Organisasi bawah tanah IIPAC didirikan oleh Benjamin Ketang untuk melakukan lobi bisnis antara Indonesia dan Israel. IIPAC kini memiliki cabang di delapan provinsi di Indonesia meski berpindah-pindah alamat. Ketang belajar di Israel dan mendapat dukungan dari pejabat Israel untuk membangun kerja sama ekonomi antara kedua negara.
2. ORGANISASI DI BAWAH TANAH :
Nama Benjamin Ketang mungkin masih terdengar asing di masyarakat umum. Arek asli Desa Tamansari Kecamatan
Wuluhan ini yang memimpin sebuah organisasi lobi Indonesia dan Israel. Tahun 2007, sepulang dari belajar di
Israel, Benjamin Ketang yang ditugaskan menjadi direktur eksekutif mulai mengembangkan IIPAC bersama kawankawannya. Mereka mencoba melakukan lobi bisnis agar investasi dari Israel bisa masuk dan diterima pengusaha
Indonesia. “Tapi kami underground dulu,” katanya.
Sebagai gerakan bawah tanah, IIPAC ternyata lumayan cepat mengembangkan sayap. Kini sudah ada cabang
organisasi ini di delapan provinsi, salah satunya di Jawa Timur. Banyak yang menawarkan diri ingin menjadi
anggota, kata Ketang.
Namun jangan tanyakan di mana markas IIPAC. Organisasi ini berpindah-pindah alamat. Namun menurut sebuah
dokumen yang ditampilkan di situs IIPACiipac.wordpress.com, organisasi itu tercatat berdomisili di Jember, Jawa
Timur. Surat Keterangan Domisili yang ditandatangani oleh Kepala Desa bernama Hadi Supeno pada tanggal 25
Agustus 2010 bernomor Reg: N470/
/35.11.2003/2010, menyebutkan bahwa The Indonesia-Israel Public Affairs
Committee merupakan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang “betul-betul berdomisili di Desa
Tamansari, Kecamatan Wuluhan, Kabupaten Jember yang beraktifitas secara nasional dan internasional.”
Ketang mengatakan, IIPAC terbentuk setelah dirinya menjadi bagian dari tim negosiasi internasional IndonesiaIsrael tahun 2001. Di Israel, Ketang sempat bertemu dengan Menteri Luar Negeri Simon Peres, dan berdiskusi
tentang peluang proyek yang dikembangkan di Indonesia.
Ketang lantas menyerahkan surat dari Abdurrahman Wahid, Presiden Indonesia saat itu. Dari situ, ada gagasan
untuk membentuk semacam tim kerjasama. Ketang bersama kawan-kawannya lantas membentuk IIPAC yang
berkonsentrasi pada urusan lobi bisnis. Jaringan ini mendapat rekomendasi dari Amerika Serikat dan Australia.
“Saya punya harapan, kekuatan investasi Israel bisa disinergikan untuk kesejahteraan Indonesia. Kekuatan Indonesia
dengan sumber daya alam melimpah harus diintegrasikan dengan sistim internasional. Kuncinya Israel,” kata
alumnus Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Jember ini.
Diakui atau tidak, pengaruh bisnis Israel sudah masuk ke Indonesia. Dalam majalah Warta Ekonomi nomor 4/2010,
disebutkan ada sejumlah perusahaan yang merupakan investasi Israel di Indonesia. “Bakrie Group juga bekerjasama
dengan Rothschild. Rothschild ini keluarga Yahudi di Prancis,” kata Ketang.
Sebagaimana dikutip dari Kompas.com (16/11/2010), PT Bakrie and Brothers Tbk dan beberapa perusahaan dalam
Kelompok Usaha Bakrie menandatangani perjanjian jual beli saham dengan Vallar Plc—perusahaan investasi milik
Rothschild, salah satu keluarga bankir terkaya di dunia.
PT Bakrie and Brothers Tbk (BNBR) akan melepas sekitar 5,2 miliar saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI) kepada
Vallar. Harga penjualan saham BUMI yang dikenal sebagai salah satu anak perusahaan terbesar BNBR itu Rp 2.500
per saham.
3. Besarnya pengaruh Israel ini tak bisa ditampik dalam hal telekomunikasi juga. “Setiap kita membeli dan memakai
kartu SIM HP merek apapun, 10 persen akan masuk ke Israel sebagai royalti, karena itu dianggap hak cipta Israel,”
kata Ketang.
Kendati kartu chip bukan murni temuan negara Israel, namun selama itu milik atau temuan warga Yahudi, maka
tetap akan masuk ke Israel. “Orang Yahudi di mana-mana tetap sama, memiliki solidaritas terhadap Israel Raya,” kata
Ketang.
Benjamin Ketang, atau menurut informasi bernama asli Nur Hamid Ketang, adalah seorang pria kelahiran 22 September 1972 di
Jember. Dia alumnus S1 Bahasa Inggris FKIP Universitas Jember (1999). Setelah itu dia melanjutkan pendidikan S2 (MA) ke
Jewish Civilization, The Rothberg International School, The Hebrew University of Jerusalem (2004).
Nama Abdul Rasyad Ketang, Hamid Ketang, Benjamin Ketang, Yushav Ketang–yang sangat kentara adalah orang yang sama–
terlihat cukup aktif menyuarakan kepentingan dan perlunya Yahudi hadir di Indonesia di dalam sebuah milis pemuda NU. Dia
pernah menjadi pengurus di Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia, organisasi mahasiswa yang memiliki keterkaitan dengan
Nahdlatul Ulama. Hanya saja dia menyatakan pamit dari kepengurusan di Pengurus Besar PMII “Putih” pada 1 Nopember 2002,
untuk memusatkan perhatian pada studinya ke Yerusalem dan pengembangan Indonesia-Israel Cooperation Associaton (IICA),
sebagaimana ditulis dalam emailnya kepada rekan-rekannya di PMII.
Ketang mendapat lampu hijau dari Simon Peres, untuk belajar di Israel tahun 2002. Pilihannya adalah Hebrew University di
Yerusalem, jurusan Peradaban Yahudi. Melenceng dari pendidikan strata satunya di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Islam Jember yang dimasukinya tahun 1993. Ketang tak bisa langsung masuk ke Israel. Ia diharuskan belajar bahasa
Ibrani selama dua tahun. Ia baru bisa kuliah tahun 2004 hingga 2006.
Ketang tak merasa ada pertentangan internal dalam dirinya. Ia menolak menjelaskan soal urusan keberagamaannya.
“Biarlah itu urusan saya dengan Tuhan. Bagi saya masalah teologi sudah selesai,” katanya. “Orang Yahudi tidak
pernah mengajak orang lain masuk agama mereka. Mereka sangat tertutup. Kalau mau belajar silakan belajar. Agama
Yahudi sendiri agama tauhid (monoteis). Di Taurat disebutkan, „katakanlah Israel, Tuhan itu satu‟. Itu saat Musa
bertemu dengan Tuhan di Gunung Sinai.”
Selama di Israel, Ketang lebih banyak belajar sebagai ahli taurat. Di sana, ia banyak mengenal kultur keberagamaan
Yahudi, salah satunya Hari Sabat. “Di Israel, kalau malam sabtu (jumat malam), orang tak boleh susah. Mereka
diminta bergembira. Sabtu pagi hingga sabtu malam, public transportation off semua, seperti Nyepi.” Anak pertama
Ketang diberi nama untuk mengingatkan Hari Sabat ini: Atikah Shabad Kadisha. Usianya baru setahun.
Jika Direktur Eksekutif AIJAC Colin Rubenstein dalam tulisannya di Jerusalem Post (10/01/2010) menyebut Gus Dur sebagai “a
true friend”, teman sejati. Kesejatian dan kecintaan terhadap Israel juga coba ditularkan Benjamin Ketang kepada putri
pertamanya hasil pernikahan dengan Atik Kustini yang lahir pada 23 Januari 2010, Atikah Shabad Kadisha. Tidak hanya
menamainya dengan nama khas Yahudi, Ketang membuat beberapa rekaman video bersama anaknya yang diunggah ke Youtube,
di mana dia sedang menghibur bayinya sambil menyanyikan lagu kebangsaan Israel “Hatikva” dalam bahasa Ibrani sambil
bercengkrama dengan istrinya.
Bagaimana pendapat keluarga Ketang? Ketang punya seorang kakak perempuan. “Kakak saya menentang. Tapi ya
sudahlah, saya sudah besar.
Selain di IIPAC, Ketang yang sampai saat ini bermukim di Jember juga aktif di berbagai lembaga dan perusahaan. Ia
tercatat sebagai Direktur Eksektufif PT. Bumi Riau Kencana (sebuah perusahaan investasi Yahudi di Indonesia),
konsultan independent untuk strategi kampanye dan media analisis Partai Demokrat (2004), dan lain-lain. Ia juga
4. terlibat aktif dalam acara-acara internasional yang diselenggarakan kelompok Yahudi, baik di Singapura maupun di
Israel.
Aktivis Forum Umat Islam, Munarman, menyatakan bahwa Ketang tak lain adalah agen Mossad yang dikader oleh
untuk membangun jaringan dan lobi-lobi di Indonesia. ”Dia jelas agen Mossad, nggak perlu diragukan lagi,” katanya.
Lantas, mengapa Ketang begitu frontal memproklamirkan dirinya sebagai direktur sebuah lembaga lobi Yahudi di
Indonesia? Munarman menegaskan, ada pihak-pihak yang siap membekingi Ketang jika terjadi sesuatu dengan
dirinya, termasuk beking dari media massa yang siap mem-blow-up. Yang jelas, kata Munarman, orang seperti
Ketang sengaja dimunculkan ke permukaaan, sementara yang lainnya bergerak secara diam-diam, underground,
sehingga menjadi bom waktu yang sangat membahayakan.
Tak Sekedar Dagang !
Bagi Yahudi, bisnis tak semata bisnis, namun ada tujuan pokok yang mereka incar, yakni mengkooptasi kekuasaan.
Mereka berusaha menancapkan taring kekuasaannya di seluruh dunia untuk memuluskan ide besar mereka
membangun tata pemeritahan tunggal, Novus Ordo Seclorum, di bawah Kendali Zionisme Internasional. Upaya
mengkooptasi kekuasaan, bahkan dengan cara makar sekalipun, pernah dilakukan Dinasti Yahudi di negara-negara
Eropa dan Amerika. Awalnya lewat pengusaan lewat sektor bisnis strategis, seperti telekomunikasi, sumber daya
alam, perbankan, persenjataan, pertaniaan, dan sebagainya, yang berujung pada kooptasi kekuasaan.
Sejak lama, banyak analis meyakini bahwa kelompok lobi Zionis sangat berpengaruh di AS dan mampu
mengendalikan kebijakan-kebijakan luar negeri AS. Berbagai tulisan sudah mengungkap tentang hal ini, dan yang
terbaru ditulis oleh Henri Astier yang dimuat di BBC. Dalam artikel yang berjudul “US Storm Over Book on Israel
Lobby“, Astier menulis bahwa banyak komentator yang membantah kuatnya lobi Zionis di pemerintahan AS, meski
banyak fakta yang membuktikan bahwa kalangan Yahudi AS telah memainkan peran yang sangat besar, meski jumlah
mereka sedikit hanya sekitar 2 persen dari jumlah populasi AS.
Dalam artikelnya Astir juga menulis, “Bagaimana lobi itu dilakukan? Apakah pengaruhnya benar-benar legendaris
atau hanya legenda? Dua akademisi AS, John Mearsheimer dari Universitas Chicago dan Stephen Walt dari
Universitas Harvard, punya jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, dan akibatnya memicu kontroversi. “
Dalam bukunya berjudul “The Israel Lobby and US Foreign Policy” kedua penulis AS itu menulis bahwa AS harus
menjelaskan alasannya mendukung Israel. AS selama ini memberikan bantuan sebesar 3 milyar dollar per tahun atau
sekitar seperenam dari anggaran bantuang langsung AS, untuk keperluan militer Israel. Tapi menurut Mearsheimer
dan Walt, AS hanya mendapat keuntungan sedikit dari kebijakannya itu dan mereka menolak pendapat yang
mengatakan bahwa Israel adalah sekutu kuat AS dalam “perang melawan teror.”
Kedua penulis AS itu tidak membahas masalah “lobi Yahudi”, karena kelompok-kelompok yang mengaku Yahudi
tidak mewakili semua Yahudi AS dan anggotanya banyak yang non-Yahudi. Mearsheimer dan Walt lebih
menyebutnya sebagai “lobi Israel” yang tujuan utamanya adalah meyakinkan Amerika bahwa kepentingan Amerika
sama dengan kepentingan Israel.
5. Menurut analisa Mearsheimer dan Walt dalam bukunya, lobi-lobi Israel terutama berpengaruh pada finansial dan
keengganan AS untuk mengkritik Israel. Mereka menambahkan, sama seperti kelompok-kelompok kepentingan
lainnya, lobi Israel juga mempengaruhi perdebatan di kalangan politisi dan komentator yang mengecam Israel,
namun lobi Israel menyebarkan pengaruhnya dengan efektif.
Mereka yang mempertanyakan dukungan AS terhadap Israel, hanya akan menghadapi masalah. Akibatnya, kuranya
adanya diskusi tentang masalah ini, yang membuat AS terus membuat kebijakan yang tidak adil di Timur Tengah.
Yang paling kontoversial, dalam bukunya Mearsheimer dan Walt menyatakan bahwa lobi Israel memainkan peranan
penting dalam invasi AS ke Irak.
Media mainstream di AS hampir semuanya memberikan penilaian negatif pada buku tersebut. Namun menurut
kedua penulisnya, hal itu menunjukkan betapa efektifnya lobi Israel hingga ke media massa di AS. Karena di luar AS,
buku Mearsheimer dan Walt justru mendapat penilaian yang positif.
Sejarawan dan tokoh yang kerap mengkritik Israel, Tony Judt mendukung upaya Mearsheimer dan Walt
mengungkap seputar lobi Israel di pemerintahan AS, yang selama ini menjadi hal yang tabu dibicarakan. Judt
menyebut buku Mearsheimer dan Walt sebagai “tindakan luar biasa dari semangat intelektual.” Penulisnya mungkin
tidak mendapatkan apapun dari buku itu, tapi masyarakat yang membacanya mendapatkan pengetahuan yang
berharga.