1. Gemuruh suara kereta api lstrik melintas.Tepat di depan sebuah gubuk kecil
beratap daun tebu kering belapis, seorang gadis mungil berjalan memandang sang
lokomotif listrik melintas. Entah apa yang dia fikirkan, seolah bayangan tersendiri
muncul dari lintasan kereta itu. Mengubah jarak fokusnya menjadi sebuah rencana
hidup yang mungkin akan menjadi genggaman kecil baginya.
“Angin kereta, , ,” dia berhenti sejenak, menikmati hembusan ini. “nyaman..”
tampak senyuman melebarkan kedua bibirnya. Dia duduk, diatas sebuah batu depan
gubuk milik orangtuanya. Angin kereta menjadkan rambutnya terbelai indah,
mengalir, elok.
“selesai ya..” , dia rasanya agak kecewa telah ditingalkan oleh aura itu. Aura
yang menyenangkan baginya. Murung, ya , dia murung seketika.
“aku sendiri lagi .., hiks ” entahlah, dia menangis, dia kesepian. Sendiri di
sebuah gubuk peninggalan orangtuanya. Ya, peningglan. Orangtuanya sudah tiada tiga
hari lalu. Mereka tewas, termakan oleh ganasnya kehidupan masa kini. Tewas oleh
teknologi canggih saat ini. Teknologi yang menjadikan tubuh mereka hancur oleh
kecepatan luarbiasa benda logam berlari. Tiada yang tahu peristiwa itu, hanya sebuah
bukti sandang mereka.
Gadis itu, menangis. Masih menangis, belum mampu menerima ini. Hidup
dengan kaki sendiri, berdiri dan makan dengan anggota badan sendiri. Hidup dengan
menyelimuti diri sendiri ketika hawa dingin masuk ke gubuknya. Hidup tanpa
siapapun. Sebatang kara menjalani ini. Melindungi apapun yang menjadi peniggalan
sang ayah bunda. Tidak peduli siapa itu.
“Aku mau sendiri…” berteriak.
Sayup, matanya sayup, lelah. Namun dia tetap melanjutkan aliran air matanya.
Sedih, luarbiasa.
“kemana ayah bunda .. ? kenapa kalian belum pulang, ? adek kangen.”
Rintihnya memohon agar mereka kembali menemuinya, memeluknya seperti sedia
kala, menemaninya dalam tidur, bercerita dan mengisahkan seribu dongeng untuknya
sebelum tidur.
Kini, muka tampan dan cantik itu, seolah sirna, ditelan bumi pertiwi. Gadis.