SlideShare a Scribd company logo
DISERTASI
PENENTUAN STATUS KEBAHASAAN ISOLEK-
ISOLEK DI KABUPATEN NAGEKEO: KAJIAN
DIALEK GEOGRAFI
BUKU I
PETRUS PITA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
ii
DISERTASI
PENENTUAN STATUS KEBAHASAAN ISOLEK-
ISOLEK DI KABUPATEN NAGEKEO: KAJIAN
DIALEK GEOGRAFI
BUKU I
PETRUS PITA
NIM:0790171004
PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI LINGUISTIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
iii
PENENTUAN STATUS KEBAHASAAN ISOLEK-ISOLEK
DI KABUPATEN NAGEKEO: KAJIAN DIALEK GEOGRAFI
BUKU I
Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor
Pada Program Doktor, Program Studi Linguistik,
Program Pascasarjana Universitas Udayana
PETRUS PITA
NIM: 0790171004
PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI LINGUISTIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
iv
v
Panitia Ujian Disertasi
Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana
Nomor: 4083/UN.14.4/HK/2015
Tanggal: 1 Desember 2015
Ketua : Prof . Dr. Drs. Ida Bagus Putra Yadnya, M.A.
Anggota :
1. Prof. Dr. Aron Meko Mbete (Promotor )
2. Prof. Dr. Multamia R.M.T. Lauder, Mse,D.E.A (Kopromotor I)
3. Dr. Ni Made Dhanawaty, M.S (Kopromotor II)
4. Prof. Dr. Ketut Artawa, M. A. Ph.D
5. Prof. Dr. I Wayan Pastika, M.S.
6. Prof. Dr. Made Suastra, Ph. D
7. Dr. A.A. Putu Putra, M. Hum.
vi
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Petrus Pita
NIM : 0790171004
Jurusan/Program Studi: Linguistik
Fakultas/Program : Program Doktor Pascasarjana Universitas Udayana
Menyatakan bahwa karya ilmiah disertasi ini bebas plagiat. Apabila
di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa dalam disertasi ini
terkandung ciri-ciri plagiat dan bentuk peniruan lain yang dianggap
melanggar peraturan, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan
Peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan peraturan perundang-
undangan yang yang berlaku.
Denpasar, Maret 2016
Petrus Pita
vii
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Mahakuasa karena atas
Rahmat dan kasih-Nya, disertasi yang berjudul “Penentuan Status Kebahasaan
Isolek-Isolek di Kabupaten Nagekeo: Kajian Dialektologi Geografi” dapat
diselesaikan. Penyusunan disertasi ini dilakukan untuk memenuhi salah satu
syarat untuk memperoleh gelar doktor dalam bidang program studi Linguistik,
Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa disertasi ini dapat diselesaikan dalam
bentuk dan isinya seperti ini karena adanya bimbingan, bantuan, dan kerja sama
dari semua pihak, terutama promotor dan kopromotor sejak penyusunan proposal
penelitian hingga ujian terbuka ini. Terhadap pihak-pihak yang telah memberikan
bimbingan dan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung hingga
terwujudnya naskah disertasi ini, pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya:
Kepada yang terhormat Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut
Suastika, Sp. PD-KEMD atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada
penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Doktor di
Universitas Udayana.
Kepada yang terhormat Direktur Pascasarjana Universitas Udayana Prof.
Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), Asisten Direktur I Prof. Dr. Made Budiarsa;
Asisten Direktur II Prof. Made Sudiana Mahendra, Ph. D. atas kesempatan yang
diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Doktor pada
Program Studi Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Kepada yang terhormat Prof. Dr. Aron Meko Mbete, selaku promotor yang
telah membimbing, mengarahkan, membaca dan mencermati naskah disertasi ini
dengan penuh kesabaran dan kerendahan hati walaupun di tengah kesibukan
tugas, namun tetap menyediakakn waktu bagi penulis untuk berkonsultasi serta
dukungan doa dan kunjungan ke Rumah Sakit Sanglah Denpasar serta kunjungan
ke rumah di Ende untuk menguatkan kembali niat dan motivasi agar penulis tetap
menyelesaikan disertasi ini setelah menderita sakit stroke sejak 16 Oktober 2011.
Kepada yang terhormat Prof. Dr. Multamia R.M.T. Lauder, S.S, Mse,
D.E.A, dari Universitas Indonesia selaku Kopromotor I yang telah mencermati isi
naskah disertasi ini serta membimbing dan mengarahkan penulis tahap demi tahap
walaupun di tengah kesibukan tugas dan kadang-kadang dalam kondisi kesehatan
yang kurang prima, serta dukungan dan doa untuk menguatkan kembali niat dan
motivasi agar penulis tetap menyelesaikan disertasi ini setelah menderita sakit
stroke.
Kepada yang terhormat Dr. Ni Made Dhanawaty, M.S, selaku Kopromotor
II yang telah dengan penuh semangat kekeluargaan mencermati, mengarahkan,
viii
dan menguatkan motivasi penulis untuk tetap tekun menyelesaikan disertasi ini
walaupun banyak tantangan dan kesulitan yang menghadang, terutama setelah
menderita sakit stroke.
Kepada yang terhormat almarhum Prof. Dr. I Wayan Bawa yang telah
menanamkan motivasi dan pemahaman dasar tentang studi dialektologi atau
geografi dialek sejak penulis belajar di S-1 dan S-2 Universitas Udayana ini.
Kepada yang terhormat Prof. Dr. Ketut Artawa, M.A, Ph.D., mantan Ketua
Program Studi Pendidikan Doktor Linguistik Program Pascasarjana Universitas
Udayana yang memungkinkan penulis untuk mendapatkan dana hibah penelitian
sehingga sebagian dari kesulitan dan masalah dana penelitian teratasi dengan baik
dan penelitian dapat dijalankan secara maksimal hingga dapat merampungkan
naskah disertasi ini untuk siap ujian terbuka.
Kepada yang terhormat Prof. Dr. I Wayan Pastika, M.S, yang dengan tulus
dan lapang dada serta penuh persahabatan mencermati dan mengarahkan
perbaikan naskah disertasi yang berkenaan dengan fonologi generatif, sehingga
penulis semakin memahami konsep-konsep fonologi generatif yang relevan
dengan disertasi ini. Penulis juga hendak menyampaikan ucapan terima kasih tak
terhingga atas kebaikan dan persahabatan penuh semangat kekeluargaan melalui
kontak pribadi dengan penulis setelah kembali ke Ende untuk usaha penyembuhan
dan pemulihan kembali dari sakit; serta dukungan dan doa untuk menguatkan
kembali niat dan motivasi penulis agar tetap menyelesaikan disertasi ini setelah
menderita sakit stroke.
Kepada yang terhormat Dr. A.A. Putra, M.Hum. yang telah pula merelakan
waktu untuk berdiskusi baik langsung berhadapan muka maupun melalui kontak
pribadi dengan telepon genggam dan bahkan rela mengunjungi penulis di rumah
kediaman penulis di Ende dalam suatu perjalanan di Flores.
Kepada yang terhormat Bapak Drs. Thomas Geba, M. Si, mantan Rektor
Universitas Flores yang telah mendukung dan merekomendasikan penulis untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang S-3 linguistik ini.
Kepada yang terhormat Bapak/Ibu Staf Pegawai Tata Usaha pada Program
Studi Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana yang senantiasa
melayani dengan penuh kasih dan semangat persaudaraan sejak masa perkuliahan,
masa sakit stroke dengan mengunjungi penulis baik di rumah sakit maupun di
rumah kediaman.
Kepada yang terhormat Ketua Umum Yapertif:
1) Bapak Drs. H.J. Gadidjou (alm) yang telah memberikan izin kepada penulis
untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S-3 linguistik ini serta membantu
meringankan beban biaya kesehatan ketika penulis pertama kali terserang
stroke.
ix
2) Bapak Dr. Laurentius Gadidjou yang telah memberikan motivasi dan dukungan
moril serta bantuan yang dapat meringankan beban keuangan sehingga penulis
dapat menyelesaikan disertasi S-3 linguistik ini.
Kepada yang terhormat Rektor Universitas Flores Bapak Prof. Dr.
Stephanus Djawanai yang senantiasa mendukung dan memotivasi penulis untuk
menyelesaikan disertasi S-3 linguistik ini.
Kepada yang terkasih Bapak Matheus Maya (mantan Wali Kota Dili) dan
keluarga di Denpasar yang dengan penuh kebaikan dan cinta membantu usaha
penyembuhan dan pemullihan kembali dari sakit stroke yang dialami penulis
selama berobat di Denpasar Bali.
Kepada yang terkasih Kakak Benediktus Djandon sekeluarga di Denpasar
dan adik Viktor Djandon sekeluarga di Wangka - Riung yang dengan penuh
kebaikan dan cinta membantu penulis selama masa perkuliahan serta usaha
penyembuhan dan pemullihan kembali dari sakit stroke yang dialami sejak 16
Oktober 2011.
Kepada yang terkasih Adik Udin Syafrudin dan Adik Sisilia da Cunha
sekeluarga di Denpasar yang dengan penuh kebaikan dan cinta membantu penulis
selama masa usaha penyembuhan dan pemulihan kembali dari sakit stroke yang
dialami penulis.
Kepada yang terkasih ayahanda Aloysius Meo (Almarhum) dan Mamanda
Maria Tipa yang telah mengorbankan segala kesederhanaan hidup demi
pendidikan anaknya hingga penulis memperoleh pendidikan dan pekerjaan seperti
sekarang ini.
Kepada yang tercinta istri Dra. Maria Gorety Djandon, M. Si. yang setia
mendampingi penulis sejak masa perkuliahan, tahapan penelitian dan pengolahan
data, mengerjakan ketikan naskah pada setiap tahapan perbaikan, terutama cinta
dan pengorbanan lahir batin untuk merawat penulis selama menderita sakit stroke
sejak tanggal 16 oktober 2011.
Kepada yang tersayang anak-anak:
1) Paulus Ludgerius Rusman Pita, S.TP (Alumni Fakultas Teknologi Pertanian
Universitas Udayana Denpasar – Bali).
2) Yulita Fulgensia Rusman Pita, mahasiwa semester VIII Pendidikan Bahasa
Inggris pada FKIP Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja-Bali yang
pernah ditinggalkan di Ende sejak kelas II SMP hingga tamat SMA. Penulis
sungguh menyadari keikhlasan keduanya yang telah merelakan waktu untuk
mencintai dan mengawasi mereka di masa kecil dan masa remaja karena
harus mencurahkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk menyelesaikan
pendidikan di jenjang S-3 linguistik ini.
Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada
semua kakak adik sanak saudara turunan Pake Rugha dan Meo Sato di Rendu dan
x
di luar Rendu yang senantiasa mendukung penulis, baik di masa kuliah maupun di
masa pemulihan kembali dari sakit stroke. Ucapan terima kasih yang sama juga
penulis tujukan bagi semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu
dalam disertasi ini, namun semuanya telah berjasa membantu penulis sejak awal
perkulihan hingga ujian terbuka atau ujian promosi doktor ini.
Semoga amal bakti dan keikhlasan hati semua pihak dibalas dengan berkat
dan rahmat berlimpah dari Tuhan Sang Penyelenggara kehidupan dan Allah
Pengasih Yang Mahacinta.
Denpasar, 2016
Penulis
xi
ABSTRAK
Petrus Pita. Penentuan Status Kebahasaan Isolek-isolek di Kabupaten Nagekeo:
Kajian Dialek Geografi
Disertasi Doktor. Denpasar: Universitas Udayana. 2016.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) perbedaan bentuk isolek
berdasarkan paradigm leksikal di beberapa tempat di Kabupaten Nagekeo, (2)
pengelompokan isolek di Kabupaten Nagekeo ke dalam dialek and subdialek, dan
(3) perubahan-perubahan fonem secara fonology di kabupaten Nagekeo.
Penelitian ini adalah jenis penelitian descriptif. Melalui metode dialektometri
ditemukan 3 bahasa di Kabupaten Nagekeo, yaitu:
I. Bahasa Mbay/Riung dengan 3 dialek, yaitu (1) Dialek Lengkosambi, (2)
Dialek Nggolonio, (3) Dialek Nggolombay.
II. Bahasa Nagekeo dengan 22 dialek, yaitu:
1) Nage Tengah mempunyai satu dialek yaitu dialek Boawae dan 3 subdialek
yaitu Subdialek Rawe, Subdialek Rowa, dan Subdialek Kelewae.
2) Nage Tengah Utara mempunyai enam dialek, yaitu: (1) Dialek Munde, (2)
Dialek Dhawe, (3) Dialek Lape – Ia (Lape – Nataia), (4) Dialek Lambo,
(5) Dialek Dhereisa (6) Dialek Rendu.
3) Nage Tengah Selatan mempunyai empat dialek yaitu: (1) Dialek Ndora,
(2) Dialek Jaduro (Raja, Wudu, Wolowea, Gero), (3) Dialek Kelimado, (4)
Dialek Kotakeo dengan Beda Wicara Ladolima.
4) Nage Utara Timur mempunyai dua dialek, yaitu: (1) Dialek Wolowae atau
Dialek Toto dengan Subdialek Utetoto, (2) Dialek Oja dengan Subdialek
Watumite dan Subdialek Tendarea.
5) Perbatasan antara Kabupaten Nagekeo dan Kabupaten Ngada mempunyai
3 dialek, yaitu: (1) Dialek Sara–Taka (Sarasedu, Takatunga), (2) Dialek
Soa (Desa Menge-ruda), (3) Dialek Poma (Desa Denatana).
6) Keo Barat mempunyai tiga dialek, yaitu: (1) Dialek Lejo, (2) Dialek
Aewoe, (3) Dialek Kotagana dan subdialek Wolokisa.
7) Keo Tengah mempunyai dua dialek, yaitu: (1) Dialek Kotowuji dengan
Subdialek Mbaenuari, (2) Dialek Romba.
8) Keo Timur mempunyai satu dialek yaitu Dialek Riti–Woko (Riti-Woko-
dekororo) dan satu beda wicara yaitu dialek Riti – Woko.
Dalam penelitian ini terdapat 6 konsonan dalam bahasa Nagekeo yang
mengalami variasi teratur sebagai ciri pembeda dialek secara fonologis,
yaitu: (1) Variasi konsonan /b/≈ /bh
, m
b/; (2) Variasi Konsonan /d/ ≈ n
d/;
(3) Variasi Konsonan /g/ ≈ [g, ŋ
g]; (4) Variasi Konsonan alveolar /z/ ≈ /r,
R, s, y/; (5) Variasi Konsonan tril /r/ ≈ [r,R, l, h, lh
, y, ø]; (6) Variasi
Konsonan lateral /l/ ≈ [l, d, l
d, r
z, ø].
III. Bahasa Ende dengan 2 dialek, yaitu (1) Dialek Maukaro; (2) Dialek
Nangapanda.
Kata Kunci: Linguistik, Isolek, Dialek, Geografi
xii
ABSTRACT
Petrus Pita. The Linguistic Status of Isolects in Nagekeo Regency: A Dialect
Geography Analysis. Doctoral Dissertation. Denpasar. Graduate School.
Udayana State University, 2016.
This study aims to investigate (1) the forms of isolect differences based on
lexical paradigm in various research locations in Nagekeo regency, (2) the
grouping of these isolects in Nagekeo regency into dialects and sub dialects, and
(3) the forms of phonemic changes phonologically of isolects in Nagekeo regency.
This research was Descriptive Analysis Research. The data were collected
through dialect metric method and comprised from three parts dialectology of
Nagekeo language.
I. Mbay language/Riung. It consists of three dialects: a). Dialect Lengkosambi,
b). Dialect Nggolonio, and c). Dialect Nggolombay.
II. Nagekeo Language. It covers 22 dialects, 5 sub-dialects, and 3 contrast in
speech, as bellow:
1) The midle Nage has one dialect and three sub-dialects, namely Boawae
dialect, Rawe sub-dialect, Rowa sub dialect, and Kelewae sub dialect.
2) The north-midle Nage has 6 dialects: Munde dialect, Dhawe dialect, Lape
dialect, Lambo dialect, Dhereisa dialect, and Rendu dialect.
3) The south –midle has 4 dialects and one contrast in speech such as Ndora
dialect, Jaduro dialect (Raja,Wudu, Wolowea, Gero), Kelimado dialect
Kotakeo dialect and Ladolima contrast in speech.
4) The north-east consists of two dialects and one contrast in speech, that is
Wolowae dialect or Toto dialect with Utetoto sub-dialect, Oja dialect with
Watumite subdialect and Tendarea subdialect.
5) The boundary region that located beatween Nageko and Ngada district has
three dialects that is Sara -Taka Dialect (Sarasedu,Takatunga); Soa Dialect
(Mengeruda), Poma Dialect (Denatana)
6) The west Keo has three dialects and one sub dialect that is Lejo dialect
with Wolokisa subdialect; Aewoe dialect; and Kotagana dialect.
7) The midle Keo has two dialect and one subdialect, namely Kotowuji
dialect with Mbaenuamuri subdialect; Romba dialect
8) The east Keo has one dialect and one contrast in speech like Riti dialect-
Woko (Riti- Wokodekororo) with contrast in speech to Riti dialect.
From it, the reseacher found the six consonants that occur regular variety
as distinctive features of dialect in term fonological point of view. They are:
(1) consonant variation is occuring on fonem /b/ ≈ [b, bh
, m
b, (2) Consonant
variations on /d/ ≈ [d, n
d], (3) Alveolar variation consonant /z/ ≈ [z, r, R, s,
y], (4) Various trill consonant /r/ ≈ [r,R, l, lh
, h,y, Ø], and (6). Various
lateral consonant /l/ ≈ [l, d, 
d, r
z, ø].
III. Ende Language. It consists of two dialects; (1) Maukaro Dialect and
dialect; (2) Nangapanda Dialect.
Key Words: Linguistic, Isolects, Dialect, Geography
xiii
RINGKASAN
PENENTUAN STATUS KEBAHASAAN ISOLEK-ISOLEK
DI KABUPATEN NAGEKEO: KAJIAN DIALEK GEOGRAFI
Oleh
Petrus Pita
1. Pendahuluan
1. 1 Latar Belakang
Penelitian dialek geografi yang memfokuskan kajian tentang
kebervariasian isolek di Kabupaten Nagekeo dipandang penting dan sudah
saatnya ditangani secara ilmiah dan objektif, mengingat:
1) Isolek-isolek yang digunakan oleh masyarakat di Kabupaten Nagekeo
tergolong sebagai isolek dari bahasa daerah kecil yang hingga sekarang
kurang mendapat perhatian dalam upaya pendokumentasian berupa hasil
penelitian ilmiah, baik secara mikrolinguistik maupun secara
makrolinguistik.
2) Generasi muda dan generasi terpelajar cenderung menggunakan bahasa
Indonesia daripada bahasa-bahasa lokal sebagai bahasa ibu atau bahasa
pertama sekalipun dalam ranah-ranah keluarga dan kebudayaan lokal.
3) Bila dihubungkan dengan wawasan Nusantara dan ketahanan nasional
bangsa Indonesia, penelitian terhadap bahasa-bahasa daerah kecil, seperti
bahasa-bahasa kecil yang ada di Kabupaten Nagekeo dapat memberikan
dampak positif terhadap eksistensi Negara Kesatuan RI sebagai negara
kesatuan bangsa (bdk. Ayatrohaedi, 1985:4-5; Dhani, 1991:3-4) karena
elemen bangsa sekecil apa pun merupakan perekat yang mengokohkan
persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
4) Kebervariasian isolek yang terdapat dalam berbagai kelompok tutur dalam
masyarakat Nagekeo merupakan representasi langsung dari kekayaan
budaya masyarakat Nagekeo, sekaligus juga merupakan kekayaan bangsa
Indonesia yang perlu diselamatkan dari kepunahannya.
5) Bila ingin mengetahui kejatidirian masyarakat Nagekeo sebagai bagian dari
bangsa Indonesia yang bhineka, kebervariasian isolek yang digunakan oleh
masyarakat di Kabupaten Nagekeo pantas dipelajari dan dipahami karena
melalui isolek-isolek inilah dapat ditelusuri belantara tata kehidupan
masyarakat Nagekeo.
Kebervariasian isolek dari kelompok-kelompok bahasa masyarakat yang ada
di Kabupaten Nagekeo itu tampak semakin kompleks pada daerah-daerah atau
wilayah-wilayah transisi antara dua daerah atau dua wilayah yang berbeda.
Misalnya, di daerah atau wilayah perbatasan antara Nagekeo dengan wilayah
Ende, antara wilayah Nagekeo dengan wilayah Bajawa dan antara wilayah
xiv
Nagekeo dengan wilayah Riung di Kabupaten Ngada. Di daerah-daerah transisi
itu diduga banyak terjadi proses masuknya anasir kosa kata, struktur, dan cara
pelafalan dari suatu bahasa atau dialek ke dalam bahasa atau dialek lainnya
sehingga kebervariasian isolek yang muncul menjadi kompleks dan bahkan rumit
untuk dideskripsikan. Kondisi lingual seperti yang digambarkan itulah yang
berpotensi untuk menghasilkan tuturan-tuturan yang perbedaannya bergradasi
antara satu kelompok tutur dengan kelompok tutur lainnya dalam masyarakat
Nagekeo. Kebervariasian tutur yang kompleks itu pulalah yang menjadi
pertimbangan penting bagi penulis untuk memilih kebervarisian isolek dalam
bahasa masyarakat di Kabupaten Nagekeo sebagai objek penelitian.
1.2 Rumusan Masalah
Masalah-masalah yang diangkat dalam penelitian ini dirumuskan secara
spesifik sebagai berikut.
1) Bagaimanakah wujud perbedaan isolek berdasarkan paradigma
leksikon pada berbagai lokasi pengamatan di Kabupaten Nagekeo?
2) Bagaimanakah pengelompokan terhadap isolek-isolek yang terdapat di
Kabupaten Nagekeo ke dalam dialek dan subdialek?
3) Bagaimanakah wujud perubahan fonem-fonem secara fonologis pada
isolek-isolek di Kabupaten Nagekeo?
1.3 Tujuan Penelitian
Merujuk pada masalah penelitian yang telah dirumuskan di atas, tujuan
penelitian ini dirumuskan secara spesifik sebagai berikut.
1) Menganalisis wujud perbedaan isolek berdasarkan paradigma leksikon
pada berbagai daerah pengamatan di Kabupaten Nagekeo.
2) Mengelompokkan isolek-isolek berdasarkan paradigma leksikon dan pola-
pola isoglos yang terdapat pada berbagai daerah pengamatan di Kabupaten
Nagekeo ke dalam dialek dan subdialek.
3) Mendeskripsikan wujud perubahan fonem-fonem yang terdapat dalam
isolek-isolek di Kabupaten Nagekeo berdasarkan paradigma fonologis.
1.4 Manfaat Penelitian
Secara akademis penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh para peneliti lain
yang melakukan penelitian terhadap bahasa Nagekeo di Kabupaten Nagekeo dan
Kabupaten Ende, baik penelitian mikrolinguistik maupun penelitian
makrolinguistik. Selain itu, penelitian ini dapat pula dimanfaatkan untuk
memperkaya fakta dan informasi tentang kebervariasian bahasa dalam kajian
dialektologi di Indonesia.
Selanjutnya, secara praktis penelitian ini dapat membantu masyarakat
bahasa Nagekeo untuk mengenal ciri-ciri khas dialek atau subdialek lain dalam
xv
bahasa Nagekeo, sehingga penutur dapat memilih dan menggunakannya sesuai
dengan ranah pembicaraan, latar belakang bahasa atau dialek dari lawan tutur, dan
tujuan komunikasi tertentu. Selain itu, dapat juga membantu para guru dan subjek
didik di sekolah-sekolah dalam wilayah bahasa Nagekeo mempelajari bahasa ibu
sebagai bahasa budaya masyarakat pendukungnya serta membantu pemerintah
daerah dalam hal pemekaran desa atau kecamatan agar mempertimbangkan
kesamaan bahasa dan budaya masyarakatnya dengan bantuan wilayah dialek atau
subdialek sebagai salah satu petunjuk satuan wilayah.
2. Konsep
2.1 Isolek
Kridalaksana (1988:82), dalam makalahnya yang berjudul Masalah
Metodologi dalam Rekonstruksi ‘Bahasa Melayu Purba’, mendefinisikan isolek
sebagai bentuk yang statusnya entah bahasa entah dialek. Selain itu, Mahsun
(1995:11) dalam bukunya Dialektologi Diakronis Sebuah Pengantar, mengatakan
bahwa isolek digunakan sebagai istilah netral untuk perbedaan dialek atau bahasa.
2.2 Isoglos dan Berkas Isoglos
Isoglos didefinisikan sebagai sebuah garis imajiner yang diterakan di atas
sebuah peta bahasa (bdk. Keraf, 1984:161, dan bdk. pula Lauder, 1990:117).
Selanjutnya, istilah isoglos disebut juga (garis) watas kata, yaitu garis yang
memisahkan dua lingkungan dialek atau bahasa berdasarkan wujud atau sistem
kedua lingkungan itu yang berbeda yang dinyatakan di dalam peta bahasa
(Ayatrohaedi, 1979:5). Jadi, isoglos merupakan suatu garis imajiner yang ditarik
di atas peta bahasa untuk memisahkan gejala kebahasaan berdasarkan variasi yang
berbeda.
2.3 Dialek
Panitia Atlas bahasa-bahasa Eropa mendefinisikan, dialek ialah sistem
kebahasaan yang dipergunakan oleh suatu masyarakat untuk membedakannya dari
masyarakat lainya yang bertetangga yang mempergunakan sistem yang berlainan
tetapi erat hubunganya (Ayatrohaedi, 1979:1).
2.4 Variasi dalam Dialektologi
Variasi (variation) yaitu ujud pelbagai manisfestasi bersyarat maupun tak
bersyarat dari suatu satuan (Kridalaksana, 2001:225). Dipandang dari dimensi
geografi, perubahan atau perbedaan yang disebut variasi ada yang terjadi secara
teratur dan ada pula yang terjadi secara sporadis.
xvi
Variasi atau perbedaan unsur-unsur kebahasaan yang relevan dalam
penelitian ini meliputi dua aspek, yaitu variasi yang berkenaan dengan variasi
leksikon dan variasi fonologis.
1) Variasi Leksikon
Menurut Mahsun (1995:54) yang dimaksudkan variasi atau perbedaan
leksikon ialah jika leksem-leksem yang digunakan untuk merealisasikan suatu
makna yang sama itu tidak berasal dari satu etimon prabahasa.
Pengkajian perbedaan leksikon dilakukan berdasarkan pada pertimbangan
bahwa bidang ini cukup menentukan dalam pengelompokan variasi atau
perbedaan bahasa, sebagaimana dikatakan oleh Chambers dan Trudgill
(1980:46, dan bdk. Grijns, 1976: 10).
2) Variasi Fonologis
Menurut Mahsun (1995:23), yang dimaksudkan variasi atau perbedaan
fonologi yaitu variasi yang berkenaan dengan perbedaan fonetik. Deskripsi
variasi atau perbedaan unsur-unsur kebahasaan pada tataran fonologi yang
dijadikan objek kajian dalam penelitian ini hanya ditekankan pada perbedaan
fonem-fonem segmental.
2.5 Sifat Kajian
Kajian dialektologi yang dilakukan dalam penelitian ini bersifat sinkronis.
Artinya, aspek sinkronik (synchronic) itu didasarkan pada peristiwa penggunaan
bahasa yang terjadi dalam suatu waktu atau masa yang terbatas; yaitu unsur
bahasa yang digunakan sekarang ini oleh masyarakat pendukungnya. Hal ini
sejalan dengan esensi dialektologi sinkronis yaitu bidang linguistik yang
menyelidiki kebervariasian bahasa pada berbagai dialek pada waktu tertentu
(Kridalaksana, 2000: 129, 198; bdk. pula Mahsun, 1995:13-14; bdk,
Djajasudarma, 1993:7; Nothofer, 1981:6-7; dan Dhani, 1991:11).
2.6 Proses Fonologis
1) Proses Asimilasi
Menurut Kridalaksana (2001:18) asimilasi (assimilation) adalah proses
perubahan bunyi yang mengakibatkanya mirip atau sama dengan bunyi lain
di dekatnya.
Asimilasi dibedakan atas 3 macam, yaitu:
a) Asimilasi Progresif
Bila bunyi yang diasimilasikan terletak sesudah bunyi yang
mengasimlasikan, artinya arah perubahan bunyi itu ke kanan (Kridalaksana
2001:18).
Contoh: Bahasa Nagekeo ’putar’: kilu ~ kili
xvii
b) Asimilasi Regresif
Asimilasi regresif, yaitu bila bunyi yang diasimilasikan itu mendahului
bunyi yang mengasimilasikan, artinya arah perubahan bunyi itu ke kiri
(Kridalaksana 2001:18).
Contoh: ;jambul ayam’ lari manu ~ rari manu
c) Asimilasi Resiprok
Asimilasi resiprok, yaitu bila bunyi yang diasimilasikan itu
mendahului bunyi yang mengasimilasikan, artinya arah perubahan bunyi itu
ke kiri (Kridalaksana 2001:18).
Contoh: ’delapan’ rua butu ~ ro butu
2) Proses Metatesis
Metatesis yaitu perubahan bunyi yang berkaitan dengan pertukaran
tempat fonem di antara dua bunyi (Kridalaksana 2001:136).
Contoh: Bahasa Nagekeo: ’isap’ səmo ~ məso
’memoton ranting kayu’ soli ~ losi
3) Protesis
yaitu penambahan segmen fonem di awal kata.
Contoh Bahasa Nagekeo’ hidung’: izu ~ ŋizu
’kaki’ aʔi ~ waʔi
’putar’ īlu ~ kilu
4) Proses Afaresis
Afaresis yaitu pelesapan bunyi pada posisi awal (Kridalaksana 2001:2),
Contoh: Bahasa Nagekeo ’terbongkar’ : beɠa ~ bea
3. Teori
Penelitian dialek geografis terhadap bahasa Nagekeo yang dilakukan ini
mengacu pada teori dialektologi tradisional sebagai landasan kerja ilmiah. Prinsip
dasar teori dialektologi tradisional ialah variasi unsur-unsur kebahasaan dalam
tataran leksikon tidak dapat diterangkan hubungan perubahan fonem-fonem antara
satu kata dengan kata yang lainnya, meskipun kata-kata itu mengacu kepada
makna yang sama.
Perbedaan-perbedaan leksikon antara satu lokasi dengan lokasi lainnya
umumnya dipengaruhi oleh latar belakang sosial masyarakatnya sehingga setiap
daerah secara manasuka memberikan nama yang berbeda-beda terhadap satu
benda atau hal yang mengacu kepada makna yang sama. Pemberian nama yang
berbeda terhadap suatu konsep yang sama muncul sebagai akibat dari pandangan
yang berbeda-beda dari masyarakatnya terhadap benda atau hal itu sesuai dengan
zat, wujud, sifat, keadaan, atau pun kegunaan dan sebagainya.
xviii
4. Kajian Pustaka
4.1 Kajian Hasil-hasil Penelitian Sebelumnya
Kajian pustaka yang dikerjakan di sini terbatas pada hasil-hasil penelitian
dialek geografi dan dialek sosial yang dipandang erat relevansinya dengan
penelitian dialek geografi terhadap kebervariasian isolek di Kabupaten Nagekeo,
sebagaimana tampak dalam deskripsi berikut ini.
1) Penelitian Bahasa Sasak di Pulau Lombok pada tahun 1951 oleh A.
Teeuw.
2) Penelitian Dialek Geografi Bahasa Nagekeo dalam bentuk skripsi yang
dilakukan oleh Petrus Pita pada tahun 1984.
3) Penelitian Dialek Geografi Bahasa Ngadha yang dilakukan oleh Petrus
Pita pada tahun 2002.
4) Penelitian Dialek Geografi Bahasa Sumba di Provinsi Nusa Tenggara
Timur oleh A.A.Putra pada tahun 2007.
5) Penelitian tentang Relasi Historis Kekerabatan Bahasa Flores yang
dilakukan oleh Inyo Fernandez pada tahun 1996.
4.2 Relevansi Kajian Pustaka Terhadap Penelitian Kebervariasian Isolek
di Kabupaten Nagekeo
Relevansi yang dapat ditarik dari kajian pustaka terhadap hasil-hasil
penelitian dialek geografi, dialek sosial, dan hasil penelitian perbandingan bahasa-
bahasa-bahasa Flores, meliputi hal-hal dberikut ini: 1) Pemilihan Teori, 2)
Penggunaan Metode Analisis Data, 3) Penentuan Daerah Pengamatan, 4)
Penentuan Informan, 5) Pembuatan Instrumen Penelitian, 6) Penggunaan Metode
Penyediaan Data.
5. Metode Penelitian
5.1 Pemilihan dan Penomoran Lokasi Penelitian
5.1.1 Dasar Pertimbangan Pemilihan Lokasi Penelitian
Secara ideal Gaston Paris menganjurkan agar penelitian dilakukan pada
setiap masyarakat. Hal ini berarti bahwa secara ideal penelitian memang harus
dilakukan pada setiap desa, pada setiap tempat, betapa pun kecil dan terpencilnya
desa atau tempatnya itu (bdk. Ayatrohaedi, 1979:36; bdk. pula Mahsun, 1995:102-
105).
Menjawabi sebagian anjuran Gaston Paris di atas, dalam penelitian dialek
geografi bahasa Nagekeo ini, dipilih 50 desa dari 104 desa.
5.1.2 Penetapan Lokasi Penelitian
Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara proporsional berdasarkan taraf
kebervarian unsur-unsur bahasa yang terdapat dalam tuturan masyarakat dan
jumlah desa (50 desa) pada berbagai satuan wilayah, yakni: 1) Kecamatan Aesesa
xix
8 desa, 2) Kecamatan Aesesa Selatan 1 desa, 3) Kecamatan Nangaroro 5 desa, 4)
Kecamatan Boawae 9 desa, 5) Kecamatan Mauponggo 6 desa, 6) Kecamatan Keo
Tengah 10 desa, 7) Kecamatan Riung 1 desa, 8) Kecamatan Wolomeze 1 desa, 9)
Kecamatan Golewa 2 desa, 12) Kecamatan Nangapanda 4 desa, 13) Kecamatan
Soa 1 desa, dan 14) Kecamatan Maukaro 2 desa.
5.2 Instrumen Penelitian
5.2.1 Hakikat Daftar Pertanyaan
Daftar pertanyaan (instrumen penellitian) yang dibuat untuk penelitian
dialek geografi bahasa Nagekeo ini berisikan kosakata yang dapat mengeksplorasi
variasi leksikon dan variasi fonologi, sedangkan bidang sintaksis terbatas pada
upaya untuk mengecek silang jawaban informan yang sama pada item yang
berbeda atau bahkan mengosongkan jawabannya dalam kuesioner dengan teknik
wawancara mendalam.
5.2.2 Syarat Daftar Pertanyaan
Untuk memperoleh hasil yang memuaskan, daftar pertanyaan dalam
penelitian ini mengacu pada syarat-syarat umum (Ayatrohaedi, 1979: 38-39;
bdk. Mahsun, 1995:106-112), sebagai berikut.
1) Daftar pertanyaan dalam penelitian ini diusahakan untuk menampilkan
berbagai variasi tutur (ciri istimewa) yang terdapat dalam bahasa Nagekeo.
Jawaban inilah yang kemudian diidentifikasi sebagai ciri penentu status
isolek baik variasi secara leksikon maupun secara fonologis.
2) Daftar pertanyaan disusun berdasarkan pengelompokan medan makna
dengan mempertimbangkan sifat dan keadaan budaya masyarakat bahasa
Nagekeo.
3) Daftar pertanyaan disusun secara mudah dan sederhana, dengan harapan
agar informan dapat memberikan jawaban secara langsung dan spontan
dan jawaban yang pertama kali diberikan dipandang sebagai jawaban yang
paling tepat.
5.2.3 Susunan Daftar Pertanyaan
Daftar pertanyaan yang disusun untuk penelitian dialek geografi bahasa
Nagekeo ini berisikan 1.000 Kosakatayang diharapkan dapat mengeksplorasi
variasi leksikon dan variasi fonologis. Susunan daftar pertanyaan dikelompokkan
menurut medan makna agar informan dapat memberikan jawaban yang langsung
dan spontan. Untuk keperluan tersebut, daftar pertanyaan disusun berdasarkan
tautan arti sesuai dengan medan maknanya masing-masing. Artinya, hal-hal yang
mempunyai tautan arti tertentu dikelompokkan dalam kelompok yang sama.
xx
5.2.4 Cakupan Daftar Pertanyaan
Daftar pertanyaan yang dibuat untuk menjaring data dalam penelitian ini
berupa daftar pertanyaan leksikon. Artinya, daftar pertanyaan ini berupa daftar
kata-kata dalam berbagai ranah kehidupan masyarakat, dengan
mempertimbangkan variasi fonologis dan variasi leksikon yang ada dalam
berbagai dialek (bdk. Lauder, 1990:70).
Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, cakupan daftar pertanyaan dalam
penelitian ini (bdk. Ayatrohaedi, 1979: 41; bdk. Mahsun 1995:107-112; dan bdk.
Lauder, 1990:70) meliputi dua segi, yaitu: 1) segi leksikon, 2) segi fonetik.
5.3 Syarat Informan
Pengumpulan data dilakukan dengan mendatangi 50 desa atau kelurahan
yang telah ditetapkan sebagai daerah pengamatan. Mengacu kepada pendapat
Samarin yang mengatakan bahwa penelitian dialektologi membutuhkan banyak
informan dan pendapat Uhlenbeck yang mengatakan bahwa seorang ahli bahasa
hendaknya jangan bertumpu pada seorang informan saja karena penggunaan lebih
dari satu informan dapat memberikan gambaran yang lebih objektif mengenai
situasi kebahasaan setempat (Lauder, 1990:84; badk. Mahsun, 1995:106), dalam
penelitian ini dipilih satu orang informan pada setiap daerah pengamatan sebagai
informan kunci dan dua orang informan pembantu.
5.4 Metode Penyediaan Data
Metode penyediaan data yang digunakan dalam penelitian ini, meliputi:
1) Metode Lapangan. Aplikasi metode lapangan dilakukan dengan teknik-teknik:
a) Teknik Perekaman, b) Teknik Tanya - Catat Langsung, c) Teknik Bertanya
Langsung, d) Teknik Bertanya Taklangsung, e) Teknik Memancing Jawaban, f)
Teknik Peragaan.
2) Metode Menyimak
5.5 Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ialah metode
dialektometri. Rumus yang digunakan dalam dialektometri, ialah:
(S x 100)
= d %
n
Keterangan: S = jumlah beda dengan daerah pengamatan lain
n = jumlah peta yang diperbandingkan
d = jarak Kosakatadalam persentase
xxi
Hasil penghitungan itu digunakan untuk menentukan hubungan
antardaerah pengamatan berdasarkan pemilahan Seguy (Mahsun, 1995:118)
seperti berikut ini.
1) 81% ke atas : dianggap perbedaan bahasa (langue)
2) 51-81% : dianggap perbedaan dialek (dialecte)
3) 31-50% : dianggap perbedaan subdialek (sousdialecte
4) 21-30% : dianggap perbedaan wicara (parler)
5) Di bawah 20% : dianggap tidak ada perbedaan.
5.6 Metode Penyajian Data
Hasil analisis disajikan melalui dua cara (Mahsun, 1995:148-149; bdk.
Mahsun, 2005:116-117), yaitu: 1) perumusan dengan kata-kata biasa, termasuk
penggunaan terminologi yang bersifat teknis; 2) perumusan dengan tanda-tanda
atau lambang-lambang.
6. Gambaran Umum Daerah Penelitian
6.1 Sejarah Singkat Terbentuknya Nagekeo pada Zaman Belanda
Tiap-tiap subetnik yang mendiami wilayah Nagekeo sekarang ini pada
tahun 1911 oleh Pemerintahan Kolonial Belanda dibentuk menjadi dua kerajaan,
yaitu:
1) Kerajaan Nage untuk wilayah Tengah, Utara, dan Timur dengan Rajanya Oga
Ngole berkedudukan di Boawae. Masyarakatnya disebut orang Nage atau
etnik Nage;
2) Kerajaan Keo untuk wilayah Selatan dengan Rajanya Muwa Tunga
berkedudukan di Kota. Masyarakatnya disebut orang Keo atau etnik Keo.
Pada tahun 1928 Pemerintahan Kolonial Belanda menggabungkan
Kerajaan Nage dan Kerajaan Keo menjadi satu kerajaan saja dengan nama
Kerajaan Nagekeo dan rajanya Oga Ngole yang berkedudukan di Boawae.
6.2 Sejarah Pembentukan Kabupaten Nagekeo
Kabupaten Nagekeo dibentuk berdasarkan berbagai pertimbangan
(Nagekeo dalam angka, 2009:vii-viii), seperti:
1) Melalui Undang-Undang No. 69 Tahun 1958 yang secara integral
memasukkan wilayah Nagekeo sebagai bagian dari wilayah Kabupaten
Ngada dan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di
Daerah.
2) Melalui Peraturan Pemerintah No. 129 tahun 2000 Tentang Pembentukan,
3) Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.
4) Melalui Surat Pernyataan DPR-GR Kabupaten Ngada No. 1 Tahun 1965.
xxii
5) DPR-GR Kabupaten Ngada mengajukan permohonan kepada Pemerintah
Agung RI agar Kabupaten Ngada dibagi menjadi dua kabupaten yakni
Kabupaten Nagekeo dan Kabupaten Ngada.
6) Melalui keputusan dari Pemerintah Agung RI untuk membagi Kabupaten
Ngada menjadi 2 kabupaten, yaitu Kabupaten Ngada dan Kabupaten
Nagekeo.
7) Melalui Surat Rekomendasi Bupati Ngada No. 594/PEM/10/2003 perihal
Usulan Pembentukan Kabupaten Nagekeo sebagai Pemekaran dari
Kabupaten Ngada, dan usulan Gubernur NTT melalui Surat Usulan
Gubernur NTT kepada Menteri Dalam Negeri NO.PEM.135/02/2004
tentang Usulan Pembentukan Kabupaten Nagekeo sebagai Pemekaran
Kabupaten Ngada dalam Provinsi Nusa Tenggara Timur.
8) Melalui dukungan DPRD Kabupaten Ngada dengan mengeluarkan
Keputusan DPRD Kabupaten Ngada No. 14 Tahun 2003 tentang
persetujuan dan dukungan terhadap usulan Pembentukan Kabupaten
Nagekeo sebagai Pemekaran dari Kabupaten Ngada dan DPRD NTT
dengan keluarnya Keputusan DPRD Provinsi NTT No. 4/PIM.DPRD/2004
tentang pemberian dukungan bagi pemekaran Kabupaten Ngada.
6.3 Keadaan Geografi
6. 3.1 Topografi
Kabupaten Nagekeo terletak di antara 80
26’00” - 80
64’
40” Lintang
Selatan dan 1210
6’20” – 1210
32’00” Bujur Timur. Kabupaten Nagekeo berbatasan
dengan (Nagekeo dalam angka, 2009:4):
* Utara dengan Laut Flores
* Selatan dengan Laut Sawu
* Timur dengan Kabupaten Ende
* Barat dengan Kabupaten Ngada
6.3.2 Iklim
Kabupaten Nagekeo tergolong daerah yang beriklim tropis. Sebagai daerah
yang beriklim tropis, perubahan suhu tidak dipengaruhi oleh pergantian musim
tetapi ditentukan oleh perbedaan ketinggian dari permukaan laut.
6.3.3 Fauna dan Flora
Wilayah Kabupaten Nagekeo hampir sebagian besar daerahnya adalah
padang rumput yang ditumbuhi pepohonan seperti pohon lontar, asam, kayu
manis, kemiri, dan sebagainya. (Nagekeo dalam angka, 2009:4).
xxiii
6.4 Wilayah Administrasi dan Penduduk
6.4.1 Wilayah Administrasi
Wilayah Kabupaten Nagekeo (Nagekeo dalam angka, 2009:3-12) terdiri
dari 7 wilayah kecamatan, 78 desa dan 15 kelurahan.
6.4.2 Luas Wilayah
Berdasarkan data pada tahun 2009 (Nagekeo dalam angka, 2009:6-10),
luas wilayah Kabupaten Nagekeo 1.416,96 km2
. (Nagekeo dalam angka, 2009:6-
10).
6.4.3 Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk berdasarkan data tahun 2009 sebanyak 127.006 jiwa
(Nagekeo dalam angka, 2009:4).
6.5 Kepercayaan dan Agama
Kepercayaan dan agama yang dianut oleh masyarakat Nagekeo dapat
dijelaskan sebagai berikut.
1) Pada zaman dahulu (leluhur Nagekeo) masyarakat Nagekeo termasuk
kelompok masyarakat animisme yang percaya kepada kekuatan alam jagad
raya, yaitu alam langit yang dikenal dengan nama Dewa Zeta, dan alam bumi
yang dikenal dengan nama Ga’e Zale.
2) Pada zaman agama wahyu, masyarakat Nagekeo memeluk agama Katolik
sebagai agama mayoritas dan agama Islam (terutama di kota dan daerah
pesisir pantai).
6.6 Objek Parwisata (Tourism Destination)
Kabupaten Nagekeo merupakan salah satu kabupaten di Pulau Flores yang
kaya dengan objek wisata alam, seperti panorama alam di pantai Ena Gera
Kecamatan Mauponggo, sumber air panas yang terdapat di Puta Kecamatan
Aesesa; sumber air panas Agi di Desa Tenga Tiba Kecamatan Aesesa Selatan dan
Air Terjun Ngaba Tata di Desa Rendu Butowe Kecamatan Aesesa Selatan; Wisata
budaya seperti peninggalan batu rumah adat tradisioanl, pola perkambungan adat
di Kampung Adat Renduola di Rendu; Peo Adat (Rendu, Lambo, Lape, Gero,
Raja), dan kerajinan tangan tenun ikat, seperti hoba Nage di Nage Tengah dan
Utara, ragi Mbay di Nage Utara.
7. Penghitungan Jarak Kosakata
7.1 Penghitungan Jarak KosakataBerdasarkan Dialektometri
Metode yang digunakan untuk menentukan status bahasa, dialek, dan
subdialek dari isolek-isolek di Kabupaten Nagekeo adalah metode Dialektometri
xxiv
leksikal yang diperkenalkan oleh Jean Seguy (1973). dengan rumus yang
digunakan, ialah:
(S x 100)
= d %
n
Keterangan: S = jumlah beda dengan daerah pengamatan lain
n = jumlah peta yang diperbandingkan
d = jarak Kosakatadalam persentase
Hasil penghitungan itu digunakan untuk menentukan hubungan
antardaerah pengamatan berdasarkan pemilahan Seguy (Mahsun, 1995:118)
seperti berikut ini.
1) 1) 81% ke atas : dianggap perbedaan bahasa (langue)
2) 2) 51-80% : dianggap perbedaan dialek (dialecte)
3) 3) 31-50% : dianggap perbedaan subdialek (soubdialecte)
4) 4) 21-30% : dianggap perbedaan wicara (parler)
5) 5) Di bawah 20% : dianggap tidak ada perbedaan.
7.2 Pengelompokan Status Isolek sebagai Bahasa, Dialek, dan Subdialek
Penentuan status isolek sebagai bahasa, dialek, dan subdialek ditetapkan
dengan mengacu pada hasil penghitungan persentase dialektometri keseluruhan
medan makna dan hasil penghitungan persentase dialektometri dengan permutasi,
seperti yang tampak berikut ini.
Tabel 1: Pengelompokan Status Isolek
Parameter Status Isolek
Bahasa Dialek Subdialek
1. Dialektometri
Leksikon
Keseluruhan
Medan Makna
2-6:81% 1-3:54 % 4-5:59% 3-13:41% 14-24:42%
5-7:85% 1-13:62% 5-6:66 % 3-14:42% 14-25:44%
2-3:58 % 5-12:63% 4-14:42 % 17-21:31%
2-4:69% 13-14:53% 6-8:35% 18-21:31%
8-10:37% 19-21:33%
9-10: 32% 21-22:38%
10-20:35% 27-35:31%
11-16:33% 34-35:31%
13-26:31% 34-36:32%
13-35:35% 36-46:36%
14-15:40%
No. Bahasa Dialek Subdialek
2. Dialektometri
dengan
Permutasi
21-5:82% 21-4:52% 5-39:64%
5-12:62% 5-40: 65%
5-15:61% 5-45:64%
5-16:61% 5-48:64%
5-22:61% 5-49:65%
xxv
5-23:63% 1-12:63%
5-28:63% 1-14:65%
5-29:60% 1-16:63%
5-30:61% 1-27:63%
5-31:64% 1-30:63%
5-32:62% 1-39:64%
7.3 Pengelompokan Bahasa
Mengacu pada tabel pengelompokan status isolek berdasarkan persentase
dialektometri keseluruhan medan makna dan persentase dialektometri dengan
permutasi di atas, selanjutnya dilakukan pengelompokan bahasa seperti berikut
ini.
1) Bahasa Mbay/ Riung dan Dialek-dialeknya
Penetapan persentase tertinggi sebagai bahasa berdasarkan dialektometri
antartitik pengamatan terdapat pada TP 5 di Desa Nggolombay dan TP 7 Desa
Olaia sebesar 85%. Melalui pendekatan konfirmasi dengan pola-pola isoglos
keseluruhan medan makna, ditemukan bahwa TP 5 berada dalam satu pola
dengan TP 1 dan 2 dari satuan wilayah Mbay/Riung sehingga status isolek pada
satuan wilayah ini ditetapkan sebagai bahasa Mbay/Riung.
Bahasa Mbay/Riung dalam penelitian ini yang digunakan pada TP 1,2
dan 5 didukung oleh 3 dialek, yaitu:
(1) Dialek Lengkosambi (sebesar 67% yang terdapat di antara TP 1 di Desa
Lengkosambi dengan TP 35 di Desa Sarasedu).
(2) Dialek Nggolonio (sebesar 69% yang terdapat di antara TP 2 di Desa
Nggolonio dengan TP 4 di Desa Dhawe).
(3) Dialek Nggolombay (sebesar 66% yang terdapat di antara TP 5 di Desa
Nggolombay dengan TP 6 di Desa Lape).
2) Bahasa Nagekeo dan Dialek-dialeknya
Bahasa Nagekeo yang digunakan pada TP 3, 4, 6--9, 11, 12, 15--20,
22--34, 37--50 dan daerah perbatasan di Kabupaten Ngada pada TP 13, 14, 35,
36 meliputi dialek-dialek sebagai berikut.
(1) Dialek Boawae (sebesar 63% (antara TP 1 di Desa Lengkosambi dengan
TP 27 di Desa Natanage). Dialek Boawae ini meliputi subdialek-subdialek
sebagai berikut).
a) Subdialek Rawe (sebesar 44% antara TP 14 di Desa Mengeruda dengan
TP 25 di Desa Nagerawe);
b) Subdialek Rowa (sebesar 42% antara TP 21 di Desa Kerirea dengan TP
26 di Desa Rowa) ).
c) Subdialek Kelewae (sebesar 34% antara TP 8 di Desa Tendambepa
dengan TP 34 di Desa Kelewae).
xxvi
(2) Dialek Dhawe (sebesar 69% (antara TP 4 di Desa Dhawe dengan TP 2 di
Desa Nggolonio.
(3) Dialek Munde (sebesar 58% antara TP 3 Desa Tedamude dengan TP 2
Desa Nggolonio.
(4) Dialek Lape-Ia (sebesar 66% % antara TP 6 di Desa Lape dengan TP 5 di
Desa Nggolombay).
(5) Dialek Lambo (sebesar 63% antara TP 12 di Desa Labolewa dengan TP 5
Desa Nggolombay).
(6) Dialek Dhereisa (sebesar 61% antara TP 15 di Desa Dhereisa dengan TP 5
di Desa Nggolombay).
(7) Dialek Rendu (sebesar 63% antara TP 16 Desa Renduwawo dengan TP 1 di
Desa Lengkosambi.
(8) Dialek Ndora (sebesar 61% antara TP 22 di Desa Bidoa dengan TP 5 di
Desa Nggolombay).
(9) Dialek Jaduro (Raja, Wudu, Gero) (sebesar 63% antara TP 23 di Desa Raja
dan TP 28 di Desa Wolopogo dengan TP 5 di Desa Nggolombay). Dialek
Jaduro (Raja, Wudu, Gero) ini meliputi Subdialek Gero (sebesar 42%
antara TP 24 di Desa Gerodhere dengan TP 14 di Desa Mengeruda).
(10) Dialek Kelimado (sebesar 60% antara TP 29 Desa Kelimado dengan TP 5
di Desa Nggolombay).
(11) Dialek Kotakeo (sebesar 64% (antara TP 31 Desa Kotakeo dengan TP 5
di Desa Nggolombay).
(12) Dialek Wolowae atau Dialek Toto (sebesar 65% antara TP 11 di Desa
Natatoto dengan TP 1 di Desa Lengkosambi). Dialek Wolowae atau
Dialek Toto ini meliputi Subdialek Utetoto (sebesar 32% (antara TP 17 di
Desa Utetoto dengan TP 21 di Desa Kerirea).
(13) Dialek Oja (sebesar 63% antara TP 19 Desa Tendambepa dengan TP 1 di
Desa Lengkosambi). Dialek Oja ini meliputi subdialek-subdialek sebagai
berikut ini.
a) Subdialek Watumite (sebesar 33% (antara TP 18 di Desa Watumite
dengan TP 21 di Desa Kerirea).
b) Subdialek Tendarea (sebesar 35% (antara TP 20 di Desa Tendarea
dengan TP 10 di Desa Kebirangga).
(14) Dialek Lejo (sebesar 65% antara TP 32 Desa Selalejo dengan TP 38 di
Desa Wuliwalo). Dialek Lejo ini meliputi Subdialek Wolokisa (sebesar
34% antara TP 37 Desa di Desa Wolokisa dengan TP 8 di Desa
Tendambepa).
(15) Dialek Aewoe (sebesar 66% antara TP 46 Desa Aewoe dengan TP 1 di
Desa Lengkosambi).
xxvii
(16) Dialek Kotagana (sebesar 65% antara TP 47 Desa Kotagana dengan TP 1
di Desa Lengkosambi).
(17) Dialek Wajo (sebesar 65% (antara TP 50 Desa Udiworowatu dengan TP 1
di Desa Lengkosambi dan antara TP 40 di Desa Wajo dengan TP 5 di
Desa Nggolombay).
(18) Dialek Romba (sebesar 66% (antara TP 45 Desa Witurombaua dengan TP
1 di Desa Lengkosambi).
(19) Dialek Riti - Woko (sebesar 65% antara TP 42 di Desa Wokodekororo
dengan TP 1 di Desa Lengkosambi).
(20) Dialek Sara – Taka (Sarasedu – Takatunga) (sebesar 67% antara TP 35 di
Desa Sarasedu dengan TP 1 di Desa Lengkosambi). Wilayah pakai
Dialek Sara – Taka ini terdapat di daerah perbatasan antara Kabupaten
Nagekeo dengan Kabupaten Ngada.
(21) Dialek Soa (sebesar 65% (antara TP 14 Desa Mengeruda dengan TP 1 di
Desa Lengkosambi). Wilayah pakai Dialek Soa ini terdapat di daerah
perbatasan antara Kabupaten Nagekeo dengan Kabupaten Ngada.
(22) Dialek Poma (sebesar 62% antara TP 13 Desa Denatana dengan TP 1 di
Desa Lengkosambi).
3) Bahasa Ende dan Dialek-dialeknya
Penetapan persentase tertinggi untuk Bahasa Ende berdasarkan
dialektometri dengan permutasian dari Timur ke Barat terdapat pada TP 5 di Desa
Nggolombay dengan TP 21 di Desa Kerirea sebesar 82%. Melalui pendekatan
konfirmasi dengan pola-pola isoglos keseluruhan medan makna, ditemukan bahwa
TP 21 itu berada dalam satu pola dengan TP 10 di Desa Kebirangga dari satuan
wilayah Ende; sehingga status isolek pada TP ini ditetapkan sebagai Bahasa
Ende.
Selanjutnya, bahasa Ende dalam wilayah penelitian ini terdiri atas 2 dialek,
yaitu:
(1) Dialek Maukaro sebesar 66% (yang terdapat di antara TP 1 di Desa
Lengkosambi dengan TP 10 di Desa Kebirangga.
(2) Dialek Nangapanda sebesar 52% (yang terdapat di antara TP 14 Desa
Mengeruda dengan TP 21 Desa Kerirea.
8. Deskripsi Fonologis
8.1 Penentuan Fonem
Melalui pendekatan pasangan minimal ditemukan bahwa:
1) Fonem vokal dalam bahasa Nagekeo berjumlah 6 (enam) buah, yaitu: a, i, u, e,
ә, o.
xxviii
TABEL 30 VOKOID BAHASA NAGEKEO
DEPAN PUSAT BELAKANG
ATAS i - - - u o
ATAS - KENDUR I - ī - ū ō
TENGAH- KENDUR α - ē ә U O
BAWAH a - - - - ā
2) Fonem konsonan dalam bahasa Nagekeo berjumlah dua puluh satu (21) buah,
yaitu: p, b, ɓ, m, f, t, d, ɗ, n, l, r, c, j, h, s, z, k, g, ɠ, ŋ, ʡ.
3) Fonem semi vokal dalam bahasa Nagekeo berjumlah dua (2) buah, yaitu: w dan y
Tabel Diagram Konsonan
ARTIKULATOR
DAN TITIK
ARTIKULASI
HAMBAT-
AN UDARA
YANG KE-
LUAR DARI
PARU-PARU
Bi-
la-
bi-
al
La-
bio
den-
tal
Api-
ko
al-
veo-
lar
La-
mi-
no
pa-
la-
tal
Me-
dio
pa-
la-
tal
Dor-
so-
ve-
lar
Uvu-
lar
Fari-
ngal
Glo-
tal
NASAL B m - n - - ŋ - - -
HAMBAT
EKSPLOSIF
TB p - t - - - k - ʡ
B b - d - - g - -
HAMBAT IMPLOSIF
- - - - - -
FRIKATIF TB - f s - c - - h -
B - z - j - - -
LATERAL B - - l - - - - - -
TRILL=GETAR B - - r - - - - - -
LUNCURAN
SEMIVOKAL
B - w - - y - - - -
8.2 Variasi Fonem dalam Dimensi Geografi Dialek
Variasi-variasi segmen fonem dalam Bahasa Nagekeo dibedakan atas dua
macam, yaitu: variasi teratur dan variasi tidak teratur (sporadis).
ɓ ɗ ɠ
xxix
8.2.1 Variasi Teratur
Variasi segmen fonem dikatakan teratur jika realisasi variasi fonem
berupa alofon-alofon itu terjadi pada glos-glos yang berbeda pada berbagai titik
pengamatan yang sama. Variasi-variasi segmen bunyi berupa alofon-alofon dalam
berbagai isolek di Kabupaten Nagekeo, oleh penuturnya dijadikan sebagai ciri
pengenal dan pembeda wilayah dialek/subdialek karena varian-varian itu
digunakan secara konsisten dan berulang dalam berbagai glos pada satuan
wilayah/daerah tertentu.
Variasi segmen fonem yang terjadi secara teratur dalam berbagai isolek di
Kabupaten Nagekeo yang dipandang signifikan sebagai ciri pengenal dan
pembeda wilayah dialek/subdialek secara geografis hanya ditemukan pada variasi
fonem konsonan sedangkan variasi fonem vokal terjadi secara tidak teratur atau
sporadis.
Dalam penelitian ini ditemukan 6 (enam) buah fonem konsonan yang
mengalami variasi teratur, seperti yang dideskripsikan berikut ini.
8.2.1.1 Varian Teratur Konsonan /b/ ≈ Alofon [b], [bh
], [m
b] / #__V
Identifikasi variasi alofon [b], [bh
], dan [m
b] dilakukan berdasarkan
pemakaian varian alofon-alofon itu pada berbagai titik pengamatan dalam Bahasa
Nagekeo, Bahasa Mbay, dan Bahasa Ende.
a) Wilayah Bahasa Nagekeo
(1) Alofon bilabial [b] menjadi ciri pemakaian di:
(a) Wilayah Nage – Tengah Utara pada Dialek Munde, yang terdapat
pada TP 3, Dialek Dhawe pada TP 4, Dialek Lape–Ia pada TP 6, 7,
Dialek Lambo pada TP 12, Dialek Dhereisa pada TP 15, Dialek
Rendu pada TP 16.
(b) Wilayah Nage - Tengah Selatan pada Dialek Ndora pada TP 22,30,
Dialek Jaduro (Raja, Wudu, Gero) pada TP 23, 24, 28, Dialek
Kotakeo pada TP 31, 41, 44.
(c) Wilayah Nage - Tengah yang terdapat pada Dialek Boawae pada TP
25,26, 27, 34.
(d) Wilayah Keo–Barat, yang terdapat pada Dialek Lejo pada TP 32, 33,
37, 38; Dialek Aewoe pada TP 46; Dialek Kotagana pada TP 47; Sara
– Taka pada TP 35, 36; dan Dialek Soa – Poa pada TP 13, 14.
(2) Alofon bilabial beraspirasi [bh
] menjadi ciri pemakaian di wilayah Nage
Utara –Timur yang terdapat Dialek Toto atau Dialek Wolowae pada TP 8,
11, 17 dan Dialek Oja pada TP 18.
(3) Alofon bilabial pranasal [m
b] menjadi ciri pemakaian di:
(a) Wilayah Keo - Tengah pada Dialek Kotowuji pada TP 39, 40, 48, 49,
50; dan Dialek Romba pada TP 45.
xxx
(b) Wilayah Keo – Timur yang terdapat pada Dialek Riti-Woko pada TP
42, 43.
(c) Wilayah Nage Utara – Timur, yang terdapat pada Dialek Oja pada TP
9, 19, 20.
(4) Alofon bilabial beraspirasi [bh
] dan Alofon bilabial berpranasal /m
b/
dikenal dan digunakan secara bersama di wilayah Nage Utara - Timur
yang terdapat di wilayah Dialek Toto atau Dialek Wolowae pada TP 17 di
Desa Utetoto karena desa ini sejak zaman dahulu terletak di daerah transisi
dengan wilayah Bahasa Ende yang menggunakan alofon bilabial berpra-
nasal /m
b/.
b) Wilayah Bahasa Mbay
Konsonan bibial berpranasal /m
b/ menjadi ciri pemakaian dari:
(1) Dialek Lengkosambi yang terdapat pada pada TP 1.
(2) Dialek Nggolonio yang terdapat pada TP 2.
(3) Dialek Nggolombay yang terdapat pada TP 5.
c) Wilayah Bahasa Ende
Alofon bibial berpranasal [m
b] menjadi ciri pemakaian dari:
(1) Dialek Maukaro yang terdapat pada TP 10 Desa Kebirangga
(2) dialek Nangapanda yang terdapat pada TP 21 Desa Kerirea.
8.2.1.2 Varian Teratur Konsonan /d/ ≈ Alofon [d] dan [n
d] / #__V
Identifikasi variasi alofon [d] dan [n
d] dilakukan berdasarkan pemakaian
varian alofon itu pada berbagai titik pengamatan dalam Bahasa Nagekeo, Bahasa
Mbay, dan Bahasa Ende, seperti terlihat pada tabel di atas.
1) Wilayah Bahasa Nagekeo
a) Alofon dental [d] menjadi ciri pemakaian di wilayah-wilayah berikut ini,
(1) Wilayah Nage - Tengah Utara, yang terdapat Dialek Munde pada TP 3;
Dialek Dhawe pada TP 4; Dialek Lape – Ia pada TP 6,7; Dialek Lambo
pada TP 12; Dialek Dhereisa pada TP 15; Dialek Rendu pada TP 16.
(2) Wilayah Nage Tengah – Selatan yang terdapat Dialek Ndora pada TP
22, 30; Dialek Jaduro (Raja, Wudu, Gero) pada TP 23, 24, 28; Dialek
Boawae yang terdapat pada TP 25-27,25-27, 34; Dialek Kelimado
pada TP 29;13,14,Dialek Kotakeo pada TP 31; Dialek Sara - Taka
pada TP 35, 36.
(3) Wilayah Keo – Barat yang terdapat Dialek Lejo pada TP 37, 38; Dialek
Aewoe pada TP 46; Dialek Kotagana pada TP 47.
b) Alofon dental berpranasal [n
d] menjadi ciri pemakaian di wilayah-wilayah
berikut ini.
(1) Wilayah Nage Utara – Timur, yang terdapat pada Dialek Toto atau
Dialek Wolowae pada TP 8, 9, 11, 17; Dialek Oja pada TP 18, 19, 20.
xxxi
(2) Wilayah Keo Tengah, yang terdapat pada Dialek Kotowuji pada TP 39,
40, 48-50
(3) Wilayah Keo Timur, yang terdapat pada Dialek Riti – Woko pada TP
42, 43.
(4) Wilayah Keo Barat, yang terdapat pada Dialek Lejo pada TP 32, 33;
Dialek Aewoe pada TP 46; dan Dialek Kotagana pada TP 47.
c) Alofon dental [d] dan dental berpranasal [n
d] digunakan secara
bersama di wilayah Keo Barat yang terdapat di wilayah Dialek
Ladolima Utara pada TP 41, wilayah Dialek Ladolima pada TP 44,
wilayah Dialek Witurombaua pada TP 45, wilayah Dialek Aewoe
pada TP 46 dan Dialek Kotagana pada TP 47 karena wilayah ini
terletak di daerah transisi dengan wilayah Keo Tengah.
2) Wilayah Bahasa Mbay
Alofon dental berpranasal [n
d] menjadi ciri pemakaian pada.
(1) Dialek Lengkosambi yang terdapat pada TP 1.
(2) Dialek Nggolonio yang terdapat pada TP 2.
(3) Dialek Nggolombay yang terdapat pada TP 5.
3) Wilayah Bahasa Ende
Alofon dental berpranasal [n
d] menjadi ciri pemakaian pada:
(1) Dialek Maukaro yang terdapat pada TP 10 Desa Kebirangga
(2) dialek Nangapanda yang terdapat pada TP 21 Desa Kerirea.
8.2.1.3 Varian Teratur Konsonan /g/ ≈ Alofon [g] dan [ŋ
g] / #__V
Identifikasi varian alofon velar [g] dan velar berpranasal [ŋ
g] dilakukan
berdasarkan pemakaian varian-varian alofon itu pada berbagai titik pengamatan
dalam Bahasa Nagekeo, Bahasa Mbay, dan Bahasa Ende.
1) Wilayah Bahasa Nagekeo
a) Varian alofon velar [g] menjadi ciri pemakaian di:
(1) Wilayah Nage Tengah - Utara yang terdapat pada Dialek Munde
pada TP 3; Dialek Dhawe yang terdapat pada TP 4; Dialek Lape - Ia
yang terdapat pada TP 6, 7; Dialek Lambo yang terdapat pada RP
12; Dialek Dhereisa yang terdapat pada TP 15; Dialek Rendu
terdapat pada TP 16.
(2) Wilayah Nage Tengah - Selatan yang terdapat pada Dialek Ndora
pada TP 22, 30; Dialek Jaduro (Raja, Wudu, Gero) pada TP 23, 24,
28; Dialek Kelimado pada TP 29; Dialek Kotakeo pada TP 31, 41,
44; Dialek Boawae pada TP 25, 26, 27, 34; Dialek Sara – Taka pada
TP 35, 36; Dialek Soa – Poma pada TP 13, 14.
(3) Wilayah Keo - Barat yang terdapat pada Dialek Lejo pada TP
32, 33, 37, 38; Dialek Aewoe pada TP 46.
xxxii
(3) Wilayah Dialek Toto atau Dialek Wolowae terdapat pada TP 8, 9,
11; Dialek Oja terdapat pada TP 17, 18;
b) Varian alofon velar berpranasal [ŋ
g] menjadi ciri pemakaian di:
(1) Wilayah Nage Utara - Timur yang terdapat pada dialek Toto atau
Dialek Wolowae pada TP 9,17; Dialek Oja terdapat pada TP 19, 20.
(2) Wilayah Keo – Tengah yang terdapat pada Dialek Kotowuji pada TP
39, 40, 45, 48--50; Dialek Romba yang terdapat pada TP 45.
c) Varian alofon velar [g] dan velar berpranasal [ŋ
g] digunakan secara bersama
di wilayah Nage Utara–Timur yang terdapat di wilayah Dialek Toto atau
Dialek Wolowae pada TP 17 di Desa Utetoto karena desa ini sejak zaman
dahulu terletak di daerah transisi dengan wilayah Bahasa Ende yang
menggunakan alofon velar berpranasal [ŋ
g].
2) Wilayah Bahasa Mbay
Alofon velar berpranasal [ŋ
g] menjadi ciri pemakaian pada (1) Dialek
Lengkosambi yang terdapat pada TP 1, (2) Dialek Nggolonio yang terdapat
pada TP 2, (3) Dialek Nggolombay yang terdapat pada TP 5.
3) Wilayah Bahasa Ende
Alofon velar berpranasal [ŋ
g] menjadi ciri pemakaian pada:
(1) Dialek Maukaro yang terdapat pada TP 10 Desa Kebirangga
(2) dialek Nangapanda yang terdapat pada TP 21 Desa Kerirea.
8.2.1.4 Varian Teratur Konsonan Apiko Alveolar /z/ ≈ Alofon [z], [r], [R], [s],
[y]/ #__V
Identifikasi varian alofon [z], [r], [s], [y] dilakukan berdasarkan
pemakaian varian alofon itu pada berbagai titik pengamatan dalam Bahasa
Nagekeo, Bahasa Mbay, dan Bahasa Ende.
1) Wilayah Bahasa Nagekeo
a) Varian alofon apiko alveolar [z] menjadi ciri pemakaian di:
(1) Wilayah Nage Tengah-Utara, yang terdapat Dialek Munde pada TP
3; Dialek Dhawe pada TP 4; Dialek Lape – Ia pada TP 6,7; Dialek
Lambo pada TP 12; Dialek Dhereisa pada TP 15; Dialek Rendu
pada TP 16
(2) Wilayah Nage Utara–Timur, yang terdapat pada Dialek Toto atau
Dialek Wolowae pada TP 11, 17 dan Dialek Oja pada TP 20.
(3) Wilayah Nage Tengah – Selatan, yang terdapat pada Dialek Ndora
pada TP 22, 30; Dialek Jaduro (Raja, Wudu, Gero) pada TP 23, 24,
28; Dialek Kelimado pada TP 29.
(4) Wilayah Nage Tengah, yang terdapat pada Dialek Boawae pada TP
25-27.
xxxiii
(5) Wilayah perbatasan Kabupaten Nagekeo, dengan Kabupaten
Ngada yang terdapat pada Dialek Sara – Taka pada TP 35.
b) Varian alofon tril [r] menjadi ciri pemakaian pada wilayah berikut ini.
(1) Wilayah Nage Tengah yang terdapat pada Dialek Boawae pada TP 34.
(2) Wilayah perbatasan Kabupaten Nagekeo dengan Kabupaten
Ngada yang terdapat pada Dialek Sara - Taka pada TP 36.
(3) Wilayah Keo – Barat pada yang terdapat pada Dialek Lejo yang
terdapat pada TP 32, 33, 37, 38; Dialek Aewoe pada TP 46.
(4) Wilayah Keo Tengah yang terdapat pada Dialek Kotowuji pada TP
39, 40, 48--50; Dialek Romba pada TP 45.
(5) Wilayah Keo Timur yang terdapat pada Dialek Riti - Woko pada TP 42,
43.
(6) Wilayah Nage Utara – Timur, yang terdapat pada Dialek Watu Mite pada
TP 18
c) Varian alofon apiko alveolar dan tril [z,r] menjadi ciri pemakaian pada
Dialek Wolowae pada TP 8.
d) Varian alofon semivokal [y] menjadi ciri pemakaian di:
(1) Wilayah Nage Utara – Timur, yang tedapat pada Dialek Toto atau Dialek
19.
(2) Wilayah Nage Tengah – Selatan, yang tedapat pada Dialek Kotakeo pada
TP 31, 41, 44.
2) Wilayah Bahasa Mbay
Varian alofon desis [s] menjadi ciri pemakaian pada:
(a) Dialek Lengkosambi yang terdapat pada TP 1.
(b) Dialek Nggolonio yang terdapat pada TP 2.
(c) Dialek Nggolombay yang terdapat pada TP 5.
3) Wilayah Bahasa Ende
Varian alofon tril uvular [R] menjadi ciri pemakaian Dialek Maukaro pada
TP 10 dan Subdialek Kerirea pada TP 21.
8.2.1.5 Varian Teratur Konsonan tril /r/ ≈ Alofon [r], [R], [l], [lh
], [h], [y], [ø]/
#__V
Identifikasi Varian Alofon [r], [R], [l], [lh
], [h], [y], [ø] dilakukan
berdasarkan pemakaian varian alofon-alofon itu pada berbagai titik pengamatan
dalam Bahasa Nagekeo, Bahasa Mbay, dan Bahasa Ende.
a) Wilayah Bahasa Nagekeo
1) Alofon tril [r] menjadi ciri pemakaian dari Wilayah Nage Tengah – Utara pada:
(a) Dialek Dhawe pada TP 4,
(b) Dialek Dhereisa pada TP 15,
xxxiv
(c) Dialek Rendu pada TP 16.
2) Alofon lateral [l] menjadi ciri pemakaian dari:
(a) Wilayah Nage Utara Timur dengan sebaran pada Subdialek Utetoto
pada TP 17 dan Subdialek Tendarea pada TP 20.
(b) Wilayah Keo - Barat dengan sebaran pada Dialek Lejo pada TP 32 dan
Dialek Kotagana pada TP 47.
(c) Wilayah Keo – Tengah dengan sebaran pada Dialek Kotowuji pada TP
39, 40, 48--50; dan Dialek Romba pada TP 45.
(d) Wilayah Keo – Timur yang terdapat pada Dialek Riti - Woko pada TP
42, 43.
3) Alofon lateral beraspirasi [lh
] menjadi ciri pemakaian di wilayah Nage
Tengah Utara yakni Dialek Lape-Ia pada TP 6, 7.
4) Alofon faringal [h] menjadi ciri pemakaian dari bahasa di:
(1) Wilayah Nage Utara yakni Subdialek Munde pada TP 3.
(2) Wilayah Nage Tengah yakni Dialek Boawae pada TP 25--27.
5) Alofon semivokal [y] menjadi ciri pemakaian bahasa di wilayah Nage
Utara – Timur yakni Dialek Toto atau Dialek Wolowae pada TP 8, 9, 11;
Dialek Oja pada TP 19; dan Subdialek Watumite pada TP 18.
6) Alofon zero [ø] menjadi ciri pemakaian bahasa di wilayah Nage Tengah –
Selatan yakni Dialek Ndora pada TP 22, 30; Dialek Jaduro (Raja, Wudu,
Gero pada TP 23, 24, 28; Dialek Kelimado pada TP 29; Dialek
Kotakeo pada TP 31; dan Beda Wicara Ladolima pada TP 41, 44.
8.2.1.6 Varian Teratur Konsonan Lateral /l/ ≈ Alofon [r], [R], [l], [lh
], [h], [y],
[ø] / #__V
Identifikasi variasi konsonan lateral /l/ menjadi alofon [l], [d], [l
d], [r
z],
[ø] didasarkan atas pemakaian varian alofon-alofon itu pada berbagai titik
pengamatan dalam Bahasa Nagekeo, Bahasa Mbay, dan Bahasa Ende.
1) Wilayah Bahasa Nagekeo
a) Alofon lateral [l] menjadi ciri pemakaian bahasa Nagekeo di:
(1) Wilayah Nage – Tengah, yang terdapat pada Dialek Boawae pada TP
25-27, 34.
(2) Wilayah Nage Tengah – Selatan, yang terdapat pada Dialek Ndora pada
TP 22, 30; Dialek Jaduro (Raja, Wudu, Gero) pada TP 23, 24, 28;
Dialek Ndora pada TP 22, 30; Dialek Kelimado pada TP 29; Dialek
Kotakeo pada TP 31; Beda Wicara Ladolima pada TP 41, 44.
(3) Wilayah Nage-Tengah Utara, yang terdapat pada Dialek Munde pada
TP 3; Dialek Dhawe pada TP 4; Dialek Lape - Ia pada TP 6, 7; Dialek
xxxv
Lambo pada TP 12; Dialek Dhereisa pada TP 15; dan Dialek Rendu
pada TP 16.
(4) Wilayah Keo – Barat, yang terdapat pada Dialek Lejo pada TP 32, 33,
37; Dialek Aewoe pada TP 46.
(5) Wilayah perbatasan Kabupaten Nagekeo dengan Kabupaten Ngada,
yang terdapat pada Dialek Sara – Taka pada TP 35.
b) Alofon dental [d] menjadi ciri pemakaian dari:
(1) Wilayah Nage - Tengah Utara, yang terdapat pada Dialek Lambo pada TP 12.
(2) Wilayah Nage Utara – Timur, yang terdapat pada Dialek Toto atau
Dialek Wolowae pada TP 8, 11, 17; Dialek Oja pada TP 19; dan
Subdialek Tendarea pada TP 20.
(3) Wilayah Nage – Tengah - Selatan, yang terdapat Dialek Ndora pada
TP 22.
(4) Wilayah Keo - Barat, yang terdapat pada Dialek Lejo pada TP 38;
Dialek Kotagana pada TP 47.
(5) Wilayah Keo - Tengah, yang terdapat pada Dialek Kotowuji pada TP
39, 40, 48-50; Dailek Romba pada TP 45.
(6) Wilayah Keo - Timur, yang terdapat pada Dialek Riti – Woko
pada pada TP 42, 43.
e) Alofon dental berpralateral [l
d] menjadi ciri di wilayah Nage Utara –
Timur, yang terdapat pada Subdialek Watumite pada TP 18.
d) Alofon zero [ø] menjadi ciri wilayah dialek di perbatasan Kabupaten
Nagekeo dengan Kabupaten Ngada, yang terdapat pada Dialek Sara –
Taka pada TP 36.
2) Wilayah Bahasa Mbay
Alofon lateral [l] menjadi ciri pemakaian di
(1) Dialek Lengkosambi yang terdapat pada TP 1.
(2) Dialek Nggolonio yang terdapat pada TP 2.
(3) Dialek Nggolombay yang terdapat pada TP 5.
3) Wilayah Bahasa Ende
Alofon alveolar berpralateral [r
z] menjadi ciri pada:
(1) Dialek Maukaro yang terdapat pada TP 10 Desa Kebirangga
(2) dialek Nangapanda yang terdapat pada TP 21 Desa Kerirea.
8.2.2 Variasi Tidak Teratur (Sporadis)
Variasi tidak teratur (sporadis) penting juga dideskripsikan
secara memadai untuk mengetahui fakta keragaman suatu bahasa dan jenis-jenis
variasi yang telah memperkaya keragaman bahasa itu secara geografis. Variasi
tidak teratur adalah variasi bunyi yang muncul secara sporadis. Dipandang dari
segi linguistik, variasi bunyi yang disebut variasi tidak teratur itu muncul bukan
xxxvi
karena persyaratan lingkungan linguistik tertentu (Saussure, 1988:25, bdk.
Mahsun, 1995:33) dan karena itu data yang menyangkut perubahan bunyi yang
berupa variasi tak teratur terbatas pada satu atau dua buah contoh saja.
8.2.2.1 Asimilasi
Asimilasi ialah variasi atau korespondensi fonem (vokal atau konsonan)
menjadi sama atau mirip satu sama lainnya. Terdapat 3 macam asimilasi dalam
penelitian ini, yaitu:
1) Asimilasi Progresif
Asimilasi progresif ialah variasi atau korespondensi fonem (vokal atau
konsonan) menjadi sama atau mirip dengan fonem yang mendahuluinya. Jadi,
segmen yang berada di sebelah kanan mempengaruhi segmen yang berada di
sebelah kiri. Variasi atau korespondensi fonem yang terjadi di sini ialah variasi
atau korespondensi vokal /u/ yang berada di sebelah kanan mengalami asimilasi
atau penyesuaian dengan vokal /i/ yang berada di sebelah kiri sehingga
menghasilkan vokal /i-i/, seperti dalam temuan berikut ini.
putar (seperti tutupan botol)
kilu: 6, 13, 27 ~ kili: 35
2) Asimilasi Regresif
Asimilasi regresif ialah variasi atau korespondensi fonem (vokal atau
konsonan) menjadi mirip atau sama dengan fonem yang mengikutinya. Dalam
peristiwa ini konsonan likuid lateral /l/ yang berada di sebelah kiri mengalami
proses asimilasi atau penyesuaian menjadi serupa dengan konsonan tril /r/ yang
berada di sebelah kanan sehingga menghasilkan konsonan likuid tril /r-r/, seperti
dalam temuan berikut ini.
(1) air ludah (peta 48)
ʡae lura: 6,7,15,16,44 ~ ʡae rura: 3, 13, 14, 25, 26; wae rura: 35,36
(2) jambul ayam (peta 148)
lari manu: 4, 6, 7, 13, 15, 16 ~ rari manu: 14, 26, 35
3) Asimilasi Resiprok
Asimilasi resiprok ialah korespondensi dua fonem yang berurutan, yang
menyebabkan kedua fonem itu menjadi fonem yang lain dari semula
(Kridalaksana, 2001:19). Jadi, terjadi peleburan dua buah segmen yang
berdekatan menjadi sebuah segmen baru. Asimilasi ini bersifat dua arah karena
antara segmen yang satu dengan segmen yang lain saling mempengaruhi, seperti
contoh berikut ini.
(1) delapan (peta 8)
rua butu : 19, 32, 33, 34, 46, 47, 38, 46, 47, 48; rua bh
Utu: 17, 18; rua
m
butu: 20,39,40,42, 43,45, 49, 50; rua m
butu: 10, 21 ~ ro bh
utu: 8.
(2) delapan belas(peta 18)
xxxvii
ā bulu rua butu: 38; ā bulu ə.sa rua butu: 33, 34; ha bulu rua butu : 37, 46; ha
m
bulu əsa rua m
butu: 45; bulu əsa rua butu: 32; sa budu rua butu: 22; ā budu
əsa rua butu: 47; se bu rua butu: 36; se budu əsa rua butu: 19; se bh
Ul
du əsa
rua bh
Utu: 18; se bh
Ulu əsa rua bh
Utu: 11, 17; ha m
budu rua m
butu: 42; ā
m
budu əsa rua m
butu: 39, 40, 43, 48-50; se m
bulu, ā m
budu əsa rua m
butu: 9 ~
se budu əsa ro butu: 8.
8.2.2.2 Proses Struktur Silabel
Proses struktur silabel dalam bahasa Nagekeo yang ditemukan dalam
penelitian ini terwujud dalam bentuk penambahan konsonan di awal kata
(protesis), tampak seperti data berikut ini.
a) Variasi Berupa Penambahan Konsonan
(1) Variasi berupa penambahan konsonan hambat velar /k/pada kata yang diawali
dengan vokal /i/, seperti data berikut ini.
putar, (memutar tutupan botol) (peta 901)
øīlu :29 ~ kilu: 6, 13, 27.
(2) Variasi berupa penambahan konsonan hambat velar implosif /ɠ/ pada kata
yang diawali dengan vokal /a/, tampak seperti data berikut ini.
kaki (peta 87)
ʡaʡi: 3, 4, 6--13, 15--32, 39, 40, 41, 43--45, 47--50 ~ ɠaʡi: 42.
(1) Variasi berupa penambahan konsonan nasal velar /ŋ/ pada kata yang diawali
dengan vokal /i/, seperti data berikut ini.
hidung (peta 80)
ʡi.zu: 6, 7, 8, 12, 15--17, 20, 22--24, 26--30 ~ ŋi.zu: 14, 35.
b) Variasi Berupa Penambahan Semivokal
(1) Variasi berupa penambahan semivokal /w/ dan /y/ di depan kata yang
diawali vokal /a/, tampak dalam data berikut ini.
kaki (peta 87)
ʡaʡi: 3, 4, 6--13, 15--32, 39, 40, 41, 43--45, 47--50 ~ waʡi: 14, 35 dan
yaʡi: 37, 38, 46.
(2) Variasi konsonan hambat bilabial /b/ dan /f/ menjadi semivokal /w/.
(a) Variasi Konsonan frikatif /f/ menjadi semivokal /w/
lemak (seperti pada daging babi) (peta 104)
bozo: 15, 23, 24, 27, 28 ~ wozo: 29
(b) Variasi Konsonan frikatif /f/ menjadi semivokal /w/
makan mangga menggunakan gigi depan (peta 843)
fa.gi: 3, 6, 7, 12, 15, 16, 23--25, 27, 28; fa.gi: 8, 11, 18 ~ wa.gi: 4, 22
(c) Variasi konsonan velar implosif / ɠ / menjadi semivokal /y/.
ramas/remas (peta 903)
ɠəme: 3, 4, 8, 13, 15, 22, 24, 25, 27, 30, 31, 37, 41, 46, 48 ~ yəme: 18
xxxviii
8.2.2.3 Pelesapan Segmen
Variasi berupa pelesapan konsonan velar implosif /ɠ/ di antara vokal /e/
dan /a/, ditemukan dalam data berikut ini.
terbongkar (rumah karena di tabrak mobil (745)
beɠa: 4, 6, 7, 12, 15, 16, 22--38, 40, 41, 43, 46, 47 ~ bea: 14; m
bea: 39
8.2.2.4 Metatesis
Metatesis yaitu perubahan tempat fonem-fonem dalam kata (bd.
Kridalaksana, 2001:136). Metatesis yang terjadi di sini berupa:
a) Pertukaran tempat konsonan yaitu konsonan pada suku kata pertama berpindah
tempat ke suku kata kedua.
b) Konsonan pada suku kata kedua berpindah tempat ke suku kata pertama.
Adapun variasi metatesis, meliputi:
1) Metatesis konsonan /g-l/ menjadi /l-g/. Data metatesis /g-l /~ /l-g/ yang
ditemukan dalam Bahasa Nagekeo, tampak seperti berikut ini.
keliling (mengelilingi) (peta 827)
gili ge.o: 31, 32, 37, 46; ~ li.gi leo: 44
2) Metatesis konsonan /s-m/ menjadi /m-s/. Data metatesis /s-m / ~ /m-s/ yang
ditemukan dalam Bahasa Nagekeo, tampak seperti
isap (misalnya air dalam drum dengan selang plastik) (peta 819)
səmo: 33, 37, 42 ~ məso: 4, 13
3) Metatesis konsonan /s-l/ menjadi / l-s /. Data metatesis /s-l/ menjadi / l-s /.
yang ditemukan dalam Bahasa Nagekeo, tampak seperti berikut ini:
memotong ranting kayu (peta 858)
soli: 42 ~ losi: 17
8.2.2.5 Variasi Segmen Vokal
Variasi segmen vokal meliputi:
(1) Variasi berupa pendepanan vokal belakang bundar /o/ menjadi vokal depan
takbundar /e/, seperti tampak dalam data berikut ini.
sakit bere-bere (peta 248)
bowo: 23, 26, 27, 29, 34, 35, 37, 42; bowo ~ bewe: 33, 38, 46, 47
(2) Variasi berupa pendepanan vokal belakang bundar /u/ menjadi vokal depan
takbundar /i/, seperti tampak dalam data berikut ini.
putar (putar tutupan botol (901)
kilu: 6, 13, 27 ~ kili: 35
8.2.2.6 Variasi Segmen Konsonan
Variasi konsonan berdasarkan cara artikulasi mengacu pada penyempitan
tertentu dalam saluran suara, baik hambatan total maupun penyempitan yang
xxxix
melebihi cara mengartikulasikan. Jadi, berdasarkan jalannya udara yang keluar
dari dalam paru-paru.
1) Variasi konsonan hambat palatal takbersuara /c/:
a) Konsonan hambat palatal takbersuara /c/ menjadi konsonan lateral bersuara
/l/ kecil (677)
coʡo: 12, 15--18, 22--24, 27--34, 46, 50 ~ loʡo: 8, 11, 19, 20, 22
b) Konsonan hambat palatal takbersuara /c/ menjadi konsonan velar bersuara
/g/ kecil (677)
coʡo: 12, 15--18, 22--24, 27--34, 46, 50 ~ goʡo: 42, 43, 45, 46, 48--50
c) Konsonan hambat palatal takbersuara /c/ menjadi konsonan desis /s/
kecil (677)
coʡo: 12, 15--18, 22--24, 27--34, 46 ~ soʡo: 4, 29, 33, 34, 36--41, 44, 47]
2) Variasi konsonan nasal dental /n/
(a) Variasi konsonan nasal dental /n/ menjadi hambat dental /d/ disertai dengan
variasi konsonan /g/ menjadi konsonan /k/ pada suku kata kedua.
tunduk (peta 929)
nugu: 3, 4, 6--8, 11--13, 15--17, 22--38, 41, 42, 44, 46, 47 ~ duku: 14
(b) Variasi konsonan nasal dental /n/ menjadi hambat palatal /j/, seperti data
berikut ini.
tunduk (peta 929)
nugu: 3, 4, 6--8, 11--13, 15--17, 22--38, 41, 42, 44, 46, 47 ~ juku: 43
(c) Variasi konsonan nasal dental /n/ menjadi hambat labial /p/, seperti data
berikut ini.
tunduk (peta 929)
nugu: 3, 4, 6--8, 11--13, 15--18, 22--38, 41, 42, 44, 46, 47; nuŋ
gu:
9, 19, 20, 39, 40, 45, 48, 50 ~ pəgu: 49
3) Variasi nasal bilabial bersuara /m/
a) Variasi konsonan nasal bilabial bersuara /m/ menjadi hambat bilabial
implosif bersuara /ɓ/, disertai dengan variasi konsonan hambat velar
eksplosif /g/ menjadi konsonan hambat velar implosif /ɠ/ pada suku kata
kedua, seperti data berikut ini.
telanjang (peta 737)
moga : 11, 49, 50 ~ ɓo.ɠa:12, 22, 30
b) Variasi konsonan nasal bilabial bersuara /m/ menjadi hambat hambat dental
bersuara /d/, disertai peristiwa pengulangan dengan variasi konsonan
/d/menjadi /r/ pada kata kedua, suku kata pertama seperti data berikut ini.
telanjang (peta 737)
moga: 11, 49, 50 ~ doga –roga: 41
c) Variasi nasal bilabial bersuara /m/ menjadi hambat palatal /j/ pada suku kata
pertama dan kedua, seperti data berikut ini.
xl
ramas/remas (peta 903)
ɠə.me: 3, 4, 8, 13, 15,22 24,25,27, 30, 31, 37, 41, 46, 48 ~ ɠə.je: 9,17,19,20, 40, 48-
-50; ɠə.jo: 21, 45
4) Variasi konsonan hambat velar takbersuara /k/ pada suku kata kedua menjadi
konsonan hambat velar bersuara /g/, tampak seperti dalam data berikut ini.
menanduk (peta 864)
puku: 3, 4, 6, 7, 11, 12--16, 23, 25, 27, 31, 36--38 ~ pugu: 46, 47; pəgu: 39,
43, 44, 48, 49; pagu: 17, 20
5) Variasi konsonan hambat dental /d/ meliputi:
a) Variasi konsonan dental /d/ menjadi konsonan bilabial /p/
menanduk (peta 864)
dəgu: 6,8, 9, 15, 18, 19, 22,24,28--30, 34, 35, 40, 41 ~ pəgu: 39,43,44,48,49
b) Variasi konsonan dental /d/ menjadi konsonan dental /t/.
menanduk (peta 864)
dəgu: 6, 8, 9, 15, 18, 19, 22, 24, 28--30, 34, 35, 40, 41; ~ tə.gu: 26 
6) Variasi konsonan likuid /r/ menjadi konsonan velar implosif /ɠ/, seperti
tampak dalam data berikut ini.
gagak (peta 481)
ra: 3, 12, 16; ʡa.na ra: 15, 44 ~ ɠa: 18; tu.ra; ɠa: 11
7) Variasi konsonan velar /k/ meliputi:
a) Variasi konsonan velar /k/ menjadi luncuran laringal /h/
putar (putar tutupan botol ) (peta 901)
ki.lu: 6, 13, 27; ki.li: 35; ki.du: 50; kiu: 36, 39, 43 ~ hi.du: 40
b) Variasi konsonan velar /k/ menjadi konsonan bilabial /b/
jatuh (karena terantuk) (peta 674)
m
bo.ka: 9, 10, 19--21, 50; bh
o.ka: 8 ~ bo.ba: 4, 6, 15, 16, 23, 24, 26, 28,
32, 33, 36, 37, 41, 44, 46, 47; m
bo.ba: 43
c) Variasi konsonan velar /k/ berkorespondensi dengan konsonan bilabial implosif /ɓ/
telan (peta 916)
kəo: 4,15,16; kəo:36 ~ ɓə.lo: 31,32,35,41, 44; ɓə.do: 39,40,43,45,47-- 50.
d) Variasi konsonan hambat velar takbersuara /k/ berkorespondensi dengan konsonan
hambat velar
bersuara /g/, tampak seperti data berikut ini.
duri (peta 387)
ka.lo: 20, 32, 39, 40, 42, 43, 45, 46, 48--50; ka.ro: 14, 17, 21, 35, 36,
44, 46; ka.yo: 8, 9, 18, 19, 33, 37, 38, 46 ~ ga.ro: 3, 4, 6, 7, 12, 13, 25;
ga.yo: 11; gaøo: 22, 30
e) Variasi konsonan velar eksplosif takbersuara /k/ berkorespondensi
dengan konsonan velar implosif bersuara /ɠ/
ramas/remas (peta 903)
xli
kəje: 39, 43, 49 ~ ɠəse: 6, 7, 26, 36, 38, 47; ɠəce: 12, 16, 23, 28, 29, 32--
34, 46; ɠəje: 9, 17, 19, 20, 40, 48, 50; ɠəjo: 45
f) Variasi konsonan velar / k / berkorespondensi dengan konsonan likuid tril /r/
putar (putar tutupan botol ) (peta 901)
kilu: 6, 13, 27; kili: 35; kidu: 50; kiu: 36, 39, 43 ~ 10 ridu: 8.
8) Variasi konsonan velar implosif bersuara /ɠ/ berkorespondensi dengan
konsonan velar eksplosif takbersuara /k/
putar (putar tutupan botol ) (peta 901)
ɠilu:7,15,16,18, 28,31,32,44 ~ kilu: 6,13,27; kili: 35; kidu: 50; kiøu:36,39, 43.
9) Perubahan konsonan hambat bilabial implosif /ɓ/ berkorespondensi dengan
konsonan hambat bilabial eksplosif /b/
sum-sum dalam tulang (peta 368)
ɓilu: 3, 4, 6, 7, 13--16, 23--35, 37, 38, 41, 44, 46; ɓidu: 8, 11, 12, 22, 39, 47,
49; ɓiu: 36 ~ bidu: 40.
10) Variasi konsonan likuid lateral /l/ berkorespondensi dengan konsonan velar /k/
kayu pengikat tali tenunan di pinggang (peta 999)
logo: 3, 4, 6, 7, 14--16, 23--28, 31, 33--35, 46 ~ kogo: 22, 30, 32, 36, 41,
44; koŋ
go: 9, 39, 40, 42, 43, 45, 48, 49.
11) Variasi konsonan bilabial eksplosif /b/ berkorespondensi dengan konsonan
bilabial implosif /ɓ/
Variasi konsonan bilabial /b/ berkorespondensi dengan konsonan bilabial
implosif /ɓ/.
(a) terapung (peta 742)
bawa: 3, 6, 7, 11--13, 15, 16, 25, 27, 33, 34, 36, 37, 39--41, 44, 46, 47 ~
ɓawa: 4, 14, 17, 26, 29, 35.
(b) sandar (peta 906)
beʡi: 3, 6, 7, 12, 13, 15, 16, 22, 25, 28, 30--34, 36--38, 41, 44, 46, 47 ~
ɓeʡi: 4, 14, 17, 26, 29, 35.
(12) Variasi konsonan velar eksplosif /g/ berkorespondensi dengan konsonan
velar implosif /ɠ /
guling (peta 813)
gola: 4, 22, 23, 25, 27, 29, 30, 34, 41; goda: 8, 11, 12; goa: 36; ~ ɠola: 15, 16;
ɠole: 26.
13) Perubahan Konsonan Alveolar /z/
a) Perubahan Konsonan Alveolar /z/ berkorespondensi dengan konsonan
dental implosif /ɗ/
(1) beras (peta 355)
zea pa.re: 3, 4, 16; zea pae: 22, 24, 25; zea mama: 13; zea nika:
15, 23, 27, 28, 29, 41; bu zea: 8; zea ka: 6, 7, 12; ka zea: 18;
xlii
ʡetu zea: 39 ~ ɗea: 14, 35, 36.
b) Perubahan konsonan apiko-palatal [z] berkorespondensi dengan konsonan
apiko-alveolar /s/
bau basi (peta 985)
wau bazu: 3, 4, 7, 11, 12, 14--16, 22--24, 28, 30; wau bh
azu: 8, 17,
18; wau m
bazu: 20 ~ wau m
basu: 39.
14) Perubahan konsonan dental /t/ berkorespondensi dengan konsonan alveolar /s/
jemput (menjemput anak) (peta 821)
tabu: 12, 13, 15, 16, 23, 24, 28, 38, 41, 44, 46, 47;tam
bu: 39, 40, 42, 43,
45, 48--50 ~ sabu: 3, 4, 7, 14, 22, 25, 29; sabh
u: 11; sam
bu: 19.
15) Variasi konsonan dental /d/ berkorespondensi dengan konsonan bilabial /p/
menanduk (peta 864)
dəgu : 4,6,7, 12, 15, 16 ~ pəgu: 39, 43, 44, 48, 49; pagu: 17, 20; pugu: 46,
47.
16) Variasi konsonan palatal bersuara /j/ meliputi:
a) Variasi konsonan palatal bersuara /j/ berkorespondensi dengan konsonan
frikatif alveolar takbersuara /z/.
(1) kuda (peta 500)
jara: 3, 4, 6, 7, 9, 12, 13, 15, 16, 19, 20, 21, 25, 26, 32, 50; jaya: 11; ja:
22--24,27--31 ~ zara: 14.
(2) pisang hutan (peta 422)
buju: 3, 6, 7, 13, 15, 16, 22--29, 31, 32, 38, 39, 41, 44, 45 ~ buzu: 14.
17) Perubahan konsonan frikatif alveolar takbersuara ersuara /z/
berkorespondensi dengan konsonan hambat palatal /j/.
bau basi (peta 985)
wau bazu: 3, 4, 7, 11, 12, 14--16, 22--24, 28, 30; wau bh
azu: 8, 17, 18; wau
m
bazu: 20 ~ wau baju: 26, 27, 29, 33, 34, 36--38, 46.
9. Temuan Penelitian
9.1 Parameter Penghitungan
Berdasarkan hasil penghitungan dialektometri dengan Parameter
dialektometri antartitik pengamatan dan Parameter dialektometri dengan
permutasi, di Kabupaten Nagekeo terdapat 3 bahasa, yaitu:
a) Bahasa Mbay/Riung dalam penelitian ini didukung oleh 3 dialek, yaitu:
(1) Dialek Lengkosambi, (2) Dialek Nggolonio, (3) Dialek Nggolombay.
b) Bahasa Nagekeo terdiri atas 22 dialek, yaitu:
(1) Dialek Boawae dengan subdialek sebagai berikut:
a) Subdialek Rawe,
c) Subdialek Kelewae.
b) Subdialek Rowa,
xliii
(2) Dialek Munde
(3) Dialek Dhawe
(4) Dialek Lape - Ia (Lape - Nataia)
(5) Dialek Lambo
(6) Dialek Dhereisa
(7) Dialek Rendu
(8) Dialek Ndora
(9) Dialek Jaduro (Raja, Wudu, Gero)
(10) Dialek Kelimado
(11) Dialek Kotakeo dengan Beda Wicara Ladolima
(12) Dialek Sara – Taka (Sarasedu – Takatunga)
(13) Dialek Soa (di Desa Mengeruda)
(14) Dialek Poma (di Desa Denatana)
(15) Dialek Lejo dengan Subdialek Wolokisa
(16) Dialek Aewoe
(17) Dialek Kotagana
(18) Dialek Wolowae (Dialek Toto) dengan subdialek sebagai berikut:
(a) Subdialek Utetoto
(b) Subdialek Watumite.
(19) Dialek Oja dengan Subdialek Tendarea
(20) Dialek Kotowuji dengan Subdialek Mbaenuari
(21) Dialek Romba
(22) Dialek Riti – Woko (Riti – Wokodekororo)
c) Bahasa Ende dalam penelitian ini didukung oleh 1 dialek, yaitu Dialek
Kerirea dan Subdialek Kebirangga.
9.2 Fonem yang Bervariasi Secara Teratur
Bahasa Nagekeo yang digunakan di Kab. Nagekeo dan daerah
perbatasannya, memiliki 6 buah fonem konsonan yang mengalami variasi
fonologis secara teratur, yaitu:
(1) Konsonan bilabial /b/ menjadi alofon [b], [bh
], [m
b]
(2) Konsonan dental /d/ menjadi alofon [d] dan [n
d]
(3) Konsonan Velar /g/ menjadi alofon [g] dan [ŋ
g]
(4) Konsonan alveolar /z/ menjadi alofon [z], [r], [R], [s], [y]
(5) Konsonan tril /r/ menjadi alofon [r], [R], [l], [lh
], [h], [y], [ø]
(6) Konsonan lateral /l/ menjadi alofon [l], [d], [l
d], [r
z], [ø]
xliv
9.3 Kekhasan Bahasa
Secara leksikon terdapat dua hal unik yang merupakan kekhasan Bahasa
Mbay/Riung dibandingkan dengan Bahasa Nagekeo dan Bahasa Ende, yang
ditemukan dalam penelitian ini, yaitu:
1) Basis Bilangan
Kata bilangan yang digunakan dalam Bahasa Mbay/Riung berbasis 10
(sepuluh) sedangkan Bahasa Nagekeo dan Bahasa Ende menggunakan
kata bilangan berbasis 5 (lima), seperti dalam tabel berikut ini:
No. Kata
Bilangan
Bahasa
Mbay/Riung
Bahasa Nagekeo Bahasa Ende
1 satu (s,c)a ʡəsa ʡəsa
2 dua sua z(r,ɗ)ua Rua
3 tiga təlu tə(l,d)u tər
zu
4 emat pat wutu wutu
5 lima lima l(d, l
d)ima r
zima
6 enam nen(ng) (l ,d)ima ʡəsa r
zima ʡəsa
7 tujuh pitu (l,d, l
d)ima (z r,ɗ) ua r
zima Rua
8 delapan walu (z r) ua butu Rua m
butu
9 sembilan (s,c)iwa ta(ə)ra ʡəsa taRa ʡəsa
10 sepuluh sa bulu sa m
bulu s(c)a pulu
11 sebelas s(c)apulu
s(c)a
sa (b, m
b) ulu sa
ʡəsa
a m
bur
zu sa
ʡəsa
12 dua
belas
s(c)apulu
sua
sa (b, m
b)ulu əsa
(z,r,ɗ)ua
a m
bur
zu ?əsa
Rua
2) Tipe Vokalis dan Nonvokalis
Kata-kata yang digunakan dalam Bahasa Nagekeo bersifat vokalis,
artinya kata-kata yang digunakan dalam kedua bahasa ini bersifat terbuka
atau selalu diakhiri dengan vokal, sedangkan kata-kata yang digunakan
dalam Bahasa Mbay/Riung bersifat nonvokalis, artinya kata-kata yang
digunakan dalam bahasa itu ada yang bersifat terbuka atau diakhiri dengan
vokal dan ada pula yang bersifat tertutup atau diakhiri dengan konsonan
pada akhir suku kata, seperti yang tampak dalam tabel berikut ini.
No
.
Glos Bahasa
Mbay/Riung
Bahasa Nagekeo
1 bulu
ekor
ayam
la n
do manuk:
1,2,5
lado manu : 15,16,24,26
weʡo manu: 3,4,6-13,17-34,36-
41,43-50
2 nenas pala wa n
daŋ: pala wada : 3,4,6,7, 11,13,25
xlv
1,2,5
3 member
i
tahu
to n
daŋ: 1,2,5 toda :3,4,6,7,12, 14-16,23,25, 28-30
4 kacang
hijau
rum
bet :1,2,5 rube: 3,4, 13-16,25,26
5 garam
tanah
pasek: 1,2,5 pazo :3,4,6,7, 11-16,18,22-30, 35,38,
39,41
6 tongkat ɗoar:1,2,5 ɗoa: 3, 4, 6,7, 15,16
9.4 Temuan Teori Korespondensi Konsonan dalam Bahasa Nagekeo
Terdapat 2 teori berkorespondensi konsonan dalam Bahasa Nagekeo,
yaitu:
1) Teori Korespondensi Konsonan Hambat:
a) Rumusan Teori Korespondensi Konsonan Hambat: “Secara artikulasi
konsonan hambat selalu berkorespondensi dengan konsonan pranasal
hambat“.
b) Korespondensi Konsonan Hambat, meliputi:
(1) Konsonan Hambat Bilabial [b] Berkorespondensi [b], [m
b]
(2) Konsonan Hambat Dental [d] Berkorespondensi ≈ [d], [n
d]
(3) Konsonan Hambat Velar [g] Berkorespondensi ≈ [g], [ŋ
g]
c) Formulasi Teori Korespondensi Konsonan Hambat: “Konsonan Hambat
/b,d, g/ ≈ [b,d, g] ≈ [m
b, n
d, n
d, ŋ
g]”.
b) Teori Korespondensi Konsonan Kontinuan
(1) Rumusan Teori Korespondensi Konsonan Kontinuan: “Konsonan
kontinuan selalu berkorespondensi dengan tipe konsonan kontinuan
yang lebih beragam tetapi tetap mempertahankan tempat
artikulasinya”.
(2) Korespondensi Konsonan Kontinuan, meliputi:
a) Korespondensi konsonan alveolar /z/ ≈ [z], [r], [R], [s], [y]
(b) Konsonan Likuida Tril /r// ≈ [r], [R], [l], /lh
/, /h/,/y//,[ø]
(c) Konsonan Likuida lateral /l/ ≈ [l], [d], [l
d] , [r
z] , [ø]
(3) Formulasi Teori Korespondensi Konsonan Kontinuan:
(a) Konsonan Kontinuan /z/ ≈ [z] ≈ [r] ≈ [R] ≈ [s] ≈ [y]
(b) Konsonan Likuida Tril /r// ≈ [r] ≈ [R] ≈ [l] ≈ /lh
/≈ /h/≈ /y//≈ [ø]
(c) Konsonan Likuida lateral /l/ ≈ [l] ≈ [d] ≈ [l
d] ≈ [r
z] ≈ [ø]
10. Simpulan dan Saran
10.1 Simpulan
Simpulan sebagai inti jawaban masalah penelitian disajikan berikut ini.
1) Pengelompokan isolek sebagai bahasa, dialek, subdialek, beda waicara dan
tidak perbedaan dilakukan berdasarkan:
xlvi
a) Parameter dialektometri antartitik pengamatan
b) Parameter dialektometri dengan permutasi.
2) Berdasarkan hasil penghitungan dialektometri dengan Parameter dialektometri
antartitik pengamatan dan Parameter dialektometri dengan permutasi di
Kabupaten Nagekeo terdapat 3 bahasa, yaitu:
a) Bahasa Mbay/Riung dalam penelitian ini didukung oleh 3 dialek.
b) Bahasa Nagekeo yang didukung oleh 22 dialek.
c) Bahasa Ende dalam penelitian ini yang didukung oleh 2 dialek.
3) Bahasa Nagekeo yang digunakan di Kab. Nagekeo dan daerah perbatasannya,
memiliki 6 buah fonem konsonan yang mengalami variasi fonologis secara
teratur, yaitu:
(1) Konsonan bilabial /b/ menjadi alofon [b], [bh
], [m
b]
(2) Konsonan dental /d/ menjadi alofon [d] dan [n
d]
(3) Konsonan Velar /g/ menjadi alofon [g] dan [ŋ
g]
(4) Konsonan alveolar /z/ menjadi alofon [z], [r], [R], [s], [y]
(5) Konsonan tril /r/ menjadi alofon [r], [R], [l], [lh
], [h], [y], [ø]
(6) Konsonan lateral /l/ menjadi alofon [l], [d], [l
d], [r
z], [ø]
10.2 Saran
Berkenaan dengan saran sebagai rekomendasi untuk penelitian lebih lanjut
terhadap Bahasa Nagekeo, ada beberapa hal yang disarankan, yaitu:
1) Terhadap kekhasan atau keunikan fonologis yaitu konsonan lateral beraspirasi
/lh
/ yang terdapat pada Dialek Lape – Ia (Nataia) di Desa Lape dan Desa Olaia
dan konsonan pralateral dental /l
d/
yang terdapat pada Dialek Watumite; dan
konsonan tril posterior /R/ yang terdapat pada Dialek Lambo perlu ditelusuri
asal-muasal serta arah saling pengaruh antara dialek-dialek itu dengan dialek-
dialek lain, bahkan dengan bahasa lain di sekitarnya.
2) Instrumen sebagai alat penjaring data untuk penelitian lebih lanjut pada bidang
fonologi perlu diperluas sehingga variasi-variasi fonem yang menyebabkan
terjadinya perubahan kategori kata secara signifikan, seperti kata poka
’potong’ sedangkan variannya kata boka ’jatuh’, pala ’telapak kaki’
sedangkan variannya kata bala ’bekas telapak kaki’ dapat terjangkau secara
memadai. Demikian juga dengan kehadiran kompositum sebagai pembentuk
frase dalam bidang sintaksis sebagai pemarkah golongan kata, seperti kata
kema ’kerja’ sedangkan frase ola kema ’pekerjaan’, kata ka ’makan’,
sedangkan frase ola ka ’makanan’ juga dapat diteliti secara memadai pula.
3) Terhadap munculnya gejala kepunahan keberadaan bahasa kecil sebagai
penopang bahasa nasional, maka disarankan kepada para pemangku dan
pemegang kebijakan kehidupan bangsa ini untuk membuat regulasi yang dapat
xlvii
melindungi dan mengayomi semua bahasa dan budaya, agar bahasa dan
budaya kecil di negeri ini tetap eksis dalam kehidupan masyarakat
pendukungnya.
xlviii
DISSERTATION SUMMARY
THE LINGUISTIC STATUS OF ISOLECTS IN NAGEKEO REGENCY:
A DIALECT GEOGRAPHY ANALYSIS
By
Petrus Pita
1. Introduction
1.1 Background
A research on dialect geography focusing on isolect variations in Nagekeo
regency is important and it should be investigated scientifically and objectively.
There are some main reasons such as:
1) Isolects used by people of Nagekeo regency are isolects of small local
languages which are rarely documented in the forms of scientific research
results, either micro or macro research.
2) Young generation and intellectuals tend to use Indonesian language, and not
local languages as their mother tongue or first language, even at family of local
culture domain.
3) In connection with the Nusantara Concept and national defense of Indonesian
nation, research on small local languages, such as the small languages in
Nagekeo regency will bring positive impact to the existence of Unitary
Country of the Republic of Indonesia as the unitary nation state (cf.
Ayatrohaedi, 1985:4-5; Dhani 1991: 3-4) because every elements of the nation,
no matter how small they are, are the glue that strengthens the unity and the
unitary of the Indonesian nation.
4) Isolect variations found in various speech communities in Nagekeo people are
the direct representation of cultural properties of Nagekeo people, at the same
time are the properties of the Indonesian nation which must saved from their
extinction.
5) To understand the people of Nagekeo as part of Indonesian nation, which is
diverse, isolect varieties used by the people in Nagekeo regency must be
studied and understood well, because through these isolects the life of Nagekeo
people can be learned.
Isolect variation of speech communities found in Nagekeo regency become
more complex in transitional areas between two different areas. For example,
in the bordering areas between Nagekeo and Ende, between Nagekeo and
Bajawa, and between Nagekeo and Riung in Ngada regency. In these
transitional areas, the entrance of elements of vocabulary and the pronunciation
from one language or dialect into another language or dialect, so that isolect
varieties become more complex and difficult to describe. Linguistic condition
like this potentially results in gradual differences in speech between one speech
xlix
community and another in Nagekeo people. This complex speech variety
becomes an important consideration for the writer in choosing the isolect
variation in the speech community in Nagekeo regency as the object of the
research.
1.2 Statement of the Problems
Problems raised in this research are specifically formulated as follows:
1) How are the forms of isolect differences based on lexical paradigm in various
research locations in Nagekeo regency?
2) How are the grouping of these isolects in Nagekeo regency into dialects and
subdialects?
3) How are the forms of phonemic changes phonologically of isolects in Nagekeo
regency?
1.3 Objectives of the Research
Based on the problems that have been formulated above, the objectives of
the research are formulated as follows:
1) To analyze the differences between isolects based on lexical paradigm in
various research locations in Nagekeo regency..
2) To group the isolects based on lexical paradigm and isoglosic patterns found in
various regions in Nagekeo regency.
3) To describe phonemic changes found in those isolects in Nagekeo regency
based in phonological paradigm.
1.4 Significance of the Research
Academically, the present research can be used by other researchers who
do research on Nagekeo language in Nagekeo regency and Ende regency, either
microlinguistic or macrolinguistic research. Besides, this research can be use to
enrich the facts and information about language variation in dialectogy studies in
Indonesia.
Furthermore, practically, this research can help Nagekeo speech
community to recognize and appreciate the characteristics of their dialectal and
other subdialects in Nagekeo language, so that the speakers can choose and use
them according to the domains of use, linguistic or dialect background of the
interlocutor, and particular communicative aims. Aside from this, this research
can help the teachers and students in the schools in Nagekeo language area to
learn their mother tongue as the language of the culture and help local government
in the formation of new villages or new districts consider linguistic and cultural
similarities of the people with the help of dialect or subdialect areas as one of the
indication of one regional entity.
l
2. Concept
2.1 Isolect
Kridalaksana (1988:82) in his paper entitled “Masalah Metodoligi dalam
Rekonstruksi Bahasa Melayu Purba’”, defines isolect as the form whose status is
either language or dialect. Aside frim this, Mahsun (1955:11) in his book
Dialektologi Diakronis Sebuah Pengantar, says that isolect is used as neutral term
to indicate dialect and language differences.
2.2 Isogloss and Isogloss Sheaf
Isogloss is defined as an imaginary line drawn on a linguistic map (cf. Keraf,
1984: 161, and also Lauder, 1990: 117).
Furthermore, the term isogloss is also known as word/lexical border line, is
the line that separates two dialect or linguistic environment based on the form or
system of the two environments which are different from one another , and which
are realized in linguistic map (Ayotroheaedi, 1979:5). So isogloss is an imaginary
line, which is drawn on a linguistic map to separate linguistic phenomenon based
on different variation.
2.3 Dialect
Atlas Commission on European languages defines dialect as the linguistic
systems used by a society that ditinguish them from other neighboring societies
that use different but closely related systems (Ayatrohaedi, 1979:1)
2.4 Variation in Dialectolgy
Variation is the form of various conditional or non-conditional manifestation
of an entity (Kridalaksana, 2001:225). Viewed from geographical dimension,
some changes or differences called variations happen based on rules while some
others sporadically.
Variation or differences in linguistic elements which are relevant in this
research comprises two aspects, they are, lexical variations and phonological
variations.
1) Lexical Variation
According to Mashun (1995:54), lexical variation or lexical difference
means when lexemes used to realize a meaning similar or different derived
from one pre-language etymon.
The analysis of lexical differences is done based on the consideration that
this field has important role in the grouping of language variations or
differences, as claimed by Chambers and Trudgill (1980:46, and cf. Grijns,
1976:10).
li
2) Phonological Variation
According to Mashun (1995:23) phonological variations or phonological
differences are the variations which are related to phonetic differences. The
description of variations or differences in linguistic items at phonological
level which become the object of analysis in this research focuses on the
differences of segmental phonemes.
2.5 Types of Analysis
Dialectological analysis carried out in this research is synchronic in nature.
This means the synchronic aspects is based on the phenomena of language use
that happen in limited period of time; that is, language elements that are used by
the people at present. This is in line with the essence of synchronic dialectology,
the branch of linguistic that investigates language variation of various dialects at
certain point of time (Kridalaksana, 2000:129, 198; cf. Mahsun, 19945: 13 – 14;
cf. Djajasudarma, 1993:7; Nothofer, 1981: 6 – 7; and Dhani, 1991:11).
2.6 Phonological Process
1) Assimilation Process
According to Kridalaksana (2001:18) assimilation is the process of sound
change that results in similarities or differences with other sounds nearby; for
example ad + similasi > assimilasi.
There are three types of assimilation:
a) Progressive Assimilation
When the assimilated sound comes after the assimilating sound; this
means sound change direction is to the right (Kridalaksana, 2001:18).
For example: Language Nagekeo ’rorate’: kilu ≈ kili
b) Regressive Assimilation
Regressive assimilation happens when the assimilated sound comes
before the assimilating sound; this means the sound change direction is to
the left (Kridalaksana 2001: 18)
For example: Nagekeo Language ‘crest’ lari manu ≈ rari manu.
c ) Assimilation Resiprok
Assimilation reciprocal , that is, if the sound that assimilated it precedes
sounds assimilate , meaning that the sound changes direction to the left
(Kridalaksana 2001: 18 ) .
Example : ' eight ' rua butu ≈ ro butu
2) Metathesis Process
Metathesis is sound change related to the change of place of the two
sounds involved (Kridalaksana, 2001:136).
For example, Nagekeo Language: ’suck’ səmo ≈ məso
‘cut the twig‘ soli ≈ losi
lii
3) Prothesis Process
Prothesis is the addition of a sound at the initial position of a word
(Kridalaksana, 2001:181), for example in Nagekeo Language:
Example : ' nose ' : izu ≈ Nizu
' foot ' aʔi ≈ waʔi
' rotate ' ilu ≈ kilu
4 ) Apharesis Process
Afaresis ie deletion sound at the starting position ( Kridalaksana 2001: 2 ) ,
Example : Nagekeo Language ' uncovered ' : beɠa ≈ bea
3. Theory
The dialectal geographical research on Nagekeo language carried out here
uses traditional dialectology theory as its theoretical framework. The basic
principle of traditional dialectology theory is the variation of language elements at
the level of lexicon, the relationship between phenemic changes between words
cannot be explained, although the words have the same meaning.
The differences of lexicon between one location and another is generally
influenced by social background of the people, so that each region arbitrarily give
different names to the same object of thing that carried the same meaning. Giving
different names to the same concept occurs as the result of different views from
the people to an object or a thing, based on the material, physic, characteristics,
condition or the function, etc.
4.1 Review of Literature
4.1 Review of Previous Studies
In this research, the review of previous studied is limited to the results of
geographical dialect research and social dialect research that are closely relevant
to this geographical dialect research on isolect variation in Nagekeo regency, as it
is clear in the following description:
1) The study of Sasak Language in Lombok in 1951 by A. Teeuw.
2) The study of Geographical Dialect of Nagekeo Language (undergraduate
thesis) by Petrus Pita in 1984.
3) The study of Geographical Dialect of Ngadha Language by Petrus Pita in 1984.
4) The study of Geographical Dialect of Sumba Language by A.A. Putra in 1984.
5) The study of Historical Relations of Language Family in Flores by Inyo
Fernandez in 1996.
liii
4.2 Relevance of Review of Literature with the Study of Isolect in Nagekeo
Regency
The relevance between related literature and the results of geographical
dialect research, social dialect research, and the result of comparative studies of
languages in Flores, comprises the following points: 1) Theory Selection, 2) The
Use of Data Analysis Method, 3) Selection of Observation Areas, 4) Informant
Selection, 5) Formulation of Research Instrument, 6) The Use of Data Collection
Method
5. Research Method
5.1 Selection and Coding of Research Location
5.1.1 Criteria of the Selection of Research Location
Ideally Gaston Paris suggests that the research should be done to each
society. This means, ideally the research is done to every village, every location
no matter how small and remote the place is (cf. Ayatrohaedi, 1979: 36; cf. also
Mashun, 1995: 102 – 105).
To comply with part of the suggestion of Gaston Paris, in this geographical
dialect research of Nagekeo language, 50 out of 104 villages are chosen.
5.1.2 Numbering System of Research Location
The numbering of research location done in this research is the horizontal
rightward system. There are 50 villages chosen as the research location.
5.1.3 Selection of Research Location
The selection of research location is done proportionally based on the degree
of variation of linguistic elements in the speech communities dan the number of
villages in an area (district), they are: 1) Aesesa District: 8 villages, 2) Aesesa
Selatan district: 1 village, 3) Nangaroro District: 5 villages, 4) Boawae District: 9
villages, 5) Mauponggo District: 6 villages, 6) Keo Tengah District: 10 villages,
7) Riung District: 1 village, 8) Wolomeze District: 1 village, 9) Golewa
District: 2 villages, 10) Nangapada District: 4 villages, 11) Soa District: 1 village,
12) Maukaro District: 2 villages
5.2 Research Instrument
5.2.1 Nature of Questionnaire
Questionnaire made for this research of geographic dialect of Nagekeo
Language contains word list that can be sued to explore lexical variation and
phonological variation, whereas field of syntax is used to crosscheck the same
response of the informants for different items or even no response in the
questionnaire through in-depth interview.
liv
5.2.2 Criteria of the Questionnaire
To get satisfactory result, the questionnaire in this research comply with
the general criteria (Ayatrohaedi, 1979: 38 – 39; cf. Nashun, 1995: 106 – 112), as
follows:
1) The questionnaire in this research is made in such a way as to reveal various
speech variations (specific characteristics) found in Nagekeo language. The
answers are then identified as the determining characteristics of isolect status,
both lexical and phonological variations.
2) The questionnaire is arranged based on the grouping of semantic fields,
considering the nature and the condition of the culture of Nagekeo people.
3) The questionnaire is easy and simple, hoping that the informants can give the
answers directly and spontaneously and the first answer is regarded as the
most appropriate answer.
5.2.3 Organization of the Questionnaire
The questionnaire in this study contains 1,000 words, which is expected to
explore the lexical and phonological variation. The questions are arranged
according to semantic fields so that the informants can give direct and
spontaneous answer. For this purpose, the questions are arranged based on
meaning relation according to each semantic field. This means, words that have
meaning realation are grouped in the same group.
5.2.4 Scope of the Questionnaire
The questionnaire in this study is in the form of lexical questions. This
means, the questionnaire is in the form of list of words of various domains of
people’s life, with the consideration of phonological and lexical variation in
various dialects (cf. Lauder, 1990:70).
Based on the aim, the questionnaire in this research (cf. Ayatrohaedi,
1979:41; cf. Mashun, 1995: 107 – 112; and cf. Lauder, 1990:70) include two
aspects, they are: 1) phonetic and 2) lexical aspect.
5.3 Criteria for the Informants
Data collection is done by visiting the 50 villages that have been chosen as
the areas of observation. Based on the opinion of Samarin that dialectology
research needs many informants and the opinion of Uhlenbeck that a linguist does
not only rely on only one informant because more than one informant will give
more objective picture of local linguistic situation (Lauder, 1990:84; cf, Mashun,
1995:106), in this research one key informant and two additional informants are
chosen from each area of observation.
Penentuan Status Kebahasaaan Isolek Nagakeo.pdf
Penentuan Status Kebahasaaan Isolek Nagakeo.pdf
Penentuan Status Kebahasaaan Isolek Nagakeo.pdf
Penentuan Status Kebahasaaan Isolek Nagakeo.pdf
Penentuan Status Kebahasaaan Isolek Nagakeo.pdf
Penentuan Status Kebahasaaan Isolek Nagakeo.pdf
Penentuan Status Kebahasaaan Isolek Nagakeo.pdf
Penentuan Status Kebahasaaan Isolek Nagakeo.pdf
Penentuan Status Kebahasaaan Isolek Nagakeo.pdf
Penentuan Status Kebahasaaan Isolek Nagakeo.pdf
Penentuan Status Kebahasaaan Isolek Nagakeo.pdf
Penentuan Status Kebahasaaan Isolek Nagakeo.pdf
Penentuan Status Kebahasaaan Isolek Nagakeo.pdf
Penentuan Status Kebahasaaan Isolek Nagakeo.pdf
Penentuan Status Kebahasaaan Isolek Nagakeo.pdf
Penentuan Status Kebahasaaan Isolek Nagakeo.pdf
Penentuan Status Kebahasaaan Isolek Nagakeo.pdf
Penentuan Status Kebahasaaan Isolek Nagakeo.pdf
Penentuan Status Kebahasaaan Isolek Nagakeo.pdf
Penentuan Status Kebahasaaan Isolek Nagakeo.pdf
Penentuan Status Kebahasaaan Isolek Nagakeo.pdf
Penentuan Status Kebahasaaan Isolek Nagakeo.pdf
Penentuan Status Kebahasaaan Isolek Nagakeo.pdf
Penentuan Status Kebahasaaan Isolek Nagakeo.pdf
Penentuan Status Kebahasaaan Isolek Nagakeo.pdf
Penentuan Status Kebahasaaan Isolek Nagakeo.pdf
Penentuan Status Kebahasaaan Isolek Nagakeo.pdf
Penentuan Status Kebahasaaan Isolek Nagakeo.pdf
Penentuan Status Kebahasaaan Isolek Nagakeo.pdf
Penentuan Status Kebahasaaan Isolek Nagakeo.pdf
Penentuan Status Kebahasaaan Isolek Nagakeo.pdf
Penentuan Status Kebahasaaan Isolek Nagakeo.pdf
Penentuan Status Kebahasaaan Isolek Nagakeo.pdf
Penentuan Status Kebahasaaan Isolek Nagakeo.pdf
Penentuan Status Kebahasaaan Isolek Nagakeo.pdf
Penentuan Status Kebahasaaan Isolek Nagakeo.pdf
Penentuan Status Kebahasaaan Isolek Nagakeo.pdf
Penentuan Status Kebahasaaan Isolek Nagakeo.pdf

More Related Content

Similar to Penentuan Status Kebahasaaan Isolek Nagakeo.pdf

101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk
Operator Warnet Vast Raha
 
101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk
Septian Muna Barakati
 
101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk
Septian Muna Barakati
 
101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk
Operator Warnet Vast Raha
 
ASAL USULSLANK DI DUNIA
ASAL USULSLANK DI DUNIAASAL USULSLANK DI DUNIA
ASAL USULSLANK DI DUNIA
WilhelmusAngelusBuul
 
F novita wijayanti_tesis
F novita wijayanti_tesisF novita wijayanti_tesis
F novita wijayanti_tesisDhila Fadhila
 
Cover, daftar isi , kata pengantar
Cover, daftar isi , kata pengantarCover, daftar isi , kata pengantar
Cover, daftar isi , kata pengantar
alankinata
 
UPAYA GURU PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN DALAM MENINGKATKAN KESADA...
UPAYA GURU PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN DALAM MENINGKATKAN KESADA...UPAYA GURU PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN DALAM MENINGKATKAN KESADA...
UPAYA GURU PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN DALAM MENINGKATKAN KESADA...
Muhamad Yogi
 
Skripsi ilmia rajab
Skripsi ilmia rajabSkripsi ilmia rajab
Skripsi ilmia rajab
EMBUN PAGI
 
Meningkatkan hasil belajar apresiasi puisi
Meningkatkan hasil belajar apresiasi puisiMeningkatkan hasil belajar apresiasi puisi
Meningkatkan hasil belajar apresiasi puisi
Operator Warnet Vast Raha
 
Contoh Kata Pengantar
Contoh Kata PengantarContoh Kata Pengantar
Contoh Kata Pengantar
Man sujana
 
Rc15 profesionalisme+guru+dan+hubungannya+dengan+prestasi+belajar+siswa+di+mts
Rc15 profesionalisme+guru+dan+hubungannya+dengan+prestasi+belajar+siswa+di+mtsRc15 profesionalisme+guru+dan+hubungannya+dengan+prestasi+belajar+siswa+di+mts
Rc15 profesionalisme+guru+dan+hubungannya+dengan+prestasi+belajar+siswa+di+mts
Choy Fauzi
 
Cv anju nofarof hasudungan
Cv anju nofarof hasudunganCv anju nofarof hasudungan
Cv anju nofarof hasudungan
ANJU NOFAROF HASUDUNGAN
 
kuisioner.pdf
kuisioner.pdfkuisioner.pdf
kuisioner.pdf
MuhammadRamadhan441486
 
revisi BROSUR FKIP 2023.pdf
revisi BROSUR FKIP 2023.pdfrevisi BROSUR FKIP 2023.pdf
revisi BROSUR FKIP 2023.pdf
koswara10
 
Implementasi Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme dalam Membentuk Gaya Meng...
Implementasi Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme dalam Membentuk Gaya Meng...Implementasi Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme dalam Membentuk Gaya Meng...
Implementasi Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme dalam Membentuk Gaya Meng...
Feri Ento
 
Ptk sd
Ptk sdPtk sd
Ptk sd
Firman Sah
 
SKRIPSI PENGARUH BIAYA, LOKASI, FASILITAS DAN GROUP ACUAN TERHADAP PILIHAN SI...
SKRIPSI PENGARUH BIAYA, LOKASI, FASILITAS DAN GROUP ACUAN TERHADAP PILIHAN SI...SKRIPSI PENGARUH BIAYA, LOKASI, FASILITAS DAN GROUP ACUAN TERHADAP PILIHAN SI...
SKRIPSI PENGARUH BIAYA, LOKASI, FASILITAS DAN GROUP ACUAN TERHADAP PILIHAN SI...
ERNING KAROMAH
 

Similar to Penentuan Status Kebahasaaan Isolek Nagakeo.pdf (20)

101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk
 
101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk
 
101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk
 
101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk101618 ida farida-fitk
101618 ida farida-fitk
 
ASAL USULSLANK DI DUNIA
ASAL USULSLANK DI DUNIAASAL USULSLANK DI DUNIA
ASAL USULSLANK DI DUNIA
 
F novita wijayanti_tesis
F novita wijayanti_tesisF novita wijayanti_tesis
F novita wijayanti_tesis
 
Asep supriadi
Asep supriadiAsep supriadi
Asep supriadi
 
Shinmin
ShinminShinmin
Shinmin
 
Cover, daftar isi , kata pengantar
Cover, daftar isi , kata pengantarCover, daftar isi , kata pengantar
Cover, daftar isi , kata pengantar
 
UPAYA GURU PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN DALAM MENINGKATKAN KESADA...
UPAYA GURU PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN DALAM MENINGKATKAN KESADA...UPAYA GURU PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN DALAM MENINGKATKAN KESADA...
UPAYA GURU PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN DALAM MENINGKATKAN KESADA...
 
Skripsi ilmia rajab
Skripsi ilmia rajabSkripsi ilmia rajab
Skripsi ilmia rajab
 
Meningkatkan hasil belajar apresiasi puisi
Meningkatkan hasil belajar apresiasi puisiMeningkatkan hasil belajar apresiasi puisi
Meningkatkan hasil belajar apresiasi puisi
 
Contoh Kata Pengantar
Contoh Kata PengantarContoh Kata Pengantar
Contoh Kata Pengantar
 
Rc15 profesionalisme+guru+dan+hubungannya+dengan+prestasi+belajar+siswa+di+mts
Rc15 profesionalisme+guru+dan+hubungannya+dengan+prestasi+belajar+siswa+di+mtsRc15 profesionalisme+guru+dan+hubungannya+dengan+prestasi+belajar+siswa+di+mts
Rc15 profesionalisme+guru+dan+hubungannya+dengan+prestasi+belajar+siswa+di+mts
 
Cv anju nofarof hasudungan
Cv anju nofarof hasudunganCv anju nofarof hasudungan
Cv anju nofarof hasudungan
 
kuisioner.pdf
kuisioner.pdfkuisioner.pdf
kuisioner.pdf
 
revisi BROSUR FKIP 2023.pdf
revisi BROSUR FKIP 2023.pdfrevisi BROSUR FKIP 2023.pdf
revisi BROSUR FKIP 2023.pdf
 
Implementasi Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme dalam Membentuk Gaya Meng...
Implementasi Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme dalam Membentuk Gaya Meng...Implementasi Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme dalam Membentuk Gaya Meng...
Implementasi Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme dalam Membentuk Gaya Meng...
 
Ptk sd
Ptk sdPtk sd
Ptk sd
 
SKRIPSI PENGARUH BIAYA, LOKASI, FASILITAS DAN GROUP ACUAN TERHADAP PILIHAN SI...
SKRIPSI PENGARUH BIAYA, LOKASI, FASILITAS DAN GROUP ACUAN TERHADAP PILIHAN SI...SKRIPSI PENGARUH BIAYA, LOKASI, FASILITAS DAN GROUP ACUAN TERHADAP PILIHAN SI...
SKRIPSI PENGARUH BIAYA, LOKASI, FASILITAS DAN GROUP ACUAN TERHADAP PILIHAN SI...
 

Penentuan Status Kebahasaaan Isolek Nagakeo.pdf

  • 1. DISERTASI PENENTUAN STATUS KEBAHASAAN ISOLEK- ISOLEK DI KABUPATEN NAGEKEO: KAJIAN DIALEK GEOGRAFI BUKU I PETRUS PITA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016
  • 2. ii DISERTASI PENENTUAN STATUS KEBAHASAAN ISOLEK- ISOLEK DI KABUPATEN NAGEKEO: KAJIAN DIALEK GEOGRAFI BUKU I PETRUS PITA NIM:0790171004 PROGRAM DOKTOR PROGRAM STUDI LINGUISTIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016
  • 3. iii PENENTUAN STATUS KEBAHASAAN ISOLEK-ISOLEK DI KABUPATEN NAGEKEO: KAJIAN DIALEK GEOGRAFI BUKU I Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor Pada Program Doktor, Program Studi Linguistik, Program Pascasarjana Universitas Udayana PETRUS PITA NIM: 0790171004 PROGRAM DOKTOR PROGRAM STUDI LINGUISTIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016
  • 4. iv
  • 5. v Panitia Ujian Disertasi Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor: 4083/UN.14.4/HK/2015 Tanggal: 1 Desember 2015 Ketua : Prof . Dr. Drs. Ida Bagus Putra Yadnya, M.A. Anggota : 1. Prof. Dr. Aron Meko Mbete (Promotor ) 2. Prof. Dr. Multamia R.M.T. Lauder, Mse,D.E.A (Kopromotor I) 3. Dr. Ni Made Dhanawaty, M.S (Kopromotor II) 4. Prof. Dr. Ketut Artawa, M. A. Ph.D 5. Prof. Dr. I Wayan Pastika, M.S. 6. Prof. Dr. Made Suastra, Ph. D 7. Dr. A.A. Putu Putra, M. Hum.
  • 6. vi PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Petrus Pita NIM : 0790171004 Jurusan/Program Studi: Linguistik Fakultas/Program : Program Doktor Pascasarjana Universitas Udayana Menyatakan bahwa karya ilmiah disertasi ini bebas plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa dalam disertasi ini terkandung ciri-ciri plagiat dan bentuk peniruan lain yang dianggap melanggar peraturan, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan Peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan peraturan perundang- undangan yang yang berlaku. Denpasar, Maret 2016 Petrus Pita
  • 7. vii UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Mahakuasa karena atas Rahmat dan kasih-Nya, disertasi yang berjudul “Penentuan Status Kebahasaan Isolek-Isolek di Kabupaten Nagekeo: Kajian Dialektologi Geografi” dapat diselesaikan. Penyusunan disertasi ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar doktor dalam bidang program studi Linguistik, Program Pascasarjana Universitas Udayana. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa disertasi ini dapat diselesaikan dalam bentuk dan isinya seperti ini karena adanya bimbingan, bantuan, dan kerja sama dari semua pihak, terutama promotor dan kopromotor sejak penyusunan proposal penelitian hingga ujian terbuka ini. Terhadap pihak-pihak yang telah memberikan bimbingan dan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung hingga terwujudnya naskah disertasi ini, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya: Kepada yang terhormat Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. PD-KEMD atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Doktor di Universitas Udayana. Kepada yang terhormat Direktur Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), Asisten Direktur I Prof. Dr. Made Budiarsa; Asisten Direktur II Prof. Made Sudiana Mahendra, Ph. D. atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Doktor pada Program Studi Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana. Kepada yang terhormat Prof. Dr. Aron Meko Mbete, selaku promotor yang telah membimbing, mengarahkan, membaca dan mencermati naskah disertasi ini dengan penuh kesabaran dan kerendahan hati walaupun di tengah kesibukan tugas, namun tetap menyediakakn waktu bagi penulis untuk berkonsultasi serta dukungan doa dan kunjungan ke Rumah Sakit Sanglah Denpasar serta kunjungan ke rumah di Ende untuk menguatkan kembali niat dan motivasi agar penulis tetap menyelesaikan disertasi ini setelah menderita sakit stroke sejak 16 Oktober 2011. Kepada yang terhormat Prof. Dr. Multamia R.M.T. Lauder, S.S, Mse, D.E.A, dari Universitas Indonesia selaku Kopromotor I yang telah mencermati isi naskah disertasi ini serta membimbing dan mengarahkan penulis tahap demi tahap walaupun di tengah kesibukan tugas dan kadang-kadang dalam kondisi kesehatan yang kurang prima, serta dukungan dan doa untuk menguatkan kembali niat dan motivasi agar penulis tetap menyelesaikan disertasi ini setelah menderita sakit stroke. Kepada yang terhormat Dr. Ni Made Dhanawaty, M.S, selaku Kopromotor II yang telah dengan penuh semangat kekeluargaan mencermati, mengarahkan,
  • 8. viii dan menguatkan motivasi penulis untuk tetap tekun menyelesaikan disertasi ini walaupun banyak tantangan dan kesulitan yang menghadang, terutama setelah menderita sakit stroke. Kepada yang terhormat almarhum Prof. Dr. I Wayan Bawa yang telah menanamkan motivasi dan pemahaman dasar tentang studi dialektologi atau geografi dialek sejak penulis belajar di S-1 dan S-2 Universitas Udayana ini. Kepada yang terhormat Prof. Dr. Ketut Artawa, M.A, Ph.D., mantan Ketua Program Studi Pendidikan Doktor Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana yang memungkinkan penulis untuk mendapatkan dana hibah penelitian sehingga sebagian dari kesulitan dan masalah dana penelitian teratasi dengan baik dan penelitian dapat dijalankan secara maksimal hingga dapat merampungkan naskah disertasi ini untuk siap ujian terbuka. Kepada yang terhormat Prof. Dr. I Wayan Pastika, M.S, yang dengan tulus dan lapang dada serta penuh persahabatan mencermati dan mengarahkan perbaikan naskah disertasi yang berkenaan dengan fonologi generatif, sehingga penulis semakin memahami konsep-konsep fonologi generatif yang relevan dengan disertasi ini. Penulis juga hendak menyampaikan ucapan terima kasih tak terhingga atas kebaikan dan persahabatan penuh semangat kekeluargaan melalui kontak pribadi dengan penulis setelah kembali ke Ende untuk usaha penyembuhan dan pemulihan kembali dari sakit; serta dukungan dan doa untuk menguatkan kembali niat dan motivasi penulis agar tetap menyelesaikan disertasi ini setelah menderita sakit stroke. Kepada yang terhormat Dr. A.A. Putra, M.Hum. yang telah pula merelakan waktu untuk berdiskusi baik langsung berhadapan muka maupun melalui kontak pribadi dengan telepon genggam dan bahkan rela mengunjungi penulis di rumah kediaman penulis di Ende dalam suatu perjalanan di Flores. Kepada yang terhormat Bapak Drs. Thomas Geba, M. Si, mantan Rektor Universitas Flores yang telah mendukung dan merekomendasikan penulis untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S-3 linguistik ini. Kepada yang terhormat Bapak/Ibu Staf Pegawai Tata Usaha pada Program Studi Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana yang senantiasa melayani dengan penuh kasih dan semangat persaudaraan sejak masa perkuliahan, masa sakit stroke dengan mengunjungi penulis baik di rumah sakit maupun di rumah kediaman. Kepada yang terhormat Ketua Umum Yapertif: 1) Bapak Drs. H.J. Gadidjou (alm) yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S-3 linguistik ini serta membantu meringankan beban biaya kesehatan ketika penulis pertama kali terserang stroke.
  • 9. ix 2) Bapak Dr. Laurentius Gadidjou yang telah memberikan motivasi dan dukungan moril serta bantuan yang dapat meringankan beban keuangan sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi S-3 linguistik ini. Kepada yang terhormat Rektor Universitas Flores Bapak Prof. Dr. Stephanus Djawanai yang senantiasa mendukung dan memotivasi penulis untuk menyelesaikan disertasi S-3 linguistik ini. Kepada yang terkasih Bapak Matheus Maya (mantan Wali Kota Dili) dan keluarga di Denpasar yang dengan penuh kebaikan dan cinta membantu usaha penyembuhan dan pemullihan kembali dari sakit stroke yang dialami penulis selama berobat di Denpasar Bali. Kepada yang terkasih Kakak Benediktus Djandon sekeluarga di Denpasar dan adik Viktor Djandon sekeluarga di Wangka - Riung yang dengan penuh kebaikan dan cinta membantu penulis selama masa perkuliahan serta usaha penyembuhan dan pemullihan kembali dari sakit stroke yang dialami sejak 16 Oktober 2011. Kepada yang terkasih Adik Udin Syafrudin dan Adik Sisilia da Cunha sekeluarga di Denpasar yang dengan penuh kebaikan dan cinta membantu penulis selama masa usaha penyembuhan dan pemulihan kembali dari sakit stroke yang dialami penulis. Kepada yang terkasih ayahanda Aloysius Meo (Almarhum) dan Mamanda Maria Tipa yang telah mengorbankan segala kesederhanaan hidup demi pendidikan anaknya hingga penulis memperoleh pendidikan dan pekerjaan seperti sekarang ini. Kepada yang tercinta istri Dra. Maria Gorety Djandon, M. Si. yang setia mendampingi penulis sejak masa perkuliahan, tahapan penelitian dan pengolahan data, mengerjakan ketikan naskah pada setiap tahapan perbaikan, terutama cinta dan pengorbanan lahir batin untuk merawat penulis selama menderita sakit stroke sejak tanggal 16 oktober 2011. Kepada yang tersayang anak-anak: 1) Paulus Ludgerius Rusman Pita, S.TP (Alumni Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana Denpasar – Bali). 2) Yulita Fulgensia Rusman Pita, mahasiwa semester VIII Pendidikan Bahasa Inggris pada FKIP Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja-Bali yang pernah ditinggalkan di Ende sejak kelas II SMP hingga tamat SMA. Penulis sungguh menyadari keikhlasan keduanya yang telah merelakan waktu untuk mencintai dan mengawasi mereka di masa kecil dan masa remaja karena harus mencurahkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk menyelesaikan pendidikan di jenjang S-3 linguistik ini. Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada semua kakak adik sanak saudara turunan Pake Rugha dan Meo Sato di Rendu dan
  • 10. x di luar Rendu yang senantiasa mendukung penulis, baik di masa kuliah maupun di masa pemulihan kembali dari sakit stroke. Ucapan terima kasih yang sama juga penulis tujukan bagi semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu dalam disertasi ini, namun semuanya telah berjasa membantu penulis sejak awal perkulihan hingga ujian terbuka atau ujian promosi doktor ini. Semoga amal bakti dan keikhlasan hati semua pihak dibalas dengan berkat dan rahmat berlimpah dari Tuhan Sang Penyelenggara kehidupan dan Allah Pengasih Yang Mahacinta. Denpasar, 2016 Penulis
  • 11. xi ABSTRAK Petrus Pita. Penentuan Status Kebahasaan Isolek-isolek di Kabupaten Nagekeo: Kajian Dialek Geografi Disertasi Doktor. Denpasar: Universitas Udayana. 2016. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) perbedaan bentuk isolek berdasarkan paradigm leksikal di beberapa tempat di Kabupaten Nagekeo, (2) pengelompokan isolek di Kabupaten Nagekeo ke dalam dialek and subdialek, dan (3) perubahan-perubahan fonem secara fonology di kabupaten Nagekeo. Penelitian ini adalah jenis penelitian descriptif. Melalui metode dialektometri ditemukan 3 bahasa di Kabupaten Nagekeo, yaitu: I. Bahasa Mbay/Riung dengan 3 dialek, yaitu (1) Dialek Lengkosambi, (2) Dialek Nggolonio, (3) Dialek Nggolombay. II. Bahasa Nagekeo dengan 22 dialek, yaitu: 1) Nage Tengah mempunyai satu dialek yaitu dialek Boawae dan 3 subdialek yaitu Subdialek Rawe, Subdialek Rowa, dan Subdialek Kelewae. 2) Nage Tengah Utara mempunyai enam dialek, yaitu: (1) Dialek Munde, (2) Dialek Dhawe, (3) Dialek Lape – Ia (Lape – Nataia), (4) Dialek Lambo, (5) Dialek Dhereisa (6) Dialek Rendu. 3) Nage Tengah Selatan mempunyai empat dialek yaitu: (1) Dialek Ndora, (2) Dialek Jaduro (Raja, Wudu, Wolowea, Gero), (3) Dialek Kelimado, (4) Dialek Kotakeo dengan Beda Wicara Ladolima. 4) Nage Utara Timur mempunyai dua dialek, yaitu: (1) Dialek Wolowae atau Dialek Toto dengan Subdialek Utetoto, (2) Dialek Oja dengan Subdialek Watumite dan Subdialek Tendarea. 5) Perbatasan antara Kabupaten Nagekeo dan Kabupaten Ngada mempunyai 3 dialek, yaitu: (1) Dialek Sara–Taka (Sarasedu, Takatunga), (2) Dialek Soa (Desa Menge-ruda), (3) Dialek Poma (Desa Denatana). 6) Keo Barat mempunyai tiga dialek, yaitu: (1) Dialek Lejo, (2) Dialek Aewoe, (3) Dialek Kotagana dan subdialek Wolokisa. 7) Keo Tengah mempunyai dua dialek, yaitu: (1) Dialek Kotowuji dengan Subdialek Mbaenuari, (2) Dialek Romba. 8) Keo Timur mempunyai satu dialek yaitu Dialek Riti–Woko (Riti-Woko- dekororo) dan satu beda wicara yaitu dialek Riti – Woko. Dalam penelitian ini terdapat 6 konsonan dalam bahasa Nagekeo yang mengalami variasi teratur sebagai ciri pembeda dialek secara fonologis, yaitu: (1) Variasi konsonan /b/≈ /bh , m b/; (2) Variasi Konsonan /d/ ≈ n d/; (3) Variasi Konsonan /g/ ≈ [g, ŋ g]; (4) Variasi Konsonan alveolar /z/ ≈ /r, R, s, y/; (5) Variasi Konsonan tril /r/ ≈ [r,R, l, h, lh , y, ø]; (6) Variasi Konsonan lateral /l/ ≈ [l, d, l d, r z, ø]. III. Bahasa Ende dengan 2 dialek, yaitu (1) Dialek Maukaro; (2) Dialek Nangapanda. Kata Kunci: Linguistik, Isolek, Dialek, Geografi
  • 12. xii ABSTRACT Petrus Pita. The Linguistic Status of Isolects in Nagekeo Regency: A Dialect Geography Analysis. Doctoral Dissertation. Denpasar. Graduate School. Udayana State University, 2016. This study aims to investigate (1) the forms of isolect differences based on lexical paradigm in various research locations in Nagekeo regency, (2) the grouping of these isolects in Nagekeo regency into dialects and sub dialects, and (3) the forms of phonemic changes phonologically of isolects in Nagekeo regency. This research was Descriptive Analysis Research. The data were collected through dialect metric method and comprised from three parts dialectology of Nagekeo language. I. Mbay language/Riung. It consists of three dialects: a). Dialect Lengkosambi, b). Dialect Nggolonio, and c). Dialect Nggolombay. II. Nagekeo Language. It covers 22 dialects, 5 sub-dialects, and 3 contrast in speech, as bellow: 1) The midle Nage has one dialect and three sub-dialects, namely Boawae dialect, Rawe sub-dialect, Rowa sub dialect, and Kelewae sub dialect. 2) The north-midle Nage has 6 dialects: Munde dialect, Dhawe dialect, Lape dialect, Lambo dialect, Dhereisa dialect, and Rendu dialect. 3) The south –midle has 4 dialects and one contrast in speech such as Ndora dialect, Jaduro dialect (Raja,Wudu, Wolowea, Gero), Kelimado dialect Kotakeo dialect and Ladolima contrast in speech. 4) The north-east consists of two dialects and one contrast in speech, that is Wolowae dialect or Toto dialect with Utetoto sub-dialect, Oja dialect with Watumite subdialect and Tendarea subdialect. 5) The boundary region that located beatween Nageko and Ngada district has three dialects that is Sara -Taka Dialect (Sarasedu,Takatunga); Soa Dialect (Mengeruda), Poma Dialect (Denatana) 6) The west Keo has three dialects and one sub dialect that is Lejo dialect with Wolokisa subdialect; Aewoe dialect; and Kotagana dialect. 7) The midle Keo has two dialect and one subdialect, namely Kotowuji dialect with Mbaenuamuri subdialect; Romba dialect 8) The east Keo has one dialect and one contrast in speech like Riti dialect- Woko (Riti- Wokodekororo) with contrast in speech to Riti dialect. From it, the reseacher found the six consonants that occur regular variety as distinctive features of dialect in term fonological point of view. They are: (1) consonant variation is occuring on fonem /b/ ≈ [b, bh , m b, (2) Consonant variations on /d/ ≈ [d, n d], (3) Alveolar variation consonant /z/ ≈ [z, r, R, s, y], (4) Various trill consonant /r/ ≈ [r,R, l, lh , h,y, Ø], and (6). Various lateral consonant /l/ ≈ [l, d,  d, r z, ø]. III. Ende Language. It consists of two dialects; (1) Maukaro Dialect and dialect; (2) Nangapanda Dialect. Key Words: Linguistic, Isolects, Dialect, Geography
  • 13. xiii RINGKASAN PENENTUAN STATUS KEBAHASAAN ISOLEK-ISOLEK DI KABUPATEN NAGEKEO: KAJIAN DIALEK GEOGRAFI Oleh Petrus Pita 1. Pendahuluan 1. 1 Latar Belakang Penelitian dialek geografi yang memfokuskan kajian tentang kebervariasian isolek di Kabupaten Nagekeo dipandang penting dan sudah saatnya ditangani secara ilmiah dan objektif, mengingat: 1) Isolek-isolek yang digunakan oleh masyarakat di Kabupaten Nagekeo tergolong sebagai isolek dari bahasa daerah kecil yang hingga sekarang kurang mendapat perhatian dalam upaya pendokumentasian berupa hasil penelitian ilmiah, baik secara mikrolinguistik maupun secara makrolinguistik. 2) Generasi muda dan generasi terpelajar cenderung menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa-bahasa lokal sebagai bahasa ibu atau bahasa pertama sekalipun dalam ranah-ranah keluarga dan kebudayaan lokal. 3) Bila dihubungkan dengan wawasan Nusantara dan ketahanan nasional bangsa Indonesia, penelitian terhadap bahasa-bahasa daerah kecil, seperti bahasa-bahasa kecil yang ada di Kabupaten Nagekeo dapat memberikan dampak positif terhadap eksistensi Negara Kesatuan RI sebagai negara kesatuan bangsa (bdk. Ayatrohaedi, 1985:4-5; Dhani, 1991:3-4) karena elemen bangsa sekecil apa pun merupakan perekat yang mengokohkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. 4) Kebervariasian isolek yang terdapat dalam berbagai kelompok tutur dalam masyarakat Nagekeo merupakan representasi langsung dari kekayaan budaya masyarakat Nagekeo, sekaligus juga merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang perlu diselamatkan dari kepunahannya. 5) Bila ingin mengetahui kejatidirian masyarakat Nagekeo sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang bhineka, kebervariasian isolek yang digunakan oleh masyarakat di Kabupaten Nagekeo pantas dipelajari dan dipahami karena melalui isolek-isolek inilah dapat ditelusuri belantara tata kehidupan masyarakat Nagekeo. Kebervariasian isolek dari kelompok-kelompok bahasa masyarakat yang ada di Kabupaten Nagekeo itu tampak semakin kompleks pada daerah-daerah atau wilayah-wilayah transisi antara dua daerah atau dua wilayah yang berbeda. Misalnya, di daerah atau wilayah perbatasan antara Nagekeo dengan wilayah Ende, antara wilayah Nagekeo dengan wilayah Bajawa dan antara wilayah
  • 14. xiv Nagekeo dengan wilayah Riung di Kabupaten Ngada. Di daerah-daerah transisi itu diduga banyak terjadi proses masuknya anasir kosa kata, struktur, dan cara pelafalan dari suatu bahasa atau dialek ke dalam bahasa atau dialek lainnya sehingga kebervariasian isolek yang muncul menjadi kompleks dan bahkan rumit untuk dideskripsikan. Kondisi lingual seperti yang digambarkan itulah yang berpotensi untuk menghasilkan tuturan-tuturan yang perbedaannya bergradasi antara satu kelompok tutur dengan kelompok tutur lainnya dalam masyarakat Nagekeo. Kebervariasian tutur yang kompleks itu pulalah yang menjadi pertimbangan penting bagi penulis untuk memilih kebervarisian isolek dalam bahasa masyarakat di Kabupaten Nagekeo sebagai objek penelitian. 1.2 Rumusan Masalah Masalah-masalah yang diangkat dalam penelitian ini dirumuskan secara spesifik sebagai berikut. 1) Bagaimanakah wujud perbedaan isolek berdasarkan paradigma leksikon pada berbagai lokasi pengamatan di Kabupaten Nagekeo? 2) Bagaimanakah pengelompokan terhadap isolek-isolek yang terdapat di Kabupaten Nagekeo ke dalam dialek dan subdialek? 3) Bagaimanakah wujud perubahan fonem-fonem secara fonologis pada isolek-isolek di Kabupaten Nagekeo? 1.3 Tujuan Penelitian Merujuk pada masalah penelitian yang telah dirumuskan di atas, tujuan penelitian ini dirumuskan secara spesifik sebagai berikut. 1) Menganalisis wujud perbedaan isolek berdasarkan paradigma leksikon pada berbagai daerah pengamatan di Kabupaten Nagekeo. 2) Mengelompokkan isolek-isolek berdasarkan paradigma leksikon dan pola- pola isoglos yang terdapat pada berbagai daerah pengamatan di Kabupaten Nagekeo ke dalam dialek dan subdialek. 3) Mendeskripsikan wujud perubahan fonem-fonem yang terdapat dalam isolek-isolek di Kabupaten Nagekeo berdasarkan paradigma fonologis. 1.4 Manfaat Penelitian Secara akademis penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh para peneliti lain yang melakukan penelitian terhadap bahasa Nagekeo di Kabupaten Nagekeo dan Kabupaten Ende, baik penelitian mikrolinguistik maupun penelitian makrolinguistik. Selain itu, penelitian ini dapat pula dimanfaatkan untuk memperkaya fakta dan informasi tentang kebervariasian bahasa dalam kajian dialektologi di Indonesia. Selanjutnya, secara praktis penelitian ini dapat membantu masyarakat bahasa Nagekeo untuk mengenal ciri-ciri khas dialek atau subdialek lain dalam
  • 15. xv bahasa Nagekeo, sehingga penutur dapat memilih dan menggunakannya sesuai dengan ranah pembicaraan, latar belakang bahasa atau dialek dari lawan tutur, dan tujuan komunikasi tertentu. Selain itu, dapat juga membantu para guru dan subjek didik di sekolah-sekolah dalam wilayah bahasa Nagekeo mempelajari bahasa ibu sebagai bahasa budaya masyarakat pendukungnya serta membantu pemerintah daerah dalam hal pemekaran desa atau kecamatan agar mempertimbangkan kesamaan bahasa dan budaya masyarakatnya dengan bantuan wilayah dialek atau subdialek sebagai salah satu petunjuk satuan wilayah. 2. Konsep 2.1 Isolek Kridalaksana (1988:82), dalam makalahnya yang berjudul Masalah Metodologi dalam Rekonstruksi ‘Bahasa Melayu Purba’, mendefinisikan isolek sebagai bentuk yang statusnya entah bahasa entah dialek. Selain itu, Mahsun (1995:11) dalam bukunya Dialektologi Diakronis Sebuah Pengantar, mengatakan bahwa isolek digunakan sebagai istilah netral untuk perbedaan dialek atau bahasa. 2.2 Isoglos dan Berkas Isoglos Isoglos didefinisikan sebagai sebuah garis imajiner yang diterakan di atas sebuah peta bahasa (bdk. Keraf, 1984:161, dan bdk. pula Lauder, 1990:117). Selanjutnya, istilah isoglos disebut juga (garis) watas kata, yaitu garis yang memisahkan dua lingkungan dialek atau bahasa berdasarkan wujud atau sistem kedua lingkungan itu yang berbeda yang dinyatakan di dalam peta bahasa (Ayatrohaedi, 1979:5). Jadi, isoglos merupakan suatu garis imajiner yang ditarik di atas peta bahasa untuk memisahkan gejala kebahasaan berdasarkan variasi yang berbeda. 2.3 Dialek Panitia Atlas bahasa-bahasa Eropa mendefinisikan, dialek ialah sistem kebahasaan yang dipergunakan oleh suatu masyarakat untuk membedakannya dari masyarakat lainya yang bertetangga yang mempergunakan sistem yang berlainan tetapi erat hubunganya (Ayatrohaedi, 1979:1). 2.4 Variasi dalam Dialektologi Variasi (variation) yaitu ujud pelbagai manisfestasi bersyarat maupun tak bersyarat dari suatu satuan (Kridalaksana, 2001:225). Dipandang dari dimensi geografi, perubahan atau perbedaan yang disebut variasi ada yang terjadi secara teratur dan ada pula yang terjadi secara sporadis.
  • 16. xvi Variasi atau perbedaan unsur-unsur kebahasaan yang relevan dalam penelitian ini meliputi dua aspek, yaitu variasi yang berkenaan dengan variasi leksikon dan variasi fonologis. 1) Variasi Leksikon Menurut Mahsun (1995:54) yang dimaksudkan variasi atau perbedaan leksikon ialah jika leksem-leksem yang digunakan untuk merealisasikan suatu makna yang sama itu tidak berasal dari satu etimon prabahasa. Pengkajian perbedaan leksikon dilakukan berdasarkan pada pertimbangan bahwa bidang ini cukup menentukan dalam pengelompokan variasi atau perbedaan bahasa, sebagaimana dikatakan oleh Chambers dan Trudgill (1980:46, dan bdk. Grijns, 1976: 10). 2) Variasi Fonologis Menurut Mahsun (1995:23), yang dimaksudkan variasi atau perbedaan fonologi yaitu variasi yang berkenaan dengan perbedaan fonetik. Deskripsi variasi atau perbedaan unsur-unsur kebahasaan pada tataran fonologi yang dijadikan objek kajian dalam penelitian ini hanya ditekankan pada perbedaan fonem-fonem segmental. 2.5 Sifat Kajian Kajian dialektologi yang dilakukan dalam penelitian ini bersifat sinkronis. Artinya, aspek sinkronik (synchronic) itu didasarkan pada peristiwa penggunaan bahasa yang terjadi dalam suatu waktu atau masa yang terbatas; yaitu unsur bahasa yang digunakan sekarang ini oleh masyarakat pendukungnya. Hal ini sejalan dengan esensi dialektologi sinkronis yaitu bidang linguistik yang menyelidiki kebervariasian bahasa pada berbagai dialek pada waktu tertentu (Kridalaksana, 2000: 129, 198; bdk. pula Mahsun, 1995:13-14; bdk, Djajasudarma, 1993:7; Nothofer, 1981:6-7; dan Dhani, 1991:11). 2.6 Proses Fonologis 1) Proses Asimilasi Menurut Kridalaksana (2001:18) asimilasi (assimilation) adalah proses perubahan bunyi yang mengakibatkanya mirip atau sama dengan bunyi lain di dekatnya. Asimilasi dibedakan atas 3 macam, yaitu: a) Asimilasi Progresif Bila bunyi yang diasimilasikan terletak sesudah bunyi yang mengasimlasikan, artinya arah perubahan bunyi itu ke kanan (Kridalaksana 2001:18). Contoh: Bahasa Nagekeo ’putar’: kilu ~ kili
  • 17. xvii b) Asimilasi Regresif Asimilasi regresif, yaitu bila bunyi yang diasimilasikan itu mendahului bunyi yang mengasimilasikan, artinya arah perubahan bunyi itu ke kiri (Kridalaksana 2001:18). Contoh: ;jambul ayam’ lari manu ~ rari manu c) Asimilasi Resiprok Asimilasi resiprok, yaitu bila bunyi yang diasimilasikan itu mendahului bunyi yang mengasimilasikan, artinya arah perubahan bunyi itu ke kiri (Kridalaksana 2001:18). Contoh: ’delapan’ rua butu ~ ro butu 2) Proses Metatesis Metatesis yaitu perubahan bunyi yang berkaitan dengan pertukaran tempat fonem di antara dua bunyi (Kridalaksana 2001:136). Contoh: Bahasa Nagekeo: ’isap’ səmo ~ məso ’memoton ranting kayu’ soli ~ losi 3) Protesis yaitu penambahan segmen fonem di awal kata. Contoh Bahasa Nagekeo’ hidung’: izu ~ ŋizu ’kaki’ aʔi ~ waʔi ’putar’ īlu ~ kilu 4) Proses Afaresis Afaresis yaitu pelesapan bunyi pada posisi awal (Kridalaksana 2001:2), Contoh: Bahasa Nagekeo ’terbongkar’ : beɠa ~ bea 3. Teori Penelitian dialek geografis terhadap bahasa Nagekeo yang dilakukan ini mengacu pada teori dialektologi tradisional sebagai landasan kerja ilmiah. Prinsip dasar teori dialektologi tradisional ialah variasi unsur-unsur kebahasaan dalam tataran leksikon tidak dapat diterangkan hubungan perubahan fonem-fonem antara satu kata dengan kata yang lainnya, meskipun kata-kata itu mengacu kepada makna yang sama. Perbedaan-perbedaan leksikon antara satu lokasi dengan lokasi lainnya umumnya dipengaruhi oleh latar belakang sosial masyarakatnya sehingga setiap daerah secara manasuka memberikan nama yang berbeda-beda terhadap satu benda atau hal yang mengacu kepada makna yang sama. Pemberian nama yang berbeda terhadap suatu konsep yang sama muncul sebagai akibat dari pandangan yang berbeda-beda dari masyarakatnya terhadap benda atau hal itu sesuai dengan zat, wujud, sifat, keadaan, atau pun kegunaan dan sebagainya.
  • 18. xviii 4. Kajian Pustaka 4.1 Kajian Hasil-hasil Penelitian Sebelumnya Kajian pustaka yang dikerjakan di sini terbatas pada hasil-hasil penelitian dialek geografi dan dialek sosial yang dipandang erat relevansinya dengan penelitian dialek geografi terhadap kebervariasian isolek di Kabupaten Nagekeo, sebagaimana tampak dalam deskripsi berikut ini. 1) Penelitian Bahasa Sasak di Pulau Lombok pada tahun 1951 oleh A. Teeuw. 2) Penelitian Dialek Geografi Bahasa Nagekeo dalam bentuk skripsi yang dilakukan oleh Petrus Pita pada tahun 1984. 3) Penelitian Dialek Geografi Bahasa Ngadha yang dilakukan oleh Petrus Pita pada tahun 2002. 4) Penelitian Dialek Geografi Bahasa Sumba di Provinsi Nusa Tenggara Timur oleh A.A.Putra pada tahun 2007. 5) Penelitian tentang Relasi Historis Kekerabatan Bahasa Flores yang dilakukan oleh Inyo Fernandez pada tahun 1996. 4.2 Relevansi Kajian Pustaka Terhadap Penelitian Kebervariasian Isolek di Kabupaten Nagekeo Relevansi yang dapat ditarik dari kajian pustaka terhadap hasil-hasil penelitian dialek geografi, dialek sosial, dan hasil penelitian perbandingan bahasa- bahasa-bahasa Flores, meliputi hal-hal dberikut ini: 1) Pemilihan Teori, 2) Penggunaan Metode Analisis Data, 3) Penentuan Daerah Pengamatan, 4) Penentuan Informan, 5) Pembuatan Instrumen Penelitian, 6) Penggunaan Metode Penyediaan Data. 5. Metode Penelitian 5.1 Pemilihan dan Penomoran Lokasi Penelitian 5.1.1 Dasar Pertimbangan Pemilihan Lokasi Penelitian Secara ideal Gaston Paris menganjurkan agar penelitian dilakukan pada setiap masyarakat. Hal ini berarti bahwa secara ideal penelitian memang harus dilakukan pada setiap desa, pada setiap tempat, betapa pun kecil dan terpencilnya desa atau tempatnya itu (bdk. Ayatrohaedi, 1979:36; bdk. pula Mahsun, 1995:102- 105). Menjawabi sebagian anjuran Gaston Paris di atas, dalam penelitian dialek geografi bahasa Nagekeo ini, dipilih 50 desa dari 104 desa. 5.1.2 Penetapan Lokasi Penelitian Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara proporsional berdasarkan taraf kebervarian unsur-unsur bahasa yang terdapat dalam tuturan masyarakat dan jumlah desa (50 desa) pada berbagai satuan wilayah, yakni: 1) Kecamatan Aesesa
  • 19. xix 8 desa, 2) Kecamatan Aesesa Selatan 1 desa, 3) Kecamatan Nangaroro 5 desa, 4) Kecamatan Boawae 9 desa, 5) Kecamatan Mauponggo 6 desa, 6) Kecamatan Keo Tengah 10 desa, 7) Kecamatan Riung 1 desa, 8) Kecamatan Wolomeze 1 desa, 9) Kecamatan Golewa 2 desa, 12) Kecamatan Nangapanda 4 desa, 13) Kecamatan Soa 1 desa, dan 14) Kecamatan Maukaro 2 desa. 5.2 Instrumen Penelitian 5.2.1 Hakikat Daftar Pertanyaan Daftar pertanyaan (instrumen penellitian) yang dibuat untuk penelitian dialek geografi bahasa Nagekeo ini berisikan kosakata yang dapat mengeksplorasi variasi leksikon dan variasi fonologi, sedangkan bidang sintaksis terbatas pada upaya untuk mengecek silang jawaban informan yang sama pada item yang berbeda atau bahkan mengosongkan jawabannya dalam kuesioner dengan teknik wawancara mendalam. 5.2.2 Syarat Daftar Pertanyaan Untuk memperoleh hasil yang memuaskan, daftar pertanyaan dalam penelitian ini mengacu pada syarat-syarat umum (Ayatrohaedi, 1979: 38-39; bdk. Mahsun, 1995:106-112), sebagai berikut. 1) Daftar pertanyaan dalam penelitian ini diusahakan untuk menampilkan berbagai variasi tutur (ciri istimewa) yang terdapat dalam bahasa Nagekeo. Jawaban inilah yang kemudian diidentifikasi sebagai ciri penentu status isolek baik variasi secara leksikon maupun secara fonologis. 2) Daftar pertanyaan disusun berdasarkan pengelompokan medan makna dengan mempertimbangkan sifat dan keadaan budaya masyarakat bahasa Nagekeo. 3) Daftar pertanyaan disusun secara mudah dan sederhana, dengan harapan agar informan dapat memberikan jawaban secara langsung dan spontan dan jawaban yang pertama kali diberikan dipandang sebagai jawaban yang paling tepat. 5.2.3 Susunan Daftar Pertanyaan Daftar pertanyaan yang disusun untuk penelitian dialek geografi bahasa Nagekeo ini berisikan 1.000 Kosakatayang diharapkan dapat mengeksplorasi variasi leksikon dan variasi fonologis. Susunan daftar pertanyaan dikelompokkan menurut medan makna agar informan dapat memberikan jawaban yang langsung dan spontan. Untuk keperluan tersebut, daftar pertanyaan disusun berdasarkan tautan arti sesuai dengan medan maknanya masing-masing. Artinya, hal-hal yang mempunyai tautan arti tertentu dikelompokkan dalam kelompok yang sama.
  • 20. xx 5.2.4 Cakupan Daftar Pertanyaan Daftar pertanyaan yang dibuat untuk menjaring data dalam penelitian ini berupa daftar pertanyaan leksikon. Artinya, daftar pertanyaan ini berupa daftar kata-kata dalam berbagai ranah kehidupan masyarakat, dengan mempertimbangkan variasi fonologis dan variasi leksikon yang ada dalam berbagai dialek (bdk. Lauder, 1990:70). Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, cakupan daftar pertanyaan dalam penelitian ini (bdk. Ayatrohaedi, 1979: 41; bdk. Mahsun 1995:107-112; dan bdk. Lauder, 1990:70) meliputi dua segi, yaitu: 1) segi leksikon, 2) segi fonetik. 5.3 Syarat Informan Pengumpulan data dilakukan dengan mendatangi 50 desa atau kelurahan yang telah ditetapkan sebagai daerah pengamatan. Mengacu kepada pendapat Samarin yang mengatakan bahwa penelitian dialektologi membutuhkan banyak informan dan pendapat Uhlenbeck yang mengatakan bahwa seorang ahli bahasa hendaknya jangan bertumpu pada seorang informan saja karena penggunaan lebih dari satu informan dapat memberikan gambaran yang lebih objektif mengenai situasi kebahasaan setempat (Lauder, 1990:84; badk. Mahsun, 1995:106), dalam penelitian ini dipilih satu orang informan pada setiap daerah pengamatan sebagai informan kunci dan dua orang informan pembantu. 5.4 Metode Penyediaan Data Metode penyediaan data yang digunakan dalam penelitian ini, meliputi: 1) Metode Lapangan. Aplikasi metode lapangan dilakukan dengan teknik-teknik: a) Teknik Perekaman, b) Teknik Tanya - Catat Langsung, c) Teknik Bertanya Langsung, d) Teknik Bertanya Taklangsung, e) Teknik Memancing Jawaban, f) Teknik Peragaan. 2) Metode Menyimak 5.5 Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ialah metode dialektometri. Rumus yang digunakan dalam dialektometri, ialah: (S x 100) = d % n Keterangan: S = jumlah beda dengan daerah pengamatan lain n = jumlah peta yang diperbandingkan d = jarak Kosakatadalam persentase
  • 21. xxi Hasil penghitungan itu digunakan untuk menentukan hubungan antardaerah pengamatan berdasarkan pemilahan Seguy (Mahsun, 1995:118) seperti berikut ini. 1) 81% ke atas : dianggap perbedaan bahasa (langue) 2) 51-81% : dianggap perbedaan dialek (dialecte) 3) 31-50% : dianggap perbedaan subdialek (sousdialecte 4) 21-30% : dianggap perbedaan wicara (parler) 5) Di bawah 20% : dianggap tidak ada perbedaan. 5.6 Metode Penyajian Data Hasil analisis disajikan melalui dua cara (Mahsun, 1995:148-149; bdk. Mahsun, 2005:116-117), yaitu: 1) perumusan dengan kata-kata biasa, termasuk penggunaan terminologi yang bersifat teknis; 2) perumusan dengan tanda-tanda atau lambang-lambang. 6. Gambaran Umum Daerah Penelitian 6.1 Sejarah Singkat Terbentuknya Nagekeo pada Zaman Belanda Tiap-tiap subetnik yang mendiami wilayah Nagekeo sekarang ini pada tahun 1911 oleh Pemerintahan Kolonial Belanda dibentuk menjadi dua kerajaan, yaitu: 1) Kerajaan Nage untuk wilayah Tengah, Utara, dan Timur dengan Rajanya Oga Ngole berkedudukan di Boawae. Masyarakatnya disebut orang Nage atau etnik Nage; 2) Kerajaan Keo untuk wilayah Selatan dengan Rajanya Muwa Tunga berkedudukan di Kota. Masyarakatnya disebut orang Keo atau etnik Keo. Pada tahun 1928 Pemerintahan Kolonial Belanda menggabungkan Kerajaan Nage dan Kerajaan Keo menjadi satu kerajaan saja dengan nama Kerajaan Nagekeo dan rajanya Oga Ngole yang berkedudukan di Boawae. 6.2 Sejarah Pembentukan Kabupaten Nagekeo Kabupaten Nagekeo dibentuk berdasarkan berbagai pertimbangan (Nagekeo dalam angka, 2009:vii-viii), seperti: 1) Melalui Undang-Undang No. 69 Tahun 1958 yang secara integral memasukkan wilayah Nagekeo sebagai bagian dari wilayah Kabupaten Ngada dan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. 2) Melalui Peraturan Pemerintah No. 129 tahun 2000 Tentang Pembentukan, 3) Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. 4) Melalui Surat Pernyataan DPR-GR Kabupaten Ngada No. 1 Tahun 1965.
  • 22. xxii 5) DPR-GR Kabupaten Ngada mengajukan permohonan kepada Pemerintah Agung RI agar Kabupaten Ngada dibagi menjadi dua kabupaten yakni Kabupaten Nagekeo dan Kabupaten Ngada. 6) Melalui keputusan dari Pemerintah Agung RI untuk membagi Kabupaten Ngada menjadi 2 kabupaten, yaitu Kabupaten Ngada dan Kabupaten Nagekeo. 7) Melalui Surat Rekomendasi Bupati Ngada No. 594/PEM/10/2003 perihal Usulan Pembentukan Kabupaten Nagekeo sebagai Pemekaran dari Kabupaten Ngada, dan usulan Gubernur NTT melalui Surat Usulan Gubernur NTT kepada Menteri Dalam Negeri NO.PEM.135/02/2004 tentang Usulan Pembentukan Kabupaten Nagekeo sebagai Pemekaran Kabupaten Ngada dalam Provinsi Nusa Tenggara Timur. 8) Melalui dukungan DPRD Kabupaten Ngada dengan mengeluarkan Keputusan DPRD Kabupaten Ngada No. 14 Tahun 2003 tentang persetujuan dan dukungan terhadap usulan Pembentukan Kabupaten Nagekeo sebagai Pemekaran dari Kabupaten Ngada dan DPRD NTT dengan keluarnya Keputusan DPRD Provinsi NTT No. 4/PIM.DPRD/2004 tentang pemberian dukungan bagi pemekaran Kabupaten Ngada. 6.3 Keadaan Geografi 6. 3.1 Topografi Kabupaten Nagekeo terletak di antara 80 26’00” - 80 64’ 40” Lintang Selatan dan 1210 6’20” – 1210 32’00” Bujur Timur. Kabupaten Nagekeo berbatasan dengan (Nagekeo dalam angka, 2009:4): * Utara dengan Laut Flores * Selatan dengan Laut Sawu * Timur dengan Kabupaten Ende * Barat dengan Kabupaten Ngada 6.3.2 Iklim Kabupaten Nagekeo tergolong daerah yang beriklim tropis. Sebagai daerah yang beriklim tropis, perubahan suhu tidak dipengaruhi oleh pergantian musim tetapi ditentukan oleh perbedaan ketinggian dari permukaan laut. 6.3.3 Fauna dan Flora Wilayah Kabupaten Nagekeo hampir sebagian besar daerahnya adalah padang rumput yang ditumbuhi pepohonan seperti pohon lontar, asam, kayu manis, kemiri, dan sebagainya. (Nagekeo dalam angka, 2009:4).
  • 23. xxiii 6.4 Wilayah Administrasi dan Penduduk 6.4.1 Wilayah Administrasi Wilayah Kabupaten Nagekeo (Nagekeo dalam angka, 2009:3-12) terdiri dari 7 wilayah kecamatan, 78 desa dan 15 kelurahan. 6.4.2 Luas Wilayah Berdasarkan data pada tahun 2009 (Nagekeo dalam angka, 2009:6-10), luas wilayah Kabupaten Nagekeo 1.416,96 km2 . (Nagekeo dalam angka, 2009:6- 10). 6.4.3 Jumlah Penduduk Jumlah penduduk berdasarkan data tahun 2009 sebanyak 127.006 jiwa (Nagekeo dalam angka, 2009:4). 6.5 Kepercayaan dan Agama Kepercayaan dan agama yang dianut oleh masyarakat Nagekeo dapat dijelaskan sebagai berikut. 1) Pada zaman dahulu (leluhur Nagekeo) masyarakat Nagekeo termasuk kelompok masyarakat animisme yang percaya kepada kekuatan alam jagad raya, yaitu alam langit yang dikenal dengan nama Dewa Zeta, dan alam bumi yang dikenal dengan nama Ga’e Zale. 2) Pada zaman agama wahyu, masyarakat Nagekeo memeluk agama Katolik sebagai agama mayoritas dan agama Islam (terutama di kota dan daerah pesisir pantai). 6.6 Objek Parwisata (Tourism Destination) Kabupaten Nagekeo merupakan salah satu kabupaten di Pulau Flores yang kaya dengan objek wisata alam, seperti panorama alam di pantai Ena Gera Kecamatan Mauponggo, sumber air panas yang terdapat di Puta Kecamatan Aesesa; sumber air panas Agi di Desa Tenga Tiba Kecamatan Aesesa Selatan dan Air Terjun Ngaba Tata di Desa Rendu Butowe Kecamatan Aesesa Selatan; Wisata budaya seperti peninggalan batu rumah adat tradisioanl, pola perkambungan adat di Kampung Adat Renduola di Rendu; Peo Adat (Rendu, Lambo, Lape, Gero, Raja), dan kerajinan tangan tenun ikat, seperti hoba Nage di Nage Tengah dan Utara, ragi Mbay di Nage Utara. 7. Penghitungan Jarak Kosakata 7.1 Penghitungan Jarak KosakataBerdasarkan Dialektometri Metode yang digunakan untuk menentukan status bahasa, dialek, dan subdialek dari isolek-isolek di Kabupaten Nagekeo adalah metode Dialektometri
  • 24. xxiv leksikal yang diperkenalkan oleh Jean Seguy (1973). dengan rumus yang digunakan, ialah: (S x 100) = d % n Keterangan: S = jumlah beda dengan daerah pengamatan lain n = jumlah peta yang diperbandingkan d = jarak Kosakatadalam persentase Hasil penghitungan itu digunakan untuk menentukan hubungan antardaerah pengamatan berdasarkan pemilahan Seguy (Mahsun, 1995:118) seperti berikut ini. 1) 1) 81% ke atas : dianggap perbedaan bahasa (langue) 2) 2) 51-80% : dianggap perbedaan dialek (dialecte) 3) 3) 31-50% : dianggap perbedaan subdialek (soubdialecte) 4) 4) 21-30% : dianggap perbedaan wicara (parler) 5) 5) Di bawah 20% : dianggap tidak ada perbedaan. 7.2 Pengelompokan Status Isolek sebagai Bahasa, Dialek, dan Subdialek Penentuan status isolek sebagai bahasa, dialek, dan subdialek ditetapkan dengan mengacu pada hasil penghitungan persentase dialektometri keseluruhan medan makna dan hasil penghitungan persentase dialektometri dengan permutasi, seperti yang tampak berikut ini. Tabel 1: Pengelompokan Status Isolek Parameter Status Isolek Bahasa Dialek Subdialek 1. Dialektometri Leksikon Keseluruhan Medan Makna 2-6:81% 1-3:54 % 4-5:59% 3-13:41% 14-24:42% 5-7:85% 1-13:62% 5-6:66 % 3-14:42% 14-25:44% 2-3:58 % 5-12:63% 4-14:42 % 17-21:31% 2-4:69% 13-14:53% 6-8:35% 18-21:31% 8-10:37% 19-21:33% 9-10: 32% 21-22:38% 10-20:35% 27-35:31% 11-16:33% 34-35:31% 13-26:31% 34-36:32% 13-35:35% 36-46:36% 14-15:40% No. Bahasa Dialek Subdialek 2. Dialektometri dengan Permutasi 21-5:82% 21-4:52% 5-39:64% 5-12:62% 5-40: 65% 5-15:61% 5-45:64% 5-16:61% 5-48:64% 5-22:61% 5-49:65%
  • 25. xxv 5-23:63% 1-12:63% 5-28:63% 1-14:65% 5-29:60% 1-16:63% 5-30:61% 1-27:63% 5-31:64% 1-30:63% 5-32:62% 1-39:64% 7.3 Pengelompokan Bahasa Mengacu pada tabel pengelompokan status isolek berdasarkan persentase dialektometri keseluruhan medan makna dan persentase dialektometri dengan permutasi di atas, selanjutnya dilakukan pengelompokan bahasa seperti berikut ini. 1) Bahasa Mbay/ Riung dan Dialek-dialeknya Penetapan persentase tertinggi sebagai bahasa berdasarkan dialektometri antartitik pengamatan terdapat pada TP 5 di Desa Nggolombay dan TP 7 Desa Olaia sebesar 85%. Melalui pendekatan konfirmasi dengan pola-pola isoglos keseluruhan medan makna, ditemukan bahwa TP 5 berada dalam satu pola dengan TP 1 dan 2 dari satuan wilayah Mbay/Riung sehingga status isolek pada satuan wilayah ini ditetapkan sebagai bahasa Mbay/Riung. Bahasa Mbay/Riung dalam penelitian ini yang digunakan pada TP 1,2 dan 5 didukung oleh 3 dialek, yaitu: (1) Dialek Lengkosambi (sebesar 67% yang terdapat di antara TP 1 di Desa Lengkosambi dengan TP 35 di Desa Sarasedu). (2) Dialek Nggolonio (sebesar 69% yang terdapat di antara TP 2 di Desa Nggolonio dengan TP 4 di Desa Dhawe). (3) Dialek Nggolombay (sebesar 66% yang terdapat di antara TP 5 di Desa Nggolombay dengan TP 6 di Desa Lape). 2) Bahasa Nagekeo dan Dialek-dialeknya Bahasa Nagekeo yang digunakan pada TP 3, 4, 6--9, 11, 12, 15--20, 22--34, 37--50 dan daerah perbatasan di Kabupaten Ngada pada TP 13, 14, 35, 36 meliputi dialek-dialek sebagai berikut. (1) Dialek Boawae (sebesar 63% (antara TP 1 di Desa Lengkosambi dengan TP 27 di Desa Natanage). Dialek Boawae ini meliputi subdialek-subdialek sebagai berikut). a) Subdialek Rawe (sebesar 44% antara TP 14 di Desa Mengeruda dengan TP 25 di Desa Nagerawe); b) Subdialek Rowa (sebesar 42% antara TP 21 di Desa Kerirea dengan TP 26 di Desa Rowa) ). c) Subdialek Kelewae (sebesar 34% antara TP 8 di Desa Tendambepa dengan TP 34 di Desa Kelewae).
  • 26. xxvi (2) Dialek Dhawe (sebesar 69% (antara TP 4 di Desa Dhawe dengan TP 2 di Desa Nggolonio. (3) Dialek Munde (sebesar 58% antara TP 3 Desa Tedamude dengan TP 2 Desa Nggolonio. (4) Dialek Lape-Ia (sebesar 66% % antara TP 6 di Desa Lape dengan TP 5 di Desa Nggolombay). (5) Dialek Lambo (sebesar 63% antara TP 12 di Desa Labolewa dengan TP 5 Desa Nggolombay). (6) Dialek Dhereisa (sebesar 61% antara TP 15 di Desa Dhereisa dengan TP 5 di Desa Nggolombay). (7) Dialek Rendu (sebesar 63% antara TP 16 Desa Renduwawo dengan TP 1 di Desa Lengkosambi. (8) Dialek Ndora (sebesar 61% antara TP 22 di Desa Bidoa dengan TP 5 di Desa Nggolombay). (9) Dialek Jaduro (Raja, Wudu, Gero) (sebesar 63% antara TP 23 di Desa Raja dan TP 28 di Desa Wolopogo dengan TP 5 di Desa Nggolombay). Dialek Jaduro (Raja, Wudu, Gero) ini meliputi Subdialek Gero (sebesar 42% antara TP 24 di Desa Gerodhere dengan TP 14 di Desa Mengeruda). (10) Dialek Kelimado (sebesar 60% antara TP 29 Desa Kelimado dengan TP 5 di Desa Nggolombay). (11) Dialek Kotakeo (sebesar 64% (antara TP 31 Desa Kotakeo dengan TP 5 di Desa Nggolombay). (12) Dialek Wolowae atau Dialek Toto (sebesar 65% antara TP 11 di Desa Natatoto dengan TP 1 di Desa Lengkosambi). Dialek Wolowae atau Dialek Toto ini meliputi Subdialek Utetoto (sebesar 32% (antara TP 17 di Desa Utetoto dengan TP 21 di Desa Kerirea). (13) Dialek Oja (sebesar 63% antara TP 19 Desa Tendambepa dengan TP 1 di Desa Lengkosambi). Dialek Oja ini meliputi subdialek-subdialek sebagai berikut ini. a) Subdialek Watumite (sebesar 33% (antara TP 18 di Desa Watumite dengan TP 21 di Desa Kerirea). b) Subdialek Tendarea (sebesar 35% (antara TP 20 di Desa Tendarea dengan TP 10 di Desa Kebirangga). (14) Dialek Lejo (sebesar 65% antara TP 32 Desa Selalejo dengan TP 38 di Desa Wuliwalo). Dialek Lejo ini meliputi Subdialek Wolokisa (sebesar 34% antara TP 37 Desa di Desa Wolokisa dengan TP 8 di Desa Tendambepa). (15) Dialek Aewoe (sebesar 66% antara TP 46 Desa Aewoe dengan TP 1 di Desa Lengkosambi).
  • 27. xxvii (16) Dialek Kotagana (sebesar 65% antara TP 47 Desa Kotagana dengan TP 1 di Desa Lengkosambi). (17) Dialek Wajo (sebesar 65% (antara TP 50 Desa Udiworowatu dengan TP 1 di Desa Lengkosambi dan antara TP 40 di Desa Wajo dengan TP 5 di Desa Nggolombay). (18) Dialek Romba (sebesar 66% (antara TP 45 Desa Witurombaua dengan TP 1 di Desa Lengkosambi). (19) Dialek Riti - Woko (sebesar 65% antara TP 42 di Desa Wokodekororo dengan TP 1 di Desa Lengkosambi). (20) Dialek Sara – Taka (Sarasedu – Takatunga) (sebesar 67% antara TP 35 di Desa Sarasedu dengan TP 1 di Desa Lengkosambi). Wilayah pakai Dialek Sara – Taka ini terdapat di daerah perbatasan antara Kabupaten Nagekeo dengan Kabupaten Ngada. (21) Dialek Soa (sebesar 65% (antara TP 14 Desa Mengeruda dengan TP 1 di Desa Lengkosambi). Wilayah pakai Dialek Soa ini terdapat di daerah perbatasan antara Kabupaten Nagekeo dengan Kabupaten Ngada. (22) Dialek Poma (sebesar 62% antara TP 13 Desa Denatana dengan TP 1 di Desa Lengkosambi). 3) Bahasa Ende dan Dialek-dialeknya Penetapan persentase tertinggi untuk Bahasa Ende berdasarkan dialektometri dengan permutasian dari Timur ke Barat terdapat pada TP 5 di Desa Nggolombay dengan TP 21 di Desa Kerirea sebesar 82%. Melalui pendekatan konfirmasi dengan pola-pola isoglos keseluruhan medan makna, ditemukan bahwa TP 21 itu berada dalam satu pola dengan TP 10 di Desa Kebirangga dari satuan wilayah Ende; sehingga status isolek pada TP ini ditetapkan sebagai Bahasa Ende. Selanjutnya, bahasa Ende dalam wilayah penelitian ini terdiri atas 2 dialek, yaitu: (1) Dialek Maukaro sebesar 66% (yang terdapat di antara TP 1 di Desa Lengkosambi dengan TP 10 di Desa Kebirangga. (2) Dialek Nangapanda sebesar 52% (yang terdapat di antara TP 14 Desa Mengeruda dengan TP 21 Desa Kerirea. 8. Deskripsi Fonologis 8.1 Penentuan Fonem Melalui pendekatan pasangan minimal ditemukan bahwa: 1) Fonem vokal dalam bahasa Nagekeo berjumlah 6 (enam) buah, yaitu: a, i, u, e, ә, o.
  • 28. xxviii TABEL 30 VOKOID BAHASA NAGEKEO DEPAN PUSAT BELAKANG ATAS i - - - u o ATAS - KENDUR I - ī - ū ō TENGAH- KENDUR α - ē ә U O BAWAH a - - - - ā 2) Fonem konsonan dalam bahasa Nagekeo berjumlah dua puluh satu (21) buah, yaitu: p, b, ɓ, m, f, t, d, ɗ, n, l, r, c, j, h, s, z, k, g, ɠ, ŋ, ʡ. 3) Fonem semi vokal dalam bahasa Nagekeo berjumlah dua (2) buah, yaitu: w dan y Tabel Diagram Konsonan ARTIKULATOR DAN TITIK ARTIKULASI HAMBAT- AN UDARA YANG KE- LUAR DARI PARU-PARU Bi- la- bi- al La- bio den- tal Api- ko al- veo- lar La- mi- no pa- la- tal Me- dio pa- la- tal Dor- so- ve- lar Uvu- lar Fari- ngal Glo- tal NASAL B m - n - - ŋ - - - HAMBAT EKSPLOSIF TB p - t - - - k - ʡ B b - d - - g - - HAMBAT IMPLOSIF - - - - - - FRIKATIF TB - f s - c - - h - B - z - j - - - LATERAL B - - l - - - - - - TRILL=GETAR B - - r - - - - - - LUNCURAN SEMIVOKAL B - w - - y - - - - 8.2 Variasi Fonem dalam Dimensi Geografi Dialek Variasi-variasi segmen fonem dalam Bahasa Nagekeo dibedakan atas dua macam, yaitu: variasi teratur dan variasi tidak teratur (sporadis). ɓ ɗ ɠ
  • 29. xxix 8.2.1 Variasi Teratur Variasi segmen fonem dikatakan teratur jika realisasi variasi fonem berupa alofon-alofon itu terjadi pada glos-glos yang berbeda pada berbagai titik pengamatan yang sama. Variasi-variasi segmen bunyi berupa alofon-alofon dalam berbagai isolek di Kabupaten Nagekeo, oleh penuturnya dijadikan sebagai ciri pengenal dan pembeda wilayah dialek/subdialek karena varian-varian itu digunakan secara konsisten dan berulang dalam berbagai glos pada satuan wilayah/daerah tertentu. Variasi segmen fonem yang terjadi secara teratur dalam berbagai isolek di Kabupaten Nagekeo yang dipandang signifikan sebagai ciri pengenal dan pembeda wilayah dialek/subdialek secara geografis hanya ditemukan pada variasi fonem konsonan sedangkan variasi fonem vokal terjadi secara tidak teratur atau sporadis. Dalam penelitian ini ditemukan 6 (enam) buah fonem konsonan yang mengalami variasi teratur, seperti yang dideskripsikan berikut ini. 8.2.1.1 Varian Teratur Konsonan /b/ ≈ Alofon [b], [bh ], [m b] / #__V Identifikasi variasi alofon [b], [bh ], dan [m b] dilakukan berdasarkan pemakaian varian alofon-alofon itu pada berbagai titik pengamatan dalam Bahasa Nagekeo, Bahasa Mbay, dan Bahasa Ende. a) Wilayah Bahasa Nagekeo (1) Alofon bilabial [b] menjadi ciri pemakaian di: (a) Wilayah Nage – Tengah Utara pada Dialek Munde, yang terdapat pada TP 3, Dialek Dhawe pada TP 4, Dialek Lape–Ia pada TP 6, 7, Dialek Lambo pada TP 12, Dialek Dhereisa pada TP 15, Dialek Rendu pada TP 16. (b) Wilayah Nage - Tengah Selatan pada Dialek Ndora pada TP 22,30, Dialek Jaduro (Raja, Wudu, Gero) pada TP 23, 24, 28, Dialek Kotakeo pada TP 31, 41, 44. (c) Wilayah Nage - Tengah yang terdapat pada Dialek Boawae pada TP 25,26, 27, 34. (d) Wilayah Keo–Barat, yang terdapat pada Dialek Lejo pada TP 32, 33, 37, 38; Dialek Aewoe pada TP 46; Dialek Kotagana pada TP 47; Sara – Taka pada TP 35, 36; dan Dialek Soa – Poa pada TP 13, 14. (2) Alofon bilabial beraspirasi [bh ] menjadi ciri pemakaian di wilayah Nage Utara –Timur yang terdapat Dialek Toto atau Dialek Wolowae pada TP 8, 11, 17 dan Dialek Oja pada TP 18. (3) Alofon bilabial pranasal [m b] menjadi ciri pemakaian di: (a) Wilayah Keo - Tengah pada Dialek Kotowuji pada TP 39, 40, 48, 49, 50; dan Dialek Romba pada TP 45.
  • 30. xxx (b) Wilayah Keo – Timur yang terdapat pada Dialek Riti-Woko pada TP 42, 43. (c) Wilayah Nage Utara – Timur, yang terdapat pada Dialek Oja pada TP 9, 19, 20. (4) Alofon bilabial beraspirasi [bh ] dan Alofon bilabial berpranasal /m b/ dikenal dan digunakan secara bersama di wilayah Nage Utara - Timur yang terdapat di wilayah Dialek Toto atau Dialek Wolowae pada TP 17 di Desa Utetoto karena desa ini sejak zaman dahulu terletak di daerah transisi dengan wilayah Bahasa Ende yang menggunakan alofon bilabial berpra- nasal /m b/. b) Wilayah Bahasa Mbay Konsonan bibial berpranasal /m b/ menjadi ciri pemakaian dari: (1) Dialek Lengkosambi yang terdapat pada pada TP 1. (2) Dialek Nggolonio yang terdapat pada TP 2. (3) Dialek Nggolombay yang terdapat pada TP 5. c) Wilayah Bahasa Ende Alofon bibial berpranasal [m b] menjadi ciri pemakaian dari: (1) Dialek Maukaro yang terdapat pada TP 10 Desa Kebirangga (2) dialek Nangapanda yang terdapat pada TP 21 Desa Kerirea. 8.2.1.2 Varian Teratur Konsonan /d/ ≈ Alofon [d] dan [n d] / #__V Identifikasi variasi alofon [d] dan [n d] dilakukan berdasarkan pemakaian varian alofon itu pada berbagai titik pengamatan dalam Bahasa Nagekeo, Bahasa Mbay, dan Bahasa Ende, seperti terlihat pada tabel di atas. 1) Wilayah Bahasa Nagekeo a) Alofon dental [d] menjadi ciri pemakaian di wilayah-wilayah berikut ini, (1) Wilayah Nage - Tengah Utara, yang terdapat Dialek Munde pada TP 3; Dialek Dhawe pada TP 4; Dialek Lape – Ia pada TP 6,7; Dialek Lambo pada TP 12; Dialek Dhereisa pada TP 15; Dialek Rendu pada TP 16. (2) Wilayah Nage Tengah – Selatan yang terdapat Dialek Ndora pada TP 22, 30; Dialek Jaduro (Raja, Wudu, Gero) pada TP 23, 24, 28; Dialek Boawae yang terdapat pada TP 25-27,25-27, 34; Dialek Kelimado pada TP 29;13,14,Dialek Kotakeo pada TP 31; Dialek Sara - Taka pada TP 35, 36. (3) Wilayah Keo – Barat yang terdapat Dialek Lejo pada TP 37, 38; Dialek Aewoe pada TP 46; Dialek Kotagana pada TP 47. b) Alofon dental berpranasal [n d] menjadi ciri pemakaian di wilayah-wilayah berikut ini. (1) Wilayah Nage Utara – Timur, yang terdapat pada Dialek Toto atau Dialek Wolowae pada TP 8, 9, 11, 17; Dialek Oja pada TP 18, 19, 20.
  • 31. xxxi (2) Wilayah Keo Tengah, yang terdapat pada Dialek Kotowuji pada TP 39, 40, 48-50 (3) Wilayah Keo Timur, yang terdapat pada Dialek Riti – Woko pada TP 42, 43. (4) Wilayah Keo Barat, yang terdapat pada Dialek Lejo pada TP 32, 33; Dialek Aewoe pada TP 46; dan Dialek Kotagana pada TP 47. c) Alofon dental [d] dan dental berpranasal [n d] digunakan secara bersama di wilayah Keo Barat yang terdapat di wilayah Dialek Ladolima Utara pada TP 41, wilayah Dialek Ladolima pada TP 44, wilayah Dialek Witurombaua pada TP 45, wilayah Dialek Aewoe pada TP 46 dan Dialek Kotagana pada TP 47 karena wilayah ini terletak di daerah transisi dengan wilayah Keo Tengah. 2) Wilayah Bahasa Mbay Alofon dental berpranasal [n d] menjadi ciri pemakaian pada. (1) Dialek Lengkosambi yang terdapat pada TP 1. (2) Dialek Nggolonio yang terdapat pada TP 2. (3) Dialek Nggolombay yang terdapat pada TP 5. 3) Wilayah Bahasa Ende Alofon dental berpranasal [n d] menjadi ciri pemakaian pada: (1) Dialek Maukaro yang terdapat pada TP 10 Desa Kebirangga (2) dialek Nangapanda yang terdapat pada TP 21 Desa Kerirea. 8.2.1.3 Varian Teratur Konsonan /g/ ≈ Alofon [g] dan [ŋ g] / #__V Identifikasi varian alofon velar [g] dan velar berpranasal [ŋ g] dilakukan berdasarkan pemakaian varian-varian alofon itu pada berbagai titik pengamatan dalam Bahasa Nagekeo, Bahasa Mbay, dan Bahasa Ende. 1) Wilayah Bahasa Nagekeo a) Varian alofon velar [g] menjadi ciri pemakaian di: (1) Wilayah Nage Tengah - Utara yang terdapat pada Dialek Munde pada TP 3; Dialek Dhawe yang terdapat pada TP 4; Dialek Lape - Ia yang terdapat pada TP 6, 7; Dialek Lambo yang terdapat pada RP 12; Dialek Dhereisa yang terdapat pada TP 15; Dialek Rendu terdapat pada TP 16. (2) Wilayah Nage Tengah - Selatan yang terdapat pada Dialek Ndora pada TP 22, 30; Dialek Jaduro (Raja, Wudu, Gero) pada TP 23, 24, 28; Dialek Kelimado pada TP 29; Dialek Kotakeo pada TP 31, 41, 44; Dialek Boawae pada TP 25, 26, 27, 34; Dialek Sara – Taka pada TP 35, 36; Dialek Soa – Poma pada TP 13, 14. (3) Wilayah Keo - Barat yang terdapat pada Dialek Lejo pada TP 32, 33, 37, 38; Dialek Aewoe pada TP 46.
  • 32. xxxii (3) Wilayah Dialek Toto atau Dialek Wolowae terdapat pada TP 8, 9, 11; Dialek Oja terdapat pada TP 17, 18; b) Varian alofon velar berpranasal [ŋ g] menjadi ciri pemakaian di: (1) Wilayah Nage Utara - Timur yang terdapat pada dialek Toto atau Dialek Wolowae pada TP 9,17; Dialek Oja terdapat pada TP 19, 20. (2) Wilayah Keo – Tengah yang terdapat pada Dialek Kotowuji pada TP 39, 40, 45, 48--50; Dialek Romba yang terdapat pada TP 45. c) Varian alofon velar [g] dan velar berpranasal [ŋ g] digunakan secara bersama di wilayah Nage Utara–Timur yang terdapat di wilayah Dialek Toto atau Dialek Wolowae pada TP 17 di Desa Utetoto karena desa ini sejak zaman dahulu terletak di daerah transisi dengan wilayah Bahasa Ende yang menggunakan alofon velar berpranasal [ŋ g]. 2) Wilayah Bahasa Mbay Alofon velar berpranasal [ŋ g] menjadi ciri pemakaian pada (1) Dialek Lengkosambi yang terdapat pada TP 1, (2) Dialek Nggolonio yang terdapat pada TP 2, (3) Dialek Nggolombay yang terdapat pada TP 5. 3) Wilayah Bahasa Ende Alofon velar berpranasal [ŋ g] menjadi ciri pemakaian pada: (1) Dialek Maukaro yang terdapat pada TP 10 Desa Kebirangga (2) dialek Nangapanda yang terdapat pada TP 21 Desa Kerirea. 8.2.1.4 Varian Teratur Konsonan Apiko Alveolar /z/ ≈ Alofon [z], [r], [R], [s], [y]/ #__V Identifikasi varian alofon [z], [r], [s], [y] dilakukan berdasarkan pemakaian varian alofon itu pada berbagai titik pengamatan dalam Bahasa Nagekeo, Bahasa Mbay, dan Bahasa Ende. 1) Wilayah Bahasa Nagekeo a) Varian alofon apiko alveolar [z] menjadi ciri pemakaian di: (1) Wilayah Nage Tengah-Utara, yang terdapat Dialek Munde pada TP 3; Dialek Dhawe pada TP 4; Dialek Lape – Ia pada TP 6,7; Dialek Lambo pada TP 12; Dialek Dhereisa pada TP 15; Dialek Rendu pada TP 16 (2) Wilayah Nage Utara–Timur, yang terdapat pada Dialek Toto atau Dialek Wolowae pada TP 11, 17 dan Dialek Oja pada TP 20. (3) Wilayah Nage Tengah – Selatan, yang terdapat pada Dialek Ndora pada TP 22, 30; Dialek Jaduro (Raja, Wudu, Gero) pada TP 23, 24, 28; Dialek Kelimado pada TP 29. (4) Wilayah Nage Tengah, yang terdapat pada Dialek Boawae pada TP 25-27.
  • 33. xxxiii (5) Wilayah perbatasan Kabupaten Nagekeo, dengan Kabupaten Ngada yang terdapat pada Dialek Sara – Taka pada TP 35. b) Varian alofon tril [r] menjadi ciri pemakaian pada wilayah berikut ini. (1) Wilayah Nage Tengah yang terdapat pada Dialek Boawae pada TP 34. (2) Wilayah perbatasan Kabupaten Nagekeo dengan Kabupaten Ngada yang terdapat pada Dialek Sara - Taka pada TP 36. (3) Wilayah Keo – Barat pada yang terdapat pada Dialek Lejo yang terdapat pada TP 32, 33, 37, 38; Dialek Aewoe pada TP 46. (4) Wilayah Keo Tengah yang terdapat pada Dialek Kotowuji pada TP 39, 40, 48--50; Dialek Romba pada TP 45. (5) Wilayah Keo Timur yang terdapat pada Dialek Riti - Woko pada TP 42, 43. (6) Wilayah Nage Utara – Timur, yang terdapat pada Dialek Watu Mite pada TP 18 c) Varian alofon apiko alveolar dan tril [z,r] menjadi ciri pemakaian pada Dialek Wolowae pada TP 8. d) Varian alofon semivokal [y] menjadi ciri pemakaian di: (1) Wilayah Nage Utara – Timur, yang tedapat pada Dialek Toto atau Dialek 19. (2) Wilayah Nage Tengah – Selatan, yang tedapat pada Dialek Kotakeo pada TP 31, 41, 44. 2) Wilayah Bahasa Mbay Varian alofon desis [s] menjadi ciri pemakaian pada: (a) Dialek Lengkosambi yang terdapat pada TP 1. (b) Dialek Nggolonio yang terdapat pada TP 2. (c) Dialek Nggolombay yang terdapat pada TP 5. 3) Wilayah Bahasa Ende Varian alofon tril uvular [R] menjadi ciri pemakaian Dialek Maukaro pada TP 10 dan Subdialek Kerirea pada TP 21. 8.2.1.5 Varian Teratur Konsonan tril /r/ ≈ Alofon [r], [R], [l], [lh ], [h], [y], [ø]/ #__V Identifikasi Varian Alofon [r], [R], [l], [lh ], [h], [y], [ø] dilakukan berdasarkan pemakaian varian alofon-alofon itu pada berbagai titik pengamatan dalam Bahasa Nagekeo, Bahasa Mbay, dan Bahasa Ende. a) Wilayah Bahasa Nagekeo 1) Alofon tril [r] menjadi ciri pemakaian dari Wilayah Nage Tengah – Utara pada: (a) Dialek Dhawe pada TP 4, (b) Dialek Dhereisa pada TP 15,
  • 34. xxxiv (c) Dialek Rendu pada TP 16. 2) Alofon lateral [l] menjadi ciri pemakaian dari: (a) Wilayah Nage Utara Timur dengan sebaran pada Subdialek Utetoto pada TP 17 dan Subdialek Tendarea pada TP 20. (b) Wilayah Keo - Barat dengan sebaran pada Dialek Lejo pada TP 32 dan Dialek Kotagana pada TP 47. (c) Wilayah Keo – Tengah dengan sebaran pada Dialek Kotowuji pada TP 39, 40, 48--50; dan Dialek Romba pada TP 45. (d) Wilayah Keo – Timur yang terdapat pada Dialek Riti - Woko pada TP 42, 43. 3) Alofon lateral beraspirasi [lh ] menjadi ciri pemakaian di wilayah Nage Tengah Utara yakni Dialek Lape-Ia pada TP 6, 7. 4) Alofon faringal [h] menjadi ciri pemakaian dari bahasa di: (1) Wilayah Nage Utara yakni Subdialek Munde pada TP 3. (2) Wilayah Nage Tengah yakni Dialek Boawae pada TP 25--27. 5) Alofon semivokal [y] menjadi ciri pemakaian bahasa di wilayah Nage Utara – Timur yakni Dialek Toto atau Dialek Wolowae pada TP 8, 9, 11; Dialek Oja pada TP 19; dan Subdialek Watumite pada TP 18. 6) Alofon zero [ø] menjadi ciri pemakaian bahasa di wilayah Nage Tengah – Selatan yakni Dialek Ndora pada TP 22, 30; Dialek Jaduro (Raja, Wudu, Gero pada TP 23, 24, 28; Dialek Kelimado pada TP 29; Dialek Kotakeo pada TP 31; dan Beda Wicara Ladolima pada TP 41, 44. 8.2.1.6 Varian Teratur Konsonan Lateral /l/ ≈ Alofon [r], [R], [l], [lh ], [h], [y], [ø] / #__V Identifikasi variasi konsonan lateral /l/ menjadi alofon [l], [d], [l d], [r z], [ø] didasarkan atas pemakaian varian alofon-alofon itu pada berbagai titik pengamatan dalam Bahasa Nagekeo, Bahasa Mbay, dan Bahasa Ende. 1) Wilayah Bahasa Nagekeo a) Alofon lateral [l] menjadi ciri pemakaian bahasa Nagekeo di: (1) Wilayah Nage – Tengah, yang terdapat pada Dialek Boawae pada TP 25-27, 34. (2) Wilayah Nage Tengah – Selatan, yang terdapat pada Dialek Ndora pada TP 22, 30; Dialek Jaduro (Raja, Wudu, Gero) pada TP 23, 24, 28; Dialek Ndora pada TP 22, 30; Dialek Kelimado pada TP 29; Dialek Kotakeo pada TP 31; Beda Wicara Ladolima pada TP 41, 44. (3) Wilayah Nage-Tengah Utara, yang terdapat pada Dialek Munde pada TP 3; Dialek Dhawe pada TP 4; Dialek Lape - Ia pada TP 6, 7; Dialek
  • 35. xxxv Lambo pada TP 12; Dialek Dhereisa pada TP 15; dan Dialek Rendu pada TP 16. (4) Wilayah Keo – Barat, yang terdapat pada Dialek Lejo pada TP 32, 33, 37; Dialek Aewoe pada TP 46. (5) Wilayah perbatasan Kabupaten Nagekeo dengan Kabupaten Ngada, yang terdapat pada Dialek Sara – Taka pada TP 35. b) Alofon dental [d] menjadi ciri pemakaian dari: (1) Wilayah Nage - Tengah Utara, yang terdapat pada Dialek Lambo pada TP 12. (2) Wilayah Nage Utara – Timur, yang terdapat pada Dialek Toto atau Dialek Wolowae pada TP 8, 11, 17; Dialek Oja pada TP 19; dan Subdialek Tendarea pada TP 20. (3) Wilayah Nage – Tengah - Selatan, yang terdapat Dialek Ndora pada TP 22. (4) Wilayah Keo - Barat, yang terdapat pada Dialek Lejo pada TP 38; Dialek Kotagana pada TP 47. (5) Wilayah Keo - Tengah, yang terdapat pada Dialek Kotowuji pada TP 39, 40, 48-50; Dailek Romba pada TP 45. (6) Wilayah Keo - Timur, yang terdapat pada Dialek Riti – Woko pada pada TP 42, 43. e) Alofon dental berpralateral [l d] menjadi ciri di wilayah Nage Utara – Timur, yang terdapat pada Subdialek Watumite pada TP 18. d) Alofon zero [ø] menjadi ciri wilayah dialek di perbatasan Kabupaten Nagekeo dengan Kabupaten Ngada, yang terdapat pada Dialek Sara – Taka pada TP 36. 2) Wilayah Bahasa Mbay Alofon lateral [l] menjadi ciri pemakaian di (1) Dialek Lengkosambi yang terdapat pada TP 1. (2) Dialek Nggolonio yang terdapat pada TP 2. (3) Dialek Nggolombay yang terdapat pada TP 5. 3) Wilayah Bahasa Ende Alofon alveolar berpralateral [r z] menjadi ciri pada: (1) Dialek Maukaro yang terdapat pada TP 10 Desa Kebirangga (2) dialek Nangapanda yang terdapat pada TP 21 Desa Kerirea. 8.2.2 Variasi Tidak Teratur (Sporadis) Variasi tidak teratur (sporadis) penting juga dideskripsikan secara memadai untuk mengetahui fakta keragaman suatu bahasa dan jenis-jenis variasi yang telah memperkaya keragaman bahasa itu secara geografis. Variasi tidak teratur adalah variasi bunyi yang muncul secara sporadis. Dipandang dari segi linguistik, variasi bunyi yang disebut variasi tidak teratur itu muncul bukan
  • 36. xxxvi karena persyaratan lingkungan linguistik tertentu (Saussure, 1988:25, bdk. Mahsun, 1995:33) dan karena itu data yang menyangkut perubahan bunyi yang berupa variasi tak teratur terbatas pada satu atau dua buah contoh saja. 8.2.2.1 Asimilasi Asimilasi ialah variasi atau korespondensi fonem (vokal atau konsonan) menjadi sama atau mirip satu sama lainnya. Terdapat 3 macam asimilasi dalam penelitian ini, yaitu: 1) Asimilasi Progresif Asimilasi progresif ialah variasi atau korespondensi fonem (vokal atau konsonan) menjadi sama atau mirip dengan fonem yang mendahuluinya. Jadi, segmen yang berada di sebelah kanan mempengaruhi segmen yang berada di sebelah kiri. Variasi atau korespondensi fonem yang terjadi di sini ialah variasi atau korespondensi vokal /u/ yang berada di sebelah kanan mengalami asimilasi atau penyesuaian dengan vokal /i/ yang berada di sebelah kiri sehingga menghasilkan vokal /i-i/, seperti dalam temuan berikut ini. putar (seperti tutupan botol) kilu: 6, 13, 27 ~ kili: 35 2) Asimilasi Regresif Asimilasi regresif ialah variasi atau korespondensi fonem (vokal atau konsonan) menjadi mirip atau sama dengan fonem yang mengikutinya. Dalam peristiwa ini konsonan likuid lateral /l/ yang berada di sebelah kiri mengalami proses asimilasi atau penyesuaian menjadi serupa dengan konsonan tril /r/ yang berada di sebelah kanan sehingga menghasilkan konsonan likuid tril /r-r/, seperti dalam temuan berikut ini. (1) air ludah (peta 48) ʡae lura: 6,7,15,16,44 ~ ʡae rura: 3, 13, 14, 25, 26; wae rura: 35,36 (2) jambul ayam (peta 148) lari manu: 4, 6, 7, 13, 15, 16 ~ rari manu: 14, 26, 35 3) Asimilasi Resiprok Asimilasi resiprok ialah korespondensi dua fonem yang berurutan, yang menyebabkan kedua fonem itu menjadi fonem yang lain dari semula (Kridalaksana, 2001:19). Jadi, terjadi peleburan dua buah segmen yang berdekatan menjadi sebuah segmen baru. Asimilasi ini bersifat dua arah karena antara segmen yang satu dengan segmen yang lain saling mempengaruhi, seperti contoh berikut ini. (1) delapan (peta 8) rua butu : 19, 32, 33, 34, 46, 47, 38, 46, 47, 48; rua bh Utu: 17, 18; rua m butu: 20,39,40,42, 43,45, 49, 50; rua m butu: 10, 21 ~ ro bh utu: 8. (2) delapan belas(peta 18)
  • 37. xxxvii ā bulu rua butu: 38; ā bulu ə.sa rua butu: 33, 34; ha bulu rua butu : 37, 46; ha m bulu əsa rua m butu: 45; bulu əsa rua butu: 32; sa budu rua butu: 22; ā budu əsa rua butu: 47; se bu rua butu: 36; se budu əsa rua butu: 19; se bh Ul du əsa rua bh Utu: 18; se bh Ulu əsa rua bh Utu: 11, 17; ha m budu rua m butu: 42; ā m budu əsa rua m butu: 39, 40, 43, 48-50; se m bulu, ā m budu əsa rua m butu: 9 ~ se budu əsa ro butu: 8. 8.2.2.2 Proses Struktur Silabel Proses struktur silabel dalam bahasa Nagekeo yang ditemukan dalam penelitian ini terwujud dalam bentuk penambahan konsonan di awal kata (protesis), tampak seperti data berikut ini. a) Variasi Berupa Penambahan Konsonan (1) Variasi berupa penambahan konsonan hambat velar /k/pada kata yang diawali dengan vokal /i/, seperti data berikut ini. putar, (memutar tutupan botol) (peta 901) øīlu :29 ~ kilu: 6, 13, 27. (2) Variasi berupa penambahan konsonan hambat velar implosif /ɠ/ pada kata yang diawali dengan vokal /a/, tampak seperti data berikut ini. kaki (peta 87) ʡaʡi: 3, 4, 6--13, 15--32, 39, 40, 41, 43--45, 47--50 ~ ɠaʡi: 42. (1) Variasi berupa penambahan konsonan nasal velar /ŋ/ pada kata yang diawali dengan vokal /i/, seperti data berikut ini. hidung (peta 80) ʡi.zu: 6, 7, 8, 12, 15--17, 20, 22--24, 26--30 ~ ŋi.zu: 14, 35. b) Variasi Berupa Penambahan Semivokal (1) Variasi berupa penambahan semivokal /w/ dan /y/ di depan kata yang diawali vokal /a/, tampak dalam data berikut ini. kaki (peta 87) ʡaʡi: 3, 4, 6--13, 15--32, 39, 40, 41, 43--45, 47--50 ~ waʡi: 14, 35 dan yaʡi: 37, 38, 46. (2) Variasi konsonan hambat bilabial /b/ dan /f/ menjadi semivokal /w/. (a) Variasi Konsonan frikatif /f/ menjadi semivokal /w/ lemak (seperti pada daging babi) (peta 104) bozo: 15, 23, 24, 27, 28 ~ wozo: 29 (b) Variasi Konsonan frikatif /f/ menjadi semivokal /w/ makan mangga menggunakan gigi depan (peta 843) fa.gi: 3, 6, 7, 12, 15, 16, 23--25, 27, 28; fa.gi: 8, 11, 18 ~ wa.gi: 4, 22 (c) Variasi konsonan velar implosif / ɠ / menjadi semivokal /y/. ramas/remas (peta 903) ɠəme: 3, 4, 8, 13, 15, 22, 24, 25, 27, 30, 31, 37, 41, 46, 48 ~ yəme: 18
  • 38. xxxviii 8.2.2.3 Pelesapan Segmen Variasi berupa pelesapan konsonan velar implosif /ɠ/ di antara vokal /e/ dan /a/, ditemukan dalam data berikut ini. terbongkar (rumah karena di tabrak mobil (745) beɠa: 4, 6, 7, 12, 15, 16, 22--38, 40, 41, 43, 46, 47 ~ bea: 14; m bea: 39 8.2.2.4 Metatesis Metatesis yaitu perubahan tempat fonem-fonem dalam kata (bd. Kridalaksana, 2001:136). Metatesis yang terjadi di sini berupa: a) Pertukaran tempat konsonan yaitu konsonan pada suku kata pertama berpindah tempat ke suku kata kedua. b) Konsonan pada suku kata kedua berpindah tempat ke suku kata pertama. Adapun variasi metatesis, meliputi: 1) Metatesis konsonan /g-l/ menjadi /l-g/. Data metatesis /g-l /~ /l-g/ yang ditemukan dalam Bahasa Nagekeo, tampak seperti berikut ini. keliling (mengelilingi) (peta 827) gili ge.o: 31, 32, 37, 46; ~ li.gi leo: 44 2) Metatesis konsonan /s-m/ menjadi /m-s/. Data metatesis /s-m / ~ /m-s/ yang ditemukan dalam Bahasa Nagekeo, tampak seperti isap (misalnya air dalam drum dengan selang plastik) (peta 819) səmo: 33, 37, 42 ~ məso: 4, 13 3) Metatesis konsonan /s-l/ menjadi / l-s /. Data metatesis /s-l/ menjadi / l-s /. yang ditemukan dalam Bahasa Nagekeo, tampak seperti berikut ini: memotong ranting kayu (peta 858) soli: 42 ~ losi: 17 8.2.2.5 Variasi Segmen Vokal Variasi segmen vokal meliputi: (1) Variasi berupa pendepanan vokal belakang bundar /o/ menjadi vokal depan takbundar /e/, seperti tampak dalam data berikut ini. sakit bere-bere (peta 248) bowo: 23, 26, 27, 29, 34, 35, 37, 42; bowo ~ bewe: 33, 38, 46, 47 (2) Variasi berupa pendepanan vokal belakang bundar /u/ menjadi vokal depan takbundar /i/, seperti tampak dalam data berikut ini. putar (putar tutupan botol (901) kilu: 6, 13, 27 ~ kili: 35 8.2.2.6 Variasi Segmen Konsonan Variasi konsonan berdasarkan cara artikulasi mengacu pada penyempitan tertentu dalam saluran suara, baik hambatan total maupun penyempitan yang
  • 39. xxxix melebihi cara mengartikulasikan. Jadi, berdasarkan jalannya udara yang keluar dari dalam paru-paru. 1) Variasi konsonan hambat palatal takbersuara /c/: a) Konsonan hambat palatal takbersuara /c/ menjadi konsonan lateral bersuara /l/ kecil (677) coʡo: 12, 15--18, 22--24, 27--34, 46, 50 ~ loʡo: 8, 11, 19, 20, 22 b) Konsonan hambat palatal takbersuara /c/ menjadi konsonan velar bersuara /g/ kecil (677) coʡo: 12, 15--18, 22--24, 27--34, 46, 50 ~ goʡo: 42, 43, 45, 46, 48--50 c) Konsonan hambat palatal takbersuara /c/ menjadi konsonan desis /s/ kecil (677) coʡo: 12, 15--18, 22--24, 27--34, 46 ~ soʡo: 4, 29, 33, 34, 36--41, 44, 47] 2) Variasi konsonan nasal dental /n/ (a) Variasi konsonan nasal dental /n/ menjadi hambat dental /d/ disertai dengan variasi konsonan /g/ menjadi konsonan /k/ pada suku kata kedua. tunduk (peta 929) nugu: 3, 4, 6--8, 11--13, 15--17, 22--38, 41, 42, 44, 46, 47 ~ duku: 14 (b) Variasi konsonan nasal dental /n/ menjadi hambat palatal /j/, seperti data berikut ini. tunduk (peta 929) nugu: 3, 4, 6--8, 11--13, 15--17, 22--38, 41, 42, 44, 46, 47 ~ juku: 43 (c) Variasi konsonan nasal dental /n/ menjadi hambat labial /p/, seperti data berikut ini. tunduk (peta 929) nugu: 3, 4, 6--8, 11--13, 15--18, 22--38, 41, 42, 44, 46, 47; nuŋ gu: 9, 19, 20, 39, 40, 45, 48, 50 ~ pəgu: 49 3) Variasi nasal bilabial bersuara /m/ a) Variasi konsonan nasal bilabial bersuara /m/ menjadi hambat bilabial implosif bersuara /ɓ/, disertai dengan variasi konsonan hambat velar eksplosif /g/ menjadi konsonan hambat velar implosif /ɠ/ pada suku kata kedua, seperti data berikut ini. telanjang (peta 737) moga : 11, 49, 50 ~ ɓo.ɠa:12, 22, 30 b) Variasi konsonan nasal bilabial bersuara /m/ menjadi hambat hambat dental bersuara /d/, disertai peristiwa pengulangan dengan variasi konsonan /d/menjadi /r/ pada kata kedua, suku kata pertama seperti data berikut ini. telanjang (peta 737) moga: 11, 49, 50 ~ doga –roga: 41 c) Variasi nasal bilabial bersuara /m/ menjadi hambat palatal /j/ pada suku kata pertama dan kedua, seperti data berikut ini.
  • 40. xl ramas/remas (peta 903) ɠə.me: 3, 4, 8, 13, 15,22 24,25,27, 30, 31, 37, 41, 46, 48 ~ ɠə.je: 9,17,19,20, 40, 48- -50; ɠə.jo: 21, 45 4) Variasi konsonan hambat velar takbersuara /k/ pada suku kata kedua menjadi konsonan hambat velar bersuara /g/, tampak seperti dalam data berikut ini. menanduk (peta 864) puku: 3, 4, 6, 7, 11, 12--16, 23, 25, 27, 31, 36--38 ~ pugu: 46, 47; pəgu: 39, 43, 44, 48, 49; pagu: 17, 20 5) Variasi konsonan hambat dental /d/ meliputi: a) Variasi konsonan dental /d/ menjadi konsonan bilabial /p/ menanduk (peta 864) dəgu: 6,8, 9, 15, 18, 19, 22,24,28--30, 34, 35, 40, 41 ~ pəgu: 39,43,44,48,49 b) Variasi konsonan dental /d/ menjadi konsonan dental /t/. menanduk (peta 864) dəgu: 6, 8, 9, 15, 18, 19, 22, 24, 28--30, 34, 35, 40, 41; ~ tə.gu: 26 6) Variasi konsonan likuid /r/ menjadi konsonan velar implosif /ɠ/, seperti tampak dalam data berikut ini. gagak (peta 481) ra: 3, 12, 16; ʡa.na ra: 15, 44 ~ ɠa: 18; tu.ra; ɠa: 11 7) Variasi konsonan velar /k/ meliputi: a) Variasi konsonan velar /k/ menjadi luncuran laringal /h/ putar (putar tutupan botol ) (peta 901) ki.lu: 6, 13, 27; ki.li: 35; ki.du: 50; kiu: 36, 39, 43 ~ hi.du: 40 b) Variasi konsonan velar /k/ menjadi konsonan bilabial /b/ jatuh (karena terantuk) (peta 674) m bo.ka: 9, 10, 19--21, 50; bh o.ka: 8 ~ bo.ba: 4, 6, 15, 16, 23, 24, 26, 28, 32, 33, 36, 37, 41, 44, 46, 47; m bo.ba: 43 c) Variasi konsonan velar /k/ berkorespondensi dengan konsonan bilabial implosif /ɓ/ telan (peta 916) kəo: 4,15,16; kəo:36 ~ ɓə.lo: 31,32,35,41, 44; ɓə.do: 39,40,43,45,47-- 50. d) Variasi konsonan hambat velar takbersuara /k/ berkorespondensi dengan konsonan hambat velar bersuara /g/, tampak seperti data berikut ini. duri (peta 387) ka.lo: 20, 32, 39, 40, 42, 43, 45, 46, 48--50; ka.ro: 14, 17, 21, 35, 36, 44, 46; ka.yo: 8, 9, 18, 19, 33, 37, 38, 46 ~ ga.ro: 3, 4, 6, 7, 12, 13, 25; ga.yo: 11; gaøo: 22, 30 e) Variasi konsonan velar eksplosif takbersuara /k/ berkorespondensi dengan konsonan velar implosif bersuara /ɠ/ ramas/remas (peta 903)
  • 41. xli kəje: 39, 43, 49 ~ ɠəse: 6, 7, 26, 36, 38, 47; ɠəce: 12, 16, 23, 28, 29, 32-- 34, 46; ɠəje: 9, 17, 19, 20, 40, 48, 50; ɠəjo: 45 f) Variasi konsonan velar / k / berkorespondensi dengan konsonan likuid tril /r/ putar (putar tutupan botol ) (peta 901) kilu: 6, 13, 27; kili: 35; kidu: 50; kiu: 36, 39, 43 ~ 10 ridu: 8. 8) Variasi konsonan velar implosif bersuara /ɠ/ berkorespondensi dengan konsonan velar eksplosif takbersuara /k/ putar (putar tutupan botol ) (peta 901) ɠilu:7,15,16,18, 28,31,32,44 ~ kilu: 6,13,27; kili: 35; kidu: 50; kiøu:36,39, 43. 9) Perubahan konsonan hambat bilabial implosif /ɓ/ berkorespondensi dengan konsonan hambat bilabial eksplosif /b/ sum-sum dalam tulang (peta 368) ɓilu: 3, 4, 6, 7, 13--16, 23--35, 37, 38, 41, 44, 46; ɓidu: 8, 11, 12, 22, 39, 47, 49; ɓiu: 36 ~ bidu: 40. 10) Variasi konsonan likuid lateral /l/ berkorespondensi dengan konsonan velar /k/ kayu pengikat tali tenunan di pinggang (peta 999) logo: 3, 4, 6, 7, 14--16, 23--28, 31, 33--35, 46 ~ kogo: 22, 30, 32, 36, 41, 44; koŋ go: 9, 39, 40, 42, 43, 45, 48, 49. 11) Variasi konsonan bilabial eksplosif /b/ berkorespondensi dengan konsonan bilabial implosif /ɓ/ Variasi konsonan bilabial /b/ berkorespondensi dengan konsonan bilabial implosif /ɓ/. (a) terapung (peta 742) bawa: 3, 6, 7, 11--13, 15, 16, 25, 27, 33, 34, 36, 37, 39--41, 44, 46, 47 ~ ɓawa: 4, 14, 17, 26, 29, 35. (b) sandar (peta 906) beʡi: 3, 6, 7, 12, 13, 15, 16, 22, 25, 28, 30--34, 36--38, 41, 44, 46, 47 ~ ɓeʡi: 4, 14, 17, 26, 29, 35. (12) Variasi konsonan velar eksplosif /g/ berkorespondensi dengan konsonan velar implosif /ɠ / guling (peta 813) gola: 4, 22, 23, 25, 27, 29, 30, 34, 41; goda: 8, 11, 12; goa: 36; ~ ɠola: 15, 16; ɠole: 26. 13) Perubahan Konsonan Alveolar /z/ a) Perubahan Konsonan Alveolar /z/ berkorespondensi dengan konsonan dental implosif /ɗ/ (1) beras (peta 355) zea pa.re: 3, 4, 16; zea pae: 22, 24, 25; zea mama: 13; zea nika: 15, 23, 27, 28, 29, 41; bu zea: 8; zea ka: 6, 7, 12; ka zea: 18;
  • 42. xlii ʡetu zea: 39 ~ ɗea: 14, 35, 36. b) Perubahan konsonan apiko-palatal [z] berkorespondensi dengan konsonan apiko-alveolar /s/ bau basi (peta 985) wau bazu: 3, 4, 7, 11, 12, 14--16, 22--24, 28, 30; wau bh azu: 8, 17, 18; wau m bazu: 20 ~ wau m basu: 39. 14) Perubahan konsonan dental /t/ berkorespondensi dengan konsonan alveolar /s/ jemput (menjemput anak) (peta 821) tabu: 12, 13, 15, 16, 23, 24, 28, 38, 41, 44, 46, 47;tam bu: 39, 40, 42, 43, 45, 48--50 ~ sabu: 3, 4, 7, 14, 22, 25, 29; sabh u: 11; sam bu: 19. 15) Variasi konsonan dental /d/ berkorespondensi dengan konsonan bilabial /p/ menanduk (peta 864) dəgu : 4,6,7, 12, 15, 16 ~ pəgu: 39, 43, 44, 48, 49; pagu: 17, 20; pugu: 46, 47. 16) Variasi konsonan palatal bersuara /j/ meliputi: a) Variasi konsonan palatal bersuara /j/ berkorespondensi dengan konsonan frikatif alveolar takbersuara /z/. (1) kuda (peta 500) jara: 3, 4, 6, 7, 9, 12, 13, 15, 16, 19, 20, 21, 25, 26, 32, 50; jaya: 11; ja: 22--24,27--31 ~ zara: 14. (2) pisang hutan (peta 422) buju: 3, 6, 7, 13, 15, 16, 22--29, 31, 32, 38, 39, 41, 44, 45 ~ buzu: 14. 17) Perubahan konsonan frikatif alveolar takbersuara ersuara /z/ berkorespondensi dengan konsonan hambat palatal /j/. bau basi (peta 985) wau bazu: 3, 4, 7, 11, 12, 14--16, 22--24, 28, 30; wau bh azu: 8, 17, 18; wau m bazu: 20 ~ wau baju: 26, 27, 29, 33, 34, 36--38, 46. 9. Temuan Penelitian 9.1 Parameter Penghitungan Berdasarkan hasil penghitungan dialektometri dengan Parameter dialektometri antartitik pengamatan dan Parameter dialektometri dengan permutasi, di Kabupaten Nagekeo terdapat 3 bahasa, yaitu: a) Bahasa Mbay/Riung dalam penelitian ini didukung oleh 3 dialek, yaitu: (1) Dialek Lengkosambi, (2) Dialek Nggolonio, (3) Dialek Nggolombay. b) Bahasa Nagekeo terdiri atas 22 dialek, yaitu: (1) Dialek Boawae dengan subdialek sebagai berikut: a) Subdialek Rawe, c) Subdialek Kelewae. b) Subdialek Rowa,
  • 43. xliii (2) Dialek Munde (3) Dialek Dhawe (4) Dialek Lape - Ia (Lape - Nataia) (5) Dialek Lambo (6) Dialek Dhereisa (7) Dialek Rendu (8) Dialek Ndora (9) Dialek Jaduro (Raja, Wudu, Gero) (10) Dialek Kelimado (11) Dialek Kotakeo dengan Beda Wicara Ladolima (12) Dialek Sara – Taka (Sarasedu – Takatunga) (13) Dialek Soa (di Desa Mengeruda) (14) Dialek Poma (di Desa Denatana) (15) Dialek Lejo dengan Subdialek Wolokisa (16) Dialek Aewoe (17) Dialek Kotagana (18) Dialek Wolowae (Dialek Toto) dengan subdialek sebagai berikut: (a) Subdialek Utetoto (b) Subdialek Watumite. (19) Dialek Oja dengan Subdialek Tendarea (20) Dialek Kotowuji dengan Subdialek Mbaenuari (21) Dialek Romba (22) Dialek Riti – Woko (Riti – Wokodekororo) c) Bahasa Ende dalam penelitian ini didukung oleh 1 dialek, yaitu Dialek Kerirea dan Subdialek Kebirangga. 9.2 Fonem yang Bervariasi Secara Teratur Bahasa Nagekeo yang digunakan di Kab. Nagekeo dan daerah perbatasannya, memiliki 6 buah fonem konsonan yang mengalami variasi fonologis secara teratur, yaitu: (1) Konsonan bilabial /b/ menjadi alofon [b], [bh ], [m b] (2) Konsonan dental /d/ menjadi alofon [d] dan [n d] (3) Konsonan Velar /g/ menjadi alofon [g] dan [ŋ g] (4) Konsonan alveolar /z/ menjadi alofon [z], [r], [R], [s], [y] (5) Konsonan tril /r/ menjadi alofon [r], [R], [l], [lh ], [h], [y], [ø] (6) Konsonan lateral /l/ menjadi alofon [l], [d], [l d], [r z], [ø]
  • 44. xliv 9.3 Kekhasan Bahasa Secara leksikon terdapat dua hal unik yang merupakan kekhasan Bahasa Mbay/Riung dibandingkan dengan Bahasa Nagekeo dan Bahasa Ende, yang ditemukan dalam penelitian ini, yaitu: 1) Basis Bilangan Kata bilangan yang digunakan dalam Bahasa Mbay/Riung berbasis 10 (sepuluh) sedangkan Bahasa Nagekeo dan Bahasa Ende menggunakan kata bilangan berbasis 5 (lima), seperti dalam tabel berikut ini: No. Kata Bilangan Bahasa Mbay/Riung Bahasa Nagekeo Bahasa Ende 1 satu (s,c)a ʡəsa ʡəsa 2 dua sua z(r,ɗ)ua Rua 3 tiga təlu tə(l,d)u tər zu 4 emat pat wutu wutu 5 lima lima l(d, l d)ima r zima 6 enam nen(ng) (l ,d)ima ʡəsa r zima ʡəsa 7 tujuh pitu (l,d, l d)ima (z r,ɗ) ua r zima Rua 8 delapan walu (z r) ua butu Rua m butu 9 sembilan (s,c)iwa ta(ə)ra ʡəsa taRa ʡəsa 10 sepuluh sa bulu sa m bulu s(c)a pulu 11 sebelas s(c)apulu s(c)a sa (b, m b) ulu sa ʡəsa a m bur zu sa ʡəsa 12 dua belas s(c)apulu sua sa (b, m b)ulu əsa (z,r,ɗ)ua a m bur zu ?əsa Rua 2) Tipe Vokalis dan Nonvokalis Kata-kata yang digunakan dalam Bahasa Nagekeo bersifat vokalis, artinya kata-kata yang digunakan dalam kedua bahasa ini bersifat terbuka atau selalu diakhiri dengan vokal, sedangkan kata-kata yang digunakan dalam Bahasa Mbay/Riung bersifat nonvokalis, artinya kata-kata yang digunakan dalam bahasa itu ada yang bersifat terbuka atau diakhiri dengan vokal dan ada pula yang bersifat tertutup atau diakhiri dengan konsonan pada akhir suku kata, seperti yang tampak dalam tabel berikut ini. No . Glos Bahasa Mbay/Riung Bahasa Nagekeo 1 bulu ekor ayam la n do manuk: 1,2,5 lado manu : 15,16,24,26 weʡo manu: 3,4,6-13,17-34,36- 41,43-50 2 nenas pala wa n daŋ: pala wada : 3,4,6,7, 11,13,25
  • 45. xlv 1,2,5 3 member i tahu to n daŋ: 1,2,5 toda :3,4,6,7,12, 14-16,23,25, 28-30 4 kacang hijau rum bet :1,2,5 rube: 3,4, 13-16,25,26 5 garam tanah pasek: 1,2,5 pazo :3,4,6,7, 11-16,18,22-30, 35,38, 39,41 6 tongkat ɗoar:1,2,5 ɗoa: 3, 4, 6,7, 15,16 9.4 Temuan Teori Korespondensi Konsonan dalam Bahasa Nagekeo Terdapat 2 teori berkorespondensi konsonan dalam Bahasa Nagekeo, yaitu: 1) Teori Korespondensi Konsonan Hambat: a) Rumusan Teori Korespondensi Konsonan Hambat: “Secara artikulasi konsonan hambat selalu berkorespondensi dengan konsonan pranasal hambat“. b) Korespondensi Konsonan Hambat, meliputi: (1) Konsonan Hambat Bilabial [b] Berkorespondensi [b], [m b] (2) Konsonan Hambat Dental [d] Berkorespondensi ≈ [d], [n d] (3) Konsonan Hambat Velar [g] Berkorespondensi ≈ [g], [ŋ g] c) Formulasi Teori Korespondensi Konsonan Hambat: “Konsonan Hambat /b,d, g/ ≈ [b,d, g] ≈ [m b, n d, n d, ŋ g]”. b) Teori Korespondensi Konsonan Kontinuan (1) Rumusan Teori Korespondensi Konsonan Kontinuan: “Konsonan kontinuan selalu berkorespondensi dengan tipe konsonan kontinuan yang lebih beragam tetapi tetap mempertahankan tempat artikulasinya”. (2) Korespondensi Konsonan Kontinuan, meliputi: a) Korespondensi konsonan alveolar /z/ ≈ [z], [r], [R], [s], [y] (b) Konsonan Likuida Tril /r// ≈ [r], [R], [l], /lh /, /h/,/y//,[ø] (c) Konsonan Likuida lateral /l/ ≈ [l], [d], [l d] , [r z] , [ø] (3) Formulasi Teori Korespondensi Konsonan Kontinuan: (a) Konsonan Kontinuan /z/ ≈ [z] ≈ [r] ≈ [R] ≈ [s] ≈ [y] (b) Konsonan Likuida Tril /r// ≈ [r] ≈ [R] ≈ [l] ≈ /lh /≈ /h/≈ /y//≈ [ø] (c) Konsonan Likuida lateral /l/ ≈ [l] ≈ [d] ≈ [l d] ≈ [r z] ≈ [ø] 10. Simpulan dan Saran 10.1 Simpulan Simpulan sebagai inti jawaban masalah penelitian disajikan berikut ini. 1) Pengelompokan isolek sebagai bahasa, dialek, subdialek, beda waicara dan tidak perbedaan dilakukan berdasarkan:
  • 46. xlvi a) Parameter dialektometri antartitik pengamatan b) Parameter dialektometri dengan permutasi. 2) Berdasarkan hasil penghitungan dialektometri dengan Parameter dialektometri antartitik pengamatan dan Parameter dialektometri dengan permutasi di Kabupaten Nagekeo terdapat 3 bahasa, yaitu: a) Bahasa Mbay/Riung dalam penelitian ini didukung oleh 3 dialek. b) Bahasa Nagekeo yang didukung oleh 22 dialek. c) Bahasa Ende dalam penelitian ini yang didukung oleh 2 dialek. 3) Bahasa Nagekeo yang digunakan di Kab. Nagekeo dan daerah perbatasannya, memiliki 6 buah fonem konsonan yang mengalami variasi fonologis secara teratur, yaitu: (1) Konsonan bilabial /b/ menjadi alofon [b], [bh ], [m b] (2) Konsonan dental /d/ menjadi alofon [d] dan [n d] (3) Konsonan Velar /g/ menjadi alofon [g] dan [ŋ g] (4) Konsonan alveolar /z/ menjadi alofon [z], [r], [R], [s], [y] (5) Konsonan tril /r/ menjadi alofon [r], [R], [l], [lh ], [h], [y], [ø] (6) Konsonan lateral /l/ menjadi alofon [l], [d], [l d], [r z], [ø] 10.2 Saran Berkenaan dengan saran sebagai rekomendasi untuk penelitian lebih lanjut terhadap Bahasa Nagekeo, ada beberapa hal yang disarankan, yaitu: 1) Terhadap kekhasan atau keunikan fonologis yaitu konsonan lateral beraspirasi /lh / yang terdapat pada Dialek Lape – Ia (Nataia) di Desa Lape dan Desa Olaia dan konsonan pralateral dental /l d/ yang terdapat pada Dialek Watumite; dan konsonan tril posterior /R/ yang terdapat pada Dialek Lambo perlu ditelusuri asal-muasal serta arah saling pengaruh antara dialek-dialek itu dengan dialek- dialek lain, bahkan dengan bahasa lain di sekitarnya. 2) Instrumen sebagai alat penjaring data untuk penelitian lebih lanjut pada bidang fonologi perlu diperluas sehingga variasi-variasi fonem yang menyebabkan terjadinya perubahan kategori kata secara signifikan, seperti kata poka ’potong’ sedangkan variannya kata boka ’jatuh’, pala ’telapak kaki’ sedangkan variannya kata bala ’bekas telapak kaki’ dapat terjangkau secara memadai. Demikian juga dengan kehadiran kompositum sebagai pembentuk frase dalam bidang sintaksis sebagai pemarkah golongan kata, seperti kata kema ’kerja’ sedangkan frase ola kema ’pekerjaan’, kata ka ’makan’, sedangkan frase ola ka ’makanan’ juga dapat diteliti secara memadai pula. 3) Terhadap munculnya gejala kepunahan keberadaan bahasa kecil sebagai penopang bahasa nasional, maka disarankan kepada para pemangku dan pemegang kebijakan kehidupan bangsa ini untuk membuat regulasi yang dapat
  • 47. xlvii melindungi dan mengayomi semua bahasa dan budaya, agar bahasa dan budaya kecil di negeri ini tetap eksis dalam kehidupan masyarakat pendukungnya.
  • 48. xlviii DISSERTATION SUMMARY THE LINGUISTIC STATUS OF ISOLECTS IN NAGEKEO REGENCY: A DIALECT GEOGRAPHY ANALYSIS By Petrus Pita 1. Introduction 1.1 Background A research on dialect geography focusing on isolect variations in Nagekeo regency is important and it should be investigated scientifically and objectively. There are some main reasons such as: 1) Isolects used by people of Nagekeo regency are isolects of small local languages which are rarely documented in the forms of scientific research results, either micro or macro research. 2) Young generation and intellectuals tend to use Indonesian language, and not local languages as their mother tongue or first language, even at family of local culture domain. 3) In connection with the Nusantara Concept and national defense of Indonesian nation, research on small local languages, such as the small languages in Nagekeo regency will bring positive impact to the existence of Unitary Country of the Republic of Indonesia as the unitary nation state (cf. Ayatrohaedi, 1985:4-5; Dhani 1991: 3-4) because every elements of the nation, no matter how small they are, are the glue that strengthens the unity and the unitary of the Indonesian nation. 4) Isolect variations found in various speech communities in Nagekeo people are the direct representation of cultural properties of Nagekeo people, at the same time are the properties of the Indonesian nation which must saved from their extinction. 5) To understand the people of Nagekeo as part of Indonesian nation, which is diverse, isolect varieties used by the people in Nagekeo regency must be studied and understood well, because through these isolects the life of Nagekeo people can be learned. Isolect variation of speech communities found in Nagekeo regency become more complex in transitional areas between two different areas. For example, in the bordering areas between Nagekeo and Ende, between Nagekeo and Bajawa, and between Nagekeo and Riung in Ngada regency. In these transitional areas, the entrance of elements of vocabulary and the pronunciation from one language or dialect into another language or dialect, so that isolect varieties become more complex and difficult to describe. Linguistic condition like this potentially results in gradual differences in speech between one speech
  • 49. xlix community and another in Nagekeo people. This complex speech variety becomes an important consideration for the writer in choosing the isolect variation in the speech community in Nagekeo regency as the object of the research. 1.2 Statement of the Problems Problems raised in this research are specifically formulated as follows: 1) How are the forms of isolect differences based on lexical paradigm in various research locations in Nagekeo regency? 2) How are the grouping of these isolects in Nagekeo regency into dialects and subdialects? 3) How are the forms of phonemic changes phonologically of isolects in Nagekeo regency? 1.3 Objectives of the Research Based on the problems that have been formulated above, the objectives of the research are formulated as follows: 1) To analyze the differences between isolects based on lexical paradigm in various research locations in Nagekeo regency.. 2) To group the isolects based on lexical paradigm and isoglosic patterns found in various regions in Nagekeo regency. 3) To describe phonemic changes found in those isolects in Nagekeo regency based in phonological paradigm. 1.4 Significance of the Research Academically, the present research can be used by other researchers who do research on Nagekeo language in Nagekeo regency and Ende regency, either microlinguistic or macrolinguistic research. Besides, this research can be use to enrich the facts and information about language variation in dialectogy studies in Indonesia. Furthermore, practically, this research can help Nagekeo speech community to recognize and appreciate the characteristics of their dialectal and other subdialects in Nagekeo language, so that the speakers can choose and use them according to the domains of use, linguistic or dialect background of the interlocutor, and particular communicative aims. Aside from this, this research can help the teachers and students in the schools in Nagekeo language area to learn their mother tongue as the language of the culture and help local government in the formation of new villages or new districts consider linguistic and cultural similarities of the people with the help of dialect or subdialect areas as one of the indication of one regional entity.
  • 50. l 2. Concept 2.1 Isolect Kridalaksana (1988:82) in his paper entitled “Masalah Metodoligi dalam Rekonstruksi Bahasa Melayu Purba’”, defines isolect as the form whose status is either language or dialect. Aside frim this, Mahsun (1955:11) in his book Dialektologi Diakronis Sebuah Pengantar, says that isolect is used as neutral term to indicate dialect and language differences. 2.2 Isogloss and Isogloss Sheaf Isogloss is defined as an imaginary line drawn on a linguistic map (cf. Keraf, 1984: 161, and also Lauder, 1990: 117). Furthermore, the term isogloss is also known as word/lexical border line, is the line that separates two dialect or linguistic environment based on the form or system of the two environments which are different from one another , and which are realized in linguistic map (Ayotroheaedi, 1979:5). So isogloss is an imaginary line, which is drawn on a linguistic map to separate linguistic phenomenon based on different variation. 2.3 Dialect Atlas Commission on European languages defines dialect as the linguistic systems used by a society that ditinguish them from other neighboring societies that use different but closely related systems (Ayatrohaedi, 1979:1) 2.4 Variation in Dialectolgy Variation is the form of various conditional or non-conditional manifestation of an entity (Kridalaksana, 2001:225). Viewed from geographical dimension, some changes or differences called variations happen based on rules while some others sporadically. Variation or differences in linguistic elements which are relevant in this research comprises two aspects, they are, lexical variations and phonological variations. 1) Lexical Variation According to Mashun (1995:54), lexical variation or lexical difference means when lexemes used to realize a meaning similar or different derived from one pre-language etymon. The analysis of lexical differences is done based on the consideration that this field has important role in the grouping of language variations or differences, as claimed by Chambers and Trudgill (1980:46, and cf. Grijns, 1976:10).
  • 51. li 2) Phonological Variation According to Mashun (1995:23) phonological variations or phonological differences are the variations which are related to phonetic differences. The description of variations or differences in linguistic items at phonological level which become the object of analysis in this research focuses on the differences of segmental phonemes. 2.5 Types of Analysis Dialectological analysis carried out in this research is synchronic in nature. This means the synchronic aspects is based on the phenomena of language use that happen in limited period of time; that is, language elements that are used by the people at present. This is in line with the essence of synchronic dialectology, the branch of linguistic that investigates language variation of various dialects at certain point of time (Kridalaksana, 2000:129, 198; cf. Mahsun, 19945: 13 – 14; cf. Djajasudarma, 1993:7; Nothofer, 1981: 6 – 7; and Dhani, 1991:11). 2.6 Phonological Process 1) Assimilation Process According to Kridalaksana (2001:18) assimilation is the process of sound change that results in similarities or differences with other sounds nearby; for example ad + similasi > assimilasi. There are three types of assimilation: a) Progressive Assimilation When the assimilated sound comes after the assimilating sound; this means sound change direction is to the right (Kridalaksana, 2001:18). For example: Language Nagekeo ’rorate’: kilu ≈ kili b) Regressive Assimilation Regressive assimilation happens when the assimilated sound comes before the assimilating sound; this means the sound change direction is to the left (Kridalaksana 2001: 18) For example: Nagekeo Language ‘crest’ lari manu ≈ rari manu. c ) Assimilation Resiprok Assimilation reciprocal , that is, if the sound that assimilated it precedes sounds assimilate , meaning that the sound changes direction to the left (Kridalaksana 2001: 18 ) . Example : ' eight ' rua butu ≈ ro butu 2) Metathesis Process Metathesis is sound change related to the change of place of the two sounds involved (Kridalaksana, 2001:136). For example, Nagekeo Language: ’suck’ səmo ≈ məso ‘cut the twig‘ soli ≈ losi
  • 52. lii 3) Prothesis Process Prothesis is the addition of a sound at the initial position of a word (Kridalaksana, 2001:181), for example in Nagekeo Language: Example : ' nose ' : izu ≈ Nizu ' foot ' aʔi ≈ waʔi ' rotate ' ilu ≈ kilu 4 ) Apharesis Process Afaresis ie deletion sound at the starting position ( Kridalaksana 2001: 2 ) , Example : Nagekeo Language ' uncovered ' : beɠa ≈ bea 3. Theory The dialectal geographical research on Nagekeo language carried out here uses traditional dialectology theory as its theoretical framework. The basic principle of traditional dialectology theory is the variation of language elements at the level of lexicon, the relationship between phenemic changes between words cannot be explained, although the words have the same meaning. The differences of lexicon between one location and another is generally influenced by social background of the people, so that each region arbitrarily give different names to the same object of thing that carried the same meaning. Giving different names to the same concept occurs as the result of different views from the people to an object or a thing, based on the material, physic, characteristics, condition or the function, etc. 4.1 Review of Literature 4.1 Review of Previous Studies In this research, the review of previous studied is limited to the results of geographical dialect research and social dialect research that are closely relevant to this geographical dialect research on isolect variation in Nagekeo regency, as it is clear in the following description: 1) The study of Sasak Language in Lombok in 1951 by A. Teeuw. 2) The study of Geographical Dialect of Nagekeo Language (undergraduate thesis) by Petrus Pita in 1984. 3) The study of Geographical Dialect of Ngadha Language by Petrus Pita in 1984. 4) The study of Geographical Dialect of Sumba Language by A.A. Putra in 1984. 5) The study of Historical Relations of Language Family in Flores by Inyo Fernandez in 1996.
  • 53. liii 4.2 Relevance of Review of Literature with the Study of Isolect in Nagekeo Regency The relevance between related literature and the results of geographical dialect research, social dialect research, and the result of comparative studies of languages in Flores, comprises the following points: 1) Theory Selection, 2) The Use of Data Analysis Method, 3) Selection of Observation Areas, 4) Informant Selection, 5) Formulation of Research Instrument, 6) The Use of Data Collection Method 5. Research Method 5.1 Selection and Coding of Research Location 5.1.1 Criteria of the Selection of Research Location Ideally Gaston Paris suggests that the research should be done to each society. This means, ideally the research is done to every village, every location no matter how small and remote the place is (cf. Ayatrohaedi, 1979: 36; cf. also Mashun, 1995: 102 – 105). To comply with part of the suggestion of Gaston Paris, in this geographical dialect research of Nagekeo language, 50 out of 104 villages are chosen. 5.1.2 Numbering System of Research Location The numbering of research location done in this research is the horizontal rightward system. There are 50 villages chosen as the research location. 5.1.3 Selection of Research Location The selection of research location is done proportionally based on the degree of variation of linguistic elements in the speech communities dan the number of villages in an area (district), they are: 1) Aesesa District: 8 villages, 2) Aesesa Selatan district: 1 village, 3) Nangaroro District: 5 villages, 4) Boawae District: 9 villages, 5) Mauponggo District: 6 villages, 6) Keo Tengah District: 10 villages, 7) Riung District: 1 village, 8) Wolomeze District: 1 village, 9) Golewa District: 2 villages, 10) Nangapada District: 4 villages, 11) Soa District: 1 village, 12) Maukaro District: 2 villages 5.2 Research Instrument 5.2.1 Nature of Questionnaire Questionnaire made for this research of geographic dialect of Nagekeo Language contains word list that can be sued to explore lexical variation and phonological variation, whereas field of syntax is used to crosscheck the same response of the informants for different items or even no response in the questionnaire through in-depth interview.
  • 54. liv 5.2.2 Criteria of the Questionnaire To get satisfactory result, the questionnaire in this research comply with the general criteria (Ayatrohaedi, 1979: 38 – 39; cf. Nashun, 1995: 106 – 112), as follows: 1) The questionnaire in this research is made in such a way as to reveal various speech variations (specific characteristics) found in Nagekeo language. The answers are then identified as the determining characteristics of isolect status, both lexical and phonological variations. 2) The questionnaire is arranged based on the grouping of semantic fields, considering the nature and the condition of the culture of Nagekeo people. 3) The questionnaire is easy and simple, hoping that the informants can give the answers directly and spontaneously and the first answer is regarded as the most appropriate answer. 5.2.3 Organization of the Questionnaire The questionnaire in this study contains 1,000 words, which is expected to explore the lexical and phonological variation. The questions are arranged according to semantic fields so that the informants can give direct and spontaneous answer. For this purpose, the questions are arranged based on meaning relation according to each semantic field. This means, words that have meaning realation are grouped in the same group. 5.2.4 Scope of the Questionnaire The questionnaire in this study is in the form of lexical questions. This means, the questionnaire is in the form of list of words of various domains of people’s life, with the consideration of phonological and lexical variation in various dialects (cf. Lauder, 1990:70). Based on the aim, the questionnaire in this research (cf. Ayatrohaedi, 1979:41; cf. Mashun, 1995: 107 – 112; and cf. Lauder, 1990:70) include two aspects, they are: 1) phonetic and 2) lexical aspect. 5.3 Criteria for the Informants Data collection is done by visiting the 50 villages that have been chosen as the areas of observation. Based on the opinion of Samarin that dialectology research needs many informants and the opinion of Uhlenbeck that a linguist does not only rely on only one informant because more than one informant will give more objective picture of local linguistic situation (Lauder, 1990:84; cf, Mashun, 1995:106), in this research one key informant and two additional informants are chosen from each area of observation.