Teks ini menceritakan tentang seorang yang merasakan perasaan rindu kepada seseorang dari masa lalunya. Ia kemudian menemukan bahwa orang tersebut kini bersekolah di tempat yang sama dengannya setelah lima tahun tidak bertemu. Namun ia ragu apakah orang tersebut masih mengingatnya atau tidak.
1. It Was About Him
Ini tentang sebuah perasaan yang berhubungan langsung dengan dirinya. Dia
yang selalu kurindu. Ini masih sebuah rasa yang kerap kali dirasakan setiap
insan yang memiliki hati. Hati yang masih sanggup mencintai dengan sepenuh
hati. Karena ini tentang cinta.
Dia. Mengenangnya bukanlah hal yang indah, juga bukan hal yang
menyenangkan. Tidak sama sekali. Bahkan setiap kali aku mengenangnya, aku akan
kembali bertanya: apakah dia juga mengenangku seperti aku mengenangnya?
Pertanyaan tolol karena aku sendiri tahu, tidak akan ada yang bisa
menjawabnya. Hanya dia, dia, dia. Aku terlalu bodoh untuk hal ini. Tapi bukan berarti
aku rapuh, aku cukup kuat untuk ini. Hanya terlalu bodoh, itu saja.
Mataku menelusuri huruf-huruf yang menurutku begitu membingungkan—
membuatku pusing padahal baru beberapa detik sejak aku memutuskan untuk mencari
namaku. Daftar nama murid baru. Sedikit tidak masuk akal melakukan hal bodoh ini
ketika sebenarnya aku telah mengetahui di mana kelasku.
Bola mataku bergerak mengikuti rangkaian huruf selanjutnya. Hingga semakin
ke bawah, tepat pada baris ke-25, aku mengerjap. Masih tidak percaya, kusipitkan
mataku agar bisa melihat lebih intens lagi.
Deg!
Tubuhku terpaku pada satu nama. Masih dengan kesadaran yang
kupertahankan, kakiku mendadak melemas. Tubuhku tiba-tiba terasa berat hingga tak
sanggup rasanya untuk tetap berdiri tegak. Tenagaku seperti terkuras habis, sangat
sulit untuk digunakan bergerak. Aku takut tidak bisa menarik napas dengan benar,
karena napasku langsung terputus-putus. Yang kutahu, ketika kuangkat tangan
kananku ke dada. Di situ. Rasanya sakit sekali….
***
2. Kenapa harus bertemu bila akhirnya berpisah? Bukankah akan sia-sia saja? Bagaimana
jika pertemuan itu meninggalkan rasa? Bagaimana bila setelah berpisah, rasa itu
berubah menjadi luka? Lalu, siapa yang bisa kusalahkan?
Aku berlari. Menembus kerumunan siswa-siswi baru yang langsung memakiku
kasar. Aku masih tak peduli karena aku memiliki satu tujuan yang masih ingin
kugapai. Tidak peduli bagaimana efeknya nanti—bagaimana nantinya luka ini akan
mati selamanya. Ya, hanya dia tujuanku saat ini. Dan aku ingin bertemu dengannya.
Napasku memburu, secepat detak jantungku.
Tubuhku begitu dingin ketika aku melihatnya di depan kelas—terlihat bahagia
sekali tertawa bersama teman-temannya. Lelaki yang telah jangkung itu menggunakan
seragam sepertiku.
Tidak, aku memang sudah tidak mengenali wajahnya. Wajahnya benar-benar
berubah. Mungkin waktu terlalu andil di sini. Ya, pada akhirnya, waktu terlanjur
mampu menyamarkan wajahnya. Salah siapa? Tapi aku yakin sekali. Karena getar-
getar ini dapat kurasakan kembali setelah lima tahun mati. Aku yakin karena hatiku
meyakinkanku.
Getar-getar ini memang miliknya.
Desiran ini juga miliknya.
Bodohnya, hatiku masih memilihnya.
Apa yang akan kulakukan sekarang? Setelah melihatnya dengan jarak sedekat
ini? Apakah menyapanya adalah sesuatu yang buruk? Tidak, memang tidak. Tapi,
masihkah dia mengingatku?
Aku sudah seperti terjatuh ketika tubuhku terasa lebih berat kembali. Rasanya
seperti dijatuhkan ke sebuah kenyataan. Kenyataan yang tiba-tiba saja menamparku.
Apakah dia masih mengingatku?
—for someone out there, I really miss you—