Sebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-Ondelferrydmn1999
Indonesia, negara kepulauan yang kaya akan keragaman budaya, suku, dan tradisi, memiliki Jakarta sebagai pusat kebudayaan yang dinamis dan unik. Salah satu kesenian tradisional yang ikonik dan identik dengan Jakarta adalah ondel-ondel, boneka raksasa yang biasanya tampil berpasangan, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Ondel-ondel awalnya dianggap sebagai simbol budaya sakral dan memainkan peran penting dalam ritual budaya masyarakat Betawi untuk menolak bala atau nasib buruk. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan zaman, makna sakral ondel-ondel perlahan memudar dan berubah menjadi sesuatu yang kurang bernilai. Kini, ondel-ondel lebih sering digunakan sebagai hiasan atau sebagai sarana untuk mencari penghasilan. Buku foto Lensa Kampung Ondel-Ondel berfokus pada Keluarga Mulyadi, yang menghadapi tantangan untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel warisan leluhur di tengah keterbatasan ekonomi yang ada. Melalui foto cerita, foto feature dan foto jurnalistik buku ini menggambarkan usaha Keluarga Mulyadi untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel sambil menghadapi dilema dalam mempertahankan makna budaya di tengah perubahan makna dan keterbatasan ekonomi keluarganya. Buku foto ini dapat menggambarkan tentang bagaimana keluarga tersebut berjuang untuk menjaga warisan budaya mereka di tengah arus modernisasi.
1. Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu
pada suatu hari seorang laki-laki datang ke rumah Abu Dzar. Orang itu
melayangkan pandangannya ke setiap pojok rumag Abu Dzar. Dia tidak
menemukan apa-apa dalam rumah itu. Karena itu orang tersebut bertanya kepada
Abu Dzar, “Hai Abu Dzar! Dimana barang-barangmu?”. Jawab Abu Dzar, “Kami
mempunyai rumah yang lain (di akhirat), barang-barang kami yang bagus telah
kami kirimkan ke sana”.
Orang tersebut rupanya mengetahui maksud Abu Dzar. Lalu dia berkata
pula, “Tetapi bukanlah kamu memerlukan juga barang-barang itu di rumah ini (di
dunia)?”. Kemudian Abu Dzar menjawab “Tetapi yang punya rumah (Allah) tidak
membolehkan kami tinggal di sini (di dunia) selama-lamanya.”
Dalam kisah lain diceritakan. Pada suatu ketika Wali Kota Syam
mengirimkannya tiga ratus dinar. Dia berkata pada Abu Dzar, “Manfaatkanlah uang
ini untuk memenuhi kebutuhanmu!”. Kemudian Abu Dzar mengembalikan uang itu
seraya berkata, “Apakah Wali Kota tidak melihat lagi seorang hamba Allah yang
lebih memerlukan bantuan? ”.
Suatu hari, Nabi bertanya, “Abu Dzar, bagaimana pendapat mu bila
menjumpai ada pembesar yang mengambil upeti (kekayaan) untuk diri sendiri?”.
Jawab Abu Dzar tegas : “Demi yang telah mengutus anda dengan kebenaran, akan
saya tebas mereka dengan pedangku !”. “Maukah kamu aku beri jalan yang lebih
baik dari itu?” Yaitu bersabar sampai kamu menemuiku!”.
Artinya : sampai Abu Dzar meninggal. Janji Nabi itu di pegang teguh oleh
Abu Dzar. Para pembesar dimanapun, asal dijumpai hidup mewah dan berfoya-
foya, maka Abu Dzar akan ‘menembaknya’ dengan teriakan kerasnya:
“Beritakanlah kepada para penumpuk harta/yang menumpuk emas dan perak/
2. mereka akan disetrika dengan setrika api neraka/ menyeterika kening dan punggung
mereka di hari kiamat”.