2. DEFINISI
Bell’s palsy adalah suatu kelumpuhan
saraf fasialis perifer yang bersifat unilateral,
penyebabnya tidak diketahui (idopatik),
akut dan tidak disertai oleh gangguan
pendengaran, kelainan neurologi lainnya
atau kelainan lokal.
3. DEFINISI
Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab
terbanyak dari paralysis fasial akut.
Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori,
Jepang tahun 1986 dan insiden terendah
ditemukan di Swedia tahun 1997.
Di Indonesia didapatkan frekuensi Bell’s palsy
sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati.
Terbanyak pada usia 21 – 30 tahun.
Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria.
5. MANIFESTASI KLINIS
Kelumpuhan otot – otot wajah unilateral;
Terjadi secara tiba-tiba;
Rasa kaku dan baal pada wajah yang terkena;
Terganggunya produksi air mata;
Hipersalivasi;
Nyeri sekitar teinga.
6.
7. DIAGNOSIS
Perlu dibedakan paralisis akibat lesi di SSP e.c
stroke, dimana pada stroke gangguan yang
terjadi hanya melibatkan salah satu dari gejala
yang ada. Misalnya, pada beel’s palsy (perifer)
dapat terjadi bibir mencong dan ptosis secara
bersamaan, sementara pada stroke (sentral),
hanya salah satunya yang terjadi.
House Brachmann Scale
11. PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan Bell’s palsy adalah
untuk mempercepat penyembuhan, mencegah
kelumpuhan parsial menjadi kelumpuhan
komplit, meningkatkan angka penyembuhan
komplit, menurunkan insiden sinkinesis dan
kontraktur serta mencegah kelainan pada mata.
Pemberian steroid dapat mengurangi inflamasi
dan edema pada saraf facialis yang merupakan
penyebab paling mungkin.
Dosis pemberian prednison (maksimal 40-60
mg/hari) dan prednisolon (maksimal 70 mg)
adalah 1 mg per kg per hari peroral selama enam
hari diikuti empat hari tappering off.