Cerita ini menceritakan tentang Gilang, seorang siswa SMA yang sering direndahkan dan dipukuli oleh Nanda, anak dari walikota, karena latar belakang keluarganya sebagai anak pemulung. Suatu hari, Ayah Gilang memberikannya sepasang sepatu mahal sama dengan milik Nanda untuk membuatnya bangga mengenakannya sekolah.
Sebuah Esai "Lawela warisan dan tanah air kata kata"RAHMATADIANTO
Â
Perkara sengketa tanah pada awal 2016 mulai terjadi di hampir sebagaian wilayah kabupaten Buton Selatan, Salah satunya di Lawela Selatan, setelah harga tanah semakin mahal, tidak sedikit orang yang berlomba untuk meperoleh tanah, baik warisan maupun mengklaim hak milik orang sebagai salah satu tahan mereka.
Cerpen bernuansa romantis ini dibuat untuk tugas dalam pelajaran Bahasa Indoensia, yaitu mengarang Cerita Pendek.
---
Astrid adalah siswi yang mandiri dan pintar, sedangkan Okto adalah pemain band yang butuh bantuan siswi pintar untuk mendapatkan nilai yang baik pada pelajaran Logaritma.
Bagaimana jika mereka sekelas?
Presentasi ini saya dan teman-teman bawakan pada saat mata kuliah Manajamen dan Organisasi. Dimana kita mencari sifat dari tokoh yang dapat menginspirasi kita semua. Dan disini ringkasan dari kisah hidup Andy Noya
Pengaruh Model Pembelajaran IKRAR Berorientasi Kearifan Lokal dalam Pembelaja...Suardiyanti Ni Luh Putu
Â
Pengaruh Model Pembelajaran IKRAR Berorientasi Kearifan Lokal dalam Pembelajaran Matematika Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas V SD Se-Kelurahan Dauhwaru Negara
Materi PowerPoint Antropologi Kebudayaan
Mengapa judulnya ditulis juga "Prototype"?
Karena ini merupakan bikinan presentasi versi awal, yang versi akhir tidak tahu dimana saya simpan, kemungkinan dihapus.
Sebuah Esai "Lawela warisan dan tanah air kata kata"RAHMATADIANTO
Â
Perkara sengketa tanah pada awal 2016 mulai terjadi di hampir sebagaian wilayah kabupaten Buton Selatan, Salah satunya di Lawela Selatan, setelah harga tanah semakin mahal, tidak sedikit orang yang berlomba untuk meperoleh tanah, baik warisan maupun mengklaim hak milik orang sebagai salah satu tahan mereka.
Cerpen bernuansa romantis ini dibuat untuk tugas dalam pelajaran Bahasa Indoensia, yaitu mengarang Cerita Pendek.
---
Astrid adalah siswi yang mandiri dan pintar, sedangkan Okto adalah pemain band yang butuh bantuan siswi pintar untuk mendapatkan nilai yang baik pada pelajaran Logaritma.
Bagaimana jika mereka sekelas?
Presentasi ini saya dan teman-teman bawakan pada saat mata kuliah Manajamen dan Organisasi. Dimana kita mencari sifat dari tokoh yang dapat menginspirasi kita semua. Dan disini ringkasan dari kisah hidup Andy Noya
Pengaruh Model Pembelajaran IKRAR Berorientasi Kearifan Lokal dalam Pembelaja...Suardiyanti Ni Luh Putu
Â
Pengaruh Model Pembelajaran IKRAR Berorientasi Kearifan Lokal dalam Pembelajaran Matematika Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas V SD Se-Kelurahan Dauhwaru Negara
Materi PowerPoint Antropologi Kebudayaan
Mengapa judulnya ditulis juga "Prototype"?
Karena ini merupakan bikinan presentasi versi awal, yang versi akhir tidak tahu dimana saya simpan, kemungkinan dihapus.
Modul Ajar PAI dan Budi Pekerti Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
Â
Sepasang Sepatu Anak Walikota [Cerpen ARKI 2016]
1. Sepasang Sepatu Anak Walikota
Karya Grishiella Patricia Liwang
Hujan deras telah melanda kota Kendari sedari Gilang selesai menunaikan Shalat Subuh
2 jam yang lalu. Detik terus berjalan beriringan dengan langkahnya menuju sekolah, tempat yang
paling ia sukai. Menemui teman, mendapat pelajaran yang berharga, dan juga mencari sedikit
rezeki untuk membeli buku cetak matematika baru dan sepatu baru. Maklum, tahun ajaran baru
telah dimulai dan Gilang sekarang duduk di kelas 11 SMA.
Jalanan yang ditempuhnya kurang lebih 5km dengan berjalan kaki. Jalanan telah berubah
menjadi kuning penuh dengan lumpur dan mau tidak mau Gilang harus menggulung celana
panjang abu-abunya, memegang kedua sepatunya dan melindungi bungkusan nasi kuning buatan
Ayahnya untuk dititip jual di kantin sekolah.
Deretan mobil mewah dan sepeda motor berjejer dengan rapi di parkiran sekolah. Salah
satu mobil dari deretan mobil tersebut ialah milik Nanda, teman kelasnya pada saat kelas X.
Nanda adalah anak walikota yang sedang menjabat hingga 3 tahun kedepan. Tampangnya
lumayan gagah dan berkelas dengan arloji mahal, ponsel keluaran terbaru, dan sepatu hitam
mengkilat merek kenamaan. Namun, dengan segala kepunyaan yang ia miliki, Nanda terkenal
dengan sifatnya yang angkuh dan senang menindas orang lain yang jauh dibawah status
sosialnya.
***
Kaos kaki Gilang sudah berlubang di jempolnya namun tetap dipakainya. Setelah selesai
mengeringkan kakinya, ia kembali mengenakan kaos kaki dan sepatunya.
Wahyuni mendengus. “Kamu itu tuh! Baiknya keterlaluan. Itu namanya pemaksaan. Aku
sama kamu susah payah bertahan di IPA 1 sampai otak mau pecah. Sedangkan dia? Pulang
sekolah jam istirahat nilai fisika kita eh sama.”
Nanda melihat Gilang dan Wahyuni berbincang-bincang perihal dirinya di depan kelas
XI IPA 1 yang merupakan kelasnya juga. Wahyuni tidak berhenti menatapnya sinis. Gadis
berjilbab itu memang membenci Nanda dari ujung ubun-ubun sampai ujung kuku jempol
kakinya. Baginya, sebagai anak walikota harusnya mencerminkan hal yang baik bukan malah
menyombongkan status sosialnya yang tinggi dan menindas orang lain.
“Hey, Gilang. Sepatumu jelek sekali. Merusak reputasi kelas IPA 1 saja. Malu-maluin.”
Nanda menatap dan menertawakan sepatu Gilang yang hampir menganga dan robek
dimana-mana. Namun, seperti biasa, Gilang hanya tersenyum mendengar ejekan Nanda yang
bertubi-tubi di pagi hari yang dingin itu.
“Tidak apa-apa. Insya Allah, kalau rejeki sudah ada saya beli sepatu baru.”
2. “Halah, itu karena emang Bapakmu hanya pemulung makanya biar sepatu anaknya yang
seharusnya udah dari jauh-jauh hari dibuang di tong sampah masih tetap juga dipakai.” ucap
Nanda kasar.
“Insya Allah, kalau ini masih bisa dipakai saya akan pakai. Insya Allah suatu hari nanti
saya bisa pakai sepatu mengkilap kayak kamu, Nanda.” balas Gilang sambil tetap tersenyum
pada Nanda.
Perkataan Gilang ternyata membuat Nanda berang. Dibuangnya tasnya dilantai teras
kelas dan ia meraih kerah seragam Gilang. Gilang berusaha membuat melepaskan tangan Nanda
yang mencengkeram kerah bajunya dengan kuat namun apa daya kekuatan Gilang tidak sekuat
Nanda.
“Kurang ajar. Sudah kubilang berkali-kali jangan membalas perkataanku, dasar kau anak
pemulung!”
Nanda melayangkan satu tamparan pada pipi Gilang. Para siswa lain hanya melihat
kejadian itu tanpa melakukan apapun karena rasa takut yang tinggi pada Nanda yang tak segan-
segan menyakiti siapa saja yang menentangnya.
“Dengar baik-baik kau anak pemulung yang bau. Kamu tidak akan pernah mengenakan
sepatu mahal seperti punyaku.” Nanda melihat keranjang yang berisi 20 bungkus nasi kuning
telur asin buatan Ayahnya yang Gilang letakkan di atas rak sepatu. Tanpa basa-basi, bungkusan
nasi kuning tersebut dibantingnya ke lantai dan diinjak-injaknya dengan kasar. Setelah
menginjaknya dengan puas, tumpukan nasi kuning tersebut diangkatnya mengenakan sendok
sampah dan dituangkan dikepala Gilang.
“Siapa juga yang mau makan nasi kuning murahanmu? Kalaupun ada yang beli dan
makan, paling besok sakit perut lusa mati. Hahaha. Rasakan.”
Nanda kemudian mengambil ponselnya dan memotret Gilang yang penuh dengan nasi
kuning. Ambang batas kesabaran Wahyuni sudah tandas. Dengan penuh amarah ia menarik
rambut Nanda yang berbalik meninggalkan Gilang.
“Sudah gila kamu Nanda! Kamu itu keterlaluan sekali! Gilang nggak buat salah sama
kamu.”
Sambil memegang rambutnya, Nanda berbalik kearah Wahyuni yang masih mengoceh
dan menyumpahi perbuataan Nanda yang terkutuk.
“Kenapa kau ikut campur, hah? Ini bagianmu.” Nanda melayangkan satu tamparan di pipi
Wahyuni namun ditahan oleh Gilang.
“Kita laki-laki tidak boleh menyakiti perempuan. Kalau mau pukul Yuni pukul saja
saya.”
Nanda terlihat gusar. Namun bunyi bel menyelamatkan Gilang. Dengan tampang emosi
tinggi Nanda meninggalkan Gilang dan Wahyuni.
***
3. Malam telah menghampiri langit. Gilang terlihat sedang kebingungan. “Mau bilang apa
sama Bapak kalau jualannya habis diinjak-injak Nanda?”
Perasaan Gilang tidak karuan. Ia merasa tidak enak dengan Ayahnya. Nasi kuning itu
dibuat oleh Ayahnya bahkan sebelum Adzan Subuh berkumandang padahal Ayahnya sendiri
baru tidur 2 jam saja setelah selesai mensortir hasil pulungan seharian penuh. Gilang juga tahu
bahwa Ayahnya sengaja menyisihkan beberapa lembar uang untuk menjual nasi kuning di
sekolah Gilang untuk biaya beli buku dan sepatu baru bagi Gilang. Hasil pulungan hasil-hasil ini
kurang menghasilkan banyak uang. Oleh karena itu, Gilang merasa sangat bersalah dan tak tahu
harus mengatakan apa pada Ayahnya.
Gilang sudah terlelap saat Ayahnya pulang. Peluh menetes dari pelipis Ayahnya pada
dinginnya malam yang menusuk. Ayah Gilang tidak ingin membangunkan anak semata
wayangnya yang telah tertidur dengan nyenyak itu. Dengan sangat hati-hati, beliau membasuh
diri dengan air hujan dingin yang tertampung di belakang gubuk reyot satu-satunya harta
miliknya. Tubuhnya yang ringkih berusaha menahan rasa dingin seperti tertusuk duri yang
sangat tajam itu. Setelah membasuh dirinya, beliau melihat wajah putranya itu.
“Ya Allah, berilah rejeki lebih pada hambaMu ini. Insya Allah semua demi anakku
Gilang.”
***
“Bapak minta maaf tidak sempat pamit sama kamu, Nak. Ini ada Bapak kasih 5000 buat
beli roti untuk sarapan.”
Secarik surat dan selembar uang 5000an diletakkan diatas meja kayu disamping
tumpukan buku pelajaran Gilang. Tidak seperti biasa Ayah Gilang tidak menunggu Gilang
bangun dan berangkat bersama. Namun, Gilang berusaha menghilangkan perasaan negatif yang
mencoba merasuk dirinya.
***
Nanda kembali memuaskan sifat kasarnya pada Gilang sebagai obyek kekerasannya. Kali
ini, menurut Nanda, seragam Gilang mengeluarkan bau tak sedap dan menganggu
penciumannya.
“Bau apa ini! Ah, sial. Gilang! Kalau kau masih bau sampah besok kusuruh pak Kepsek
pindahkan kau di kelas lain. Mengganggu saja.”
Seluruh kelas terdiam dengan teriakan Nanda yang cukup keras. Sifat angkuhnya
sungguh tidak bisa ditolerir oleh akal sehat manapun.
Tanpa jawaban, Nanda membanting mejanya. Emosinya benar-benar tersulut layaknya
bara api bertemu dengan bensis. Emosinya berkobar dan nampak pada wajahnya yang memerah.
“Sial. Beraninya kau tidak jawab aku?!”
Nanda menarik kerah baju Gilang dari belakang dan membuatnya tercekik. Entah apa
yang salah dengan indera penciuman Nanda, ia tidak tahan berada dekat-dekat dengan Gilang.
4. Setelah menggenggam keras kerah bajunya, ia menendang pinggang Gilang. Gilang akhirnya
jatuh tersungkur di lantai kelas. Gilang memegang pinggangnya yang sakit dan mungkin saja
memar. Ia berusaha berdiri dan kembali duduk dikursinya.
Pemandangan itu kurang membuat hati Nanda yang masih membara oleh emosi mereda.
Ia kembali menyiksa Gilang, buku-buku pelajaran yang tengah dibacanya, ditendangnya
kelantai. Mejanya pun tak luput dari siksaan Nanda. Meja kayu tersebut dibantingnya dan
menghasilkan bunyi yang keras. Keadaan kelas benar-benar kacau akibat Nanda.
“Sial! Sial! Kau Gilang sialan! Sini kau, anak pemulung dekil dan bau! Rasakan ini.”
Bogem mentah melayang di perut dan pipi Gilang dan membuatnya kembali jatuh
tersungkur di lantai. Kali ini, tidak ada sisa tenaga yang tertinggal ditubuh Gilang dan akhirnya
Gilang tak sadarkan diri. Wahyuni yang duduk terdiam sambil terisak diujung kelas hanya bisa
melihat temannya tersungkur memar tanpa bisa berbuat apa-apa. Kemarin saat pulang sekolah,
Wahyuni diancam akan dikeluarkan dari sekolah jika ia berani membela Gilang lagi. Ancaman
tersebut tentu saja bukan ancaman kosong belaka. Sudah puluhan siswa dikeluarkan karena
tindakan semena-menanya. Wahyuni masih ingin bersekolah dan berprestasi. Ia tidak mau
menyusahkan kedua orang tuanya. Akhirnya, dengan berat ia memilih untuk bungkam melihat
temannya dipukuli.
Setelah puas melayangkan tinjuan dan tendangan pada tubuh Gilang, Nanda akhirnya
keluar kelas dan pulang. Wahyuni kemudian mendekati Gilang yang penuh dengan memar dan
luka disekujur tubuhnya. Ingin sekali tangan Wahyuni melemparkan salah satu meja kayu besar
ini ke kepala Nanda si anak walikota paling sombong dan semena-mena itu namun Wahyuni
tidak memilki daya apapun untuk menentangnya.
***
Seminggu akhirnya berlalu. Gilang kembali masuk ke sekolah setelah mendapat
perawatan rumah sakit gratis atas nama permohonan maaf sekolah dan meminta agar kelakuan
Nanda yang kelewat batas itu tidak masuk ke jalur hukum. Kondisi Gilang sudah cukup baikan
dan ia kembali bisa beraktifitas seperti biasa. Ayahnya kembali tidak berangkat bersamanya. Kali
ini, secarik surat, selembar uang 5000 dan sebuah kotak diletakkan di sebelah tumpukan buku
pelajaran yang tak disentuh Gilang selama seminggu. Perlahan-lahan ia mendekati kotak
tersebut. Ia membukanya dan betapa terkejutnya ia melihat isinya.
Sepasang sepatu yang sama persis dengan milik Nanda.
Sepasang sepatu berwarna hitam yang mengkilap itu terasa silau dimata Gilang. Gilang
mengecek merek sepatu itu dan ternyata sepatu itu memang sama persis dengan milik Nanda
yang sangat ia banggakan itu. Sepatu tersebut bersih dan licin. Talinya masih terpaut satu sama
lain dengan rapi. Entah bagaimana bisa sepasang sepatu itu ada disana, Gilang meneteskan air
matanya. Ia kemudian membuka secarik surat yang terletak disampingnya. Dengan air mata yang
terus menetes, ia membaca isi surat yang ditulis langsung oleh tangan Ayahnya semalam.
“Anakku, Gilang. Maafkan Bapak jika sepatu ini baru kamu pakai sedangkan temanmu
yang lain sudah memakainya jauh-jauh hari. Bapak tau kamu pasti marah kenapa Bapak
membelikan sepatu mahal ini daripada membeli hal lain yang lebih penting. Minggu lalu Bapak
5. tidak sengaja mendengar Nanda anak walikota itu mengatakan bahwa karena kamu anak Bapak
yang seorang pemulung makanya kamu pakai sepatu rusak itu. Kebetulan Bapak ingin
mengantarkan bukumu yang ketinggalan. Saat kamu mengatakan bahwa suatu hari Insya Allah
kamu akan mengenakan sepatu yang sama dengan milik Nanda itu, sepertinya doa itu mulai
dijabah Allah melalui Bapak. Alhamdulillah, Bapak dapat uang lebih dari hasil membersihkan
kandang ternak Haji Burhan pagi-pagi benar dan cuci wc umum pasar belakang saat tengah
malam kamu sudah terlelap. Alhamdulillah, Nak. Bapak minta maaf kalau Bapak kasihnya telat.
Sekarang, kamu bisa pakai sepatu itu dengan bangga. Biarkan Bapakmu ini saja yang
diperlakukan sebagai pemulung. Bapak sayang kamu, Gilang. Bapak sungguh minta maaf bila
gara-gara Bapakmu yang seorang pemulung ini membuat kamu selalu direndahkan di sekolah.
Hati Bapak sakit sekali melihatmu diolok-olok sampai jualan kita diinjak-injak saat itu. Tapi,
tidak apa. Insya Allah kita memaafkan segala kesalahan orang lain dengan ikhlas, ya? Semoga
kamu suka sama sepatu ini, Nak. Seperti biasa, 5000 ini untuk beli roti untuk sarapan. Bapak
minta maaf tidak bisa menemanimu kesekolah. Insya Allah, Bapakmu ini janji besok kita
berangkat bersama lagi.”
Air mata Gilang terus berjatuhan membasahi kertas surat yang ditulis oleh Ayahnya itu.
Hatinya bagai teriris belati. Gilang terus berpikir positif mengenai Ayahnya yang selalu pergi
lebih dulu darinya dan pulang sangat larut. Tak pernah terbesit dibenaknya bahwa Ayahnya yang
renta itu memaksakan dirinya untuk mengurangi waktu istirahatnya demi membelikan sepasang
sepatu bermerek untuk anaknya. Hati seorang Ayah yang tulus itu tidak tega melihat anaknya
diperlakukan semena-mena hanya karena pekerjaan Ayahnya yang rendahan itu. Gilang sungguh
tidak mempercayai kenyataan yang ada didepan wajahnya itu.
***
“Gilang, kamu dicari sama Bapakmu diruang piket guru.”
Seorang staf tata usaha memanggil Gilang ditengah-tengah proses belajar mengajar
berlangsung. Gilang langsung berdiri dan meminta izin untuk menemui Ayahnya.
Sepanjang perjalanan menuju ruang piket guru, hatinya dipenuhi pertanyaan bertubi-tubi.
Apa tujuan Ayahnya datang kesekolah secara mendadak? Apa ada yang terjadi dengan Ayahnya?
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam. Masuk, Gilang.”
Ayah Gilang terlihat gemetar sambil duduk didepan meja guru piket. Baju kemeja batik
satu-satunya itu terlihat basah akibat hujan yang terus menerus turun dengan derasnya ke
permukaan bumi. Baru kali ini Gilang memperhatikan bahwa rambut Ayahnya sudah ubanan.
Kulitnya semakin tidak kencang lagi dan keriput di sekitar matanya semakin mengkerut. Melihat
kondisi Ayahnya yang seperti itu kembali membuat hati Gilang menjadi sedih.
Namun, Ayahnya tidak sendiri disana melainkan Nanda ikut duduk dikursi panjang
tempat biasa siswa menunggu giliran mendapatkan hukuman pelanggaran. Wajahnya tertunduk.
Ia memainkan jarinya dengan gelisah. Tampangnya tidak seperti biasanya. Rambutnya layu
6. tanpa minyak rambut, pergelangan tangannya kosong tanpa arloji mahal, dan yang mengejutkan,
ia tidak mengenakan sepatu mahal kebanggaannya itu melainkan hanya sepasang sepatu biasa.
“Jadi, Ayah kamu datang kesini atas permintaan Nanda.”
Betapa terkejutnya Gilang mendengar hal itu. Dengan cepat ia menjawab, “Tolong kalau
kamu mau sakiti Bapak saya, lebih baik kamu sakiti saya saja lagi. Tolong jangan sakiti Bapak
saya.”
Nanda mengangkat kepalanya. Lingkaran hitam dibawah matanya terlihat jelas dan
mengurangi kegagahannya. “Bukan seperti itu, Kamu salah paham.”
Nanda menelan ludahnya berulang kali dan kembali melanjutkan, “Aku ingin minta maaf
atas semua perlakuanku sama kamu. Jujur, aku sangat menyesalinya.”
Gilang tetap saja masih terkejut sedangkan Ayahnya hanya tertegun dan duduk terpaku
dikursinya. Apa yang terjadi hingga seorang Nanda yang terkenal dengan sifat angkuhnya
mengakui kesalahannya?
“Jadi, Gilang. Bapak disini jadi penengah saja. Nanda sudah menceritakan semuanya
dengan Bapak. Jadi, dua hari lalu Ayah kamu datang ke rumah Nanda.”
Gilang memegang tangan Ayahnya yang terasa dingin itu. “Bapak… Bapak buat apa
kerumah Nanda?”
“Bapak… ingin membeli sepatunya.”
Gilang tertegun. Ia masih tidak mengerti. “Sepatu apa, Pak?”
“Ayahmu tidak tau harus beli kemana sepatu sepertiku. Akhirnya beliau datang
kerumahku malam-malam dua hari lalu. Awalnya satpamku mengusirnya karena dikira meminta-
minta, namun Ayahmu bersikeras harus bertemu denganku saat itu juga. Akhirnya aku menemui
Ayahmu. Beliau ingin membelikan sepatu yang persis dengan punyaku dan akhirnya memohon
untuk membolehkannya membeli sepatuku.” jelas Nanda.
“Kau tahu aku. Aku sempat kasar pada Ayahmu, namun saat itu hujan turun dan akhirnya
kubiarkan Ayahmu kehujanan diluar. Saat aku terbangun pukul 1 malam, aku melihat bahwa
Ayahmu masih disana. Dalam posisi yang sama tidak bergerak dan dalam keadaan hujan deras.”
“Aku… menangis melihat hal itu.”
Nanda menggoyangkan kedua kakinya dengan gelisah. Matanya berkaca-kaca. Ia
berusaha menahannya namun akhirnya air mata itu terjatuh juga.
“Aku tidak pernah sekalipun melihat pengorbanan seorang Ayah yang sebegitu
dahsyatnya. Jujur, aku seolah-olah dihantam dengan besi panas tepat dileherku. Sejak saat itu
aku sangat menyesali perbuatanku terhadapmu, terutama omonganku mengenai Ayahmu. Aku
jarang merasakan kasih sayang dari Ayahku yang sibuk dengan urusan pemerintahan. Ya, aku iri
denganmu. Melihat Ayahmu yang begitu menyayangimu dan rela melakukan apa saja demi
anaknya. Beliau sungguh seorang figur Ayah yang sempurna.”
7. Nanda menjulurkan tangannya, “Aku minta maaf, Gilang,”
Gilang menyambut salaman itu dengan hangat, “Insya Allah saya dan Bapak sudah
memaafkan kamu dari jauh hari.”
Ayah Gilang kemudian mengeluarkan kotak sepatu yang ditinggalkan Gilang dikamar
dan tidak memakainya ke sekolah. “Bapak rasa kamu lupa sesuatu.”
Gilang memeluk tubuh Ayahnya hangat. Air matanya terus berderai kencang melalui
pipinya. Sepasang sepatu itu membawanya kembali mensyukuri bahwa menjadi anak seorang
pemulung bukanlah suatu hal yang rendah melainkan suatu hal yang patut dibanggakan.
Bagaimanapun rupa dan pekerjaan, kondisi ekonomi dan sosial, dia tetap Ayahku, keluargaku
satu-satunya di dunia ini.
Ohana means family. Family means nobody gets left behind or forgotten.
***