FIQH SYIRKAH Membahas Terminologi Syirkah, Dalil, Bentuk-bentuk Syirkah, Rukun dan Syarat Syirkah, Musyarakah dan Mudharabah, Terminologi dan hukum Ji’alah, ‘Ariyah, Rahn, Wakalah, Sulhu. Oleh: Hj. Marhamah Saleh, Lc. MA Presentasi Ke-9
Definisi Syirkah (Kerjasama) Secara etimologi  al-syirkah  berarti  al-ikhtilath  (percampuran) dan persekutuan, yaitu percampuran antara sesuatu dengan yang lainnya, sehingga sulit dibedakan. Secara terminologi, menurut ulama  Malikiah : إذن في التصرف لهما مع أنفسهما في مال لهما Izin untuk bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerjasama terhadap harta mereka. Menurut ulama  Syafi’iyah  dan  Hanabilah : ثبوت الحق في شيئ لإثنين فأكثر على جهة الشيوع Penetapan hak bertindak hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka sepakati. Menurut ulama  Hanafiah : عقد بين المتشاركين في رأس المال والربح Akad yang dilakukan oleh orang-orang yang bekerjasama dalam modal dan keuntungan. Kesimpulan: Syirkah adalah kerjasama antara dua orang atau lebih dalam sebuah usaha dengan konsekuensi keuntungan dan kerugiannya ditanggung secara bersama.
Dasar Hukum (Dalil) Syirkah QS. Al-Nisa’: 12 فهم شركاء في الثلث … Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang,   maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu  QS. Shad: 24 وإن كثيرا من الخلطاء ليبغي بعضهم على بعض إلا الذين امنو وعملوا الصالحات Sesungguhnya kebanyakan dari orang yang berserikat itu sebagian dari mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang yang beriman dan beramal saleh. Hadis riwayat Abu Dawud, dari Abu Hurairah, Rasul Saw bersabda: أنا ثالث شريكين مالم يخن أحدهما صاحبه فإذا خانه خرجت من بينهما Aku jadi yang ketiga antara dua orang yang berserikat selama yang satu tidak khianat kepada yang lainnya, apabila yang satu berkhianat kepada pihak yang lain, maka keluarlah aku darinya
Macam-Macam Syirkah SYIRKAH AMLAK ‘ UQUD JABARI IKHTI- YARI ‘ INAN MUFA- WADHAH ABDAN/ A’MAL WUJUH MUDHA- RABAH MUTH- LAQAH MUQA- YADAH
Macam-macam Syirkah Syirkah al-amlak (perserikatan dalam pemilikan) Syirkah al-‘uqud (perserikatan berdasarkan suatu akad) SYIRKAH AL-AMLAK Menurut Sayyid Sabiq, syirkah al-amlak adalah bila lebih dari satu orang memiliki suatu jenis barang tanpa didahului aqad, baik bersifat ikhtiari atau jabari. Syirkah al-amlak terbagi dua : Ikhtiari  (perserikatan yang dilandasi pilihan orang yang berserikat), yaitu perserikatan yang muncul akibat tindakan hukum orang yang berserikat, seperti dua orang sepakat membeli suatu barang, atau mereka menerima harta hibah secara berserikat. Maka barang atau harta tersebut menjadi harta serikat bagi mereka berdua. Jabari  (perserikatan yang muncul secara paksa, bukan atas keinginan orang yang berserikat), seperti harta warisan, menjadi milik bersama orang-orang yang berhak menerima warisan. Status harta dalam syirkah al-amlak adalah sesuai hak masing-masing,  bersifat mandiri secara hukum. Jika masing-masing ingin bertindak hukum terhadap harta serikat itu, harus ada izin dari mitranya. Hukum yang terkait dengan syirkah al-amlak dibahas secara luas dalam bab wasiat, waris, hibah dan wakaf.
SYIRKAH AL-‘UQUD Akad yang disepakati dua orang atau lebih untuk mengikatkan diri dalam perserikatan modal dan keuntungannya. Syirkah al-‘uqud terbagi lima: 1. Syirkah al-‘inan ( شركة العنان ) , yaitu perserikatan dalam  modal  (harta) antara dua orang atau lebih, yang  tidak harus sama jumlahnya . Keuntungan dan kerugian dibagi dua sesuai prosentase yang telah disepakati. Sedangkan kerugian menjadi tanggung jawab orang-orang yang berserikat sesuai dengan prosentase penyertaan modal/saham masing-masing. Para ulama sepakat, hukumnya boleh. 2. Syirkah Mufawadhah (  شركة المفاوضة   ) , perserikatan dua orang atau lebih pada suatu obyek, dengan syarat masing-masing pihak memasukkan  modal  yang  sama jumlahnya , serta melakukan tindakan hukum (kerja) yang sama pula. Jika mendapat keuntungan dibagi rata, dan jika berbeda tidak sah. Masing-masing pihak hanya boleh melakukan transaksi jika mendapat persetujuan dari pihak lain (sebagai wakilnya), jika tidak, maka transaksi itu tidak sah. Ulama Hanafiah dan Zaidiyah menyatakan bentuk perserikatan seperti ini dibolehkan. Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menyatakan tidak boleh, karena sulit untuk menentukan prinsip kesamaan modal, kerja dan keuntungan dalam perserikatan itu, disamping tidak ada satu dalilpun yang shahih yang bisa dijadikan dasar hukum. Tetapi mereka membolehkan Mufawadhah seperti pandangan Malikiyah, yaitu boleh mufawadhah jika masing-masing pihak yang berserikat dapat bertindak hukum secara mutlak dan mandiri terhadap modal kerja, tanpa minta izin dan musyawarah dengan mitra serikatnya.
3. Syirkah Abdan/A’mal (  شركو الأعمال   ) , perserikatan yang dilakukan oleh dua pihak untuk menerima suatu pekerjaan, seperti kerjasama seprofesi antara dua orang arsitek atau tukang kayu dan pandai besi untuk menggarap sebuah proyek. Hasil atau imbalan yang diterima dibagi bersama sesuai kesepakatan. Menurut ulama Malikiyah, Hanafiyah, Hanabilah dan Zaidiyah hukumnya boleh. Ulama Malikiyah mengajukan syarat, yaitu bahwa kerja yang dilakukan harus sejenis, satu tempat, serta hasil yang diperoleh dibagi menurut kuantitas kerja masing-masing. Menurut ulama Syafi’iyah, Syi’ah Imamiyah, perserikatan seperti ini hukumnya tidak sah, karena yang menjadi obyek perserikatan adalah harta/modal, bukan kerja, disamping pula, kerja seperti ini tidak dapat diukur, sehingga dapat menimbulkan penipuan yang membawa kepada perselisihan. Syirkah Wujuh ( شركة الوجوه   ) , serikat yang dilakukan dua orang atau lebih yang tidak punya modal sama sekali, dan mereka melakukan suatu pembelian dengan kredit serta menjualnya dengan harga tunai; sedangkan keuntungannya dibagi bersama. Mirip seperti kerja makelar barang, bukan makelar kasus (markus). Ulama Hanafiah, Hanabilah dan Zaidiyah menyatakan hukumnya boleh, karena masing-masing pihak bertindak sebagai wakil dari pihak lain, sehingga pihak lain itupun terikat pada transaksi yang dilakukan mitra serikatnya. Sedangkan ulama Malikiyah, Syafi’iyah menyatakan tidak sah dan tidak dibolehkan, karena modal dan kerja dalam perserikatan ini tidak jelas. 5. Syirkah al-Mudharabah (  شركة المضاربة   ) , persetujuan antara pemilik modal dengan pengelola untuk mengelola uang dalam bentuk usaha tertentu, keuntungannya dibagi sesuai kesepakatan bersama, sedangkan kerugian menjadi tanggungan pemilik modal saja.
Hikmah Syirkah Manusia tidak dapat hidup sendirian, pasti membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhan. Ajaran Islam mengajarkan agar kita menjalin kerjasama dengan siapapun terutama dalam bidang ekonomi dengan prinsip saling tolong-menolong dan saling menguntungkan (mutualisme), tidak menipu dan tidak merugikan. Tanpa kerjasama maka kita sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup.  Syirkah pada hakikatnya adalah sebuah kerjasama saling menguntungkan dalam mengembangkan potensi yang dimiliki baik berupa harta atau pekerjaan. Oleh karena itu Islam menganjurkan umatnya untuk bekerja sama sesuai prinsip di atas. Hikmahnya adalah adanya saling tolong-menolong, saling membantu dalam kebaikan, menjauhi sifat egoisme, menumbuhkan saling percaya, menyadari kelemahan dan kekurangan, dan menimbulkan keberkahan dalam usaha jika tidak berkhianat. QS. Al-Maidah: 2  وتعاونوا على البر والتقوى ... 5a. MUDHARABAH  MUTHLAQAH : Mudharabah untuk kegiatan usaha yang  cakupannya tidak dibatasi  oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis sesuai permintaan pemilik dana. 5b. MUDHARABAH  MUQAYYADAH : Mudaharabah untuk kegiatan usaha yang  cakupannya dibatasi  oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis sesuai permintaan pemilik dana.
Rukun dan Syarat Syirkah RUKUN Syirkah  adalah sesuatu yang harus ada ketika syirkah itu berlangsung. Menurut ulama  Hanafiah , rukun syirkah hanya  ijab  dan  qabul  atau serah terima. Sedangkan orang yang berakad dan obyek akad bukan termasuk rukun, tapi  syarat . Menurut  jumhur ulama , rukun syirkah meliputi  shighat (lafaz) ijab dan qabul, kedua orang yang berakad,  dan  obyek akad. SYARAT Syirkah  merupakan perkara penting yang harus ada sebelum dilaksanakan syirkah. Jika syarat tidak terwujud, maka akad syirkah batal.  Syarat-syarat umum syirkah (termasuk untuk  syirkah ‘inan  dan  wujuh ): Syirkah itu merupakan transaksi yang boleh diwakilkan, artinya salah satu pihak jika bertindak hukum terhadap obyek syirkah itu, dengan izin pihak lain, dianggap sebagai wakil seluruh pihak yang berserikat. Juga, anggota serikat saling mempercayai. Prosentase pembagian keuntungan untuk masing-masing pihak yang berserikat dijelaskan ketika akad berlangsung. Keuntungan diambil dari hasil laba harta perserikatan, bukan dari harta lain. Syarat khusus dalam syirkah al-’uqud : modal perserikatan itu jelas dan tunai, bukan berbentuk utang dan bukan pula berbentuk barang. Syarat khusus untuk syirkah al-mufawadhah , menurut ulama Hanafiah: Kedua belah pihak cakap dijadikan wakil. Modal yang diberikan masing-masing pihak harus sama, kerja yang dilakukan juga sama, keuntungan yang diterima semua pihak kuantitasnya juga harus sama. Semua pihak berhak untuk bertindak hukum dalam seluruh obyek perserikatan itu. Lafaz yang digunakan dalam akad adalah lafaz al-mufawadhah. Jika salah satu syarat tidak terpenuhi, maka akadnya tidak sah, dan berubah menjadi syirkah al-’inan.
Musyarakah Istilah Musyarakah berkonotasi lebih terbatas daripada istilah syirkah. Istilah ini tidak banyak digunakan dalam fiqh, tetapi sering dipakai dalam skim pembiayaan syariah. Musyarakah merupakan akad bagi hasil ketika dua atau lebih pengusaha pemilik dana/modal bekerjasama sebagai mitra usaha, membiayai investasi usaha baru atau yang sudah berjalan. Mitra usaha pemilik modal berhak ikut serta dalam manajemen perusahaan, tetapi itu tidak merupakan keharusan. Para pihak dapat membagi pekerjaan mengelola usaha sesuai kesepakatan, dan mereka juga dapat meminta gaji untuk tenaga dan keahlian yang mereka curahkan untuk usaha tersebut. Proporsi keuntungan dibagi menurut kesepakatan yang ditentukan sebelumnya dalam akad, sesuai proporsi modal yang disertakan (pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i), atau dapat pula berbeda dari proporsi modal yang mereka sertakan (pendapat Imam Ahmad). Sementara Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa proporsi keuntungan dapat berbeda dari proporsi modal pada kondisi normal. Namun demikian, mitra yang memutuskan menjadi sleeping partner (pasif), proporsi keuntungannya tidak boleh melebihi proporsi modal. Jika terjadi kerugian, maka ditanggung bersama sesuai dengan proporsi penyertaan modal masing-masing. Kesimpulan: Dalam musyarakah, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan para pihak, sedangkan kerugian ditanggung bersama sesuai dengan proporsi penyertaan modal masing-masing pihak.
PROYEK (Kegiatan Usaha) MITRA USAHA  Akad Musyarakah MODAL Modal & Skill Bagian Keuntungan X Keuntungan (Bagi hasil keuntungan sesuai porsi kontribusi modal/nisbah) Bagian Keuntungan Y Bagian Modal  X Bagian Modal  Y MITRA USAHA  Modal & Skill SKEMA  MUSYARAKAH
Mudharabah Yaitu akad bagi hasil ketika pemilik dana (pemodal/shahibul mal/rabbul mal) menyediakan modal 100% kepada pengusaha sebagai pengelola (mudharib), untuk melakukan aktivitas produktif dengan syarat bahwa keuntungan yang dihasilkan akan dibagi bersama menurut kesepakatan yang ditentukan sebelumnya dalam akad (misal 60:40). Pemilik dana hanya menyediakan modal dan tidak ikut campur dalam manajemen usaha yang dibiayainya. Pengelola tidak ikut menyertakan modal, tetapi memberikan konstribusi tenaga dan keahliannya. Jika terjadi kerugian karena proses normal dari usaha, dan bukan karena kelalaian atau kecurangan pengelola (mudharib), maka kerugian modal ditanggung sepenuhnya oleh pemodal (shahibul mal), sedangkan pengelola telah kehilangan tenaga, pikiran dan keahlian yang telah dicurahkan saat menjalankan usaha. Jika kerugian itu disebabkan kelalaian atau kecurangan pengelola, maka pengelola bertanggung jawab sepenuhnya. Ulama Hanabilah menganggap mudharabah termasuk salah satu bentuk syirkah/perserikatan. Tapi jumhur ulama (Hanafiah, Malikiyah, Syafi’iyah, Zaidiyah, Imamiyah) tidak memasukkan mudharabah sebagai salah satu bentuk syirkah. Karena mudharabah menurut jumhur merupakan akad tersendiri.
Kegiatan Usaha PEMODAL (SHAHIBUL MAL) Akad MUDHARABAH MODAL / Kerugian SOFT SKILL MODAL 100% Bagian Keuntungan X Keuntungan Bagian Keuntungan Y Modal  100% PENGUSAHA (MUDHARIB) SKEMA  MUDHARABAH
Ji’alah (Mengupah) Secara bahasa, ji’alah artinya mengupah. Secara syara’: عقد على منفعة يظن حصوله Akad untuk mendapatkan materi (upah) yang diduga kuat dapat diperoleh. Ji’alah  adalah memberi upah kepada orang lain yang telah berjasa mengembalikan sesuatu yang berharga seperti menemukan barangnya yang hilang atau mengobati orang sakit. Bagi seseorang yang kehilangan sesuatu yang berharga tentu akan berupaya menemukan kembali barang yang hilang, misalnya lewat pengumuman di media massa, radio, pamflet, dsb. Pengumuman ini biasanya dibarengi dengan imbalan jasa bagi penemunya sebagai daya tarik.  Hukum Ji’alah  atau ja’alah adalah  mubah.  Hal ini didasari karena ji’alah diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, karena seseorang tidak mampu memenuhi semua pekerjaan dan keinginannya kecuali jika ia memberikan upah kepada orang lain untuk membantunya. Dalil ji’alah , QS. Yusuf: 72.  Para penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya."  Ji’alah bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama, bisa ditentukan orangnya misalnya si A. Kedua, bisa secara umum siapa saja yang diberi pekerjaan mencari barang.
Rukun, Pembatalan, Hikmah Ji’alah Ji’alah dinyatakan sah jika memenuhi rukunnya , yaitu: Lafaz, mengandung arti izin kepada yg akan bekerja. Jika mengerjakan ji’alah tanpa izin orang yang menyuruh (yang punya barang), maka baginya tidak berhak memperoleh imbalan jika barang itu ditemukan. Orang yang menjanjikan memberikan upah. Pekerjaan (mencari barang yang hilang). Upah (harus jelas), ditentukan sebelum melaksanakan pekerjaan. Pembatalan ji’alah  dapat dilakukan oleh kedua belah pihak sebelum bekerja. Pembatalan yang datang dari orang yang bekerja, maka ia tidak mendapat upah sekalipun ia sudah bekerja. Sedangkan pembatalan dari pihak yang menjanjikan upah, maka yang bekerja berhak menuntut upah sebanyak pekerjaan yang sudah dilakukan. Hikmah Ji’alah: Dengan ji’alah dapat memperkuat persaudaraan dan persahabatan, menanamkan sikap saling menghargai dan akhirnya tercipta sebuah komunitas yang saling tolong-menolong dan bahu-membahu. Dengan ji’alah akan terbangun sebuah semangat dalam melakukan sesuatu bagi para pekerja. Terkait ji’alah sebagai sebuah pekerjaan yang baik, Islam menjanjikan balasan kebaikan pula. QS. Al-Zalzalah: 7.
Al-Shulhu (Perdamaian) Secara bahasa  الصلح   berarti  قطع النزاع   artinya memutus perselisihan Secara istilah syara’, dalam kitab Kifayat al-Akhyar العقد الذي ينقطع به خصومة المتخاصمين Akad yang memutuskan perselisihan dua pihak yang bertengkar (berselisih). عقد يتفق فيه المتنازعان في حق على مايرتفع به النزاع Akad yang disepakati dua orang yang bertengkar dalam hak untuk melaksanakan sesuatu, dengan akad itu dapat hilang perselisihan. Kesimpulan:  al-Shulh adalah akad yang bertujuan untuk mengakhiri perselisihan atau persengketaan. Dasar Hukum al-Shulh:  QS. Al-Hujurat: 9, al-Nisa’: 114 dan 128. - وإن طائفتان من المؤمنين اقتتلو فأصلحو بينهما - لاخير في كثير من نجواهم إلا من أمر بصدقة او معروف او إصلاح بين الناس - والصلح خير Hadis riwayat Ibnu Hibban dan Tirmizi dari Umar bin ‘Auf al-Muzanni الصلح جائز بين المسلمين إلا صلحا حرم حلالا او أحل حراما والمسلمون على شروطهم إلا شرطا حرم حلالا او أحل حراما   Perdamaian dibolehkan di kalangan muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan yang haram. Dan orang-orang Islam (yang mengadakan perdamaian itu) bergantung pada syarat-syarat mereka (yang telah disepakati), selain syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.
Rukun dan Syarat Shulhu RUKUN SHULHU: Mushalih , yaitu dua belah pihak yang melakukan akad shulhu untuk mengakhiri pertengkaran atau perselisihan. Mushalih ‘anhu , yaitu persoalan yang diperselisihkan. Mushalih bih , sesuatu yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap lawannya untuk memutuskan perselisihan. Disebut  badal al-shulh . Shighat ijab qabul.  Jika akad telah diikrarkan, maka konsekuensinya kedua belah pihak harus melaksanakannya. Masing-masing pihak tidak dibenarkan mengundurkan diri dengan jalan memfasakhnya, kecuali disepakati oleh kedua belah pihak. SYARAT-SYARAT SHULHU: Syarat yang berhubungan dengan mushalih (orang yang berdamai) yaitu disyaratkan mereka adalah orang yang tindakannya dinyatakan sah secara hukum (bukan anak kecil, orang gila, dsb.) Syarat yg berhubungan dengan mushalih bih: (a) berbentuk harta yang dapat dinilai, dapat diserahterimakan, berguna. (b) Diketahui secara jelas sehingga tidak ada kesamaran yang menimbulkan perselisihan. Syarat yang berhubungan dengan mushalih ‘anhu, yaitu sesuatu yang diperkarakan termasuk hak manusia yang boleh di ‘iwadh-kan (diganti). Jika berkaitan dengan hak-hak Allah maka tidak dapat bershulhu.
Macam dan Hikmah Shulhu Menurut Syafi’iyah, shulhu (perdamaian) terbagi menjadi empat: Perdamaian antara muslim dengan kafir, yaitu membuat perjanjian gencatan senjata dalam masa tertentu. Perdamaian antara kepala negara dengan pemberontak Perdamaian antara suami isteri, yaitu membuat perjanjian dan aturan tentang pembagian nafkah, masalah durhaka, serta dalam masalah menyerahkan haknya kepada suami manakala terjadi perselisihan. Perdamaian dalam muamalat, seperti hutang-piutang. Dilihat dari cara melakukannya, shulhu terbagi tiga: Shulhu dengan ikrar, yaitu shulhu yang dicapai melalui ikrar. Shulhu dengan ingkar, perdamaian yang dicapai melalui cara menolak. Shulhu dengan sukut (diam), perdamaian yang dicapai dengan diam. Dilihat dari segi keabsahannya, shulhu dapat dibagi dua: Shulhu Ibra’, yaitu melepaskan sebagian dari apa yang menjadi haknya. Shulhu Ibra’ ini tidak terikat oleh syarat. Shulhu muawadah, yaitu berpalingnya seseorang dari haknya kepada orang lain. Hukum yang berlaku pada shulhu ini adalah hukum jual beli. HIKMAH SHULHU:  Shulhu merupakan cara yang terpuji untuk menyelesaikan permasalahan. Allah dan rasulNya memerintahkan untuk berdamai jika terjadi perselisihan. Melalui perdamaian semua pihak akan merasa puas, hilang rasa dendam dan sikap egois. Dalam perdamaian tidak ada istilah kalah dan menang. Semuanya menjadi pihak yang berpegang kepada kebenaran yang ditetapkan oleh Allah dan Rasulnya. Dengan Shulhu akan terjaga rasa kasih sayang, menjauhkan perpecahan.
Wakalah (Perwakilan) Secara bahasa, al-wakalah atau al-wikalah berarti  al-tafwidh  (penyerahan, pendelegasian dan pemberian mandat). Secara terminologi, dalam kitab kifayat al-akhyar: تفويض ما له فعله مما يقبل النيابة الى غيره ليحفظه في حال حياته Menyerahkan suatu pekerjaan yang dapat digantikan kepada orang lain agar dikelola dan dijaga pada masa hidupnya Wakalah  adalah akad (suatu transaksi) dimana seseorang menunjuk orang lain untuk menggantikan dalam mengerjakan pekerjaannya/perkaranya ketika masih hidup. Landasan Hukum Wakalah:  QS. Al-Kahfi: 19, QS. Al-Nisa’: 35 فابعثوا أحدكم بورقكم هذه إلى المدينة   Maka suruhlah salah seorang diantara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini. فابعثو حكما من أهله وحكما من أهلها Maka kirimlah seorang utusan dari keluarga laki-laki dan hakam dari keluarga wanita. عن جابر رضي الله عنه قال أردت الخروج إلى خيبر فأتيت النبي صم فقال إذا أتيت وكيلي بخيبر فخذ منه خمسة عشر وسقا  ( رواه ابو داود ( Dari jabir Ra. Berkata: Aku pergi ke Khaibar, lalu aku datang kepada Rasulullah SAW, maka beliau bersabda, “Bila engkau datang pada wakilku di Khaibar, maka ambillah darinya 15 wasaq.
Rukun dan Syarat Wakalah Muwakkil , orang yang mewakilkan. Syaratnya: dia berstatus sebagai pemilik urusan/benda dan menguasainya serta dapat bertindak terhadap harta tersebut dengan dirinya sendiri. Wakil , orang yang mewakili. Syaratnya adalah orang berakal. Menurut Hanafiah, anak kecil yang mumayyiz (dapat membedakan baik dan buruk) sah menjadi wakil. Muwakkal fih, sesuatu yang diwakilan. Syaratnya:  - Pekerjaan/urusan itu dapat diwakilkan atau digantikan oleh orang lain. - Pekerjaan itu dimiliki oleh muwakkil sewaktu akad wakalah, makanya tidak sah berwakil menjual sesuatu yang belum dimilikinya. - Pekerjaan itu diketahui secara jelas. Shighat,  hendaknya berupa lafaz yang menunjukkan arti mewakilkan. Dalam sighat, qabul si wakil tidak disyaratkan, artinya seandainya si wakil tidak mengucapkan qabul tetap dianggap sah. Pekerjaan yang boleh diwakilkan adalah semua pekerjaan yang dapat diakadkan oleh dirinya sendiri, artinya secara hukum pekerjaan itu dapat gugur jika digantikan. Misal, mewakilkan orang lain untuk menjual atau membeli.
Hikmah Wakalah Pada hakikatnya wakalah adalah pemberian dan pemeliharaan amanat. Oleh karena itu baik muwakkil (orang yang mewakilkan) dan wakil (orang yang mewakili) yang sudah melakukan kerjasama kontrak wajib untuk menjalankan hak dan kewajibannya, saling percaya dan menghilangkan sifat curiga dan berburuk sangka. Di sisi lain dalam wakalah terdapat pembagian tugas, karena tidak semua orang memiliki kesempatan menjalankan pekerjaannya sendiri. Dengan mewakilkan kepada orang lain maka muncullah sikap saling tolong-menolong dan memberikan pekerjaan bagi orang lain. Muwakkil akan terbantu dalam menjalankan pekerjaannya, sedangkan wakil tidak kehilangan pekerjaannya disamping mendapat imbalan sewajarnya. BERAKHIRNYA WAKALAH , dikarenakan salah satu sebab berikut: Matinya salah seorang dari yang berakad Salah satunya gila Pekerjaan yang dimaksud dihentikan Pemutusan oleh muwakkil terhadap wakil meskipun wakil tidak mengetahui (menurut Syafi’i dan Hambali), tapi menurut Hanafi wakil wajib tahu Wakil memutuskan sendiri Keluarnya orang yang mewakilkan (muwakkil) dari status pemilikan.
‘ Ariyah (Pinjaman) Secara etimologi, ‘ ariyah  diambil dari kata ‘ âra  yang berarti datang dan pergi. Sebagian pendapat mengatakan ‘ariyah dari al-ta’ âwuru yang sama artinya dengan al-tanâwulu dan al-tanâsubu yang berarti aling menukar dan mengganti dalam konteks pinjam-meminjam. Secara terminologi, menurut Malikiyah ‘ariyah  تمليك المنفعة بغير عوض   (pemilikan atas manfaat suatu barang tanpa adanya imbalan). Sedangkan menurut Syafi’iyah dan Hanabilah,  إباحة المنفعة بلا عوض   (pembolehan mengambil manfaat suatu barang tanpa ada imbalan). ‘ Ariyah  adalah seorang pemilik barang membolehkan orang lain memanfaatkan barang itu tanpa ada imbalan. ‘ Ariyah berbeda dengan hibah, karena ‘ariyah dimaksudkan hanya untuk mengambil manfaat dari suatu barang, sedangkan hibah mengambil zat dan manfaat sekaligus. ‘Ariyah berbeda pula dengan ijarah (sewa), sebab pada ijarah barang yang dimanfaatkan itu harus diganti dengan imbalan tertentu, sedangkan ‘ariyah tidak. Hukum  ‘ariyah  mubah, bahkan sangat dianjurkan. QS. Al-Maidah: 2  “ Dan bertolong-tolonglah kalian dalam kebajikan dan takwa." ان رسول الله ص م استعار فرسا من ابي طلحة فركبه  ( رواه البخاري ومسلم ( Rasulullah Saw meminjam kuda Abi Thalhah dan mengendarainya
Rukun dan Syarat‘Ariyah Rukun ‘Ariyah: Mu’ir (orang yang meminjamkan) Musta’ir (orang yang meminjam) Mu’ar (barang yang dipinjam) Sighat ‘ariyah (lafaz pinjaman) Syarat-syarat ‘Ariyah: Orang yang meminjam adalah orang yang berakal sehat dan cakap dalam bertindak hukum. Barang yang dipinjam bukan jenis barang yang apabila dimanfaatkan akan habis atau musnah, seperti makanan. Barang yang dipinjamkan harus secara langsung dapat dikuasai oleh peminjam, artinya dalam akad ‘ariyah pihak peminjam harus menerima langsung barang itu dan dapat dimanfaatkan secara langsung pula. Manfaat barang yang dipinjam itu termasuk manfaat yang mubah atau dibolehkan oleh syara’, misalnya pinjam motor untuk ke mesjid, bukan untuk jualan narkoba. Menurut Hanafiah, ‘ariyah di tangan peminjam bersifat amanah. Oleh karena itu peminjam tidak dikenakan beban ganti rugi terhadap kerusakan barang yang bukan disebabkan oleh perbuatannya atau kelalaiannya dalam memanfaatkan barang tersebut. Tapi jika kerusakan itu disengaja, maka ia wajib dikenakan ganti rugi.
Etika dan Tatakrama ‘Ariyah Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak disertai niat akan membayarnya. Pihak yang berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak yang berhutang. Jika yang meminjam belum mampu mengembalikan, hendaknya diberikan waktu penundaan untuk membayarnya. Dan jika yang meminjam betul-betul tidak mampu mengembalikan, maka yang meminjamkan sebaiknya membebaskannya (diikhlaskan). Demi terjaganya hubungan baik, hendaknya hutang-piutang perlu diperkuat dengan tulisan dari kedua belah pihak, dengan disaksikan dua orang saksi laki-laki atau satu saksi laki plus dua saksi wanita. Ketika mengembalikan utang atau pinjaman hendaknya sesuai dengan kualitas dan kuantitas barang yang dipinjam, bahkan jika mungkin peminjam mengembalikan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik sebagai ungkapan terima kasih. Pihak yang berhutang bila sudah mampu membayar pinjaman hendaklah mempercepat pembayaran.
Rahn (Gadai) Secara etimologi,  al-rahn  berarti  al-tsubut wa al-dawam , artinya tetap dan kekal. Atau  al-habsu wa al-luzumu , artinya pengekangan dan keharusan. Bisa pula berarti jaminan. Secara terminologi, menurut ulama Malikiyah شيئ متمول يؤخذ من مالكه توثقا به في دين لازم Harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat. Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah: جعل عين وثيقة بدين يستوفي منها عند تعذر وفائه Menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapay dijadikan pembayar utang jika orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya. Hukum meminta jaminan itu  mubah. Dasar Hukum Rahn:  QS. Al-Baqarah: 283. وان كنتم على سفر ولم تجدو كاتبا فرهان مقبوضة Apabila kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). أن رسول الله ص م اشترى من يهودي طعاما رهنه درعا من حديد  ( رواه البخاري ومسلم ( Rasulullah Saw membeli makanan dari seorang Yahudi dengan menjadikan baju besinya sebagai barang jaminan.
Rukun dan Syarat Rahn Orang yang berakad rahn, yaitu  al-Rahin  (orang yang menggadaikan)   dan  al-Murtahin  (orang yang menerima gadai). Syaratnya cakap bertindak hukum, baligh dan berakal sehat. Sighat  (lafaz ijab dan qabul). Lafaz dalam sighat tidak boleh dikaitkan oleh syarat tertentu. Utang  (al-marhun bih) . Syarat: (a) Merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada pemberi utang. (b) Utang boleh dilunasi dengan jaminan. (c) Utang itu jelas dan tertentu. Harta yang dijadikan jaminan  (al-marhun) . Syarat: (a) barang jaminan itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan utang. (b) barang jaminan itu berharga dan boleh dimanfaatkan. (c) barang jaminan itu jelas dan tertentu. (d) barang jaminan itu milik sah orang yang berutang. (e) barang jaminan itu tidak terkait dengan hak orang lain. (f) barang jaminan itu merupakan harta utuh. (g) barang jaminan itu boleh diserahkan baik materinya maupun manfaatnya. Sedangkan ulama Hanafiah berpendapat bahwa rukun rahn hanya ijab dan qabul. Disamping itu, untuk sempurna dan mengikatnya akad rahn, maka diperlukan adanya penguasaan barang oleh pemberi utang. Sedangkan lainnya menurut Hanafiah termasuk syarat, bukan rukun.
Hukum-hukum Rahn Pemanfaatan barang gadai oleh al-rahin menurut jumhur ulama selain Syafi’iyah melarang al-Rahin untuk memanfaatkan barang gadai atau jaminan. Sedangkan ulama Syafi’iyah membolehkannya sejauh tidak memudharatkan al-murtahin. Jumhur ulama selain Hanabilah juga berpendapat bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan barang gadai, kecuali bila rahin tidak mau membiayai barang gadai tsb. Maka boleh mengambil manfaat sekedar mengganti ongkos pembiayaan. Menurut ulama Hanabilah, murtahin boleh memanfaatkan barang gadai jika berupa kendaraan atau hewan, seperti boleh mengendarainya atau mengambil susunya sebagai pengganti pembiayaan. Menurut Syafi’iyah, bila barang gadai (marhun) hilang dibawah penguasaan murtahin, maka murtahin tidak wajib menggantinya, kecuali bila rusak atau hilangnya itu karena kelalaian murtahin. Berbeda dengan Hanafiah yang menyatakan bahwa murtahin yang memegang marhun menanggung resiko kerusakan atau kehilangan marhun, baik karena kelalaian maupun tidak. Perjanjian pada gadai (rahn) pada dasarnya adalah akad utang-piutang, hanya saja dalam gadai ada jaminannya. Apakah dalam gadai terdapat unsur riba? Bisa riba jika ada tiga kemungkinan: 1. Apabila dalam akad gadai ditentukan bahwa rahin (penggadai) harus memberikan tambahan kepada murtahin ketika membayar utangnya. 2. Apabila akad gadai ditentukan syarat-syarat, kemudian syarat tersebut dilaksanakan. 3. Apabila rahin tidak mampu membayar utangnya hingga waktu yang ditentukan, kemudian murtahin menjual marhun dengan tidak memberikan kelebihan harga marhun kepada rahin. Padahal utang rahin lebih kecil nilainya dari marhun.
Next Week Hukum Riba, Bank dan Asuransi

Presentasi Fiqh 9

  • 1.
    FIQH SYIRKAH MembahasTerminologi Syirkah, Dalil, Bentuk-bentuk Syirkah, Rukun dan Syarat Syirkah, Musyarakah dan Mudharabah, Terminologi dan hukum Ji’alah, ‘Ariyah, Rahn, Wakalah, Sulhu. Oleh: Hj. Marhamah Saleh, Lc. MA Presentasi Ke-9
  • 2.
    Definisi Syirkah (Kerjasama)Secara etimologi al-syirkah berarti al-ikhtilath (percampuran) dan persekutuan, yaitu percampuran antara sesuatu dengan yang lainnya, sehingga sulit dibedakan. Secara terminologi, menurut ulama Malikiah : إذن في التصرف لهما مع أنفسهما في مال لهما Izin untuk bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerjasama terhadap harta mereka. Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah : ثبوت الحق في شيئ لإثنين فأكثر على جهة الشيوع Penetapan hak bertindak hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka sepakati. Menurut ulama Hanafiah : عقد بين المتشاركين في رأس المال والربح Akad yang dilakukan oleh orang-orang yang bekerjasama dalam modal dan keuntungan. Kesimpulan: Syirkah adalah kerjasama antara dua orang atau lebih dalam sebuah usaha dengan konsekuensi keuntungan dan kerugiannya ditanggung secara bersama.
  • 3.
    Dasar Hukum (Dalil)Syirkah QS. Al-Nisa’: 12 فهم شركاء في الثلث … Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu QS. Shad: 24 وإن كثيرا من الخلطاء ليبغي بعضهم على بعض إلا الذين امنو وعملوا الصالحات Sesungguhnya kebanyakan dari orang yang berserikat itu sebagian dari mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang yang beriman dan beramal saleh. Hadis riwayat Abu Dawud, dari Abu Hurairah, Rasul Saw bersabda: أنا ثالث شريكين مالم يخن أحدهما صاحبه فإذا خانه خرجت من بينهما Aku jadi yang ketiga antara dua orang yang berserikat selama yang satu tidak khianat kepada yang lainnya, apabila yang satu berkhianat kepada pihak yang lain, maka keluarlah aku darinya
  • 4.
    Macam-Macam Syirkah SYIRKAHAMLAK ‘ UQUD JABARI IKHTI- YARI ‘ INAN MUFA- WADHAH ABDAN/ A’MAL WUJUH MUDHA- RABAH MUTH- LAQAH MUQA- YADAH
  • 5.
    Macam-macam Syirkah Syirkahal-amlak (perserikatan dalam pemilikan) Syirkah al-‘uqud (perserikatan berdasarkan suatu akad) SYIRKAH AL-AMLAK Menurut Sayyid Sabiq, syirkah al-amlak adalah bila lebih dari satu orang memiliki suatu jenis barang tanpa didahului aqad, baik bersifat ikhtiari atau jabari. Syirkah al-amlak terbagi dua : Ikhtiari (perserikatan yang dilandasi pilihan orang yang berserikat), yaitu perserikatan yang muncul akibat tindakan hukum orang yang berserikat, seperti dua orang sepakat membeli suatu barang, atau mereka menerima harta hibah secara berserikat. Maka barang atau harta tersebut menjadi harta serikat bagi mereka berdua. Jabari (perserikatan yang muncul secara paksa, bukan atas keinginan orang yang berserikat), seperti harta warisan, menjadi milik bersama orang-orang yang berhak menerima warisan. Status harta dalam syirkah al-amlak adalah sesuai hak masing-masing, bersifat mandiri secara hukum. Jika masing-masing ingin bertindak hukum terhadap harta serikat itu, harus ada izin dari mitranya. Hukum yang terkait dengan syirkah al-amlak dibahas secara luas dalam bab wasiat, waris, hibah dan wakaf.
  • 6.
    SYIRKAH AL-‘UQUD Akadyang disepakati dua orang atau lebih untuk mengikatkan diri dalam perserikatan modal dan keuntungannya. Syirkah al-‘uqud terbagi lima: 1. Syirkah al-‘inan ( شركة العنان ) , yaitu perserikatan dalam modal (harta) antara dua orang atau lebih, yang tidak harus sama jumlahnya . Keuntungan dan kerugian dibagi dua sesuai prosentase yang telah disepakati. Sedangkan kerugian menjadi tanggung jawab orang-orang yang berserikat sesuai dengan prosentase penyertaan modal/saham masing-masing. Para ulama sepakat, hukumnya boleh. 2. Syirkah Mufawadhah ( شركة المفاوضة ) , perserikatan dua orang atau lebih pada suatu obyek, dengan syarat masing-masing pihak memasukkan modal yang sama jumlahnya , serta melakukan tindakan hukum (kerja) yang sama pula. Jika mendapat keuntungan dibagi rata, dan jika berbeda tidak sah. Masing-masing pihak hanya boleh melakukan transaksi jika mendapat persetujuan dari pihak lain (sebagai wakilnya), jika tidak, maka transaksi itu tidak sah. Ulama Hanafiah dan Zaidiyah menyatakan bentuk perserikatan seperti ini dibolehkan. Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menyatakan tidak boleh, karena sulit untuk menentukan prinsip kesamaan modal, kerja dan keuntungan dalam perserikatan itu, disamping tidak ada satu dalilpun yang shahih yang bisa dijadikan dasar hukum. Tetapi mereka membolehkan Mufawadhah seperti pandangan Malikiyah, yaitu boleh mufawadhah jika masing-masing pihak yang berserikat dapat bertindak hukum secara mutlak dan mandiri terhadap modal kerja, tanpa minta izin dan musyawarah dengan mitra serikatnya.
  • 7.
    3. Syirkah Abdan/A’mal( شركو الأعمال ) , perserikatan yang dilakukan oleh dua pihak untuk menerima suatu pekerjaan, seperti kerjasama seprofesi antara dua orang arsitek atau tukang kayu dan pandai besi untuk menggarap sebuah proyek. Hasil atau imbalan yang diterima dibagi bersama sesuai kesepakatan. Menurut ulama Malikiyah, Hanafiyah, Hanabilah dan Zaidiyah hukumnya boleh. Ulama Malikiyah mengajukan syarat, yaitu bahwa kerja yang dilakukan harus sejenis, satu tempat, serta hasil yang diperoleh dibagi menurut kuantitas kerja masing-masing. Menurut ulama Syafi’iyah, Syi’ah Imamiyah, perserikatan seperti ini hukumnya tidak sah, karena yang menjadi obyek perserikatan adalah harta/modal, bukan kerja, disamping pula, kerja seperti ini tidak dapat diukur, sehingga dapat menimbulkan penipuan yang membawa kepada perselisihan. Syirkah Wujuh ( شركة الوجوه ) , serikat yang dilakukan dua orang atau lebih yang tidak punya modal sama sekali, dan mereka melakukan suatu pembelian dengan kredit serta menjualnya dengan harga tunai; sedangkan keuntungannya dibagi bersama. Mirip seperti kerja makelar barang, bukan makelar kasus (markus). Ulama Hanafiah, Hanabilah dan Zaidiyah menyatakan hukumnya boleh, karena masing-masing pihak bertindak sebagai wakil dari pihak lain, sehingga pihak lain itupun terikat pada transaksi yang dilakukan mitra serikatnya. Sedangkan ulama Malikiyah, Syafi’iyah menyatakan tidak sah dan tidak dibolehkan, karena modal dan kerja dalam perserikatan ini tidak jelas. 5. Syirkah al-Mudharabah ( شركة المضاربة ) , persetujuan antara pemilik modal dengan pengelola untuk mengelola uang dalam bentuk usaha tertentu, keuntungannya dibagi sesuai kesepakatan bersama, sedangkan kerugian menjadi tanggungan pemilik modal saja.
  • 8.
    Hikmah Syirkah Manusiatidak dapat hidup sendirian, pasti membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhan. Ajaran Islam mengajarkan agar kita menjalin kerjasama dengan siapapun terutama dalam bidang ekonomi dengan prinsip saling tolong-menolong dan saling menguntungkan (mutualisme), tidak menipu dan tidak merugikan. Tanpa kerjasama maka kita sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup. Syirkah pada hakikatnya adalah sebuah kerjasama saling menguntungkan dalam mengembangkan potensi yang dimiliki baik berupa harta atau pekerjaan. Oleh karena itu Islam menganjurkan umatnya untuk bekerja sama sesuai prinsip di atas. Hikmahnya adalah adanya saling tolong-menolong, saling membantu dalam kebaikan, menjauhi sifat egoisme, menumbuhkan saling percaya, menyadari kelemahan dan kekurangan, dan menimbulkan keberkahan dalam usaha jika tidak berkhianat. QS. Al-Maidah: 2 وتعاونوا على البر والتقوى ... 5a. MUDHARABAH MUTHLAQAH : Mudharabah untuk kegiatan usaha yang cakupannya tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis sesuai permintaan pemilik dana. 5b. MUDHARABAH MUQAYYADAH : Mudaharabah untuk kegiatan usaha yang cakupannya dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis sesuai permintaan pemilik dana.
  • 9.
    Rukun dan SyaratSyirkah RUKUN Syirkah adalah sesuatu yang harus ada ketika syirkah itu berlangsung. Menurut ulama Hanafiah , rukun syirkah hanya ijab dan qabul atau serah terima. Sedangkan orang yang berakad dan obyek akad bukan termasuk rukun, tapi syarat . Menurut jumhur ulama , rukun syirkah meliputi shighat (lafaz) ijab dan qabul, kedua orang yang berakad, dan obyek akad. SYARAT Syirkah merupakan perkara penting yang harus ada sebelum dilaksanakan syirkah. Jika syarat tidak terwujud, maka akad syirkah batal. Syarat-syarat umum syirkah (termasuk untuk syirkah ‘inan dan wujuh ): Syirkah itu merupakan transaksi yang boleh diwakilkan, artinya salah satu pihak jika bertindak hukum terhadap obyek syirkah itu, dengan izin pihak lain, dianggap sebagai wakil seluruh pihak yang berserikat. Juga, anggota serikat saling mempercayai. Prosentase pembagian keuntungan untuk masing-masing pihak yang berserikat dijelaskan ketika akad berlangsung. Keuntungan diambil dari hasil laba harta perserikatan, bukan dari harta lain. Syarat khusus dalam syirkah al-’uqud : modal perserikatan itu jelas dan tunai, bukan berbentuk utang dan bukan pula berbentuk barang. Syarat khusus untuk syirkah al-mufawadhah , menurut ulama Hanafiah: Kedua belah pihak cakap dijadikan wakil. Modal yang diberikan masing-masing pihak harus sama, kerja yang dilakukan juga sama, keuntungan yang diterima semua pihak kuantitasnya juga harus sama. Semua pihak berhak untuk bertindak hukum dalam seluruh obyek perserikatan itu. Lafaz yang digunakan dalam akad adalah lafaz al-mufawadhah. Jika salah satu syarat tidak terpenuhi, maka akadnya tidak sah, dan berubah menjadi syirkah al-’inan.
  • 10.
    Musyarakah Istilah Musyarakahberkonotasi lebih terbatas daripada istilah syirkah. Istilah ini tidak banyak digunakan dalam fiqh, tetapi sering dipakai dalam skim pembiayaan syariah. Musyarakah merupakan akad bagi hasil ketika dua atau lebih pengusaha pemilik dana/modal bekerjasama sebagai mitra usaha, membiayai investasi usaha baru atau yang sudah berjalan. Mitra usaha pemilik modal berhak ikut serta dalam manajemen perusahaan, tetapi itu tidak merupakan keharusan. Para pihak dapat membagi pekerjaan mengelola usaha sesuai kesepakatan, dan mereka juga dapat meminta gaji untuk tenaga dan keahlian yang mereka curahkan untuk usaha tersebut. Proporsi keuntungan dibagi menurut kesepakatan yang ditentukan sebelumnya dalam akad, sesuai proporsi modal yang disertakan (pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i), atau dapat pula berbeda dari proporsi modal yang mereka sertakan (pendapat Imam Ahmad). Sementara Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa proporsi keuntungan dapat berbeda dari proporsi modal pada kondisi normal. Namun demikian, mitra yang memutuskan menjadi sleeping partner (pasif), proporsi keuntungannya tidak boleh melebihi proporsi modal. Jika terjadi kerugian, maka ditanggung bersama sesuai dengan proporsi penyertaan modal masing-masing. Kesimpulan: Dalam musyarakah, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan para pihak, sedangkan kerugian ditanggung bersama sesuai dengan proporsi penyertaan modal masing-masing pihak.
  • 11.
    PROYEK (Kegiatan Usaha)MITRA USAHA Akad Musyarakah MODAL Modal & Skill Bagian Keuntungan X Keuntungan (Bagi hasil keuntungan sesuai porsi kontribusi modal/nisbah) Bagian Keuntungan Y Bagian Modal X Bagian Modal Y MITRA USAHA Modal & Skill SKEMA MUSYARAKAH
  • 12.
    Mudharabah Yaitu akadbagi hasil ketika pemilik dana (pemodal/shahibul mal/rabbul mal) menyediakan modal 100% kepada pengusaha sebagai pengelola (mudharib), untuk melakukan aktivitas produktif dengan syarat bahwa keuntungan yang dihasilkan akan dibagi bersama menurut kesepakatan yang ditentukan sebelumnya dalam akad (misal 60:40). Pemilik dana hanya menyediakan modal dan tidak ikut campur dalam manajemen usaha yang dibiayainya. Pengelola tidak ikut menyertakan modal, tetapi memberikan konstribusi tenaga dan keahliannya. Jika terjadi kerugian karena proses normal dari usaha, dan bukan karena kelalaian atau kecurangan pengelola (mudharib), maka kerugian modal ditanggung sepenuhnya oleh pemodal (shahibul mal), sedangkan pengelola telah kehilangan tenaga, pikiran dan keahlian yang telah dicurahkan saat menjalankan usaha. Jika kerugian itu disebabkan kelalaian atau kecurangan pengelola, maka pengelola bertanggung jawab sepenuhnya. Ulama Hanabilah menganggap mudharabah termasuk salah satu bentuk syirkah/perserikatan. Tapi jumhur ulama (Hanafiah, Malikiyah, Syafi’iyah, Zaidiyah, Imamiyah) tidak memasukkan mudharabah sebagai salah satu bentuk syirkah. Karena mudharabah menurut jumhur merupakan akad tersendiri.
  • 13.
    Kegiatan Usaha PEMODAL(SHAHIBUL MAL) Akad MUDHARABAH MODAL / Kerugian SOFT SKILL MODAL 100% Bagian Keuntungan X Keuntungan Bagian Keuntungan Y Modal 100% PENGUSAHA (MUDHARIB) SKEMA MUDHARABAH
  • 14.
    Ji’alah (Mengupah) Secarabahasa, ji’alah artinya mengupah. Secara syara’: عقد على منفعة يظن حصوله Akad untuk mendapatkan materi (upah) yang diduga kuat dapat diperoleh. Ji’alah adalah memberi upah kepada orang lain yang telah berjasa mengembalikan sesuatu yang berharga seperti menemukan barangnya yang hilang atau mengobati orang sakit. Bagi seseorang yang kehilangan sesuatu yang berharga tentu akan berupaya menemukan kembali barang yang hilang, misalnya lewat pengumuman di media massa, radio, pamflet, dsb. Pengumuman ini biasanya dibarengi dengan imbalan jasa bagi penemunya sebagai daya tarik. Hukum Ji’alah atau ja’alah adalah mubah. Hal ini didasari karena ji’alah diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, karena seseorang tidak mampu memenuhi semua pekerjaan dan keinginannya kecuali jika ia memberikan upah kepada orang lain untuk membantunya. Dalil ji’alah , QS. Yusuf: 72. Para penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya." Ji’alah bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama, bisa ditentukan orangnya misalnya si A. Kedua, bisa secara umum siapa saja yang diberi pekerjaan mencari barang.
  • 15.
    Rukun, Pembatalan, HikmahJi’alah Ji’alah dinyatakan sah jika memenuhi rukunnya , yaitu: Lafaz, mengandung arti izin kepada yg akan bekerja. Jika mengerjakan ji’alah tanpa izin orang yang menyuruh (yang punya barang), maka baginya tidak berhak memperoleh imbalan jika barang itu ditemukan. Orang yang menjanjikan memberikan upah. Pekerjaan (mencari barang yang hilang). Upah (harus jelas), ditentukan sebelum melaksanakan pekerjaan. Pembatalan ji’alah dapat dilakukan oleh kedua belah pihak sebelum bekerja. Pembatalan yang datang dari orang yang bekerja, maka ia tidak mendapat upah sekalipun ia sudah bekerja. Sedangkan pembatalan dari pihak yang menjanjikan upah, maka yang bekerja berhak menuntut upah sebanyak pekerjaan yang sudah dilakukan. Hikmah Ji’alah: Dengan ji’alah dapat memperkuat persaudaraan dan persahabatan, menanamkan sikap saling menghargai dan akhirnya tercipta sebuah komunitas yang saling tolong-menolong dan bahu-membahu. Dengan ji’alah akan terbangun sebuah semangat dalam melakukan sesuatu bagi para pekerja. Terkait ji’alah sebagai sebuah pekerjaan yang baik, Islam menjanjikan balasan kebaikan pula. QS. Al-Zalzalah: 7.
  • 16.
    Al-Shulhu (Perdamaian) Secarabahasa الصلح berarti قطع النزاع artinya memutus perselisihan Secara istilah syara’, dalam kitab Kifayat al-Akhyar العقد الذي ينقطع به خصومة المتخاصمين Akad yang memutuskan perselisihan dua pihak yang bertengkar (berselisih). عقد يتفق فيه المتنازعان في حق على مايرتفع به النزاع Akad yang disepakati dua orang yang bertengkar dalam hak untuk melaksanakan sesuatu, dengan akad itu dapat hilang perselisihan. Kesimpulan: al-Shulh adalah akad yang bertujuan untuk mengakhiri perselisihan atau persengketaan. Dasar Hukum al-Shulh: QS. Al-Hujurat: 9, al-Nisa’: 114 dan 128. - وإن طائفتان من المؤمنين اقتتلو فأصلحو بينهما - لاخير في كثير من نجواهم إلا من أمر بصدقة او معروف او إصلاح بين الناس - والصلح خير Hadis riwayat Ibnu Hibban dan Tirmizi dari Umar bin ‘Auf al-Muzanni الصلح جائز بين المسلمين إلا صلحا حرم حلالا او أحل حراما والمسلمون على شروطهم إلا شرطا حرم حلالا او أحل حراما Perdamaian dibolehkan di kalangan muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan yang haram. Dan orang-orang Islam (yang mengadakan perdamaian itu) bergantung pada syarat-syarat mereka (yang telah disepakati), selain syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.
  • 17.
    Rukun dan SyaratShulhu RUKUN SHULHU: Mushalih , yaitu dua belah pihak yang melakukan akad shulhu untuk mengakhiri pertengkaran atau perselisihan. Mushalih ‘anhu , yaitu persoalan yang diperselisihkan. Mushalih bih , sesuatu yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap lawannya untuk memutuskan perselisihan. Disebut badal al-shulh . Shighat ijab qabul. Jika akad telah diikrarkan, maka konsekuensinya kedua belah pihak harus melaksanakannya. Masing-masing pihak tidak dibenarkan mengundurkan diri dengan jalan memfasakhnya, kecuali disepakati oleh kedua belah pihak. SYARAT-SYARAT SHULHU: Syarat yang berhubungan dengan mushalih (orang yang berdamai) yaitu disyaratkan mereka adalah orang yang tindakannya dinyatakan sah secara hukum (bukan anak kecil, orang gila, dsb.) Syarat yg berhubungan dengan mushalih bih: (a) berbentuk harta yang dapat dinilai, dapat diserahterimakan, berguna. (b) Diketahui secara jelas sehingga tidak ada kesamaran yang menimbulkan perselisihan. Syarat yang berhubungan dengan mushalih ‘anhu, yaitu sesuatu yang diperkarakan termasuk hak manusia yang boleh di ‘iwadh-kan (diganti). Jika berkaitan dengan hak-hak Allah maka tidak dapat bershulhu.
  • 18.
    Macam dan HikmahShulhu Menurut Syafi’iyah, shulhu (perdamaian) terbagi menjadi empat: Perdamaian antara muslim dengan kafir, yaitu membuat perjanjian gencatan senjata dalam masa tertentu. Perdamaian antara kepala negara dengan pemberontak Perdamaian antara suami isteri, yaitu membuat perjanjian dan aturan tentang pembagian nafkah, masalah durhaka, serta dalam masalah menyerahkan haknya kepada suami manakala terjadi perselisihan. Perdamaian dalam muamalat, seperti hutang-piutang. Dilihat dari cara melakukannya, shulhu terbagi tiga: Shulhu dengan ikrar, yaitu shulhu yang dicapai melalui ikrar. Shulhu dengan ingkar, perdamaian yang dicapai melalui cara menolak. Shulhu dengan sukut (diam), perdamaian yang dicapai dengan diam. Dilihat dari segi keabsahannya, shulhu dapat dibagi dua: Shulhu Ibra’, yaitu melepaskan sebagian dari apa yang menjadi haknya. Shulhu Ibra’ ini tidak terikat oleh syarat. Shulhu muawadah, yaitu berpalingnya seseorang dari haknya kepada orang lain. Hukum yang berlaku pada shulhu ini adalah hukum jual beli. HIKMAH SHULHU: Shulhu merupakan cara yang terpuji untuk menyelesaikan permasalahan. Allah dan rasulNya memerintahkan untuk berdamai jika terjadi perselisihan. Melalui perdamaian semua pihak akan merasa puas, hilang rasa dendam dan sikap egois. Dalam perdamaian tidak ada istilah kalah dan menang. Semuanya menjadi pihak yang berpegang kepada kebenaran yang ditetapkan oleh Allah dan Rasulnya. Dengan Shulhu akan terjaga rasa kasih sayang, menjauhkan perpecahan.
  • 19.
    Wakalah (Perwakilan) Secarabahasa, al-wakalah atau al-wikalah berarti al-tafwidh (penyerahan, pendelegasian dan pemberian mandat). Secara terminologi, dalam kitab kifayat al-akhyar: تفويض ما له فعله مما يقبل النيابة الى غيره ليحفظه في حال حياته Menyerahkan suatu pekerjaan yang dapat digantikan kepada orang lain agar dikelola dan dijaga pada masa hidupnya Wakalah adalah akad (suatu transaksi) dimana seseorang menunjuk orang lain untuk menggantikan dalam mengerjakan pekerjaannya/perkaranya ketika masih hidup. Landasan Hukum Wakalah: QS. Al-Kahfi: 19, QS. Al-Nisa’: 35 فابعثوا أحدكم بورقكم هذه إلى المدينة Maka suruhlah salah seorang diantara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini. فابعثو حكما من أهله وحكما من أهلها Maka kirimlah seorang utusan dari keluarga laki-laki dan hakam dari keluarga wanita. عن جابر رضي الله عنه قال أردت الخروج إلى خيبر فأتيت النبي صم فقال إذا أتيت وكيلي بخيبر فخذ منه خمسة عشر وسقا ( رواه ابو داود ( Dari jabir Ra. Berkata: Aku pergi ke Khaibar, lalu aku datang kepada Rasulullah SAW, maka beliau bersabda, “Bila engkau datang pada wakilku di Khaibar, maka ambillah darinya 15 wasaq.
  • 20.
    Rukun dan SyaratWakalah Muwakkil , orang yang mewakilkan. Syaratnya: dia berstatus sebagai pemilik urusan/benda dan menguasainya serta dapat bertindak terhadap harta tersebut dengan dirinya sendiri. Wakil , orang yang mewakili. Syaratnya adalah orang berakal. Menurut Hanafiah, anak kecil yang mumayyiz (dapat membedakan baik dan buruk) sah menjadi wakil. Muwakkal fih, sesuatu yang diwakilan. Syaratnya: - Pekerjaan/urusan itu dapat diwakilkan atau digantikan oleh orang lain. - Pekerjaan itu dimiliki oleh muwakkil sewaktu akad wakalah, makanya tidak sah berwakil menjual sesuatu yang belum dimilikinya. - Pekerjaan itu diketahui secara jelas. Shighat, hendaknya berupa lafaz yang menunjukkan arti mewakilkan. Dalam sighat, qabul si wakil tidak disyaratkan, artinya seandainya si wakil tidak mengucapkan qabul tetap dianggap sah. Pekerjaan yang boleh diwakilkan adalah semua pekerjaan yang dapat diakadkan oleh dirinya sendiri, artinya secara hukum pekerjaan itu dapat gugur jika digantikan. Misal, mewakilkan orang lain untuk menjual atau membeli.
  • 21.
    Hikmah Wakalah Padahakikatnya wakalah adalah pemberian dan pemeliharaan amanat. Oleh karena itu baik muwakkil (orang yang mewakilkan) dan wakil (orang yang mewakili) yang sudah melakukan kerjasama kontrak wajib untuk menjalankan hak dan kewajibannya, saling percaya dan menghilangkan sifat curiga dan berburuk sangka. Di sisi lain dalam wakalah terdapat pembagian tugas, karena tidak semua orang memiliki kesempatan menjalankan pekerjaannya sendiri. Dengan mewakilkan kepada orang lain maka muncullah sikap saling tolong-menolong dan memberikan pekerjaan bagi orang lain. Muwakkil akan terbantu dalam menjalankan pekerjaannya, sedangkan wakil tidak kehilangan pekerjaannya disamping mendapat imbalan sewajarnya. BERAKHIRNYA WAKALAH , dikarenakan salah satu sebab berikut: Matinya salah seorang dari yang berakad Salah satunya gila Pekerjaan yang dimaksud dihentikan Pemutusan oleh muwakkil terhadap wakil meskipun wakil tidak mengetahui (menurut Syafi’i dan Hambali), tapi menurut Hanafi wakil wajib tahu Wakil memutuskan sendiri Keluarnya orang yang mewakilkan (muwakkil) dari status pemilikan.
  • 22.
    ‘ Ariyah (Pinjaman)Secara etimologi, ‘ ariyah diambil dari kata ‘ âra yang berarti datang dan pergi. Sebagian pendapat mengatakan ‘ariyah dari al-ta’ âwuru yang sama artinya dengan al-tanâwulu dan al-tanâsubu yang berarti aling menukar dan mengganti dalam konteks pinjam-meminjam. Secara terminologi, menurut Malikiyah ‘ariyah تمليك المنفعة بغير عوض (pemilikan atas manfaat suatu barang tanpa adanya imbalan). Sedangkan menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, إباحة المنفعة بلا عوض (pembolehan mengambil manfaat suatu barang tanpa ada imbalan). ‘ Ariyah adalah seorang pemilik barang membolehkan orang lain memanfaatkan barang itu tanpa ada imbalan. ‘ Ariyah berbeda dengan hibah, karena ‘ariyah dimaksudkan hanya untuk mengambil manfaat dari suatu barang, sedangkan hibah mengambil zat dan manfaat sekaligus. ‘Ariyah berbeda pula dengan ijarah (sewa), sebab pada ijarah barang yang dimanfaatkan itu harus diganti dengan imbalan tertentu, sedangkan ‘ariyah tidak. Hukum ‘ariyah mubah, bahkan sangat dianjurkan. QS. Al-Maidah: 2 “ Dan bertolong-tolonglah kalian dalam kebajikan dan takwa." ان رسول الله ص م استعار فرسا من ابي طلحة فركبه ( رواه البخاري ومسلم ( Rasulullah Saw meminjam kuda Abi Thalhah dan mengendarainya
  • 23.
    Rukun dan Syarat‘AriyahRukun ‘Ariyah: Mu’ir (orang yang meminjamkan) Musta’ir (orang yang meminjam) Mu’ar (barang yang dipinjam) Sighat ‘ariyah (lafaz pinjaman) Syarat-syarat ‘Ariyah: Orang yang meminjam adalah orang yang berakal sehat dan cakap dalam bertindak hukum. Barang yang dipinjam bukan jenis barang yang apabila dimanfaatkan akan habis atau musnah, seperti makanan. Barang yang dipinjamkan harus secara langsung dapat dikuasai oleh peminjam, artinya dalam akad ‘ariyah pihak peminjam harus menerima langsung barang itu dan dapat dimanfaatkan secara langsung pula. Manfaat barang yang dipinjam itu termasuk manfaat yang mubah atau dibolehkan oleh syara’, misalnya pinjam motor untuk ke mesjid, bukan untuk jualan narkoba. Menurut Hanafiah, ‘ariyah di tangan peminjam bersifat amanah. Oleh karena itu peminjam tidak dikenakan beban ganti rugi terhadap kerusakan barang yang bukan disebabkan oleh perbuatannya atau kelalaiannya dalam memanfaatkan barang tersebut. Tapi jika kerusakan itu disengaja, maka ia wajib dikenakan ganti rugi.
  • 24.
    Etika dan Tatakrama‘Ariyah Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak disertai niat akan membayarnya. Pihak yang berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak yang berhutang. Jika yang meminjam belum mampu mengembalikan, hendaknya diberikan waktu penundaan untuk membayarnya. Dan jika yang meminjam betul-betul tidak mampu mengembalikan, maka yang meminjamkan sebaiknya membebaskannya (diikhlaskan). Demi terjaganya hubungan baik, hendaknya hutang-piutang perlu diperkuat dengan tulisan dari kedua belah pihak, dengan disaksikan dua orang saksi laki-laki atau satu saksi laki plus dua saksi wanita. Ketika mengembalikan utang atau pinjaman hendaknya sesuai dengan kualitas dan kuantitas barang yang dipinjam, bahkan jika mungkin peminjam mengembalikan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik sebagai ungkapan terima kasih. Pihak yang berhutang bila sudah mampu membayar pinjaman hendaklah mempercepat pembayaran.
  • 25.
    Rahn (Gadai) Secaraetimologi, al-rahn berarti al-tsubut wa al-dawam , artinya tetap dan kekal. Atau al-habsu wa al-luzumu , artinya pengekangan dan keharusan. Bisa pula berarti jaminan. Secara terminologi, menurut ulama Malikiyah شيئ متمول يؤخذ من مالكه توثقا به في دين لازم Harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat. Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah: جعل عين وثيقة بدين يستوفي منها عند تعذر وفائه Menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapay dijadikan pembayar utang jika orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya. Hukum meminta jaminan itu mubah. Dasar Hukum Rahn: QS. Al-Baqarah: 283. وان كنتم على سفر ولم تجدو كاتبا فرهان مقبوضة Apabila kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). أن رسول الله ص م اشترى من يهودي طعاما رهنه درعا من حديد ( رواه البخاري ومسلم ( Rasulullah Saw membeli makanan dari seorang Yahudi dengan menjadikan baju besinya sebagai barang jaminan.
  • 26.
    Rukun dan SyaratRahn Orang yang berakad rahn, yaitu al-Rahin (orang yang menggadaikan) dan al-Murtahin (orang yang menerima gadai). Syaratnya cakap bertindak hukum, baligh dan berakal sehat. Sighat (lafaz ijab dan qabul). Lafaz dalam sighat tidak boleh dikaitkan oleh syarat tertentu. Utang (al-marhun bih) . Syarat: (a) Merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada pemberi utang. (b) Utang boleh dilunasi dengan jaminan. (c) Utang itu jelas dan tertentu. Harta yang dijadikan jaminan (al-marhun) . Syarat: (a) barang jaminan itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan utang. (b) barang jaminan itu berharga dan boleh dimanfaatkan. (c) barang jaminan itu jelas dan tertentu. (d) barang jaminan itu milik sah orang yang berutang. (e) barang jaminan itu tidak terkait dengan hak orang lain. (f) barang jaminan itu merupakan harta utuh. (g) barang jaminan itu boleh diserahkan baik materinya maupun manfaatnya. Sedangkan ulama Hanafiah berpendapat bahwa rukun rahn hanya ijab dan qabul. Disamping itu, untuk sempurna dan mengikatnya akad rahn, maka diperlukan adanya penguasaan barang oleh pemberi utang. Sedangkan lainnya menurut Hanafiah termasuk syarat, bukan rukun.
  • 27.
    Hukum-hukum Rahn Pemanfaatanbarang gadai oleh al-rahin menurut jumhur ulama selain Syafi’iyah melarang al-Rahin untuk memanfaatkan barang gadai atau jaminan. Sedangkan ulama Syafi’iyah membolehkannya sejauh tidak memudharatkan al-murtahin. Jumhur ulama selain Hanabilah juga berpendapat bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan barang gadai, kecuali bila rahin tidak mau membiayai barang gadai tsb. Maka boleh mengambil manfaat sekedar mengganti ongkos pembiayaan. Menurut ulama Hanabilah, murtahin boleh memanfaatkan barang gadai jika berupa kendaraan atau hewan, seperti boleh mengendarainya atau mengambil susunya sebagai pengganti pembiayaan. Menurut Syafi’iyah, bila barang gadai (marhun) hilang dibawah penguasaan murtahin, maka murtahin tidak wajib menggantinya, kecuali bila rusak atau hilangnya itu karena kelalaian murtahin. Berbeda dengan Hanafiah yang menyatakan bahwa murtahin yang memegang marhun menanggung resiko kerusakan atau kehilangan marhun, baik karena kelalaian maupun tidak. Perjanjian pada gadai (rahn) pada dasarnya adalah akad utang-piutang, hanya saja dalam gadai ada jaminannya. Apakah dalam gadai terdapat unsur riba? Bisa riba jika ada tiga kemungkinan: 1. Apabila dalam akad gadai ditentukan bahwa rahin (penggadai) harus memberikan tambahan kepada murtahin ketika membayar utangnya. 2. Apabila akad gadai ditentukan syarat-syarat, kemudian syarat tersebut dilaksanakan. 3. Apabila rahin tidak mampu membayar utangnya hingga waktu yang ditentukan, kemudian murtahin menjual marhun dengan tidak memberikan kelebihan harga marhun kepada rahin. Padahal utang rahin lebih kecil nilainya dari marhun.
  • 28.
    Next Week HukumRiba, Bank dan Asuransi