Sebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-Ondelferrydmn1999
Indonesia, negara kepulauan yang kaya akan keragaman budaya, suku, dan tradisi, memiliki Jakarta sebagai pusat kebudayaan yang dinamis dan unik. Salah satu kesenian tradisional yang ikonik dan identik dengan Jakarta adalah ondel-ondel, boneka raksasa yang biasanya tampil berpasangan, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Ondel-ondel awalnya dianggap sebagai simbol budaya sakral dan memainkan peran penting dalam ritual budaya masyarakat Betawi untuk menolak bala atau nasib buruk. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan zaman, makna sakral ondel-ondel perlahan memudar dan berubah menjadi sesuatu yang kurang bernilai. Kini, ondel-ondel lebih sering digunakan sebagai hiasan atau sebagai sarana untuk mencari penghasilan. Buku foto Lensa Kampung Ondel-Ondel berfokus pada Keluarga Mulyadi, yang menghadapi tantangan untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel warisan leluhur di tengah keterbatasan ekonomi yang ada. Melalui foto cerita, foto feature dan foto jurnalistik buku ini menggambarkan usaha Keluarga Mulyadi untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel sambil menghadapi dilema dalam mempertahankan makna budaya di tengah perubahan makna dan keterbatasan ekonomi keluarganya. Buku foto ini dapat menggambarkan tentang bagaimana keluarga tersebut berjuang untuk menjaga warisan budaya mereka di tengah arus modernisasi.
1. BIOGRAFI MARAH RUSLI
Pria bernama lengkap Marah Rusli bin Abu Bakar ini sudah
tertarik pada dunia sastra sedari kecil. Hal itu ditandai dengan
kegemaran Marah Rusli mendengar kisah-kisah dari buku roman
Barat yang kerap dibawakan tukang kabba, sebutan untuk
pendongeng di Sumatera Barat yang berkeliling kampung menjual
cerita nya.
Ayahnya, Sultan Abu Bakar, adalah seorang bangsawan dengan
gelar Sultan Pangeran yang bekerja sebagai demang. Sementara
ibunya seorang
wanita biasa. Gelar "Marah" di depan namanya, diberikan oleh
keluarga ayahnya sebab ibunda Marah Rusli tidak memiliki gelar Puti yang biasa disandang putri
bangsawan.
Marah bersekolah di Rofdenschool, Bukittinggi dan menamatkan pendidikannya di sekolah yang
kerap disebut sebagai 'sekolah raja' itu di tahun 1910. Semasa bersekolah, pria kelahiran Padang
7 Agustus 1889 ini dikenal sebagai siswa yang cerdas dan berprestasi. Sehingga ketika lulus,
salah satu gurunya yang bernama Hoornsma menganjurkan Marah untuk belajar ke negeri
Belanda. Namun, orang tuanya tidak mengizinkan karena Marah merupakan anak semata
wayang.
Marah Rusli kemudian hijrah dari Padang ke kota Bogor untuk melanjutkan studinya di sekolah
dokter hewan. Setelah merampungkan kuliahnya, ia kembali ke kampung halamannya. Namun
tanpa sepengetahuannya, ayahnya telah menjodohkannya dengan gadis sekampungnya. Marah
pun berontak, berbagai alasan ia lontarkan untuk membatalkan perjodohan tersebut. Namun, tak
ada satu pun yang berhasil mencairkan kekerasan hati ayahnya. Akhirnya, dengan terpaksa, ia
menerima pernikahan itu, dengan syarat, setelah menikah ia akan langsung menceraikan istrinya.
Tentu saja, syarat tersebut ditolak mentah-mentah. Marah yang merasa semakin terpojok
akhirnya secara diam-diam meninggalkan Padang, dan kembali ke Bogor.
Ketika bermukim di Kota Hujan itulah, roman Siti Nurbaya lahir. Roman yang pengerjaannya
mulai dirintis tahun 1918 itu ditulis berdasarkan pengalaman di sekitar adat dan tradisi di
kampung halamannya sekaligus pengalaman pribadinya yang dipaksa menikah dengan gadis
pilihan orangtuanya.