SlideShare a Scribd company logo
1 of 4
Kompas 
Minggu, 13 Mei 2007 
Cermin Jiwa 
Cerpen: S Prasetyo Utomo 
Wajah Ulfa jernih, tenang, dan penuh percaya diri. Sepasang lengkung alisnya serupa 
mantra. Menenteramkan siapa pun yang menatapnya. Ia keluar dari rumah kayu. 
Menampakkan sosok samar di kebun anggrek. Hangat matahari menyingkap kabut di 
rambutnya. Dari celah-celah bunga anggrek, ia menatapi Ismail, lelaki muda di seberang 
jalan. Lelaki itu menyusuri kesunyian ke kantor. Sepasang kupu-kupu mengitari 
kepalanya. Cahaya matanya serupa cermin jiwa: memantulkan hangat semesta yang 
membuka cakrawala Ulfa. 
Di kebun anggrek itu Ulfa memantulkan kesegaran bunga-bunga mekar. Gadis itu sengaja 
berada di kebun anggrek. Ia bisa mencium aroma asap jerami dibakar. Menghirup bau 
tanah basah sawah sehabis dibajak. Mencuri pandang pada Ismail, lelaki kurus, dengan 
hidung mencuat, bibir tipis dan jarang berbincang. Ketampanan lelaki itu terselubung sepi. 
Tinggal di rumah kayu yang luas dan terpelihara, lelaki kurus itu terlambat menikah. Ulfa 
selalu menatap matanya yang memantulkan keteduhan tanah yang ditumbuhi rumput, 
perdu, dan bunga-bunga liar. 
Tatapan Ulfa pada Ismail sering kali dilakukannya dengan diam-diam, menakik rasa 
gundah yang nyeri di hati. Ismail seperti hidup sendirian, setelah ibunya meninggalkannya, 
pergi begitu saja, pada umurnya yang sepuluh tahun. Ulfa selalu memandangi lelaki itu 
sejak kecil. Lelaki itu terus saja bekerja, mengaji ke surau, tanpa senyum, tanpa 
berbincang-bincang. 
Ayah Ismail sungguh aneh. Lelaki tua itu selalu keluyuran malam. Rambutnya memutih 
seluruhnya. Separuh wajah bagian kanan, menghitam arang memendam bara. Ia selalu 
bepergian tiap malam, mencari lawan berjudi, dan kata orang, sesekali mencuri sarang 
burung walet di tebing terjal pantai. Ia merambati tebing-tebing karang selengket cicak. 
Lewat larut malam ia pulang. Mabuk. Meracau. Teriak-teriak. Lantang. Menembus kabut 
dini hari. 
Lambat laun Ulfa mulai paham, dan ia takjub, melihat Ismail tumbuh dengan dirinya 
sendiri, di rumah kayu yang luas, peninggalan kakeknya. 
Pada gerimis yang rapuh, menjelang senja, burung-burung sriti menghambur di atas 
pohon randu alas, di belakang surau. Bercericit gaduh. Ayah Ismail mengetuk pintu rumah 
Ulfa, teratur dan sopan. Suaranya berat dan patah-patah. Ulfa berlarian membukakan 
pintu. Meminta lelaki berambut putih itu duduk di ruang tamu. Gugup. 
"Tolong panggilkan ayah dan ibumu," pinta ayah Ismail. Sungguh gemetar Ulfa 
memandangi ayah Ismail. Tatapan lelaki tua itu liar, beringas, dan menyerang. 
Abah Lutfi, ayah Ulfa, tersenyum tenang. 
"Aku ingin bicara juga dengan istrimu," kata ayah Ismail, dengan permohonan yang 
lembut. Tapi Umi, ibu Ulfa, menahan rasa takut, getar dalam dada. Guncangan tertahan 
itu diredakannya. 
"Begini, Abah Lutfi. Saya datang sore ini untuk meminang Ulfa bagi Ismail. Saya sudah 
tua, tak bisa memberikan apa pun bagi anak saya itu, kecuali mencarikannya jodoh." 
Terdiam. Lama. Belahan wajah hitam ayah Ismail seperti bara terhembus angin. Lelaki tua 
itu mengambil napas, dan meredakan rasa murka. Dipandanginya Abah Lutfi yang 
tersenyum.
"Aku serahkan pinangan ini pada Ulfa," sahut Abah Lutfi, teduh dan lembut. 
Buru-buru Umi menyambut. "Aku minta waktu agar anak gadisku cukup matang." 
Lelaki berambut memutih dengan belahan wajah hitam itu tampak teduh dan tenteram. 
Memandangi Abah Lutfi dan Umi, bergantian, mencari kepastian. Tiap saat ia menatap 
wajah Abah Lutfi yang tersenyum, bara dalam belahan wajahnya padam. Tiap saat ia 
menatap wajah Umi yang menegang, bara dalam belahan wajahnya menyala. Terhenti ia 
pada segaris senyum Abah Lutfi, yang tulus, dan tak dibuat-buat. Lelaki tua itu menunduk. 
Terus tersenyum. 
Ayah Ismail berdiam diri. Memandangi lagi Abah Lutfi. Mencari keyakinan. Ayah Ismail 
mengangguk-angguk. Bangkit. Mohon diri. Mengulurkan tangan. Menyalami Abah Lutfi. 
Berpamitan. Bukan sekadar bersalaman. Ayah Ismail mencium tangan Abah Lutfi. 
Tertetes sepercik air mata di punggung tangan Abah Lutfi. 
Burung-burung sriti tak lagi gaduh bercericit. Hinggap di dahan pohon randu alas. Seketika 
sepi, seketika pekat merambat. 
Di surau, di belakang rumah kayu Abah Lutfi, samar terdengar suara anak-anak mengaji. 
Abah Lutfi berdiam diri di meja makan. Menelantarkan pepes ikan mas kesukaannya. Tak 
berselera. Dipandanginya Ulfa dan Umi bergantian, kehilangan suara. 
Telah mengering sepercik air mata di punggung tangan Abah Lutfi. Tapi tangan itu tak 
segera dicucinya. Tak digerakkannya untuk menuang nasi dalam piring. Tak melahap 
pepes ikan mas. Terdiam. Menampakkan rautan renungan dalam wajahnya, terutama di 
sekitar mata. 
"Apa yang Abah risaukan?" tegur Ulfa, pelan, teduh. 
"Bagaimana aku menampik lamaran ayah Ismail?" 
"Kenapa mesti ditampik?" 
Terbatuk, Abah Lutfi menukas, "Kau menerimanya?" 
"Kalau Abah amati sisi wajah ayah Ismail yang bersih, tentu tak perlu bimbang macam ini." 
"Kau menerima Ismail?" 
"Saya hanya meminta Abah melihat sisi terang pada wajah ayah Ismail." 
"Ho-ho, kau selalu begitu!" 
Seketika, tersenyum dan cairlah rautan renungan dalam wajah Abah Lutfi. Lelaki itu 
mengambil nasi, makan dengan lahap. Pepes ikan mas itu tinggal duri-duri. Pada bagian 
kepala ikan pun dicecapnya. Terserak remah-remah tulang belulang dan duri ikan di 
piring. Tak ada lagi percakapan. Terdengar sendawa Abah Lutfi. Berkali-kali. 
Sesuatu yang tak lazim, Ismail memandang ayahnya bersarung, berpeci, dan buru-buru 
melangkah ke surau Abah Lutfi menjelang magrib. Belum pernah Ismail melihat wajah 
ayahnya sebening itu. Belahan wajah menghitam itu tak lagi membara. Belahan wajah itu 
seteduh lumpur sawah musim tanam padi. 
Malam hari ayah Ismail memasuki rumah, pelan-pelan, diam-diam, tanpa suara. Duduk di 
ruang tengah. Terbatuk. Menghirup kopi. Merokok. Termenung. Sesekali mencuri-curi 
pandang ke arah anak lelakinya.
"Telah kulamar Ulfa untukmu," kata ayah Ismail, berat, dan menunduk. Tak tampak 
kerisauan pada wajah Ismail. Tetap tenang. Melakukan segala hal sendirian. Diam-diam. 
Melihat ayah Ismail bergegas ke surau, Umi cemberut. Sesekali ia mengerling ke arah 
lelaki tua itu. Tiap kali dilihatnya belahan hitam wajah lelaki itu, Umi?tanpa disadarinya? 
bergidik. Buru-buru ia meninggalkan surau. Tak dilihatnya dalam kelam puncak pohon 
randu alas, cericit burung-burung sriti beterbangan. Sesaat. Kembali sunyi. 
Tiap kali datang orang baru ke surau, Umi selalu menyambut dengan mata bercahaya. 
Kali ini lain. Dadanya berdegup. Meletup-letup. Tak bisa dibayangkannya, Ulfa, anak 
gadisnya, hidup serumah dengan lelaki beringas, yang selalu membawa ceracau mabuk 
dan murka ke rumah. 
"Ayah Ismail itu, uh, mengapa selalu datang ke surau?" gerutu Umi. 
"Mestinya Umi merasa senang. Dia datang ke surau kita. Bukannya mabuk," tukas Ulfa, 
mencengangkan. 
"Dia berbuat begitu lantaran ingin meminangmu." 
"Ini lebih baik, daripada dia keluyuran malam, dan mencuri sarang burung walet." 
Subuh keempat puluh ayah Ismail berkunjung ke surau Abah Lutfi. Tak seorang pun 
menatap langit di atas pohon randu alas, di belakang surau. Burung-burung sriti berkitar-kitar, 
bercericit, hinggap-terbang, hinggap dan terbang lagi di pohon randu alas itu. Langit 
masih gelap, dan burung-burung sriti itu luput dari perhatian orang-orang yang bergegas 
ke surau. 
Tak sekali pun ayah Ismail bertanya kepada Abah Lutfi mengenai pernikahan anak 
lelakinya dengan Ulfa. Dalam diam bersimpuh, dia biasa terisak-isak, dengan mata 
terpejam memanjatkan doa. Tatkala orang-orang sudah meninggalkan surau, dia masih 
bersimpuh sendirian. Lama, hingga matahari berkilau menghangati hamparan tikar surau. 
Lelaki tua itu beringsut, pelan, bangkit. 
Kali ini, dalam dingin kabut dini hari, ayah Ismail telah menyempurnakan ketenteraman 
wajahnya dari pergolakan. Belahan hitam wajahnya tak menyeramkan, serupa lumpur 
sawah yang digenangi air: rata, datar, menyimpan anugerah alam. Orang-orang di surau 
mulai menerima kehadiran lelaki tua itu. Tak lagi menatap dengan selidik dan tatapan 
curiga. 
Di tengah-tengah suara orang berdoa, sehabis shalat subuh, ayah Ismail tak dapat 
menahan tubuh. Tersungkur. Tiada lagi napas mengembus dari hidungnya. Ia rebah 
dengan tangan masih menggenggam tasbih. Tubuhnya terjerembap. Tidak menggelepar. 
Tidak berkelejatan. Tubuh itu terburu, kehilangan napas pelan-pelan, di antara orang-orang 
yang bersimpuh doa. Mula-mula orang-orang tak menduga lelaki tua itu direnggut 
ajal. Tapi kemudian orang-orang terperanjat, gugup dan memekik tertahan. 
Kini orang-orang mulai melihat cericit burung-burung sriti yang tak terhitung banyaknya, 
berkitar-kitar terbang di puncak pohon randu alas, di belakang surau Abah Lufti. Dalam 
sekejap, sangat cepat, burung-burung sriti itu hinggap di dahan dan ranting pohon randu 
alas. Tak lagi mengepakkan sayap. Tak lagi bercericit gaduh. 
Sepasang kupu-kupu kuning terbang di atas kepala Ismail. Ulfa sangat gemas, ingin 
menangkap sepasang kupu-kupu itu. Selalu dilihatnya tiap pagi, diam-diam di kebun 
anggrek yang menyembunyikan wajah dan tubuhnya, kupu-kupu di atas kepala Ismail. 
Lelaki itu berangkat ke kantor. Berjalan kaki. Selalu berjalan kaki ke mana pun pergi. Dan 
sepasang kupu-kupu itu mengantarkannya menyusuri jalan berumput pada pagi berkabut, 
saat embun meraup tersengat matahari.
Abah Lufti diam-diam memperhatikan perilaku anak gadisnya. Sambil minum teh, 
menghisap pipa rokok, saat matahari menghangat, dia menemukan anak gadisnya turun 
ke kebun anggrek samping rumah, hanya untuk melihat Ismail. meninggalkan rumah, 
berjalan kaki, diiringi kupu-kupu. Mengapa sepasang kupu-kupu? Dalam jarak yang begitu 
jauh, sepasang kupu-kupu itu terus mengitari kepala Ismail. 
Kepergok Abah Lutfi memasuki rumah, Ulfa tersipu-sipu. Terhenti. Menanti teguran. 
"Apa Abah mesti menegur Ismail, bagaimana kelanjutan lamaran ayahnya dulu?" 
"Biar Ismail sendiri yang menentukan," tukas Ulfa tenang. "Abah jangan salah sangka. Aku 
cuma suka memandangi sepasang matanya. Sungguh aneh mata itu, selalu 
memancarkan alam yang lembut dan tanpa dendam. Aku suka memandanginya." 
Pandana Merdeka, Februari 2007

More Related Content

More from Arvinoor Siregar SH MH (20)

Unschooling your-child-212
Unschooling your-child-212Unschooling your-child-212
Unschooling your-child-212
 
Montessori homeschooling-223
Montessori homeschooling-223Montessori homeschooling-223
Montessori homeschooling-223
 
Homeschooling the-darker-side-501
Homeschooling the-darker-side-501Homeschooling the-darker-side-501
Homeschooling the-darker-side-501
 
Homeschooling the teenager-225
Homeschooling the teenager-225Homeschooling the teenager-225
Homeschooling the teenager-225
 
Homeschooling methods-572
Homeschooling methods-572Homeschooling methods-572
Homeschooling methods-572
 
Homeschooling and-college-223
Homeschooling and-college-223Homeschooling and-college-223
Homeschooling and-college-223
 
Homeschool field-trips-184
Homeschool field-trips-184Homeschool field-trips-184
Homeschool field-trips-184
 
Homeschool burnout-223
Homeschool burnout-223Homeschool burnout-223
Homeschool burnout-223
 
Financing homeschooling-433
Financing homeschooling-433Financing homeschooling-433
Financing homeschooling-433
 
Thurgood marshall
Thurgood marshallThurgood marshall
Thurgood marshall
 
The rainbow coalition
The rainbow coalitionThe rainbow coalition
The rainbow coalition
 
The halls of power
The halls of powerThe halls of power
The halls of power
 
The dred scott decision
The dred scott decisionThe dred scott decision
The dred scott decision
 
Slavery
SlaverySlavery
Slavery
 
Rosa parks
Rosa parksRosa parks
Rosa parks
 
Martin luther king's dream
Martin luther king's dreamMartin luther king's dream
Martin luther king's dream
 
Martin luther king, jr.
Martin luther king, jr.Martin luther king, jr.
Martin luther king, jr.
 
Jordon and ali
Jordon and aliJordon and ali
Jordon and ali
 
Jackie robinson
Jackie robinsonJackie robinson
Jackie robinson
 
Harriet tubman
Harriet tubmanHarriet tubman
Harriet tubman
 

Recently uploaded

tugas kelompok irsyad aldey.pdf
tugas kelompok irsyad aldey.pdftugas kelompok irsyad aldey.pdf
tugas kelompok irsyad aldey.pdfhobitzz0101
 
Sakai99 Link Slot Gacor Resmi Anti Nawala Terpercaya Gampang Maxwin
Sakai99 Link Slot Gacor Resmi Anti Nawala Terpercaya Gampang MaxwinSakai99 Link Slot Gacor Resmi Anti Nawala Terpercaya Gampang Maxwin
Sakai99 Link Slot Gacor Resmi Anti Nawala Terpercaya Gampang MaxwinSakai99
 
402610954-HIV-AID-DAN-NAPZA-PADA-REMAJA-ppt.ppt
402610954-HIV-AID-DAN-NAPZA-PADA-REMAJA-ppt.ppt402610954-HIV-AID-DAN-NAPZA-PADA-REMAJA-ppt.ppt
402610954-HIV-AID-DAN-NAPZA-PADA-REMAJA-ppt.pptMiaZahir
 
BAMBUHOKI88 Situs Game Gacor Menggunakan Doku Mudah Jackpot Besar
BAMBUHOKI88 Situs Game Gacor Menggunakan Doku Mudah Jackpot BesarBAMBUHOKI88 Situs Game Gacor Menggunakan Doku Mudah Jackpot Besar
BAMBUHOKI88 Situs Game Gacor Menggunakan Doku Mudah Jackpot BesarBambu hoki88
 
DOMBATOTO Sensasi Togel Online dengan Bet 100 Rupiah di 2024
DOMBATOTO Sensasi Togel Online dengan Bet 100 Rupiah di 2024DOMBATOTO Sensasi Togel Online dengan Bet 100 Rupiah di 2024
DOMBATOTO Sensasi Togel Online dengan Bet 100 Rupiah di 2024dombatoto
 
IDMPO : SITUS SLOT PALING PROVITE & REKOMENDASI 2024
IDMPO : SITUS SLOT PALING PROVITE & REKOMENDASI 2024IDMPO : SITUS SLOT PALING PROVITE & REKOMENDASI 2024
IDMPO : SITUS SLOT PALING PROVITE & REKOMENDASI 2024Neta
 
Kisetoto Daftar Situs Slot Gacor Anti Nawala RTP Mudah Menang Terbaru
Kisetoto Daftar Situs Slot Gacor Anti Nawala RTP Mudah Menang TerbaruKisetoto Daftar Situs Slot Gacor Anti Nawala RTP Mudah Menang Terbaru
Kisetoto Daftar Situs Slot Gacor Anti Nawala RTP Mudah Menang TerbaruKisetoto
 
SLOT RAHFFI AHMAD > LINK DAFTAR GACOR 2024
SLOT RAHFFI AHMAD  > LINK DAFTAR GACOR 2024SLOT RAHFFI AHMAD  > LINK DAFTAR GACOR 2024
SLOT RAHFFI AHMAD > LINK DAFTAR GACOR 2024dombatoto
 
Jual Cytotec Jakarta Barat 👗082322223014👗Pusat Peluntur Kandungan Konsultasi
Jual Cytotec Jakarta Barat 👗082322223014👗Pusat Peluntur Kandungan KonsultasiJual Cytotec Jakarta Barat 👗082322223014👗Pusat Peluntur Kandungan Konsultasi
Jual Cytotec Jakarta Barat 👗082322223014👗Pusat Peluntur Kandungan Konsultasissupi412
 
IDMPO : SITUS SLOT MPO KEMENANGAN JACKPOT TERPERCAYA & PASTI WITHDRAW
IDMPO : SITUS SLOT MPO KEMENANGAN JACKPOT TERPERCAYA & PASTI WITHDRAWIDMPO : SITUS SLOT MPO KEMENANGAN JACKPOT TERPERCAYA & PASTI WITHDRAW
IDMPO : SITUS SLOT MPO KEMENANGAN JACKPOT TERPERCAYA & PASTI WITHDRAWNeta
 
Sizi99 Rekomendasi Bo Slot Gacor Anti Nawala Gampang Jackpot 2024
Sizi99 Rekomendasi Bo Slot Gacor Anti Nawala Gampang Jackpot 2024Sizi99 Rekomendasi Bo Slot Gacor Anti Nawala Gampang Jackpot 2024
Sizi99 Rekomendasi Bo Slot Gacor Anti Nawala Gampang Jackpot 2024Sizi99
 
BAB 7 konsep ,teknik dan prosedur seni teater
BAB 7 konsep ,teknik dan prosedur seni teaterBAB 7 konsep ,teknik dan prosedur seni teater
BAB 7 konsep ,teknik dan prosedur seni teaterAgustinus791932
 

Recently uploaded (13)

tugas kelompok irsyad aldey.pdf
tugas kelompok irsyad aldey.pdftugas kelompok irsyad aldey.pdf
tugas kelompok irsyad aldey.pdf
 
Sakai99 Link Slot Gacor Resmi Anti Nawala Terpercaya Gampang Maxwin
Sakai99 Link Slot Gacor Resmi Anti Nawala Terpercaya Gampang MaxwinSakai99 Link Slot Gacor Resmi Anti Nawala Terpercaya Gampang Maxwin
Sakai99 Link Slot Gacor Resmi Anti Nawala Terpercaya Gampang Maxwin
 
Obat Aborsi Papua Barat 082223109953 ( Pills Cytotec Asli ) Jual Obat Penggug...
Obat Aborsi Papua Barat 082223109953 ( Pills Cytotec Asli ) Jual Obat Penggug...Obat Aborsi Papua Barat 082223109953 ( Pills Cytotec Asli ) Jual Obat Penggug...
Obat Aborsi Papua Barat 082223109953 ( Pills Cytotec Asli ) Jual Obat Penggug...
 
402610954-HIV-AID-DAN-NAPZA-PADA-REMAJA-ppt.ppt
402610954-HIV-AID-DAN-NAPZA-PADA-REMAJA-ppt.ppt402610954-HIV-AID-DAN-NAPZA-PADA-REMAJA-ppt.ppt
402610954-HIV-AID-DAN-NAPZA-PADA-REMAJA-ppt.ppt
 
BAMBUHOKI88 Situs Game Gacor Menggunakan Doku Mudah Jackpot Besar
BAMBUHOKI88 Situs Game Gacor Menggunakan Doku Mudah Jackpot BesarBAMBUHOKI88 Situs Game Gacor Menggunakan Doku Mudah Jackpot Besar
BAMBUHOKI88 Situs Game Gacor Menggunakan Doku Mudah Jackpot Besar
 
DOMBATOTO Sensasi Togel Online dengan Bet 100 Rupiah di 2024
DOMBATOTO Sensasi Togel Online dengan Bet 100 Rupiah di 2024DOMBATOTO Sensasi Togel Online dengan Bet 100 Rupiah di 2024
DOMBATOTO Sensasi Togel Online dengan Bet 100 Rupiah di 2024
 
IDMPO : SITUS SLOT PALING PROVITE & REKOMENDASI 2024
IDMPO : SITUS SLOT PALING PROVITE & REKOMENDASI 2024IDMPO : SITUS SLOT PALING PROVITE & REKOMENDASI 2024
IDMPO : SITUS SLOT PALING PROVITE & REKOMENDASI 2024
 
Kisetoto Daftar Situs Slot Gacor Anti Nawala RTP Mudah Menang Terbaru
Kisetoto Daftar Situs Slot Gacor Anti Nawala RTP Mudah Menang TerbaruKisetoto Daftar Situs Slot Gacor Anti Nawala RTP Mudah Menang Terbaru
Kisetoto Daftar Situs Slot Gacor Anti Nawala RTP Mudah Menang Terbaru
 
SLOT RAHFFI AHMAD > LINK DAFTAR GACOR 2024
SLOT RAHFFI AHMAD  > LINK DAFTAR GACOR 2024SLOT RAHFFI AHMAD  > LINK DAFTAR GACOR 2024
SLOT RAHFFI AHMAD > LINK DAFTAR GACOR 2024
 
Jual Cytotec Jakarta Barat 👗082322223014👗Pusat Peluntur Kandungan Konsultasi
Jual Cytotec Jakarta Barat 👗082322223014👗Pusat Peluntur Kandungan KonsultasiJual Cytotec Jakarta Barat 👗082322223014👗Pusat Peluntur Kandungan Konsultasi
Jual Cytotec Jakarta Barat 👗082322223014👗Pusat Peluntur Kandungan Konsultasi
 
IDMPO : SITUS SLOT MPO KEMENANGAN JACKPOT TERPERCAYA & PASTI WITHDRAW
IDMPO : SITUS SLOT MPO KEMENANGAN JACKPOT TERPERCAYA & PASTI WITHDRAWIDMPO : SITUS SLOT MPO KEMENANGAN JACKPOT TERPERCAYA & PASTI WITHDRAW
IDMPO : SITUS SLOT MPO KEMENANGAN JACKPOT TERPERCAYA & PASTI WITHDRAW
 
Sizi99 Rekomendasi Bo Slot Gacor Anti Nawala Gampang Jackpot 2024
Sizi99 Rekomendasi Bo Slot Gacor Anti Nawala Gampang Jackpot 2024Sizi99 Rekomendasi Bo Slot Gacor Anti Nawala Gampang Jackpot 2024
Sizi99 Rekomendasi Bo Slot Gacor Anti Nawala Gampang Jackpot 2024
 
BAB 7 konsep ,teknik dan prosedur seni teater
BAB 7 konsep ,teknik dan prosedur seni teaterBAB 7 konsep ,teknik dan prosedur seni teater
BAB 7 konsep ,teknik dan prosedur seni teater
 

Cermin jiwa (s prasetyo utomo)

  • 1. Kompas Minggu, 13 Mei 2007 Cermin Jiwa Cerpen: S Prasetyo Utomo Wajah Ulfa jernih, tenang, dan penuh percaya diri. Sepasang lengkung alisnya serupa mantra. Menenteramkan siapa pun yang menatapnya. Ia keluar dari rumah kayu. Menampakkan sosok samar di kebun anggrek. Hangat matahari menyingkap kabut di rambutnya. Dari celah-celah bunga anggrek, ia menatapi Ismail, lelaki muda di seberang jalan. Lelaki itu menyusuri kesunyian ke kantor. Sepasang kupu-kupu mengitari kepalanya. Cahaya matanya serupa cermin jiwa: memantulkan hangat semesta yang membuka cakrawala Ulfa. Di kebun anggrek itu Ulfa memantulkan kesegaran bunga-bunga mekar. Gadis itu sengaja berada di kebun anggrek. Ia bisa mencium aroma asap jerami dibakar. Menghirup bau tanah basah sawah sehabis dibajak. Mencuri pandang pada Ismail, lelaki kurus, dengan hidung mencuat, bibir tipis dan jarang berbincang. Ketampanan lelaki itu terselubung sepi. Tinggal di rumah kayu yang luas dan terpelihara, lelaki kurus itu terlambat menikah. Ulfa selalu menatap matanya yang memantulkan keteduhan tanah yang ditumbuhi rumput, perdu, dan bunga-bunga liar. Tatapan Ulfa pada Ismail sering kali dilakukannya dengan diam-diam, menakik rasa gundah yang nyeri di hati. Ismail seperti hidup sendirian, setelah ibunya meninggalkannya, pergi begitu saja, pada umurnya yang sepuluh tahun. Ulfa selalu memandangi lelaki itu sejak kecil. Lelaki itu terus saja bekerja, mengaji ke surau, tanpa senyum, tanpa berbincang-bincang. Ayah Ismail sungguh aneh. Lelaki tua itu selalu keluyuran malam. Rambutnya memutih seluruhnya. Separuh wajah bagian kanan, menghitam arang memendam bara. Ia selalu bepergian tiap malam, mencari lawan berjudi, dan kata orang, sesekali mencuri sarang burung walet di tebing terjal pantai. Ia merambati tebing-tebing karang selengket cicak. Lewat larut malam ia pulang. Mabuk. Meracau. Teriak-teriak. Lantang. Menembus kabut dini hari. Lambat laun Ulfa mulai paham, dan ia takjub, melihat Ismail tumbuh dengan dirinya sendiri, di rumah kayu yang luas, peninggalan kakeknya. Pada gerimis yang rapuh, menjelang senja, burung-burung sriti menghambur di atas pohon randu alas, di belakang surau. Bercericit gaduh. Ayah Ismail mengetuk pintu rumah Ulfa, teratur dan sopan. Suaranya berat dan patah-patah. Ulfa berlarian membukakan pintu. Meminta lelaki berambut putih itu duduk di ruang tamu. Gugup. "Tolong panggilkan ayah dan ibumu," pinta ayah Ismail. Sungguh gemetar Ulfa memandangi ayah Ismail. Tatapan lelaki tua itu liar, beringas, dan menyerang. Abah Lutfi, ayah Ulfa, tersenyum tenang. "Aku ingin bicara juga dengan istrimu," kata ayah Ismail, dengan permohonan yang lembut. Tapi Umi, ibu Ulfa, menahan rasa takut, getar dalam dada. Guncangan tertahan itu diredakannya. "Begini, Abah Lutfi. Saya datang sore ini untuk meminang Ulfa bagi Ismail. Saya sudah tua, tak bisa memberikan apa pun bagi anak saya itu, kecuali mencarikannya jodoh." Terdiam. Lama. Belahan wajah hitam ayah Ismail seperti bara terhembus angin. Lelaki tua itu mengambil napas, dan meredakan rasa murka. Dipandanginya Abah Lutfi yang tersenyum.
  • 2. "Aku serahkan pinangan ini pada Ulfa," sahut Abah Lutfi, teduh dan lembut. Buru-buru Umi menyambut. "Aku minta waktu agar anak gadisku cukup matang." Lelaki berambut memutih dengan belahan wajah hitam itu tampak teduh dan tenteram. Memandangi Abah Lutfi dan Umi, bergantian, mencari kepastian. Tiap saat ia menatap wajah Abah Lutfi yang tersenyum, bara dalam belahan wajahnya padam. Tiap saat ia menatap wajah Umi yang menegang, bara dalam belahan wajahnya menyala. Terhenti ia pada segaris senyum Abah Lutfi, yang tulus, dan tak dibuat-buat. Lelaki tua itu menunduk. Terus tersenyum. Ayah Ismail berdiam diri. Memandangi lagi Abah Lutfi. Mencari keyakinan. Ayah Ismail mengangguk-angguk. Bangkit. Mohon diri. Mengulurkan tangan. Menyalami Abah Lutfi. Berpamitan. Bukan sekadar bersalaman. Ayah Ismail mencium tangan Abah Lutfi. Tertetes sepercik air mata di punggung tangan Abah Lutfi. Burung-burung sriti tak lagi gaduh bercericit. Hinggap di dahan pohon randu alas. Seketika sepi, seketika pekat merambat. Di surau, di belakang rumah kayu Abah Lutfi, samar terdengar suara anak-anak mengaji. Abah Lutfi berdiam diri di meja makan. Menelantarkan pepes ikan mas kesukaannya. Tak berselera. Dipandanginya Ulfa dan Umi bergantian, kehilangan suara. Telah mengering sepercik air mata di punggung tangan Abah Lutfi. Tapi tangan itu tak segera dicucinya. Tak digerakkannya untuk menuang nasi dalam piring. Tak melahap pepes ikan mas. Terdiam. Menampakkan rautan renungan dalam wajahnya, terutama di sekitar mata. "Apa yang Abah risaukan?" tegur Ulfa, pelan, teduh. "Bagaimana aku menampik lamaran ayah Ismail?" "Kenapa mesti ditampik?" Terbatuk, Abah Lutfi menukas, "Kau menerimanya?" "Kalau Abah amati sisi wajah ayah Ismail yang bersih, tentu tak perlu bimbang macam ini." "Kau menerima Ismail?" "Saya hanya meminta Abah melihat sisi terang pada wajah ayah Ismail." "Ho-ho, kau selalu begitu!" Seketika, tersenyum dan cairlah rautan renungan dalam wajah Abah Lutfi. Lelaki itu mengambil nasi, makan dengan lahap. Pepes ikan mas itu tinggal duri-duri. Pada bagian kepala ikan pun dicecapnya. Terserak remah-remah tulang belulang dan duri ikan di piring. Tak ada lagi percakapan. Terdengar sendawa Abah Lutfi. Berkali-kali. Sesuatu yang tak lazim, Ismail memandang ayahnya bersarung, berpeci, dan buru-buru melangkah ke surau Abah Lutfi menjelang magrib. Belum pernah Ismail melihat wajah ayahnya sebening itu. Belahan wajah menghitam itu tak lagi membara. Belahan wajah itu seteduh lumpur sawah musim tanam padi. Malam hari ayah Ismail memasuki rumah, pelan-pelan, diam-diam, tanpa suara. Duduk di ruang tengah. Terbatuk. Menghirup kopi. Merokok. Termenung. Sesekali mencuri-curi pandang ke arah anak lelakinya.
  • 3. "Telah kulamar Ulfa untukmu," kata ayah Ismail, berat, dan menunduk. Tak tampak kerisauan pada wajah Ismail. Tetap tenang. Melakukan segala hal sendirian. Diam-diam. Melihat ayah Ismail bergegas ke surau, Umi cemberut. Sesekali ia mengerling ke arah lelaki tua itu. Tiap kali dilihatnya belahan hitam wajah lelaki itu, Umi?tanpa disadarinya? bergidik. Buru-buru ia meninggalkan surau. Tak dilihatnya dalam kelam puncak pohon randu alas, cericit burung-burung sriti beterbangan. Sesaat. Kembali sunyi. Tiap kali datang orang baru ke surau, Umi selalu menyambut dengan mata bercahaya. Kali ini lain. Dadanya berdegup. Meletup-letup. Tak bisa dibayangkannya, Ulfa, anak gadisnya, hidup serumah dengan lelaki beringas, yang selalu membawa ceracau mabuk dan murka ke rumah. "Ayah Ismail itu, uh, mengapa selalu datang ke surau?" gerutu Umi. "Mestinya Umi merasa senang. Dia datang ke surau kita. Bukannya mabuk," tukas Ulfa, mencengangkan. "Dia berbuat begitu lantaran ingin meminangmu." "Ini lebih baik, daripada dia keluyuran malam, dan mencuri sarang burung walet." Subuh keempat puluh ayah Ismail berkunjung ke surau Abah Lutfi. Tak seorang pun menatap langit di atas pohon randu alas, di belakang surau. Burung-burung sriti berkitar-kitar, bercericit, hinggap-terbang, hinggap dan terbang lagi di pohon randu alas itu. Langit masih gelap, dan burung-burung sriti itu luput dari perhatian orang-orang yang bergegas ke surau. Tak sekali pun ayah Ismail bertanya kepada Abah Lutfi mengenai pernikahan anak lelakinya dengan Ulfa. Dalam diam bersimpuh, dia biasa terisak-isak, dengan mata terpejam memanjatkan doa. Tatkala orang-orang sudah meninggalkan surau, dia masih bersimpuh sendirian. Lama, hingga matahari berkilau menghangati hamparan tikar surau. Lelaki tua itu beringsut, pelan, bangkit. Kali ini, dalam dingin kabut dini hari, ayah Ismail telah menyempurnakan ketenteraman wajahnya dari pergolakan. Belahan hitam wajahnya tak menyeramkan, serupa lumpur sawah yang digenangi air: rata, datar, menyimpan anugerah alam. Orang-orang di surau mulai menerima kehadiran lelaki tua itu. Tak lagi menatap dengan selidik dan tatapan curiga. Di tengah-tengah suara orang berdoa, sehabis shalat subuh, ayah Ismail tak dapat menahan tubuh. Tersungkur. Tiada lagi napas mengembus dari hidungnya. Ia rebah dengan tangan masih menggenggam tasbih. Tubuhnya terjerembap. Tidak menggelepar. Tidak berkelejatan. Tubuh itu terburu, kehilangan napas pelan-pelan, di antara orang-orang yang bersimpuh doa. Mula-mula orang-orang tak menduga lelaki tua itu direnggut ajal. Tapi kemudian orang-orang terperanjat, gugup dan memekik tertahan. Kini orang-orang mulai melihat cericit burung-burung sriti yang tak terhitung banyaknya, berkitar-kitar terbang di puncak pohon randu alas, di belakang surau Abah Lufti. Dalam sekejap, sangat cepat, burung-burung sriti itu hinggap di dahan dan ranting pohon randu alas. Tak lagi mengepakkan sayap. Tak lagi bercericit gaduh. Sepasang kupu-kupu kuning terbang di atas kepala Ismail. Ulfa sangat gemas, ingin menangkap sepasang kupu-kupu itu. Selalu dilihatnya tiap pagi, diam-diam di kebun anggrek yang menyembunyikan wajah dan tubuhnya, kupu-kupu di atas kepala Ismail. Lelaki itu berangkat ke kantor. Berjalan kaki. Selalu berjalan kaki ke mana pun pergi. Dan sepasang kupu-kupu itu mengantarkannya menyusuri jalan berumput pada pagi berkabut, saat embun meraup tersengat matahari.
  • 4. Abah Lufti diam-diam memperhatikan perilaku anak gadisnya. Sambil minum teh, menghisap pipa rokok, saat matahari menghangat, dia menemukan anak gadisnya turun ke kebun anggrek samping rumah, hanya untuk melihat Ismail. meninggalkan rumah, berjalan kaki, diiringi kupu-kupu. Mengapa sepasang kupu-kupu? Dalam jarak yang begitu jauh, sepasang kupu-kupu itu terus mengitari kepala Ismail. Kepergok Abah Lutfi memasuki rumah, Ulfa tersipu-sipu. Terhenti. Menanti teguran. "Apa Abah mesti menegur Ismail, bagaimana kelanjutan lamaran ayahnya dulu?" "Biar Ismail sendiri yang menentukan," tukas Ulfa tenang. "Abah jangan salah sangka. Aku cuma suka memandangi sepasang matanya. Sungguh aneh mata itu, selalu memancarkan alam yang lembut dan tanpa dendam. Aku suka memandanginya." Pandana Merdeka, Februari 2007