1. Hak-Hak Masyarakat Adat di Aceh Dalam
Pengelolaan Sumber Daya Alam1
Oleh:
Sanusi M. Syarif 2
Hak Ulayat Mukim Si-Uro Jak Wo
Atra Geutanyo Uteun Ngon Rimba3
1. Pendahuluan
Hak, merupakan topik yang selalui hangat didiskusikan. Terlebih lagi karena hak sering
dipandang sebagai “status istimewa” atau juga jalan menuju kesejahteraan dan
kemakmuran. Namun demikian, kita sering lupa bahwa dibalik adanya hak, kita dituntut
untuk “hek” atau “berikhtiar” agar hak itu dapat terpenuhi atau terlaksana sebagai mana
mestinya. Adanya hak atau pengakuan hak juga belum menjamin si pemegang hak akan
hidup lebih makmur dibandingkan dengan pihak lain yang tidak berhak (tidak mempunyai
hak) atau pihak yang mendapatkan mandat dari pemegang hak.
Di balik pengakuan hak, mesti ada pemenuhan hak. Tanpa “pemenuhan hak”, maka
“pengakuan hak” hanyalah menjadi muatan per-undang-undangan semata tanpa
pelaksanaan di lapangan.
Oleh sebab itu, tulisan ini lebih ditujukan untuk meninjau kembali status hak kita sebagai
masyarakat adat. Baik sebagai warga gampong/ kampung atau sebagai warga mukim di
Aceh. Kita juga penting meninjau kembali seberapa besar upaya/ ikhtiar kita, agar hak-hak
adat dapat lebih terwujud di lapangan. Sehingga dapat memberikan sumbangan nyata bagi
kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat adat.
2. Adat dan Masyarakat Adat
Kata “adat” berasal dari bahasa Arab „adah, yang berarti “kebiasaan”. Selain itu, adat juga
dipahami sebagai hukum adat. Namun demikian, dalam tradisi Aceh di masa lalu, terutama
dalam percakapan sehari-hari istilah “adat” jarang sekali disebut sebagai hukom adat
(hukum adat). Hal ini karena masyarakat Aceh memandang bahwa “adat” merujuk kepada
aturan yang dibuat oleh manusia. Sedangkan hukom (hukum) bersumber dari Allah (Syariat
Islam).
Berdasarkan literatur, adat ternyata mencakup aspek yang sangat luas, meliputi
kebiasaan hidup (reusam/ resam), tata aturan (termasuk undang-undang kerajaan), tata
upacara, bentuk-bentuk cukai dan juga nilai-nilai yang dianut.4
Namun dalam perkembangannya kemudian, terjadi kekeliruan dalam memahami adat,
terutama di kalangan generasi muda. Ada yang memaknai adat seakan-akan hanya
sebatas upacara “seremonial dan ritual”. Kalau seperti ini pemahamannya, maka adat akan
bergerak hanya dalam lingkaran khanduri dan do‟a, sementara hak-hak adat atas sumber
daya alam dan sumber daya sosial akan terabaikan selamanya. Oleh sebab itu, penting
sekali untuk meluruskan kembali pemahaman terhadap adat. Adat mesti dipahami secara
utuh sebagai sumber tatanan hidup bermasyarakat dan bernegara, bukan hanya sebatas
1
2. upacara seremonial dan ritual. Adat juga merupakan dasar hak atas sumber daya,
sebagaimana pengakuan UUD 1945 dalam pasal 18 B.
Hal lain, yang sangat mendasar dalam adat Aceh adalah islamisasi adat. Oleh sebab itu,
adat tidak boleh bertentangan dengan hukom (syariat). Dalam hal ini ditegaskan bahwa
hubungan adat dan hukom, ibarat hubungan zat dan sifat dari suatu benda, seperti
dinyatakan dalam hadih maja: adat ngon hukom lagee zat ngon sifeut.
Selanjutnya, kerjasama dan mufakat antara pimpinan adat (keuchik, imuem mukim) dan
pimpinan hukom (imuem chik, imuem meunasah/ imam kampung) merupakan sesuatu yang
wajib dilakukan. Dalam hal ini Syech Abbas atau terkenal dengan nama Tgk Chik Kuta
Karang dalam Kitabnya Tadhkirat al-Rakidin (1889) menegaskan sebagai berikut: Adat ban
adat, Hukom ban Hukom, adat ngon Hukom sama kembar; tatkala mufakat adat ngon
Hukom, nanggroe seunang hana goga” Artinya adat menurut adat, hukum syariat menurut
hukum syariat, adat dan hukum syariat sama kembar, tatkala mufakat adat dan hukum itu,
negeri senang tiada huru hara (Ibrahim Alfian 1987: 38).5
3. Sistem adat dalam PSDA
Dalam kaitannya dengan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA), adat Aceh meliputi lima
aspek, yaitu pembagian ruang kelola, kelembagaan, aturan pengelolaan, sanksi terhadap
pelanggaran, tatacara pengambilan keputusan dan juga tata nilai dalam pengelolaan
sumber daya.
Berdasarkan hasil kajian penulis di Aceh Besar sebagai pusat dari peradaban Aceh,
penulis berkesimpulan bahwa “Tataruang wilayah mukim terbagi kepada dua ruang
pemanfaatan utama, yaitu ruang tempat hunian (perkampungan) dan ruang pemanfaatan
bersama oleh warga gampong yang berbeda, terutama warga gampong se-mukim”. Ruang
pemanfaatan bersama meliputi: persawahan, kebun/ ladang, laut, sungai dan hutan. Tiap
ruang kelola, secara tradisional diurus/ dikelola oleh masing-masing lembaga, yaitu: keuchik
gampong bersama imuem meunasah, keujruen blang, peutua seuneubok/ peutua ladang/
panglima laot/ keuchik laot, peutua krueng dan Panglima uteun.
Aturan pengelolaan kawasan meliputi adat tentang kehidupan bermasyarakat di
kampung (kawasan hunian), adat bersawah, adat berkebun/ berladang, adat memelihara
ternak, adat laut, adat sungai dan adat memungut hasil hutan. Di dalamnya sudah termasuk
larangan dan sanksi.
Tatacara pengambilan keputusan meliputi aspek perizinan, penyelesaian sengketa,
pengenaan sanksi adat dan pengembangan aturan (adat).
Selain itu, terdapat pula tata nilai dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya.
Tata nilai tersebut antara lain berkaitan dengan pelestarian sumber daya, saling membantu,
kemurahan hati/ saling memberi (termasuk hak sangak), menggunakan cara-cara yang
tidak merusak dan mengedepankan kearifan.
Secara kelembagaan, mukim adalah lembaga adat tertinggi pada tingkat wilayah adat.
Mukim juga sebagai lembaga pemersatu dan menjadi koordinator dari gampong-gampong
dalam hal pemanfaatan sumber daya komunal milik bersama. Baik berupa tanah/ hutan
ulayat, sungai, rawa/ paya, maupun padang gembala. Oleh sebab itu, perlu sekali
menggerakkan penguatan adat dan penataan kembali kawasan adat berbasis mukim atau
2
3. pada tingkat mukim. Dengan kata lain, penguatan adat dan penataan kawasan mestilah
dapat mempersatukan dan memperkuat kampung-kampung se mukim, dalam satu
kekuatan dan satu ikatan.
4. Pengelolaan Hutan Berbasis Mukim
Pengelolaan hutan berbasis mukim di Aceh sangat bervariasi. Namun secara umum ada
pengakuan dan perlindungan hak bagi warga gampong se-mukim untuk membuka lahan
atau mengumpulkan hasil hutan, walaupun secara administratif hutan tersebut berada
dalam wilayah gampong lain. Dalam hal ini, pengelolaan kawasan hutan berada pada
lembaga mukim, baik dikelola secara langsung maupun didelegasikan kepada lembaga
khusus (Panglima uteun/ hutan) atau kepada lembaga gampong.
Kemudian, terutama pasca berlakunya UU nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan
Desa, pengelolaan kawasan hutan secara perlahan beralih ke bawah kuasa gampong.
Akibatnya, ikatan dan hubungan pengelolaan kawasan hutan dengan lembaga mukim
secara berangsur-angsur menjadi lemah. Di sisi lain, kemampuan gampong untuk
mengurus dan mempertahankan hak atas kawasan hutan juga tidak sekuat lembaga
mukim. Keadaan ini menyebabkan hutan ulayat (baca: mukim) semakin mudah dicaplok
oleh pihak-pihak atau kuasa di luar lembaga mukim. Keadaan ini masih berlangsung hingga
sekarang. Walaupun berbagai qanun telah dikeluarkan untuk menegaskan dan
meneguhkan keberadaan lembaga mukim dan hak ulayat mukim.
Oleh sebab itu, penting sekali untuk mendorong upaya konsolidasi untuk penguatan
kembali masyarakat dan lembaga mukim, sehingga mampu meneguhkan hak atas sumber
daya alam, termasuk atas kawasan hutan ulayat. Tanpa ada upaya yang memadai dari
masyarakat mukim, pengakuan undang-undang terhadap hak ulayat mukim menjadi hanya
sebatas ketentuan di atas kertas, tanpa terwujud di lapangan.
5. SK MK 35/PUU-X/2012 Tentang Hutan Adat
Upaya hukum yang dilakukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat Kenegrian Kuntu dan Kesatuan Masyarakat Adat Kesepuhan
Cisitu, kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan Yudisial Review terhadap UU nomor
41 tahun 1999 tentang Kehutanan telah membuahkan hasil.6
Hasil tersebut adalah lahirnya Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUUX/2012 Tentang Hutan Adat yang isinya antara lain:
a. Merubah isi Pasal 1 huruf f Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam
wilayah masyarakat hukum adat, menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada
dalam wilayah masyarakat hukum adat”.
b. Menjadikan hutan adat sebagai satuan yang berdiri sendiri, sehingga Hutan
berdasarkan statusnya terdiri dari: a.Hutan Negara, b. Hutan Hak, c. Hutan Adat.
Sebelumnya, hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: a.Hutan Negara, b. Hutan Hak,
serta ditegaskan bahwa hutan negara dapat berupa hutan adat.
c. Merubah Pasal 4 ayat (3) menjadi " penguasaan hutan oleh negara tetap
memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai
3
4. dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam undang-undang".
Sebelumnya, pasal tersebut berbunyi:
“Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat,
sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional”.
Lebih lanjut lihat tabel berikut:
No.
1
2
3
4
5
6
Pasal-pasal dalam UU nomor
41 tahun 1999 tentang
Kehutanan Sebelum direview
oleh MK
Pasal 1 huruf f
Hutan adat adalah hutan
negara yang berada dalam
wilayah masyarakat hukum
adat,
Pasal 4 ayat (3):
Penguasaan hutan oleh
Negara tetap memperhatikan
hak masyarakat hukum adat,
sepanjang kenyataannya masih
ada dan diakui keberadaannya,
serta tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional,
Pasal 5 Ayat (1): Hutan
berdasarkan statusnya terdiri
dari: a. hutan negara, dan b.
hutan hak,
Pasal 5 Ayat (2): Hutan negara
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, dapat berupa
hutan adat,
Pasal 5 Ayat (3): Pemerintah
menetapkan
status
hutan
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2); dan hutan
adat ditetapkan sepanjang
menurut
kenyataannya
masyarakat hukum adat yang
bersangkutan masih ada dan
diakui keberadaannya,
(4)
Apabila
dalam
perkembangannya masyarakat
hukum adat yang bersangkutan
tidak ada lagi, maka hak
pengelolaan
hutan
adat
kembali kepada Pemerintah,
Pasal-pasal dalam UU nomor 41 tahun 1999
tentang Kehutanan setelah direview oleh
MK)
Pasal 1 huruf f berubah menjadi:
"Hutan adat adalah hutan yang berada dalam
wilayah masyarakat hukum adat"
Pasal 4 ayat (3) berubah menjadi:
" penguasaan hutan oleh negara tetap
memperhatikan hak masyarakat hukum adat,
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang"
Pasal 5 Ayat (1) berubah menjadi: " Hutan
berdasarkan statusnya terdiri dari: a.Hutan
Negara, b. Hutan Hak, c. Hutan Adat
Pasal 5 Ayat (2): Hutan negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa
hutan adat, dihapus
Pasal 5 Ayat (3) berubah menjadi:
"Pemerintah
menetapkan
status
hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ; dan
hutan adat ditetapkan sepanjang menurut
kenyataannya masyarakat hukum adat yang
bersangkutan masih
ada
dan
diakui
keberadaannya"
(4)
Apabila
dalam
perkembangannya
masyarakat hukum adat yang bersangkutan
tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan
adat kembali kepada Pemerintah, Tidak ada
perubahan.
4
5. 6. Hubungan Pengelolaan Hutan Berbasis mukim dan Keputusan Mahkamah Konstitusi
Pada kesempatan ini penting kita kemukakan satu pertanyaan kunci: “Apakah dengan
keluarnya SK Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 35/PUU-X/2012 Tentang Hutan Adat,
persoalan hutan adat jadi selesai? dan hak masyarakat adat atas hutan segera terpenuhi?
Jawabannya tentu saja tidak. Keputusan MK memang telah membuka jalan bagi
peneguhan kembali hak-hak masyarakat adat atas kawasan hutan adatnya. Namun,
Keputusan MK tidak serta merta menjadikan persoalan carut-marut hutan adat versus hutan
negara dapat selesai dengan otomatis. Dalam hal ini masih diperlukan ada upaya advokasi,
untuk mendorong agar pemerintah daerah (kabupaten/ kota) pro aktif untuk menfasilitasi
proses penegasan kawasan dan pendaftaran hutan adat, sebagaimana diamanahkan
undang-undang.
Khusus untuk Aceh, penegasan dan pendaftaran hutan adat mesti mempertimbangan
tatanan adat Aceh, yaitu dengan mengembalikan pengelolaan hutan adat kepada lembaga
mukim, dengan tetap memperhatikan kepentingan gampong di dalamnya.
Untuk itu, ada beberapa langkah yang perlu ditempuh. Pertama, melakukan konsolidasi
masyarakat mukim, untuk membangun pemahaman bersama atas kelembagaan, wilayah,
dan harta mukim. Kedua, menata kembali garis perbatasan antar mukim, termasuk
menyelesaikan konflik batas antar mukim dan antar gampong se-mukim. Ketiga,
masyarakat mukim/ gampong harus berupaya untuk menemu-kenali, memetakan kawasan
hutan adatnya, termasuk tanah dan perairan ulayatnya. Ke-empat, mendaftarkan wilayah
adat dan harta ulayatnya, yang meliputi hutan adat, tanah ulayat dan perairan ulayat.
7. Penutup
Semoga Musyawarah Besar JKMA kali ini dapat menghasilkan kesepakatan, rekomendasi
dan disertai dengan tindak lanjut di lapangan. Sehingga peluang atau amanah undangundang dapat kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan masyarakat
adat.
1
Disampai pada acara Sarasehan dalam rangka Musyawarah Besar JKMA pada 2 Oktober 2013.
Staf Majelis Adat Aceh, Pendiri YRBI, Pemerhati Penguatan Mukim dan Masyarakat adat
3
Hak Ulayat Mukim satu hari pergi balik, kita punya milik hutan dan rimba.
4
Van Langen (1888), Hugronje, The Achehnese (1906)
5
Ibrahim Alfian, T; 1987. Perang di Jalan Allah. Jakarta. Sinar Harapan
6
Masing-masing di wakili oleh IR. Abdon Nababan (Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) Pemohon I, H.
Bustamir (Khalifah Kuntu dengan Gelar Datuk Bandaro dari Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu)
Pemohon II dan H. Moch. Okri Alias H. Okri (Olot Kesepuhan Cisitu dari Kesatuan Masyarakat Adat Kesepuhan
Cisitu) Pemohon III.
2
5