Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...
OTORI KLAN
1. KISAH KLAN OTORI 4:
THE HARSH CRY OF THE HERON
Copyrigth@Lian Hearn
Associates Pty Ltd 2006
All rights reserved
Hak terjemahan ada pada Penerbit Matahati
Diterbitkan oleh Penerbit Matahati
Judul asli:
TALES OF THE OTORI:
The Harsh Cry of the Heron
by Lian Hearn
Simbol Klan oleh Claire Aher
Terjemah “Tales of the Heiki” adalah dari Helen
Craig McCullough, dan diterbitkan oleh Stanford
University Press, 1988
Dentang genta Gion Shoja
mengumandangkan ketidakabadian
segalanya.
Warna bunga sala mengungkapkan
kebenaran bahwa kemakmuran akan
mengalami kemunduran.
Keangkuhan tak akan bertahan lama,
layaknya mimpi di malam musim
semi
Kekuasaan pada akhirnya akan jatuh,
2. layaknya debu yang tertiup angin.
THE TALE OF THE HEIKI
Halaman 446 dari 446
THE HARSH CRY OF THE HERON
TOKOH UTAMA :
Otori Takco penguasa Tiga Negara
Otori Kaede istrinya
Shigeko putri sulung mereka, pewaris Maruyama
Maya putri Kembar mereka
Miki
Arai Zenko pemimpin Klan Arai, penguasa Kumomoto
Arai Hana istrinya, adik Kaede
Sunaomi dan Chikara anak mereka
MutoKenji ketua keluarga Muto dan Tribe
Muro Shizuka pengganti dan keponakan Kenji, ibu dari Zenko dan Taku
Muto Taku mata-mata Takeo
Sada anggota Tribe sahabat Maya
Mai adik dari Sada
Yuki (Yusetyu) putri Kenji, ibu dari Hisao
Muto Yasu pedagang
Imai Bunta informan Shizuka
Tabib Ishida suami Shizuka, tabibnya Takco
Sugita Hiroshi pengawal senior Maruyama
Miyoshi Kahei panglima perang Takeo,penguasa Yamagata
Miyoshi Gemba saudaranya
3. Sonoda Mitsuru penguasa Inuyama
Matsuda Shingen Kepala biara Terayama
Kubo Makoto (Eiken) penggantinya,sahabat Takeo
Minoru jurutulis Takeo
Kurado Junpei
Kurado Shinsaku pengawal Takeo
Terada Fumio pemimpin angkatan laut
Lord Kono putra Lord Fujiwara
Saga Hideki jenderal Kaisar
Don Joao orang asing, pedagang
Don Carlo orang asing, pendeta
Madaren penerjemah mereka
Kikuta Akio ketua keluarga Kikuta
Kikuta Hisao anaknya Kikuta
Gosaburo paman Akio
Halaman 447 dari 447
KUDA :
Tenba kuda hitam pemberian Shigeko untuk Taeko Dua anak Raku, surai
dan ekor mereka berwarna abu¬abu
Ryume kuda tunggangan Taku
Keri kuda tunggangan Hiroshi
Ashiege kuda tunggangan Shigeko
"Cepat kemari! Ayah dan Ibu sedang bertarung!" Otori Takeo
mendengar putrinya memanggil adik-adik-nya dari kediaman
mereka di kastil Inuyama, dengan cara yang sama ia
4. mendengarkan semua hiruk-pikuk baik di dalam kastil dan juga
dari kota di luar kastil. Namun dia mengabaikan suara-suara itu,
sama seperti ia mengabaikan nyanyian yang mengalun dari
nightingale floor di bawah kakinya. Ia hanya berkonsentrasi pada
lawannya: Kaede, istrinya.
Mereka bertarung menggunakan tongkat: ia memang lebih tinggi,
tapi istrinya terlahir kidal dan mampu menggunakan tangan kanan
dengan sama baiknya. Sementara jari tangan kanannya putus
karena tebasan belati bertahun-tahun lalu dan harus belajar
meng¬gunakan tangan kiri.
Saat ini hari terakhir di tahun ini, hawa dingin menusuk, langit
pucat kelabu, matahari musim dingin meredup. Mereka sering
berlatih dengan cara ini di musim dingin: menghangatkan tubuh
dan membuat sendi-sendi tetap lentur, dan Kaede suka putri-putrinya melihat bagaimana
perem¬puan
mampu bertarung layaknya laki-laki.
Ketiga putri mereka berlarian: Shigeko, si sulung. yang akan berusia lima belas lahun pada
tahun baru
ini, kedua adiknya tiga belas tahun. Papan lantai melantunkan nyanyian di bawah langkah kaki
Shigeko, tapi si kembar menjejakkan kaki mereka begitu ringan dengan cara Tribe. Mereka
sudah
sering berlarian melintasi nightingale floor sejak kecil, dan tanpa menyadari belajar untuk
membuatnya tidak bersuara.
Kepala Kaede ditutupi selendang sutra merah yang dililitkan menutupi wajahnya, maka Takeo
hanya
bisa melihat matanya. Mata yang penuh dengan energi bertarung, dan gerakan-gerakannya
masih
cepat serta kuat. Sulit dipercaya Kaede adalah ibu dari tiga anak: dia masih bergerak dengan
5. kekuatan dan kebebasan seorang gadis. Serangannya membuat Takeo menyadari akan usia dan
kelemahan fisiknya. Hentakan serangan Kaede pada tongkat miliknya mem¬buat tangannya
terasa
nyeri.
"Aku mengaku kalah," ujar Takeo.
"Ibu menang!" seru ketiga putrinya dengan bangga. Shigeko lari menghampiri ibunya dengan
membawa handuk. "Untuk sang pemenang," ujarnya seraya mem¬bungkuk dan menyodorkan
handuk
dengan dua tangan.
"Kita harus bersyukur karena hidup dalam damai," tutur Kaede, seraya tersenyum dan
menyeka
wajahnya. "Ayah kalian belajar keahlian berdiplomasi dan tak perlu lagi ber¬tarung
mempertaruhkan
nyawanya!"
"Setidaknya kini aku sudah mendapat peringatan!" sahut Takeo, memberi isyarat pada salah
satu
penjaga, yang tengah menyaksikan dari taman untuk mengambil longkatnya.
Halaman 448 dari 448
"Ijinkan kami bertarung melawan Ayah!" ujar Miki, si bungsu, dengan nada me¬mohon. Dia
berjalan
ke tepian beranda dan mengacungkan kepalan tangan ke arah ayah¬nya. Takeo berhati-hati
untuk
tidak menatap langsung mata atau menyentuh putrinya itu selagi memberikan tongkatnya.
Takeo sadar akan rasa enggan dalam dirinya. Bahkan orang dewasa dan prajurit tangguh
sekalipun,
takut pada si kembar— bahkan, batinnya dengan hati pilu, ibunya sendiri juga takut.
"Ayah ingin lihat apa saja yang telah dipelajari Shigeko," sahutnya. "Kalian berdua boleh
menjajal
kebolehannya."
6. Selama beberapa tahun putri sulungnya menghabiskan sebagian besar waktu di Terayama, di
bawah
pengawasan mantan Kepala Biara, Matsuda Shingen, mantan guru Takeo, untuk mempelajari
Ajaran
Houou. Shigeko tiba di Inuyama sehari sebelumnya, untuk merayakan Tahun Baru bersama
keluarganya, juga perayaan me¬masuki usia akil balik. Kini Takeo memer¬hatikan putrinya
selagi
mengambil tongkat yang tadi digunakannya serta meyakinkan kalau Miki menggunakan
tongkat yang
lebih ringan. Secara fisik, Shigeko mirip ibunya: bentuk tubuh ramping yang sama serta
kerapuhan
yang jelas terlihat, namun me¬miliki karakter, berpengetahuan luas berkat latihan dan
pengalaman,
periang serta tegas dan tidak mudah berubah pendirian. Ajaran Houou amat keras dalam
pengajarannya, dan guru-gurunya tidak membuat pengecualian untuk usia dan jenis kelamin,
namun
ia tetap menerima ajaran dan latihan yang diberikan, hari-hari panjang dalam kesendirian
serta
kcsunyian, dengan sepenuh hati. Dia ke Terayama atas kemnuannya sendiri, karena Ajaran
Houou
merupakan ajaran jalan kedamaian, dan sejak kecil Shigeko telah diajarkan ayahnya tentang
pandangan untuk mewujudkan wilayah yang damai tempat kekcrasan tak pernah merajalela.
Cara bertarungnya agak berbeda dari cara yang diajarkan kepada Takeo, dan dia sangat suka
memerhatikan putrinya itu, menikmati bagaimana gerakan-gerakan tradisional menyerang
diubah
menjadi gerakan beladiri, dengan tujuan melemahkan lawan tanpa menyakiti.
"Jangan curang," kata Shigeko pada Miki, karena si kembar memiliki semua kemampuan Tribe
—
bahkan lebih, Takeo curiga. Saat ini, kemampuan mereka ber¬kembang pesat, dan meskipun
dilarang
menggunakannya dalam kehidupan sehari¬hari, terkadang godaan untuk memper¬mainkan
guruguru
7. serta mengelabui para pelayan sulit untuk dibendung.
"Mengapa aku tidak boleh memperlihatkan apa yang sudah kupelajari?" tanya Miki, karena dia
juga
baru kembali dari pelatihan—di desa Tribe bersama keluarga Muto. Kakaknya Maya akan
kembali ke
sana setelah perayaan. Akhir-akhir ini jarang sekali seluruh anggota keluarga bisa berkumpul
bersama: pendidikan yang berbeda bagi tiap anak, tuntutan pada orangtua untuk mem¬beri
perhatian
yang sama besarnya untuk seluruh Tiga Negara berarti perjalanan tanpa henti serta sering
berjauhan.
Tuntutan dalam pemerintahan kian meningkat: perundingan dengan orang asing; penjelajahan
dan
per¬dagangan; pengembangan persenjataan; pengawasan distrik lokal yang mengatur sendiri
administrasinya; percobaan pertanian; impor perajin asing dan teknologi baru; pengadilan
untuk
mendengarkan keluhan serta ketidakpuasan. Takeo dan Kaede memikul beban ini bersama.
Kaede
lebih banyak menangani wilayah Barat, sedang Takeo Negara Tengah dan keduanya
bekerja¬sama
menangani wilayah timur, tempat adik Kaede, Ai beserta suaminya, Sonoda Mitsuru,
memegang
bekas wilayah Tohan.
Miki setengah kepala lebih pendek dari kakaknya, tapi sangat kuat dan cepat; Shigeko tampak
nyaris
tak mampu meng¬imbangi gerakannya, tapi adiknya tak mampu menembus pertahanannya.
Dalam
beberapa saat Miki sudah kehilangan tongkatnya, yang tampak seperti terbang melayang dari
jemarinya, dan sewaktu tongkat itu membumbung tinggi Shigeko menangkapnya dengan
mudah.
"Kau curang!" Miki terengah-engah.
"Lord Gemba yang mengajari," sahut Shigeko dengan bangga.
8. Adik kembarnya yang satu lagi, Maya, mengambil giliran selanjutnya juga kalah dengan cara
yang
sama.
Shigeko berkata, pipinya bersemu merah, "Ayah, ayo bertarung denganku!"
"Baiklah," Takeo setuju karena terkesan dengan apa yang telah dipelajari putrinya dan ingin
tahu
sampai di mana kemampuannya menghadapi ksatria yang terlatih.
Takeo menyerang putrinya dengan cepat, tanpa menahan tenaga, dan serangan pertama
mengejutkan gadis itu. Tongkat ayahnya mengenai dadanya; Takco menahan tikamannya agar
tidak
menyakiti putrinya.
Halaman 449 dari 449
"Jika ini pedang, nyawamu pasti sudah melayang," ujarnya.
"Lagi," sahut Shigeko dengan tenang, dan kali ini siap bersiap menghadapi serangan yang akan
dilancarkan ayahnya; bergerak dengan kecepatan tanpa banyak tenaga, mengelak dari dua
pukulan
dan berhasil masuk ke sisi kanan ayahnya tempat tangan yang lebih lemah, menghentak
sedikit,
cukup untuk menggoyahkan keseimbangan ayah¬nya, kemudian meliukkan tubuhnya. Tongkat
milik
Takeo jatuh ke tanah.
Didengarnya helaan napas si kembar, dan para penjaga terperangah.
"Bagus sekali," ujarnya.
"Ayah tidak berusaha sekuat tenaga," sahut Shigeko kecewa.
"Tentu saja ayah berusaha sekuat tenaga. Sama kuatnya seperti yang pertama tadi. Tapi, ayah
sudah
dibuat lelah oleh ibumu, juga karena sudah tua dan tidak sekuat dulu lagi!"
"Tidak," pekik Maya. "Shigeko menang!"
9. "Tapi itu sama saja kau curang," timpal Miki dengan serius. "Bagaimana kau melaku¬kannya?"
Shigeko tersenyum, menggelengkan
kepala. "Itu yang harus kau lakukan dengan
pikiran, jiwa serta tangan di saat bersamaan.
Butuh waktu berbulan-bulan untuk bisa menguasainya. Aku tidak bisa memperlihat¬kannya
begitu
saja pada kalian."
"Kau melakukannya dengan sangat baik," ujar Kaede. "Aku bangga." Nada suaranya terdengar
penuh
kasih sayang dan kekaguman, seperti biasa hanya tertuju pada putri sulungnya.
Si kembar saling benukar pandang.
Mereka iri, pikir Takeo. Mereka tahu ibunya tidak memiliki kasih sayang yang sama kuatnya
pada
mereka. Dan dirasakan¬nya debaran perasaan ingin melindungi yang tak asing lagi atas kedua
putri
kembarnya. Sepertinya ia selalu berusaha menjauhkan mereka dari segala yang bahaya—sejak
mereka lahir, ketika Chiyo ingin menyingkir¬kan bayi kedua, Miki, lalu membiarkannya mati.
Ini
tindakan yang biasa lakukan pada anak kembar karena anak kembar dianggap tidak wajar bagi
manusia, membuat mereka kelihatan lebih mirip hewan, kucing atau anjing.
"Mungkin tampak kejam bagi Anda, Lord Takeo," Chiyo memeringatkannya. "Tapi lebih baik
bertindak
sekarang daripada menanggung malu dan sial, sebagai ayah dari anak kembar, rakyat akan
percaya
kalau Anda menjadi sasarannya."
"Bagaimana mereka bisa berhenti percaya pada takhayul dan kekejaman semacam itu bila
bukan kita
yang memberi contoh?" sahutnya dengan gusar karena bagi orang yang terlahir di kalangan
kaum
Hidden, ia sangat menghargai nyawa manusia lebih dari apa pun, dan tak percaya kalau
10. memper¬tahankan nyawa anak akan mendatangkan hinaan atau nasib buruk.
Kemudian ia terkejul oleh kekuatan takhayul ini. Kaede pun bukannya tidak ter¬pengaruh,
dan
sikapnya pada putri kembar¬nya menggambarkan kegelisahannya yang bercabang. Dia lebih
memilih
mereka tinggal terpisah, satu atau yang lainnya biasanya tinggal bersama Tribe; dan Kaede
tak
meng¬inginkan kehadiran mereka saat perayaan usia akil balik sang kakak, takut kalau
kehadiran
mereka akan mendatangkan nasib sial bagi Shigeko. Tapi Shigeko, yang sama protektifnya
terhadap
si kembar seperti ayah¬nya, memaksa mereka harus hadir. Takeo senang dengan hal itu, tidak
ada
yang lebih membahagiakan selain melihat semua anggota keluarga berkumpul bersama,
berada
dekat dengannya. Dipandanginya mereka semua dengan penuh kasih sayang, dan sadar kalau
perasaan itu diambil alih oleh sesuatu yang lebih menggairahkan: hasrat untuk ber¬baring
bersama
dan merasakan kulit istrinya. Pertarungan tongkat tadi telah membangkit¬kan kenangannya
saat
pertama kali jatuh cinta pada Kaede, pertama kali mereka bertanding di Tsuwano sewaktu ia
masih
berusia tujuh belas tahun sedangkan Kaede lima belas tahun. Adu tanding itu ber¬langsung di
Inuyama, tepat di tempat yang sama hari ini, untuk pertama kalinya mereka tidur bersama,
terdorong
hasrat yang timbul dari keputusasaan juga kesedihan. Rumah yang lama, kastil milik Iida,
nightingale
floor yang pertama habis terbakar ketika Inuyama jatuh namun Arai Daiichi membangunnya
kembali
dengan cara yang hampir sama, dan kini menjadi salah satu dari Empat Kota yang termasyhur
di
penjuru Tiga Negara.
11. Halaman 450 dari 450
"Anak-anak harus segera beristirahat," ujar Takeo, "karena perayaan di biara dimulai tengah
malam,
lalu ada Jamuan Makan Tahun Baru. Acara baru akan selesai pada Waktu Macan*. Aku juga
ingin
berbaring sebentar."
"Akan kuminta agar tungku disiapkan di kamar," sahut Kaede, "sebentar lagi aku akan
bergabung
denganmu."
***
Sinar matahari telah memudar saat Kaede mendatangi Takeo, dan malam musim dingin mulai
menjelang. Meskipun ada tungku, hembusan napas Kaede membentuk kabut putih di tengah
dinginnya udara. Selesai mandi, aroma kulit padi dan aloe dari air masih melekat di kulitnya.
Di balik
jubah tebal musim dingin tubuhnya terasa hangat. Takeo melepas sabuk istrinya lalu
menyelinakan
tangan ke balik pakaiannya, menarik tubuh Kaede agar berdekatan dengannya. Kemudian
dilepasnya
syal yang menutupi kepala Kaede lalu menarik, meng¬usapkan tangannya di atas kulit lembut
ber¬bulu halus.
"Jangan," ujar Kaede. "Buruk sekali." Takeo tahu kalau istrinya tak rela kehilangan rambut
panjangnya
yang indah, maupun bekas luka di tengkuk lehernya yang putih, yang mencoreng kecantikan
yang
pernah menjadi legenda sekaligus takhayul; tapi tidak nampak olehnya ketidaksempumaan
tubuh
istrinya, yang tampak hanyalah makin bertambahnya kerapuhan yang justru di matanya
membuat
sang istri semakin terlihat memesona.
12. "Aku menyukainya. Seperti pemain sandiwara. Membuatmu kelihatan seperti laki-laki
sekaligus
perempuan, juga orang dewasa sekaligus anak-anak."
"Kau juga harus perlihatkan bekas luka¬mu." Kaede menarik sarung tangan sutra yang biasa
dikenakan Takeo di tangan kanannya, lalu membawa sisa bekas jarinya yang putus ke
bibirnya.
"Apakah tadi aku menyakitimu?"
"Tidak juga. Hanya sisa rasa sakit— pukulan seperti apa pun menyakitkan persendian dan
membangkitkan rasa sakit¬nya." Takeo bicara lagi dengan suara pelan, "Saat ini aku merasa
kesakitan, tapi karena alasan lain."
"Rasa sakit semacam itu bisa kusembuh¬kan," bisik Kaede, seraya menarik tubuh suaminya,
membuka diri pada Takeo, membawanya memasuki dirinya, memper¬temukan hasrat mereka.
"Kau selalu menyembuhkan diriku," ujar Takeo kemudian. "Kau membuat diriku utuh ."
Kaede berbaring dalam dekapan Takeo, dengan kepala bersandar di bahunya. Pandangannya
menjelajahi setiap sudut kamar. Cahaya lampu bersinar dari pegangan best, tapi di balik daun
penutup jendela langit tampak kelam.
"Mungkin tadi kau sudah memberiku seorang putra," ujar Kaede, tidak mampu
menyembunyikan
kerinduan dalam nada suaranya.
"Kuharap tidak!" seru Takeo. "Dua kali hamil nyaris merenggut nyawamu. Lagipula kita tidak
perlu
anak laki-laki," imbuhnya dengan ringan. "Kita sudah punya tiga anak perempuan."
"Aku pernah mengatakan hal yang sama pada ayahku," aku Kaede. "Aku percaya kalau diriku
bernilai
sama dengan laki-laki."
"Begitu pula dengan Shigeko," sahut Takeo. "Dia akan mewarisi Tiga Negara, juga anak-
anaknya
kelak."
13. "Anak-anaknya! Shigeko masih anak-anak. tapi sudah cukup dewasa untuk ditunangkan. Siapa
orang
yang bisa kita calonkan dengan¬nya?"
"Jangan terburu-buru. Shigeko seperti piala, perhiasan yang nyaris tak ternilai harganya. Kita
takkan
melepasnya dengan percuma."
Kaede kembali pada pokok pembicaraan sebelumnya seolah hal itu menggerogoti dirinya. "Aku
ingin
memberimu anak laki¬laki."
"Meskipun dengan adanya pewarisanmu sendiri serta contoh dari Lady Maruyama! Kau masih
saja
bicara layaknya putri dari keluarga ksatria!"
Halaman 451 dari 451
Kegelapan dan ketenangan membawa Kaede menyuarakan kecemasannya lebih jauh lagi.
"Kadang
aku berpikir si kembar menutup rahimku. Aku merasa andai mereka tidak dilahirkan aku akan
dikaruniai anak laki-laki."
"Kau terlalu banyak mendengar takhayul!"
"Mungkin kau benar. Tapi apa yang akan terjadi pada anak kembar kita? Mereka tidak bisa
mewarisi,
kalau-kalau terjadi sesuatu pada Shigeko, semoga Surga tidak mem¬biarkan itu terjadi. Maka
siapa
yang akan dinikahkan? Tidak satu pun keluarga bangsawan atau ksatria mau menerima si
kembar,
terutama yang ternoda—maaf oleh darah Tribe serta kemampuan yang mirip ilmu sihir."
Takeo tak bisa menyangkal bahwa hal yang sama juga mengganggu pikirannya, namun ia
berusaha
menyingkirkannya. Putri kembarnya masih amat muda: siapa yang tahu apa yang disiapkan
nasib
14. untuk mereka?
Setelah beberapa saat, Kaede berkata pelan, "Tapi mungkin kita memang sudah terlalu tua.
Semua
orang penasaran mengapa kau tidak mengambil istri muda, atau selir, agar bisa punya lebih
banyak
anak."
"Aku hanya menginginkan satu istri," sahut Takeo dengan sungguh-sungguh. "Perasaan apa pun
yang pernah kuperlihat¬kan untuk berpura-pura, peran apa pun yang kumainkan, cintaku
padamu
sederhana dan sejatj adanya—aku takkan bercinta dengan siapa pun selain kau. Pernah
kukatakan
padamu, aku pernah bersumpah pada Kannon di Ohama. Aku tidak melanggar sumpah itu
selama
enam belas tahun. Dan aku tak akan melanggamya sekarang."
"Kurasa aku bisa mati cemburu," aku Kaede. "Namun perasaanku tidaklah penting
dibandingkan
kepentingan negara."
"Aku percaya kita dipersatukan dalam cinta yang merupakan landasan pemerin¬tahan kita
yang baik.
Aku tak akan merusak¬nya," sahutnya. Takeo merengkuh Kaede lebih dekat lagi, mengusapkan
tangannya di atas bekas luka leher istrinya, merasakan tulang rusuk yang mengeras dari
jaringan
yang tertinggal bekas luka bakar. "Selama kita bersatu, negara kita akan tetap damai dan
kuat."
Setengah mengantuk Kaede berkata, "Kau ingat saat kita berpisah di Terayama? Kau menatap
mataku lalu aku jatuh tertidur. Aku tidak pernah menceritakan ini padamu. Aku bermimpi
tentang Dewi
Putih: dia berbicara padaku. Bersabarlah, katanya: dia akan menjemputmu. Kemudian satu
kali lagi di
Gua Suci kudengar suaranya mengatakan hal yang sama. Itu satu-satunya hal yang membuatku
15. bertahan selama dikurung di kediaman Lord Fujiwara. Di sana aku belajar bersabar. Aku
terpaksa
belajar bagaimana harus menunggu, tidak melakukan apa-apa, agar ia tidak punya alasan
untuk
mencabut nyawaku, Setelah itu, saat dia mati, satu¬satunya tempat yang terpikir olehku
hanya¬lah
kembali ke gua suci, kembali pada sang dewi. Bila kau tidak datang, mungkin aku akan terus
tinggal
di sana melayani sang dewi sepanjang sisa hidupku. Lalu kau datang: aku melihatmu, begitu
kurus,
racun masih ber¬sarang di tubuhmu, tangan indahmu hancur. Aku tak pernah melupakan saat
itu;
tangan¬mu di atas leherku, salju turun, jeritan pilu sang bangau...."
"Aku tak layak mendapatkan cintamu," bisik Takeo. "Cintamu adalah anugerah terindah dalam
hidupku, dan aku tak bisa hidup tanpa dirimu. Kau tahu, hidupku di¬bimbing oleh ramalan..."
"Kau pernah bilang. Dan kita sudah melihatnya terpenuhi: Lima Peperangan, campur tangan
Surga—
"
Akan kuceritakan sisanya sekarang, pikir Takeo. Akan kukatakan mengapa aku tidak
menginginkan
anak laki-laki, karena si peramal buta itu mengatakan hanya putraku yang bisa membawa
kematian
padaku. Akan kukatakan padanya tentang Yuki, dan anak yang dilahirkannya, putraku, yang
kini
berusia enam belas tahun.
Namun ia tak ingin menyakiti istrinya. Untuk apa mengorek-ngorek masa lalu? Lima
pertempuran
telah menjadi bagian dari mitologi Otori, walaupun Takeo sadar hahwa ia yang memilih
bagaimana
menghitung semua pertempuran itu: bisa saja jumlah mencapai enam, empat atau tiga. Kata-
kata bisa
diubah dan dimanipulasi agar terkesan sarat makna. Bila suatu ramalan dipercaya, seringkali
16. terpenuhi. Maka ia takkan mengeluarkan ramalan yang satu itu dalam kata-kata, karena
dengan
begitu justru meng-hidupkan ramalan itu.
Dilihatnya Kaede hampir tertidur. Terasa hangat di bawah selimut, meskipun udara di
wajahnya terasa
dingin menusuk. Tak lama lagi ia sudah harus bangun, mandi serta ber¬pakaian resmi dan
menyiapkan diri untuk upacara menyambut datangnya Tahun Baru. Malam ini akan jadi malam
yang
panjang. Tubuhnya mulai terasa rileks, dan akhirnya ia pun tertidur.*
Halaman 452 dari 452
Ketiga putri Lord Otori senang jalan ke kuil di Inuyama karena terdapat deretan patung anjing
putih
yang diselingi deretan batu tempat ratusan lampu dinyalakan di malam¬malam perayaan
besar.
Kelap-kelip cahaya lampu menyinari patung-patung anjing hingga terlihat hidup. Udara cukup
dingin
hingga membuat wajah, jari tangan, dan kaki mati rasa, dan penuh dengan asap serta aroma
dupa
dan kayu pinus yang baru ditebang.
Para peziarah pertama di Tahun Baru ini berkerumun di anak tangga curam menanjak menuju
kuil.
Lonceng besar berdentang, membuat Shigeko bergidik. Ibunya berada beberapa langkah di
depan,
berjalan ber-dampingan dengan Muto Shizuka, pen- damping kesayangannya. Suami Shizuka,
tabib
Ishida, sedang ke daratan utama. Sang tabib diperkirakan takkan kembali hingga musim semi.
Shigeko senang Shizuka akan bersama mereka selama musim dingin karena dia salah satu dari
sedikit orang yang di¬hormati si kembar; dan Shigeko pikir, Shizuka pun menyayangi dan
memahami
mereka berdua.
17. Si kembar berjalan mengapit Shigeko; sesekali beberapa orang dari kerumunan yang berada di
sekeliling mereka menatap lalu menjauh, tak ingin tersentuh; tapi umumnya mereka tidak
terlalu jelas
terlihat di bawah sinar remang-remang.
Shigeko tahu para penjaga ada di depan dan belakang mereka, dan putra Shizuka, Taku,
bertugas
menjaga ayahnya. Ia tahu kalau Shizuka dan ibunya membawa pedang pendek, dan ia pun
menyembunyikan sebuah tongkat di balik jubahnya. Ia selalu mem¬bawa tongkat karena
berguna
untuk me¬lumpuhkan orang tanpa membunuh, seperti yang diajarkan Lord Miyoshi Gemba,
salah
seorang gurunya di Terayama. Setengah berharap ia akan sempat mencobanya, tapi sepertinya
mereka takkan diserang di jantung Inuyama.
Namun ada sesuatu di malam ini yang membuatnya waspada: bukankah guru¬gurunya sering
mengatakan bahwa ksatria harus selalu siaga agar kematian, baik kematian dirinya maupun
lawannya, bisa terhindar?
Mereka tiba di aula utama kuil, tempat Shigeko bisa melihat ayahnya yang tampak kerdil di
antara
atap tinggi dan patung raksasa dewa-dewa langit. Sulit dipercaya orang yang duduk resmi di
depan
altar adalah orang yang bertarung dengannya sore tadi di atas nightingale floor. Rasa sayang
dan
hormat yang mendalam pada ayahnya mengalir dalam diri Shigeko.
Setelah mempersembahkan sesajian dan berdoa di depan Sang Pencerah, para perempuan
berjalan
ke kiri lalu berjalan lebih tinggi ke arah gunung menuju ke kuil sang maha pengampun,
Kannon. Di sini
para penjaga tetap berada di luar gerbang karena hanya perempuan yang diijinkan masuk ke
pelataran.
18. Ketika Shigeko berlutut di atas anak tangga kayu di depan patung yang berkilat, Miki
menyentuh
lengan kakaknya. "Shigeko," bisiknya. "Apa yang dilakukan laki-laki itu di sini?"
"Di sini itu di mana?"
Miki menunjuk ke ujung beranda, tempat seorang perempuan muda berjalan ke arah mereka
dengan
membawa semacam bingkisan: perempuan itu berlutut di hadapan Kaede lalu mengulurkan
nampannya.
"Jangan disentuh!" seru Shigeko. "Miki, ada berapa orang?"
"Dua," jerit Miki. "Dan mereka membawa belati!"
Saat itulah Shigeko melihat dua orang itu muncul dari udara, melompat ke arah mereka.
Shigeko
berteriak memeringatkan sambil mengeluarkan tongkatnya.
"Mereka ingin membunuh Ibu!" pekik Miki.
Tapi Kaede telah siaga pada seruan Shigeko yang pertama. Pedang sudah di tangannya. Gadis
itu
melempar nampan di depannya sambil menarik senjata miliknya, tapi Shizuka yang juga
bersenjata,
mem-belokkan serangan pertama, mematikan serangan gadis itu dengan membuat
senjata¬nya
Halaman 453 dari 453
melayang di udara, kemudian berbalik menghadapi para penyerang laki-laki. Kaede mendekati
perempuan itu dan meng-hempaskannya ke tanah, seraya mengunci lengannya.
"Maya, di dalam mulutnya," seru Shizuka. "Jangan biarkan dia menelan racunnya."
Perempuan itu melancarkan serangan dan tendangan, tapi Maya dan Kaede membuka paksa
mulutnya dan Maya memasukkan jari ke dalam mulut, mencari-cari pil beracun lalu
mengeluarkannya.
Sabetan pedang Shizuka melukai salah satu penyerang laki-laki, dan darahnya berceceran di
atas
19. anak tangga dan di lantai. Shigeko memukul penyerang yang satunya lagi di bagian samping
lehernya, seperti yang pernah dicontohkan Gemba, dan selagi si penyerang itu terhuyung,
dihujamkannya tongkat ke arah selangkangannya, tepat ke bagian alat vitalnya. Tubuhnya
melekuk,
muntah karena kesakitan.
"Jangan bunuh mereka," teriaknya pada Shizuka, tapi si penyerang yang terluka itu keburu
kabur ke
arah kerumunan. Para penjaga berhasil menangkapnya tapi tidak berhasil menyelamatkannya
dari
kemarahan kerumunan.
Shigeko tidak terlalu kaget dengan serangan itu tapi lebih merasa heran dengan serangan yang
ceroboh juga gagal itu. Ia mengira para pembunuh bayaran akan lebih mematikan, tapi ketika
penjaga
dating menghampiri ke pelataran untuk mengikat dua penyerang yang masih hidup dengan tali
kemudian menggiring mereka pergi, tampak olehnya wajah mereka di bawah cahaya lentera.
"Mereka masih muda! Tak jauh lebih tua dari usiaku!"
Tatapan gadis itu beradu pandang dengan¬nya. Tidak akan dilupakannya tatapan penuh
kebencian
itu. Itulah pertama kalinya Shigeko tersadar betapa ia sudah hampir melakukan pembunuhan,
dan
sekaligus lega dan bersyukur karena tidak mencabut nyawa kedua orang yang masih muda ini,
yang
nyaris sebaya dengan dirinya.*
"Mereka putra-putrinya Gosaburo," kata Takeo tak Lama setelah memerhatikan mereka.
Terakhir aku
lihat mereka di Matsue, mereka masih bayi." Nama mereka tertulis dalam silsilah keluarga
Kikuta, ditambahkan
ke catatan Tribe yang dikumpul¬kan Shigeru. Si pemuda, putra kedua Gosaburo bernama
Yuzu, sedangkan yang perempuan bernama Ume. Dan yang tewas bernama Kunio, anak
sulung,
20. salah satu anak laki-laki yang pernah menjalani pelatihan bersama Takeo.
Saat itu merupakan hari pertama di tahun baru. Para tawanan dibawa menghadap Takeo di
dalam
salah satu ruang tahanan di lantai paling bawah kastil Inuyama. Mereka berlutut di
hadapannya,
dengan wajah pucat tapi tanpa ekspresi. Tangan mereka diikat kencang ke belakang, tapi bisa
dia
lihat kalau pun lapar atau haus, tapi mereka tidak diperlakukan dengan kasar. Sekarang ia
harus
memutuskan apa yang harus dilakukan dengan mereka.
Kemarahan sebelumnya atas serangan terhadap keluarganya diredakan oleh harapan bahwa
kemungkinan situasi bisa berbalik menguntungkan baginya: kegagalan terbaru ini, setelah
kegagalankegagalan
yang se-belumnya, mungkin akhirnya bisa mem¬bujuk keluarga Kikuta untuk menyerah,
untuk bisa berdamai.
Aku sudah terlalu berpuas diri, pikirnya. Aku yakin kalau aku kebal terhadap serangan
mereka: aku
tidak memperhitungkan mereka akan menyerang keluargaku.
Ketakutan baru menyelimutinya saat teringat kata-katanya pada Kaede pada hari sebelumnya.
Ia tak
mampu mcmbayangkan bisa bertahan hidup jika istrinya tiada, kehilangannya; begitu pula
dengan
negara¬nya.
"Apakah mereka mengatakan sesuatu padamu?" tanyanya pada Muto Taku yang kini berusia
dua
puluh enam tahun, anak bungsu Muto Shizuka. Ayahnya dulu meru¬pakan bangsawan besar,
sekutu
dan saingan Takeo, Arai Daiichi. Kakak Taku, Zenko, mewarisi wilayah kekuasaan ayahnya
diBarat,
dan Takeo ingin memberi Taku warisan dengan cara yang sama; tapi ditolaknya, seraya
mengatakan
21. Halaman 454 dari 454
bahwa dia tak ingin memiliki wilayah kekuasaan dan kehormatan. Dia lebih memilih bekerja
dengan
paman dari ibunya. Kenji, dalam mengendalikan jaringan mata-mata yang telah Takeo bangun
melalui
Tribe. Dia menerima pernikahan politis dengan gadis Tohan yang disukainya dan telah
memberi¬nya
seorang putra dan seorang putri. Orang cenderung meremehkannya, yang justru disukainya.
Sosok
dan wajah Taku menurun dari keluarga Muto sedangkan Arai mewarisi keberanian dan
kegagahannya, serta pada dasarnya menganggap hidup itu menyenang¬kan dan pengalaman
yang
mengasyikkan.
Taku tersenyum saat menjawab. "Tidak. Mereka menolak bicara. Aku hanya terkejut mereka
masih
hidup; kau tahu kalau Kikuta bunuh diri dengan menggigit lidah mereka sendiri! Tentu saja,
aku belum
berusaha sebegitu kerasnya untuk membujuk mereka."
"Aku tidak harus mengingatkanmu kalau kekerasan dilarang di Tiga Negara."
"Tentu saja tidak. Tapi apakah peraturan itu juga berlaku bahkan untuk Kikuta?"
"Peraturan itu berlaku bagi semua orang," sahut Takeo ringan. "Mereka bersalah atas
percobaan
pembunuhan dan akan dieksekusi atas kesalahan itu pada akhirnya nanti. Untuk saat ini
mereka tidak
boleh diperlaku-kan dengan kasar. Akan kita lihat seberapa kuat keinginan ayah mereka agar
anak¬anaknya bisa kembali."
"Mereka berasal dari mana?" selidik Sonoda Mitsuru, yang menikah dengan adik Kaede, Ai, dan
meskipun keluarganya, Akita, dulunya adalah pengawal Arai, ia diyakinkan untuk bersumpah
setia
22. pada Otori dalam perdamaian besar-besaran setelah gempa. Sebagai imbalannya, dia dan Ai
diberikan wilayah Inuyama. "Di mana bisa kau menemukan Si Gosaburo ini?"
"Kukira di pegunungan di luar perbatasan wilayah timur," tutur Taku, dan Takeo melihat si
gadis
sedikit memicingkan mata.
Sonoda berkata, "Maka untuk sementara waktu tidak mungkin mengadakan perundingan,
karena salju
pertama akan turun dalam minggu ini."
"Musim semi nanti kita akan kirim surat pada ayah mereka," sahut Takeo. "Tidak ada salahnya
membuat batin Gosaburo menderita memikirkan nasib anaknya. Bahkan mungkin membuatnya
semakin ingin menyelamatkan mereka. Sementara itu, tetap rahasiakan identitas mereka dan
jangan
biarkan mereka berhubungan dengan orang lain selain kau."
Didekatinya Taku. "Pamanmu berada di kota, kan?"
"Ya; paman akan bergabung dengan kita di kuil untuk perayaan Tahun Baru, tapi kesehatannya
sedang tidak baik, dan udara malam yang dingin menimbulkan kejang otot yang membuatnya
batukbatuk."
"Besok aku akan memanggilnya. Apakah dia berada di rumah lama?"
Taku mengangguk. "Paman menyukai aroma pabrik pembuatan sake. Menurutnya udara di sana
lebih
mudah dihirup."
"Kurasa sakenya juga ikut membantu."
***
"Hanya ini kesenangan yang tersisa untuk¬ku," ujar Muto Kenji, seraya mengisi cangkir Takeo
dan
memberikan botol sake kepada¬nya. "Ishida memintaku mengurangi minum, mengatakan
kalau
alkohol buruk bagi paru paru, tapi... sake membuatku tetap ber¬semangat dan membantuku
agar bisa
tidur."
23. Takeo menuang sake yang bening serta keras ke cangkir gurunya yang sudah tua itu. "Ishida
juga
memintaku mengurangi minum sake," akunya saat mereka berdua menenggak habis
minumannya.
"Tapi bagiku sake meredakan rasa sakitku. Dan Ishida pun hampir tidak mengikuti sarannya
sendiri,
lalu mengapa kita harus mengikuti anjurannya?"
"Kita adalah dua orang laki-laki tua," sahut Kenji, tertawa. "Siapa yang bisa mengira,
melihatmu
mencoba membunuhku tujuh belas tahun yang lalu di rumah ini, kalau kita akan duduk di sini
saling
mem-bandingkan penyakit?"
"Bersyukurlah kita berdua masih hidup sampai saat ini!" timpal Takeo. Ia melihat ke sekeliling
rumah
yang dibangun begitu kuat dengan langit-langit tinggi, pilar kayu cedar dan beranda serta
penutup
Halaman 455 dari 455
jendela dari kayu cemara cypress. Rumah ini penuh kenangan. "Ruangan ini amat jauh lebih
nyaman
ketimbang lemari terkutuk tempat aku dikurung!"
Kenji tertawa lagi. "Itu hanya karena kau bertingkah bak hewan liar! Keluarga Muto
selalu menyukai kemewahan. Dan kini bertahun-tahun dalam kedamaian, per¬mintaan akan
produk
buatan kami membuat kami sangat kaya raya, berkat kau, Lord Otoriku tercinta." Dinaikkan
cangkirnya ke arah Takeo; mereka berdua minum lagi, kemudian mengisi lagi wadah mereka
masingmasing.
"Rasanya aku akan menyesal meninggal¬kan semua ini, Aku sangsi masih bisa menyaksikan
Tahun
Baru." kata Kenji. Tapi kau—kau tahu orang bilang kalau kau tak bisa mati!"
24. Takeo tertawa. "Tidak ada manusia yang tidak bisa mati. Kematian menantiku sama halnya
seperti
semua orang. Hanya saja waktuku belum tiba."
Kenji adalah salah satu dari sedikit orang yang tahu isi ramalan tentang Takeo, ter¬masuk
bagian
yang dirahasiakannya: bahwa ia aman dari kematian kecuali di tangan putranya sendiri.
Semua sisa
ramalannya telah menjadi kenyataan, sampai tahap ini: lima pertempuran telah membawa
kedamai¬an di Tiga Negara, dan Takeo berkuasa dari ujung laut ke ujung laut lainnya. Gempa
bumi
yang menyengsarakan mengakhiri pertempuran terakhir serta menyapu habis pasukan Arai
Daiichi,
bisa digambarkan sebagai memenuhi keinginan Surga. Dan sejauh ini, tak seorang pun bisa
membunuh Takeo, membuat ramalan yang terakhir ini semakin bisa di percaya.
Takeo berbagi banyak rahasia dengan Kenji, yang dulu pernah menjadi gurunya di Hagi.
Dengan
bantuan Kenji, Takeo berhasil menembus kastil di Hagi dan membalaskan dendam atas
kematian
Shigeru. Kenji orang yang pintar, cerdik tanpa perasaan senti¬mentil. Kenji adalah utusan dan
juru
runding yang baik, dan membuat Takeo sangat mengandalkannya. Kenji tidak punya hasrat
lain di
luar kegemarannya yang abadi pada sake dan perempuan dari rumah bordil setempat. Tampak
tidak
peduli pada harta benda, kekayaan maupun status. Mengabdi¬kan hidupnya pada Takeo dan
bersumpah untuk melayaninya; memiliki kasih sayang istimewa atas Lady Otori, yang
dikaguminya;
amat menyayangi keponakannya sendiri, Shizuka; dan rasa hormat pada putra Shizuka, Taku,
ahli
mata-mata; namun sejak kematian putrinya, Kenji semakin terasing¬kan dari istrinya, Seiko,
yang
25. meninggal beberapa tahun lalu, dan tak memiliki baik ikatan cinta maupun kebencian dengan
orang
lain.
Semenjak kematian Arai dan para lord Otori enam belas tahun yang lalu, Kenji bekerja dengan
kesabaran dan cerdik terhadap tujuan Takeo: menarik semua sumber daya dan perangkat
kekerasan
ke tangan pemerintahan, mengendalikan
kekuatan prajurit perseorangan dan kelompok bandit yang tak mengenal hukum. Kenjilah
yang tahu
keberadaan kelompok rahasia masyarakat kuno yang tidak diketahui Takeo—Kesetiaan pada
Burung
Bangau, Amarah Macan Putih, Jalan Sempit Ular— petani dan penduduk desa menggabungkan
diri
dalam kelompok masyarakat ini selama masa-masa anarkis. Kelompok ini kini dimanfaatkan
dan terus
dibangun agar masyarakatnya bisa mengatur masalah mereka sendiri di tingkat desa dan
memilih
sendiri pemimpinnya untuk mewakili mereka dan mengajukan tuntutan atas ketidakpuasan
atau
keluhan mereka di pengadilan tingkat propinsi.
Pengadilan diatur oleh klas ksatria; anak laki-laki mereka dengan pola pikir yang tidak terlalu
militer,
dan terkadang juga anak perempuan, dikirim ke sekolah-sekolah besar di Hagi, Yamagata dan
Inuyama untuk mempelajari etika pelayanan, pembukuan dan ekonomi, sejarah serta bahasa
dan
kesusastraan klasik. Saat kembali ke daerah asal, mereka memegang jabatan tertentu, diberi
status
dan penghasilan yang cukup: mereka bertanggung jawab langsung kepada tetua dari setiap
klan,
tanggung jawab yang sama juga dipikul pemimpin klan; para pemimpin klan ini bertemu Takeo
dan
Kaede secara teratur untuk membahas soal kebijakan, menentukan besarnya pajak serta
26. mempertahankan pelatihan dan perlengkapan pasukan. Setiap daerah harus menyediakan
sejumlah
orang icrbaik untuk pasukan pusat: separuh tentara, dan sepa-ruh lagi petugas keamanan yang
bertugas menangani bandit dan penjahat lainnya.
Kenji menangani semua administrasi dengan trampil, mengatakan kalau cara ini mirip hirarki
Tribe—
hanya saja ada per¬bedaan yang mendasar: kekerasan dilarang, dan membunuh serta
menerima
suap di-ancam hukuman mati. Aturan yang terakhir terbukti paling sulit dilaksanakan. Tribe
mendapat
cara untuk menghindar, tapi mereka tidak bertransaksi dalam jumlah besar atau memamerkan
kekayaan. Makin kuatnya usaha Takeo membasmi korupsi membawa hasil, korupsi dan suap
makin
berkurang. Lalu bentuk praktik yang lain berjalan: praktik tukar menukar hadiah dalam
bentuk
Halaman 456 dari 456
keindahan dan selera, di mana nilainya tersembunyi. Hal ini menyebabkan datang¬nya para
perajin
dan seniman ke Tiga Negara, bukan hanya mereka yang berasal dari Delapan Pulau tapi juga
dari
negeri¬negeri di daratan utama, Silla, Shin dan Tenjiku. Setelah gempa mengakhiri perang di
Tiga
Negara, para ketua dari keluarga dan klan yang masih hidup bertemu di Inuyama dan
menerima Otori
Takeo sebagai pemimpin mereka. Semua pertikaian karena hubungan darah yang menentang
Takeo
maupun per¬cekcokan antara mereka sendiri dinyatakan berakhir. Terjadi pemandangan yang
meng¬harukan saat para ksatria saling berdamai setelah puluhan tahun bermusuhan. Namun
Takeo
dan Kenji menyadari bahwa ksatria terlahir untuk bertarung: masalahnya, mereka akan
bertarung
27. melawan siapa? Dan jika mereka tidak bertarung, bagaimana menyibukkan mereka?
Beberapa prajurit menjaga perbatasan di wilayah Timur, tapi hanya terjadi sedikit peristiwa
dan musuh
utama mereka adalah rasa jenuh; beberapa yang lainnya men¬dampingi Terada Fumio dan
tabib
Ishida dalam perjalanan penjelajahan mereka, melindungi kapal dagang di laut dan toko serta
gudang
mereka di pelabuhan yang jauh; yang lainnya mengikuti lomba yang dibuat Takeo untuk
keahlian
berpedang dan memanah; sedang yang lainnya dipilih untuk mengikuti jalan utama dari
pertarungan:
penguasaan diri, Ajaran Houou.
Ajaran Houou bermarkas di Biara Terayama yang dipimpin kepala biara Matsuda Shingen dan
Kubo
Makoto. Ajaran ini hanya dapat diikuti segelintir laki-laki— dan perempuan—dengan kekuatan
fisik
dan mental yang hebat. Keahlian Tribe adalah bakat dari lahir—pendengaran dan peng¬lihatan
yang
sangat kuat, kemampuan menghilang, penggunaan sosok kedua—tapi sebagian besar manusia
memiliki kemampu¬an seperti ini namun belum terasah. Menemukan dan memurnikan
kemampuan
seperti inilah yang menjadi inti Ajaran Houou, mengambil nama burung suci yang bersarang
jauh di
dalam hutan-hutan di sekitar Terayama.
Sumpah pertama yang dilakukan para ksatria yang terpilih ini yaitu tidak mem¬bunuh, baik
nyamuk
atau pun manusia, bahkan demi membela diri. Kenji meng¬anggap itu aturan yang gila karena
dia
sering menikam jantung orang, membunuh dengan garotte, menyisipkan racun ke dalam
cangkir,
mangkuk atau bahkan langsung ke orang yang tidur dengan mulut menganga. Berapa banyak?
Dia
28. tak bisa menghitungnya lagi. Tak ada penyesalan atas mereka yang telah dikirimnya ke alam
baka—
cepat atau lambat manusia juga akan mati. Dia melihat bahwa larangan membunuh ternyata
jauh
lebih berat daripada keputusan untuk membunuh. Dia tak kebal dengan kedamaian dan
kekuatan
spiritual Terayama. Akhir-akhir ini kesenangan terbesarnya yaitu menemani Takeo di sana dan
menghabiskan waktu bersama Matsuda dan Makoto.
Disadarinya kalau akhir hidupnya sudah dekat. Ia sudah tua; kesehatan dan kekuatan¬nya
makin
memburuk: selama berbulan bulan paru-parunya terasa makin lemah dan seringkali muntah
darah.
Takeo berhasil menjinakkan baik Tribe maupun para ksatria: hanya Kikuta yang masih
bertahan
menentangnya. Kikuta bukan hanya berusaha membunuhnya tapi juga bersekutu dengan
ksatria yang
kurang puas, melakukan pembunuhan secara acak dengan harapan menggoyahkan kestabilan
masyarakat, menyebarkan desas-desus.
Takeo angkat bicara lagi, lebih serius. "Serangan yang terakhir ini membuatku jauh lebih
waspada
karena ditujukan pada keluargaku, bukan diriku. Jika istri atau anakku mati, itu akan
menghancurkan
diriku, dan Tiga Negara."
"Kurasa itulah tujuan Kikuta," sahut Kenji ringan.
"Kapan mereka akan berhenri?"
"Akio takkan berhenri. Kebenciannya padamu hanya akan berakhir dengan kematiannya—atau
kematianmu. Dia telah mengabdikan hidupnya demi tujuannya itu." Wajah Kenji berubah
tenang dan
bibimya berkerut menggambarkan kegetiran. Ia minum lagi. "Tapi Gosaburo seorang pedagang
dan
29. pragmatis: dia akan ketakutan setengah mati bila kehilangan anak¬anaknya—satu putranya
telah
tewas, dan nasib dua lainnya ada di tanganmu. Mungkin kita bisa memberinya sedikit
tekanan."
"Kupikir juga begitu. Kita akan biarkan dua anaknya yang tersisa tetap hidup hingga musim
semi,
kemudian melihat apakah ayah mereka siap untuk berunding."
"Mungkin sementara ini kita juga bisa mengorek keterangan yang berguna dari keduanya,"
gerutu
Kenji.
Takeo menaikkan pandangannya ke arah Kenji melalui pinggiran cangkir.
Halaman 457 dari 457
"Baiklah, baiklah, lupakan saja aku pernah mengatakannya," gerutu laki-laki tua itu. "Tapi kau
bodoh
bila tidak menggunakan cara sama seperti yang digunakan musuh¬musuhmu." Digelengkan
kepalanya. "Aku berani bertaruh kalau kau masih juga menyelamatkan laron dari lilin.
Kelembutan itu
tidak pernah hilang."
Takeo tersenyum tipis tapi tidak mem¬bantahnya. Sulit rasanya untuk keluar dari apa yang
pernah
diajarkan padanya sewaktu ia masih kecil. Hasil didikan di antara kaum Hidden telah
membuatnya
teramat sangat
enggan untuk mencabut nyawa manusia. Namun sejak berusia enam belas tahun nasib
membimbingnya ke jalan hidup ksatria: menjadi pewaris sebuah klan besar dan sekarang
menjadi
pemimpin Tiga Negara; ia harus belajar menjalani hidup dengan ajaran pedang. Lebih jauh
lagi, Tribe,
Kenji sendiri, mengajarkan padanya berbagai cara untuk membunuh dan pernah berusaha
30. memadam¬kan sifat welas asih dalam dirinya. Dalam perjuangannya membalaskan dendam
Shigeru
dan menyatukan Tiga Negara dalam kedamaian, ia melakukan begitu banyak tindak
kekerasan,
banyak di antaranya amat disesalinya, sebelum belajar cara menyeimbangkan antara
kekerasan dan
welas asih, sebelum kemakmuran dan stabilitas negara serta peraturan hukum memberikan
pilihan
dengan cara yang diinginkan pada konflik kekuasaan yang buta antar klan.
"Aku ingin bertemu dengan bocah itu lagi," ujar Kenji tiba-iiba. "Mungkin ini akan menjadi
kesempatan
terakhir bagiku." Ditatapnya Takeo lekat-lekat. "Kau telah memutuskan apa yang harus kita
lakukan
padanya?"
Takeo menggeleng. "Aku tidak bias mengambil keputusan. Apa yang bisa kulakukan?
Kemungkinan
besar keluarga Muto—kau— menginginkannya kembali, kan?"
"Tentu. Tapi Akio mengatakan pada istri¬ku, yang berhasil menghubunginya sebelum mati,
bahwa
lebih baik dia yang bunuh anak itu ketimbang menyerahkannya, baik ke tangan Muto atau ke
tanganmu."
"Bocah yang malang. Didikan apa yang didapatkannya!" seru Takeo.
"Ya, Tribe membesarkan anak-anak mereka dengan didikan yang sangat keras," sahut Kenji.
"Apakah dia tahu kalau aku ayahnya?"
"Itu salah satu hal yang bisa kucari tahu."
"Kau kurang sehat untuk misi semacam ini," kata Takeo dengan nada enggan, karena ia tak
bisa
memikirkan ada orang lain yang bisa melakukannya.
Kenji menyeringai. "Kesehatanku yang buruk justru menjadi alasan mengapa aku harus pergi.
Bila
31. aku tidak sempat melihat tahun ini berakhir, maka sekalian saja kau manfaatkan diriku ini!
Lagipula,
aku ingin bertemu dengan cucuku sebelum aku mati. Aku akan berangkat saat salju mulai
men¬cair."
Sake, penyesalan dan kenangan meluapkan perasaan haru Takeo. Ia berdiri lalu me¬rangkul
gurunya
yang sudah tua itu.
"Sudah, sudah!" ujar Kenji, menepuk¬nepuk bahunya. "Kau tahu betapa bencinya aku bila
menunjukkan perasaan seperti ini. Sering-seringlah datang dan temui aku sepanjang musim
dingin ini.
Kita akan masih punya kesempatan untuk adu minum sake bersama. "*
Anak laki-laki itu, Hisao, kini telah berusia enam belas tahun. Wajahnya tidak mirip orang
yang
dipercaya sebagai ayahnya, Kikuta Akio, maupun ayah kandungnya yang belum pernah
dilihatnya.
Tidak mewarisi ciri fisik Muto, keluarga ibunya, maupun keluarga Kikuta—dan kian lama kian
jelas
terlihat kalau dia tak mewarisi kemampuan magis Tribe. Pendengarannya tak lebih peka
dibandingkan
anak seusianya; dia pun tak memiliki kemampuan menghilang. Pelatihan sejak kecil membuat
fisiknya
kuat dan gesit, namun tak bisa melompat atau pun terbang seperti ayahnya. Satu-satunya
cara yang
bisa dilakukannya agar orang tertidur yaitu rasa bosan karena dia jarang bicara. Andai dia
buka mulut,
Halaman 458 dari 458
bicaranya pelan, tersendat¬sendat, tanpa ada tanda-tanda kecerdasan atau kreativitas.
Akio adalah Ketua Kikuta, keluarga ter¬besar dalam Tribe, yang menguasai berbagai
kemampuan
serta bakat yang kini mulai lenyap. Sejak kecil Hisao sudah menyadari kekecewaan ayahnya
pada
32. dirinya.
Karena Tribe membesarkan anak mereka dengan cara sangat keras, melatih mereka dengan
kepatuhan mutlak, bertahan me¬nahan lapar, haus, panas, dingin dan rasa sakit yang luar
biasa,
serta melenyapkan semua perasaan, simpati maupun welas asih. Akio sangat keras pada putra
tunggalnya itu dan tak pernah menunjukkan pengertian maupun kasih sayang. Perlakuan Akio
yang
kejam, bahkan mengejutkan kerabatnya sendiri. Tapi Akio adalah Ketua keluarga, penerus
pamannya, Kotaro, yang mati di Hagi oleh Otori Takeo dan Muto Kenji. Dan sebagai Pimpinan,
Akio
bisa bertindak sesuka hati; tak seorang pun bisa meng-kritiknya.
Akio tumbuh menjadi laki-laki sinis dan susah ditebak. Dia selalu menyalahkan Otori Takeo
atas
terpecah-belahnya Tribe, kematian Kotaro yang disayangi, serta kematian pesumo tangguh,
Hajime,
serta banyak kematian lainnya. Keluarga Kikuta
dikejar-kejar sehingga mereka keluar dari Tiga Negara untuk pindah ke Utara, meninggalkan
usaha
mereka yang meng¬hasilkan banyak uang.
Anak-anak Kikuta tidur dengan kaki mengarah ke Barat, dan saling menyapa dengan kalimat,
"Apakah Otori sudah mati?" dan dibalas dengan, "Belum, tapi tak lama lagi."
Konon kabarnya kematian istrinya, Muto Yuki, dan kematian Kotaro yang membuat Akio begitu
penuh
dendam dan hidup dalam kebencian. Para tetua mengatakan kalau Yuki meninggal karena
demam
setelah melahir-kan, tapi tampaknya Hisao sudah tahu yang sebenarnya: ibunya mati diracun.
Dapat
dilihatnya kejadian itu dengan jelas, seolah menyaksikan dengan mata bayinya yang masih
belum
fokus. Keputusasaan dan kemarahan ibunya, kesedihan karena harus meninggalkan putranya;
33. penolakan ibunya saat dipaksa menelan pil racun; jerit dan tangis ibunya; seringai puas Akio
karena
sebagian dendamnya terlaksana; penderitaan dan kenikmatan keji yang dirasakan Akio
menjadi awal
mula tenggelamnya dia dalam kekejaman.
Hisao merasakan ini seiring ia tumbuh dewasa; tapi lupa bagaimana ia tahu itu. Apakah ia
memimpikannya, atau ada yang menceritakannya? Ia ingat ibunya lebih jelas dari yang
seharusnya—
usianya baru beberapa hari saat ibunya meninggal—dan menyadari adanya hubungan dirinya
dengan
sang ibu. Seringkali ia merasakan kalau ibunya meng¬inginkan sesuatu darinya, tapi ia takut
men¬dengarkan karena itu berarti ia membuka diri memasuki alam baka. Antara kemarahan si
hantu
dan rasa enggan dalam dirinya, kepala¬nya terasa seperti terbelah karena rasa sakit.
Itu sebabnya dia mengetahui kemarahan ibunya dan sakit hati ayahnya, dan itu membuat ia
benci
sekaligus iba pada Akio. Hal-hal buruk yang terjadi di antara mereka berdua yang setengah
menakutkan, setengah diharapkan, karena hanya saat itulah ada orang yang memeluknya atau
kelihaian membutuhkan dirinya.
Hisao tidak pernah menceritakannya sehingga tak seorang pun tahu satu bakat Tribe yang
telah
hilang selama beberapa generasi ternyata ada pada dirinya. Kemampuan mengarungi dua
dunia,
men¬jadi penghubung antara arwah dengan orang yang masih hidup. Anugerah semacam ini
semestinya diasah dan pemiliknya akan ditakuti serta dihormati; tapi Hisao tak tahu cara
mengatur
bakatnya ini; apa yang dilihatnya di alam baka tampak berkabut dan sulit dimengerti: ia tidak
mengetahui simbol dan bahasa untuk berkomunikasi dengan arwah.
Ia hanya tahu kalau hantu itu adalah ibunya yang mati dibunuh.
34. Meskipun Hisao suka membuat kerajinan tangan, dan menyukai hewan, namun ia
merahasiakannya.
Sekali dia terlihat meng¬elus seekor kucing, yang kemudian ia lihat hewan malang itu digorok
ayahnya di hadapannya. Roh kucing itu juga sesekali seperti menjerat Hisao dari dunianya,
dan
lolongan yang memusingkan terdengar makin keras hingga ia tak percaya kalau orang lain tak
mendengarnya. Ketika alam baka membuka jalan dan mengajaknya masuk, kepalanya luar
biasa
sakit, dan satu sisi matanya menjadi gelap. Satu-satunya cara meredakan rasa sakit dan
suara-suara
si kucing serta si hantu perempuan adalah membuat benda-benda dengan tangannya. Ia
membangun
kincir air dan orang-orangan dari bambu untuk menakuti rusa, seolah pengetahuan itu sudah
ada
dalam darahnya. Ia dapat membuat ukiran kayu berbentuk hewan yang begitu hidup hingga
tampak
seperti hewan yang disihir menjadi patung. Ia menyukai semua aspek penempaan: mem¬buat
besi
dan baja, pedang, pisau serta ber¬bagai peralatan.
Halaman 459 dari 459
Keluarga Kikuta ahli membuat senjata, terutama sen-jata rahasia Tribe—pisau lempar, jarum,
belati
kecil dan sebagainya— tapi mereka tak tahu cara membuat senjata yang disebut senjata api.
Senjata
yang digunakan Otori begitu dirahasiakan cara buatnya hingga membuat orang iri. Keluarga
Kikuta
terpecah untuk memiliki senjata itu.
Ada yang beranggapan senjata itu meng¬hilangkan semua kemampuan dan ke¬nikmatan
dalam
membunuh, kalau cara tradisional lebih bisa diandalkan; sementara yang lainnya beranggapan
kalau
35. ingin menyingkirkan Otori, mereka harus me¬nyeimbangkan kekuatan dengan memiliki
senjata yang
sama.
Namun usaha mereka untuk mendapatkan senjata api selalu gagal. Otori membatasi
penggunaan
senjata ini hanya untuk sekelompok kecil orang: setiap pucuk senjata api yang ada di negara
ini
dihitung. Jika ada yang hilang, si pemilik harus membayar dengan nyawanya. Senjata ini
pernah
sekali digunakan orang barbar. Sejak itu semua orang barbar digeledah ketika datang,
senjata-senjata
mereka dirampas dan mereka hanya boleh berdagang di pelabuhan Hofu. Tapi berbagai
laporan
tentang pembunuhan yang memakan banyak korban jiwa terbukti sama efektifnya dengan
senjata itu
sendiri: semua musuh Otori, termasuk Kikuta, berusaha mendapatkan senjata itu dengan cara
mencuri, berkhianat, atau mencari sendiri.
Senjata-senjata milik Otori bentuknya panjang, berat serta tidak praktis: kurang prakris
menurut cara
pembunuhan yang dibanggakan Kikuta. Senjata-senjata itu tak bisa disembunyikan dan
digunakan
dengan cepat; bila terkena air maka senjata itu tak berguna. Hisao mendengar ayahnya dan
seorang
laki-laki yang lebih tua membahas benda ini, dan ia membayangkan senjata api yang kecil dan
ringan,
yang bisa di-sembunyikan di balik pakaian dan tak ber¬suara, senjata yang bahkan tak mampu
dilawan Otori Takeo.
Setiap tahun ada saja pemuda yang ingin menjadi pahlawan, atau orang tua yang ingin mati
terhormat
yang pergi hendak mem¬bunuh Otori Takeo untuk membalaskan kematian Kikuta Kotaro dan
anggota
36. Tribe lainnya. Mereka tak pernah kembali: kabar tentang tertangkapnya mereka datang
beberapa
bulan kemudian. Mereka disidang di depan umum yang disebut sebagai pengadilan Otori, dan
dieksekusi.
Ada kalanya Otori Takeo dilaporkan ter¬luka sehingga harapan mereka membumbung tinggi,
tapi dia
selalu sembuh, bahkan dari racun, seperti pulihnya dia dari belati beracun milik Kotaro.
Mendengar
desas¬desus kalau Otori tak bisa mati membuat kebencian serta kegeriran Akio semakin
ber¬tambah.
Akio mulai bersekutu dengan musuh Takeo lainnya, menyerangnya melalui istri atau anak-
anaknya.
Tapi cara ini juga terbukti gagal. Keluarga Muto yang sudah bersumpah setia pada Otori telah
menggandeng
keluarga Tribe lainnya: Imai, Kuroda dan Kudo. Sejak keluarga Tribe melakukan perkawinan
campuran, banyak pengkhianat yang memiliki darah Kikuta, diantaranya adalah Muto Shizuka
serta
kedua putranya, Taku dan Zenko. Taku seperti ibu dan paman buyutnya, mempunyai banyak
kemampuan, memimpin jaringan mata-mata dan melindungi Otori; sementara Zenko, yang
kurang
berbakat, bersekutu dengan Otori melalui pernikahan: mereka bersaudara ipar.
Belakangan sepupu Akio, dua putra Gosaburo, diutus bersama saudari perempuan mereka ke
Inuyama tempat keluarga Otori merayakan Tahun Baru. Mereka berbaur dalam kerumunan di
biara
dan mencoba menikam Lady Otori dan putri-putrinya. Apa yang terjadi setelah itu tidak jelas,
lapi
ternyata para perempuan yang menjadi sasaran berhasil mempertahan¬kan diri dengan
kekejaman
yang tak terduga: salah satu penyerang, putra sulung Gosaburo, terluka dan dipukuli sampai
mati oleh
kerumunan orang. Sedang yang lainnya berhasil ditangkap dan dibawa ke kastil Inuyama. Tak
ada
37. yang tahu apakah mereka masih hidup atau sudah mati.
Kehilangan tiga anggota muda yang ada hubungan erat dengan sang Ketua merupa¬kan
pukulan
berat. Karena hingga musim semi tiba masih belum ada kabar tentang kedua orang yang
ditawan,
Kikuta menduga mereka sudah mati. Ritual pemakaman mulai diatur dalam kedukaan yang
mendalam karena tak ada jenazah yang bisa dibakar dan tak ada abu jenazah.
Suatu sore Hisao bekerja seorang diri di sepetak kecil sawah, jauh di kedalaman pegunungan.
Selama malam-malam di musim dingin yang panjang, ia telah me¬mikirkan cara mengaliri
sawah
dengan me¬manfaatkan kincir air. Ia menghabiskan musim dingin membuat ember dan tali:
embernya
dibuat dari bambu yang paling ringan dan talinya diperkuat dengan batang tanaman rambat
yang
cukup kaku untuk bisa mengangkat ember kincir.
Hisao tengah berkonsentrasi penuh pada pekerjaannya, tiba-tiba katak terdiam. Ia tengok
kanan-kiri.
Tak ada orang, tapi ia tahu ada orang yang menggunakan kemampuan menghilang Tribe.
Halaman 460 dari 460
Mengira itu hanya salah satu anak yang datang membawa pesan, dia berseru, "Siapa di sana?"
Tiba-tiba muncul seorang laki-laki dengan usia tak bisa diperkirakan dan berpenampilan biasa
berdiri
di hadapannya. Tangan Hisao segera bergerak ke arah pisaunya karena yakin ia belum
mengenal
orang itu. Sosok laki-laki itu bergoyang-goyang selagi meng¬hilang. Hisao merasakan jari-jari
yang
tak terlihat memiting pergelangan tangannya dan ototnya langsung terasa lumpuh saat
telapak
tangannya terbuka dan pisaunya terjatuh.
38. "Aku takkan menyakitimu," ujar orang itu, dan menyebut namanya dengan cara yang membuat
Hisao
percaya padanya, dan dunia ibunya menyelubungi ambang batas dunianya; dirasakan
kebahagiaan
dan pendcritaan ibunya dan pertanda pertama dari sakit kepalanya serta kemampuan melihat
separuh
dari dua dunia yang ber¬beda.
"Siapa kau?" bisiknya, segera menyadari kalau orang mi dikenal ibunya.
"Kau bisa melihatku?" sahut laki-laki itu. "Tidak. Aku tak memiliki kemampuan menghilang,
maupun
mengenalinya."
"Tapi tadi kau mendengarku mendekat, kan?"
"Hanya dari katak. Aku mendengarkan mereka. Tapi aku tak bisa mendengar dari jauh. Aku
tidak tahu
orang yang bias melakukannya di kalangan Kikuta saat ini." Ia heran telah bersikap biasa dan
bebas
pada orang yang belum dikenalnya.
Orang itu kembali menampakkan diri dalam jarak serentangan tangan dari wajah Hisao. Sorot
matanya tajam dan kelihatan penuh selidik.
"Kau tidak memiliki satu pun kemampuan Tribe?" tuturnya.
Hisao mengangguk, kemudian mengalih¬kan pandangannya ke seberang lembah.
"Kau bcrnama Kikuta Hisao, putra Akio?"
"Ya, dan ibuku bemama Muto Yuki."
Ekspresi wajah orang itu agak berubah, dan dirasakan reaksi penyesalan serta rasa iba ibunya.
"Sudah kuduga. Kalau begitu, aku kakek¬mu: Muto Kenji."
Hisao menyerap semua keterangan ini. Sakit kepalanya kian menjadi-jadi: Muto Kenji adalah
pengkhianat, kebencian Kikuta pada orang ini hampir sama besarnya seperti kebencian pada
Otori
Takeo, namun kehadiran ibunya terasa membebani dirinya dan bisa dirasakan ibunya
memanggil,
39. "Ayah!"
"Apa itu?" tanya Kenji.
"Bukan apa apa. Kadang-kadang kepalaku sakit. Aku sudah biasa. Mengapa kau kemari? Kau
akan
dibunuh. Seharusnya aku mem¬bunuhmu, tapi kau bilang kalau kau kakek¬ku, lagipula aku
tidak ahli
membunuh." Pandangannya turun menatap ke konstruksi yang tengah dikerjakannya. "Aku
lebih suka
membuat benda-benda."
Betapa anehnya, pikir orang tua itu. Dia tidak punya kemampuan apa pun, baik dari ayah
maupun dan
ibunya. Rasa kecewa dan lega menyapu dirinya. Mirip siapa dia? Tidak mirip Kikuta, Muto,
maupun
Otori. Dia pasti mirip ibunya Takeo, berkulit gelap dan berwajah lebar.
Kenji menatap bocah di hadapannya dengan tatapan iba, tahu betapa kerasnya masa kanak-
kanak di
Tribe, apalagi pada mereka yang tak berbakat. Jelas sekali Hisao punya beberapa
kemampuan:
benda itu dibuat dengan kreatif dan dengan keahlian tinggi. Dan ada sesuatu yang lain pada
dirinya,
gerakan matanya yang cepat menun¬jukkan kalau dia bisa melihat hal lain. Apa yang bisa
dilihatnya?
Pemuda ini berbadan sehat, agak lebih pendek dari Kenji sendin tapi kuat, dengan kulit mulus
tanpa
cacat dan rambut tebal serta mengkilap, mirip rambut Takeo.
"Mari kita temui Akio," ajak Kenji. "Ada yang aku sampaikan padanya."
Ia tidak bersusah payah menyembunyikan sosoknya selagi mengikuti bocah itu menuruni jalan
setapak dari atas gunung menuju desa. Sadar kalau akhirnya ia akan dikenali juga—siapa lagi
yang
bisa sampai sejauh ini, menghindari para penjaga di gerbang, bergerak tak terlihat dan tak
terdengar
40. melewati hutan?—dan juga Akio harus tahu kalau ia datang sebagai utusan Takeo.
Halaman 461 dari 461
Perjalanan itu membuat napasnya terasa sesak, dan saat berhenti sebentar di tepi sawah yang
penuh
air, terasa ada darah di tenggorokannya. Tubuhnya terasa lebih panas dari yang semestinya.
Langit
berubah keemasan saat mentari mulai tenggelam di ufuk barat. Pematang sawah berwarna
cerah
dengan bunga liar, vicia, buttercup, dan bunga krisan, dan cahaya matahari jatuh di sela-sela
hijaunya
dedaunan. Suasana terasa dipenuhi musik musim semi, nyanyian burung, katak serta jangkrik.
Bila hari ini memang ditakdirkan menjadihari terakhir hidupku, maka tak ada hari yang lebih
indah
daripada hari ini, pikir kenji dengan sedikit bersyukur, dan merasakan dengan lidahnya kapsul
beracun yang terselip rapi di bekas rongga gigi gerahamnya yang sudah tanggal.
Kenji belum tahu tempat istimewa ini sebelum Hisao lahir, enam belas tahun lalu— dan butuh
waktu
lima tahun untuk menemukannya. Sejak saat itu, sesekali ia mengunjungi tempat ini tanpa
diketahui
penghuninya, dan mendapatkan laporan tentang Hisao dari Taku, keponakan buyutnya.
Tempat ini
sama seperti kebanyakan desa Tribe: tersembunyi di dalam lembah seperti lipatan kecil dalam
barisan pegunungan. Pada kunjungan yang pertama ia sempat terkejut melihat ada lebih dari
dua
ratus orang di desa itu. Tapi kemudian ia tahu kalau keluarga Kikuta mundur ke tempat ini
sejak
dikejar Takeo. Mereka membangun desa di utara ini sebagai markas, jauh dari jangkauan
Takeo,
walaupun tidak di luar jangkauan mata¬matanya.
41. Hisao tidak berbicara pada siapa pun saat mereka berjalan di antara rumah kayu beratap
rendah, dan
meskipun beberapa anjing melompat-lompat penuh semangat ke arahnya, dia tak berhenti.
Ketika
sampai di bangunan yang paling besar, orang ber¬kumpul di belakang mereka; Kenji
men¬dengar
bisik-bisik dan tahu kalau ia telah dikenali.
Rumah itu jauh lebih nyaman dan mewah ketimbang rumah-rumah di sekelilingnya, dengan
beranda
dari kayu runjung serta pilar kokoh dari kayu cedar. Seperti kuilnya, yang bisa dilihat dari
kejauhan,
atapnya terbuat dari rusuk atap yang tipis, dengan lekukan luwes yang sama indahnya seperti
kediaman para ksatria. Seraya melepaskan sandal, Hisao naik ke beranda dan berseru ke
dalam
rumah. "Ayah! Kita kedatangan tamu!"
Selang beberapa saat, seorang perempuan muda muncul, membawa air untuk membasuh kaki
sang
tamu. Kerumunan orang di belakang Kenji terdiam. Saat melangkah masuk ke dalam rumah, ia
seperti mendengar tarikan napas tiba-tiba, seolah semua orang yang berkumpul di luar
menarik napas
di saat bersamaan. Dadanya terasa nyeri seperti ditusuk-tusuk dan rasanya tak tahan ingin
batuk.
Betapa lemah tubuh¬nya saat ini! Teringat dengan rasa penyesalan kalau semua kemampuan
yang ia
miliki kini hanya menjadi bayang-bayang. Ia ingin sekali meninggalkan raganya lalu pindah ke
alam
baka, kehidupan yang lain, kehidupan apa pun yang ada di sana. Andai ia bisa menyelamatkan
bocah
itu... tapi siapa yang bisa menyelamatkan orang dari takdir?
Semua pikiran ini melintas di benaknya saat duduk di lantai berlapis karpet sambil menunggu
Akio.
Ruangan itu remang¬remang: ia nyaris tidak bisa melihat gulungan yang tergantung di dinding
42. sebelah kanan¬nya. Perempuan muda yang sama datang membawa semangkuk teh. Hisao
sudah
pergi, namun terdengar olehnya anak itu sedang bicara dengan pelan di belakang rumah.
Aroma
minyak wijen merebak dari arah dapur dan didengarnya desis makanan di penggorengan. Lalu
terdengar langkah kaki; pintu banian dalam bergeser terbuka dan Kikuta Akio melangkah
masuk. Dia
diikuti dua laki-laki yang lebih tua, yang satu bertubuh gempal dengan raut wajah halus yang
dikenal
Kenji sebagai Gosaburo, pedagang dari Matsue, adik Kotaro, paman Akio. Sedang yang satunya
lagi
pasti Imai Kazuo, yang menurut kabar telah menentang keluarga Imai untuk tinggal bersama
Kikuta,
keluarga dari pihak istrinya. Semua orang ini, setahunya, sudah bertahun-tahun mengincar
dirinya.
Mereka berusaha menyembunyikan keter¬kejutan dengan kemunculannya. Mereka duduk di
ujung
lain ruangan seraya meng¬amati. Tak seorang pun membungkuk normal maupun memberi
salam.
Kenji pun diam saja.
Akhirnya Akio angkat bicara, "Letakkan senjatamu."
"Aku tak membawa senjata," sahut Kenji. "Aku datang dengan membawa misi yang damai."
Gosaburo tertawa sinis tidak percaya. Sedang dua laki-laki lainnya tersenyum, tapi tanpa rasa
riang.
"Benar, seperti serigala di musim dingin," ujar Akio. "Kazuo yang akan menggeledah¬mu."
Kazuo mendekati Kenji dengan hati-hati dan agak malu-malu. "Maaf, Ketua,"gumamnya. Kenji
membiarkan orang itu meraba pakaiannya dengan jari-jarinya yang panjang dan cekatan.
"Dia berkata jujur. Dia tidak membawa senjata."
Halaman 462 dari 462
43. "Mengapa kau kemari?" sera Akio. "Rupa¬nya kau sudah bosan hidup!"
Kenji menatap tajam. Selama bertahun¬tahun ia bermimpi berhadapan dengan orang yang
telah
menikahi dan terlibat dalam kematian putrinya. Tampak ada kerutan¬kerutan di wajah Akio,
rambutnya pun mulai memutih. Tapi badannya tampak sekuat baja; temyata usia tak mampu
melunakkan maupun melembutkan sikapnya.
"Aku datang membawa pesan dari Lord Otori," tutur Kenji tenang.
"Kami tidak memanggilnya Lord Otori. Dia dikenal dengan nama Otori si Anjing. Kami tak ingin
mendengar pesan apa pun darinya!"
"Aku khawatir salah satu putramu sudah mati," Kenji bicara pada Gosaburo. "Putra sulungmu,
Kunio.
Tapi yang lainnya masih hidup, termasuk putrimu."
Gosaburo menelan ludah. "Biarkan dia bicara," katanya pada Akio."Kita tak mau beranding
dengan Si
Anjing," sahut Akio.
"Dengan mengutus pembawa pesan itu telah menunjukkan kelemahan," kata Gosaburo dengan
nada
memohon. "Dia sedang memohon pada kita. Setidaknya kita dengar dulu apa yang akan Muto
sampai¬kan." Gosaburo mencondongkan badan lalu bertanya pada Kenji. "Putriku? Dia tidak
terluka?"
"Tidak, dia baik-baik saja." Tapi putriku sudah mati enam belas tahun lalu.
"Dia tidak disiksa?"
"Kau harus tahu kalau penyiksaan kini dilarang. Anak-anakmu akan diadili dengan tuduhan
percobaan
pembunuhan, dan bisa dihukum mati, tapi mereka tidak disiksa. Kau tentu pernah mendengar
bahwa
Lord Otori memiliki sifat welas asih."
"Satu lagi kebohongan dari Si Anjing," ejek Akio. "Tinggalkan kami, paman. Kesedihan
membuatmu
44. lemah. Aku akan bicara dengan Muto berdua saja."
"Anak-anak itu akan tetap hidup jika kau setuju untuk berdamai," sahut Kenji cepat, sebelum
Gosaburo berdiri.
"Akio!" Gosaburo memohon, air matamulai berlinang.
"Tinggalkan kami!" Akio juga berdiri, gusar, seraya mendorong tubuh orang tua itu ke pintu,
menyuruhnya agar cepat keluar dari ruangan itu.
"Sejujurnya," katanya saat kembali duduk. "Tua bangka bodoh itu tidak berguna lagi! Dia
sudah mis
kin, dan yang kini dia lakukan hanyalah meratap dan menyesali nasibnya. Biarkan Otori
membunuh
anak-anak itu, dan aku akan menghabisi ayahnya: kita akan menyingkirkan orang lemah."
"Akio," tutur Kenji. "Kita bicara sebagai sesama Ketua, sesuai cara Tribe menyelesai¬kan
masalah.
Dengar dulu apa yang akan kusampaikan. Setelah itu baru kau putuskan apa yang terbaik bagi
Kikuta
dan Tribe, bukan berdasarkan kebencian dan amarah pribadimu, karena ini akan
menghancurkan
mereka dan dirimu. Mari kita ingat lagi sejarah Tribe, bagaimana kita bisa bertahan sejak dulu
kala.
Kita selalu bekerjasama dengan para bangsawan yang hebat: jangan¬lah kita menentang
Otori. Apa
yang dilaku¬kannya di Tiga Negara baik adanya: disetujui masyarakat, baik petani ataupun
ksatria.
Masyarakat yang dibentuknya berjalan lancar; rakyat bahagia; tak ada yang mati kelaparan
dan tak
ada penyiksaan. Hentikan permusuhanmu. Sebagai imbalannya, keluar¬ga Kikuta akan
dimaafkan:
Tribe akan ber¬satu lagi. Menguntungkan bagi kita semua."
Nada suaranya seakan mengandung sihir yang membuat ruangan senyap dan semua orang yang
berada di luar bungkam. Kenji tahu kalau Hisao sudah kembali dan sedang berlutut tepat di
balik
45. pintu. Saat ia berhenti bicara, dikumpulkan tenaga lalu membiarkan gelombang tenaganya
mengalir
memenuhi ruangan itu. Dirasakannya ketenangan menyapu semua orang, mereka duduk
dengan
mata setengah terpejam.
"Dasar penyihir tua bangka." Akio me¬mecahkan kesunyian dengan teriakan penuh amarah.
"Tua
bangka licik. Kau tak bisa menjebakku dengan kebohonganmu. Tadi kau mengatakan Si Anjing
melakukan hal baik! Rakyat gembira! Apa untungnya semua ini bagi Tribe? Kau sudah lemah
seperti
Gosaburo. Ada apa dengan kalian, orang¬orang tua? Apakah Tribe membusuk dari dalam? Andai
Kotaro masih hidup! Tapi Si Anjing membunuhnya—dia membunuh pemimpin keluarganya
sendiri,
pada siapa dia harus menyerahkan hidupnya atas kejahatan yang dia lakukan. Kau saksinya:
kau
men¬dengar sumpah si Anjing saat di Inuyama. Dia melanggar sumpah itu jadi dia sudah
Halaman 463 dari 463
sepantasnya mati. Tapi dia malah mem¬bunuh Kotaro, Ketua dari keluarganya— dengan
bantuannmu. Dia tidak bisa dimaaf¬kan. Dia harus mati!"
"Aku takkan berdebat tentang mana tindakannya yang salah dan yang benar," sahut Kenji. "Dia
melakukan apa yang harus dilakukan saat itu, dan yang pasti, hidupnya dijalani lebih baik
sebagai
Otori ketimbang sebagai Kikuta. Tapi semua itu telah berlalu. Kumohon kau hentikan
perlawananmu
agar Kikuta bisa kembali ke Tiga Negara— Gosaburo bisa menjalankan lagi bisnisnya!— dan
menikmati hidup selayaknya. Jika tetap tak mau berdamai, maka menyerahlah: kau takkan
berhasil
membunuhnya."
"Semua orang pasti mati," sahut Akio.
46. "Tapi dia takkan mati di tanganmu," ujar Kenji. "Betapa pun kau menginginkannya. Aku bisa
meyakinkanmu akan hal itu."
Akio menatapnya dengan memicingkan mata. "Pengkhianatanmu pada Tribe harus dihukum."
"Aku telah melindungi keluargaku dan Tribe. Kau yang menghancurkannya. Aku kemari sebagai
utusan, dan aku akan kembali dengan cara yang sama. Akan kusampaikan pesanmu yang patut
disesalkan pada Lord Otori."
Kenji begitu berwibawa sehingga Akio membiarkannya berdiri lalu berjalan keluar ruangan.
Sewaktu
lewat Hisao masih berlutut di luar, Kenji berkata, seraya membalikkan badan, "Ini putramu?
Kurasa
dia tidak memiliki kemampuan Tribe. Ijinkan dia menemaniku sampai ke gerbang. Mari,
Hisao." Kenji
bicara ke belakang dalam bayang-bayang. "Kau tahu di mana bisa menemukan kami bila kau
berubah
pikiran."
Baiklah, pikimya saat melangkah keluar dari beranda dan kerumunan memberi jalan padanya,
ternyata aku masih hidup lebih lama. Begitu sampai di tempat terbuka dan di luar jangkauan
tatapan
Akio, ia bisa saja menghilang lalu melenyapkan diri ke pedesaan. Tapi adakah peluang ia
membawa
bocah itu?
Penolakan Akio tidak mengejutkannya. Tapi ia senang Gosaburo dan yang lainnya juga
mendengar.
Selain rumah utama, desa itu kelihatan menyedihkan. Pasti sulit men¬jalani hidup di sini,
apalagi di
musim dingin. Kebanyakan penghuninya pasti mendamba¬kan, seperti halnya Gosaburo, hidup
nyaman di Matsue dan Inuyama. Kepatuhan mereka pada Akio, dirasakan oleh Kenji, lebih
karena
ketakutan ketimbang rasa hormat; ada kemungkinan anggota lain Kikuta me¬nentang
keputusannya,
47. apalagi jika itu berarti sandera akan dibiarkan hidup.
Saat Hisao muncul dari belakang dan berjalan di sampingnya, Kenji menyadari ada kehadiran
lain
yang mengambil tempat setengah tubuh dan pikiran bocah itu. Dahi¬nya berkerut, dan
sesekali
menaikkan tangan-nya memegangi pelipis kirinya dengan ujung jari. "Kepalamu sakit?"
"Mmm." Dia mengangguk tanpa bicara.
Mereka sudah separuh jalan. Bila berhasil sampai di tepi sawah, lalu berlari di pematang ke
hutan
bambu....
"Hisao," bisik Kenji. "Aku ingin kau ikut denganku ke Inuyama. Temui aku di tempat tadi kita
bertemu.
Kau mau?"
"Aku tak bisa pergi dari sini! Aku tak bisa meninggalkan ayahku!" Lalu ia berseru kesakitan,
lalu
terjatuh.
Hanya tinggal lima puluh langkah lagi. Kenji tidak berani berbalik, tapi ia yakin tak ada yang
mengikutinya. la terus berjalan dengan tenang, tanpa tergesa-gesa, tapi Hisao berjalan
terseok-seok
di belakangnya.
Saat berbalik untuk memberi Hisao semangat, Kenji melihat kerumunan orang masih
memerhatikan.
Tiba-tiba ada yang menyeruak dari sela-sela mereka. Akio, diikuti oleh Kazuo: keduanya sudah
menarik belati.
"Hisao, temui aku," katanya, lalu meng¬hilang, tapi ketika sosok tubuhnya menghilang, Hisao
menangkap lengannya dan berteriak, "Bawa aku! Mereka takkan membiarkanku pergi! Tapi dia
ingin
ikut denganmu!"
Mungkin karena Kenji sedang dalam keadaan menghilang dan berada di antara dua dunia,
mungkin
48. juga karena perasaan Hisao yang meledak-ledak, tapi saat itu Kenji melihat apa yang Hisao
lihat....
Halaman 464 dari 464
Putrinya, Yuki. Meninggal enam belas tahun lalu....
Lalu menyadari dengan rasa takjub kemampuan sebenarnya bocah itu.
Seorang penguasa alam baka.
Kenji belum pernah bertemu orang dengan kemampuan ini: dia hanya tahu dari hikayat-
hikayat Tribe.
Hisao sendiri tidak mengetahuinya, begitu juga Akio. Akio tidak boleh tahu.
Tak heran kalau bocah itu sering sakit kepala. Ia ingin tenawa, sekaligus menangis.
Kenji masih merasakan cengkeraman Hisao di tangannya saat ia menatap wajah arwah
putrinya,
melihat putrinya saat masih kanak-kanak, remaja. Kian lama wajah putrinya kian melemah
dan samarsamar.
Dilihat bibir putrinya bergerak-gerak dan berkata, "Ayah," walaupun Yuki tidak pernah lagi
memanggilnya dengan sebutan itu sejak berusia sepuluh tahun.
Saat ini Yuki membuatnya terpesona, seperti yang selalu dilakukannya.
"Yuki," katanya tak berdaya, dan mem¬biarkan dirinya terlihat lagi.
***
Terbukti mudah bagi Akio dan Kazuo untuk mendekati Keji. Tak satu pun kemampuan
menghilangkan
diri maupun menggunakan sosok kedua yang dapat menyelamatkan dirinya dari mereka
berdua.
"Dia tahu bagaimana menangkap Otori," seru Akio. "Kita akan tahu itu darinya, kemudian Hisao
harus
membunuhnya."
Tapi Kenji sudah menggigit racun lalu mencerna dalam perutnya: ramuan yang pernah
dipaksakan
49. pada putrinya untuk ditelan. Kenji mati dengan cara yang sama, penuh penderitaan dan
penyesalan
karena misinya gagal dan juga karena meninggalkan cucunya. Di saat-saat terakhir dia berdoa
agar
bisa tinggal bersama arwah putrinya, agar Hisao memanfaatkan kekuatan dirinya untuk
menjaganya:
Tak terbayangkan betapa hebat¬nya diriku sebagai hantu, pikirnya. Lalu ia tertawa: hidupnya
yang
penuh penderitaan dan kebahagiaan telah berakhir. Tugasnya di dunia sudah selesai, dan dia
mati
atas keinginannya sendiri. Rohnya bebas bergerak memasuki siklus abadi dari kelahiran,
kematian
dan kelahiran kembali.*
Musim dingin di Inuyama terasa panjang dan berat, walau ada kesenangan tersendiri: selama
itu
Kaede menghabiskan waktu dengan membacakan puisi dan dongeng untuk ketiga putrinya.
Takeo
menghabiskan waktu dengan melihat-lihat catatan adminis¬trasi bersama Sonoda. Saat ingin
bersantai, ia mempelajari lukisan bersama seorang seniman beraliran tinta hitam, dan minum
bersama Kenji di malam harinya: Ketiga putrinya disibukkan dengan belajar dan berlatih, ada
juga
rekreasi saat Setsu bun, perayaan yang ramai dan semarak saat setan diusir keluar dari rumah
dan
menyambut nasib baik. Juga ada perayaan usia akil balik Shigeko karena pada Tahun Baru dia
berusia lima belas tahun. Perayaannya tidak mewah karena pada bulan kesepuluh nanti dia
akan
diserahkan wilayah Maruyama. Wilayah itu diwariskan melalui garis perempuan dan telah
diwariskan
kepada ibunya, Kaede, setelah kematian Maruyama Naomi.
Kelak Shigeko akan menjadi penguasa Tiga Negara, dan kedua orangtuanya sepakat bahwa dia
harus memimpin wilayah Maruyama tahun ini karena saat ini dia telah dewasa. Di sana dia
harus
50. membuktikan diri sebagai penguasa dan belajar secara langsung tentang prinsip-prinsip
pemerintahan. Upacara di Maruyama nanti akan dilakukan dengan khidmat sekaligus megah,
menguat¬kan tradisi dan, Takeo berharap, memantap¬kan keputusan baru: perempuan dapat
me¬warisi wilayah atau menjadi pemimpin desa, sederajat dengan laki-laki.
Takeo teringat, saat keluarganya ter¬lindungi dari kedinginan dan rasa bosan selama musim
dingin
yang panjang, dua pemuda yang tidak terlalu berbeda jauh usianya dengan putrinya, ditahan
di kastil
Inuyama. Meskipun diperlakukan dengan baik, namun tetap saja mereka adalah tawanan.
Halaman 465 dari 465
Setelah salju mencair, dan Kenji berangkat melaksanakan misinya, Kaede serta putri¬putrinya
pergi
ke Hagi bersama Shizuka. Takeo melihat kegelisahan istrinya pada si kembar semakin
bertambah. Ia
memikirkan kemungkinan Shizuka mengajak salah satu dari mereka, mungkin Maya, ke desa
ter¬sembunyi Muto, Kagemura selama beberapa minggu. Takeo pun menunda waktu untuk
meninggalkan Inuyama, berharap mendapat kabar dari Kenji di bulan ini. Namun ketika hingga
bulan
keempat muncul dan masih belum ada kabar, dengan enggan ia pergi ke Hofu. Ia memberi
instruksi
agar Taku mengirimkan semua pesan kepadanya di sana.
Selama berkuasa, ia sering melakukan per¬jalanan, membagi hari-hari dalam setahun dari
satu kota
ke kota lainnya di Tiga Negara. Kadang ia melakukan perjalanan dengan semua kemegahan
yang
diharapkan dari seorang penguasa besar, kadang ia menyamar untuk dapat berbaur dengan
rakyat
biasa dan mengetahui pendapat, kegembiraan serta kebahagiaan mereka. Takeo tidak akan
melupakan kata-kata Otori Shigeru kepadanya: Karena Kaisar yang begitu lemah sehingga
51. bangsawan seperti Iida bisa merajalela. Sebenarnya kaisar berkuasa atas Delapan Pulau,
namun
dalam pelaksanaannya, berbagai daerah mengurus
masalah mereka sendiri: Tiga Negara dilanda konflik akibat para bangsawan berebut wilayah
dan
kekuasaan. Kini ia dan Kaede telah membawa kedamaian dan memper¬tahankannya dengan
penuh
perhatian pada seluruh wilayah dan berbagai aspek ke¬hidupan rakyatnya.
Hasil dari semua itu terlihat saat ia ber¬kuda ke wilayah Barat. Didampingi para pengawal,
dua
pengawal terpercaya dari Tribe— saudara sepupu Kuroda: Junpei dan Shinsaku, yang dikenal
sebagai Jun dan Shin—serta jurutulisnya. Selama perjalanan ia memerhatikan tanda-tanda
negeri
yang damai: anak-anak yang sehat, desa yang makmur, sedikit pengemis serta tidak ada
bandit.
Tujuannya untuk membuat negara ini sangat aman hingga gadis belia pun bisa memegang
kekuasaan, dan ketika tiba di Hofu, ia bangga dan puas bahwa Tiga Negara telah sesuai
dengan
tujuannya itu.
Ia tidak menduga apa yang menantinya di kota pelabuhan itu, ataupun curiga kalau di sana
nanti
kepercayaan dirinya akan goyah dan kekuasaannya terancam.
Tampaknya begitu ia tiba di kota mana pun di Tiga Negara, utusan bermunculan di gerbang
kastil
atau kediaman ia tinggal: ingin mengadakan pertemuan, meminta bantuan, membutuhkan
keputusan
yang hanya bisa diputuskan olehnya. Beberapa dari masalah ini sebenarnya dapat disampaikan
pada
petugas setempat, tapi terkadang ada keluhan atas para petugas itu sehingga hakim-hakim
yang adil
harus didatangkan. Musim semi ini, di Hofu, ada tiga mau empat kasus semacam ini, lebih dari
yang
52. Takeo harap¬kan. Hal ini membuatnya mempertanyakan keadilan dari administrasi setempat.
Bahkan
dua petani mengeluh kalau putra mereka dipaksa menjadi prajurit, dan seorang pedagang
memberi
informasi bahwa para prajurit menyita sejumlah besar batu bara, kayu, belerang dan nitrat.
Zenko
tengah menghimpun kekuatan dan senjata, pikirnya. Aku harus bicara padanya.
Takeo mengatur untuk mengirim kurir ke Kumamoto. Namun, keesokan harinya Arai Zenko—
yang
telah diberi bekas wilayah ayahnya di bagian Barat dan juga Hofu— datang dari Kumamoto
dengan
alasan hendak menyambut Lord Otori. Istrinya, Shirakawa Hana, adik bungsu Kaede, ikut
bersamanya. Hana sangat mirip dengan kakak sulungnya, bahkan bila diperhatikan lebih lama
lagi
kelihatan lebih cantik di¬bandingkan Kaede saat masih muda. Ia tidak suka maupun percaya
pada
Hana. Sepanjang tahun yang sulit setelah kelahiran si kembar, saat empat belas tahun, Hana
selalu
mencari kesempatan untuk menggoda dirinya agar menjadikannya istri kedua atau selir. Hana
menjadi lebih dari sekadar godaan yang bisa diakui Takeo, dengan paras yang sama persis
seperti
Kaede muda, sebelum kecantikannya tercoreng. Bahkan Hana pernah menawarkan diri ketika
kesehatan Kaede memburuk. Penolakan mantap Takeo untuk menganggap serius tawarannya
telah
melukai dan mem-permalukan Hana: keinginan Takeo untuk menikahkannya dengan Zenko
justru
mem¬buat Hana kian gusar. Tapi Takeo memaksa: mereka menikah ketika Zenko berusia
delapan
belas tahun dan Hana enam belas tahun. Zenko sangat senang: persekutuan itu merupakan
kehormatan besar baginya; Hana bukan hanya cantik, tapi juga segera mem¬berinya tiga
putra,
53. semuanya sehat. Rasa tergila-gilanya pada Takeo segera digantikan rasa dendam padanya dan
iri
pada kakaknya. Dia pun bertekad untuk mengambil alih kedudukan mereka.
Takeo tahu niat ini karena adik iparnya lupa kalau ia memiliki pendengaran yang sangat peka.
Pendengarannya memang tidak setajam saat masih tujuh belas tahun, tapi masih cukup baik
untuk
menguping per-cakapan rahasia, menyadari segala sesuatu yang ada di sekelilingnya, di mana
posisi
tiap orang di kastil, kegiatan mereka yang ada di pos jaga dan istal, siapa mengunjungi siapa
di
malam hari dan untuk tujuan apa. Ia juga dapat membaca niat orang itu dari cara ber¬diri
hingga
gerakan tubuh.
Halaman 466 dari 466
Saat ini ia mengamati Hana yang sedang membungkuk di hadapannya, dengan rambut
menjuntai ke
lantai, sedikit tersibak hingga menampakkan tengkuknya yang putih sempurna. Hana bergerak
dengan luwes, terlepas dari kenyataan bahwa dia adalah ibu dari tiga orang anak: orang akan
mengira usianya tak lebih dari delapan belas tahun, tapi sebenarnya dia seumur dengan adik
Zenko,
Taku: dua puluh enam tahun.
Suaminya, di usia dua puluh delapan tahun, tampak sangat mirip dengan ayahnya bertubuh
besar,
gagah perkasa, bertenaga besar, ahli menggunakan panah dan pedang. Pada usia dua belas
tahun
dia menyaksikan ayahnya mati ditembak dengan senjata api, orang ketiga di Tiga Negara yang
mati
dengan cara begitu. Dua orang lainnya adalah para bandit. Ia menyadari bila semua ini
dijadikan satu
54. maka bisa menimbulkan sakit hati yang mendalam pada pemuda itu, dan bisa berubah
menjadi
kebencian.
Kedua orang ini tidak menunjukkan tanda-tanda kedengkian. Sambutan dan pertanyaan
mereka
mengenai kesehatan diri juga keluarganya terasa berlebihan. Ia menjawab dengan sikap yang
sama
sopannya, menutupi kenyataan kalau ia merasa lebih kesakitan ketimbang biasanya karena
udara
yang lembap.
"Kalian tidak perlu repot-repot datang," katanya. "Aku hanya akan berada di Hofu selama satu
atau
dua hari."
"Oh, tapi Lord Takeo harus tinggal lebih lama." Hana angkat bicara, seperti yang sering dia
lakukan
sebelum suaminya sempat bicara. "Anda harus tinggal di sini sampai musim hujan selesai.
Anda tidak
bisa bepergian dalam keadaan cuaca seperti ini."
"Aku pernah melakukan perjalanan dalam cuaca yang lebih buruk," sahut Takeo sambil
tersenyum.
"Kami senang bisa menghabiskan waktu bersama kakak ipar," kata Zenko.
"Baiklah, ada satu atau dua hal yang perlu kita bicarakan," sahut Takeo, memutuskan untuk
menanggapi basa-basi ini. "Tidak ada kebutuhan, pastinya, untuk meningkatkan jumlah
pasukan, dan
aku ingin tahu lebih banyak tentang kekuatan apa yang sedang kau himpun."
Keterusterangannya yang keluar tepat setelah sopan-santun tadi, mengejutkan mereka. Takeo
tersenyum lagi. Mereka pasti tahu, tak banyak hal yang bisa luput dari perhatiannya di seluruh
Tiga
Negara.
"Kebutuhan senjata selalu ada," tutur Zenko. "Tombak, pedang, panah dan sebagainya."
55. "Berapa banyak orang yang kau kumpul¬kan? Paling banyak lima ribu orang. Catatan kami
menunjukkan mereka semua diper¬senjatai. Bila senjata mereka hilang atau rusak, maka
mereka
harus menggantinya dengan biaya sendiri. Keuangan wilayah bisa dijalankan dengan baik."
"Dari Kumamoto dan distrik selatan, ya, benar lima ribu orang. Tapi ada banyak orang yang
tidak
terlatih dengan usia cukup untuk bertempur di wilayah Seishuu lainnya. Tampaknya ini
kesempatan
emas untuk memberi mereka pelatihan dan senjata, bahkan jika mereka kembali ke sawahnya
untuk
panen."
"Klan Seishuu kini tunduk pada Maruyama," sahut Takeo dengan nada ringan. "Bagaimana
pendapat
Sugita Hiroshi tentang rencanamu?"
Hiroshi dan Zenko tidak menyukai satu sama lain. Takeo tahu Hiroshi memendam hasrat untuk
menikahi Hana, dan kecewa ketika perempuan idamannya itu menikah dengan Arai Zenko,
walaupun
Hiroshi tidak pernah mengatakannya. Kedua pemuda itu tidak saling menyukai sejak pertama
kali
mereka bertemu bertahun-tahun silam semasa perang saudara. Hiroshi dan Taku, adik Zenko,
adalah
teman dekat, jauh lebih dekat ketimbang. Kedua kakak beradik yang semakin dingin.
"Aku belum sempat bicara dengan Sugita," aku Zenko.
"Baiklah, kelak kita bicarakan masalah ini dengannya.
Nanti kita semua akan bertemu di Maruyama pada bulan kesepuluh dan meng¬kaji ulang
kebutuhan
pasukan di wilayah Barat."
"Kita menghadapi ancaman dari kaum barbar," tutur Zenko. "Wilayah Barat terbuka lebar bagi
mereka: Klan Snshuu belum pernah menghadapi serangan dari laut. Kami tidak siap."
56. Halaman 467 dari 467
"Tujuan orang-orang asing itu sebenarnya hanyalah berdagang," sahut Takeo. "Mereka berada
jauh
dari kampung halaman mereka, kapal-kapal mereka kecil. Mereka mestinya jera dengan
serangan di
Mijima; maka sekarang mereka harus berurusan dengan kita melalui diplomasi. Pertahanan
terbaik
kita melawan mereka adalah berdagang dengan damai."
"Tapi mereka selalu membual tentang pasukan hebat raja mereka," timpal Hana. "Seribu orang
bersenjata api. Lima puluh ribu kuda. Satu ekor kuda mereka lebih besar dibandingkan dua
ekor kuda
kita, kata mereka. Dan pasukan pejalan kaki mereka menyandang senjata api."
"Semua ini, seperti yang kau katakan, hanyalah bualan," Takeo mengamati. "Aku berani
katakan
kalau Terada Fumio mem¬buat pernyataan serupa tentang keunggulan kita di kepulauan
wilayah
Barat dan pelabuhan di Tenjiku dan Shin." Dilihatnya ekspresi wajah Zenko berkerut saat nama
Fumio
disebut. Fumio yang menembak ayah Zenko saat gempa mengguncang dan meng¬hancurkan
pasukan Arai. Takeo menghela napas panjang, ingin tahu apakah mungkin menghapuskan
keinginan
balas dendam Zenko.
Zenko berkata, "Di sana kaum barbar juga menggunakan perdagangan sebagai alasan untuk
menjejakkan kaki. Lalu mereka melemahkan dari dalam dengan agama mereka, dan serangan
dari
luar. Mereka akan mengubah kita semua menjadi budak mereka."
Zenko mungkin benar, pikir Takeo. Orang¬orang asing itu sebagian besar terkurung di Hofu,
dan
Zenko bertemu dengan lebih banyak orang-orang itu ketimbang ksatria¬nya sendiri. Kendati
menyebut dengan kata kaum barbar, Zenko tampak terkesan dengan senjata dan kapal
mereka.
57. Seandainya mereka bergabung di wilayah Barat...
"Kau tahu kalau aku menghormati pendapatmu dalam masalah ini," sahutnya. "Akan kita
tingkatkan
pengawasan terhadap orang-orang asing itu. Apabila nanti diperlu¬kan lebih banyak pasukan,
akan
kuberitahu¬kan kepadamu. Dan nitrat hanya boleh dibeli langsung oleh klan."
Takeo memerhatikan selagi Zenko mem¬bungkuk dengan enggan, segaris rona warna di
lehernya
menandakan kekesalannya atas peringatan keras tadi. Takeo teringat saat menempelkan pisau
di
leher Zenko. Kalau saja saat itu ia menggunakan pisau dengan baik, ia bisa terhindar dari
banyak
masalah. Namun kala itu Zenko hanyalah bocah kecil; ia belum pernah membunuh anak-anak
dan
berdoa semoga tidak akan pernah. Zenko adalah bagian dari takdirku, pikirnya. Aku harus
hadapi dia
dengan hati-hati. Apa lagi yang bisa kulakukan untuk menjinakkan dirinya?
Hana berkata dengan suara selembut madu. "Kami takkan melakukan apa pun tanpa
berkonsultasi
dengan Lord Otori. Sesungguhnya kami hanya menaruh per¬hatian pada Anda sekeluarga serta
kemak¬muran Tiga Negara. Anda sehat-sehat saja, kurasa. Bagaimana dengan kakak sulungku,
juga
ketiga putri Anda yang cantik-cantik?"
"Terima kasih: mereka semua sehat-sehat saja."
"Satu kesedihan yang mendalam bagiku karena tidak punya anak perempuan," lanjut Hana,
tatapan
matanya lenang, serius dan agak malu-malu. "Seperti yang Lord Otori ketahui, kami hanya
punya
anak laki-laki."
Mau ke mana arah pembicaraannya? Takeo penasaran.
58. Zenko yang kurang memiliki kehalusan dalam berbicara dibandingkan istrinya lalu bicara
dengan
nada datar.
"Lord Otori pasti sangat ingin memiliki putra."
Ah! pikir Takeo, lalu berkata, "Karena sepertiga negara kiia sudah diwariskan melalui garis
keturunan
perempuan, hal itu tak menjadi masalah. Putri sulung kami pada akhirnya akan menjadi
penguasa
Tiga Negara."
"Tapi Anda harus tahu kebahagiaan memiliki anak laki-laki," seru Hana. "Ijinkan kami
memberikan
salah satu putra kami."
"Kami ingin Anda mengangkat salah satu putra kami," ujar Zenko, tanpa basa-basi.
"Sungguh itu suatu kehormatan besar serta membawa kebahagiaan tak terbilang bagi kami,"
gumam
Hana.
Halaman 468 dari 468
"Kalian sangat murah hati dan penuh pengertian," sahut Takeo. Kebenarannya adalah: ia tak
ingin
anak laki-laki. Ia lega Kaede tidak melahirkan lagi dan berharap istrinya tidak hamil lagi.
Ramalan
bahwa ia akan mati di tangan putranya sendiri tidaklah menakutkan, namun menorehkan
kesedihan
mendalam pada dirinya. Saat itu Takeo berdoa, seperti yang sering dilakukannya, kalau
kematiannya
seperti kematian Shigeru, bukan seperti pemimpin Otori yang lain, Masahiro, yang mati
digorok oleh
anak haramnya. Ia juga berdoa dibiarkan hidup hingga tugasnya selesai dan putrinya telah
cukup
dewasa untuk memerintah negeri ini.
59. Karena tak ingin menghina mereka dengan langsung menolak tawaran itu. Sesungguh¬nya
amat
pantas mengangkat keponakan istrinya: bahkan mungkin kelak ia bisa menjodohkan anak itu
dengan
salah satu putrinya.
"Mohon kami diberi kehormatan dengan menerima dua putra tertua kami," tutur Hana. Ketika
Takeo
mengangguk setuju, Hana bangkit dan berjalan ke pintu dengan luwes, sangat mirip dengan
Kaede.
Lalu masuk kembali bersama kedua anaknya: usia mereka delapan dan enam tahun, mengena-
kan
jubah resmi, diam terpaku dengan khidmat dalam pertemuan itu. Rambut mereka ditata
dengan
bagian rambut yang panjang di bagian depan.
"Yang sulung bernama Sunaomi, sedang adiknya, Chikara," tutur Hana selagi kedua bocah itu
membungkuk sampai ke lantai di hadapan paman mereka.
"Ya, aku ingat," sahut Takeo. Sudah tiga tahun ia belum bertemu kedua bocah ini, dan belum
pernah
bertemu putra bungsu Hana yang lahir tahun lalu. Kedua anak itu tampan: yang sulung mirip
dengan
Shira¬kawa bersaudara, dengan tulang punggung yang panjang serta struktur tulang yang
ramping.
Sedangkan adiknya lebih bulat dan kekar, lebih mirip ayahnya. Takeo ingin tahu apakah salah
satu
dari mereka mewarisi kemampuan Tribe dari neneknya, Shizuka. Nanti akan ditanyakannya
pada
Taku atau Shizuka. Akan menyenangkan, renungnya, bagi Shizuka untuk mengasuh cucunya.
"Duduk tegak, anak-anak," kata Takeo.
"Biarkan paman melihat wajah kalian."
Takeo tertarik pada si sulung yang amat mirip Kaede. Usianya hanya tujuh tahun lebih muda
dari
60. Shigeko, dan lima tahun lebih muda dari Maya dan Miki: perbedaan ini bukanlah masalah
dalam
perkawinan. Diajukannya pertanyaan tentang pelajaran, kemajuan berpedang dan memanah,
dan
senang dengan jawaban mereka yang cerdas serta jelas. Apa pun ambisi tersembunyi dan
motif
terselubung dari orangtua mereka, kedua bocah ini telah dididik dengan baik.
"Kalian sangat murah hati," ujar Takeo lagi. "Aku akan membicarakannya dengan istriku."
"Anak-anak akan bergabung bersama kita saat makan malam," ujar Hana. "Anda bisa lebih
mengenal
mereka nanti. Tentu saja, Sunaomi sudah menjadi kesayangan kakak sulungku."
Kini Takeo ingat kalau ia pernah men¬dengar Kaede memuji Sunaomi karena kecerdasannya.
Ia tahu
istrinya iri pada Hana dan menyesal karena tidak punya anak laki¬laki. Mengangkat
keponakannya
mungkin bisa menjadi kompensasi, tapi jika Sunaomi menjadi putranya...
Disingkirkannya pikiran itu jauh-jauh. Ia harus memutuskan yang terbaik saat ini: jangan
sampai ia
terpengaruh oleh ramalan yang mungkin saja tidak akan terjadi.
Ketika Hana pergi bersama kedua anak¬nya, Zenko berkata, "Aku ingin ulangi kalau ini akan
menjadi
kehormatan bagi kami bila Anda mengangkat Sunaomi—atau Chikara: Anda harus memilih."
"Kita bicarakan ini pada bulan kesepuluh." "Bolehkah aku mengajukan satu permohonan lagi?"
Ketika Takeo mengangguk, Zenko melanjutkan, "Aku tak ingin menyinggung perasaan dengan
mengingat masa lalu, tapi— Anda ingat Lord Fujiwara?"
"Tentu saja," jawab Takeo, menahan rasa kaget dan marah. Lord Fujiwara adalah bangsawan
yang
telah menculik istrinya. Bangsawan itu mati dalam bencana gempa tapi Takeo tidak pernah
memaafkannya. Kaede telah bersumpah bahwa bangsawan itu tak pernah tidur dengannya,
namun
61. ada semacam ikatan aneh antara mereka berdua; Fujiwara telah memikat dan
menyanjungnya;
Kaede telah membuat perjanjian dengan laki¬laki itu dan menceritakan rahasia paling pribadi
tentang
cinta Takeo. Juga pernah membantu keluarga Kaede dengan uang, makanan, juga banyak
hadiah.
Fujiwara menikahi Kaede dengan restu Kaisar. Fujiwara pernah berusaha agar Kaede mati
Halaman 469 dari 469
bersamanya: Kaede berhasil lolos walaupun rambutnya terbakar, menyebabkan bekas luka,
kehilangan kecantikannya.
"Putranya berada di Hofu dan ingin ber¬temu secara resmi dengan Anda."
Takeo tidak berkata sepatah kata pun, enggan untuk mengakui kalau ia tidak mengetahuinya.
"Dia menggunakan nama keluarga ibunya, Kono. Tiba dengan kapal beberapa hari lalu,
berharap bisa
bertemu Anda. Kami telah ber¬hubungan melalui surat tentang hana warisan ayahnya.
Ayahku,
seperti yang Anda tahu, berhubungan baik dengan ayahnya—aku mohon maaf telah membuat
Anda
teringat masa-masa yang tak menyenangkan—dan Lord Kono membicarakan tentang masalah
penyewaan dan pajak."
"Sepanjang ingatanku, harta Fujiwara telah digabungkan dengan wilayah Shira¬kawa."
"Secara hukum Shirakawa juga merupakan milik Fujiwara, setelah pernikahannya, maka kini
menjadi
milik putranya. Karena Fujiwara diwariskan melalui garis keturunan laki-laki. Jika wilayah itu
bukan
hak Kono, maka seharusnya diteruskan pada pewaris laki-laki berikutnya."
"Yaitu putra sulungmu, Sunaomi," timpal Takeo.
Zenko menunduk tanpa bicara.
62. "Enam belas tahun telah berlalu sejak kematian ayahnya. Mengapa kini dia tiba¬tiba muncul?"
tanya
Takeo.
"Waktu berlalu dengan cepat di ibukota," sahut Zenko. "Dia utusan Yang Mulia Kaisar."
Atau barangkali karena seseo rang punya rencana jahat, kau atau istrimu—hampir pasti
istrimu—
melihat bagaimana Kono bisa dimanfaatkan untuk lebih menekanku, maka Kono dihubungi
melalui
surat, pikir Takeo, menyembunyikan kemarahannya.
Hujan semakin deras menerpa atap, dan bau tanah yang basah mengapung di depan taman.
"Dia boleh datang dan bertemu denganku besok," kata Takeo akhirnya.
"Ya. Keputusan yang bijaksana," sahut Zenko. "Lagi pula jalan terlalu becek dan berlumpur
untuk
meneruskan perjalanan."
***
Pertemuan ini semakin menambah ke¬gelisahan Takeo, mengingatkannya betapa Arai Zenko
sangat
perlu diawasi: betapa mudahnya ambisi mereka dapat menggiring Tiga Negara kembali perang
saudara. Sore berlalu dengan suasana cukup menyenang¬kan: ia minum sake secukupnya
untuk
menyembunyikan rasa sakit, dan kedua anak laki-laki itu menghidupkan suasana dan
menghibur.
Meteka baru saja bertemu dengan dua orang asing di ruangan ini dan sangat bersemangat
dengan
pertemuan itu: bagaimana Sunaomi bicara pada mereka dengan menggunakan bahasa mereka
yang
telah dipelajari bersama ibunya; bagaimana orang-orang asing itu kelihatan seperti goblin
dengan
hidung panjang dan janggut lebat¬nya, yang satu berambut merah sedangkan yang lainnya
berambut
hitam, tapi Chikara sama sekali tidak takut. Mereka memerintah¬kan para pelayan untuk
63. mengambilkan salah satu kursi yang dibuat oleh orang asing dari
kayu eksotis, jati, dibawa dari pelabuhan pedagangan besar yang dikenal dengan nama
Fragrant
Harbour dalam kekuasaan kapal nana milik Terada yang juga membawa mangkuk jasper, lapis
lazuli,
kulit macan, gading dan giok menuju kota-kota di Tiga Negara.
"Sangat nyaman," ujar Sunaomi, mem¬peragakan.
"Agak mirip tahta Kaisar," kata Hana, tertawa.
"Tapi mereka tidak makan menggunakan tangan!" kata Chikara, kecewa. "Aku ingin
melihatnya."
"Mereka belajar sopan santun dari bangsa kita," tutur Hana. "Mereka berusaha keras, sama
kerasnya
dengan usaha Lord Joao mem¬pelajari bahasa kita."
Takeo agak merinding mendengar nama itu, sangat mirip dengan nama gelandangan Jo-An. Ia
begitu
menyesali tindakannya yang telah memenggal Jo-An, dan pengemis itu sering hadir dalam
mimpinya.
Orang-orang asing itu memiliki kepercayaan yang serupa dengan kepercayaan kaum Hidden
dan
ber¬doa pada Tuhan Rahasia. Bedanya, orang¬orang asing itu mempraktikannya secara
terbuka,
Halaman 470 dari 470
hingga membuat orang lain gelisah dan malu. Mereka memperlihatkan lambang Hidden, salib,
pada
untaian kalung yang menggantung di dada pakaian mereka yang aneh dan tidak nyaman.
Bahkan di
hari yang paling panas pun mereka tetap memakai pakaian ketat dengan kerah tinggi dan
sepatu bot,
dan mereka memiliki ketakutan yang tidak wajar untuk mandi.