Cerita ini menggunakan metafora permainan monopoli untuk menggambarkan hubungan antara kapitalis dan rakyat biasa. Dableng selalu kalah dan berhutang pada Ateng karena kekurangan modal, mirip negara-negara berkembang yang terus berhutang pada negara-negara maju. Satu-satunya cara untuk menghentikan penindasan ini adalah dengan meninggalkan permainan monopoli dan beralih ke permainan lain, sama seperti negara
1. 01/01/14
KALAM-UPI.ORG: Cerpen _ Ateng vs Dableng, Kapankah Berakhir?
CE RP E N _ ATE NG VS DAB LE NG, K AP ANK AH
BERAKHIR?
P o sted in sastra
No c o mment y et
“Arrggh..kena lagi! ” Dableng menggerutu. Lagi lagi Ia menginjak komplek H, yakni Afrika.
Padahal, komplek milik Ateng lawan mainnya tersebut sudah berhotel. Artinya, Ia harus
kembali menyetor uang 200.000 pada Ateng.
Namun naas, ternyata uang Dableng sudah habis tak bersisa. Akhirnya, Dableng
memutuskan untuk berhutang .“T eng, Gua ngutang dulu deh”. Bagi Dableng, permainan
monopoli yang sedang dijalaninya kini seperti neraka. Komplek komplek berhotel kini
memenuhi kotak yang ada, dan semua komplek itu Ateng yang punya.
Pada mulanya, Dableng juga sebenarnya memiliki komplek. Diantaranya B, D ,G. serta
perusahaan air dan listrik. Namun karena kurang beruntung, Ia malah sering menginjak
komplek milik Ateng. Akhirnya, uang miliknya-pun cepat habis. Hingga untuk membayar biaya
injak sewa setelah uangnya habis, Dableng terpaksa menjual komplek komplek miliknya pada
Ateng.
T entu, dalam kondisi tak memiliki komplek, bagi Dableng setiap kesempatan melempar dadu
adalah horor. Hampir dipastikan, berapapun angka yang keluar dari dadu, Dableng mesti
menginjak komplek milik Ateng. Akhirnya, Iapun harus terus berhutang dan berhutang untuk
dapat menyambung hidup dalam dunia monopoli. Hanya sesekali saja Ia menginjak kotak
kesempatan dan mendapat kartu hak berupa hadiah uang. Namun naas, setiap Ia dapat
uang, uangnya mesti langsung disetorkan pada Ateng. Demikian halnya ketika Dableng
mendapatkan uang hasil parkir bebas atau uang bonus 20.000 sebagai hadiah rutin dari
bank karena telah melewati garis start, itu juga mesti langsung disetor pada Ateng untuk
melunasi hutang.
Maka jangan heran bila Dableng berfikir, masuk kotak penjara lebih baik daripada terus
hidup dalam panggung monopoli yang keras. Penjara akan mengurungnya, dan membuatnya
tertahan beberapa saat untuk melanjutkan kehidupan yang penuh hutang. T oh, Iapun sudah
sangat yakin, bahwa tak ada lagi kemungkinan baginya untuk merubah keadaan. Modalnya
untuk mendapat uang benar benar tertutup. T ak ada yang dapat membantunya. Karena
hanya ada dirinya dan Ateng dalam panggung monopoli itu.
www.kalam-upi.org/2013/12/cerpen-ateng-vs-dableng-kapankah.html
1/4
2. 01/01/14
KALAM-UPI.ORG: Cerpen _ Ateng vs Dableng, Kapankah Berakhir?
Bagaimana dengan Ateng? T ak terbesit dalam dirinya untuk memberikan pengampunan pada
Dableng. Ia terus membiarkan Dableng berhutang dan berhutang. Bahkan hingga kini, uang
milik Ateng sudah jauh lebih banyak ketimbang uang milik Bank. Walau tentu, kebanyakan
uang tersebut berupa uang non-riil, yang didapatnya dari hutang Dableng. Bahkan Ateng
berfikir, seandainya kotak start, kesempatan, penjara, dan parkir bebas itu bisa dibeli, maka
Ia akan membelinya. Ia sanggup dengan biaya sebesar apapun.
Ne g ar a Dab le n g
Peradaban Kapitalisme lahir dengan kebebasan kepemilikan sebagai salah satu pilarnya.
Peradaban ini membiarkan setiap yang hidup dibawah naungannya untuk bertarung
memperebutkan segalanya dengan asas kebebasan. Semua boleh saling berebut
mendapatkan apa saja yang disediakan oleh Sang Pencipta, asalkan memang punya modal
untuk memiliki dan mengelolanya. T ak ada yang berhak untuk mencampuri masalah ini,
termasuk institusi Negara, bahkan T uhan sekalipun.
Maka jadilah Peradaban ini seperti permainan monopoli. Sebagian kecil dari mereka yang
beruntung, berkesempatan untuk memiliki komplek komplek strategis yang menjadi modal
hidup seluruh umat manusia. Mulai tambang minyak, tambang emas, tambang batubara,
hutan hutan hingga sumber mata air. Dengan kepemilikan atas hal hal tersebut, mereka
memiliki modal yang sangat besar untuk memonopoli pembangunan peradaban. Hanya
merekalah yang akhirnya berkuasa atas pembangunan rumah sakit, sarana pendidikan,
media massa, lembaga perekonomian, hingga tatanan pemerintahan. Akhirnya Kita bisa
dapati, bahwa merekalah yang sebenarnya mengendalikan kehidupan ini. T entunya, dengan
rasa tamak dan serakah. Siapa mereka? Merekalah yang kini sering Kita sebut sebagai Para
Kapitalis.
Sementara itu, sebagian besar manusia lainnya tak berkesempatan memiliki komplek
apapun. Mereka terpojok dan hanya mampu mengabdikan hidupnya untuk memberikan apa
yang dipunya pada Para Kapitalis. Mereka seolah tak punya modal untuk melawan
kedigdayaan para Kapitalis. Mereka orang yang dikendalikan dan dikuasai. Mereka harus
berhutang pada lembaga lembaga yang dimiliki oleh para Kapitalis. Hingga akhirnya, mereka
tersandera olehnya. Bagaimana psikologi mereka yang berhutang? Ia tak akan pernah
berani membantah titah sang pemberi hutang. Apapun yang diinginkan sang pemberi hutang
mestilah dituruti. Mulut mulut mereka disumpal agar tak sedikitpun berontak terhadap
kekuasaan dan kedigdayaan para Kapitalis. Kasihan.
Negeri Negeri Muslim, termasuk Indonesia, kini menjadi Dableng dalam peradaban
Kapitalisme. T engoklah Indonesia, meskipun memiliki lokasi yang strategis dan kaya akan
Sumber Daya Alam, tapi semuanya tak dapat dikelola sendiri. Hampir seluruh komplek
www.kalam-upi.org/2013/12/cerpen-ateng-vs-dableng-kapankah.html
2/4
3. 01/01/14
KALAM-UPI.ORG: Cerpen _ Ateng vs Dableng, Kapankah Berakhir?
sumber daya di Negeri ini ludes di jarah oleh Para Ateng di Peradaban Kapitalisme.
Semuanya dijual tanpa tedeng aling aling oleh para Pemimpin Negeri ini. Hingga akhirnya
Negeri ini tak punya komplek sama sekali. T anpa komplek, tentu Negeri ini tak punya modal
untuk membangun dirinya sendiri.
Padahal semua tau, bahwa bagaimanapun rakyat di Negeri ini perlu diurus dan diberi modal
untuk hidup. Diberi makan, dibesarkan dan disekolahnya. Lantas apa jadinya bila Negeri ini
tak punya apa apa untuk membangun dirinya sendiri? Berhutang. Ya, berhutang pada para
Kapitalis, pada mereka yang kaya dan digdaya. Cara ini menurut para pemimpin Negeri ini
adalah yang paling realistis dan ekonomis. Bisa jadi karena kiblat pemimpin Negeri ini adalah
prilaku Dableng yang juga berhutang pada Ateng tatkala kehabisan modal hidup dalam dunia
monopoli.
T api sayang, para Pemimpin mungkin tak tau bahwa Dableng yang rajin berhutang itu
ternyata orang gendeng. Maka tengoklah, apa yang terjadi setelah Negeri ini mengikuti
prilaku Dableng? F aktanya, Negeri ini semakin tak bisa berbuat banyak. Para pemimpin
semakin tunduk dan sungkan berontak pada para Kapitalis. Perintah apapun, termasuk yang
jelas jelas merugikanpun akhirnya dituruti. Karena kebodohannya, Negeri ini semakin tak
punya kedaulatan. Aset asetnya terus dijarah, dan hutang hutangnya terus bertambah.
Parah!
T entu saja, bila mekanisme Peradaban yang mirip pertarungan antara Ateng dan Dableng ini
terus berlanjut, maka kesejenjangan yang semakin menganga tak mungkin terhenti. Para
Kapitalis akan semakin berkuasa dan digdaya, sementara kondisi korbannya akan semakin
naas dan tertindas. T erus dan terus. T ak akan berhenti.
Ke simp u lan d an Sar an
Lalu, apa yang mesti dilakukan oleh Dableng untuk menghentikan penindasan Ateng?
Sebetulnya jawabannya sangat sederhana. T inggal sudahi saja permainan monopoli
tersebut, dan jalankan permainan yang lain. Demikian halnya bila Negeri ini ingin
menghentikan penindasan Para Kapitalis. Maka jawabannya sangat sederhana. Negeri ini
hanya perlu Meninggalkan peradaban Kapitalisme, dan jalankan peradaban yang lain. T entu,
peradaban itu tak boleh sembarang peradaban. Namun mestilah peradaban yang mampu
menciptakan mekanisme kehidupan yang baik, yakni peradaban Islam yang tegak dalam
institusi bernama Khilafah Islamiyyah. [F A]
www.kalam-upi.org/2013/12/cerpen-ateng-vs-dableng-kapankah.html
3/4