SlideShare a Scribd company logo
1 of 10
Download to read offline
MISKONSEPSI DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DITINJAU
DARI FILSAFAT MATEMATIKA
Rezky Agung Herutomo
1. Tinjauan Singkat tentang Miskonsepsi
Leinhardt, Zaslavsky, & Stein (1990) mendefinisikan miskonsepsi sebagai
pemahaman yang salah dalam pengetahuan siswa yang terjadi secara berulang dan
eksplisit. Miskonsepsi siswa dalam pembelajaran matematika disebabkan karena
kurangnya pemahaman konsep matematika. Miskonsepsi tersebut menimbulkan
keprihatinan karena mengarah pada pembentukan konsep dan generalisasi yang
salah yang pada gilirannya menghambat pembelajaran matematika.
Gagasan miskonsepsi merujuk pada garis pemikiran yang menyebabkan
serangkaian kesalahan yang dihasilkan dari kesalahan premis yang mendasari
suatu konsep atau proses tertentu, bukan kesalahan sporadis yang tidak sistematis
(Nesher, 1987). Oleh karena itu, sumber kesalahan dalam matematika adalah
miskonsepsi, meskipun ada sumber lain yang menyebabkan terjadinya kesalahan
seperti kecerobohan atau penggunaan bahasa yang menyesatkan. Adanya
miskonsepsi pengetahuan sebelumnya akan menghambat proses akuisisi
pengetahuan baru dan akan menyebabkan siswa terus membuat kesalahan selama
belajar materi aljabar dan materi terkait lainnya.
Miskonsepsi berbeda dari kesalahan. Olivier (1989) menyatakan bahwa
kesalahan adalah jawaban yang salah karena perencanaan yang tidak tepat dan
tidak sistematis yang diterapkan dalam menyelesaikan permasalahan matematika,
atau dengan kata lain kesalahan adalah jawaban yang secara aktual salah dalam
menjawab soal (Young & O’Shea, 1981). Di sisi lain miskonsepsi adalah gejala
struktur kognitif yang menyebabkan kesalahan. Hal tersebut juga dipertegas oleh
Resnick & Omanson (1987) yang menyatakan bahwa miskonsepsi merupakan
alasan yang paling mendasar yang mengakibatkan terjadinya kesalahan.
Penjelasan di atas juga sejalan dengan pendapat Egodawatte (2011) yang
menjelaskan bahwa miskonsepsi bukan merupakan kesalahan acak yang terjadi
karena sifat falibilitas manusia, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan jauh ke
dalam pemikiran dan keyakinan siswa untuk menemukan alasan dibalik kesalahan
yang terjadi. Karena kesalahan siswa berdasarkan keyakinan pada konsep yang
salah dan hal itu bertahan dalam pemikiran siswa, akibatnya terjadi konstruksi
pengetahuan dan pemahaman yang salah (miskonsepsi) selama proses
pembelajaran berlangsung. Oleh karena itu, dengan menyelidiki sistem keyakinan
siswa yang salah pada suatu konsep matematika, maka akan diperoleh penjelasan
tentang alasan sebenarnya di balik keyakinan yang salah tersebut.
Perbedaan lain terkait miskonsepsi dan kesalahan juga dijelaskan oleh Li
(2006), yakni miskonsepsi adalah struktur kognitif yang salah dan lebih stabil
muncul pada konteks masalah yang berbeda, sedangkan kesalahan muncul secara
tidak stabil pada konteks masalah yang berbeda. Hal senada juga dikemukakan
oleh Hammer (1996) bahwa miskonsespi merupakan kesalahan yang terjadi akibat
struktur kognitif yang salah, berbeda dari pemahaman para ahli, mempengaruhi
pemahaman fundamental siswa, dan harus dihindari untuk lebih meningkatkan
pemahaman. Jadi miskonsepsi adalah kesalahan yang muncul secara
berulang/konsisten pada konteks yang berbeda, atau kesalahan yang muncul
secara konsisten dalam item tes yang berbeda sebagai akibat struktur kognitif
yang salah.
Mengacu pada penjelasan di atas, miskonsepsi sendiri dapat ditinjau baik
dari segi teori belajar maupun aliran filsafat matematika. Pada bagian ini lebih
difokuskan pada aliran filsafat matematika. Memang tidak secara eksplisit
menyatakan adanya miskonsepsi, namun secara implisit memberikan gambaran
bagaimana miskonsepsi itu bisa muncul berdasarkan aliran filsafat matematika
dalam pembelajaran.
2. Filsafat Matematika
Filsafat Matematika adalah cabang filsafat yang bertugas untuk merenungkan dan
mempertanggungjawabkan sifat-sifat matematika (Ernest, 1991). Menurut Even
(1990) sifat matematika melampaui batas pengetahuan konseptual dan prosedural
matematika. Lebih lanjut Even (1990) menegaskan bahwa pengetahuan tentang
sifat matematika mempengaruhi pengetahuan dan pemahaman tentang bagian
tertentu dari matematika. Ini berarti pengetahuan dan pemahaman konsep aljabar
tidak lepas dari pengetahuan tentang sifat-sifat matematika itu sendiri.
Ernest (1991) menyatakan bahwa dasar pengetahuan matematika
merupakan masalah fundamental dari Filsafat Matematika. Ada dua gerakan
utama dalam Filsafat Matematika, pertama, filsafat absolutisme, diantaranya
logisisme, formalisme, intuisionisme, dan Platonisme, yang menyatakan bahwa
matematika adalah tubuh pengetahuan yang bersifat absolut dan pasti. Absolutis
meyakini bahwa kebenaran matematika bersifat universal, independen dari
manusia dan budaya, dan bebas nilai. Kedua, filsafat fallibilisme (juga termasuk
konstruktivisme) yang menyatakan bahwa matematika dapat diperbaiki, bisa
keliru dan produk perubahan sosial. Konstruktivisme adalah sebuah epistemologi
yang memberikan penjelasan tentang sifat pengetahuan dan bagaimana manusia
belajar.
Aliran Filsafat Matematika memiliki pandangan yang berbeda tentang
konsep matematika dan pembelajarannya. Perbedaan tersebut bergantung pada
pandangan atau ide kunci yang mendasari aliran tersebut. Untuk lebih jelasnya,
berikut ini dipaparkan penjelasan tentang filsafat logisisme, formalisme,
intuisionisme, Platonisme, dan fallibilisme.
2.1 Logisisme
Logisisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa matematika murni adalah
bagian dari logika. Menurut pandangan ini konsep-konsep matematika dapat
direduksi menjadi konsep logis dan semua kebenaran matematika dapat
dibuktikan dari aksioma logika saja (Ernest, 1991). Lebih lanjut Ernest (1991)
berpendapat bahwa perlakuan logika tidak memberikan kontribusi akuisisi
pengetahuan tentang materi pelajaran, pandangan logisisme merupakan bentuk
kontra-produktif dalam pengembangan topik tertentu. Logisisme kurang
mengembangkan struktur kognitif yang berkaitan dengan topik yang dipelajari
siswa, sehingga tidak banyak membantu dalam pembelajaran matematika. Dengan
demikian logisisme mengurangi kepastian pengetahuan matematika dan itu
merupakan kegagalan prinsip dari logisisme. Logika tidak menyediakan suatu
dasar tertentu untuk pengetahuan matematika.
2.2 Formalisme
Formalis memandang matematika sebagai suatu permainan formal yang tak
bermakna (meaningless) di atas kertas, yang mengikuti aturan tertentu (Ernest,
1991). Formalisme dapat disamakan dengan pola belajar hafalan, belajar tanpa
pemahaman. Jika tujuan pembelajaran menekankan pada pencapaian pemahaman
konseptual aljabar, maka filsafat ini tidak cocok untuk diterapkan karena hanya
membuat siswa mempelajari aturan-aturan dalam aljabar tanpa memahami konsep
dasarnya. Jenis belajar ini mirip dengan pemahaman instrumental, dimana
pembelajaran terjadi tanpa memerlukan pemahaman pengetahuan sebelumnya
(Skemp, 1976). Hafalan memiliki masa retensi yang sangat rendah dibandingkan
dengan pembelajaran dengan pemahaman yang bermakna. Ini berarti filosofi
formalis tidak akan membantu siswa untuk mencapai pemahaman konseptual
pada materi aljabar karena hanya menekankan aturan dan prosedur untuk
memanipulasi simbol yang dipelajari.
2.3 Platonisme
Ernest (1991) menjelaskan bahwa Platonisme adalah pandangan yang menyatakan
bahwa objek matematika memiliki eksistensi objektif yang nyata di beberapa
wilayah yang ideal. Menurut pandangan Platonisme pengetahuan matematika
terdiri dari deskripsi benda-benda dan hubungan dan struktur yang
menghubungkan mereka. Menurut pandangan Platonisme, matematika telah ada
sebelumnya (Zevenbergen, Dole, & Wright, 2004). Platonis menolak gagasan
bahwa manusia adalah pencipta pengetahuan matematika, karena manusia tidak
dapat menciptakan objek-objek dalam matematika (Brown, 2008). Platonis
menekankan bahwa matematika merupakan pengetahuan statis, menolak sifat
dinamis dari pengetahuan matematika. Dengan demikian para Platonis
mengatakan matematika adalah produk dan bukan proses. Pandangan ini, jika
diadopsi oleh seorang guru matematika, maka guru hanya berpatokan pada benar
salahnya jawaban siswa, hal senada diungkapkan oleh Zevenbergen, Dole, &
Wright (2004) bahwa penilaian dalam pandangan Platonis bersifat objektif dan
menguji pengetahuan faktual, dengan kata lain penilaian bersifat benar atau salah.
Dengan demikian adopsi pandangan Platonis akan menyebabkan guru
mengabaikan kesalahan siswa dan tidak melakukan penyelidikan untuk mencari
tahu mengapa siswa melakukan kesalahan.
2.4 Intuisionisme
Ernest (1991) menjelaskan bahwa intuisionisme memberikan suatu dasar untuk
kebenaran matematika menurut versinya, dengan menurunkannya (secara mental)
dari aksioma-aksioma intuitif tertentu, penggunaan intuitif merupakan metode
yang aman dalam pembuktian. Pandangan ini berdasarkan pengetahuan yang
eksklusif pada keyakinan yang subyektif.
Intuisionisme tidak memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana
matematika bekerja dalam pikiran. Tidak dapat diketahui secara tepat pengetahuan
intuitif bekerja dalam pikiran. Menanggapi hal tersebut Ernest (1991) menyatakan
bahwa kebenaran absolut (yang diberikan intusionisme) tidak dapat didasarkan
pada padangan yang subyektif semata.
Menurut Ernest (1991) intuisi juga memberikan kesan bahwa pengalaman
batin adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang tersedia bagi umat manusia,
intuisi menolak pengaruh pengetahuan eksternal. Oleh karena itu matematika
tidak memiliki akses menuju konstruksi pengetahuan lain selain konstruksi
matematika itu sendiri, sehingga pengetahuan matematika bersifat subyektif.
Berdasarkan hal tersebut, Sumardoyono (2004) menjelaskan pola pikir intuitif
kurang baik dalam pembelajaran. Tidak bisa dibiarkan begitu saja siswa
menemukan jalan penyelesaiannya sendiri atau menggunakan bahasanya sendiri
dalam menyelesaikan masalah-masalah matematika.
Sumardoyono (2004) menjelaskan pola intuitif hanya mementingkan
hasilnya saja, asalkan benar maka tidak menjadi masalah. Meskipun demikian,
seharusnya siswa diarahkan pada penalaran yang benar dan juga penulisan
lambang formal yang tepat. Simbol-simbol matematika harus digunakan secara
tepat sebab hal tersebut merupakan bagian dari tujuan pembelajaran dalam rangka
mengkomunikasikan ide dengan menggunakan bahasa matematika yang baik dan
benar.
Demikian pula pada materi aljabar yang sarat akan penggunaan simbol,
tidak bisa dibiarkan begitu saja siswa memaknai simbol-simbol dalam aljabar
(misalnya: simbol variabel dan tanda sama dengan). Perlu adanya penekanan
kepada siswa tentang makna simbol dalam aljabar sesuai dengan karakteristik dan
sifat aljabar itu sendiri. Transisi aritmatika ke aljabar menyebabkan perluasan
makna simbol dari aritmatika ke aljabar. Hasil-hasil penelitian terdahulu telah
menunjukkan adanya miskonsepsi siswa dalam memahami makna simbol dalam
aljabar.
2.5 Fallibilisme
Ernest (1998) menjelaskan ada beberapa pandangan tentang fallibilisme, ada
klaim yang menyatakan bahwa fallibilisme adalah tesis tentang (1) manusia dapat
melakukan kesalahan dan bukan sebuah tesis tentang (2) status modalitas (bisa
jadi kekeliruan) dari apa yang dipercayai manusia. Sebaliknya ada pendapat yang
menyatakan bahwa fallibilisme adalah gagasan bahwa setiap pendapat atau
penilaian manusia mungkin bisa keliru. Dari kedua pandangan tersebut maka
semua pengetahuan termasuk pengetahuan matematika dapat dianggap sebagai
pengetahuan yang bisa saja salah sebagai akibat sifat falibilis manusia.
Lebih lanjut Ernest (1991) menjelaskan fallibilisme dalam filsafat
matematika merupakan pandangan yang menyatakan bahwa matematika dapat
diperbaiki, bisa keliru dan produk perubahan sosial. Ernest (2004) menjelaskan
bahwa fallibilisme tidak menolak citra absolut matematika sebagai pengetahuan
yang abstrak, tetapi matematika juga harus dikaitkan dengan serangkaian praktek
sosial dan aplikasinya dalam cabang ilmu lainnya.
Ernest (2004) menjelaskan bahwa manusia dapat menemukan pengetahuan
matematika melalui berbagai cara, sebab konsep-konsep matematika merupakan
konstruksi manusia (tetapi kebenarannya objektif), oleh karena itu perlu
pendekatan yang manusiawi dalam pembelajaran matematika. Epistemologi
fallibilis berpendapat bahwa meskipun pengetahuan matematika adalah konstruksi
sosial manusia, tetapi harus tetap mengacu pada batang tubuh konvensional
pengetahuan matematika dan bisa diterima oleh komunitas matematika, proses
seperti itulah yang harus ditekankan kepada siswa.
Epistemologi falibilis ini memiliki kesejajaran dengan proses
pembelajaran di kelas dan untuk mencapai pemahaman konseptual, manusia perlu
dipandang sebagai pencipta matematika. Pandangan tersebut sebagai dasar
penting metode penemuan dalam pembelajaran matematika. Tetapi perlu
diperhatikan bahwa meskipun siswa diberi kesempatan untuk menemukan sendiri
konsep-konsep matematika (meskipun konsep tersebut telah ada sebelumnya),
tetap perlu dilakukan kontrol terhadap apa yang siswa konstruksi dalam proses itu.
Pengetahuan bawaan siswa sangat menentukan konsep baru yang ditemukan atau
dipelajari oleh siswa, pemahaman yang salah akan membawa dampak negatif
pada pengetahuan konsep baru yang dipelajari siswa.
Referensi
Brown, J. 2008. Philosophy Of Mathematics: A Contemporary Introduction to the
World of Proofs and Pictures. London: Routledge.
Ernest, P. 1991. The Philosophy of Mathematics Education. London: Routledge-
Falmer.
Ernest, P. 1998. Social Constructivism as a Philosophy of Mathematics. New
York: Suny Press.
Ernest, P. 2004. What Is The Philosophy of Mathematics Education? In Paul
Ernest (Eds.), Philosophy of Mathematics Education Journal. 18, 1-14.
Even, R. 1990. Subject Matter Knowledge For Teaching and The Case of
Functions. Educational Studies on Mathematics. 21, 521-544.
Egodawatte, G. 2011. Secondary School Students’ Misconceptions In Algebra.
Dissertation. University of Toronto.
Hammer, D. 1996. Misconceptions or P-primes: How May Alternative
Perspectives of Cognitive Structure Influence Instructional Perceptions
and Intentions? The Journal of The Learning Science. 5(2), 97-127.
Leinhardt, G., O. Zaslavsky, & M. K. Stein. 1990. Functions, Graphs, and
Graphing”. Review of Educational Research. 60(1), 1-64.
Li, X. 2006. Cognitive Analysis Of Students’ Errors and Misconceptions In
Variables, Equations, and Functions. Dissertation. Texas A&M
University.
Nesher, P. 1987. Towards an Intructional Theory: The Role Of Student’s
Misconceptions. For the Learning Of Mathematics. 7(3), 33-39.
Olivier, A. 1989. Handling Pupils’ Misconceptions. Pythagoras. 21, 9-19.
Skemp, R. 1976. Relational Understanding and Instrumental Understanding.
Mathematics Teaching. 77, 20-26.
Sumardyono. 2004. Karakterisitik Matematika dan Implikasinya Terhadap
Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Pusat Pengembangan
Penataran Guru Matematika.
Young, R. & O’Shea, T. 1981. Errors in Children’s Subtraction. Cognitive
Science. 5(2), 153-177.
Zevenbergen, R., Dole, S., & Wright, R. J. 2004. Teaching Mathematics in
Primary Schools. Australia: Allen & Unwin.

More Related Content

Viewers also liked

Viewers also liked (6)

Problematika matematika
Problematika matematikaProblematika matematika
Problematika matematika
 
Miskonsepsimte3111 130104232356-phpapp02 (1)
Miskonsepsimte3111 130104232356-phpapp02 (1)Miskonsepsimte3111 130104232356-phpapp02 (1)
Miskonsepsimte3111 130104232356-phpapp02 (1)
 
Miskonsepsi mte 3111
Miskonsepsi mte 3111Miskonsepsi mte 3111
Miskonsepsi mte 3111
 
Inovasi Matematik
Inovasi MatematikInovasi Matematik
Inovasi Matematik
 
Soalan PKSR 2 Matematik Tahun 2 2014
Soalan PKSR 2 Matematik Tahun 2 2014Soalan PKSR 2 Matematik Tahun 2 2014
Soalan PKSR 2 Matematik Tahun 2 2014
 
Kertas kerja kursus kepimpinan 2016
Kertas kerja kursus kepimpinan  2016Kertas kerja kursus kepimpinan  2016
Kertas kerja kursus kepimpinan 2016
 

Recently uploaded

Aksi Nyata Menyebarkan Pemahaman Merdeka Belajar.pdf
Aksi Nyata Menyebarkan Pemahaman Merdeka Belajar.pdfAksi Nyata Menyebarkan Pemahaman Merdeka Belajar.pdf
Aksi Nyata Menyebarkan Pemahaman Merdeka Belajar.pdf
subki124
 
PPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptx
PPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptxPPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptx
PPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptx
MaskuratulMunawaroh
 
Contoh PPT Seminar Proposal Teknik Informatika.pptx
Contoh PPT Seminar Proposal Teknik Informatika.pptxContoh PPT Seminar Proposal Teknik Informatika.pptx
Contoh PPT Seminar Proposal Teknik Informatika.pptx
IvvatulAini
 
443016507-Sediaan-obat-PHYCOPHYTA-MYOPHYTA-dan-MYCOPHYTA-pptx.pptx
443016507-Sediaan-obat-PHYCOPHYTA-MYOPHYTA-dan-MYCOPHYTA-pptx.pptx443016507-Sediaan-obat-PHYCOPHYTA-MYOPHYTA-dan-MYCOPHYTA-pptx.pptx
443016507-Sediaan-obat-PHYCOPHYTA-MYOPHYTA-dan-MYCOPHYTA-pptx.pptx
ErikaPutriJayantini
 
.....................Swamedikasi 2-2.pptx
.....................Swamedikasi 2-2.pptx.....................Swamedikasi 2-2.pptx
.....................Swamedikasi 2-2.pptx
furqanridha
 

Recently uploaded (20)

Aksi Nyata Menyebarkan Pemahaman Merdeka Belajar.pdf
Aksi Nyata Menyebarkan Pemahaman Merdeka Belajar.pdfAksi Nyata Menyebarkan Pemahaman Merdeka Belajar.pdf
Aksi Nyata Menyebarkan Pemahaman Merdeka Belajar.pdf
 
Konseptual Model Keperawatan Jiwa pada manusia
Konseptual Model Keperawatan Jiwa pada manusiaKonseptual Model Keperawatan Jiwa pada manusia
Konseptual Model Keperawatan Jiwa pada manusia
 
AKSI NYATA TOPIK 1 MERDEKA BELAJAR. PPTX
AKSI NYATA TOPIK 1 MERDEKA BELAJAR. PPTXAKSI NYATA TOPIK 1 MERDEKA BELAJAR. PPTX
AKSI NYATA TOPIK 1 MERDEKA BELAJAR. PPTX
 
RENCANA + Link2 MATERI Training _"SISTEM MANAJEMEN MUTU (ISO 9001_2015)".
RENCANA + Link2 MATERI Training _"SISTEM MANAJEMEN MUTU (ISO 9001_2015)".RENCANA + Link2 MATERI Training _"SISTEM MANAJEMEN MUTU (ISO 9001_2015)".
RENCANA + Link2 MATERI Training _"SISTEM MANAJEMEN MUTU (ISO 9001_2015)".
 
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
MODUL AJAR IPAS KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR IPAS KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR IPAS KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR IPAS KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
Sudut-sudut Berelasi Trigonometri - Sudut-sudut Berelasi Trigonometri
Sudut-sudut Berelasi Trigonometri - Sudut-sudut Berelasi TrigonometriSudut-sudut Berelasi Trigonometri - Sudut-sudut Berelasi Trigonometri
Sudut-sudut Berelasi Trigonometri - Sudut-sudut Berelasi Trigonometri
 
Topik 4_Eksplorasi Konsep LK Kelompok_Pendidikan Berkelanjutan
Topik 4_Eksplorasi Konsep LK Kelompok_Pendidikan BerkelanjutanTopik 4_Eksplorasi Konsep LK Kelompok_Pendidikan Berkelanjutan
Topik 4_Eksplorasi Konsep LK Kelompok_Pendidikan Berkelanjutan
 
PPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptx
PPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptxPPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptx
PPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptx
 
Contoh PPT Seminar Proposal Teknik Informatika.pptx
Contoh PPT Seminar Proposal Teknik Informatika.pptxContoh PPT Seminar Proposal Teknik Informatika.pptx
Contoh PPT Seminar Proposal Teknik Informatika.pptx
 
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
AKSI NYATA Numerasi Meningkatkan Kompetensi Murid_compressed (1) (1).pptx
AKSI NYATA  Numerasi  Meningkatkan Kompetensi Murid_compressed (1) (1).pptxAKSI NYATA  Numerasi  Meningkatkan Kompetensi Murid_compressed (1) (1).pptx
AKSI NYATA Numerasi Meningkatkan Kompetensi Murid_compressed (1) (1).pptx
 
MODUL AJAR IPAS KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR IPAS KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR IPAS KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR IPAS KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
PPT BAHASA INDONESIA KELAS 1 SEKOLAH DASAR
PPT BAHASA INDONESIA KELAS 1 SEKOLAH DASARPPT BAHASA INDONESIA KELAS 1 SEKOLAH DASAR
PPT BAHASA INDONESIA KELAS 1 SEKOLAH DASAR
 
Webinar 1_Pendidikan Berjenjang Pendidikan Inklusif.pdf
Webinar 1_Pendidikan Berjenjang Pendidikan Inklusif.pdfWebinar 1_Pendidikan Berjenjang Pendidikan Inklusif.pdf
Webinar 1_Pendidikan Berjenjang Pendidikan Inklusif.pdf
 
443016507-Sediaan-obat-PHYCOPHYTA-MYOPHYTA-dan-MYCOPHYTA-pptx.pptx
443016507-Sediaan-obat-PHYCOPHYTA-MYOPHYTA-dan-MYCOPHYTA-pptx.pptx443016507-Sediaan-obat-PHYCOPHYTA-MYOPHYTA-dan-MYCOPHYTA-pptx.pptx
443016507-Sediaan-obat-PHYCOPHYTA-MYOPHYTA-dan-MYCOPHYTA-pptx.pptx
 
Prov.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdf
Prov.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdfProv.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdf
Prov.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdf
 
Skenario Lokakarya 2 Pendidikan Guru Penggerak
Skenario Lokakarya 2 Pendidikan Guru PenggerakSkenario Lokakarya 2 Pendidikan Guru Penggerak
Skenario Lokakarya 2 Pendidikan Guru Penggerak
 
.....................Swamedikasi 2-2.pptx
.....................Swamedikasi 2-2.pptx.....................Swamedikasi 2-2.pptx
.....................Swamedikasi 2-2.pptx
 
Penyuluhan DM Tipe II Kegiatan Prolanis.ppt
Penyuluhan DM Tipe II Kegiatan Prolanis.pptPenyuluhan DM Tipe II Kegiatan Prolanis.ppt
Penyuluhan DM Tipe II Kegiatan Prolanis.ppt
 

Miskonsepsi dalam pembelajaran matematika ditinjau dari filsafat matematika

  • 1. MISKONSEPSI DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DITINJAU DARI FILSAFAT MATEMATIKA Rezky Agung Herutomo 1. Tinjauan Singkat tentang Miskonsepsi Leinhardt, Zaslavsky, & Stein (1990) mendefinisikan miskonsepsi sebagai pemahaman yang salah dalam pengetahuan siswa yang terjadi secara berulang dan eksplisit. Miskonsepsi siswa dalam pembelajaran matematika disebabkan karena kurangnya pemahaman konsep matematika. Miskonsepsi tersebut menimbulkan keprihatinan karena mengarah pada pembentukan konsep dan generalisasi yang salah yang pada gilirannya menghambat pembelajaran matematika. Gagasan miskonsepsi merujuk pada garis pemikiran yang menyebabkan serangkaian kesalahan yang dihasilkan dari kesalahan premis yang mendasari suatu konsep atau proses tertentu, bukan kesalahan sporadis yang tidak sistematis (Nesher, 1987). Oleh karena itu, sumber kesalahan dalam matematika adalah miskonsepsi, meskipun ada sumber lain yang menyebabkan terjadinya kesalahan seperti kecerobohan atau penggunaan bahasa yang menyesatkan. Adanya miskonsepsi pengetahuan sebelumnya akan menghambat proses akuisisi pengetahuan baru dan akan menyebabkan siswa terus membuat kesalahan selama belajar materi aljabar dan materi terkait lainnya. Miskonsepsi berbeda dari kesalahan. Olivier (1989) menyatakan bahwa kesalahan adalah jawaban yang salah karena perencanaan yang tidak tepat dan
  • 2. tidak sistematis yang diterapkan dalam menyelesaikan permasalahan matematika, atau dengan kata lain kesalahan adalah jawaban yang secara aktual salah dalam menjawab soal (Young & O’Shea, 1981). Di sisi lain miskonsepsi adalah gejala struktur kognitif yang menyebabkan kesalahan. Hal tersebut juga dipertegas oleh Resnick & Omanson (1987) yang menyatakan bahwa miskonsepsi merupakan alasan yang paling mendasar yang mengakibatkan terjadinya kesalahan. Penjelasan di atas juga sejalan dengan pendapat Egodawatte (2011) yang menjelaskan bahwa miskonsepsi bukan merupakan kesalahan acak yang terjadi karena sifat falibilitas manusia, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan jauh ke dalam pemikiran dan keyakinan siswa untuk menemukan alasan dibalik kesalahan yang terjadi. Karena kesalahan siswa berdasarkan keyakinan pada konsep yang salah dan hal itu bertahan dalam pemikiran siswa, akibatnya terjadi konstruksi pengetahuan dan pemahaman yang salah (miskonsepsi) selama proses pembelajaran berlangsung. Oleh karena itu, dengan menyelidiki sistem keyakinan siswa yang salah pada suatu konsep matematika, maka akan diperoleh penjelasan tentang alasan sebenarnya di balik keyakinan yang salah tersebut. Perbedaan lain terkait miskonsepsi dan kesalahan juga dijelaskan oleh Li (2006), yakni miskonsepsi adalah struktur kognitif yang salah dan lebih stabil muncul pada konteks masalah yang berbeda, sedangkan kesalahan muncul secara tidak stabil pada konteks masalah yang berbeda. Hal senada juga dikemukakan oleh Hammer (1996) bahwa miskonsespi merupakan kesalahan yang terjadi akibat struktur kognitif yang salah, berbeda dari pemahaman para ahli, mempengaruhi pemahaman fundamental siswa, dan harus dihindari untuk lebih meningkatkan
  • 3. pemahaman. Jadi miskonsepsi adalah kesalahan yang muncul secara berulang/konsisten pada konteks yang berbeda, atau kesalahan yang muncul secara konsisten dalam item tes yang berbeda sebagai akibat struktur kognitif yang salah. Mengacu pada penjelasan di atas, miskonsepsi sendiri dapat ditinjau baik dari segi teori belajar maupun aliran filsafat matematika. Pada bagian ini lebih difokuskan pada aliran filsafat matematika. Memang tidak secara eksplisit menyatakan adanya miskonsepsi, namun secara implisit memberikan gambaran bagaimana miskonsepsi itu bisa muncul berdasarkan aliran filsafat matematika dalam pembelajaran. 2. Filsafat Matematika Filsafat Matematika adalah cabang filsafat yang bertugas untuk merenungkan dan mempertanggungjawabkan sifat-sifat matematika (Ernest, 1991). Menurut Even (1990) sifat matematika melampaui batas pengetahuan konseptual dan prosedural matematika. Lebih lanjut Even (1990) menegaskan bahwa pengetahuan tentang sifat matematika mempengaruhi pengetahuan dan pemahaman tentang bagian tertentu dari matematika. Ini berarti pengetahuan dan pemahaman konsep aljabar tidak lepas dari pengetahuan tentang sifat-sifat matematika itu sendiri. Ernest (1991) menyatakan bahwa dasar pengetahuan matematika merupakan masalah fundamental dari Filsafat Matematika. Ada dua gerakan utama dalam Filsafat Matematika, pertama, filsafat absolutisme, diantaranya logisisme, formalisme, intuisionisme, dan Platonisme, yang menyatakan bahwa
  • 4. matematika adalah tubuh pengetahuan yang bersifat absolut dan pasti. Absolutis meyakini bahwa kebenaran matematika bersifat universal, independen dari manusia dan budaya, dan bebas nilai. Kedua, filsafat fallibilisme (juga termasuk konstruktivisme) yang menyatakan bahwa matematika dapat diperbaiki, bisa keliru dan produk perubahan sosial. Konstruktivisme adalah sebuah epistemologi yang memberikan penjelasan tentang sifat pengetahuan dan bagaimana manusia belajar. Aliran Filsafat Matematika memiliki pandangan yang berbeda tentang konsep matematika dan pembelajarannya. Perbedaan tersebut bergantung pada pandangan atau ide kunci yang mendasari aliran tersebut. Untuk lebih jelasnya, berikut ini dipaparkan penjelasan tentang filsafat logisisme, formalisme, intuisionisme, Platonisme, dan fallibilisme. 2.1 Logisisme Logisisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa matematika murni adalah bagian dari logika. Menurut pandangan ini konsep-konsep matematika dapat direduksi menjadi konsep logis dan semua kebenaran matematika dapat dibuktikan dari aksioma logika saja (Ernest, 1991). Lebih lanjut Ernest (1991) berpendapat bahwa perlakuan logika tidak memberikan kontribusi akuisisi pengetahuan tentang materi pelajaran, pandangan logisisme merupakan bentuk kontra-produktif dalam pengembangan topik tertentu. Logisisme kurang mengembangkan struktur kognitif yang berkaitan dengan topik yang dipelajari siswa, sehingga tidak banyak membantu dalam pembelajaran matematika. Dengan
  • 5. demikian logisisme mengurangi kepastian pengetahuan matematika dan itu merupakan kegagalan prinsip dari logisisme. Logika tidak menyediakan suatu dasar tertentu untuk pengetahuan matematika. 2.2 Formalisme Formalis memandang matematika sebagai suatu permainan formal yang tak bermakna (meaningless) di atas kertas, yang mengikuti aturan tertentu (Ernest, 1991). Formalisme dapat disamakan dengan pola belajar hafalan, belajar tanpa pemahaman. Jika tujuan pembelajaran menekankan pada pencapaian pemahaman konseptual aljabar, maka filsafat ini tidak cocok untuk diterapkan karena hanya membuat siswa mempelajari aturan-aturan dalam aljabar tanpa memahami konsep dasarnya. Jenis belajar ini mirip dengan pemahaman instrumental, dimana pembelajaran terjadi tanpa memerlukan pemahaman pengetahuan sebelumnya (Skemp, 1976). Hafalan memiliki masa retensi yang sangat rendah dibandingkan dengan pembelajaran dengan pemahaman yang bermakna. Ini berarti filosofi formalis tidak akan membantu siswa untuk mencapai pemahaman konseptual pada materi aljabar karena hanya menekankan aturan dan prosedur untuk memanipulasi simbol yang dipelajari. 2.3 Platonisme Ernest (1991) menjelaskan bahwa Platonisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa objek matematika memiliki eksistensi objektif yang nyata di beberapa wilayah yang ideal. Menurut pandangan Platonisme pengetahuan matematika
  • 6. terdiri dari deskripsi benda-benda dan hubungan dan struktur yang menghubungkan mereka. Menurut pandangan Platonisme, matematika telah ada sebelumnya (Zevenbergen, Dole, & Wright, 2004). Platonis menolak gagasan bahwa manusia adalah pencipta pengetahuan matematika, karena manusia tidak dapat menciptakan objek-objek dalam matematika (Brown, 2008). Platonis menekankan bahwa matematika merupakan pengetahuan statis, menolak sifat dinamis dari pengetahuan matematika. Dengan demikian para Platonis mengatakan matematika adalah produk dan bukan proses. Pandangan ini, jika diadopsi oleh seorang guru matematika, maka guru hanya berpatokan pada benar salahnya jawaban siswa, hal senada diungkapkan oleh Zevenbergen, Dole, & Wright (2004) bahwa penilaian dalam pandangan Platonis bersifat objektif dan menguji pengetahuan faktual, dengan kata lain penilaian bersifat benar atau salah. Dengan demikian adopsi pandangan Platonis akan menyebabkan guru mengabaikan kesalahan siswa dan tidak melakukan penyelidikan untuk mencari tahu mengapa siswa melakukan kesalahan. 2.4 Intuisionisme Ernest (1991) menjelaskan bahwa intuisionisme memberikan suatu dasar untuk kebenaran matematika menurut versinya, dengan menurunkannya (secara mental) dari aksioma-aksioma intuitif tertentu, penggunaan intuitif merupakan metode yang aman dalam pembuktian. Pandangan ini berdasarkan pengetahuan yang eksklusif pada keyakinan yang subyektif.
  • 7. Intuisionisme tidak memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana matematika bekerja dalam pikiran. Tidak dapat diketahui secara tepat pengetahuan intuitif bekerja dalam pikiran. Menanggapi hal tersebut Ernest (1991) menyatakan bahwa kebenaran absolut (yang diberikan intusionisme) tidak dapat didasarkan pada padangan yang subyektif semata. Menurut Ernest (1991) intuisi juga memberikan kesan bahwa pengalaman batin adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang tersedia bagi umat manusia, intuisi menolak pengaruh pengetahuan eksternal. Oleh karena itu matematika tidak memiliki akses menuju konstruksi pengetahuan lain selain konstruksi matematika itu sendiri, sehingga pengetahuan matematika bersifat subyektif. Berdasarkan hal tersebut, Sumardoyono (2004) menjelaskan pola pikir intuitif kurang baik dalam pembelajaran. Tidak bisa dibiarkan begitu saja siswa menemukan jalan penyelesaiannya sendiri atau menggunakan bahasanya sendiri dalam menyelesaikan masalah-masalah matematika. Sumardoyono (2004) menjelaskan pola intuitif hanya mementingkan hasilnya saja, asalkan benar maka tidak menjadi masalah. Meskipun demikian, seharusnya siswa diarahkan pada penalaran yang benar dan juga penulisan lambang formal yang tepat. Simbol-simbol matematika harus digunakan secara tepat sebab hal tersebut merupakan bagian dari tujuan pembelajaran dalam rangka mengkomunikasikan ide dengan menggunakan bahasa matematika yang baik dan benar. Demikian pula pada materi aljabar yang sarat akan penggunaan simbol, tidak bisa dibiarkan begitu saja siswa memaknai simbol-simbol dalam aljabar
  • 8. (misalnya: simbol variabel dan tanda sama dengan). Perlu adanya penekanan kepada siswa tentang makna simbol dalam aljabar sesuai dengan karakteristik dan sifat aljabar itu sendiri. Transisi aritmatika ke aljabar menyebabkan perluasan makna simbol dari aritmatika ke aljabar. Hasil-hasil penelitian terdahulu telah menunjukkan adanya miskonsepsi siswa dalam memahami makna simbol dalam aljabar. 2.5 Fallibilisme Ernest (1998) menjelaskan ada beberapa pandangan tentang fallibilisme, ada klaim yang menyatakan bahwa fallibilisme adalah tesis tentang (1) manusia dapat melakukan kesalahan dan bukan sebuah tesis tentang (2) status modalitas (bisa jadi kekeliruan) dari apa yang dipercayai manusia. Sebaliknya ada pendapat yang menyatakan bahwa fallibilisme adalah gagasan bahwa setiap pendapat atau penilaian manusia mungkin bisa keliru. Dari kedua pandangan tersebut maka semua pengetahuan termasuk pengetahuan matematika dapat dianggap sebagai pengetahuan yang bisa saja salah sebagai akibat sifat falibilis manusia. Lebih lanjut Ernest (1991) menjelaskan fallibilisme dalam filsafat matematika merupakan pandangan yang menyatakan bahwa matematika dapat diperbaiki, bisa keliru dan produk perubahan sosial. Ernest (2004) menjelaskan bahwa fallibilisme tidak menolak citra absolut matematika sebagai pengetahuan yang abstrak, tetapi matematika juga harus dikaitkan dengan serangkaian praktek sosial dan aplikasinya dalam cabang ilmu lainnya.
  • 9. Ernest (2004) menjelaskan bahwa manusia dapat menemukan pengetahuan matematika melalui berbagai cara, sebab konsep-konsep matematika merupakan konstruksi manusia (tetapi kebenarannya objektif), oleh karena itu perlu pendekatan yang manusiawi dalam pembelajaran matematika. Epistemologi fallibilis berpendapat bahwa meskipun pengetahuan matematika adalah konstruksi sosial manusia, tetapi harus tetap mengacu pada batang tubuh konvensional pengetahuan matematika dan bisa diterima oleh komunitas matematika, proses seperti itulah yang harus ditekankan kepada siswa. Epistemologi falibilis ini memiliki kesejajaran dengan proses pembelajaran di kelas dan untuk mencapai pemahaman konseptual, manusia perlu dipandang sebagai pencipta matematika. Pandangan tersebut sebagai dasar penting metode penemuan dalam pembelajaran matematika. Tetapi perlu diperhatikan bahwa meskipun siswa diberi kesempatan untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika (meskipun konsep tersebut telah ada sebelumnya), tetap perlu dilakukan kontrol terhadap apa yang siswa konstruksi dalam proses itu. Pengetahuan bawaan siswa sangat menentukan konsep baru yang ditemukan atau dipelajari oleh siswa, pemahaman yang salah akan membawa dampak negatif pada pengetahuan konsep baru yang dipelajari siswa. Referensi Brown, J. 2008. Philosophy Of Mathematics: A Contemporary Introduction to the World of Proofs and Pictures. London: Routledge. Ernest, P. 1991. The Philosophy of Mathematics Education. London: Routledge- Falmer. Ernest, P. 1998. Social Constructivism as a Philosophy of Mathematics. New York: Suny Press.
  • 10. Ernest, P. 2004. What Is The Philosophy of Mathematics Education? In Paul Ernest (Eds.), Philosophy of Mathematics Education Journal. 18, 1-14. Even, R. 1990. Subject Matter Knowledge For Teaching and The Case of Functions. Educational Studies on Mathematics. 21, 521-544. Egodawatte, G. 2011. Secondary School Students’ Misconceptions In Algebra. Dissertation. University of Toronto. Hammer, D. 1996. Misconceptions or P-primes: How May Alternative Perspectives of Cognitive Structure Influence Instructional Perceptions and Intentions? The Journal of The Learning Science. 5(2), 97-127. Leinhardt, G., O. Zaslavsky, & M. K. Stein. 1990. Functions, Graphs, and Graphing”. Review of Educational Research. 60(1), 1-64. Li, X. 2006. Cognitive Analysis Of Students’ Errors and Misconceptions In Variables, Equations, and Functions. Dissertation. Texas A&M University. Nesher, P. 1987. Towards an Intructional Theory: The Role Of Student’s Misconceptions. For the Learning Of Mathematics. 7(3), 33-39. Olivier, A. 1989. Handling Pupils’ Misconceptions. Pythagoras. 21, 9-19. Skemp, R. 1976. Relational Understanding and Instrumental Understanding. Mathematics Teaching. 77, 20-26. Sumardyono. 2004. Karakterisitik Matematika dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Pusat Pengembangan Penataran Guru Matematika. Young, R. & O’Shea, T. 1981. Errors in Children’s Subtraction. Cognitive Science. 5(2), 153-177. Zevenbergen, R., Dole, S., & Wright, R. J. 2004. Teaching Mathematics in Primary Schools. Australia: Allen & Unwin.