
besar. 
Menurutmu apa yang membuat 
sebuah film itu bagus? Adakah 
kualitas tertentu yang harus 
dimiliki sebuah film? 
Bagus atau jelek itu relatif, 
kuat atau lemah itu relatif. Tapi 
yang paling penting film itu 
punya tiga unsur; estetika, etika, 
logika. Kemudian film harus bisa 
komunikatif dengan penonton. 
Estetika itu kan lebih ke teknis, 
warna baju, warna background, dan 
set-nya itu kan menggambarkan 
estetika pembuatnya. Kemudian 
ruangnya segala macam karena 
film itu merupakan seni yang 
paling bungsu di mana semua 
seni tergabung di situ dari mulai 
seni rupa, seni akting, seni musik, 
fotografi, penulisan, dan lain-lain. 
Bila misalnya satu unsur aja nggak 
ada, bukan film namanya. 
Apa pelajaran terpenting yang 
pernah kamu dapatkan yang 
memiliki pengaruh positif 
terhadap karyamu? Dan, 
bagaimana pelajaran itu terjadi? 
Bekerja di dunia film. Membuat 
sebuah film itu waktunya panjang, 
orangnya banyak, menjadi leader 
di antara sekian banyak kru dan 
pemain. Keputusan harus diambil, 
suasana segenting apa pun tetap 
harus ada keputusan dan itu (tugas) 
director. Di situlah aku belajar untuk 
ambil keputusan dengan cepat dan
2014 l Edisi 10 l Kinescope l33 
tepat, belajar jadi pemimpin, belajar 
untuk tahu psikologi orang secara 
bersamaan. 
Ada istilah dalam filmmaking, 
it all starts with the script. Nah, 
kapan kiranya kamu tahu ketika 
skrip yang kamu tulis siap untuk 
diproduksi? 
Paling nggak draft 1, belum 
ketahuan sih udah siap syuting atau 
nggak, tapi paling nggak draft 1 itu 
udah ketahuan budgetnya, berapa 
hari syuting, berapa pemain, dan 
lainya. Artinya, dengan menghitung 
budget di draft 1, aku udah 
bisa presentasi. Bisa kebayang 
dengan panduan draft 1, kami 
bisa persiapan tiga bulan, syuting 
sebulan, uangnya sekian. Namun 
untuk menuju draft 1 juga kan 
nggak sebentar. 
Film lebih dari sekedar bentu 
seni pop lainnya, ia kompromi di 
antara seni dan komersialisasi. 
Bagaimana karyamu terbentuk 
oleh ada-tidak-adanya uang? 
Apakah kamu berkarya dengan 
pembatasan budget dalam 
benakmu? 
Aku ambil contoh misalnya 
‘Negeri Tanpa Telinga’ atau ‘Minggu 
Pagi di Victoria Park’. Secara cerita 
itu based on true events. Jadi 
ketika harus dikompromikan, bagian 
yang mana? Karena kita tidak bisa 
membohongi realitas misalnya 
mengurangi jumlah, angka, dan lain-lain 
itu nggak bisa. Kita harus punya 
win-win solution supaya berimbang. 
Film itu budget orientation atau 
idea orientation, jadi melihat standar 
pembuatan film secara jumlah rupiah 
di Indonesia itu masuk akal nggak? 
Tapi kalau untuk idea oriented aja, 
juga hampir mungkin. Jadi lebih ke 
idenya, gimana lebih bisa ditekan 
budgetnya. Pemainnya sedikit, 
setting sedikit, tapi ceritanya kuat. 
Kalau ‘The Raid’ udah jelas 
mereka distribusi sampai ke luar 
negeri dan itu bisa ditiru jadi contoh 
yang baik untuk distribusinya. 
Berharap Gareth Evans bisa jadi 
agen buat film Indonesia, untuk 
bawa film Indonesia ke luar 
negeri dan bisa menolong teman-teman 
sineas di sini untuk bisa 
mendistribusikan filmnya keluar 
Indonesia. 
Peluang dan tantangan apa saja 
yang dihadapi perempuan dalam 
industri film? 
Sebenarnya nggak ada 
perbedaan dengan laki-laki, cuma 
mungkin jumlah perempuan yang 
terjun ke dunia film, apalagi di 
belakang layar masih sedikit. 
Kenapa kubilang sedikit, mungkin 
perempuan-perempuan yang sudah 
bersuami khawatir masalah jam 
kerja. Di Indonesia budayanya masih 
sulit untuk disamakan dengan luar 
negeri, kecuali perempuan yang 
single yang mengatur waktu sendiri. 
Apalagi dunia film kan selain jam 
kerjanya juga nggak jelas gitu, 
kadang pulang pagi, masuk kerja 
jam 2 siang, syuting dua bulan 
meninggalkan keluarga. 
Bisnis film di negeri kita ini fair 
nggak? 
Dalam hal apa dulu nih? Misalnya 
hasil pembagian tiket, kayak tadi 
soal monopoli, itu nggak fair. Selain 
monopoli, menomorsatukan film 
asing juga nggak fair. Pemerintah 
juga nggak support, misalnya 
pajak film yang sudah didapatkan 
dari setahun lalu, pada ke mana? 
Katanya harusnya mungkin bisa 
dibagi untuk filmmker agar bisa 
produksi film lagi. 
Bila di Amerika pemerintahnya 
mengerti bahwa film itu jendela 
budaya, propaganda, dan penting 
buat negara mereka. Misalnya tanpa 
sadar segala hal berbau Amerika 
itu ada di film, misalnya Captain 
America, Crazy Alabama, Living Las 
Vegas, New York I Love You, semua 
pakai nama kota atau tempat yang 
secara nggak langsung bikin kita jadi 
kepengen lihat dan pergi ke sana. Di 
Indonesia belum ada studio macam 
di Hollywood yang untuk bikin film 
seperti Titanic aja bisa dengan 
CGI. Sekarang kita mau syuting di 
bandara, tau nggak betapa susahnya 
izin syuting di sana dan betapa 
mahalnya kalau dapat izin, dan 
itupun sangat terbatas waktunya. 
Sementara, bagimana film mau 
bagus kalau dari yang kecil-kecil saja 
sudah nggak didukung. 
Kamu pernah menerima 
penghargaan best director di 
Jiffest untuk ‘Minggu Pagi di 
Victoria Park’, seberapa penting 
peranan festival film dalam 
pandanganmu? 
Penting buat yang punya 
kepentingan. Terus kayak menang 
di Jiffest. At least aku senang, 
bangga, tapi setelah itu ya sudah, 
aku harus berjuang lagi, bikin film 
lagi, nyari duit lagi, nyari ide lagi. 
Bukan setelah menang, terlena 
lalu berkoar-koar. Jadi soal festival, 
menang piala, penghargaan, hadiah, 
itu bisa membunuh kita bila kita 
nggak manage dengan benar, jadi 
sombong juga. 
Gimana caramu menyikapi kritik? 
Positif. Karena bila nggak ada 
kritik kita nggak akan bisa maju. 
Kritik dari sumber yang benar, kritik 
yang dapat membangun, kritik yang 
memang bisa dipercaya. Acuanku 
biasanya ada filmindonesia.or.id, 
Detikcom, ada juga Tempo dan kritik 
mereka nggak ada yang sama. Tapi 
namanya kritik, nggak ada yang 
salah, nggak ada yang benar, itu kan 
opini. 
Tapi paling tidak, sejelek apa 
pun filmnya, kita harus menghargai 
bahwa mereka sudah kerja keras 
untuk itu. Kritik negatif itu juga salah 
satu alasan mengapa film Indonesia 
nggak maju-maju. Walaupun jelek 
menurut kritik, tapi jeleknya harus 
bisa dijelaskan dan harus berimbang 
ulasannya. Dan memang, rata-rata 
orang Indonesia masih sulit untuk 
nerima kritik. Dan itu tahapannya 
juga berat untuk bisa sampai ke 
tahap “ya udah yang penting udah 
bikin...” 
Bila ada satu dua hal yang dapat 
membuat industri film di sini jadi 
lebih baik, itu apa? 
Support dari semua pihak. 
pemerintah, dari lembaga sensor, 
beberapa lembaga yang berkaitan 
dengan film, dari pengusaha-pengusaha 
yang harusnya sadar 
bahwa film itu seperti di Amerika, 
bisa jadi jendela dunia, bisa jadi alat 
propaganda, dan bisa membawa 
film Indonesia lebih mudah diakses. 
Selain di dalam negeri dengan 
menambah jumlah bioskop yang 
tidak dimonopoli, pro film Indonesia, 
dan mereka memudahkan kita 
untuk bisa berangkat ke luar negeri 
dengan membawa peralatan kita. 
Dukungan semua pihak, kalau cuma 
segelintir orang dan lembaga sih 
masih kurang.
34 l Kinescope l Edisi 10 l 2014 
OPINI 
PRIMI ROHIMI 
Film-film keagamaan yang 
disutradarai oleh Imam 
Tantowi, Khairul Umam, 
dan Dedy Mizwar, biasanya 
bertema Islam. Judul-judul 
seperti Titian Rambut Dibelah 
Tujuh, Al-Kautsar kemudian film-film 
legenda yang mengisahkan 
Wali Songo juga bisa dilihat sebagai 
genre keagamaan (Taufik, 2008: 90). 
Peran perempuan sangat 
menarik jika dikaji dalam 
kaitannya dengan syariat Islam 
di Indonesia dalam film Indonesia 
bertema Islam. Menurut Veronika 
Kusumaryati, kurator VFF 2010, 
selama ini peran perempuan tidak 
pernah dianggap penting dalam 
penerapan syariat Islam. Selain 
itu, perempuan kerap menjadi 
korban yang paling terlihat dalam 
penerapan syariat Islam (http:// 
www.tempointeraktif.com diakses 
pada tanggal 24 Januari 2010). 
Misalnya dalam film Ayat-ayat Cinta 
(2008), peran perempuan sebagai 
penentu dalam perjodohan tidak 
direspon penonton dan kritikus 
film. Dalam film tersebut justru isu 
poligami dan kekerasan terhadap 
Simbol-simbol Islam hadir dalam perfilman sudah sejak lama. 
Terdapat berbagai macam jenis film di Indonesia, salah satunya yang 
berhubungan dengan aktivitas dakwah adalah film yang bertema 
Islam. 
FILM INDONESIA 
BERTEMA ISLAM 
DAN MITOS 
PEREMPUAN 
SEBUAH THESIS:
2014 l Edisi 10 l Kinescope l35 
perempuan dalam Islam yang selalu 
menjadi pembahasan. 
Tradisi patriarkhi dalam Islam 
memunculkan mitos perempuan 
hanya menjadi subjek dakwah di 
dalam rumah dengan perannya 
sebagai ibu. Padahal sejak awal 
Islam muncul, perempuan telah 
memainkan peran penting dalam 
kemajuan dakwah Islam. Mulai dari 
pengorbanan Sumayyah hingga 
peran Aisyah dalam pengumpulan 
hadist-hadist, perempuan telah 
berperan dalam mengembangkan 
dan menyebarkan Islam. 
Tampaknya ada perbedaan 
penampilan perempuan dalam 
film Indonesia bertema Islam 
dibandingkan dengan film bertema 
lainnya. Perbedaan yang terlihat 
jelas adalah pada kostum. Tokoh 
perempuan dalam film Indonesia 
bertema Islam sering ditampilkan 
mengenakan busana muslimah 
atau setidaknya lebih tertutup 
dibandingkan film yang tidak 
bertema Islam. Penggunaan 
kerudung atau jilbab pun seperti 
sudah menjadi ikon dalam film 
bertema Islam. Entah jilbab besar, 
jilbab yang in fashion, atau sekedar 
selendang dan kain tudung kepala. 
Perbedaan lain adalah pada 
penokohan. Perempuan yang 
menjadi bagian dari film bertema 
Islam cenderung sebagai muslimah 
yang berakhlakul karimah, berbicara 
dengan halus dan sopan serta 
berwajah cantik. Peran-peran 
protagonis atau setidaknya netral 
menjadi stereotip perempuan 
dalam film bertema Islam. 
Seorang ibu yang sabar, 
anak gadis yang 
penurut, atau istri 
yang berbakti pada 
suaminya. Kalaupun 
perempuan dalam 
film bertema Islam 
harus digambarkan 
sebagai sosok 
antagonis 
maka kostum 
yang dikenakan 
cenderung dibedakan 
dengan muslimah 
protagonis yang berjilbab 
walaupun pemeran antagonis itu 
pun adalah seorang muslimah. 
Perbedaan lain yang juga 
tampak yaitu bahwa film 
Indonesia bertema Islam tidak 
ada eksploitasi wajah dan bagian 
tubuh yang berlebihan melalui shot 
kamera. Ada kesan implementasi 
etika memandang secara Islam yang 
harus dilakukan oleh sutradara. Hal 
ini karena cara pandang sutradara 
akan mempengaruhi cara khalayak 
film melihat objek yang ditampilkan 
dalam film. Melihat objek kamera 
dalam film bertema Islam tidak 
lagi menggunakan male gaze 
(tatapan pria) tetapi harus dengan 
cara yang syari. Cara memandang 
lawan jenis dalam Islam hanya 
terbatas pada bagian tubuh yang 
bukan aurat yaitu untuk perempuan 
adalah wajah dan telapak tangan. 
Sedangkan dalam film bertema 
percintaan bahkan horor, wajah 
dan bagian tubuh yang seharusnya 
tidak ditampilkan (belahan dada, 
paha, dan perut), justru ditampilkan 
dengan close up. 
Penelitian tentang film Indonesia 
bertema Islam sebagai film dakwah, 
film religi, maupun film islami 
muncul pada tahun 2000-an 
ketika film Indonesia bertema 
Islam mengalami booming dan 
ketika kajian Islam semakin 
tumbuh. Menarik sekali jika bisa 
melihat dan menemukan 
perubahan film 
Indonesia bertema 
Islam tahun 
1980-an hingga 
tahun 2010. 
Penelitian yang 
masih sedikit 
adalah penelitian 
dan/atau 
kajian tentang 
perempuan 
dalam film 
Indonesia bertema 
Islam. 
Apalagi 
pemetaan 
tentang 
kehadiran 
tokoh 
perempuan 
dalam rentang perjalanan film 
Indonesia bertema Islam yang 
ternyata memiliki periode masa 
yang telah lama. Penelitian ini 
dibatasi hanya pada tokoh (karakter) 
perempuan dalam film karena 
kehadiran perempuan dalam dunia 
film Indonesia bertema Islam tidak 
hanya sebagai pemain tapi ada 
juga yang berperan sebagai film 
makers. Namun efek yang lebih 
terasa adalah pencitraan tokoh 
(karakter) perempuan. Maka menarik 
pula jika bisa melihat dan 
menemukan perubahan representasi 
tokoh perempuan dalam film 
Indonesia bertema Islam tahun 
1980-an hingga tahun 2010. 
FILM SEBAGAI MEDIA DAKWAH 
Media dakwah yang komunikatif 
ada yang bersifat visual, auditif, 
ataupun audio visual. Chusana 
dalam penelitiannya menyebutkan 
bahwa salah satu alternatif media 
tersebut adalah melalui film (2007). 
Film terbukti bisa menjadi sarana 
dakwah yang efektif. Film dapat 
dengan mudah menyampaikan 
nilai-nilai ajaran Islam dengan 
cara non doktrinasi. Film bisa 
dengan menarik menyampaikan 
pesan-pesan akidah, syari’ah, dan 
akhlak (Munif, 2004; Fauzi, 2009; 
Hidayatullah, 2010). 
Hasil penelitian Munif pada 
tahun 2004 dalam film Children 
of Heaven menyebutkan bahwa 
film Children of Heaven menjadi 
media untuk menyampaikan 
pesan-pesan dakwah. Pesan-pesan 
dakwah di antaranya adalah 
akidah, syaria’h dan akhlak. Pesan-pesan 
dakwah tersebut juga 
ditemukan oleh Chusana (2006) 
dalam film Kiamat Sudah 
Dekat. Dalam penelitian 
Chusana, pendekatan 
yang digunakan sama 
dengan penelitian yang 
dilakukan Munif. Mereka 
menggunakan pendekatan 
kualitatif dengan analisis 
semiotik. 
Pendekatan kualitatif lainnya 
adalah dengan analisis wacana 
seperti yang dilakukan oleh Fauzi
36 l Kinescope l Edisi 10 l 2014 
(2009) ketika meneliti pesan dakwah 
dalam film Do’a Yang Mengancam. 
Fauzi menemukan bahwa pesan 
dakwah dalam film Do’a Yang 
Mengancam adalah pesan-pesan 
tentang akhlaq, syari’ah, 
dan aqidah. Ternyata dengan 
pendekatan kuantitatif pun film bisa 
disimpulkan sebagai media dakwah. 
Ini bisa dibaca dari hasil penelitian 
Hidayatullah yang meneliti pesan 
dakwah dalam film My Name Is 
Khan (2010) dengan analisis isi. 
Hakim dalam artikelnya tentang 
“Citra Islam dalam Film dan 
Sinetron” (2010) berpendapat 
bahwa pada tahun 1990an, genre 
film religi adalah bercorak Islam 
urban, sedangkan pada tahun 
1980-an genre film religi lebih 
banyak berlatar Islam pedesaan. 
Film religi era 1980an dan 1990an 
menampilkan Islam sebagai agama 
mistis-dogmatis. 
Beberapa pemerhati film 
mengelompokkan film-film 
bertema Islam sebagai film religi. 
Seperti artikel yang ditulis oleh 
Patawari (lulusan IKJ yang aktif 
dalam Cinema Kelana) dalam 
situsnya www.cinephilia-cine. 
blogspot.com, dia merumuskan 
bahwa film religi 
merupakan sub genre 
dari film drama yang 
mengangkat agama 
sebagai tema 
sentralnya. 
Simbol-simbol 
Islam dalam film 
Indonesia 
ini dikritisi oleh Ashaf (2008) 
sebagai keniscayaan sejarah 
Indonesia, mengingat dunia hiburan 
berusaha melayani penontonnya 
yang sebagian besar muslim. 
Selain itu, Islam adalah tema yang 
menarik karena ketegangan muslim 
dalam menghadapi modernitas. 
Ashaf menyimpulkan dalam film 
Indonesia bertema Islam terdapat 
dua jenis tema religius yaitu 
religius mantra dan religius praksis. 
Aminudin pada tahun 2010 
melakukan analisis pada simbol-simbol 
Islam yang muncul dalam 
film Indonesia pasca orde baru. 
Menurutnya simbol-simbol tersebut 
terrepresentasikan dalam wujud 
mistic synthetic dimana terjadi 
akulturasi antara kebudayaan Islam 
tradisional yang bertemu dengan 
Islam modernis. 
Teori Ashaf dan Aminudin ini 
bisa diperjelas secara aplikatif oleh 
penelitian yang dilakukan oleh 
Wardani (2010). Wardani meneliti 
tentang simbol- simbol keagamaan 
dalam film Perempuan Berkalung 
Sorban. Dengan 
analisis 
resepsi, 
Wardani menemukan bahwa 
interpretasi para informan 
dalam menyaksikan film 
Perempuan Berkalung Sorban 
dapat dikelompokkan sesuai posisi 
decoding khalayak Hall yaitu posisi 
dominan hegemonik, negosiasi dan 
oposisional. 
Nampaknya pendekatan kualitatif 
khususnya dengan analisis semiotik 
menjadi alat yang sering digunakan 
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan 
tentang simbol-simbol 
Islam dalam film Indonesia bertema 
Islam. Penelitian “Pesan Moral 
Islami dalam Film Ayat-Ayat 
Cinta” menggunakan analisis 
Semiotik model Roland Barthes dan 
model Wacana Van Dijk (Zakiyah, 
2008). 
MITOS PEREMPUAN DALAM 
FILM 
Studi Semiotika Representasi 
Perempuan Muslim pada Tokoh 
Annisa Dalam Film Perempuan 
Berkalung Sorban Karya Hanung 
Bramantyo, diteliti oleh Five 
Yuniartin Cholil (2010). Penelitian 
ini mengangkat tema tentang 
gender perempuan dalam kehidupan 
keluarga dan aturan pondok 
pesantren salafiah yang memiliki 
budaya Islam patriarkhi. Film ini 
berfungsi untuk menyajikan realita 
yang ada dalam masyarakat 
bahwa tugas seorang perempuan 
tidak selalu mengurus pekerjaan 
rumah tangga saja, melainkan 
mereka juga memiliki hak 
untuk melakukan aktivitas di luar
2014 l Edisi 10 l Kinescope l37 
rumah tetapi tidak boleh sampai 
melampaui kodratnya. 
Namun karena budaya patriarkhi 
masih melekat dalam kehidupan 
masyarakat sehari-hari membuat 
posisi Annisa (objek dalam 
penelitian ini) harus mengikuti 
budaya patriarkhi tersebut dengan 
menurut terhadap aturan dari 
abinya (Kiai Hanan). Metode 
penelitian skripsi ini menggunakan 
analisis semiology Roland Barthes 
untuk menganalisis tanda-tanda 
representasi Annisa yang disajikan 
dalam film dan mengetahui mitos 
tentang perempuan muslim. Selain 
menggunakan teori semiology, 
peneliti juga menggunakan teori 
gender perempuan dalam Islam 
untuk memberikan penjelasan 
terhadap tanda-tanda representasi 
Annisa dalam film. 
Kesimpulannya, bahwa Annisa 
mampu menunjukkan kepada 
lingkungannya jika ia adalah 
perempuan yang mandiri, memiliki 
posisi yang sederajat dengan laki-laki, 
dan mampu mengubah gaya 
berfikir Islam patriarkhi keluarga 
dan pondok pesantrennya. Ia 
menunjukkan bahwa perempuan 
juga memiliki kemampuan yang 
sama dengan laki-laki dan 
kebebasan untuk menentukan 
pilihannya sendiri namun tetap 
berpegangan pada kaidah Islam. 
Beroperasinya ideologi melalui 
semiotika mitos dapat ditengarai 
melalui asosiasi yang melekat 
dalam bahasa konotatif. Barthes 
mengatakan penggunaan konotasi 
dalam teks ini sebagai penciptaan 
mitos. Ada banyak mitos yang 
diciptakan media di sekitar kita, 
misalnya mitos tentang kecantikan, 
keberanian, pembagian peran 
domestik versus peran publik dan 
banyak lagi. Mitos ini bermain 
dalam tingkat bahasa yang oleh 
Barthes disebutnya meta-language 
(Strinati, 1995:113). 
Hasil interpretasi makna konotasi 
di atas menunjukkan kesan adanya 
beberapa mitos dan aturan tentang 
perempuan dalam film Indonesia 
bertema Islam. Mitos-mitos 
tersebut merupakan stereotip 
perempuan yang dilabelkan oleh 
masyarakat. Perempuan yang 
tidak sesuai dengan gambaran 
stereotype tersebut cenderung 
mengalami anihilisasi dengan 
interpretasi terhadap tafsiran ayat al 
Quran, hadits dan beberapa kitab. 
Mitos-mitos tersebut terkesan 
ditampilkan ada yang bergeser dan 
ada yang tetap atau sama atau tidak 
bergeser. Mitos yang tidak bergeser 
di antaranya istri yang tunduk 
pada suami; perempuan sebagai 
simbol kemiskinan; perempuan tidak 
meminta tapi diminta; perempuan 
tidak perlu mempunyai kemampuan 
seni bela diri; perempuan bersifat 
emosional; pendidikan moral dan 
pengasuhan anak sebagai tanggung 
jawab ibu; tidak adanya kekuasaan 
ibu dalam menghukum anak-anaknya; 
perempuan adalah korban 
kekerasan. 
Mitos yang bergeser di antaranya 
perempuan menghentikan kekerasan 
dengan tangisan dan kecantikan 
sebagai kemampuan perempuan 
dalam menyelesaikan masalah 
ditampilkan berbeda karena 
perempuan bisa menyelesaikan 
masalah dengan ide dan komunikasi 
yang dilakukannya; istri adalah pihak 
yang sering bersalah ditampilkan 
berbeda karena istri lebih dihormati; 
ketidakberdayaan perempuan 
sebagai korban ditampilkan 
berbeda karena perempuan 
akhirnya bisa memperjuangkan 
ketidakberdayaannya; pekerjaan 
perempuan ditampilkan berbeda 
karena jenis pekerjaan perempuan 
sudah bervariasi; ketidakpandaian 
perempuan dalam menyimpulkan 
sesuatu ditampilkan berbeda 
karena perempuan bahkan bisa
38 l Kinescope l Edisi 10 l 2014 
menempuh studi lanjut; mudahnya 
menarik perhatian perempuan 
ditampilkan berbeda karena 
perempuan hanya tertarik 
dengan hal-hal yang 
menjadi minatnya; 
perempuan tidak boleh 
menjadi pemimpin 
ditampilkan berbeda 
karena perempuan 
memiliki keberanian 
memimpin diri 
sendiri, keluarga dan 
komunitasnya. 
Analisa tersebut 
memunculkan kesan 
bahwa pergeseran 
mitos perempuan 
dalam film Indonesia 
bertema Islam pada 
beberapa hal sudah 
benar-benar bergeser. 
Namun di beberapa 
mitos hanya berubah 
bentuk representasinya, 
tidak sepenuhnya 
berubah. Ini bisa jadi 
karena interpretasi 
atas teks-teks Islam 
yang melandasi mitos 
tersebut. Namun yang 
pasti, Islam dalam 
merepresentasikan 
tokoh perempuan 
dalam film, terkesan 
lebih etis. 
REPRESENTASI 
PEREMPUAN 
DALAM FILM 
INDONESIA 
Salah satu 
pustaka penting 
yang membahas 
perempuan, Islam, 
dan film yaitu 
buku yang ditulis 
oleh Colin. 
Buku yang 
merupakan 
hasil 
penelitiannya 
ini berjudul 
Women, Islam 
and Cinema 
(2004). Fokus 
penelitiannya 
adalah 
film-film 
di Iran dan 
Turki, Kazakhstan dan Uzbekistan, 
Pakistan, Bangladesh, Malaysia dan 
Indonesia, serta India. Menurutnya, 
di Indonesia, perempuan membuat 
film mengikuti sudut pandang laki-laki. 
Representasi perempuan dalam 
film Indonesia dan hubungannya 
dengan agama dalam buku ini 
terasa kurang sesuai. Ini karena 
Colin menggunakan objek film 
Roro Mendut yang terasa kurang 
sesuai jika dikategorikan sebagai 
film Islam. Representasi pun masih 
sebatas tanda denotatif atau makna 
yang nampak. Colin masih belum 
bisa dengan kritis melihat kaitan 
makna tampilan perempuan dalam 
film Indonesia khususnya yang 
bertema Islam. 
Membahas interaksi antara 
perempuan dan film, tidak terlepas 
dari membahas posisi perempuan 
yang tidak menguntungkan dalam 
film. Menurut Ashaf (2007) adalah 
sah apabila film menempatkan 
perempuan pada posisi yang 
tidak menguntungkan. Ini karena 
film merupakan media yang 
menggambarkan suasana konflik 
sosial politik. Konflik adalah domain 
yang dipersepsikan sebagai milik 
laki-laki, dan perempuan senantiasa 
menjadi korbannya. 
Perempuan Indonesia tidak 
selalu dalam posisi lemah. 
Sosok ibu dalam film merupakan 
sosok yang sering ditampilkan. 
Karena seringnya maka khalayak 
tidak melihat bahwa sosok ibu 
sebenarnya merupakan tokoh 
sentral. Gambaran sosok ibu 
menjadi pembahasan dalam film 
Indonesia seperti dalam film 
Rindu Kami padaMU, yang pernah 
menjadi subyek penelitian pada 
tahun 2007. Hasil penelitian 
terhadap film ini menunjukkan ibu 
direpresentasikan sebagai sosok 
yang sangat menyayangi anaknya, 
penuh kehangatan, dan keramahan. 
Ibu juga direpresentasikan sebagai 
sosok yang mampu mengerti 
kebutuhan dan keinginan anak-anaknya. 
Berdasarkan representasi 
tersebut ibu ditampilkan sebagai 
sosok yang dominan dalam 
rumah tangga yang selalu bisa 
diandalkan oleh anggota keluarga 
lain. Petuah-petuah yang diajarkan 
ibu kepada anak menjadikan ibu
2014 l Edisi 10 l Kinescope l39 
sebagai simbol moralitas bagi anak. 
Disini ibu mewakili superego anak-anak 
dimana setiap kebijakan ibu 
haruslah ditaati. Hal ini tidak lepas 
dari budaya masyarakat Indonesia 
yang menganggap ibu sebagai 
pusat rumah tangga. Selain itu, 
agama Islam juga berpengaruh 
di mana ajaran Islam menekankan 
bahwa ibu adalah sosok yang 
harus dihormati lebih besar dari 
pada ayah. Kelemahlembutan dan 
kasih sayang ibu dalam dimensi 
barat dianggap sebagai sebuah 
kelemahan perempuan. 
Namun dalam film ini 
kelembutan dan kasih sayang 
ibu merupakan bentuk lain dari 
sebuah kekuasaan wanita terhadap 
suami dan anak-anaknya. Sebuah 
kekuasaan yang sama sekali tidak 
mengancam bagi orang-orang 
yang dikuasai. Interpretasi seperti 
ini bukan murni subyektifitas 
peneliti. Film yang disutradarai 
Garin hampir selalu menampilkan 
hal-hal yang jarang ditangkap oleh 
masyarakat namun merupakan 
fakta yang ada di sekitar kita. Garin 
tidak menunjukkan ketertindasan 
perempuan sebagai suatu hal 
yang lemah namun ketertindasan 
tersebut dilihat sebagai bentuk 
kekuatan atau resistensi yaitu 
perjuangan. 
Tampilan perempuan dalam film 
Indonesia bertema Islam memiliki 
perbedaan yang menonjol 
dibanding tampilan perempuan 
dalam genre film lainnya. Ini 
karena nilai Islam yang memberikan 
gambaran tertentu terhadap 
perempuan Islam (muslimah). Tidak 
mengherankan film-film Indonesia 
bertema Islam kental dengan shot 
dan adegan yang menampilkan 
perempuan Islam yang berbau fiqih 
seperti tokoh utama perempuan 
pasti menggunakan kerudung 
atau setidaknya berkostum sopan. 
Misalnya dalam film-film Nada dan 
Dakwah, Ayat- ayat Cinta, Syahadat 
Cinta, Ketika Cinta Bertasbih 1&2 
dan Perempuan Berkalung Sorban. 
Penelitian tentang perempuan 
dalam film Indonesia bertema 
Islam mulai bermunculan ketika 
film Perempuan Berkalung 
Sorban menimbulkan pro kontra. 
Di antaranya adalah penelitian 
tentang Pemberontakan Perempuan 
Pesantren (Analisis Pesan Dakwah 
Perspektif Gender dalam Film 
Perempuan Berkalung Sorban) 
pada tahun 2009. Dengan analisis 
isi, penelitian ini menemukan 
bahwa pesan dakwah dengan 
perspektif gender yang terkandung 
dalam film Perempuan Berkalung 
Sorban adalah yang berhubungan 
dengan syariah dan akhlaq. Bentuk 
ketidakadilan gender yang paling 
menonjol dalam film Perempuan 
Berkalung Sorban adalah kekerasan 
(violence) terhadap perempuan 
yang berupa kekerasan yang 
berbentuk pemerkosaan dalam 
perkawinan, kekerasan dalam rumah 
tangga (KDRT) yaitu adanya tindak 
pemukulan dan kekerasan dengan 
bentuk pelecehan seksual. 
Penelitian dengan subyek 
perempuan dan obyek yang sama 
yaitu film Perempuan Berkalung 
Sorban juga pernah dilakukan 
pada tahun 2010. Menurut 
penelitian ini, film Perempuan 
Berkalung Sorban menunjukkan 
perempuan dalam menghadapi 
berbagai bentuk diskriminasi 
dalam kehidupan sehari-hari di 
sebuah pesantren tradisional 
yang kental akan budaya patriarki. 
Terlepas dari pro kontranya 
dalam merepresentasikan kondisi 
perempuan dalam pesantren, 
film ini menunjukkan anggapan 
bahwa perempuan menempati 
posisi inferior dari laki-laki. 
Anggapan bahwa perempuan 
hanya merupakan obyek pelengkap 
atau pelayan dari laki-laki, hingga 
berbagai tindak kekerasan yang 
dilakukan laki-laki terhadap 
perempuan ditampilkan dalam film 
ini. 
Film ini pada akhirnya juga 
menunjukkan bagaimana 
perempuan mampu membebaskan 
diri dari kehidupan yang 
diskriminatif dan kekerasan. Dengan 
intelektualitas dan kemandirian 
secara ekonomi, perempuan 
kemudian menjadi manusia yang 
dapat meraih kebahagiaan dan 
mampu menentukan nasibnya 
sendiri. Lebih dari itu, perempuan 
bahkan mampu membuat 
perubahan terhadap lingkungannya 
yang diskriminatif terhadap 
perempuan tersebut sehingga 
mengetahui pentingnya kesetaraan 
jender.
40 l Kinescope l Edisi 10 l 2014 
Sejak 8 tahun yang lalu, 
“DocDays” telah menjadi 
tempat bagi para sineas 
film documenter untuk 
mengekspresikan kreativitas dan 
preferensi untuk film dokumenter 
mereka. Acara kami terdiri 
dari Screening In, Screening Out, 
Grand Discussion dan Awarding 
Night yang dihadiri oleh para 
sineas film dari berbagai usia, 
kelompok, dan tempat-tempat di 
seluruh negeri. 
Voice of The Voiceless adalah 
tema besar dari Festival dan 
Kompetisi Documentary Days 
2014. Melalui tema ini, film 
dokumenter menjadi sarana 
dalam memperkenalkan masalah-masalah 
yang kurang terdengar 
di masyarakat luas dalam hal Hak 
Asasi Manusia, Sosial Budaya, dan 
Politik. Pada ini, kami tidak hanya 
memutar film dari Indonesia, tetapi 
juga Asia bahkan pula Global. 
Voice of The Voiceless membahas 
mengenai permasalahan-permasalahan 
yang seharusnya 
dapat diketahui,direfleksikan, 
diamati, diselidiki, dan bahkan 
diperbaiki membentuk perubahan 
yang lebih baik. 
Voice of The Voiceless AULIA RIZKY 
DocDays UI 2014: 
Mahasiswa Universitas Indonesia yang tergabung 
dalam Badan Otonom Economica FEUI (BOE FEUI) 
kembali mengadakan pagelaran Documentary 
Days 2014 dengan tema “Voice of the Voiceless”. 
Documentary Days 2014 merupakan Festival Film 
Dokumenter skala nasional yang setiap tahunnya 
diselenggarakan di bawah salah satu organisasi tertua di 
Universitas Indonesia, Badan Otonom Economica FEUI. 
Dalam perhelatan ini, juga 
disediakan hadiah bagi film-film 
terbaik, yaitu: 
Juara 1: Rp 3.000.000 
Juara 2: Rp 2.500.000 
Juara 3: Rp 1.500.000 
Film Favorit Pilihan Penonton: 
Rp 500.000, 
Best Cinematography 
Rp 500.000 
Best Idea: 
Rp 500.000 
LIPUTAN
2014 l Edisi 10 l Kinescope l41 
Pemutaran & Diskusi 
Film KOLEKTIF Surabaya 
Bulan Oktober ini, 
pemutaran Kolektif 
Surabaya kembali 
digelar, kali ini 
bekerjasama dengan Design It 
Yourself, menampilkan film-film 
pendek seperti Vulgar (Ladya 
Cheryl, 2013, 7’), Lewat 
Sepertiga Malam (Orizon 
Astonia, 2013,16’), Sepatu 
Baru (Aditya Ahmad, 2014, 
14’), Someone’s Wife In The 
Boat Of Someone’s Husband 
(SWITBOSH) (Edwin, 2013, 55’). 
SWitboSH merupakan salah satu 
dari Jeonju Digital Project 2013, 
sedangkan Sepatu Baru telah 
mendapat apresiasi di Jogja- 
NETPAC Asian Film Festival 
(JAFF), XXI Short Film Festival 
2014, dan Berlin International 
Film Festival yang ke-64. 
Selain pemutaran film 
pendek ini, Design It Yourself 
selama 10-26 Oktober 
menampilkan rangkaian acara 
kreatif dalam bentuk seminar, 
pameran, lokakarya, talkshow, 
tur jalan kaki, pemutaran film; 
melibatkan desainer lokal dan 
internasional. Selengkapnya, cek 
http://diysub.com. 
Selama bulan 
September 2014 hingga 
Januari 2015, Babibuta 
Film bekerjasama dengan C2O 
library & collabtive, Himpunan 
Pers Mahasiswa UK Widya 
Mandala, dan Wisma Jerman 
menyelenggaran program 
pemutaran & diskusi film 
KOLEKTIF Surabaya. 
Pemutaran, disertai dengan 
diskusi dengan sutradara 
(beberapa sesi melalui Skype), 
dilakukan pkl. 16.00-18.00 di 
Wisma Jerman, Jl. Taman AIS 
Nasution no.15. Pemutaran 
menggunakan donasi untuk 
mendukung kelangsungan acara 
dan mendorong perkembangan 
film alternatif di Indonesia. 
Tanggal dan judul film 
20 September 2014 
Rocket Rain 
(Anggun Priambodo, 2013, 99’) 
11 Oktober 2014 
Program film pendek: 
• Vulgar (Ladya Cheryl, 2013, 7’ 
• Lewat Sepertiga Malam (Orizon 
Astonia, 2013,16’) 
• Sepatu Baru (Aditya Ahmad, 2014, 
14’) 
• Someone’s Wife In The Boat Of 
Someone’s Husband (SWITBOSH) ( 
Edwin, 2013, 55’) 
9 November 2014 
Lovely Man (Teddy Soeriaatmadja, 2011, 
76’) 
13 Desember 2014 
Program film Yosep Anggi Noen: 
• A Lady Caddy Who Never Saw A 
Hole In One (2013, 15”) 
• Vakansi Yang Janggal dan 
Penyakit Lainnya (2012, 90”) 
10 Januari 2015 
Selamat Pagi, Malam (Lucky Kuswandi, 
2014, 94) 
Donasi Rp.20.000 1 program 
Rp. 50.000 untuk 3 program 
Rp. 80.000 untuk 5 program 
Tiket donasi tersedia di: 
Aiola Eatery & Cafe, Jl. Slamet no. 16 
C2O library & collabtive, Jl. Dr. Cipto 20 
Cosmic, Jl. Raya Gubeng 2 
Ore Small Business & Cafe, Jl. Untung 
Suropati 83 
Informasi pemutaran & tiket: Debby 
Utomo 
HP/WhatsApp: 0838 5788 0369 
Twitter: @debbiutomo 
Email: debby.deteksi@gmail.com
42 l Kinescope l Edisi 10 l 2014 
LIPUTAN 
9 l 2014 
Wahana Apresiasi Film 
Fiksi Pendek 
Societo Sineklub sebagai salah satu komunitas film di Universitas 
Brawijaya dalam beberapa tahun terakhir menginisiasi kegiatan 
pemutaran film fiksi pendek yang bertajuk Brawijaya Movie 
Exhibition (BME). 
Tepat di bulan Oktober 
2014, Brawijaya Movie 
Exhibition kembali hadir 
dengan nuansa baru bagi 
insan perfilman Indonesia sebagai 
wahana apresiasi. 
Kehadiran lambang terbaru 
Brawijaya movie Exhibition yang 
terdiri dari dua unsur utama, 
yaitu sosok Raden Wijaya 
(Prabu Brawijaya) mengartikan 
Societo Sineklub sebagai 
penyelenggaranya bernaung 
dibawah lembaga Universitas 
Brawijaya. Mata Prabu Brawijaya 
sedang terpejam dan wajah 
dengan sisi terang dan gelap 
menggambarkan harapan 
bagi penyelenggara, sineas 
dan penonton untuk memiliki 
ketenangan dalam bersikap, 
tidak takut menjadi salah 
dalam rangka terus berproses 
menuju sebuah kebenaran dan 
Pita Film melambangkan Film 
itu sendiri sebagai ruh utama 
penyelenggaraan ajang kegiatan 
ini. 
Sebagai wahana sederhana 
bagi para sineas untuk bersua 
dan bertukar gagasan tentang 
perfilman pendek di Indonesia. 
Melalui program-program non 
kompetisi, Brawijaya Movie 
Exhibition berkomitmen secara 
penuh untuk mewujudkan diri 
dalam pembelajaran bagi kita, 
baik penyelenggara, pembuat 
film, maupun utamanya bagi para 
penonton. 
Brawijaya Movie Exhibition 
(BME) akan diselenggarakan pada 
tanggal 10, 11 dan 12 Oktober 
2014 di Universitas Brawijaya, 
Malang Jawa Timur. Selama tiga 
hari nantinya terdapat beberapa 
pemutaran, yaitu: 
1. Film Utama yang merupakan 
film-film fiksi pendek yang 
telah lolos kurasi. 
2. Film Tamu, bertemakan anak 
yang sengaja dirancang 
sesuai riset penyelenggara 
melihat minimnya film-film 
fiksi tentang anak 
bila dibandingkan dengan 
jumlah anak di Kota Malang 
yang mencapai angka 
30%. Oleh karena itu, 
Brawijaya Movie Exhibition 
2014 bersama Sanggar 
Cantrik Yogyakarta melalui 
Emmanuel Kurniawan dan 
Senoaji Julius Sutradara 
film “Boncengan” (2012), 
“Gazebo” (2013) dan “2B” 
(2014) akan membuka ruang 
diskusi dengan tema: Film 
Anak sebagai alternatif 
penceritaan film fiksi pendek 
dan tontonan yang layak 
untuk media belajar anak. 
3. Film Pilihan akan 
menghadirkan Riri Reza 
bersama film “Kuldesak” 
(1998) yang akan membuka 
ruang diskusi bagi para 
sineas dan penonton. 
4. Temu Komunitas Film se- 
Indonesia, inilah ruang yang 
ditunggu-tunggu untuk 
kembali berkumpul dan 
berdiskusi terkait kemajuan 
komunitas film di Indonesia. 
Melalui programnya “Brawijaya 
Movie Exhibition” 2014 berusaha 
memberikan alternatif-alternatif 
gagasan dalam pembuatan film 
pendek terutama bagi komunitas 
film yang ada di Kota Malang dan 
secara umum pada komunitas film 
di luar Kota Malang yang telah 
menjalin hubungan baik bersama 
kami selama beberapa tahun ini. 
Untuk informasi lengkap mengenai 
program dan pendaftarannya, 
dapat dilihat di twitter @ 
brawijayamovie atau website www. 
brawijayamovieexhibition.com. 
AULIA RIZKY 
Brawijaya Movie Exhibition 2014:
2014 l Edisi 19 0l Kl iKniensecsocpoep el l43
44 l Kinescope l Edisi 10 l 2014 
LIPUTAN 
Yogyakarta memang ditakdirkan menjadi kota 
budaya, karena itulah tak heran jika di kota ini 
banyak sekali digelar festival kesenian, beberapa 
pekan ini saja sudah digelar acara seperti, Festival 
Gamelan, Perkusi, Pasar Kangen, Bedog Art 
Festival hingga yang terbesar adalah Festival 
Kesenian Yogyakarta (FKY 26). 
Bioskop Taman Sari 
FKY 26 
RIAN SAMIN 
9 l 2014 
Hari ini Festival Kesenian 
Yogyakarta sudah me-masuki 
Minggu tera-khir. 
Dapat diketahui dari 
jumlah pengunjung yang semakin 
hari bertambah hingga mencapai 
rata-rata 15 ribu pengunjung. 
Ketua Umum FKY26 Setyo 
Harwanto menjelaskan bahwa antu-siasme 
masyarakat untuk mengi-kuti 
setiap gelaran kali ini lebih 
meningkat dibandingkan dengan 
FKY25 tahun lalu, jumlah pengun-jung 
harian tertinggi 15.800 dan 
tahun ini tembus 32.000 di malam 
Minggu. Festival yang digelar mulai 
20 Agustus hingga 9 September 
2014 ini diadakan di beberapa 
titik, hingga merambah di seluruh 
Kabupaten Daerah Istimewa Yogya-karta, 
dan berpusat di Plasa Pasar 
Ngasem. 
Satu di antara program di FKY 
26 ini adalah bioskop Tamansari 
yang diselenggarakan selama 5 
hari berturut-turut. Dimulai pada 
tanggal 30 Agustus dan berakhir 
pada tanggal 3 September 2014. 
Mempertunjukkan film-film indie 
berkualitas yang tidak bakal dite-mukan 
di bioskop lai di Yogya-karta. 
Menempati ruang terbuka 
di Plataran Tamansari, penonton 
dapat menonton film layar lebar 
sambil menikmati jajanan rakyat di 
landmark Yogyakarta. Beberapa film 
yang diputar di Bioskop Taman-sari, 
antara lain: Jampi Gugat, Saat 
Kudendangkan Adzanku, Kompilasi
2014 l Edisi 19 0l Kl iKniensecsocpoep el l45 
Pemenang Festival Film Indie Yog-yakarta 
2013, Asmaradhana, Jangan 
Panggil Aku Cina, Sunset, 400 
Words, Jazz Mben Senen ‘Kancaku’, 
dll. 
Selain itu juga ada Jogjakarta 
Video Mapping Project (JVMP) yang 
sempat dipamerkan di Open-ing 
FKY 26 di Tugu dihadirkan 
kembali ditengah-tengah acara, 
dengan memamerkan karyanya 
berupa video mapping yang disa-jikan 
sesuai dengan tema FKY26 
yaitu Dodolan. Menurut Setyo 
Harwanto Video mapping merupa-kan 
bentuk seni media baru yang 
sedang berkembang, dan Yogya-karta 
adalah tempat tumbuh bagi 
banyak seniman yang mempunyai 
akar budaya kuat sekaligus mampu 
beradaptasi dengan cepat terhadap 
perkembangan teknologi. Di dalam 
#JVMP inilah perpaduan kedua hal 
tersebut, budaya dan teknologi, 
akan diejawantahkan. 
“konten Seni Heritage, Seni 
Populer, Seni Alternative men-jadi 
bauran yang asik dan dapat 
dinikmati masyarakat segala usia,” 
ungkap Setyo. 
10 l Kinescope
KinescopeMagz 10th Edition, 2014
KinescopeMagz 10th Edition, 2014
KinescopeMagz 10th Edition, 2014
KinescopeMagz 10th Edition, 2014
KinescopeMagz 10th Edition, 2014
KinescopeMagz 10th Edition, 2014
KinescopeMagz 10th Edition, 2014
KinescopeMagz 10th Edition, 2014
KinescopeMagz 10th Edition, 2014
KinescopeMagz 10th Edition, 2014
KinescopeMagz 10th Edition, 2014
KinescopeMagz 10th Edition, 2014
KinescopeMagz 10th Edition, 2014
KinescopeMagz 10th Edition, 2014
KinescopeMagz 10th Edition, 2014
KinescopeMagz 10th Edition, 2014
KinescopeMagz 10th Edition, 2014
KinescopeMagz 10th Edition, 2014
KinescopeMagz 10th Edition, 2014
KinescopeMagz 10th Edition, 2014
KinescopeMagz 10th Edition, 2014
KinescopeMagz 10th Edition, 2014
KinescopeMagz 10th Edition, 2014
KinescopeMagz 10th Edition, 2014
KinescopeMagz 10th Edition, 2014
KinescopeMagz 10th Edition, 2014
KinescopeMagz 10th Edition, 2014
KinescopeMagz 10th Edition, 2014
KinescopeMagz 10th Edition, 2014
KinescopeMagz 10th Edition, 2014
KinescopeMagz 10th Edition, 2014
KinescopeMagz 10th Edition, 2014
KinescopeMagz 10th Edition, 2014
KinescopeMagz 10th Edition, 2014
KinescopeMagz 10th Edition, 2014
KinescopeMagz 10th Edition, 2014
KinescopeMagz 10th Edition, 2014
KinescopeMagz 10th Edition, 2014
KinescopeMagz 10th Edition, 2014
KinescopeMagz 10th Edition, 2014
KinescopeMagz 10th Edition, 2014
KinescopeMagz 10th Edition, 2014
KinescopeMagz 10th Edition, 2014

More Related Content

Viewers also liked

Kinescope Magazine Edisi 2.. :-)
Kinescope Magazine Edisi 2.. :-)Kinescope Magazine Edisi 2.. :-)
Kinescope Magazine Edisi 2.. :-)Kinescope Indonesia
 
Buletin Pendidikan Pusaka untuk Anak di Indonesia (2008)
Buletin Pendidikan Pusaka untuk Anak di Indonesia (2008)Buletin Pendidikan Pusaka untuk Anak di Indonesia (2008)
Buletin Pendidikan Pusaka untuk Anak di Indonesia (2008)Elanto Wijoyono
 
Buletin Erzis Edisi 1
Buletin Erzis Edisi 1Buletin Erzis Edisi 1
Buletin Erzis Edisi 1rumahzis
 
Buletin IFL Mei-Juni'12
Buletin IFL Mei-Juni'12Buletin IFL Mei-Juni'12
Buletin IFL Mei-Juni'12ifutureleaders
 
Buletin Mahasiswa UMY Edisi Magang II
Buletin Mahasiswa UMY Edisi Magang IIBuletin Mahasiswa UMY Edisi Magang II
Buletin Mahasiswa UMY Edisi Magang IIYusuf Harfi
 
BULETIN SBAL EDISI I APRIL-MEI 2011
BULETIN SBAL EDISI I APRIL-MEI 2011BULETIN SBAL EDISI I APRIL-MEI 2011
BULETIN SBAL EDISI I APRIL-MEI 2011dikulestari
 
Buletin Lingkungan Sehat Edisi III Tahun 2014
Buletin Lingkungan Sehat Edisi III Tahun 2014 Buletin Lingkungan Sehat Edisi III Tahun 2014
Buletin Lingkungan Sehat Edisi III Tahun 2014 Ditjen P2P
 
Buletin Lingkungan Sehat Edisi IV Tahun 2014
Buletin Lingkungan Sehat Edisi IV Tahun 2014 Buletin Lingkungan Sehat Edisi IV Tahun 2014
Buletin Lingkungan Sehat Edisi IV Tahun 2014 Ditjen P2P
 
Buletin Lingkungan Sehat Edisi I Tahun 2014
Buletin Lingkungan Sehat Edisi I Tahun 2014Buletin Lingkungan Sehat Edisi I Tahun 2014
Buletin Lingkungan Sehat Edisi I Tahun 2014Ditjen P2P
 
Buletin kampus news edisi mei 2013
Buletin kampus news edisi mei 2013Buletin kampus news edisi mei 2013
Buletin kampus news edisi mei 2013Kampusnewsdotcom
 
CONTOH BULETIN BKM LENSA SEJAHTERA
CONTOH BULETIN BKM LENSA SEJAHTERACONTOH BULETIN BKM LENSA SEJAHTERA
CONTOH BULETIN BKM LENSA SEJAHTERAanomaglo
 

Viewers also liked (15)

Kinescope Magazine Edisi 2.. :-)
Kinescope Magazine Edisi 2.. :-)Kinescope Magazine Edisi 2.. :-)
Kinescope Magazine Edisi 2.. :-)
 
Arus bawah edisi 1-juni 2014
Arus bawah edisi 1-juni 2014Arus bawah edisi 1-juni 2014
Arus bawah edisi 1-juni 2014
 
Buletin Pendidikan Pusaka untuk Anak di Indonesia (2008)
Buletin Pendidikan Pusaka untuk Anak di Indonesia (2008)Buletin Pendidikan Pusaka untuk Anak di Indonesia (2008)
Buletin Pendidikan Pusaka untuk Anak di Indonesia (2008)
 
Buletin Erzis Edisi 1
Buletin Erzis Edisi 1Buletin Erzis Edisi 1
Buletin Erzis Edisi 1
 
Buletin IFL Mei-Juni'12
Buletin IFL Mei-Juni'12Buletin IFL Mei-Juni'12
Buletin IFL Mei-Juni'12
 
Kinescope Magz Edisi 4
Kinescope Magz Edisi 4Kinescope Magz Edisi 4
Kinescope Magz Edisi 4
 
Buletin seSAMa edisi 2
Buletin seSAMa edisi 2Buletin seSAMa edisi 2
Buletin seSAMa edisi 2
 
Buletin Mahasiswa UMY Edisi Magang II
Buletin Mahasiswa UMY Edisi Magang IIBuletin Mahasiswa UMY Edisi Magang II
Buletin Mahasiswa UMY Edisi Magang II
 
BULETIN SBAL EDISI I APRIL-MEI 2011
BULETIN SBAL EDISI I APRIL-MEI 2011BULETIN SBAL EDISI I APRIL-MEI 2011
BULETIN SBAL EDISI I APRIL-MEI 2011
 
Buletin Lingkungan Sehat Edisi III Tahun 2014
Buletin Lingkungan Sehat Edisi III Tahun 2014 Buletin Lingkungan Sehat Edisi III Tahun 2014
Buletin Lingkungan Sehat Edisi III Tahun 2014
 
Buletin Lingkungan Sehat Edisi IV Tahun 2014
Buletin Lingkungan Sehat Edisi IV Tahun 2014 Buletin Lingkungan Sehat Edisi IV Tahun 2014
Buletin Lingkungan Sehat Edisi IV Tahun 2014
 
Buletin trendy
Buletin trendyBuletin trendy
Buletin trendy
 
Buletin Lingkungan Sehat Edisi I Tahun 2014
Buletin Lingkungan Sehat Edisi I Tahun 2014Buletin Lingkungan Sehat Edisi I Tahun 2014
Buletin Lingkungan Sehat Edisi I Tahun 2014
 
Buletin kampus news edisi mei 2013
Buletin kampus news edisi mei 2013Buletin kampus news edisi mei 2013
Buletin kampus news edisi mei 2013
 
CONTOH BULETIN BKM LENSA SEJAHTERA
CONTOH BULETIN BKM LENSA SEJAHTERACONTOH BULETIN BKM LENSA SEJAHTERA
CONTOH BULETIN BKM LENSA SEJAHTERA
 

Similar to KinescopeMagz 10th Edition, 2014

Similar to KinescopeMagz 10th Edition, 2014 (12)

Kinescope Magz Edisi 5
Kinescope Magz Edisi 5Kinescope Magz Edisi 5
Kinescope Magz Edisi 5
 
Sinopsis Pemutaran Film Khanduri Pilem
Sinopsis Pemutaran Film Khanduri PilemSinopsis Pemutaran Film Khanduri Pilem
Sinopsis Pemutaran Film Khanduri Pilem
 
Epaper surya 12 oktober 2013
Epaper surya 12 oktober 2013Epaper surya 12 oktober 2013
Epaper surya 12 oktober 2013
 
Kinescope 1st Edition.. #Ganbatte
Kinescope 1st Edition.. #GanbatteKinescope 1st Edition.. #Ganbatte
Kinescope 1st Edition.. #Ganbatte
 
Finding Srimulat Proposal
Finding Srimulat ProposalFinding Srimulat Proposal
Finding Srimulat Proposal
 
POTENTIA 15
POTENTIA 15POTENTIA 15
POTENTIA 15
 
Potentia edisi 15
Potentia edisi 15Potentia edisi 15
Potentia edisi 15
 
Dian sastrowardoyo
Dian sastrowardoyoDian sastrowardoyo
Dian sastrowardoyo
 
Epaper Surya 24 Juli 2013
Epaper Surya 24 Juli 2013Epaper Surya 24 Juli 2013
Epaper Surya 24 Juli 2013
 
INDIELANE MAGAZINE
INDIELANE MAGAZINEINDIELANE MAGAZINE
INDIELANE MAGAZINE
 
LPJ Festival Kampung Sarjana #Cibuyutan
LPJ Festival Kampung Sarjana #CibuyutanLPJ Festival Kampung Sarjana #Cibuyutan
LPJ Festival Kampung Sarjana #Cibuyutan
 
Lpj festival kampung sarjana #cibuyutan
Lpj festival kampung sarjana #cibuyutanLpj festival kampung sarjana #cibuyutan
Lpj festival kampung sarjana #cibuyutan
 

KinescopeMagz 10th Edition, 2014

  • 1. 2014 l Edisi 10 l Kinescope l1 Edisi X | 2014 | Rp. 25.000 PAGELARAN TATO MERDEKA Film - Seni & Edukasi PENUMPASAN PENGKHIANATAN AKU, KAU & KUA MALAM MINGGU MIKO MOVIE MY GIRL 20 FEET FROM STARDOM REVIEW Djamaludin Malik TOKOH Lola Amaria JALAN PULANG LIPUTAN INDIE INTERVIEW Kolosal Sejarah Mumpuni, Propaganda Kekuasaan G30S/PKI
  • 2. 2 l Kinescope l Edisi 10 l 2014
  • 3. 3 2014 l Edisi 10 l Kinescope l
  • 4. 4 l Kinescope l Edisi 10 l 2014 COVER STORY 16 14 18 20 24 26 10 REVIEW FESTIVAL Daftar isi 72 SURVEI SLAMET 52 ABDUL SJUKUR 46 34 34 OPINI TIPS FILM INDONESIA BERTEMA ISLAM DAN MITOS PEREMPUAN 5 TIPS UNTUK MENULIS KARAKTER YANG BAIK DALAM SKENARIO DARI NOAM KROLL 48 52 54 46 LIPUTAN APRESIASI FILM INDONESIA 2014 PAMERAN VIDEO KONTEMPORER AUSTRALIA MERIAHNYA GEMAH RIPAH #2 PAGELARAN TATO MERDEKA G30S/PKI: KOLOSAL SEJARAH MUMPUNI, PROPAGANDA KEKUASAAN AKU, KAU & KUA MALAM MINGGU MIKO MOVIE MY GIRL 20 FEET FROM STARDOM FKY26 Cut & Remix MAKASSAR FILM FESTIVAL 2014: Menceritakan Kembali yang Nyaris Dilupakan 30 LOLA AMARIA 78
  • 5. 5 2014 l Edisi 10 l Kinescope l
  • 6. 6 l Kinescope l Edisi 10 l 2014 Salam Redaksi G30S/PKI: Kolosal Sejarah Mumpuni, Propaganda Kekuasaan Pengkhianatan G30S/PKI sebuah film dokumenter drama propaganda Indonesia tahun 1984. Film ini dibuat berdasarkan pada intepretsi sejarah versi resmi menurut pemerintah Orde Baru. Film ini menggambarkan masa menjelang kudeta dan beberapa hari setelah peristiwa tersebut. PENASEHAT REDAKSI Farid Gaban Andi Bachtiar Yusuf Wanda Hamidah Swastika Nohara Dandhy Laksono PEMIMPIN UMUM Hasreiza PEMIMPIN REDAKSI Reiza Patters REDAKTUR Abdi Kurniawan Rian Samin KONTRIBUTOR Daniel Irawan Shandy Gasella Daniel Rudi Haryanto Pejred Banderas Rohman Sulistiono Novita Rini Thea Fathanah Arbar Suluh Pamuji ARTISTIK al Fian adha FOTOGRAFER Kinescope Tim DISTRIBUSI & SIRKULASI Faisal Fadhly DISTRIBUSI JOGJAKARTA Athonk Sapto Raharjo MARKETING & EVENT PROMO Ollivia Selagusta COMMUNITY DEVELOPMENT Jusuf Alin Lubis SUBSCRIPTIONS PT. Kinescope Indonesia Jakarta Level 3A, World Trade Centre 5 Jl. Jendral Sudirman Kav. 29-31 Jakarta 12920 Phone : +62 21 2598 5194 Fax : +62 21 2598 5001 www.kinescopeindonesia.com info@kinescopeindonesia.com iklan@kinescopeindonesia.com redaksi@kinescopeindonesia.com langganan@kinescopeindonesia.com @KinescopeMagz Setelah menyelesaikan edisi 9 yang lalu, kami harus berjibaku dalam menyelesaikan edisi 10 yang tenggat waktunya tidak sampai 2 minggu sejak edisi 9 terbit. Alih-alih menyerah dan meninggalkan “tanggung jawab” itu, semangat kami justru terpompa untuk menyelesaikannya tepat waktu. Ya, kata disiplin dan konsisten itu terus mengiang di telinga setiap dari kami. Kata-kata itu menjadi pembakar motivasi kami. Kata-kata itu menggerakkan pikiran dan badan kami. Semata-mata untuk menyelesaikan tanggung jawab kami menyelesaikan edisi 10 yang sudah di tangan anda dan siap dibaca ini. Kami pun terhenyak saat nama Majalah kami ini disebut sebagai salah satu nominator peraih penghargaan Dewantara Apresiasi Film Indonesia 2014 pada kategori apresiasi media cetak, bersama dengan nama-nama besar dalam dunia majalah cetak, yaitu Tempo dan Rolling Stone. Buat kami, jangankan menang, masuk sebagai salah satu nominasi peraih penghargaan saja sudah merupakan bentuk apresiasi sangat besar atas apa yang coba kami lakukan dalam setahun ini. Sebuah kebanggaan sebagai “anak baru” yang hanya ingin berkontribusi untuk kemajuan perfilman nasional. Dan untuk itu kami sangat berterima kasih pada para juri dan panitia yang sudah memberikan apresiasi tersebut pada kami. Dan akan menjadi motivasi kami untuk terus berjuang mewujudkan dua kata di atas pada setiap pergerakan kami, sebagai sebuah wadah berjuang dan kontribusi kecil bagi negeri. Cover Story
  • 7. 7 2014 l Edisi 10 l Kinescope l Mumpuni,
  • 8. 8 l Kinescope l Edisi 10 l 2014 Mada memberontak kepada Tuhan, karena sudah merenggut ibunya. Ia juga kehilangan cinta. Ia marah pada kenyataan dan memutuskan untuk menjadi backpacker dan hidup bebas. Ia juga meninggalkan Tuhan, keluarga, dan sahabat. Mada menemukan kebahagiaan ragawi, namun merasa kosong secara rohani. Di saat yang penuh kerapuhan inilah, Tuhan mengajaknya kembali melalui serangkaian peristiwa. Berkelana dari satu negara ke negara lain, menyingkap kesadaran demi kesadaran, Mada sadar ternyata Tuhan sebenarnya mencintai dan selalu menjaganya. PREVIEW Kesebelasan Garuda 19 berhasil mengalahkan Vietnam pada Piala AFF U-19 2013 di Sidoarjo dan berhak membawa pulang piala pertama yang didapatkan timnas Indonesia sejak 22 tahun sebelumnya. Terbayang kembali jejak para pemain Garuda 19, ketika mulai direkrut Indra Sjafri dan tim pelatih. Perjalanan itu dirasakan oleh seluruh pemain, seperti Yazid, (asal Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara), Sahrul (asal Ngawi, Jawa Timur) dan Yabes (dari Alor, Nusa Tenggara Timur). Indra Sjafri dan tim pelatih menjemput dan menyatukan mereka dengan Evan Dimas dkk dalam Garuda 19. Mereka sama-sama merasakan kepahitan dan kegembiraan. Indra Sjafri dan tim pelatih harus menaikkan mental dengan menyuntikkan semangat. KAngel (Adila Fitri), 15 tahun, tidak pernah bisa menerima keadaan kakaknya Hendra (Ali Mensan) yang terlahir dengan keterbelakangan mental. Walaupun Angel begitu malu dan membencinya, Hendra tidak pernah bersedih hati. Hendra menjadi anak yang berkebutuhan khusus akibat sakit yang di derita waktu bayi. Walaupun demikian Ia tetap setia memberikan kasih sayang seorang kakak kepada adiknya. Angel sering diejek oleh teman-temannya ‘si idiot’. Garuda 19 My Idiot Brother FILM TAYANG 2 Oktober 2014 SUTRADARA Danial Rifki PRODUSER Frederica CAST Abimana Aryasatya, Dewi Sandra, Laudya Cynthia Bella FILM TAYANG 9 Oktober 2014 SUTRADARA Andibachtiar Yusuf PRODUSER Putut Widjanarko, Avesina Soebli CAST Mathias Muchus, Yusuf Mahardhika, Sumarlin Beta, Rendy Ahmad FILM TAYANG 2 Oktober 2014 SUTRADARA Alyandra PRODUSER Hamdani, Ferry PENULIS Agnes Davonar CAST Adila Fitri, Ali Mensan, Kimberly Ryder Haji Backpacker
  • 9. 2014 l Edisi 10 l Kinescope l9 Lima tahun lalu, Aggi (Acha Septriasa) dan Timur (Reza Rahadian) berpisah. Aggilah yang memutuskan hubungan mereka. Bagi Aggi, Timur bukan untuknya. Timur, fotografer di Bandung, terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Sedangkan Aggi tinggal dan bekerja sebagai kurator galeri foto di Yogyakarta. Aggi meminta Timur menemuinya lima tahun lagi. Jika mereka masih sendiri, mungkin mereka memang harus bersama. Lima tahun kemudian, Timur berangkat ke Yogyakarta untuk menyambung kembali yang terputus. Dan ternyata Aggi memang masih sendiri. Tapi, Aggi memberi syarat, jika Timur memang berniat serius dengannya, Timur harus datang Selina adalah seorang gadis yang hanya ingin punya kehidupan normal. Tapi sejak ia lahir, Selina mempunyai kemampuan yang membuatnya ketakutan yaitu indra keenamnya. Hal ini membuatnya sering dipandang aneh dan dikucilkan oleh lingkungannya, termasuk kakaknya dan suami kakaknya yang sering memintanya untuk pindah dari rumah mereka. Setelah diputuskan oleh pacarnya dan dipermalukan oleh teman-temannya, Selina memutuskan untuk mulai kehidupan baru di Bandung. Selina pindah ke rumah warisan orangtuanya di Bandung, yang terkenal dengan sebutan Rumah Gurita. Patung gurita raksasa yang ada di atap, nomor rumah 666 dan desain interior yang aneh membuat Selina tidak nyaman di rumah itu. Rio, tetangga yang sudah lama tinggal di depan rumah tersebut, mengatakan kalau tidak ada yang perlu ditakuti. Berita yang beredar kalau rumah itu adalah Gereja Setan hanyalah rumor. Tapi Selina tahu ia tidak sendirian di sana… FILM TAYANG 9 Oktober 2014 SUTRADARA Hanny R Saputra PRODUSER Chand Parwez Servia, Fiaz Servia PENULIS Oka Aurora, Adi Nugroho, Desi Puspitasari CAST Reza Rahadian, Acha Septriasa, Olivia Jensen FILM TAYANG 30 Oktober 2014 SUTRADARA Jose Poernomo PENULIS Riheam Junianti CAST Shandy Aulia, Boy William, Kemal Palevi, Maria Sabita Strawberry Surprise Rumah Gurita ke Yogyakarta setiap minggu dan mendengarkan cerita-cerita kegagalan cinta Aggi. Permintaan Aggi dipenuhi Timur. Perlahan tapi pasti, mereka dekat lagi. Timur semakin yakin bahwa ia memang mencintai Aggi, gadis penggila buah stroberi, gadis yang selalu bersikap tak terduga. Aggi masih juga belum yakin padanya. Kebingungan Aggi memuncak ketika Inda mendatanginya, sehari sebelum pernikahannya. Inda mengucapkan selamat dan berkata bahwa Timur terlihat bahagia sekali jika bersama Aggi. Tapi, sebelum pergi, Inda berkata, “Kamu tahu, Timur nggak suka makan stroberi...” Film Indonesia Oktober 2014 1. Haji Backpacker Tayang 02 Oktober 2014 2. My Idiot Brother Tayang 02 Oktober 2014 3. Garuda 19: Semangat Membatu Tayang 09 Oktober 2014 4. Strawberry Surprise Tayang 09 Oktober 2014 5. Kuntilanak Ciliwung Tayang 09 Oktober 2014 6. Tak Kemal Maka Tak Sayang Tayang 23 Oktober 2014 7. Hantu Merah Casablanca Tayang 23 Oktober 2014 8. Solit4ire Tayang 23 Oktober 2014 9. Rumah Gurita Tayang 30 Oktober 2014 10. 99 Cahaya di Langit Eropa Tayang 30 Oktober 2014
  • 10. 10 l Kinescope l Edisi 10 l 2014 COVER STORY Pengkhianatan G30S/PKI sebuah film dokumenter drama propaganda Indonesia tahun 1984. Film ini dibuat berdasarkan pada intepretsi sejarah versi resmi menurut pemerintah Orde Baru. Film ini menggambarkan masa menjelang kudeta dan beberapa hari setelah peristiwa tersebut. REIZA PATTERS Kolosal Sejarah Mumpuni, Propaganda Kekuasaan G30S/PKI:
  • 11. 2014 l Edisi 10 l Kinescope l11 Dalam kala kekacauan ekonomi, enam jenderal diculik dan dibunuh oleh PKI dan TNI Angkatan Udara. Film ini dianggap cukup kontroversial, khususnya dari sisi alur cerita. Letak kontroversinya adalah karena alur cerita yang digunakan dianggap alur cerita dari perspektif sejarah penguasa saat itu. Meski film G 30 S/PKI adalah film proyek pemerintah, namun dalam penggarapannya begitu serius. Bahkan dari para pemeran yang bermain dalam film itu terdapat tokoh intelektual yang ikut serta di dalamnya. Sebut saja Umar Kayam yang memerankan tokoh Soekarno dan Syubah Asa yang berperan sebagai Dipa Nusantara Aidit, Ketua Komite Sentral Partai Komunis Indonesia. Film Pengkhianatan G30S/PKI ini bisa dianggap meraih sukses secara komersil maupun kritis. Film ini dinominasikan untuk tujuh penghargaan di Festival Film Indonesia 1984 dan saat itu digunakan sebagai kendaraan propaganda oleh pemerintah Orde Baru selama tiga belas tahun, di mana pemerintahan Soeharto memerintahkan satu-satunya stasiun televisi di Indonesia saat itu (TVRI) untuk menayangkan film ini setiap tahun pada tanggal 30 September malam. Film ini juga diperintahkan menjadi tontonan wajib bagi siswa sekolah di Indonesia, walaupun memperlihatkan adegan-adegan yang penuh kekerasan berlebihan. Pada saat stasiun-stasiun televisi swasta bermunculan, mereka juga dikenai kewajiban yang sama. Namun aturan ini juga hilang seiring pengehentian penayangan film ini di TVRI. Pemerintah, lewat Menteri Penerangan Yunus Yosfiah (kala itu) mengeluarkan keputusan untuk menghentikan pemutaran dan peredaran film tersebut. REVIEW SINEMATIK Sebagai sebuah film yang base on true story, film ini dianggap cukup baik dari sisi sinematografi, emosional, dan kualitas yang hampir semuanya ada di dalam film tersebut. Proses produksi yang dijalankan selama dua tahun dan menggunakan sekitar 100 figuran, memperlihatkan bagaimana film ini dibuat sedemikian detail. Film ini memang kaya dengan detail, seperti latarnya yang berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi yang lain. Tapi, di samping beberapa fakta yang terkait dengan penggambaran kejadian yang dianggap sebagai sebuah gerakan pengkhianatan, film ini juga menggambarkan kerawanan ekonomi masa itu lewat penggambaran tentang antre dan kemiskinan. Dalam film ini, kerawanan politik saat itu juga dilukiskan dengan detail dan tidak melulu menampilkan Jakarta sebagai daerah Pusat kejadian, tapi juga kejadian di daerah di luar Jakarta. Misalnya penggambaran melalui adegan serangan PKI ke sebuah masjid di Jawa Timur, guntingan koran, berita radio, dan komentar-komentar tajam. Poster dan tulisan-tulisan graffiti tentang pandangan politik dan manifesto-manifesto pemikiran yang digambarkan banyak bertebaran di tembok dan atap rumah. Sebagian orang menilai, sebetulnya dari sisi kualitas sebuah film, Pengkhianatan G30S/PKI ini disayangkan saat terhenti ditayangkan dan Rabu, 30 September 1998 adalah hari
  • 12. 12 l Kinescope l Edisi 10 l 2014 COVER STORY terakhir pemutaran film tersebut. Karena justru dari sisi ini, kita bisa menyaksikan sebuah film yang dibuat dengan sangat detil, apik dan serius. Terjaga kualitas sinematografisnya, mampu membangun ketegangan dari alur ceritanya, dan benar-benar bisa membawa emosi siapapun yang menontonnya. “Kekuatan film luar biasa, banyak orang menerima film Pengkhianatan G30S/PKI sebagai representasi kenyataan,” ujar sejarahwan Hilman Farid seperti dikutip dari Tempo. Tidak seperti sekarang, proses pembuatan film menjadi sangat instan, dengan proses syuting yang hanya seminggu misalnya, dan kurang menjaga kualitas dari berbagai sisi. Yang pada akhirnya, kebanyakan proses pembuatan film hanya mengandalkan nama besar pemainnya dan kelebihan fisik semata. Bagi Hanung Bramantyo, sutradara film, bagian yang paling diingat dalam film ini adalah adegan diskusi. “Shot big close-up mulut-mulut sedang diskusi atau menghisap rokok, sangat menohok. Bayangkan saja, di layar besar semua gelap. Hanya mulut yang tampak. It’s brilliant,” ujarnya seperti dikutip dari Tempo. Menurut Hanung, terlepas film itu disebut propaganda, secara sinematik film Pengkhianatan G30S/PKI rapi, detail, dan nyata. “Saya sempat mengira itu bukan film. Tapi real!” Lain lagi di mata sutradara film Monty Tiwa. Adegan yang teringat adalah kala putri D.I. Pandjaitan histeris saat ayahnya ditembak. Kemudian, ia mencoreng dengan darah sang ayah. “Karena (efel) dramatis yang tinggi dan shot yang belum pernah saya lihat dalam film Indonesia. Membuat campuran emosi, ngeri, sedih, marah nyampur jadi satu,” kata Monty. FILM & PROPAGANDA Meski dinilai sebagai film sejarah, film ini dianggap tidak mewakili keseluruhan pendapat tentang alur cerita dan fakta sejarah yang sebenarnya. Film ini juga menampilkan pergantian rezim pemerintahan Indonesia dari Presiden Soekarno ke Soeharto menurut versi pemerintahan Orde Baru. Film ini menggambarkan gerakan G30S/PKI sebagai gerakan yang kejam. Pada tahun 2012 para korban tragedi kemanusiaan 1965 menyatakan film Pengkhianatan G30S/PKI adalah bentuk pembohongan terhadap masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru atas kehendak Soeharto. Film tersebut dinilai sebagai bentuk propaganda yang memutarbalikkan fakta di balik tragedi kemanusiaan 1965 yang menurut penyelidikan Komnas HAM termasuk dalam kategori pelanggaran HAM berat. Menurut Hilmar Farid, film tersebut telah berhasil membuat generasi muda mengira apa yang terjadi di masa lalu seperti yang ada di film. “Jangankan film sejarah, kadang sinetron yang ditonton itu dipercaya benar adanya,” ujar peneliti dari Indonesia Institute of Social History ini. Pada kasus film Pengkhianatan G30S/PKI, ia menguraikan, ada campur tangan kepentingan politik. Intervensi itu mengeksploitasi ketidaktahuan atau kesalahpahaman untuk mendapatkan apa yang diinginkan. “Film menjadi sarana yang efektif untuk kepentingan semacam itu,” ujar Hilmar. Namun memang, sebagai sebuah alat komunikasi dan sekaligus propaganda, film tersebut menjadi sedikit menakutkan karena bisa berfungsi menjadi pencuci otak yang bisa jadi bertujuan untuk mengaburkan dan membelokkan fakta sejarah yang sebenarnya dan hanya memperkuat hegemoni satu perspektif sejarah saja demi kepentingan kekuasaan saat itu. Bagaimanapun, film menjadi cara yang ampuh untuk menyebarluaskan dan memasukkan ide, gagasan, dan ideologi. Analisa yang lebih dalam dibahas dalam buku, ‘Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah Indonesia’, karya Katherine E McGregor. Di sana, film Pengkhianatan G30S/PKI adalah salah satu cara Orde Baru dalam menggambarkan usaha kudeta oleh PKI. Tafsir peristiwa yang digunakan Orde Baru dalam film itu adalah salah satu upaya meyakinkan masyarakat, kudeta itu dilakukan oleh komunis dan bukan pihak militer. Peristiwa itu dijadikan alasan oleh Orde Baru untuk membenarkan tindakannya untuk berkuasa. Dalam Buku itu Katherine E. McGregor mengakui, dia ingin mengungkapkan peran Orde Baru dengan militernya dalam menggambarkan masa lalu Indonesia. Salah satunya dengan media visual, yang didukung oleh buku-buku pelajaran, monumen-monumen, film, hingga diorama yang di pajang dalam museum. Dalam analisa Katherine, pembuatan dan pemaknaan sejarah baru oleh Orde Baru melalui media visual dan film sangat efektif. Hal itu terkait dengan jumlah pendudukIndonesia pada saat itu masih memiliki tingkat buta huruf yang tinggi, maka dengan pembuatan sejarah melalui media visual diharapkan bisa menjangkau seluruh Indonesia.
  • 13. 2014 l Edisi 10 l Kinescope l13 Analisa itu muncul setelah Katherine membaca dokumen dari Departemen Pertahanan dan Keamanan Pusat sejarah Angkatan Bersenjata Indonesia dalam merancang semua itu. Katherine mengutip Nugroho Notosutanto dalam dokumen itu, “Di dalam masyarakat yang sedang berkembang seperti Indonesia, di mana kebiasaan membaca pun masih sedang berkembang, kiranya historio-visual isasi masih agak efektif bagi pengungkapan identitas ABRI.” Tidak mengherankan kelanggengan Orde Baru berkuasa dijaga dengan strategi yang rapi. Pengaruh kekuasaan sudah dijaga dengan doktrin yang sudah ditanamkan dalam melalui buku pelajaran, film, museum, monumen, hingga rancangan diorama yang begitu detail. Meski begitu, tidak jarang menggunakan kekerasan. Film sebagai representasi realitas, tidak sekedar memindah realitas ke layar akan tetapi dibentuk oleh kode-kode dan konvensi ideologi maupun budaya pembuatnya. Oleh karena itu, film merupakan arketipe awal media massa modern, memiliki potensi untuk ditunggangi rezim polik dan media propaganda. Konstruksi propaganda dalam film dibangun oleh penyusunan tanda dan kata maupun tanda-tanda dalam teks film yang membentuk suatu tehnik propaganda untuk mempengaruhi opini publik sesuai dengan yang diinginkan Propagandis. Karena itu menjadi sangat bijak untuk terus membangun pemikiran kreatif dalam proses pembuatan film dengan tanpa melupakan sisi edukasi yang dapat didistribusikan sebagai pesan dalam setiap film yang dibuat oleh para pembuatnya. Untuk itu, setiap insan perfilman, khususnya para pembuat film haruslah memahami bahwa film menjadi alat yang efektif bagi para mereka untuk berkontribusi positif bagi Negara, masyarakat dan peradabannya, bukan justru memperparah dengan film-film yang justru menyebarkan pesan yang mendegradasi nilai-nilai positif yang terdapat di dalam setiap sendi kehidupan masyarakat. SANG SUTRADARA DAN PRESTASI Film ini disutradari oleh Arifin C Noer, seorang sutradara besar sejak masanya hingga kini. Film-filmnya kebanyakan laris dan meraih penghargaan. Khusus film Pengkhianatan G30S/PKI ini, ditayangkan sejak tahun 1984 hingga 1998 di TVRI. Karena film ini, Arifin di ganjar penghargaan Piala Citra untuk Penulis Skenario Terbaik pada 1985. Dengan biaya sekitar Rp. 800 juta di tahun 1984, film ini menjadi film pertama yang mencapai penonton sebanyak 699.282 orang di tahun 1984. Rekor ini bertahan sampai tahun 1995. Film ini memang bukan film kolosal yang pertama bagi Arifin C Noer, namun dia sendiri mengakui bahwa mengurus dan menata casting yang begitu besar memang ukan pekerjaan yang mudah dan sebentar. Untuk membuat film itu, Arifin mengeluarkan usaha yang sangat besar dengan membaca sebanyak mungkin tentang peristiwa tersebut, mewawancarai saksi sejarah, dan berusaha mencari properti asli. Arifin sebetulnya memimikan bahwa film Pengkhianatan G30S/PKI bisa menjadi sebuah film pendidikan dan renungan tanpa pesan kebencian bagi setiap orang yang menontonnya. Memang, Arifin C Noer dikenal sebagai seniman multitalenta. Sejak SMP dia menggeluti teater dan puisi. Ia mulai menyentuh kamera ketika Wim Umboh membuat film Kugapai Cintamu pada 1976. Film perdananya, Suci Sang Primadona (1977), melahirkan pendatang baru, Joice Erna, yang memenangkan Piala Citra sebagai Aktris Terbaik Festival Film Indonesia 1978. Arifin C Noer meninggal pada 28 Mei 1995 di usia 54 tahun. Pada 1984, Arifin C. Noer meraih penghargaan Piala Citra untuk skenario terbaik film ini. Di perhelatan yang sama, Arifin juga masuk unggulan untuk kategori penyutradaraan film terbaik. Amoroso Katamsi menjadi kandidat pemeran utama pria terbaik. Yang juga kecipratan adalah Embie C. Noer yang diunggulkan dalam kategori tata musik terbaik, Hasan Basri untuk kategori tata kamera terbaik, dan Farraz Effendy yang masuk nominasi kategori tata artistik terbaik. Meski akhirnya, hanya Arifin yang berhasil menggondol pulang Piala Citra sebagai penulis skenario terbaik. Pada 1985, masih di Festival Film Indonesia, film Pengkhianatan G30S/PKI mendapat penghargaan Piala Antemas untuk kategori film unggulan terlaris 1984-1985.
  • 14. 14 l Kinescope l Edisi 10 l 2014 AKU, KAU & KUA REVIEW Film ini diawali dengan cerita kandasnya pernikahan Fira dengan Lando (Eza Gionino) karena ternyata Lando adalah tukang selingkuh. Fira yang malu karena pernikahannya gagal, langsung menarik diri dari pergaulan. Sebagai sahabat, Uci berusaha untuk menyemangati Fira dan mendukung Deon yang sudah lama jatuh cinta dengan Fira untuk mengajaknya ta’aruf. Walaupun awalnya ia meragukan proses ta’aruf, pada akhirnya ia mencoba proses ta’aruf. Rico yang terinspirasi dengan pernikahan Fira dan Deon, langsung mencoba melamar Aida (Bianca Liza) untuk menikah. Namun Aida yang kehidupannya high class, menolaknya karena tidak mau menikah dengan Rico yang tidak punya masa depan. Film Aku, Kamu & KUA yang diadaptasi dari buku @ THEA FATHANAH ARBAR TweetNikah yang berjudul sama bercerita tentang kehidupan enam sahabat yang sudah berumur matang untuk menikah. Enam sahabat tersebut adalah Uci (Eriska Rein), Rico (Adipati Dolken), Fira (Nina Zatulini), Deon (Deva Mahendra), Mona (Karina Nadila), dan Pepi (Babe Cabiita).
  • 15. 2014 l Edisi 10 l Kinescope l15 Di sisi lain, Mona mempunyai pacar bernama Jerry (Fandy Christian) yang tangannya tidak bisa ‘diam’. Mona yang jengah dengan kelakuan pacarnya ini langsung menginginkan Jerry untuk menikahinya. Jerry yang tidak mau menikah, langsung memutuskan hubungan dengan Mona. Patah hati, Mona langsung berubah menjadi ‘orang baik’ dan ia memakai hijab. Mona diajak Uci untuk ikut workshop kepribadian. Di sana Mona bertemu dengan Kak Emil (Dwi Sasono) dan jatuh cinta dengannya. Film yang disutradarai oleh Monty Tiwa ini terlalu banyak karakter dan cerita, sehingga membuat film ini serba setengah-setengah dan terlihat tidak dieksekusi dengan baik. Film ini bergenre drama, namun menyelipkan sedikit komedi yang nanggung karena hanya karakter Pepi (Babe Cabiita) yang terlihat lucu ketika sedang melucu, sedangkan karakter yang lain tidak terlihat lucu dan terlihat aneh ketika mencoba melucu. Dengan sederet nama-nama aktor dan aktris yang mumpuni, film ini malah tidak menyenangkan karena semuanya serba setengah-setengah. Banyak pertanyaan ketika menonton film ini; siapa karakter utama di film ini? Jika karakter utama di film ini adalah Uci, maka Eriska Rein gagal dalam memerankan karakter Uci karena karakter yang lain lebih ‘menarik’ dan lebih menonjol dibandingkan karakter utamanya. Dari segi visual, sayang sekali film ini hampir terlihat sama seperti FTV-FTV yang tayang di televisi. Audio di film ini juga terkadang membuat risih telinga karena ada beberapa sound effect yang berlebihan. Namun kejanggalan-kejanggalan yng sangat mengganggu sepanjang film ini diharapkan dapat menjadi sebuah contoh bagaimana film Indonesia tidak seharusnya dibuat dengan hanya mengandalkan ketenaran artis pemerannya dan dibuat dengan setengah hati, namun juga bisa dibarengi dengan kemauan yang kuat, dengan ketulusan serta kualitas dari sisi cerita dan sinematografinya.
  • 16. 16 l Kinescope l Edisi 10 l 2014 REVIEW Malam Minggu Miko Movie Dalam dua tahun terakhir, Setidaknya Raditya Dika, sosok fenomenal dikalangan anak muda, telah menelurkan 5 film yang berdasarkan ide-ide kreatifnya baik dari adaptasi novel atau web-series yang dia buat. Belum lama rasanya penonton film Indonesia disuguhi dengan karya penyutradaraan perdananya dalam “Marmut Merah Jambu”, bulan September ini, kisah Miko kembali diangkat ke layar lebar dengan judul “Malam Minggu Miko Movie” Malam Minggu Miko Movie merupakan film yang diangkat dari Webseries dan TV series berjudul Malam Minggu Miko yang disutradari, ditulis, dan diperankan sendiri oleh Raditya Dika. Webseries Malam Minggu Miko sendiri meraih “The Most Popular Show” dalam ajang “Internet Video Stars 2013” dan sudah mencapai 52 episode yang ditonton oleh lebih dari 1 juta penonton. Raihan yang baik tersebut sudah menjadi modal bagus untuk mengangkat kisah Miko dan malam minggu “nestapanya” tersebut kedalam medium film. Terlebih film pertama “Miko” yang rilis tahun lalu, “Cinta Dalam Kardus” bisa dikatakan berhasil baik dari segi kualitas film maupun dari raihan jumlah penonton. Malam Minggu Miko Movie bercerita mengenai tiga tokoh utama dalam film ini, Miko (Raditya Dika), Dovi (Andovi DaLopez), serta Anca (Hadian Saputra). Miko kembali bertemu dengan sahabatnya, Ryan (Ryan Adriandhy) yang mengabarkan kalo dia mendapat mimpi bahwa Miko dikutuk oleh seseorang saat masih SMP melalui tulisan misterius di bagian belakang jas laboratorium miliknya yang membuat dia selalu gagal dalam mendapatkan pasangan. Bersama Ryan, Miko menelusuri beberapa teman SMPnya guna menghapus kutukan yang selama ini menimpanya. Dovi, mahasiswa senior yang sok pintar harus mengemban tugas khusus agar bisa lulus dari mata kuliah yang membuatnya mengulang hingga 5kali. Tugas khusus tersebut adalah mendampingi tiga mahasiswa tamu dari luar negeri yaitu Alexandra dari Polandia, Suzuki dari Jepang, dan Mamadi dari Gambia berkeliling Jakarta dan membuktikan bahwa dia mampu mengerjakan tugas ini dengn baik. Dan ada Anca, pembantu rumah tangga Miko harus melewati ujian demi ujian yang diberikan oleh kedua orangtua Anca agar dapat menikahi kekasihnya, Atik. Bila dilihat dari raihan jumlah penonton, nama Raditya Dika bisa dikatakan laris dan mampu menarik jumlah penonton (terutama ABG dan fans-nya) yang cukup banyak. Hal ini tentu saja tak disia-siakan oleh Dika. Memanfaatkan aji mumpung, dalam waktu berdekatan Dika merilis ROHMAN SULISTIONO
  • 17. 2014 l Edisi 10 l Kinescope l17 film-filmnya yang hampir semuanya memiliki garis cerita yang sama, kisah tokoh yang diperankan Dika dengan lika-liku kehidupan cintanya. Dika menyadari betul pasar anak muda Indonesia, sebuah komedi ringan dibumbui kisah cinta ala remaja. Hasilnya, film-film Dika selalu Laris dipasaran. Dalam Malam Minggu Miko Movie, Dika berperan penuh dalam penggarapan filmnya. Mungkin sebagai pemeran utama tak cukup baginya, dia juga duduk di kursi sutradara dan penulis skenario Malam Minggu Miko. Tentu saja Dika punya kuasa penuh dalam Malam Minggu Miko Movie dan paling bertanggung jawab dengan mau dibawa kemana film ini. Malam Minggu Miko merupakan film kedua Dika duduk di kursi penyutradaraan. Bila melihat karya penyutradaraan perdananya, Marmut Merah Jambu, Dika bisa dikatakan cukup berbakat dalam menggarap kisah yang diangkat dari novel buatannya sendiri ini. Mungkin, dalam Marmut Merah Jambu, Dika tak mengambil banyak porsi bermain dalam filmnya. Dalam Malam Minggu Miko, Dika lebih banyak berakting dibanding saat di Marmut Merah Jambu, hasilnya beberapa adegan terasa tidak fokus dan ada beberapa plot hole. Ditambah humor yang disajikan dalam Malam Minggu Miko Movie terasa monoton dan kurang ada inovasi baru dari Dika. Mungkin selera humor saya yang buruk atau gimana, namun setelah mengikuti semua film Raditya Dika, humor yang ditawarkan ya berputar pada itu-itu saja dan kurang berkembang. Dari segi ceritanya pun ada beberapa yang terasa lebay dan dipaksakan. Apa mungkin ke-lebay-an yang ada dalam Malam Minggu Miko Movie memang kesengajaan dari Raditya Dika. Tapi jelas bukannya memancing tawa, malah membuat penonton mengernyitkan dahi. Malam Minggu Miko Movie cukup setia dengan webseriesnya. Selain tentu saja jajaran karakter yang diboyong ke dalam filmnya baik dari season pertama maupun season kedua, setting waktu yang melatar-belakangi Malam Minggu Miko Movie berlangsung dalam waktu satu hari satu malam (yang tentu saja terjadi saat hari sabtu dan malam minggu). Ketiga karakter utama “berpetualang” dalam urusannya masing-masing dalam kurun waktu yang bersamaan dan dalam beberapa moment mereka dipertemukan.Gaya editing cut-to-cut dengan pace yang cepat serta gaya pengambilan gambarnya pun hampir mirip dengan webseriesnya. Ya harus diakui, kisah Miko kali ini kualitasnya dibawah dari Cinta Dalam Kardus (mungkin karena tidak ada campur tangan Salman Aristo kali ini). Film berdurasi 90 menit ini diawali dengan cukup menarik namun semakin film bergulir, Malam Minggu Miko Movie terasa flat dan pelan-pelan melepas perhatian penonton. Beberapa “penyegaran” yang diselipkan dari munculnya cameo serta lawakannya pun ya hanya berlalu begitu saja. Hanya Arie Kiting yang mampu mencuri perhatian sebagai dukun pribadi dari beberapa cameo yang kebanyakan selebtweet atau comic (stand-up comedian) seperti Liongky Tan dan Bayang becabita. Peran mereka sayang sekali kurang di explore lagi padahal masih mereka punya potensi lebih. Hal menarik perhatian dari Malam Minggu Miko Movie adalah Penempatan dan penyampaian sponsor yang terbilang unik walau sedikit maksa, namun menarik dan cukup mengundang tawa. Selebihnya Malam Minggu Miko membuktikan eksistensi Raditya Dika dalam dunia komedi modern melalui media film, namun Raditya Dika harus melakukan evaluasi lagi untuk karyanya kedepan dan tidak terlena dengan raihan jumlah penonton yang tidak dipungkiri karya-karya Dika sudah berlabel “Pasti Laku”. Jadi ingat sebuah pernyataan salah satu sutradara Indonesia dalam suatu obrolan dengan saya belum lama ini, “kalo filmnya sudah pasti laku, kenapa pas buat ngga ngeluarin duit “lebih” lalu buat film yang lebih niat dan besar?” mungkin pernyataan ini bisa direnungkan oleh rumah produksi yang menggarap film Raditya Dika selanjutnya , untuk memberikan perhatian lebih dari segi kualitas filmnya, tidak hanya memikirkan uang. Ya walaupun tak dipungkiri keuntungan besar dari film adalah hal yang dibutuhkan agar industri terus berjalan.
  • 18. 18 l Kinescope l Edisi 10 l 2014 Pernakah anda merasakan sebuah film begitu dekat dengan kenangan anda? Seperti diajak bernostalgia dengan keseruan masa kecil anda yang terasa akrab? “My Girl’ akan membawa penontonnya yang merasakan masa kecil di era 80-an untu bernostalgia dengan segala memori masa kecil dan mengajak penonton untuk bereuni sejenak mengingat pola tingkah anak-anak dimasa tersebut. ROHMAN SULISTIONO REVIEW My Girl My Gir yang memiliki judul asli “Fan Chan” merupakan film tahun 2003 yang digarap secara keroyokan oleh enam sutradara-penulis sekaligus (Vitcha Gojiew, Songyos Sugmakanan, Nithiwat Tharathorn, Witthaya Thongyooyong, Anusorn Trisirikasem, dan Komgrit Triwimol) yang pada saat itu, “My Girl” merupakan film debutan mereka. Sebuah debutan yang istimewa untuk mereka, selain diakui dalam segi kualitas, film ini juga sukses dalam rahian jumlah penonton di Thailand sana. “My Girl” berkisah mengenai Jeab (Charlie Trairat) mendapatkan undangan pernikahan dari sahabat kecilnya sekaligus cinta pertamanya, Noi-Naa (Focus Jiracul). Pernikahan Noi-Naa berlangsung di kampung halaman Jeab dan Noi-Naa dimana mereka menghabiskan masa kecil bersama. Dalam perjalanan pulang, Jeab bernostalgia akan memori masa kecilnya bersama Noi-Naa. Dan sepanjang film penonton akan dibawa flashback dengan kenangan masa kecil Jeab, Noi-Naa, teman-teman mereka serta memori masa kecil mereka. Saat itu, Jeab dan Noi-Naa bertetangga karna rumah mereka hanya dipisahkan oleh satu toko kelontong. Jeab dan Noi-Naa bersahabat sejak balita dan karena kesulitan mendapat teman laki-laki, Jeab-pun “terpaksa” ikut bermain
  • 19. 2014 l Edisi 10 l Kinescope l19 permainan perempuan bersama Noi- Naa dan teman-temannya. Walau tentu saja, Jeab kerap diejek oleh sekelompok anak laki-laki Jack dan geng-nya. Kedekatan Jeab dan Noi- Naa membuat Jeab merasakan hal lain pada Noi-Naa, dan menyadari Noi-Naa adalah cinta pertamanya. Sederhana dan apa adanya, membuat “My Girl’ terasa begitu dekat dengan penonton, terutama penonton Indonesia yang mempunya kemiripan budaya dengan Thailand. Dengan setting tahun 80-an, penonton yang merasakan masa kanak-kanak tahun 80-90an akan dibangkitkan memorinya dan diajak bernostalgia dengan masa kecilnya. “My Girl” membuat penonton tersenyum indah apalagi penonton yang mempunyai pengalaman yang sama secara personal ketika anak-anak dalam “My Girl” memainkan permainan sederhana khas anak-anak seperti lompat tali dari karet, bermain peran karakter laga dengan kostum seadanya, bermain sepak bola di lapangan tanah, bermain besepeda dengan teman-teman sore hari, main karet tiup, hingga berenang di sungai. Sebuah kegiatan yang mungkin sangat langka dilakukan anak-anak zaman sekarang yang sudah terjebak dan terhipnotis kecanggihan gadget sehingga melupakan keasyikan bermain diluar bersama teman. Sungguh disayangkan, padahal momen kanak-kanak dengan keseruan bermain diluar adalah momen yang tak tergantikan. Mengusung cerita mengenai cinta monyet tak membuat “My Girl” menyajikan sebuah kisah cinta berlebihan yang tak layak untuk anak-anak. Jeab tidak berlebihan hingga mengejar-ngejar cinta Noi- Naa atau sampai mengutarakan cinta kepadanya. Kisah cinta monyet dalam “My Girl” dibuat sesuai dengan karakteristik anak-anak yang polos dan lugu. Sehingga bukan menjual kisah cinta yang berlebihan antara dua insan, namun lebih mengedepankan kisah persahabatan. Sebuah pembelajaran yang baik untuk film anak (terutama di tanah air) agar lebih bijaksana menaruh unsur cinta dalam film agar anak-anak tak mencontoh dan sudah mulai cinta-cintaan pada usia dini. Penampilan para pemeran cilik dalam “My Girl” patut diacungi jempol. Memainkan peran mereka masing-masing dengan karakter yang kuat dan tidak terlihat berlebihan. Penampilan anak-anak dalam “My Girl” terkesan natural dan seperti memainkan diri mereka sendiri. Sineas yang menggarap “My Girl”pun cukup piawai merajut cerita yang dekat dengan tokoh dengan karakter yang ada, hasilnya “My Girl” begitu natural, sederhana, membumi, dan tentu saja sangat sulit untuk tidak disukai. Selain tokoh utama Jeab dan Noi-Naa, tokoh Jack yang diperankan Chaleumpol Tikumpornteerawong cukup menarik perhatian dengan bakat aktingnya. Wajar apabila saat ini diumurnya yang sudah cukup dewasa dia masih lalu lalang di perfilman Thailand, Salah satunya dalam film komedi romantis berjudul “ATM” yang rilis tahun 2012. Dengan raupan pendapatan sebesar 140 juta Bath dalam penayangannya di Thailand, bisa dikatakan film ini sukses dalam segi finansial. Bagaimana dengan kualitasnya? Film ini sangat sulit untuk tidak disukai. Temanya yang sederhana dan digarap dengan sangat membumi, natural, apa adanya namun terasa istimewa membuat “My Girl” dengan mudah membekas di hati penontonnya. Perpaduan apik tema cinta monyet, persahabatan yang kental, dan problematika masa kanak-kanak yang pas dari masa perkembangan psikologisnya membuat film ini tampil tak berlebihan dan menjadi kekuatan dalam “My Girl”. Beberapa moment yang memorial dibalut dengan komedi ringan serta balutan lagu-lagu populer Thailand tahun 80-an membuat “My Girl” semakin memikat. Sebagai info, “My Girl” pernah rilis di Indonesia dengan judul “Cinta Pertama” pada tahun 2006. “My Girl” saat itu didubbing ke dalam bahasa Indonesia dan lagu-lagu Thailand dalam film ini diganti dengan lagu-lagu populer Indonesia tahun 80-an yang dinyanyikan oleh musisi terkenal saat itu seperti Iwan Fals, Chrisye, Hetty Koes Endang, dan Ebiet G. Ade.
  • 20. 20 l Kinescope l Edisi 10 l 2014 REVIEW Film yang mendapatkan penghargaan Best Documentary Film pada ajang OSCAR 2014 tersebut diputar untuk umum di Kedai Kebun Jalan Tirtodiouran No.3 Yogyakarta, Rabu (10/9). Dalam pemutaran film tersebut juga diadakan diskusi mengenai film tersebut dengan langsung menghadirkan Doug Blush selaku editor film 20 Feet From Stardom. Film dokumenter yang disutradarai oleh Morgan Neville ini mengisahkan tentang kisah pahit manis para penyanyi kulit hitam ini sebagai backup singer dari penyanyi terkenal legendaris. Penyanyi-penyanyi latar yang kadang sering tidak dianggap dan diperhatikan. 20 Feet From Stardom RIAN SAMIN Penyanyi latar atau background singer atau backing vocal sering kali kurang mendapat perhatian. Maklum saja, yang jadi bintang di sebuah konser pastinya si penyanyi utama. Gambaran seperti itulah yang ingin diceritakan oleh Film 20 Feet From Stardom besutan Morgan Neville.
  • 21. 2014 l Edisi 10 l Kinescope l21 latar bergaya gospel di tahun 60-an bahkan sempat menjadi pembantu rumah tangga. Ironisnya, saat ia sedang bersih-bersih, lagu yang ia nyanyikan diputar di radio. Perjuangan para penyanyi latar tersebut disampaikan ke penonton dengan baik oleh sutradara melalui interview dan pengakuan baik itu dari sudut pandang si penyanyi latar ataupun artisnya. Interview itu silih berganti hadir dengan rekaman-rekaman zaman dulu dari acara televisi dan konser. Juga yang mana dalam durasi satu setengah jam durasinya kita diiringi lantunan musik dan lagu jadul yang begitu asyik dari suara indah mereka. Dijelaskan oleh Doug Blush, proses pembuatan film tersebut berlangsung selama dua tahun dan menghasilkan stok video 7 ribu menit. Ditambahkan oleh Gough Blush, selama proses pembuatan film dokumenter tersebut terdapat 60 wanita penyanyi latar. Para penyanyi latar tersebut hampir semuanya berasal dari paduan suara gereja. Masih menurut Doug Blush, Darlene Love dipilih salah satu tokoh utama dalam film, karena wanita tersebut memeliki perjuangan dan cerita hidup yang meninspirasi. Selain Darlene Love, para penyanyi latar lainya yang diangkat dalam film tersebut mewakili sejarah dan perjalanan para penyanyi latar. “Tidak hanya bercerita mengenai kehidupan mereka secara pribadi sebagai penyanyi latar, film ini juga menceritakan bagaimana sebagai penyanyi berkulit hitam, mereka ikut berjuang dalam gerakan anti rasis dan isu-isu kemanusian,” ungkap Doug Blush. Pemutaran film tersebut diselenggarakan oleh Sundance Institute bersama Kedubes Amerika Serikat yang menginisiasi sebuah program bernama Film Forward. Melalui program tersebut Sundance Institute bersama Kedubes Amerika Serikat melakukan screening film, workshop, dan diskusi film. Darlene Love, Merry Clayton, Lisa Fischer, Tata Vega, Jo Lawry, dan Judith Hill adalah para penyanyi latar yang sering bersanding dengan Ray Charles, Tina Turner, The Rolling Stones, Bruce Springsteen, Stevie Wonder, David Bowie, Joe Cocker, dan masih banyak lagi penyanyi legendaris lainya. Mereka berhasil merebut perhatian penyanyi dan produser terkenal. Lisa Fischer, misalnya, menyanyi untuk The Rolling Stones sejak tahun 1989 sampai sekarang. Ia sering menemani Mick Jagger sebagai vokal utama di beberapa lagu saat konser. Sebagai penyanyi latar, mereka mengalami jatuh bangun. Terutama saat mereka berusaha merilis rekaman mereka sendiri. Menyanyi adalah satu hal, menjadi bintang adalah hal lain. Darlene Love, yang bergabung dengan The Blossoms, disebut sebagai pelopor penyanyi
  • 22. 22 l Kinescope l Edisi 10 l 2014 BEHIND THE SCENE Malam Minggu Miko Movie
  • 23. 2014 l Edisi 10 l Kinescope l23
  • 24. 24 l Kinescope l Edisi 10 l 2014 FESTIVAL Cut & Remix Festival Kesenian Yogyakarta (FKY26): RIAN SAMIN Cut & Remix dipilih menjadi tema dari pameran ini. Dikutip dari catatan kuratorial, bahwa tema tersebut berangkat dari gejala budaya penciptaan sistem dan struktur tanda sekarang yang terlihat pada fenomena praktik kreativitas berbahasa, merangkai benda-benda, gambar, bunyi dan berbagai fenomena lainnya. Beberapa perupa undangan di pameran kali ini diantaranya: Ahmad Oka (Jogja), Anom Sugiswoto (Jogja), Anti-Tank (Jogja), Ivan Bestari Minar Pradipta (Jogja), Justian Jafin Rocx X (Jogja), Lifepatch (Jogja), Mufti Amenk Priyanka (Bandung), NSIDEONE (Jogja), Soda Jerk (Sydney, Australia), Thedeo Mix Blood (Jogja). Selain itu, pada Panggung Sastra yang menampilkan pembacaan puisi dari 15 penyair muda terkini Yogyakarta menggelar beragam bentuk tafsir puisi dalam pertunjukan. Bertempat di Plataran Tamansari, selama tiga hari berturut-turut yaitu pada tanggal 4 sampai 6 September ini mengapresiasi Para Penyair Muda yang terus bergiat mengisi dan menghidupkan dunia sastra Yogyakarta. Divisi Media FKY26 Ovie Ermawati mengatakan bahwa antusiasme Para Penyair sangatlah besar, terbukti dari banyaknya yang telah mengirimkan karya mereka ke meja panitia. Pada Jumat malam (5/9)
  • 25. 2014 l Edisi 10 l Kinescope l25 Pada 2 September lalu, sebuah gerbang menutupi setengah lebih sisi depan gedung Jogja Gallery yang terletak di Jl. Pekapalan 7, Alun-alun Utara Yogyakarta. Karya grafiti yang digambar pada gerbang menyambut pengunjung yang datang pada PAPERU atau Pameran Perupa Muda. Pameran yang berlangsung hingga 9 September ini merupakan bagian dari rangkaian FKY 26. diadakan Pertunjukan video mapping yang menampilkan konten modern dan juga tradisi di bangunan khas Yogyakarta. Pertunjukan ini dibuka oleh performance act dari Windarti Dance Company. Bertempat di 0 KM / BNI 46, para Seniman Videografis Kolektif ini mampu menghibur para pengunjung dan memberikan pandangan baru tentang aplikasi media seni pertunjukan. Sejak 1989, Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) menjadi acara tahunan seni-budaya favorit bagi masyarakat Yogyakarta. Bisa dikatakan selama 25 tahun lamanya, FKY tetap eksis sebagai “etalase seni” dalam format festival dan telah dikenal secara luas sebagai “rumah” segala event seni dan budaya di Yogyakarta. Ketua Umum FKY26 Setyo Harwanto menjelaskan bahwa kehadiran FKY dari sisi profit-melalui kegiatan rutin Pasar Seni-telah diketahui bersama dapat memberikan dampak ekonomis baik bagi para pelaku seni, maupun masyarakat sekitar. Sedangkan dari sisi non-profit, FKY dapat memberikan kemanfaatan secara psikologis, yaitu sebagai ruang untuk bermain, berjalan-jalan, bersantai bersama pasangan maupun keluarga untuk menikmati berbagai hal yang berkaitan dengan seni dan budaya -senang sembari berbelanja menikmati produk lokal, seni dan budaya. Setyo melanjutkan kalau tahun ini benar-benar terasa bahwa terutama anak muda mulai menceritakan kembali Kesenian tradisi dan Budaya Jogja, dengan segala bentuk keguyubannya melalui Social Media mereka. “Senang rasanya FKY mulai di sengkayung lagi. Banyak kritik juga saran dari masyarakat, artinya FKY mulai di perhatikan lagi. Selebihnya Apresiasi yang baik dari masyarakat,” tutupnya.
  • 26. 26 l Kinescope l Edisi 10 l 2014 Menceritakan Kembali yang Nyaris Dilupakan Makassar Film Festival 2014: FESTIVAL Thomas Alfa Edison mungkin tidak pernah berpikir kalau keisengannya mengutak-atik kamera foto menjadi alat perekam objek-objek dinamis berefek samping membuat orang lupa diri, tetapi Polanski menyadarinya. Ia menyampaikan tugas utama sinema sebagai mesin waktu. Sebuah portal yang memindahkan orang-orang Eropa ke benua Asia. Pintu ajaib yang memindahkan pemahaman orientalis ke syaraf-syaraf otak para pemikir Eropa. Demikian muasalnya hingga festival sinema menjadi bentuk ruang kelas raksasa yang menghubungkan banyaknya fakta, pemikiran, dan budaya antar benua. Festival film menjadi salah satu denyut pengetahuan yang sulit diabaikan. Ada dua modal besar bagi sebuah kota untuk turun dalam pertempuran kredibilitas universal. Teknologi adalah modal pertama yang menjadi ciri kemajuan budaya, seperti nilai-nilai yang mengubah tembikar bejana aluminium. Makassar sebagai kota yang dirancang menuju kota dunia pun sedang melakukan perubahan besar- REZKIYAH SALEH TJAKO Cinema should make you forget you are sitting in theatre – Roman Polanski (sutradara The Pianist) - besaran di berbagai sudut, salah satunya dalam aspek budaya. Karakteristik budaya merupakan modal kedua untuk ikut pertempuran tersebut, lahirlah Makassar Film Festival yang dirancang menjadi salah satu prajurit tempur utama setiap tahunnya. SEKILAS MAKASSAR FILM FESTIVAL 2013 Pada gelaran Makassar Film Festival tahun sebelumnya, komite mengibarkan panji “Berlayar ke Ujung Pandang”. Sebuah slogan cerminan program-program perkenalan eksistensi karakter makassar dalam kancah perfilman dan budaya. Slogan ini ditempatkan dalam talkshow “Makassar dalam Peta Perfilman Indonesia”, dimoderatori oleh Iking Siahsia, empat praktisi film yakni Dennis Adhiswara, Ichwan Persada, Alem Febri Sonni, dan A. Burhamzah berbicara tentang peran sineas-sineas Makassar dalam pergerakan perfilman indonesia. Dalam bentuk eksibisi, komite menggagas layar utama, sebuah pameran sinema eksklusif untuk sineas Makassar dan wilayah lainnya di KTI, yakni Festival Suara dari Timur. Eksibisi ini memutar khusus film-film karya sineas muda kawasan timur indonesia yang telah melalui kurasi ketat dari tim ahli. Mereka terdiri dari kurator kolektif makassar film festival dan hasil kurasi tim ahli Apresiasi Film Indonesia 2013. “The Backyard” (Yusuf Radjamuda, Palu), “Cita” (A. Burhamzah, Makassar),
  • 27. 2014 l Edisi 10 l Kinescope l27 “Umar Amir” (Ancha Latief, Palu) dan “The Message” (Rezkiyah Saleh Tjako, Makassar) menandai generasi sineas muda dengan empat bentuk film naratif yang berbeda-beda. Di program Pemutaran Khusus, Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya (Joseph Anggi Noen, 2013), Denok & Gareng (Dwi Sujanti Nugrahaeni, 2012), dan Mata Tertutup (Garin Nugroho, 2012) juga diputar untuk menjaring interpretasi yang lebih luas mengenai budaya sinema dan masyarakat. Helatan perdana Makassar Film Festival mendapatkan respon positif dan kritik membangun dari masyarakat. Fariz Budiman dari Total Film Indonesia pun turut berbagi ilmu di mini-workshop Penulisan Kritik Film. Sementara Nadya Fatira meluangkan waktu untuk sharing di mini-workshop Musik & Film. Pesta film ini sukses menjadi perayaan bersama yang merakyat. MAKASSAR FILM FESTIVAL 2014, “SATU KOTA, SERIBU CERITA” Misi utama komite festival adalah mengurai kembali jejak Makassar dalam peta perfilman Indonesia, mengingat kota berbudaya maritim ini telah merekam sejarah panjang kota ini. Perjalanan tersebut ditandai dengan penjamuran komunitas kine di setiap sudut kota daeng dan penyelenggaran Festival Film Indonesia pada tahun 1978. Agenda festival pun terbilang berbeda, karena diselenggarakan selama tiga hari dan membaurkan produser, sutradara, aktor, penata kamera, hingga para runner di kursi-kursi penonton tanpa label “shaf khusus”. Judul-judul film karya orang Makassar seperti “Latando”, “Embun Pagi”, “Senja di Pantai Losari”, dan “Sanrego” ikut serta dalam helatan ini. Sebagai hadiah paling berkesan, tokoh teater, perfilman, dan sesepuh jurnalis Rahman Arge mendapatkan penghargaan sebagai Aktor Harapan Terbaik. Makassar Film Festival berkewajiban melanjutkan dan mempertahankan tugas Makassar sebagai kota yang turut membangun perfilman Indonesia. Helatan tahun ini bekerja di bawah gaungan “Satu Kota, Seribu Cerita”. Komite mengurai dan menyusun kembali sejarah kota di bagian seni budaya, suatu aspek kemasyarakatan yang harus terus berdenyut. Tema ini akan dibicarakan dalam skala yang lebih sederhana, berbentuk sebuah talkshow “Bioskop Makassar”. Komite akan menghadirkan pembicara kompeten terkait perkembangan film Indonesia dari perspektif yang sejalan dengan kemajuan kota dalam berdiri dan rubuhnya bioskop-bioskop di Makassar. Program Festival “Shorts of Indonesia” mulai diadakan tahun ini. Menyerupai program Festival Film pelajar, program ini mencari dan memutar film-film pendek karya sineas di seluruh Indonesia, bersifat umum dan berdampingan dengan festival ikonik “Suara dari Timur”. Festival ini dijadwalkan pada 15-16 November 2014 di Makassar, sebagai rangkaian perayaan hari jadi kota Makassar ke-407. Selain mengajak kembali masyarakat Indonesia untuk bertandang ke Makassar, komite festival pun berencana akan memberi penghargaan khusus kepada salah satu tokoh yang pernah mengharumkan nama masyarakat Bugis-Makassar di perfilman nasional, “... sebab tugas sinema adalah membuat lupa penonton sedang duduk dalam teater, bukan untuk membuat orang-orang lupa pada sejarah, sinema bahkan merekamnya,” ujar Rezkiyah Saleh Tjako, direktur Makassar Film Festival 2014.
  • 28. 28 l Kinescope l Edisi 10 l 2014 BERKARYA SLAMET ABDUL SJUKUR TAK KENAL USIA Proses berkarya memang tidak mengenal usia, semakin lama berkesenian justru banyak hal yang bisa diambil dari seniman tersebut. Satu di antaranya adalah komposer Slamet Abdul Sjukur. Dalam rangka 79 tahun usianya,ia menggelar Kursus Kilat Komposisi yang diadakan pada 4 -5 Agustus di Auditorium House of Piano Jakarta, Dharmawangsa Square. Slamet menjelaskan bahwa orang kira musik itu hanya ‘main musik’. “Anda juga bisa ngarang musik sendiri seperti Beethoven, Chopin, dan lain lain, cobalah hanya dalam waktu singkat,” tukas komposer yang telah menyabet banyak penghargaan ini. Program kursus kilat komposisi ini waktunya dibagi per hari, dalam dua sesi. Sesi pertama dimulai pukul 09.00 - 12.00 dan Sesi kedua pada pukul 13.00 - 16.00 WIB. Untuk mengenal sosok seniman yang unik ini, ada cerita ketika terjadi sebuah perdebatan sengit antara Slamet Abdul Sjukur dan petugas kelurahan. Pasalnya pada formulir KTP, untuk kolom agama, Slamet mengisinya dengan ‘musik’, dan ia mempertahankannya. “Kepercayaan saya memang musik, sebab musik bagi saya merupakan usaha spiritual. Eh, saya malah dikira komunis,” ujarnya. Slamet Abdul Sjukur disebut-sebut sebagai seorang pionir musik kontemporer Indonesia. Sewaktu kecil pria yanglahir dengan nama Soekandar pada 30 Juni 1935 ini sering sakit-sakitan, setelah diruwat, ia berganti nama menjadi Slamet. Di masa kecilnya, ia sering diganggu dan berkelahi dengan teman-temannya, karena kaki kanannya polio sejak usia 6 bulan. Persentuhan Slamet yang pertama dengan musik terjadi ketika ia masih berusia tujuh tahun. Ayahnya, Abdul Sjukur, memberinya hadiah sebuah piano, Ia mengaku lupa kenapa dibelikan piano, sebab, ayahnya, juga ibunya bukanlah penggemar musik. Di usia ke-9, anak tunggal pasangan Abdul Sjukur dan Canna ini mulai serius belajar dengan D. Tupan, pianis asal Ambon yang saat itu bekerja di RRI Surabaya. Hal ini sekaligus menghindarkan diri dari ejekan teman-temannya terhadap kakinya. Slamet dibesarkan dalam keluarga pedagang, ayahnya mempunyai toko obat. Ia sempat diminta untuk menjadi apoteker, tapi Slamet menolak. Ketertarikannya terhadap musik ia dapatkan dari sang nenek, yang menginginkan dia bisa main piano seperti tetangga di sebelah rumahnya. Selama sembilan tahun, sejak 1944, seniman kelahiran Surabaya ini mengikuti les piano. Ia mulai menempuh pendidikan formalnya untuk semakin mendalami musik di Sekolah Musik Indonesia “Semind” Yogyakarta (1952-1956). Enam tahun kemudian, Slamet mendapatkan beasiswa untuk belajar musik dari Pemerintah Perancis (1962-1967). Dia belajar organologi untuk semakin memperdalam pengetahuannya tentang piano di Ecole Normale de Musique. Beasiswa dari pemerintah Perancis yang memungkinkannya bersekolah di Ecole Normale de Musique, mestinya hanya untuk satu tahun. Tetapi ia usahakan hingga menjadi tiga tahun. Hal tersebut belum membuatSlamet puas. Ia meneruskan sekolah dengan usaha sendiri dengan menjadi tukang cuci piring di restoran dan pianis pada sebuah sekolah balet. Sebelum itu, ia bahkan sempat menggelandang menjadi pengamen di lorong-lorong stasiun kereta api bawah tanah. Namun nampaknya semua ilmu yang dia dapatkan dari pendidikan RIAN SAMIN TOKOH
  • 29. 2014 l Edisi 10 l Kinescope l29 formal ini seolah hanya menjadi formalitas bagi Slamet, Slamet lebih banyak mengembangkan cara-cara sendiri dalam bermusik. Dia mengajarkan pada banyak orang bahwa musik sesungguhnya dimulai dari diam atau tidak ada bunyi sama sekali. Bagi Slamet, lantunan musik adalah tepukan tangan pada mulut yang terbuka, gesekan kain panjang kaum perempuan ketika berjalan, bunyi gesekan sapu di jalanan, bahkan juga bunyi ketiak yang ditutup dengan telapak tangan. Musik pada hakekatnya bukan monopoli milik orang musik saja. Musik adalah milik semua orang dan bisa dimainkan dengan alat apa saja. Bahkan desir angin, gesekan daun, gemericik air, itu semua sebenarnya sudah musik. Slamet yang aneh dan cuek selalu berkarya dengan kemauannya sendiri. Hal inilah yang menjadi ciri khasnya dan membuat dia semakin dicintai dengan karya hebatnya. Sebagai pemeluk ‘kepercayaan musik’, Slamet memang taat. Rumah tinggalnya tidak hanya dibangun berdasarkan ketentuan geomensi, penyesuaian arah mata angin dengan garis hidup penghuninya, melainkan juga dirancang sendiri menurut perhitungan akustik yang njlimet. Seluruh dinding luar rumah berupa batu bata merah telanjang, tanpa plesteran semen. Posisi dindingnya unik.Dinding rumahnya sejajar hanya ada 20 persen, semua ini ia rancang untuk menghasilkan pantulan suara yang baik. Sebagian karya ciptaannya adalah, Ketut Candu, String Quartet I, Silence, Point Core, Parentheses I-II-III-IV-V-VI, Jakarta 450 Tahun dan Daun Pulus. Menurut penggemar W.R. Supratman dan Harry Roesli ini mendapatkan inspirasi Daun Pulus dari jaipongan, dipesan oleh Farida Oetoyo untuk pementasan balet pada Desember 1983. Musik Hantu, sebuah ekspresi kelengangan total, ia suguhkan di Erasmus Huis, Jakarta, pada 1985. Musik memantik minat musik Slamet dan mengantarkannya menjadi komponis ternama dengan karya-karya yang dikenal di berbagai negara. Sesuatu yang mungkin membanggakan adalah bagaimana seorang Debussy terinspirasi oleh gamelan. Slamet juga telah dipilih oleh Institut Français membuat komposisi GAME-Land V untuk 100 tahun Debussy pada 2012 yang lalu. Penghargaan : • Mendapat beasiswa dari Pemerintah Perancis untukbersekolah di Ecole Normale deMusique (1962) • Bronze Medal dari Festival deJeux d’Automne in Dijon (1974) • Golden record dari AcademieCharles Cros in France, untukkaryanya Angklung (1975) • Zoltan Kodaly Commemorative medal in Hungary (1983) • Perintis Musik Altenative darimajalah Gatra (1996) • Millennium Hall of Fame of the American Biographical Institute (1998) • Officier de l‘Ordre des Arts et des Lettres (2000)
  • 30. 30 l Kinescope l Edisi 10 l 2014 Embel-embel ‘perempuan’ di belakang kata ‘sutradara’ lebih sering terasa tak mengenakkan. Tapi, bagi Lola, keperempuanan itu memang memiliki makna tersendiri yang menjiwai karya-karya filmnya. Lihat saja filmnya yang berjudul ‘Minggu Pagi di Victoria Park’ (2010) dan ‘Kisah Tiga Titik’ (2013). Berkisah tentang para buruh perempuan, dua film itu memperlihatkan secara gamlang keberpihakan Lola terhadap isu-isu yang mendera kaumnya. Belum lama ini, Lola merilis film terbarunya, ‘Negeri Tanpa Telinga’, sebuah drama bertema politik aktual yang membuat Wakil Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok mengajak segenap anak buahnya untuk nonton bareng. Pengamat perfilman Indonesia yang paling ganteng se-Jakarta Shandy Gasella menyelinap ke balik layar untuk mengintip kiprah dan pemikiran Lola sebagai sutradara. Perbincangan berlangsung di kantornya di Cipete, Jakarta Selatan. Hampir semua pertanyaan yang diajukan dijawab dengan panjang lebar. Berikut petikannya: Kamu kan mengawali karirmu dengan menjadi model, lalu menjadi aktris, sampai pada akhirnya kamu bekerja di belakang layar. Apa motivasimu untuk bekerja di belakang layar? Sebenarnya perjalanan itu penuh dengan proses, dari mulai jadi aktris aja sekitar awal tahun 2000, itu pun nggak sengaja karena cita-citaku sebenarnya mau jadi diplomat. Terus iseng-iseng kirim formulir pemilihan Wajah Femina tahun 1997. Waktu itu masih belum banyak lomba-lomba pemilihan seperti itu, baru Femina, None Jakarte dan Putri Indonesia. Satu bulan atau dua bulan kemudian ditelepon pihak Femina kalau aku masuk 60 besar masuk ke 20 semifinalis. Itu momen yang aku nggak percaya. Ketika malam final, aku menang. Aku menang juara busana nasional, kebaya. Jadi sepertinya semua serba tak terduga. Wah, seru juga ya. Lalu? Dalam Film, Kita Harus Tidak Seperti Politik Lola Amaria telah berjalan jauh dari seorang model sampul majalah, pemain sinetron, bintang film hingga kini dikenal sebagai satu dari sangat sedikit sutradara perempuan di Tanah Air. Lola Amaria: Waktu itu pelatihnya Mas Denny Malik dan aku sempat dimarahin, “Lo tu pake kebaya masa kayak koboy jalannya!” Terus pas diumumin menang. Dari situ mulai ada kegiatan, jadi nggak suntuk lagi. Setelah itu ditawarin main di film ‘Ca Bau Kan’. Saat itu film baru bangkit, belum banyak film Indonesia. Mulai aku belajar nulis, belajar produksi, belajar nge-direct dan semua otodidak sambil jalan. Aku nggak sekolah film, jadi semua belajarnya lewat nonton film, diskusi, datang ke pemutaran-pemutaran film. Kalau mas Garin bikin pemutaran, ada diskusi, aku pasti datang, pengen tau gimana Mas Garin menjawab pertanyaan dan mempertanggungjawabkan karyanya. Sampai pada akhirnya aku memutuskan untuk, menulis sendiri, atau mungkin pakai penulis tapi idenya tetap ide sendiri, atau mungkin memproduksi sendiri, atau menyutradarai. Apakah membuat film itu sebuah pengalaman yang mengubah hidup? Iya, banget. Sebab dari membuat film aku bisa kenal banyak orang dari pelbagai kalangan. Bila nggak di film, mungkin nggak akan dapat, aku bisa kenal orang-orang penting, aku bisa dapat akses, privilege kalau misalnya ke mana-mana. Aku bisa tahu tempat-tempat yang belum pernah aku tahu seperti Flores misalnya. Terus bisa ke luar negeri juga secara gratis bila misalnya filmku masuk festival di luar negeri, ada banyak hal yang menyenangkan. SHANDY GASELLA INTERVIEW
  • 31. 2014 l Edisi 10 l Kinescope l31 Harus Jujur Politik Biasanya bagaimana ide-ide untuk sebuah film itu muncul di benakmu? Ide itu banyak, kadang-kadang kalau lagi jalan, atau ketemu orang, aku suka nyatet ada kejadian apa. Kayak masalah politik ini, yang kuangkat di ‘Negeri Tanpa Telinga’, terbersit aja dari nonton televisi. Ada teman di parlemen, aku tanya tentang banyak hal. Terus-terang aku buta politik, jadi pengen lebih tahu bagaimana orang-orang di dalamnya. Ternyata banyak busuknya dan penuh intrik. Dalam film sebaliknya, kita nggak bisa berpolitik, kita harus jujur. Nah, itu bertolak belakang dengan politik, maka aku nggak bisa jadi politikus.
  • 32. 32 l Kinescope l Edisi 10 l 2014 Menurut saya, debutmu sebagai sutradara di ‘Betina’ adalah sebuah bentuk perlawanan terhadap industri film di Tanah Air pada masa itu. Setelah itu kamu membuat ‘Minggu Pagi di Victoria Park’, ‘Kisah 3 Titik’, ‘Negeri Tanpa Telinga’, boleh cerita bagaimana proses kreatifmu berkembang dari waktu ke waktu? ‘Betina’ itu kan film yang sangat personal, film pertama dan bikinnya dua tahun. Setahun pertama uang habis, tapi belum kelar dan baru tahun depannya diterusin. Saking kepengennya punya karya gitu, semua orang belum ada yang percaya apalagi ceritanya arthouse gitu, hanya beberapa orang yang paham. Bioskop 21 pun nggak bisa nerima karena formatnya bukan seluloid. Akhirnya kami mengedarkannya ke kampus-kampus dan festival. Secara value itu dapet banget, tapi secara materi sama sekali enggak. ‘Kisah 3 Titik’ ide awalnya dari demo-demo buruh. Kalau nggak upah naik, terus aturan outsourcing, ada banyak banget yang tidak terselesaikan. Nah, itu juga riset ke tiga tempat, ke buruhnya, ke pengusahanya, dan ke pemerintah. Dan kebetulan pada saat itu memang Kementerian Tenaga Kerja mendukung secara finansial, budgetnya cukup untuk membuat film yang kita inginkan, dan itu menyenangkan. Sebelum ‘Kisah 3 Titik’, aku bikin ‘Sanubari Jakarta’ tentang LGBT (lesbian, gay, bisexual, and transgender). Prosesnya dari ngopi-ngopi bareng teman-teman dan lumayan hits karena omnibus juga masih baru. Itu juga film indie yang kami danai sendiri oleh masing-masing sutradaranya yang berjumlah 10 orang. Lalu tiba-tiba kami semua kaget, bioskop 21 bisa nerima film jenis begitu, itu blessing in disguise juga, ternyata bisa menjadi panutan buat sutradara lain untuk bikin yang serupa. Kemudian kan ada ‘Rectoverso’, ‘Hi5teria’, dan lain-lain, itu cukup senang sih. Dan aku ngambilnya waktu itu memang acak, ada artis, ada sutradara, ada orang biasa, kami gabungin, jadinya seperti itu, dan temanya LGBT pula! Ketika film ini tayang, banyak yang pada nunggu DVD-nya rilis karena pada takut nonton (di bioskop). Dalam ‘Novel Tanpa Hurup R’ kamu jadi produser sekaligus pemain, dalam ‘Betina’ kamu jadi sutradara namun tidak ikut bermain, dalam ‘Minggu Pagi di Victoria Park’ kamu jadi sutradara sekaligus ikut bermain, di ‘Kisah 3 Titik’ kamu ikut bermain juga, dalam ‘Negeri Tanpa Telinga’ kamu tak ikut bermain. Apa sih pertimbanganmu? Di ‘Betina’ aku sebagai produser sekaligus director. Produksinya memang pakai uang sendiri, jadi aku ingin jadi produser dan nge-direct. ‘Novel Tanpa Hurup R’ waktu itu Aria (Kusumadewa) yang minta aku main, padahal posisi produser juga berat pada saat itu. ‘Minggu Pagi di Victoria Park’ awalnya sih ke sutradara, tapi produsernya, Bu Dewi bilang, kalau aku ngerti banget masalah ini, jadi mendingan ikut main. Di film ‘Kisah 3 Titik’ menterinya yang minta aku main, padahal aku mau konsentrasi jadi produser aja. Kemudian kupikir, oh ya udahlah produserin dan main nggak terlalu berat, yang paling berat itu nge-direct dan sambil main juga, itu yang terjadi di ‘Minggu Pagi di Victoria Park’, sulit untuk terulang lagi kecuali aku punya co-director yang kuat ya, dan budget yang besar. Menurutmu apa yang membuat sebuah film itu bagus? Adakah kualitas tertentu yang harus dimiliki sebuah film? Bagus atau jelek itu relatif, kuat atau lemah itu relatif. Tapi yang paling penting film itu punya tiga unsur; estetika, etika, logika. Kemudian film harus bisa komunikatif dengan penonton. Estetika itu kan lebih ke teknis, warna baju, warna background, dan set-nya itu kan menggambarkan estetika pembuatnya. Kemudian ruangnya segala macam karena film itu merupakan seni yang paling bungsu di mana semua seni tergabung di situ dari mulai seni rupa, seni akting, seni musik, fotografi, penulisan, dan lain-lain. Bila misalnya satu unsur aja nggak ada, bukan film namanya. Apa pelajaran terpenting yang pernah kamu dapatkan yang memiliki pengaruh positif terhadap karyamu? Dan, bagaimana pelajaran itu terjadi? Bekerja di dunia film. Membuat sebuah film itu waktunya panjang, orangnya banyak, menjadi leader di antara sekian banyak kru dan pemain. Keputusan harus diambil, suasana segenting apa pun tetap harus ada keputusan dan itu (tugas) director. Di situlah aku belajar untuk ambil keputusan dengan cepat dan
  • 33. 2014 l Edisi 10 l Kinescope l33 tepat, belajar jadi pemimpin, belajar untuk tahu psikologi orang secara bersamaan. Ada istilah dalam filmmaking, it all starts with the script. Nah, kapan kiranya kamu tahu ketika skrip yang kamu tulis siap untuk diproduksi? Paling nggak draft 1, belum ketahuan sih udah siap syuting atau nggak, tapi paling nggak draft 1 itu udah ketahuan budgetnya, berapa hari syuting, berapa pemain, dan lainya. Artinya, dengan menghitung budget di draft 1, aku udah bisa presentasi. Bisa kebayang dengan panduan draft 1, kami bisa persiapan tiga bulan, syuting sebulan, uangnya sekian. Namun untuk menuju draft 1 juga kan nggak sebentar. Film lebih dari sekedar bentu seni pop lainnya, ia kompromi di antara seni dan komersialisasi. Bagaimana karyamu terbentuk oleh ada-tidak-adanya uang? Apakah kamu berkarya dengan pembatasan budget dalam benakmu? Aku ambil contoh misalnya ‘Negeri Tanpa Telinga’ atau ‘Minggu Pagi di Victoria Park’. Secara cerita itu based on true events. Jadi ketika harus dikompromikan, bagian yang mana? Karena kita tidak bisa membohongi realitas misalnya mengurangi jumlah, angka, dan lain-lain itu nggak bisa. Kita harus punya win-win solution supaya berimbang. Film itu budget orientation atau idea orientation, jadi melihat standar pembuatan film secara jumlah rupiah di Indonesia itu masuk akal nggak? Tapi kalau untuk idea oriented aja, juga hampir mungkin. Jadi lebih ke idenya, gimana lebih bisa ditekan budgetnya. Pemainnya sedikit, setting sedikit, tapi ceritanya kuat. Kalau ‘The Raid’ udah jelas mereka distribusi sampai ke luar negeri dan itu bisa ditiru jadi contoh yang baik untuk distribusinya. Berharap Gareth Evans bisa jadi agen buat film Indonesia, untuk bawa film Indonesia ke luar negeri dan bisa menolong teman-teman sineas di sini untuk bisa mendistribusikan filmnya keluar Indonesia. Peluang dan tantangan apa saja yang dihadapi perempuan dalam industri film? Sebenarnya nggak ada perbedaan dengan laki-laki, cuma mungkin jumlah perempuan yang terjun ke dunia film, apalagi di belakang layar masih sedikit. Kenapa kubilang sedikit, mungkin perempuan-perempuan yang sudah bersuami khawatir masalah jam kerja. Di Indonesia budayanya masih sulit untuk disamakan dengan luar negeri, kecuali perempuan yang single yang mengatur waktu sendiri. Apalagi dunia film kan selain jam kerjanya juga nggak jelas gitu, kadang pulang pagi, masuk kerja jam 2 siang, syuting dua bulan meninggalkan keluarga. Bisnis film di negeri kita ini fair nggak? Dalam hal apa dulu nih? Misalnya hasil pembagian tiket, kayak tadi soal monopoli, itu nggak fair. Selain monopoli, menomorsatukan film asing juga nggak fair. Pemerintah juga nggak support, misalnya pajak film yang sudah didapatkan dari setahun lalu, pada ke mana? Katanya harusnya mungkin bisa dibagi untuk filmmker agar bisa produksi film lagi. Bila di Amerika pemerintahnya mengerti bahwa film itu jendela budaya, propaganda, dan penting buat negara mereka. Misalnya tanpa sadar segala hal berbau Amerika itu ada di film, misalnya Captain America, Crazy Alabama, Living Las Vegas, New York I Love You, semua pakai nama kota atau tempat yang secara nggak langsung bikin kita jadi kepengen lihat dan pergi ke sana. Di Indonesia belum ada studio macam di Hollywood yang untuk bikin film seperti Titanic aja bisa dengan CGI. Sekarang kita mau syuting di bandara, tau nggak betapa susahnya izin syuting di sana dan betapa mahalnya kalau dapat izin, dan itupun sangat terbatas waktunya. Sementara, bagimana film mau bagus kalau dari yang kecil-kecil saja sudah nggak didukung. Kamu pernah menerima penghargaan best director di Jiffest untuk ‘Minggu Pagi di Victoria Park’, seberapa penting peranan festival film dalam pandanganmu? Penting buat yang punya kepentingan. Terus kayak menang di Jiffest. At least aku senang, bangga, tapi setelah itu ya sudah, aku harus berjuang lagi, bikin film lagi, nyari duit lagi, nyari ide lagi. Bukan setelah menang, terlena lalu berkoar-koar. Jadi soal festival, menang piala, penghargaan, hadiah, itu bisa membunuh kita bila kita nggak manage dengan benar, jadi sombong juga. Gimana caramu menyikapi kritik? Positif. Karena bila nggak ada kritik kita nggak akan bisa maju. Kritik dari sumber yang benar, kritik yang dapat membangun, kritik yang memang bisa dipercaya. Acuanku biasanya ada filmindonesia.or.id, Detikcom, ada juga Tempo dan kritik mereka nggak ada yang sama. Tapi namanya kritik, nggak ada yang salah, nggak ada yang benar, itu kan opini. Tapi paling tidak, sejelek apa pun filmnya, kita harus menghargai bahwa mereka sudah kerja keras untuk itu. Kritik negatif itu juga salah satu alasan mengapa film Indonesia nggak maju-maju. Walaupun jelek menurut kritik, tapi jeleknya harus bisa dijelaskan dan harus berimbang ulasannya. Dan memang, rata-rata orang Indonesia masih sulit untuk nerima kritik. Dan itu tahapannya juga berat untuk bisa sampai ke tahap “ya udah yang penting udah bikin...” Bila ada satu dua hal yang dapat membuat industri film di sini jadi lebih baik, itu apa? Support dari semua pihak. pemerintah, dari lembaga sensor, beberapa lembaga yang berkaitan dengan film, dari pengusaha-pengusaha yang harusnya sadar bahwa film itu seperti di Amerika, bisa jadi jendela dunia, bisa jadi alat propaganda, dan bisa membawa film Indonesia lebih mudah diakses. Selain di dalam negeri dengan menambah jumlah bioskop yang tidak dimonopoli, pro film Indonesia, dan mereka memudahkan kita untuk bisa berangkat ke luar negeri dengan membawa peralatan kita. Dukungan semua pihak, kalau cuma segelintir orang dan lembaga sih masih kurang.
  • 34. 34 l Kinescope l Edisi 10 l 2014 OPINI PRIMI ROHIMI Film-film keagamaan yang disutradarai oleh Imam Tantowi, Khairul Umam, dan Dedy Mizwar, biasanya bertema Islam. Judul-judul seperti Titian Rambut Dibelah Tujuh, Al-Kautsar kemudian film-film legenda yang mengisahkan Wali Songo juga bisa dilihat sebagai genre keagamaan (Taufik, 2008: 90). Peran perempuan sangat menarik jika dikaji dalam kaitannya dengan syariat Islam di Indonesia dalam film Indonesia bertema Islam. Menurut Veronika Kusumaryati, kurator VFF 2010, selama ini peran perempuan tidak pernah dianggap penting dalam penerapan syariat Islam. Selain itu, perempuan kerap menjadi korban yang paling terlihat dalam penerapan syariat Islam (http:// www.tempointeraktif.com diakses pada tanggal 24 Januari 2010). Misalnya dalam film Ayat-ayat Cinta (2008), peran perempuan sebagai penentu dalam perjodohan tidak direspon penonton dan kritikus film. Dalam film tersebut justru isu poligami dan kekerasan terhadap Simbol-simbol Islam hadir dalam perfilman sudah sejak lama. Terdapat berbagai macam jenis film di Indonesia, salah satunya yang berhubungan dengan aktivitas dakwah adalah film yang bertema Islam. FILM INDONESIA BERTEMA ISLAM DAN MITOS PEREMPUAN SEBUAH THESIS:
  • 35. 2014 l Edisi 10 l Kinescope l35 perempuan dalam Islam yang selalu menjadi pembahasan. Tradisi patriarkhi dalam Islam memunculkan mitos perempuan hanya menjadi subjek dakwah di dalam rumah dengan perannya sebagai ibu. Padahal sejak awal Islam muncul, perempuan telah memainkan peran penting dalam kemajuan dakwah Islam. Mulai dari pengorbanan Sumayyah hingga peran Aisyah dalam pengumpulan hadist-hadist, perempuan telah berperan dalam mengembangkan dan menyebarkan Islam. Tampaknya ada perbedaan penampilan perempuan dalam film Indonesia bertema Islam dibandingkan dengan film bertema lainnya. Perbedaan yang terlihat jelas adalah pada kostum. Tokoh perempuan dalam film Indonesia bertema Islam sering ditampilkan mengenakan busana muslimah atau setidaknya lebih tertutup dibandingkan film yang tidak bertema Islam. Penggunaan kerudung atau jilbab pun seperti sudah menjadi ikon dalam film bertema Islam. Entah jilbab besar, jilbab yang in fashion, atau sekedar selendang dan kain tudung kepala. Perbedaan lain adalah pada penokohan. Perempuan yang menjadi bagian dari film bertema Islam cenderung sebagai muslimah yang berakhlakul karimah, berbicara dengan halus dan sopan serta berwajah cantik. Peran-peran protagonis atau setidaknya netral menjadi stereotip perempuan dalam film bertema Islam. Seorang ibu yang sabar, anak gadis yang penurut, atau istri yang berbakti pada suaminya. Kalaupun perempuan dalam film bertema Islam harus digambarkan sebagai sosok antagonis maka kostum yang dikenakan cenderung dibedakan dengan muslimah protagonis yang berjilbab walaupun pemeran antagonis itu pun adalah seorang muslimah. Perbedaan lain yang juga tampak yaitu bahwa film Indonesia bertema Islam tidak ada eksploitasi wajah dan bagian tubuh yang berlebihan melalui shot kamera. Ada kesan implementasi etika memandang secara Islam yang harus dilakukan oleh sutradara. Hal ini karena cara pandang sutradara akan mempengaruhi cara khalayak film melihat objek yang ditampilkan dalam film. Melihat objek kamera dalam film bertema Islam tidak lagi menggunakan male gaze (tatapan pria) tetapi harus dengan cara yang syari. Cara memandang lawan jenis dalam Islam hanya terbatas pada bagian tubuh yang bukan aurat yaitu untuk perempuan adalah wajah dan telapak tangan. Sedangkan dalam film bertema percintaan bahkan horor, wajah dan bagian tubuh yang seharusnya tidak ditampilkan (belahan dada, paha, dan perut), justru ditampilkan dengan close up. Penelitian tentang film Indonesia bertema Islam sebagai film dakwah, film religi, maupun film islami muncul pada tahun 2000-an ketika film Indonesia bertema Islam mengalami booming dan ketika kajian Islam semakin tumbuh. Menarik sekali jika bisa melihat dan menemukan perubahan film Indonesia bertema Islam tahun 1980-an hingga tahun 2010. Penelitian yang masih sedikit adalah penelitian dan/atau kajian tentang perempuan dalam film Indonesia bertema Islam. Apalagi pemetaan tentang kehadiran tokoh perempuan dalam rentang perjalanan film Indonesia bertema Islam yang ternyata memiliki periode masa yang telah lama. Penelitian ini dibatasi hanya pada tokoh (karakter) perempuan dalam film karena kehadiran perempuan dalam dunia film Indonesia bertema Islam tidak hanya sebagai pemain tapi ada juga yang berperan sebagai film makers. Namun efek yang lebih terasa adalah pencitraan tokoh (karakter) perempuan. Maka menarik pula jika bisa melihat dan menemukan perubahan representasi tokoh perempuan dalam film Indonesia bertema Islam tahun 1980-an hingga tahun 2010. FILM SEBAGAI MEDIA DAKWAH Media dakwah yang komunikatif ada yang bersifat visual, auditif, ataupun audio visual. Chusana dalam penelitiannya menyebutkan bahwa salah satu alternatif media tersebut adalah melalui film (2007). Film terbukti bisa menjadi sarana dakwah yang efektif. Film dapat dengan mudah menyampaikan nilai-nilai ajaran Islam dengan cara non doktrinasi. Film bisa dengan menarik menyampaikan pesan-pesan akidah, syari’ah, dan akhlak (Munif, 2004; Fauzi, 2009; Hidayatullah, 2010). Hasil penelitian Munif pada tahun 2004 dalam film Children of Heaven menyebutkan bahwa film Children of Heaven menjadi media untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah. Pesan-pesan dakwah di antaranya adalah akidah, syaria’h dan akhlak. Pesan-pesan dakwah tersebut juga ditemukan oleh Chusana (2006) dalam film Kiamat Sudah Dekat. Dalam penelitian Chusana, pendekatan yang digunakan sama dengan penelitian yang dilakukan Munif. Mereka menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis semiotik. Pendekatan kualitatif lainnya adalah dengan analisis wacana seperti yang dilakukan oleh Fauzi
  • 36. 36 l Kinescope l Edisi 10 l 2014 (2009) ketika meneliti pesan dakwah dalam film Do’a Yang Mengancam. Fauzi menemukan bahwa pesan dakwah dalam film Do’a Yang Mengancam adalah pesan-pesan tentang akhlaq, syari’ah, dan aqidah. Ternyata dengan pendekatan kuantitatif pun film bisa disimpulkan sebagai media dakwah. Ini bisa dibaca dari hasil penelitian Hidayatullah yang meneliti pesan dakwah dalam film My Name Is Khan (2010) dengan analisis isi. Hakim dalam artikelnya tentang “Citra Islam dalam Film dan Sinetron” (2010) berpendapat bahwa pada tahun 1990an, genre film religi adalah bercorak Islam urban, sedangkan pada tahun 1980-an genre film religi lebih banyak berlatar Islam pedesaan. Film religi era 1980an dan 1990an menampilkan Islam sebagai agama mistis-dogmatis. Beberapa pemerhati film mengelompokkan film-film bertema Islam sebagai film religi. Seperti artikel yang ditulis oleh Patawari (lulusan IKJ yang aktif dalam Cinema Kelana) dalam situsnya www.cinephilia-cine. blogspot.com, dia merumuskan bahwa film religi merupakan sub genre dari film drama yang mengangkat agama sebagai tema sentralnya. Simbol-simbol Islam dalam film Indonesia ini dikritisi oleh Ashaf (2008) sebagai keniscayaan sejarah Indonesia, mengingat dunia hiburan berusaha melayani penontonnya yang sebagian besar muslim. Selain itu, Islam adalah tema yang menarik karena ketegangan muslim dalam menghadapi modernitas. Ashaf menyimpulkan dalam film Indonesia bertema Islam terdapat dua jenis tema religius yaitu religius mantra dan religius praksis. Aminudin pada tahun 2010 melakukan analisis pada simbol-simbol Islam yang muncul dalam film Indonesia pasca orde baru. Menurutnya simbol-simbol tersebut terrepresentasikan dalam wujud mistic synthetic dimana terjadi akulturasi antara kebudayaan Islam tradisional yang bertemu dengan Islam modernis. Teori Ashaf dan Aminudin ini bisa diperjelas secara aplikatif oleh penelitian yang dilakukan oleh Wardani (2010). Wardani meneliti tentang simbol- simbol keagamaan dalam film Perempuan Berkalung Sorban. Dengan analisis resepsi, Wardani menemukan bahwa interpretasi para informan dalam menyaksikan film Perempuan Berkalung Sorban dapat dikelompokkan sesuai posisi decoding khalayak Hall yaitu posisi dominan hegemonik, negosiasi dan oposisional. Nampaknya pendekatan kualitatif khususnya dengan analisis semiotik menjadi alat yang sering digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang simbol-simbol Islam dalam film Indonesia bertema Islam. Penelitian “Pesan Moral Islami dalam Film Ayat-Ayat Cinta” menggunakan analisis Semiotik model Roland Barthes dan model Wacana Van Dijk (Zakiyah, 2008). MITOS PEREMPUAN DALAM FILM Studi Semiotika Representasi Perempuan Muslim pada Tokoh Annisa Dalam Film Perempuan Berkalung Sorban Karya Hanung Bramantyo, diteliti oleh Five Yuniartin Cholil (2010). Penelitian ini mengangkat tema tentang gender perempuan dalam kehidupan keluarga dan aturan pondok pesantren salafiah yang memiliki budaya Islam patriarkhi. Film ini berfungsi untuk menyajikan realita yang ada dalam masyarakat bahwa tugas seorang perempuan tidak selalu mengurus pekerjaan rumah tangga saja, melainkan mereka juga memiliki hak untuk melakukan aktivitas di luar
  • 37. 2014 l Edisi 10 l Kinescope l37 rumah tetapi tidak boleh sampai melampaui kodratnya. Namun karena budaya patriarkhi masih melekat dalam kehidupan masyarakat sehari-hari membuat posisi Annisa (objek dalam penelitian ini) harus mengikuti budaya patriarkhi tersebut dengan menurut terhadap aturan dari abinya (Kiai Hanan). Metode penelitian skripsi ini menggunakan analisis semiology Roland Barthes untuk menganalisis tanda-tanda representasi Annisa yang disajikan dalam film dan mengetahui mitos tentang perempuan muslim. Selain menggunakan teori semiology, peneliti juga menggunakan teori gender perempuan dalam Islam untuk memberikan penjelasan terhadap tanda-tanda representasi Annisa dalam film. Kesimpulannya, bahwa Annisa mampu menunjukkan kepada lingkungannya jika ia adalah perempuan yang mandiri, memiliki posisi yang sederajat dengan laki-laki, dan mampu mengubah gaya berfikir Islam patriarkhi keluarga dan pondok pesantrennya. Ia menunjukkan bahwa perempuan juga memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki dan kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri namun tetap berpegangan pada kaidah Islam. Beroperasinya ideologi melalui semiotika mitos dapat ditengarai melalui asosiasi yang melekat dalam bahasa konotatif. Barthes mengatakan penggunaan konotasi dalam teks ini sebagai penciptaan mitos. Ada banyak mitos yang diciptakan media di sekitar kita, misalnya mitos tentang kecantikan, keberanian, pembagian peran domestik versus peran publik dan banyak lagi. Mitos ini bermain dalam tingkat bahasa yang oleh Barthes disebutnya meta-language (Strinati, 1995:113). Hasil interpretasi makna konotasi di atas menunjukkan kesan adanya beberapa mitos dan aturan tentang perempuan dalam film Indonesia bertema Islam. Mitos-mitos tersebut merupakan stereotip perempuan yang dilabelkan oleh masyarakat. Perempuan yang tidak sesuai dengan gambaran stereotype tersebut cenderung mengalami anihilisasi dengan interpretasi terhadap tafsiran ayat al Quran, hadits dan beberapa kitab. Mitos-mitos tersebut terkesan ditampilkan ada yang bergeser dan ada yang tetap atau sama atau tidak bergeser. Mitos yang tidak bergeser di antaranya istri yang tunduk pada suami; perempuan sebagai simbol kemiskinan; perempuan tidak meminta tapi diminta; perempuan tidak perlu mempunyai kemampuan seni bela diri; perempuan bersifat emosional; pendidikan moral dan pengasuhan anak sebagai tanggung jawab ibu; tidak adanya kekuasaan ibu dalam menghukum anak-anaknya; perempuan adalah korban kekerasan. Mitos yang bergeser di antaranya perempuan menghentikan kekerasan dengan tangisan dan kecantikan sebagai kemampuan perempuan dalam menyelesaikan masalah ditampilkan berbeda karena perempuan bisa menyelesaikan masalah dengan ide dan komunikasi yang dilakukannya; istri adalah pihak yang sering bersalah ditampilkan berbeda karena istri lebih dihormati; ketidakberdayaan perempuan sebagai korban ditampilkan berbeda karena perempuan akhirnya bisa memperjuangkan ketidakberdayaannya; pekerjaan perempuan ditampilkan berbeda karena jenis pekerjaan perempuan sudah bervariasi; ketidakpandaian perempuan dalam menyimpulkan sesuatu ditampilkan berbeda karena perempuan bahkan bisa
  • 38. 38 l Kinescope l Edisi 10 l 2014 menempuh studi lanjut; mudahnya menarik perhatian perempuan ditampilkan berbeda karena perempuan hanya tertarik dengan hal-hal yang menjadi minatnya; perempuan tidak boleh menjadi pemimpin ditampilkan berbeda karena perempuan memiliki keberanian memimpin diri sendiri, keluarga dan komunitasnya. Analisa tersebut memunculkan kesan bahwa pergeseran mitos perempuan dalam film Indonesia bertema Islam pada beberapa hal sudah benar-benar bergeser. Namun di beberapa mitos hanya berubah bentuk representasinya, tidak sepenuhnya berubah. Ini bisa jadi karena interpretasi atas teks-teks Islam yang melandasi mitos tersebut. Namun yang pasti, Islam dalam merepresentasikan tokoh perempuan dalam film, terkesan lebih etis. REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM FILM INDONESIA Salah satu pustaka penting yang membahas perempuan, Islam, dan film yaitu buku yang ditulis oleh Colin. Buku yang merupakan hasil penelitiannya ini berjudul Women, Islam and Cinema (2004). Fokus penelitiannya adalah film-film di Iran dan Turki, Kazakhstan dan Uzbekistan, Pakistan, Bangladesh, Malaysia dan Indonesia, serta India. Menurutnya, di Indonesia, perempuan membuat film mengikuti sudut pandang laki-laki. Representasi perempuan dalam film Indonesia dan hubungannya dengan agama dalam buku ini terasa kurang sesuai. Ini karena Colin menggunakan objek film Roro Mendut yang terasa kurang sesuai jika dikategorikan sebagai film Islam. Representasi pun masih sebatas tanda denotatif atau makna yang nampak. Colin masih belum bisa dengan kritis melihat kaitan makna tampilan perempuan dalam film Indonesia khususnya yang bertema Islam. Membahas interaksi antara perempuan dan film, tidak terlepas dari membahas posisi perempuan yang tidak menguntungkan dalam film. Menurut Ashaf (2007) adalah sah apabila film menempatkan perempuan pada posisi yang tidak menguntungkan. Ini karena film merupakan media yang menggambarkan suasana konflik sosial politik. Konflik adalah domain yang dipersepsikan sebagai milik laki-laki, dan perempuan senantiasa menjadi korbannya. Perempuan Indonesia tidak selalu dalam posisi lemah. Sosok ibu dalam film merupakan sosok yang sering ditampilkan. Karena seringnya maka khalayak tidak melihat bahwa sosok ibu sebenarnya merupakan tokoh sentral. Gambaran sosok ibu menjadi pembahasan dalam film Indonesia seperti dalam film Rindu Kami padaMU, yang pernah menjadi subyek penelitian pada tahun 2007. Hasil penelitian terhadap film ini menunjukkan ibu direpresentasikan sebagai sosok yang sangat menyayangi anaknya, penuh kehangatan, dan keramahan. Ibu juga direpresentasikan sebagai sosok yang mampu mengerti kebutuhan dan keinginan anak-anaknya. Berdasarkan representasi tersebut ibu ditampilkan sebagai sosok yang dominan dalam rumah tangga yang selalu bisa diandalkan oleh anggota keluarga lain. Petuah-petuah yang diajarkan ibu kepada anak menjadikan ibu
  • 39. 2014 l Edisi 10 l Kinescope l39 sebagai simbol moralitas bagi anak. Disini ibu mewakili superego anak-anak dimana setiap kebijakan ibu haruslah ditaati. Hal ini tidak lepas dari budaya masyarakat Indonesia yang menganggap ibu sebagai pusat rumah tangga. Selain itu, agama Islam juga berpengaruh di mana ajaran Islam menekankan bahwa ibu adalah sosok yang harus dihormati lebih besar dari pada ayah. Kelemahlembutan dan kasih sayang ibu dalam dimensi barat dianggap sebagai sebuah kelemahan perempuan. Namun dalam film ini kelembutan dan kasih sayang ibu merupakan bentuk lain dari sebuah kekuasaan wanita terhadap suami dan anak-anaknya. Sebuah kekuasaan yang sama sekali tidak mengancam bagi orang-orang yang dikuasai. Interpretasi seperti ini bukan murni subyektifitas peneliti. Film yang disutradarai Garin hampir selalu menampilkan hal-hal yang jarang ditangkap oleh masyarakat namun merupakan fakta yang ada di sekitar kita. Garin tidak menunjukkan ketertindasan perempuan sebagai suatu hal yang lemah namun ketertindasan tersebut dilihat sebagai bentuk kekuatan atau resistensi yaitu perjuangan. Tampilan perempuan dalam film Indonesia bertema Islam memiliki perbedaan yang menonjol dibanding tampilan perempuan dalam genre film lainnya. Ini karena nilai Islam yang memberikan gambaran tertentu terhadap perempuan Islam (muslimah). Tidak mengherankan film-film Indonesia bertema Islam kental dengan shot dan adegan yang menampilkan perempuan Islam yang berbau fiqih seperti tokoh utama perempuan pasti menggunakan kerudung atau setidaknya berkostum sopan. Misalnya dalam film-film Nada dan Dakwah, Ayat- ayat Cinta, Syahadat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih 1&2 dan Perempuan Berkalung Sorban. Penelitian tentang perempuan dalam film Indonesia bertema Islam mulai bermunculan ketika film Perempuan Berkalung Sorban menimbulkan pro kontra. Di antaranya adalah penelitian tentang Pemberontakan Perempuan Pesantren (Analisis Pesan Dakwah Perspektif Gender dalam Film Perempuan Berkalung Sorban) pada tahun 2009. Dengan analisis isi, penelitian ini menemukan bahwa pesan dakwah dengan perspektif gender yang terkandung dalam film Perempuan Berkalung Sorban adalah yang berhubungan dengan syariah dan akhlaq. Bentuk ketidakadilan gender yang paling menonjol dalam film Perempuan Berkalung Sorban adalah kekerasan (violence) terhadap perempuan yang berupa kekerasan yang berbentuk pemerkosaan dalam perkawinan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yaitu adanya tindak pemukulan dan kekerasan dengan bentuk pelecehan seksual. Penelitian dengan subyek perempuan dan obyek yang sama yaitu film Perempuan Berkalung Sorban juga pernah dilakukan pada tahun 2010. Menurut penelitian ini, film Perempuan Berkalung Sorban menunjukkan perempuan dalam menghadapi berbagai bentuk diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari di sebuah pesantren tradisional yang kental akan budaya patriarki. Terlepas dari pro kontranya dalam merepresentasikan kondisi perempuan dalam pesantren, film ini menunjukkan anggapan bahwa perempuan menempati posisi inferior dari laki-laki. Anggapan bahwa perempuan hanya merupakan obyek pelengkap atau pelayan dari laki-laki, hingga berbagai tindak kekerasan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan ditampilkan dalam film ini. Film ini pada akhirnya juga menunjukkan bagaimana perempuan mampu membebaskan diri dari kehidupan yang diskriminatif dan kekerasan. Dengan intelektualitas dan kemandirian secara ekonomi, perempuan kemudian menjadi manusia yang dapat meraih kebahagiaan dan mampu menentukan nasibnya sendiri. Lebih dari itu, perempuan bahkan mampu membuat perubahan terhadap lingkungannya yang diskriminatif terhadap perempuan tersebut sehingga mengetahui pentingnya kesetaraan jender.
  • 40. 40 l Kinescope l Edisi 10 l 2014 Sejak 8 tahun yang lalu, “DocDays” telah menjadi tempat bagi para sineas film documenter untuk mengekspresikan kreativitas dan preferensi untuk film dokumenter mereka. Acara kami terdiri dari Screening In, Screening Out, Grand Discussion dan Awarding Night yang dihadiri oleh para sineas film dari berbagai usia, kelompok, dan tempat-tempat di seluruh negeri. Voice of The Voiceless adalah tema besar dari Festival dan Kompetisi Documentary Days 2014. Melalui tema ini, film dokumenter menjadi sarana dalam memperkenalkan masalah-masalah yang kurang terdengar di masyarakat luas dalam hal Hak Asasi Manusia, Sosial Budaya, dan Politik. Pada ini, kami tidak hanya memutar film dari Indonesia, tetapi juga Asia bahkan pula Global. Voice of The Voiceless membahas mengenai permasalahan-permasalahan yang seharusnya dapat diketahui,direfleksikan, diamati, diselidiki, dan bahkan diperbaiki membentuk perubahan yang lebih baik. Voice of The Voiceless AULIA RIZKY DocDays UI 2014: Mahasiswa Universitas Indonesia yang tergabung dalam Badan Otonom Economica FEUI (BOE FEUI) kembali mengadakan pagelaran Documentary Days 2014 dengan tema “Voice of the Voiceless”. Documentary Days 2014 merupakan Festival Film Dokumenter skala nasional yang setiap tahunnya diselenggarakan di bawah salah satu organisasi tertua di Universitas Indonesia, Badan Otonom Economica FEUI. Dalam perhelatan ini, juga disediakan hadiah bagi film-film terbaik, yaitu: Juara 1: Rp 3.000.000 Juara 2: Rp 2.500.000 Juara 3: Rp 1.500.000 Film Favorit Pilihan Penonton: Rp 500.000, Best Cinematography Rp 500.000 Best Idea: Rp 500.000 LIPUTAN
  • 41. 2014 l Edisi 10 l Kinescope l41 Pemutaran & Diskusi Film KOLEKTIF Surabaya Bulan Oktober ini, pemutaran Kolektif Surabaya kembali digelar, kali ini bekerjasama dengan Design It Yourself, menampilkan film-film pendek seperti Vulgar (Ladya Cheryl, 2013, 7’), Lewat Sepertiga Malam (Orizon Astonia, 2013,16’), Sepatu Baru (Aditya Ahmad, 2014, 14’), Someone’s Wife In The Boat Of Someone’s Husband (SWITBOSH) (Edwin, 2013, 55’). SWitboSH merupakan salah satu dari Jeonju Digital Project 2013, sedangkan Sepatu Baru telah mendapat apresiasi di Jogja- NETPAC Asian Film Festival (JAFF), XXI Short Film Festival 2014, dan Berlin International Film Festival yang ke-64. Selain pemutaran film pendek ini, Design It Yourself selama 10-26 Oktober menampilkan rangkaian acara kreatif dalam bentuk seminar, pameran, lokakarya, talkshow, tur jalan kaki, pemutaran film; melibatkan desainer lokal dan internasional. Selengkapnya, cek http://diysub.com. Selama bulan September 2014 hingga Januari 2015, Babibuta Film bekerjasama dengan C2O library & collabtive, Himpunan Pers Mahasiswa UK Widya Mandala, dan Wisma Jerman menyelenggaran program pemutaran & diskusi film KOLEKTIF Surabaya. Pemutaran, disertai dengan diskusi dengan sutradara (beberapa sesi melalui Skype), dilakukan pkl. 16.00-18.00 di Wisma Jerman, Jl. Taman AIS Nasution no.15. Pemutaran menggunakan donasi untuk mendukung kelangsungan acara dan mendorong perkembangan film alternatif di Indonesia. Tanggal dan judul film 20 September 2014 Rocket Rain (Anggun Priambodo, 2013, 99’) 11 Oktober 2014 Program film pendek: • Vulgar (Ladya Cheryl, 2013, 7’ • Lewat Sepertiga Malam (Orizon Astonia, 2013,16’) • Sepatu Baru (Aditya Ahmad, 2014, 14’) • Someone’s Wife In The Boat Of Someone’s Husband (SWITBOSH) ( Edwin, 2013, 55’) 9 November 2014 Lovely Man (Teddy Soeriaatmadja, 2011, 76’) 13 Desember 2014 Program film Yosep Anggi Noen: • A Lady Caddy Who Never Saw A Hole In One (2013, 15”) • Vakansi Yang Janggal dan Penyakit Lainnya (2012, 90”) 10 Januari 2015 Selamat Pagi, Malam (Lucky Kuswandi, 2014, 94) Donasi Rp.20.000 1 program Rp. 50.000 untuk 3 program Rp. 80.000 untuk 5 program Tiket donasi tersedia di: Aiola Eatery & Cafe, Jl. Slamet no. 16 C2O library & collabtive, Jl. Dr. Cipto 20 Cosmic, Jl. Raya Gubeng 2 Ore Small Business & Cafe, Jl. Untung Suropati 83 Informasi pemutaran & tiket: Debby Utomo HP/WhatsApp: 0838 5788 0369 Twitter: @debbiutomo Email: debby.deteksi@gmail.com
  • 42. 42 l Kinescope l Edisi 10 l 2014 LIPUTAN 9 l 2014 Wahana Apresiasi Film Fiksi Pendek Societo Sineklub sebagai salah satu komunitas film di Universitas Brawijaya dalam beberapa tahun terakhir menginisiasi kegiatan pemutaran film fiksi pendek yang bertajuk Brawijaya Movie Exhibition (BME). Tepat di bulan Oktober 2014, Brawijaya Movie Exhibition kembali hadir dengan nuansa baru bagi insan perfilman Indonesia sebagai wahana apresiasi. Kehadiran lambang terbaru Brawijaya movie Exhibition yang terdiri dari dua unsur utama, yaitu sosok Raden Wijaya (Prabu Brawijaya) mengartikan Societo Sineklub sebagai penyelenggaranya bernaung dibawah lembaga Universitas Brawijaya. Mata Prabu Brawijaya sedang terpejam dan wajah dengan sisi terang dan gelap menggambarkan harapan bagi penyelenggara, sineas dan penonton untuk memiliki ketenangan dalam bersikap, tidak takut menjadi salah dalam rangka terus berproses menuju sebuah kebenaran dan Pita Film melambangkan Film itu sendiri sebagai ruh utama penyelenggaraan ajang kegiatan ini. Sebagai wahana sederhana bagi para sineas untuk bersua dan bertukar gagasan tentang perfilman pendek di Indonesia. Melalui program-program non kompetisi, Brawijaya Movie Exhibition berkomitmen secara penuh untuk mewujudkan diri dalam pembelajaran bagi kita, baik penyelenggara, pembuat film, maupun utamanya bagi para penonton. Brawijaya Movie Exhibition (BME) akan diselenggarakan pada tanggal 10, 11 dan 12 Oktober 2014 di Universitas Brawijaya, Malang Jawa Timur. Selama tiga hari nantinya terdapat beberapa pemutaran, yaitu: 1. Film Utama yang merupakan film-film fiksi pendek yang telah lolos kurasi. 2. Film Tamu, bertemakan anak yang sengaja dirancang sesuai riset penyelenggara melihat minimnya film-film fiksi tentang anak bila dibandingkan dengan jumlah anak di Kota Malang yang mencapai angka 30%. Oleh karena itu, Brawijaya Movie Exhibition 2014 bersama Sanggar Cantrik Yogyakarta melalui Emmanuel Kurniawan dan Senoaji Julius Sutradara film “Boncengan” (2012), “Gazebo” (2013) dan “2B” (2014) akan membuka ruang diskusi dengan tema: Film Anak sebagai alternatif penceritaan film fiksi pendek dan tontonan yang layak untuk media belajar anak. 3. Film Pilihan akan menghadirkan Riri Reza bersama film “Kuldesak” (1998) yang akan membuka ruang diskusi bagi para sineas dan penonton. 4. Temu Komunitas Film se- Indonesia, inilah ruang yang ditunggu-tunggu untuk kembali berkumpul dan berdiskusi terkait kemajuan komunitas film di Indonesia. Melalui programnya “Brawijaya Movie Exhibition” 2014 berusaha memberikan alternatif-alternatif gagasan dalam pembuatan film pendek terutama bagi komunitas film yang ada di Kota Malang dan secara umum pada komunitas film di luar Kota Malang yang telah menjalin hubungan baik bersama kami selama beberapa tahun ini. Untuk informasi lengkap mengenai program dan pendaftarannya, dapat dilihat di twitter @ brawijayamovie atau website www. brawijayamovieexhibition.com. AULIA RIZKY Brawijaya Movie Exhibition 2014:
  • 43. 2014 l Edisi 19 0l Kl iKniensecsocpoep el l43
  • 44. 44 l Kinescope l Edisi 10 l 2014 LIPUTAN Yogyakarta memang ditakdirkan menjadi kota budaya, karena itulah tak heran jika di kota ini banyak sekali digelar festival kesenian, beberapa pekan ini saja sudah digelar acara seperti, Festival Gamelan, Perkusi, Pasar Kangen, Bedog Art Festival hingga yang terbesar adalah Festival Kesenian Yogyakarta (FKY 26). Bioskop Taman Sari FKY 26 RIAN SAMIN 9 l 2014 Hari ini Festival Kesenian Yogyakarta sudah me-masuki Minggu tera-khir. Dapat diketahui dari jumlah pengunjung yang semakin hari bertambah hingga mencapai rata-rata 15 ribu pengunjung. Ketua Umum FKY26 Setyo Harwanto menjelaskan bahwa antu-siasme masyarakat untuk mengi-kuti setiap gelaran kali ini lebih meningkat dibandingkan dengan FKY25 tahun lalu, jumlah pengun-jung harian tertinggi 15.800 dan tahun ini tembus 32.000 di malam Minggu. Festival yang digelar mulai 20 Agustus hingga 9 September 2014 ini diadakan di beberapa titik, hingga merambah di seluruh Kabupaten Daerah Istimewa Yogya-karta, dan berpusat di Plasa Pasar Ngasem. Satu di antara program di FKY 26 ini adalah bioskop Tamansari yang diselenggarakan selama 5 hari berturut-turut. Dimulai pada tanggal 30 Agustus dan berakhir pada tanggal 3 September 2014. Mempertunjukkan film-film indie berkualitas yang tidak bakal dite-mukan di bioskop lai di Yogya-karta. Menempati ruang terbuka di Plataran Tamansari, penonton dapat menonton film layar lebar sambil menikmati jajanan rakyat di landmark Yogyakarta. Beberapa film yang diputar di Bioskop Taman-sari, antara lain: Jampi Gugat, Saat Kudendangkan Adzanku, Kompilasi
  • 45. 2014 l Edisi 19 0l Kl iKniensecsocpoep el l45 Pemenang Festival Film Indie Yog-yakarta 2013, Asmaradhana, Jangan Panggil Aku Cina, Sunset, 400 Words, Jazz Mben Senen ‘Kancaku’, dll. Selain itu juga ada Jogjakarta Video Mapping Project (JVMP) yang sempat dipamerkan di Open-ing FKY 26 di Tugu dihadirkan kembali ditengah-tengah acara, dengan memamerkan karyanya berupa video mapping yang disa-jikan sesuai dengan tema FKY26 yaitu Dodolan. Menurut Setyo Harwanto Video mapping merupa-kan bentuk seni media baru yang sedang berkembang, dan Yogya-karta adalah tempat tumbuh bagi banyak seniman yang mempunyai akar budaya kuat sekaligus mampu beradaptasi dengan cepat terhadap perkembangan teknologi. Di dalam #JVMP inilah perpaduan kedua hal tersebut, budaya dan teknologi, akan diejawantahkan. “konten Seni Heritage, Seni Populer, Seni Alternative men-jadi bauran yang asik dan dapat dinikmati masyarakat segala usia,” ungkap Setyo. 10 l Kinescope