SlideShare a Scribd company logo
1 of 2
It Was About Him
Ini tentang sebuah perasaan yang berhubungan langsung dengan dirinya. Dia
yang selalu kurindu. Ini masih sebuah rasa yang kerap kali dirasakan setiap
insan yang memiliki hati. Hati yang masih sanggup mencintai dengan sepenuh
hati. Karena ini tentang cinta.
Dia. Mengenangnya bukanlah hal yang indah, juga bukan hal yang
menyenangkan. Tidak sama sekali. Bahkan setiap kali aku mengenangnya, aku akan
kembali bertanya: apakah dia juga mengenangku seperti aku mengenangnya?
Pertanyaan tolol karena aku sendiri tahu, tidak akan ada yang bisa
menjawabnya. Hanya dia, dia, dia. Aku terlalu bodoh untuk hal ini. Tapi bukan berarti
aku rapuh, aku cukup kuat untuk ini. Hanya terlalu bodoh, itu saja.
Mataku menelusuri huruf-huruf yang menurutku begitu membingungkan—
membuatku pusing padahal baru beberapa detik sejak aku memutuskan untuk mencari
namaku. Daftar nama murid baru. Sedikit tidak masuk akal melakukan hal bodoh ini
ketika sebenarnya aku telah mengetahui di mana kelasku.
Bola mataku bergerak mengikuti rangkaian huruf selanjutnya. Hingga semakin
ke bawah, tepat pada baris ke-25, aku mengerjap. Masih tidak percaya, kusipitkan
mataku agar bisa melihat lebih intens lagi.
Deg!
Tubuhku terpaku pada satu nama. Masih dengan kesadaran yang
kupertahankan, kakiku mendadak melemas. Tubuhku tiba-tiba terasa berat hingga tak
sanggup rasanya untuk tetap berdiri tegak. Tenagaku seperti terkuras habis, sangat
sulit untuk digunakan bergerak. Aku takut tidak bisa menarik napas dengan benar,
karena napasku langsung terputus-putus. Yang kutahu, ketika kuangkat tangan
kananku ke dada. Di situ. Rasanya sakit sekali….
***
Kenapa harus bertemu bila akhirnya berpisah? Bukankah akan sia-sia saja? Bagaimana
jika pertemuan itu meninggalkan rasa? Bagaimana bila setelah berpisah, rasa itu
berubah menjadi luka? Lalu, siapa yang bisa kusalahkan?
Aku berlari. Menembus kerumunan siswa-siswi baru yang langsung memakiku
kasar. Aku masih tak peduli karena aku memiliki satu tujuan yang masih ingin
kugapai. Tidak peduli bagaimana efeknya nanti—bagaimana nantinya luka ini akan
mati selamanya. Ya, hanya dia tujuanku saat ini. Dan aku ingin bertemu dengannya.
Napasku memburu, secepat detak jantungku.
Tubuhku begitu dingin ketika aku melihatnya di depan kelas—terlihat bahagia
sekali tertawa bersama teman-temannya. Lelaki yang telah jangkung itu menggunakan
seragam sepertiku.
Tidak, aku memang sudah tidak mengenali wajahnya. Wajahnya benar-benar
berubah. Mungkin waktu terlalu andil di sini. Ya, pada akhirnya, waktu terlanjur
mampu menyamarkan wajahnya. Salah siapa? Tapi aku yakin sekali. Karena getar-
getar ini dapat kurasakan kembali setelah lima tahun mati. Aku yakin karena hatiku
meyakinkanku.
Getar-getar ini memang miliknya.
Desiran ini juga miliknya.
Bodohnya, hatiku masih memilihnya.
Apa yang akan kulakukan sekarang? Setelah melihatnya dengan jarak sedekat
ini? Apakah menyapanya adalah sesuatu yang buruk? Tidak, memang tidak. Tapi,
masihkah dia mengingatku?
Aku sudah seperti terjatuh ketika tubuhku terasa lebih berat kembali. Rasanya
seperti dijatuhkan ke sebuah kenyataan. Kenyataan yang tiba-tiba saja menamparku.
Apakah dia masih mengingatku?
—for someone out there, I really miss you—

More Related Content

Similar to Cerpen, it was about him (20)

The moment of my love
The moment of my loveThe moment of my love
The moment of my love
 
Rasa yang tertinggal
Rasa yang tertinggalRasa yang tertinggal
Rasa yang tertinggal
 
Untukmu_aku_ada
  Untukmu_aku_ada  Untukmu_aku_ada
Untukmu_aku_ada
 
Hmmm a ku
Hmmm a kuHmmm a ku
Hmmm a ku
 
Cerpen
CerpenCerpen
Cerpen
 
Cinta Asya
Cinta AsyaCinta Asya
Cinta Asya
 
Terkadang seng
Terkadang sengTerkadang seng
Terkadang seng
 
Pudarnya Pesona Cleopatra
Pudarnya Pesona CleopatraPudarnya Pesona Cleopatra
Pudarnya Pesona Cleopatra
 
Pudarnya pesona cleopatra
Pudarnya pesona cleopatraPudarnya pesona cleopatra
Pudarnya pesona cleopatra
 
Cerpen
CerpenCerpen
Cerpen
 
Mungkin ini adalah waktu yg terbaik
Mungkin ini adalah waktu yg terbaikMungkin ini adalah waktu yg terbaik
Mungkin ini adalah waktu yg terbaik
 
Sampai jumpa di surga
Sampai jumpa di surgaSampai jumpa di surga
Sampai jumpa di surga
 
Contoh cerpen persahabatan
Contoh cerpen persahabatanContoh cerpen persahabatan
Contoh cerpen persahabatan
 
Cinta
CintaCinta
Cinta
 
Novelku
NovelkuNovelku
Novelku
 
Toga i'm coming
Toga i'm comingToga i'm coming
Toga i'm coming
 
Biarkan Cinta Kami Bersemi
Biarkan Cinta Kami BersemiBiarkan Cinta Kami Bersemi
Biarkan Cinta Kami Bersemi
 
Resetter mindset2
Resetter mindset2Resetter mindset2
Resetter mindset2
 
2
22
2
 
Angin dari gunung
Angin dari gunungAngin dari gunung
Angin dari gunung
 

Cerpen, it was about him

  • 1. It Was About Him Ini tentang sebuah perasaan yang berhubungan langsung dengan dirinya. Dia yang selalu kurindu. Ini masih sebuah rasa yang kerap kali dirasakan setiap insan yang memiliki hati. Hati yang masih sanggup mencintai dengan sepenuh hati. Karena ini tentang cinta. Dia. Mengenangnya bukanlah hal yang indah, juga bukan hal yang menyenangkan. Tidak sama sekali. Bahkan setiap kali aku mengenangnya, aku akan kembali bertanya: apakah dia juga mengenangku seperti aku mengenangnya? Pertanyaan tolol karena aku sendiri tahu, tidak akan ada yang bisa menjawabnya. Hanya dia, dia, dia. Aku terlalu bodoh untuk hal ini. Tapi bukan berarti aku rapuh, aku cukup kuat untuk ini. Hanya terlalu bodoh, itu saja. Mataku menelusuri huruf-huruf yang menurutku begitu membingungkan— membuatku pusing padahal baru beberapa detik sejak aku memutuskan untuk mencari namaku. Daftar nama murid baru. Sedikit tidak masuk akal melakukan hal bodoh ini ketika sebenarnya aku telah mengetahui di mana kelasku. Bola mataku bergerak mengikuti rangkaian huruf selanjutnya. Hingga semakin ke bawah, tepat pada baris ke-25, aku mengerjap. Masih tidak percaya, kusipitkan mataku agar bisa melihat lebih intens lagi. Deg! Tubuhku terpaku pada satu nama. Masih dengan kesadaran yang kupertahankan, kakiku mendadak melemas. Tubuhku tiba-tiba terasa berat hingga tak sanggup rasanya untuk tetap berdiri tegak. Tenagaku seperti terkuras habis, sangat sulit untuk digunakan bergerak. Aku takut tidak bisa menarik napas dengan benar, karena napasku langsung terputus-putus. Yang kutahu, ketika kuangkat tangan kananku ke dada. Di situ. Rasanya sakit sekali…. ***
  • 2. Kenapa harus bertemu bila akhirnya berpisah? Bukankah akan sia-sia saja? Bagaimana jika pertemuan itu meninggalkan rasa? Bagaimana bila setelah berpisah, rasa itu berubah menjadi luka? Lalu, siapa yang bisa kusalahkan? Aku berlari. Menembus kerumunan siswa-siswi baru yang langsung memakiku kasar. Aku masih tak peduli karena aku memiliki satu tujuan yang masih ingin kugapai. Tidak peduli bagaimana efeknya nanti—bagaimana nantinya luka ini akan mati selamanya. Ya, hanya dia tujuanku saat ini. Dan aku ingin bertemu dengannya. Napasku memburu, secepat detak jantungku. Tubuhku begitu dingin ketika aku melihatnya di depan kelas—terlihat bahagia sekali tertawa bersama teman-temannya. Lelaki yang telah jangkung itu menggunakan seragam sepertiku. Tidak, aku memang sudah tidak mengenali wajahnya. Wajahnya benar-benar berubah. Mungkin waktu terlalu andil di sini. Ya, pada akhirnya, waktu terlanjur mampu menyamarkan wajahnya. Salah siapa? Tapi aku yakin sekali. Karena getar- getar ini dapat kurasakan kembali setelah lima tahun mati. Aku yakin karena hatiku meyakinkanku. Getar-getar ini memang miliknya. Desiran ini juga miliknya. Bodohnya, hatiku masih memilihnya. Apa yang akan kulakukan sekarang? Setelah melihatnya dengan jarak sedekat ini? Apakah menyapanya adalah sesuatu yang buruk? Tidak, memang tidak. Tapi, masihkah dia mengingatku? Aku sudah seperti terjatuh ketika tubuhku terasa lebih berat kembali. Rasanya seperti dijatuhkan ke sebuah kenyataan. Kenyataan yang tiba-tiba saja menamparku. Apakah dia masih mengingatku? —for someone out there, I really miss you—