Buku ini membahas tentang perwujudan kota hijau di Indonesia. Pertama, menjelaskan signifikansi visi kota berkelanjutan sesuai dengan tujuan pembangunan berkelanjutan global. Kedua, menguraikan tantangan perkotaan Indonesia. Ketiga, menggambarkan konsep dan capaian program kota hijau di Indonesia beserta atribut-atributnya.
Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) KotaPenataan Ruang
Peraturan Menteri (Permen) Pekerjaan Umum No. 17/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota. Berisikan ketentuan teknis muatan rencana tata ruang wilayah, proses dan prosedur penyusunan rencana tata ruang wilayah.
Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) KabupatenPenataan Ruang
Peraturan Menteri (Permen) Pekerjaan Umum No 15/PRT/M/2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten. Berisikan ketentuan teknis muatan rencana tata ruang wilayah, proses dan prosedur penyusunan rencana tata ruang wilayah.
Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) KotaPenataan Ruang
Peraturan Menteri (Permen) Pekerjaan Umum No. 17/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota. Berisikan ketentuan teknis muatan rencana tata ruang wilayah, proses dan prosedur penyusunan rencana tata ruang wilayah.
Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) KabupatenPenataan Ruang
Peraturan Menteri (Permen) Pekerjaan Umum No 15/PRT/M/2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten. Berisikan ketentuan teknis muatan rencana tata ruang wilayah, proses dan prosedur penyusunan rencana tata ruang wilayah.
Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik+Lingkungan, Aspek Ekonomi, Aspek Sosial dan Budaya. Berisi definisi aspek, meliputi apa saja, dan kebutuhan data yang akan dicari dalam rencana tata ruang.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 mengenai Penataan Ruang, ruang merupakan wadah yang meliputi ruang dara, laut, dan udara termasuk pula ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup tinggal dan melakukan kegiatan untuk memelihara kelangsungan hidupnya. Sedangkan tata ruang merupakan wujud struktur ruang dan pola ruang.
Penataan ruang merupakan suatu sistem di dalam proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam penyelenggaraan penataan ruang diperlukan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mengawasi jalannya proses penataan ruang tersebut. Kebijakan tersebut adalah rencana tata ruang yang merupakan hasil perencanaan tata ruang yang berfungsi untuk mewujudkan suatu tata ruang secara tertib.
Ruang dilihat sebagai wadah dimana keseluruhan interaksi sistem sosial yang meliputi manusia dengan seluruh kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya dengan ekosistem yang terdiri dari sumber daya alam, dan sumber daya buatan berlangsung. Interaksi ini tidak selalu secara otomatis berlangsung seimbang dan saling menguntungkan berbagai pihak karena adanya perbedaan kemampuan, kepentingan, dan adanya sifat perkembangan ekonomi yang akumulatif. Oleh karena itu, ruang perlu ditata agar dapat memelihara keseimbangan lingkungan dan memberikan dukungan terhadap manusia serta makhluk hidup lainnya dalam melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya secara optimal.
Sebagai suatu keadaan, tata ruang mempunyai ukuran kualitas yang bukan semata menggambarkan mutu tata letak dan keterkaitan hirarkis baik antara kegiatan maupun antar pusat, akan tetapi juga menggambarkan mutu komponen penyusunan ruang. Mutu ruang itu ditentukan dengan terwujudnya keserasian, keselarasan, dan keseimbangan pemanfaatan ruang yang mengindahkan faktor daya dukung lingkungan, fungsi lingkungan, lokasi, dan struktur (keterkaitan jaringan infrastruktur, pusat permukiman, dan jasa).
Dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, penataan ruang diselenggarakan sebagai salah satu yang berasaskan keterpaduan. Keterpaduan yang dimaksud adalah terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia. Untuk menjamin ketercapaian tujuan dalam penyelenggaraan penataan ruang maka perlu dilakukan pengawasan terhadap kinerja pengaturan, pembinaan, dan pelaksanaan penataan ruang. Dalam pengawasan penataan ruang terdiri atas tindakan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan. Pemantauan dan evaluasi dilakukan dengan mengamati dan memeriksa kesesuaian antara penyelenggaraan penataan ruang dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai evaluasi dalam kebijakan penataan ruang tersebut.
KKPR menggantikan izin lokasi dan berbagai izin pemanfaatan ruang (IPR) dalam membangun dan mengurus tanah yang awalnya merupakan kewenangan pemerindah daerah (Pemda). KKPR berfungsi sebagai salah satu perizinan dasar yang perlu didapatkan sebelum pelaku usaha dapat melanjutkan proses perizinan berusaha
Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik+Lingkungan, Aspek Ekonomi, Aspek Sosial dan Budaya. Berisi definisi aspek, meliputi apa saja, dan kebutuhan data yang akan dicari dalam rencana tata ruang.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 mengenai Penataan Ruang, ruang merupakan wadah yang meliputi ruang dara, laut, dan udara termasuk pula ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup tinggal dan melakukan kegiatan untuk memelihara kelangsungan hidupnya. Sedangkan tata ruang merupakan wujud struktur ruang dan pola ruang.
Penataan ruang merupakan suatu sistem di dalam proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam penyelenggaraan penataan ruang diperlukan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mengawasi jalannya proses penataan ruang tersebut. Kebijakan tersebut adalah rencana tata ruang yang merupakan hasil perencanaan tata ruang yang berfungsi untuk mewujudkan suatu tata ruang secara tertib.
Ruang dilihat sebagai wadah dimana keseluruhan interaksi sistem sosial yang meliputi manusia dengan seluruh kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya dengan ekosistem yang terdiri dari sumber daya alam, dan sumber daya buatan berlangsung. Interaksi ini tidak selalu secara otomatis berlangsung seimbang dan saling menguntungkan berbagai pihak karena adanya perbedaan kemampuan, kepentingan, dan adanya sifat perkembangan ekonomi yang akumulatif. Oleh karena itu, ruang perlu ditata agar dapat memelihara keseimbangan lingkungan dan memberikan dukungan terhadap manusia serta makhluk hidup lainnya dalam melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya secara optimal.
Sebagai suatu keadaan, tata ruang mempunyai ukuran kualitas yang bukan semata menggambarkan mutu tata letak dan keterkaitan hirarkis baik antara kegiatan maupun antar pusat, akan tetapi juga menggambarkan mutu komponen penyusunan ruang. Mutu ruang itu ditentukan dengan terwujudnya keserasian, keselarasan, dan keseimbangan pemanfaatan ruang yang mengindahkan faktor daya dukung lingkungan, fungsi lingkungan, lokasi, dan struktur (keterkaitan jaringan infrastruktur, pusat permukiman, dan jasa).
Dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, penataan ruang diselenggarakan sebagai salah satu yang berasaskan keterpaduan. Keterpaduan yang dimaksud adalah terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia. Untuk menjamin ketercapaian tujuan dalam penyelenggaraan penataan ruang maka perlu dilakukan pengawasan terhadap kinerja pengaturan, pembinaan, dan pelaksanaan penataan ruang. Dalam pengawasan penataan ruang terdiri atas tindakan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan. Pemantauan dan evaluasi dilakukan dengan mengamati dan memeriksa kesesuaian antara penyelenggaraan penataan ruang dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai evaluasi dalam kebijakan penataan ruang tersebut.
KKPR menggantikan izin lokasi dan berbagai izin pemanfaatan ruang (IPR) dalam membangun dan mengurus tanah yang awalnya merupakan kewenangan pemerindah daerah (Pemda). KKPR berfungsi sebagai salah satu perizinan dasar yang perlu didapatkan sebelum pelaku usaha dapat melanjutkan proses perizinan berusaha
Penerapan Konsep Kota Kompak pada Ibu Kota Negara Nusantara 030422 FINAL.pdfoswarmungkasa1
Kota Kompak menjadi salah satu prinsip pembangunan perkotaan yang diadopsi dalam pembangunan Ibu Kota Nusantara. bagaimana konsep dasarnya dan bagaimana IKN mengadopsi konsep ini menjadi menarik untuk disimak.
Strategi Sanitasi Kota Tegal atau SSK merupakan arah, kebijakan, dan strategi pembangunan sanitasi Kota Tegal jangka menengah. Strategi ini mencakup aspek teknis dan peningkatan kualitas pelayanan, kelembagaan, pendanaan, partisipasi masyarakat, dunia usaha, peraturan, dsb.
Kajian Dampak Implementasi Perencanaan Pembangunan Daerah di KalimantanTri Widodo W. UTOMO
Seri Penelitian Administrasi Negara
PKP2A III LAN Samarinda
Tahun 2010
(mendokumentasikan hasil kerja lebih 1 dekade yang lalu, sebagai salah satu legacy agar tetap bisa memberi kemanfaatan bagi publik)
Merengkuh kota ramah pejalan kaki dan Pesepeda. Pembelajaran Mancanegara dan ...Oswar Mungkasa
perkotaan mengalami banyak masalah disebabkan demikian intensifnya penggunaan moda kendaraan bermotor. sudah saatnya melirik alternatif lain yang lebih berkelanjutan yaitu moda berjalan kaki dan bersepeda
Merengkuh kota ramah pesepeda dan pejalan kaki. Pembelajaran Mancanegara dan ...oswarmungkasa1
perkotaan telah jenuh dengan keberadaan kendaraan bermotor yang menyebabkan beragam masalah mulai dari polusi baik udara, maupun suara, kecelakaan lalulintas, serta kemacetan. disadari bahwa terdapat alternatif lain berupa moda berjalan kaki dan bersepeda yang dianggap jauh lebih ramah lingkungan.
PETUNJUK TEKNIS INTEGRASI PELAYANAN KESEHATAN PRIMER
Kementerian Kesehatan menggulirkan transformasi sistem kesehatan.
Terdapat 6 pilar transformasi sistem kesehatan sebagai penopang kesehatan
Indonesia yaitu: 1) Transformasi pelayanan kesehatan primer; 2) Transformasi
pelayanan kesehatan rujukan; 3) Transformasi sistem ketahanan kesehatan;
4) Transformasi sistem pembiayaan kesehatan; 5) Transformasi SDM
kesehatan; dan 6) Transformasi teknologi kesehatan.
Transformasi pelayanan kesehatan primer dilaksanakan melalui edukasi
penduduk, pencegahan primer, pencegahan sekunder dan peningkatan
kapasitas serta kapabilitas pelayanan kesehatan primer. Pilar prioritas
pertama ini bertujuan menata kembali pelayanan kesehatan primer yang ada,
sehingga mampu melayani seluruh penduduk Indonesia dengan pelayanan
kesehatan yang lengkap dan berkualitas.
Penataan struktur layanan kesehatan primer tersebut membutuhkan
pendekatan baru yang berorientasi pada kebutuhan layanan di setiap
siklus kehidupan yang diberikan secara komprehensif dan terintegrasi
antar tingkatan fasilitas pelayanan kesehatan. Pendekatan baru ini disebut
sebagai Integrasi Pelayanan Kesehatan Primer, melibatkan Puskesmas, unit
pelayanan kesehatan di desa/kelurahan yang disebut juga sebagai Puskesmas
Pembantu dan Posyandu. Selanjutnya juga akan melibatkan seluruh fasilitas
pelayanan kesehatan primer.
Survei Kesehatan Indonesia (SKI) Tahun 2023Muh Saleh
Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 merupakan survei yang mengintegrasikan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dan Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGI). SKI 2023 dikerjakan untuk menilai capaian hasil pembangunan kesehatan yang dilakukan pada kurun waktu lima tahun terakhir di Indonesia, dan juga untuk mengukur tren status gizi balita setiap tahun (2019-2024). Data yang dihasilkan dapat merepresentasikan status kesehatan tingkat Nasional sampai dengan tingkat Kabupaten/Kota.
Ketersediaan data dan informasi terkait capaian hasil pembangunan kesehatan penting bagi Kementerian Kesehatan, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai bahan penyusunan kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang lebih terarah dan tepat sasaran berbasis bukti termasuk pengembangan Rencana Pembangunan Kesehatan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2024-2029) oleh Kementerian PPN/Bappenas. Dalam upaya penyediaan data yang valid dan akurat tersebut, Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam penyusunan metode dan kerangka sampel SKI 2023, serta bersama dengan Lintas Program di Kementerian Kesehatan, World Health Organization (WHO) dan World Bank dalam pengembangan instrumen, pedoman hingga pelaporan survei.
1. i
KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT
DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA
DIREKTORAT BINA PENATAAN BANGUNAN
2.
3. i
Daftar Isi
Daftar Isi ........................................................................i
Pendahuluan ................................................................1
1. Signifikansi Visi Kota Berkelanjutan......................9
A. Sustainable Development Goals (SDGs) atau
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) ........10
B. New Urban Agenda (NUA)..........................................14
C. Nationally Determined Contribution (NDC)
Indonesia .........................................................................22
2. Tantangan Perkotaan Indonesia ..........................25
3. Perwujudan Kota Hijau Di Indonesia...................29
A. Konsep Kota Hijau........................................................30
B. Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) ......31
C. Atribut Kota Hijau..........................................................32
D. Dampak Program Pengembangan Kota Hijau
(P2KH) ...............................................................................34
E. Evaluasi Program Pengembangan Kota Hijau
(P2KH) ...............................................................................38
F. Capaian Perwujudan Kota Hijau...............................43
4. ii
i. Perencanaan dan Perancangan Kota yang
Ramah Lingkungan (Green Planning & Design)44
ii. Peningkatan Kuantitas dan Kualitas Ruang
Terbuka Hijau (Green Open Space)..................... 44
iii. Keaktifan Komunitas Peduli Lingkungan dan
Sosial Budaya Kota (Green Community)........... 46
iv. Pengelolaan Sampah yang Berkelanjutan
(Green Waste) ............................................................. 47
v. Pengelolaan Sumber Daya Air dan Efisiensi
Penggunaan Air (Green Water)............................ 48
vi. Efisiensi Penggunaan Energi dan Pemanfaatan
Energi Terbarukan (Green Energy)...................... 48
vii.Pengembangan Transportasi Rendah Emisi
(Green Transportation)............................................. 48
viii. Pembangunan dan Pengelolaan Bangunan
Ramah Lingkungan (Green Building) ................. 49
4. Indikator Kota Hijau ............................................ 51
A. Kota Hijau dalam Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (TPB) di Indonesia............................52
B. Kota Hijau dalam Rencana Pembangunan
Nasional............................................................................60
C. Kota Hijau dalam Penilaian Kinerja Pemerintah
Daerah...............................................................................63
5. Keselarasan Visi Kota Hijau.................................. 67
A. Kota Layak Huni .............................................................68
5. iii
B. Kota Cerdas......................................................................69
C. Kota Tangguh .................................................................71
D. Kota Sehat........................................................................74
E. Kota Layak Anak.............................................................75
F. Kota Tanpa Kumuh........................................................76
G. Program Kampung Iklim (Proklim).........................77
H. Program Energi Terbarukan dan Konservasi
Energi ................................................................................79
6. Peranan Pemangku Kepentingan Dalam
Perwujudan Kota Hijau.........................................83
A. Pemerintah Kota/Kabupaten.....................................85
B.Komunitas..........................................................................87
C. Swasta................................................................................88
D. Akademisi atau Perguruan Tinggi...........................88
E. Pemerintah Pusat (Kementerian/ Lembaga)........89
F. Pemerintah Provinsi ......................................................90
7. Akselerasi Perwujudan Kota Hijau.......................91
A. Komitmen Pemangku Kepentingan Kota.............92
B. Regulasi.............................................................................94
C. Sosialisasi Pengetahuan........................................... 117
D. Penggalangan Sumber Daya ................................. 122
8. Cerita Perwujudan Kota Hijau ........................... 123
Kota Malang, Provinsi Jawa Timur ............................ 124
6. iv
Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur ......................... 140
Kota Sabang, Provinsi Aceh......................................... 166
Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta.................................................................... 170
Kota Batu, Provinsi Jawa Timur................................... 182
Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah............... 188
Provinsi DKI Jakarta......................................................... 194
7. 1
Pendahuluan
Dalam rangka mewujudkan kota/kawasan
perkotaan yang berkelanjutan di Indonesia,
Undang-Undang No. 26/2007 tentang
Penataan Ruang (UUPR) antara lain telah
mengamanatkan secara tegas bahwa 30%
dari wilayah kota/kawasan perkotaan harus
berwujud Ruang Terbuka Hijau (RTH),
dengan komposisi 20% RTH publik dan
10% RTH privat. Amanat RTH 30% tersebut
merupakan kewajiban yang harus dipenuhi
oleh Pemerintah Kota/Kabupaten yang
termuat dalam Peraturan Daerah (Perda)
tentang RTRW Kota/Kabupaten.
Pada tahun 2011, Program Pengembangan
Kota Hijau (P2KH) dirintis oleh Kementerian
Pekerjaan Umum (PUPR) -Direktorat
Jenderal Penataan Ruang- sebagai salah
satu bentuk insentif program dari
Pemerintah Pusat agar Pemerintah
Kota/Kabupaten bersama-sama dengan
Pemerintah Provinsi dengan dukungan
komunitas kota dapat mempercepat
pemenuhan ketetapan UUPR tentang RTH
Publik, sekaligus menjawab tantangan
perubahan iklim di Indonesia.
Sampai tahun 2017, sebanyak 174
kota/kabupaten di 31 Provinsi telah
menjadi peserta P2KH yang melakukan
berbagai langkah nyata perwujudan Kota
Hijau. Selama penyelenggaraan P2KH,
banyak pembelajaran yang dirasakan oleh
penyelenggara program yakni Kementerian
PUPR (Ditjen Cipta Karya yang mengampu
P2KH sejak tahun 2015), maupun
kota/kabupaten peserta program. Namun,
belum ada satu publikasi pun yang
merekam pencapaian, dampak, maupun
evaluasi penyelenggaraan P2KH.
8. 2
P2KH tidak sekedar membawa jargon “Kota
Hijau”, melainkan sebagai konsep yang
sejalan pada prinsip-prinsip pembangunan
perkotaan berkelanjutan. Oleh karenanya,
selain merekam bagian dari
penyelenggaraan P2KH, Buku “Manajemen
Pengetahuan Kota Hijau” ini juga memotret
upaya Kota/Kabupaten dalam menjalankan
visi kota berkelanjutan, yang dilengkapi
dengan beragam tantangan dalam
mewujudkan pembangunan berkelanjutan
di Indonesia.
Buku ini diharapkan dapat menambah
publikasi tentang perwujudan
pembangunan perkotaan berkelanjutan di
Indonesia dan menjadi bahan rujukan bagi
pemangku kepentingan perkotaan dalam
merumuskan kebijakan, strategi, program,
maupun kegiatan yang selaras dengan visi
kota berkelanjutan. Apalagi tujuan global
terhadap isu kota berkelanjutan semakin
menguat dengan adanya Sustainable
Development Goals (SDSs) atau Tujuan
Pembangunan Perkelanjutan (TPB), New
Urban Agenda (NUA), dan Kesepakatan
Paris tentang Perubahan Iklim yang
mendorong ditetapkannya target
Nationally Determined Contribution (NDC)
Indonesia.
Penyusunan “Manajemen Pengetahuan
Kota Hijau” dilakukan melalui 3 metode.
Pertama, Focus Group Discussion (FGD)
yang dilakukan pada 2 target dengan
penyelenggaraan metode yang berbeda,
yakni antar kementerian/Lembaga/instansi
di level nasional yang berkecimpung dalam
isu kota berkelanjutan, dan kota/kabupaten
peserta P2KH. Kedua, melakukan survei ke
beberapa kota/kabupaten untuk mencari
data dari narasumber pemangku
kepentingan kota (terutama OPD-OPD
terkait perwujudan kota hijau). Ketiga,
kompilasi data-data sekunder untuk
melengkapi penulisan. Tahap selanjutnya,
adalah mensintesakan hasil FGD, survei
kota/kabupaten, dan kompilasi data
sekunder ke dalam bentuk buku
pengetahuan yang kiranya bermanfaat bagi
pemangku kepentingan yang terkait pada
isu perwujudan kota hijau.
9. 3
Buku “Manajemen Pengetahuan Kota
Hijau” disusun untuk dapat dimanfaatkan
setidaknya 4 (empat) jenis pemangku
kepentingan, yakni Pemerintah
Kota/Kabupaten, Komunitas
Kota/Kabupaten, Akademisi, dan
Kementerian/Lembaga/Instansi di tingkat
nasional. Pengetahuan pentingnya Kota
Hijau yang menjadi inti dari buku ini
ditujukan bagi Pemerintah Kota/Kabupaten
dan Komunitas agar mereka dapat
memahami bahwa Kota Hijau merupakan
konsep yang harus diterapkan di
Kota/Kabupaten. Kemudian, Pemerintah
Kota/Kabupaten mendapatkan petunjuk
mengatasi hambatan & tantangan dalam
perwujudan kota hijau, disertai informasi
strategi pencapaian maupun inspirasi
program dan kegiatan dari berbagai
kota/kabupaten lainnya. Sementara,
Komunitas Kota/Kabupaten
mendapatkan petunjuk peran komunitas
dalam perwujudan kota hijau, disertai
inspirasi dari kota/kabupaten lain terkait
kegiatan komunitas yang dilakukan.
Kementerian/Lembaga/Instansi di
tingkat nasional mendapatkan informasi
terkait program maupun pencapaian yang
telah dilakukan terkait isu kota
berkelanjutan untuk dapat ditindaklanjuti
dalam memperkaya atau melengkapi
penerapan isu sesuai tugas dan fungsi
Lembaga. Bagi Akademisi, buku ini
diharapkan dapat menjadi dasar penelitian
atau kajian lanjutan mengenai
pengembangan konsep kota hijau maupun
kota berkelanjutan di Indonesia, terutama
kajian yang berorientasi pada
implementasi.
Buku “Manajemen Pengetahuan Kota
Hijau” disusun dengan penulisan yang
bersifat deskriptif eksploratif dengan tujuan
merekam opini maupun persepsi pelaku,
dalam hal ini pemerintah (pusat maupun
kota/kabupaten) dan komunitas yang
berperan aktif, dalam perwujudan kota
hijau. Penulisan diupayakan secara
komprehensif, namun tidak mendalam
berbasis studi ilmiah, dan dibawakan
dengan bahasa populer dilengkapi
infografis agar isi buku mudah dimengerti,
bahkan untuk kalangan awam sekalipun.
10. 4
Buku “Manajemen Pengetahuan Kota
Hijau” berisikan 8 bagian pembahasan.
Bagian pertama, membahas Signifikansi
Visi Kota Berkelanjutan pada tujuan-
tujuan global, yakni Sustainable
Development Goals (SDSs) atau Tujuan
Pembangunan Perkelanjutan (TPB), New
Urban Agenda (NUA), dan Target
Penurunan Gas Rumah Kaca (GRK) sesuai
Kesepakatan Paris tentang Penanganan
Perubahan Iklim yang ditetapkan dalam
Nationally Determined Contribution (NDC)
Indonesia. SDGs terdiri dari 17 Tujuan dan
169 Target yang tercakup dalam dimensi
sosial, ekonomi dan lingkungan secara
terintegrasi, sebagaimana prinsip
keberlanjutan yang menuntut
keseimbangan antar 3 aspek tersebut. New
Urban Agenda (NUA) dengan tujuan utama
Cities for All, berkomitmen untuk
mendorong pembangunan kota dan
permukiman yang lebih inklusif, non-
diskriminatif, serta berkelanjutan. NUA
berisi komitmen sebanyak 175 paragraf
pada tujuan perkotaan yang berprinsip
pada Leave no one behind (tidak
menelantarkan seorangpun), Sustainable
and inclusive urban economies (ekonomi
perkotaan yang inklusif dan berkelanjutan),
dan Environmental sustainability
(keberlanjutan lingkungan hidup). Salah
satu tema dalam NUA yang diangkat
sehubungan dengan pencapaian visi kota
berkelanjutan, adalah Pembangunan
Lingkungan yang Berkelanjutan dan Kota
yang Berketahanan. Sehubungan dengan
komitmen global dalam COP Paris, pada
tahun 2015, Indonesia mengumumkan
komitmen penurunan emisi GRK sebesar
26% (skenario fair/menggunakan
kemampuan sendiri) dan sebesar 41%
(skenario ambisius/jika mendapat
dukungan internasional) pada bidang
berbasis lahan, energi dan pengelolaan
limbah dalam kurun waktu 2010-2020,
sebagaimana tertuang dalam Peraturan
Presiden (Perpres) No. 61 Tahun 2011
tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan
Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) dan
menjadi target Nationally Determined
Contribution (NDC) Indonesia untuk
menuju masa depan yang rendah emisi dan
berketahanan iklim.
11. 5
Bagian kedua, membahas Tantangan
Perkotaan Indonesia. Indonesia tidak steril
dari fenomena negara-negara lain di dunia
dimana telah lebih dari setengah populasi
penduduk negara tinggal di perkotaan,
bahkan tren ini diperkirakan akan terus
berlanjut hingga 2035 mendatang yang
diproyeksikan bahwa sekitar 67%
penduduk Indonesia akan tinggal di kota.
Padatnya perkotaan tentu menyebabkan
kian kompleksnya permasalahan, dan
tidaklah sederhana untuk mencapai tujuan
keberlanjutan.
Bagian ketiga, membahas Perwujudan
Kota Hijau di Indonesia, berisi penjelasan
Konsep Kota Hijau, Penyelenggaraan P2KH,
Atribut Kota Hijau, Dampak dan Evaluasi
P2KH, serta Capaian Perwujudan Kota Hijau
terkait 8 Atribut Kota Hijau.
Bagian keempat, membahas Indikator
Kota Hijau. Meski pencapaian “Kota Hijau”
belum memiliki ukuran dengan indikator
yang resmi, “Kota Hijau” secara tersirat
termasuk dalam indikator-indikator resmi
yang sudah ada, baik di tingkat global,
seperti Sustainable Development Goals
(SDSs) atau Tujuan Pembangunan
Perkelanjutan (TPB) di Indonesia, maupun
di tingkat nasional, seperti Rencana
Pembangunan Nasional yang diterbitkan
Bappenas dan indikator Penilaian Kinerja
Pemerintah Daerah yang dikeluarkan
Kementerian Dalam Negeri. “Kota Hijau”
(atau Kementerian PUPR) belum berniat
menyusun indikator “Kota Hijau” khusus,
karena adanya indikator baru dikhawatirkan
hanya menambah tumpang tindih berbagai
indikator yang telah diterbitkan oleh
beragam instansi.
Bagian kelima, membahas Keselarasan Visi
Kota Hijau, berisi beragam konsep,
program maupun kegiatan dari beragam
instansi di Indonesia yang -meski tidak
berjudul “Kota Hijau” atau “Kota
Berkelanjutan”- berisi substansi selaras
dengan visi Kota Hijau, diantaranya Kota
Layak Huni, Kota Cerdas, Kota Tangguh,
Kota Sehat, Kota Layak Anak, Kota Tanpa
Kumuh, Program Kampung Iklim (Proklim),
Program Energi Terbarukan dan Konservasi
Energi. Pembahasan ini bermaksud
12. 6
menekankan bahwa “Kota Hijau” bukanlah
satu tujuan mutlak berorientasi pada judul,
melainkan suatu tujuan untuk menjamin
penghidupan perkotaan jangka panjang
yang dapat dicapai melalui berbagai cara.
Bagian keenam, membahas Peranan
Pemangku Kepentingan dalam
Perwujudan Kota Hijau, yakni (i)
Pemerintah Kota, (ii) Pemerintah Provinsi,
dan (iii) Pemerintah Pusat sebagai
kelompok Pembuat Kebijakan; (iv)
Komunitas, sebagai kelompok terkena
Dampak Kebijakan, kelompok terkait
Kebijakan, yang memastikan kegiatannya
dan kebijakan Pemerintah berjalan,
sekaligus Pengawas Kebijakan, (v) Dunia
Usaha/Swasta sebagai kelompok yang
terkait Kebijakan dan yang memastikan
kegiatannya berjalan, serta (vi) Akademisi
sebagai kelompok yang terkait Kebijakan,
kelompok Pengawas Kebijakan, dan yang
memastikan kegiatannya dan kebijakan
Pemerintah berjalan. Bahasan ini
bermaksud memberi petunjuk bagi keenam
pemangku kepentingan untuk berperan
dalam perwujudan Kota Hijau.
Bagian ketujuh, membahas Akselerasi
Perwujudan Kota Hijau. Sebagaimana
serangkaian diskusi dalam proses
penyusunan “Manajemen Pengetahuan
Kota Hijau” ini, menyepakati 4 faktor
penting dalam perwujudan Kota Hijau,
yakni (i) Komitmen Pemangku Kota
(khususnya Pemerintah Kota/Kabupaten,
Komunitas, dan Pihak Swasta), (ii) Regulasi,
(iii) Sosialisasi Pengetahuan, dan (iv)
Penggalangan Sumber Daya. Bagian ini
diharapkan dapat memandu pemangku
kepentingan kota untuk mengoptimalisasi
pencapaian perwujudan kota hijau dengan
melakukan aksi terkait 4 (empat) faktor
tersebut.
Bagian kedelapan, membahas Cerita
Perwujudan Kota Hijau, dari 7 (tujuh)
daerah (5 kota, 1 kabupaten, 1 provinsi)
berdasarkan survei lapangan, wawancara
dengan pemangku kota, dilengkapi data
sekunder, mengenai upaya-upaya
perwujudan kota hijau yang dihubungkan
dengan visi dan karakter setempat. Ketujuh
daerah mencerminkan ukuran dan karakter
daerah yang berbeda, juga menjalani
13. 7
perwujudan kota hijau dengan proses dan
tantangan yang berbeda pula. Ketujuh
daerah dipilih bukan berdasarkan penilaian
baik atau buruk terkait perwujudan kota
hijau, namun dimaksudkan memberi
deskripsi pembelajaran yang mungkin
terjadi umum atau bisa juga bersifat
kasuistik, dan pada akhirnya diharapkan
memberi inspirasi kepada lebih banyak
daerah untuk dapat mengaplikasikan
pembelajaran baik dan mengantisipasi
faktor-faktor penghambatnya.
16. 30
A. Konsep Kota Hijau
“Kota Hijau” merupakan sebuah metafora
untuk melambangkan Kota Berkelanjutan,
Kota Ekologis, Kota Ramah Lingkungan,
Kota Berwawasan Lingkungan, atau konsep
pengembangan kota yang berpihak pada
kepentingan aspek lingkungan. Walaupun
demikian, “Kota Hijau” sebagai konsep
yang mendasarkan pada prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan, tidak semata
berpihak pada aspek lingkungan,
melainkan juga keseimbangan 3 dimensi,
lingkungan, sosial dan ekonomi.
Istilah pembangunan berkelanjutan mulai
diperkenalkan oleh Bruntland pada tahun
19872
, dengan definisi fundamental
menekankan ‘manusia’ dan ‘kebutuhan
jangka panjang’.
“Kota Berkelanjutan disusun agar seluruh
warga dapat memenuhi kebutuhan hidup
dan meningkatkan kesejahteraan (well-
being) tanpa merusak lingkungan alami
2
Buku Our Common Future
atau membahayakan kehidupan manusia
lain, sekarang atau masa depan.”
Secara lebih detail, Kota Hijau dapat
dikatakan sebagai konsep pengembangan
kota yang memanfaatkan secara efektif dan
efisien sumberdaya air dan energi,
mengurangi limbah, menerapkan sistem
transportasi terpadu, menjamin kesehatan
lingkungan, mensinergikan lingkungan
alami dan buatan, berdasarkan
perencanaan dan perancangan kota yang
berpihak pada prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan. Konsep Kota
Hijau juga memperhatikan pentingnya
dimensi tata kelola, yakni kepemimpinan,
kelembagaan kota yang mantap, serta
dukungan masyarakat melalui berbagai aksi
positif.
Tak jauh berbeda, Asian Development Bank
(2015) menyatakan Kota Hijau sebagai
usaha sebuah kota dalam mengurangi
dampak lingkungan dan memaksimalkan
peluang untuk meningkatkan dan
17. 31
mendukung lingkungan alami dengan cara
penggunaan energi yang efisien,
mengurangi ketergantungan pada sumber
energi tak terbarukan, aktif mendorong
pengelolaan dan pengurangan limbah,
memperbanyak kegiatan daur ulang,
penggunaan infrastruktur hijau dan
tangguh, kendaraan rendah emisi,
pengelolaan air bersih, dan memberikan
peningkatan kualitas hidup bagi
masyarakat.
B. Program Pengembangan Kota
Hijau (P2KH)
Dalam rangka mewujudkan kota/kawasan
perkotaan yang berkelanjutan di Indonesia,
Undang-Undang No. 26/2007 tentang
Penataan Ruang antara lain telah
mengamanatkan secara tegas bahwa 30%
dari wilayah kota/kawasan perkotaan harus
berwujud Ruang Terbuka Hijau (RTH),
dengan komposisi 20% RTH publik dan
10% RTH privat. Amanat RTH 30% tersebut
merupakan kewajiban yang harus dipenuhi
oleh Pemerintah Kota/Kabupaten yang
termuat dalam Peraturan Daerah (Perda)
tentang RTRW Kota/Kabupaten.
Dalam kaitan itu, sejak tahun 2011,
Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH)
telah dirintis dan diluncurkan oleh
Kementerian Pekerjaan Umum -Direktorat
Jenderal Penataan Ruang- sebagai salah
satu bentuk insentif program dari
Pemerintah Pusat agar Pemerintah
Kota/Kabupaten bersama-sama dengan
Pemerintah Provinsi dengan dukungan
komunitas kota dapat mempercepat
pemenuhan ketetapan UUPR tentang RTH
Publik, sekaligus menjawab tantangan
perubahan iklim di Indonesia.
P2KH yang diawali dengan penggalangan
prakarsa dan komitmen 60 kota/kabupaten
melalui perumusan Rencana Aksi Kota
Hijau (RAKH), sampai tahun 2017
mencatatkan sebanyak 174 kota/kabupaten
telah menjadi peserta P2KH yang
melakukan berbagai langkah nyata
perwujudan 8 atribut Kota Hijau. Pada
setiap kota/kabupaten peserta P2KH yang
telah melakukan penandatanganan piagam
komitmen Kota Hijau, diberikan insentif
berupa fasilitasi penyusunan Rencana Aksi
Kota Hijau/RAKH dan Masterplan Kota
18. 32
Hijau (Green Planning & Design), Desain
dan Pembangunan Taman Kota (Green
Open Space), dan Pembentukan dan
Kegiatan Forum Komunitas Hijau/FKH
(Green Community).
Pada pengembangannya, setiap
kota/kabupaten melakukan berbagai aksi
nyata perwujudan Kota Hijau yang tidak
semata dilaksanakan oleh unsur
Pemerintah Kota/Kabupaten, namun juga
melalui kerjasama produktif antara
komunitas hijau, masyarakat lokal, serta
pihak swasta, sebagai bagian dari upaya
mendorong Gerakan Hijau Perkotaan
(Urban Greening Movement).
C. Atribut Kota Hijau
Kota Hijau memiliki ciri-ciri atau
karakteristik yang disebut dengan “Atribut
Kota Hijau”. Berikut ini 8 (delapan) Atribut
Kota Hijau :
1. Green Planning and Design
19. 33
Perencanaan dan
perancangan yang
ramah lingkungan
dengan beradap-
tasi pada biofisik
kawasan dan
sesuai dengan
Rencana Tata Ruang Wilayah sebagai awal
dari Kota Hijau.
2. Green Open Space
Peningkatan
kuantitas dan
kualitas RTH sesuai
karakteristik
kota/kabupaten
dengan target
30%.
3. Green Community
Kumpulan individu,
komunitas atau
kelompok warga
yang peduli
dengan masalah
lingkungan dan sosial budaya.
4. Green Waste
Upaya yang
dilakukan oleh
semua pihak
untuk mencapai
kondisi zero waste
melalui prinsip
3R, yakni Reduce
(mengurangi sampah/limbah), Recycle
(mendaur ulang sampah), Reuse (memberi
nilai tambah sampah hasil proses daur
ulang).
5. Green Water
Upaya mengatasi
masalah
kelangkaan air,
sekaligus
menghemat
penggunaan air,
yang berarti
menghemat biaya dengan menerapkan
prinsip-prinsip seperti memaksimalkan
20. 34
penyerapan air, mengurangi limpasan air,
dan mengefisienkan pemakaian air.
6. Green Energy
Pemanfaatan
sumber energi
yang efisien dan
ramah lingkungan.
Energi tersebut
dikembangkan
sebagai upaya
mengatasi dampak lingkungan akibat
penggunaan energi yang tidak terbarukan.
7. Green Transportation
Pengembangan
sistem
transportasi yang
berprinsip pada
pengurangan
dampak negatif
terhadap
lingkungan, efisiensi penggunaan bahan
bakar, dan pelayanan yang berorientasi
pada manusia.
8. Green Building
Sistem
pengelolaan
rumah atau
bangunan yang
ramah
lingkungan,
dengan tujuan
untuk melestarikan sumber daya alam,
meningkatkan efisiensi energi dalam
bangunan, dan meningkatkan kualitas
udara dalam ruangan.
D. Dampak Program
Pengembangan Kota Hijau (P2KH)
Secara umum, ada 3 aspek dampak yang
terjadi pada kota/kabupaten peserta P2KH,
yakni penambahan kuantitas & kualitas
Ruang Terbuka Hijau (RTH), peningkatan
kesadaran Kota Hijau, tumbuhnya budaya
kolaborasi Pemerintah Daerah dengan
komunitas, pelibatan swasta dalam
perwujudan Kota Hijau,
Penambahan Kuantitas & Kualitas Ruang
Terbuka Hijau (RTH)
21. 35
Sebagai program yang dilahirkan dari
tuntutan percepatan pemenuhan RTH
Publik sesuai ketetapan UUPR, P2KH
memberi dampak yang cukup signifikan
pada peningkatan kesadaran terhadap isu
RTH.
Sebelum keikutsertaan dalam P2KH,
Pemerintah Kota Malang umumnya sekedar
menjalani business as usual, berupa
kegiatan penghijauan dan pemeliharaan
yang ada. Walaupun dengan cara sedikit
dipaksa, terdapat momentum setelah
menyelesaikan Perda No. 4 Tahun 2011
tentang RTRW Kota Malang, dapat ikut
serta dalam P2KH, sebagai reward bagi
yang sudah menyelesaikan dan dukungan
terhadap target yang tercantum dalam
RTRW. Setelah itu ada perubahan yang
cukup signifikan sejak tahun 2012, meski
persyaratan keikutsertaan P2KH dalam
penyediaan lahan dirasa sangat menantang
pada perkotaan cukup padat seperti Kota
Malang.
Pada November tahun 2011,
Walikota Malang
menandatangani piagam
komitmen kota hijau. Setelah
penandatanganan itu, terjadi
suatu perubahan. Sebelumnya,
hampir tidak ada penambahan
Ruang Terbuka Hijau (RTH)
selama 10 tahun ke belakang di
Kota Malang.
Selain penambahan kuantitas RTH yang
secara umum terjadi di kota/kabupaten
peserta P2KH, baik dari fasilitasi APBN
maupun dari kemampuan APBD, kualitas
RTH juga cenderung meningkat.
P2KH sangat berarti bagi
Kabupaten Jombang, yang
dalam 3 tahun fasilitasinya,
cukup menyadarkan fungsi
open space dalam mewadahi
aktivitas publik di kota,
sehingga memicu Pemkab
membangun titik taman baru
dengan kemampuan mereka
sendiri.
Capaian lebih terperinci pada penambahan
kuantitas & kualitas RTH dapat dilihat pada
22. 36
bagian capaian Green Open Space (bab
3F.ii)
Tumbuhnya Budaya Kolaborasi
Pemerintah Daerah dengan Komunitas
Dalam P2KH, ada persyaratan pelibatan
komunitas hijau. Pada tahun 2011, dapat
dikatakan, secara umum, Pemerintah
Daerah cenderung cenderung asing
dengan peran komunitas. Di sisi lain,
komunitas pun merasa ada kekhawatiran
bahwa independensi mereka akan
terpengaruh jika terlibat dalam kegiatan
pemerintahan.
P2KH berupaya membangun
budaya baru bahwa Pemerintah
Daerah tidak dapat bekerja
sendiri, tanpa pelibatan
masyarakat atau komunitas
yang merasakan dampak
langsung pembangunan kota.
Kesadaran masyarakat melalui keaktifan
komunitas hijau menyambut baik kegiatan
terkait kota hijau terlihat di kota/kabupaten
peserta P2KH. Forum Komunitas Hijau
(FKH) yang dibentuk sebagai wadah
berkegiatan antar komunitas hijau atau
komunitas peduli kota yang dibentuk pada
awal kepesertaan P2KH pada umumnya
kemudian berkembang menjadi unit
penting mitra pemerintah dalam
menggiatkan upaya perwujudan kota hijau
secara berkelanjutan, bahkan ketika
kota/kabupaten yang bersangkutan
terlepas dari masa fasilitasi reguler P2KH
(lihat Bab 3B). Keberlanjutan kegiatan
komunitas, baik berupa peningkatan
jumlah komunitas atau warga penggerak
maupun keaktifan kegiatan komunitas
dapat dilihat pada bagian capaian Green
Community (bab 3F.iii)
Pengembangan pelibatan komunitas yang
lebih jauh dari kelompok kesamaan minat
seperti Forum Komunitas Hijau (FKH) yang
dibina dari skema P2KH, dilakukan Kota
Malang dalam Lomba Kampung Tematik
pada tahun 2016 atau yang kemudian
disebut Festival Rancamala, program
terobosan dalam perencanaan
pembangunan. Program ini bertujuan agar
Kota Malang menjadi kota bebas kumuh,
23. 37
kota hijau, sekaligus kota tangguh, yang
dapat dianalogikan sebagai Urban
Accupunture, satu program yang
menyelesaikan beberapa masalah
perkotaan sekaligus, juga sebagai
terobosan pada penyelenggaraan
Musrembang yang hanya dikuasai oleh
komponen tertentu saja dan sekedar
menghasilkan business as usual. Program
Kampung Tematik diinginkan agar memiliki
daya ungkit lebih. Program ini meminta
setiap daerah, minimal 1 RW untuk
mendesain kawasannya sendiri dengan
pelibatan masyarakat/komunitas.
Komunitas bukan lagi dimaknai sebagai
kelompok dengan kesamaan minat, tapi
kelompok masyarakat, masyarakat dirasa
memiliki kemampuan untuk merencanakan,
seperti memasukkan substansi penerapan
kota hijau di Daerah Aliran Sungai (DAS).
Seleksi desain kawasan dilakukan hingga
keluar 15 pilihan untuk dibantu Perguruan
Tinggi dalam pengolahan perencanaan
lebih lanjut, sehingga dalam prosesnya
relatif tidak ada biaya sama sekali.
Kelompok yang menang dihadiahi insentif,
seperti anggaran implementasi untuk tahun
depan. Program Kampung Tematik ini
dirasa sebagai sebuah terobosan
perencanaan maupun implementasi
pembangunan kota yang tidak
membutuhkan investasi yang tinggi.
Peningkatan Kesadaran Kota Hijau
Munculnya kesadaran tentang pentingnya
pembangunan perkotaan berkelanjutan,
merupakan hal mendasar yang dirasakan
kota/kabupaten peserta P2KH.
Kesadaran yang kemudian mendorong
pemerintah daerah untuk memiliki
komitmen dalam perwujudan Kota Hijau.
Pemerintah Kota Banda Aceh
merasakan peran penting P2KH
sebagai bentuk dukungan
Pemerintah Pusat dalam
pendorong komitmen kota
untuk menjalankan semua
atribut kota hijau.
Pelibatan Swasta dalam Perwujudan
Kota Hijau
24. 38
P2KH merupakan program insentif yang
hanya berfungsi sebagai pendorong atau
pemicu bagi Pemerintah Kota/Kabupaten
agar dapat menjalankan visi Kota Hijau
dengan kemampuan Kota/Kabupaten
sendiri.
Pada tahun 2012-2014 ketika dalam
fasilitasi APBN P2KH, justru membuat
pelaku Kota Hijau di Kota Malang menjadi
tergantung. Pada tahun 2014, dengan
RPJMD Kota Malang yang baru
menunjukkan fase pengembangan dengan
adanya peningkatan peran dunia usaha di
Kota Malang. Dari tidak ada CSR, sampai
ada begitu banyak perusahaan yang ingin
menyumbangkan CSRnya untuk kota.
Mungkin tidak hanya di Kota
Malang, tapi juga di kota lain,
Taman menjadi sesuatu yang
secara visual menarik dan bisa
membawa citra baik pada
perkotaan. Temuan itu yang
kemudian dimanfaatkan untuk
mengekstraksi sebanyak
mungkin potensi terhadap
aspek lingkungan kota.
Masa 2014-2015 ada booming yang luar
biasa sampai Dinas Perkim kewalahan
menerima permintaan CSR. Waktu itu Kota
Malang belum punya Perda CSR dan
memilih untuk tidak melalui forum CSR,
sehingga masih perlu meraba-raba berita
acara penerimaan asetnya. Bahkan Taman
Merjosari Malang setiap tahun selalu
mendapatkan CSR, seperti sepeda udara,
alat olahraga, kemudian Loop Arena.
E. Evaluasi Program
Pengembangan Kota Hijau (P2KH)
Selama penyelenggaraan P2KH yang
mensyaratkan partisipasi aktif Pemerintah
Kota/Kabupaten dan Komunitas Hijau
setempat, tercatat 3 poin evaluasi, yakni
jargon ‘Kota Hijau’ dipersepsikan sektoral,
kesulitan penyediaan lahan untuk RTH,
pentingnya aktivasi RTH (tidak sekedar
membangun),
25. 39
Jargon ‘Kota Hijau’ Dipersepsikan
Sektoral
Pada awal fasilitasi P2KH, setiap
Kota/Kabupaten peserta diwajibkan
membentuk Tim Swakelola, yang selain
terdiri dari Kepala Daerah sebagai
pengarah utama keberlangsungan
program, juga harus melibatkan minimal 3
OPD yang terkait dengan penanganan kota
hijau. Pelibatan lintas instansi (OPD) dalam
satu tim, ditujukan untuk menjadikan kota
hijau. Ternyata, menumbuhkan kerjasama
lintas sektor bukan sesuatu yang
sederhana.
Mengemban jargon “Kota Hijau”, P2KH
sekedar dipandang sebagai kegiatan yang
terkait dengan taman saja, tak bisa
dipungkiri karena salah satu jenis
fasilitasinya adalah perencanaan dan
pembangunan taman kota. Tidak heran,
pada banyak kota/kabupaten peserta, P2KH
hanya ditangani oleh OPD atau instansi
yang terkait tugas pertamanan. Seperti
program Kota Pusaka yang hanya
dikerjakan Dinas Pariwisata & Kebudayaan.
Selain dipandang sebagai kegiatan sektoral,
butuh waktu untuk menunjukkan bahwa
P2KH lebih dari sekedar proyek. Seperti
yang terjadi, pada masa awal
penandatanganan komitmen, kegiatan
P2KH di Kota Malang hanya dikerjakan oleh
Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP, di
Kota Banda Aceh oleh Dinas Pekerjaan
Umum (PU), baru kemudian perlahan
dipahami bahwa P2KH merupakan kegiatan
lintas sektor. Mindset ini yang seringkali
ditimbulkan oleh nama “Kota Hijau”, maka
langsung diasumsikan hanya pekerjaan
pertamanan saja.
Ke depannya, Kota Hijau harus masuk
dalam kinerja penyelenggaraan
pemerintahan daerah Kemendagri. Dan jika
visi pembangunan nasional tujuannya pada
kota berkelanjutan, maka esensi dari kota
hijau saja yang diinputkan ke dalam
kebijakan.
Seringkali bahasa “Kota Hijau”
atau jargon lainnya, membuat
kota berjalan sendiri-sendiri.
Jargon yang membuat setiap
26. 40
dinas atau instansi sulit
berkoordinasi.
Pada 2016-2018, evolusi Kota Malang
mungkin tidak banyak lagi disebut Kota
Hijau, melainkan ke arah SDGs, apalagi
dengan terbitnya Perpres terkait SDGs.
Perwujudan Kota Hijau di Kota Malang
akan ditarik ke penerapan Smart City dan
Kota Tangguh. Jadi tidak hanya 3 atribut
kota hijau, tapi juga memasukkan konten-
konten tentang Smart City, Kota Tangguh,
dan SDGs, tidak lagi berbasis jargon “Kota
Hijau”, tetapi Agenda Pembangunan
Berkelanjutan.
Kota Hijau lebih bersifat voluntary
dibanding mandatory
P2KH dapat dipandang sebagai
kampanye terhadap 8 atribut di
kota/kabupaten, jadi lokusnya
adalah kota/kabupaten,
fokusnya adalah 8 atribut itu.
Karena sifatnya kampanye,
tidak ada keharusan bagi
daerah untuk melakukannya.
Pemerintah daerah bergantung pada
regulasi yang dikeluarkan oleh Kementerian
Dalam Negeri. Sepanjang tidak berkaitan
dengan program dan kegiatan secara
langsung dengan OPD-OPD terkait, tidak
bisa diharapkan hasil yang ideal.
Contohnya, Kota Gorontalo memiliki
program pengembangan transportasi,
namun bukan mengarah pada transportasi
hijau, melainkan pengoperasian bus untuk
kepentingan angkutan siswa, yang
mengarah pada urusan-urusan pelayanan.
Bila kota hijau ingin dimasukkan dalam
indikator yang harus dicapai daerah, harus
masuk dalam regulasi-regulasi Kemendagri
otomatis dipatuhi oleh pemerintah daerah.
Permendagri No.57 tahun 2010
tentang Standar Pelayanan
Perkotaan sebenarnya dapat
menjadi rujukan dalam
menyusun indikator capaian
kota hijau, termasuk
menjadikannya dalam penilaian
Adipura karena Pemerintah
27. 41
Daerah patuh sekali terhadap
penilaian Adipura itu.
Apapun indikator penilaiannya, akan
berusaha dipenuhi demi mempertahankan
Adipura. Ada yang dapat dipenuhi secara
cepat, ada yang perlu upaya lebih
sistematis dan terencana, misalnya soal
Green Transportation dan Green Building.
Kedua hal itu, evaluasi dan regulasi,
merupakan hal penting.
Laporan Pencapaian Kota Hijau
Dalam penyelenggaraan seluruh
pemerindah daerah, kitabnya adalah
RPJMD sesuai UU Pemerintah Daerah
sehingga apapun program yang sedang
dijalankan harus masuk ke RPJMD.
Memang hingga kini, belum ada tuntutan
penyusunan laporan terstruktur tahunan
untuk evaluasi tentang perwujudan kota
hijau secara nasional. Jika ada indikator
yang menilai perencanaan, implementasi,
dan pengendalian rasanya akan ada arah
yang lebih jelas. Inovasi setiap
kota/kabupaten untuk menjalankan visi
kota berkelanjutan penting, tetapi harus
tahu arahnya ke mana.
Kesulitan Penyediaan Lahan
Sebagai program nasional, P2KH tentu
memiliki persyaratan umum yang berlaku
pada semua kota/kabupaten. seperti
keharusan penyediaan lahan seluas 5.000
m2 sampai 1 Ha bagi setiap
kota/kabupaten peserta P2KH. Padahal
tidak semua kota/kabupaten dapat
menyanggupinya, apalagi bagi kota-kota
besar atau kota yang berkembang pesat
dan padat, kesulitan dalam penyediaan
lahan.
Pemeliharaan RTH
Adanya keresahan kota/kabupaten perihal
keberadaan taman.
Baru disadarari, ternyata
memiliki taman itu high cost,
butuh dana yang tidak kecil
untuk pemeliharaan.
Mungkin untuk pemerintah kota tidak
terlalu berat, karena lokasi wilayahnya tidak
28. 42
terlalu luas. Bagi kabupaten Jombang yang
terdiri dari 21 kecamatan dan 303 desa,
dimana belanja infrastrukturnya masih vital,
memiliki banyak taman menjadi beban
APBD. Setelah 2016, APBD Kab. Jombang
fokus pada pemeliharaan pada taman-
taman yang sudah dibangun, tidak lagi
membangun taman lagi. Pemeliharaan saja
pun sudah cukup menelan biaya. Per tahun
lebih dari 2 milyar untuk membangun
taman, sekaligus untuk membuat aksi
meramaikan taman oleh FKH. Sekarang,
APBD Kabupaten Jombang sudah sampai
pada titik puncaknya kemampuan
mengganggarkan pemeliharaan. Kalau ada
taman baru, sudah tidak mampu lagi
memeliharanya. Ke depannya,
Aktivasi RTH
Selain pentingnya pemeliharaan,
keberadaan RTH wajib diaktivasi. Perlu
program meramaikan taman, agar taman
berfungsi dengan baik secara ekologis,
ekonomi, maupun sosial.
Pemerintah Pusat diharapkan mendorong
kota/kabupaten untuk membuat program-
program meramaikan taman, karena
berapa pun diberikan infrastruktur taman,
dampaknya dapat memberatkan
Pemerintahan Daerah dalam pemeliharaan.
Ketika taman telah berfungsi baik, menjadi
ramai, banyak pihak akan datang
berkontribusi. Juga, diharapkan adanya
panduan bagi Pemerintah Daerah dapat
mengelola bantuan tersebut agar
teralokasikan secara strategis.
Penerapan Insentif & Disinsentif
Pemenuhan RTH Publik 20% sesuai amanat
undang-undang dikeluhkan mayoritas
kota/kabupaten sulit dilakukan. Pemerintah
Pusat dituntut mengambil peran
menangani masalah ini.
Dalam perhitungan di Kota Banda Aceh,
untuk menaikkkan 1% RTH dibutuhkan
lahan seluas 30 Ha, kalau 1 HA-nya senilai 3
milyar, berarti dibutuhkan anggaran APBD
senilai 90 milyar untuk pengadaan lahan.
Tentu bukan nilai yang kecil.
Kesulitan pemerintah daerah dalam
peningkatan RTH mungkin dapat dilakukan
29. 43
melalui regulasi insentif dan disinsentif.
Namun, sebagian besar Pemerintah Daerah
di Indonesia memang belum berhasil
menerapkan regulasi insentif dan
disinsentif.
F. Capaian Perwujudan Kota Hijau
Dari insentif dasar Pemerintah Pusat
kepada Kota/Kabupaten peserta P2KH atas
3 atribut Kota Hijau, yakni Green Planning
& Design, Green Open Space, dan Green
Community, telah dicapai angka-angka
sebagai berikut :
30. 44
Pengembangan insentif tersebut
menghasilkan capaian-capaian yang
bervariasi sesuai kemampuan dan karakter
masing-masing setiap kota/kabupaten
bermodalkan hal yang sama, yakni
komitmen tinggi untuk mewujudkan visi
Kota Hijau.
Berikut ini adalah capaian-capaian yang
dilakukan oleh Kota/Kabupaten peserta
P2KH berdasarkan atribut Kota Hijau :
i. Perencanaan dan
Perancangan Kota yang
Ramah Lingkungan (Green
Planning & Design)
• Dokumen Masterplan Kota Hijau
Kota Banda Aceh diadopsi ke
dalam konten revisi RTRW
• Implementasi prinsip Kota Hijau
dalam revisi dokumen RTRW Kota
Gorontalo
• RTRW Kota Bogor mengadopsi
prinsip perubahan iklim (Climate
Change)
• Kota Bekasi menyusun Masterplan
Kota Hijau dengan dana APBD
ii. Peningkatan Kuantitas dan
Kualitas Ruang Terbuka
Hijau (Green Open Space)
Peningkatan Kuantitas RTH
• Luasan RTH Publik Kota Banda
Aceh meningkat dari 11% (tahun
2011 ketika Kota Banda Aceh
menandatangani MoU Kota Hijau)
ke 13.2% (tahun 2017)
• Luasan RTH Publik Kab. Jombang
hanya 10% (sebelum menjadi
peserta P2KH pada tahun 2011)
menjadi 12% (setelah mengikuti
P2KH)
• Peningkatan kualitas RTH dengan
pelibatan komunitas di Kab.
Jombang
• Kota Malang melakukan FGD rutin
multistakeholder terkait
pengelolaan RTH
31. 45
• Penambahan luasan RTH Publik di
Kab. Wonosobo menjadi 51 Ha
Peningkatan Kualitas RTH
• Peningkatan fungsi taman selain
rekreasi, ke fungsi edukasi di Kota
Gorontalo
• Walikota Gorontalo mengeluarkan
himbauan untuk melaksanakan
senam di RTH
• Adanya kontribusi CSR untuk
pembangunan RTH di Kota
Gorontalo
• Penambahan RTH Publik Kota
Bogor dari 38 Ha (pada tahun 2011
ketika Kota Bogor menandatangani
MoU Kota Hijau) menjadi 41.72 Ha
(pada tahun 2018)
• Peningkatan kualitas RTH di Kota
Bogor untuk beraktivitas dan
berinteraksi
• Kota Depok meraih Adipura pada
tahun 2017 (setelah nenjadi peserta
P2KH sejak 2012)
• Adanya kebijakan pembelian lahan
untuk penambahan RTH di Kota
Depok
• Kota Depok melakukan kegiatan
penanaman pohon sejak 2015
sampai saat ini
• Kota Pariaman konsisten
menganggarkan APBD sejak tahun
2012 (MoU Kota Hijau Kota
Pariaman) sampai tahun 2018 senilai
2 milyar untuk perencanaan RTH di
Pantai Kata dan Pantai Cermin
• Peningkatan luasan RTH Publik
Kota Pariaman dari 9.2 Ha menjadi
12.8 Ha
• Adanya CSR dari Pertamina untuk
pengembangan Taman Pantai
Penyu di Kota Pariaman
32. 46
• Peningkatan kuantitas RTH Publik di
Kota Semarang dengan target 16
taman baru per tahun
• Peningkatan fungsi RTH di Kota
Semarang, tidak hanya sebagai
ruang terbuka, melainkan
mendukung aktivitas masyarakat
dan daya dukung lingkungan
• Adanya CSR PT Djarum dalam
peningkatan kualitas Taman
Indonesia Kaya di Kota Semarang
• Peningkatan RTH Publik di Kota
Bekasi dari 11.5% menjadi 12.8%
• Adanya kebijakan pembelian lahan
di 36 lokasi untuk RTHP (RTH
Perkotaan) di Kota Yogyakarta,
khusus pada tahun 2018 pembelian
lahan sebanyak 9 lokasi
iii. Keaktifan Komunitas Peduli
Lingkungan dan Sosial
Budaya Kota (Green
Community)
• Tumbuhnya Komunitas Hijau
hingga sejumlah 52 sampai tahun
2017 di Kota Banda Aceh
• Adanya Festival tahunan “Jombang
Eco Creative”
• Munculnya gerakan masyarakat
peduli kebersihan sungai “Santri
Jogo Kali” di Kab. Jombang
• FKH Kota Gorontalo konsisten
berjalan hingga 2018
• FKH Kota Depok sejak tahun 2012
sampai saat ini terus berkegiatan
• Sejak 2012 telah dibentuk, FKH
Kota Pariaman dilantik langsung
oleh Walikota pada 2017,
berkegiatan aktif 2-4 kali dalam
sebulan (gotong royong bersih
pantai, festival hijau, dll.)
33. 47
• Aktivisme pejuang lingkungan
dikoordinir oleh BLH Kab.
Wonosobo
• Komunitas Hijau di Kota Bekasi
aktif melakukan kegiatan rutin di
tiap kecamatan
• Komunitas sepeda Kota Bekasi
(ROBEK) aktif dalam kampanye
penggunaan sepeda dan
pemenuhan fasilitas pendukung
bersepeda (halte sepeda, dll)
• Penanaman rutin pohon (komunitas
pecinta pohon, komunitas
berkebun) hasil dari pengembangan
FKH Kota Bekasi
iv. Pengelolaan Sampah yang
Berkelanjutan (Green Waste)
• Pembinaan masyarakat terkait
manajemen persampahan dalam
bentuk bank sampah di Kota Banda
Aceh
• Penyediaan komposter di setiap
kelurahan di Kota Banda Aceh
• Lebih dari 50% Desa di Kab.
Jombang sudah memiliki bank
sampah
• Cakupan pelayanan sampah di Kota
Bogor diperluas dengan sistem TPS
3R dan Bank Sampah
• Pemilahan sampah 3R di Kota
Depok sejak tahun 2012 sampai
2018
• Penambahan TPS di masing-masing
kelurahan Kota Depok
• Terdapat Perwako pembentukan
Bank Sampah di 4 Kecamatan Kota
Pariaman
• 400 Bank Sampah berbasis RW di
Kota Yogyakarta
• Pengurangan timbulan sampah di
Kota Yogyakarta sebesar 27%
• Program komposting di Kota
Yogyakarta dari Dinas LH melebihi
produksi, dimanfaatkan untuk
34. 48
taman, sisanya diberikan kepada
masyarakat
v. Pengelolaan Sumber Daya
Air dan Efisiensi Penggunaan
Air (Green Water)
• Penanganan masalah banjir dengan
menerbitkan Perda tentang Polder
Air tiap rumah dan pada kawasan
perumahan di Kota Bekasi
vi. Efisiensi Penggunaan Energi
dan Pemanfaatan Energi
Terbarukan (Green Energy)
• Penggunaan Solar Cell pada PJU
Kab. Jombang
• Pembangunan Biogas di Kab.
Jombang
• Lampu di TPA menggunakan energi
gas metana di Kab. Jombang
• 60% Gedung Pemerintahan di Kota
Pariaman sudah menggunakan
lampu hemat energi
• Penganggaran untuk pengadaan
lampu hemat energi di Kota Bekasi
• Lampu PJU dan traffic light di Kota
Yogyakarta telah menggunakan
lampu hemat energi (LED)
• Tahun 2019 Pemerintah Kota
Semarang bekerjasama dengan
Jepang dalam penerapan energi
ramah lingkungan
• Tahun 2015, Pemerintah Kota
Semarang menerima hibah dari
Philips sebanyak 250 titik PJU yang
menggunakan lampu hemat energi
vii. Pengembangan Transportasi
Rendah Emisi (Green
Transportation)
• Penyediaan pedestrian di Kota
Malang yang nyaman dan humanis,
serta dilengkapi fasilitas penunjang
• Peningkatan kualitas pedestrian
Ramah HAM (Lansia, Ibu hamil,
Difabel, Anak, Lingkungan)
35. 49
sebagaimana visi Kab. Wonosobo
sebagai Kota Ramah HAM
• Penambahan Pedestrian di sekitar
Kawasan Kebun Raya Kota Bogor
• 2012 – 2015, terdapat kebijakan
“One Day No Car” khusus PNS di
Kota Depok
• Sampai dengan 2018, telah ada 8
koridor BRT di Kota Semarang,
target tahun 2019 menjadi 12
koridor BRT
• Pengembangan Pedestrian tahap 2
Jl. Malioboro Kota Yogyakarta,
pembatasan kendaraan bermotor
hanya untuk angkutan umum dan
kepentingan kenegaraan
• Car Free Day di Kawasan Tugu Kota
Yogyakarta setiap minggu
viii. Pembangunan dan
Pengelolaan Bangunan
Ramah Lingkungan (Green
Building)
• Pada tahun 2015, Pemerintah Kota
Pariaman telah menetapkan
Kawasan Perkantoran Bebas Rokok
• Pada tahun 2018, Pemerintah Kota
Pariaman mengeluarkan
Raperwako tentang
Penyelenggaraan Bangunan Hijau
36. 50
Kota Hijau sudah memberikan
banyak sekali manfaat. Ke
depan, PRnya jauh lebih besar
dari sekedar lomba
mendapatkan alokasi anggaran
RTH. Ada PR emisi, komitmen
NDC Indonesia cukup besar
sebanyak 26%. Masalah besar
juga tentang krisis air. Air akan
menjadi mutiara masa depan.
Esensi RTH adalah polusi dan
konservasi air. Itu yang harus
diterjemahkan dalam indikator-
indikator yang menjadi esensi
program ke depan.
Kota Hijau adalah sarananya,
tapi kita harus fokus ke
esensinya.
38. 84
Secara kategoris, 5 (lima) pemangku
kepentingan (stakeholder) pihak pemanfaat
ruang kota12
, terdiri dari :
1. Stakeholder yang berwenang
membuat kebijakan, yakni Eksekutif
(pemerintah dan lembaga
pemerintahan terkait), Legislatif (DPR
dan DPRD tingkat I dan II), dan
Yudikatif
2. Stakeholder yang terkena dampak
kebijakan, yakni Kelompok Warga
Setempat dan Warga
3. Stakeholder yang mengawasi
kebijakan, yakni DPR, DPRD tingkat I
dan II, LSM, Pers/Media, Forum Warga,
Partai Politik, Asosiasi Profesi,
Perguruan Tinggi
4. Stakeholder kelompok kepentingan
yang terkait kebijakan, yakni Partai
Politik, LSM, Pengusaha, Forum Warga,
12
Penataan Ruang : Sebuah Cermin Peradaban, 2009
: 116-117
Asosiasi Profesi, Perguruan Tinggi,
Kelompok Mediasi
5. Stakeholder yang mempunyai
kepentingan agar kegiatan atau
kebijakannya berjalan, yakni Pressure
Group (seperti Partai Politik, LSM, dan
Forum Warga), Kelompok
Pendukung/Support Group (seperti
Donor, Pengusaha, Perguruan Tinggi,
Warga, Pemerintah Pusat dan Daerah,
dan Kelompok Mediasi.
Jika dibedakan berdasarkan pelaku,
Pemerintah Kota, Pemerintah Provinsi,
dan Pemerintah Pusat merupakan
kelompok Pembuat Kebijakan; Komunitas,
merupakan kelompok terkena Dampak
Kebijakan, kelompok terkait Kebijakan,
yang memastikan kegiatannya dan
kebijakan Pemerintah berjalan, sekaligus
Pengawas Kebijakan, Dunia Usaha/Swasta
merupakan kelompok yang terkait
Kebijakan dan yang memastikan
kegiatannya berjalan, serta Akademisi
39. 85
merupakan kelompok yang terkait
Kebijakan, kelompok Pengawas Kebijakan,
dan yang memastikan kegiatannya dan
kebijakan Pemerintah berjalan.
A. Pemerintah Kota/Kabupaten
Di tingkat pemerintah daerah, RPJMD
(Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah) merupakan dokumen
perencanaan pembangunan daerah
untuk jangka periode selama 5 (lima)
tahunan yang berisi penjabaran dari visi,
misi, dan program kepala daerah dengan
berpedoman pada RPJP Daerah serta
memperhatikan RPJM Nasional13
. RPJMD
menjadi acuan Organisasi Perangkat
Daerah (OPD) dalam menyusun Rencana
Strategis (Renstra) OPD.
Kepala Daerah memegang peranan sangat
penting dalam perwujudan Kota Hijau
karena Kepala Daerah yang sudah
memahami pentingnya Kota Hijau atau visi
13
UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang ”Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun
2005-2025”
Kota Berkelanjutan menuangkannya dalam
visi-misi yang kemudian diturunkan secara
legal dalam bentuk RPJMD dan Rencana
Kerja OPD, sampai ke penganggaran
program-program terkait Kota Hijau.
Urban Sustainability Framework (USF)
menetapkan 4 tahapan peta jalan untuk
meningkatkan pencapaian keberlanjutan
kota, yaitu :
Tahap 1 – Diagnosa Isu Perkotaan, berisi
jawaban atas pertanyaan “Bagaimana
Kondisi Kota Sekarang ?” yang
mengidentifikasi keberdayaan atau karakter
kota dan jurang pencapaian keberlanjutan.
Pada tahap ini, kota juga dapat merespon
isu kota terkini, tantangan, dan
kesempatan. USF mendorong
kota/kabupaten untuk mengintegrasikan
data kota ke dalam perencanaan dan
penyusunan kebijakan.
Tahap 2 – Penentuan Visi dan Aksi
Proritas, berisi jawaban atas pertanyaan
40. 86
“Kemana Tujuan Kota ?” dan “Bagaimana
Kota menuju Tujuan tersebut?”. Visi
diorientasikan menuju ke tujuan masa
depan dan upaya-upaya untuk
memprediksi bagaimana kota dapat lebih
berkelanjutan 10 sampai 20 tahun ke
depan. Tahap ini kota dapat
memformulasikan tujuan-tujuan yang
diinginkan untuk membentuk kota yang
diinginkan. Visi harus berhubungan dengan
kebutuhan, konteks sejarah dan budaya
kota, serta status terkini dalam pencapaian
visi kota berkelanjutan. Aksi prioritas pada
tahap ini merupakan kunci dari perubahan.
Untuk merealisasi visi, kota harus memiliki
sebuah rencana aksi efektif yang berisi
ukuran target dan pencapaian, kegiatan
dan inisiatif untuk implementasi, peran
setiap pemangku kepentingan dan
komitmen pembiayaan kota.
Tahap 3 – Pembiayaan Rencana, berisi
jawaban atas pertanyaan “Bagaimana kota
membiayai pencapaian tujuan-tujuan
prioritas yang telah ditentukan sebelumnya
?” Pembiayaan aksi prioritas menjadi sangat
penting : proses mengidentifikasi pilihan
pembiayaan perlu dilakukan secara paralel
dengan pengembangan visi dan aksi
prioritas kota.
Tahap 4 – Kerangka Monitoring, berisi
jawaban atas pertanyaan “Apakah Kota
melakukan langkah yang benar dan apakah
rencana kota berjalan baik?” Monitoring
dan Evaluasi menyeluruh memungkinkan
perangkat OPD dapat belajar dari
pengalaman sebelumnya, meningkatkan
cara penyampaian program, dan
perencanaan dan pengalokasian sumber
daya, sembari menunjukkan hasil
pencapaian sebagai bagian dari
akuntabilitas.
Keterhubungan Metode Peningkatan
Keberlanjutan Kota USF dalam Sistem
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
tergambarkan dalam skema berikut. Skema
yang menggambarkan bahwa modal
pencapaian konsep kota berkelanjutan
bermodalkan visi & misi kepala daerah dan
penentuan visi dan aksi prioritas kota
dalam menangani permasalahan perkotaan.
41. 87
B.Komunitas
Salah satu tujuan penataan daerah/kota
adalah untuk meningkatkan kualitas hidup
masyarakat yang tinggal di suatu tempat.
Dalam penyusunan kebijakan maupun
implementasinya, pemerintah daerah wajib
melibatkan masyarakat14
, sebagaimana
masyarakat merupakan kelompok terkena
dampak kebijakan. Kelompok Warga
Komunitas sebagai sebuah entitas
kelompok warga dan masyarakat, dirasa
berperan penting dalam perwujudan Kota
Hijau -sebagai visi kebijakan pemerintah
daerah- sehingga menjadi salah satu
bagian dari atribut Kota Hijau, Green
Community, yang secara khusus dilakukan
melalui pembentukan Forum Komunitas
Hijau (FKH).
Inisiasi terbentuknya FKH yang merupakan
kumpulan komunitas kota yang peduli,
perlu ada dorongan dari Pemerintah
Daerah, termasuk dalam pembinaannya. Di
sisi lain, FKH maupun komunitas-komunitas
di kota diharapkan juga ikut mendorong
14
UU no. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
komitmen Pemerintah Daerah dalam
mewujudkan Kota Hijau.
Peran yang dapat dilakukan komunitas
dalam perwujudan kota hijau, antara lain :
• Mengetahui dan mengidentifikasi
permasalahan kota
• Meningkatkan kesadaran publik (public
awareness) tentang kondisi kota
• Berkontribusi membantu mengatasi
permasalahan kota melalui aksi-aksi
komunitas
• Meningkatkan jejaring sesama
komunitas untuk bersama-sama
melakukan aksi berkelanjutan untuk
kota
• Membuka ruang diskusi dengan
pemerintah kota dan pemangku
kepentingan lain untuk berkolaborasi
melakukan aksi hijau
• Melakukan pemetaan pemangku
kepentingan dan menemukan potensi
42. 88
kerjasama untuk meningkatkan aksi
hijau yang berdampak mengatasi
permasalahan kota, khususnya dengan
pendekatan kota berkelanjutan.
Setiap tahapan peran komunitas tersebut
dilakukan pada kegiatan Kampanye Publik
Kota Hijau.
C. Swasta
Pembangunan Daerah, tidak hanya bisa
bertumpu pada kemampuan APBD,
keterlibatan peran serta masyarakat dan
sektor swasta juga diamanatkan dalam
Undang-Undang No. 23 tahun 2014.
Peran swasta dalam perwujudan Kota Hijau,
antara lain :
• Menjalin kerjasama dengan
Pemerintah Kota untuk mengatasi
permasalahan kota yang dapat
ditindaklanjuti dengan bantuan
kontruksi pembangunan, bantuan non-
fisik, atau bentuk lainnya
• Setiap badan usaha memiliki tanggung
jawab mengucurkan Corporate Social
Responsibility (CSR) yang dapat
diarahkan untuk kegiatan terkait
implementasi Kota Hijau. CSR untuk
Kota Hijau dapat disalurkan melalui
komunitas ataupun Pemerintah Kota.
D. Akademisi atau Perguruan
Tinggi
Perguruan Tinggi memiliki asas Tri Dharma,
yang menjadi dasar penyelenggaraan
institusi berlandaskan Pendidikan,
Penelitian dan Pengembangan, dan
Pengabdian Masyarakat. Perguruan Tinggi
sebagai sumber keilmuan sebenarnya
dapat berperan menyediakan studi dan
solusi konret atas permasalahan kota.
Pemenuhan kewajiban Tri Dharma dalam
perwujudan Kota Hijau, dapat dilakukan
dengan integrasi aspek Penelitian dan
Pengembangan dan Pengabdian
Masyarakat. Secara khusus, Perguruan
Tinggi dapat berperan, antara lain :
• Melakukan penelitian yang mengarah
pada penganganan permasalahan kota
setempat
43. 89
• Mengembangkan penelitian tidak
sekedar berhenti pada dokumen,
melainkan mensosialisasikannya ke
publik untuk menjadi pengetahuan
umum atau bahkan mungkin dapat
peningkatkan kesadaran warga
• Mengadvokasi penelitian ke
Pemerintah Kota agar dapat diadopsi
menjadi kebijakan yang
diimplementasikan.
E. Pemerintah Pusat (Kementerian/
Lembaga)
Pemerintah Pusat, selain menetapkan
kebijakan sebagai dasar dalam
menyelenggarakan Urusan Pemerintahan,
juga berwenang melakukan pembinaan
dan pengawasan terhadap Provinsi
maupun Kota/Kabupaten (melalui gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat)15
. Sebagai
pembuat kebijakan dasar, Pemerintah Pusat
tentu menjadi rujukan utama Pemerintah
Provinsi maupun Pemerintah
Kota/Kabupaten dalam membuat dan
15
Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah pasal 6, 7
mengimplementasikan kebijakan di daerah,
tak terkecuali kebijakan terkait Kota Hijau.
Di tataran kementerian/lembaga, beberapa
instansi mengeluarkan kebijakan dan
program mengarah pada visi terkait Kota
Berkelanjutan. Walaupun tidak membawa
label ‘Kota Hijau’ atau ‘Kota Berkelanjutan’
secara eksplisit, keberadaan kebijakan dan
program terkait perlu diketahui sebanyak-
banyaknya Pemerintah Daerah yang dapat
memperkaya kebijakan dan implementasi
di daerah.
Peran Pemerintah Pusat (Kementerian/
Lembaga) dapat perwujudan kota hijau,
antara lain :
• Sosialisasi kebijakan dan program
nasional yang terkait Kota Hijau dan
Kota Berkelanjutan kepada Pemerintah
Daerah
• Melakukan monitoring dan evaluasi
terhadap pencapaian perwujudan kota
hijau
44. 90
• Melakukan pembinaan kepada
Pemerintah Daerah dalam penanganan
permasalahan kota dengan pendekatan
Kota Hijau atau bervisi Kota
Berkelanjutan
• Memberikan insentif dan apresiasi
kepada pencapaian baik
Kota/Kabupaten. Insentif dan apresiasi
dipercaya Pemerintah Kota/Kabupaten
menjadi pemicu untuk meraih
pencapaian yang lebih baik, dan
menjadi motivasi bagi Kota/Kabupaten
yang lain untuk dapat memberikan
pencapaian terbaiknya.
F. Pemerintah Provinsi
Pemerintah Provinsi (dalam hal ini
Gubernur) merupakan wakil Pemerintah
Pusat dalam melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan
Urusan Pemerintahan oleh
Kota/Kabupaten16
. Terkait perwujudan kota
16
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah
hijau, Pemerintah Provinsi wajib melakukan
pembinaan dan pengawasan dalam
pemenuhan wajib pelayanan dasar
perkotaan kota/kabupaten, khususnya
urusan Pekerjaan Umum Umum &
Penataan Ruang dan Perumahan &
Pemukiman yang sehubungan dengan ke-
PU-an dan pencapaian 6 Indikator Kinerja
Kunci (IKK) Laporan Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah (LPPD) yang secara
langsung mendukung Kota Hijau (lihat
bagian 4C) , yakni Lingkungan Hidup,
Pekerjaan Umum, Tata Ruang, Perencanaan
Pembangunan, Perumahan, Kehutanan.
Bagi daerah yang berkinerja rendah sesuai
hasil evaluasi LPPD, Gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat berhak melakukan
fasilitasi khusus, dengan pertimbangan
kementerian terkait, untuk dapat
meningkatkan kinerja penyelenggaraan
daerah17
.
17
Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2017 tentang
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah
47. 125
STRATEGI PENAMBAHAN RTH
Penambahan dan Pengelolaan RTH Kota
Malang termasuk dalam tugas Bidang
Pertamanan, Dinas Perumahan dan
Kawasan Permukiman Kota Malang. Seperti
mayoritas kota di Indonesia, Kota Malang
mengalami kesulitan dalam mencari lahan
untuk penambahan Ruang Terbuka Hijau
(RTH). Namun dengan komitmen
Pemerintah Kota Malang dalam
penambahan RTH, Bidang Pertamanan
memiliki beberapa strategi untuk tetap
mengupayakan penambahan RTH di
tengah keterbatasan lahan yang ada.
Strategi pertama, mendata tanah-tanah eks
bengkok atau seluruh lahan yang milik
Pemkot (atau secara administrasi
dinyatakan milik Pemkot dan melakukan
klarifikasi Bappeda bahwa lahan tersebut
diperuntukkan hijau dalam RTRW), karena
saat ini masih banyak lahan yang
disewakan oleh Pemkot. Bidang
Pertamanan juga bekerjasama dengan
forum lalu lintas dalam mensimulasi arus
lalu lintas dengan penggunaan lahan yang
lebih efektif. Jika ada U-turn yang tidak
bermanfaat, akan dibongkar untuk
dijadikan RTH, walaupun hanya 100 m2
.
Kedua, lahan yang telah didata, kemudian
di-DED-kan. DED tersebut menjadi dasar
Walikota mengeluarkan SK Penetapan
Taman, Hutan Kota, atau Jalur Hijau. SK
Penetapan RTH tersebut direview setiap 2
tahun sekali, biasanya terkait penambahan
pengelolaan RTH yang sebelumnya belum
dimasukkan, khususnya fasum berupa RTH
dari pihak privat yang diserahterimakan ke
Pemda. Dalam proses penyusunan DED,
dilakukan FGD yang melibatkan akademisi,
perwakilan pemerintahan, warga sekitar,
tokoh masyarakat, dan warga sekitar. FGD
bertujuan menjaring aspirasi tentang taman
seperti apa yang diinginkan atau tema
seperti apa. Pedoman 8 atribut kota hijau
semaksimal mungkin diakomodasi dalam
DED taman, begitu pun juga muatan lokal
yang membedakan satu DED lokasi dengan
lainnya. FGD lintas pemangku kepentingan
ini tidak hanya berhenti pada tahap
perencanaan, melainkan untuk diskusi-
diskusi lanjutan untuk mencari ide-ide
48. 126
pemeliharaan. Bidang Pertamanan
setidaknya telah melakukan 8 kali FGD
Rutin Taman pada 2017, dan 6 kali pada
2018.
Ketiga, dalam proses penyusunan anggaran
fisik, DED yang sudah tersedia diusulkan
dalam slot anggaran fisik. Anggaran fisik
yang terbatas tidak terlalu menjadi
masalah, selama terdapat stok DED.
Bergantung pada kebijakan anggaran,
walaupun yang difisikkan hanya 2 lokasi.
Dengan strategi tersebut, sampai akhir
tahun 2018, Kota Malang dalam proses
menambahan luasan Taman
Pandanwangi/Teluk Grajakan seluas 4.600
m2
dan Taman Median Ki Ageng Gribik
seluas 8.800 m2
.
Selain itu, ada pula upaya menambah
fasilitas-fasilitas penunjang yang ada di
taman eksisting, sehingga taman tidak
sekedar pasif dan sekaligus masuk dalam
beberapa indikator, yakni adipura, program
kota layak anak, dan program kota ramah
anak. Dalam mewujudkan taman
berstandar baik dan sesuai dengan banyak
kriteria program, umumnya dibangun
playground yang aman untuk mendorong
anak-anak untuk aktif bergerak.
Penambahan fasilitas lain dapat berupa
Perpustakaan dan Ruang Laktasi, seperti di
Taman Trunojoyo. Berdasarkan
pengamatan Dinas, selain wahana bermain
(playground), fasilitas foot theraphy
menjadi favorit warga di taman sehingga
kedua fasilitas inilah yang wajib ada di
taman lingkungan dekat permukiman.
STRATEGI PENGELOLAAN RTH
Penambahan fasilitas taman terbukti
mengundang animo masyarakat yang
cukup tinggi dengan level disiplin
masyarakat yang beragam, dari rendah
hingga tinggi. Ketika taman bagus,
dikunjungi banyak orang, pasti ditemukan
pengunjung yang buang sampah
sembarangan. Sebagai upaya menjaga
kedisiplinan masyarakat dan kebersihan
taman, dibentuknya Polisi Taman, terdiri
dari 50 personil yang ditugaskan di
beberapa RTH dan beberapa yang
melakukan pengawasan berkeliling
49. 127
(mobile). Polisi Taman dikontrak per tahun
yang bekerja dalam mendisiplinkan
masyarakat secara persuasif, tidak represif.
Setiap harinya, Polisi Taman bertugas
dalam 2 shift sejak pagi hingga jam 11
malam.
Dalam pemeliharaan, tantangan terbesar
adalah durabilitas fasilitas. Dinas Perkim
memiliki pengalaman dalam menyediakan
fasilitas permainan bidak catur dengan
kualitas impor, namun hanya bertahan 5
hari, karena perlakukan masyarakat yang
masih serampangan. Vandalisme
ditemukan ada, tapi tidak banyak. Kegiatan
pemeliharaan dan pengawasannya, baik
Taman Kota, Hutan Kota, Jalur Hijau,
menghabiskan anggaran mencapai 6 Milyar
dari hampir total 12 Milyar seluruh
anggaran Bidang Pertamanan.
Pentingnya pengelolaan RTH membuat
Dinas Perkim berstrategi untuk menjadikan
pemeliharaan dalam prioritas pertama
penganggaran untuk dipenuhi, sebelum
pos anggaran lainnya. Tingginya beban
pengelolaan RTH, mendorong Dinas Perkim
membentuk UPT Taman Aktif, khusus untuk
pengelolaan RTH besar, yakni Taman Alun-
alun, Taman Trunojoyo, Taman Slamet,
Taman Merbabu, dan Taman Merjosari.
Keterlibatan CSR dalam RTH selama ini,
bergantung penuh pada perhatian (interest)
pihak swasta. Tahapan umumnya, pihak
swasta mengirimkan proposal ke Dinas
disertai DED, kemudian disesuaikan dengan
arahan tema taman yang dimiliki Bidang
Pertamanan di lokasi/wilayah tersebut.
Kalau tidak sesuai, ada kesepakatan
lanjutan, atau swasta yang harus
menyesuaikan tema yang ditetapkan Dinas.
Setelah penyesuaian, ada persetujuan.
Dalam keterlibatan dengan pihak swasta,
Dinas tidak melakukan pendekatan,
biasanya pihak swasta datang melalui
Walikota. Keterlibatan swasta mayoritas ke
kegiatan fisik,walaupun ada pula yang
sifatnya pemeliharaan taman, sumbangan
alat pemeliharaan, seperti mobil tangki dan
pick-up. Dalam skema pemeliharaan,
swasta bertanggung jawab terhadap
keseluruhan aspek perawatan taman di
lokasi tertentu, termasuk penyediaan
50. 128
personel perawatan yang diikat dalam
kontrak selama 3 tahun, dan bisa
diperpanjang setelahnya (sesuai Peraturan
Daerah tentang Perjanjian Kerjasama
Pengelolaan Barang Milik Daerah).
Sebagai upaya menggerakkan kontribusi
berbagai pihak dalam kampanye RTH, pada
tahun 2017 Bidang Pertamanan melakukan
lomba taman tingkat lingkungan dan adakn
direncanakan dilaksanakan setiap 2 tahun
sekali. Pada pelaksanaan yang pertama
2017 lalu, tercatat 57 kelurahan di Kota
Malang ikut serta dalam inisiasi
membangun sebuah taman dengan
sumber daya dari masyarakat sendiri.
Dengan insentif yang ditawarkan kepada
pemenang berupa uang tunai pembinaan
pemeliharaan dan pembangunan fasilitas
(pada aset milik Pemda), pelajaran yang
dapat diambil, antara lain munculnya
kreativitas warga dalam membangun
taman, masyarakat menjadi peduli soal
perawatan taman, tak hanya soal
menanam, dan pada akhirnya warga
memberikan perhatian pada
lingkungannya.
PAYUNG BESAR VISI KOTA HIJAU
Walaupun pada tahun 2018 ini, Kota
Malang memasuki era kepemimpinan yang
baru, perangkat pemerintah kota yakin
bahwa komitmen baik yang selama ini
tercatat dalam perwujudan Kota Hijau tetap
terjaga. Walikota terpilih saat ini
menetapkan meneruskan visi yang
sebelumnya, Malang yang Bermartabat
(Bersih, Makmur, Adil, Religius-Toleran,
Terkemuka, Aman, Berbudaya, Asri, dan
Terdidik). Walaupun saat ini masuk dalam
proses penyusunan RPJMD yang baru, isu
lingkungan dan keberlanjutan kota dapat
dipastikan akan masuk dalam rencana
pembangunan Kota Malang 5 tahun ke
depan. RPJMD yang baru mencoba
mengaitkan isu lingkungan dengan tata
ruang, ketangguhan kebencanaan, dan
kota cerdas. Saat ini, framework kota hijau
berbasis 8 atribut, sudah mengarah 3 hal
tersebut. Integrasi isu lingkungan dengan
isu-isu terkini, seperti kota cerdas yang
biasanya hanya pendekatan telematika,
diarahkan untuk menggabungkan isu
lingkungan, termasuk pelayanan publik.
51. 129
Perwujudan Kota Hijau diimplisitkan dalam
misi ekonomi yang bertujuan menciptakan
pertumbuhan ekonomi, yang
memperhatikan keberlanjutan. Sasaran ini
ada 3, yakni pertumbuhan ekonomi kreatif,
pemerataan infrastruktur secara
berkelanjutan, dan kemanfaatan tata ruang
dan pengelolaan lingkungan hidup. Sasaran
yang akan diturunkan dalam bentuk
indikator yang sedang didiskusikan, antara
lain Indeks Daya Saing Infrastruktur, Indeks
Kualitas Layanan Infrastruktur, Indeks
Kualitas Lingkungan Hidup (KLHK),
Persentase Pengurangan Sampah, Rasio
Kesesuaian dengan Tata Ruang. Indikator-
indikator tersebut diharapkan menjadi
semacam payung besar untuk program
kota hijau, walaupun tidak secara eksplisit
menyatakan kota hijau. Berdasarkan
pembelajaran pelaksanaan P2KH, tidak
adanya indikator dinilai menjadi suatu
kelemahan, karena pengukuran itu, sangat
penting untuk melihat pencapaian. RPJMN
nanti diarahkan agar berbasis indikator
yang terukur, untuk semakin memperbaiki
target kinerjanya.
SINERGI LINTAS SEKTOR
Sebagaimana menjadi tantangan di banyak
kota, Kota Malang juga merasakan kendala
koordinasi antar sektor. Dan memang
kadang-kadang, akuntabilitas
platform/program menimbulkan kesalahan
persepsi, yakni satu program merupakan
urusan satu bidang saja. Untuk mengatasi
hal ini, diperlukan dorongan dari pimpinan
yang sudah menyadari atau pimpinan yang
perlu ditumbuhkan kesadaran pentingnya
kerja koordinasi lintas sektor.
Dalam skema keberlanjutan P2KH bagi kota
yang berkinerja baik, Kota Malang
mendapatkan bantuan fasilitasi dari
Bappenas. Dalam evaluasi penyelenggaraan
P2KH, Bappenas menilai keterlibatan tim
lintas sektor terlalu bersifat teknis, sehingga
ada keterbatasan menggerakkan pihak
yang lebih strategis. Untuk memberikan
dampak yang lebih besar, dibutuhkan
pembentukan tim lintas sektor yang berada
di level steering committee, dalam kegiatan-
kegiatan yang memfasilitasi peningkatan
kapasitas dalam memberi pengetahuan
52. 130
tentang proses transformasi kota maju,
seperti Walikota, Sekretaris Daerah, Kepala-
kepala OPD, yang memiliki kekuatan posisi
untuk untuk menumbuhkan komitmen,
menyamakan visi dan menentukan tujuan
jangka panjang dan strategis.
Kunci dari sinergi lintas sektor untuk
mewujudkan kota hijau juga dengan
integrasi dokumen perencanaan daerah.
Kemudian, merincinya ke dalam langkah-
langkah yang lebih teknis dan sering
membuat pertemuan atau pokja-pokja
lintas sektor.
Pada periode sebelumnya, kinerja kota
Malang diuntungkan oleh Walikota yang
memiliki program yang menarik dunia
usaha, dan mengarah pada potensi taman
yang menarik banyak kontribusi dari
swasta. Didukung juga adanya champion-
champion di OPD terkait, untuk meleburkan
atau mengkaitkan batas-batas sektor
dengan tujuan yang lebih besar. Champion
ini adalah mereka yang bekerja melampaui
tugas, lebih luwes berkoordinasi, mudah
berkomunikasi, dan menyebarkan virus
baiknya bahwa semua tujuan baik untuk
kota bagaimanapun saling terkait, tidak
hanya tugasnya satu Dinas. Pada awal P2KH
dulu, banyak yang mengira, Kota Hijau itu
hanya Taman, maka tugasnya Dinas
Pertamanan (waktu itu) untuk menyadarkan
bahwa ini terkait dengan bidang lain-lain.
Ego sektoral memang tidak dapat
dihilangkan, tapi bisa disiasati. Jika
flagshipnya yang terangkat (nama program,
seperti Kota Hijau, Kota Cerdas),
sebenarnya tidak masalah, selama ada
pengukuran yang membuatnya jadi
tercapai. Pengumpulan data sebaiknya
dilakukan oleh lintas sektor sehingga data
maupun hasil pengukuran dapat berguna
untuk berbagai kepentingan. Ego sektoral
juga bisa dilebur dengan adanya
kepemimpinan yang memberikan
kesempatan berinovasi. Penanganan
permasalahan kota yang demikian
kompleks yang sekedar mengandalkan
pekerjaan yang sesuai dengan batas-batas
sektor, akan jauh tertinggal dengan cara-
cara penanganan yang inovatif.
53. 131
Secara garis besar, kunci perwujudan kota
hijau, adalah peningkatan kapasitas,
konsistensi, pengukuran, dan insentif-
disinsentif. Adanya penghargaan, seperti
penghargaan inovasi kota hijau atau forum
sharing antar daerah, bisa dilihat sebagai
insentif yang mengakselerasi tujuan kota
berkelanjutan.
PR besar yang dimiliki Malang, adalah soal
pengembangan transportasi massal, yang
membutuhkan dana yang besar. Terkait hal
tersebut, telah disiapkan rencana MoU
kerjasama Malang Raya (Kota Malang,
Kabupaten Malang, dan Kota Batu) yang
berisi proposal pengelolaan Daerah Aliran
Sungai (DAS), prioritas pembangunan
transportasi publik, dan sistem pengolahan
sampah termal. Proposal yang disusun
dengan sinergi antar kepala daerah
tersebut akan diadvokasikan ke
kementerian terkait, dan berbagai lembaga
yang dinilai bisa membantu perwujudan
kota berkelanjutan yang melibatkan
kerjasama antar wilayah dan membutuhkan
pembiayaan yang tidak kecil.
62. 140
KOTA
SURABAYA
Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur
Visi Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya tahun 2016-2021 untuk menjadikan "Kota Sentosa
yang Berkarakter dan Berdaya Saing Global berbasis Ekologi" merupakan dasar kebijakan
dalam pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Visi kota yang berwawasan lingkungan
telah dicanangkan sejak tahun 2011.
63. 141
PERENCANAAN TATA RUANG BERBASIS
EKOLOGIS
Visi Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya
tahun 2016-2021 untuk menjadikan "Kota
Sentosa yang Berkarakter dan Berdaya
Saing Global berbasis Ekologi" merupakan
dasar kebijakan dalam pengembangan
Ruang Terbuka Hijau (RTH). Visi kota yang
berwawasan lingkungan telah dicanangkan
sejak tahun 2011.
Berdasarkan visi kota berbasis ekologi,
selain mempertahankan RTH eksisting,
upaya peningkatan RTH dilakukan melalui
perluasan area, pendistribusian RTH ke
seluruh area kota, dan sebisa mungkinkan
menjadikan RTH bermanfaat untuk aktivitas
atau ruang bersosialisasi warga. Upaya
untuk tidak membiarkan RTH sekedar
berfungsi pasif, Pemkot melakukan
kolaborasi dengan berbagai LSM dan
organisasi yang peduli pada isu ruang
publik, seperti UCLG, CSR Swasta.
Kolaborasi tersebut berupa kegiatan
pendampingan warga, khususnya dalam
pengadaan ruang publik di perkampungan
padat penduduk. Inovasi yang dilakukan di
kawasan permukiman padat yang sangat
membutuhkan ruang publik, namun tidak
tersedianya tanah pemda, umumnya warga
telah memiliki konsensus pada tanah milik
individu yang telah disepakati untuk
dijadikan ruang publik bersama.
"Kita dari awal sudah
memastikan mana-mana yang
hijau, kecuali di dalam kawasan
permukiman padat yang tidak
ada tanah lagi, kita trigger
dengan hibah dari masyarakat
sendiri, gimana menyediakan,
kemudian mereka minta ke kita,
bahwa mereka punya tanah
bersama, sudah disepakati
warga, tolong dibantu
dibangunkan melalui CSR, kita
yang bantu mencarikan CSRnya.
Kalau kita yang bangun kan
tidak boleh".
Badan Perencanaan dan
Pembangunan kota (Bappeko),
bidang Sarana dan Prasarana
64. 142
Pada program pengendalian tata ruang,
Badan Perencanaan Pembangunan Kota
(Bappeko) Surabaya mengidentifikasi
seluruh aset tanah pemkot yang berfungsi
hijau eksisting, seperti makam, lapangan,
taman, waduk, sempadan sungai,
sempadan pantai, agar tidak berubah
fungsi. Prinsipnya, jika dalam tata ruang
dipertunjukkan hijau akan tetap hijau,
sehingga tidak mungkin keluar izin
mendirikan bangunan pada area
peruntukkan hijau. Kawasan utara, timur,
dan selatan dialokasikan untuk kawasan
perlindungan kota.
Kondisi eksisting sejalan dengan target
pemenuhan RTH 20% publik sesuai RTRW,
walaupun masih belum optimal, seperti
pantai timur yang saat ini masih berupa
kawasan mangrove pasif walaupun
direncanakan terdapat mangrove
information center dan menjadi wisata
masyarakat, waduk yang belum dilengkapi
jalur pejalan kaki, atau RTH lain yang
dioptimalkan memiliki nilai lebih bagi
masyarakat. Kegiatan optimalisasi tersebut
yang saat ini berjalan, termasuk juga
pembebasan lahan pada kawasan yang
direncanakan menjadi RTH, yang saat ini di
beberapa bagiannya masih dimiliki warga.
"Tata ruang Surabaya sudah
clear bahwa kalau hijau akan
tetap hijau. Tidak mungkin izin
keluar untuk mendirikan
bangunan di situ. Itu sudah
komitmen".
Pengoptimalisasian RTH dilakukan secara
bertahap sesuai ketersediaan dana yang
terbatas, dengan prinsip kemanfaatan
langsung masyarakat. Misalkan lahan 1 Ha,
baru ada dana utuk pembangunan 500 m2
,
maka diupayakan pembangunan 500 m2
dapat langsung dirasakan masyarakat.
INOVASI PENANGANAN RUANG
TERBUKA HIJAU
Secara rutin, Pemkot menganggarkan
program pengelolaan RTH, yang berada
dalam kegiatan Dinas Kebersihan dan RTH
(DKRTH) dan Dinas Ketahanan Pangan dan
Pertanian. DKRTH menangani kegiatan
terkait RTH pasif maupun aktif, sementara
65. 143
tugas Dinas Pertanian berhubungan
dengan pengembangan Hutan Kota,
Perikanan, dan Penanaman Mangrove.
Taman
Taman hanya merupakan salah satu
instrumen RTH, selain makam, hutan kota
(di Dinas Pertanian), rusun (di Dinas PU),
dan lapangan (di Dinas Olahraga). Taman di
kota Surabaya dibagi dalam 2 jenis, yakni
taman aktif dan taman pasif. Taman aktif
berfungsi untuk sosialnya, atau disebut
taman rekreasi, sedangkan taman pasif
berfungsi sebagai paru-paru kota, dan
estetika kota. DKRTH, khususnya bidang
Pertamanan, secara prinsip melakukan
penghijauan, melakukan pengamanan
terhadap aset, menggalakkan inventarisasi
aset tersebut, mulai dari fasum-fasos, aset
BPKD, dan berusaha menjadikan wilayah-
wilayah yang memang berfungsi sebagai
RTH. Sebagai sebagai aplikator yang
mengeksekusi ketersediaan lahan yang
diperuntukkan sebagai RTH, DKRTH
mengkonsepkan taman yang sesuai
dengan kebutuhan setempat. Dalam
implementasi konsep taman, DKRTH
menerapkan tema desain yang diangkat
dari masyarakat sekitar atau memunculkan
landmark sendiri sebagai ikon yang trendy
dan instagrammable.
Kegiatan pengembangan tema desain
taman, umumnya dilakukan tim
perencanaan DKRTH secara swakelola yang
terdiri dari beragam latar belakang,
diantaranya ilmu lansekap, sipil, arsitektur,
dan desain produk. Ketika mengolah tema,
dilakukan identifikasi di lapangan Dalam
prosesnya pun, berupaya menjalin
partisipasi dari masyarakat.
"Sebelum mendesain, kami
melakukan riset lapangan,
seperti saat menggarap desain
taman di Jalan Mundu,
ditanyakan ke warga, Mundu
itu apa. Ketika tahu Mundu itu
tanaman, dicari tanamannya,
untuk ditanam di situ.,
dilakukan riset lapangan, ketika
tahu Mundu itu tanaman, kita
cari tanamannya, untuk bisa
66. 144
kita tanam di situ. Pada kasus di
Mayangkara, di tengah jalan
(bawah jalan layang), terdapat
lapangan futsal, karena
memang tidak ada lahan,
percuma dibangun taman akan
rusak lagi. Kami ditegur oleh
para praktisi, karena dianggap
tidak layak membangun
lapangan, kami balik, adakah
solusi untuk membahagiakan
anak-anak di sekolah situ.
Sampai sekarang, lapangan itu
menjadi primadona masyarakat
sana. Untuk kasus lain, bisa jadi
kultur budaya setempat yang
kami angkat, mereka sukanya
apa."
Untuk setiap lokasi, tim perencana
menggarap beberapa desain (lebih dari
satu pilihan) ditawarkan ke Walikota, untuk
disetujui, karena beliau tidak ingin hanya
ada satu pilihan. Walaupun sudah ada
kriteria mengenai taman aktif dan taman
pasif, keadaan di lapangan dan aspirasi
masyarakat terkadang menuntut adanya
improvisasi. Seperti Taman Pelangi yang
seharusnya menjadi taman pasif, karena
posisinya berada di tengah jalan yang
berpolutan tinggi menjadi tidak layak
dijadikan taman aktif. Namun, ada
beberapa aspirasi masyarakat yang
menginginkan ada landmark baru di situ,
akhirnya dilakukan penyesuaian desain
dengan adanya bangku taman dan
beberapa fitur yang tidak seharusnya ada di
taman pasif, ternyata menghasilkan daya
tariknya luar biasa. Pemkot seperti
memberi wadah kepada warga untuk
berselfie dan berfoto, menjadi semacam
ada identitas baru di Surabaya. Nama
taman pun mengalami perubahan,
sebetulnya di awal bernama "Taman
Ahmad Yani" sebetulnya, setelah ramai oleh
masyarakat dan beredar di berbagai
sosmed, masyarakat kemudian
menyebutnya "Taman Pelangi", Pemkot
pun akhirnya mengakomodir. Beberapa
perubahan seiring waktu juga terjadi di
lokasi lain. Seperti dulu, dikenal Taman
Harmoni tetapi lalu jadi Taman Keputih,
Taman Belitung jadi Taman Lansia. DKRTH
67. 145
mencoba mengangkat yang familiar di
masyarakat.
Berbeda dengan 10-15 tahun yang lalu,
dalam beberapa tahun terakhir, DKRTH
memiliki tujuan pemerataan pembangan
dengan menjangkau wilayah yang lebih
luas, jauh dari tengah kota, dan lebih dalam
ke pelosok. Konsekuensinya pada tugas
pemantauan yang menuntut waktu banyak,
karena lokasinya dari ujung ke ujung.
"Kalau dulu, mungkin hanya
menyentuh tepi jalan atau
tengah kota yang keliatan perlu
kami amankan, sekarang sudah
masuk ke kelurahan-kelurahan.
Saat ini, korelasi antara
pembangunan dan
pemeliharaan taman bisa
dikatakan sebanding."
Pemkot mewadahi usulan pembangunan
taman di kampung oleh warga dalam
musrembang, untuk kemudian diverifikasi
oleh DKRTH, salah satunya menyangkut
kesanggupan dalam melakukan
pemeliharaan. Ada pula kasus, usulan
datang dari RT, namun warga tidak setuju,
maka Pemkot akhirnya tidak
mengimplementasi. Pada kasus seperti ini,
DKRTH menyodorkan surat pernyataan
penolakan pembangunan untuk dapat
menghapus anggaran. DKRTH
memprioritaskan implementasi pada
kawasan yang lebih siap, lebih terbuka, dan
lebih membutuhkan. Langkah tersebut
dilakukan untuk mempercepat
terpenuhinya target dengan skala prioritas,
kejelasan aset lahan pemda dan kelayakan
kawasan permukiman (misalkan kawasan
kumuh yang perlu peningkatan kualitas
layak huni sampai tidak ada ruang
bermain). Setelah itu, ada pertimbangan
penanganan di kawasan lain, seperti area
kawasan elit yang diserahkan ke Pemkot,
jika aset jelas dan tidak ada konflik dapat
dieksekusi DKRTH.
Dalam melaksanakan seluruh kegiatannya
yang meliputi perencanaan sampai
pembangunan, DKRTH diperkuat oleh 16
orang dan tenaga lapangan oursourcing
(pasukan hijau) yang mencapai 400 orang,
dan mengelola anggaran sekian milyar.
68. 146
Anggaran APBD untuk pemeliharaan taman
di DKRTH mencapai 30 milyar setahun,
terdiri dari kegiatan pemeliharaan (dengan
sistem swakelola dan pihak ketiga), tenaga
kontrak, dan sarana prasarana (kendaraan
bermotor, peralatan, dan BBM). Untuk
mensiasati pemenuhan seluruh kebutuhan
pemeliharaan yang lebih besar, DKRTH
menarik keterlibatan swasta atau BUMN.
Bentuk kontribusi yang ditawarkan dalam
pembiayaan CSR umumnya berupa sarana
dan prasarana pemeliharaan, misalnya truk,
tangki, skywalker, fukuda.
"Masa akhir tahun, adalah
momen kami mengirim banyak
proposal ke pihak swasta,
BUMD, dan BUMN. Yang
tembus sebenarnya bisa
dihitung jari, paling 3-4.
Mungkin tidak berarti ketika
liat kebutuhan kita, tapi sangat
membantu sekali. Jadi
anggarannya bisa dialokasikan
untuk pembangunan taman di
tengah-tengah kampung
berluasan 80-90 m2
yang
berjumlah banyak sekali."
Sebagai bentuk apresiasi, pada barang
yang disumbangkan, terdapat keterangan,
misalkan "tangki ini bantuan dari ....". Dari
kerjasama tersebut, hampir tidak ada
pengadaan sarana atau prasarana dalam
penganggaran DKRTH. Tahun 2018 ini,
DKRTH sudah mencapai bantuan CSR
senilai 2 milyar.
"Strategi yang kami lakukan
berikutnya, setelah barang
sudah berusia 3-5 tahun, butuh
peremajaan, kami sampaikan
kembali kepada pemberi,
apakah mau membantu
kembali. Jika tidak, kami minta
izin untuk merebranding ke
pihak lain, ternyata
memunculkan kekhawatiran
dari mereka (pihak CSR), yang
pada akhirnya mereka
meneruskan bantuan pada hal
sama bahkan kalau perlu
membantu hal lainnya. Jadi,
69. 147
kami ciptakan kondisi-kondisi
yang kompetitif, toh kami juga
tidak memaksa."
Dalam pembangunan taman pada area
besar yang membutuhkan anggaran besar,
Pemkot juga menjalin kerjasama dengan
pihak lain, seperti pembangunan Keputih
yang melibatkan kontribusi dari
Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat dan UCLG Aspac. Ada
pula pembangunan yang murni atas
bantuan pihak lain, seperti Bank BNI,
dengan grand desain yang sudah ada dari
Pemkot.
Dalam rangka pengendalian kualitas pada
pekerjaan konstruksi, DKRTH
memberlakukan regulasi sertikat bulanan,
dimana pembayaran dilakukan sesuai
kenaikan progres berdasarkan mutual
check setiap bulan, bukan borongan.
Pekerjaan pemeliharaan juga dihitung per
m2
, di dalamnya berisi klasifikasi kegiatan
(misalnya penyapuan, pembersihan, dll).
Pengendalian dilakukan secara efektif
dengan media komunikasi jarak jauh,
seperti laporan WA dan aplikasi online
berisi jenis tanaman yang masuk, jumlah
stok, dan area distribusi.
Sedangkan pekerjaan pemantauan
dilakukan oleh petugas yang ditempatkan
per area (radius) dibawah koordinasi kepala
satgas area, tidak stay di satu lokasi.
Masyarakat juga ikut menjadi pemantau,
melalui berbagai portal pengawasan yang
dimiliki Pemkot, seperti sms gateway, dll.
Hutan Kota
Dipicu meningkatnya polusi khususnya dari
kendaraan bermotor yang melintasi jalan
kota Surabaya serta ancaman bencana
alam, Pemkot Surabaya menekankan
pengembangan hutan kota melalui Dinas
Ketahanan Pangan dan Pertanian,
khususnya bidang pertanian. Hutan kota
dibangun pada area. Beragam tipologi
hutan kota dikembangkan, diantaranya
hutan kota pohon, hutan kota semak, dan
hutan kota herbal.
70. 148
Arahan pembangunan hutan kota,
umumnya datang dari Walikota. Kemudian,
Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian
menindaklanjutinya dengan
pengembangan desain secara swakelola
sesuai tema yang juga dikemukakan juga
oleh Walikota. Pada beberapa kasus,
perencanaan desain bekerjasama dengan
Universitas. Seperti saat ini, Bidang
Pertanian sedang dalam proses
perencanaan Hutan Kota Lontar
bekerjasama dengan Universitas Airlangga.
Sama seperti seluruh pembangunan
infrastruktur atau yang berhubungan
dengan desain ruang kota Surabaya,
koreksi dan persetujuan rencana hutan kota
dilakukan Walikota.
Secara bersamaan, sedang direncanakan
pula 2 Hutan Kota, yakni Hutan Kota, Hutan
Kota mili dan Hutan Kota Lontar-Kebraon
yang dikembangkan dari lahan bekas BTKD
(Bekas Tanah Kas Desa). Pengembangan
RTH di Surabaya umumnya memang
memanfaatkan BTKD, kecuali ada perintah
pembebasan lahan seperti di Pakal yang di
dalam kawasannya terjepit lahan milik
masyarakat, yang kemudian dibebaskan
untuk penataan kawasan hijau yang
menyeluruh. Di bawah tugas Dinas
Ketahanan Pangan dan Pertanian pula, Kota
Surabaya sedang merencanakan Kebun
Raya Terbesar se-Asia Tenggara, seluas 500
hektar di area timur Surabaya dengan
kerjasama Kementerian PUPR dan LIPI,
yang mencakup 4 kecamatan dan 7
kelurahan. Dengan luasnya area rencana
pengembangan kebun raya tersebut,
pembebasan dilakukan bertahap dan di
beberapa area dilakukan perangkulan
masyarakat.
Walaupun secara prinsip berfungsi pasif
untuk ekologi kota, Dinas Ketahanan
Pangan dan Pertanian semaksimal mungkin
memasukkan unsur edukasi dan fungsi
pemanfaatan masyarakat di hutan kota
surabaya. Bahkan kantor Dinas Ketahanan
Pangan dan Pertanian pun dibangun zona
.... yang ditujukan sebagai pusat edukasi
publik yang kerap dikunjungi siswa sekolah
untuk belajar lingkungan alam kota, seperti
pengenalan tanaman, pembibitan,
71. 149
penanaman hidroponik, sampai pada
peternakan.
Dalam operasionalisasi, hutan kota dikelola
secara outsourcing per lokasi, yang rata-
rata dikerjakan oleh 4 orang. Pekerjaan
pengelolaan outsourcing ini dikendalikan
oleh koordinator-koordinator area yang
melaporkan kinerja ke Dinas. Sementara,
dalam penjagaan, mengingat lokasi hutan
kota umumnya tidak dekat dengan pusat
kegiatan warga, hanya dilakukan dari pagi
sampai sore.
Penanganan RTH yang dinilai
membutuhkan anggaran besar dipatahkan
Walikota Risma dengan banyak inovasi
yang menghemat anggaran, sehingga
perubahannya telah terlihat signifikan sejak
Bu Risma masih menjabat Kepala Dinas
Kebersihan dan RTH (DKRTH).
"Dulu itu dipikirnya kalau
bangun taman perlu dana
banyak. Sejak Bu Risma Kepala
DK RTH benar-benar kelihatan
perubahannya, jadi banyak
inovasi, terutama soal
penghematan anggaran".
Strategi yang diterapkan adalah
pemanfaatan sumber daya dari Organisasi
Perangkat Daerah (OPD) lain. Misalnya
tanah subur diambil dari sedimen
pengerukan saluran dari kegiatan Dinas
Pekerjaam Umum & Bina Marga atau
mengambil tanah dari IPLT (Instalasi
Pengolahan Lumpur Tinja), pupuk
diperoleh dari pengolahan sampah organik
di rumah kompos, tanaman diupayakan
dari 2 kebun bibit besar Surabaya (Kebun
Bibit Wonorejo dan Bratang). Pembelian
tanaman baru dianggarkan untuk yang
berukuran besar, langka, dan belum
dikembangkan di kebun bibit. Kebun Bibit
Wonorejo yang disebut "Rumah Sakit
Tanaman di Surabaya" merupakan sumber
pengadaan tanaman di Surabaya, berada di
dalam pengelolaan UPTD.
"Dulu Wonorejo disebut kebun
bibit, tapi sekarang, kami bisa
bilang seluruh RTH Surabaya
adalah kebun bibit, kecuali
72. 150
untuk tanaman-tanaman
master, seperti Pulai, Kamboja
Merah, masih mungkin kita
datangkan dari luar."
Prinsip pemanfaatan sumber daya yang ada
yang berdampak pada minimnya biaya
pembangunan, dirasakan saat penataan
kawasan Perak oleh Pemkot yang
dikerjakan bersebelahan dengan wilayah
Pelindo. Dengan sistem pengerjaan oleh
pihak ketiga oleh Pelindo menghabiskan
dana 4-5 Milyar, dapat menghasilkan
kualitas yang serupa dengan pekerjaan
Pemkot yang hanya menghabiskan dana
kurang dari 1 Milyar.
Pemkot memiliki regulasi yang mendasari
penguatan upaya, khususnya yang bervisi
ekologis. Pada tahun 2003 terbit Perda no.
18/2003 tentang Izin Penebangan Pohon,
yang hanya mencakup perizinan. Pada
tahun 2014, Perda tersebut direview yang
menghasilkan Perda no. 19/2014 tentang
Perlindungan Pohon. Dengan bahasa
perlindungan, terdapat ada efek jera di
dalamnya. Kritik datang dari kelompok
pengusaha yang dirugikan dengan adanya
Perda tersebut karena dianggap
mengurangi area komersial, DKRTH kerap
menandinginya dengan nilai lingkungan
yang lebih tinggi. Regulasi tersebut
didesain terintegrasi dengan proses
perizinan, seperti IMB, Amdal, dll
Daftar Hutan Kota dan Mangrove
Information Center (MIC)
N
o.
Nama
Hutan
Kota
Lokasi Luas Jenis
Tanam
an
1. Hutan
Kota
Balas
Klumpri
k
Balas
Klumpri
k,
Wiyung
4.3 Lindun
g, Buah
2. Hutan
Kota
Pakal I
Gang
Sidorejo
, Pakal
6.85 Lindun
g, Buah
3. Hutan
Kota
Pakal II
Gang
Mulyo,
Pakal
6.15 Lindun
g, Buah
4. Sambike
rep I
Kapasan
I (dekat
SMPN
20),
0.13 Lindun
g, Buah
73. 151
Sambike
rep
5. Sambike
rep II
Sambike
rep
Indah
Utara,
Sambike
rep
0.72 Lindun
g, Buah
6. Lempun
g
Lempun
g
Perdana,
Lontar,
Sambike
rep
1.9 Lindun
g, Buah
7. Sumur
Welut
Sumur
Welut,
Lakarsan
tri
3.34 Lindun
g, Buah
8. SPT
Jeruk
Raya
Mengan
ti, Jeruk,
Lakarsan
ti
7.65 Lindun
g, Buah
9. Hutan
Kota
Gunung
Anyar
Wisata
Anyar
Mangro
ve,
Gunung
Anyar
Tambak,
43.0
2
Lindun
g,
Mangr
ove
Gunung
Anyar
10
.
Mangro
ve
Informat
ion
Center
(MIC)
Wonorej
o Timur,
Wonorej
o,
Rungkut
33.4
98
Lindun
g,
Mangr
ove
MENUMBUHKAN KESADARAN &
KEBERDAYAAN WARGA SEBAGAI KUNCI
KEBERLANJUTAN
Keasrian Kota Surabaya yang dikenal saat
ini bukanlah proses yang instan. Fenomena
banyak orang menyepelekan, merusak,
atau bahkan mengambil pohon kota yang
ditanam, juga sempat terjadi di Surabaya.
"Pada awal tahun 2000,
sekarang kami nanam pasti
besok tidak ada. Kita tanam
terus, Bu Risma sembari
membuktikan pada masyarakat,
bahwa Surabaya bisa
berprestasi dari taman, maka
jagalah. Memang, Surabaya
terkenal berawal dari taman."
74. 152
Proses perubahan perilaku warga secara
perlahan dipicu komitmen dan pembuktian
Pemkot bahwa taman atau RTH adalah aset
penting Surabaya yang dibangun dan
dipelihara dengan sungguh-sungguh.
Ketika kesungguhan pemkot terbukti
dengan terpeliharanya taman dan
keindahan kota secara umum, tumbuhlah
kesadaran warga untuk tidak merusaknya.
"Beberapa tahun kemudian, di
tahun 2000an, tidak pernah ada
lagi pengambilan tanaman.
Bahkan warga saling
mengingatkan dan menjaga.
Dalam prosesnya, kita bisa
membuktikan bahwa kita bisa
memelihara taman. Sama
dengan CSR, kita buktikan dulu,
bahwa kita bisa buat dan
memelihara, baru meminta
kontribusi CSR."
Insiden Wall's Ice Cream Day pada Mei
2014, secara tidak langsung mempengaruhi
kesadaran warga Surabaya. Insiden yang
merugikan Pemkot hingga 1.3 M turut
menyulut amarah warga. Dalam proses
perbaikannya pun, tidak sedikit warga yang
turun tangan memberikan bantuan. Pemkot
memanfaatkan momen ini sebagai
kesempatan pelibatan masyarakat langsung
dalam pembenahan kota, dengan
melakukan tanam bersama masyarakat
dalam rangka perbaikan taman bungkul,
dipandu oleh arahan DKRTH. Masyarakat
diperlakukan sebagai subjek, sementara
dinas atau pemkot sebagai fasilitator.
Untuk menjaga terpeliharanya, DKRTH
terus menerus melakukan edukasi dan
pengawasan langsung ke lapangan.
Memberi perhatian langsung pada waktu,
diakui DKRTH, efektif untuk menumbuhkan
dan merawat kesadaran warga.
"Dibanding urusan teknis,
waktu kami lebih banyak di
sosialisasi."
Pemkot Surabaya berupaya mendorong
warga untuk peduli pada lingkungan
sendiri untuk menumbuhkan rasa memiliki
dari warga dan menjamin perubahan baik
akan berkelanjutan, melalui program
75. 153
Surabaya Green and Clean yang meliputi
kegiatan lomba dan publikasi media.
Publikasi bertujuan mengapresiasi upaya
warga dalam mengubah lingkungan
sehingga mereka dikenal publik dan dapat
menginspirasi lebih banyak warga.
DKRTH atau Dinas Pertanian dapat
memberi bantuan tambulapot kepada
warga yang membutuhkan, serta
melakukan pembinaan dalam pembuatan
barang-barang dari sampah anorganik.
Sedangkan untuk penanganan sampah
organik, Pemkot mendistribusikan
keranjang takakura, khususnya untuk
memproses sampah basah atau sisa
makanan, untuk dijadikan kompos. Kompos
digunakan sebagai media tanam di
perumahan warga, bahkan jika tidak
mampu, Pemkot juga dapat menyediakan
pot gratis.
Sebagai upaya pemberdayaan warga,
dalam proses musrembang terdapat pilihan
program seperti bantuan bibit tanaman,
bantuan bibit lele, urban farming, dan
pelatihan/pendampingan dari Dinas
Ketahanan Pangan dan Pertanian, Dinas
Kebersihan dan Ruang Terbuka Hijau
(DKRTH), atau Dinas Pengendalian
Penduduk, Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (DP5A), yang dapat
membantu warga melakukan kegiatan
produksi sampai distribusi. Misalkan
produk cabai, dilakukan pembinaan untuk
mengolahnya sambal kemasan, dibantu
untuk mendapatkan izin BPOM, hingga
menyediakan wadah distribusi melalui
kegiataan bazar, pasar rakyat, dan stan-stan
di mal yang disediakan Pemerintah Kota
Surabaya.
Pada akhirnya, Pemkot Surabaya tidak
hanya fokus pada upaya penghijauan,
melainkan menyentuh sampai dapat
menaikkan level ekonomi warga.
"Cara kita menghabiskan APBD
bukan cuma ngasih, tapi
mengedukasi supaya
berkelanjutan. Kalau hanya
diberikan, akan mati, atau
frame berpikirnya hanya minta-
minta. Kalau begitu, kalau tidak
76. 154
dikasih gak jalan. Yang kita
ubah itu pola pikirnya warga,
supaya kalau gak dikasih pun
mau melakukan sendiri, karena
kita sudah ngajarin caranya".
PENGEMBANGAN SISTEM
TRANSPORTASI BERKELANJUTAN
Dalam pengembangan transportasi massal,
Pemkot saat ini sedang melakukan
program revitalisasi angkot, selain dari
pengadaan Bus Suroboyo, sebagai upaya
edukasi warga untuk pindah dari kendaraan
pribadi ke kendaraan umum, sebelum
rencana integrasi angkutan massal cepat
berupa monorel terwujud. Sementara Bus
Suroboyo saat ini baru beroperasi pada
jalur Utara-Selatan, program revitalisasi
angkot juga masih tahap sosialisasi.
Inovasi menginterasikan transportasi publik
dan kepedulian Kota Surabaya pada
kebersihan diimplementasikan pada
program Bus Sampah yang diinisiasi Dinas
Perhubungan, yakni pembayaran bus
dengan sampah plastik untuk kemudian
diolah menjadi produk daur ulang sampah
yang bermanfaat.
"Bus Suroboyo kan platnya
masih merah, jadi kami tidak
boleh menarik biaya. Kita punya
pemikiran, Surabaya ini kan
peduli terhadap kebersihan, ya
sudah, membayarnya dengan
sampah aja, supaya membantu
mengubah pola pikir
masyarakat bahwa sampah bisa
dimanfaatkan. Jadilah Bus
Sampah".
Kedepannya, Pemkot berencana
menerapkan sistem integrasi transportasi
massal secara professional, yang saat ini
masih tahap kajian terkait sistem
pengelolaan berupa BUMD atau BLU.
Pengembangan transportasi massal
didasarkan pada studi permintaan yang
berpusat pada area pusat perkantoran dan
kampus.
Sembari proses penyiapan angkutan massal
cepat, berupa monorel yang sempat masuk
dalam pembiayaan APBN namun tidak jadi
77. 155
terealisasi, adanya angkot yang nyaman
dan dapat diandalkan sebagai feeder,
membuat pola perilaku warga condong ke
penggunaan transportasi publik.
KEPEMIMPINAN
Kunci kemajuan Kota Surabaya yang
diyakini Bappeko, utamanya terletak pada
konsistensi pimpinan. Pimpinan yang
memiliki visi tegas sehingga mendorong
pola kinerja seluruh perangkat daerah ke
arah produktif, ditunjang dengan program
yang disusun sedemikian rupa untuk
menjamin keterwujudan visi tersebut.
Karakter pimpinan yang bisa mengarahkan
dengan baik, sehingga setiap perangkat
tahu harus berbuat apa, kemudian
menciptakan sistem yang berjalan dengan
sendirinya. Konsistensi pimpinan juga
ditunjang dengan adanya sistem e-
governance yang memudahkan
pelaksanaan pembangunan, baik pada
perencanaan anggaran, pelaksanaan,
sampai pengendalian. Sistem yang
berprinsip pada keterbukaan informasi
mendorong terciptanya integrasi antar
sektor serta mengarahkan kinerja yang
berbasis pada target hasil, bukan pada
kelengkapan dokumen semata. Kinerja
berbasis target ini yang memupuk
berkembangnya inovasi.
"Kunci Surabaya bisa progresif,
pertama, konsistensi
kepemimpinan. Ketika
pimpinan punya visi tegas,
bawahannya pasti ikut. Itu
faktor utama, selain anggaran.
Kedua, kita sudah pakai e-gov.
Kita sudah punya e-planning, e-
budgeting, sampai e-monev,
dan sistem online lain yang
saling terkait. Itu memudahkan
dan sangat membantu,
sehingga manusianya gak
mengurusi dokumen lagi, tapi
fokus pada pelaksanaan,
sehingga inovasinya bisa
berkembang terus kemana-
mana".
SINERGI
78. 156
Koordinasi dan sinergi merupakan prinsip
penting bagi dinas-dinas di Pemkot
Surabaya dalam melakukan tugasnya.
Bentuk koordinasi dilakukan seefektif
mungkin untuk menyelesaikan solusi,
seringkali koordinasi via WA dianggap
cukup tanpa perlu pertemuan formal,
bahkan koordinasi Walikota dengan Dinas
pun jarang dilakukan dalam pertemuan
khusus. Walikota dengan kebiasannya
memantau lapangan, dan langsung
berupaya menyelesaikan masalah di
lapangan menjadi pemicu sinergi lintas
sektor, karena permasalahan lapangan
selalu bersinggungan antar sektor. Kerja
bakti lapangan yang diinisiasi Walikota
sebagai metode penanganan masalah
langsung, kemudian menjadi rutinitas kerja
bakti setiap jum'at pagi yang menjadi
wadah sinergi seluruh perangkat
pemerintah. Kerja bakti rutin tersebut
meruntuhkan tembok-tembok sektoral
sekaligus melatih keluwesan kerjasama
antar bidang/bagian yang secara struktural
terikat kaku dalam tupoksi. Memang,
kelancaran sinergi yang terjadi tidak bisa
menafikan peran Walikota yang langsung
memberi komando.
"Kerja bakti jum'at pagi,
umumnya Walikota sendiri
yang memimpin. Jika ada yang
belum kotor, disuruh kotor.
Kami tidak mengenal slogan,
melainkan langsung aksi yang
menghasilkan. Walikota
menunjukkan pimpinan
tauladan yang sederhana. Saat
di lapangan ya kami makan
sego bungkus sama-sama, tidak
ada perbedaan. Etos bekerja
beliau tinggi, bekerja dari jam 5
pagi sampai 11 malam, tak
terkecuali Sabtu dan Minggu.
Jika ada kejadian langsung
turun lapangan, tidak
memerintah."
Gotong royong bias sektor secara
gamblang teruji saat terjadi kasus darurat.
Contoh, saat kebakaran Pasar Turi,
kendaraan pemadam kebakaran hanya
cukup berada di satu titik, tidak harus
79. 157
wara-wiri, personil Pemkot yang secara
estafet mensuplai air, paling tidak Satpol
PP, dinas Kesehatan, DKRTH, perangkat
kecamatan sigap di area kejadian. Contoh
lain, dalam penataan kawasan kumuh di
Kenjeran, DKRTH bekerjasama dengan
Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian
untuk pengadaan tanaman tertentu. Atau
dalam kasus pembongkaran bangunan liar
yang dilakukan dalam agenda kerja bakti
jum'at, Satpol PP berada di depan, Dinas
PU siap backing, DKRTH siap tanah subur,
kompos, dan tanaman sehingga area
langsung bersih saat kerja bakti selesai,
tidak ada lokasi yang terbengkalai lama.
"Mungkin sekarang di Pemkot,
hampir dikatakan tidak ada ego
sektoral. Kalau ada kebakaran,
DKRTH ada di situ untuk
membantu pemadam
kebakaran. Begitu pun
sebaliknya, saat musim
kemarau, tim pemadam
kebakaran juga bisa turun
lapangan untuk membantu kita
nyiram. Kita kayak ada
perasaan, ini Surabaya-ku. Alih-
alih merasa tersinggung, kami
justru merasa terbantu. Jangan
kaget jika satu waktu, kita
(semua dinas) ngumpul jadi
satu di satu tempat."
Dari sistem e-governance, terutama e-
monev, mengharuskan adanya pelaporan
rutin (setiap tahun, setiap 3 bulan, setiap 1
bulan), selain untuk memantau progres
capaian output dan realisasi anggaran di
masing-masing OPD, juga menentukan
apakah kinerja sudah sesuai dengan target
dalam RPJMD yang dicanangkan. Pada
akhir tahun terlihat target yang belum
tercapai disertai kendala pencapaian,
sebagai bahan tahun berikutnya untuk
penyusunan anggaran.
Sistem monitoring tersebut didesain
langsung berhubungan dengan parameter
reward bagi pegawai pemkot. Dengan
pelaporan harian pegawai, yang terdiri dari
pekerjaan harian, unggah foto, lokasi, GPS,
melalui pemantauan dari masing-masing
dinas, jika kinerja tercatat seiring
80. 158
pencapaian target OPD, maka didapat uang
e-performance.
Pada setiap kinerja yang tidak mencapai
target, diselidiki faktor penyebabnya.
Sebisa mungkin penyebab internal dapat
disadari dan diperbaiki, namun jika
penyebabnya merupakan faktor eksternal,
memang tidak ada yang bisa dilakuakn.
Misalkan kegiatan pembebasan lahan yang
tidak berhasil karena masih sengketa di
warga, kinerja dinas tetap rendah tanpa ada
yang bisa dilakukan untuk
meningkatkannya.
INOVASI KERJASAMA BERBASIS AKSI
(PENANGANAN SAMPAH DAN
SANITASI)
Inovasi penanganan sampah Kota
Surabaya, diindikasikan dengan tidak lagi
menggunakan sistem open dumping,
melainkan mengarah pada pemanfaatan
waste to energy, seperti yang dilakukan di
TPA Benowo. Selain itu, prinsip mengurangi
sampah dari sumbernya dan mendorong
warga untuk memilah sampah dari level
rumah tangga dikuatkan, sebelum sampah
diangkut di TPS 3R, dan dipilah lagi jika ada
yang bisa diolah ke rumah kompos.
Kerjasama lintas negara dalam penanganan
sampah juga telah dilakukan Pemkot
Surabaya, melalui kerjasama dengan
Jepang pada TPS Wonorejo dalam
pengadaan mesin pemilahan sampah,
sistem percepatan pengolahan kompos
dengan metode larva lalat yang
diperkenalkan dari kerjasama dengan
Pemerintah Swiss.
SAMPAH
Penanganan sampah di Surabaya. Pertama,
mengurangi sampah dari sumbernya. di
Warga itu sampahnya dipilah dulu.
kesadaran mengurangi dulu. TPSnya pun
TPS 3R, nanti dipilah mana yang bisa diolah
ke rumah kompos. Kita manfaatkan jadi
waste to energy (sampai 2032) di TPA
Benowo, sanitary landfill jadi sudah tidak
open dumping.
Rasa bahwa Surabaya open, maka banyak
kerjasama, apalagi yang berbasis aksi,
karena yang sifatnya studi sudah banyak
dikurangi, karena teori sudah banyak.
81. 159
ENERGI ALTERNATIF DAN KONSERVASI
ENERGI
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota
Surabaya melaksanakan 2 kegiatan terkait
energi, yakni penerapan energi alternatif
dan konservasi energi, yang melingkupi
pembinaan dan audit energi. Kegiatan
penerapan energi alternatif, sudah
dilakukan pada tahun 2015-2016, dilakukan
pemasangan kincir angin di Kenjeran yang
ditempatkan di UPTD Kenjeran untuk
penerangan parkir tempat wisata sebagai
bahan edukasi, belum untuk menghasilkan
energi listrik yang besar.
Tahun 2014, DLH mendapatkan dana DAK
untuk pengadaan solar cell di 18 sekolah
berupa panel solar cell dan 6 lampu sebesar
300-500 watt. Pada tahun 2017-2018,
Pemkot melanjutkan inisiatif tersebut
dengan menganggarkan solar cell di APBD
untuk diberikan ke sekolah-sekolah
pemenang Adiwiyata tingkat mandiri,
berupa panel on-grid sebesar 3000 watt
dan panel off-grid sebesar 1500 watt. Panel
on-grid merupakan jenis yang beroperasi
tanpa aki (sehingga lebih awet), jadi
langsung tersambung dengan PLN dan
secara otomatis mengurangi beban PLN.
Umumnya, solar cell digunakan untuk
penerangan lampu di koridor sebanyak 10
titik. Sampai sekarang, belum ada
perhitungan pengehematan energi dari
pembiayaan APBD tersebut.
Tipologi penggunaan energi terbesar di
sekolah Surabaya ada pada penggunaan
komputer, dengan jumlah rata-rata 200
komputer per sekolah. Tinggi-tingginya
pemakaian itu pada bulan April, Mei, dan
November. Jadi keberadaan solar cell di
sekolah untuk penghematan energi
sebenarnya belum sebanding.
"Karena daya listrik pada
bangunan sekolah terpasang
besar, 82.500 VA, batas minimal
pembayaran itu Rp. 3.000.000,-
(tiga juta rupiah), walaupun
penggunaannya hanya 1 juta,
membayarnya harus Rp. 3 juta.
Kami juga belum menemukan
strategi edukasi penggunaan