SlideShare a Scribd company logo
Kinescope
F i l m ,

S e n i

&

E d u k a s i

free magazine - edisi 5 - DESEMber 2013

Desember 2013 l Kinescope l 1
2 l Kinescope l Desember 2013

Desember 2013 l Kinescope l 3
Cover Story

10 Review Singkat 4 Dasawarsa
Film Indonesia

profile

14 Slamet Rahardjo

Daftar isi
30

REVIEW

18 soekarno
20 Sagarmatha
24 isyarat
26 make money
28 Killer Toon
32 HOURS

Snowpiercer

Opini
34 OPINIFilm, Kritik dan Logika
36 Dari Memoar ke Layar Lebar
38 Tattoo dan Subkultur
Kaum Urban

FESTIVAL

Addie MS

66

42 Festival Film Dokumenter 2013
44 Festival Teater Jakarta 2013
46 Jogja-NETPAC Asian Film
Festival (JAFF) 2013

74
Henri Bergson

47 Makassar Film Festival 2013
48 Science Film Festival 2013
52 Jogja Cinephilia 2013

SEJARAH

54 Sejarah Festival Film

Indonesia:Merajut Pertemuan
Pembuat Dan Penonton Film

behind the scene

58 comic 8 Film COMIC 8 yg ber-genre

ACTIONCOMEDY ini bercerita tentang
delapan anak muda dari berbagai
macam background dan kisah
hidup masing-masing, yang secara
kebetulan merampok sebuah bank
dalam waktu bersamaan.

liputan
62 Nonton Bareng: Film Adriana
63 Nonton Bareng: Film King of Rock
City
64 MISBAR Kineforum:
Upaya Kreatif Ciptakan Ruang Alternatift
Untuk Film Indonesia

4 l Kinescope l Desember 2013

music

68 kla poject

25 Tahun KLa Project
‘Mendentum’ Jakarta

KOMUNITAS
78 Gudangfilm

Cinta Film LokalInternasional

DESTINATION

80 Vogels Hostel

Hangat dan Bersahabat

SENI

82 Tato Dayak Kalimantan

Seni merajah tubuh atau tato
adalah bagian dari kebudayaan
tradisional. Diantara daerah
Nusantara yang terkenal dengan
seni tatonya adalah suku Dayak di
Kalimantan. Bagi budaya Dayak
seni tato telah menjadi ciri khas dan
identitas masyarakatnya. Berbicara
tentang kebudayaan Dayak, kita
tidak bisa melepaskannya dari
alam, terutama hutan.
Desember 2013 l Kinescope l 5
f i l m ,

s e n i

&

P

Penasehat Redaksi
Farid Gaban
Tino Saroengallo
Andi Bachtiar Yusuf
Wanda Hamidah
Faisal Basri
Pemimpin Umum
Hasreiza
Pemimpin redaksi
Reiza Patters
Redaktur	
Bentar Kurniawan
Rian Samin
Kontributor
Shandy Gasella
Wella Sherlita
Daniel Irawan
Daniel Rudi Haryanto
Pejred	
		
Rohman Sulistiono
Novita Rini
Thea Fathanah Arbar	
Suluh Pamuji

	

Desain Grafis & Tata Letak
al Fian adha
Artistik & Editor Foto
Rizaldi Fakhruddin
Fotografer
Hery Yohans
Penjualan & Pemasaran
Ollivia Selagusta
Community Development
Jusuf Alin Lubis
Distribusi & Sirkulasi
Faisal Fadhly
subScriptions
Pusat Meditasi Satria Nusantara
Jl. RS Fatmawati No. 110A
Jakarta selatan
Indonesia

	www.kinescopeindonesia.com
	
	info@kinescopeindonesia.com
	iklan@kinescopeindonesia.com
	redaksi@kinescopeindonesia.com
	langganan@kinescopeindonesia.com
	@KinescopeMagz

6 l Kinescope l Desember 2013

Salam Redaksi

e d u k a s i

erkembangan Film nasional, memang mengalami pasang surut. Dari masa kejayaan pada
tahun 70-80an hingga masa yang dianggap mati suri, tahun 90-2000an awal. Semua
insane perfilman nasional mengamini dan bersepakat tentang masa-masa itu. Namun
pertanyaannya, apa sebabnya? Mengapa kita diam saja?
Sebetulnya, anggapan bahwa tidak ada pergerakan apa-apa, itu merupakan kesalahan besar
dan kemalasan mencari tahu. Karena sebetulnya, sudah banyak inisiatif-inisiatif untuk berusaha
menyemarakkan perfilman nasional dan penyelamatan budaya kegemaran menonton. Namun,
dukungan dari pengambil kebijakan dan amplifikasi media, tidaklah cukup maksimal diberikan pada
inisiatif-inisiatif itu.
Yang menarik di tahun 2013 ini, semakin berjamurnya komunitas penonton dan penggemar
film, baik film lokal maupun internasional, festival-festival film yang semakin marak di berbagai
daerah, film-film nasional yang diproduksi dengan mempertaruhkan kualitas dan menambah
kuantitas, ini sedang berproses menuju era kebangkitannya. Dari sisi kualitas dan kuantitas, filmfilm nasional yang diproduksi pada tahun 2013 ini, sudah mendekati apa yang pernah terjadi pada
masa kejayaan film nasional pada tahun 1970-1980an. Dan ini sebuah situasi yang cukup memberi
harapan sekaligus menggembirakan.
Uniknya, beberapa film nasional yang diproduksi dengan sangat serius, justru banyak yang
dirilis menjelang tutup tahun. Entah kenapa dan apa motifnya, fakta itu terjadi. Bagaimana film
“Sagarmatha” dan “Sokola Rimba” yang kualitasnya sangat baik, tidak mendapatkan publikasi yang
cukup karena tertutup oleh fenomena film “Soekarno” dengan segala konflik yang menyertainya. Ya,
karena rilis film-film tersebut pada waktu yang sangat berdekatan. Sedikit disayangkan, karena nilai
edukatif yang ada dalam film-film yang sebetulnya bagus, tidak terdistribusi merata, karena tertutup
oleh film yang lain. Positifnya, film-film nasional pada tahun 2013 ini bisa dibilang mengedepankan
kualitas, dan ini mencerahkan.
Kita berharap, semoga apa yang terjadi di tahun 2013 ini, bisa berlanjut terus di tahun 2014,
walaupun mungkin kejadian seperti fenomena tahun 2013 ini akan terjadi lagi, yaitu menumpuknya
film-film nasional yang berkualitas di penghujung tahun. Ya, karena perhelatan besar politik nasional
juga akan berlangsung di tahun 2014 ini. Semoga saja semangat memproduksi dan menonton film
nasional di tahun 2014 dan seterusnya akan bisa melebihi apa yang terjadi di tahun 2013 ini. Ya,
semoga.

Cover Story
Review Singkat
4 Dasawarsa
Film Indonesia
“Menjadi sangat penting untuk
memastikan bahwa tayangan
film yang beredar luas itu benarbenar memberikan edukasi yang
baik namun tidak meninggalkan
sisi hiburan (entertaining).”
Desember 2013 l Kinescope l 7
ON PRODUCTIONS

Toilet Blues

A

2014

Film Schedule Desember 2013

njani (Shirley Anggraini) kabur dari rumah setelah ia dituduh terlibat dalam tindak asusila dengan teman laki-lakinya. Ia mengikuti
Anggalih (Tim Matindas), teman laki-laki dekatnya dari SMP yang
sedang berjalan ke Seminari Katolik setelah liburan sekolah selesai.
Dalam perjalanannya, ayah Anjani yang berkuasa mengirim Ruben (Tio Pakusadewo), investigator berandal, untuk membawa Anjani
pulang. Ruben membuntuti, membujuk dan memperdaya Anjani
dengan cara iblis.
Toilet Blues adalah pertanyaan benar dan salah, surga dan neraka
yang tidak selalu dimainkan untuk umum, seperti halnya grafiti
serampangan yang ada di toilet umum yang dikunjungi Anjadi dalam
perjalanannya dengan Anggalih.

Film Indonesia Desember

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
Nusantara 1930. Dari tanah kelahirannya, Makasar, Zainuddin berlayar menuju tanah kelahiran ayahnya di Batipuh, Padang
Panjang. Di sana ia bertemu Hayati. Kedua muda-mudi itu jatuh
cinta. Tapi, adat menghalangi. Zainuddin hanya seorang melarat
tak berbangsa, sementara Hayati perempuan Minang keturunan
bangsawan.
Lamaran Zainuddin ditolak keluarga Hayati. Hayati dipaksa
menikah dengan Aziz, laki-laki kaya berbangsa yang memang ingin
menyuntingnya. Zainuddin memutuskan merantau ke tanah Jawa.
Zainudin bekerja keras dan menjadi penulis terkenal.
Dalam sebuah pertunjukan opera, Zainuddin kembali bertemu
Hayati bersama Aziz, suaminya. Kisah cinta Zainuddin dan Hayati
menemui ujian terberatnya dalam sebuah tragedi pelayaran kapal
Van Der Wijck.

1.	
	
2.	
	
3.	
	
4.	
	
5.	
	
6.	
	
7.	
	

	 9 Cahaya di Langit Eropa
9
Tayang 5 Desember 2013
Soekarno
Tayang 11 Desember 2013
Isyarat
Tayang 12 Desember 2013
Mengejar Setan
Tayang 19 Desember 2013
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
Tayang 24 Desember 2013
Laskar Pelangi 2: Edensor
Tayang 24 Desember 2013
	 lank Nggak Ada Matinya
S
Tayang 24 Desember 2013

R
Let’s Play, Ghost

L

ima sahabat remaja: Natasha si pemberani, Diana si pesolek,
Davina si lugu, Kathy si penyair gagal, dan Rhonda si waria sableng
berlibur ke sebuah vila terpencil di Puncak berdasarkan iklan internet.
Mereka tidak tahu, bahwa di tempat itu sebelumnya pernah terjadi
serentetan kematian misterius.
Sejak awal kedatangan, mereka disambut dengan sikap memusuhi
dari para pembantu. Kathy berhasil mengetahui cerita legenda dari
seorang pembantu yang diam-diam naksir padanya. “Sesuatu yang
jahat“ akan muncul bila ada yang menyebutkan kalimat, “Let’s Play!“
sebanyak lima kali. Tidak percaya pada mitos ini, saat bermain Truth
or Dare, para remaja menantang Rhonda untuk menyebut kalimat itu.
Sang hantu terusik dan ia mulai mengajak main seluruh penghuni
yang datang, satu demi satu. Dan ia tidak ingin selesai bermain
sampai semuanya menemui ajal.

icky Bagaskoro (Rizky Nazar), pelajar SMA tingkat akhir, mengalami
dilema: mengejar mimpinya menjadi pengajar bagi anak-anak
terlantar atau mengikuti keinginan ayahnya, Bagas Notolegowo (Ray
Sahetapy), untuk meneruskan pendidikan setinggi-tingginya. Bagas
berharap Ricky akan mengikuti jejaknya menjadi politikus.
Bagas sedang berjuang menjadi presiden Indonesia periode 20142019 menggantikan Presiden Jusuf Syahrir (Deddy Sutomo). Kesibukannya membuat hubungannya dengan Ricky menjadi renggang. Ricky
sama sekali tidak setuju dengan langkah ayahnya. Ningrum (Donna
Harun), sebagai ibu dan istri yang setia, selalu berusaha menyatukan
mereka.
Persaingan menuju kursi kepresidenan sangat ketat antara Bagas
Notolegowo, Faisal Abdul Hamid (Rudy Salam) dan Syamsul Triadi
(Akri Patrio). Bagas kurang waspada. Satu keputusan sederhananya
membuat semua impiannya porak-poranda.
Kehancuran Bagas membangkitkan keingintahuan Ricky untuk
menelusuri kasus tersebut. Upaya ini mempertemukan Ricky dengan
Khrisna Dorojatun (Donny Damara), pengacara idealis. Selain itu Ricky
juga mulai dekat dengan Laras (Maudy Ayundya), anak Khrisna Dorojatun. Kasus ini mempertautkan hati Laras pada Ricky. Dari perjalanan
yang mereka lalui, timbul kepercayaan Laras kepada Ricky, walaupun
usia Ricky lebih muda.
Ricky dan Laras kerap kali merepotkan pihak kepolisian, terutama
Iptu Astri (Atiqah Hasiholan), karena kecerobohan-kecerobohan
mereka dalam penyelidikan. Kehidupan keduanya terancam. Ternyata
ada pihak ketiga yang terlibat pada kasus ini. Khrisna memperkirakan
bahwa pihak ketiga tersebut adalah kekuatan besar.
Pertanyaan Ricky pada Khrisna: “Jika Presiden, gak mau Papa
jadi Presiden? Apa alasannya?” Atau memang benar Bagas bersalah,
karena ambisinya dia mampu melakukan segala hal? Ada satu tokoh
lagi: Satria (Rio Dewanto), pria muda yang selalu berada pada banyak
tempat.

8 l Kinescope l Desember 2013

Laskar Pelangi 2: Edensor
Ikal dan Arai berhasil mendapatkan beasiswa untuk kuliah di
Sorbone Paris. Kedatangan mereka di Eropa disambut cuaca dingin. Mereka harus terlunta-lunta karena tidak diterima di tempat
tinggal sementara, karena terlambat datang dan tidak memberitahu sebelumnya. Tubuh Ikal membeku. Arai berusaha untuk
menyelamatkan dengan mengubur Ikal dalam tumpukan humus.
Menjalani hari-hari di Sorbone mereka duduk tepat disebelah Manooj, Gonjales dan Ninocchka. Mereka tergabung dalam
Pathetic Four, kelompok paling terbelakang dan harus mengejar
ketertinggalan. Mereka bekerja keras apa saja: menjadi pelayan
hingga mengamen di jalanan, agar bisa mengirimi uang untuk
orang tua mereka di Belitung. Ayah Ikal menyurati mereka dan
berharap, anaknya bisa menjadi ahli pupuk dan apoteker. Ikal dan
Arai terlanjur punya mimpi lain.
Sementara itu, Katya, mahasiswi di kampus sama, memilih Ikal
jadi pacarnya. Ikal merasa bersalah. Ia merasa telah menodai perasaannya pada Aling. Situasi itu membuat Ikal tidak lagi fokus belajar. Terbukti, nilai ujian tengah semester Ikal hancur. Pertentangannya dengan Arai membuat dua sahabat ini berbeda langkah.

Desember 2013 l Kinescope l 9
COVER STORY

Review
Singkat
4 Dasawarsa
Film
Indonesia
“Menjadi sangat penting untuk memastikan
bahwa tayangan film yang beredar luas itu
benar-benar memberikan edukasi yang
baik namun tidak meninggalkan sisi hiburan
(entertaining).”
Reiza Patters

10 l Kinescope l Desember 2013

Desember 2013 l Kinescope l 11
COVER STORY

P

roduksi Film Indonesia mengalami
pasang surut dari tahun ke tahun.
Namun begitu, sebetulnya Film Indonesia
pernah mengalami puncak masa kejayaan,
yaitu pada era tahun 1970-an. Kala itu film
Indonesia menguasai pasar dan menjadi
tuan rumah di negerinya sendiri. Produksi
film Indonesia begitu besar, dengan puncaknya pada tahun 1977, 367 buah film
diproduksi dalam setahun. Hampir setiap
film yang diproduksi, meledak dan selalu
menguasai layar pertunjukan. Hampir semua
genre film, mulai dari percintaan, silat,
hingga komedi, semuanya diserbu penonton.
Namun film percintaan nampak memimpin
dengan bintang-bintang film kenamaan yang
stereotype seperti Roy Martin, Robby Sugara,
Yati Octavia, Yeny Rachman, dan Doris Callebaut yang ketika itu dikenal sebagai the Big
Five. Kejayaan film percintaan ketika itu ditingkah oleh film musikal Rhoma Irama yang
setiap kemunculannya selalu mencengangkan penonton dan masuk box office selama
berminggu-minggu.
Pada akhir tahun 1970-an hingga awal
tahun 1980-an, film-film bertema percintaan
remaja mulai menguasai, dengan ditandai

12 l Kinescope l Desember 2013

oleh meledaknya film Gita
Cinta dari SMA pada tahun
1979. Jenis film percintaan
remaja ini meledak dengan
bintang-bintang yang ketika itu
juga remaja. Selain Rano Karno
dan Lydia Kandow, tercatat pula
Yessy Gusman, Herman Felani,
Anita Carolina, Kiki Maria, dan
lain-lain. Kejayaan film percintaan remaja ini ditingkahi oleh
film-film komedi Warkop DKI
dengan debutnya Mana Tahaan
yang meledak dahsyat pada
tahun 1977.  Awal tahun 1980-an
adalah masa kejayaan film-film
percintaan remaja dan komedi
Warkop DKI.  Mulai tengah tahun 1980-an
film-film model Si Boy mengambil alih, dimulai dengan film Catatan Si Boy yang meledak
pada tahun 1987 dengan melejitkan nama
Onky Alexander.
Namun, sejak krisis ekonomi pada akhir
tahun 1997 dan awal 1998, produksi film
Indonesia mengalami penurunan. Setelah
lebih dari sepuluh tahun perfilman Indonesia
dianggap mengalami situasi mati suri sejak
mengalami krisis hebat tahun 1991 akibat semakin populernya televisi yang menawarkan
tayangan sinetron, film Indonesia dianggap
mulai kembali menggeliat dan bangkit kembali pada tahun 2002.
Data dari Kementerian Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif menyebutkan, mulai tahun
2002 jumlah produksi film naik menjadi 9
buah atau naik 5 buah dari tahun sebelumnya. Angka produksi tersebut terus naik hingga pada tahun 2005 dan 2006 menjadi 33
buah. Kemudian pada tahun 2007 dan 2008
masih mengalami kenaikan masing-masing
53 buah dan 75 buah. Kemudian pada tahun
2012, produksi film juga meningkat, dengan
judul film yang dirilis adalah 90 judul. Pada

periode Januari - pertengahan Mei 2013,
sudah ada 44 judul yang dirilis, sementara
pada periode yang sama tahun 2012 hanya
ada 40 judul.
Namun, geliat peningkatan produksi film
Indonesia yang terlihat sejak tahun 2002 itu,
lebih banyak didominasi oleh film-film yang
memiliki isi cerita yang mengumbar birahi
dan eksploitasi seksualitas, baik dalam film
yang memang bertema percintaan maupun
horror dan komedi. Memang, dalam rangka
melejitkan dunia perfilman Indonesia dan
menarik minat masyarakat, tema-tema horor,
seks, cinta, kekerasan, dan komedi menjadi
tema yang mendominasi.
Di dalam buku Menjegal Film Indonesia:
Pemetaan Ekonomi Politik Industri Film
Indonesia karya Eric Sasono dan kawankawan (2011), tercatat bahwa memasuki
abad 20-an, setelah film Petualangan Sherina
(2000) berakhir, dimulailah tren film dengan
berbagai tema, seperti Jelangkung (2001)
yang dianggap sebagai tonggak tren film
horor remaja. Kemudian, Ada Apa dengan
Cinta? (2002) yang menjadi piranti awal tren
film percintaan. Lantas, muncul film-film
seperti Tusuk Jelangkung (2003), Eiffel I’m
in Love (2003), Di Sini Ada Setan (2004),
Arisan! (2004), dan lainnya. Buku ini juga
mencatat bahwa produksi film yang memiliki
tema-tema seperti itu, terus meningkat pada
2007–2011. Bahkan, film Indonesia pernah
menggunakan bintang porno internasional
sebagai kosmetik, misalnya film Menculik
Miyabi (2010) dengan tokoh utama bintang
porno Maria Ozawa.
Di dalam buku itu, secara gamblang
dikemukakan tentang buramnya perfilman
Indonesia. Misalnya tentang penggunaan

bintang luar negeri, yang sebetulnya bukan
hal baru dalam perfilman nasional. Pada
era 1980-an, banyak bintang film asing
yang berakting di film nasional. Misalnya
Kristina E Weitz dalam film Permainan
Tabu (1984) dalam genre film komedi-seks.
Kemudian Barbara Constable dalam film
Pembalasan Ratu Laut Selatan (1988),
sebuah film yang bergenre horor laga seks.
Namun begitu, kenyataan tentang penggunakan bintang porno hingga mendominasinya film-film seks, horor, cinta, dan
kekerasan, tampaknya dengan sengaja
dipakai produser film sebagai promosi
untuk menjalankan politik ekonomi dalam
industri film Indonesia. Terbukti, film-film
yang mengumbar birahi seperti film Menculik Miyabi berhasil menyedot penonton
sebanyak 447.453.
Hasil penelitian yang dicatat oleh buku
ini juga menemukan perkembangan tren
baru terkait dengan bioskop. Bagaimana
sebuah proses perubahan besar dalam
perkembangan bioskop terjadi dan sebetulnya mempengaruhi pula pola perilaku
penonton film di Indonesia. Hal ini ditandai
dengan semakin mewahnya bioskopbioskop grup 21 yang dibangun di dalam
mal. Akibatnya, kegiatan menonton film
menjadi sangat terbatas karena berubah
menjadi gaya dan tren hidup kelas atas.
Hal tersebut jelas berbeda dengan

kondisi bioskop sebelumnya
yang lebih banyak berdiri dengan
gedung sendiri dan tidak tersekat
oleh status sosial ekonomi penonton film Indonesia. Kita masih ingat, bagaimana pada era 1980-an,
bioskop masih berada di berbagai
daerah dan lokasi, bahkan dalam
lokasi Pasar Jaya, dan yang fenomenal sebetulnya adalah kegiatan
layar tancap.
Memang tidak mudah untuk
menjawab persoalan yang membelit dunia perfilman Indonesia.
Persoalan-persoalan yang ada bukanlah persoalan yang sederhana.
Sebut saja misalnya persoalan tata
edar film di bioskop dan masalah
bioskop yang kurang mendapat
dukungan pemerintah. Dengan
kondisi ini, diprediksikan dari 600
layar bioskop yang ada di Indonesia, 100 layar akan hilang pada
tahun depan.
Selain itu, masalah kualitas film
yang masih rendah. Pihak produsen seolah hanya mengharapkan
keuntungan semata. Tema-tema
film yang beredar masih seputar
komedi, seks, musik, dan horror
dan ini menjadi alas an pembenaran argumen. Memang, jumlah
produksi film
terus meningkat.
Bahkan, ada sekitar 140 film yang
hadir di bioskop
dalam satu tahun.
Namun terkait
dengan kualitas film yang
beredar secara dominan,
persoalan kualitas tersebut
menjadi persoalan yang
serius.
Adegan-adegan syur
seperti ciuman dan adegan
“panas” lainnya digunakan
para produser film untuk
mendongkrak popularitas
film dengan tujuan utama
ingin meraup keuntungan.
Para produser berdalih
ingin menggambarkan
fenomena sebenarnya yang
terjadi di masyarakat yang
tujuannya untuk memberitahukan kepada para orang
tua tentang pergaulan
bebas yang terjadi di kalangan remaja sekarang ini.
Namun, pada kenyataannya justru adegan ciuman
bibir atau bahkan free sex
menjadi semakin populer

dan dianggap biasa dan wajar oleh para
anak muda di negeri ini.
Kita semua mahfum bahwa film adalah
media komunikasi massa yang memiliki
pengaruh sangat besar dalam memberikan
hiburan, edukasi, serta mempengaruhi
pola budaya masyarakat. Oleh karena itu,
menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa tayangan film yang beredar
luas itu benar-benar memberikan edukasi
yang baik namun tidak meninggalkan sisi
hiburan (entertaining). Film yang menampilkan budaya asli Indonesia, film yang
mampu membangkitkan rasa nasionalisme
bangsa, film yang mampu menjadikan eksotisme Negara kepulauan ini dikenal dunia,
serta dan film-film mendidik lainnya, sudah
seharusnya mendapatkan perhatian yang
lebih dan menjadi tujuan utama produsen
film, tidak hanya untuk mencari keuntungan pribadi semata. Sehingga suatu saat,
kita bisa merasakan manfaat prinsipil dari
tayangan film, yaitu bisa mengubah kondisi
dan pola budaya bangsa Indonesia sekarang ini, menjadi lebih baik di masa depan.
Ayo Bung Rebut Kembali!

Desember 2013 l Kinescope l 13
Interview

bentAR Kurniawan

Slamet
Rahardjo
Bicara
Kecintaannya pada tanah air Indonesia
makin tertanam di dalam lubuk sanubari
pria kelahiran Serang Banten, 21 Januari
1949. Di dunia teater, Slamet Rahadjo
sangat aktif membangun citra seni bumi
pertiwi sejak ia bergabung di sanggar
Teater Populer bersama Teguh Karya (alm).
Kakak dari sang politikus Eros Djarot ini
mengatakan bahwa masyarakat Indonesia
pecinta seni, sebagian tersesat.

S

ejak kecil, Memet, nama
panggilan kesayangan Slamet
Rahardjo, tidak pernah terlintas
untuk aktif dan menekuni dunia
akting. Ketika ia duduk di kursi
sekolah, ia paling anti untuk deklamasi
alias main sandiwara. Justru ia bercitacita menjadi seorang penerbang,
yang ingin melintas dan mengelilingi
dunia. Sayangnya, ketika ia lulus SMA
tahun 1967 di Yogyakarta, cita-cita
tersebut kandas akibat tidak lulus
tes. Tidak jelas apa yang menjadi
kendalanya saat itu, apakah di tes IQ
ataukah di tes bagian fisiknya yang
kurang memadai. Hikmahnya, di balik
ketidaklulusannya tersebut, memang
sang ayah tidak merestui putra
pertamanya ini menjadi Pilot.
Hal ini bukan menjadi kendala
baginya. Pilihannya jatuh pada
Akademi Teater Nasional Indonesia
(ATNI). Alasan memilih ATNI karena
sejak kecil darah seni sang Bunda
telah tertanam dalam dirinya. Lagilagi, keberuntungan tidak datang
untuk dirinya. Memet merupakan
angkatan terakhir yang tidak lulus
akibat vakumnya kampus tersebut.

14 l Kinescope l Desember 2013

Untuk meneruskan perjuangannya di
bidang seni, ia meneruskan menuntut
ilmu di Akademi Film Nasional
Jayabaya. Di sini pun ia tak sampai
tamat, akibat berselisih dengan
seorang dosen.
Ia tidak patah arang dan pupus
perjuangan. Ia harus meraih apa
yang ingin di inginkannya. Kemudian
ia mendaftarkan diri di Sanggar
Teater Populer. Teater yang benar
popular pengelolaannya di bawah
pengawasan almarhum Teguh Karya.
Anak Mayor udara dan cucu Asisten
Bupati Serang ini akhirnya bergabung
di sanggar Teater Populer pada tahun
1969, yang saat itu posisinya sebagai
anak bawang. Seksama dan rajin
memperhatikan apa yang diberikan
oleh pembimbingnya, Teguh Karya,
ia naik panggung dalam pertunjukan
drama Pernikahan Darah, Kopral
Woyzek dan Perhiasan Gelas.
Dua tahun kemudian, ia kembali
dipercaya Teguh Karya, sang guru,
untuk membintangi Wadjah Seorang
Lelaki. Setelah tiga tahun bergelut di
dunia film dan bergabung di Sanggar
Teater Populer, tahun 1974, namanya

dipanggil ke Podium. Ia meraih penghargaan
sebagai Aktor Terbaik pada Festival Film
Indonesia (FFI). Piala FFI tersebut diberikan
kepadanya berkat aktingnya yang lihai
di film Ranjang Pengantin. Perkawinan
Dalam Semusim, Badai Pasti Berlalu dan
November 1828, adalah film-film yang ia
lakoni berikutnya. Di sinilah Memet banyak
mendapatkan ilmu seni yang bermanfaat
untuknya hingga menjadi Maestro di bidang
seni dan kebudayaan.
Beberapa kali ia meraih penghargaan.
Rembulan dan Matahari yang meraih tiga
piala citra FFI tahun 1980, Sutradara terbaik
FFI 1985 di film Kembang Kertas, Langitku
Rumahku menang di Festival International
Des Trois Continent, Nantes, Perancis (1990).
Penghargaan berikutnya, yaitu pada
tahun 1991, di raih dalam film Langitku
Rumahku. Film ini meraih Best Children
Film, Melbourne Film Festival. Lalu tak
kurang, penghargaan seperti Sutradara
Terbaik Bali International Film Festival (2003)
dan Satya Lencana Kebudayaan RI (2004).
Kemudian Film Dokumenter Kantata Takwa,
yang dibuat bersama Erros Djarot, meraih
penghargaan Golden Hanoman dan Geber
Award pada Jogja Netpac Asian Film Festival
2008, Anugerah Akademi Jakarta 2008 serta
Anugerah Federasi Teater Indonesia 2009.
Memet, putra dari Djarot Djojoprawiro
dan Ennie Tanudiredja, selain menjadi
kebanggan keluarganya, juga mempunyai
kegiatan yang banyak dibutuhkan orang lain.
Ilmu yang di dapatkannya, ia sumbangkan
sebagai Dosen Penyutradaraan FFTV, IKJ dan
Ketua Yayasan Teater Populer.

Jiwa Seni dan Pemimpin

Jiwa seni yang tertanam di dirinya berasal
dari ibu. Pekerjaan Sang Bunda itu hanya
sebagai pemahat dan pelukis. Sedangkan
jiwa kepemimpinannya di dapatkan dari
ayahnya. Sang ayah berpesan bagaimana
menjadi seorang lelaki yang baik. Jadi
pemimpin itu nomor dua, bukan
nomor satu. Jadilah seorang lelaki

yang bertanggung jawab. Dan, jika sudah
menjadi pemimpin, jangan merasa menjadi
pemimpin, jiwa rendah hati dan saling hormat
menghormati harus diwujudkan. Dapat
mengerem kemauan di dalam dirinya. Harus
mengutamakan rakyatnya.
“Contohnya, warisan dan harta yang
dimiliki bapak saya tidak pernah di urus. Ketika
saya tanyakan, bagaimana dengan tanah yang
masih ada? Bagaimana dengan suratnya? Ayah
saya menjawab, itu sudah milik Tuhan,” ingat
Slamet atas perkataan ayahnya.
Pembentukan-pembentukan inilah yang
ia dapatkan. Ia tidak merasa diajarkan oleh
kedua orangtuanya. Ketika itu, ia hanya melihat
pekerjaan yang dijalankan kedua panutannya
itu. Misalnya lagi, ia mencontohkan, kayu yang
tidak indah menjadi indah atas pahatan sang
Bunda. Hal-hal kecil inilah yang membawa
keberhasilan. Ternyata, sebuah pemikiran yang
diperlukan. Imajinasi yang positif juga tidak
boleh di tinggalkan.
“Dari sinilah timbul kepercayaan pada
diri saya bahwa kehidupan itu luar biasa.
Kehidupan itu indah, berkah bisa menjadi
musibah, jika tidak pandai mengendalikan.
Begitu juga musibah bisa menjadi berkah jika
tahu hikmahnya. Tiba-tiba ada frame-nya.
Frame yang saya rasakan yaitu kesenian.
Seniman itu dilarang bodoh,” tutur Slamet.
Seiring dengan perkembangan jati dirinya,
Slamet memperoleh isyarat, kenapa Ki Hajar
Dewantara memakai nama Taman Siswa,
bukan Sekolah Siswa. Baginya, Taman itu tidak
ada dinding. Lepas, dapat melihat bebas.
Maknanya jelas, bila belajar menjadi hanya
membaca apa yang diajarkan oleh guru jika
dinamakan Sekolah Siswa. Berbeda dengan
makna Taman Siswa, semua yang dilihat, dapat
menjadi guru, lebih luas. Dengan demikian
ilmu yang di dapatkan akan lebih banyak lagi.
“Kaji terus sampai manapun. Jangan pernah
merasa letih untuk mengkaji sebuah ilmu,”
tegas Slamet.

Masyarakat Tersesat

“Perjuangan yang dilakukan oleh temanteman ketika memperjuangkan reformasi
tidak kehilangan roh Indonesia. Namun
sekarang ini orang Indonesia dewe-dewe,
individualisme, ini yang membuat saya merasa
aneh. Saya, sebagai seniman, hanya dibentuk
dari kegelisahan-kegelisahan dalam mencintai
negara ini. Saya melihat sekarang ini, pada
sebagian masyarakat, di badannya sudah tidak
lagi
menempel kebudayaannya.
Saya
tidak tahu, apakah mereka
membayangkan kebudayaan
luar, barat atau
kebudayaan
mana
yang

ada di benak mereka itu. Karena saya
memantau, perlahan tapi pasti informasiinformasi dari luar akan diserap oleh
masyarakat kita ini. Sehingga dengan demikian
saya melihat adanya pemaksaan kehendak,
sebagian masyarakat tersesat. Jika tersesat,
apa mereka ingat pulang? Kan tidak ingat
pulang lagi. Jika mereka sudah mulai kelaparan
dan sudah merasa memerlukan rumah, baru
mereka akan kembali,” jelas Slamet, panjang.
Menurutnya dari dahulu sampai sekarang
seniman masih berjuang mati-matian di negeri
tercinta ini. Contohnya, dahulu banyak seniman
yang ditangkap. Sedangkan kemanakah para
politisi? “Artinya banyak orang yang tumbuh
dari negara yang sangat produktif, menciptakan
orang-orang yang produktif,” ujar Slamet.
Kenapa mereka di sesatkan? Ya,
karena mereka memang disesatkan oleh
ketidakjelasan kepemimpinan. Bangsa
Indonesia seperti yang telah diketahui sudah
kehilangan kepemimpinan yang teladan.
“Katanya percaya bahwa yang salah Kapten,
bukannya Kopral. Tetapi sekarang ini Kapten
tersebut diam-diam aja. Presiden itu dilahirkan
setiap waktu lima tahun sekali. Pemimpin
belum tentu lima tahun satu. Presiden ini
adalah jabatan, tetapi pemimpin itu terlahir
sejak kecil. Pemimpin tidak di jadwalkan oleh
Pemilu,” ucapnya lirih.
Menurut Slamet, sekarang ini terjadi
kemunduran budaya. Tidak hanya dirinya yang
mengeluhkan hal ini, mungkin saja sebagian
masyarakat juga mengeluhkannya. Misalnya,
ia melirik kasus Century. Ia melihat bahasa
yang dipakai, yang ditayangkan di stasiun
televisi, antar anggota pemerintahan bukan
merupakan bahasa Indonesia yang baik. Itulah
sebagian dari ciri khas orang-orang yang
tidak memahami nilai-nilai aura kesenian.
Menurutnya lagi, sekarang ini semuanya telah
berubah. Banyak aktor yang hanya modal
tampang. Perlu di ingat yang demikian ini
bukan aktor tetapi selebritis.
Perubahan untuk mengantisipasi
tersesatnya ini harus dari masyarakatnya
sendiri. Demikian juga dengan pemerintah
yang harus menunjang fasilitas demi fasilitas,
agar proses produktif seni budaya bisa berjalan
lancar. Mencintai produk dan karya bangsa
Indonesia juga menjadi penting, Karen bila diri
kita sendiri saja tidak sadar dan terus saja fokus
pada kebudayaan luar, ya semakin tersesat.
“Perubahan ini tidak bisa cepat. Ini kan
bukan hom pim pa. Ini suatu pola pikir,
paradigma dan sistim kehidupan yang bagaikan
membalikkan telapak tangan. Apalagi saya
ini orang film, seniman, saya percaya dengan
proses yang selalu menginginkan perubahan.
Setiap proses terjadi perubahan masingmasing, tuntutannya pun masing-masing,”
ungkap Slamet untuk menutup diskusi.

Desember 2013 l Kinescope l 15
PREVIEW

STATISTIK

filmindonesia.or.id

Film ini menceritakan pengalaman nyata sepasang mahasiswa Indonesia
yang kuliah di Eropa. Bagaimana mereka beradaptasi, bertemu dengan berbagai sahabat hingga akhirnya menuntun mereka kepada rahasia besar Islam di
benua Eropa.
Diangkat dari novel laris karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga
Almahendra, film ini mengambil lokasi di 4 negara: Vienna (Austria), Paris
(Perancis), Cordoba (Spanyol) dan Istanbul (Turki).
Film ini merupakan produksi ke-40 Maxima Pictures dan akan ditayangkan pada hari jadi ke tujuhnya yang jatuh pada tanggal 5 Desember 2013.
Produser
Yoen K
Ody Mulya Hidayat
Sutradara
Guntur Soeharjanto
Pemeran
Acha Septriasa
Abimana Aryasatya
Raline Shah
Nino Fernandez
Dewi Sandra
Marissa Nasution
Alex Abbad
Fatin Shidqia Lubis
Geccha Tavvara

Slank Nggak Ada Matinya
1996. Abdee dan Ridho dipanggil SLANK untuk datang jamming bersama
Bimbim dan Ivan. Ternyata, SLANK yang ingin membuktikan bahwa SLANK
tidak bubar walaupun personil hanya sisa Bimbim, Kaka dan Ivan melakukan
tur. Abdee dan Ridho pun diajak, dan diberi persyaratan untuk bisa membawakan 35 lagu SLANK hanya dalam waktu 3 hari! Tur keliling daerah pun dimulai,
dan saat itulah dimulai pertualangan SLANK dengan format baru. Kehidupan
rock and roll, mereka bertemu berbagai lapisan masyarakat, mengenal Indonesia, dan terutama.. mengenal diri sendiri.
Formasi baru SLANK dengan album TUJUH sukses besar, namun di saat
itu pula ketergantungan Bimbim, Kaka dan Ivan akan narkoba semakin kuat.
Bunda Iffet, bersama Abdee dan Ridho pun berusaha supaya Bimbim, Kaka
dan Ivan bisa lepas dari jerat narkoba, karena mereka semua yakin perjalanan
SLANK masih panjang, dan masih banyak yang bisa mereka lakukan untuk
orang lain.
Tidak ada yang bisa menghalangi SLANK untuk terus maju ke depan. Tidak
narkoba, tidak perpecahan. Selama semua dijalankan bersama-sama. Dengan
sahabat. Dengan keluarga. Dengan keluarga besar SLANK dan keluarga besar
Indonesia. SLANK Nggak Ada Matinya. Piss!
Produser
Putrama Tuta
Sutradara
Putrama Tuta
Penulis
Putrama Tuta
Pemeran
Adipati Dolken
Ricky Harun
Aaron Ashab
Ajun Perwira
Meriam Bellina

Laskar Pelangi 2: Edensor
Melanjutkan ceritera Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi, Edensor mengisahkan perjalanan Ikal, bersama sepupunya, Arai yang
berhasil mendapatkan beasiswa kuliah di Sorbone – Paris.
Petualangan mereka di eropa, justru dimulai dengan sebuah
kesialan. Gara gara terlambat tiba di asrama transit yang dituju,
Ikal dan Arai diusir oleh Van Der Wall, sang induk semang asrama.
Akibat kelalaian itu mereka harus membayar dengan udara dingin
dibawah nol derajat. Menembus udara dingin bersalju, tubuh Ikal
membeku. Arai berusaha untuk menyelamatkan dengan mengubur Ikal dalam tumpukan humus. Upaya Arai ini menyelamatkan
mimpi Ikal.
Ikal dan Arai menjalani hari-hari menimba ilmu di Sorbone.
Ikal mengambil master ekonomi dan berkomplot dengan Manooj,
Gonjales dan Ninocchka, yang tergabung dalam Pathetic Four.
Komplotan yang dibangun karena senasib sebagai rakyat negara
berkembang, dan juga sebagai mahasiswa yang tertinggal dalam
pelajaran. Walaupun arai beda jurusan, tapi Arai berteman pula
dengan anggota pathetic four ini.
Ada hal lain yang membuat Ikal dan Arai cemas. Kabar dari
ayahnya menyebutkan timah yang makin melorot dan lahan Belitung yang tak bisa ditanami. Ayah ikal berharap, Ikal dan Arai bisa
menjadi ahli pupuk dan apoteker. Karena, sang ayah beranggapan
kalau jurusan itu jauh lebih bermanfaat di Belitung. Tapi Ikal dan
Arai terlanjur punya mimpi yang lain.
Sementara itu, Katya, gadis yang jadi bahan rebutan para pria
di kampus sorborne ini, mencoba menggelitik relung hati Ikal.
Katya memilih Ikal jadi pacarnya. Tapi Ikal merasa amat bersalah,
seakan telah menodai perasaannya untuk Aling. Katya bersaing
menggantikan posisi Aling dihati Ikal. Namun yang jelas, situasi
itu menurut Arai, Ikal tidak lagi fokus belajar. Terbukti, nilai ujian
tengah semester Ikal hancur.
Kini Ikal tersebak dalam putaran segitiga kehidupannya, cinta,
keluarga dan mimpi. Ditambah pertentangannya dengan Arai, yang
membuat dua sahabat ini berbeda langkah…
Produser Putut Widjanarko, Avesina Soebl
Sutradara Benni Setiawan
Pemeran Lukman Sardi, Abimana, Astrid Roos, Mathias Muchus,
Rendy Akhmad, Zulfani

Cinta Brontosaurus	

2

892.915

Coboy Junior The Movie	 683.604

3
Manusia Setengah Salmon 429.762

4

Get M4rried	

	

306.886

Refrain			

281.922

7

La Tahzan	

	

235.718

8

Sang Kiai		

219.734

9

Air Terjun Pengantin Phuket 215.161

10

5
308			

16 l Kinescope l Desember 2013

6

1

Data Penonton

99 Cahaya Di Langit Eropa

285.392

Cinta Dalam Kardus	

213.014

Desember 2013 l Kinescope l 17
PREVIEW

Produser
Gandhi Fernando
Thaleb Wahjudi
Laura Karina
Michella Adlen
Sutradara
Stephen Odang
Penulis
Jonathan Cocco
Pemeran
Tara Basro
Gandhi Fernando
Dave Alexandre
Sheila Tohir
Tara Wraith
Bran Vargas
Tim Matindas
Haseena Bharata
Vijay Kumar

The Right One

The Right One adalah flm Indonesia karya anak bangsa berbahasa Inggris. Film ini juga
adalah sebuah kolaborasi dengan penulis asal Hollywood, JONATHAN COCCO. Dan
aktris asal Goldcoast-Australia, TARA WRAITH serta band pengisi soundtrack berasal
dari Perth-Australia, OAK TREE SUITE.

J

ACK (Gandhi Fernando) dan ALICE (Tara
Basro) adalah dua profesional muda tinggal
di Bali. Jack terjebak dalam pekerjaan perusahaan bank yang membosankan untuknya.
Sedangkan Alice mendedikasikan hidupnya
sebagai ahli biologi laut tetapi dia lebih menginginkan untuk terjun ke lapangan daripada
malah terjebak duduk dalam kantor. Suatu hari
mereka berdua berada di bar yang sama. Dua
orang asing memulai percakapan dan koneksi
langsung terjalin.
Mereka memutuskan untuk menghabiskan sepanjang hari, pergi ke tempat-tempat
yang berbeda di seputar Bali dan berbincang
tentang kehidupan, cinta, dan rasa frustasi dari
dunia pasca-kuliah mereka. Selama percakapan mereka, kita diperlihatkan serangkaian
flashbacks. Kita belajar bahwa Jack and Alice
selalu berada di waktu dan posisi yang sama
saat momen dan hal dramatis dari kehidupan
mereka, hanya saja entah bagaimana mereka
tidak pernah menyadari tentang keberadaan
mereka satu sama lain. The Right rencananya
di rilis pada February 2014.

18 l Kinescope l Desember 2013

Desember 2013 l Kinescope l 19
REVIEW

Sagarmatha
Sagarmatha, yang dalam bahasa sansekerta berarti “Dahi Langit”
merupakan sebuah film yang ber-genre road movie. Dari poster
dan sinopsis film ini, menggambarkan tentang pegunungan dan
persahabatan. Yang terbayang oleh saya, film ini mungkin akan
semenarik film 5CM yang mengangkat tema yang sama, yaitu Gunung
dan Sahabat. Bahkan dalam pemikiran saya, film ini akan jauh lebih
menarik karena bertempat di Pegunungan Himalaya yang notabene lebih
tinggi dari Gunung Semeru-nya 5 CM.
Novita Rini

F

ilm yang menceritakan tentang Shila
(Nadine Chandrawinata) dan Kirana
(Ranggani Puspandya), dua sahabat yang
memiliki impian untuk bisa menaklukkan
Puncak tertinggi dari Pegunungan Himalaya,
yang dalam bahasa Nepal disebut Sagarmatha.
Mereka bersahabat sejak masa kuliah. Meski
sama-sama tergabung dalam organisasi
Pecinta Alam, namun keduanya memiliki minat
yang berbeda. Shila yang lebih tertarik untuk
menulis, sedangkan Kirana lebih asyik bersama
dunia fotografinya. Keduanya pun melakukan
perjalanan menuju Nepal untuk mewujudkan
impian mereka mendaki Puncak tertinggi di
dunia.
Dalam perjalanan tersebut banyak kendala
yang harus mereka hadapi, dan dalam
perjalanan itu pula terungkap perbedaan
cara mereka memandang hidup ini. Hingga
kemudian perpisahanlah yang mereka pilih,
keduanya memutuskan untuk berjalan masingmasing dengan keyakinan bahwa manusia pada
akhirnya semua akan sendirian.
Pemilihan judul film ini rasanya sudah
tepat jika dikaitkan dengan ide dari film ini.
Sagarmatha atau Head of the Sky, merupakan
perlambang tingginya mimpi dan cita-cita yang
ingin diraih oleh dua gadis yang bersahabat
dalam film yang berdurasi 98 menit ini.
Dalam memproduksi film ini, sang sutradara
(Emil Heradi) ternyata hanya menggunakan
satu buah kamera type DSLR 5D. Tanpa lighting,
boomer dan murni hanya 1 kamera untuk
keseluruhan pengambilan gambar. Sehingga
bisa dimaklumi jika di beberapa scene ada
beberapa gambar yang kurang fokus, guncang
dan suram. Tapi ternyata dengan keterbatasan
tersebut juga bisa menghasilkan beberapa
view yang indah dari pegunungan Himalaya,
sehingga menampilkan sinematografis yang
mampu memuaskan mata penonton untuk
ikut bertualang dalam perjalanan dua sahabat

tersebut.
Namun
sayangnya,
sinematografis yang
indah tersebut tak
didukung dengan
skenario yang
menarik, yang
mampu mengajak
penontonnya
untuk tak hanya
memuaskan
mata dengan
pemandangan
indah, namun juga bisa membuat penonton
tak merasa bosan dengan alur cerita di
dalamnya. Konsep dan ide cerita yang
menarik ternyata kurang bisa digarap dengan
baik oleh penulis skenario dan sutradara
film Sagarmatha ini. Perpindahan alur maju
mundur yang meloncat tak terarah, memberi
kebingungan pada penonton. Misal di satu
adegan saat Shila dan Kirana berada di stasiun
kereta dan tiba-tiba mendadak proses adegan
berlangsung mundur. Kemudian saat Shila dan
Kirana mendadak ada di gunung yang berada di
Indonesia, padahal sebelumnya adegan mereka
sedang mendaki menyusuri pegunungan
Himalaya, apalagi adegan tersebut mengalami
pengulangan berulangkali. Mungkin maksud
si pembuat cerita ingin mengajak penonton
berpikir kemana arah petualangan ini akan
berakhir, namun karena penggarapan yang
kurang baik serta adanya beberapa scene
yang rasa-rasanyanya tak perlu ada, membuat
penonton merasa bosan menyaksikan film ini.
Ditambah akting dari dua tokoh utama film ini
pun terasa begitu hambar tanpa greget.
Meski view yang disajikan menarik, namun
jika tak didukung dengan alur cerita yang
menarik, rasanya tak salah jika penonton terus
menerus melirik jam untuk menantikan film ini

cepat
usai. Andai scene yang tak perlu, semisal
adegan memotret obyek-obyek tak penting
berulang kali yang dilakukan Kirana dan adegan
wawancara dengan beberapa turis diganti
dengan menambahkan pendalaman cerita
petualangan atau konflik, misalnya salah satu
tokoh mengalami hypothermia saat melakukan
pendakian di pegunungan Himalaya dan
bagaimana cara mereka mengatasinya. Atau
bisa juga diganti dengan menjelaskan konflikkonflik pribadi yang dialami masing-masing
tokoh dengan keluarga atau pasangan mereka,
yang mungkin bisa membuat penonton tidak
merasa jenuh mengikuti loncatan kisah yang
garing.
Namun, dengan segala kekurangan yang
ada di film ini, patut diacungi jempol untuk
semangat Indie dari film ini. Begitupun untuk
D.O.P. nya, tak mudah untuk bisa mendapatkan
beberapa view indah dengan keterbatasan
alat. Semoga lain waktu, bisa tercipta Road
Movie yang menarik secara keseluruhan,
alur cerita hingga gambar yang disajikan.
Dukung terus film karya anak bangsa dengan
menjadi penonton yang makin cerdas memilih
tontonan yang tak hanya menghibur, namun
juga memiliki nilai kehidupan di film tersebut.

Director
Emil HeradiCast
Writer
Damas Cendekia
Producer
Abdul Manaf
Co-Producer
Abduh Aziz
Edward Gunawan
pemain
Nadine Chandrawinata
Ranggani Puspandya

20 l Kinescope l Desember 2013

Desember 2013 l Kinescope l 21
REVIEW

shandy gasella

Soekarno

“Barangsiapa ingin mutiara,
harus berani terjun di lautan
yang dalam.”

K

edua petikan dari pidato Sukarno tersebut
tak kita temukan dalam film ‘Soekarno’
garapan Hanung Bramantyo (‘Sang
Pencerah’, ‘Ayat-ayat Cinta’) yang hari-hari
ini jadi perbincangan hangat di masyarakat.
Namun, sebagai bangsa yang besar yang
menghormati jasa pahlawannya, rupanya
pembuat film ini sadar betul dan hendak
melecut rasa nasionalisme kita dengan cara
mengajak penontonnya untuk mau berdiri
menyanyikan lagu kebangsaan ‘Indonesia Raya’
sebelum filmnya dimulai.
Bila hal tersebut belumlah pantas disebut
sebagai cara menghormati jasa para pahlawan,
setidaknya ia jadi gimmick yang menarik dan
sekaligus cara ampuh yang secara psikologis
mampu memberi penonton rasa memiliki

22 l Kinescope l Desember 2013

terhadap film ini. Dan, ini adalah film tentang
Bapak Bangsa kita. Lantas, kalau sudah begitu,
masih adakah celah untuk melihat film ini
secara kritis?
Ada lusinan buku biografi tentang Sukarno
yang pernah diterbitkan di negeri ini. Dalam
buku ‘Soekarno: Arsitek Bangsa’ tulisan Bob
Hering yang terbit pada 2002, Sukarno selain
sebagai pejuang bangsa, juga digambarkan
sebagai sosok soko guru yang menyatukan
seluruh nusantara. Dan, yang paling menarik,
buku ini dilengkapi 125 foto eksklusif, sejumlah
foto yang di antaranya bahkan dianggap
mampu berbicara lebih tentang sosok Sukarno
itu sendiri.
Ada pula buku ‘Bung Karno, Penyambung
Lidah Rakyat Indonesia’ tulisan Cindy Adam

yang terkenal itu. Dalam buku karya Cindy
Adam ini, Sukarno digambarkan sebagai sosok
yang berperasaan halus, pengagum wanita dan
(lagi-lagi ini yang menarik), disebut sebagai
penyuka bantal guling! Jangan lupakan pula
buku-buku sejarah untuk anak sekolah yang
juga memuat kisah sepak terjang Sukarno
dalam perjuangan kemerdekaan.
Hanung dan Ben Sihombing sebagai duo
penulis film ini tak meminjam buku tentang
Sukarno versi mana pun, tulisan siapapun,
sebagai dasar naskah film ini. Rupanya Hanung
cukup pede dengan tim riset yang dibentuknya
sendiri untuk menggali bahan cerita bagi
filmnya ini.
Rupanya Hanung lebih pede ketimbang
para sutradara dari Hollywood itu yang kerap
kali mengisahkan filmnya berdasarkan novel
atau buku biografi karangan orang lain. Di
Hollywood sana banyak sekali film yang naskah
ceritanya terinspirasi atau berdasarkan buku,
bahkan tak jarang film-film yang naskahnya
ditulis berdasarkan buku itu berhasil
menggondol piala Oscar, misalnya saja ‘Lincoln’
karya Steven Spielberg yang edar tahun lalu.
Sutradara sekaliber Steven Spielberg saja
masih mengandalkan hasil riset karya orang

Kalimat itu adalah satu dari
sekian banyak ungkapan yang
pernah terlontar dari mulut Bung
Karno semasa hidupnya, selain
ungkapannya yang paling populer
sepanjang masa, “Bangsa
yang besar adalah bangsa yang
menghormati jasa pahlawannya.”
lain sebagai fondasi cerita untuk film yang
dibesutnya. Tak melakoni cara-cara yang
dilakukan oleh Spielberg, Hanung Bramantyo
bolehlah sedikit jumawa dengan karya film
terbarunya ini. Ehem, dan saya sedang
mencoba sedikit sarkastik di sini.
Wujud dari hasil kerja tim riset film ini
adalah suguhan kisah hidup Sukarno yang
ditampilkan secara kronik, plus bonus sedikit
kisah asmara segitiga antara Sukarno dan
kedua istrinya, Inggit dan Fatmawati. Rasarasanya, bagi penonton yang tak pernah
melahap bacaan tentang Sukarno selain
buku sejarah waktu bersekolah dulu, film
ini tak menawarkan cerita baru selain kisah
asmara Sukarno bersama istri-istrinya tadi.
Film ‘Soekarno’ adalah visualisasi megah
dari sejumlah bab yang terdapat dalam buku
sejarah anak sekolah.
Dalam teknik pembuatan film, ‘Soekarno’
dibuat secara sungguh-sungguh; itu tak
terbantahkan lagi. Film ini juga didukung oleh
para aktor jempolan di titik paling puncak
karier akting mereka sejauh ini. Ario Bayu
(‘KALA’, ‘Catatan Harian si Boy’) sebagai
Sukarno berhasil memikat, tak hanya Inggit dan
Fatmawati, namun juga hati penonton dengan

pesona dan kharismanya. Maudy Koesnaedi
(‘Garuda di Dadaku’, ‘Love Story’) sebagai
Inggit mampu membuat hati kita remuk tatkala
ia diceraikan Sukarno. Tika Bravani (‘Make
Money’, ‘Alangkah Lucunya Negeri Ini’) sebagai
Fatmawati, lewat penampilannya, ah, kita pun
tahu dan mengerti alasan Sukarno jatuh hati
kepadanya.
Lukman Sardi (‘Laskar Pelangi’, ‘Quickie
Express’) sebagai Hatta jelas tak tampil
buruk. Namun, selain penampilan fisik yang
hampir menyerupai tokoh aslinya, Lukman
tampil kurang maksimal; masih tipikal seperti
penampilannya yang sudah-sudah di film lain
yang dibintanginya. Penampilan pendatang
baru Tanta Ginting sebagai Sjahrir adalah scene
stealer yang memukau.
Berkat para aktor inilah ‘Soekarno’ memiliki
bobot yang lebih, dengan catatan, kita harus
melupakan keberadaan Ferry Salim. Ayolah,
siapa pula yang termakan penampilannya
sebagai komandan Jepang? Astaga, Ferry
Salim! Bila saya boleh berbicara sedikit
dalam bahasa Jepang untuk mengomentari
penampilannya, watashi wa wakarimaseng!
-- saya tak mengerti! Dan seperti yang saya
bilang tadi, sebaiknya kita lupakan saja

keterlibatannya di film ini. Ferry Salim ibarat
anti-tesis dari seorang Tanta Ginting. Setiap
scene yang melibatkannya di film ini adalah
badai yang selalu saya harapkan segera berlalu.
Selepas tayang perdana pada 11 Desember
lalu, film ini menuai banyak puji-pujian, satu
diantaranya bahkan menasbihkan ‘Soekarno’
sebagai film terpenting tahun ini! Pujian
yang cukup beralasan -- bila tak mau disebut
berlebihan.
Tak ada kritik berarti bagi hampir semua
aktor yang berperan dalam ‘Soekarno’, kecuali
departemen cerita. Dan memang hal ini
sangat mudah menyulut perdebatan seperti
“Soekarno-mu ya Soekarno-mu, Soekarno-ku
ya Soekarno-ku”. Sebab, konon tokoh bapak
bangsa kita yang satu ini “multi tafsir” bak
kisahnya tercantum di dalam kitab suci saja.
Oleh karenanya, pembuat film ini memang sahsah saja menampilkan Sukarno lewat tafsirnya
sendiri. Sah-sah saja Soekarno digambarkan
sebagai lelaki gentleman yang penyayang,
santun, menghormati para wanita, dan lain
sebagainya. Namun sayang, ada yang dilupakan
tentang bagaimana Sukarno mampu merebut
hati rakyat, bukan hati wanita saja.
Kita dibuat manut saja dengan
penggambaran sosok Sukarno yang begitu
dipuja dan dicintai rakyat dengan pidatopidatonya di depan khalayak ramai.
Pembuat film ini tak mampu menunjukkan
apa pemikiran sang tokoh utama kita,
tak tergambarkan apa atau siapa yang
menginspirasinya hingga ia menjadi orang
hebat. Saya dan mungkin sebagian penonton
lainnya tentulah ingin tahu seberapa besar
Thomas Jefferson, Abraham Lincoln, Karl Marx,
Lenin, atau Jean Jaures yang terkenal sebagai
ahli pidato terbesar dalam sejarah Perancis itu,
memengaruhi pemikiran Soekarno. Tokohtokoh inilah setahu saya, termasuk juga masih
banyak lagi yang lainnya, yang sedikit banyak
membentuk karakter seorang Soekarno.
Pembuat film ini juga tak menunjukkan
apa pemikiran sang tokoh utama kita,
kecuali lewat adegan-adegan pembelaan di
depan pengadlan kolonial, dan saat debat di
BPUPKI. Pembentukan karakter Sukarno di
masa ‘nyantrik’ di rumah Cokroaminoto di
Surabaya pun hanya ditampilkan sekilas. Tak
tergambarkan apa atau siapa sebenarnya yang
menginspirasinya hingga ia menjadi orang
hebat. Jika hal tersebut digali lebih dalam,
niscaya tak hanya jadi sekedar film yang
penting, film ini bahkan akan jadi mutiara yang
berkilau.
Memang, seperti satu lagi petuah Sukarno
--”barangsiapa ingin mutiara, harus berani
terjun di lautan yang dalam”-- Hanung mestinya
menyelam lebih dalam lagi. Jangan sampai,
dengan tim riset yang telah dibentuknya,
ia terkesan hanya berenang tak jauh dari
permukaan, sekedar mengingatkan kembali
hal-hal tentang Sukarno yang secara umum kita
semua sudah mengetahuinya dengan baik.

Desember 2013 l Kinescope l 23
Isyarat

REVIEW

Rohman Sulistiono

“Indie Movie Goes To Cinema”,
sebuah semangat yang
dikampanyekan kepada
khalayak luas mengiringi
rilis film “Isyarat” di bioskop.
Memang “Isyarat” lahir dari
rahim komunitas Lingkar
Alumni Indie Movie, sebuah
komunitas para alumni dari
peserta LA Light Indie Movies,
yang selama 7 tahun konsisten
melakukan workshop dan
serangkaian pelatihan lain untuk
para calon moviemakers muda
yang mempunyai passion di
dunia film.
“Isyarat” merupakan gebrakan bagi
penggiat film Indie yang memiliki tujuan agar
film-film pendek mereka bisa turut serta
meramaikan bioskop nasional. Ya, sebagaimana
kita tahu bahwa kebanyakan film pendek Indie
sangat sulit mendapatkan tempat di bioskop
lokal dan hanya festival film yang selama
ini menjadi tempat para sineas film Indie
menunjukan karya mereka.
“Isyarat” merupakan film omnibus
yang terdiri dari lima film pendek yang
mengangkat tema yang sama, manusia
dengan “kemampuan lebihnya” atau pada
umumnya disebut “Indra keenam”. “Teman
Bayangan”garapan Asmirandah mengisahkan
Dewi (Asmirandah), gadis muda yang memiliki
kemampuan psikokinesis. Dewi memiliki
teman khayalan bernama Fly (Jonas Rivanno),
yang selalu mengikuti kemanapun Dewi pergi.
Hingga akhirnya Dewi menyadari bahwa
kekuatannya dapat melukai orang yang

24 l Kinescope l Desember 2013

dicintainya.
Komedi situasional karya Monty Tiwa
“Lost and Found”, mengisahkan Oki (Poppy
Sovia) yang kehilangan dompetnya dan
bertemu Sisi (Prisia Nasution), seorang janitor
yang mempunyai kemampuan menerawang
kejadian masa lampau. Reza Rahardian
menyutradarai segmen “Gadis Indigo”, yang
berkisah mengenai Maya (Revalina S Temat),
yang mampu membaca sifat seseorang dengan
menggambar wajahnya hingga akhirnya
bertemu dengan Ganda, pria yang sulit dia
baca kepribadiaannya.
Adhyatmika, sutradara muda alumni Indie
Movies 2009, menyutradarai segmen “Flora”
yang berkisah mengenai gadis bernama Flora
(Taskia Namiya) yang dapat bersinggungan
dengan hal-hal dari dunia astral dan kisah
cintanya dengan Danel (Abimana Arya). Dan
terakhir “Tanda Bahaya” garapan Donny
Alamsyah, yang ingin menggambarkan bahwa

dalam keadaan terdesak, manusia bisa lebih
kejam dari binatang.
Mengangkat tema tentang “Indra Keenam”,
“Isyarat” terlihat kurang eksplorasi dalam
menggali hal unik yang ada pada kemampuan
yang jarang dimiliki ini. Dengan mengangkat
tema yang cukup menarik dengan menyajikan
beberapa jenis kemampuan “Indra keenam”,
baik mampu melihat masa lalu hingga melihat
makhluk dunia astral, “Isyarat” hanya terlihat
sekedar memberi tahu bahwa indera keenam
itu ada, tanpa mengeksplorasi lebih jauh
tentang penyebab dan akibat-akibatnya.
Walaupun begitu, “Teman Bayangan” garapan
Asmirandah, mampu memberikan sebuah
kisah menarik mengenai psikokinesis dan
sosok Fly sebenarnya, yang mampu membuat
penonton menduga-duga siapa sebenarnya
Fly tersebut. Dibalut dengan nuansa surealis,
membuat segmen ini yang paling menonjol
dibanding segmen yang lain.

“Lost and Found” tampil sebagai
segmen yang paling menghibur dan mampu
mengundak tawa. “Lost and Found”
menyajikan komedi situasional dibalut
percakapan dan gerak-gerik konyol dari kedua
tokoh utama Oki dan Sisi. Paruh awal hingga
tengah cerita, film ini dibangun dengan cukup
meyakinkan dan memberikan ketegangan
di setiap adegannya, walaupun dari segi
cerita bisa dikatakan cukup klise. Paruh akhir
segmen terlihat tidak fokus dan akhirnya akan
mengundang pertanyaan “ceritanya udahan?”
Namun penampilan menawan dan total
terlihat ditampilkan oleh kedua aktris utama
segmen ini, Poppy Sovia dan Prisia Nasution
yang membuat “Lost and Found” tetap
menarik dan membuat penonton terbawa
petualangan mereka.
“Gadis Indigo” menyuguhkan kisah cinta
Maya dan Ganda yang klise. Reza Rahardian
yang sebelumnya juga pernah menangani salah
satu segmen dalam “Wanita Tetap Wanita”

berjudul
“With or Without” ini terlihat kurang
maksimal dalam menggarap “Gadis Indigo”.
Reza seperti kehilangan kendalinya dalam
film ini. Hasilnya “Gadis Indigo” tampil
seadanya, seperti kehilangan daya tariknya
dan alur ceritanya terasa mengambang. Amat
disayangkan transisi antara segmen “Gadis
Indigo” dan “Flora” tidak begitu terlihat,
sehingga terasa seperti kedua segmen ini
seperti satu segmen panjang. Hal ini diperkuat
sosok Maya yang merupakan teman dekat dari
Flora dan Flora pun tampil cukup banyak di
segmen “Gadis Indigo”.
Apabila pada segmen sebelumnya
pergantian segmen ditandai dengan
ilustrasi komik bergaya pop art, namun
pada perpindahan segmen “Gadis Indigo”
dan “Flora” tidak ada yang menandainya.
Entah memang sengaja ingin agar terlihat
menjadi satu segmen cerita antara “Gadis
Indigo” dan “Flora”, namun cara ini membuat
segmen “Gadis Indigo” jadi terlihat seperti
menggantung tanpa akhir.
Adhyatmika kurang dapat mengeksplor
sosok Flora yang memiliki kemampuan lebih
dapat melihat sosok ghaib. Flora terlihat
seperti perempuan biasa, walau ada adegan di
mana Flora diperlihatkan dengan penampakan,
namun untuk beberapa orang tanpa

kemampuan indra keenampun terkadang
dapat diberi wujud penampakan.
“Tanda Bahaya” hadir sebagai segmen
tersingkat dan paling klise dari semua
segmen. Tidak seperti film utuh, entah apa
alasannya menampilkan “Tanda Bahaya”
seolah hanya sekedarnya. Padahal sosok Evan
yang diperankan oleh Dion Wiyoko adalah
tokoh kunci yang menyatukan sosok Indigo di
empat segmen. “Tanda Bahaya” dan Evannya bermaksud sebagai penghubung semua
segmen dalam film ini, namun terasa gagal dan
menjadi kisah yang agak janggal.
Editing yang bisa dibilang cukup
unik, terutama di bagian akhir film yang
menampilkan alur maju mundur memang
mampu membuat penonton sedikit berpikir.
Namun membuat beberapa adegan yang
niatnya membuat penonton bertanya-tanya,
justru terkesan gagal karena terlalu lama
dan mengulur-ngulur waktu. Namun begitu,
penampilan Abimana Arya sangat total dalam
film ini. Abimana Arya membuktikan bahwa
dia adalah salah satu aktor terbaik saat ini dan
memang layak menjadi nominasi aktor terbaik
FFI 2013.
Terlepas dari semua kekurangan yang ada,
Omnibus ini didukung dengan sinematografi
yang menawan dan indah. “Isyarat” memiliki
tema yang sangat menarik untuk diangkat
dan dikembangkan walau hasilnya masih
kurang memuaskan. Walaupun begitu, film ini
masih sangat layak untuk ditonton dan cukup
menghibur, apalagi bisa menjadi pendorong
semangat belajar dari beberapa moviemaker
muda yang tergabung dalam komunitas Indie
Movie. Semangat untuk mewujudkan film Indie
yang mampu menembus bioskop nasional,
patut didukung dan diapresiasi lebih. Mudahmudahan produksi selanjutnya dari komunitas
ini akan lebih baik dan mampu memberikan
tontonan yang tidak hanya bisa menghibur,
namun juga memberikan kita tontonan yang
berkualitas dan memberikan informasi yang
edukatif.

Desember 2013 l Kinescope l 25
REVIEW
Director Sean Monteiro
Writer Sean Monteiro, Haqi Achmad
Producer Syaiful Wathan, Sean Monteiro
pemain Pandji Pragiwaksono, Ray Sahetapy
Ence Bagus, David Saragihv, Tika Bravani
Ratna Riantiarno

Make Money
Make Money, sebuah film komedi yang merupakan debut dari sutradara Sean
Monteiro dan Pandji sebagai lead actor. Dari melihat daftar pemain yang mendukung
film ini, kita bisa langsung menebak film ini bergenre komedi. Namun menonton film
ini di awal, kita bisa merasa salah tebak, karena adegan dan penceritaan yang ada
terkesan serius dan memaksa kita berpikir.

film ini rata-rata memiliki karakter yang kuat,
namun berhasil dimainkan dengan sederhana
dan terlihat natural tanpa beban.
Walaupun masih terlihat ada beberapa
alur konflik dan penggambaran tentang
benturan sosial masih terasa datar tanpa fokus
yang terlalu seimbang diantara pemeranpemeran sentral ini, namun film ini mampu
menawarkan alur cerita yang dinamis dan
berhasil menautkan adegan demi adegan
yang memberikan penyimpulan yang klimaks
pada penontonnya. Dan pada akhirnya, yang
dibutuhkan oleh penonton adalah bukan hanya
bisa terhibur dengan tontonan yang menarik,
namun juga bisa membawa pulang nilai dan
pesan yang baik, tanpa harus merasa terpaksa
karena diberikan dengan sederhana dan
dikemas dalam bangunan komedi yang mudah
dicerna.

al fian adha

N

amun perlahan-lahan, situasi komedi
dan lucu mulai terlihat dari adegan demi
adegan yang tertuang dalam film ini.
Dengan irama komedi yang terbalut drama
ringan, film ini menjadi terasa dinamis dan
mampu membawa penonton untuk masuk
dalam alur pikir penceritaannya.
Yang menarik adalah kuatnya pesan
yang ingin disampaikan oleh film ini begitu
mengena, walaupun disampaikan dengan
ringan, lucu dan sangat mudah dicerna oleh
penonton. Bahwa uang, status sosial, karir
dan jabatan serta gengsi tidaklah melebihi
pentingnya arti keluarga, sahabat dan
keterlibatan kasih sayang di dalamnya. Film ini
cukup berhasil mengemas cerita yang menarik
dan mengejutkan namun dikemas dengan baik
dalam menggambarkan kehidupan yang nyata
di Indonesia, yang bisa kita saksikan seharihari.
Film ini bercerita tentang kehidupan Aris
(Pandji Pragiwaksono) dan Rachmat (David
Saragih) yang kaya raya namun manja nan
angkuh, berubah seketika setelah sang ayah,
Pak Tri (Ray Sahetapy), meninggal dunia.
Mereka mendadak jatuh miskin, lantaran Pak
Tri mewariskan seluruh harta dan asetnya
kepada pemulung yang ditemuinya di jalan,
Odi (Ence Bagus), karena sebuah kejadian. Aris
dan Rachmat yang semula tak akur pun mau
tak mau kudu bekerja sama menemukan Asri
(Ratna Riantiarno), ibu mereka yang ternyata

26 l Kinescope l Desember 2013

masih hidup dan kaya raya. 
Dalam film ini, hampir seluruh
pemainnya memainkan peran dengan
natural dan ini mungkin didukung
oleh kebiasaan dan profesi sehari-hari
dari mereka yang memang tidak jauh
dari seni peran dan melucu. Semua
pemain memainkan perannya dengan
sederhana tapi itulah yang seharusnya.
Semua karakter yang dimainkan dalam

Desember 2013 l Kinescope l 27
REVIEW
Director KIM Yong-gyun
(THE SWORD WITH NO
NAME, THE RED SHOES,
WANEE AND JUNAH)
Cast
LEE Si-young
UM Ki-joon
HYUN Woo
MOON Ga-young
Loekman Hakim
David Kurnia Albert

Killer Toon

Ditengah kurang bergairahnya film horror Korea, “Killer
Toon” muncul memberikan sebuah “gebrakan”. Secara
tidak diduga, “Killer Toon” mampu merajai Box Office
Korea dan mampu menembus 1 juta penonton dalam
penayangannya di Korea. Tentu saja ini merupakan
prestasi bagi “Killer Toon” yang merupakan film horror
pertama yang mampu menembus 1 juta penonton
setelah sebelumnya “Death Bell” pada tahun 2008. Lalu
apa yang membedakan “Killer Toon” dengan film horror
Korea yang lain? Apa kunci suksesnya? Rohman Sulistiono

28 l Kinescope l Desember 2013

G

enre film horror di Korea mungkin
masih kalah pamornya dengan genre
Thriller yang lebih sering diproduksi
oleh “negeri gingseng”. Genre thriller Korea
bisa dibilang lebih banyak memiliki cerita
yang menarik dan variatif dibanding horror
Korea. Sebut saja film thriller mengenai balas
dendam “I Saw The Devil” yang mampu
membuat saya beberapa kali menahan
napas dan “kegirangan” melihat adegan
“keras” yang ditampilkan di film tersebut
atau “Oldboy” yang mampu bicara banyak di
kancah dunia hingga Hollywood me-remake
film masterpiece karya Park Chan Wook
ini. Apalagi bila harus membandingkan film
horror Korea dengan tetangganya “Jepang”
yang terkenal memiliki segudang cara jitu
membuat penonton ketakutan hingga loncat
dari kursi ketika menonton film- film horror
produksi “negeri matahari terbit” ini. Bukan
berarti Korea tidak punya film horror yang
menyeramkan, sebut saja “A Tale of Two
Sisters” namun film horror Korea kebanyakan
memiliki “formula” yang sama dan cenderung
repetitif dalam film-filmnya. Sehingga bisa
dibilang genre horror Korea kurang diminati
bahkan dinegaranya sendiri.
Dibawah rumah produksi CJ Entertaiment,”
Killer Toon” menyuguhkan hal menarik dengan
menggabungkan film “Live Action” yang tersaji
dengan visual yang baik dan cantik dengan
animasi dan ilustrasi komik yang berkarakter
membuat film ini memiliki ciri khas berbeda

dengan film horror Korea yang lain. Hal ini
tidak lepas dari sang sutradara, Kim Yong-Gyun
yang mampu merealisikan dengan baik naskah
hasil Lee Sang-hak yang mampu melihat
dengan jeli fenomena webcomic yang sedang
digandrungi di Korea menjadi sebuah cerita
yang mampu membuat penonton berjerit
ketakutan.
“Killer Toon” berkisah tentang Kang Ji-yoon
(Lee Si-young) seorang komikus terkenal
yang harus terkait terhadap kasus kematian
misterius yang ternyata berhubungan dengan
karya-karya webcomic-nya. Beberapa kasus
kematian mengerikan yang terjadi dikehidupan
nyata terlihat persis seperti yang tergambar
pada ilustrasi webcomic yang dirilis oleh
Kang ji-yoon. Hal ini tentu saja membuat
Lee Ki-cheol (Um Ki-joon), seorang dektektif
berhasrat untuk memecahkan misteri ini. Lee
Ki-Cheol menelusuri keterkaitan antara komikkomik karya Kang ji-yoon dengan serangkaian
kematian mengerikan yang akhirnya akan
membawa sang detektif kepada kenyataan
yang mengerikan serta menunjukan sisi gelap
manusia.
Film yang memiliki judul Korea “Deo
Web-tun: Yeo-go-sal-in” ini jelas merupakan
horror misteri berbalut supranatural
hantu-hantu-an dengan kutukan webcomic sebagai premise yang menjadi
andalan dalam film ini. Film dibuka
dengan adegan pembunuhan sadis
nan mengerikan serta misterius
terhadap seorang editor yang tersaji
dengan apik dengan balutan visual
yang cantik serta penambahan
efek komikal membuat film ini enak
dilihat serta meninggalkan misteri dan
rasa penasaran disetiap adegannya. Hal
ini membuat saya “duduk cantik” dibangku
bioskop dan sangat siap mengikuti misteri yang
ada pada film ini.
Atmosfir menyeramkan terbangun baik
dalam film ini. Ya memang bisa dibilang cara
sutradara yang pernah menggarap Red Shoes
pada tahun 2005 ini dengan membangun
atmosfir mengerikan menjadi “Jualan”
utamanya. Ya memang hakikatnya film horror
dibuat untuk membuat penontonnya menjerit
ketakutan. Penampakan hantu yang cukup
variatif tidak itu-itu saja menjadi nilai plus
pada film ini. Sesekali saya pun kaget dan
mendengar jerit penonton (lebih banyak
wanita) saat hantu menampakan diri. Namun
yang menjadi perhatian saya adalah berbagai
twist yang ada dalam film ini. Kim Yong-Gyun
mampu meramu twist dengan sangat baik dan
cukup membuat film ini jadi makin misterius.
Namun, perubahan karakter tokoh dalam film
ini terasa agak dipaksakan seiring berjalannya
film. Paruh akhir film saya mendapatkan
cirri khas dari film Korea, iya melodrama
khas Korea terasa dibagian akhir. Korea yang
terkenal dengan film drama yang mampu
menyentuh hati pun mampu “meng-invasi”

hingga ke film horrornya. Tidak
masalah memang, mungkin ini
maksud dari Killer Toon untuk
memberikan rasa lain dalam
filmnya.
Terlepas dari semuanya,
Killer Toon merupakan film
horror Korea yang dari cukup
mengerikan dan mampu
menakut-nakuti penonton. Bisa
dibilang ini adalah film horror
Korea yang memuaskan ditengah
lesunya film horror disana. Misteri
yang terdapat dalam film ini juga
mampu membuat rasa penasaran
untuk terus mengikut setiap kasus
serta fakta yang ditampilkan pada
setiap adegannya. Twist-twist
yang terdapat dalam film ini juga
terasa ampuh. Selain kisah yang
berbalut misteri yang baik, tentu
saja pengaruh web-comic yang
booming disana menjadi hal
pendukung keberhasilan film ini
dalam meraih jumlah penonton
yang banyak.

Desember 2013 l Kinescope l 29
REVIEW
“Snowpiercer” menawarkan kisah “Post Apocalypse”
dimana bumi kembali mengalami “Ice Age” setelah
sebuah percobaan meluncurkan sebuah zat ke lapisan
ozon yang bertujuan untuk menekan pemanasan global
pada tahun 2014 berakhir gagal dan membuat bumi
mengalami zaman es sehingga kehidupan dibumi pun
berangsur-angsur punah.

Snowpiercer
Bong Joon-Ho, 2013
Rohman Sulistiono

S

ekitar seminggu setelah terhibur dengan
film Horror asal Korea Selatan, “Killer
Toon”,, kini saya kembali “dihadapkan”
dengan satu lagi film “Box Office” asal negara
“Super Junior” tersebut. Ya akhir-akhir ini
memang “Invasi” Korea pada negara ini tidak
hanya melalui muka mulus boyband-girlband
serta cerita Melodrama yang hampir tiap
sore “nangkring” di televisi lokal melainkan
juga dengan film-film yang tayang dibioskop
lokal. Tentu hal ini bukan berarti sebagai hal
yang negatif, sisi baiknya adalah penonton
mempunyai pilihan lain dalam menonton film
dibioskop selain film-film lokal serta tentu
saja Hollywood yang merajai pasar. Film Korea
yang rilis di Indonesia-pun mayoritas mampu
dikategorikan “memuaskan” penonton.
Tahun ini saja setidaknya ada “Miracle in
Cell No.7”, “Mr.Go”, “The Flu” dan tentu saja

30 l Kinescope l Desember 2013

“Snowpiercer” karya Bong Joon-Ho. Bong
Joon-Ho adalah sutradara Korea yang namanya
cukup “Wangi” di perfilman dunia. Bagaimana
tidak, film-film karyanya bisa dibilang
mengesankan . “The Host” contohnya yang
rilis pada tahun 2005 mampu berdiri kokoh
dipuncak “Box Office” Korea Selatan hingga
saat ini. Bong Joon-Ho bisa dibilang sutradara
asal Korea Selatan favorite saya selain kreator
dari “Oldboy” yang juga memiliki nama besar
di Korea Selatan, Park Chan- Wook.
Para “Survivor” yang selamat dari
keganasan dinginnya bumi mencoba bertahan
hidup di sebuah kereta lokomotif yang sangat
panjang dan bergerbong banyak bernama
“Snowpiercer”. Mereka yang selamat hidup
dengan kesenjangan sosial yang sangat terasa
didalam kereta. Terjadi “pembatas” antara si
miskin yang tinggal di ekor dan si Kaya yang

tinggal dibagian depan gerbong. Merasa tidak
diperlakukan adil dan keji, Curtis Everett (Chris
Evans) bersama “Kaum Ekor” seperti Edgar
(Jamie Bell) dan sosok yang dituakan serta
dihormati Gilliam (John Hurt) merancanakan
sebuah revolusi. Sebuah gerakan menuntut
keadilan serta menjatuhkan kekuasaan sosok
yang dianggap bak dewa bagi beberapa
penghuni “Snowpiercer”, Wilford (Ed Harris)
karena Wilford-lah sang pembuat kereta
“Snowpiercer” dan dianggap bak sosok yang
suci karena menyelamatkan dari “kiamat” bagi
orang-orang di gerbong depan. Namun bagi
orang-orang digerbong ekor, Wilford-lah dalang
dibalik kesengsaraan hidup mereka selama
17tahun di Kereta.
Awalnya saya berpikir bahwa “Snowpiercer”
adalah film khas “Musim Panas” dengan
balutan efek yang menawan serta bertujuan

“hanya” sebagai penghibur penonton. Namun,
Bong Joon-Ho membawa kisah yang diangkat
dari novel grafis berbahasa Prancis dengan
judul asli “Le Transperceneige” ini kedalam
cerita yang cukup berat dan penuh makna.
Dengan tema yang dewasa berbalut beberapa
intrik politik didalamnya membuat film ini
tidak begitu saja “menyuapi” cerita dan makna
dalam film kepada penonton. Penonton akan
diperlihatkan sebuah miniatur kehidupan
disetiap gerbong yang dilalui oleh gerombolan
Curtis. Bong Joon-Ho mampu menyimbolkan
dengan baik kereta dengan keadaan sosial
dibumi sesungguhnya. Mengenal system kelas.
Manusia dibatasi oleh “Gerbong-gerbong”
berkedok kekayaan, jabatan, atau hal lain
sehingga manusia yang miskin punya tempat
sendiri, di ekor dengan fasilitas sesuai dengan
“kelas”nya. Si kaya yang mampu membayar
lebih mempunyai tempat sendiri yang tidak
mau diusik oleh kelas dibawahnya. Seperti
layaknya ketika menaiki kereta. Kita akan
dituntut memilih untuk menggunakan kelas
mana. Ekonomi atau eksekutif? Dan kita akan
menerima sesuai apa yang kita bayar.
“Snowpiercer” jelas tidak seperti film Bong
Joon-Ho sebelumnya. Ada rasa Hollywood
didalamnya. Ya memang ini adalah kesempatan
emas bagi Bong Joon-Ho untuk mengharumkan
namanya dikancah perfilman dunia serta

mengikuti jejak teman senegaranya, Park
Chon-Wook yang telah lebih dulu menggarap
film Hollywood “Stoker”. Bong Joon-Ho tentu
saja tidak menyia-nyiakan “fasilitas” khas
Hollywood yang dia dapatkan. Cast yang sudah
terkenal dan mendunia, Special Effect yang
menawan khas film-film blockbuster dan tentu
saja kucuran dana besar mengiringi pembuatan
“Snowpiercer”. Segala “kenikmatan” itu tidak
lantas membuat Bong Joon-Ho “termakan”.
Sentuhan sineas yang juga terkenal dengan
“Memories of Murder” tetap menunjukan ciri
khas nya. Bong Joon-Ho tetap mampu meramu
sisi estetis dan tematis menjadi sebuah
tontonan yang berkualitas. Segala fasilitas
Hollywood tetap tidak membuat Bong Joon-Ho
lupa akan kualitas dan menjaga orisinalitas
dalam berkarya.
Dikaruniai beberapa cast yang telah dikenal
luas tak membuat “Snowpiercer” hanya
sebagai tontonan menjual tampang semata.
Penampilan sosok “Captain America” Chris
Evans bisa dikatakan beda dari penampilannya
di film lain. Di tangan Bong Joon-Ho sosok
“Superhero” bersifat “Baik-baik” ini dibuat
menjadi sosok lelaki 30-an pemimpin revolusi
kaum bawah yang keras dan agak ambisius.
Chris Evans mampu memancarkan begitu
menderitanya dan begitu keras upayanya untuk
menuntuk keadilan dari sosok di gerbong
depan yaitu Wilford. Usaha keras Chris Evans
untuk membangkitkan sosok Curtis bisa
dibilang berhasil dengan mampu melepas
bayang-bayang karakter “superhero” yang
biasa dia perankan di film-film Hollywood.
Bong Joon-Ho juga mampu menempatkan
Jamie Bell dan John Hurt pada pos-pos yang
tepat. Yang sekali lagi sang sineas tidak
menyia-nyiakan nama terkenal di Hollywood
ini hanya sebagai pengait penonton namun
juga memaksimalkan kontribusi mereka dalam
film ini. Namun yang paling mencuri perhatian
adalah sosok Mason yang diperankan
Tilda Swinton yang mengesalkan namun
beberapa perilakunya dapat menggelitik dan
mengundang tawa. Saya masih ingat betul
Tilda sebagai Eva, sosok ibu yang penuh beban
hidup dalam “We Need To Talk About Kevin”
dan saya melihat “sosok Lain” Tilda Swanson
pada film ini. Dengan penampilan khas
ningrat dan perilaku yang mampu membuat
penonton gemas, Tilda mampu meghidupkan
sosok mason yang keji dan mengesalkan.
Tilda sukses memerankan tokoh antagonis

yang menyebalkan namun mengesankan ini.
Diantara nama-nama Hollywood, Bong JoonHo tetap menggunakan talenta lokal asal Korea
Selatan. Song Kang-ho dan Go Ah-sung adalah
dua artis asal Korea Selatan yang berperan
sebagai Bapak dan Anak yang sama-sama
pecandu batu bernama Kromol. Song KangHo yang pernah bekerjasama dengan Bong
Joon-Ho sebelumnya pada film “Memories
of Murder” ini memerankan mantan kepala
keamanan yang turut membantu kelompok
Curtis melewati lorong demi lorong. Bisa
dibilang penampilan bapak – dan anak ini
adalah pemeran penting dalam menunjukkan
salah satu ciri khas dari Bong Joon-Ho, Black
Comedy. Komedi yang dilontarkan melalui
gimmick atau ucapan mereka mampu
mengundang tawa penonton.
Snowpiercer merupakan debut film
berbahasa Inggris pertama Bong Joon-Ho yang
sekali lagi saya tekankan tidak disia-siakan oleh
sang sineas. Bong Joon-Ho mampu meramu
segala elemen baik tema cerita, cast yang
telah dikenal luas, sisi estetis serta visual effect
khas Hollywood yang mampu memanjakan
mata menjadi sebuah kesatuan yang membuat
“Snowpiercer” menjadi film Bong Joon-Ho rasa
Hollywood yang masih layak untuk ditonton.
Walau Snowpiercer ber-setting hanya dikereta,
namun Snowpiercer mampu memberikan
pengalaman menonton yang megah. Tema
Snowpiercer tentang batasan kelas dalam
kehidupan sosial yang disampaikan oleh Bong
Joon-Ho menyentil kepada seluruh aspek
kehidupan masyarakat yang memandang
manusia dan membatasi manusia dengan
sistem kelas. Sistem kelas yang membatasi
lini kehidupan manusia dijadikan alasan
sebagai salah satu cara mempertahankan
keseimbangan kehidupan dibumi. Dilain sisi
pembatasan antara si kaya dengan si miskin
secara luas dapat menghasilkan kesenjangan
sosial serta mungkin saja dapat menimbulkan
pemberontakan di salahsatu kubu atau terjadi
perpecahan. Seperti yang tergambar pada
Snowpiercer dimana sistem kelas mampu
menyulut pemberontakan antara kaum yang
tinggal di gerbong ekor terhadap orangorang yang tinggal di bagian depan kereta
sedangkan Wilford menganggap batasan
itu harus ada untuk menjaga keseimbangan
dalam kehidupan. Lantas apakah batasan
menggunakan sistem kelas dibutuhkan untuk
kehidupan?

Desember 2013 l Kinescope l 31
REVIEW

HOURS
Thea Fathanah Arbar

Apa yang kamu lakukan bila
terjebak selama 48 jam di rumah
sakit tanpa listrik, tanpa pasokan
makanan bersama bayi yang
baru lahir secara prematur
yang harus berada di inkubator?
Berlatar belakang 29 Agustus
2005, Nolan Hayes (Paul Walker)
mengantarkan istrinya, Abigail
(Génesis Rodríguez) menuju
ke rumah sakit New Orleans
untuk melahirkan anak pertama
mereka.

32 l Kinescope l Desember 2013

N

olan harap-harap cemas
menanti anak pertama
mereka. Tak lama setelah
masuknya Abigail ke ruang operasi,
badai Katrina menyerang kota New
Orleans dan menghancurkan pantai
Louisiana. Nolan tidak terlalu
perduli dengan badai Katrina, ia
hanya perduli dengan istrinya yang
sedang berjuang melahirkan anak
pertama mereka.
Setelah beberapa jam, Dr.
Edmonds (Yohance Myles)
memberitahu Nolan bahwa
Abigail melahirkan seorang anak
perempuan. Namun ternyata sang
istri meninggal akibat kehabisan
darah. Kelahiran buah hati yang
seharusnya menjadi hal yang
sangat membahagiakan, dengan
cepat berubah menjadi kesedihan
dan keterpurukan.
Nolan tidak bisa menerima
kematian istrinya begitu saja. Ia
tak percaya Abby (nama panggilan
istrinya) meninggal sebelum ia
melihat jasadnya. Nolan mencari
jasad Abby dan ia langsung makin
terpuruk setelah melihat jasad
istrinya.
Di kala Nolan tengah berusaha
mengatasi keterpurukannya atas
kepergian istrinya, Suster Shelly
(Kerry Cahlil) mendatanginy untuk
memberikan akta kelahiran anak
perempuannya. Nolan berpikir
lama. Tak lama ia menulis ‘Abigail’
di akta kelahiran itu. Bersamaan
dengan itu, efek badai Katrina
benar-benar membuat seisi rumah
sakit panik dan bersiap untuk
dievakuasi ke rumah sakit yang
lainnya. Baby Abigail yang baru
lahir tidak bisa dibawa begitu saja

karena belum mampu bernafas
sendiri dan perlu bantuan alat-alat
medis.
Di sinilah naluri seorang ayah
keluar. Ketika semua penghuni
rumah sakit berlomba-lomba untuk
pergi ke tempat yang lebih aman
(termasuk dokter dan perawat),
Nolan harus tetap tinggal di dalam
rumah sakit untuk menemani
dan melindungi anaknya. Tanpa
listrik, tanpa pasokan makanan,
dan dengan persediaan batere
inkubator yang hanya bertahan
3 menit (dan terus berkurang)
bila tidak dipompa dengan alat
pompa listrik manual, Nolan
harus berjuang agar baby Abigail
tetap bisa bernafas di dalam
inkubatornya.
Ketika sedang berjuang untuk
baby Abigail, Nolan teringat
akan pertemuan pertamanya,
kencan pertamanya, dan malam
pertamanya dengan istrinya, Abby.
Ingatan itu membuatkan Nolan
makin bersungguh-sungguh untuk
menjaga baby Abigail.
Pasca badai Katrina, kota
New Orleans lumpuh total.
Banjir dimana-mana. Helikopter
penyelamat mendekati rumah
sakit, dengan cepat Nolan menaiki
tangga menuju atap, namun
malang, helikopter yang tadinya
sudah mau menuju ke atap rumah
sakit, mendadak pergi karena
ditembaki oleh orang yang tidak
diketahui identitasnya. Nolan
sudah mulai tidak kuat dengan
keadaan ini. Suasana sepi rumah
sakit dan datangnya para penjarah
bersenjata membuatnya makin
terpuruk.

Penjarah pertama hampir
membunuh Nolan dan baby Abigail,
namun dengan lihainya ia dan
Sherlock –anjing penyelamat yang
ia temukan sedang tersangkut
tali di belahan rumah sakit yang
lain- berhasil membuat penjarah
bersenjata itu pergi dari rumah
sakit. Tidak tidur dan kelelahan,
Nolan masih harus menghadapi
dua penjarah bersenjata lainnya.
Walaupun lelah, Nolan berhasil
mengalahkan mereka dengan
menyuntikan segenggam suntikan
yang berhasil membuat salah satu
penjarah terbujur kaku, kemudian
ia menembakan peluru ke kepala
penjarah yang lain.
Eric Heisserer (A Nightmare on
Elm Street, Final Destination 5)
berhasil membawa kita ‘masuk’
ke dalam film ini. Art yang apik,
membuat suasana di film ini
benar-benar membawa kita ikut
merasakan apa yang dirasakan
Nolan.
Namun sayangnya akting Paul
Walker di film ini tidak se-epic
aktingnya di Fast & Furious. Latar
belakang dan karakter Nolan Hayes
yang tidak ditampilkan secara
gamblang, membuat karakter ini
dibayang-bayangi karakter Brian
O’Conner dari Fast & Furious.
Walaupun bergenre thriller, HOURS
berhasil membuat mata saya
dan beberapa mata penonton
lainnya berkaca-kaca saat melihat
Nolan Hayes terpuruk dengan
keadaannya. Bagi penggemar berat
Paul Walker, HOURS akan tayang
eksklusif di Blitzmegaplex mulai
tanggal 18 Desember 2013.

Desember 2013 l Kinescope l 33
Film, Kritik dan Logika

OPINI

Suluh Pamuji

Ada dua jenis kritik film: kritik jurnalistik dan kritik akademis. Yang pertama
muncul di koran harian. Yang kedua di jurnal ilmiah. Yang pertama biasa
dikerjakan oleh wartawan di suatu surat kabar. Yang kedua oleh sarjana/
akademisi. Keduanya sama-sama punya peran di ranah kepenontonan.

U

ntuk menyingkatnya, kita kutip saja klise
lama: masing-masing punya kelebihan
dan kekurangan. Saya tidak hendak
berfokus pada kategorisasi itu. Walaupun pada
era digital ini, relevansi dari kategorisasi itu
perlu ulang. Dalam esai ini, saya lebih tertarik
untuk mengurai esensi dari kritik secara umum.
Artinya, kritik dalam kategorisasi dan ikhwal
apapun. Yang dalam konteks kita adalah kritk
film.
Berangkat dari hiruk pikuk kebebasan
berpendapat, kritik—beserta sifatnya: kritis—
berbaur dengan keluh kesah atas keadaan,
terlebih di sosial media. Misalnya: Facebook
dan Twitter. Hingga pada suatu malam, dalam
obrolan via Facebook, kawan saya—sebut saja
namanya Otong—bertanya: “Kritik itu dasarnya
apa sih? Logika atau keluh kesah?” Pertanyaan
itu terlontar tatkala si kawan merasa bahwa
kritik dewasa ini lebih tampak sebagai keluh
kesah, ketimbang analisis logis. Sebagaimana
langit mendung yang kemudian meniscayakan
keluhan: “Duh…! Bentar lagi mau hujan”.
Dalam konteks film Indonesia, keluhan
serupa juga terjadi. “Baim Wong meranin
Soekarno. Duh…! Bentar lagi Indonesia bubar.”
Demikianlah problem kritik—maaf, maksud
saya keluh kesah—yang coba saya tangkap
dari pertanyaan retoris dari kawan Otong.
Keluh kesah macam itu boleh saja. Namun
jika itu dianggap syahih sebagai kritik. Saya
menolaknya. Kritik mestinya konstruktif.
Ia harus punya dasar, urutan-urutan dan
pembuktian logis. Itu setidaknya bagi saya—
sebagaimana tersirat pada pertanyaan retoris
dari kawan Otong di muka—kritik dasarnya
adalah logika, bukan keluh kesah. Kenapa
demikian? Untuk menjawabnya, kita perlu
njlimet sejenak dengan pertanyaan: “Apa itu
kritik?”
Aspek yang paling bisa dipastikan dari
terma “kritik” adalah aspek etimologisnya.

34 l Kinescope l Desember 2013

Kritik merupakan kata benda yang kerap
diasosiakan dengan kata sifat: kritis. Kritik
berakar dari bahasa Latin criticus dan Yunani
kritikós. Keduanya memiliki arti: ketrampilan
menilai. Saya pribadi lebih suka mengartikan
kritik sebagai upaya untuk memberikan
nilai. Memberikan nilai terhadap apa?
Terhadap objek tertentu. Misalnya: film.
Dengan demikian, jika kritik itu adalah kritik
film, berarti kritik film adalah upaya untuk
memberikan nilai pada film. Bisa satu film, bisa
banyak film. Menempatkan banyak film sebagai
objek kritik tentu saja lebih ribet. Ini biasanya
dilakukan oleh kritikus film untuk memperoleh
panorama filmik yang lebih luas. Yang jelas
intinya, dalam upaya menilai (baca: kritik)
berarti ada penilai dan sesuatu yang dinilai.
Dalam KBBI, kritik diartikan sebagai
‘kecaman’—atau sekedar tanggapan yang
kadang-kadang disertai dengan uraian dan
pertimbangan baik-buruk terhadap suatu hasil
karya, pendapat dls. Walaupun diurai dengan
bahasa lain. Kita punya arti leksikal dari kritik
yang praktisnya adalah menilai. Karenanya
kritik akan selalu berurusan dengan kategori
nilai, seperti: benar, salah, baik, buruk, elok,
jelek, bajik, durjana dls. Selanjutnya jika kita
tengok posisi kritik dalam konteks modernitas.
Kritik pada dasarnya mengemuka sebagai cara
pandang manusia modern. Jelasnya ketika
manusia memaksimalkan rasio/akal-budinya
untuk menggapai pengetahuan yang lebih
terang. Dengan demikian berarti, kritik berkait
erat dengan rasionalitas. Atau meminjam
ungkapan Martin Suryajaya: “kritik sebagai
saudara kandung rasionalitas”.
Dalam konteks filsafat, terma ‘kritik’ secara
khusus dipakai Imanuel Kant dalam triologi
Critique-nya: Critique of Pure Reason, Critique
of Practical Reason, Critique of Judment. Di
situ Kant mengesensialkan kritik menjadi
kritisisme. Menurut Kant, “praktik kritisisme

tidak hanya melibatkan kekuasaan lembagalembaga agama, politik, tapi juga nalar itu
sendiri”. Kant hendak mengarahkan kritik
pertama-tama pada nalar, spesifiknya: nalar
murni. Jadi ketika nalar murni sebagai sasaran
pertama kritik Kant, kemudian kita tahu kritik
dikonstruksi oleh nalar. Maka dalam konteks
Kantian, kritik kemudian berfungsi sebagai
pemeriksa penilaian-penilaian dan klaim-klaim
yang semata untuk menetapkan kesyaihannya
sendiri. Sederhananya, dalam trilogi itu
Kant hendak menunjukan bahwa sebuah
kritik atas objek kritik tertentu bukan berarti
bebas masalah. Atau dalam konteks kita, bisa
diilustrasikan ulang bahwa sebuah kritik untuk
film A dari kritikus B pada dasarnya terbuka
untuk dikritik.
Sampai sini, kita cukup tahu bahwa sebuah
kritik film pertama-tama dimungkinkan
karena adanya objek kritik bernama film.
Selanjutnya, sebuah uraian kritis tentang film
dimungkinkan karena adanya perangkat untuk
mengoperasikan kritik. Perangkat itu bagi saya
adalah nalar. Yang dalam konteks ilmiah, ilmu
tentang nalar disebut logika. Demikianlah
logika sebagai dasar kritik yang pada tataran
praktisnya berlaku sebagai perangkat kritik.
Logika perlu dioperasikan untuk melampaui
keluh kesah. Sedemikian rupa sehingga kritik
film kita, baik itu yang masuk kategori kritik
jurnalistik, kritik akademis ataupun kritik
blog—dalam era digital, bisa membersihkan
diri dari keluh kesah. Alias eksplanasi kritik
atau paparan dari hasil penilaian yang
masih sebatas rasa-rasanya: rasa-rasanya
aktor dalam film A bermain kurang baik;
rasa-rasanya narasi sejarah B dalam film C
kurang riset; rasa-rasanya filmaker kita masih
sebatas tukang; atau rasa-rasanya penulis
esai ini anti-perasaan; dan seterusnya... dan
seterusnya...***

Desember 2013 l Kinescope l 35
OPINI

Dari
Memoar
ke Layar
Lebar
Baru-baru ini secara tidak
sengaja saya ‘bertemu’ dengan
salah satu penulis favorit saya,
Homer ‘Sonny’ Hickam, Jr.,
melalui twitter. Buku memoirnya yang sangat bagus dan
inspiratif, ‘Rocket Boys’ (1998)
masih sering saya baca ulang
di waktu senggang. Setahun
setelah terbit, buku itu difilmkan
dengan judul “October Sky”
(1999). Film produksi Universal
Studio itu disutradarai oleh Joe
Johnston, dan para pemainnya
antara lain Jake Gyllenhaal,
Chris Cooper, dan Laura Dern.
Wella Sherlita

S

onny Hickam melanjutkan memoar
pertamanya dengan menerbitkan ‘The
Coalwood Way’ (2000) dan ‘Sky of Stone’
(2002). Semula ia me-retweet pernyataan
dan kesan saya tentang  buku ‘Rocket Boys’.
Belakangan kami membahas aneka topik, terutama mengenai impian masa kanak-kanak dan
cara ‘menghidupkan’ impian itu. Berbincang
dengannya, meskipun hanya melalui Twitter
dan Facebook, menularkan semangat dan keyakinan baru buat saya. Kata-katanya santai tapi
‘berisi’. Tidak sedikitpun ada kesombongan,

36 l Kinescope l Desember 2013

padahal ia ilmuwan dan penulis yang terkenal.
Di dalam bukunya, Sonny berkisah ia lahir
dan tumbuh besar di kota kecil bernama Coalwood, yang terletak di negara bagian Virginia,
Amerika Serikat. Di daerah itu, setiap anak
tak ubahnya seperti ‘dikutuk’ agar menjadi
penambang batubara. Tidak ada pilihan lain.
Sementara Sonny dan kelima temannya sangat
terpengaruh oleh berita peluncuran roket
‘SPUTNIK” milik Rusia, pada tahun 1957.
Berkat dukungan ibu guru yang penuh kasih
(di dalam versi film diperankan oleh Laura

Dern), akhirnya mereka meraih penghargaan
dalam suatu kompetisi science. Roket pertama
secara sederhana berhasil dibuat, dan terbang
tinggi menembus langit di atas Coalwood,
sekaligus ‘mematahkan’ mitos para orang
tua bahwa anak-anak penambang Coalwood
tak mungkin bisa menjadi ilmuwan, apalagi
astronot.
Hickam kelak mengambil kuliah teknik di
Virginia University dan bekerja di NASA. Impiannya menjadi astronot akhirnya kesampaian.
Kini ia telah pensiun, namun masih mem-

bantu memberikan pelatihan bagi calon-calon
astronot di AS; termasuk menjadi penasihat
teknis dalam film ‘Gravity’ (2013).
Kepada pria yang kini berusia 70 tahun itu,
saya katakan bahwa bagian epilog dari ‘Rocket
Boys’ adalah halaman yang saya tandai. Saya
terharu dengan sikap ayah Sonny, Homer Hickam, Sr.,  yang akhirnya mengizinkan putranya
yang cerdas meraih apa yang diinginkan.
Dalam twitter-nya, Sonny membalas dengan
kutipan indah dari ayahnya : “The only person
who can tell you that you can’t reach your goal

is yourself. And you’ll be wrong”.
‘Rocket Boys’ tidak berbeda jauh dengan
buku memoar karya penulis-penulis Indonesia,
seperti Andrea Hirata dan Ahmad Fuadi. Kesuksesan buku mereka juga belakangan difilmkan.
Andrea dan Fuadi dalam hal merantau bahkan
jauh lebih hebat dari Sonny Hickam. Bayangkan, Sonny hanya ingin menjadi insinyur dan
astronot. Ia tidak berangkat ke luar negeri;
tetapi ‘hanya’ belajar di Virginia Tech University. Andrea Hirata menuntut ilmu di Sorbonne,
Perancis; dan Fuadi ke Amerika Serikat. Dari
anak kampung di Pulau Belitong dan Danau
Maninjau di Sumatera Barat, keduanya merantau ribuan mil ke benua seberang.  
Tetapi perbedaan negara tempat studi
itu bukan soal. Tidak pula saya kategorikan
sebagai impian muluk yang ‘membutakan’
penulisnya ketika sudah mapan dan sukses
seperti sekarang. Atau seperti kata seseorang
di dalam blog-nya, bahwa kesuksesan Andrea
dan Faudi membuat banyak anak-anak di kampung ingin pergi ke luar negeri, agar pulangnya
nanti bisa seperti mereka berdua. Padahal,
kata si penulis blog, untuk menjadi sukses itu
tidak selalu harus sekolah di luar negeri. Saya
sependapat dengan kalimatnya ini. Namun,
saya kira pendapatnya yang khusus menyebut
Andrea Hirata dan Ahmad Fuadi sebagai ‘biang
keladi’ itu terlalu negatif.
Ukuran keberhasilan suatu karya adalah
ketika tujuan awalnya tercapai. Jika sekedar
menggoreskan catatan pengalaman, keduanya
masuk kategori berhasil, karena laris dimanamana.  Buku ‘Laskar Pelangi’, yang dialihbahasakan menjadi ‘The Rainbow Troops’,
juga dibahas oleh banyak harian
terkemuka seperti The Economist
dan The Guardian. Perjuangan
anak-anak agar bisa tetap sekolah,
dan dukungan tanpa pamrih dari
Ibu guru Muslimah dan Bapak
Harfan, sebagai Kepala Sekolah
adalah cerita masa lalu yang
nyata, ada di Belitong.  Mungkin juga situasi sama masih
terjadi hingga sekarang.
Tidak perlu membanding-bandingkan tetralogi
memoar Andrea Hirata itu
dengan tetralogi Pulau Buru
karya Pramoedya Ananta
Toer, sebab mereka hidup
di zaman yang jelas-jelas
berbeda. Ini analogi yang
timpang. Karya Pram adalah
goresan sejarah yang penting
untuk setiap anak Indonesia,
agar mengenali identitas bangsanya sehingga terbit rasa hormat
di dalam hati dan pikirannya.
Sementara karya Andrea Hirata dan
Ahmad Fuadi mengingatkan kita selalu,
bahwa impian yang paling tidak mungkin
sekalipun, bisa diwujudkan. Penulis
Paulo Coelho dalam novelnya, ‘The

Alchemist’, berkata: “Kalau engkau bersungguh-sungguh,  semesta akan berkonspirasi menolongmu.”
Tidakkah ini serupa dengan ‘mantra Kyai di
Pondok Pesantren tempat Alif (tokoh utama
novel memoar ‘Negeri Lima Menara’) berguru,
yaitu, ‘Man Jadda Wajada’ atau ‘Siapa yang
bersungguh-sungguh akan berhasil’?
Bagi mereka yang tinggal di kota besar dan
dari keluarga dengan finansial yang cukup,
mungkin relatif gampang untuk sekolah ke luar
negeri. Tetapi bagi anak-anak di pedalaman, itu
keinginan yang keterlaluan; mungkin bermimpi
pun mereka tidak berani!  
Maka, seperti yang diungkapkan Sonny
Hickam, memoar adalah pengingat yang bisa
dibagi. Ia lebih dari sekedar pengalaman
pribadi penulisnya. Dan memoar yang difilmkan adalah upaya untuk berbagi lebih luas dan
menjangkau lebih banyak orang. Tentu, dalam
maksud dan cara yang positif.

Desember 2013 l Kinescope l 37
OPINI

Rian Samin 

Tattoo dan
Subkultur
Kaum Urban

Meskipun masih dianggap tabu, di masyarakat kita tato
merupakan sesuatu yang sudah sangat familiar. Bahkan
bagi sebagian orang, tato amatlah lekat hubungannya
dengan budaya, tak bisa dipungkiri, kini tato menjadi lifestyle
kaum urban dan juga identitas personal. Selain sebagai
lifestyle, tato juga menjadi simbol ekspresi dan kebebasan
seseorang. Saat ini dunia tato semakin berkembang dengan
semakin banyaknya jasa tato terutama di kota-kota besar,
termasuk Yogyakarta.

T

ato atau rajah tubuh adalah ornamentasi
budaya yang syarat akan simbolisasi.
Sebagai bentuk budaya, usia seni tato
sudah ratusan tahun. Hal ini dibuktikan dengan
ditemukannya rajah tubuh pada mumi di Mesir,
Peru, dan Chili. Hingga zaman modern ini, seni
tato juga masih didapatkan pada suku-suku
di Indonesia, di antaranya Dayak Kalimantan,
Mentawai Sumatera, dan Papua. Athonk Sapto
Raharjo, seniman tato yang aktif sejak 1996
punya pendapat sendiri. Setelah masuknya
ajaran-ajaran agama yang menabukan tato,
budaya merajah tubuh ini hampir lenyap
dari Indonesia. Kemudian tato hanya dapat
dijumpai pada orang-orang yang berada di luar
kehidupan sosial yang normal.
“Tato dianggap sebagai sub budaya yang
dipakai oleh para preman, atau orang yang baru
keluar dari penjara,” ujar seniman yang juga
ketua Java Tatto Club ini.
Jika melihat ke belakang, pada era Orde
Baru di tahun 80-an, banyak orang yang
ditembak secara misterius oleh aparat negara,
yang kemudian dikenal dengan istilah ‘Petrus’
(Penembak Misterius). Menurut Athonk,
fenomena ini bukan hanya menjadi ‘shock
therapy’ untuk masyarakat, namun juga
menimbulkan kecemasan yang luar biasa bagi
orang yang sebelumnya sudah memiliki tato.
Sejak itulah seni tato di Indonesia bergerak
secara bawah tanah dan berjuang melawan

38 l Kinescope l Desember 2013

stigma dan pandangan miring yang telah
‘dibentuk’ sebelumnya.
Menurut seniman tato yang juga dikenal
sebagai komikus ini, pada era tersebut
tidak ada studio tato yang resmi terbuka
untuk umum, kecuali di beberapa kawasan
wisata untuk turis asing di Bali, Lombok, dan
Yogyakarta. Lebih lanjut Athonk menjelaskan
bahwa fenomena tato mulai marak di awal
tahun 90an. perkembangannya juga ditandai
dengan popularnya beberapa grup musik rock
yang memakai tato di tubuhnya, beberapa di
antaranya adalah Guns N Roses dan Red Hot
Chilli Peppers.
Kedua band ini memuat gambar-gambar
tato di sampul albumnya ‘Appetite For
Destruction’, dan ‘Blood Sugar Sex Magik’.
Perlu dicatat penjualan album kedua band ini
cukup tinggi dan persebarannya di kalangan
anak muda saat itu pun cukup pesat. Terutama
saat vokalis Ret Hot Chilli Peppers sempat
bertandang ke pedalaman Kalimantan untuk
mencari budaya tato suku Dayak.
Selanjutnya fenomena tato semakin
berkembang ketika masyarakat mulai sadar
dengan identitas personalnya yang berbeda
antara satu dengan yang lain. Seniman tato
yang pernah menempuh kuliah seni rupa di
ISI Yogyakarta ini menjelaskan bahwa di era
globalisasi semua suku bangsa sudah tersebar
di tanah air. “Mereka inilah manusia yang

Desember 2013 l Kinescope l 39
“Orang Indonesia mulai
sadar ternyata budaya asli
Indonesia ada seni tato yang
bisa dibanggakan,”
-Athonk-

tercerabut dari akar budaya aslinya, kehilangan
simbol kesukuan yang menunjukan siapa, dan
darimana asal mereka,” ujarnya.
Banyak yang ingin mendapatkan tato
karena ingin menunjukan identitas jati diri
secara personal, dan memiliki gambar yang
berbeda dengan yang lain. Sejak itulah muncul
istilah ‘custom’ tato yang merupakan esensi
dari seni tato modern Indonesia. Kemudian
orang-orang yang bertato mulai membentuk
komunitas yang solid, dan pada 1997 Java Tatto
Club resmi didirikan. Meski sempat mengalami

40 l Kinescope l Desember 2013

banyak rintangan, dan reaksi negatif dari
masyarakat, justru hal itu menurut Athonk
membuat komunitas ini semakin solid. Tahun
demi tahun, Java Tattoo Club menggelar acara
tahunan. “Konsistensi inilah yang membantu
perkembangan seni tato, dan kesadaran
masyarakat untuk menerima tato sebagai aset
budaya,” ungkapnya.
Lois, seorang tattooist dan shop manager
di CarpeDiem TattooStudio berujar bahwa
belakangan ini komunitas tato di Yogyakarta
lebih semangat dan produktif. Semakin banyak

seniman tato muda yang muncul, dan berani
tampil di depan publik dengan karyanya. Selain
menjaga kualitas estetik, perempuan bernama
lengkap Lois Nur Fathiarini ini juga berharap
agar masalah disiplin yang berhubungan dengan
higienisitas harus lebih diperhatikan.
“Mungkin terlihat remeh, tapi seniman tato
juga harus mengedukasi masyarakat tentang
proses tato yang sehat, terutama tentang proses
pembuatannya,” ujar seniman tato yang juga
menjadi penjahit di Stroberi Hitam ini.
Pertama kali Lois berkenalan dengan dunia

kolektor tato pada tahun 2005. Awalnya ia
tidak menyangka kalau komunitas tato di
Yogyakarta itu ternyata besar. Ia memulai
debut di komunitas ini hanya sebagai kolektor.
Dari belasan tato yang terdapat di tubuhnya,
hanya satu orang dari luar Yogya yang karyanya
ada di kulitnya. Lois mengatakan bahwa pada
dasarnya semua scene tato di Indonesia haus
akan kesempatan, “Yaitu kesempatan untuk
memperlihatkan hasil karya, untuk diakui, saling
berkenalan, dan bekerja sama,” kata perempuan
yang aktif di Magic Fingers Syndicate, sebuah
jejaring informasi untuk penggiat handmade ini.
Komunitas tato di Yogyakarta memang
cukup solid, hal tersebut dibuktikan dengan
banyaknya gelaran yang mempertemukan
para penyuka seni tato. Belum lama ini di Oxen
Free, Sosrowijayan, Yogyakarta digelar acara
‘Tattoo For Charity’. Acara ini merupakan ajang
penggalangan dana untuk membantu korban
kecelakaan yang dialami beberapa anggota
komunitas tato. Pada acara yang digelar selama
tiga hari (18-20/9) lalu sejumlah seniman tato
unjuk aksi memamerkan kebolehannya.
Selain itu beberapa musisi juga tampil untuk
ikut serta penggalangan dana, di antaranya
Brilliant, Danu (Morning Horny), Wowok
Erwe, Dendang Kampungan, Dj Metzdub,
dan sebagainya. Sementara seniman lainnya
melelang karya mereka yang penjualannya
diberikan untuk donasi, mereka di antaranya
Love Hate Love, Rubseight, El Kampretoz,
Marmarherz, Metodos, dan lainnya.
Adalah Helly El Mursito selaku penggagas
acara yang ia berinisiatif untuk menggelar
malam penggalangan dana. “Seluruh hasil
kegiatan diserahkan untuk biaya perbaikan,
dan berobat beberapa korban yang mengalami
kecelakaan,” ujar pria yang menjadi seniman
tato sejak 2001 ini.
Sebagai seniman tato, Helly yang memiliki
studio bernama Kerja Keras Kulture (KKK) ini
lebih dikenal dengan gaya ‘Lettering Tattoo’.
Selain menjadi seniman tato, lulusan Desain
Grafis ISI Yogyakarta ini juga dikenal sebagai
pembuat sampul album beberapa band, di
antaranya Dubyouth, dan album terbaru
Superman Is Dead ‘Sunset Di Tanah Anarki’.

Dalam lingkungan urban, orang bertato
seringkali berhadapan dengan administrasi
formal dengan peraturan-peraturan tertentu,
meski ada juga yang fleksibel. Tak jarang
mereka akhirnya menghapus tato di tubuhnya
dengan alasan pekerjaan, maupun beberapa
alasan lainnya. Menurut seniman tato senior,
Athonk Sapto Raharjo, bagi mereka yang ingin
menghapus tatonya seharusnya berpikir lebih
dahulu akan segala dampak dan kemungkinan
buruknya. Sebab, lanjutnya jika ada tato yang
jelek, kemudian dihapus dengan cara yang tidak
benar, justru akan menghasilkan bekas luka yang
lebih jelek juga.
Ada beberapa cara untuk menghapus tato,
di antaranya dengan cara laser, ini pun harus
dengan ahlinya. Athonk juga menjelaskan bahwa
menghapus tato harus dengan ahlinya, terutama
dengan yang memiliki sertifikat dari dinas
kesehatan sebagai penjamin. Ketua Java Tattoo
ini juga menjelaskan, bagi yang bosan dengan
tatonya juga bisa pakai metode cover-up,
artinya tato lama diganti dengan tato yang baru.
“Teknik dan cara ini lebih bagus, karena tidak
meninggalkan bekas luka,” ucapnya.
Di Toxic Tatto Park, studio tato kustom
yang terletak di Jl. Sukonandi II no.9 Semaki
Yogyakarta ini menyediakan jasa untuk
menghapus tato (tattoo removal). Selain itu di
sana juga melayani konsultasi, pengerjaan tato,
dan piercing. Studio milik seniman tato, Munir
Kusranto, dan istrinya Ajenk ini berdiri sejak 9
Juli 2000 . Kurang lebih duabelas tahun mereka
menekuni bidang ini.
Menurut Ajenk tamu yang datang untuk
menghapus tato biasanya karena alasan
pekerjaan, selain itu karena posisi gambar yang
salah, atau gambar yang tidak bagus. Di Toxic
sendiri untuk menghilangkan tato menggunakan
laser, dan Ajenk sendiri yang mengeksekusinya.
“Sebelum ingin menghapus, atau membuat,
kami pasti memberikan konsultasi, dan dampak
terburuk jika tidak bisa melakukan perawatan
sesuai yang dianjurkan,” kata lulusan Fakultas
Seni Rupa ISI Yogyakarta ini.
Meski tato bisa dihapus dengan laser,
namun, lanjut Ajenk, dampak terburuknya

adalah terjadinya keloid, setelah tato dihapus,
maka akan terjadi bekas luka yang akan menjadi
koreng, “Nah biasanya orang kan nggak betah
kalau korengan, gatel, risih, tinggal sabar
atau tidaknya aja,” ucap Ajenk yang beberapa
kali menjadi partisipan pada eksebisi tato di
Australia ini.
Di antara para seniman tato, bisa dibilang
Anneke adalah seniman tato wanita pertama
di Yogya yang mempunyai studio sendiri.
Sebelumnya, Anneke selama tiga tahun bekerja
di studio Eternity Tattoo. Studio Anneke yang
bernama Petrichor Tattoo tersebut terletak di
Jalan Tirtodipuran no 15
Pada Maret lalu, perempuan kelahiran
Bandung, 6 Juni 1985 ini berpartisipasi di event
tattoo performance di Liquid Body Art, dengan
tema Liquor. Di Tattoo Show, karya Anneke
berhasil memenangkan kategori The Best Realist
Tattoo. “Rada ngga nyangka tapi senang banget
soalnya itu penghargaan pertamaku di dunia
tattoo,” ujarnya.
Hal yang menyenangkan lainnya juga terjadi
di Kustomfest beberapa pekan lalu, dimana
Anneke berhasil memenangkan kategori The
Best Black And Grey Tattoo di tato kolaborasi
dengan Mamat yang juga tattooist dari
Yogyakarta. Yang membuatnya lebih puas adalah
desain tato kolaborasi tersebut adalah murni
orisinal buatannya.
Menurut ibu dari Genta Senjakala ini hal
yang perlu diperhatikan bagi seorang seniman
tato adalah bisa menjaga ‘attitude’ (perilaku)
ketika berada di ruang publik, jangan memberi
kontribusi image negatif yang selama ini sudah
melekat di profesi ini. Selain itu seniman tato
juga harus membekali diri dengan edukasi yang
paling mendasar soal personal hygine.
Ke depannya Anneke mengatakan ingin
mencoba menjadi guest artist di studio tato
di kota lain, bahkan di negara lain. Ia juga
menegaskan sebaiknya dipahami bahwa tato
adalah ‘body decoration’ yang seharusnya bisa
mempercantik tubuh, “Bukan menghambat laju
karir dan kehidupan. Jadi keputusan yang bijak
sangat disarankan,” ucapnya tersenyum.

Desember 2013 l Kinescope l 41
Kinescope Magz Edisi 5
Kinescope Magz Edisi 5
Kinescope Magz Edisi 5
Kinescope Magz Edisi 5
Kinescope Magz Edisi 5
Kinescope Magz Edisi 5
Kinescope Magz Edisi 5
Kinescope Magz Edisi 5
Kinescope Magz Edisi 5
Kinescope Magz Edisi 5
Kinescope Magz Edisi 5
Kinescope Magz Edisi 5
Kinescope Magz Edisi 5
Kinescope Magz Edisi 5
Kinescope Magz Edisi 5
Kinescope Magz Edisi 5
Kinescope Magz Edisi 5
Kinescope Magz Edisi 5
Kinescope Magz Edisi 5
Kinescope Magz Edisi 5
Kinescope Magz Edisi 5
Kinescope Magz Edisi 5
Kinescope Magz Edisi 5
Kinescope Magz Edisi 5

More Related Content

Similar to Kinescope Magz Edisi 5

Kinescope 1st Edition.. #Ganbatte
Kinescope 1st Edition.. #GanbatteKinescope 1st Edition.. #Ganbatte
Kinescope 1st Edition.. #Ganbatte
Kinescope Indonesia
 
INDIELANE MAGAZINE
INDIELANE MAGAZINEINDIELANE MAGAZINE
INDIELANE MAGAZINE
Gladys AdityaFitriani
 
Dian sastrowardoyo
Dian sastrowardoyoDian sastrowardoyo
Dian sastrowardoyo
ayundacamelia
 
Majalah Film KO-Magz Maret 2022
Majalah Film KO-Magz Maret 2022Majalah Film KO-Magz Maret 2022
Majalah Film KO-Magz Maret 2022
DewiPuspa22
 
Manajemen Bisnis Media - Industri Musik dan Film Indonesia
Manajemen Bisnis Media - Industri Musik dan Film IndonesiaManajemen Bisnis Media - Industri Musik dan Film Indonesia
Manajemen Bisnis Media - Industri Musik dan Film Indonesia
Revinda Rahmania
 
Resensi film Soegija
Resensi film SoegijaResensi film Soegija
Resensi film Soegija
Alvin Agustino Saputra
 
Kick andy kumpulan kisah inspiratif
Kick andy   kumpulan kisah inspiratifKick andy   kumpulan kisah inspiratif
Kick andy kumpulan kisah inspiratif
Shalehudin Al Khalili
 
Kosa Kata Dalam Bahasa Indonesia Salasun ICP`12 STAIN Salatiga
Kosa Kata Dalam Bahasa Indonesia Salasun ICP`12 STAIN SalatigaKosa Kata Dalam Bahasa Indonesia Salasun ICP`12 STAIN Salatiga
Kosa Kata Dalam Bahasa Indonesia Salasun ICP`12 STAIN SalatigaAbdul Rosyid
 
Tokoh public speaker yang uniq || raditya dika
Tokoh public speaker yang uniq || raditya dikaTokoh public speaker yang uniq || raditya dika
Tokoh public speaker yang uniq || raditya dika
KANCILJAWAID
 
Selasar edisi 11
Selasar edisi 11Selasar edisi 11
Selasar edisi 11
Jaringan GusDurian
 

Similar to Kinescope Magz Edisi 5 (11)

Kinescope 1st Edition.. #Ganbatte
Kinescope 1st Edition.. #GanbatteKinescope 1st Edition.. #Ganbatte
Kinescope 1st Edition.. #Ganbatte
 
INDIELANE MAGAZINE
INDIELANE MAGAZINEINDIELANE MAGAZINE
INDIELANE MAGAZINE
 
Dian sastrowardoyo
Dian sastrowardoyoDian sastrowardoyo
Dian sastrowardoyo
 
Majalah Film KO-Magz Maret 2022
Majalah Film KO-Magz Maret 2022Majalah Film KO-Magz Maret 2022
Majalah Film KO-Magz Maret 2022
 
Manajemen Bisnis Media - Industri Musik dan Film Indonesia
Manajemen Bisnis Media - Industri Musik dan Film IndonesiaManajemen Bisnis Media - Industri Musik dan Film Indonesia
Manajemen Bisnis Media - Industri Musik dan Film Indonesia
 
Resensi film Soegija
Resensi film SoegijaResensi film Soegija
Resensi film Soegija
 
Finding Srimulat Proposal
Finding Srimulat ProposalFinding Srimulat Proposal
Finding Srimulat Proposal
 
Kick andy kumpulan kisah inspiratif
Kick andy   kumpulan kisah inspiratifKick andy   kumpulan kisah inspiratif
Kick andy kumpulan kisah inspiratif
 
Kosa Kata Dalam Bahasa Indonesia Salasun ICP`12 STAIN Salatiga
Kosa Kata Dalam Bahasa Indonesia Salasun ICP`12 STAIN SalatigaKosa Kata Dalam Bahasa Indonesia Salasun ICP`12 STAIN Salatiga
Kosa Kata Dalam Bahasa Indonesia Salasun ICP`12 STAIN Salatiga
 
Tokoh public speaker yang uniq || raditya dika
Tokoh public speaker yang uniq || raditya dikaTokoh public speaker yang uniq || raditya dika
Tokoh public speaker yang uniq || raditya dika
 
Selasar edisi 11
Selasar edisi 11Selasar edisi 11
Selasar edisi 11
 

More from Kinescope Indonesia

Membangun Revolusi Mental Berbasis Inteligence, Emotional dan Spiritual Quotient
Membangun Revolusi Mental Berbasis Inteligence, Emotional dan Spiritual QuotientMembangun Revolusi Mental Berbasis Inteligence, Emotional dan Spiritual Quotient
Membangun Revolusi Mental Berbasis Inteligence, Emotional dan Spiritual Quotient
Kinescope Indonesia
 
Hr cost reduction strategy
Hr cost reduction strategyHr cost reduction strategy
Hr cost reduction strategy
Kinescope Indonesia
 
Peran Budaya Kerja Syariah Dalam Membangun Kinerja
Peran Budaya Kerja Syariah Dalam Membangun KinerjaPeran Budaya Kerja Syariah Dalam Membangun Kinerja
Peran Budaya Kerja Syariah Dalam Membangun Kinerja
Kinescope Indonesia
 
Effective Interview
Effective InterviewEffective Interview
Effective Interview
Kinescope Indonesia
 
Corporate & Anti-fraud Culture
Corporate & Anti-fraud CultureCorporate & Anti-fraud Culture
Corporate & Anti-fraud Culture
Kinescope Indonesia
 
Edisi 8 Majalah Kinescope Indonesia
Edisi 8 Majalah Kinescope IndonesiaEdisi 8 Majalah Kinescope Indonesia
Edisi 8 Majalah Kinescope Indonesia
Kinescope Indonesia
 
KinescopeMagz Edisi 6
KinescopeMagz Edisi 6KinescopeMagz Edisi 6
KinescopeMagz Edisi 6
Kinescope Indonesia
 

More from Kinescope Indonesia (7)

Membangun Revolusi Mental Berbasis Inteligence, Emotional dan Spiritual Quotient
Membangun Revolusi Mental Berbasis Inteligence, Emotional dan Spiritual QuotientMembangun Revolusi Mental Berbasis Inteligence, Emotional dan Spiritual Quotient
Membangun Revolusi Mental Berbasis Inteligence, Emotional dan Spiritual Quotient
 
Hr cost reduction strategy
Hr cost reduction strategyHr cost reduction strategy
Hr cost reduction strategy
 
Peran Budaya Kerja Syariah Dalam Membangun Kinerja
Peran Budaya Kerja Syariah Dalam Membangun KinerjaPeran Budaya Kerja Syariah Dalam Membangun Kinerja
Peran Budaya Kerja Syariah Dalam Membangun Kinerja
 
Effective Interview
Effective InterviewEffective Interview
Effective Interview
 
Corporate & Anti-fraud Culture
Corporate & Anti-fraud CultureCorporate & Anti-fraud Culture
Corporate & Anti-fraud Culture
 
Edisi 8 Majalah Kinescope Indonesia
Edisi 8 Majalah Kinescope IndonesiaEdisi 8 Majalah Kinescope Indonesia
Edisi 8 Majalah Kinescope Indonesia
 
KinescopeMagz Edisi 6
KinescopeMagz Edisi 6KinescopeMagz Edisi 6
KinescopeMagz Edisi 6
 

Kinescope Magz Edisi 5

  • 1. Kinescope F i l m , S e n i & E d u k a s i free magazine - edisi 5 - DESEMber 2013 Desember 2013 l Kinescope l 1
  • 2. 2 l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l 3
  • 3. Cover Story 10 Review Singkat 4 Dasawarsa Film Indonesia profile 14 Slamet Rahardjo Daftar isi 30 REVIEW 18 soekarno 20 Sagarmatha 24 isyarat 26 make money 28 Killer Toon 32 HOURS Snowpiercer Opini 34 OPINIFilm, Kritik dan Logika 36 Dari Memoar ke Layar Lebar 38 Tattoo dan Subkultur Kaum Urban FESTIVAL Addie MS 66 42 Festival Film Dokumenter 2013 44 Festival Teater Jakarta 2013 46 Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2013 74 Henri Bergson 47 Makassar Film Festival 2013 48 Science Film Festival 2013 52 Jogja Cinephilia 2013 SEJARAH 54 Sejarah Festival Film Indonesia:Merajut Pertemuan Pembuat Dan Penonton Film behind the scene 58 comic 8 Film COMIC 8 yg ber-genre ACTIONCOMEDY ini bercerita tentang delapan anak muda dari berbagai macam background dan kisah hidup masing-masing, yang secara kebetulan merampok sebuah bank dalam waktu bersamaan. liputan 62 Nonton Bareng: Film Adriana 63 Nonton Bareng: Film King of Rock City 64 MISBAR Kineforum: Upaya Kreatif Ciptakan Ruang Alternatift Untuk Film Indonesia 4 l Kinescope l Desember 2013 music 68 kla poject 25 Tahun KLa Project ‘Mendentum’ Jakarta KOMUNITAS 78 Gudangfilm Cinta Film LokalInternasional DESTINATION 80 Vogels Hostel Hangat dan Bersahabat SENI 82 Tato Dayak Kalimantan Seni merajah tubuh atau tato adalah bagian dari kebudayaan tradisional. Diantara daerah Nusantara yang terkenal dengan seni tatonya adalah suku Dayak di Kalimantan. Bagi budaya Dayak seni tato telah menjadi ciri khas dan identitas masyarakatnya. Berbicara tentang kebudayaan Dayak, kita tidak bisa melepaskannya dari alam, terutama hutan. Desember 2013 l Kinescope l 5
  • 4. f i l m , s e n i & P Penasehat Redaksi Farid Gaban Tino Saroengallo Andi Bachtiar Yusuf Wanda Hamidah Faisal Basri Pemimpin Umum Hasreiza Pemimpin redaksi Reiza Patters Redaktur Bentar Kurniawan Rian Samin Kontributor Shandy Gasella Wella Sherlita Daniel Irawan Daniel Rudi Haryanto Pejred Rohman Sulistiono Novita Rini Thea Fathanah Arbar Suluh Pamuji Desain Grafis & Tata Letak al Fian adha Artistik & Editor Foto Rizaldi Fakhruddin Fotografer Hery Yohans Penjualan & Pemasaran Ollivia Selagusta Community Development Jusuf Alin Lubis Distribusi & Sirkulasi Faisal Fadhly subScriptions Pusat Meditasi Satria Nusantara Jl. RS Fatmawati No. 110A Jakarta selatan Indonesia www.kinescopeindonesia.com info@kinescopeindonesia.com iklan@kinescopeindonesia.com redaksi@kinescopeindonesia.com langganan@kinescopeindonesia.com @KinescopeMagz 6 l Kinescope l Desember 2013 Salam Redaksi e d u k a s i erkembangan Film nasional, memang mengalami pasang surut. Dari masa kejayaan pada tahun 70-80an hingga masa yang dianggap mati suri, tahun 90-2000an awal. Semua insane perfilman nasional mengamini dan bersepakat tentang masa-masa itu. Namun pertanyaannya, apa sebabnya? Mengapa kita diam saja? Sebetulnya, anggapan bahwa tidak ada pergerakan apa-apa, itu merupakan kesalahan besar dan kemalasan mencari tahu. Karena sebetulnya, sudah banyak inisiatif-inisiatif untuk berusaha menyemarakkan perfilman nasional dan penyelamatan budaya kegemaran menonton. Namun, dukungan dari pengambil kebijakan dan amplifikasi media, tidaklah cukup maksimal diberikan pada inisiatif-inisiatif itu. Yang menarik di tahun 2013 ini, semakin berjamurnya komunitas penonton dan penggemar film, baik film lokal maupun internasional, festival-festival film yang semakin marak di berbagai daerah, film-film nasional yang diproduksi dengan mempertaruhkan kualitas dan menambah kuantitas, ini sedang berproses menuju era kebangkitannya. Dari sisi kualitas dan kuantitas, filmfilm nasional yang diproduksi pada tahun 2013 ini, sudah mendekati apa yang pernah terjadi pada masa kejayaan film nasional pada tahun 1970-1980an. Dan ini sebuah situasi yang cukup memberi harapan sekaligus menggembirakan. Uniknya, beberapa film nasional yang diproduksi dengan sangat serius, justru banyak yang dirilis menjelang tutup tahun. Entah kenapa dan apa motifnya, fakta itu terjadi. Bagaimana film “Sagarmatha” dan “Sokola Rimba” yang kualitasnya sangat baik, tidak mendapatkan publikasi yang cukup karena tertutup oleh fenomena film “Soekarno” dengan segala konflik yang menyertainya. Ya, karena rilis film-film tersebut pada waktu yang sangat berdekatan. Sedikit disayangkan, karena nilai edukatif yang ada dalam film-film yang sebetulnya bagus, tidak terdistribusi merata, karena tertutup oleh film yang lain. Positifnya, film-film nasional pada tahun 2013 ini bisa dibilang mengedepankan kualitas, dan ini mencerahkan. Kita berharap, semoga apa yang terjadi di tahun 2013 ini, bisa berlanjut terus di tahun 2014, walaupun mungkin kejadian seperti fenomena tahun 2013 ini akan terjadi lagi, yaitu menumpuknya film-film nasional yang berkualitas di penghujung tahun. Ya, karena perhelatan besar politik nasional juga akan berlangsung di tahun 2014 ini. Semoga saja semangat memproduksi dan menonton film nasional di tahun 2014 dan seterusnya akan bisa melebihi apa yang terjadi di tahun 2013 ini. Ya, semoga. Cover Story Review Singkat 4 Dasawarsa Film Indonesia “Menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa tayangan film yang beredar luas itu benarbenar memberikan edukasi yang baik namun tidak meninggalkan sisi hiburan (entertaining).” Desember 2013 l Kinescope l 7
  • 5. ON PRODUCTIONS Toilet Blues A 2014 Film Schedule Desember 2013 njani (Shirley Anggraini) kabur dari rumah setelah ia dituduh terlibat dalam tindak asusila dengan teman laki-lakinya. Ia mengikuti Anggalih (Tim Matindas), teman laki-laki dekatnya dari SMP yang sedang berjalan ke Seminari Katolik setelah liburan sekolah selesai. Dalam perjalanannya, ayah Anjani yang berkuasa mengirim Ruben (Tio Pakusadewo), investigator berandal, untuk membawa Anjani pulang. Ruben membuntuti, membujuk dan memperdaya Anjani dengan cara iblis. Toilet Blues adalah pertanyaan benar dan salah, surga dan neraka yang tidak selalu dimainkan untuk umum, seperti halnya grafiti serampangan yang ada di toilet umum yang dikunjungi Anjadi dalam perjalanannya dengan Anggalih. Film Indonesia Desember Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Nusantara 1930. Dari tanah kelahirannya, Makasar, Zainuddin berlayar menuju tanah kelahiran ayahnya di Batipuh, Padang Panjang. Di sana ia bertemu Hayati. Kedua muda-mudi itu jatuh cinta. Tapi, adat menghalangi. Zainuddin hanya seorang melarat tak berbangsa, sementara Hayati perempuan Minang keturunan bangsawan. Lamaran Zainuddin ditolak keluarga Hayati. Hayati dipaksa menikah dengan Aziz, laki-laki kaya berbangsa yang memang ingin menyuntingnya. Zainuddin memutuskan merantau ke tanah Jawa. Zainudin bekerja keras dan menjadi penulis terkenal. Dalam sebuah pertunjukan opera, Zainuddin kembali bertemu Hayati bersama Aziz, suaminya. Kisah cinta Zainuddin dan Hayati menemui ujian terberatnya dalam sebuah tragedi pelayaran kapal Van Der Wijck. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 9 Cahaya di Langit Eropa 9 Tayang 5 Desember 2013 Soekarno Tayang 11 Desember 2013 Isyarat Tayang 12 Desember 2013 Mengejar Setan Tayang 19 Desember 2013 Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Tayang 24 Desember 2013 Laskar Pelangi 2: Edensor Tayang 24 Desember 2013 lank Nggak Ada Matinya S Tayang 24 Desember 2013 R Let’s Play, Ghost L ima sahabat remaja: Natasha si pemberani, Diana si pesolek, Davina si lugu, Kathy si penyair gagal, dan Rhonda si waria sableng berlibur ke sebuah vila terpencil di Puncak berdasarkan iklan internet. Mereka tidak tahu, bahwa di tempat itu sebelumnya pernah terjadi serentetan kematian misterius. Sejak awal kedatangan, mereka disambut dengan sikap memusuhi dari para pembantu. Kathy berhasil mengetahui cerita legenda dari seorang pembantu yang diam-diam naksir padanya. “Sesuatu yang jahat“ akan muncul bila ada yang menyebutkan kalimat, “Let’s Play!“ sebanyak lima kali. Tidak percaya pada mitos ini, saat bermain Truth or Dare, para remaja menantang Rhonda untuk menyebut kalimat itu. Sang hantu terusik dan ia mulai mengajak main seluruh penghuni yang datang, satu demi satu. Dan ia tidak ingin selesai bermain sampai semuanya menemui ajal. icky Bagaskoro (Rizky Nazar), pelajar SMA tingkat akhir, mengalami dilema: mengejar mimpinya menjadi pengajar bagi anak-anak terlantar atau mengikuti keinginan ayahnya, Bagas Notolegowo (Ray Sahetapy), untuk meneruskan pendidikan setinggi-tingginya. Bagas berharap Ricky akan mengikuti jejaknya menjadi politikus. Bagas sedang berjuang menjadi presiden Indonesia periode 20142019 menggantikan Presiden Jusuf Syahrir (Deddy Sutomo). Kesibukannya membuat hubungannya dengan Ricky menjadi renggang. Ricky sama sekali tidak setuju dengan langkah ayahnya. Ningrum (Donna Harun), sebagai ibu dan istri yang setia, selalu berusaha menyatukan mereka. Persaingan menuju kursi kepresidenan sangat ketat antara Bagas Notolegowo, Faisal Abdul Hamid (Rudy Salam) dan Syamsul Triadi (Akri Patrio). Bagas kurang waspada. Satu keputusan sederhananya membuat semua impiannya porak-poranda. Kehancuran Bagas membangkitkan keingintahuan Ricky untuk menelusuri kasus tersebut. Upaya ini mempertemukan Ricky dengan Khrisna Dorojatun (Donny Damara), pengacara idealis. Selain itu Ricky juga mulai dekat dengan Laras (Maudy Ayundya), anak Khrisna Dorojatun. Kasus ini mempertautkan hati Laras pada Ricky. Dari perjalanan yang mereka lalui, timbul kepercayaan Laras kepada Ricky, walaupun usia Ricky lebih muda. Ricky dan Laras kerap kali merepotkan pihak kepolisian, terutama Iptu Astri (Atiqah Hasiholan), karena kecerobohan-kecerobohan mereka dalam penyelidikan. Kehidupan keduanya terancam. Ternyata ada pihak ketiga yang terlibat pada kasus ini. Khrisna memperkirakan bahwa pihak ketiga tersebut adalah kekuatan besar. Pertanyaan Ricky pada Khrisna: “Jika Presiden, gak mau Papa jadi Presiden? Apa alasannya?” Atau memang benar Bagas bersalah, karena ambisinya dia mampu melakukan segala hal? Ada satu tokoh lagi: Satria (Rio Dewanto), pria muda yang selalu berada pada banyak tempat. 8 l Kinescope l Desember 2013 Laskar Pelangi 2: Edensor Ikal dan Arai berhasil mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Sorbone Paris. Kedatangan mereka di Eropa disambut cuaca dingin. Mereka harus terlunta-lunta karena tidak diterima di tempat tinggal sementara, karena terlambat datang dan tidak memberitahu sebelumnya. Tubuh Ikal membeku. Arai berusaha untuk menyelamatkan dengan mengubur Ikal dalam tumpukan humus. Menjalani hari-hari di Sorbone mereka duduk tepat disebelah Manooj, Gonjales dan Ninocchka. Mereka tergabung dalam Pathetic Four, kelompok paling terbelakang dan harus mengejar ketertinggalan. Mereka bekerja keras apa saja: menjadi pelayan hingga mengamen di jalanan, agar bisa mengirimi uang untuk orang tua mereka di Belitung. Ayah Ikal menyurati mereka dan berharap, anaknya bisa menjadi ahli pupuk dan apoteker. Ikal dan Arai terlanjur punya mimpi lain. Sementara itu, Katya, mahasiswi di kampus sama, memilih Ikal jadi pacarnya. Ikal merasa bersalah. Ia merasa telah menodai perasaannya pada Aling. Situasi itu membuat Ikal tidak lagi fokus belajar. Terbukti, nilai ujian tengah semester Ikal hancur. Pertentangannya dengan Arai membuat dua sahabat ini berbeda langkah. Desember 2013 l Kinescope l 9
  • 6. COVER STORY Review Singkat 4 Dasawarsa Film Indonesia “Menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa tayangan film yang beredar luas itu benar-benar memberikan edukasi yang baik namun tidak meninggalkan sisi hiburan (entertaining).” Reiza Patters 10 l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l 11
  • 7. COVER STORY P roduksi Film Indonesia mengalami pasang surut dari tahun ke tahun. Namun begitu, sebetulnya Film Indonesia pernah mengalami puncak masa kejayaan, yaitu pada era tahun 1970-an. Kala itu film Indonesia menguasai pasar dan menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Produksi film Indonesia begitu besar, dengan puncaknya pada tahun 1977, 367 buah film diproduksi dalam setahun. Hampir setiap film yang diproduksi, meledak dan selalu menguasai layar pertunjukan. Hampir semua genre film, mulai dari percintaan, silat, hingga komedi, semuanya diserbu penonton. Namun film percintaan nampak memimpin dengan bintang-bintang film kenamaan yang stereotype seperti Roy Martin, Robby Sugara, Yati Octavia, Yeny Rachman, dan Doris Callebaut yang ketika itu dikenal sebagai the Big Five. Kejayaan film percintaan ketika itu ditingkah oleh film musikal Rhoma Irama yang setiap kemunculannya selalu mencengangkan penonton dan masuk box office selama berminggu-minggu. Pada akhir tahun 1970-an hingga awal tahun 1980-an, film-film bertema percintaan remaja mulai menguasai, dengan ditandai 12 l Kinescope l Desember 2013 oleh meledaknya film Gita Cinta dari SMA pada tahun 1979. Jenis film percintaan remaja ini meledak dengan bintang-bintang yang ketika itu juga remaja. Selain Rano Karno dan Lydia Kandow, tercatat pula Yessy Gusman, Herman Felani, Anita Carolina, Kiki Maria, dan lain-lain. Kejayaan film percintaan remaja ini ditingkahi oleh film-film komedi Warkop DKI dengan debutnya Mana Tahaan yang meledak dahsyat pada tahun 1977.  Awal tahun 1980-an adalah masa kejayaan film-film percintaan remaja dan komedi Warkop DKI.  Mulai tengah tahun 1980-an film-film model Si Boy mengambil alih, dimulai dengan film Catatan Si Boy yang meledak pada tahun 1987 dengan melejitkan nama Onky Alexander. Namun, sejak krisis ekonomi pada akhir tahun 1997 dan awal 1998, produksi film Indonesia mengalami penurunan. Setelah lebih dari sepuluh tahun perfilman Indonesia dianggap mengalami situasi mati suri sejak mengalami krisis hebat tahun 1991 akibat semakin populernya televisi yang menawarkan tayangan sinetron, film Indonesia dianggap mulai kembali menggeliat dan bangkit kembali pada tahun 2002. Data dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menyebutkan, mulai tahun 2002 jumlah produksi film naik menjadi 9 buah atau naik 5 buah dari tahun sebelumnya. Angka produksi tersebut terus naik hingga pada tahun 2005 dan 2006 menjadi 33 buah. Kemudian pada tahun 2007 dan 2008 masih mengalami kenaikan masing-masing 53 buah dan 75 buah. Kemudian pada tahun 2012, produksi film juga meningkat, dengan judul film yang dirilis adalah 90 judul. Pada periode Januari - pertengahan Mei 2013, sudah ada 44 judul yang dirilis, sementara pada periode yang sama tahun 2012 hanya ada 40 judul. Namun, geliat peningkatan produksi film Indonesia yang terlihat sejak tahun 2002 itu, lebih banyak didominasi oleh film-film yang memiliki isi cerita yang mengumbar birahi dan eksploitasi seksualitas, baik dalam film yang memang bertema percintaan maupun horror dan komedi. Memang, dalam rangka melejitkan dunia perfilman Indonesia dan menarik minat masyarakat, tema-tema horor, seks, cinta, kekerasan, dan komedi menjadi tema yang mendominasi. Di dalam buku Menjegal Film Indonesia: Pemetaan Ekonomi Politik Industri Film Indonesia karya Eric Sasono dan kawankawan (2011), tercatat bahwa memasuki abad 20-an, setelah film Petualangan Sherina (2000) berakhir, dimulailah tren film dengan berbagai tema, seperti Jelangkung (2001) yang dianggap sebagai tonggak tren film horor remaja. Kemudian, Ada Apa dengan Cinta? (2002) yang menjadi piranti awal tren film percintaan. Lantas, muncul film-film seperti Tusuk Jelangkung (2003), Eiffel I’m in Love (2003), Di Sini Ada Setan (2004), Arisan! (2004), dan lainnya. Buku ini juga mencatat bahwa produksi film yang memiliki tema-tema seperti itu, terus meningkat pada 2007–2011. Bahkan, film Indonesia pernah menggunakan bintang porno internasional sebagai kosmetik, misalnya film Menculik Miyabi (2010) dengan tokoh utama bintang porno Maria Ozawa. Di dalam buku itu, secara gamblang dikemukakan tentang buramnya perfilman Indonesia. Misalnya tentang penggunaan bintang luar negeri, yang sebetulnya bukan hal baru dalam perfilman nasional. Pada era 1980-an, banyak bintang film asing yang berakting di film nasional. Misalnya Kristina E Weitz dalam film Permainan Tabu (1984) dalam genre film komedi-seks. Kemudian Barbara Constable dalam film Pembalasan Ratu Laut Selatan (1988), sebuah film yang bergenre horor laga seks. Namun begitu, kenyataan tentang penggunakan bintang porno hingga mendominasinya film-film seks, horor, cinta, dan kekerasan, tampaknya dengan sengaja dipakai produser film sebagai promosi untuk menjalankan politik ekonomi dalam industri film Indonesia. Terbukti, film-film yang mengumbar birahi seperti film Menculik Miyabi berhasil menyedot penonton sebanyak 447.453. Hasil penelitian yang dicatat oleh buku ini juga menemukan perkembangan tren baru terkait dengan bioskop. Bagaimana sebuah proses perubahan besar dalam perkembangan bioskop terjadi dan sebetulnya mempengaruhi pula pola perilaku penonton film di Indonesia. Hal ini ditandai dengan semakin mewahnya bioskopbioskop grup 21 yang dibangun di dalam mal. Akibatnya, kegiatan menonton film menjadi sangat terbatas karena berubah menjadi gaya dan tren hidup kelas atas. Hal tersebut jelas berbeda dengan kondisi bioskop sebelumnya yang lebih banyak berdiri dengan gedung sendiri dan tidak tersekat oleh status sosial ekonomi penonton film Indonesia. Kita masih ingat, bagaimana pada era 1980-an, bioskop masih berada di berbagai daerah dan lokasi, bahkan dalam lokasi Pasar Jaya, dan yang fenomenal sebetulnya adalah kegiatan layar tancap. Memang tidak mudah untuk menjawab persoalan yang membelit dunia perfilman Indonesia. Persoalan-persoalan yang ada bukanlah persoalan yang sederhana. Sebut saja misalnya persoalan tata edar film di bioskop dan masalah bioskop yang kurang mendapat dukungan pemerintah. Dengan kondisi ini, diprediksikan dari 600 layar bioskop yang ada di Indonesia, 100 layar akan hilang pada tahun depan. Selain itu, masalah kualitas film yang masih rendah. Pihak produsen seolah hanya mengharapkan keuntungan semata. Tema-tema film yang beredar masih seputar komedi, seks, musik, dan horror dan ini menjadi alas an pembenaran argumen. Memang, jumlah produksi film terus meningkat. Bahkan, ada sekitar 140 film yang hadir di bioskop dalam satu tahun. Namun terkait dengan kualitas film yang beredar secara dominan, persoalan kualitas tersebut menjadi persoalan yang serius. Adegan-adegan syur seperti ciuman dan adegan “panas” lainnya digunakan para produser film untuk mendongkrak popularitas film dengan tujuan utama ingin meraup keuntungan. Para produser berdalih ingin menggambarkan fenomena sebenarnya yang terjadi di masyarakat yang tujuannya untuk memberitahukan kepada para orang tua tentang pergaulan bebas yang terjadi di kalangan remaja sekarang ini. Namun, pada kenyataannya justru adegan ciuman bibir atau bahkan free sex menjadi semakin populer dan dianggap biasa dan wajar oleh para anak muda di negeri ini. Kita semua mahfum bahwa film adalah media komunikasi massa yang memiliki pengaruh sangat besar dalam memberikan hiburan, edukasi, serta mempengaruhi pola budaya masyarakat. Oleh karena itu, menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa tayangan film yang beredar luas itu benar-benar memberikan edukasi yang baik namun tidak meninggalkan sisi hiburan (entertaining). Film yang menampilkan budaya asli Indonesia, film yang mampu membangkitkan rasa nasionalisme bangsa, film yang mampu menjadikan eksotisme Negara kepulauan ini dikenal dunia, serta dan film-film mendidik lainnya, sudah seharusnya mendapatkan perhatian yang lebih dan menjadi tujuan utama produsen film, tidak hanya untuk mencari keuntungan pribadi semata. Sehingga suatu saat, kita bisa merasakan manfaat prinsipil dari tayangan film, yaitu bisa mengubah kondisi dan pola budaya bangsa Indonesia sekarang ini, menjadi lebih baik di masa depan. Ayo Bung Rebut Kembali! Desember 2013 l Kinescope l 13
  • 8. Interview bentAR Kurniawan Slamet Rahardjo Bicara Kecintaannya pada tanah air Indonesia makin tertanam di dalam lubuk sanubari pria kelahiran Serang Banten, 21 Januari 1949. Di dunia teater, Slamet Rahadjo sangat aktif membangun citra seni bumi pertiwi sejak ia bergabung di sanggar Teater Populer bersama Teguh Karya (alm). Kakak dari sang politikus Eros Djarot ini mengatakan bahwa masyarakat Indonesia pecinta seni, sebagian tersesat. S ejak kecil, Memet, nama panggilan kesayangan Slamet Rahardjo, tidak pernah terlintas untuk aktif dan menekuni dunia akting. Ketika ia duduk di kursi sekolah, ia paling anti untuk deklamasi alias main sandiwara. Justru ia bercitacita menjadi seorang penerbang, yang ingin melintas dan mengelilingi dunia. Sayangnya, ketika ia lulus SMA tahun 1967 di Yogyakarta, cita-cita tersebut kandas akibat tidak lulus tes. Tidak jelas apa yang menjadi kendalanya saat itu, apakah di tes IQ ataukah di tes bagian fisiknya yang kurang memadai. Hikmahnya, di balik ketidaklulusannya tersebut, memang sang ayah tidak merestui putra pertamanya ini menjadi Pilot. Hal ini bukan menjadi kendala baginya. Pilihannya jatuh pada Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI). Alasan memilih ATNI karena sejak kecil darah seni sang Bunda telah tertanam dalam dirinya. Lagilagi, keberuntungan tidak datang untuk dirinya. Memet merupakan angkatan terakhir yang tidak lulus akibat vakumnya kampus tersebut. 14 l Kinescope l Desember 2013 Untuk meneruskan perjuangannya di bidang seni, ia meneruskan menuntut ilmu di Akademi Film Nasional Jayabaya. Di sini pun ia tak sampai tamat, akibat berselisih dengan seorang dosen. Ia tidak patah arang dan pupus perjuangan. Ia harus meraih apa yang ingin di inginkannya. Kemudian ia mendaftarkan diri di Sanggar Teater Populer. Teater yang benar popular pengelolaannya di bawah pengawasan almarhum Teguh Karya. Anak Mayor udara dan cucu Asisten Bupati Serang ini akhirnya bergabung di sanggar Teater Populer pada tahun 1969, yang saat itu posisinya sebagai anak bawang. Seksama dan rajin memperhatikan apa yang diberikan oleh pembimbingnya, Teguh Karya, ia naik panggung dalam pertunjukan drama Pernikahan Darah, Kopral Woyzek dan Perhiasan Gelas. Dua tahun kemudian, ia kembali dipercaya Teguh Karya, sang guru, untuk membintangi Wadjah Seorang Lelaki. Setelah tiga tahun bergelut di dunia film dan bergabung di Sanggar Teater Populer, tahun 1974, namanya dipanggil ke Podium. Ia meraih penghargaan sebagai Aktor Terbaik pada Festival Film Indonesia (FFI). Piala FFI tersebut diberikan kepadanya berkat aktingnya yang lihai di film Ranjang Pengantin. Perkawinan Dalam Semusim, Badai Pasti Berlalu dan November 1828, adalah film-film yang ia lakoni berikutnya. Di sinilah Memet banyak mendapatkan ilmu seni yang bermanfaat untuknya hingga menjadi Maestro di bidang seni dan kebudayaan. Beberapa kali ia meraih penghargaan. Rembulan dan Matahari yang meraih tiga piala citra FFI tahun 1980, Sutradara terbaik FFI 1985 di film Kembang Kertas, Langitku Rumahku menang di Festival International Des Trois Continent, Nantes, Perancis (1990). Penghargaan berikutnya, yaitu pada tahun 1991, di raih dalam film Langitku Rumahku. Film ini meraih Best Children Film, Melbourne Film Festival. Lalu tak kurang, penghargaan seperti Sutradara Terbaik Bali International Film Festival (2003) dan Satya Lencana Kebudayaan RI (2004). Kemudian Film Dokumenter Kantata Takwa, yang dibuat bersama Erros Djarot, meraih penghargaan Golden Hanoman dan Geber Award pada Jogja Netpac Asian Film Festival 2008, Anugerah Akademi Jakarta 2008 serta Anugerah Federasi Teater Indonesia 2009. Memet, putra dari Djarot Djojoprawiro dan Ennie Tanudiredja, selain menjadi kebanggan keluarganya, juga mempunyai kegiatan yang banyak dibutuhkan orang lain. Ilmu yang di dapatkannya, ia sumbangkan sebagai Dosen Penyutradaraan FFTV, IKJ dan Ketua Yayasan Teater Populer. Jiwa Seni dan Pemimpin Jiwa seni yang tertanam di dirinya berasal dari ibu. Pekerjaan Sang Bunda itu hanya sebagai pemahat dan pelukis. Sedangkan jiwa kepemimpinannya di dapatkan dari ayahnya. Sang ayah berpesan bagaimana menjadi seorang lelaki yang baik. Jadi pemimpin itu nomor dua, bukan nomor satu. Jadilah seorang lelaki yang bertanggung jawab. Dan, jika sudah menjadi pemimpin, jangan merasa menjadi pemimpin, jiwa rendah hati dan saling hormat menghormati harus diwujudkan. Dapat mengerem kemauan di dalam dirinya. Harus mengutamakan rakyatnya. “Contohnya, warisan dan harta yang dimiliki bapak saya tidak pernah di urus. Ketika saya tanyakan, bagaimana dengan tanah yang masih ada? Bagaimana dengan suratnya? Ayah saya menjawab, itu sudah milik Tuhan,” ingat Slamet atas perkataan ayahnya. Pembentukan-pembentukan inilah yang ia dapatkan. Ia tidak merasa diajarkan oleh kedua orangtuanya. Ketika itu, ia hanya melihat pekerjaan yang dijalankan kedua panutannya itu. Misalnya lagi, ia mencontohkan, kayu yang tidak indah menjadi indah atas pahatan sang Bunda. Hal-hal kecil inilah yang membawa keberhasilan. Ternyata, sebuah pemikiran yang diperlukan. Imajinasi yang positif juga tidak boleh di tinggalkan. “Dari sinilah timbul kepercayaan pada diri saya bahwa kehidupan itu luar biasa. Kehidupan itu indah, berkah bisa menjadi musibah, jika tidak pandai mengendalikan. Begitu juga musibah bisa menjadi berkah jika tahu hikmahnya. Tiba-tiba ada frame-nya. Frame yang saya rasakan yaitu kesenian. Seniman itu dilarang bodoh,” tutur Slamet. Seiring dengan perkembangan jati dirinya, Slamet memperoleh isyarat, kenapa Ki Hajar Dewantara memakai nama Taman Siswa, bukan Sekolah Siswa. Baginya, Taman itu tidak ada dinding. Lepas, dapat melihat bebas. Maknanya jelas, bila belajar menjadi hanya membaca apa yang diajarkan oleh guru jika dinamakan Sekolah Siswa. Berbeda dengan makna Taman Siswa, semua yang dilihat, dapat menjadi guru, lebih luas. Dengan demikian ilmu yang di dapatkan akan lebih banyak lagi. “Kaji terus sampai manapun. Jangan pernah merasa letih untuk mengkaji sebuah ilmu,” tegas Slamet. Masyarakat Tersesat “Perjuangan yang dilakukan oleh temanteman ketika memperjuangkan reformasi tidak kehilangan roh Indonesia. Namun sekarang ini orang Indonesia dewe-dewe, individualisme, ini yang membuat saya merasa aneh. Saya, sebagai seniman, hanya dibentuk dari kegelisahan-kegelisahan dalam mencintai negara ini. Saya melihat sekarang ini, pada sebagian masyarakat, di badannya sudah tidak lagi menempel kebudayaannya. Saya tidak tahu, apakah mereka membayangkan kebudayaan luar, barat atau kebudayaan mana yang ada di benak mereka itu. Karena saya memantau, perlahan tapi pasti informasiinformasi dari luar akan diserap oleh masyarakat kita ini. Sehingga dengan demikian saya melihat adanya pemaksaan kehendak, sebagian masyarakat tersesat. Jika tersesat, apa mereka ingat pulang? Kan tidak ingat pulang lagi. Jika mereka sudah mulai kelaparan dan sudah merasa memerlukan rumah, baru mereka akan kembali,” jelas Slamet, panjang. Menurutnya dari dahulu sampai sekarang seniman masih berjuang mati-matian di negeri tercinta ini. Contohnya, dahulu banyak seniman yang ditangkap. Sedangkan kemanakah para politisi? “Artinya banyak orang yang tumbuh dari negara yang sangat produktif, menciptakan orang-orang yang produktif,” ujar Slamet. Kenapa mereka di sesatkan? Ya, karena mereka memang disesatkan oleh ketidakjelasan kepemimpinan. Bangsa Indonesia seperti yang telah diketahui sudah kehilangan kepemimpinan yang teladan. “Katanya percaya bahwa yang salah Kapten, bukannya Kopral. Tetapi sekarang ini Kapten tersebut diam-diam aja. Presiden itu dilahirkan setiap waktu lima tahun sekali. Pemimpin belum tentu lima tahun satu. Presiden ini adalah jabatan, tetapi pemimpin itu terlahir sejak kecil. Pemimpin tidak di jadwalkan oleh Pemilu,” ucapnya lirih. Menurut Slamet, sekarang ini terjadi kemunduran budaya. Tidak hanya dirinya yang mengeluhkan hal ini, mungkin saja sebagian masyarakat juga mengeluhkannya. Misalnya, ia melirik kasus Century. Ia melihat bahasa yang dipakai, yang ditayangkan di stasiun televisi, antar anggota pemerintahan bukan merupakan bahasa Indonesia yang baik. Itulah sebagian dari ciri khas orang-orang yang tidak memahami nilai-nilai aura kesenian. Menurutnya lagi, sekarang ini semuanya telah berubah. Banyak aktor yang hanya modal tampang. Perlu di ingat yang demikian ini bukan aktor tetapi selebritis. Perubahan untuk mengantisipasi tersesatnya ini harus dari masyarakatnya sendiri. Demikian juga dengan pemerintah yang harus menunjang fasilitas demi fasilitas, agar proses produktif seni budaya bisa berjalan lancar. Mencintai produk dan karya bangsa Indonesia juga menjadi penting, Karen bila diri kita sendiri saja tidak sadar dan terus saja fokus pada kebudayaan luar, ya semakin tersesat. “Perubahan ini tidak bisa cepat. Ini kan bukan hom pim pa. Ini suatu pola pikir, paradigma dan sistim kehidupan yang bagaikan membalikkan telapak tangan. Apalagi saya ini orang film, seniman, saya percaya dengan proses yang selalu menginginkan perubahan. Setiap proses terjadi perubahan masingmasing, tuntutannya pun masing-masing,” ungkap Slamet untuk menutup diskusi. Desember 2013 l Kinescope l 15
  • 9. PREVIEW STATISTIK filmindonesia.or.id Film ini menceritakan pengalaman nyata sepasang mahasiswa Indonesia yang kuliah di Eropa. Bagaimana mereka beradaptasi, bertemu dengan berbagai sahabat hingga akhirnya menuntun mereka kepada rahasia besar Islam di benua Eropa. Diangkat dari novel laris karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra, film ini mengambil lokasi di 4 negara: Vienna (Austria), Paris (Perancis), Cordoba (Spanyol) dan Istanbul (Turki). Film ini merupakan produksi ke-40 Maxima Pictures dan akan ditayangkan pada hari jadi ke tujuhnya yang jatuh pada tanggal 5 Desember 2013. Produser Yoen K Ody Mulya Hidayat Sutradara Guntur Soeharjanto Pemeran Acha Septriasa Abimana Aryasatya Raline Shah Nino Fernandez Dewi Sandra Marissa Nasution Alex Abbad Fatin Shidqia Lubis Geccha Tavvara Slank Nggak Ada Matinya 1996. Abdee dan Ridho dipanggil SLANK untuk datang jamming bersama Bimbim dan Ivan. Ternyata, SLANK yang ingin membuktikan bahwa SLANK tidak bubar walaupun personil hanya sisa Bimbim, Kaka dan Ivan melakukan tur. Abdee dan Ridho pun diajak, dan diberi persyaratan untuk bisa membawakan 35 lagu SLANK hanya dalam waktu 3 hari! Tur keliling daerah pun dimulai, dan saat itulah dimulai pertualangan SLANK dengan format baru. Kehidupan rock and roll, mereka bertemu berbagai lapisan masyarakat, mengenal Indonesia, dan terutama.. mengenal diri sendiri. Formasi baru SLANK dengan album TUJUH sukses besar, namun di saat itu pula ketergantungan Bimbim, Kaka dan Ivan akan narkoba semakin kuat. Bunda Iffet, bersama Abdee dan Ridho pun berusaha supaya Bimbim, Kaka dan Ivan bisa lepas dari jerat narkoba, karena mereka semua yakin perjalanan SLANK masih panjang, dan masih banyak yang bisa mereka lakukan untuk orang lain. Tidak ada yang bisa menghalangi SLANK untuk terus maju ke depan. Tidak narkoba, tidak perpecahan. Selama semua dijalankan bersama-sama. Dengan sahabat. Dengan keluarga. Dengan keluarga besar SLANK dan keluarga besar Indonesia. SLANK Nggak Ada Matinya. Piss! Produser Putrama Tuta Sutradara Putrama Tuta Penulis Putrama Tuta Pemeran Adipati Dolken Ricky Harun Aaron Ashab Ajun Perwira Meriam Bellina Laskar Pelangi 2: Edensor Melanjutkan ceritera Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi, Edensor mengisahkan perjalanan Ikal, bersama sepupunya, Arai yang berhasil mendapatkan beasiswa kuliah di Sorbone – Paris. Petualangan mereka di eropa, justru dimulai dengan sebuah kesialan. Gara gara terlambat tiba di asrama transit yang dituju, Ikal dan Arai diusir oleh Van Der Wall, sang induk semang asrama. Akibat kelalaian itu mereka harus membayar dengan udara dingin dibawah nol derajat. Menembus udara dingin bersalju, tubuh Ikal membeku. Arai berusaha untuk menyelamatkan dengan mengubur Ikal dalam tumpukan humus. Upaya Arai ini menyelamatkan mimpi Ikal. Ikal dan Arai menjalani hari-hari menimba ilmu di Sorbone. Ikal mengambil master ekonomi dan berkomplot dengan Manooj, Gonjales dan Ninocchka, yang tergabung dalam Pathetic Four. Komplotan yang dibangun karena senasib sebagai rakyat negara berkembang, dan juga sebagai mahasiswa yang tertinggal dalam pelajaran. Walaupun arai beda jurusan, tapi Arai berteman pula dengan anggota pathetic four ini. Ada hal lain yang membuat Ikal dan Arai cemas. Kabar dari ayahnya menyebutkan timah yang makin melorot dan lahan Belitung yang tak bisa ditanami. Ayah ikal berharap, Ikal dan Arai bisa menjadi ahli pupuk dan apoteker. Karena, sang ayah beranggapan kalau jurusan itu jauh lebih bermanfaat di Belitung. Tapi Ikal dan Arai terlanjur punya mimpi yang lain. Sementara itu, Katya, gadis yang jadi bahan rebutan para pria di kampus sorborne ini, mencoba menggelitik relung hati Ikal. Katya memilih Ikal jadi pacarnya. Tapi Ikal merasa amat bersalah, seakan telah menodai perasaannya untuk Aling. Katya bersaing menggantikan posisi Aling dihati Ikal. Namun yang jelas, situasi itu menurut Arai, Ikal tidak lagi fokus belajar. Terbukti, nilai ujian tengah semester Ikal hancur. Kini Ikal tersebak dalam putaran segitiga kehidupannya, cinta, keluarga dan mimpi. Ditambah pertentangannya dengan Arai, yang membuat dua sahabat ini berbeda langkah… Produser Putut Widjanarko, Avesina Soebl Sutradara Benni Setiawan Pemeran Lukman Sardi, Abimana, Astrid Roos, Mathias Muchus, Rendy Akhmad, Zulfani Cinta Brontosaurus 2 892.915 Coboy Junior The Movie 683.604 3 Manusia Setengah Salmon 429.762 4 Get M4rried 306.886 Refrain 281.922 7 La Tahzan 235.718 8 Sang Kiai 219.734 9 Air Terjun Pengantin Phuket 215.161 10 5 308 16 l Kinescope l Desember 2013 6 1 Data Penonton 99 Cahaya Di Langit Eropa 285.392 Cinta Dalam Kardus 213.014 Desember 2013 l Kinescope l 17
  • 10. PREVIEW Produser Gandhi Fernando Thaleb Wahjudi Laura Karina Michella Adlen Sutradara Stephen Odang Penulis Jonathan Cocco Pemeran Tara Basro Gandhi Fernando Dave Alexandre Sheila Tohir Tara Wraith Bran Vargas Tim Matindas Haseena Bharata Vijay Kumar The Right One The Right One adalah flm Indonesia karya anak bangsa berbahasa Inggris. Film ini juga adalah sebuah kolaborasi dengan penulis asal Hollywood, JONATHAN COCCO. Dan aktris asal Goldcoast-Australia, TARA WRAITH serta band pengisi soundtrack berasal dari Perth-Australia, OAK TREE SUITE. J ACK (Gandhi Fernando) dan ALICE (Tara Basro) adalah dua profesional muda tinggal di Bali. Jack terjebak dalam pekerjaan perusahaan bank yang membosankan untuknya. Sedangkan Alice mendedikasikan hidupnya sebagai ahli biologi laut tetapi dia lebih menginginkan untuk terjun ke lapangan daripada malah terjebak duduk dalam kantor. Suatu hari mereka berdua berada di bar yang sama. Dua orang asing memulai percakapan dan koneksi langsung terjalin. Mereka memutuskan untuk menghabiskan sepanjang hari, pergi ke tempat-tempat yang berbeda di seputar Bali dan berbincang tentang kehidupan, cinta, dan rasa frustasi dari dunia pasca-kuliah mereka. Selama percakapan mereka, kita diperlihatkan serangkaian flashbacks. Kita belajar bahwa Jack and Alice selalu berada di waktu dan posisi yang sama saat momen dan hal dramatis dari kehidupan mereka, hanya saja entah bagaimana mereka tidak pernah menyadari tentang keberadaan mereka satu sama lain. The Right rencananya di rilis pada February 2014. 18 l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l 19
  • 11. REVIEW Sagarmatha Sagarmatha, yang dalam bahasa sansekerta berarti “Dahi Langit” merupakan sebuah film yang ber-genre road movie. Dari poster dan sinopsis film ini, menggambarkan tentang pegunungan dan persahabatan. Yang terbayang oleh saya, film ini mungkin akan semenarik film 5CM yang mengangkat tema yang sama, yaitu Gunung dan Sahabat. Bahkan dalam pemikiran saya, film ini akan jauh lebih menarik karena bertempat di Pegunungan Himalaya yang notabene lebih tinggi dari Gunung Semeru-nya 5 CM. Novita Rini F ilm yang menceritakan tentang Shila (Nadine Chandrawinata) dan Kirana (Ranggani Puspandya), dua sahabat yang memiliki impian untuk bisa menaklukkan Puncak tertinggi dari Pegunungan Himalaya, yang dalam bahasa Nepal disebut Sagarmatha. Mereka bersahabat sejak masa kuliah. Meski sama-sama tergabung dalam organisasi Pecinta Alam, namun keduanya memiliki minat yang berbeda. Shila yang lebih tertarik untuk menulis, sedangkan Kirana lebih asyik bersama dunia fotografinya. Keduanya pun melakukan perjalanan menuju Nepal untuk mewujudkan impian mereka mendaki Puncak tertinggi di dunia. Dalam perjalanan tersebut banyak kendala yang harus mereka hadapi, dan dalam perjalanan itu pula terungkap perbedaan cara mereka memandang hidup ini. Hingga kemudian perpisahanlah yang mereka pilih, keduanya memutuskan untuk berjalan masingmasing dengan keyakinan bahwa manusia pada akhirnya semua akan sendirian. Pemilihan judul film ini rasanya sudah tepat jika dikaitkan dengan ide dari film ini. Sagarmatha atau Head of the Sky, merupakan perlambang tingginya mimpi dan cita-cita yang ingin diraih oleh dua gadis yang bersahabat dalam film yang berdurasi 98 menit ini. Dalam memproduksi film ini, sang sutradara (Emil Heradi) ternyata hanya menggunakan satu buah kamera type DSLR 5D. Tanpa lighting, boomer dan murni hanya 1 kamera untuk keseluruhan pengambilan gambar. Sehingga bisa dimaklumi jika di beberapa scene ada beberapa gambar yang kurang fokus, guncang dan suram. Tapi ternyata dengan keterbatasan tersebut juga bisa menghasilkan beberapa view yang indah dari pegunungan Himalaya, sehingga menampilkan sinematografis yang mampu memuaskan mata penonton untuk ikut bertualang dalam perjalanan dua sahabat tersebut. Namun sayangnya, sinematografis yang indah tersebut tak didukung dengan skenario yang menarik, yang mampu mengajak penontonnya untuk tak hanya memuaskan mata dengan pemandangan indah, namun juga bisa membuat penonton tak merasa bosan dengan alur cerita di dalamnya. Konsep dan ide cerita yang menarik ternyata kurang bisa digarap dengan baik oleh penulis skenario dan sutradara film Sagarmatha ini. Perpindahan alur maju mundur yang meloncat tak terarah, memberi kebingungan pada penonton. Misal di satu adegan saat Shila dan Kirana berada di stasiun kereta dan tiba-tiba mendadak proses adegan berlangsung mundur. Kemudian saat Shila dan Kirana mendadak ada di gunung yang berada di Indonesia, padahal sebelumnya adegan mereka sedang mendaki menyusuri pegunungan Himalaya, apalagi adegan tersebut mengalami pengulangan berulangkali. Mungkin maksud si pembuat cerita ingin mengajak penonton berpikir kemana arah petualangan ini akan berakhir, namun karena penggarapan yang kurang baik serta adanya beberapa scene yang rasa-rasanyanya tak perlu ada, membuat penonton merasa bosan menyaksikan film ini. Ditambah akting dari dua tokoh utama film ini pun terasa begitu hambar tanpa greget. Meski view yang disajikan menarik, namun jika tak didukung dengan alur cerita yang menarik, rasanya tak salah jika penonton terus menerus melirik jam untuk menantikan film ini cepat usai. Andai scene yang tak perlu, semisal adegan memotret obyek-obyek tak penting berulang kali yang dilakukan Kirana dan adegan wawancara dengan beberapa turis diganti dengan menambahkan pendalaman cerita petualangan atau konflik, misalnya salah satu tokoh mengalami hypothermia saat melakukan pendakian di pegunungan Himalaya dan bagaimana cara mereka mengatasinya. Atau bisa juga diganti dengan menjelaskan konflikkonflik pribadi yang dialami masing-masing tokoh dengan keluarga atau pasangan mereka, yang mungkin bisa membuat penonton tidak merasa jenuh mengikuti loncatan kisah yang garing. Namun, dengan segala kekurangan yang ada di film ini, patut diacungi jempol untuk semangat Indie dari film ini. Begitupun untuk D.O.P. nya, tak mudah untuk bisa mendapatkan beberapa view indah dengan keterbatasan alat. Semoga lain waktu, bisa tercipta Road Movie yang menarik secara keseluruhan, alur cerita hingga gambar yang disajikan. Dukung terus film karya anak bangsa dengan menjadi penonton yang makin cerdas memilih tontonan yang tak hanya menghibur, namun juga memiliki nilai kehidupan di film tersebut. Director Emil HeradiCast Writer Damas Cendekia Producer Abdul Manaf Co-Producer Abduh Aziz Edward Gunawan pemain Nadine Chandrawinata Ranggani Puspandya 20 l Kinescope l Desember 2013 Desember 2013 l Kinescope l 21
  • 12. REVIEW shandy gasella Soekarno “Barangsiapa ingin mutiara, harus berani terjun di lautan yang dalam.” K edua petikan dari pidato Sukarno tersebut tak kita temukan dalam film ‘Soekarno’ garapan Hanung Bramantyo (‘Sang Pencerah’, ‘Ayat-ayat Cinta’) yang hari-hari ini jadi perbincangan hangat di masyarakat. Namun, sebagai bangsa yang besar yang menghormati jasa pahlawannya, rupanya pembuat film ini sadar betul dan hendak melecut rasa nasionalisme kita dengan cara mengajak penontonnya untuk mau berdiri menyanyikan lagu kebangsaan ‘Indonesia Raya’ sebelum filmnya dimulai. Bila hal tersebut belumlah pantas disebut sebagai cara menghormati jasa para pahlawan, setidaknya ia jadi gimmick yang menarik dan sekaligus cara ampuh yang secara psikologis mampu memberi penonton rasa memiliki 22 l Kinescope l Desember 2013 terhadap film ini. Dan, ini adalah film tentang Bapak Bangsa kita. Lantas, kalau sudah begitu, masih adakah celah untuk melihat film ini secara kritis? Ada lusinan buku biografi tentang Sukarno yang pernah diterbitkan di negeri ini. Dalam buku ‘Soekarno: Arsitek Bangsa’ tulisan Bob Hering yang terbit pada 2002, Sukarno selain sebagai pejuang bangsa, juga digambarkan sebagai sosok soko guru yang menyatukan seluruh nusantara. Dan, yang paling menarik, buku ini dilengkapi 125 foto eksklusif, sejumlah foto yang di antaranya bahkan dianggap mampu berbicara lebih tentang sosok Sukarno itu sendiri. Ada pula buku ‘Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia’ tulisan Cindy Adam yang terkenal itu. Dalam buku karya Cindy Adam ini, Sukarno digambarkan sebagai sosok yang berperasaan halus, pengagum wanita dan (lagi-lagi ini yang menarik), disebut sebagai penyuka bantal guling! Jangan lupakan pula buku-buku sejarah untuk anak sekolah yang juga memuat kisah sepak terjang Sukarno dalam perjuangan kemerdekaan. Hanung dan Ben Sihombing sebagai duo penulis film ini tak meminjam buku tentang Sukarno versi mana pun, tulisan siapapun, sebagai dasar naskah film ini. Rupanya Hanung cukup pede dengan tim riset yang dibentuknya sendiri untuk menggali bahan cerita bagi filmnya ini. Rupanya Hanung lebih pede ketimbang para sutradara dari Hollywood itu yang kerap kali mengisahkan filmnya berdasarkan novel atau buku biografi karangan orang lain. Di Hollywood sana banyak sekali film yang naskah ceritanya terinspirasi atau berdasarkan buku, bahkan tak jarang film-film yang naskahnya ditulis berdasarkan buku itu berhasil menggondol piala Oscar, misalnya saja ‘Lincoln’ karya Steven Spielberg yang edar tahun lalu. Sutradara sekaliber Steven Spielberg saja masih mengandalkan hasil riset karya orang Kalimat itu adalah satu dari sekian banyak ungkapan yang pernah terlontar dari mulut Bung Karno semasa hidupnya, selain ungkapannya yang paling populer sepanjang masa, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya.” lain sebagai fondasi cerita untuk film yang dibesutnya. Tak melakoni cara-cara yang dilakukan oleh Spielberg, Hanung Bramantyo bolehlah sedikit jumawa dengan karya film terbarunya ini. Ehem, dan saya sedang mencoba sedikit sarkastik di sini. Wujud dari hasil kerja tim riset film ini adalah suguhan kisah hidup Sukarno yang ditampilkan secara kronik, plus bonus sedikit kisah asmara segitiga antara Sukarno dan kedua istrinya, Inggit dan Fatmawati. Rasarasanya, bagi penonton yang tak pernah melahap bacaan tentang Sukarno selain buku sejarah waktu bersekolah dulu, film ini tak menawarkan cerita baru selain kisah asmara Sukarno bersama istri-istrinya tadi. Film ‘Soekarno’ adalah visualisasi megah dari sejumlah bab yang terdapat dalam buku sejarah anak sekolah. Dalam teknik pembuatan film, ‘Soekarno’ dibuat secara sungguh-sungguh; itu tak terbantahkan lagi. Film ini juga didukung oleh para aktor jempolan di titik paling puncak karier akting mereka sejauh ini. Ario Bayu (‘KALA’, ‘Catatan Harian si Boy’) sebagai Sukarno berhasil memikat, tak hanya Inggit dan Fatmawati, namun juga hati penonton dengan pesona dan kharismanya. Maudy Koesnaedi (‘Garuda di Dadaku’, ‘Love Story’) sebagai Inggit mampu membuat hati kita remuk tatkala ia diceraikan Sukarno. Tika Bravani (‘Make Money’, ‘Alangkah Lucunya Negeri Ini’) sebagai Fatmawati, lewat penampilannya, ah, kita pun tahu dan mengerti alasan Sukarno jatuh hati kepadanya. Lukman Sardi (‘Laskar Pelangi’, ‘Quickie Express’) sebagai Hatta jelas tak tampil buruk. Namun, selain penampilan fisik yang hampir menyerupai tokoh aslinya, Lukman tampil kurang maksimal; masih tipikal seperti penampilannya yang sudah-sudah di film lain yang dibintanginya. Penampilan pendatang baru Tanta Ginting sebagai Sjahrir adalah scene stealer yang memukau. Berkat para aktor inilah ‘Soekarno’ memiliki bobot yang lebih, dengan catatan, kita harus melupakan keberadaan Ferry Salim. Ayolah, siapa pula yang termakan penampilannya sebagai komandan Jepang? Astaga, Ferry Salim! Bila saya boleh berbicara sedikit dalam bahasa Jepang untuk mengomentari penampilannya, watashi wa wakarimaseng! -- saya tak mengerti! Dan seperti yang saya bilang tadi, sebaiknya kita lupakan saja keterlibatannya di film ini. Ferry Salim ibarat anti-tesis dari seorang Tanta Ginting. Setiap scene yang melibatkannya di film ini adalah badai yang selalu saya harapkan segera berlalu. Selepas tayang perdana pada 11 Desember lalu, film ini menuai banyak puji-pujian, satu diantaranya bahkan menasbihkan ‘Soekarno’ sebagai film terpenting tahun ini! Pujian yang cukup beralasan -- bila tak mau disebut berlebihan. Tak ada kritik berarti bagi hampir semua aktor yang berperan dalam ‘Soekarno’, kecuali departemen cerita. Dan memang hal ini sangat mudah menyulut perdebatan seperti “Soekarno-mu ya Soekarno-mu, Soekarno-ku ya Soekarno-ku”. Sebab, konon tokoh bapak bangsa kita yang satu ini “multi tafsir” bak kisahnya tercantum di dalam kitab suci saja. Oleh karenanya, pembuat film ini memang sahsah saja menampilkan Sukarno lewat tafsirnya sendiri. Sah-sah saja Soekarno digambarkan sebagai lelaki gentleman yang penyayang, santun, menghormati para wanita, dan lain sebagainya. Namun sayang, ada yang dilupakan tentang bagaimana Sukarno mampu merebut hati rakyat, bukan hati wanita saja. Kita dibuat manut saja dengan penggambaran sosok Sukarno yang begitu dipuja dan dicintai rakyat dengan pidatopidatonya di depan khalayak ramai. Pembuat film ini tak mampu menunjukkan apa pemikiran sang tokoh utama kita, tak tergambarkan apa atau siapa yang menginspirasinya hingga ia menjadi orang hebat. Saya dan mungkin sebagian penonton lainnya tentulah ingin tahu seberapa besar Thomas Jefferson, Abraham Lincoln, Karl Marx, Lenin, atau Jean Jaures yang terkenal sebagai ahli pidato terbesar dalam sejarah Perancis itu, memengaruhi pemikiran Soekarno. Tokohtokoh inilah setahu saya, termasuk juga masih banyak lagi yang lainnya, yang sedikit banyak membentuk karakter seorang Soekarno. Pembuat film ini juga tak menunjukkan apa pemikiran sang tokoh utama kita, kecuali lewat adegan-adegan pembelaan di depan pengadlan kolonial, dan saat debat di BPUPKI. Pembentukan karakter Sukarno di masa ‘nyantrik’ di rumah Cokroaminoto di Surabaya pun hanya ditampilkan sekilas. Tak tergambarkan apa atau siapa sebenarnya yang menginspirasinya hingga ia menjadi orang hebat. Jika hal tersebut digali lebih dalam, niscaya tak hanya jadi sekedar film yang penting, film ini bahkan akan jadi mutiara yang berkilau. Memang, seperti satu lagi petuah Sukarno --”barangsiapa ingin mutiara, harus berani terjun di lautan yang dalam”-- Hanung mestinya menyelam lebih dalam lagi. Jangan sampai, dengan tim riset yang telah dibentuknya, ia terkesan hanya berenang tak jauh dari permukaan, sekedar mengingatkan kembali hal-hal tentang Sukarno yang secara umum kita semua sudah mengetahuinya dengan baik. Desember 2013 l Kinescope l 23
  • 13. Isyarat REVIEW Rohman Sulistiono “Indie Movie Goes To Cinema”, sebuah semangat yang dikampanyekan kepada khalayak luas mengiringi rilis film “Isyarat” di bioskop. Memang “Isyarat” lahir dari rahim komunitas Lingkar Alumni Indie Movie, sebuah komunitas para alumni dari peserta LA Light Indie Movies, yang selama 7 tahun konsisten melakukan workshop dan serangkaian pelatihan lain untuk para calon moviemakers muda yang mempunyai passion di dunia film. “Isyarat” merupakan gebrakan bagi penggiat film Indie yang memiliki tujuan agar film-film pendek mereka bisa turut serta meramaikan bioskop nasional. Ya, sebagaimana kita tahu bahwa kebanyakan film pendek Indie sangat sulit mendapatkan tempat di bioskop lokal dan hanya festival film yang selama ini menjadi tempat para sineas film Indie menunjukan karya mereka. “Isyarat” merupakan film omnibus yang terdiri dari lima film pendek yang mengangkat tema yang sama, manusia dengan “kemampuan lebihnya” atau pada umumnya disebut “Indra keenam”. “Teman Bayangan”garapan Asmirandah mengisahkan Dewi (Asmirandah), gadis muda yang memiliki kemampuan psikokinesis. Dewi memiliki teman khayalan bernama Fly (Jonas Rivanno), yang selalu mengikuti kemanapun Dewi pergi. Hingga akhirnya Dewi menyadari bahwa kekuatannya dapat melukai orang yang 24 l Kinescope l Desember 2013 dicintainya. Komedi situasional karya Monty Tiwa “Lost and Found”, mengisahkan Oki (Poppy Sovia) yang kehilangan dompetnya dan bertemu Sisi (Prisia Nasution), seorang janitor yang mempunyai kemampuan menerawang kejadian masa lampau. Reza Rahardian menyutradarai segmen “Gadis Indigo”, yang berkisah mengenai Maya (Revalina S Temat), yang mampu membaca sifat seseorang dengan menggambar wajahnya hingga akhirnya bertemu dengan Ganda, pria yang sulit dia baca kepribadiaannya. Adhyatmika, sutradara muda alumni Indie Movies 2009, menyutradarai segmen “Flora” yang berkisah mengenai gadis bernama Flora (Taskia Namiya) yang dapat bersinggungan dengan hal-hal dari dunia astral dan kisah cintanya dengan Danel (Abimana Arya). Dan terakhir “Tanda Bahaya” garapan Donny Alamsyah, yang ingin menggambarkan bahwa dalam keadaan terdesak, manusia bisa lebih kejam dari binatang. Mengangkat tema tentang “Indra Keenam”, “Isyarat” terlihat kurang eksplorasi dalam menggali hal unik yang ada pada kemampuan yang jarang dimiliki ini. Dengan mengangkat tema yang cukup menarik dengan menyajikan beberapa jenis kemampuan “Indra keenam”, baik mampu melihat masa lalu hingga melihat makhluk dunia astral, “Isyarat” hanya terlihat sekedar memberi tahu bahwa indera keenam itu ada, tanpa mengeksplorasi lebih jauh tentang penyebab dan akibat-akibatnya. Walaupun begitu, “Teman Bayangan” garapan Asmirandah, mampu memberikan sebuah kisah menarik mengenai psikokinesis dan sosok Fly sebenarnya, yang mampu membuat penonton menduga-duga siapa sebenarnya Fly tersebut. Dibalut dengan nuansa surealis, membuat segmen ini yang paling menonjol dibanding segmen yang lain. “Lost and Found” tampil sebagai segmen yang paling menghibur dan mampu mengundak tawa. “Lost and Found” menyajikan komedi situasional dibalut percakapan dan gerak-gerik konyol dari kedua tokoh utama Oki dan Sisi. Paruh awal hingga tengah cerita, film ini dibangun dengan cukup meyakinkan dan memberikan ketegangan di setiap adegannya, walaupun dari segi cerita bisa dikatakan cukup klise. Paruh akhir segmen terlihat tidak fokus dan akhirnya akan mengundang pertanyaan “ceritanya udahan?” Namun penampilan menawan dan total terlihat ditampilkan oleh kedua aktris utama segmen ini, Poppy Sovia dan Prisia Nasution yang membuat “Lost and Found” tetap menarik dan membuat penonton terbawa petualangan mereka. “Gadis Indigo” menyuguhkan kisah cinta Maya dan Ganda yang klise. Reza Rahardian yang sebelumnya juga pernah menangani salah satu segmen dalam “Wanita Tetap Wanita” berjudul “With or Without” ini terlihat kurang maksimal dalam menggarap “Gadis Indigo”. Reza seperti kehilangan kendalinya dalam film ini. Hasilnya “Gadis Indigo” tampil seadanya, seperti kehilangan daya tariknya dan alur ceritanya terasa mengambang. Amat disayangkan transisi antara segmen “Gadis Indigo” dan “Flora” tidak begitu terlihat, sehingga terasa seperti kedua segmen ini seperti satu segmen panjang. Hal ini diperkuat sosok Maya yang merupakan teman dekat dari Flora dan Flora pun tampil cukup banyak di segmen “Gadis Indigo”. Apabila pada segmen sebelumnya pergantian segmen ditandai dengan ilustrasi komik bergaya pop art, namun pada perpindahan segmen “Gadis Indigo” dan “Flora” tidak ada yang menandainya. Entah memang sengaja ingin agar terlihat menjadi satu segmen cerita antara “Gadis Indigo” dan “Flora”, namun cara ini membuat segmen “Gadis Indigo” jadi terlihat seperti menggantung tanpa akhir. Adhyatmika kurang dapat mengeksplor sosok Flora yang memiliki kemampuan lebih dapat melihat sosok ghaib. Flora terlihat seperti perempuan biasa, walau ada adegan di mana Flora diperlihatkan dengan penampakan, namun untuk beberapa orang tanpa kemampuan indra keenampun terkadang dapat diberi wujud penampakan. “Tanda Bahaya” hadir sebagai segmen tersingkat dan paling klise dari semua segmen. Tidak seperti film utuh, entah apa alasannya menampilkan “Tanda Bahaya” seolah hanya sekedarnya. Padahal sosok Evan yang diperankan oleh Dion Wiyoko adalah tokoh kunci yang menyatukan sosok Indigo di empat segmen. “Tanda Bahaya” dan Evannya bermaksud sebagai penghubung semua segmen dalam film ini, namun terasa gagal dan menjadi kisah yang agak janggal. Editing yang bisa dibilang cukup unik, terutama di bagian akhir film yang menampilkan alur maju mundur memang mampu membuat penonton sedikit berpikir. Namun membuat beberapa adegan yang niatnya membuat penonton bertanya-tanya, justru terkesan gagal karena terlalu lama dan mengulur-ngulur waktu. Namun begitu, penampilan Abimana Arya sangat total dalam film ini. Abimana Arya membuktikan bahwa dia adalah salah satu aktor terbaik saat ini dan memang layak menjadi nominasi aktor terbaik FFI 2013. Terlepas dari semua kekurangan yang ada, Omnibus ini didukung dengan sinematografi yang menawan dan indah. “Isyarat” memiliki tema yang sangat menarik untuk diangkat dan dikembangkan walau hasilnya masih kurang memuaskan. Walaupun begitu, film ini masih sangat layak untuk ditonton dan cukup menghibur, apalagi bisa menjadi pendorong semangat belajar dari beberapa moviemaker muda yang tergabung dalam komunitas Indie Movie. Semangat untuk mewujudkan film Indie yang mampu menembus bioskop nasional, patut didukung dan diapresiasi lebih. Mudahmudahan produksi selanjutnya dari komunitas ini akan lebih baik dan mampu memberikan tontonan yang tidak hanya bisa menghibur, namun juga memberikan kita tontonan yang berkualitas dan memberikan informasi yang edukatif. Desember 2013 l Kinescope l 25
  • 14. REVIEW Director Sean Monteiro Writer Sean Monteiro, Haqi Achmad Producer Syaiful Wathan, Sean Monteiro pemain Pandji Pragiwaksono, Ray Sahetapy Ence Bagus, David Saragihv, Tika Bravani Ratna Riantiarno Make Money Make Money, sebuah film komedi yang merupakan debut dari sutradara Sean Monteiro dan Pandji sebagai lead actor. Dari melihat daftar pemain yang mendukung film ini, kita bisa langsung menebak film ini bergenre komedi. Namun menonton film ini di awal, kita bisa merasa salah tebak, karena adegan dan penceritaan yang ada terkesan serius dan memaksa kita berpikir. film ini rata-rata memiliki karakter yang kuat, namun berhasil dimainkan dengan sederhana dan terlihat natural tanpa beban. Walaupun masih terlihat ada beberapa alur konflik dan penggambaran tentang benturan sosial masih terasa datar tanpa fokus yang terlalu seimbang diantara pemeranpemeran sentral ini, namun film ini mampu menawarkan alur cerita yang dinamis dan berhasil menautkan adegan demi adegan yang memberikan penyimpulan yang klimaks pada penontonnya. Dan pada akhirnya, yang dibutuhkan oleh penonton adalah bukan hanya bisa terhibur dengan tontonan yang menarik, namun juga bisa membawa pulang nilai dan pesan yang baik, tanpa harus merasa terpaksa karena diberikan dengan sederhana dan dikemas dalam bangunan komedi yang mudah dicerna. al fian adha N amun perlahan-lahan, situasi komedi dan lucu mulai terlihat dari adegan demi adegan yang tertuang dalam film ini. Dengan irama komedi yang terbalut drama ringan, film ini menjadi terasa dinamis dan mampu membawa penonton untuk masuk dalam alur pikir penceritaannya. Yang menarik adalah kuatnya pesan yang ingin disampaikan oleh film ini begitu mengena, walaupun disampaikan dengan ringan, lucu dan sangat mudah dicerna oleh penonton. Bahwa uang, status sosial, karir dan jabatan serta gengsi tidaklah melebihi pentingnya arti keluarga, sahabat dan keterlibatan kasih sayang di dalamnya. Film ini cukup berhasil mengemas cerita yang menarik dan mengejutkan namun dikemas dengan baik dalam menggambarkan kehidupan yang nyata di Indonesia, yang bisa kita saksikan seharihari. Film ini bercerita tentang kehidupan Aris (Pandji Pragiwaksono) dan Rachmat (David Saragih) yang kaya raya namun manja nan angkuh, berubah seketika setelah sang ayah, Pak Tri (Ray Sahetapy), meninggal dunia. Mereka mendadak jatuh miskin, lantaran Pak Tri mewariskan seluruh harta dan asetnya kepada pemulung yang ditemuinya di jalan, Odi (Ence Bagus), karena sebuah kejadian. Aris dan Rachmat yang semula tak akur pun mau tak mau kudu bekerja sama menemukan Asri (Ratna Riantiarno), ibu mereka yang ternyata 26 l Kinescope l Desember 2013 masih hidup dan kaya raya.  Dalam film ini, hampir seluruh pemainnya memainkan peran dengan natural dan ini mungkin didukung oleh kebiasaan dan profesi sehari-hari dari mereka yang memang tidak jauh dari seni peran dan melucu. Semua pemain memainkan perannya dengan sederhana tapi itulah yang seharusnya. Semua karakter yang dimainkan dalam Desember 2013 l Kinescope l 27
  • 15. REVIEW Director KIM Yong-gyun (THE SWORD WITH NO NAME, THE RED SHOES, WANEE AND JUNAH) Cast LEE Si-young UM Ki-joon HYUN Woo MOON Ga-young Loekman Hakim David Kurnia Albert Killer Toon Ditengah kurang bergairahnya film horror Korea, “Killer Toon” muncul memberikan sebuah “gebrakan”. Secara tidak diduga, “Killer Toon” mampu merajai Box Office Korea dan mampu menembus 1 juta penonton dalam penayangannya di Korea. Tentu saja ini merupakan prestasi bagi “Killer Toon” yang merupakan film horror pertama yang mampu menembus 1 juta penonton setelah sebelumnya “Death Bell” pada tahun 2008. Lalu apa yang membedakan “Killer Toon” dengan film horror Korea yang lain? Apa kunci suksesnya? Rohman Sulistiono 28 l Kinescope l Desember 2013 G enre film horror di Korea mungkin masih kalah pamornya dengan genre Thriller yang lebih sering diproduksi oleh “negeri gingseng”. Genre thriller Korea bisa dibilang lebih banyak memiliki cerita yang menarik dan variatif dibanding horror Korea. Sebut saja film thriller mengenai balas dendam “I Saw The Devil” yang mampu membuat saya beberapa kali menahan napas dan “kegirangan” melihat adegan “keras” yang ditampilkan di film tersebut atau “Oldboy” yang mampu bicara banyak di kancah dunia hingga Hollywood me-remake film masterpiece karya Park Chan Wook ini. Apalagi bila harus membandingkan film horror Korea dengan tetangganya “Jepang” yang terkenal memiliki segudang cara jitu membuat penonton ketakutan hingga loncat dari kursi ketika menonton film- film horror produksi “negeri matahari terbit” ini. Bukan berarti Korea tidak punya film horror yang menyeramkan, sebut saja “A Tale of Two Sisters” namun film horror Korea kebanyakan memiliki “formula” yang sama dan cenderung repetitif dalam film-filmnya. Sehingga bisa dibilang genre horror Korea kurang diminati bahkan dinegaranya sendiri. Dibawah rumah produksi CJ Entertaiment,” Killer Toon” menyuguhkan hal menarik dengan menggabungkan film “Live Action” yang tersaji dengan visual yang baik dan cantik dengan animasi dan ilustrasi komik yang berkarakter membuat film ini memiliki ciri khas berbeda dengan film horror Korea yang lain. Hal ini tidak lepas dari sang sutradara, Kim Yong-Gyun yang mampu merealisikan dengan baik naskah hasil Lee Sang-hak yang mampu melihat dengan jeli fenomena webcomic yang sedang digandrungi di Korea menjadi sebuah cerita yang mampu membuat penonton berjerit ketakutan. “Killer Toon” berkisah tentang Kang Ji-yoon (Lee Si-young) seorang komikus terkenal yang harus terkait terhadap kasus kematian misterius yang ternyata berhubungan dengan karya-karya webcomic-nya. Beberapa kasus kematian mengerikan yang terjadi dikehidupan nyata terlihat persis seperti yang tergambar pada ilustrasi webcomic yang dirilis oleh Kang ji-yoon. Hal ini tentu saja membuat Lee Ki-cheol (Um Ki-joon), seorang dektektif berhasrat untuk memecahkan misteri ini. Lee Ki-Cheol menelusuri keterkaitan antara komikkomik karya Kang ji-yoon dengan serangkaian kematian mengerikan yang akhirnya akan membawa sang detektif kepada kenyataan yang mengerikan serta menunjukan sisi gelap manusia. Film yang memiliki judul Korea “Deo Web-tun: Yeo-go-sal-in” ini jelas merupakan horror misteri berbalut supranatural hantu-hantu-an dengan kutukan webcomic sebagai premise yang menjadi andalan dalam film ini. Film dibuka dengan adegan pembunuhan sadis nan mengerikan serta misterius terhadap seorang editor yang tersaji dengan apik dengan balutan visual yang cantik serta penambahan efek komikal membuat film ini enak dilihat serta meninggalkan misteri dan rasa penasaran disetiap adegannya. Hal ini membuat saya “duduk cantik” dibangku bioskop dan sangat siap mengikuti misteri yang ada pada film ini. Atmosfir menyeramkan terbangun baik dalam film ini. Ya memang bisa dibilang cara sutradara yang pernah menggarap Red Shoes pada tahun 2005 ini dengan membangun atmosfir mengerikan menjadi “Jualan” utamanya. Ya memang hakikatnya film horror dibuat untuk membuat penontonnya menjerit ketakutan. Penampakan hantu yang cukup variatif tidak itu-itu saja menjadi nilai plus pada film ini. Sesekali saya pun kaget dan mendengar jerit penonton (lebih banyak wanita) saat hantu menampakan diri. Namun yang menjadi perhatian saya adalah berbagai twist yang ada dalam film ini. Kim Yong-Gyun mampu meramu twist dengan sangat baik dan cukup membuat film ini jadi makin misterius. Namun, perubahan karakter tokoh dalam film ini terasa agak dipaksakan seiring berjalannya film. Paruh akhir film saya mendapatkan cirri khas dari film Korea, iya melodrama khas Korea terasa dibagian akhir. Korea yang terkenal dengan film drama yang mampu menyentuh hati pun mampu “meng-invasi” hingga ke film horrornya. Tidak masalah memang, mungkin ini maksud dari Killer Toon untuk memberikan rasa lain dalam filmnya. Terlepas dari semuanya, Killer Toon merupakan film horror Korea yang dari cukup mengerikan dan mampu menakut-nakuti penonton. Bisa dibilang ini adalah film horror Korea yang memuaskan ditengah lesunya film horror disana. Misteri yang terdapat dalam film ini juga mampu membuat rasa penasaran untuk terus mengikut setiap kasus serta fakta yang ditampilkan pada setiap adegannya. Twist-twist yang terdapat dalam film ini juga terasa ampuh. Selain kisah yang berbalut misteri yang baik, tentu saja pengaruh web-comic yang booming disana menjadi hal pendukung keberhasilan film ini dalam meraih jumlah penonton yang banyak. Desember 2013 l Kinescope l 29
  • 16. REVIEW “Snowpiercer” menawarkan kisah “Post Apocalypse” dimana bumi kembali mengalami “Ice Age” setelah sebuah percobaan meluncurkan sebuah zat ke lapisan ozon yang bertujuan untuk menekan pemanasan global pada tahun 2014 berakhir gagal dan membuat bumi mengalami zaman es sehingga kehidupan dibumi pun berangsur-angsur punah. Snowpiercer Bong Joon-Ho, 2013 Rohman Sulistiono S ekitar seminggu setelah terhibur dengan film Horror asal Korea Selatan, “Killer Toon”,, kini saya kembali “dihadapkan” dengan satu lagi film “Box Office” asal negara “Super Junior” tersebut. Ya akhir-akhir ini memang “Invasi” Korea pada negara ini tidak hanya melalui muka mulus boyband-girlband serta cerita Melodrama yang hampir tiap sore “nangkring” di televisi lokal melainkan juga dengan film-film yang tayang dibioskop lokal. Tentu hal ini bukan berarti sebagai hal yang negatif, sisi baiknya adalah penonton mempunyai pilihan lain dalam menonton film dibioskop selain film-film lokal serta tentu saja Hollywood yang merajai pasar. Film Korea yang rilis di Indonesia-pun mayoritas mampu dikategorikan “memuaskan” penonton. Tahun ini saja setidaknya ada “Miracle in Cell No.7”, “Mr.Go”, “The Flu” dan tentu saja 30 l Kinescope l Desember 2013 “Snowpiercer” karya Bong Joon-Ho. Bong Joon-Ho adalah sutradara Korea yang namanya cukup “Wangi” di perfilman dunia. Bagaimana tidak, film-film karyanya bisa dibilang mengesankan . “The Host” contohnya yang rilis pada tahun 2005 mampu berdiri kokoh dipuncak “Box Office” Korea Selatan hingga saat ini. Bong Joon-Ho bisa dibilang sutradara asal Korea Selatan favorite saya selain kreator dari “Oldboy” yang juga memiliki nama besar di Korea Selatan, Park Chan- Wook. Para “Survivor” yang selamat dari keganasan dinginnya bumi mencoba bertahan hidup di sebuah kereta lokomotif yang sangat panjang dan bergerbong banyak bernama “Snowpiercer”. Mereka yang selamat hidup dengan kesenjangan sosial yang sangat terasa didalam kereta. Terjadi “pembatas” antara si miskin yang tinggal di ekor dan si Kaya yang tinggal dibagian depan gerbong. Merasa tidak diperlakukan adil dan keji, Curtis Everett (Chris Evans) bersama “Kaum Ekor” seperti Edgar (Jamie Bell) dan sosok yang dituakan serta dihormati Gilliam (John Hurt) merancanakan sebuah revolusi. Sebuah gerakan menuntut keadilan serta menjatuhkan kekuasaan sosok yang dianggap bak dewa bagi beberapa penghuni “Snowpiercer”, Wilford (Ed Harris) karena Wilford-lah sang pembuat kereta “Snowpiercer” dan dianggap bak sosok yang suci karena menyelamatkan dari “kiamat” bagi orang-orang di gerbong depan. Namun bagi orang-orang digerbong ekor, Wilford-lah dalang dibalik kesengsaraan hidup mereka selama 17tahun di Kereta. Awalnya saya berpikir bahwa “Snowpiercer” adalah film khas “Musim Panas” dengan balutan efek yang menawan serta bertujuan “hanya” sebagai penghibur penonton. Namun, Bong Joon-Ho membawa kisah yang diangkat dari novel grafis berbahasa Prancis dengan judul asli “Le Transperceneige” ini kedalam cerita yang cukup berat dan penuh makna. Dengan tema yang dewasa berbalut beberapa intrik politik didalamnya membuat film ini tidak begitu saja “menyuapi” cerita dan makna dalam film kepada penonton. Penonton akan diperlihatkan sebuah miniatur kehidupan disetiap gerbong yang dilalui oleh gerombolan Curtis. Bong Joon-Ho mampu menyimbolkan dengan baik kereta dengan keadaan sosial dibumi sesungguhnya. Mengenal system kelas. Manusia dibatasi oleh “Gerbong-gerbong” berkedok kekayaan, jabatan, atau hal lain sehingga manusia yang miskin punya tempat sendiri, di ekor dengan fasilitas sesuai dengan “kelas”nya. Si kaya yang mampu membayar lebih mempunyai tempat sendiri yang tidak mau diusik oleh kelas dibawahnya. Seperti layaknya ketika menaiki kereta. Kita akan dituntut memilih untuk menggunakan kelas mana. Ekonomi atau eksekutif? Dan kita akan menerima sesuai apa yang kita bayar. “Snowpiercer” jelas tidak seperti film Bong Joon-Ho sebelumnya. Ada rasa Hollywood didalamnya. Ya memang ini adalah kesempatan emas bagi Bong Joon-Ho untuk mengharumkan namanya dikancah perfilman dunia serta mengikuti jejak teman senegaranya, Park Chon-Wook yang telah lebih dulu menggarap film Hollywood “Stoker”. Bong Joon-Ho tentu saja tidak menyia-nyiakan “fasilitas” khas Hollywood yang dia dapatkan. Cast yang sudah terkenal dan mendunia, Special Effect yang menawan khas film-film blockbuster dan tentu saja kucuran dana besar mengiringi pembuatan “Snowpiercer”. Segala “kenikmatan” itu tidak lantas membuat Bong Joon-Ho “termakan”. Sentuhan sineas yang juga terkenal dengan “Memories of Murder” tetap menunjukan ciri khas nya. Bong Joon-Ho tetap mampu meramu sisi estetis dan tematis menjadi sebuah tontonan yang berkualitas. Segala fasilitas Hollywood tetap tidak membuat Bong Joon-Ho lupa akan kualitas dan menjaga orisinalitas dalam berkarya. Dikaruniai beberapa cast yang telah dikenal luas tak membuat “Snowpiercer” hanya sebagai tontonan menjual tampang semata. Penampilan sosok “Captain America” Chris Evans bisa dikatakan beda dari penampilannya di film lain. Di tangan Bong Joon-Ho sosok “Superhero” bersifat “Baik-baik” ini dibuat menjadi sosok lelaki 30-an pemimpin revolusi kaum bawah yang keras dan agak ambisius. Chris Evans mampu memancarkan begitu menderitanya dan begitu keras upayanya untuk menuntuk keadilan dari sosok di gerbong depan yaitu Wilford. Usaha keras Chris Evans untuk membangkitkan sosok Curtis bisa dibilang berhasil dengan mampu melepas bayang-bayang karakter “superhero” yang biasa dia perankan di film-film Hollywood. Bong Joon-Ho juga mampu menempatkan Jamie Bell dan John Hurt pada pos-pos yang tepat. Yang sekali lagi sang sineas tidak menyia-nyiakan nama terkenal di Hollywood ini hanya sebagai pengait penonton namun juga memaksimalkan kontribusi mereka dalam film ini. Namun yang paling mencuri perhatian adalah sosok Mason yang diperankan Tilda Swinton yang mengesalkan namun beberapa perilakunya dapat menggelitik dan mengundang tawa. Saya masih ingat betul Tilda sebagai Eva, sosok ibu yang penuh beban hidup dalam “We Need To Talk About Kevin” dan saya melihat “sosok Lain” Tilda Swanson pada film ini. Dengan penampilan khas ningrat dan perilaku yang mampu membuat penonton gemas, Tilda mampu meghidupkan sosok mason yang keji dan mengesalkan. Tilda sukses memerankan tokoh antagonis yang menyebalkan namun mengesankan ini. Diantara nama-nama Hollywood, Bong JoonHo tetap menggunakan talenta lokal asal Korea Selatan. Song Kang-ho dan Go Ah-sung adalah dua artis asal Korea Selatan yang berperan sebagai Bapak dan Anak yang sama-sama pecandu batu bernama Kromol. Song KangHo yang pernah bekerjasama dengan Bong Joon-Ho sebelumnya pada film “Memories of Murder” ini memerankan mantan kepala keamanan yang turut membantu kelompok Curtis melewati lorong demi lorong. Bisa dibilang penampilan bapak – dan anak ini adalah pemeran penting dalam menunjukkan salah satu ciri khas dari Bong Joon-Ho, Black Comedy. Komedi yang dilontarkan melalui gimmick atau ucapan mereka mampu mengundang tawa penonton. Snowpiercer merupakan debut film berbahasa Inggris pertama Bong Joon-Ho yang sekali lagi saya tekankan tidak disia-siakan oleh sang sineas. Bong Joon-Ho mampu meramu segala elemen baik tema cerita, cast yang telah dikenal luas, sisi estetis serta visual effect khas Hollywood yang mampu memanjakan mata menjadi sebuah kesatuan yang membuat “Snowpiercer” menjadi film Bong Joon-Ho rasa Hollywood yang masih layak untuk ditonton. Walau Snowpiercer ber-setting hanya dikereta, namun Snowpiercer mampu memberikan pengalaman menonton yang megah. Tema Snowpiercer tentang batasan kelas dalam kehidupan sosial yang disampaikan oleh Bong Joon-Ho menyentil kepada seluruh aspek kehidupan masyarakat yang memandang manusia dan membatasi manusia dengan sistem kelas. Sistem kelas yang membatasi lini kehidupan manusia dijadikan alasan sebagai salah satu cara mempertahankan keseimbangan kehidupan dibumi. Dilain sisi pembatasan antara si kaya dengan si miskin secara luas dapat menghasilkan kesenjangan sosial serta mungkin saja dapat menimbulkan pemberontakan di salahsatu kubu atau terjadi perpecahan. Seperti yang tergambar pada Snowpiercer dimana sistem kelas mampu menyulut pemberontakan antara kaum yang tinggal di gerbong ekor terhadap orangorang yang tinggal di bagian depan kereta sedangkan Wilford menganggap batasan itu harus ada untuk menjaga keseimbangan dalam kehidupan. Lantas apakah batasan menggunakan sistem kelas dibutuhkan untuk kehidupan? Desember 2013 l Kinescope l 31
  • 17. REVIEW HOURS Thea Fathanah Arbar Apa yang kamu lakukan bila terjebak selama 48 jam di rumah sakit tanpa listrik, tanpa pasokan makanan bersama bayi yang baru lahir secara prematur yang harus berada di inkubator? Berlatar belakang 29 Agustus 2005, Nolan Hayes (Paul Walker) mengantarkan istrinya, Abigail (Génesis Rodríguez) menuju ke rumah sakit New Orleans untuk melahirkan anak pertama mereka. 32 l Kinescope l Desember 2013 N olan harap-harap cemas menanti anak pertama mereka. Tak lama setelah masuknya Abigail ke ruang operasi, badai Katrina menyerang kota New Orleans dan menghancurkan pantai Louisiana. Nolan tidak terlalu perduli dengan badai Katrina, ia hanya perduli dengan istrinya yang sedang berjuang melahirkan anak pertama mereka. Setelah beberapa jam, Dr. Edmonds (Yohance Myles) memberitahu Nolan bahwa Abigail melahirkan seorang anak perempuan. Namun ternyata sang istri meninggal akibat kehabisan darah. Kelahiran buah hati yang seharusnya menjadi hal yang sangat membahagiakan, dengan cepat berubah menjadi kesedihan dan keterpurukan. Nolan tidak bisa menerima kematian istrinya begitu saja. Ia tak percaya Abby (nama panggilan istrinya) meninggal sebelum ia melihat jasadnya. Nolan mencari jasad Abby dan ia langsung makin terpuruk setelah melihat jasad istrinya. Di kala Nolan tengah berusaha mengatasi keterpurukannya atas kepergian istrinya, Suster Shelly (Kerry Cahlil) mendatanginy untuk memberikan akta kelahiran anak perempuannya. Nolan berpikir lama. Tak lama ia menulis ‘Abigail’ di akta kelahiran itu. Bersamaan dengan itu, efek badai Katrina benar-benar membuat seisi rumah sakit panik dan bersiap untuk dievakuasi ke rumah sakit yang lainnya. Baby Abigail yang baru lahir tidak bisa dibawa begitu saja karena belum mampu bernafas sendiri dan perlu bantuan alat-alat medis. Di sinilah naluri seorang ayah keluar. Ketika semua penghuni rumah sakit berlomba-lomba untuk pergi ke tempat yang lebih aman (termasuk dokter dan perawat), Nolan harus tetap tinggal di dalam rumah sakit untuk menemani dan melindungi anaknya. Tanpa listrik, tanpa pasokan makanan, dan dengan persediaan batere inkubator yang hanya bertahan 3 menit (dan terus berkurang) bila tidak dipompa dengan alat pompa listrik manual, Nolan harus berjuang agar baby Abigail tetap bisa bernafas di dalam inkubatornya. Ketika sedang berjuang untuk baby Abigail, Nolan teringat akan pertemuan pertamanya, kencan pertamanya, dan malam pertamanya dengan istrinya, Abby. Ingatan itu membuatkan Nolan makin bersungguh-sungguh untuk menjaga baby Abigail. Pasca badai Katrina, kota New Orleans lumpuh total. Banjir dimana-mana. Helikopter penyelamat mendekati rumah sakit, dengan cepat Nolan menaiki tangga menuju atap, namun malang, helikopter yang tadinya sudah mau menuju ke atap rumah sakit, mendadak pergi karena ditembaki oleh orang yang tidak diketahui identitasnya. Nolan sudah mulai tidak kuat dengan keadaan ini. Suasana sepi rumah sakit dan datangnya para penjarah bersenjata membuatnya makin terpuruk. Penjarah pertama hampir membunuh Nolan dan baby Abigail, namun dengan lihainya ia dan Sherlock –anjing penyelamat yang ia temukan sedang tersangkut tali di belahan rumah sakit yang lain- berhasil membuat penjarah bersenjata itu pergi dari rumah sakit. Tidak tidur dan kelelahan, Nolan masih harus menghadapi dua penjarah bersenjata lainnya. Walaupun lelah, Nolan berhasil mengalahkan mereka dengan menyuntikan segenggam suntikan yang berhasil membuat salah satu penjarah terbujur kaku, kemudian ia menembakan peluru ke kepala penjarah yang lain. Eric Heisserer (A Nightmare on Elm Street, Final Destination 5) berhasil membawa kita ‘masuk’ ke dalam film ini. Art yang apik, membuat suasana di film ini benar-benar membawa kita ikut merasakan apa yang dirasakan Nolan. Namun sayangnya akting Paul Walker di film ini tidak se-epic aktingnya di Fast & Furious. Latar belakang dan karakter Nolan Hayes yang tidak ditampilkan secara gamblang, membuat karakter ini dibayang-bayangi karakter Brian O’Conner dari Fast & Furious. Walaupun bergenre thriller, HOURS berhasil membuat mata saya dan beberapa mata penonton lainnya berkaca-kaca saat melihat Nolan Hayes terpuruk dengan keadaannya. Bagi penggemar berat Paul Walker, HOURS akan tayang eksklusif di Blitzmegaplex mulai tanggal 18 Desember 2013. Desember 2013 l Kinescope l 33
  • 18. Film, Kritik dan Logika OPINI Suluh Pamuji Ada dua jenis kritik film: kritik jurnalistik dan kritik akademis. Yang pertama muncul di koran harian. Yang kedua di jurnal ilmiah. Yang pertama biasa dikerjakan oleh wartawan di suatu surat kabar. Yang kedua oleh sarjana/ akademisi. Keduanya sama-sama punya peran di ranah kepenontonan. U ntuk menyingkatnya, kita kutip saja klise lama: masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Saya tidak hendak berfokus pada kategorisasi itu. Walaupun pada era digital ini, relevansi dari kategorisasi itu perlu ulang. Dalam esai ini, saya lebih tertarik untuk mengurai esensi dari kritik secara umum. Artinya, kritik dalam kategorisasi dan ikhwal apapun. Yang dalam konteks kita adalah kritk film. Berangkat dari hiruk pikuk kebebasan berpendapat, kritik—beserta sifatnya: kritis— berbaur dengan keluh kesah atas keadaan, terlebih di sosial media. Misalnya: Facebook dan Twitter. Hingga pada suatu malam, dalam obrolan via Facebook, kawan saya—sebut saja namanya Otong—bertanya: “Kritik itu dasarnya apa sih? Logika atau keluh kesah?” Pertanyaan itu terlontar tatkala si kawan merasa bahwa kritik dewasa ini lebih tampak sebagai keluh kesah, ketimbang analisis logis. Sebagaimana langit mendung yang kemudian meniscayakan keluhan: “Duh…! Bentar lagi mau hujan”. Dalam konteks film Indonesia, keluhan serupa juga terjadi. “Baim Wong meranin Soekarno. Duh…! Bentar lagi Indonesia bubar.” Demikianlah problem kritik—maaf, maksud saya keluh kesah—yang coba saya tangkap dari pertanyaan retoris dari kawan Otong. Keluh kesah macam itu boleh saja. Namun jika itu dianggap syahih sebagai kritik. Saya menolaknya. Kritik mestinya konstruktif. Ia harus punya dasar, urutan-urutan dan pembuktian logis. Itu setidaknya bagi saya— sebagaimana tersirat pada pertanyaan retoris dari kawan Otong di muka—kritik dasarnya adalah logika, bukan keluh kesah. Kenapa demikian? Untuk menjawabnya, kita perlu njlimet sejenak dengan pertanyaan: “Apa itu kritik?” Aspek yang paling bisa dipastikan dari terma “kritik” adalah aspek etimologisnya. 34 l Kinescope l Desember 2013 Kritik merupakan kata benda yang kerap diasosiakan dengan kata sifat: kritis. Kritik berakar dari bahasa Latin criticus dan Yunani kritikós. Keduanya memiliki arti: ketrampilan menilai. Saya pribadi lebih suka mengartikan kritik sebagai upaya untuk memberikan nilai. Memberikan nilai terhadap apa? Terhadap objek tertentu. Misalnya: film. Dengan demikian, jika kritik itu adalah kritik film, berarti kritik film adalah upaya untuk memberikan nilai pada film. Bisa satu film, bisa banyak film. Menempatkan banyak film sebagai objek kritik tentu saja lebih ribet. Ini biasanya dilakukan oleh kritikus film untuk memperoleh panorama filmik yang lebih luas. Yang jelas intinya, dalam upaya menilai (baca: kritik) berarti ada penilai dan sesuatu yang dinilai. Dalam KBBI, kritik diartikan sebagai ‘kecaman’—atau sekedar tanggapan yang kadang-kadang disertai dengan uraian dan pertimbangan baik-buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat dls. Walaupun diurai dengan bahasa lain. Kita punya arti leksikal dari kritik yang praktisnya adalah menilai. Karenanya kritik akan selalu berurusan dengan kategori nilai, seperti: benar, salah, baik, buruk, elok, jelek, bajik, durjana dls. Selanjutnya jika kita tengok posisi kritik dalam konteks modernitas. Kritik pada dasarnya mengemuka sebagai cara pandang manusia modern. Jelasnya ketika manusia memaksimalkan rasio/akal-budinya untuk menggapai pengetahuan yang lebih terang. Dengan demikian berarti, kritik berkait erat dengan rasionalitas. Atau meminjam ungkapan Martin Suryajaya: “kritik sebagai saudara kandung rasionalitas”. Dalam konteks filsafat, terma ‘kritik’ secara khusus dipakai Imanuel Kant dalam triologi Critique-nya: Critique of Pure Reason, Critique of Practical Reason, Critique of Judment. Di situ Kant mengesensialkan kritik menjadi kritisisme. Menurut Kant, “praktik kritisisme tidak hanya melibatkan kekuasaan lembagalembaga agama, politik, tapi juga nalar itu sendiri”. Kant hendak mengarahkan kritik pertama-tama pada nalar, spesifiknya: nalar murni. Jadi ketika nalar murni sebagai sasaran pertama kritik Kant, kemudian kita tahu kritik dikonstruksi oleh nalar. Maka dalam konteks Kantian, kritik kemudian berfungsi sebagai pemeriksa penilaian-penilaian dan klaim-klaim yang semata untuk menetapkan kesyaihannya sendiri. Sederhananya, dalam trilogi itu Kant hendak menunjukan bahwa sebuah kritik atas objek kritik tertentu bukan berarti bebas masalah. Atau dalam konteks kita, bisa diilustrasikan ulang bahwa sebuah kritik untuk film A dari kritikus B pada dasarnya terbuka untuk dikritik. Sampai sini, kita cukup tahu bahwa sebuah kritik film pertama-tama dimungkinkan karena adanya objek kritik bernama film. Selanjutnya, sebuah uraian kritis tentang film dimungkinkan karena adanya perangkat untuk mengoperasikan kritik. Perangkat itu bagi saya adalah nalar. Yang dalam konteks ilmiah, ilmu tentang nalar disebut logika. Demikianlah logika sebagai dasar kritik yang pada tataran praktisnya berlaku sebagai perangkat kritik. Logika perlu dioperasikan untuk melampaui keluh kesah. Sedemikian rupa sehingga kritik film kita, baik itu yang masuk kategori kritik jurnalistik, kritik akademis ataupun kritik blog—dalam era digital, bisa membersihkan diri dari keluh kesah. Alias eksplanasi kritik atau paparan dari hasil penilaian yang masih sebatas rasa-rasanya: rasa-rasanya aktor dalam film A bermain kurang baik; rasa-rasanya narasi sejarah B dalam film C kurang riset; rasa-rasanya filmaker kita masih sebatas tukang; atau rasa-rasanya penulis esai ini anti-perasaan; dan seterusnya... dan seterusnya...*** Desember 2013 l Kinescope l 35
  • 19. OPINI Dari Memoar ke Layar Lebar Baru-baru ini secara tidak sengaja saya ‘bertemu’ dengan salah satu penulis favorit saya, Homer ‘Sonny’ Hickam, Jr., melalui twitter. Buku memoirnya yang sangat bagus dan inspiratif, ‘Rocket Boys’ (1998) masih sering saya baca ulang di waktu senggang. Setahun setelah terbit, buku itu difilmkan dengan judul “October Sky” (1999). Film produksi Universal Studio itu disutradarai oleh Joe Johnston, dan para pemainnya antara lain Jake Gyllenhaal, Chris Cooper, dan Laura Dern. Wella Sherlita S onny Hickam melanjutkan memoar pertamanya dengan menerbitkan ‘The Coalwood Way’ (2000) dan ‘Sky of Stone’ (2002). Semula ia me-retweet pernyataan dan kesan saya tentang  buku ‘Rocket Boys’. Belakangan kami membahas aneka topik, terutama mengenai impian masa kanak-kanak dan cara ‘menghidupkan’ impian itu. Berbincang dengannya, meskipun hanya melalui Twitter dan Facebook, menularkan semangat dan keyakinan baru buat saya. Kata-katanya santai tapi ‘berisi’. Tidak sedikitpun ada kesombongan, 36 l Kinescope l Desember 2013 padahal ia ilmuwan dan penulis yang terkenal. Di dalam bukunya, Sonny berkisah ia lahir dan tumbuh besar di kota kecil bernama Coalwood, yang terletak di negara bagian Virginia, Amerika Serikat. Di daerah itu, setiap anak tak ubahnya seperti ‘dikutuk’ agar menjadi penambang batubara. Tidak ada pilihan lain. Sementara Sonny dan kelima temannya sangat terpengaruh oleh berita peluncuran roket ‘SPUTNIK” milik Rusia, pada tahun 1957. Berkat dukungan ibu guru yang penuh kasih (di dalam versi film diperankan oleh Laura Dern), akhirnya mereka meraih penghargaan dalam suatu kompetisi science. Roket pertama secara sederhana berhasil dibuat, dan terbang tinggi menembus langit di atas Coalwood, sekaligus ‘mematahkan’ mitos para orang tua bahwa anak-anak penambang Coalwood tak mungkin bisa menjadi ilmuwan, apalagi astronot. Hickam kelak mengambil kuliah teknik di Virginia University dan bekerja di NASA. Impiannya menjadi astronot akhirnya kesampaian. Kini ia telah pensiun, namun masih mem- bantu memberikan pelatihan bagi calon-calon astronot di AS; termasuk menjadi penasihat teknis dalam film ‘Gravity’ (2013). Kepada pria yang kini berusia 70 tahun itu, saya katakan bahwa bagian epilog dari ‘Rocket Boys’ adalah halaman yang saya tandai. Saya terharu dengan sikap ayah Sonny, Homer Hickam, Sr.,  yang akhirnya mengizinkan putranya yang cerdas meraih apa yang diinginkan. Dalam twitter-nya, Sonny membalas dengan kutipan indah dari ayahnya : “The only person who can tell you that you can’t reach your goal is yourself. And you’ll be wrong”. ‘Rocket Boys’ tidak berbeda jauh dengan buku memoar karya penulis-penulis Indonesia, seperti Andrea Hirata dan Ahmad Fuadi. Kesuksesan buku mereka juga belakangan difilmkan. Andrea dan Fuadi dalam hal merantau bahkan jauh lebih hebat dari Sonny Hickam. Bayangkan, Sonny hanya ingin menjadi insinyur dan astronot. Ia tidak berangkat ke luar negeri; tetapi ‘hanya’ belajar di Virginia Tech University. Andrea Hirata menuntut ilmu di Sorbonne, Perancis; dan Fuadi ke Amerika Serikat. Dari anak kampung di Pulau Belitong dan Danau Maninjau di Sumatera Barat, keduanya merantau ribuan mil ke benua seberang.   Tetapi perbedaan negara tempat studi itu bukan soal. Tidak pula saya kategorikan sebagai impian muluk yang ‘membutakan’ penulisnya ketika sudah mapan dan sukses seperti sekarang. Atau seperti kata seseorang di dalam blog-nya, bahwa kesuksesan Andrea dan Faudi membuat banyak anak-anak di kampung ingin pergi ke luar negeri, agar pulangnya nanti bisa seperti mereka berdua. Padahal, kata si penulis blog, untuk menjadi sukses itu tidak selalu harus sekolah di luar negeri. Saya sependapat dengan kalimatnya ini. Namun, saya kira pendapatnya yang khusus menyebut Andrea Hirata dan Ahmad Fuadi sebagai ‘biang keladi’ itu terlalu negatif. Ukuran keberhasilan suatu karya adalah ketika tujuan awalnya tercapai. Jika sekedar menggoreskan catatan pengalaman, keduanya masuk kategori berhasil, karena laris dimanamana.  Buku ‘Laskar Pelangi’, yang dialihbahasakan menjadi ‘The Rainbow Troops’, juga dibahas oleh banyak harian terkemuka seperti The Economist dan The Guardian. Perjuangan anak-anak agar bisa tetap sekolah, dan dukungan tanpa pamrih dari Ibu guru Muslimah dan Bapak Harfan, sebagai Kepala Sekolah adalah cerita masa lalu yang nyata, ada di Belitong.  Mungkin juga situasi sama masih terjadi hingga sekarang. Tidak perlu membanding-bandingkan tetralogi memoar Andrea Hirata itu dengan tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer, sebab mereka hidup di zaman yang jelas-jelas berbeda. Ini analogi yang timpang. Karya Pram adalah goresan sejarah yang penting untuk setiap anak Indonesia, agar mengenali identitas bangsanya sehingga terbit rasa hormat di dalam hati dan pikirannya. Sementara karya Andrea Hirata dan Ahmad Fuadi mengingatkan kita selalu, bahwa impian yang paling tidak mungkin sekalipun, bisa diwujudkan. Penulis Paulo Coelho dalam novelnya, ‘The Alchemist’, berkata: “Kalau engkau bersungguh-sungguh,  semesta akan berkonspirasi menolongmu.” Tidakkah ini serupa dengan ‘mantra Kyai di Pondok Pesantren tempat Alif (tokoh utama novel memoar ‘Negeri Lima Menara’) berguru, yaitu, ‘Man Jadda Wajada’ atau ‘Siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil’? Bagi mereka yang tinggal di kota besar dan dari keluarga dengan finansial yang cukup, mungkin relatif gampang untuk sekolah ke luar negeri. Tetapi bagi anak-anak di pedalaman, itu keinginan yang keterlaluan; mungkin bermimpi pun mereka tidak berani!   Maka, seperti yang diungkapkan Sonny Hickam, memoar adalah pengingat yang bisa dibagi. Ia lebih dari sekedar pengalaman pribadi penulisnya. Dan memoar yang difilmkan adalah upaya untuk berbagi lebih luas dan menjangkau lebih banyak orang. Tentu, dalam maksud dan cara yang positif. Desember 2013 l Kinescope l 37
  • 20. OPINI Rian Samin  Tattoo dan Subkultur Kaum Urban Meskipun masih dianggap tabu, di masyarakat kita tato merupakan sesuatu yang sudah sangat familiar. Bahkan bagi sebagian orang, tato amatlah lekat hubungannya dengan budaya, tak bisa dipungkiri, kini tato menjadi lifestyle kaum urban dan juga identitas personal. Selain sebagai lifestyle, tato juga menjadi simbol ekspresi dan kebebasan seseorang. Saat ini dunia tato semakin berkembang dengan semakin banyaknya jasa tato terutama di kota-kota besar, termasuk Yogyakarta. T ato atau rajah tubuh adalah ornamentasi budaya yang syarat akan simbolisasi. Sebagai bentuk budaya, usia seni tato sudah ratusan tahun. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya rajah tubuh pada mumi di Mesir, Peru, dan Chili. Hingga zaman modern ini, seni tato juga masih didapatkan pada suku-suku di Indonesia, di antaranya Dayak Kalimantan, Mentawai Sumatera, dan Papua. Athonk Sapto Raharjo, seniman tato yang aktif sejak 1996 punya pendapat sendiri. Setelah masuknya ajaran-ajaran agama yang menabukan tato, budaya merajah tubuh ini hampir lenyap dari Indonesia. Kemudian tato hanya dapat dijumpai pada orang-orang yang berada di luar kehidupan sosial yang normal. “Tato dianggap sebagai sub budaya yang dipakai oleh para preman, atau orang yang baru keluar dari penjara,” ujar seniman yang juga ketua Java Tatto Club ini. Jika melihat ke belakang, pada era Orde Baru di tahun 80-an, banyak orang yang ditembak secara misterius oleh aparat negara, yang kemudian dikenal dengan istilah ‘Petrus’ (Penembak Misterius). Menurut Athonk, fenomena ini bukan hanya menjadi ‘shock therapy’ untuk masyarakat, namun juga menimbulkan kecemasan yang luar biasa bagi orang yang sebelumnya sudah memiliki tato. Sejak itulah seni tato di Indonesia bergerak secara bawah tanah dan berjuang melawan 38 l Kinescope l Desember 2013 stigma dan pandangan miring yang telah ‘dibentuk’ sebelumnya. Menurut seniman tato yang juga dikenal sebagai komikus ini, pada era tersebut tidak ada studio tato yang resmi terbuka untuk umum, kecuali di beberapa kawasan wisata untuk turis asing di Bali, Lombok, dan Yogyakarta. Lebih lanjut Athonk menjelaskan bahwa fenomena tato mulai marak di awal tahun 90an. perkembangannya juga ditandai dengan popularnya beberapa grup musik rock yang memakai tato di tubuhnya, beberapa di antaranya adalah Guns N Roses dan Red Hot Chilli Peppers. Kedua band ini memuat gambar-gambar tato di sampul albumnya ‘Appetite For Destruction’, dan ‘Blood Sugar Sex Magik’. Perlu dicatat penjualan album kedua band ini cukup tinggi dan persebarannya di kalangan anak muda saat itu pun cukup pesat. Terutama saat vokalis Ret Hot Chilli Peppers sempat bertandang ke pedalaman Kalimantan untuk mencari budaya tato suku Dayak. Selanjutnya fenomena tato semakin berkembang ketika masyarakat mulai sadar dengan identitas personalnya yang berbeda antara satu dengan yang lain. Seniman tato yang pernah menempuh kuliah seni rupa di ISI Yogyakarta ini menjelaskan bahwa di era globalisasi semua suku bangsa sudah tersebar di tanah air. “Mereka inilah manusia yang Desember 2013 l Kinescope l 39
  • 21. “Orang Indonesia mulai sadar ternyata budaya asli Indonesia ada seni tato yang bisa dibanggakan,” -Athonk- tercerabut dari akar budaya aslinya, kehilangan simbol kesukuan yang menunjukan siapa, dan darimana asal mereka,” ujarnya. Banyak yang ingin mendapatkan tato karena ingin menunjukan identitas jati diri secara personal, dan memiliki gambar yang berbeda dengan yang lain. Sejak itulah muncul istilah ‘custom’ tato yang merupakan esensi dari seni tato modern Indonesia. Kemudian orang-orang yang bertato mulai membentuk komunitas yang solid, dan pada 1997 Java Tatto Club resmi didirikan. Meski sempat mengalami 40 l Kinescope l Desember 2013 banyak rintangan, dan reaksi negatif dari masyarakat, justru hal itu menurut Athonk membuat komunitas ini semakin solid. Tahun demi tahun, Java Tattoo Club menggelar acara tahunan. “Konsistensi inilah yang membantu perkembangan seni tato, dan kesadaran masyarakat untuk menerima tato sebagai aset budaya,” ungkapnya. Lois, seorang tattooist dan shop manager di CarpeDiem TattooStudio berujar bahwa belakangan ini komunitas tato di Yogyakarta lebih semangat dan produktif. Semakin banyak seniman tato muda yang muncul, dan berani tampil di depan publik dengan karyanya. Selain menjaga kualitas estetik, perempuan bernama lengkap Lois Nur Fathiarini ini juga berharap agar masalah disiplin yang berhubungan dengan higienisitas harus lebih diperhatikan. “Mungkin terlihat remeh, tapi seniman tato juga harus mengedukasi masyarakat tentang proses tato yang sehat, terutama tentang proses pembuatannya,” ujar seniman tato yang juga menjadi penjahit di Stroberi Hitam ini. Pertama kali Lois berkenalan dengan dunia kolektor tato pada tahun 2005. Awalnya ia tidak menyangka kalau komunitas tato di Yogyakarta itu ternyata besar. Ia memulai debut di komunitas ini hanya sebagai kolektor. Dari belasan tato yang terdapat di tubuhnya, hanya satu orang dari luar Yogya yang karyanya ada di kulitnya. Lois mengatakan bahwa pada dasarnya semua scene tato di Indonesia haus akan kesempatan, “Yaitu kesempatan untuk memperlihatkan hasil karya, untuk diakui, saling berkenalan, dan bekerja sama,” kata perempuan yang aktif di Magic Fingers Syndicate, sebuah jejaring informasi untuk penggiat handmade ini. Komunitas tato di Yogyakarta memang cukup solid, hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya gelaran yang mempertemukan para penyuka seni tato. Belum lama ini di Oxen Free, Sosrowijayan, Yogyakarta digelar acara ‘Tattoo For Charity’. Acara ini merupakan ajang penggalangan dana untuk membantu korban kecelakaan yang dialami beberapa anggota komunitas tato. Pada acara yang digelar selama tiga hari (18-20/9) lalu sejumlah seniman tato unjuk aksi memamerkan kebolehannya. Selain itu beberapa musisi juga tampil untuk ikut serta penggalangan dana, di antaranya Brilliant, Danu (Morning Horny), Wowok Erwe, Dendang Kampungan, Dj Metzdub, dan sebagainya. Sementara seniman lainnya melelang karya mereka yang penjualannya diberikan untuk donasi, mereka di antaranya Love Hate Love, Rubseight, El Kampretoz, Marmarherz, Metodos, dan lainnya. Adalah Helly El Mursito selaku penggagas acara yang ia berinisiatif untuk menggelar malam penggalangan dana. “Seluruh hasil kegiatan diserahkan untuk biaya perbaikan, dan berobat beberapa korban yang mengalami kecelakaan,” ujar pria yang menjadi seniman tato sejak 2001 ini. Sebagai seniman tato, Helly yang memiliki studio bernama Kerja Keras Kulture (KKK) ini lebih dikenal dengan gaya ‘Lettering Tattoo’. Selain menjadi seniman tato, lulusan Desain Grafis ISI Yogyakarta ini juga dikenal sebagai pembuat sampul album beberapa band, di antaranya Dubyouth, dan album terbaru Superman Is Dead ‘Sunset Di Tanah Anarki’. Dalam lingkungan urban, orang bertato seringkali berhadapan dengan administrasi formal dengan peraturan-peraturan tertentu, meski ada juga yang fleksibel. Tak jarang mereka akhirnya menghapus tato di tubuhnya dengan alasan pekerjaan, maupun beberapa alasan lainnya. Menurut seniman tato senior, Athonk Sapto Raharjo, bagi mereka yang ingin menghapus tatonya seharusnya berpikir lebih dahulu akan segala dampak dan kemungkinan buruknya. Sebab, lanjutnya jika ada tato yang jelek, kemudian dihapus dengan cara yang tidak benar, justru akan menghasilkan bekas luka yang lebih jelek juga. Ada beberapa cara untuk menghapus tato, di antaranya dengan cara laser, ini pun harus dengan ahlinya. Athonk juga menjelaskan bahwa menghapus tato harus dengan ahlinya, terutama dengan yang memiliki sertifikat dari dinas kesehatan sebagai penjamin. Ketua Java Tattoo ini juga menjelaskan, bagi yang bosan dengan tatonya juga bisa pakai metode cover-up, artinya tato lama diganti dengan tato yang baru. “Teknik dan cara ini lebih bagus, karena tidak meninggalkan bekas luka,” ucapnya. Di Toxic Tatto Park, studio tato kustom yang terletak di Jl. Sukonandi II no.9 Semaki Yogyakarta ini menyediakan jasa untuk menghapus tato (tattoo removal). Selain itu di sana juga melayani konsultasi, pengerjaan tato, dan piercing. Studio milik seniman tato, Munir Kusranto, dan istrinya Ajenk ini berdiri sejak 9 Juli 2000 . Kurang lebih duabelas tahun mereka menekuni bidang ini. Menurut Ajenk tamu yang datang untuk menghapus tato biasanya karena alasan pekerjaan, selain itu karena posisi gambar yang salah, atau gambar yang tidak bagus. Di Toxic sendiri untuk menghilangkan tato menggunakan laser, dan Ajenk sendiri yang mengeksekusinya. “Sebelum ingin menghapus, atau membuat, kami pasti memberikan konsultasi, dan dampak terburuk jika tidak bisa melakukan perawatan sesuai yang dianjurkan,” kata lulusan Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta ini. Meski tato bisa dihapus dengan laser, namun, lanjut Ajenk, dampak terburuknya adalah terjadinya keloid, setelah tato dihapus, maka akan terjadi bekas luka yang akan menjadi koreng, “Nah biasanya orang kan nggak betah kalau korengan, gatel, risih, tinggal sabar atau tidaknya aja,” ucap Ajenk yang beberapa kali menjadi partisipan pada eksebisi tato di Australia ini. Di antara para seniman tato, bisa dibilang Anneke adalah seniman tato wanita pertama di Yogya yang mempunyai studio sendiri. Sebelumnya, Anneke selama tiga tahun bekerja di studio Eternity Tattoo. Studio Anneke yang bernama Petrichor Tattoo tersebut terletak di Jalan Tirtodipuran no 15 Pada Maret lalu, perempuan kelahiran Bandung, 6 Juni 1985 ini berpartisipasi di event tattoo performance di Liquid Body Art, dengan tema Liquor. Di Tattoo Show, karya Anneke berhasil memenangkan kategori The Best Realist Tattoo. “Rada ngga nyangka tapi senang banget soalnya itu penghargaan pertamaku di dunia tattoo,” ujarnya. Hal yang menyenangkan lainnya juga terjadi di Kustomfest beberapa pekan lalu, dimana Anneke berhasil memenangkan kategori The Best Black And Grey Tattoo di tato kolaborasi dengan Mamat yang juga tattooist dari Yogyakarta. Yang membuatnya lebih puas adalah desain tato kolaborasi tersebut adalah murni orisinal buatannya. Menurut ibu dari Genta Senjakala ini hal yang perlu diperhatikan bagi seorang seniman tato adalah bisa menjaga ‘attitude’ (perilaku) ketika berada di ruang publik, jangan memberi kontribusi image negatif yang selama ini sudah melekat di profesi ini. Selain itu seniman tato juga harus membekali diri dengan edukasi yang paling mendasar soal personal hygine. Ke depannya Anneke mengatakan ingin mencoba menjadi guest artist di studio tato di kota lain, bahkan di negara lain. Ia juga menegaskan sebaiknya dipahami bahwa tato adalah ‘body decoration’ yang seharusnya bisa mempercantik tubuh, “Bukan menghambat laju karir dan kehidupan. Jadi keputusan yang bijak sangat disarankan,” ucapnya tersenyum. Desember 2013 l Kinescope l 41