SlideShare a Scribd company logo
i
KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT
DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA
DIREKTORAT BINA PENATAAN BANGUNAN
i
Daftar Isi
Daftar Isi ........................................................................i
Pendahuluan ................................................................1
1. Signifikansi Visi Kota Berkelanjutan......................9
A. Sustainable Development Goals (SDGs) atau
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) ........10
B. New Urban Agenda (NUA)..........................................14
C. Nationally Determined Contribution (NDC)
Indonesia .........................................................................22
2. Tantangan Perkotaan Indonesia ..........................25
3. Perwujudan Kota Hijau Di Indonesia...................29
A. Konsep Kota Hijau........................................................30
B. Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) ......31
C. Atribut Kota Hijau..........................................................32
D. Dampak Program Pengembangan Kota Hijau
(P2KH) ...............................................................................34
E. Evaluasi Program Pengembangan Kota Hijau
(P2KH) ...............................................................................38
F. Capaian Perwujudan Kota Hijau...............................43
ii
i. Perencanaan dan Perancangan Kota yang
Ramah Lingkungan (Green Planning & Design)44
ii. Peningkatan Kuantitas dan Kualitas Ruang
Terbuka Hijau (Green Open Space)..................... 44
iii. Keaktifan Komunitas Peduli Lingkungan dan
Sosial Budaya Kota (Green Community)........... 46
iv. Pengelolaan Sampah yang Berkelanjutan
(Green Waste) ............................................................. 47
v. Pengelolaan Sumber Daya Air dan Efisiensi
Penggunaan Air (Green Water)............................ 48
vi. Efisiensi Penggunaan Energi dan Pemanfaatan
Energi Terbarukan (Green Energy)...................... 48
vii.Pengembangan Transportasi Rendah Emisi
(Green Transportation)............................................. 48
viii. Pembangunan dan Pengelolaan Bangunan
Ramah Lingkungan (Green Building) ................. 49
4. Indikator Kota Hijau ............................................ 51
A. Kota Hijau dalam Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (TPB) di Indonesia............................52
B. Kota Hijau dalam Rencana Pembangunan
Nasional............................................................................60
C. Kota Hijau dalam Penilaian Kinerja Pemerintah
Daerah...............................................................................63
5. Keselarasan Visi Kota Hijau.................................. 67
A. Kota Layak Huni .............................................................68
iii
B. Kota Cerdas......................................................................69
C. Kota Tangguh .................................................................71
D. Kota Sehat........................................................................74
E. Kota Layak Anak.............................................................75
F. Kota Tanpa Kumuh........................................................76
G. Program Kampung Iklim (Proklim).........................77
H. Program Energi Terbarukan dan Konservasi
Energi ................................................................................79
6. Peranan Pemangku Kepentingan Dalam
Perwujudan Kota Hijau.........................................83
A. Pemerintah Kota/Kabupaten.....................................85
B.Komunitas..........................................................................87
C. Swasta................................................................................88
D. Akademisi atau Perguruan Tinggi...........................88
E. Pemerintah Pusat (Kementerian/ Lembaga)........89
F. Pemerintah Provinsi ......................................................90
7. Akselerasi Perwujudan Kota Hijau.......................91
A. Komitmen Pemangku Kepentingan Kota.............92
B. Regulasi.............................................................................94
C. Sosialisasi Pengetahuan........................................... 117
D. Penggalangan Sumber Daya ................................. 122
8. Cerita Perwujudan Kota Hijau ........................... 123
Kota Malang, Provinsi Jawa Timur ............................ 124
iv
Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur ......................... 140
Kota Sabang, Provinsi Aceh......................................... 166
Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta.................................................................... 170
Kota Batu, Provinsi Jawa Timur................................... 182
Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah............... 188
Provinsi DKI Jakarta......................................................... 194
1
Pendahuluan
Dalam rangka mewujudkan kota/kawasan
perkotaan yang berkelanjutan di Indonesia,
Undang-Undang No. 26/2007 tentang
Penataan Ruang (UUPR) antara lain telah
mengamanatkan secara tegas bahwa 30%
dari wilayah kota/kawasan perkotaan harus
berwujud Ruang Terbuka Hijau (RTH),
dengan komposisi 20% RTH publik dan
10% RTH privat. Amanat RTH 30% tersebut
merupakan kewajiban yang harus dipenuhi
oleh Pemerintah Kota/Kabupaten yang
termuat dalam Peraturan Daerah (Perda)
tentang RTRW Kota/Kabupaten.
Pada tahun 2011, Program Pengembangan
Kota Hijau (P2KH) dirintis oleh Kementerian
Pekerjaan Umum (PUPR) -Direktorat
Jenderal Penataan Ruang- sebagai salah
satu bentuk insentif program dari
Pemerintah Pusat agar Pemerintah
Kota/Kabupaten bersama-sama dengan
Pemerintah Provinsi dengan dukungan
komunitas kota dapat mempercepat
pemenuhan ketetapan UUPR tentang RTH
Publik, sekaligus menjawab tantangan
perubahan iklim di Indonesia.
Sampai tahun 2017, sebanyak 174
kota/kabupaten di 31 Provinsi telah
menjadi peserta P2KH yang melakukan
berbagai langkah nyata perwujudan Kota
Hijau. Selama penyelenggaraan P2KH,
banyak pembelajaran yang dirasakan oleh
penyelenggara program yakni Kementerian
PUPR (Ditjen Cipta Karya yang mengampu
P2KH sejak tahun 2015), maupun
kota/kabupaten peserta program. Namun,
belum ada satu publikasi pun yang
merekam pencapaian, dampak, maupun
evaluasi penyelenggaraan P2KH.
2
P2KH tidak sekedar membawa jargon “Kota
Hijau”, melainkan sebagai konsep yang
sejalan pada prinsip-prinsip pembangunan
perkotaan berkelanjutan. Oleh karenanya,
selain merekam bagian dari
penyelenggaraan P2KH, Buku “Manajemen
Pengetahuan Kota Hijau” ini juga memotret
upaya Kota/Kabupaten dalam menjalankan
visi kota berkelanjutan, yang dilengkapi
dengan beragam tantangan dalam
mewujudkan pembangunan berkelanjutan
di Indonesia.
Buku ini diharapkan dapat menambah
publikasi tentang perwujudan
pembangunan perkotaan berkelanjutan di
Indonesia dan menjadi bahan rujukan bagi
pemangku kepentingan perkotaan dalam
merumuskan kebijakan, strategi, program,
maupun kegiatan yang selaras dengan visi
kota berkelanjutan. Apalagi tujuan global
terhadap isu kota berkelanjutan semakin
menguat dengan adanya Sustainable
Development Goals (SDSs) atau Tujuan
Pembangunan Perkelanjutan (TPB), New
Urban Agenda (NUA), dan Kesepakatan
Paris tentang Perubahan Iklim yang
mendorong ditetapkannya target
Nationally Determined Contribution (NDC)
Indonesia.
Penyusunan “Manajemen Pengetahuan
Kota Hijau” dilakukan melalui 3 metode.
Pertama, Focus Group Discussion (FGD)
yang dilakukan pada 2 target dengan
penyelenggaraan metode yang berbeda,
yakni antar kementerian/Lembaga/instansi
di level nasional yang berkecimpung dalam
isu kota berkelanjutan, dan kota/kabupaten
peserta P2KH. Kedua, melakukan survei ke
beberapa kota/kabupaten untuk mencari
data dari narasumber pemangku
kepentingan kota (terutama OPD-OPD
terkait perwujudan kota hijau). Ketiga,
kompilasi data-data sekunder untuk
melengkapi penulisan. Tahap selanjutnya,
adalah mensintesakan hasil FGD, survei
kota/kabupaten, dan kompilasi data
sekunder ke dalam bentuk buku
pengetahuan yang kiranya bermanfaat bagi
pemangku kepentingan yang terkait pada
isu perwujudan kota hijau.
3
Buku “Manajemen Pengetahuan Kota
Hijau” disusun untuk dapat dimanfaatkan
setidaknya 4 (empat) jenis pemangku
kepentingan, yakni Pemerintah
Kota/Kabupaten, Komunitas
Kota/Kabupaten, Akademisi, dan
Kementerian/Lembaga/Instansi di tingkat
nasional. Pengetahuan pentingnya Kota
Hijau yang menjadi inti dari buku ini
ditujukan bagi Pemerintah Kota/Kabupaten
dan Komunitas agar mereka dapat
memahami bahwa Kota Hijau merupakan
konsep yang harus diterapkan di
Kota/Kabupaten. Kemudian, Pemerintah
Kota/Kabupaten mendapatkan petunjuk
mengatasi hambatan & tantangan dalam
perwujudan kota hijau, disertai informasi
strategi pencapaian maupun inspirasi
program dan kegiatan dari berbagai
kota/kabupaten lainnya. Sementara,
Komunitas Kota/Kabupaten
mendapatkan petunjuk peran komunitas
dalam perwujudan kota hijau, disertai
inspirasi dari kota/kabupaten lain terkait
kegiatan komunitas yang dilakukan.
Kementerian/Lembaga/Instansi di
tingkat nasional mendapatkan informasi
terkait program maupun pencapaian yang
telah dilakukan terkait isu kota
berkelanjutan untuk dapat ditindaklanjuti
dalam memperkaya atau melengkapi
penerapan isu sesuai tugas dan fungsi
Lembaga. Bagi Akademisi, buku ini
diharapkan dapat menjadi dasar penelitian
atau kajian lanjutan mengenai
pengembangan konsep kota hijau maupun
kota berkelanjutan di Indonesia, terutama
kajian yang berorientasi pada
implementasi.
Buku “Manajemen Pengetahuan Kota
Hijau” disusun dengan penulisan yang
bersifat deskriptif eksploratif dengan tujuan
merekam opini maupun persepsi pelaku,
dalam hal ini pemerintah (pusat maupun
kota/kabupaten) dan komunitas yang
berperan aktif, dalam perwujudan kota
hijau. Penulisan diupayakan secara
komprehensif, namun tidak mendalam
berbasis studi ilmiah, dan dibawakan
dengan bahasa populer dilengkapi
infografis agar isi buku mudah dimengerti,
bahkan untuk kalangan awam sekalipun.
4
Buku “Manajemen Pengetahuan Kota
Hijau” berisikan 8 bagian pembahasan.
Bagian pertama, membahas Signifikansi
Visi Kota Berkelanjutan pada tujuan-
tujuan global, yakni Sustainable
Development Goals (SDSs) atau Tujuan
Pembangunan Perkelanjutan (TPB), New
Urban Agenda (NUA), dan Target
Penurunan Gas Rumah Kaca (GRK) sesuai
Kesepakatan Paris tentang Penanganan
Perubahan Iklim yang ditetapkan dalam
Nationally Determined Contribution (NDC)
Indonesia. SDGs terdiri dari 17 Tujuan dan
169 Target yang tercakup dalam dimensi
sosial, ekonomi dan lingkungan secara
terintegrasi, sebagaimana prinsip
keberlanjutan yang menuntut
keseimbangan antar 3 aspek tersebut. New
Urban Agenda (NUA) dengan tujuan utama
Cities for All, berkomitmen untuk
mendorong pembangunan kota dan
permukiman yang lebih inklusif, non-
diskriminatif, serta berkelanjutan. NUA
berisi komitmen sebanyak 175 paragraf
pada tujuan perkotaan yang berprinsip
pada Leave no one behind (tidak
menelantarkan seorangpun), Sustainable
and inclusive urban economies (ekonomi
perkotaan yang inklusif dan berkelanjutan),
dan Environmental sustainability
(keberlanjutan lingkungan hidup). Salah
satu tema dalam NUA yang diangkat
sehubungan dengan pencapaian visi kota
berkelanjutan, adalah Pembangunan
Lingkungan yang Berkelanjutan dan Kota
yang Berketahanan. Sehubungan dengan
komitmen global dalam COP Paris, pada
tahun 2015, Indonesia mengumumkan
komitmen penurunan emisi GRK sebesar
26% (skenario fair/menggunakan
kemampuan sendiri) dan sebesar 41%
(skenario ambisius/jika mendapat
dukungan internasional) pada bidang
berbasis lahan, energi dan pengelolaan
limbah dalam kurun waktu 2010-2020,
sebagaimana tertuang dalam Peraturan
Presiden (Perpres) No. 61 Tahun 2011
tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan
Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) dan
menjadi target Nationally Determined
Contribution (NDC) Indonesia untuk
menuju masa depan yang rendah emisi dan
berketahanan iklim.
5
Bagian kedua, membahas Tantangan
Perkotaan Indonesia. Indonesia tidak steril
dari fenomena negara-negara lain di dunia
dimana telah lebih dari setengah populasi
penduduk negara tinggal di perkotaan,
bahkan tren ini diperkirakan akan terus
berlanjut hingga 2035 mendatang yang
diproyeksikan bahwa sekitar 67%
penduduk Indonesia akan tinggal di kota.
Padatnya perkotaan tentu menyebabkan
kian kompleksnya permasalahan, dan
tidaklah sederhana untuk mencapai tujuan
keberlanjutan.
Bagian ketiga, membahas Perwujudan
Kota Hijau di Indonesia, berisi penjelasan
Konsep Kota Hijau, Penyelenggaraan P2KH,
Atribut Kota Hijau, Dampak dan Evaluasi
P2KH, serta Capaian Perwujudan Kota Hijau
terkait 8 Atribut Kota Hijau.
Bagian keempat, membahas Indikator
Kota Hijau. Meski pencapaian “Kota Hijau”
belum memiliki ukuran dengan indikator
yang resmi, “Kota Hijau” secara tersirat
termasuk dalam indikator-indikator resmi
yang sudah ada, baik di tingkat global,
seperti Sustainable Development Goals
(SDSs) atau Tujuan Pembangunan
Perkelanjutan (TPB) di Indonesia, maupun
di tingkat nasional, seperti Rencana
Pembangunan Nasional yang diterbitkan
Bappenas dan indikator Penilaian Kinerja
Pemerintah Daerah yang dikeluarkan
Kementerian Dalam Negeri. “Kota Hijau”
(atau Kementerian PUPR) belum berniat
menyusun indikator “Kota Hijau” khusus,
karena adanya indikator baru dikhawatirkan
hanya menambah tumpang tindih berbagai
indikator yang telah diterbitkan oleh
beragam instansi.
Bagian kelima, membahas Keselarasan Visi
Kota Hijau, berisi beragam konsep,
program maupun kegiatan dari beragam
instansi di Indonesia yang -meski tidak
berjudul “Kota Hijau” atau “Kota
Berkelanjutan”- berisi substansi selaras
dengan visi Kota Hijau, diantaranya Kota
Layak Huni, Kota Cerdas, Kota Tangguh,
Kota Sehat, Kota Layak Anak, Kota Tanpa
Kumuh, Program Kampung Iklim (Proklim),
Program Energi Terbarukan dan Konservasi
Energi. Pembahasan ini bermaksud
6
menekankan bahwa “Kota Hijau” bukanlah
satu tujuan mutlak berorientasi pada judul,
melainkan suatu tujuan untuk menjamin
penghidupan perkotaan jangka panjang
yang dapat dicapai melalui berbagai cara.
Bagian keenam, membahas Peranan
Pemangku Kepentingan dalam
Perwujudan Kota Hijau, yakni (i)
Pemerintah Kota, (ii) Pemerintah Provinsi,
dan (iii) Pemerintah Pusat sebagai
kelompok Pembuat Kebijakan; (iv)
Komunitas, sebagai kelompok terkena
Dampak Kebijakan, kelompok terkait
Kebijakan, yang memastikan kegiatannya
dan kebijakan Pemerintah berjalan,
sekaligus Pengawas Kebijakan, (v) Dunia
Usaha/Swasta sebagai kelompok yang
terkait Kebijakan dan yang memastikan
kegiatannya berjalan, serta (vi) Akademisi
sebagai kelompok yang terkait Kebijakan,
kelompok Pengawas Kebijakan, dan yang
memastikan kegiatannya dan kebijakan
Pemerintah berjalan. Bahasan ini
bermaksud memberi petunjuk bagi keenam
pemangku kepentingan untuk berperan
dalam perwujudan Kota Hijau.
Bagian ketujuh, membahas Akselerasi
Perwujudan Kota Hijau. Sebagaimana
serangkaian diskusi dalam proses
penyusunan “Manajemen Pengetahuan
Kota Hijau” ini, menyepakati 4 faktor
penting dalam perwujudan Kota Hijau,
yakni (i) Komitmen Pemangku Kota
(khususnya Pemerintah Kota/Kabupaten,
Komunitas, dan Pihak Swasta), (ii) Regulasi,
(iii) Sosialisasi Pengetahuan, dan (iv)
Penggalangan Sumber Daya. Bagian ini
diharapkan dapat memandu pemangku
kepentingan kota untuk mengoptimalisasi
pencapaian perwujudan kota hijau dengan
melakukan aksi terkait 4 (empat) faktor
tersebut.
Bagian kedelapan, membahas Cerita
Perwujudan Kota Hijau, dari 7 (tujuh)
daerah (5 kota, 1 kabupaten, 1 provinsi)
berdasarkan survei lapangan, wawancara
dengan pemangku kota, dilengkapi data
sekunder, mengenai upaya-upaya
perwujudan kota hijau yang dihubungkan
dengan visi dan karakter setempat. Ketujuh
daerah mencerminkan ukuran dan karakter
daerah yang berbeda, juga menjalani
7
perwujudan kota hijau dengan proses dan
tantangan yang berbeda pula. Ketujuh
daerah dipilih bukan berdasarkan penilaian
baik atau buruk terkait perwujudan kota
hijau, namun dimaksudkan memberi
deskripsi pembelajaran yang mungkin
terjadi umum atau bisa juga bersifat
kasuistik, dan pada akhirnya diharapkan
memberi inspirasi kepada lebih banyak
daerah untuk dapat mengaplikasikan
pembelajaran baik dan mengantisipasi
faktor-faktor penghambatnya.
8
29
3. Perwujudan Kota Hijau
Di Indonesia
03
30
A. Konsep Kota Hijau
“Kota Hijau” merupakan sebuah metafora
untuk melambangkan Kota Berkelanjutan,
Kota Ekologis, Kota Ramah Lingkungan,
Kota Berwawasan Lingkungan, atau konsep
pengembangan kota yang berpihak pada
kepentingan aspek lingkungan. Walaupun
demikian, “Kota Hijau” sebagai konsep
yang mendasarkan pada prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan, tidak semata
berpihak pada aspek lingkungan,
melainkan juga keseimbangan 3 dimensi,
lingkungan, sosial dan ekonomi.
Istilah pembangunan berkelanjutan mulai
diperkenalkan oleh Bruntland pada tahun
19872
, dengan definisi fundamental
menekankan ‘manusia’ dan ‘kebutuhan
jangka panjang’.
“Kota Berkelanjutan disusun agar seluruh
warga dapat memenuhi kebutuhan hidup
dan meningkatkan kesejahteraan (well-
being) tanpa merusak lingkungan alami
2
Buku Our Common Future
atau membahayakan kehidupan manusia
lain, sekarang atau masa depan.”
Secara lebih detail, Kota Hijau dapat
dikatakan sebagai konsep pengembangan
kota yang memanfaatkan secara efektif dan
efisien sumberdaya air dan energi,
mengurangi limbah, menerapkan sistem
transportasi terpadu, menjamin kesehatan
lingkungan, mensinergikan lingkungan
alami dan buatan, berdasarkan
perencanaan dan perancangan kota yang
berpihak pada prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan. Konsep Kota
Hijau juga memperhatikan pentingnya
dimensi tata kelola, yakni kepemimpinan,
kelembagaan kota yang mantap, serta
dukungan masyarakat melalui berbagai aksi
positif.
Tak jauh berbeda, Asian Development Bank
(2015) menyatakan Kota Hijau sebagai
usaha sebuah kota dalam mengurangi
dampak lingkungan dan memaksimalkan
peluang untuk meningkatkan dan
31
mendukung lingkungan alami dengan cara
penggunaan energi yang efisien,
mengurangi ketergantungan pada sumber
energi tak terbarukan, aktif mendorong
pengelolaan dan pengurangan limbah,
memperbanyak kegiatan daur ulang,
penggunaan infrastruktur hijau dan
tangguh, kendaraan rendah emisi,
pengelolaan air bersih, dan memberikan
peningkatan kualitas hidup bagi
masyarakat.
B. Program Pengembangan Kota
Hijau (P2KH)
Dalam rangka mewujudkan kota/kawasan
perkotaan yang berkelanjutan di Indonesia,
Undang-Undang No. 26/2007 tentang
Penataan Ruang antara lain telah
mengamanatkan secara tegas bahwa 30%
dari wilayah kota/kawasan perkotaan harus
berwujud Ruang Terbuka Hijau (RTH),
dengan komposisi 20% RTH publik dan
10% RTH privat. Amanat RTH 30% tersebut
merupakan kewajiban yang harus dipenuhi
oleh Pemerintah Kota/Kabupaten yang
termuat dalam Peraturan Daerah (Perda)
tentang RTRW Kota/Kabupaten.
Dalam kaitan itu, sejak tahun 2011,
Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH)
telah dirintis dan diluncurkan oleh
Kementerian Pekerjaan Umum -Direktorat
Jenderal Penataan Ruang- sebagai salah
satu bentuk insentif program dari
Pemerintah Pusat agar Pemerintah
Kota/Kabupaten bersama-sama dengan
Pemerintah Provinsi dengan dukungan
komunitas kota dapat mempercepat
pemenuhan ketetapan UUPR tentang RTH
Publik, sekaligus menjawab tantangan
perubahan iklim di Indonesia.
P2KH yang diawali dengan penggalangan
prakarsa dan komitmen 60 kota/kabupaten
melalui perumusan Rencana Aksi Kota
Hijau (RAKH), sampai tahun 2017
mencatatkan sebanyak 174 kota/kabupaten
telah menjadi peserta P2KH yang
melakukan berbagai langkah nyata
perwujudan 8 atribut Kota Hijau. Pada
setiap kota/kabupaten peserta P2KH yang
telah melakukan penandatanganan piagam
komitmen Kota Hijau, diberikan insentif
berupa fasilitasi penyusunan Rencana Aksi
Kota Hijau/RAKH dan Masterplan Kota
32
Hijau (Green Planning & Design), Desain
dan Pembangunan Taman Kota (Green
Open Space), dan Pembentukan dan
Kegiatan Forum Komunitas Hijau/FKH
(Green Community).
Pada pengembangannya, setiap
kota/kabupaten melakukan berbagai aksi
nyata perwujudan Kota Hijau yang tidak
semata dilaksanakan oleh unsur
Pemerintah Kota/Kabupaten, namun juga
melalui kerjasama produktif antara
komunitas hijau, masyarakat lokal, serta
pihak swasta, sebagai bagian dari upaya
mendorong Gerakan Hijau Perkotaan
(Urban Greening Movement).
C. Atribut Kota Hijau
Kota Hijau memiliki ciri-ciri atau
karakteristik yang disebut dengan “Atribut
Kota Hijau”. Berikut ini 8 (delapan) Atribut
Kota Hijau :
1. Green Planning and Design
33
Perencanaan dan
perancangan yang
ramah lingkungan
dengan beradap-
tasi pada biofisik
kawasan dan
sesuai dengan
Rencana Tata Ruang Wilayah sebagai awal
dari Kota Hijau.
2. Green Open Space
Peningkatan
kuantitas dan
kualitas RTH sesuai
karakteristik
kota/kabupaten
dengan target
30%.
3. Green Community
Kumpulan individu,
komunitas atau
kelompok warga
yang peduli
dengan masalah
lingkungan dan sosial budaya.
4. Green Waste
Upaya yang
dilakukan oleh
semua pihak
untuk mencapai
kondisi zero waste
melalui prinsip
3R, yakni Reduce
(mengurangi sampah/limbah), Recycle
(mendaur ulang sampah), Reuse (memberi
nilai tambah sampah hasil proses daur
ulang).
5. Green Water
Upaya mengatasi
masalah
kelangkaan air,
sekaligus
menghemat
penggunaan air,
yang berarti
menghemat biaya dengan menerapkan
prinsip-prinsip seperti memaksimalkan
34
penyerapan air, mengurangi limpasan air,
dan mengefisienkan pemakaian air.
6. Green Energy
Pemanfaatan
sumber energi
yang efisien dan
ramah lingkungan.
Energi tersebut
dikembangkan
sebagai upaya
mengatasi dampak lingkungan akibat
penggunaan energi yang tidak terbarukan.
7. Green Transportation
Pengembangan
sistem
transportasi yang
berprinsip pada
pengurangan
dampak negatif
terhadap
lingkungan, efisiensi penggunaan bahan
bakar, dan pelayanan yang berorientasi
pada manusia.
8. Green Building
Sistem
pengelolaan
rumah atau
bangunan yang
ramah
lingkungan,
dengan tujuan
untuk melestarikan sumber daya alam,
meningkatkan efisiensi energi dalam
bangunan, dan meningkatkan kualitas
udara dalam ruangan.
D. Dampak Program
Pengembangan Kota Hijau (P2KH)
Secara umum, ada 3 aspek dampak yang
terjadi pada kota/kabupaten peserta P2KH,
yakni penambahan kuantitas & kualitas
Ruang Terbuka Hijau (RTH), peningkatan
kesadaran Kota Hijau, tumbuhnya budaya
kolaborasi Pemerintah Daerah dengan
komunitas, pelibatan swasta dalam
perwujudan Kota Hijau,
Penambahan Kuantitas & Kualitas Ruang
Terbuka Hijau (RTH)
35
Sebagai program yang dilahirkan dari
tuntutan percepatan pemenuhan RTH
Publik sesuai ketetapan UUPR, P2KH
memberi dampak yang cukup signifikan
pada peningkatan kesadaran terhadap isu
RTH.
Sebelum keikutsertaan dalam P2KH,
Pemerintah Kota Malang umumnya sekedar
menjalani business as usual, berupa
kegiatan penghijauan dan pemeliharaan
yang ada. Walaupun dengan cara sedikit
dipaksa, terdapat momentum setelah
menyelesaikan Perda No. 4 Tahun 2011
tentang RTRW Kota Malang, dapat ikut
serta dalam P2KH, sebagai reward bagi
yang sudah menyelesaikan dan dukungan
terhadap target yang tercantum dalam
RTRW. Setelah itu ada perubahan yang
cukup signifikan sejak tahun 2012, meski
persyaratan keikutsertaan P2KH dalam
penyediaan lahan dirasa sangat menantang
pada perkotaan cukup padat seperti Kota
Malang.
Pada November tahun 2011,
Walikota Malang
menandatangani piagam
komitmen kota hijau. Setelah
penandatanganan itu, terjadi
suatu perubahan. Sebelumnya,
hampir tidak ada penambahan
Ruang Terbuka Hijau (RTH)
selama 10 tahun ke belakang di
Kota Malang.
Selain penambahan kuantitas RTH yang
secara umum terjadi di kota/kabupaten
peserta P2KH, baik dari fasilitasi APBN
maupun dari kemampuan APBD, kualitas
RTH juga cenderung meningkat.
P2KH sangat berarti bagi
Kabupaten Jombang, yang
dalam 3 tahun fasilitasinya,
cukup menyadarkan fungsi
open space dalam mewadahi
aktivitas publik di kota,
sehingga memicu Pemkab
membangun titik taman baru
dengan kemampuan mereka
sendiri.
Capaian lebih terperinci pada penambahan
kuantitas & kualitas RTH dapat dilihat pada
36
bagian capaian Green Open Space (bab
3F.ii)
Tumbuhnya Budaya Kolaborasi
Pemerintah Daerah dengan Komunitas
Dalam P2KH, ada persyaratan pelibatan
komunitas hijau. Pada tahun 2011, dapat
dikatakan, secara umum, Pemerintah
Daerah cenderung cenderung asing
dengan peran komunitas. Di sisi lain,
komunitas pun merasa ada kekhawatiran
bahwa independensi mereka akan
terpengaruh jika terlibat dalam kegiatan
pemerintahan.
P2KH berupaya membangun
budaya baru bahwa Pemerintah
Daerah tidak dapat bekerja
sendiri, tanpa pelibatan
masyarakat atau komunitas
yang merasakan dampak
langsung pembangunan kota.
Kesadaran masyarakat melalui keaktifan
komunitas hijau menyambut baik kegiatan
terkait kota hijau terlihat di kota/kabupaten
peserta P2KH. Forum Komunitas Hijau
(FKH) yang dibentuk sebagai wadah
berkegiatan antar komunitas hijau atau
komunitas peduli kota yang dibentuk pada
awal kepesertaan P2KH pada umumnya
kemudian berkembang menjadi unit
penting mitra pemerintah dalam
menggiatkan upaya perwujudan kota hijau
secara berkelanjutan, bahkan ketika
kota/kabupaten yang bersangkutan
terlepas dari masa fasilitasi reguler P2KH
(lihat Bab 3B). Keberlanjutan kegiatan
komunitas, baik berupa peningkatan
jumlah komunitas atau warga penggerak
maupun keaktifan kegiatan komunitas
dapat dilihat pada bagian capaian Green
Community (bab 3F.iii)
Pengembangan pelibatan komunitas yang
lebih jauh dari kelompok kesamaan minat
seperti Forum Komunitas Hijau (FKH) yang
dibina dari skema P2KH, dilakukan Kota
Malang dalam Lomba Kampung Tematik
pada tahun 2016 atau yang kemudian
disebut Festival Rancamala, program
terobosan dalam perencanaan
pembangunan. Program ini bertujuan agar
Kota Malang menjadi kota bebas kumuh,
37
kota hijau, sekaligus kota tangguh, yang
dapat dianalogikan sebagai Urban
Accupunture, satu program yang
menyelesaikan beberapa masalah
perkotaan sekaligus, juga sebagai
terobosan pada penyelenggaraan
Musrembang yang hanya dikuasai oleh
komponen tertentu saja dan sekedar
menghasilkan business as usual. Program
Kampung Tematik diinginkan agar memiliki
daya ungkit lebih. Program ini meminta
setiap daerah, minimal 1 RW untuk
mendesain kawasannya sendiri dengan
pelibatan masyarakat/komunitas.
Komunitas bukan lagi dimaknai sebagai
kelompok dengan kesamaan minat, tapi
kelompok masyarakat, masyarakat dirasa
memiliki kemampuan untuk merencanakan,
seperti memasukkan substansi penerapan
kota hijau di Daerah Aliran Sungai (DAS).
Seleksi desain kawasan dilakukan hingga
keluar 15 pilihan untuk dibantu Perguruan
Tinggi dalam pengolahan perencanaan
lebih lanjut, sehingga dalam prosesnya
relatif tidak ada biaya sama sekali.
Kelompok yang menang dihadiahi insentif,
seperti anggaran implementasi untuk tahun
depan. Program Kampung Tematik ini
dirasa sebagai sebuah terobosan
perencanaan maupun implementasi
pembangunan kota yang tidak
membutuhkan investasi yang tinggi.
Peningkatan Kesadaran Kota Hijau
Munculnya kesadaran tentang pentingnya
pembangunan perkotaan berkelanjutan,
merupakan hal mendasar yang dirasakan
kota/kabupaten peserta P2KH.
Kesadaran yang kemudian mendorong
pemerintah daerah untuk memiliki
komitmen dalam perwujudan Kota Hijau.
Pemerintah Kota Banda Aceh
merasakan peran penting P2KH
sebagai bentuk dukungan
Pemerintah Pusat dalam
pendorong komitmen kota
untuk menjalankan semua
atribut kota hijau.
Pelibatan Swasta dalam Perwujudan
Kota Hijau
38
P2KH merupakan program insentif yang
hanya berfungsi sebagai pendorong atau
pemicu bagi Pemerintah Kota/Kabupaten
agar dapat menjalankan visi Kota Hijau
dengan kemampuan Kota/Kabupaten
sendiri.
Pada tahun 2012-2014 ketika dalam
fasilitasi APBN P2KH, justru membuat
pelaku Kota Hijau di Kota Malang menjadi
tergantung. Pada tahun 2014, dengan
RPJMD Kota Malang yang baru
menunjukkan fase pengembangan dengan
adanya peningkatan peran dunia usaha di
Kota Malang. Dari tidak ada CSR, sampai
ada begitu banyak perusahaan yang ingin
menyumbangkan CSRnya untuk kota.
Mungkin tidak hanya di Kota
Malang, tapi juga di kota lain,
Taman menjadi sesuatu yang
secara visual menarik dan bisa
membawa citra baik pada
perkotaan. Temuan itu yang
kemudian dimanfaatkan untuk
mengekstraksi sebanyak
mungkin potensi terhadap
aspek lingkungan kota.
Masa 2014-2015 ada booming yang luar
biasa sampai Dinas Perkim kewalahan
menerima permintaan CSR. Waktu itu Kota
Malang belum punya Perda CSR dan
memilih untuk tidak melalui forum CSR,
sehingga masih perlu meraba-raba berita
acara penerimaan asetnya. Bahkan Taman
Merjosari Malang setiap tahun selalu
mendapatkan CSR, seperti sepeda udara,
alat olahraga, kemudian Loop Arena.
E. Evaluasi Program
Pengembangan Kota Hijau (P2KH)
Selama penyelenggaraan P2KH yang
mensyaratkan partisipasi aktif Pemerintah
Kota/Kabupaten dan Komunitas Hijau
setempat, tercatat 3 poin evaluasi, yakni
jargon ‘Kota Hijau’ dipersepsikan sektoral,
kesulitan penyediaan lahan untuk RTH,
pentingnya aktivasi RTH (tidak sekedar
membangun),
39
Jargon ‘Kota Hijau’ Dipersepsikan
Sektoral
Pada awal fasilitasi P2KH, setiap
Kota/Kabupaten peserta diwajibkan
membentuk Tim Swakelola, yang selain
terdiri dari Kepala Daerah sebagai
pengarah utama keberlangsungan
program, juga harus melibatkan minimal 3
OPD yang terkait dengan penanganan kota
hijau. Pelibatan lintas instansi (OPD) dalam
satu tim, ditujukan untuk menjadikan kota
hijau. Ternyata, menumbuhkan kerjasama
lintas sektor bukan sesuatu yang
sederhana.
Mengemban jargon “Kota Hijau”, P2KH
sekedar dipandang sebagai kegiatan yang
terkait dengan taman saja, tak bisa
dipungkiri karena salah satu jenis
fasilitasinya adalah perencanaan dan
pembangunan taman kota. Tidak heran,
pada banyak kota/kabupaten peserta, P2KH
hanya ditangani oleh OPD atau instansi
yang terkait tugas pertamanan. Seperti
program Kota Pusaka yang hanya
dikerjakan Dinas Pariwisata & Kebudayaan.
Selain dipandang sebagai kegiatan sektoral,
butuh waktu untuk menunjukkan bahwa
P2KH lebih dari sekedar proyek. Seperti
yang terjadi, pada masa awal
penandatanganan komitmen, kegiatan
P2KH di Kota Malang hanya dikerjakan oleh
Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP, di
Kota Banda Aceh oleh Dinas Pekerjaan
Umum (PU), baru kemudian perlahan
dipahami bahwa P2KH merupakan kegiatan
lintas sektor. Mindset ini yang seringkali
ditimbulkan oleh nama “Kota Hijau”, maka
langsung diasumsikan hanya pekerjaan
pertamanan saja.
Ke depannya, Kota Hijau harus masuk
dalam kinerja penyelenggaraan
pemerintahan daerah Kemendagri. Dan jika
visi pembangunan nasional tujuannya pada
kota berkelanjutan, maka esensi dari kota
hijau saja yang diinputkan ke dalam
kebijakan.
Seringkali bahasa “Kota Hijau”
atau jargon lainnya, membuat
kota berjalan sendiri-sendiri.
Jargon yang membuat setiap
40
dinas atau instansi sulit
berkoordinasi.
Pada 2016-2018, evolusi Kota Malang
mungkin tidak banyak lagi disebut Kota
Hijau, melainkan ke arah SDGs, apalagi
dengan terbitnya Perpres terkait SDGs.
Perwujudan Kota Hijau di Kota Malang
akan ditarik ke penerapan Smart City dan
Kota Tangguh. Jadi tidak hanya 3 atribut
kota hijau, tapi juga memasukkan konten-
konten tentang Smart City, Kota Tangguh,
dan SDGs, tidak lagi berbasis jargon “Kota
Hijau”, tetapi Agenda Pembangunan
Berkelanjutan.
Kota Hijau lebih bersifat voluntary
dibanding mandatory
P2KH dapat dipandang sebagai
kampanye terhadap 8 atribut di
kota/kabupaten, jadi lokusnya
adalah kota/kabupaten,
fokusnya adalah 8 atribut itu.
Karena sifatnya kampanye,
tidak ada keharusan bagi
daerah untuk melakukannya.
Pemerintah daerah bergantung pada
regulasi yang dikeluarkan oleh Kementerian
Dalam Negeri. Sepanjang tidak berkaitan
dengan program dan kegiatan secara
langsung dengan OPD-OPD terkait, tidak
bisa diharapkan hasil yang ideal.
Contohnya, Kota Gorontalo memiliki
program pengembangan transportasi,
namun bukan mengarah pada transportasi
hijau, melainkan pengoperasian bus untuk
kepentingan angkutan siswa, yang
mengarah pada urusan-urusan pelayanan.
Bila kota hijau ingin dimasukkan dalam
indikator yang harus dicapai daerah, harus
masuk dalam regulasi-regulasi Kemendagri
otomatis dipatuhi oleh pemerintah daerah.
Permendagri No.57 tahun 2010
tentang Standar Pelayanan
Perkotaan sebenarnya dapat
menjadi rujukan dalam
menyusun indikator capaian
kota hijau, termasuk
menjadikannya dalam penilaian
Adipura karena Pemerintah
41
Daerah patuh sekali terhadap
penilaian Adipura itu.
Apapun indikator penilaiannya, akan
berusaha dipenuhi demi mempertahankan
Adipura. Ada yang dapat dipenuhi secara
cepat, ada yang perlu upaya lebih
sistematis dan terencana, misalnya soal
Green Transportation dan Green Building.
Kedua hal itu, evaluasi dan regulasi,
merupakan hal penting.
Laporan Pencapaian Kota Hijau
Dalam penyelenggaraan seluruh
pemerindah daerah, kitabnya adalah
RPJMD sesuai UU Pemerintah Daerah
sehingga apapun program yang sedang
dijalankan harus masuk ke RPJMD.
Memang hingga kini, belum ada tuntutan
penyusunan laporan terstruktur tahunan
untuk evaluasi tentang perwujudan kota
hijau secara nasional. Jika ada indikator
yang menilai perencanaan, implementasi,
dan pengendalian rasanya akan ada arah
yang lebih jelas. Inovasi setiap
kota/kabupaten untuk menjalankan visi
kota berkelanjutan penting, tetapi harus
tahu arahnya ke mana.
Kesulitan Penyediaan Lahan
Sebagai program nasional, P2KH tentu
memiliki persyaratan umum yang berlaku
pada semua kota/kabupaten. seperti
keharusan penyediaan lahan seluas 5.000
m2 sampai 1 Ha bagi setiap
kota/kabupaten peserta P2KH. Padahal
tidak semua kota/kabupaten dapat
menyanggupinya, apalagi bagi kota-kota
besar atau kota yang berkembang pesat
dan padat, kesulitan dalam penyediaan
lahan.
Pemeliharaan RTH
Adanya keresahan kota/kabupaten perihal
keberadaan taman.
Baru disadarari, ternyata
memiliki taman itu high cost,
butuh dana yang tidak kecil
untuk pemeliharaan.
Mungkin untuk pemerintah kota tidak
terlalu berat, karena lokasi wilayahnya tidak
42
terlalu luas. Bagi kabupaten Jombang yang
terdiri dari 21 kecamatan dan 303 desa,
dimana belanja infrastrukturnya masih vital,
memiliki banyak taman menjadi beban
APBD. Setelah 2016, APBD Kab. Jombang
fokus pada pemeliharaan pada taman-
taman yang sudah dibangun, tidak lagi
membangun taman lagi. Pemeliharaan saja
pun sudah cukup menelan biaya. Per tahun
lebih dari 2 milyar untuk membangun
taman, sekaligus untuk membuat aksi
meramaikan taman oleh FKH. Sekarang,
APBD Kabupaten Jombang sudah sampai
pada titik puncaknya kemampuan
mengganggarkan pemeliharaan. Kalau ada
taman baru, sudah tidak mampu lagi
memeliharanya. Ke depannya,
Aktivasi RTH
Selain pentingnya pemeliharaan,
keberadaan RTH wajib diaktivasi. Perlu
program meramaikan taman, agar taman
berfungsi dengan baik secara ekologis,
ekonomi, maupun sosial.
Pemerintah Pusat diharapkan mendorong
kota/kabupaten untuk membuat program-
program meramaikan taman, karena
berapa pun diberikan infrastruktur taman,
dampaknya dapat memberatkan
Pemerintahan Daerah dalam pemeliharaan.
Ketika taman telah berfungsi baik, menjadi
ramai, banyak pihak akan datang
berkontribusi. Juga, diharapkan adanya
panduan bagi Pemerintah Daerah dapat
mengelola bantuan tersebut agar
teralokasikan secara strategis.
Penerapan Insentif & Disinsentif
Pemenuhan RTH Publik 20% sesuai amanat
undang-undang dikeluhkan mayoritas
kota/kabupaten sulit dilakukan. Pemerintah
Pusat dituntut mengambil peran
menangani masalah ini.
Dalam perhitungan di Kota Banda Aceh,
untuk menaikkkan 1% RTH dibutuhkan
lahan seluas 30 Ha, kalau 1 HA-nya senilai 3
milyar, berarti dibutuhkan anggaran APBD
senilai 90 milyar untuk pengadaan lahan.
Tentu bukan nilai yang kecil.
Kesulitan pemerintah daerah dalam
peningkatan RTH mungkin dapat dilakukan
43
melalui regulasi insentif dan disinsentif.
Namun, sebagian besar Pemerintah Daerah
di Indonesia memang belum berhasil
menerapkan regulasi insentif dan
disinsentif.
F. Capaian Perwujudan Kota Hijau
Dari insentif dasar Pemerintah Pusat
kepada Kota/Kabupaten peserta P2KH atas
3 atribut Kota Hijau, yakni Green Planning
& Design, Green Open Space, dan Green
Community, telah dicapai angka-angka
sebagai berikut :
44
Pengembangan insentif tersebut
menghasilkan capaian-capaian yang
bervariasi sesuai kemampuan dan karakter
masing-masing setiap kota/kabupaten
bermodalkan hal yang sama, yakni
komitmen tinggi untuk mewujudkan visi
Kota Hijau.
Berikut ini adalah capaian-capaian yang
dilakukan oleh Kota/Kabupaten peserta
P2KH berdasarkan atribut Kota Hijau :
i. Perencanaan dan
Perancangan Kota yang
Ramah Lingkungan (Green
Planning & Design)
• Dokumen Masterplan Kota Hijau
Kota Banda Aceh diadopsi ke
dalam konten revisi RTRW
• Implementasi prinsip Kota Hijau
dalam revisi dokumen RTRW Kota
Gorontalo
• RTRW Kota Bogor mengadopsi
prinsip perubahan iklim (Climate
Change)
• Kota Bekasi menyusun Masterplan
Kota Hijau dengan dana APBD
ii. Peningkatan Kuantitas dan
Kualitas Ruang Terbuka
Hijau (Green Open Space)
Peningkatan Kuantitas RTH
• Luasan RTH Publik Kota Banda
Aceh meningkat dari 11% (tahun
2011 ketika Kota Banda Aceh
menandatangani MoU Kota Hijau)
ke 13.2% (tahun 2017)
• Luasan RTH Publik Kab. Jombang
hanya 10% (sebelum menjadi
peserta P2KH pada tahun 2011)
menjadi 12% (setelah mengikuti
P2KH)
• Peningkatan kualitas RTH dengan
pelibatan komunitas di Kab.
Jombang
• Kota Malang melakukan FGD rutin
multistakeholder terkait
pengelolaan RTH
45
• Penambahan luasan RTH Publik di
Kab. Wonosobo menjadi 51 Ha
Peningkatan Kualitas RTH
• Peningkatan fungsi taman selain
rekreasi, ke fungsi edukasi di Kota
Gorontalo
• Walikota Gorontalo mengeluarkan
himbauan untuk melaksanakan
senam di RTH
• Adanya kontribusi CSR untuk
pembangunan RTH di Kota
Gorontalo
• Penambahan RTH Publik Kota
Bogor dari 38 Ha (pada tahun 2011
ketika Kota Bogor menandatangani
MoU Kota Hijau) menjadi 41.72 Ha
(pada tahun 2018)
• Peningkatan kualitas RTH di Kota
Bogor untuk beraktivitas dan
berinteraksi
• Kota Depok meraih Adipura pada
tahun 2017 (setelah nenjadi peserta
P2KH sejak 2012)
• Adanya kebijakan pembelian lahan
untuk penambahan RTH di Kota
Depok
• Kota Depok melakukan kegiatan
penanaman pohon sejak 2015
sampai saat ini
• Kota Pariaman konsisten
menganggarkan APBD sejak tahun
2012 (MoU Kota Hijau Kota
Pariaman) sampai tahun 2018 senilai
2 milyar untuk perencanaan RTH di
Pantai Kata dan Pantai Cermin
• Peningkatan luasan RTH Publik
Kota Pariaman dari 9.2 Ha menjadi
12.8 Ha
• Adanya CSR dari Pertamina untuk
pengembangan Taman Pantai
Penyu di Kota Pariaman
46
• Peningkatan kuantitas RTH Publik di
Kota Semarang dengan target 16
taman baru per tahun
• Peningkatan fungsi RTH di Kota
Semarang, tidak hanya sebagai
ruang terbuka, melainkan
mendukung aktivitas masyarakat
dan daya dukung lingkungan
• Adanya CSR PT Djarum dalam
peningkatan kualitas Taman
Indonesia Kaya di Kota Semarang
• Peningkatan RTH Publik di Kota
Bekasi dari 11.5% menjadi 12.8%
• Adanya kebijakan pembelian lahan
di 36 lokasi untuk RTHP (RTH
Perkotaan) di Kota Yogyakarta,
khusus pada tahun 2018 pembelian
lahan sebanyak 9 lokasi
iii. Keaktifan Komunitas Peduli
Lingkungan dan Sosial
Budaya Kota (Green
Community)
• Tumbuhnya Komunitas Hijau
hingga sejumlah 52 sampai tahun
2017 di Kota Banda Aceh
• Adanya Festival tahunan “Jombang
Eco Creative”
• Munculnya gerakan masyarakat
peduli kebersihan sungai “Santri
Jogo Kali” di Kab. Jombang
• FKH Kota Gorontalo konsisten
berjalan hingga 2018
• FKH Kota Depok sejak tahun 2012
sampai saat ini terus berkegiatan
• Sejak 2012 telah dibentuk, FKH
Kota Pariaman dilantik langsung
oleh Walikota pada 2017,
berkegiatan aktif 2-4 kali dalam
sebulan (gotong royong bersih
pantai, festival hijau, dll.)
47
• Aktivisme pejuang lingkungan
dikoordinir oleh BLH Kab.
Wonosobo
• Komunitas Hijau di Kota Bekasi
aktif melakukan kegiatan rutin di
tiap kecamatan
• Komunitas sepeda Kota Bekasi
(ROBEK) aktif dalam kampanye
penggunaan sepeda dan
pemenuhan fasilitas pendukung
bersepeda (halte sepeda, dll)
• Penanaman rutin pohon (komunitas
pecinta pohon, komunitas
berkebun) hasil dari pengembangan
FKH Kota Bekasi
iv. Pengelolaan Sampah yang
Berkelanjutan (Green Waste)
• Pembinaan masyarakat terkait
manajemen persampahan dalam
bentuk bank sampah di Kota Banda
Aceh
• Penyediaan komposter di setiap
kelurahan di Kota Banda Aceh
• Lebih dari 50% Desa di Kab.
Jombang sudah memiliki bank
sampah
• Cakupan pelayanan sampah di Kota
Bogor diperluas dengan sistem TPS
3R dan Bank Sampah
• Pemilahan sampah 3R di Kota
Depok sejak tahun 2012 sampai
2018
• Penambahan TPS di masing-masing
kelurahan Kota Depok
• Terdapat Perwako pembentukan
Bank Sampah di 4 Kecamatan Kota
Pariaman
• 400 Bank Sampah berbasis RW di
Kota Yogyakarta
• Pengurangan timbulan sampah di
Kota Yogyakarta sebesar 27%
• Program komposting di Kota
Yogyakarta dari Dinas LH melebihi
produksi, dimanfaatkan untuk
48
taman, sisanya diberikan kepada
masyarakat
v. Pengelolaan Sumber Daya
Air dan Efisiensi Penggunaan
Air (Green Water)
• Penanganan masalah banjir dengan
menerbitkan Perda tentang Polder
Air tiap rumah dan pada kawasan
perumahan di Kota Bekasi
vi. Efisiensi Penggunaan Energi
dan Pemanfaatan Energi
Terbarukan (Green Energy)
• Penggunaan Solar Cell pada PJU
Kab. Jombang
• Pembangunan Biogas di Kab.
Jombang
• Lampu di TPA menggunakan energi
gas metana di Kab. Jombang
• 60% Gedung Pemerintahan di Kota
Pariaman sudah menggunakan
lampu hemat energi
• Penganggaran untuk pengadaan
lampu hemat energi di Kota Bekasi
• Lampu PJU dan traffic light di Kota
Yogyakarta telah menggunakan
lampu hemat energi (LED)
• Tahun 2019 Pemerintah Kota
Semarang bekerjasama dengan
Jepang dalam penerapan energi
ramah lingkungan
• Tahun 2015, Pemerintah Kota
Semarang menerima hibah dari
Philips sebanyak 250 titik PJU yang
menggunakan lampu hemat energi
vii. Pengembangan Transportasi
Rendah Emisi (Green
Transportation)
• Penyediaan pedestrian di Kota
Malang yang nyaman dan humanis,
serta dilengkapi fasilitas penunjang
• Peningkatan kualitas pedestrian
Ramah HAM (Lansia, Ibu hamil,
Difabel, Anak, Lingkungan)
49
sebagaimana visi Kab. Wonosobo
sebagai Kota Ramah HAM
• Penambahan Pedestrian di sekitar
Kawasan Kebun Raya Kota Bogor
• 2012 – 2015, terdapat kebijakan
“One Day No Car” khusus PNS di
Kota Depok
• Sampai dengan 2018, telah ada 8
koridor BRT di Kota Semarang,
target tahun 2019 menjadi 12
koridor BRT
• Pengembangan Pedestrian tahap 2
Jl. Malioboro Kota Yogyakarta,
pembatasan kendaraan bermotor
hanya untuk angkutan umum dan
kepentingan kenegaraan
• Car Free Day di Kawasan Tugu Kota
Yogyakarta setiap minggu
viii. Pembangunan dan
Pengelolaan Bangunan
Ramah Lingkungan (Green
Building)
• Pada tahun 2015, Pemerintah Kota
Pariaman telah menetapkan
Kawasan Perkantoran Bebas Rokok
• Pada tahun 2018, Pemerintah Kota
Pariaman mengeluarkan
Raperwako tentang
Penyelenggaraan Bangunan Hijau
50
Kota Hijau sudah memberikan
banyak sekali manfaat. Ke
depan, PRnya jauh lebih besar
dari sekedar lomba
mendapatkan alokasi anggaran
RTH. Ada PR emisi, komitmen
NDC Indonesia cukup besar
sebanyak 26%. Masalah besar
juga tentang krisis air. Air akan
menjadi mutiara masa depan.
Esensi RTH adalah polusi dan
konservasi air. Itu yang harus
diterjemahkan dalam indikator-
indikator yang menjadi esensi
program ke depan.
Kota Hijau adalah sarananya,
tapi kita harus fokus ke
esensinya.
83
g6. Peranan Pemangku
Kepentingan Dalam
Perwujudan Kota
Hijau
06
84
Secara kategoris, 5 (lima) pemangku
kepentingan (stakeholder) pihak pemanfaat
ruang kota12
, terdiri dari :
1. Stakeholder yang berwenang
membuat kebijakan, yakni Eksekutif
(pemerintah dan lembaga
pemerintahan terkait), Legislatif (DPR
dan DPRD tingkat I dan II), dan
Yudikatif
2. Stakeholder yang terkena dampak
kebijakan, yakni Kelompok Warga
Setempat dan Warga
3. Stakeholder yang mengawasi
kebijakan, yakni DPR, DPRD tingkat I
dan II, LSM, Pers/Media, Forum Warga,
Partai Politik, Asosiasi Profesi,
Perguruan Tinggi
4. Stakeholder kelompok kepentingan
yang terkait kebijakan, yakni Partai
Politik, LSM, Pengusaha, Forum Warga,
12
Penataan Ruang : Sebuah Cermin Peradaban, 2009
: 116-117
Asosiasi Profesi, Perguruan Tinggi,
Kelompok Mediasi
5. Stakeholder yang mempunyai
kepentingan agar kegiatan atau
kebijakannya berjalan, yakni Pressure
Group (seperti Partai Politik, LSM, dan
Forum Warga), Kelompok
Pendukung/Support Group (seperti
Donor, Pengusaha, Perguruan Tinggi,
Warga, Pemerintah Pusat dan Daerah,
dan Kelompok Mediasi.
Jika dibedakan berdasarkan pelaku,
Pemerintah Kota, Pemerintah Provinsi,
dan Pemerintah Pusat merupakan
kelompok Pembuat Kebijakan; Komunitas,
merupakan kelompok terkena Dampak
Kebijakan, kelompok terkait Kebijakan,
yang memastikan kegiatannya dan
kebijakan Pemerintah berjalan, sekaligus
Pengawas Kebijakan, Dunia Usaha/Swasta
merupakan kelompok yang terkait
Kebijakan dan yang memastikan
kegiatannya berjalan, serta Akademisi
85
merupakan kelompok yang terkait
Kebijakan, kelompok Pengawas Kebijakan,
dan yang memastikan kegiatannya dan
kebijakan Pemerintah berjalan.
A. Pemerintah Kota/Kabupaten
Di tingkat pemerintah daerah, RPJMD
(Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah) merupakan dokumen
perencanaan pembangunan daerah
untuk jangka periode selama 5 (lima)
tahunan yang berisi penjabaran dari visi,
misi, dan program kepala daerah dengan
berpedoman pada RPJP Daerah serta
memperhatikan RPJM Nasional13
. RPJMD
menjadi acuan Organisasi Perangkat
Daerah (OPD) dalam menyusun Rencana
Strategis (Renstra) OPD.
Kepala Daerah memegang peranan sangat
penting dalam perwujudan Kota Hijau
karena Kepala Daerah yang sudah
memahami pentingnya Kota Hijau atau visi
13
UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang ”Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun
2005-2025”
Kota Berkelanjutan menuangkannya dalam
visi-misi yang kemudian diturunkan secara
legal dalam bentuk RPJMD dan Rencana
Kerja OPD, sampai ke penganggaran
program-program terkait Kota Hijau.
Urban Sustainability Framework (USF)
menetapkan 4 tahapan peta jalan untuk
meningkatkan pencapaian keberlanjutan
kota, yaitu :
Tahap 1 – Diagnosa Isu Perkotaan, berisi
jawaban atas pertanyaan “Bagaimana
Kondisi Kota Sekarang ?” yang
mengidentifikasi keberdayaan atau karakter
kota dan jurang pencapaian keberlanjutan.
Pada tahap ini, kota juga dapat merespon
isu kota terkini, tantangan, dan
kesempatan. USF mendorong
kota/kabupaten untuk mengintegrasikan
data kota ke dalam perencanaan dan
penyusunan kebijakan.
Tahap 2 – Penentuan Visi dan Aksi
Proritas, berisi jawaban atas pertanyaan
86
“Kemana Tujuan Kota ?” dan “Bagaimana
Kota menuju Tujuan tersebut?”. Visi
diorientasikan menuju ke tujuan masa
depan dan upaya-upaya untuk
memprediksi bagaimana kota dapat lebih
berkelanjutan 10 sampai 20 tahun ke
depan. Tahap ini kota dapat
memformulasikan tujuan-tujuan yang
diinginkan untuk membentuk kota yang
diinginkan. Visi harus berhubungan dengan
kebutuhan, konteks sejarah dan budaya
kota, serta status terkini dalam pencapaian
visi kota berkelanjutan. Aksi prioritas pada
tahap ini merupakan kunci dari perubahan.
Untuk merealisasi visi, kota harus memiliki
sebuah rencana aksi efektif yang berisi
ukuran target dan pencapaian, kegiatan
dan inisiatif untuk implementasi, peran
setiap pemangku kepentingan dan
komitmen pembiayaan kota.
Tahap 3 – Pembiayaan Rencana, berisi
jawaban atas pertanyaan “Bagaimana kota
membiayai pencapaian tujuan-tujuan
prioritas yang telah ditentukan sebelumnya
?” Pembiayaan aksi prioritas menjadi sangat
penting : proses mengidentifikasi pilihan
pembiayaan perlu dilakukan secara paralel
dengan pengembangan visi dan aksi
prioritas kota.
Tahap 4 – Kerangka Monitoring, berisi
jawaban atas pertanyaan “Apakah Kota
melakukan langkah yang benar dan apakah
rencana kota berjalan baik?” Monitoring
dan Evaluasi menyeluruh memungkinkan
perangkat OPD dapat belajar dari
pengalaman sebelumnya, meningkatkan
cara penyampaian program, dan
perencanaan dan pengalokasian sumber
daya, sembari menunjukkan hasil
pencapaian sebagai bagian dari
akuntabilitas.
Keterhubungan Metode Peningkatan
Keberlanjutan Kota USF dalam Sistem
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
tergambarkan dalam skema berikut. Skema
yang menggambarkan bahwa modal
pencapaian konsep kota berkelanjutan
bermodalkan visi & misi kepala daerah dan
penentuan visi dan aksi prioritas kota
dalam menangani permasalahan perkotaan.
87
B.Komunitas
Salah satu tujuan penataan daerah/kota
adalah untuk meningkatkan kualitas hidup
masyarakat yang tinggal di suatu tempat.
Dalam penyusunan kebijakan maupun
implementasinya, pemerintah daerah wajib
melibatkan masyarakat14
, sebagaimana
masyarakat merupakan kelompok terkena
dampak kebijakan. Kelompok Warga
Komunitas sebagai sebuah entitas
kelompok warga dan masyarakat, dirasa
berperan penting dalam perwujudan Kota
Hijau -sebagai visi kebijakan pemerintah
daerah- sehingga menjadi salah satu
bagian dari atribut Kota Hijau, Green
Community, yang secara khusus dilakukan
melalui pembentukan Forum Komunitas
Hijau (FKH).
Inisiasi terbentuknya FKH yang merupakan
kumpulan komunitas kota yang peduli,
perlu ada dorongan dari Pemerintah
Daerah, termasuk dalam pembinaannya. Di
sisi lain, FKH maupun komunitas-komunitas
di kota diharapkan juga ikut mendorong
14
UU no. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
komitmen Pemerintah Daerah dalam
mewujudkan Kota Hijau.
Peran yang dapat dilakukan komunitas
dalam perwujudan kota hijau, antara lain :
• Mengetahui dan mengidentifikasi
permasalahan kota
• Meningkatkan kesadaran publik (public
awareness) tentang kondisi kota
• Berkontribusi membantu mengatasi
permasalahan kota melalui aksi-aksi
komunitas
• Meningkatkan jejaring sesama
komunitas untuk bersama-sama
melakukan aksi berkelanjutan untuk
kota
• Membuka ruang diskusi dengan
pemerintah kota dan pemangku
kepentingan lain untuk berkolaborasi
melakukan aksi hijau
• Melakukan pemetaan pemangku
kepentingan dan menemukan potensi
88
kerjasama untuk meningkatkan aksi
hijau yang berdampak mengatasi
permasalahan kota, khususnya dengan
pendekatan kota berkelanjutan.
Setiap tahapan peran komunitas tersebut
dilakukan pada kegiatan Kampanye Publik
Kota Hijau.
C. Swasta
Pembangunan Daerah, tidak hanya bisa
bertumpu pada kemampuan APBD,
keterlibatan peran serta masyarakat dan
sektor swasta juga diamanatkan dalam
Undang-Undang No. 23 tahun 2014.
Peran swasta dalam perwujudan Kota Hijau,
antara lain :
• Menjalin kerjasama dengan
Pemerintah Kota untuk mengatasi
permasalahan kota yang dapat
ditindaklanjuti dengan bantuan
kontruksi pembangunan, bantuan non-
fisik, atau bentuk lainnya
• Setiap badan usaha memiliki tanggung
jawab mengucurkan Corporate Social
Responsibility (CSR) yang dapat
diarahkan untuk kegiatan terkait
implementasi Kota Hijau. CSR untuk
Kota Hijau dapat disalurkan melalui
komunitas ataupun Pemerintah Kota.
D. Akademisi atau Perguruan
Tinggi
Perguruan Tinggi memiliki asas Tri Dharma,
yang menjadi dasar penyelenggaraan
institusi berlandaskan Pendidikan,
Penelitian dan Pengembangan, dan
Pengabdian Masyarakat. Perguruan Tinggi
sebagai sumber keilmuan sebenarnya
dapat berperan menyediakan studi dan
solusi konret atas permasalahan kota.
Pemenuhan kewajiban Tri Dharma dalam
perwujudan Kota Hijau, dapat dilakukan
dengan integrasi aspek Penelitian dan
Pengembangan dan Pengabdian
Masyarakat. Secara khusus, Perguruan
Tinggi dapat berperan, antara lain :
• Melakukan penelitian yang mengarah
pada penganganan permasalahan kota
setempat
89
• Mengembangkan penelitian tidak
sekedar berhenti pada dokumen,
melainkan mensosialisasikannya ke
publik untuk menjadi pengetahuan
umum atau bahkan mungkin dapat
peningkatkan kesadaran warga
• Mengadvokasi penelitian ke
Pemerintah Kota agar dapat diadopsi
menjadi kebijakan yang
diimplementasikan.
E. Pemerintah Pusat (Kementerian/
Lembaga)
Pemerintah Pusat, selain menetapkan
kebijakan sebagai dasar dalam
menyelenggarakan Urusan Pemerintahan,
juga berwenang melakukan pembinaan
dan pengawasan terhadap Provinsi
maupun Kota/Kabupaten (melalui gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat)15
. Sebagai
pembuat kebijakan dasar, Pemerintah Pusat
tentu menjadi rujukan utama Pemerintah
Provinsi maupun Pemerintah
Kota/Kabupaten dalam membuat dan
15
Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah pasal 6, 7
mengimplementasikan kebijakan di daerah,
tak terkecuali kebijakan terkait Kota Hijau.
Di tataran kementerian/lembaga, beberapa
instansi mengeluarkan kebijakan dan
program mengarah pada visi terkait Kota
Berkelanjutan. Walaupun tidak membawa
label ‘Kota Hijau’ atau ‘Kota Berkelanjutan’
secara eksplisit, keberadaan kebijakan dan
program terkait perlu diketahui sebanyak-
banyaknya Pemerintah Daerah yang dapat
memperkaya kebijakan dan implementasi
di daerah.
Peran Pemerintah Pusat (Kementerian/
Lembaga) dapat perwujudan kota hijau,
antara lain :
• Sosialisasi kebijakan dan program
nasional yang terkait Kota Hijau dan
Kota Berkelanjutan kepada Pemerintah
Daerah
• Melakukan monitoring dan evaluasi
terhadap pencapaian perwujudan kota
hijau
90
• Melakukan pembinaan kepada
Pemerintah Daerah dalam penanganan
permasalahan kota dengan pendekatan
Kota Hijau atau bervisi Kota
Berkelanjutan
• Memberikan insentif dan apresiasi
kepada pencapaian baik
Kota/Kabupaten. Insentif dan apresiasi
dipercaya Pemerintah Kota/Kabupaten
menjadi pemicu untuk meraih
pencapaian yang lebih baik, dan
menjadi motivasi bagi Kota/Kabupaten
yang lain untuk dapat memberikan
pencapaian terbaiknya.
F. Pemerintah Provinsi
Pemerintah Provinsi (dalam hal ini
Gubernur) merupakan wakil Pemerintah
Pusat dalam melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan
Urusan Pemerintahan oleh
Kota/Kabupaten16
. Terkait perwujudan kota
16
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah
hijau, Pemerintah Provinsi wajib melakukan
pembinaan dan pengawasan dalam
pemenuhan wajib pelayanan dasar
perkotaan kota/kabupaten, khususnya
urusan Pekerjaan Umum Umum &
Penataan Ruang dan Perumahan &
Pemukiman yang sehubungan dengan ke-
PU-an dan pencapaian 6 Indikator Kinerja
Kunci (IKK) Laporan Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah (LPPD) yang secara
langsung mendukung Kota Hijau (lihat
bagian 4C) , yakni Lingkungan Hidup,
Pekerjaan Umum, Tata Ruang, Perencanaan
Pembangunan, Perumahan, Kehutanan.
Bagi daerah yang berkinerja rendah sesuai
hasil evaluasi LPPD, Gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat berhak melakukan
fasilitasi khusus, dengan pertimbangan
kementerian terkait, untuk dapat
meningkatkan kinerja penyelenggaraan
daerah17
.
17
Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2017 tentang
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah
123
8. Cerita Perwujudan
Kota Hijau
08
124
KOTA
MALANG
Kota Malang, Provinsi Jawa Timur
125
STRATEGI PENAMBAHAN RTH
Penambahan dan Pengelolaan RTH Kota
Malang termasuk dalam tugas Bidang
Pertamanan, Dinas Perumahan dan
Kawasan Permukiman Kota Malang. Seperti
mayoritas kota di Indonesia, Kota Malang
mengalami kesulitan dalam mencari lahan
untuk penambahan Ruang Terbuka Hijau
(RTH). Namun dengan komitmen
Pemerintah Kota Malang dalam
penambahan RTH, Bidang Pertamanan
memiliki beberapa strategi untuk tetap
mengupayakan penambahan RTH di
tengah keterbatasan lahan yang ada.
Strategi pertama, mendata tanah-tanah eks
bengkok atau seluruh lahan yang milik
Pemkot (atau secara administrasi
dinyatakan milik Pemkot dan melakukan
klarifikasi Bappeda bahwa lahan tersebut
diperuntukkan hijau dalam RTRW), karena
saat ini masih banyak lahan yang
disewakan oleh Pemkot. Bidang
Pertamanan juga bekerjasama dengan
forum lalu lintas dalam mensimulasi arus
lalu lintas dengan penggunaan lahan yang
lebih efektif. Jika ada U-turn yang tidak
bermanfaat, akan dibongkar untuk
dijadikan RTH, walaupun hanya 100 m2
.
Kedua, lahan yang telah didata, kemudian
di-DED-kan. DED tersebut menjadi dasar
Walikota mengeluarkan SK Penetapan
Taman, Hutan Kota, atau Jalur Hijau. SK
Penetapan RTH tersebut direview setiap 2
tahun sekali, biasanya terkait penambahan
pengelolaan RTH yang sebelumnya belum
dimasukkan, khususnya fasum berupa RTH
dari pihak privat yang diserahterimakan ke
Pemda. Dalam proses penyusunan DED,
dilakukan FGD yang melibatkan akademisi,
perwakilan pemerintahan, warga sekitar,
tokoh masyarakat, dan warga sekitar. FGD
bertujuan menjaring aspirasi tentang taman
seperti apa yang diinginkan atau tema
seperti apa. Pedoman 8 atribut kota hijau
semaksimal mungkin diakomodasi dalam
DED taman, begitu pun juga muatan lokal
yang membedakan satu DED lokasi dengan
lainnya. FGD lintas pemangku kepentingan
ini tidak hanya berhenti pada tahap
perencanaan, melainkan untuk diskusi-
diskusi lanjutan untuk mencari ide-ide
126
pemeliharaan. Bidang Pertamanan
setidaknya telah melakukan 8 kali FGD
Rutin Taman pada 2017, dan 6 kali pada
2018.
Ketiga, dalam proses penyusunan anggaran
fisik, DED yang sudah tersedia diusulkan
dalam slot anggaran fisik. Anggaran fisik
yang terbatas tidak terlalu menjadi
masalah, selama terdapat stok DED.
Bergantung pada kebijakan anggaran,
walaupun yang difisikkan hanya 2 lokasi.
Dengan strategi tersebut, sampai akhir
tahun 2018, Kota Malang dalam proses
menambahan luasan Taman
Pandanwangi/Teluk Grajakan seluas 4.600
m2
dan Taman Median Ki Ageng Gribik
seluas 8.800 m2
.
Selain itu, ada pula upaya menambah
fasilitas-fasilitas penunjang yang ada di
taman eksisting, sehingga taman tidak
sekedar pasif dan sekaligus masuk dalam
beberapa indikator, yakni adipura, program
kota layak anak, dan program kota ramah
anak. Dalam mewujudkan taman
berstandar baik dan sesuai dengan banyak
kriteria program, umumnya dibangun
playground yang aman untuk mendorong
anak-anak untuk aktif bergerak.
Penambahan fasilitas lain dapat berupa
Perpustakaan dan Ruang Laktasi, seperti di
Taman Trunojoyo. Berdasarkan
pengamatan Dinas, selain wahana bermain
(playground), fasilitas foot theraphy
menjadi favorit warga di taman sehingga
kedua fasilitas inilah yang wajib ada di
taman lingkungan dekat permukiman.
STRATEGI PENGELOLAAN RTH
Penambahan fasilitas taman terbukti
mengundang animo masyarakat yang
cukup tinggi dengan level disiplin
masyarakat yang beragam, dari rendah
hingga tinggi. Ketika taman bagus,
dikunjungi banyak orang, pasti ditemukan
pengunjung yang buang sampah
sembarangan. Sebagai upaya menjaga
kedisiplinan masyarakat dan kebersihan
taman, dibentuknya Polisi Taman, terdiri
dari 50 personil yang ditugaskan di
beberapa RTH dan beberapa yang
melakukan pengawasan berkeliling
127
(mobile). Polisi Taman dikontrak per tahun
yang bekerja dalam mendisiplinkan
masyarakat secara persuasif, tidak represif.
Setiap harinya, Polisi Taman bertugas
dalam 2 shift sejak pagi hingga jam 11
malam.
Dalam pemeliharaan, tantangan terbesar
adalah durabilitas fasilitas. Dinas Perkim
memiliki pengalaman dalam menyediakan
fasilitas permainan bidak catur dengan
kualitas impor, namun hanya bertahan 5
hari, karena perlakukan masyarakat yang
masih serampangan. Vandalisme
ditemukan ada, tapi tidak banyak. Kegiatan
pemeliharaan dan pengawasannya, baik
Taman Kota, Hutan Kota, Jalur Hijau,
menghabiskan anggaran mencapai 6 Milyar
dari hampir total 12 Milyar seluruh
anggaran Bidang Pertamanan.
Pentingnya pengelolaan RTH membuat
Dinas Perkim berstrategi untuk menjadikan
pemeliharaan dalam prioritas pertama
penganggaran untuk dipenuhi, sebelum
pos anggaran lainnya. Tingginya beban
pengelolaan RTH, mendorong Dinas Perkim
membentuk UPT Taman Aktif, khusus untuk
pengelolaan RTH besar, yakni Taman Alun-
alun, Taman Trunojoyo, Taman Slamet,
Taman Merbabu, dan Taman Merjosari.
Keterlibatan CSR dalam RTH selama ini,
bergantung penuh pada perhatian (interest)
pihak swasta. Tahapan umumnya, pihak
swasta mengirimkan proposal ke Dinas
disertai DED, kemudian disesuaikan dengan
arahan tema taman yang dimiliki Bidang
Pertamanan di lokasi/wilayah tersebut.
Kalau tidak sesuai, ada kesepakatan
lanjutan, atau swasta yang harus
menyesuaikan tema yang ditetapkan Dinas.
Setelah penyesuaian, ada persetujuan.
Dalam keterlibatan dengan pihak swasta,
Dinas tidak melakukan pendekatan,
biasanya pihak swasta datang melalui
Walikota. Keterlibatan swasta mayoritas ke
kegiatan fisik,walaupun ada pula yang
sifatnya pemeliharaan taman, sumbangan
alat pemeliharaan, seperti mobil tangki dan
pick-up. Dalam skema pemeliharaan,
swasta bertanggung jawab terhadap
keseluruhan aspek perawatan taman di
lokasi tertentu, termasuk penyediaan
128
personel perawatan yang diikat dalam
kontrak selama 3 tahun, dan bisa
diperpanjang setelahnya (sesuai Peraturan
Daerah tentang Perjanjian Kerjasama
Pengelolaan Barang Milik Daerah).
Sebagai upaya menggerakkan kontribusi
berbagai pihak dalam kampanye RTH, pada
tahun 2017 Bidang Pertamanan melakukan
lomba taman tingkat lingkungan dan adakn
direncanakan dilaksanakan setiap 2 tahun
sekali. Pada pelaksanaan yang pertama
2017 lalu, tercatat 57 kelurahan di Kota
Malang ikut serta dalam inisiasi
membangun sebuah taman dengan
sumber daya dari masyarakat sendiri.
Dengan insentif yang ditawarkan kepada
pemenang berupa uang tunai pembinaan
pemeliharaan dan pembangunan fasilitas
(pada aset milik Pemda), pelajaran yang
dapat diambil, antara lain munculnya
kreativitas warga dalam membangun
taman, masyarakat menjadi peduli soal
perawatan taman, tak hanya soal
menanam, dan pada akhirnya warga
memberikan perhatian pada
lingkungannya.
PAYUNG BESAR VISI KOTA HIJAU
Walaupun pada tahun 2018 ini, Kota
Malang memasuki era kepemimpinan yang
baru, perangkat pemerintah kota yakin
bahwa komitmen baik yang selama ini
tercatat dalam perwujudan Kota Hijau tetap
terjaga. Walikota terpilih saat ini
menetapkan meneruskan visi yang
sebelumnya, Malang yang Bermartabat
(Bersih, Makmur, Adil, Religius-Toleran,
Terkemuka, Aman, Berbudaya, Asri, dan
Terdidik). Walaupun saat ini masuk dalam
proses penyusunan RPJMD yang baru, isu
lingkungan dan keberlanjutan kota dapat
dipastikan akan masuk dalam rencana
pembangunan Kota Malang 5 tahun ke
depan. RPJMD yang baru mencoba
mengaitkan isu lingkungan dengan tata
ruang, ketangguhan kebencanaan, dan
kota cerdas. Saat ini, framework kota hijau
berbasis 8 atribut, sudah mengarah 3 hal
tersebut. Integrasi isu lingkungan dengan
isu-isu terkini, seperti kota cerdas yang
biasanya hanya pendekatan telematika,
diarahkan untuk menggabungkan isu
lingkungan, termasuk pelayanan publik.
129
Perwujudan Kota Hijau diimplisitkan dalam
misi ekonomi yang bertujuan menciptakan
pertumbuhan ekonomi, yang
memperhatikan keberlanjutan. Sasaran ini
ada 3, yakni pertumbuhan ekonomi kreatif,
pemerataan infrastruktur secara
berkelanjutan, dan kemanfaatan tata ruang
dan pengelolaan lingkungan hidup. Sasaran
yang akan diturunkan dalam bentuk
indikator yang sedang didiskusikan, antara
lain Indeks Daya Saing Infrastruktur, Indeks
Kualitas Layanan Infrastruktur, Indeks
Kualitas Lingkungan Hidup (KLHK),
Persentase Pengurangan Sampah, Rasio
Kesesuaian dengan Tata Ruang. Indikator-
indikator tersebut diharapkan menjadi
semacam payung besar untuk program
kota hijau, walaupun tidak secara eksplisit
menyatakan kota hijau. Berdasarkan
pembelajaran pelaksanaan P2KH, tidak
adanya indikator dinilai menjadi suatu
kelemahan, karena pengukuran itu, sangat
penting untuk melihat pencapaian. RPJMN
nanti diarahkan agar berbasis indikator
yang terukur, untuk semakin memperbaiki
target kinerjanya.
SINERGI LINTAS SEKTOR
Sebagaimana menjadi tantangan di banyak
kota, Kota Malang juga merasakan kendala
koordinasi antar sektor. Dan memang
kadang-kadang, akuntabilitas
platform/program menimbulkan kesalahan
persepsi, yakni satu program merupakan
urusan satu bidang saja. Untuk mengatasi
hal ini, diperlukan dorongan dari pimpinan
yang sudah menyadari atau pimpinan yang
perlu ditumbuhkan kesadaran pentingnya
kerja koordinasi lintas sektor.
Dalam skema keberlanjutan P2KH bagi kota
yang berkinerja baik, Kota Malang
mendapatkan bantuan fasilitasi dari
Bappenas. Dalam evaluasi penyelenggaraan
P2KH, Bappenas menilai keterlibatan tim
lintas sektor terlalu bersifat teknis, sehingga
ada keterbatasan menggerakkan pihak
yang lebih strategis. Untuk memberikan
dampak yang lebih besar, dibutuhkan
pembentukan tim lintas sektor yang berada
di level steering committee, dalam kegiatan-
kegiatan yang memfasilitasi peningkatan
kapasitas dalam memberi pengetahuan
130
tentang proses transformasi kota maju,
seperti Walikota, Sekretaris Daerah, Kepala-
kepala OPD, yang memiliki kekuatan posisi
untuk untuk menumbuhkan komitmen,
menyamakan visi dan menentukan tujuan
jangka panjang dan strategis.
Kunci dari sinergi lintas sektor untuk
mewujudkan kota hijau juga dengan
integrasi dokumen perencanaan daerah.
Kemudian, merincinya ke dalam langkah-
langkah yang lebih teknis dan sering
membuat pertemuan atau pokja-pokja
lintas sektor.
Pada periode sebelumnya, kinerja kota
Malang diuntungkan oleh Walikota yang
memiliki program yang menarik dunia
usaha, dan mengarah pada potensi taman
yang menarik banyak kontribusi dari
swasta. Didukung juga adanya champion-
champion di OPD terkait, untuk meleburkan
atau mengkaitkan batas-batas sektor
dengan tujuan yang lebih besar. Champion
ini adalah mereka yang bekerja melampaui
tugas, lebih luwes berkoordinasi, mudah
berkomunikasi, dan menyebarkan virus
baiknya bahwa semua tujuan baik untuk
kota bagaimanapun saling terkait, tidak
hanya tugasnya satu Dinas. Pada awal P2KH
dulu, banyak yang mengira, Kota Hijau itu
hanya Taman, maka tugasnya Dinas
Pertamanan (waktu itu) untuk menyadarkan
bahwa ini terkait dengan bidang lain-lain.
Ego sektoral memang tidak dapat
dihilangkan, tapi bisa disiasati. Jika
flagshipnya yang terangkat (nama program,
seperti Kota Hijau, Kota Cerdas),
sebenarnya tidak masalah, selama ada
pengukuran yang membuatnya jadi
tercapai. Pengumpulan data sebaiknya
dilakukan oleh lintas sektor sehingga data
maupun hasil pengukuran dapat berguna
untuk berbagai kepentingan. Ego sektoral
juga bisa dilebur dengan adanya
kepemimpinan yang memberikan
kesempatan berinovasi. Penanganan
permasalahan kota yang demikian
kompleks yang sekedar mengandalkan
pekerjaan yang sesuai dengan batas-batas
sektor, akan jauh tertinggal dengan cara-
cara penanganan yang inovatif.
131
Secara garis besar, kunci perwujudan kota
hijau, adalah peningkatan kapasitas,
konsistensi, pengukuran, dan insentif-
disinsentif. Adanya penghargaan, seperti
penghargaan inovasi kota hijau atau forum
sharing antar daerah, bisa dilihat sebagai
insentif yang mengakselerasi tujuan kota
berkelanjutan.
PR besar yang dimiliki Malang, adalah soal
pengembangan transportasi massal, yang
membutuhkan dana yang besar. Terkait hal
tersebut, telah disiapkan rencana MoU
kerjasama Malang Raya (Kota Malang,
Kabupaten Malang, dan Kota Batu) yang
berisi proposal pengelolaan Daerah Aliran
Sungai (DAS), prioritas pembangunan
transportasi publik, dan sistem pengolahan
sampah termal. Proposal yang disusun
dengan sinergi antar kepala daerah
tersebut akan diadvokasikan ke
kementerian terkait, dan berbagai lembaga
yang dinilai bisa membantu perwujudan
kota berkelanjutan yang melibatkan
kerjasama antar wilayah dan membutuhkan
pembiayaan yang tidak kecil.
132
133
134
135
136
137
138
139
140
KOTA
SURABAYA
Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur
Visi Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya tahun 2016-2021 untuk menjadikan "Kota Sentosa
yang Berkarakter dan Berdaya Saing Global berbasis Ekologi" merupakan dasar kebijakan
dalam pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Visi kota yang berwawasan lingkungan
telah dicanangkan sejak tahun 2011.
141
PERENCANAAN TATA RUANG BERBASIS
EKOLOGIS
Visi Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya
tahun 2016-2021 untuk menjadikan "Kota
Sentosa yang Berkarakter dan Berdaya
Saing Global berbasis Ekologi" merupakan
dasar kebijakan dalam pengembangan
Ruang Terbuka Hijau (RTH). Visi kota yang
berwawasan lingkungan telah dicanangkan
sejak tahun 2011.
Berdasarkan visi kota berbasis ekologi,
selain mempertahankan RTH eksisting,
upaya peningkatan RTH dilakukan melalui
perluasan area, pendistribusian RTH ke
seluruh area kota, dan sebisa mungkinkan
menjadikan RTH bermanfaat untuk aktivitas
atau ruang bersosialisasi warga. Upaya
untuk tidak membiarkan RTH sekedar
berfungsi pasif, Pemkot melakukan
kolaborasi dengan berbagai LSM dan
organisasi yang peduli pada isu ruang
publik, seperti UCLG, CSR Swasta.
Kolaborasi tersebut berupa kegiatan
pendampingan warga, khususnya dalam
pengadaan ruang publik di perkampungan
padat penduduk. Inovasi yang dilakukan di
kawasan permukiman padat yang sangat
membutuhkan ruang publik, namun tidak
tersedianya tanah pemda, umumnya warga
telah memiliki konsensus pada tanah milik
individu yang telah disepakati untuk
dijadikan ruang publik bersama.
"Kita dari awal sudah
memastikan mana-mana yang
hijau, kecuali di dalam kawasan
permukiman padat yang tidak
ada tanah lagi, kita trigger
dengan hibah dari masyarakat
sendiri, gimana menyediakan,
kemudian mereka minta ke kita,
bahwa mereka punya tanah
bersama, sudah disepakati
warga, tolong dibantu
dibangunkan melalui CSR, kita
yang bantu mencarikan CSRnya.
Kalau kita yang bangun kan
tidak boleh".
Badan Perencanaan dan
Pembangunan kota (Bappeko),
bidang Sarana dan Prasarana
142
Pada program pengendalian tata ruang,
Badan Perencanaan Pembangunan Kota
(Bappeko) Surabaya mengidentifikasi
seluruh aset tanah pemkot yang berfungsi
hijau eksisting, seperti makam, lapangan,
taman, waduk, sempadan sungai,
sempadan pantai, agar tidak berubah
fungsi. Prinsipnya, jika dalam tata ruang
dipertunjukkan hijau akan tetap hijau,
sehingga tidak mungkin keluar izin
mendirikan bangunan pada area
peruntukkan hijau. Kawasan utara, timur,
dan selatan dialokasikan untuk kawasan
perlindungan kota.
Kondisi eksisting sejalan dengan target
pemenuhan RTH 20% publik sesuai RTRW,
walaupun masih belum optimal, seperti
pantai timur yang saat ini masih berupa
kawasan mangrove pasif walaupun
direncanakan terdapat mangrove
information center dan menjadi wisata
masyarakat, waduk yang belum dilengkapi
jalur pejalan kaki, atau RTH lain yang
dioptimalkan memiliki nilai lebih bagi
masyarakat. Kegiatan optimalisasi tersebut
yang saat ini berjalan, termasuk juga
pembebasan lahan pada kawasan yang
direncanakan menjadi RTH, yang saat ini di
beberapa bagiannya masih dimiliki warga.
"Tata ruang Surabaya sudah
clear bahwa kalau hijau akan
tetap hijau. Tidak mungkin izin
keluar untuk mendirikan
bangunan di situ. Itu sudah
komitmen".
Pengoptimalisasian RTH dilakukan secara
bertahap sesuai ketersediaan dana yang
terbatas, dengan prinsip kemanfaatan
langsung masyarakat. Misalkan lahan 1 Ha,
baru ada dana utuk pembangunan 500 m2
,
maka diupayakan pembangunan 500 m2
dapat langsung dirasakan masyarakat.
INOVASI PENANGANAN RUANG
TERBUKA HIJAU
Secara rutin, Pemkot menganggarkan
program pengelolaan RTH, yang berada
dalam kegiatan Dinas Kebersihan dan RTH
(DKRTH) dan Dinas Ketahanan Pangan dan
Pertanian. DKRTH menangani kegiatan
terkait RTH pasif maupun aktif, sementara
143
tugas Dinas Pertanian berhubungan
dengan pengembangan Hutan Kota,
Perikanan, dan Penanaman Mangrove.
Taman
Taman hanya merupakan salah satu
instrumen RTH, selain makam, hutan kota
(di Dinas Pertanian), rusun (di Dinas PU),
dan lapangan (di Dinas Olahraga). Taman di
kota Surabaya dibagi dalam 2 jenis, yakni
taman aktif dan taman pasif. Taman aktif
berfungsi untuk sosialnya, atau disebut
taman rekreasi, sedangkan taman pasif
berfungsi sebagai paru-paru kota, dan
estetika kota. DKRTH, khususnya bidang
Pertamanan, secara prinsip melakukan
penghijauan, melakukan pengamanan
terhadap aset, menggalakkan inventarisasi
aset tersebut, mulai dari fasum-fasos, aset
BPKD, dan berusaha menjadikan wilayah-
wilayah yang memang berfungsi sebagai
RTH. Sebagai sebagai aplikator yang
mengeksekusi ketersediaan lahan yang
diperuntukkan sebagai RTH, DKRTH
mengkonsepkan taman yang sesuai
dengan kebutuhan setempat. Dalam
implementasi konsep taman, DKRTH
menerapkan tema desain yang diangkat
dari masyarakat sekitar atau memunculkan
landmark sendiri sebagai ikon yang trendy
dan instagrammable.
Kegiatan pengembangan tema desain
taman, umumnya dilakukan tim
perencanaan DKRTH secara swakelola yang
terdiri dari beragam latar belakang,
diantaranya ilmu lansekap, sipil, arsitektur,
dan desain produk. Ketika mengolah tema,
dilakukan identifikasi di lapangan Dalam
prosesnya pun, berupaya menjalin
partisipasi dari masyarakat.
"Sebelum mendesain, kami
melakukan riset lapangan,
seperti saat menggarap desain
taman di Jalan Mundu,
ditanyakan ke warga, Mundu
itu apa. Ketika tahu Mundu itu
tanaman, dicari tanamannya,
untuk ditanam di situ.,
dilakukan riset lapangan, ketika
tahu Mundu itu tanaman, kita
cari tanamannya, untuk bisa
144
kita tanam di situ. Pada kasus di
Mayangkara, di tengah jalan
(bawah jalan layang), terdapat
lapangan futsal, karena
memang tidak ada lahan,
percuma dibangun taman akan
rusak lagi. Kami ditegur oleh
para praktisi, karena dianggap
tidak layak membangun
lapangan, kami balik, adakah
solusi untuk membahagiakan
anak-anak di sekolah situ.
Sampai sekarang, lapangan itu
menjadi primadona masyarakat
sana. Untuk kasus lain, bisa jadi
kultur budaya setempat yang
kami angkat, mereka sukanya
apa."
Untuk setiap lokasi, tim perencana
menggarap beberapa desain (lebih dari
satu pilihan) ditawarkan ke Walikota, untuk
disetujui, karena beliau tidak ingin hanya
ada satu pilihan. Walaupun sudah ada
kriteria mengenai taman aktif dan taman
pasif, keadaan di lapangan dan aspirasi
masyarakat terkadang menuntut adanya
improvisasi. Seperti Taman Pelangi yang
seharusnya menjadi taman pasif, karena
posisinya berada di tengah jalan yang
berpolutan tinggi menjadi tidak layak
dijadikan taman aktif. Namun, ada
beberapa aspirasi masyarakat yang
menginginkan ada landmark baru di situ,
akhirnya dilakukan penyesuaian desain
dengan adanya bangku taman dan
beberapa fitur yang tidak seharusnya ada di
taman pasif, ternyata menghasilkan daya
tariknya luar biasa. Pemkot seperti
memberi wadah kepada warga untuk
berselfie dan berfoto, menjadi semacam
ada identitas baru di Surabaya. Nama
taman pun mengalami perubahan,
sebetulnya di awal bernama "Taman
Ahmad Yani" sebetulnya, setelah ramai oleh
masyarakat dan beredar di berbagai
sosmed, masyarakat kemudian
menyebutnya "Taman Pelangi", Pemkot
pun akhirnya mengakomodir. Beberapa
perubahan seiring waktu juga terjadi di
lokasi lain. Seperti dulu, dikenal Taman
Harmoni tetapi lalu jadi Taman Keputih,
Taman Belitung jadi Taman Lansia. DKRTH
145
mencoba mengangkat yang familiar di
masyarakat.
Berbeda dengan 10-15 tahun yang lalu,
dalam beberapa tahun terakhir, DKRTH
memiliki tujuan pemerataan pembangan
dengan menjangkau wilayah yang lebih
luas, jauh dari tengah kota, dan lebih dalam
ke pelosok. Konsekuensinya pada tugas
pemantauan yang menuntut waktu banyak,
karena lokasinya dari ujung ke ujung.
"Kalau dulu, mungkin hanya
menyentuh tepi jalan atau
tengah kota yang keliatan perlu
kami amankan, sekarang sudah
masuk ke kelurahan-kelurahan.
Saat ini, korelasi antara
pembangunan dan
pemeliharaan taman bisa
dikatakan sebanding."
Pemkot mewadahi usulan pembangunan
taman di kampung oleh warga dalam
musrembang, untuk kemudian diverifikasi
oleh DKRTH, salah satunya menyangkut
kesanggupan dalam melakukan
pemeliharaan. Ada pula kasus, usulan
datang dari RT, namun warga tidak setuju,
maka Pemkot akhirnya tidak
mengimplementasi. Pada kasus seperti ini,
DKRTH menyodorkan surat pernyataan
penolakan pembangunan untuk dapat
menghapus anggaran. DKRTH
memprioritaskan implementasi pada
kawasan yang lebih siap, lebih terbuka, dan
lebih membutuhkan. Langkah tersebut
dilakukan untuk mempercepat
terpenuhinya target dengan skala prioritas,
kejelasan aset lahan pemda dan kelayakan
kawasan permukiman (misalkan kawasan
kumuh yang perlu peningkatan kualitas
layak huni sampai tidak ada ruang
bermain). Setelah itu, ada pertimbangan
penanganan di kawasan lain, seperti area
kawasan elit yang diserahkan ke Pemkot,
jika aset jelas dan tidak ada konflik dapat
dieksekusi DKRTH.
Dalam melaksanakan seluruh kegiatannya
yang meliputi perencanaan sampai
pembangunan, DKRTH diperkuat oleh 16
orang dan tenaga lapangan oursourcing
(pasukan hijau) yang mencapai 400 orang,
dan mengelola anggaran sekian milyar.
146
Anggaran APBD untuk pemeliharaan taman
di DKRTH mencapai 30 milyar setahun,
terdiri dari kegiatan pemeliharaan (dengan
sistem swakelola dan pihak ketiga), tenaga
kontrak, dan sarana prasarana (kendaraan
bermotor, peralatan, dan BBM). Untuk
mensiasati pemenuhan seluruh kebutuhan
pemeliharaan yang lebih besar, DKRTH
menarik keterlibatan swasta atau BUMN.
Bentuk kontribusi yang ditawarkan dalam
pembiayaan CSR umumnya berupa sarana
dan prasarana pemeliharaan, misalnya truk,
tangki, skywalker, fukuda.
"Masa akhir tahun, adalah
momen kami mengirim banyak
proposal ke pihak swasta,
BUMD, dan BUMN. Yang
tembus sebenarnya bisa
dihitung jari, paling 3-4.
Mungkin tidak berarti ketika
liat kebutuhan kita, tapi sangat
membantu sekali. Jadi
anggarannya bisa dialokasikan
untuk pembangunan taman di
tengah-tengah kampung
berluasan 80-90 m2
yang
berjumlah banyak sekali."
Sebagai bentuk apresiasi, pada barang
yang disumbangkan, terdapat keterangan,
misalkan "tangki ini bantuan dari ....". Dari
kerjasama tersebut, hampir tidak ada
pengadaan sarana atau prasarana dalam
penganggaran DKRTH. Tahun 2018 ini,
DKRTH sudah mencapai bantuan CSR
senilai 2 milyar.
"Strategi yang kami lakukan
berikutnya, setelah barang
sudah berusia 3-5 tahun, butuh
peremajaan, kami sampaikan
kembali kepada pemberi,
apakah mau membantu
kembali. Jika tidak, kami minta
izin untuk merebranding ke
pihak lain, ternyata
memunculkan kekhawatiran
dari mereka (pihak CSR), yang
pada akhirnya mereka
meneruskan bantuan pada hal
sama bahkan kalau perlu
membantu hal lainnya. Jadi,
147
kami ciptakan kondisi-kondisi
yang kompetitif, toh kami juga
tidak memaksa."
Dalam pembangunan taman pada area
besar yang membutuhkan anggaran besar,
Pemkot juga menjalin kerjasama dengan
pihak lain, seperti pembangunan Keputih
yang melibatkan kontribusi dari
Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat dan UCLG Aspac. Ada
pula pembangunan yang murni atas
bantuan pihak lain, seperti Bank BNI,
dengan grand desain yang sudah ada dari
Pemkot.
Dalam rangka pengendalian kualitas pada
pekerjaan konstruksi, DKRTH
memberlakukan regulasi sertikat bulanan,
dimana pembayaran dilakukan sesuai
kenaikan progres berdasarkan mutual
check setiap bulan, bukan borongan.
Pekerjaan pemeliharaan juga dihitung per
m2
, di dalamnya berisi klasifikasi kegiatan
(misalnya penyapuan, pembersihan, dll).
Pengendalian dilakukan secara efektif
dengan media komunikasi jarak jauh,
seperti laporan WA dan aplikasi online
berisi jenis tanaman yang masuk, jumlah
stok, dan area distribusi.
Sedangkan pekerjaan pemantauan
dilakukan oleh petugas yang ditempatkan
per area (radius) dibawah koordinasi kepala
satgas area, tidak stay di satu lokasi.
Masyarakat juga ikut menjadi pemantau,
melalui berbagai portal pengawasan yang
dimiliki Pemkot, seperti sms gateway, dll.
Hutan Kota
Dipicu meningkatnya polusi khususnya dari
kendaraan bermotor yang melintasi jalan
kota Surabaya serta ancaman bencana
alam, Pemkot Surabaya menekankan
pengembangan hutan kota melalui Dinas
Ketahanan Pangan dan Pertanian,
khususnya bidang pertanian. Hutan kota
dibangun pada area. Beragam tipologi
hutan kota dikembangkan, diantaranya
hutan kota pohon, hutan kota semak, dan
hutan kota herbal.
148
Arahan pembangunan hutan kota,
umumnya datang dari Walikota. Kemudian,
Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian
menindaklanjutinya dengan
pengembangan desain secara swakelola
sesuai tema yang juga dikemukakan juga
oleh Walikota. Pada beberapa kasus,
perencanaan desain bekerjasama dengan
Universitas. Seperti saat ini, Bidang
Pertanian sedang dalam proses
perencanaan Hutan Kota Lontar
bekerjasama dengan Universitas Airlangga.
Sama seperti seluruh pembangunan
infrastruktur atau yang berhubungan
dengan desain ruang kota Surabaya,
koreksi dan persetujuan rencana hutan kota
dilakukan Walikota.
Secara bersamaan, sedang direncanakan
pula 2 Hutan Kota, yakni Hutan Kota, Hutan
Kota mili dan Hutan Kota Lontar-Kebraon
yang dikembangkan dari lahan bekas BTKD
(Bekas Tanah Kas Desa). Pengembangan
RTH di Surabaya umumnya memang
memanfaatkan BTKD, kecuali ada perintah
pembebasan lahan seperti di Pakal yang di
dalam kawasannya terjepit lahan milik
masyarakat, yang kemudian dibebaskan
untuk penataan kawasan hijau yang
menyeluruh. Di bawah tugas Dinas
Ketahanan Pangan dan Pertanian pula, Kota
Surabaya sedang merencanakan Kebun
Raya Terbesar se-Asia Tenggara, seluas 500
hektar di area timur Surabaya dengan
kerjasama Kementerian PUPR dan LIPI,
yang mencakup 4 kecamatan dan 7
kelurahan. Dengan luasnya area rencana
pengembangan kebun raya tersebut,
pembebasan dilakukan bertahap dan di
beberapa area dilakukan perangkulan
masyarakat.
Walaupun secara prinsip berfungsi pasif
untuk ekologi kota, Dinas Ketahanan
Pangan dan Pertanian semaksimal mungkin
memasukkan unsur edukasi dan fungsi
pemanfaatan masyarakat di hutan kota
surabaya. Bahkan kantor Dinas Ketahanan
Pangan dan Pertanian pun dibangun zona
.... yang ditujukan sebagai pusat edukasi
publik yang kerap dikunjungi siswa sekolah
untuk belajar lingkungan alam kota, seperti
pengenalan tanaman, pembibitan,
149
penanaman hidroponik, sampai pada
peternakan.
Dalam operasionalisasi, hutan kota dikelola
secara outsourcing per lokasi, yang rata-
rata dikerjakan oleh 4 orang. Pekerjaan
pengelolaan outsourcing ini dikendalikan
oleh koordinator-koordinator area yang
melaporkan kinerja ke Dinas. Sementara,
dalam penjagaan, mengingat lokasi hutan
kota umumnya tidak dekat dengan pusat
kegiatan warga, hanya dilakukan dari pagi
sampai sore.
Penanganan RTH yang dinilai
membutuhkan anggaran besar dipatahkan
Walikota Risma dengan banyak inovasi
yang menghemat anggaran, sehingga
perubahannya telah terlihat signifikan sejak
Bu Risma masih menjabat Kepala Dinas
Kebersihan dan RTH (DKRTH).
"Dulu itu dipikirnya kalau
bangun taman perlu dana
banyak. Sejak Bu Risma Kepala
DK RTH benar-benar kelihatan
perubahannya, jadi banyak
inovasi, terutama soal
penghematan anggaran".
Strategi yang diterapkan adalah
pemanfaatan sumber daya dari Organisasi
Perangkat Daerah (OPD) lain. Misalnya
tanah subur diambil dari sedimen
pengerukan saluran dari kegiatan Dinas
Pekerjaam Umum & Bina Marga atau
mengambil tanah dari IPLT (Instalasi
Pengolahan Lumpur Tinja), pupuk
diperoleh dari pengolahan sampah organik
di rumah kompos, tanaman diupayakan
dari 2 kebun bibit besar Surabaya (Kebun
Bibit Wonorejo dan Bratang). Pembelian
tanaman baru dianggarkan untuk yang
berukuran besar, langka, dan belum
dikembangkan di kebun bibit. Kebun Bibit
Wonorejo yang disebut "Rumah Sakit
Tanaman di Surabaya" merupakan sumber
pengadaan tanaman di Surabaya, berada di
dalam pengelolaan UPTD.
"Dulu Wonorejo disebut kebun
bibit, tapi sekarang, kami bisa
bilang seluruh RTH Surabaya
adalah kebun bibit, kecuali
150
untuk tanaman-tanaman
master, seperti Pulai, Kamboja
Merah, masih mungkin kita
datangkan dari luar."
Prinsip pemanfaatan sumber daya yang ada
yang berdampak pada minimnya biaya
pembangunan, dirasakan saat penataan
kawasan Perak oleh Pemkot yang
dikerjakan bersebelahan dengan wilayah
Pelindo. Dengan sistem pengerjaan oleh
pihak ketiga oleh Pelindo menghabiskan
dana 4-5 Milyar, dapat menghasilkan
kualitas yang serupa dengan pekerjaan
Pemkot yang hanya menghabiskan dana
kurang dari 1 Milyar.
Pemkot memiliki regulasi yang mendasari
penguatan upaya, khususnya yang bervisi
ekologis. Pada tahun 2003 terbit Perda no.
18/2003 tentang Izin Penebangan Pohon,
yang hanya mencakup perizinan. Pada
tahun 2014, Perda tersebut direview yang
menghasilkan Perda no. 19/2014 tentang
Perlindungan Pohon. Dengan bahasa
perlindungan, terdapat ada efek jera di
dalamnya. Kritik datang dari kelompok
pengusaha yang dirugikan dengan adanya
Perda tersebut karena dianggap
mengurangi area komersial, DKRTH kerap
menandinginya dengan nilai lingkungan
yang lebih tinggi. Regulasi tersebut
didesain terintegrasi dengan proses
perizinan, seperti IMB, Amdal, dll
Daftar Hutan Kota dan Mangrove
Information Center (MIC)
N
o.
Nama
Hutan
Kota
Lokasi Luas Jenis
Tanam
an
1. Hutan
Kota
Balas
Klumpri
k
Balas
Klumpri
k,
Wiyung
4.3 Lindun
g, Buah
2. Hutan
Kota
Pakal I
Gang
Sidorejo
, Pakal
6.85 Lindun
g, Buah
3. Hutan
Kota
Pakal II
Gang
Mulyo,
Pakal
6.15 Lindun
g, Buah
4. Sambike
rep I
Kapasan
I (dekat
SMPN
20),
0.13 Lindun
g, Buah
151
Sambike
rep
5. Sambike
rep II
Sambike
rep
Indah
Utara,
Sambike
rep
0.72 Lindun
g, Buah
6. Lempun
g
Lempun
g
Perdana,
Lontar,
Sambike
rep
1.9 Lindun
g, Buah
7. Sumur
Welut
Sumur
Welut,
Lakarsan
tri
3.34 Lindun
g, Buah
8. SPT
Jeruk
Raya
Mengan
ti, Jeruk,
Lakarsan
ti
7.65 Lindun
g, Buah
9. Hutan
Kota
Gunung
Anyar
Wisata
Anyar
Mangro
ve,
Gunung
Anyar
Tambak,
43.0
2
Lindun
g,
Mangr
ove
Gunung
Anyar
10
.
Mangro
ve
Informat
ion
Center
(MIC)
Wonorej
o Timur,
Wonorej
o,
Rungkut
33.4
98
Lindun
g,
Mangr
ove
MENUMBUHKAN KESADARAN &
KEBERDAYAAN WARGA SEBAGAI KUNCI
KEBERLANJUTAN
Keasrian Kota Surabaya yang dikenal saat
ini bukanlah proses yang instan. Fenomena
banyak orang menyepelekan, merusak,
atau bahkan mengambil pohon kota yang
ditanam, juga sempat terjadi di Surabaya.
"Pada awal tahun 2000,
sekarang kami nanam pasti
besok tidak ada. Kita tanam
terus, Bu Risma sembari
membuktikan pada masyarakat,
bahwa Surabaya bisa
berprestasi dari taman, maka
jagalah. Memang, Surabaya
terkenal berawal dari taman."
152
Proses perubahan perilaku warga secara
perlahan dipicu komitmen dan pembuktian
Pemkot bahwa taman atau RTH adalah aset
penting Surabaya yang dibangun dan
dipelihara dengan sungguh-sungguh.
Ketika kesungguhan pemkot terbukti
dengan terpeliharanya taman dan
keindahan kota secara umum, tumbuhlah
kesadaran warga untuk tidak merusaknya.
"Beberapa tahun kemudian, di
tahun 2000an, tidak pernah ada
lagi pengambilan tanaman.
Bahkan warga saling
mengingatkan dan menjaga.
Dalam prosesnya, kita bisa
membuktikan bahwa kita bisa
memelihara taman. Sama
dengan CSR, kita buktikan dulu,
bahwa kita bisa buat dan
memelihara, baru meminta
kontribusi CSR."
Insiden Wall's Ice Cream Day pada Mei
2014, secara tidak langsung mempengaruhi
kesadaran warga Surabaya. Insiden yang
merugikan Pemkot hingga 1.3 M turut
menyulut amarah warga. Dalam proses
perbaikannya pun, tidak sedikit warga yang
turun tangan memberikan bantuan. Pemkot
memanfaatkan momen ini sebagai
kesempatan pelibatan masyarakat langsung
dalam pembenahan kota, dengan
melakukan tanam bersama masyarakat
dalam rangka perbaikan taman bungkul,
dipandu oleh arahan DKRTH. Masyarakat
diperlakukan sebagai subjek, sementara
dinas atau pemkot sebagai fasilitator.
Untuk menjaga terpeliharanya, DKRTH
terus menerus melakukan edukasi dan
pengawasan langsung ke lapangan.
Memberi perhatian langsung pada waktu,
diakui DKRTH, efektif untuk menumbuhkan
dan merawat kesadaran warga.
"Dibanding urusan teknis,
waktu kami lebih banyak di
sosialisasi."
Pemkot Surabaya berupaya mendorong
warga untuk peduli pada lingkungan
sendiri untuk menumbuhkan rasa memiliki
dari warga dan menjamin perubahan baik
akan berkelanjutan, melalui program
153
Surabaya Green and Clean yang meliputi
kegiatan lomba dan publikasi media.
Publikasi bertujuan mengapresiasi upaya
warga dalam mengubah lingkungan
sehingga mereka dikenal publik dan dapat
menginspirasi lebih banyak warga.
DKRTH atau Dinas Pertanian dapat
memberi bantuan tambulapot kepada
warga yang membutuhkan, serta
melakukan pembinaan dalam pembuatan
barang-barang dari sampah anorganik.
Sedangkan untuk penanganan sampah
organik, Pemkot mendistribusikan
keranjang takakura, khususnya untuk
memproses sampah basah atau sisa
makanan, untuk dijadikan kompos. Kompos
digunakan sebagai media tanam di
perumahan warga, bahkan jika tidak
mampu, Pemkot juga dapat menyediakan
pot gratis.
Sebagai upaya pemberdayaan warga,
dalam proses musrembang terdapat pilihan
program seperti bantuan bibit tanaman,
bantuan bibit lele, urban farming, dan
pelatihan/pendampingan dari Dinas
Ketahanan Pangan dan Pertanian, Dinas
Kebersihan dan Ruang Terbuka Hijau
(DKRTH), atau Dinas Pengendalian
Penduduk, Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (DP5A), yang dapat
membantu warga melakukan kegiatan
produksi sampai distribusi. Misalkan
produk cabai, dilakukan pembinaan untuk
mengolahnya sambal kemasan, dibantu
untuk mendapatkan izin BPOM, hingga
menyediakan wadah distribusi melalui
kegiataan bazar, pasar rakyat, dan stan-stan
di mal yang disediakan Pemerintah Kota
Surabaya.
Pada akhirnya, Pemkot Surabaya tidak
hanya fokus pada upaya penghijauan,
melainkan menyentuh sampai dapat
menaikkan level ekonomi warga.
"Cara kita menghabiskan APBD
bukan cuma ngasih, tapi
mengedukasi supaya
berkelanjutan. Kalau hanya
diberikan, akan mati, atau
frame berpikirnya hanya minta-
minta. Kalau begitu, kalau tidak
154
dikasih gak jalan. Yang kita
ubah itu pola pikirnya warga,
supaya kalau gak dikasih pun
mau melakukan sendiri, karena
kita sudah ngajarin caranya".
PENGEMBANGAN SISTEM
TRANSPORTASI BERKELANJUTAN
Dalam pengembangan transportasi massal,
Pemkot saat ini sedang melakukan
program revitalisasi angkot, selain dari
pengadaan Bus Suroboyo, sebagai upaya
edukasi warga untuk pindah dari kendaraan
pribadi ke kendaraan umum, sebelum
rencana integrasi angkutan massal cepat
berupa monorel terwujud. Sementara Bus
Suroboyo saat ini baru beroperasi pada
jalur Utara-Selatan, program revitalisasi
angkot juga masih tahap sosialisasi.
Inovasi menginterasikan transportasi publik
dan kepedulian Kota Surabaya pada
kebersihan diimplementasikan pada
program Bus Sampah yang diinisiasi Dinas
Perhubungan, yakni pembayaran bus
dengan sampah plastik untuk kemudian
diolah menjadi produk daur ulang sampah
yang bermanfaat.
"Bus Suroboyo kan platnya
masih merah, jadi kami tidak
boleh menarik biaya. Kita punya
pemikiran, Surabaya ini kan
peduli terhadap kebersihan, ya
sudah, membayarnya dengan
sampah aja, supaya membantu
mengubah pola pikir
masyarakat bahwa sampah bisa
dimanfaatkan. Jadilah Bus
Sampah".
Kedepannya, Pemkot berencana
menerapkan sistem integrasi transportasi
massal secara professional, yang saat ini
masih tahap kajian terkait sistem
pengelolaan berupa BUMD atau BLU.
Pengembangan transportasi massal
didasarkan pada studi permintaan yang
berpusat pada area pusat perkantoran dan
kampus.
Sembari proses penyiapan angkutan massal
cepat, berupa monorel yang sempat masuk
dalam pembiayaan APBN namun tidak jadi
155
terealisasi, adanya angkot yang nyaman
dan dapat diandalkan sebagai feeder,
membuat pola perilaku warga condong ke
penggunaan transportasi publik.
KEPEMIMPINAN
Kunci kemajuan Kota Surabaya yang
diyakini Bappeko, utamanya terletak pada
konsistensi pimpinan. Pimpinan yang
memiliki visi tegas sehingga mendorong
pola kinerja seluruh perangkat daerah ke
arah produktif, ditunjang dengan program
yang disusun sedemikian rupa untuk
menjamin keterwujudan visi tersebut.
Karakter pimpinan yang bisa mengarahkan
dengan baik, sehingga setiap perangkat
tahu harus berbuat apa, kemudian
menciptakan sistem yang berjalan dengan
sendirinya. Konsistensi pimpinan juga
ditunjang dengan adanya sistem e-
governance yang memudahkan
pelaksanaan pembangunan, baik pada
perencanaan anggaran, pelaksanaan,
sampai pengendalian. Sistem yang
berprinsip pada keterbukaan informasi
mendorong terciptanya integrasi antar
sektor serta mengarahkan kinerja yang
berbasis pada target hasil, bukan pada
kelengkapan dokumen semata. Kinerja
berbasis target ini yang memupuk
berkembangnya inovasi.
"Kunci Surabaya bisa progresif,
pertama, konsistensi
kepemimpinan. Ketika
pimpinan punya visi tegas,
bawahannya pasti ikut. Itu
faktor utama, selain anggaran.
Kedua, kita sudah pakai e-gov.
Kita sudah punya e-planning, e-
budgeting, sampai e-monev,
dan sistem online lain yang
saling terkait. Itu memudahkan
dan sangat membantu,
sehingga manusianya gak
mengurusi dokumen lagi, tapi
fokus pada pelaksanaan,
sehingga inovasinya bisa
berkembang terus kemana-
mana".
SINERGI
156
Koordinasi dan sinergi merupakan prinsip
penting bagi dinas-dinas di Pemkot
Surabaya dalam melakukan tugasnya.
Bentuk koordinasi dilakukan seefektif
mungkin untuk menyelesaikan solusi,
seringkali koordinasi via WA dianggap
cukup tanpa perlu pertemuan formal,
bahkan koordinasi Walikota dengan Dinas
pun jarang dilakukan dalam pertemuan
khusus. Walikota dengan kebiasannya
memantau lapangan, dan langsung
berupaya menyelesaikan masalah di
lapangan menjadi pemicu sinergi lintas
sektor, karena permasalahan lapangan
selalu bersinggungan antar sektor. Kerja
bakti lapangan yang diinisiasi Walikota
sebagai metode penanganan masalah
langsung, kemudian menjadi rutinitas kerja
bakti setiap jum'at pagi yang menjadi
wadah sinergi seluruh perangkat
pemerintah. Kerja bakti rutin tersebut
meruntuhkan tembok-tembok sektoral
sekaligus melatih keluwesan kerjasama
antar bidang/bagian yang secara struktural
terikat kaku dalam tupoksi. Memang,
kelancaran sinergi yang terjadi tidak bisa
menafikan peran Walikota yang langsung
memberi komando.
"Kerja bakti jum'at pagi,
umumnya Walikota sendiri
yang memimpin. Jika ada yang
belum kotor, disuruh kotor.
Kami tidak mengenal slogan,
melainkan langsung aksi yang
menghasilkan. Walikota
menunjukkan pimpinan
tauladan yang sederhana. Saat
di lapangan ya kami makan
sego bungkus sama-sama, tidak
ada perbedaan. Etos bekerja
beliau tinggi, bekerja dari jam 5
pagi sampai 11 malam, tak
terkecuali Sabtu dan Minggu.
Jika ada kejadian langsung
turun lapangan, tidak
memerintah."
Gotong royong bias sektor secara
gamblang teruji saat terjadi kasus darurat.
Contoh, saat kebakaran Pasar Turi,
kendaraan pemadam kebakaran hanya
cukup berada di satu titik, tidak harus
157
wara-wiri, personil Pemkot yang secara
estafet mensuplai air, paling tidak Satpol
PP, dinas Kesehatan, DKRTH, perangkat
kecamatan sigap di area kejadian. Contoh
lain, dalam penataan kawasan kumuh di
Kenjeran, DKRTH bekerjasama dengan
Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian
untuk pengadaan tanaman tertentu. Atau
dalam kasus pembongkaran bangunan liar
yang dilakukan dalam agenda kerja bakti
jum'at, Satpol PP berada di depan, Dinas
PU siap backing, DKRTH siap tanah subur,
kompos, dan tanaman sehingga area
langsung bersih saat kerja bakti selesai,
tidak ada lokasi yang terbengkalai lama.
"Mungkin sekarang di Pemkot,
hampir dikatakan tidak ada ego
sektoral. Kalau ada kebakaran,
DKRTH ada di situ untuk
membantu pemadam
kebakaran. Begitu pun
sebaliknya, saat musim
kemarau, tim pemadam
kebakaran juga bisa turun
lapangan untuk membantu kita
nyiram. Kita kayak ada
perasaan, ini Surabaya-ku. Alih-
alih merasa tersinggung, kami
justru merasa terbantu. Jangan
kaget jika satu waktu, kita
(semua dinas) ngumpul jadi
satu di satu tempat."
Dari sistem e-governance, terutama e-
monev, mengharuskan adanya pelaporan
rutin (setiap tahun, setiap 3 bulan, setiap 1
bulan), selain untuk memantau progres
capaian output dan realisasi anggaran di
masing-masing OPD, juga menentukan
apakah kinerja sudah sesuai dengan target
dalam RPJMD yang dicanangkan. Pada
akhir tahun terlihat target yang belum
tercapai disertai kendala pencapaian,
sebagai bahan tahun berikutnya untuk
penyusunan anggaran.
Sistem monitoring tersebut didesain
langsung berhubungan dengan parameter
reward bagi pegawai pemkot. Dengan
pelaporan harian pegawai, yang terdiri dari
pekerjaan harian, unggah foto, lokasi, GPS,
melalui pemantauan dari masing-masing
dinas, jika kinerja tercatat seiring
158
pencapaian target OPD, maka didapat uang
e-performance.
Pada setiap kinerja yang tidak mencapai
target, diselidiki faktor penyebabnya.
Sebisa mungkin penyebab internal dapat
disadari dan diperbaiki, namun jika
penyebabnya merupakan faktor eksternal,
memang tidak ada yang bisa dilakuakn.
Misalkan kegiatan pembebasan lahan yang
tidak berhasil karena masih sengketa di
warga, kinerja dinas tetap rendah tanpa ada
yang bisa dilakukan untuk
meningkatkannya.
INOVASI KERJASAMA BERBASIS AKSI
(PENANGANAN SAMPAH DAN
SANITASI)
Inovasi penanganan sampah Kota
Surabaya, diindikasikan dengan tidak lagi
menggunakan sistem open dumping,
melainkan mengarah pada pemanfaatan
waste to energy, seperti yang dilakukan di
TPA Benowo. Selain itu, prinsip mengurangi
sampah dari sumbernya dan mendorong
warga untuk memilah sampah dari level
rumah tangga dikuatkan, sebelum sampah
diangkut di TPS 3R, dan dipilah lagi jika ada
yang bisa diolah ke rumah kompos.
Kerjasama lintas negara dalam penanganan
sampah juga telah dilakukan Pemkot
Surabaya, melalui kerjasama dengan
Jepang pada TPS Wonorejo dalam
pengadaan mesin pemilahan sampah,
sistem percepatan pengolahan kompos
dengan metode larva lalat yang
diperkenalkan dari kerjasama dengan
Pemerintah Swiss.
SAMPAH
Penanganan sampah di Surabaya. Pertama,
mengurangi sampah dari sumbernya. di
Warga itu sampahnya dipilah dulu.
kesadaran mengurangi dulu. TPSnya pun
TPS 3R, nanti dipilah mana yang bisa diolah
ke rumah kompos. Kita manfaatkan jadi
waste to energy (sampai 2032) di TPA
Benowo, sanitary landfill jadi sudah tidak
open dumping.
Rasa bahwa Surabaya open, maka banyak
kerjasama, apalagi yang berbasis aksi,
karena yang sifatnya studi sudah banyak
dikurangi, karena teori sudah banyak.
159
ENERGI ALTERNATIF DAN KONSERVASI
ENERGI
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota
Surabaya melaksanakan 2 kegiatan terkait
energi, yakni penerapan energi alternatif
dan konservasi energi, yang melingkupi
pembinaan dan audit energi. Kegiatan
penerapan energi alternatif, sudah
dilakukan pada tahun 2015-2016, dilakukan
pemasangan kincir angin di Kenjeran yang
ditempatkan di UPTD Kenjeran untuk
penerangan parkir tempat wisata sebagai
bahan edukasi, belum untuk menghasilkan
energi listrik yang besar.
Tahun 2014, DLH mendapatkan dana DAK
untuk pengadaan solar cell di 18 sekolah
berupa panel solar cell dan 6 lampu sebesar
300-500 watt. Pada tahun 2017-2018,
Pemkot melanjutkan inisiatif tersebut
dengan menganggarkan solar cell di APBD
untuk diberikan ke sekolah-sekolah
pemenang Adiwiyata tingkat mandiri,
berupa panel on-grid sebesar 3000 watt
dan panel off-grid sebesar 1500 watt. Panel
on-grid merupakan jenis yang beroperasi
tanpa aki (sehingga lebih awet), jadi
langsung tersambung dengan PLN dan
secara otomatis mengurangi beban PLN.
Umumnya, solar cell digunakan untuk
penerangan lampu di koridor sebanyak 10
titik. Sampai sekarang, belum ada
perhitungan pengehematan energi dari
pembiayaan APBD tersebut.
Tipologi penggunaan energi terbesar di
sekolah Surabaya ada pada penggunaan
komputer, dengan jumlah rata-rata 200
komputer per sekolah. Tinggi-tingginya
pemakaian itu pada bulan April, Mei, dan
November. Jadi keberadaan solar cell di
sekolah untuk penghematan energi
sebenarnya belum sebanding.
"Karena daya listrik pada
bangunan sekolah terpasang
besar, 82.500 VA, batas minimal
pembayaran itu Rp. 3.000.000,-
(tiga juta rupiah), walaupun
penggunaannya hanya 1 juta,
membayarnya harus Rp. 3 juta.
Kami juga belum menemukan
strategi edukasi penggunaan
Pengalaman Kota-Kota Hijau Indonesia
Pengalaman Kota-Kota Hijau Indonesia
Pengalaman Kota-Kota Hijau Indonesia
Pengalaman Kota-Kota Hijau Indonesia
Pengalaman Kota-Kota Hijau Indonesia
Pengalaman Kota-Kota Hijau Indonesia
Pengalaman Kota-Kota Hijau Indonesia
Pengalaman Kota-Kota Hijau Indonesia
Pengalaman Kota-Kota Hijau Indonesia
Pengalaman Kota-Kota Hijau Indonesia

More Related Content

What's hot

Peraturan Menteri PU No.20 Tahun 2007
Peraturan Menteri PU No.20 Tahun 2007Peraturan Menteri PU No.20 Tahun 2007
Peraturan Menteri PU No.20 Tahun 2007
Yogan Daru Prabowo
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Magelang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten MagelangRencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Magelang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Magelang
Penataan Ruang
 
Perka BIG No. 3 Tahun 2016 tentang Spesifikasi Teknis Penyajian Peta Desa
Perka BIG No. 3 Tahun 2016 tentang Spesifikasi Teknis Penyajian Peta DesaPerka BIG No. 3 Tahun 2016 tentang Spesifikasi Teknis Penyajian Peta Desa
Perka BIG No. 3 Tahun 2016 tentang Spesifikasi Teknis Penyajian Peta Desa
Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif
 
Bab 3: Pertemuan Dalam Pemetaan Partisipatif
Bab 3:   Pertemuan Dalam Pemetaan PartisipatifBab 3:   Pertemuan Dalam Pemetaan Partisipatif
Bab 3: Pertemuan Dalam Pemetaan Partisipatif
Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif
 
Kebijakan pengembangan wilayah di Indonesia dalam skala nasional, wilayah, da...
Kebijakan pengembangan wilayah di Indonesia dalam skala nasional, wilayah, da...Kebijakan pengembangan wilayah di Indonesia dalam skala nasional, wilayah, da...
Kebijakan pengembangan wilayah di Indonesia dalam skala nasional, wilayah, da...
Himpunan Mahasiswa Planologi ITS
 
Permen pu20 tahun2007 tt pedoman teknis analisis aspek fisik dan lingkungan, ...
Permen pu20 tahun2007 tt pedoman teknis analisis aspek fisik dan lingkungan, ...Permen pu20 tahun2007 tt pedoman teknis analisis aspek fisik dan lingkungan, ...
Permen pu20 tahun2007 tt pedoman teknis analisis aspek fisik dan lingkungan, ...
Deki Zulkarnain
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Batang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten BatangRencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Batang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Batang
Penataan Ruang
 
Analisis dibutuhkan dalam pembuatan rdtr (permen atr no 16 tahun 2018)
Analisis dibutuhkan dalam pembuatan rdtr (permen atr no 16 tahun 2018)Analisis dibutuhkan dalam pembuatan rdtr (permen atr no 16 tahun 2018)
Analisis dibutuhkan dalam pembuatan rdtr (permen atr no 16 tahun 2018)
bintang purba
 
Presentasi musrenbang
Presentasi musrenbangPresentasi musrenbang
Presentasi musrenbang
Reins Tangkowit
 
Evaluasi kebijakan spasial
Evaluasi kebijakan spasialEvaluasi kebijakan spasial
Evaluasi kebijakan spasial
Himpunan Mahasiswa Planologi ITS
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pemalang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten PemalangRencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pemalang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pemalang
Penataan Ruang
 
Modul pelatihan quantum gis tingkat dasar
Modul pelatihan quantum gis tingkat dasarModul pelatihan quantum gis tingkat dasar
Modul pelatihan quantum gis tingkat dasar
Yusmadi Martias
 
Sosialisasi KKPR
Sosialisasi KKPRSosialisasi KKPR
Sosialisasi KKPR
Era Wibowo
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota MalangRencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang
Penataan Ruang
 
Pedoman kriteria teknis kawasan budidaya
Pedoman kriteria teknis kawasan budidayaPedoman kriteria teknis kawasan budidaya
Pedoman kriteria teknis kawasan budidayainfosanitasi
 
PPT RDTR_31052022.pptx
PPT RDTR_31052022.pptxPPT RDTR_31052022.pptx
PPT RDTR_31052022.pptx
YettiAnita
 
Sk penunjukan bendahara bos
Sk penunjukan bendahara bosSk penunjukan bendahara bos
Sk penunjukan bendahara bos
Adi Patriansah
 

What's hot (20)

Peraturan Menteri PU No.20 Tahun 2007
Peraturan Menteri PU No.20 Tahun 2007Peraturan Menteri PU No.20 Tahun 2007
Peraturan Menteri PU No.20 Tahun 2007
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Magelang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten MagelangRencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Magelang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Magelang
 
Perka BIG No. 3 Tahun 2016 tentang Spesifikasi Teknis Penyajian Peta Desa
Perka BIG No. 3 Tahun 2016 tentang Spesifikasi Teknis Penyajian Peta DesaPerka BIG No. 3 Tahun 2016 tentang Spesifikasi Teknis Penyajian Peta Desa
Perka BIG No. 3 Tahun 2016 tentang Spesifikasi Teknis Penyajian Peta Desa
 
Bab 3: Pertemuan Dalam Pemetaan Partisipatif
Bab 3:   Pertemuan Dalam Pemetaan PartisipatifBab 3:   Pertemuan Dalam Pemetaan Partisipatif
Bab 3: Pertemuan Dalam Pemetaan Partisipatif
 
Kebijakan pengembangan wilayah di Indonesia dalam skala nasional, wilayah, da...
Kebijakan pengembangan wilayah di Indonesia dalam skala nasional, wilayah, da...Kebijakan pengembangan wilayah di Indonesia dalam skala nasional, wilayah, da...
Kebijakan pengembangan wilayah di Indonesia dalam skala nasional, wilayah, da...
 
Permen pu20 tahun2007 tt pedoman teknis analisis aspek fisik dan lingkungan, ...
Permen pu20 tahun2007 tt pedoman teknis analisis aspek fisik dan lingkungan, ...Permen pu20 tahun2007 tt pedoman teknis analisis aspek fisik dan lingkungan, ...
Permen pu20 tahun2007 tt pedoman teknis analisis aspek fisik dan lingkungan, ...
 
Surat pemberdayaan kesejahteraan keluargan
Surat pemberdayaan kesejahteraan keluarganSurat pemberdayaan kesejahteraan keluargan
Surat pemberdayaan kesejahteraan keluargan
 
Sni 19 6724-2002 -jkh
Sni 19 6724-2002 -jkhSni 19 6724-2002 -jkh
Sni 19 6724-2002 -jkh
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Batang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten BatangRencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Batang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Batang
 
Analisis dibutuhkan dalam pembuatan rdtr (permen atr no 16 tahun 2018)
Analisis dibutuhkan dalam pembuatan rdtr (permen atr no 16 tahun 2018)Analisis dibutuhkan dalam pembuatan rdtr (permen atr no 16 tahun 2018)
Analisis dibutuhkan dalam pembuatan rdtr (permen atr no 16 tahun 2018)
 
Presentasi musrenbang
Presentasi musrenbangPresentasi musrenbang
Presentasi musrenbang
 
Evaluasi kebijakan spasial
Evaluasi kebijakan spasialEvaluasi kebijakan spasial
Evaluasi kebijakan spasial
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pemalang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten PemalangRencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pemalang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pemalang
 
Modul pelatihan quantum gis tingkat dasar
Modul pelatihan quantum gis tingkat dasarModul pelatihan quantum gis tingkat dasar
Modul pelatihan quantum gis tingkat dasar
 
Sosialisasi KKPR
Sosialisasi KKPRSosialisasi KKPR
Sosialisasi KKPR
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota MalangRencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang
 
Pedoman kriteria teknis kawasan budidaya
Pedoman kriteria teknis kawasan budidayaPedoman kriteria teknis kawasan budidaya
Pedoman kriteria teknis kawasan budidaya
 
TELAAHAN STAF TENTANG PAKTA INTEGRITAS
TELAAHAN STAF TENTANG PAKTA INTEGRITASTELAAHAN STAF TENTANG PAKTA INTEGRITAS
TELAAHAN STAF TENTANG PAKTA INTEGRITAS
 
PPT RDTR_31052022.pptx
PPT RDTR_31052022.pptxPPT RDTR_31052022.pptx
PPT RDTR_31052022.pptx
 
Sk penunjukan bendahara bos
Sk penunjukan bendahara bosSk penunjukan bendahara bos
Sk penunjukan bendahara bos
 

Similar to Pengalaman Kota-Kota Hijau Indonesia

Materi Teknis RTRW Kota Cilegon
Materi Teknis RTRW Kota CilegonMateri Teknis RTRW Kota Cilegon
Materi Teknis RTRW Kota Cilegon
joihot
 
Kajian Efektivitas Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan
Kajian Efektivitas Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah di KalimantanKajian Efektivitas Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan
Kajian Efektivitas Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan
Bidang ANDROIDA-Puslatbang KDOD LAN
 
Laporan Akhir EKPD 2010 - Kalteng - UNPAR
Laporan Akhir EKPD 2010 - Kalteng - UNPARLaporan Akhir EKPD 2010 - Kalteng - UNPAR
Laporan Akhir EKPD 2010 - Kalteng - UNPAR
EKPD
 
Penerapan Konsep Kota Kompak pada Ibu Kota Negara Nusantara 030422 FINAL.pdf
Penerapan Konsep Kota Kompak pada Ibu Kota Negara Nusantara 030422 FINAL.pdfPenerapan Konsep Kota Kompak pada Ibu Kota Negara Nusantara 030422 FINAL.pdf
Penerapan Konsep Kota Kompak pada Ibu Kota Negara Nusantara 030422 FINAL.pdf
oswarmungkasa1
 
Laporan Akhir EKPD 2010 - Bali - UNUD
Laporan Akhir EKPD 2010 - Bali - UNUDLaporan Akhir EKPD 2010 - Bali - UNUD
Laporan Akhir EKPD 2010 - Bali - UNUD
EKPD
 
RKPD Kota Palangka Raya Tahun 2012
RKPD Kota Palangka Raya Tahun 2012RKPD Kota Palangka Raya Tahun 2012
RKPD Kota Palangka Raya Tahun 2012Mellianae Merkusi
 
Draf NA raperda Kumuh Kota Surakarta 13102015
Draf NA raperda Kumuh Kota Surakarta 13102015Draf NA raperda Kumuh Kota Surakarta 13102015
Draf NA raperda Kumuh Kota Surakarta 13102015
Bagus ardian
 
Laporan Akhir EKPD 2010 - Sumbar - Unand
Laporan Akhir EKPD 2010 - Sumbar - UnandLaporan Akhir EKPD 2010 - Sumbar - Unand
Laporan Akhir EKPD 2010 - Sumbar - Unand
EKPD
 
Strategi Sanitasi Kota Tegal
Strategi Sanitasi Kota TegalStrategi Sanitasi Kota Tegal
Strategi Sanitasi Kota Tegal
infosanitasi
 
Kajian Dampak Implementasi Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan
Kajian Dampak Implementasi Perencanaan Pembangunan Daerah di KalimantanKajian Dampak Implementasi Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan
Kajian Dampak Implementasi Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan
Tri Widodo W. UTOMO
 
Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM
Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNMLaporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM
Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM
EKPD
 
Pembangunan Perumahan dan Permukiman di Indonesia.
Pembangunan Perumahan dan Permukiman di Indonesia.Pembangunan Perumahan dan Permukiman di Indonesia.
Pembangunan Perumahan dan Permukiman di Indonesia.Oswar Mungkasa
 
Buku Saku Pembangunan Permukiman dan Perumahan
Buku Saku Pembangunan Permukiman dan Perumahan Buku Saku Pembangunan Permukiman dan Perumahan
Buku Saku Pembangunan Permukiman dan Perumahan Oswar Mungkasa
 
Pdrb kota kediri 2012
Pdrb kota kediri 2012 Pdrb kota kediri 2012
Pdrb kota kediri 2012
fionarazqa
 
Merengkuh kota ramah pejalan kaki dan Pesepeda. Pembelajaran Mancanegara dan ...
Merengkuh kota ramah pejalan kaki dan Pesepeda. Pembelajaran Mancanegara dan ...Merengkuh kota ramah pejalan kaki dan Pesepeda. Pembelajaran Mancanegara dan ...
Merengkuh kota ramah pejalan kaki dan Pesepeda. Pembelajaran Mancanegara dan ...
Oswar Mungkasa
 
Merengkuh kota ramah pesepeda dan pejalan kaki. Pembelajaran Mancanegara dan ...
Merengkuh kota ramah pesepeda dan pejalan kaki. Pembelajaran Mancanegara dan ...Merengkuh kota ramah pesepeda dan pejalan kaki. Pembelajaran Mancanegara dan ...
Merengkuh kota ramah pesepeda dan pejalan kaki. Pembelajaran Mancanegara dan ...
oswarmungkasa1
 
Laporan Akhir EKPD 2009 Sumatera Barat - UNAND
Laporan Akhir EKPD 2009 Sumatera Barat - UNANDLaporan Akhir EKPD 2009 Sumatera Barat - UNAND
Laporan Akhir EKPD 2009 Sumatera Barat - UNAND
EKPD
 
Laporan Tubes Pempem Analisis Data Keuangan Kota Batam
Laporan Tubes Pempem Analisis Data Keuangan Kota BatamLaporan Tubes Pempem Analisis Data Keuangan Kota Batam
Laporan Tubes Pempem Analisis Data Keuangan Kota Batam
Laras Kun Rahmanti Putri
 
Laporan Akhir EKPD 2010 - Gorontalo - UNG
Laporan Akhir EKPD 2010 - Gorontalo - UNGLaporan Akhir EKPD 2010 - Gorontalo - UNG
Laporan Akhir EKPD 2010 - Gorontalo - UNG
EKPD
 

Similar to Pengalaman Kota-Kota Hijau Indonesia (20)

Materi Teknis RTRW Kota Cilegon
Materi Teknis RTRW Kota CilegonMateri Teknis RTRW Kota Cilegon
Materi Teknis RTRW Kota Cilegon
 
Kajian Efektivitas Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan
Kajian Efektivitas Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah di KalimantanKajian Efektivitas Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan
Kajian Efektivitas Penyusunan Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan
 
Laporan Akhir EKPD 2010 - Kalteng - UNPAR
Laporan Akhir EKPD 2010 - Kalteng - UNPARLaporan Akhir EKPD 2010 - Kalteng - UNPAR
Laporan Akhir EKPD 2010 - Kalteng - UNPAR
 
Penerapan Konsep Kota Kompak pada Ibu Kota Negara Nusantara 030422 FINAL.pdf
Penerapan Konsep Kota Kompak pada Ibu Kota Negara Nusantara 030422 FINAL.pdfPenerapan Konsep Kota Kompak pada Ibu Kota Negara Nusantara 030422 FINAL.pdf
Penerapan Konsep Kota Kompak pada Ibu Kota Negara Nusantara 030422 FINAL.pdf
 
Laporan Akhir EKPD 2010 - Bali - UNUD
Laporan Akhir EKPD 2010 - Bali - UNUDLaporan Akhir EKPD 2010 - Bali - UNUD
Laporan Akhir EKPD 2010 - Bali - UNUD
 
RKPD Kota Palangka Raya Tahun 2012
RKPD Kota Palangka Raya Tahun 2012RKPD Kota Palangka Raya Tahun 2012
RKPD Kota Palangka Raya Tahun 2012
 
Draf NA raperda Kumuh Kota Surakarta 13102015
Draf NA raperda Kumuh Kota Surakarta 13102015Draf NA raperda Kumuh Kota Surakarta 13102015
Draf NA raperda Kumuh Kota Surakarta 13102015
 
Laporan Akhir EKPD 2010 - Sumbar - Unand
Laporan Akhir EKPD 2010 - Sumbar - UnandLaporan Akhir EKPD 2010 - Sumbar - Unand
Laporan Akhir EKPD 2010 - Sumbar - Unand
 
Strategi Sanitasi Kota Tegal
Strategi Sanitasi Kota TegalStrategi Sanitasi Kota Tegal
Strategi Sanitasi Kota Tegal
 
Kajian Dampak Implementasi Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan
Kajian Dampak Implementasi Perencanaan Pembangunan Daerah di KalimantanKajian Dampak Implementasi Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan
Kajian Dampak Implementasi Perencanaan Pembangunan Daerah di Kalimantan
 
Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM
Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNMLaporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM
Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM
 
Pembangunan Perumahan dan Permukiman di Indonesia.
Pembangunan Perumahan dan Permukiman di Indonesia.Pembangunan Perumahan dan Permukiman di Indonesia.
Pembangunan Perumahan dan Permukiman di Indonesia.
 
Buku Saku Pembangunan Permukiman dan Perumahan
Buku Saku Pembangunan Permukiman dan Perumahan Buku Saku Pembangunan Permukiman dan Perumahan
Buku Saku Pembangunan Permukiman dan Perumahan
 
Pdrb kota kediri 2012
Pdrb kota kediri 2012 Pdrb kota kediri 2012
Pdrb kota kediri 2012
 
Daftar isi rkpd 2012
 Daftar isi rkpd 2012 Daftar isi rkpd 2012
Daftar isi rkpd 2012
 
Merengkuh kota ramah pejalan kaki dan Pesepeda. Pembelajaran Mancanegara dan ...
Merengkuh kota ramah pejalan kaki dan Pesepeda. Pembelajaran Mancanegara dan ...Merengkuh kota ramah pejalan kaki dan Pesepeda. Pembelajaran Mancanegara dan ...
Merengkuh kota ramah pejalan kaki dan Pesepeda. Pembelajaran Mancanegara dan ...
 
Merengkuh kota ramah pesepeda dan pejalan kaki. Pembelajaran Mancanegara dan ...
Merengkuh kota ramah pesepeda dan pejalan kaki. Pembelajaran Mancanegara dan ...Merengkuh kota ramah pesepeda dan pejalan kaki. Pembelajaran Mancanegara dan ...
Merengkuh kota ramah pesepeda dan pejalan kaki. Pembelajaran Mancanegara dan ...
 
Laporan Akhir EKPD 2009 Sumatera Barat - UNAND
Laporan Akhir EKPD 2009 Sumatera Barat - UNANDLaporan Akhir EKPD 2009 Sumatera Barat - UNAND
Laporan Akhir EKPD 2009 Sumatera Barat - UNAND
 
Laporan Tubes Pempem Analisis Data Keuangan Kota Batam
Laporan Tubes Pempem Analisis Data Keuangan Kota BatamLaporan Tubes Pempem Analisis Data Keuangan Kota Batam
Laporan Tubes Pempem Analisis Data Keuangan Kota Batam
 
Laporan Akhir EKPD 2010 - Gorontalo - UNG
Laporan Akhir EKPD 2010 - Gorontalo - UNGLaporan Akhir EKPD 2010 - Gorontalo - UNG
Laporan Akhir EKPD 2010 - Gorontalo - UNG
 

Recently uploaded

Notulen Rapat 2023 pemerintahan desa.docx
Notulen Rapat 2023 pemerintahan desa.docxNotulen Rapat 2023 pemerintahan desa.docx
Notulen Rapat 2023 pemerintahan desa.docx
PemerintahanNagariKu1
 
Kesejahteraan hewan (KESRAWAN) dalam pemotongan hewan kurban.pptx
Kesejahteraan hewan (KESRAWAN) dalam pemotongan hewan kurban.pptxKesejahteraan hewan (KESRAWAN) dalam pemotongan hewan kurban.pptx
Kesejahteraan hewan (KESRAWAN) dalam pemotongan hewan kurban.pptx
gustin17
 
buku saku indeks profesionalitas Aparatur Sipil Negara (ASN)
buku saku indeks profesionalitas Aparatur Sipil Negara (ASN)buku saku indeks profesionalitas Aparatur Sipil Negara (ASN)
buku saku indeks profesionalitas Aparatur Sipil Negara (ASN)
gabatgibut09
 
Pengawasan Usaha Pembudidayaan Ikan Pasca UU Cipta Kerja
Pengawasan Usaha Pembudidayaan Ikan Pasca UU Cipta KerjaPengawasan Usaha Pembudidayaan Ikan Pasca UU Cipta Kerja
Pengawasan Usaha Pembudidayaan Ikan Pasca UU Cipta Kerja
teraspky798
 
TATACARA PENGGUNAAN APLIKASI SIGA-VERVAL (1).pptx
TATACARA PENGGUNAAN APLIKASI SIGA-VERVAL (1).pptxTATACARA PENGGUNAAN APLIKASI SIGA-VERVAL (1).pptx
TATACARA PENGGUNAAN APLIKASI SIGA-VERVAL (1).pptx
TariHappie
 
PETUNJUK TEKNIS INTEGRASI PELAYANAN KESEHATAN PRIMER
PETUNJUK TEKNIS INTEGRASI PELAYANAN KESEHATAN PRIMERPETUNJUK TEKNIS INTEGRASI PELAYANAN KESEHATAN PRIMER
PETUNJUK TEKNIS INTEGRASI PELAYANAN KESEHATAN PRIMER
Muh Saleh
 
MATERI KODE ETIK Pegawai Negeri Sipil 2023.pptx
MATERI KODE ETIK Pegawai Negeri Sipil 2023.pptxMATERI KODE ETIK Pegawai Negeri Sipil 2023.pptx
MATERI KODE ETIK Pegawai Negeri Sipil 2023.pptx
rtkwbc
 
PAPARAN BP TAPERA MENGENAI PERATURAN TERBARU
PAPARAN BP TAPERA MENGENAI PERATURAN TERBARUPAPARAN BP TAPERA MENGENAI PERATURAN TERBARU
PAPARAN BP TAPERA MENGENAI PERATURAN TERBARU
LtcLatif
 
Survei Kesehatan Indonesia (SKI) Tahun 2023
Survei Kesehatan Indonesia (SKI) Tahun 2023Survei Kesehatan Indonesia (SKI) Tahun 2023
Survei Kesehatan Indonesia (SKI) Tahun 2023
Muh Saleh
 

Recently uploaded (9)

Notulen Rapat 2023 pemerintahan desa.docx
Notulen Rapat 2023 pemerintahan desa.docxNotulen Rapat 2023 pemerintahan desa.docx
Notulen Rapat 2023 pemerintahan desa.docx
 
Kesejahteraan hewan (KESRAWAN) dalam pemotongan hewan kurban.pptx
Kesejahteraan hewan (KESRAWAN) dalam pemotongan hewan kurban.pptxKesejahteraan hewan (KESRAWAN) dalam pemotongan hewan kurban.pptx
Kesejahteraan hewan (KESRAWAN) dalam pemotongan hewan kurban.pptx
 
buku saku indeks profesionalitas Aparatur Sipil Negara (ASN)
buku saku indeks profesionalitas Aparatur Sipil Negara (ASN)buku saku indeks profesionalitas Aparatur Sipil Negara (ASN)
buku saku indeks profesionalitas Aparatur Sipil Negara (ASN)
 
Pengawasan Usaha Pembudidayaan Ikan Pasca UU Cipta Kerja
Pengawasan Usaha Pembudidayaan Ikan Pasca UU Cipta KerjaPengawasan Usaha Pembudidayaan Ikan Pasca UU Cipta Kerja
Pengawasan Usaha Pembudidayaan Ikan Pasca UU Cipta Kerja
 
TATACARA PENGGUNAAN APLIKASI SIGA-VERVAL (1).pptx
TATACARA PENGGUNAAN APLIKASI SIGA-VERVAL (1).pptxTATACARA PENGGUNAAN APLIKASI SIGA-VERVAL (1).pptx
TATACARA PENGGUNAAN APLIKASI SIGA-VERVAL (1).pptx
 
PETUNJUK TEKNIS INTEGRASI PELAYANAN KESEHATAN PRIMER
PETUNJUK TEKNIS INTEGRASI PELAYANAN KESEHATAN PRIMERPETUNJUK TEKNIS INTEGRASI PELAYANAN KESEHATAN PRIMER
PETUNJUK TEKNIS INTEGRASI PELAYANAN KESEHATAN PRIMER
 
MATERI KODE ETIK Pegawai Negeri Sipil 2023.pptx
MATERI KODE ETIK Pegawai Negeri Sipil 2023.pptxMATERI KODE ETIK Pegawai Negeri Sipil 2023.pptx
MATERI KODE ETIK Pegawai Negeri Sipil 2023.pptx
 
PAPARAN BP TAPERA MENGENAI PERATURAN TERBARU
PAPARAN BP TAPERA MENGENAI PERATURAN TERBARUPAPARAN BP TAPERA MENGENAI PERATURAN TERBARU
PAPARAN BP TAPERA MENGENAI PERATURAN TERBARU
 
Survei Kesehatan Indonesia (SKI) Tahun 2023
Survei Kesehatan Indonesia (SKI) Tahun 2023Survei Kesehatan Indonesia (SKI) Tahun 2023
Survei Kesehatan Indonesia (SKI) Tahun 2023
 

Pengalaman Kota-Kota Hijau Indonesia

  • 1. i KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DIREKTORAT BINA PENATAAN BANGUNAN
  • 2.
  • 3. i Daftar Isi Daftar Isi ........................................................................i Pendahuluan ................................................................1 1. Signifikansi Visi Kota Berkelanjutan......................9 A. Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) ........10 B. New Urban Agenda (NUA)..........................................14 C. Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia .........................................................................22 2. Tantangan Perkotaan Indonesia ..........................25 3. Perwujudan Kota Hijau Di Indonesia...................29 A. Konsep Kota Hijau........................................................30 B. Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) ......31 C. Atribut Kota Hijau..........................................................32 D. Dampak Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) ...............................................................................34 E. Evaluasi Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) ...............................................................................38 F. Capaian Perwujudan Kota Hijau...............................43
  • 4. ii i. Perencanaan dan Perancangan Kota yang Ramah Lingkungan (Green Planning & Design)44 ii. Peningkatan Kuantitas dan Kualitas Ruang Terbuka Hijau (Green Open Space)..................... 44 iii. Keaktifan Komunitas Peduli Lingkungan dan Sosial Budaya Kota (Green Community)........... 46 iv. Pengelolaan Sampah yang Berkelanjutan (Green Waste) ............................................................. 47 v. Pengelolaan Sumber Daya Air dan Efisiensi Penggunaan Air (Green Water)............................ 48 vi. Efisiensi Penggunaan Energi dan Pemanfaatan Energi Terbarukan (Green Energy)...................... 48 vii.Pengembangan Transportasi Rendah Emisi (Green Transportation)............................................. 48 viii. Pembangunan dan Pengelolaan Bangunan Ramah Lingkungan (Green Building) ................. 49 4. Indikator Kota Hijau ............................................ 51 A. Kota Hijau dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) di Indonesia............................52 B. Kota Hijau dalam Rencana Pembangunan Nasional............................................................................60 C. Kota Hijau dalam Penilaian Kinerja Pemerintah Daerah...............................................................................63 5. Keselarasan Visi Kota Hijau.................................. 67 A. Kota Layak Huni .............................................................68
  • 5. iii B. Kota Cerdas......................................................................69 C. Kota Tangguh .................................................................71 D. Kota Sehat........................................................................74 E. Kota Layak Anak.............................................................75 F. Kota Tanpa Kumuh........................................................76 G. Program Kampung Iklim (Proklim).........................77 H. Program Energi Terbarukan dan Konservasi Energi ................................................................................79 6. Peranan Pemangku Kepentingan Dalam Perwujudan Kota Hijau.........................................83 A. Pemerintah Kota/Kabupaten.....................................85 B.Komunitas..........................................................................87 C. Swasta................................................................................88 D. Akademisi atau Perguruan Tinggi...........................88 E. Pemerintah Pusat (Kementerian/ Lembaga)........89 F. Pemerintah Provinsi ......................................................90 7. Akselerasi Perwujudan Kota Hijau.......................91 A. Komitmen Pemangku Kepentingan Kota.............92 B. Regulasi.............................................................................94 C. Sosialisasi Pengetahuan........................................... 117 D. Penggalangan Sumber Daya ................................. 122 8. Cerita Perwujudan Kota Hijau ........................... 123 Kota Malang, Provinsi Jawa Timur ............................ 124
  • 6. iv Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur ......................... 140 Kota Sabang, Provinsi Aceh......................................... 166 Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.................................................................... 170 Kota Batu, Provinsi Jawa Timur................................... 182 Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah............... 188 Provinsi DKI Jakarta......................................................... 194
  • 7. 1 Pendahuluan Dalam rangka mewujudkan kota/kawasan perkotaan yang berkelanjutan di Indonesia, Undang-Undang No. 26/2007 tentang Penataan Ruang (UUPR) antara lain telah mengamanatkan secara tegas bahwa 30% dari wilayah kota/kawasan perkotaan harus berwujud Ruang Terbuka Hijau (RTH), dengan komposisi 20% RTH publik dan 10% RTH privat. Amanat RTH 30% tersebut merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh Pemerintah Kota/Kabupaten yang termuat dalam Peraturan Daerah (Perda) tentang RTRW Kota/Kabupaten. Pada tahun 2011, Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) dirintis oleh Kementerian Pekerjaan Umum (PUPR) -Direktorat Jenderal Penataan Ruang- sebagai salah satu bentuk insentif program dari Pemerintah Pusat agar Pemerintah Kota/Kabupaten bersama-sama dengan Pemerintah Provinsi dengan dukungan komunitas kota dapat mempercepat pemenuhan ketetapan UUPR tentang RTH Publik, sekaligus menjawab tantangan perubahan iklim di Indonesia. Sampai tahun 2017, sebanyak 174 kota/kabupaten di 31 Provinsi telah menjadi peserta P2KH yang melakukan berbagai langkah nyata perwujudan Kota Hijau. Selama penyelenggaraan P2KH, banyak pembelajaran yang dirasakan oleh penyelenggara program yakni Kementerian PUPR (Ditjen Cipta Karya yang mengampu P2KH sejak tahun 2015), maupun kota/kabupaten peserta program. Namun, belum ada satu publikasi pun yang merekam pencapaian, dampak, maupun evaluasi penyelenggaraan P2KH.
  • 8. 2 P2KH tidak sekedar membawa jargon “Kota Hijau”, melainkan sebagai konsep yang sejalan pada prinsip-prinsip pembangunan perkotaan berkelanjutan. Oleh karenanya, selain merekam bagian dari penyelenggaraan P2KH, Buku “Manajemen Pengetahuan Kota Hijau” ini juga memotret upaya Kota/Kabupaten dalam menjalankan visi kota berkelanjutan, yang dilengkapi dengan beragam tantangan dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Buku ini diharapkan dapat menambah publikasi tentang perwujudan pembangunan perkotaan berkelanjutan di Indonesia dan menjadi bahan rujukan bagi pemangku kepentingan perkotaan dalam merumuskan kebijakan, strategi, program, maupun kegiatan yang selaras dengan visi kota berkelanjutan. Apalagi tujuan global terhadap isu kota berkelanjutan semakin menguat dengan adanya Sustainable Development Goals (SDSs) atau Tujuan Pembangunan Perkelanjutan (TPB), New Urban Agenda (NUA), dan Kesepakatan Paris tentang Perubahan Iklim yang mendorong ditetapkannya target Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia. Penyusunan “Manajemen Pengetahuan Kota Hijau” dilakukan melalui 3 metode. Pertama, Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan pada 2 target dengan penyelenggaraan metode yang berbeda, yakni antar kementerian/Lembaga/instansi di level nasional yang berkecimpung dalam isu kota berkelanjutan, dan kota/kabupaten peserta P2KH. Kedua, melakukan survei ke beberapa kota/kabupaten untuk mencari data dari narasumber pemangku kepentingan kota (terutama OPD-OPD terkait perwujudan kota hijau). Ketiga, kompilasi data-data sekunder untuk melengkapi penulisan. Tahap selanjutnya, adalah mensintesakan hasil FGD, survei kota/kabupaten, dan kompilasi data sekunder ke dalam bentuk buku pengetahuan yang kiranya bermanfaat bagi pemangku kepentingan yang terkait pada isu perwujudan kota hijau.
  • 9. 3 Buku “Manajemen Pengetahuan Kota Hijau” disusun untuk dapat dimanfaatkan setidaknya 4 (empat) jenis pemangku kepentingan, yakni Pemerintah Kota/Kabupaten, Komunitas Kota/Kabupaten, Akademisi, dan Kementerian/Lembaga/Instansi di tingkat nasional. Pengetahuan pentingnya Kota Hijau yang menjadi inti dari buku ini ditujukan bagi Pemerintah Kota/Kabupaten dan Komunitas agar mereka dapat memahami bahwa Kota Hijau merupakan konsep yang harus diterapkan di Kota/Kabupaten. Kemudian, Pemerintah Kota/Kabupaten mendapatkan petunjuk mengatasi hambatan & tantangan dalam perwujudan kota hijau, disertai informasi strategi pencapaian maupun inspirasi program dan kegiatan dari berbagai kota/kabupaten lainnya. Sementara, Komunitas Kota/Kabupaten mendapatkan petunjuk peran komunitas dalam perwujudan kota hijau, disertai inspirasi dari kota/kabupaten lain terkait kegiatan komunitas yang dilakukan. Kementerian/Lembaga/Instansi di tingkat nasional mendapatkan informasi terkait program maupun pencapaian yang telah dilakukan terkait isu kota berkelanjutan untuk dapat ditindaklanjuti dalam memperkaya atau melengkapi penerapan isu sesuai tugas dan fungsi Lembaga. Bagi Akademisi, buku ini diharapkan dapat menjadi dasar penelitian atau kajian lanjutan mengenai pengembangan konsep kota hijau maupun kota berkelanjutan di Indonesia, terutama kajian yang berorientasi pada implementasi. Buku “Manajemen Pengetahuan Kota Hijau” disusun dengan penulisan yang bersifat deskriptif eksploratif dengan tujuan merekam opini maupun persepsi pelaku, dalam hal ini pemerintah (pusat maupun kota/kabupaten) dan komunitas yang berperan aktif, dalam perwujudan kota hijau. Penulisan diupayakan secara komprehensif, namun tidak mendalam berbasis studi ilmiah, dan dibawakan dengan bahasa populer dilengkapi infografis agar isi buku mudah dimengerti, bahkan untuk kalangan awam sekalipun.
  • 10. 4 Buku “Manajemen Pengetahuan Kota Hijau” berisikan 8 bagian pembahasan. Bagian pertama, membahas Signifikansi Visi Kota Berkelanjutan pada tujuan- tujuan global, yakni Sustainable Development Goals (SDSs) atau Tujuan Pembangunan Perkelanjutan (TPB), New Urban Agenda (NUA), dan Target Penurunan Gas Rumah Kaca (GRK) sesuai Kesepakatan Paris tentang Penanganan Perubahan Iklim yang ditetapkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia. SDGs terdiri dari 17 Tujuan dan 169 Target yang tercakup dalam dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan secara terintegrasi, sebagaimana prinsip keberlanjutan yang menuntut keseimbangan antar 3 aspek tersebut. New Urban Agenda (NUA) dengan tujuan utama Cities for All, berkomitmen untuk mendorong pembangunan kota dan permukiman yang lebih inklusif, non- diskriminatif, serta berkelanjutan. NUA berisi komitmen sebanyak 175 paragraf pada tujuan perkotaan yang berprinsip pada Leave no one behind (tidak menelantarkan seorangpun), Sustainable and inclusive urban economies (ekonomi perkotaan yang inklusif dan berkelanjutan), dan Environmental sustainability (keberlanjutan lingkungan hidup). Salah satu tema dalam NUA yang diangkat sehubungan dengan pencapaian visi kota berkelanjutan, adalah Pembangunan Lingkungan yang Berkelanjutan dan Kota yang Berketahanan. Sehubungan dengan komitmen global dalam COP Paris, pada tahun 2015, Indonesia mengumumkan komitmen penurunan emisi GRK sebesar 26% (skenario fair/menggunakan kemampuan sendiri) dan sebesar 41% (skenario ambisius/jika mendapat dukungan internasional) pada bidang berbasis lahan, energi dan pengelolaan limbah dalam kurun waktu 2010-2020, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) dan menjadi target Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia untuk menuju masa depan yang rendah emisi dan berketahanan iklim.
  • 11. 5 Bagian kedua, membahas Tantangan Perkotaan Indonesia. Indonesia tidak steril dari fenomena negara-negara lain di dunia dimana telah lebih dari setengah populasi penduduk negara tinggal di perkotaan, bahkan tren ini diperkirakan akan terus berlanjut hingga 2035 mendatang yang diproyeksikan bahwa sekitar 67% penduduk Indonesia akan tinggal di kota. Padatnya perkotaan tentu menyebabkan kian kompleksnya permasalahan, dan tidaklah sederhana untuk mencapai tujuan keberlanjutan. Bagian ketiga, membahas Perwujudan Kota Hijau di Indonesia, berisi penjelasan Konsep Kota Hijau, Penyelenggaraan P2KH, Atribut Kota Hijau, Dampak dan Evaluasi P2KH, serta Capaian Perwujudan Kota Hijau terkait 8 Atribut Kota Hijau. Bagian keempat, membahas Indikator Kota Hijau. Meski pencapaian “Kota Hijau” belum memiliki ukuran dengan indikator yang resmi, “Kota Hijau” secara tersirat termasuk dalam indikator-indikator resmi yang sudah ada, baik di tingkat global, seperti Sustainable Development Goals (SDSs) atau Tujuan Pembangunan Perkelanjutan (TPB) di Indonesia, maupun di tingkat nasional, seperti Rencana Pembangunan Nasional yang diterbitkan Bappenas dan indikator Penilaian Kinerja Pemerintah Daerah yang dikeluarkan Kementerian Dalam Negeri. “Kota Hijau” (atau Kementerian PUPR) belum berniat menyusun indikator “Kota Hijau” khusus, karena adanya indikator baru dikhawatirkan hanya menambah tumpang tindih berbagai indikator yang telah diterbitkan oleh beragam instansi. Bagian kelima, membahas Keselarasan Visi Kota Hijau, berisi beragam konsep, program maupun kegiatan dari beragam instansi di Indonesia yang -meski tidak berjudul “Kota Hijau” atau “Kota Berkelanjutan”- berisi substansi selaras dengan visi Kota Hijau, diantaranya Kota Layak Huni, Kota Cerdas, Kota Tangguh, Kota Sehat, Kota Layak Anak, Kota Tanpa Kumuh, Program Kampung Iklim (Proklim), Program Energi Terbarukan dan Konservasi Energi. Pembahasan ini bermaksud
  • 12. 6 menekankan bahwa “Kota Hijau” bukanlah satu tujuan mutlak berorientasi pada judul, melainkan suatu tujuan untuk menjamin penghidupan perkotaan jangka panjang yang dapat dicapai melalui berbagai cara. Bagian keenam, membahas Peranan Pemangku Kepentingan dalam Perwujudan Kota Hijau, yakni (i) Pemerintah Kota, (ii) Pemerintah Provinsi, dan (iii) Pemerintah Pusat sebagai kelompok Pembuat Kebijakan; (iv) Komunitas, sebagai kelompok terkena Dampak Kebijakan, kelompok terkait Kebijakan, yang memastikan kegiatannya dan kebijakan Pemerintah berjalan, sekaligus Pengawas Kebijakan, (v) Dunia Usaha/Swasta sebagai kelompok yang terkait Kebijakan dan yang memastikan kegiatannya berjalan, serta (vi) Akademisi sebagai kelompok yang terkait Kebijakan, kelompok Pengawas Kebijakan, dan yang memastikan kegiatannya dan kebijakan Pemerintah berjalan. Bahasan ini bermaksud memberi petunjuk bagi keenam pemangku kepentingan untuk berperan dalam perwujudan Kota Hijau. Bagian ketujuh, membahas Akselerasi Perwujudan Kota Hijau. Sebagaimana serangkaian diskusi dalam proses penyusunan “Manajemen Pengetahuan Kota Hijau” ini, menyepakati 4 faktor penting dalam perwujudan Kota Hijau, yakni (i) Komitmen Pemangku Kota (khususnya Pemerintah Kota/Kabupaten, Komunitas, dan Pihak Swasta), (ii) Regulasi, (iii) Sosialisasi Pengetahuan, dan (iv) Penggalangan Sumber Daya. Bagian ini diharapkan dapat memandu pemangku kepentingan kota untuk mengoptimalisasi pencapaian perwujudan kota hijau dengan melakukan aksi terkait 4 (empat) faktor tersebut. Bagian kedelapan, membahas Cerita Perwujudan Kota Hijau, dari 7 (tujuh) daerah (5 kota, 1 kabupaten, 1 provinsi) berdasarkan survei lapangan, wawancara dengan pemangku kota, dilengkapi data sekunder, mengenai upaya-upaya perwujudan kota hijau yang dihubungkan dengan visi dan karakter setempat. Ketujuh daerah mencerminkan ukuran dan karakter daerah yang berbeda, juga menjalani
  • 13. 7 perwujudan kota hijau dengan proses dan tantangan yang berbeda pula. Ketujuh daerah dipilih bukan berdasarkan penilaian baik atau buruk terkait perwujudan kota hijau, namun dimaksudkan memberi deskripsi pembelajaran yang mungkin terjadi umum atau bisa juga bersifat kasuistik, dan pada akhirnya diharapkan memberi inspirasi kepada lebih banyak daerah untuk dapat mengaplikasikan pembelajaran baik dan mengantisipasi faktor-faktor penghambatnya.
  • 14. 8
  • 15. 29 3. Perwujudan Kota Hijau Di Indonesia 03
  • 16. 30 A. Konsep Kota Hijau “Kota Hijau” merupakan sebuah metafora untuk melambangkan Kota Berkelanjutan, Kota Ekologis, Kota Ramah Lingkungan, Kota Berwawasan Lingkungan, atau konsep pengembangan kota yang berpihak pada kepentingan aspek lingkungan. Walaupun demikian, “Kota Hijau” sebagai konsep yang mendasarkan pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, tidak semata berpihak pada aspek lingkungan, melainkan juga keseimbangan 3 dimensi, lingkungan, sosial dan ekonomi. Istilah pembangunan berkelanjutan mulai diperkenalkan oleh Bruntland pada tahun 19872 , dengan definisi fundamental menekankan ‘manusia’ dan ‘kebutuhan jangka panjang’. “Kota Berkelanjutan disusun agar seluruh warga dapat memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan (well- being) tanpa merusak lingkungan alami 2 Buku Our Common Future atau membahayakan kehidupan manusia lain, sekarang atau masa depan.” Secara lebih detail, Kota Hijau dapat dikatakan sebagai konsep pengembangan kota yang memanfaatkan secara efektif dan efisien sumberdaya air dan energi, mengurangi limbah, menerapkan sistem transportasi terpadu, menjamin kesehatan lingkungan, mensinergikan lingkungan alami dan buatan, berdasarkan perencanaan dan perancangan kota yang berpihak pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Konsep Kota Hijau juga memperhatikan pentingnya dimensi tata kelola, yakni kepemimpinan, kelembagaan kota yang mantap, serta dukungan masyarakat melalui berbagai aksi positif. Tak jauh berbeda, Asian Development Bank (2015) menyatakan Kota Hijau sebagai usaha sebuah kota dalam mengurangi dampak lingkungan dan memaksimalkan peluang untuk meningkatkan dan
  • 17. 31 mendukung lingkungan alami dengan cara penggunaan energi yang efisien, mengurangi ketergantungan pada sumber energi tak terbarukan, aktif mendorong pengelolaan dan pengurangan limbah, memperbanyak kegiatan daur ulang, penggunaan infrastruktur hijau dan tangguh, kendaraan rendah emisi, pengelolaan air bersih, dan memberikan peningkatan kualitas hidup bagi masyarakat. B. Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) Dalam rangka mewujudkan kota/kawasan perkotaan yang berkelanjutan di Indonesia, Undang-Undang No. 26/2007 tentang Penataan Ruang antara lain telah mengamanatkan secara tegas bahwa 30% dari wilayah kota/kawasan perkotaan harus berwujud Ruang Terbuka Hijau (RTH), dengan komposisi 20% RTH publik dan 10% RTH privat. Amanat RTH 30% tersebut merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh Pemerintah Kota/Kabupaten yang termuat dalam Peraturan Daerah (Perda) tentang RTRW Kota/Kabupaten. Dalam kaitan itu, sejak tahun 2011, Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) telah dirintis dan diluncurkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum -Direktorat Jenderal Penataan Ruang- sebagai salah satu bentuk insentif program dari Pemerintah Pusat agar Pemerintah Kota/Kabupaten bersama-sama dengan Pemerintah Provinsi dengan dukungan komunitas kota dapat mempercepat pemenuhan ketetapan UUPR tentang RTH Publik, sekaligus menjawab tantangan perubahan iklim di Indonesia. P2KH yang diawali dengan penggalangan prakarsa dan komitmen 60 kota/kabupaten melalui perumusan Rencana Aksi Kota Hijau (RAKH), sampai tahun 2017 mencatatkan sebanyak 174 kota/kabupaten telah menjadi peserta P2KH yang melakukan berbagai langkah nyata perwujudan 8 atribut Kota Hijau. Pada setiap kota/kabupaten peserta P2KH yang telah melakukan penandatanganan piagam komitmen Kota Hijau, diberikan insentif berupa fasilitasi penyusunan Rencana Aksi Kota Hijau/RAKH dan Masterplan Kota
  • 18. 32 Hijau (Green Planning & Design), Desain dan Pembangunan Taman Kota (Green Open Space), dan Pembentukan dan Kegiatan Forum Komunitas Hijau/FKH (Green Community). Pada pengembangannya, setiap kota/kabupaten melakukan berbagai aksi nyata perwujudan Kota Hijau yang tidak semata dilaksanakan oleh unsur Pemerintah Kota/Kabupaten, namun juga melalui kerjasama produktif antara komunitas hijau, masyarakat lokal, serta pihak swasta, sebagai bagian dari upaya mendorong Gerakan Hijau Perkotaan (Urban Greening Movement). C. Atribut Kota Hijau Kota Hijau memiliki ciri-ciri atau karakteristik yang disebut dengan “Atribut Kota Hijau”. Berikut ini 8 (delapan) Atribut Kota Hijau : 1. Green Planning and Design
  • 19. 33 Perencanaan dan perancangan yang ramah lingkungan dengan beradap- tasi pada biofisik kawasan dan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah sebagai awal dari Kota Hijau. 2. Green Open Space Peningkatan kuantitas dan kualitas RTH sesuai karakteristik kota/kabupaten dengan target 30%. 3. Green Community Kumpulan individu, komunitas atau kelompok warga yang peduli dengan masalah lingkungan dan sosial budaya. 4. Green Waste Upaya yang dilakukan oleh semua pihak untuk mencapai kondisi zero waste melalui prinsip 3R, yakni Reduce (mengurangi sampah/limbah), Recycle (mendaur ulang sampah), Reuse (memberi nilai tambah sampah hasil proses daur ulang). 5. Green Water Upaya mengatasi masalah kelangkaan air, sekaligus menghemat penggunaan air, yang berarti menghemat biaya dengan menerapkan prinsip-prinsip seperti memaksimalkan
  • 20. 34 penyerapan air, mengurangi limpasan air, dan mengefisienkan pemakaian air. 6. Green Energy Pemanfaatan sumber energi yang efisien dan ramah lingkungan. Energi tersebut dikembangkan sebagai upaya mengatasi dampak lingkungan akibat penggunaan energi yang tidak terbarukan. 7. Green Transportation Pengembangan sistem transportasi yang berprinsip pada pengurangan dampak negatif terhadap lingkungan, efisiensi penggunaan bahan bakar, dan pelayanan yang berorientasi pada manusia. 8. Green Building Sistem pengelolaan rumah atau bangunan yang ramah lingkungan, dengan tujuan untuk melestarikan sumber daya alam, meningkatkan efisiensi energi dalam bangunan, dan meningkatkan kualitas udara dalam ruangan. D. Dampak Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) Secara umum, ada 3 aspek dampak yang terjadi pada kota/kabupaten peserta P2KH, yakni penambahan kuantitas & kualitas Ruang Terbuka Hijau (RTH), peningkatan kesadaran Kota Hijau, tumbuhnya budaya kolaborasi Pemerintah Daerah dengan komunitas, pelibatan swasta dalam perwujudan Kota Hijau, Penambahan Kuantitas & Kualitas Ruang Terbuka Hijau (RTH)
  • 21. 35 Sebagai program yang dilahirkan dari tuntutan percepatan pemenuhan RTH Publik sesuai ketetapan UUPR, P2KH memberi dampak yang cukup signifikan pada peningkatan kesadaran terhadap isu RTH. Sebelum keikutsertaan dalam P2KH, Pemerintah Kota Malang umumnya sekedar menjalani business as usual, berupa kegiatan penghijauan dan pemeliharaan yang ada. Walaupun dengan cara sedikit dipaksa, terdapat momentum setelah menyelesaikan Perda No. 4 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Malang, dapat ikut serta dalam P2KH, sebagai reward bagi yang sudah menyelesaikan dan dukungan terhadap target yang tercantum dalam RTRW. Setelah itu ada perubahan yang cukup signifikan sejak tahun 2012, meski persyaratan keikutsertaan P2KH dalam penyediaan lahan dirasa sangat menantang pada perkotaan cukup padat seperti Kota Malang. Pada November tahun 2011, Walikota Malang menandatangani piagam komitmen kota hijau. Setelah penandatanganan itu, terjadi suatu perubahan. Sebelumnya, hampir tidak ada penambahan Ruang Terbuka Hijau (RTH) selama 10 tahun ke belakang di Kota Malang. Selain penambahan kuantitas RTH yang secara umum terjadi di kota/kabupaten peserta P2KH, baik dari fasilitasi APBN maupun dari kemampuan APBD, kualitas RTH juga cenderung meningkat. P2KH sangat berarti bagi Kabupaten Jombang, yang dalam 3 tahun fasilitasinya, cukup menyadarkan fungsi open space dalam mewadahi aktivitas publik di kota, sehingga memicu Pemkab membangun titik taman baru dengan kemampuan mereka sendiri. Capaian lebih terperinci pada penambahan kuantitas & kualitas RTH dapat dilihat pada
  • 22. 36 bagian capaian Green Open Space (bab 3F.ii) Tumbuhnya Budaya Kolaborasi Pemerintah Daerah dengan Komunitas Dalam P2KH, ada persyaratan pelibatan komunitas hijau. Pada tahun 2011, dapat dikatakan, secara umum, Pemerintah Daerah cenderung cenderung asing dengan peran komunitas. Di sisi lain, komunitas pun merasa ada kekhawatiran bahwa independensi mereka akan terpengaruh jika terlibat dalam kegiatan pemerintahan. P2KH berupaya membangun budaya baru bahwa Pemerintah Daerah tidak dapat bekerja sendiri, tanpa pelibatan masyarakat atau komunitas yang merasakan dampak langsung pembangunan kota. Kesadaran masyarakat melalui keaktifan komunitas hijau menyambut baik kegiatan terkait kota hijau terlihat di kota/kabupaten peserta P2KH. Forum Komunitas Hijau (FKH) yang dibentuk sebagai wadah berkegiatan antar komunitas hijau atau komunitas peduli kota yang dibentuk pada awal kepesertaan P2KH pada umumnya kemudian berkembang menjadi unit penting mitra pemerintah dalam menggiatkan upaya perwujudan kota hijau secara berkelanjutan, bahkan ketika kota/kabupaten yang bersangkutan terlepas dari masa fasilitasi reguler P2KH (lihat Bab 3B). Keberlanjutan kegiatan komunitas, baik berupa peningkatan jumlah komunitas atau warga penggerak maupun keaktifan kegiatan komunitas dapat dilihat pada bagian capaian Green Community (bab 3F.iii) Pengembangan pelibatan komunitas yang lebih jauh dari kelompok kesamaan minat seperti Forum Komunitas Hijau (FKH) yang dibina dari skema P2KH, dilakukan Kota Malang dalam Lomba Kampung Tematik pada tahun 2016 atau yang kemudian disebut Festival Rancamala, program terobosan dalam perencanaan pembangunan. Program ini bertujuan agar Kota Malang menjadi kota bebas kumuh,
  • 23. 37 kota hijau, sekaligus kota tangguh, yang dapat dianalogikan sebagai Urban Accupunture, satu program yang menyelesaikan beberapa masalah perkotaan sekaligus, juga sebagai terobosan pada penyelenggaraan Musrembang yang hanya dikuasai oleh komponen tertentu saja dan sekedar menghasilkan business as usual. Program Kampung Tematik diinginkan agar memiliki daya ungkit lebih. Program ini meminta setiap daerah, minimal 1 RW untuk mendesain kawasannya sendiri dengan pelibatan masyarakat/komunitas. Komunitas bukan lagi dimaknai sebagai kelompok dengan kesamaan minat, tapi kelompok masyarakat, masyarakat dirasa memiliki kemampuan untuk merencanakan, seperti memasukkan substansi penerapan kota hijau di Daerah Aliran Sungai (DAS). Seleksi desain kawasan dilakukan hingga keluar 15 pilihan untuk dibantu Perguruan Tinggi dalam pengolahan perencanaan lebih lanjut, sehingga dalam prosesnya relatif tidak ada biaya sama sekali. Kelompok yang menang dihadiahi insentif, seperti anggaran implementasi untuk tahun depan. Program Kampung Tematik ini dirasa sebagai sebuah terobosan perencanaan maupun implementasi pembangunan kota yang tidak membutuhkan investasi yang tinggi. Peningkatan Kesadaran Kota Hijau Munculnya kesadaran tentang pentingnya pembangunan perkotaan berkelanjutan, merupakan hal mendasar yang dirasakan kota/kabupaten peserta P2KH. Kesadaran yang kemudian mendorong pemerintah daerah untuk memiliki komitmen dalam perwujudan Kota Hijau. Pemerintah Kota Banda Aceh merasakan peran penting P2KH sebagai bentuk dukungan Pemerintah Pusat dalam pendorong komitmen kota untuk menjalankan semua atribut kota hijau. Pelibatan Swasta dalam Perwujudan Kota Hijau
  • 24. 38 P2KH merupakan program insentif yang hanya berfungsi sebagai pendorong atau pemicu bagi Pemerintah Kota/Kabupaten agar dapat menjalankan visi Kota Hijau dengan kemampuan Kota/Kabupaten sendiri. Pada tahun 2012-2014 ketika dalam fasilitasi APBN P2KH, justru membuat pelaku Kota Hijau di Kota Malang menjadi tergantung. Pada tahun 2014, dengan RPJMD Kota Malang yang baru menunjukkan fase pengembangan dengan adanya peningkatan peran dunia usaha di Kota Malang. Dari tidak ada CSR, sampai ada begitu banyak perusahaan yang ingin menyumbangkan CSRnya untuk kota. Mungkin tidak hanya di Kota Malang, tapi juga di kota lain, Taman menjadi sesuatu yang secara visual menarik dan bisa membawa citra baik pada perkotaan. Temuan itu yang kemudian dimanfaatkan untuk mengekstraksi sebanyak mungkin potensi terhadap aspek lingkungan kota. Masa 2014-2015 ada booming yang luar biasa sampai Dinas Perkim kewalahan menerima permintaan CSR. Waktu itu Kota Malang belum punya Perda CSR dan memilih untuk tidak melalui forum CSR, sehingga masih perlu meraba-raba berita acara penerimaan asetnya. Bahkan Taman Merjosari Malang setiap tahun selalu mendapatkan CSR, seperti sepeda udara, alat olahraga, kemudian Loop Arena. E. Evaluasi Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) Selama penyelenggaraan P2KH yang mensyaratkan partisipasi aktif Pemerintah Kota/Kabupaten dan Komunitas Hijau setempat, tercatat 3 poin evaluasi, yakni jargon ‘Kota Hijau’ dipersepsikan sektoral, kesulitan penyediaan lahan untuk RTH, pentingnya aktivasi RTH (tidak sekedar membangun),
  • 25. 39 Jargon ‘Kota Hijau’ Dipersepsikan Sektoral Pada awal fasilitasi P2KH, setiap Kota/Kabupaten peserta diwajibkan membentuk Tim Swakelola, yang selain terdiri dari Kepala Daerah sebagai pengarah utama keberlangsungan program, juga harus melibatkan minimal 3 OPD yang terkait dengan penanganan kota hijau. Pelibatan lintas instansi (OPD) dalam satu tim, ditujukan untuk menjadikan kota hijau. Ternyata, menumbuhkan kerjasama lintas sektor bukan sesuatu yang sederhana. Mengemban jargon “Kota Hijau”, P2KH sekedar dipandang sebagai kegiatan yang terkait dengan taman saja, tak bisa dipungkiri karena salah satu jenis fasilitasinya adalah perencanaan dan pembangunan taman kota. Tidak heran, pada banyak kota/kabupaten peserta, P2KH hanya ditangani oleh OPD atau instansi yang terkait tugas pertamanan. Seperti program Kota Pusaka yang hanya dikerjakan Dinas Pariwisata & Kebudayaan. Selain dipandang sebagai kegiatan sektoral, butuh waktu untuk menunjukkan bahwa P2KH lebih dari sekedar proyek. Seperti yang terjadi, pada masa awal penandatanganan komitmen, kegiatan P2KH di Kota Malang hanya dikerjakan oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP, di Kota Banda Aceh oleh Dinas Pekerjaan Umum (PU), baru kemudian perlahan dipahami bahwa P2KH merupakan kegiatan lintas sektor. Mindset ini yang seringkali ditimbulkan oleh nama “Kota Hijau”, maka langsung diasumsikan hanya pekerjaan pertamanan saja. Ke depannya, Kota Hijau harus masuk dalam kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah Kemendagri. Dan jika visi pembangunan nasional tujuannya pada kota berkelanjutan, maka esensi dari kota hijau saja yang diinputkan ke dalam kebijakan. Seringkali bahasa “Kota Hijau” atau jargon lainnya, membuat kota berjalan sendiri-sendiri. Jargon yang membuat setiap
  • 26. 40 dinas atau instansi sulit berkoordinasi. Pada 2016-2018, evolusi Kota Malang mungkin tidak banyak lagi disebut Kota Hijau, melainkan ke arah SDGs, apalagi dengan terbitnya Perpres terkait SDGs. Perwujudan Kota Hijau di Kota Malang akan ditarik ke penerapan Smart City dan Kota Tangguh. Jadi tidak hanya 3 atribut kota hijau, tapi juga memasukkan konten- konten tentang Smart City, Kota Tangguh, dan SDGs, tidak lagi berbasis jargon “Kota Hijau”, tetapi Agenda Pembangunan Berkelanjutan. Kota Hijau lebih bersifat voluntary dibanding mandatory P2KH dapat dipandang sebagai kampanye terhadap 8 atribut di kota/kabupaten, jadi lokusnya adalah kota/kabupaten, fokusnya adalah 8 atribut itu. Karena sifatnya kampanye, tidak ada keharusan bagi daerah untuk melakukannya. Pemerintah daerah bergantung pada regulasi yang dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri. Sepanjang tidak berkaitan dengan program dan kegiatan secara langsung dengan OPD-OPD terkait, tidak bisa diharapkan hasil yang ideal. Contohnya, Kota Gorontalo memiliki program pengembangan transportasi, namun bukan mengarah pada transportasi hijau, melainkan pengoperasian bus untuk kepentingan angkutan siswa, yang mengarah pada urusan-urusan pelayanan. Bila kota hijau ingin dimasukkan dalam indikator yang harus dicapai daerah, harus masuk dalam regulasi-regulasi Kemendagri otomatis dipatuhi oleh pemerintah daerah. Permendagri No.57 tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Perkotaan sebenarnya dapat menjadi rujukan dalam menyusun indikator capaian kota hijau, termasuk menjadikannya dalam penilaian Adipura karena Pemerintah
  • 27. 41 Daerah patuh sekali terhadap penilaian Adipura itu. Apapun indikator penilaiannya, akan berusaha dipenuhi demi mempertahankan Adipura. Ada yang dapat dipenuhi secara cepat, ada yang perlu upaya lebih sistematis dan terencana, misalnya soal Green Transportation dan Green Building. Kedua hal itu, evaluasi dan regulasi, merupakan hal penting. Laporan Pencapaian Kota Hijau Dalam penyelenggaraan seluruh pemerindah daerah, kitabnya adalah RPJMD sesuai UU Pemerintah Daerah sehingga apapun program yang sedang dijalankan harus masuk ke RPJMD. Memang hingga kini, belum ada tuntutan penyusunan laporan terstruktur tahunan untuk evaluasi tentang perwujudan kota hijau secara nasional. Jika ada indikator yang menilai perencanaan, implementasi, dan pengendalian rasanya akan ada arah yang lebih jelas. Inovasi setiap kota/kabupaten untuk menjalankan visi kota berkelanjutan penting, tetapi harus tahu arahnya ke mana. Kesulitan Penyediaan Lahan Sebagai program nasional, P2KH tentu memiliki persyaratan umum yang berlaku pada semua kota/kabupaten. seperti keharusan penyediaan lahan seluas 5.000 m2 sampai 1 Ha bagi setiap kota/kabupaten peserta P2KH. Padahal tidak semua kota/kabupaten dapat menyanggupinya, apalagi bagi kota-kota besar atau kota yang berkembang pesat dan padat, kesulitan dalam penyediaan lahan. Pemeliharaan RTH Adanya keresahan kota/kabupaten perihal keberadaan taman. Baru disadarari, ternyata memiliki taman itu high cost, butuh dana yang tidak kecil untuk pemeliharaan. Mungkin untuk pemerintah kota tidak terlalu berat, karena lokasi wilayahnya tidak
  • 28. 42 terlalu luas. Bagi kabupaten Jombang yang terdiri dari 21 kecamatan dan 303 desa, dimana belanja infrastrukturnya masih vital, memiliki banyak taman menjadi beban APBD. Setelah 2016, APBD Kab. Jombang fokus pada pemeliharaan pada taman- taman yang sudah dibangun, tidak lagi membangun taman lagi. Pemeliharaan saja pun sudah cukup menelan biaya. Per tahun lebih dari 2 milyar untuk membangun taman, sekaligus untuk membuat aksi meramaikan taman oleh FKH. Sekarang, APBD Kabupaten Jombang sudah sampai pada titik puncaknya kemampuan mengganggarkan pemeliharaan. Kalau ada taman baru, sudah tidak mampu lagi memeliharanya. Ke depannya, Aktivasi RTH Selain pentingnya pemeliharaan, keberadaan RTH wajib diaktivasi. Perlu program meramaikan taman, agar taman berfungsi dengan baik secara ekologis, ekonomi, maupun sosial. Pemerintah Pusat diharapkan mendorong kota/kabupaten untuk membuat program- program meramaikan taman, karena berapa pun diberikan infrastruktur taman, dampaknya dapat memberatkan Pemerintahan Daerah dalam pemeliharaan. Ketika taman telah berfungsi baik, menjadi ramai, banyak pihak akan datang berkontribusi. Juga, diharapkan adanya panduan bagi Pemerintah Daerah dapat mengelola bantuan tersebut agar teralokasikan secara strategis. Penerapan Insentif & Disinsentif Pemenuhan RTH Publik 20% sesuai amanat undang-undang dikeluhkan mayoritas kota/kabupaten sulit dilakukan. Pemerintah Pusat dituntut mengambil peran menangani masalah ini. Dalam perhitungan di Kota Banda Aceh, untuk menaikkkan 1% RTH dibutuhkan lahan seluas 30 Ha, kalau 1 HA-nya senilai 3 milyar, berarti dibutuhkan anggaran APBD senilai 90 milyar untuk pengadaan lahan. Tentu bukan nilai yang kecil. Kesulitan pemerintah daerah dalam peningkatan RTH mungkin dapat dilakukan
  • 29. 43 melalui regulasi insentif dan disinsentif. Namun, sebagian besar Pemerintah Daerah di Indonesia memang belum berhasil menerapkan regulasi insentif dan disinsentif. F. Capaian Perwujudan Kota Hijau Dari insentif dasar Pemerintah Pusat kepada Kota/Kabupaten peserta P2KH atas 3 atribut Kota Hijau, yakni Green Planning & Design, Green Open Space, dan Green Community, telah dicapai angka-angka sebagai berikut :
  • 30. 44 Pengembangan insentif tersebut menghasilkan capaian-capaian yang bervariasi sesuai kemampuan dan karakter masing-masing setiap kota/kabupaten bermodalkan hal yang sama, yakni komitmen tinggi untuk mewujudkan visi Kota Hijau. Berikut ini adalah capaian-capaian yang dilakukan oleh Kota/Kabupaten peserta P2KH berdasarkan atribut Kota Hijau : i. Perencanaan dan Perancangan Kota yang Ramah Lingkungan (Green Planning & Design) • Dokumen Masterplan Kota Hijau Kota Banda Aceh diadopsi ke dalam konten revisi RTRW • Implementasi prinsip Kota Hijau dalam revisi dokumen RTRW Kota Gorontalo • RTRW Kota Bogor mengadopsi prinsip perubahan iklim (Climate Change) • Kota Bekasi menyusun Masterplan Kota Hijau dengan dana APBD ii. Peningkatan Kuantitas dan Kualitas Ruang Terbuka Hijau (Green Open Space) Peningkatan Kuantitas RTH • Luasan RTH Publik Kota Banda Aceh meningkat dari 11% (tahun 2011 ketika Kota Banda Aceh menandatangani MoU Kota Hijau) ke 13.2% (tahun 2017) • Luasan RTH Publik Kab. Jombang hanya 10% (sebelum menjadi peserta P2KH pada tahun 2011) menjadi 12% (setelah mengikuti P2KH) • Peningkatan kualitas RTH dengan pelibatan komunitas di Kab. Jombang • Kota Malang melakukan FGD rutin multistakeholder terkait pengelolaan RTH
  • 31. 45 • Penambahan luasan RTH Publik di Kab. Wonosobo menjadi 51 Ha Peningkatan Kualitas RTH • Peningkatan fungsi taman selain rekreasi, ke fungsi edukasi di Kota Gorontalo • Walikota Gorontalo mengeluarkan himbauan untuk melaksanakan senam di RTH • Adanya kontribusi CSR untuk pembangunan RTH di Kota Gorontalo • Penambahan RTH Publik Kota Bogor dari 38 Ha (pada tahun 2011 ketika Kota Bogor menandatangani MoU Kota Hijau) menjadi 41.72 Ha (pada tahun 2018) • Peningkatan kualitas RTH di Kota Bogor untuk beraktivitas dan berinteraksi • Kota Depok meraih Adipura pada tahun 2017 (setelah nenjadi peserta P2KH sejak 2012) • Adanya kebijakan pembelian lahan untuk penambahan RTH di Kota Depok • Kota Depok melakukan kegiatan penanaman pohon sejak 2015 sampai saat ini • Kota Pariaman konsisten menganggarkan APBD sejak tahun 2012 (MoU Kota Hijau Kota Pariaman) sampai tahun 2018 senilai 2 milyar untuk perencanaan RTH di Pantai Kata dan Pantai Cermin • Peningkatan luasan RTH Publik Kota Pariaman dari 9.2 Ha menjadi 12.8 Ha • Adanya CSR dari Pertamina untuk pengembangan Taman Pantai Penyu di Kota Pariaman
  • 32. 46 • Peningkatan kuantitas RTH Publik di Kota Semarang dengan target 16 taman baru per tahun • Peningkatan fungsi RTH di Kota Semarang, tidak hanya sebagai ruang terbuka, melainkan mendukung aktivitas masyarakat dan daya dukung lingkungan • Adanya CSR PT Djarum dalam peningkatan kualitas Taman Indonesia Kaya di Kota Semarang • Peningkatan RTH Publik di Kota Bekasi dari 11.5% menjadi 12.8% • Adanya kebijakan pembelian lahan di 36 lokasi untuk RTHP (RTH Perkotaan) di Kota Yogyakarta, khusus pada tahun 2018 pembelian lahan sebanyak 9 lokasi iii. Keaktifan Komunitas Peduli Lingkungan dan Sosial Budaya Kota (Green Community) • Tumbuhnya Komunitas Hijau hingga sejumlah 52 sampai tahun 2017 di Kota Banda Aceh • Adanya Festival tahunan “Jombang Eco Creative” • Munculnya gerakan masyarakat peduli kebersihan sungai “Santri Jogo Kali” di Kab. Jombang • FKH Kota Gorontalo konsisten berjalan hingga 2018 • FKH Kota Depok sejak tahun 2012 sampai saat ini terus berkegiatan • Sejak 2012 telah dibentuk, FKH Kota Pariaman dilantik langsung oleh Walikota pada 2017, berkegiatan aktif 2-4 kali dalam sebulan (gotong royong bersih pantai, festival hijau, dll.)
  • 33. 47 • Aktivisme pejuang lingkungan dikoordinir oleh BLH Kab. Wonosobo • Komunitas Hijau di Kota Bekasi aktif melakukan kegiatan rutin di tiap kecamatan • Komunitas sepeda Kota Bekasi (ROBEK) aktif dalam kampanye penggunaan sepeda dan pemenuhan fasilitas pendukung bersepeda (halte sepeda, dll) • Penanaman rutin pohon (komunitas pecinta pohon, komunitas berkebun) hasil dari pengembangan FKH Kota Bekasi iv. Pengelolaan Sampah yang Berkelanjutan (Green Waste) • Pembinaan masyarakat terkait manajemen persampahan dalam bentuk bank sampah di Kota Banda Aceh • Penyediaan komposter di setiap kelurahan di Kota Banda Aceh • Lebih dari 50% Desa di Kab. Jombang sudah memiliki bank sampah • Cakupan pelayanan sampah di Kota Bogor diperluas dengan sistem TPS 3R dan Bank Sampah • Pemilahan sampah 3R di Kota Depok sejak tahun 2012 sampai 2018 • Penambahan TPS di masing-masing kelurahan Kota Depok • Terdapat Perwako pembentukan Bank Sampah di 4 Kecamatan Kota Pariaman • 400 Bank Sampah berbasis RW di Kota Yogyakarta • Pengurangan timbulan sampah di Kota Yogyakarta sebesar 27% • Program komposting di Kota Yogyakarta dari Dinas LH melebihi produksi, dimanfaatkan untuk
  • 34. 48 taman, sisanya diberikan kepada masyarakat v. Pengelolaan Sumber Daya Air dan Efisiensi Penggunaan Air (Green Water) • Penanganan masalah banjir dengan menerbitkan Perda tentang Polder Air tiap rumah dan pada kawasan perumahan di Kota Bekasi vi. Efisiensi Penggunaan Energi dan Pemanfaatan Energi Terbarukan (Green Energy) • Penggunaan Solar Cell pada PJU Kab. Jombang • Pembangunan Biogas di Kab. Jombang • Lampu di TPA menggunakan energi gas metana di Kab. Jombang • 60% Gedung Pemerintahan di Kota Pariaman sudah menggunakan lampu hemat energi • Penganggaran untuk pengadaan lampu hemat energi di Kota Bekasi • Lampu PJU dan traffic light di Kota Yogyakarta telah menggunakan lampu hemat energi (LED) • Tahun 2019 Pemerintah Kota Semarang bekerjasama dengan Jepang dalam penerapan energi ramah lingkungan • Tahun 2015, Pemerintah Kota Semarang menerima hibah dari Philips sebanyak 250 titik PJU yang menggunakan lampu hemat energi vii. Pengembangan Transportasi Rendah Emisi (Green Transportation) • Penyediaan pedestrian di Kota Malang yang nyaman dan humanis, serta dilengkapi fasilitas penunjang • Peningkatan kualitas pedestrian Ramah HAM (Lansia, Ibu hamil, Difabel, Anak, Lingkungan)
  • 35. 49 sebagaimana visi Kab. Wonosobo sebagai Kota Ramah HAM • Penambahan Pedestrian di sekitar Kawasan Kebun Raya Kota Bogor • 2012 – 2015, terdapat kebijakan “One Day No Car” khusus PNS di Kota Depok • Sampai dengan 2018, telah ada 8 koridor BRT di Kota Semarang, target tahun 2019 menjadi 12 koridor BRT • Pengembangan Pedestrian tahap 2 Jl. Malioboro Kota Yogyakarta, pembatasan kendaraan bermotor hanya untuk angkutan umum dan kepentingan kenegaraan • Car Free Day di Kawasan Tugu Kota Yogyakarta setiap minggu viii. Pembangunan dan Pengelolaan Bangunan Ramah Lingkungan (Green Building) • Pada tahun 2015, Pemerintah Kota Pariaman telah menetapkan Kawasan Perkantoran Bebas Rokok • Pada tahun 2018, Pemerintah Kota Pariaman mengeluarkan Raperwako tentang Penyelenggaraan Bangunan Hijau
  • 36. 50 Kota Hijau sudah memberikan banyak sekali manfaat. Ke depan, PRnya jauh lebih besar dari sekedar lomba mendapatkan alokasi anggaran RTH. Ada PR emisi, komitmen NDC Indonesia cukup besar sebanyak 26%. Masalah besar juga tentang krisis air. Air akan menjadi mutiara masa depan. Esensi RTH adalah polusi dan konservasi air. Itu yang harus diterjemahkan dalam indikator- indikator yang menjadi esensi program ke depan. Kota Hijau adalah sarananya, tapi kita harus fokus ke esensinya.
  • 37. 83 g6. Peranan Pemangku Kepentingan Dalam Perwujudan Kota Hijau 06
  • 38. 84 Secara kategoris, 5 (lima) pemangku kepentingan (stakeholder) pihak pemanfaat ruang kota12 , terdiri dari : 1. Stakeholder yang berwenang membuat kebijakan, yakni Eksekutif (pemerintah dan lembaga pemerintahan terkait), Legislatif (DPR dan DPRD tingkat I dan II), dan Yudikatif 2. Stakeholder yang terkena dampak kebijakan, yakni Kelompok Warga Setempat dan Warga 3. Stakeholder yang mengawasi kebijakan, yakni DPR, DPRD tingkat I dan II, LSM, Pers/Media, Forum Warga, Partai Politik, Asosiasi Profesi, Perguruan Tinggi 4. Stakeholder kelompok kepentingan yang terkait kebijakan, yakni Partai Politik, LSM, Pengusaha, Forum Warga, 12 Penataan Ruang : Sebuah Cermin Peradaban, 2009 : 116-117 Asosiasi Profesi, Perguruan Tinggi, Kelompok Mediasi 5. Stakeholder yang mempunyai kepentingan agar kegiatan atau kebijakannya berjalan, yakni Pressure Group (seperti Partai Politik, LSM, dan Forum Warga), Kelompok Pendukung/Support Group (seperti Donor, Pengusaha, Perguruan Tinggi, Warga, Pemerintah Pusat dan Daerah, dan Kelompok Mediasi. Jika dibedakan berdasarkan pelaku, Pemerintah Kota, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Pusat merupakan kelompok Pembuat Kebijakan; Komunitas, merupakan kelompok terkena Dampak Kebijakan, kelompok terkait Kebijakan, yang memastikan kegiatannya dan kebijakan Pemerintah berjalan, sekaligus Pengawas Kebijakan, Dunia Usaha/Swasta merupakan kelompok yang terkait Kebijakan dan yang memastikan kegiatannya berjalan, serta Akademisi
  • 39. 85 merupakan kelompok yang terkait Kebijakan, kelompok Pengawas Kebijakan, dan yang memastikan kegiatannya dan kebijakan Pemerintah berjalan. A. Pemerintah Kota/Kabupaten Di tingkat pemerintah daerah, RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) merupakan dokumen perencanaan pembangunan daerah untuk jangka periode selama 5 (lima) tahunan yang berisi penjabaran dari visi, misi, dan program kepala daerah dengan berpedoman pada RPJP Daerah serta memperhatikan RPJM Nasional13 . RPJMD menjadi acuan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dalam menyusun Rencana Strategis (Renstra) OPD. Kepala Daerah memegang peranan sangat penting dalam perwujudan Kota Hijau karena Kepala Daerah yang sudah memahami pentingnya Kota Hijau atau visi 13 UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang ”Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025” Kota Berkelanjutan menuangkannya dalam visi-misi yang kemudian diturunkan secara legal dalam bentuk RPJMD dan Rencana Kerja OPD, sampai ke penganggaran program-program terkait Kota Hijau. Urban Sustainability Framework (USF) menetapkan 4 tahapan peta jalan untuk meningkatkan pencapaian keberlanjutan kota, yaitu : Tahap 1 – Diagnosa Isu Perkotaan, berisi jawaban atas pertanyaan “Bagaimana Kondisi Kota Sekarang ?” yang mengidentifikasi keberdayaan atau karakter kota dan jurang pencapaian keberlanjutan. Pada tahap ini, kota juga dapat merespon isu kota terkini, tantangan, dan kesempatan. USF mendorong kota/kabupaten untuk mengintegrasikan data kota ke dalam perencanaan dan penyusunan kebijakan. Tahap 2 – Penentuan Visi dan Aksi Proritas, berisi jawaban atas pertanyaan
  • 40. 86 “Kemana Tujuan Kota ?” dan “Bagaimana Kota menuju Tujuan tersebut?”. Visi diorientasikan menuju ke tujuan masa depan dan upaya-upaya untuk memprediksi bagaimana kota dapat lebih berkelanjutan 10 sampai 20 tahun ke depan. Tahap ini kota dapat memformulasikan tujuan-tujuan yang diinginkan untuk membentuk kota yang diinginkan. Visi harus berhubungan dengan kebutuhan, konteks sejarah dan budaya kota, serta status terkini dalam pencapaian visi kota berkelanjutan. Aksi prioritas pada tahap ini merupakan kunci dari perubahan. Untuk merealisasi visi, kota harus memiliki sebuah rencana aksi efektif yang berisi ukuran target dan pencapaian, kegiatan dan inisiatif untuk implementasi, peran setiap pemangku kepentingan dan komitmen pembiayaan kota. Tahap 3 – Pembiayaan Rencana, berisi jawaban atas pertanyaan “Bagaimana kota membiayai pencapaian tujuan-tujuan prioritas yang telah ditentukan sebelumnya ?” Pembiayaan aksi prioritas menjadi sangat penting : proses mengidentifikasi pilihan pembiayaan perlu dilakukan secara paralel dengan pengembangan visi dan aksi prioritas kota. Tahap 4 – Kerangka Monitoring, berisi jawaban atas pertanyaan “Apakah Kota melakukan langkah yang benar dan apakah rencana kota berjalan baik?” Monitoring dan Evaluasi menyeluruh memungkinkan perangkat OPD dapat belajar dari pengalaman sebelumnya, meningkatkan cara penyampaian program, dan perencanaan dan pengalokasian sumber daya, sembari menunjukkan hasil pencapaian sebagai bagian dari akuntabilitas. Keterhubungan Metode Peningkatan Keberlanjutan Kota USF dalam Sistem Penyelenggaraan Pemerintah Daerah tergambarkan dalam skema berikut. Skema yang menggambarkan bahwa modal pencapaian konsep kota berkelanjutan bermodalkan visi & misi kepala daerah dan penentuan visi dan aksi prioritas kota dalam menangani permasalahan perkotaan.
  • 41. 87 B.Komunitas Salah satu tujuan penataan daerah/kota adalah untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang tinggal di suatu tempat. Dalam penyusunan kebijakan maupun implementasinya, pemerintah daerah wajib melibatkan masyarakat14 , sebagaimana masyarakat merupakan kelompok terkena dampak kebijakan. Kelompok Warga Komunitas sebagai sebuah entitas kelompok warga dan masyarakat, dirasa berperan penting dalam perwujudan Kota Hijau -sebagai visi kebijakan pemerintah daerah- sehingga menjadi salah satu bagian dari atribut Kota Hijau, Green Community, yang secara khusus dilakukan melalui pembentukan Forum Komunitas Hijau (FKH). Inisiasi terbentuknya FKH yang merupakan kumpulan komunitas kota yang peduli, perlu ada dorongan dari Pemerintah Daerah, termasuk dalam pembinaannya. Di sisi lain, FKH maupun komunitas-komunitas di kota diharapkan juga ikut mendorong 14 UU no. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah komitmen Pemerintah Daerah dalam mewujudkan Kota Hijau. Peran yang dapat dilakukan komunitas dalam perwujudan kota hijau, antara lain : • Mengetahui dan mengidentifikasi permasalahan kota • Meningkatkan kesadaran publik (public awareness) tentang kondisi kota • Berkontribusi membantu mengatasi permasalahan kota melalui aksi-aksi komunitas • Meningkatkan jejaring sesama komunitas untuk bersama-sama melakukan aksi berkelanjutan untuk kota • Membuka ruang diskusi dengan pemerintah kota dan pemangku kepentingan lain untuk berkolaborasi melakukan aksi hijau • Melakukan pemetaan pemangku kepentingan dan menemukan potensi
  • 42. 88 kerjasama untuk meningkatkan aksi hijau yang berdampak mengatasi permasalahan kota, khususnya dengan pendekatan kota berkelanjutan. Setiap tahapan peran komunitas tersebut dilakukan pada kegiatan Kampanye Publik Kota Hijau. C. Swasta Pembangunan Daerah, tidak hanya bisa bertumpu pada kemampuan APBD, keterlibatan peran serta masyarakat dan sektor swasta juga diamanatkan dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2014. Peran swasta dalam perwujudan Kota Hijau, antara lain : • Menjalin kerjasama dengan Pemerintah Kota untuk mengatasi permasalahan kota yang dapat ditindaklanjuti dengan bantuan kontruksi pembangunan, bantuan non- fisik, atau bentuk lainnya • Setiap badan usaha memiliki tanggung jawab mengucurkan Corporate Social Responsibility (CSR) yang dapat diarahkan untuk kegiatan terkait implementasi Kota Hijau. CSR untuk Kota Hijau dapat disalurkan melalui komunitas ataupun Pemerintah Kota. D. Akademisi atau Perguruan Tinggi Perguruan Tinggi memiliki asas Tri Dharma, yang menjadi dasar penyelenggaraan institusi berlandaskan Pendidikan, Penelitian dan Pengembangan, dan Pengabdian Masyarakat. Perguruan Tinggi sebagai sumber keilmuan sebenarnya dapat berperan menyediakan studi dan solusi konret atas permasalahan kota. Pemenuhan kewajiban Tri Dharma dalam perwujudan Kota Hijau, dapat dilakukan dengan integrasi aspek Penelitian dan Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat. Secara khusus, Perguruan Tinggi dapat berperan, antara lain : • Melakukan penelitian yang mengarah pada penganganan permasalahan kota setempat
  • 43. 89 • Mengembangkan penelitian tidak sekedar berhenti pada dokumen, melainkan mensosialisasikannya ke publik untuk menjadi pengetahuan umum atau bahkan mungkin dapat peningkatkan kesadaran warga • Mengadvokasi penelitian ke Pemerintah Kota agar dapat diadopsi menjadi kebijakan yang diimplementasikan. E. Pemerintah Pusat (Kementerian/ Lembaga) Pemerintah Pusat, selain menetapkan kebijakan sebagai dasar dalam menyelenggarakan Urusan Pemerintahan, juga berwenang melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Provinsi maupun Kota/Kabupaten (melalui gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat)15 . Sebagai pembuat kebijakan dasar, Pemerintah Pusat tentu menjadi rujukan utama Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kota/Kabupaten dalam membuat dan 15 Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pasal 6, 7 mengimplementasikan kebijakan di daerah, tak terkecuali kebijakan terkait Kota Hijau. Di tataran kementerian/lembaga, beberapa instansi mengeluarkan kebijakan dan program mengarah pada visi terkait Kota Berkelanjutan. Walaupun tidak membawa label ‘Kota Hijau’ atau ‘Kota Berkelanjutan’ secara eksplisit, keberadaan kebijakan dan program terkait perlu diketahui sebanyak- banyaknya Pemerintah Daerah yang dapat memperkaya kebijakan dan implementasi di daerah. Peran Pemerintah Pusat (Kementerian/ Lembaga) dapat perwujudan kota hijau, antara lain : • Sosialisasi kebijakan dan program nasional yang terkait Kota Hijau dan Kota Berkelanjutan kepada Pemerintah Daerah • Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pencapaian perwujudan kota hijau
  • 44. 90 • Melakukan pembinaan kepada Pemerintah Daerah dalam penanganan permasalahan kota dengan pendekatan Kota Hijau atau bervisi Kota Berkelanjutan • Memberikan insentif dan apresiasi kepada pencapaian baik Kota/Kabupaten. Insentif dan apresiasi dipercaya Pemerintah Kota/Kabupaten menjadi pemicu untuk meraih pencapaian yang lebih baik, dan menjadi motivasi bagi Kota/Kabupaten yang lain untuk dapat memberikan pencapaian terbaiknya. F. Pemerintah Provinsi Pemerintah Provinsi (dalam hal ini Gubernur) merupakan wakil Pemerintah Pusat dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan oleh Kota/Kabupaten16 . Terkait perwujudan kota 16 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah hijau, Pemerintah Provinsi wajib melakukan pembinaan dan pengawasan dalam pemenuhan wajib pelayanan dasar perkotaan kota/kabupaten, khususnya urusan Pekerjaan Umum Umum & Penataan Ruang dan Perumahan & Pemukiman yang sehubungan dengan ke- PU-an dan pencapaian 6 Indikator Kinerja Kunci (IKK) Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (LPPD) yang secara langsung mendukung Kota Hijau (lihat bagian 4C) , yakni Lingkungan Hidup, Pekerjaan Umum, Tata Ruang, Perencanaan Pembangunan, Perumahan, Kehutanan. Bagi daerah yang berkinerja rendah sesuai hasil evaluasi LPPD, Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat berhak melakukan fasilitasi khusus, dengan pertimbangan kementerian terkait, untuk dapat meningkatkan kinerja penyelenggaraan daerah17 . 17 Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
  • 47. 125 STRATEGI PENAMBAHAN RTH Penambahan dan Pengelolaan RTH Kota Malang termasuk dalam tugas Bidang Pertamanan, Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman Kota Malang. Seperti mayoritas kota di Indonesia, Kota Malang mengalami kesulitan dalam mencari lahan untuk penambahan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Namun dengan komitmen Pemerintah Kota Malang dalam penambahan RTH, Bidang Pertamanan memiliki beberapa strategi untuk tetap mengupayakan penambahan RTH di tengah keterbatasan lahan yang ada. Strategi pertama, mendata tanah-tanah eks bengkok atau seluruh lahan yang milik Pemkot (atau secara administrasi dinyatakan milik Pemkot dan melakukan klarifikasi Bappeda bahwa lahan tersebut diperuntukkan hijau dalam RTRW), karena saat ini masih banyak lahan yang disewakan oleh Pemkot. Bidang Pertamanan juga bekerjasama dengan forum lalu lintas dalam mensimulasi arus lalu lintas dengan penggunaan lahan yang lebih efektif. Jika ada U-turn yang tidak bermanfaat, akan dibongkar untuk dijadikan RTH, walaupun hanya 100 m2 . Kedua, lahan yang telah didata, kemudian di-DED-kan. DED tersebut menjadi dasar Walikota mengeluarkan SK Penetapan Taman, Hutan Kota, atau Jalur Hijau. SK Penetapan RTH tersebut direview setiap 2 tahun sekali, biasanya terkait penambahan pengelolaan RTH yang sebelumnya belum dimasukkan, khususnya fasum berupa RTH dari pihak privat yang diserahterimakan ke Pemda. Dalam proses penyusunan DED, dilakukan FGD yang melibatkan akademisi, perwakilan pemerintahan, warga sekitar, tokoh masyarakat, dan warga sekitar. FGD bertujuan menjaring aspirasi tentang taman seperti apa yang diinginkan atau tema seperti apa. Pedoman 8 atribut kota hijau semaksimal mungkin diakomodasi dalam DED taman, begitu pun juga muatan lokal yang membedakan satu DED lokasi dengan lainnya. FGD lintas pemangku kepentingan ini tidak hanya berhenti pada tahap perencanaan, melainkan untuk diskusi- diskusi lanjutan untuk mencari ide-ide
  • 48. 126 pemeliharaan. Bidang Pertamanan setidaknya telah melakukan 8 kali FGD Rutin Taman pada 2017, dan 6 kali pada 2018. Ketiga, dalam proses penyusunan anggaran fisik, DED yang sudah tersedia diusulkan dalam slot anggaran fisik. Anggaran fisik yang terbatas tidak terlalu menjadi masalah, selama terdapat stok DED. Bergantung pada kebijakan anggaran, walaupun yang difisikkan hanya 2 lokasi. Dengan strategi tersebut, sampai akhir tahun 2018, Kota Malang dalam proses menambahan luasan Taman Pandanwangi/Teluk Grajakan seluas 4.600 m2 dan Taman Median Ki Ageng Gribik seluas 8.800 m2 . Selain itu, ada pula upaya menambah fasilitas-fasilitas penunjang yang ada di taman eksisting, sehingga taman tidak sekedar pasif dan sekaligus masuk dalam beberapa indikator, yakni adipura, program kota layak anak, dan program kota ramah anak. Dalam mewujudkan taman berstandar baik dan sesuai dengan banyak kriteria program, umumnya dibangun playground yang aman untuk mendorong anak-anak untuk aktif bergerak. Penambahan fasilitas lain dapat berupa Perpustakaan dan Ruang Laktasi, seperti di Taman Trunojoyo. Berdasarkan pengamatan Dinas, selain wahana bermain (playground), fasilitas foot theraphy menjadi favorit warga di taman sehingga kedua fasilitas inilah yang wajib ada di taman lingkungan dekat permukiman. STRATEGI PENGELOLAAN RTH Penambahan fasilitas taman terbukti mengundang animo masyarakat yang cukup tinggi dengan level disiplin masyarakat yang beragam, dari rendah hingga tinggi. Ketika taman bagus, dikunjungi banyak orang, pasti ditemukan pengunjung yang buang sampah sembarangan. Sebagai upaya menjaga kedisiplinan masyarakat dan kebersihan taman, dibentuknya Polisi Taman, terdiri dari 50 personil yang ditugaskan di beberapa RTH dan beberapa yang melakukan pengawasan berkeliling
  • 49. 127 (mobile). Polisi Taman dikontrak per tahun yang bekerja dalam mendisiplinkan masyarakat secara persuasif, tidak represif. Setiap harinya, Polisi Taman bertugas dalam 2 shift sejak pagi hingga jam 11 malam. Dalam pemeliharaan, tantangan terbesar adalah durabilitas fasilitas. Dinas Perkim memiliki pengalaman dalam menyediakan fasilitas permainan bidak catur dengan kualitas impor, namun hanya bertahan 5 hari, karena perlakukan masyarakat yang masih serampangan. Vandalisme ditemukan ada, tapi tidak banyak. Kegiatan pemeliharaan dan pengawasannya, baik Taman Kota, Hutan Kota, Jalur Hijau, menghabiskan anggaran mencapai 6 Milyar dari hampir total 12 Milyar seluruh anggaran Bidang Pertamanan. Pentingnya pengelolaan RTH membuat Dinas Perkim berstrategi untuk menjadikan pemeliharaan dalam prioritas pertama penganggaran untuk dipenuhi, sebelum pos anggaran lainnya. Tingginya beban pengelolaan RTH, mendorong Dinas Perkim membentuk UPT Taman Aktif, khusus untuk pengelolaan RTH besar, yakni Taman Alun- alun, Taman Trunojoyo, Taman Slamet, Taman Merbabu, dan Taman Merjosari. Keterlibatan CSR dalam RTH selama ini, bergantung penuh pada perhatian (interest) pihak swasta. Tahapan umumnya, pihak swasta mengirimkan proposal ke Dinas disertai DED, kemudian disesuaikan dengan arahan tema taman yang dimiliki Bidang Pertamanan di lokasi/wilayah tersebut. Kalau tidak sesuai, ada kesepakatan lanjutan, atau swasta yang harus menyesuaikan tema yang ditetapkan Dinas. Setelah penyesuaian, ada persetujuan. Dalam keterlibatan dengan pihak swasta, Dinas tidak melakukan pendekatan, biasanya pihak swasta datang melalui Walikota. Keterlibatan swasta mayoritas ke kegiatan fisik,walaupun ada pula yang sifatnya pemeliharaan taman, sumbangan alat pemeliharaan, seperti mobil tangki dan pick-up. Dalam skema pemeliharaan, swasta bertanggung jawab terhadap keseluruhan aspek perawatan taman di lokasi tertentu, termasuk penyediaan
  • 50. 128 personel perawatan yang diikat dalam kontrak selama 3 tahun, dan bisa diperpanjang setelahnya (sesuai Peraturan Daerah tentang Perjanjian Kerjasama Pengelolaan Barang Milik Daerah). Sebagai upaya menggerakkan kontribusi berbagai pihak dalam kampanye RTH, pada tahun 2017 Bidang Pertamanan melakukan lomba taman tingkat lingkungan dan adakn direncanakan dilaksanakan setiap 2 tahun sekali. Pada pelaksanaan yang pertama 2017 lalu, tercatat 57 kelurahan di Kota Malang ikut serta dalam inisiasi membangun sebuah taman dengan sumber daya dari masyarakat sendiri. Dengan insentif yang ditawarkan kepada pemenang berupa uang tunai pembinaan pemeliharaan dan pembangunan fasilitas (pada aset milik Pemda), pelajaran yang dapat diambil, antara lain munculnya kreativitas warga dalam membangun taman, masyarakat menjadi peduli soal perawatan taman, tak hanya soal menanam, dan pada akhirnya warga memberikan perhatian pada lingkungannya. PAYUNG BESAR VISI KOTA HIJAU Walaupun pada tahun 2018 ini, Kota Malang memasuki era kepemimpinan yang baru, perangkat pemerintah kota yakin bahwa komitmen baik yang selama ini tercatat dalam perwujudan Kota Hijau tetap terjaga. Walikota terpilih saat ini menetapkan meneruskan visi yang sebelumnya, Malang yang Bermartabat (Bersih, Makmur, Adil, Religius-Toleran, Terkemuka, Aman, Berbudaya, Asri, dan Terdidik). Walaupun saat ini masuk dalam proses penyusunan RPJMD yang baru, isu lingkungan dan keberlanjutan kota dapat dipastikan akan masuk dalam rencana pembangunan Kota Malang 5 tahun ke depan. RPJMD yang baru mencoba mengaitkan isu lingkungan dengan tata ruang, ketangguhan kebencanaan, dan kota cerdas. Saat ini, framework kota hijau berbasis 8 atribut, sudah mengarah 3 hal tersebut. Integrasi isu lingkungan dengan isu-isu terkini, seperti kota cerdas yang biasanya hanya pendekatan telematika, diarahkan untuk menggabungkan isu lingkungan, termasuk pelayanan publik.
  • 51. 129 Perwujudan Kota Hijau diimplisitkan dalam misi ekonomi yang bertujuan menciptakan pertumbuhan ekonomi, yang memperhatikan keberlanjutan. Sasaran ini ada 3, yakni pertumbuhan ekonomi kreatif, pemerataan infrastruktur secara berkelanjutan, dan kemanfaatan tata ruang dan pengelolaan lingkungan hidup. Sasaran yang akan diturunkan dalam bentuk indikator yang sedang didiskusikan, antara lain Indeks Daya Saing Infrastruktur, Indeks Kualitas Layanan Infrastruktur, Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (KLHK), Persentase Pengurangan Sampah, Rasio Kesesuaian dengan Tata Ruang. Indikator- indikator tersebut diharapkan menjadi semacam payung besar untuk program kota hijau, walaupun tidak secara eksplisit menyatakan kota hijau. Berdasarkan pembelajaran pelaksanaan P2KH, tidak adanya indikator dinilai menjadi suatu kelemahan, karena pengukuran itu, sangat penting untuk melihat pencapaian. RPJMN nanti diarahkan agar berbasis indikator yang terukur, untuk semakin memperbaiki target kinerjanya. SINERGI LINTAS SEKTOR Sebagaimana menjadi tantangan di banyak kota, Kota Malang juga merasakan kendala koordinasi antar sektor. Dan memang kadang-kadang, akuntabilitas platform/program menimbulkan kesalahan persepsi, yakni satu program merupakan urusan satu bidang saja. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan dorongan dari pimpinan yang sudah menyadari atau pimpinan yang perlu ditumbuhkan kesadaran pentingnya kerja koordinasi lintas sektor. Dalam skema keberlanjutan P2KH bagi kota yang berkinerja baik, Kota Malang mendapatkan bantuan fasilitasi dari Bappenas. Dalam evaluasi penyelenggaraan P2KH, Bappenas menilai keterlibatan tim lintas sektor terlalu bersifat teknis, sehingga ada keterbatasan menggerakkan pihak yang lebih strategis. Untuk memberikan dampak yang lebih besar, dibutuhkan pembentukan tim lintas sektor yang berada di level steering committee, dalam kegiatan- kegiatan yang memfasilitasi peningkatan kapasitas dalam memberi pengetahuan
  • 52. 130 tentang proses transformasi kota maju, seperti Walikota, Sekretaris Daerah, Kepala- kepala OPD, yang memiliki kekuatan posisi untuk untuk menumbuhkan komitmen, menyamakan visi dan menentukan tujuan jangka panjang dan strategis. Kunci dari sinergi lintas sektor untuk mewujudkan kota hijau juga dengan integrasi dokumen perencanaan daerah. Kemudian, merincinya ke dalam langkah- langkah yang lebih teknis dan sering membuat pertemuan atau pokja-pokja lintas sektor. Pada periode sebelumnya, kinerja kota Malang diuntungkan oleh Walikota yang memiliki program yang menarik dunia usaha, dan mengarah pada potensi taman yang menarik banyak kontribusi dari swasta. Didukung juga adanya champion- champion di OPD terkait, untuk meleburkan atau mengkaitkan batas-batas sektor dengan tujuan yang lebih besar. Champion ini adalah mereka yang bekerja melampaui tugas, lebih luwes berkoordinasi, mudah berkomunikasi, dan menyebarkan virus baiknya bahwa semua tujuan baik untuk kota bagaimanapun saling terkait, tidak hanya tugasnya satu Dinas. Pada awal P2KH dulu, banyak yang mengira, Kota Hijau itu hanya Taman, maka tugasnya Dinas Pertamanan (waktu itu) untuk menyadarkan bahwa ini terkait dengan bidang lain-lain. Ego sektoral memang tidak dapat dihilangkan, tapi bisa disiasati. Jika flagshipnya yang terangkat (nama program, seperti Kota Hijau, Kota Cerdas), sebenarnya tidak masalah, selama ada pengukuran yang membuatnya jadi tercapai. Pengumpulan data sebaiknya dilakukan oleh lintas sektor sehingga data maupun hasil pengukuran dapat berguna untuk berbagai kepentingan. Ego sektoral juga bisa dilebur dengan adanya kepemimpinan yang memberikan kesempatan berinovasi. Penanganan permasalahan kota yang demikian kompleks yang sekedar mengandalkan pekerjaan yang sesuai dengan batas-batas sektor, akan jauh tertinggal dengan cara- cara penanganan yang inovatif.
  • 53. 131 Secara garis besar, kunci perwujudan kota hijau, adalah peningkatan kapasitas, konsistensi, pengukuran, dan insentif- disinsentif. Adanya penghargaan, seperti penghargaan inovasi kota hijau atau forum sharing antar daerah, bisa dilihat sebagai insentif yang mengakselerasi tujuan kota berkelanjutan. PR besar yang dimiliki Malang, adalah soal pengembangan transportasi massal, yang membutuhkan dana yang besar. Terkait hal tersebut, telah disiapkan rencana MoU kerjasama Malang Raya (Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu) yang berisi proposal pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS), prioritas pembangunan transportasi publik, dan sistem pengolahan sampah termal. Proposal yang disusun dengan sinergi antar kepala daerah tersebut akan diadvokasikan ke kementerian terkait, dan berbagai lembaga yang dinilai bisa membantu perwujudan kota berkelanjutan yang melibatkan kerjasama antar wilayah dan membutuhkan pembiayaan yang tidak kecil.
  • 54. 132
  • 55. 133
  • 56. 134
  • 57. 135
  • 58. 136
  • 59. 137
  • 60. 138
  • 61. 139
  • 62. 140 KOTA SURABAYA Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur Visi Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya tahun 2016-2021 untuk menjadikan "Kota Sentosa yang Berkarakter dan Berdaya Saing Global berbasis Ekologi" merupakan dasar kebijakan dalam pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Visi kota yang berwawasan lingkungan telah dicanangkan sejak tahun 2011.
  • 63. 141 PERENCANAAN TATA RUANG BERBASIS EKOLOGIS Visi Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya tahun 2016-2021 untuk menjadikan "Kota Sentosa yang Berkarakter dan Berdaya Saing Global berbasis Ekologi" merupakan dasar kebijakan dalam pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Visi kota yang berwawasan lingkungan telah dicanangkan sejak tahun 2011. Berdasarkan visi kota berbasis ekologi, selain mempertahankan RTH eksisting, upaya peningkatan RTH dilakukan melalui perluasan area, pendistribusian RTH ke seluruh area kota, dan sebisa mungkinkan menjadikan RTH bermanfaat untuk aktivitas atau ruang bersosialisasi warga. Upaya untuk tidak membiarkan RTH sekedar berfungsi pasif, Pemkot melakukan kolaborasi dengan berbagai LSM dan organisasi yang peduli pada isu ruang publik, seperti UCLG, CSR Swasta. Kolaborasi tersebut berupa kegiatan pendampingan warga, khususnya dalam pengadaan ruang publik di perkampungan padat penduduk. Inovasi yang dilakukan di kawasan permukiman padat yang sangat membutuhkan ruang publik, namun tidak tersedianya tanah pemda, umumnya warga telah memiliki konsensus pada tanah milik individu yang telah disepakati untuk dijadikan ruang publik bersama. "Kita dari awal sudah memastikan mana-mana yang hijau, kecuali di dalam kawasan permukiman padat yang tidak ada tanah lagi, kita trigger dengan hibah dari masyarakat sendiri, gimana menyediakan, kemudian mereka minta ke kita, bahwa mereka punya tanah bersama, sudah disepakati warga, tolong dibantu dibangunkan melalui CSR, kita yang bantu mencarikan CSRnya. Kalau kita yang bangun kan tidak boleh". Badan Perencanaan dan Pembangunan kota (Bappeko), bidang Sarana dan Prasarana
  • 64. 142 Pada program pengendalian tata ruang, Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya mengidentifikasi seluruh aset tanah pemkot yang berfungsi hijau eksisting, seperti makam, lapangan, taman, waduk, sempadan sungai, sempadan pantai, agar tidak berubah fungsi. Prinsipnya, jika dalam tata ruang dipertunjukkan hijau akan tetap hijau, sehingga tidak mungkin keluar izin mendirikan bangunan pada area peruntukkan hijau. Kawasan utara, timur, dan selatan dialokasikan untuk kawasan perlindungan kota. Kondisi eksisting sejalan dengan target pemenuhan RTH 20% publik sesuai RTRW, walaupun masih belum optimal, seperti pantai timur yang saat ini masih berupa kawasan mangrove pasif walaupun direncanakan terdapat mangrove information center dan menjadi wisata masyarakat, waduk yang belum dilengkapi jalur pejalan kaki, atau RTH lain yang dioptimalkan memiliki nilai lebih bagi masyarakat. Kegiatan optimalisasi tersebut yang saat ini berjalan, termasuk juga pembebasan lahan pada kawasan yang direncanakan menjadi RTH, yang saat ini di beberapa bagiannya masih dimiliki warga. "Tata ruang Surabaya sudah clear bahwa kalau hijau akan tetap hijau. Tidak mungkin izin keluar untuk mendirikan bangunan di situ. Itu sudah komitmen". Pengoptimalisasian RTH dilakukan secara bertahap sesuai ketersediaan dana yang terbatas, dengan prinsip kemanfaatan langsung masyarakat. Misalkan lahan 1 Ha, baru ada dana utuk pembangunan 500 m2 , maka diupayakan pembangunan 500 m2 dapat langsung dirasakan masyarakat. INOVASI PENANGANAN RUANG TERBUKA HIJAU Secara rutin, Pemkot menganggarkan program pengelolaan RTH, yang berada dalam kegiatan Dinas Kebersihan dan RTH (DKRTH) dan Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian. DKRTH menangani kegiatan terkait RTH pasif maupun aktif, sementara
  • 65. 143 tugas Dinas Pertanian berhubungan dengan pengembangan Hutan Kota, Perikanan, dan Penanaman Mangrove. Taman Taman hanya merupakan salah satu instrumen RTH, selain makam, hutan kota (di Dinas Pertanian), rusun (di Dinas PU), dan lapangan (di Dinas Olahraga). Taman di kota Surabaya dibagi dalam 2 jenis, yakni taman aktif dan taman pasif. Taman aktif berfungsi untuk sosialnya, atau disebut taman rekreasi, sedangkan taman pasif berfungsi sebagai paru-paru kota, dan estetika kota. DKRTH, khususnya bidang Pertamanan, secara prinsip melakukan penghijauan, melakukan pengamanan terhadap aset, menggalakkan inventarisasi aset tersebut, mulai dari fasum-fasos, aset BPKD, dan berusaha menjadikan wilayah- wilayah yang memang berfungsi sebagai RTH. Sebagai sebagai aplikator yang mengeksekusi ketersediaan lahan yang diperuntukkan sebagai RTH, DKRTH mengkonsepkan taman yang sesuai dengan kebutuhan setempat. Dalam implementasi konsep taman, DKRTH menerapkan tema desain yang diangkat dari masyarakat sekitar atau memunculkan landmark sendiri sebagai ikon yang trendy dan instagrammable. Kegiatan pengembangan tema desain taman, umumnya dilakukan tim perencanaan DKRTH secara swakelola yang terdiri dari beragam latar belakang, diantaranya ilmu lansekap, sipil, arsitektur, dan desain produk. Ketika mengolah tema, dilakukan identifikasi di lapangan Dalam prosesnya pun, berupaya menjalin partisipasi dari masyarakat. "Sebelum mendesain, kami melakukan riset lapangan, seperti saat menggarap desain taman di Jalan Mundu, ditanyakan ke warga, Mundu itu apa. Ketika tahu Mundu itu tanaman, dicari tanamannya, untuk ditanam di situ., dilakukan riset lapangan, ketika tahu Mundu itu tanaman, kita cari tanamannya, untuk bisa
  • 66. 144 kita tanam di situ. Pada kasus di Mayangkara, di tengah jalan (bawah jalan layang), terdapat lapangan futsal, karena memang tidak ada lahan, percuma dibangun taman akan rusak lagi. Kami ditegur oleh para praktisi, karena dianggap tidak layak membangun lapangan, kami balik, adakah solusi untuk membahagiakan anak-anak di sekolah situ. Sampai sekarang, lapangan itu menjadi primadona masyarakat sana. Untuk kasus lain, bisa jadi kultur budaya setempat yang kami angkat, mereka sukanya apa." Untuk setiap lokasi, tim perencana menggarap beberapa desain (lebih dari satu pilihan) ditawarkan ke Walikota, untuk disetujui, karena beliau tidak ingin hanya ada satu pilihan. Walaupun sudah ada kriteria mengenai taman aktif dan taman pasif, keadaan di lapangan dan aspirasi masyarakat terkadang menuntut adanya improvisasi. Seperti Taman Pelangi yang seharusnya menjadi taman pasif, karena posisinya berada di tengah jalan yang berpolutan tinggi menjadi tidak layak dijadikan taman aktif. Namun, ada beberapa aspirasi masyarakat yang menginginkan ada landmark baru di situ, akhirnya dilakukan penyesuaian desain dengan adanya bangku taman dan beberapa fitur yang tidak seharusnya ada di taman pasif, ternyata menghasilkan daya tariknya luar biasa. Pemkot seperti memberi wadah kepada warga untuk berselfie dan berfoto, menjadi semacam ada identitas baru di Surabaya. Nama taman pun mengalami perubahan, sebetulnya di awal bernama "Taman Ahmad Yani" sebetulnya, setelah ramai oleh masyarakat dan beredar di berbagai sosmed, masyarakat kemudian menyebutnya "Taman Pelangi", Pemkot pun akhirnya mengakomodir. Beberapa perubahan seiring waktu juga terjadi di lokasi lain. Seperti dulu, dikenal Taman Harmoni tetapi lalu jadi Taman Keputih, Taman Belitung jadi Taman Lansia. DKRTH
  • 67. 145 mencoba mengangkat yang familiar di masyarakat. Berbeda dengan 10-15 tahun yang lalu, dalam beberapa tahun terakhir, DKRTH memiliki tujuan pemerataan pembangan dengan menjangkau wilayah yang lebih luas, jauh dari tengah kota, dan lebih dalam ke pelosok. Konsekuensinya pada tugas pemantauan yang menuntut waktu banyak, karena lokasinya dari ujung ke ujung. "Kalau dulu, mungkin hanya menyentuh tepi jalan atau tengah kota yang keliatan perlu kami amankan, sekarang sudah masuk ke kelurahan-kelurahan. Saat ini, korelasi antara pembangunan dan pemeliharaan taman bisa dikatakan sebanding." Pemkot mewadahi usulan pembangunan taman di kampung oleh warga dalam musrembang, untuk kemudian diverifikasi oleh DKRTH, salah satunya menyangkut kesanggupan dalam melakukan pemeliharaan. Ada pula kasus, usulan datang dari RT, namun warga tidak setuju, maka Pemkot akhirnya tidak mengimplementasi. Pada kasus seperti ini, DKRTH menyodorkan surat pernyataan penolakan pembangunan untuk dapat menghapus anggaran. DKRTH memprioritaskan implementasi pada kawasan yang lebih siap, lebih terbuka, dan lebih membutuhkan. Langkah tersebut dilakukan untuk mempercepat terpenuhinya target dengan skala prioritas, kejelasan aset lahan pemda dan kelayakan kawasan permukiman (misalkan kawasan kumuh yang perlu peningkatan kualitas layak huni sampai tidak ada ruang bermain). Setelah itu, ada pertimbangan penanganan di kawasan lain, seperti area kawasan elit yang diserahkan ke Pemkot, jika aset jelas dan tidak ada konflik dapat dieksekusi DKRTH. Dalam melaksanakan seluruh kegiatannya yang meliputi perencanaan sampai pembangunan, DKRTH diperkuat oleh 16 orang dan tenaga lapangan oursourcing (pasukan hijau) yang mencapai 400 orang, dan mengelola anggaran sekian milyar.
  • 68. 146 Anggaran APBD untuk pemeliharaan taman di DKRTH mencapai 30 milyar setahun, terdiri dari kegiatan pemeliharaan (dengan sistem swakelola dan pihak ketiga), tenaga kontrak, dan sarana prasarana (kendaraan bermotor, peralatan, dan BBM). Untuk mensiasati pemenuhan seluruh kebutuhan pemeliharaan yang lebih besar, DKRTH menarik keterlibatan swasta atau BUMN. Bentuk kontribusi yang ditawarkan dalam pembiayaan CSR umumnya berupa sarana dan prasarana pemeliharaan, misalnya truk, tangki, skywalker, fukuda. "Masa akhir tahun, adalah momen kami mengirim banyak proposal ke pihak swasta, BUMD, dan BUMN. Yang tembus sebenarnya bisa dihitung jari, paling 3-4. Mungkin tidak berarti ketika liat kebutuhan kita, tapi sangat membantu sekali. Jadi anggarannya bisa dialokasikan untuk pembangunan taman di tengah-tengah kampung berluasan 80-90 m2 yang berjumlah banyak sekali." Sebagai bentuk apresiasi, pada barang yang disumbangkan, terdapat keterangan, misalkan "tangki ini bantuan dari ....". Dari kerjasama tersebut, hampir tidak ada pengadaan sarana atau prasarana dalam penganggaran DKRTH. Tahun 2018 ini, DKRTH sudah mencapai bantuan CSR senilai 2 milyar. "Strategi yang kami lakukan berikutnya, setelah barang sudah berusia 3-5 tahun, butuh peremajaan, kami sampaikan kembali kepada pemberi, apakah mau membantu kembali. Jika tidak, kami minta izin untuk merebranding ke pihak lain, ternyata memunculkan kekhawatiran dari mereka (pihak CSR), yang pada akhirnya mereka meneruskan bantuan pada hal sama bahkan kalau perlu membantu hal lainnya. Jadi,
  • 69. 147 kami ciptakan kondisi-kondisi yang kompetitif, toh kami juga tidak memaksa." Dalam pembangunan taman pada area besar yang membutuhkan anggaran besar, Pemkot juga menjalin kerjasama dengan pihak lain, seperti pembangunan Keputih yang melibatkan kontribusi dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan UCLG Aspac. Ada pula pembangunan yang murni atas bantuan pihak lain, seperti Bank BNI, dengan grand desain yang sudah ada dari Pemkot. Dalam rangka pengendalian kualitas pada pekerjaan konstruksi, DKRTH memberlakukan regulasi sertikat bulanan, dimana pembayaran dilakukan sesuai kenaikan progres berdasarkan mutual check setiap bulan, bukan borongan. Pekerjaan pemeliharaan juga dihitung per m2 , di dalamnya berisi klasifikasi kegiatan (misalnya penyapuan, pembersihan, dll). Pengendalian dilakukan secara efektif dengan media komunikasi jarak jauh, seperti laporan WA dan aplikasi online berisi jenis tanaman yang masuk, jumlah stok, dan area distribusi. Sedangkan pekerjaan pemantauan dilakukan oleh petugas yang ditempatkan per area (radius) dibawah koordinasi kepala satgas area, tidak stay di satu lokasi. Masyarakat juga ikut menjadi pemantau, melalui berbagai portal pengawasan yang dimiliki Pemkot, seperti sms gateway, dll. Hutan Kota Dipicu meningkatnya polusi khususnya dari kendaraan bermotor yang melintasi jalan kota Surabaya serta ancaman bencana alam, Pemkot Surabaya menekankan pengembangan hutan kota melalui Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian, khususnya bidang pertanian. Hutan kota dibangun pada area. Beragam tipologi hutan kota dikembangkan, diantaranya hutan kota pohon, hutan kota semak, dan hutan kota herbal.
  • 70. 148 Arahan pembangunan hutan kota, umumnya datang dari Walikota. Kemudian, Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian menindaklanjutinya dengan pengembangan desain secara swakelola sesuai tema yang juga dikemukakan juga oleh Walikota. Pada beberapa kasus, perencanaan desain bekerjasama dengan Universitas. Seperti saat ini, Bidang Pertanian sedang dalam proses perencanaan Hutan Kota Lontar bekerjasama dengan Universitas Airlangga. Sama seperti seluruh pembangunan infrastruktur atau yang berhubungan dengan desain ruang kota Surabaya, koreksi dan persetujuan rencana hutan kota dilakukan Walikota. Secara bersamaan, sedang direncanakan pula 2 Hutan Kota, yakni Hutan Kota, Hutan Kota mili dan Hutan Kota Lontar-Kebraon yang dikembangkan dari lahan bekas BTKD (Bekas Tanah Kas Desa). Pengembangan RTH di Surabaya umumnya memang memanfaatkan BTKD, kecuali ada perintah pembebasan lahan seperti di Pakal yang di dalam kawasannya terjepit lahan milik masyarakat, yang kemudian dibebaskan untuk penataan kawasan hijau yang menyeluruh. Di bawah tugas Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian pula, Kota Surabaya sedang merencanakan Kebun Raya Terbesar se-Asia Tenggara, seluas 500 hektar di area timur Surabaya dengan kerjasama Kementerian PUPR dan LIPI, yang mencakup 4 kecamatan dan 7 kelurahan. Dengan luasnya area rencana pengembangan kebun raya tersebut, pembebasan dilakukan bertahap dan di beberapa area dilakukan perangkulan masyarakat. Walaupun secara prinsip berfungsi pasif untuk ekologi kota, Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian semaksimal mungkin memasukkan unsur edukasi dan fungsi pemanfaatan masyarakat di hutan kota surabaya. Bahkan kantor Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian pun dibangun zona .... yang ditujukan sebagai pusat edukasi publik yang kerap dikunjungi siswa sekolah untuk belajar lingkungan alam kota, seperti pengenalan tanaman, pembibitan,
  • 71. 149 penanaman hidroponik, sampai pada peternakan. Dalam operasionalisasi, hutan kota dikelola secara outsourcing per lokasi, yang rata- rata dikerjakan oleh 4 orang. Pekerjaan pengelolaan outsourcing ini dikendalikan oleh koordinator-koordinator area yang melaporkan kinerja ke Dinas. Sementara, dalam penjagaan, mengingat lokasi hutan kota umumnya tidak dekat dengan pusat kegiatan warga, hanya dilakukan dari pagi sampai sore. Penanganan RTH yang dinilai membutuhkan anggaran besar dipatahkan Walikota Risma dengan banyak inovasi yang menghemat anggaran, sehingga perubahannya telah terlihat signifikan sejak Bu Risma masih menjabat Kepala Dinas Kebersihan dan RTH (DKRTH). "Dulu itu dipikirnya kalau bangun taman perlu dana banyak. Sejak Bu Risma Kepala DK RTH benar-benar kelihatan perubahannya, jadi banyak inovasi, terutama soal penghematan anggaran". Strategi yang diterapkan adalah pemanfaatan sumber daya dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lain. Misalnya tanah subur diambil dari sedimen pengerukan saluran dari kegiatan Dinas Pekerjaam Umum & Bina Marga atau mengambil tanah dari IPLT (Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja), pupuk diperoleh dari pengolahan sampah organik di rumah kompos, tanaman diupayakan dari 2 kebun bibit besar Surabaya (Kebun Bibit Wonorejo dan Bratang). Pembelian tanaman baru dianggarkan untuk yang berukuran besar, langka, dan belum dikembangkan di kebun bibit. Kebun Bibit Wonorejo yang disebut "Rumah Sakit Tanaman di Surabaya" merupakan sumber pengadaan tanaman di Surabaya, berada di dalam pengelolaan UPTD. "Dulu Wonorejo disebut kebun bibit, tapi sekarang, kami bisa bilang seluruh RTH Surabaya adalah kebun bibit, kecuali
  • 72. 150 untuk tanaman-tanaman master, seperti Pulai, Kamboja Merah, masih mungkin kita datangkan dari luar." Prinsip pemanfaatan sumber daya yang ada yang berdampak pada minimnya biaya pembangunan, dirasakan saat penataan kawasan Perak oleh Pemkot yang dikerjakan bersebelahan dengan wilayah Pelindo. Dengan sistem pengerjaan oleh pihak ketiga oleh Pelindo menghabiskan dana 4-5 Milyar, dapat menghasilkan kualitas yang serupa dengan pekerjaan Pemkot yang hanya menghabiskan dana kurang dari 1 Milyar. Pemkot memiliki regulasi yang mendasari penguatan upaya, khususnya yang bervisi ekologis. Pada tahun 2003 terbit Perda no. 18/2003 tentang Izin Penebangan Pohon, yang hanya mencakup perizinan. Pada tahun 2014, Perda tersebut direview yang menghasilkan Perda no. 19/2014 tentang Perlindungan Pohon. Dengan bahasa perlindungan, terdapat ada efek jera di dalamnya. Kritik datang dari kelompok pengusaha yang dirugikan dengan adanya Perda tersebut karena dianggap mengurangi area komersial, DKRTH kerap menandinginya dengan nilai lingkungan yang lebih tinggi. Regulasi tersebut didesain terintegrasi dengan proses perizinan, seperti IMB, Amdal, dll Daftar Hutan Kota dan Mangrove Information Center (MIC) N o. Nama Hutan Kota Lokasi Luas Jenis Tanam an 1. Hutan Kota Balas Klumpri k Balas Klumpri k, Wiyung 4.3 Lindun g, Buah 2. Hutan Kota Pakal I Gang Sidorejo , Pakal 6.85 Lindun g, Buah 3. Hutan Kota Pakal II Gang Mulyo, Pakal 6.15 Lindun g, Buah 4. Sambike rep I Kapasan I (dekat SMPN 20), 0.13 Lindun g, Buah
  • 73. 151 Sambike rep 5. Sambike rep II Sambike rep Indah Utara, Sambike rep 0.72 Lindun g, Buah 6. Lempun g Lempun g Perdana, Lontar, Sambike rep 1.9 Lindun g, Buah 7. Sumur Welut Sumur Welut, Lakarsan tri 3.34 Lindun g, Buah 8. SPT Jeruk Raya Mengan ti, Jeruk, Lakarsan ti 7.65 Lindun g, Buah 9. Hutan Kota Gunung Anyar Wisata Anyar Mangro ve, Gunung Anyar Tambak, 43.0 2 Lindun g, Mangr ove Gunung Anyar 10 . Mangro ve Informat ion Center (MIC) Wonorej o Timur, Wonorej o, Rungkut 33.4 98 Lindun g, Mangr ove MENUMBUHKAN KESADARAN & KEBERDAYAAN WARGA SEBAGAI KUNCI KEBERLANJUTAN Keasrian Kota Surabaya yang dikenal saat ini bukanlah proses yang instan. Fenomena banyak orang menyepelekan, merusak, atau bahkan mengambil pohon kota yang ditanam, juga sempat terjadi di Surabaya. "Pada awal tahun 2000, sekarang kami nanam pasti besok tidak ada. Kita tanam terus, Bu Risma sembari membuktikan pada masyarakat, bahwa Surabaya bisa berprestasi dari taman, maka jagalah. Memang, Surabaya terkenal berawal dari taman."
  • 74. 152 Proses perubahan perilaku warga secara perlahan dipicu komitmen dan pembuktian Pemkot bahwa taman atau RTH adalah aset penting Surabaya yang dibangun dan dipelihara dengan sungguh-sungguh. Ketika kesungguhan pemkot terbukti dengan terpeliharanya taman dan keindahan kota secara umum, tumbuhlah kesadaran warga untuk tidak merusaknya. "Beberapa tahun kemudian, di tahun 2000an, tidak pernah ada lagi pengambilan tanaman. Bahkan warga saling mengingatkan dan menjaga. Dalam prosesnya, kita bisa membuktikan bahwa kita bisa memelihara taman. Sama dengan CSR, kita buktikan dulu, bahwa kita bisa buat dan memelihara, baru meminta kontribusi CSR." Insiden Wall's Ice Cream Day pada Mei 2014, secara tidak langsung mempengaruhi kesadaran warga Surabaya. Insiden yang merugikan Pemkot hingga 1.3 M turut menyulut amarah warga. Dalam proses perbaikannya pun, tidak sedikit warga yang turun tangan memberikan bantuan. Pemkot memanfaatkan momen ini sebagai kesempatan pelibatan masyarakat langsung dalam pembenahan kota, dengan melakukan tanam bersama masyarakat dalam rangka perbaikan taman bungkul, dipandu oleh arahan DKRTH. Masyarakat diperlakukan sebagai subjek, sementara dinas atau pemkot sebagai fasilitator. Untuk menjaga terpeliharanya, DKRTH terus menerus melakukan edukasi dan pengawasan langsung ke lapangan. Memberi perhatian langsung pada waktu, diakui DKRTH, efektif untuk menumbuhkan dan merawat kesadaran warga. "Dibanding urusan teknis, waktu kami lebih banyak di sosialisasi." Pemkot Surabaya berupaya mendorong warga untuk peduli pada lingkungan sendiri untuk menumbuhkan rasa memiliki dari warga dan menjamin perubahan baik akan berkelanjutan, melalui program
  • 75. 153 Surabaya Green and Clean yang meliputi kegiatan lomba dan publikasi media. Publikasi bertujuan mengapresiasi upaya warga dalam mengubah lingkungan sehingga mereka dikenal publik dan dapat menginspirasi lebih banyak warga. DKRTH atau Dinas Pertanian dapat memberi bantuan tambulapot kepada warga yang membutuhkan, serta melakukan pembinaan dalam pembuatan barang-barang dari sampah anorganik. Sedangkan untuk penanganan sampah organik, Pemkot mendistribusikan keranjang takakura, khususnya untuk memproses sampah basah atau sisa makanan, untuk dijadikan kompos. Kompos digunakan sebagai media tanam di perumahan warga, bahkan jika tidak mampu, Pemkot juga dapat menyediakan pot gratis. Sebagai upaya pemberdayaan warga, dalam proses musrembang terdapat pilihan program seperti bantuan bibit tanaman, bantuan bibit lele, urban farming, dan pelatihan/pendampingan dari Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian, Dinas Kebersihan dan Ruang Terbuka Hijau (DKRTH), atau Dinas Pengendalian Penduduk, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP5A), yang dapat membantu warga melakukan kegiatan produksi sampai distribusi. Misalkan produk cabai, dilakukan pembinaan untuk mengolahnya sambal kemasan, dibantu untuk mendapatkan izin BPOM, hingga menyediakan wadah distribusi melalui kegiataan bazar, pasar rakyat, dan stan-stan di mal yang disediakan Pemerintah Kota Surabaya. Pada akhirnya, Pemkot Surabaya tidak hanya fokus pada upaya penghijauan, melainkan menyentuh sampai dapat menaikkan level ekonomi warga. "Cara kita menghabiskan APBD bukan cuma ngasih, tapi mengedukasi supaya berkelanjutan. Kalau hanya diberikan, akan mati, atau frame berpikirnya hanya minta- minta. Kalau begitu, kalau tidak
  • 76. 154 dikasih gak jalan. Yang kita ubah itu pola pikirnya warga, supaya kalau gak dikasih pun mau melakukan sendiri, karena kita sudah ngajarin caranya". PENGEMBANGAN SISTEM TRANSPORTASI BERKELANJUTAN Dalam pengembangan transportasi massal, Pemkot saat ini sedang melakukan program revitalisasi angkot, selain dari pengadaan Bus Suroboyo, sebagai upaya edukasi warga untuk pindah dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum, sebelum rencana integrasi angkutan massal cepat berupa monorel terwujud. Sementara Bus Suroboyo saat ini baru beroperasi pada jalur Utara-Selatan, program revitalisasi angkot juga masih tahap sosialisasi. Inovasi menginterasikan transportasi publik dan kepedulian Kota Surabaya pada kebersihan diimplementasikan pada program Bus Sampah yang diinisiasi Dinas Perhubungan, yakni pembayaran bus dengan sampah plastik untuk kemudian diolah menjadi produk daur ulang sampah yang bermanfaat. "Bus Suroboyo kan platnya masih merah, jadi kami tidak boleh menarik biaya. Kita punya pemikiran, Surabaya ini kan peduli terhadap kebersihan, ya sudah, membayarnya dengan sampah aja, supaya membantu mengubah pola pikir masyarakat bahwa sampah bisa dimanfaatkan. Jadilah Bus Sampah". Kedepannya, Pemkot berencana menerapkan sistem integrasi transportasi massal secara professional, yang saat ini masih tahap kajian terkait sistem pengelolaan berupa BUMD atau BLU. Pengembangan transportasi massal didasarkan pada studi permintaan yang berpusat pada area pusat perkantoran dan kampus. Sembari proses penyiapan angkutan massal cepat, berupa monorel yang sempat masuk dalam pembiayaan APBN namun tidak jadi
  • 77. 155 terealisasi, adanya angkot yang nyaman dan dapat diandalkan sebagai feeder, membuat pola perilaku warga condong ke penggunaan transportasi publik. KEPEMIMPINAN Kunci kemajuan Kota Surabaya yang diyakini Bappeko, utamanya terletak pada konsistensi pimpinan. Pimpinan yang memiliki visi tegas sehingga mendorong pola kinerja seluruh perangkat daerah ke arah produktif, ditunjang dengan program yang disusun sedemikian rupa untuk menjamin keterwujudan visi tersebut. Karakter pimpinan yang bisa mengarahkan dengan baik, sehingga setiap perangkat tahu harus berbuat apa, kemudian menciptakan sistem yang berjalan dengan sendirinya. Konsistensi pimpinan juga ditunjang dengan adanya sistem e- governance yang memudahkan pelaksanaan pembangunan, baik pada perencanaan anggaran, pelaksanaan, sampai pengendalian. Sistem yang berprinsip pada keterbukaan informasi mendorong terciptanya integrasi antar sektor serta mengarahkan kinerja yang berbasis pada target hasil, bukan pada kelengkapan dokumen semata. Kinerja berbasis target ini yang memupuk berkembangnya inovasi. "Kunci Surabaya bisa progresif, pertama, konsistensi kepemimpinan. Ketika pimpinan punya visi tegas, bawahannya pasti ikut. Itu faktor utama, selain anggaran. Kedua, kita sudah pakai e-gov. Kita sudah punya e-planning, e- budgeting, sampai e-monev, dan sistem online lain yang saling terkait. Itu memudahkan dan sangat membantu, sehingga manusianya gak mengurusi dokumen lagi, tapi fokus pada pelaksanaan, sehingga inovasinya bisa berkembang terus kemana- mana". SINERGI
  • 78. 156 Koordinasi dan sinergi merupakan prinsip penting bagi dinas-dinas di Pemkot Surabaya dalam melakukan tugasnya. Bentuk koordinasi dilakukan seefektif mungkin untuk menyelesaikan solusi, seringkali koordinasi via WA dianggap cukup tanpa perlu pertemuan formal, bahkan koordinasi Walikota dengan Dinas pun jarang dilakukan dalam pertemuan khusus. Walikota dengan kebiasannya memantau lapangan, dan langsung berupaya menyelesaikan masalah di lapangan menjadi pemicu sinergi lintas sektor, karena permasalahan lapangan selalu bersinggungan antar sektor. Kerja bakti lapangan yang diinisiasi Walikota sebagai metode penanganan masalah langsung, kemudian menjadi rutinitas kerja bakti setiap jum'at pagi yang menjadi wadah sinergi seluruh perangkat pemerintah. Kerja bakti rutin tersebut meruntuhkan tembok-tembok sektoral sekaligus melatih keluwesan kerjasama antar bidang/bagian yang secara struktural terikat kaku dalam tupoksi. Memang, kelancaran sinergi yang terjadi tidak bisa menafikan peran Walikota yang langsung memberi komando. "Kerja bakti jum'at pagi, umumnya Walikota sendiri yang memimpin. Jika ada yang belum kotor, disuruh kotor. Kami tidak mengenal slogan, melainkan langsung aksi yang menghasilkan. Walikota menunjukkan pimpinan tauladan yang sederhana. Saat di lapangan ya kami makan sego bungkus sama-sama, tidak ada perbedaan. Etos bekerja beliau tinggi, bekerja dari jam 5 pagi sampai 11 malam, tak terkecuali Sabtu dan Minggu. Jika ada kejadian langsung turun lapangan, tidak memerintah." Gotong royong bias sektor secara gamblang teruji saat terjadi kasus darurat. Contoh, saat kebakaran Pasar Turi, kendaraan pemadam kebakaran hanya cukup berada di satu titik, tidak harus
  • 79. 157 wara-wiri, personil Pemkot yang secara estafet mensuplai air, paling tidak Satpol PP, dinas Kesehatan, DKRTH, perangkat kecamatan sigap di area kejadian. Contoh lain, dalam penataan kawasan kumuh di Kenjeran, DKRTH bekerjasama dengan Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian untuk pengadaan tanaman tertentu. Atau dalam kasus pembongkaran bangunan liar yang dilakukan dalam agenda kerja bakti jum'at, Satpol PP berada di depan, Dinas PU siap backing, DKRTH siap tanah subur, kompos, dan tanaman sehingga area langsung bersih saat kerja bakti selesai, tidak ada lokasi yang terbengkalai lama. "Mungkin sekarang di Pemkot, hampir dikatakan tidak ada ego sektoral. Kalau ada kebakaran, DKRTH ada di situ untuk membantu pemadam kebakaran. Begitu pun sebaliknya, saat musim kemarau, tim pemadam kebakaran juga bisa turun lapangan untuk membantu kita nyiram. Kita kayak ada perasaan, ini Surabaya-ku. Alih- alih merasa tersinggung, kami justru merasa terbantu. Jangan kaget jika satu waktu, kita (semua dinas) ngumpul jadi satu di satu tempat." Dari sistem e-governance, terutama e- monev, mengharuskan adanya pelaporan rutin (setiap tahun, setiap 3 bulan, setiap 1 bulan), selain untuk memantau progres capaian output dan realisasi anggaran di masing-masing OPD, juga menentukan apakah kinerja sudah sesuai dengan target dalam RPJMD yang dicanangkan. Pada akhir tahun terlihat target yang belum tercapai disertai kendala pencapaian, sebagai bahan tahun berikutnya untuk penyusunan anggaran. Sistem monitoring tersebut didesain langsung berhubungan dengan parameter reward bagi pegawai pemkot. Dengan pelaporan harian pegawai, yang terdiri dari pekerjaan harian, unggah foto, lokasi, GPS, melalui pemantauan dari masing-masing dinas, jika kinerja tercatat seiring
  • 80. 158 pencapaian target OPD, maka didapat uang e-performance. Pada setiap kinerja yang tidak mencapai target, diselidiki faktor penyebabnya. Sebisa mungkin penyebab internal dapat disadari dan diperbaiki, namun jika penyebabnya merupakan faktor eksternal, memang tidak ada yang bisa dilakuakn. Misalkan kegiatan pembebasan lahan yang tidak berhasil karena masih sengketa di warga, kinerja dinas tetap rendah tanpa ada yang bisa dilakukan untuk meningkatkannya. INOVASI KERJASAMA BERBASIS AKSI (PENANGANAN SAMPAH DAN SANITASI) Inovasi penanganan sampah Kota Surabaya, diindikasikan dengan tidak lagi menggunakan sistem open dumping, melainkan mengarah pada pemanfaatan waste to energy, seperti yang dilakukan di TPA Benowo. Selain itu, prinsip mengurangi sampah dari sumbernya dan mendorong warga untuk memilah sampah dari level rumah tangga dikuatkan, sebelum sampah diangkut di TPS 3R, dan dipilah lagi jika ada yang bisa diolah ke rumah kompos. Kerjasama lintas negara dalam penanganan sampah juga telah dilakukan Pemkot Surabaya, melalui kerjasama dengan Jepang pada TPS Wonorejo dalam pengadaan mesin pemilahan sampah, sistem percepatan pengolahan kompos dengan metode larva lalat yang diperkenalkan dari kerjasama dengan Pemerintah Swiss. SAMPAH Penanganan sampah di Surabaya. Pertama, mengurangi sampah dari sumbernya. di Warga itu sampahnya dipilah dulu. kesadaran mengurangi dulu. TPSnya pun TPS 3R, nanti dipilah mana yang bisa diolah ke rumah kompos. Kita manfaatkan jadi waste to energy (sampai 2032) di TPA Benowo, sanitary landfill jadi sudah tidak open dumping. Rasa bahwa Surabaya open, maka banyak kerjasama, apalagi yang berbasis aksi, karena yang sifatnya studi sudah banyak dikurangi, karena teori sudah banyak.
  • 81. 159 ENERGI ALTERNATIF DAN KONSERVASI ENERGI Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Surabaya melaksanakan 2 kegiatan terkait energi, yakni penerapan energi alternatif dan konservasi energi, yang melingkupi pembinaan dan audit energi. Kegiatan penerapan energi alternatif, sudah dilakukan pada tahun 2015-2016, dilakukan pemasangan kincir angin di Kenjeran yang ditempatkan di UPTD Kenjeran untuk penerangan parkir tempat wisata sebagai bahan edukasi, belum untuk menghasilkan energi listrik yang besar. Tahun 2014, DLH mendapatkan dana DAK untuk pengadaan solar cell di 18 sekolah berupa panel solar cell dan 6 lampu sebesar 300-500 watt. Pada tahun 2017-2018, Pemkot melanjutkan inisiatif tersebut dengan menganggarkan solar cell di APBD untuk diberikan ke sekolah-sekolah pemenang Adiwiyata tingkat mandiri, berupa panel on-grid sebesar 3000 watt dan panel off-grid sebesar 1500 watt. Panel on-grid merupakan jenis yang beroperasi tanpa aki (sehingga lebih awet), jadi langsung tersambung dengan PLN dan secara otomatis mengurangi beban PLN. Umumnya, solar cell digunakan untuk penerangan lampu di koridor sebanyak 10 titik. Sampai sekarang, belum ada perhitungan pengehematan energi dari pembiayaan APBD tersebut. Tipologi penggunaan energi terbesar di sekolah Surabaya ada pada penggunaan komputer, dengan jumlah rata-rata 200 komputer per sekolah. Tinggi-tingginya pemakaian itu pada bulan April, Mei, dan November. Jadi keberadaan solar cell di sekolah untuk penghematan energi sebenarnya belum sebanding. "Karena daya listrik pada bangunan sekolah terpasang besar, 82.500 VA, batas minimal pembayaran itu Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah), walaupun penggunaannya hanya 1 juta, membayarnya harus Rp. 3 juta. Kami juga belum menemukan strategi edukasi penggunaan