arvinoor, arvinoor siregar, arvinoor siregar sh, arvinoor siregar sh mh, kasus arvinoor, kasus arvinoor siregar, kasus arvinoor siregar sh, kasus arvinoor siregar sh mh , arvinoor, arvinoor siregar, arvinoor siregar sh, arvinoor siregar sh mh, kasus arvinoor, kasus arvinoor siregar, kasus arvinoor siregar sh, kasus arvinoor siregar sh mh
1. Jawa Pos
Minggu, 12 Agustus 2007
Dadong Dauh
Cerpen: Sunaryono Basuki Ks
Nama sebenarnya bukan Dadong Dauh, tetapi teman-temannya memanggilnya "Dadong",
bukan lantaran dia sudah nenek-nenek atau nampak sebagai nenek. Desak masih muda,
masih 21 tahun, dan dia juga tidak nampak sebagai nenek-nenek, tapi toh tetap saja
panggilan itu yang dipakai. Bahkan dia menandai file presentasi dramanya dengan "Dadong
Dauh", mengacu ke sebuah judul lagu anak-anak berbahasa Bali. Bukan hanya Desak yang
dipanggil dengan nama lain. Risna punya nama panggilan Bunbun, ada lagi yang dipanggil
Cacing, Dodol, Kancrong, dan sejumlah nama lain. Dengan menyebut nama tertentu,
teman-temannya segera tahu siapa yang dimaksud.
Ayah Desak, Dewa Made Beratha, menginginkan anaknya itu setelah lulus dari studi di
Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris segera mencari kerja sebagai guru, bukan sebagai
karyawan hotel. Maklum, kata ayahnya, hotel sedang sepi. Situasi pariwisata naik turun, tak
dapat diandalkan. Sedangkan menjadi guru mendapat gaji yang pasti, uang pensiun, dan
taspen walau tak seberapa. Apalagi, bekerja sebagai guru tak terlalu menyita waktu. Hal ini
penting dipikirkan, sebab, nanti, kalau Desak menikah dan punya bayi, maka dia perlu
waktu lebih banyak untuk bayinya, dan profesinya memungkinkan hal itu. Kalau bekerja
sebagai karyawan hotel, walau gajinya lebih banyak, sangat terikat dengan jam kerja. Dan,
tentu saja Desak nantinya harus nikah dengan Dewa. Entah Dewa dari mana, pokoknya
Dewa. Jangan sampai Desak "mencebur" nikah dengan seorang lelaki tak berkasta.
Desak memang cantik. Tubuhnya tinggi semampai, benar-benar semampai, bukan ejekan
yang merupakan kependekan dari "semeter tak sampai". Persisnya, tingginya 167 cm, tidak
"katek" sebagai seorang perempuan. Rambutnya hitam lurus, kulit wajahnya halus, entah
karena memakai sabun mandi apa. Alisnya tebal dan tubuhnya subur, tak terlalu kurus dan
tak gemuk. Matanya? Hitam pada dasar putih susu, terlihat sehat, dan kalau bergerak-gerak
sewaktu menari, kelihatan benar-benar hidup. Dia sering menari untuk kegiatan di kampus.
Dia ikut Tari Panyembrana, bentuk tari penyambutan tamu yang selalu menampilkan
bidadari-bidadari jelita. Dalam bungkus riasan dan sorotan lampu, para penari berubah
wujud menjadi dewi-dewi dari khayangan. Bahkan Dewa Komang tak dapat mengenalinya.
Barulah saat dia perhatikan para penari itu seorang demi seorang, Dewa dapat mengenali
leher Desak yang jenjang dan hidungnya yang mancung. Di belakang panggung Dewa
mencoba menguak kerumunan teman-temannya untuk memberi salam Desak. Dan setelah
benar-benar berhadapan dengan Desak, Dewa tertegun dan berbisik pada dirinya sendiri:
"Dia memang cantik! Dewiku, bidadariku..."
Semua penari harus disalaminya, dan Desak yang terakhir. Tangannya bergetar, bukan
lantaran takut atau kikuk, melainkan karena kagum.
"Kau cantik sekali, Sak," bisiknya. Ingin dia mencium gadis itu, tetapi tentu saja tak
mungkin. Di ruang lain, mungkin, tetapi di kamar rias, sulit. Apalagi Desak mengoleskan
gincu merah di bibirnya, dan pipinya penuh dengan bedak riasan, dan juga keringat yang
membuat kulit pipinya mengilat.
Dewa bukan kerabatnya, berasal dari Klungkung, sedangkan Desak dari Seririt, dua puluh
kilometer di sebelah kota Singaraja. Karena rumahnya cukup jauh, dia tinggal di kamar
pondokan di Jalan Nuri, bersama sejumlah mahasiswi lain. Di tempatnya yang longgar
karena punya halaman dan tempat parkir, hanya tinggal mahasiswi. Sedangkan di tempat
2. Dewa yang tak jauh dari kampus, mahasiswa dan mahasiswi tinggal serumah, penuh sesak
dan kamar mereka berukuran kecil. Berbeda dengan kamar Desak yang punya kamar mandi
sendiri, dan meja belajar tempat dia meletakkan komputer. Mahasiswa wajib punya
komputer karena banyaknya tugas-tugas presentasi dan tugas akhir. Kalau harus bekerja di
rental komputer, banyak waktu dan uang yang terbuang. Bekerja di kamar sendiri lebih
hemat. Dia bisa beristirahat di sela kerja, membuka catatan dan buku-buku saat mencari
rujukan.
Kadang-kadang Dewa Komang datang menengoknya, ditemui di teras depan kamar.
Tersedia dua buah kursi dan meja tamu kecil yang menempel di tembok. Di tempat Dewa,
tak ada teras. Ukuran kamarnya pun kecil, diisi dengan sebuah tempat tidur untuk seorang,
meja belajar ukuran kecil, dan lampu baca di atas langit-langit kamar. Bila perlu mandi atau
buang air, harus antre. Hanya ada empat kamar mandi untuk lima belas penghuni, dua
untuk mahasiswa dan dua untuk mahasiswi. Kelebihannya, sebuah warung milik induk
semang berada di bagian luar rumah, sedang kamar-kamar terletak di sepanjang lorong di
samping rumah. Jalannya sempit, dan tamu lelaki maupun perempuan boleh diterima di
dalam kamar.
"Mau minum kopi?"
"Ya, ya. Terima kasih," sahut Dewa segera. Desak masuk ke dalam kamar dan menyiapkan
air panas dengan menyalakan kompor minyak tanah yang ditaruh di dekat pintu kamar
mandi.
"Sebentar, ya. Sambil bikin air untuk thermos."
Ada saja akal Dewa untuk bisa berdekatan dengan Desak walaupun teman-teman satu
pondokan ramai di teras masing-masing dengan tamu-tamunya.
"Kok tirainya gak ditutup. Kan tempat tidurnya kelihatan?"
"Nanti saja. Lampu kamar bisa dipadamkan, kan?" begitu Desak memadamkan lampu dan
kembali ke teras.
"Oh, bocor. Boleh pinjam kamar mandi?"
Desak maklum, artinya Dewa minta disayang, dan akan datang sebuah pelukan yang
disusul dengan cium di pipi, dan akhirnya cium di bibir. Tetapi, tentu saja Desak punya
malu. Saat Dewa masuk kamar mandi, dia pergi ke kamar Shintami yang terletak dua
kamar di utara kamarnya. Di sana ada Adi, Endra, juga Debbie yang sedang ngobrol
dengan Novy si empunya kamar. Mereka sedang berkumpul mengerjakan tugas bersama.
Mereka sedang "bwt" alias "buwat tugas".
"Lho, kok Dewa ditinggal?"
"Yah, masak disuruh nonton orang kencing. Kan ngeri."
Mereka tertawa.
"Gak ngintip, kok. Dadong balik aja ke kamar."
"Biar aja dia keluar ke teras dulu, aku baru balik ke sana."
Teman-temannya tertawa lagi.
3. "Sedang berhalangan, ya? Atau gak nafsu?"
"Apa aja boleh," jawabnya enteng.
Pada saat lain Desak diminta datang ke kamar Dewa via sms. Untuk menyenangkan hati
temannya itu dia datang. Pondokan Dewa sedang sepi karena teman-temannya berada di
kampus pada jam kuliah. Dewa pasti tahu pada hari dan jam itu banyak temannya yang tak
berada di pondokan. Desak diminta masuk kamar. Duduk di kursi belajar dan Dewa segera
menutup pintu dan menguncinya. Tanpa basa-basi lelaki itu menubruk Desak sebagaimana
biasa seperti saat saling rindu, tetapi dengus napas Dewa berbeda.
Sambil memeluk erat dia berbisik: "Sekarang ya Sak, sekali ini saja. Aku tak tahan!"
Desak tak bisa menolak ciuman Dewa di pipi yang merembet ke bibir. Diterima dengan
dingin. Dan, ketika Dewa melonggarkan pelukannya untuk membuka pakaian Desak,
ditamparnya lelaki itu dengan tangan kanan dan didorong dadanya dengan tangan kiri
sampai jatuh ke tempat tidur. Lalu, buru-buru dia membuka pintu.
Sms datang bertubi, minta maaf, tapi bagi Desak sudah cukup. Kalau teman-teman Dewa
biasa melakukannya dengan pacar, tidak bagi Desak. Hanya kata tidak, tak ada pilihan lain.
Beberapa kali Dewa datang ke pondokan Desak tapi tak pernah dibukakan pintu. Tirai
kamar ditutup dan dia tiduran seolah tak di rumah. Saat kepergok Dewa, dengan sengit
Desak berkata:
"Cari aja teman lain yang sudah biasa. Atau cari patok ".
"Sak, maaf."
Banyak yang bisa dikatakan Desak tetapi dia sudah ngekoh ngomong. Tidak ada ampun
bagi Dewa. Ternyata kemudian Desak jatuh cinta, bukan pada teman kuliah, bukan pada
mahasiswa dari jurusan lain, tetapi pada dosennya sendiri. Benar-benar gila, pikirnya, tetapi
Desak memang mencintainya. Tak ada yang istimewa dengan lelaki itu selain bahwa dia
seorang dosen, bergelar doktor, punya istri dan anak-anak yang lebih tua dari Desak. Mula-
mula hanya acara konsultasi, dimulai dengan cium pipi. Mula-mula Desak merasakannya
sebagai cium sayang seorang ayah. Lalu, pada suatu saat, lelaki itu mencuri ciumnya, dan
Desak mendapatkan rasa damai luar biasa. Dari kata-katanya yang lembut, dari tatapan
mata yang lembut, dari perangai yang lembut, dan dari ciuman yang lembut. Lama-
kelamaan Desak merindukan ciumannya, merindukan pelukannya yang lama, dan
memberinya rasa damai serta rasa aman.
Walaupun lelaki itu punya mobil, dia tak pernah mengajaknya pergi, ke Lovina, misalnya,
atau ke arah timur, ke Air Sanih. Kata teman-temannya, ada beberapa tempat penginapan
yang sering disewa sesaat oleh berbagai pasangan. Hari Jumat dikenal sebagai Hari Krida
dan itu berarti PNS dalam pakaian training bebas pergi ke mana saja dan membiarkan
kantor kosong. Sejumlah mobil, katanya, meluncur ke arah timur, atau sekadar diparkir di
halaman sejumlah hotel tertentu dalam kota. Pernah dia dengar berita di radio, seorang
kepala sekolah SD berselingkuh di hotel dengan seorang guru satu sekolah, dan digerebek
oleh suami sang guru. Sang kepala sekolah diperkarakan karena mencoreng dunia
pendidikan. Tetapi, teman-temannya menganggap hal itu biasa saja dan bukan merupakan
berita besar. Desak tak bisa membayangkan seandainya dia tertangkap di sebuah hotel
dengan dosennya, dipergoki anak si dosen. Sungguh memalukan. Kampus pasti gempar,
walau dia dengar juga sekali dua ada peristiwa-peristiwa memalukan seperti itu yang tetap
4. menjadi rahasia umum.
Karena sering dipeluk, sering dicium, Desak sudah merasa sebagai istri dosennya,
walaupun secara resmi tak mungkin karena suaminya pasti terkena UU Perkawinan. Dan,
tentu saja, karena belum lulus, dia juga belum siap nikah. Dalam sms selalu dia sebut lelaki
itu sebagai "suamiku", sebab dia sudah memberikan semuanya kecuali keperawanannya,
dan lelaki itu juga tak menunjukkan tanda-tanda akan merebutnya. Karena itulah dia
merasa makin sayang. Dalam setiap pertemuan diupayakan agar dia bisa memeluk,
mendapat rabaan, dan ciumannya, walau hanya sekejap. Hanya saja, dia sering takut,
jangan-jangan ada yang mengetahui perbuatan mereka dan kampus menjadi gempar.
Mungkin studinya akan dihambat oleh jurusan. Tapi, makin hari Desak merasa makin lekat,
dan makin sulit berpisah dengannya.
Tiba-tiba datang berita sms dari teman-teman Desak. Ajakan untuk medelokan . Istri
dosennya meninggal dan harus segera dibawa ke Tabanan. Mereka mengadakan pertemuan
kilat, dan besoknya secara berombongan dengan mengenakan pakaian adat, berangkat ke
Tabanan dengan menyewa mikrobus Isuzu. Desak ikut dalam rombongan, mengenakan
kebaya, perasaannya campur-baur. Sedih. Senang.
Di rumah duka dia disambut dengan mata yang masih sembab dan tampak kelelahan. Desak
tersenyum bukan menunjukkan kebahagiannya, mengulurkan tangan yang disambut kata-
kata: "Bantu Bapak, ya Sak?"
Kaya makna. Desak tertegun. Benarkah dia akan menerimanya sebagai suami, nanti kalau
sudah lulus? Dia juga menyalami anak-anak dosennya yang satu per satu dibisiki: "Tabah
ya, Mbok. Tabah ya, Bli."
Bagaimana nanti mereka memanggil Desak kalau dia menjadi ibu mereka? Adik? Tak
pantas rasanya dia panggil mereka "Nak". Perasaan itu dibawanya sampai ke tempat tidur.
Masih teringat kemesraan yang telah diterima, ciuman yang lembut penuh kasih sayang,
pelukan yang lama, elusan yang membangkitkan gairah. Rasanya tak ada lelaki lain yang
lebih sesuai untuk menjadi suaminya selain sang dosen itu. Dalam tidur dia bermimpi
bertemu seorang perempuan mengenakan pakaian serbaputih, kakinya tak menjejak tanah,
bau wangi tersebar membungkus tubuhnya. Perempuan cantik itu tidak terseyum. Tiba-tiba
bagai burung elang menyambar leher, mencabik-cabik dirinya. Darah mengucur dari
seluruh wajah, seluruh tubuhnya, sampai Desak berkeringat dan tersengal-sengal di atas
bantal.
Siapakah dia? Apakah dia ibu yang tak begitu dikenalinya? Apakah perempuan itu
memberi tanda, isyarat kepadanya, untuk tak merebut suaminya?
Malam memang dingin dan tubuhnya gemetar, dan sampai pagi tak berani dia
memicingkan mata. Besoknya dia mangkir kuliah, kelelahan luar biasa. Badannya panas
dingin.
Sekarang, setelah lelaki itu menjadi duda, sebenarnya Desak punya kesempatan besar untuk
menikah dengannya. Tapi, justru sekarang, dia merasa segala tindakannya, pelukannya,
ciumannya, kerinduannya, semua dapat dengan mudah dilihat dari alam sana. Setiap saat
dia merasa diawasi, sewaktu-waktu akan dijewer saat telinganya tiba-tiba sakit, atau
dipukul kepalanya saat tiba-tiba terasa berjuta jarum menusuk-nusuk kepalanya, atau
dicubit saat tangannya semutan. Berdiri bulu kuduknya.
Keputusannya bulat. Seusai mandi dan berpakaian bersih dia bersembahyang dengan
canang yang dia beli sehari sebelumnya. Kepada Hyang Widhi dia meminta maaf dan
5. bersumpah untuk menjauhi dosennya, walau berat. Harus dia lupakan semua kemesraan,
semua pelukan, semua elusan. Kasih sayang lelaki itu harus dibawa dalam hati, dan dia
harus berpikir untuk yang lain. ***
Singaraja, 25-31 Maret 2007