Label Nur Zahra mengusung pakaian muslim wanita yang sederhana dengan warna kalem bersiluet longgar. Berawal dari mimpi berisi isyarat untuk berhijab bagi sang desainer Windri Widhiesta. Mimpi itu muncul lima tahun sebelum Windri mulai memakai jilbab. Koleksi Nur Zahra kemudian meraih kesuksesan internasional dengan tampil di Tokyo Fashion Week dan dimuat di majalah-majalah mode ternama.
1. MINGGU 6 JULI 2014
Pesona 17
M
impi itu datang
lima tahun lalu
dalam tidur
Windri Widhiesta
Dhari. Seseorang
menunjuk dan menggerakkan
tangannya ke arah kepalaWindri
membentuk kerudung.“Pakailah
sesuatu yang hitam untuk melin-
dungimu,” ujar Windri, Rabu
lalu, menirukan kata-kata yang
selalu dia ingat hingga kini. Saat
itu Windri belum memakai jil-
bab, apalagi menjadi desainer
label pakaian muslim Nur Zahra
seperti yang dia jalani saat ini.
Bungatiduritumasihberlanjut
dengan mimpi lain lagi. Dalam
mimpi kedua, Windri melihat
seorang pria bersorban yang
tersenyum kepadanya. “Saat dia
berdiri di sebelah saya, ternyata
orangnya tinggi banget,” ujar
Windri. Di pojok lain ruangan
yang dilihat dalam mimpinya itu,
Windri melihat sekelompok anak
kecil berpakaian putih-putih
sedang membacakan surat Al-
Fatihah. “Terbangun dari mimpi
sampai keringatan.”
Setelah itu, Windri mendisku-
sikan mimpinya kepada teman-
teman. “Jangan-jangan (maksud
mimpi) itu jilbab, kata teman-
ku. Aku langsung deg, ngerasa
itu isyarat,” kata dia. Keesokan
harinya, Windri segera bergegas
mencari pakaian yang menutup
aurat di salah satu department
store. Dia tidak siap untuk
langsung pergi ke toko pakaian
muslim.
“Yang saya cari adalah scarf
bermerek dengan berbagai
macam motif, yang dulu juga
pernah dipakai Jacky Onasis,”
kata dia. Onasis adalah janda
mendiang Presiden Amerika
Serikat John F.Kennedy.Dia juga
merupakan salah seorang ikon
mode yang amat berpengaruh.
Windri juga emoh memberita-
hukan ibu ataupun adiknya yang
sudah terlebih dulu berhijab
dan minta diajari cara mema-
kai kerudung. “Takut mereka
berharap terlalu banyak, dan
tahu-tahu aku lepas lagi.” Dia
malah meminta pramuniaga di
toko untuk mengajarinya cara
menggunakan scarf. “Dulu kan
tidak ada tutorial pakai hijab
seperti sekarang yang ada di
mana-mana.”
Hari itu, dia juga membeli
beberapa potong abaya, tunik,
ataupun hijab polos.Tapi mantan
sales manager untuk Guess ini
kemudian berpikir ulang untuk
memakai abaya ataupun tunik
yang dia anggap kurang sesuai
dengan gaya personal dirinya.
“Saya pikir, kayaknya akan
lebih baik kalau saya pakai
hijab, tapi tetap pakai kardigan,
maxi dress, atau celana yang
longgar. Kebetulan kan saya
sudah punya juga. Enggak perlu
beli lagi,” kata Windri. Gaya
inilah yang kemudian menjadi
awal pengembangan Nur Zahra,
merek busana muslim yang dia
dirikan pada 2009.
Nur Zahra kemudian bergerak
cepat. Gaya Windri yang tidak
berangkat dari busana muslim,
melainkan dari busana umum
yang disesuaikan dengan syarat-
syarat keagamaan, itu menarik
banyak peminat. Perhatian inter-
nasional pun didapatkannya.
Nur Zahra menjadi label busana
muslim pertama yang tampil di
Tokyo Fashion Week. Dari Tokyo
Fashion Week, Maret lalu, desain
Windri menjadi sampul depan
tabloid mode Women’s Wear
Daily yang menjadi rujukan
industri mode dunia.
Juni lalu, nama Windri juga
masuk jajaran Designers to
Watch versi majalah Harper’s
Bazaar Amerika Serikat. Dia
disandingkan dengan label
Trademark (New York) dan
Samuuji (Finlandia). Tidak
hanya itu,September mendatang,
Windri juga bakal diperkenalkan
sebanyak satu halaman di maja-
lah Vogue edisi Italia.
Segala capaian internasional
itu mungkin tidak diperkirakan
oleh siapa pun. Awalnya, Windri
menitipkan busananya di sebuah
restoran di kawasan Kemang,
serta mengandalkan promosi dari
arisan ke arisan. Nur Zahra mulai
berkembang dengan promosi
mulut ke mulut. Windri kemudi-
an mendapatkan tawaran untuk
membuka toko di gerai khusus
Level One, pusat belanja Grand
Indonesia.Saat itu,kawasan Level
One yang terletak di lantai dasar
ini memang diperuntukkan bagi
desainer yang baru mengembang-
kan labelnya.
Dari Level One, Nur Zahra
mulai mengikuti Indonesia
Fashion Week, sebelum akhirnya
menjadi peserta Jakarta Fashion
Week 2014, pada September
2013. Dia juga terpilih untuk
mengikuti program Indonesia
Fashion Forward bersama Center
For Fashion Entrepreneur dan
kementerian terkait. “Waktu itu
kami ditanya kesediaan untuk go
international,”kata Windri.
Windri saat itu sudah mengem-
bangkan produk batik yang bela-
kangan dikenal dengan nama
batik indigo. Produk ini ramah
lingkungan, karena mengguna-
kan tanaman tarum (Indigofera
tinctoria) untuk memberikan
warna biru tua. Konsep pewar-
naan ini punya teknik yang sama
dengan teknik pewarnaan shibo-
ri atau jumputan Jepang.
Bedanya, Windri banyak
memasukkan motif geometri
Islam sebagai salah satu karakter
kain miliknya. “Sebagian besar
pasar kami saat itu adalah mere-
ka yang mengerti kain, karena
tahu untuk memproduksi kain
kami sangat susah, dan kebetul-
an ada juga beberapa klien asal
Singapura yang memang sudah
menjadi pasar kami dan tergila-
gila kain,”ujar dia.
Windri punya prinsip Triple C
untuk pakaian muslim yang dia
produksi.“It’s covered (tertutup),
chic (bergaya), dan conscious
(sadar lingkungan),”ujar Windri.
“Saya mengincar mereka yang
baru memakai jilbab supaya
enggak kebingungan seperti saya
dulu,”ujar Windri.
Tapi bukan berarti pakaian
yang dirancang oleh Windri
tidak menarik mereka yang
belum berhijab.“Justru sebagian
besar pasar saya belum berhijab,”
kata dia. Ini sesuai juga dengan
tulisan Harper’s Bazaar Amerika
Serikat yang menyebut koleksi
Windri tetap universal, meski-
pun ditujukan bagi mereka yang
berhijab. ●
KERUDUNG
MIMPI
NURZAHRA
Label Nur Zahra
mengusung pakaian
muslim wanita yang
sederhana dengan
warna kalem bersiluet
longgar. Berawal dari
mimpi berisi isyarat
untuk berhijab bagi
sang desainer.
Subkhan
subkhan@tempo.co.id
ONLINE.WSJ.COM