Tulisan ini membahas ilmu tentang kegagalan (shippaigaku) yang diperkenalkan oleh Profesor Yotaro Hatamura dari Universitas Tokyo. Ilmu ini menganalisis sebab-sebab kegagalan/kecelakaan dari berbagai kasus terkenal secara sistematis. Hatamura tertarik mengajarkan ilmu ini kepada mahasiswanya karena mereka lebih antusias belajar dari contoh kegagalan daripada cara desain yang baik. Ilmu ini kemudian diterap
Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...
Ilmu tentang kegagalan
1. Ilmu tentang Kegagalan – Sebuah Pengantar
1 September 2009 901 views penulis: Fuziansyah Bachtar Print This Post
Seorang pembaca mengomentari tulisan penulis tentang sebab jatuhnya sang
goliat otomotif GM, bahwa produksi yang kurang efisien dibandingkan produk Jepang seperti Toyota adalah
alasannya. Memang apa yang dikomentari pembaca tersebut tidak salah, namun lebih tepat lagi kalau
disebutkan bahwa penyebab jatuhnya adalah banyak faktor, seperti produksi yang kurang efisien, tingginya gaji
buruh GM, gaya hidup mewah para top manajer (gaji dan bonus besar, tetap memakai pesawat jet meskipun di
masa krisis ekonomi), beban biaya lain-lain yang tinggi (dalam hal ini biaya kesehatan dan pensiun), lemahnya
inovasi produk baru, dan, yang menjadi fokus tulisan penulis kemarin, yaitu ketidakmampuan membaca
perkembangan zaman yang makin menuntut produk yang hemat BBM sekaligus juga ramah lingkungan.
Adalah menarik juga menganalisa peristiwa tersebut dengan kacamata Ilmu tentang Kegagalan (Study of
Failure), atau dalam istilah Jepangnya ’shippaigaku’ (shippai=gagal, kegagalan, gaku=ilmu). Penulis lebih
senang memakai istilah Jepang ini, karena ilmu ini memang dipopulerkan oleh orang Jepang.
Hukum Heinrich (Heinrich’s Law)
Studi tentang sebab-sebab kegagalan atau kecelakaan sebenarnya sudah dilakukan sejak lama. Yang terkenal
adalah sebuah laporan yang ditulis oleh Herbert William Heinrich pada tahun 1929. Bekerja di perusahaan
asuransi Amerika Serikat, dia meneliti data statistik jumlah kecelakaan kerja yang terjadi dari sekitar 550 ribu
data. Akhirnya dia menyimpulkan bahwa di balik 1 kecelakaan fatal ada 29 kecelakaan kecil, dan di baliknya lagi
ada 300 kecelakaan nyaris (peristiwa nyaris celaka). Inilah yang disebut dengan Hukum Heinrich [1]. Inti dari
hukum ini adalah suatu kecelakaan besar yang fatal pada dasarnya merupakan kumpulan dari beberapa
kecelakaan kecil, atau lebih tepat dikatakan kecerobohan kecil. Maka, seandainya kecerobohan kecil ini bisa
ditanggulangi sejak awal, kecelakaan besar tersebut bisa tercegah.
Hukum Heinrich
‘Shippaigaku’
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Takashi Tachibana, seorang kolumnis Jepang mengomentari studi
yang dilakukan oleh Yotaro Hatamura, seorang profesor teknik mesin di The University of Tokyo. Hatamura
2. ’sensei’ (artinya guru atau orang yang dianggap berilmu) sendiri mendalami bidang desain dan teknologi ‘nano
design’. Hatamura sensei mulai tertarik mendalami ’shippaigaku’ ketika menulis buku tentang desain mesin,
khususnya buku ketiganya yang membahas tentang kegagalan desain[2]. Setelah itu Hatamura sensei dan
beberapa murid-muridnya mengumpulkan beberapa fenomena kegagalan/kecelakaan yang terjadi di bidang
teknik, juga beberapa hal-hal penting yang bisa menjadi petunjuk untuk pembelajaran dan perbaikan di masa
depan, dan membuatnya menjadi sebuah buku yang khusus membahas tentang ’shippaigaku’[3].
Prof. Yotaro Hatamura
Misalnya tentang sebab kegagalan/kecelakaan, hal ini bisa terjadi karena beberapa faktor: ketidak-tahuan,
ketidak-pedulian, kelalaian, kesalahan prosedur, kekurangan data, problem organisasi, dll. Beberapa contoh
kecelakaan besar dijadikan contoh kasus seperti kebocoran reaktor nuklir Chernobil tahun 1986 dan hancurnya
jembatan Takoma tahun 1940, dll. Kebocoran reaktor nuklir Chernobil yang membuat heboh itu, terjadi karena
banyak sebab: desain reaktor yang kurang baik, sistem pengamanan yang lemah, tidak sampainya informasi
kelemahan reaktor kepada operator di lapangan dll. Sementara hancurnya jembatan Takoma misalnya praktis
karena faktor ketidak-tahuan. Jembatan Takoma ini hancur karena fenomena osilasi teralan mandiri (self excited
oscillation) oleh angin, yang saat itu relatif belum dikenal.
Secara ide kelihatannya sederhana, namun hal ini adalah usaha pertama kali untuk merangkum berbagai
kecelakaan/kegagalan/kasus dan sebab-sebabnya secara sistematis yang dirangkum dalam sebuah buku.
Karena itu, tidak lama setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris[3], buku ini banyak mendapat penerimaan
yang positif dari kalangan internasional.
Pengalaman Kegagalan
Hatamura sensei tertarik menjadikan ’shippaigaku’ sebagai bahan pembelajaran ketika menemukan para
mahasiswa kuliahnya kurang berminat mendengarkan penjelasan tentang bagaimana cara desain yang baik,
tetapi sangat antusias ketika dijelaskan tentang contoh-contoh kegagalan dalam desain. Penulis sendiri sangat
beruntung pernah mendapatkan kuliah langsung dari Hatamura sensei ketika kuliah S1. Hatamura sensei pernah
menjelaskan satu pengalaman kegagalannya yang sangat berkesan. Suatu hari murid-muridnya heran mengapa
untuk menguji kekuatan material logam cukup dengan melakukan uji tarik (tensile test), mengapa tidak dengan
uji kompresi (compression test). Maka dicobalah untuk melakukan uji kompresi. Ternyata ketika dilakukan,
material logam tersebut hancur dan terbang dengan kecepatan sangat cepat yang lintasannya nyaris mengenai
dirinya dan murid-muridnya, yang tentunya sangat membahayakan nyawa. Setelah pengalaman kegagalan itu,
Hatamura sensei menjadi sangat perhatian dalam masalah keselamatan.
3. Perluasan Bidang Aplikasi
Setelah buku tentang ’shippaigaku’ ditulis, mulailah konsepnya diterima banyak kalangan, yang kemudian
berlanjut dengan didirikannya Asosiasi Ilmu tentang Kegagalan (ASF, Association for the Study of Failure)[4]
pada tahun 2002. Kemudian dilanjutkan dengan pembuatan database tentang kegagalan (Failure Knowledge
Database)[5]. Yang perlu diperhatikan, data-data kegagalan itu tidak semua perlu dimasukan ke dalam
database, cukup beberapa contoh yang dijadikan pelajaran, mengingat kadang-kadang ada kemiripan antara
satu dengan yang lainnya. Meskipun awalnya dikhususkan untuk teknik mesin, ’shippaigaku’ ini diperluas
wilayahnya ke bidang teknik lainnya seperti teknik kimia, nuklir dll, bahkan juga masuk ke bidang manajemen,
mengingat ada beberapa kecelakaan/kegagalan yang disebabkan kesalahan di pihak manajemen.
Aplikasi di Indonesia
Ilmu ini sangat penting diterapkan di Indonesia. Banyak kasus-kasus kecelakaan dan kegagalan seperti
kecelakaan pesawat udara, kecelakaan kereta api, kegagalan mengatasi banjir tahunan, dll. Dalam beberapa
kasus, mungkin masih bisa dimaklumi seandainya kecelakaan/kegagalan itu merupakan peristiwa yang pertama
kali alias penyebabnya murni faktor ‘ketidak-tahuan’, namun kalau mengamati perkembangan berita, kebanyakan
yang terjadi di Indonesia adalah karena faktor ‘kelalaian’ atau ‘ketidak-pedulian’. Banyak di antaranya adalah
kecelakaan yang seharusnya bisa dicegah seandainya punya kemauan. Di mana ada kemauan, di sana ada
jalan!
Referensi:
[1] Heinrich’s Law, http://en.wikipedia.com/Heinrich_Law
[2] Buku ini berjudul dalam Bahasa Jepang 「続々・実際の設計ー失敗から学ぶ 」
atau dalam Bahasa Inggrisnya “Learning from Design Failure”. terbitan Springer Verlag. Terjemahan Inggris buku
pertama dan kedua digabung dalam sebuah buku “The Practice of Machine Design”, terbitan Oxford University
Press.
[3] Buku ini berjudul 「失敗学のすすめ」 atau dalam Bahasa Inggrisnya “Learning from Failure”.
[4] Association for the Study of Failure (dalam Bahasa Jepang), http://www.shippai.org
[5] 失敗知識データベース, http://shippai.jst.go.jp/fkd/Search
versi Bahasa Inggrisnya bisa dilihat di Failure Knowledge Database, http://shippai.jst.go.jp/en/Search
Catatan:
Penulis mohon maaf seandainya terjemahan beberapa istilah asing ke dalam Bahasa Indonesia dirasa kurang
tepat. Penulis berusaha menyesuaikan dengan kamus dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
Republik Indonesia. Bisa dilihat di http://pusatbahasa.diknas.go.id/glosarium/index.php