Desainer muda Indonesia, Auguste Soesastro, tidak mendefinisikan kemewahan dalam desain busananya melalui penggunaan ornamen mewah seperti kristal atau payet emas. Ia lebih menekankan pada struktur dan kenyamanan busana. Produksi busana Auguste dilakukan secara terbatas dan berfokus pada penggunaan bahan ramah lingkungan.
1. T
ak ada taburan manik-
manik ataupun kristal
Swarovski dalam ran-
cangan desainer Auguste
Soesastro, 33 tahun. “Saya
tidak bisa merancang sesuatu
seperti itu atau memaksa diri
membuat serupa itu,”kata dia
di ruang pamer label Kraton
dan Kromo miliknya di
kawasan Jakarta Pusat, dua
pekan lalu.
Auguste cenderung meran-
cang pakaiannya dengan silu-
et longgar dan feminin tapi
tak provokatif. “Yang terpen-
ting adalah desain saya harus
body friendly.Tidak membuat
orang takut memakainya,”
ujar dia. Konsep itu mela-
wan arus mode lokal yang
cenderung mendefinisi-
kan kemewahan sebagai
sesuatu bertabur kristal
atau payet keemasan.
“Saat saya pertama kali
tampil di Jakarta Fashion
Week, banyak orang kaget,
‘kok polos banget’,” ujarnya
soal reaksi publik ihwal
karyanya.Bagi dia,taburan
ornamen gemerlap bukan-
lah fokus utama dalam
sebuah desain pakaian.
Di Indonesia, pakaian
gemerlapan seperti itu-
lah yang sering disebut
sebagai adibusana.
Padahal, kata dia,
hal tersebut salah
kaprah. Istilah adi-
busana, menurut
Auguste, merujuk
pada pengerjaan
konstruksi pakaian
dengan tangan.
“Kalaumerekamengerti
sejarah mode,istilah adibu-
sana itu tidak ada hubung-
annya dengan berapa banyak
ornamen dalam pakaian,”
kata Auguste, lulusan Ecole
de la Chambre Syndicale de la
Couture Parisienne—sekolah
adibusana di Paris.
Auguste mengatakan ia
masih sering turun tangan
menjahit beberapa koleksi
pakaiannya. “Kalau susah
sekali, saya kerjakan sendi-
ri,” katanya. Menjahit, dia
menambahkan, juga menjadi
salah satu cara untuk bereks-
plorasi bagi seorang desainer
untuk berkarya.
Dalam koleksi terbaru-
nya yang ditampilkan pada
malam Dewi Fashion Knights
di Jakarta Fashion Week 2015
pada November lalu, Auguste
mengaku menjahit sendiri
beberapa potong pakaian
yang diperagakan.
Dia menuturkan, seindah
apa pun sebuah pakaian,
fungsi tetap menjadi hal
utama. “Pakaian yang baik
harus ergonomis,” ucapnya.
Yang ia maksudkan, bagian
paling penting dari desain
sebuah baju bukan hanya
terletak pada aspek estetis.
“Untuk apa bentuknya indah
tapi tidak nyaman dipakai?”
Struktur pakaian, dari
perancangan pola hingga
jahitan, harus dipikirkan
dengan matang dan diuji ber-
kali-kali. Untuk itu, Auguste
sering memakai desainnya
sendiri.“Agar saya tahu sebe-
rapa nyaman pakaian itu
kalau dipakai,”kata dia.
Mengetahui kenyamanan
bahan yang digunakan pen-
ting, selain ketepatan kon-
struksi jahitan. Pengalaman
yang didapat dari mengguna-
kan pakaian itu sambil ber-
aktivitas menjadi salah satu
cara lulusan jurusan film dan
seni digital dari Australian
National University tersebut
menguji desainnya sendiri.
“Saya pernah merombak
konstruksi jaket hingga lima
kali,” kata dia. Sedikit rasa
tidak nyaman pada jahitan di
bagian ketiak atau hambatan
pada pergerakan bisa mem-
buat Auguste membongkar
kembali desainnya sampai
kesalahan itu diperbaiki.
Produksi pun bisa tiba-
tiba dibatalkan olehnya saat
menemukan cacat dalam
barang contoh yang dibuat
lebih dulu.“Seperti ini, misal-
nya, saya tidak mau ini ada
kilapnya,” ujar dia sembari
menunjukkan bagian sebuah
jaket berwarna biru.
Kilap itu muncul dari proses
penyetrikaan yang dilakukan
oleh pihak garmen.“Saat saya
minta agar tidak ada bagian
kilapnya, mereka tidak mau
menyanggupi karena harus
mengganti setrika,”kata dia.
Auguste juga menaruh per-
hatian besar pada pemakai-
an bahan ramah lingkungan
untuk pakaiannya. Hampir
semua bahan baku pakaiannya
menggunakan hasil produksi
sendiri. “Itu sudah menjadi
tanggung jawab. Saya mau
masuk bidang ini bukan untuk
merusak (bumi),”ujar dia.
Penggunaan serat alami,
seperti serat nanas ataupun
metode tenun tradisional,
menjadi pilihan Auguste
untuk memastikan pakaian-
nya ramah lingkungan. Proses
desain yang begitu rinci dan
hati-hati ini membuat pakai-
an Auguste tidak bisa dipro-
duksi massal.
“Kapasitas produksi
kami masih sedikit sekali.
Jumlahnya di bawah puluh-
an,” kata dia. Produksi itu
pun sebagian harus meme-
nuhi permintaan salah satu
pelanggan di Denmark. Itu
sebabnya, pakaian Auguste
tidak mudah dijumpai kecuali
melalui pemesanan khusus.
“Kami sedang memper-
timbangkan untuk membuka
sebuah toko tahun depan,”
katanya. Saat ini, perusaha-
annya yang berbasis di Swiss
tengah mengkaji pemilihan
lokasi yang baik. “Mungkin
bukan di mal,”ujar Auguste.●
MINGGU 28 DESEMBER 2014
Pesona 17
Kemewahan bagi Auguste bukan terletak pada
ornamen, melainkan struktur dan fungsi pakaian.
StandarTinggi
Auguste
Subkhan
subkhan@tempo.co.id
busana koleksi desainer
Auguste Soesastro pada
hari terakhir Jakarta
Fashion Week 2015 di
Fashion Tent Senayan City,
Jakarta, November lalu.
TEMPO/NURDIANSAH
TEMPO/FRANNOTO
Fashion designer Indonesia, Auguste Soesastro, berpose di apartemen-
nya, Jakarta, 16 Desember lalu.