SlideShare a Scribd company logo
1 of 687
Download to read offline
KISAH KLAN OTORI 4:
                      THE HARSH CRY OF THE HERON
Copyrigth@Lian Hearn

Associates Pty Ltd 2006

All rights reserved

Hak terjemahan ada pada Penerbit Matahati

Diterbitkan oleh Penerbit Matahati

Judul asli:

TALES OF THE OTORI:

The Harsh Cry of the Heron

by Lian Hearn

Simbol Klan oleh Claire Aher

Terjemah “Tales of the Heiki” adalah dari Helen

Craig McCullough, dan diterbitkan oleh Stanford

University Press, 1988

Dentang genta Gion Shoja

mengumandangkan ketidakabadian

segalanya.

Warna bunga sala mengungkapkan

kebenaran bahwa kemakmuran akan

mengalami kemunduran.

Keangkuhan tak akan bertahan lama,

layaknya mimpi di malam musim

semi

Kekuasaan pada akhirnya akan jatuh,
layaknya debu yang tertiup angin.

THE TALE OF THE HEIKI



Halaman 446 dari 446

THE HARSH CRY OF THE HERON

TOKOH UTAMA :

Otori Takco penguasa Tiga Negara

Otori Kaede istrinya

Shigeko putri sulung mereka, pewaris Maruyama

Maya putri Kembar mereka

Miki

Arai Zenko pemimpin Klan Arai, penguasa Kumomoto

Arai Hana istrinya, adik Kaede

Sunaomi dan Chikara anak mereka

MutoKenji ketua keluarga Muto dan Tribe

Muro Shizuka pengganti dan keponakan Kenji, ibu dari Zenko dan Taku

Muto Taku mata-mata Takeo

Sada anggota Tribe sahabat Maya

Mai adik dari Sada

Yuki (Yusetyu) putri Kenji, ibu dari Hisao

Muto Yasu pedagang

Imai Bunta informan Shizuka

Tabib Ishida suami Shizuka, tabibnya Takco

Sugita Hiroshi pengawal senior Maruyama

Miyoshi Kahei panglima perang Takeo,penguasa Yamagata

Miyoshi Gemba saudaranya
Sonoda Mitsuru penguasa Inuyama

Matsuda Shingen Kepala biara Terayama

Kubo Makoto (Eiken) penggantinya,sahabat Takeo

Minoru jurutulis Takeo

Kurado Junpei

Kurado Shinsaku pengawal Takeo

Terada Fumio pemimpin angkatan laut

Lord Kono putra Lord Fujiwara

Saga Hideki jenderal Kaisar

Don Joao orang asing, pedagang

Don Carlo orang asing, pendeta

Madaren penerjemah mereka

Kikuta Akio ketua keluarga Kikuta

Kikuta Hisao anaknya Kikuta

Gosaburo paman Akio



Halaman 447 dari 447

KUDA :

Tenba kuda hitam pemberian Shigeko untuk Taeko Dua anak Raku, surai

dan ekor mereka berwarna abu¬abu

Ryume kuda tunggangan Taku

Keri kuda tunggangan Hiroshi

Ashiege kuda tunggangan Shigeko

"Cepat kemari! Ayah dan Ibu sedang bertarung!" Otori Takeo

mendengar putrinya memanggil adik-adik-nya dari kediaman

mereka di kastil Inuyama, dengan cara yang sama ia
mendengarkan semua hiruk-pikuk baik di dalam kastil dan juga

dari kota di luar kastil. Namun dia mengabaikan suara-suara itu,

sama seperti ia mengabaikan nyanyian yang mengalun dari

nightingale floor di bawah kakinya. Ia hanya berkonsentrasi pada

lawannya: Kaede, istrinya.

Mereka bertarung menggunakan tongkat: ia memang lebih tinggi,

tapi istrinya terlahir kidal dan mampu menggunakan tangan kanan

dengan sama baiknya. Sementara jari tangan kanannya putus

karena tebasan belati bertahun-tahun lalu dan harus belajar

meng¬gunakan tangan kiri.

Saat ini hari terakhir di tahun ini, hawa dingin menusuk, langit

pucat kelabu, matahari musim dingin meredup. Mereka sering

berlatih dengan cara ini di musim dingin: menghangatkan tubuh

dan membuat sendi-sendi tetap lentur, dan Kaede suka putri-putrinya melihat bagaimana
perem¬puan

mampu bertarung layaknya laki-laki.

Ketiga putri mereka berlarian: Shigeko, si sulung. yang akan berusia lima belas lahun pada
tahun baru

ini, kedua adiknya tiga belas tahun. Papan lantai melantunkan nyanyian di bawah langkah kaki

Shigeko, tapi si kembar menjejakkan kaki mereka begitu ringan dengan cara Tribe. Mereka
sudah

sering berlarian melintasi nightingale floor sejak kecil, dan tanpa menyadari belajar untuk

membuatnya tidak bersuara.

Kepala Kaede ditutupi selendang sutra merah yang dililitkan menutupi wajahnya, maka Takeo
hanya

bisa melihat matanya. Mata yang penuh dengan energi bertarung, dan gerakan-gerakannya
masih

cepat serta kuat. Sulit dipercaya Kaede adalah ibu dari tiga anak: dia masih bergerak dengan
kekuatan dan kebebasan seorang gadis. Serangannya membuat Takeo menyadari akan usia dan

kelemahan fisiknya. Hentakan serangan Kaede pada tongkat miliknya mem¬buat tangannya
terasa

nyeri.

"Aku mengaku kalah," ujar Takeo.

"Ibu menang!" seru ketiga putrinya dengan bangga. Shigeko lari menghampiri ibunya dengan

membawa handuk. "Untuk sang pemenang," ujarnya seraya mem¬bungkuk dan menyodorkan
handuk

dengan dua tangan.

"Kita harus bersyukur karena hidup dalam damai," tutur Kaede, seraya tersenyum dan
menyeka

wajahnya. "Ayah kalian belajar keahlian berdiplomasi dan tak perlu lagi ber¬tarung
mempertaruhkan

nyawanya!"

"Setidaknya kini aku sudah mendapat peringatan!" sahut Takeo, memberi isyarat pada salah
satu

penjaga, yang tengah menyaksikan dari taman untuk mengambil longkatnya.



Halaman 448 dari 448

"Ijinkan kami bertarung melawan Ayah!" ujar Miki, si bungsu, dengan nada me¬mohon. Dia
berjalan

ke tepian beranda dan mengacungkan kepalan tangan ke arah ayah¬nya. Takeo berhati-hati
untuk

tidak menatap langsung mata atau menyentuh putrinya itu selagi memberikan tongkatnya.

Takeo sadar akan rasa enggan dalam dirinya. Bahkan orang dewasa dan prajurit tangguh
sekalipun,

takut pada si kembar— bahkan, batinnya dengan hati pilu, ibunya sendiri juga takut.

"Ayah ingin lihat apa saja yang telah dipelajari Shigeko," sahutnya. "Kalian berdua boleh
menjajal

kebolehannya."
Selama beberapa tahun putri sulungnya menghabiskan sebagian besar waktu di Terayama, di
bawah

pengawasan mantan Kepala Biara, Matsuda Shingen, mantan guru Takeo, untuk mempelajari
Ajaran

Houou. Shigeko tiba di Inuyama sehari sebelumnya, untuk merayakan Tahun Baru bersama

keluarganya, juga perayaan me¬masuki usia akil balik. Kini Takeo memer¬hatikan putrinya
selagi

mengambil tongkat yang tadi digunakannya serta meyakinkan kalau Miki menggunakan
tongkat yang

lebih ringan. Secara fisik, Shigeko mirip ibunya: bentuk tubuh ramping yang sama serta
kerapuhan

yang jelas terlihat, namun me¬miliki karakter, berpengetahuan luas berkat latihan dan
pengalaman,

periang serta tegas dan tidak mudah berubah pendirian. Ajaran Houou amat keras dalam

pengajarannya, dan guru-gurunya tidak membuat pengecualian untuk usia dan jenis kelamin,
namun

ia tetap menerima ajaran dan latihan yang diberikan, hari-hari panjang dalam kesendirian
serta

kcsunyian, dengan sepenuh hati. Dia ke Terayama atas kemnuannya sendiri, karena Ajaran
Houou

merupakan ajaran jalan kedamaian, dan sejak kecil Shigeko telah diajarkan ayahnya tentang

pandangan untuk mewujudkan wilayah yang damai tempat kekcrasan tak pernah merajalela.

Cara bertarungnya agak berbeda dari cara yang diajarkan kepada Takeo, dan dia sangat suka

memerhatikan putrinya itu, menikmati bagaimana gerakan-gerakan tradisional menyerang
diubah

menjadi gerakan beladiri, dengan tujuan melemahkan lawan tanpa menyakiti.

"Jangan curang," kata Shigeko pada Miki, karena si kembar memiliki semua kemampuan Tribe
—

bahkan lebih, Takeo curiga. Saat ini, kemampuan mereka ber¬kembang pesat, dan meskipun
dilarang

menggunakannya dalam kehidupan sehari¬hari, terkadang godaan untuk memper¬mainkan
guruguru
serta mengelabui para pelayan sulit untuk dibendung.

"Mengapa aku tidak boleh memperlihatkan apa yang sudah kupelajari?" tanya Miki, karena dia
juga

baru kembali dari pelatihan—di desa Tribe bersama keluarga Muto. Kakaknya Maya akan
kembali ke

sana setelah perayaan. Akhir-akhir ini jarang sekali seluruh anggota keluarga bisa berkumpul

bersama: pendidikan yang berbeda bagi tiap anak, tuntutan pada orangtua untuk mem¬beri
perhatian

yang sama besarnya untuk seluruh Tiga Negara berarti perjalanan tanpa henti serta sering
berjauhan.

Tuntutan dalam pemerintahan kian meningkat: perundingan dengan orang asing; penjelajahan
dan

per¬dagangan; pengembangan persenjataan; pengawasan distrik lokal yang mengatur sendiri

administrasinya; percobaan pertanian; impor perajin asing dan teknologi baru; pengadilan
untuk

mendengarkan keluhan serta ketidakpuasan. Takeo dan Kaede memikul beban ini bersama.
Kaede

lebih banyak menangani wilayah Barat, sedang Takeo Negara Tengah dan keduanya
bekerja¬sama

menangani wilayah timur, tempat adik Kaede, Ai beserta suaminya, Sonoda Mitsuru,
memegang

bekas wilayah Tohan.

Miki setengah kepala lebih pendek dari kakaknya, tapi sangat kuat dan cepat; Shigeko tampak
nyaris

tak mampu meng¬imbangi gerakannya, tapi adiknya tak mampu menembus pertahanannya.
Dalam

beberapa saat Miki sudah kehilangan tongkatnya, yang tampak seperti terbang melayang dari

jemarinya, dan sewaktu tongkat itu membumbung tinggi Shigeko menangkapnya dengan
mudah.

"Kau curang!" Miki terengah-engah.

"Lord Gemba yang mengajari," sahut Shigeko dengan bangga.
Adik kembarnya yang satu lagi, Maya, mengambil giliran selanjutnya juga kalah dengan cara
yang

sama.

Shigeko berkata, pipinya bersemu merah, "Ayah, ayo bertarung denganku!"

"Baiklah," Takeo setuju karena terkesan dengan apa yang telah dipelajari putrinya dan ingin
tahu

sampai di mana kemampuannya menghadapi ksatria yang terlatih.

Takeo menyerang putrinya dengan cepat, tanpa menahan tenaga, dan serangan pertama

mengejutkan gadis itu. Tongkat ayahnya mengenai dadanya; Takco menahan tikamannya agar
tidak

menyakiti putrinya.



Halaman 449 dari 449

"Jika ini pedang, nyawamu pasti sudah melayang," ujarnya.

"Lagi," sahut Shigeko dengan tenang, dan kali ini siap bersiap menghadapi serangan yang akan

dilancarkan ayahnya; bergerak dengan kecepatan tanpa banyak tenaga, mengelak dari dua
pukulan

dan berhasil masuk ke sisi kanan ayahnya tempat tangan yang lebih lemah, menghentak
sedikit,

cukup untuk menggoyahkan keseimbangan ayah¬nya, kemudian meliukkan tubuhnya. Tongkat
milik

Takeo jatuh ke tanah.

Didengarnya helaan napas si kembar, dan para penjaga terperangah.

"Bagus sekali," ujarnya.

"Ayah tidak berusaha sekuat tenaga," sahut Shigeko kecewa.

"Tentu saja ayah berusaha sekuat tenaga. Sama kuatnya seperti yang pertama tadi. Tapi, ayah
sudah

dibuat lelah oleh ibumu, juga karena sudah tua dan tidak sekuat dulu lagi!"

"Tidak," pekik Maya. "Shigeko menang!"
"Tapi itu sama saja kau curang," timpal Miki dengan serius. "Bagaimana kau melaku¬kannya?"

Shigeko tersenyum, menggelengkan

kepala. "Itu yang harus kau lakukan dengan

pikiran, jiwa serta tangan di saat bersamaan.

Butuh waktu berbulan-bulan untuk bisa menguasainya. Aku tidak bisa memperlihat¬kannya
begitu

saja pada kalian."

"Kau melakukannya dengan sangat baik," ujar Kaede. "Aku bangga." Nada suaranya terdengar
penuh

kasih sayang dan kekaguman, seperti biasa hanya tertuju pada putri sulungnya.

Si kembar saling benukar pandang.

Mereka iri, pikir Takeo. Mereka tahu ibunya tidak memiliki kasih sayang yang sama kuatnya
pada

mereka. Dan dirasakan¬nya debaran perasaan ingin melindungi yang tak asing lagi atas kedua
putri

kembarnya. Sepertinya ia selalu berusaha menjauhkan mereka dari segala yang bahaya—sejak

mereka lahir, ketika Chiyo ingin menyingkir¬kan bayi kedua, Miki, lalu membiarkannya mati.
Ini

tindakan yang biasa lakukan pada anak kembar karena anak kembar dianggap tidak wajar bagi

manusia, membuat mereka kelihatan lebih mirip hewan, kucing atau anjing.

"Mungkin tampak kejam bagi Anda, Lord Takeo," Chiyo memeringatkannya. "Tapi lebih baik
bertindak

sekarang daripada menanggung malu dan sial, sebagai ayah dari anak kembar, rakyat akan
percaya

kalau Anda menjadi sasarannya."

"Bagaimana mereka bisa berhenti percaya pada takhayul dan kekejaman semacam itu bila
bukan kita

yang memberi contoh?" sahutnya dengan gusar karena bagi orang yang terlahir di kalangan
kaum

Hidden, ia sangat menghargai nyawa manusia lebih dari apa pun, dan tak percaya kalau
memper¬tahankan nyawa anak akan mendatangkan hinaan atau nasib buruk.

Kemudian ia terkejul oleh kekuatan takhayul ini. Kaede pun bukannya tidak ter¬pengaruh,
dan

sikapnya pada putri kembar¬nya menggambarkan kegelisahannya yang bercabang. Dia lebih
memilih

mereka tinggal terpisah, satu atau yang lainnya biasanya tinggal bersama Tribe; dan Kaede
tak

meng¬inginkan kehadiran mereka saat perayaan usia akil balik sang kakak, takut kalau
kehadiran

mereka akan mendatangkan nasib sial bagi Shigeko. Tapi Shigeko, yang sama protektifnya
terhadap

si kembar seperti ayah¬nya, memaksa mereka harus hadir. Takeo senang dengan hal itu, tidak
ada

yang lebih membahagiakan selain melihat semua anggota keluarga berkumpul bersama,
berada

dekat dengannya. Dipandanginya mereka semua dengan penuh kasih sayang, dan sadar kalau

perasaan itu diambil alih oleh sesuatu yang lebih menggairahkan: hasrat untuk ber¬baring
bersama

dan merasakan kulit istrinya. Pertarungan tongkat tadi telah membangkit¬kan kenangannya
saat

pertama kali jatuh cinta pada Kaede, pertama kali mereka bertanding di Tsuwano sewaktu ia
masih

berusia tujuh belas tahun sedangkan Kaede lima belas tahun. Adu tanding itu ber¬langsung di

Inuyama, tepat di tempat yang sama hari ini, untuk pertama kalinya mereka tidur bersama,
terdorong

hasrat yang timbul dari keputusasaan juga kesedihan. Rumah yang lama, kastil milik Iida,
nightingale

floor yang pertama habis terbakar ketika Inuyama jatuh namun Arai Daiichi membangunnya
kembali

dengan cara yang hampir sama, dan kini menjadi salah satu dari Empat Kota yang termasyhur
di

penjuru Tiga Negara.
Halaman 450 dari 450

"Anak-anak harus segera beristirahat," ujar Takeo, "karena perayaan di biara dimulai tengah
malam,

lalu ada Jamuan Makan Tahun Baru. Acara baru akan selesai pada Waktu Macan*. Aku juga
ingin

berbaring sebentar."

"Akan kuminta agar tungku disiapkan di kamar," sahut Kaede, "sebentar lagi aku akan
bergabung

denganmu."

***

Sinar matahari telah memudar saat Kaede mendatangi Takeo, dan malam musim dingin mulai

menjelang. Meskipun ada tungku, hembusan napas Kaede membentuk kabut putih di tengah

dinginnya udara. Selesai mandi, aroma kulit padi dan aloe dari air masih melekat di kulitnya.
Di balik

jubah tebal musim dingin tubuhnya terasa hangat. Takeo melepas sabuk istrinya lalu
menyelinakan

tangan ke balik pakaiannya, menarik tubuh Kaede agar berdekatan dengannya. Kemudian
dilepasnya

syal yang menutupi kepala Kaede lalu menarik, meng¬usapkan tangannya di atas kulit lembut

ber¬bulu halus.

"Jangan," ujar Kaede. "Buruk sekali." Takeo tahu kalau istrinya tak rela kehilangan rambut
panjangnya

yang indah, maupun bekas luka di tengkuk lehernya yang putih, yang mencoreng kecantikan
yang

pernah menjadi legenda sekaligus takhayul; tapi tidak nampak olehnya ketidaksempumaan
tubuh

istrinya, yang tampak hanyalah makin bertambahnya kerapuhan yang justru di matanya
membuat

sang istri semakin terlihat memesona.
"Aku menyukainya. Seperti pemain sandiwara. Membuatmu kelihatan seperti laki-laki
sekaligus

perempuan, juga orang dewasa sekaligus anak-anak."

"Kau juga harus perlihatkan bekas luka¬mu." Kaede menarik sarung tangan sutra yang biasa

dikenakan Takeo di tangan kanannya, lalu membawa sisa bekas jarinya yang putus ke
bibirnya.

"Apakah tadi aku menyakitimu?"

"Tidak juga. Hanya sisa rasa sakit— pukulan seperti apa pun menyakitkan persendian dan

membangkitkan rasa sakit¬nya." Takeo bicara lagi dengan suara pelan, "Saat ini aku merasa

kesakitan, tapi karena alasan lain."

"Rasa sakit semacam itu bisa kusembuh¬kan," bisik Kaede, seraya menarik tubuh suaminya,

membuka diri pada Takeo, membawanya memasuki dirinya, memper¬temukan hasrat mereka.

"Kau selalu menyembuhkan diriku," ujar Takeo kemudian. "Kau membuat diriku utuh ."

Kaede berbaring dalam dekapan Takeo, dengan kepala bersandar di bahunya. Pandangannya

menjelajahi setiap sudut kamar. Cahaya lampu bersinar dari pegangan best, tapi di balik daun

penutup jendela langit tampak kelam.

"Mungkin tadi kau sudah memberiku seorang putra," ujar Kaede, tidak mampu
menyembunyikan

kerinduan dalam nada suaranya.

"Kuharap tidak!" seru Takeo. "Dua kali hamil nyaris merenggut nyawamu. Lagipula kita tidak
perlu

anak laki-laki," imbuhnya dengan ringan. "Kita sudah punya tiga anak perempuan."

"Aku pernah mengatakan hal yang sama pada ayahku," aku Kaede. "Aku percaya kalau diriku
bernilai

sama dengan laki-laki."

"Begitu pula dengan Shigeko," sahut Takeo. "Dia akan mewarisi Tiga Negara, juga anak-
anaknya

kelak."
"Anak-anaknya! Shigeko masih anak-anak. tapi sudah cukup dewasa untuk ditunangkan. Siapa
orang

yang bisa kita calonkan dengan¬nya?"

"Jangan terburu-buru. Shigeko seperti piala, perhiasan yang nyaris tak ternilai harganya. Kita
takkan

melepasnya dengan percuma."

Kaede kembali pada pokok pembicaraan sebelumnya seolah hal itu menggerogoti dirinya. "Aku
ingin

memberimu anak laki¬laki."

"Meskipun dengan adanya pewarisanmu sendiri serta contoh dari Lady Maruyama! Kau masih
saja

bicara layaknya putri dari keluarga ksatria!"



Halaman 451 dari 451

Kegelapan dan ketenangan membawa Kaede menyuarakan kecemasannya lebih jauh lagi.
"Kadang

aku berpikir si kembar menutup rahimku. Aku merasa andai mereka tidak dilahirkan aku akan

dikaruniai anak laki-laki."

"Kau terlalu banyak mendengar takhayul!"

"Mungkin kau benar. Tapi apa yang akan terjadi pada anak kembar kita? Mereka tidak bisa
mewarisi,

kalau-kalau terjadi sesuatu pada Shigeko, semoga Surga tidak mem¬biarkan itu terjadi. Maka
siapa

yang akan dinikahkan? Tidak satu pun keluarga bangsawan atau ksatria mau menerima si
kembar,

terutama yang ternoda—maaf oleh darah Tribe serta kemampuan yang mirip ilmu sihir."

Takeo tak bisa menyangkal bahwa hal yang sama juga mengganggu pikirannya, namun ia
berusaha

menyingkirkannya. Putri kembarnya masih amat muda: siapa yang tahu apa yang disiapkan
nasib
untuk mereka?

Setelah beberapa saat, Kaede berkata pelan, "Tapi mungkin kita memang sudah terlalu tua.
Semua

orang penasaran mengapa kau tidak mengambil istri muda, atau selir, agar bisa punya lebih
banyak

anak."

"Aku hanya menginginkan satu istri," sahut Takeo dengan sungguh-sungguh. "Perasaan apa pun

yang pernah kuperlihat¬kan untuk berpura-pura, peran apa pun yang kumainkan, cintaku
padamu

sederhana dan sejatj adanya—aku takkan bercinta dengan siapa pun selain kau. Pernah
kukatakan

padamu, aku pernah bersumpah pada Kannon di Ohama. Aku tidak melanggar sumpah itu
selama

enam belas tahun. Dan aku tak akan melanggamya sekarang."

"Kurasa aku bisa mati cemburu," aku Kaede. "Namun perasaanku tidaklah penting
dibandingkan

kepentingan negara."

"Aku percaya kita dipersatukan dalam cinta yang merupakan landasan pemerin¬tahan kita
yang baik.

Aku tak akan merusak¬nya," sahutnya. Takeo merengkuh Kaede lebih dekat lagi, mengusapkan

tangannya di atas bekas luka leher istrinya, merasakan tulang rusuk yang mengeras dari
jaringan

yang tertinggal bekas luka bakar. "Selama kita bersatu, negara kita akan tetap damai dan
kuat."

Setengah mengantuk Kaede berkata, "Kau ingat saat kita berpisah di Terayama? Kau menatap

mataku lalu aku jatuh tertidur. Aku tidak pernah menceritakan ini padamu. Aku bermimpi
tentang Dewi

Putih: dia berbicara padaku. Bersabarlah, katanya: dia akan menjemputmu. Kemudian satu
kali lagi di

Gua Suci kudengar suaranya mengatakan hal yang sama. Itu satu-satunya hal yang membuatku
bertahan selama dikurung di kediaman Lord Fujiwara. Di sana aku belajar bersabar. Aku
terpaksa

belajar bagaimana harus menunggu, tidak melakukan apa-apa, agar ia tidak punya alasan
untuk

mencabut nyawaku, Setelah itu, saat dia mati, satu¬satunya tempat yang terpikir olehku
hanya¬lah

kembali ke gua suci, kembali pada sang dewi. Bila kau tidak datang, mungkin aku akan terus
tinggal

di sana melayani sang dewi sepanjang sisa hidupku. Lalu kau datang: aku melihatmu, begitu
kurus,

racun masih ber¬sarang di tubuhmu, tangan indahmu hancur. Aku tak pernah melupakan saat
itu;

tangan¬mu di atas leherku, salju turun, jeritan pilu sang bangau...."

"Aku tak layak mendapatkan cintamu," bisik Takeo. "Cintamu adalah anugerah terindah dalam

hidupku, dan aku tak bisa hidup tanpa dirimu. Kau tahu, hidupku di¬bimbing oleh ramalan..."

"Kau pernah bilang. Dan kita sudah melihatnya terpenuhi: Lima Peperangan, campur tangan
Surga—

"

Akan kuceritakan sisanya sekarang, pikir Takeo. Akan kukatakan mengapa aku tidak
menginginkan

anak laki-laki, karena si peramal buta itu mengatakan hanya putraku yang bisa membawa
kematian

padaku. Akan kukatakan padanya tentang Yuki, dan anak yang dilahirkannya, putraku, yang
kini

berusia enam belas tahun.

Namun ia tak ingin menyakiti istrinya. Untuk apa mengorek-ngorek masa lalu? Lima
pertempuran

telah menjadi bagian dari mitologi Otori, walaupun Takeo sadar hahwa ia yang memilih
bagaimana

menghitung semua pertempuran itu: bisa saja jumlah mencapai enam, empat atau tiga. Kata-
kata bisa

diubah dan dimanipulasi agar terkesan sarat makna. Bila suatu ramalan dipercaya, seringkali
terpenuhi. Maka ia takkan mengeluarkan ramalan yang satu itu dalam kata-kata, karena
dengan

begitu justru meng-hidupkan ramalan itu.

Dilihatnya Kaede hampir tertidur. Terasa hangat di bawah selimut, meskipun udara di
wajahnya terasa

dingin menusuk. Tak lama lagi ia sudah harus bangun, mandi serta ber¬pakaian resmi dan

menyiapkan diri untuk upacara menyambut datangnya Tahun Baru. Malam ini akan jadi malam
yang

panjang. Tubuhnya mulai terasa rileks, dan akhirnya ia pun tertidur.*



Halaman 452 dari 452

Ketiga putri Lord Otori senang jalan ke kuil di Inuyama karena terdapat deretan patung anjing
putih

yang diselingi deretan batu tempat ratusan lampu dinyalakan di malam¬malam perayaan
besar.

Kelap-kelip cahaya lampu menyinari patung-patung anjing hingga terlihat hidup. Udara cukup
dingin

hingga membuat wajah, jari tangan, dan kaki mati rasa, dan penuh dengan asap serta aroma
dupa

dan kayu pinus yang baru ditebang.

Para peziarah pertama di Tahun Baru ini berkerumun di anak tangga curam menanjak menuju
kuil.

Lonceng besar berdentang, membuat Shigeko bergidik. Ibunya berada beberapa langkah di
depan,

berjalan ber-dampingan dengan Muto Shizuka, pen- damping kesayangannya. Suami Shizuka,
tabib

Ishida, sedang ke daratan utama. Sang tabib diperkirakan takkan kembali hingga musim semi.

Shigeko senang Shizuka akan bersama mereka selama musim dingin karena dia salah satu dari

sedikit orang yang di¬hormati si kembar; dan Shigeko pikir, Shizuka pun menyayangi dan
memahami

mereka berdua.
Si kembar berjalan mengapit Shigeko; sesekali beberapa orang dari kerumunan yang berada di

sekeliling mereka menatap lalu menjauh, tak ingin tersentuh; tapi umumnya mereka tidak
terlalu jelas

terlihat di bawah sinar remang-remang.

Shigeko tahu para penjaga ada di depan dan belakang mereka, dan putra Shizuka, Taku,
bertugas

menjaga ayahnya. Ia tahu kalau Shizuka dan ibunya membawa pedang pendek, dan ia pun

menyembunyikan sebuah tongkat di balik jubahnya. Ia selalu mem¬bawa tongkat karena
berguna

untuk me¬lumpuhkan orang tanpa membunuh, seperti yang diajarkan Lord Miyoshi Gemba,
salah

seorang gurunya di Terayama. Setengah berharap ia akan sempat mencobanya, tapi sepertinya

mereka takkan diserang di jantung Inuyama.

Namun ada sesuatu di malam ini yang membuatnya waspada: bukankah guru¬gurunya sering

mengatakan bahwa ksatria harus selalu siaga agar kematian, baik kematian dirinya maupun

lawannya, bisa terhindar?

Mereka tiba di aula utama kuil, tempat Shigeko bisa melihat ayahnya yang tampak kerdil di
antara

atap tinggi dan patung raksasa dewa-dewa langit. Sulit dipercaya orang yang duduk resmi di
depan

altar adalah orang yang bertarung dengannya sore tadi di atas nightingale floor. Rasa sayang
dan

hormat yang mendalam pada ayahnya mengalir dalam diri Shigeko.

Setelah mempersembahkan sesajian dan berdoa di depan Sang Pencerah, para perempuan
berjalan

ke kiri lalu berjalan lebih tinggi ke arah gunung menuju ke kuil sang maha pengampun,
Kannon. Di sini

para penjaga tetap berada di luar gerbang karena hanya perempuan yang diijinkan masuk ke

pelataran.
Ketika Shigeko berlutut di atas anak tangga kayu di depan patung yang berkilat, Miki
menyentuh

lengan kakaknya. "Shigeko," bisiknya. "Apa yang dilakukan laki-laki itu di sini?"

"Di sini itu di mana?"

Miki menunjuk ke ujung beranda, tempat seorang perempuan muda berjalan ke arah mereka
dengan

membawa semacam bingkisan: perempuan itu berlutut di hadapan Kaede lalu mengulurkan
nampannya.

"Jangan disentuh!" seru Shigeko. "Miki, ada berapa orang?"

"Dua," jerit Miki. "Dan mereka membawa belati!"

Saat itulah Shigeko melihat dua orang itu muncul dari udara, melompat ke arah mereka.
Shigeko

berteriak memeringatkan sambil mengeluarkan tongkatnya.

"Mereka ingin membunuh Ibu!" pekik Miki.

Tapi Kaede telah siaga pada seruan Shigeko yang pertama. Pedang sudah di tangannya. Gadis
itu

melempar nampan di depannya sambil menarik senjata miliknya, tapi Shizuka yang juga
bersenjata,

mem-belokkan serangan pertama, mematikan serangan gadis itu dengan membuat
senjata¬nya



Halaman 453 dari 453

melayang di udara, kemudian berbalik menghadapi para penyerang laki-laki. Kaede mendekati

perempuan itu dan meng-hempaskannya ke tanah, seraya mengunci lengannya.

"Maya, di dalam mulutnya," seru Shizuka. "Jangan biarkan dia menelan racunnya."

Perempuan itu melancarkan serangan dan tendangan, tapi Maya dan Kaede membuka paksa

mulutnya dan Maya memasukkan jari ke dalam mulut, mencari-cari pil beracun lalu
mengeluarkannya.

Sabetan pedang Shizuka melukai salah satu penyerang laki-laki, dan darahnya berceceran di
atas
anak tangga dan di lantai. Shigeko memukul penyerang yang satunya lagi di bagian samping

lehernya, seperti yang pernah dicontohkan Gemba, dan selagi si penyerang itu terhuyung,

dihujamkannya tongkat ke arah selangkangannya, tepat ke bagian alat vitalnya. Tubuhnya
melekuk,

muntah karena kesakitan.

"Jangan bunuh mereka," teriaknya pada Shizuka, tapi si penyerang yang terluka itu keburu
kabur ke

arah kerumunan. Para penjaga berhasil menangkapnya tapi tidak berhasil menyelamatkannya
dari

kemarahan kerumunan.

Shigeko tidak terlalu kaget dengan serangan itu tapi lebih merasa heran dengan serangan yang

ceroboh juga gagal itu. Ia mengira para pembunuh bayaran akan lebih mematikan, tapi ketika
penjaga

dating menghampiri ke pelataran untuk mengikat dua penyerang yang masih hidup dengan tali

kemudian menggiring mereka pergi, tampak olehnya wajah mereka di bawah cahaya lentera.

"Mereka masih muda! Tak jauh lebih tua dari usiaku!"

Tatapan gadis itu beradu pandang dengan¬nya. Tidak akan dilupakannya tatapan penuh
kebencian

itu. Itulah pertama kalinya Shigeko tersadar betapa ia sudah hampir melakukan pembunuhan,
dan

sekaligus lega dan bersyukur karena tidak mencabut nyawa kedua orang yang masih muda ini,
yang

nyaris sebaya dengan dirinya.*

"Mereka putra-putrinya Gosaburo," kata Takeo tak Lama setelah memerhatikan mereka.
Terakhir aku

lihat mereka di Matsue, mereka masih bayi." Nama mereka tertulis dalam silsilah keluarga
Kikuta, ditambahkan

ke catatan Tribe yang dikumpul¬kan Shigeru. Si pemuda, putra kedua Gosaburo bernama

Yuzu, sedangkan yang perempuan bernama Ume. Dan yang tewas bernama Kunio, anak
sulung,
salah satu anak laki-laki yang pernah menjalani pelatihan bersama Takeo.

Saat itu merupakan hari pertama di tahun baru. Para tawanan dibawa menghadap Takeo di
dalam

salah satu ruang tahanan di lantai paling bawah kastil Inuyama. Mereka berlutut di
hadapannya,

dengan wajah pucat tapi tanpa ekspresi. Tangan mereka diikat kencang ke belakang, tapi bisa
dia

lihat kalau pun lapar atau haus, tapi mereka tidak diperlakukan dengan kasar. Sekarang ia
harus

memutuskan apa yang harus dilakukan dengan mereka.

Kemarahan sebelumnya atas serangan terhadap keluarganya diredakan oleh harapan bahwa

kemungkinan situasi bisa berbalik menguntungkan baginya: kegagalan terbaru ini, setelah
kegagalankegagalan

yang se-belumnya, mungkin akhirnya bisa mem¬bujuk keluarga Kikuta untuk menyerah,

untuk bisa berdamai.

Aku sudah terlalu berpuas diri, pikirnya. Aku yakin kalau aku kebal terhadap serangan
mereka: aku

tidak memperhitungkan mereka akan menyerang keluargaku.

Ketakutan baru menyelimutinya saat teringat kata-katanya pada Kaede pada hari sebelumnya.
Ia tak

mampu mcmbayangkan bisa bertahan hidup jika istrinya tiada, kehilangannya; begitu pula
dengan

negara¬nya.

"Apakah mereka mengatakan sesuatu padamu?" tanyanya pada Muto Taku yang kini berusia
dua

puluh enam tahun, anak bungsu Muto Shizuka. Ayahnya dulu meru¬pakan bangsawan besar,
sekutu

dan saingan Takeo, Arai Daiichi. Kakak Taku, Zenko, mewarisi wilayah kekuasaan ayahnya
diBarat,

dan Takeo ingin memberi Taku warisan dengan cara yang sama; tapi ditolaknya, seraya
mengatakan
Halaman 454 dari 454

bahwa dia tak ingin memiliki wilayah kekuasaan dan kehormatan. Dia lebih memilih bekerja
dengan

paman dari ibunya. Kenji, dalam mengendalikan jaringan mata-mata yang telah Takeo bangun
melalui

Tribe. Dia menerima pernikahan politis dengan gadis Tohan yang disukainya dan telah
memberi¬nya

seorang putra dan seorang putri. Orang cenderung meremehkannya, yang justru disukainya.
Sosok

dan wajah Taku menurun dari keluarga Muto sedangkan Arai mewarisi keberanian dan

kegagahannya, serta pada dasarnya menganggap hidup itu menyenang¬kan dan pengalaman
yang

mengasyikkan.

Taku tersenyum saat menjawab. "Tidak. Mereka menolak bicara. Aku hanya terkejut mereka
masih

hidup; kau tahu kalau Kikuta bunuh diri dengan menggigit lidah mereka sendiri! Tentu saja,
aku belum

berusaha sebegitu kerasnya untuk membujuk mereka."

"Aku tidak harus mengingatkanmu kalau kekerasan dilarang di Tiga Negara."

"Tentu saja tidak. Tapi apakah peraturan itu juga berlaku bahkan untuk Kikuta?"

"Peraturan itu berlaku bagi semua orang," sahut Takeo ringan. "Mereka bersalah atas
percobaan

pembunuhan dan akan dieksekusi atas kesalahan itu pada akhirnya nanti. Untuk saat ini
mereka tidak

boleh diperlaku-kan dengan kasar. Akan kita lihat seberapa kuat keinginan ayah mereka agar

anak¬anaknya bisa kembali."

"Mereka berasal dari mana?" selidik Sonoda Mitsuru, yang menikah dengan adik Kaede, Ai, dan

meskipun keluarganya, Akita, dulunya adalah pengawal Arai, ia diyakinkan untuk bersumpah
setia
pada Otori dalam perdamaian besar-besaran setelah gempa. Sebagai imbalannya, dia dan Ai

diberikan wilayah Inuyama. "Di mana bisa kau menemukan Si Gosaburo ini?"

"Kukira di pegunungan di luar perbatasan wilayah timur," tutur Taku, dan Takeo melihat si
gadis

sedikit memicingkan mata.

Sonoda berkata, "Maka untuk sementara waktu tidak mungkin mengadakan perundingan,
karena salju

pertama akan turun dalam minggu ini."

"Musim semi nanti kita akan kirim surat pada ayah mereka," sahut Takeo. "Tidak ada salahnya

membuat batin Gosaburo menderita memikirkan nasib anaknya. Bahkan mungkin membuatnya

semakin ingin menyelamatkan mereka. Sementara itu, tetap rahasiakan identitas mereka dan
jangan

biarkan mereka berhubungan dengan orang lain selain kau."

Didekatinya Taku. "Pamanmu berada di kota, kan?"

"Ya; paman akan bergabung dengan kita di kuil untuk perayaan Tahun Baru, tapi kesehatannya

sedang tidak baik, dan udara malam yang dingin menimbulkan kejang otot yang membuatnya
batukbatuk."

"Besok aku akan memanggilnya. Apakah dia berada di rumah lama?"

Taku mengangguk. "Paman menyukai aroma pabrik pembuatan sake. Menurutnya udara di sana
lebih

mudah dihirup."

"Kurasa sakenya juga ikut membantu."

***

"Hanya ini kesenangan yang tersisa untuk¬ku," ujar Muto Kenji, seraya mengisi cangkir Takeo
dan

memberikan botol sake kepada¬nya. "Ishida memintaku mengurangi minum, mengatakan
kalau

alkohol buruk bagi paru paru, tapi... sake membuatku tetap ber¬semangat dan membantuku
agar bisa

tidur."
Takeo menuang sake yang bening serta keras ke cangkir gurunya yang sudah tua itu. "Ishida
juga

memintaku mengurangi minum sake," akunya saat mereka berdua menenggak habis
minumannya.

"Tapi bagiku sake meredakan rasa sakitku. Dan Ishida pun hampir tidak mengikuti sarannya
sendiri,

lalu mengapa kita harus mengikuti anjurannya?"

"Kita adalah dua orang laki-laki tua," sahut Kenji, tertawa. "Siapa yang bisa mengira,
melihatmu

mencoba membunuhku tujuh belas tahun yang lalu di rumah ini, kalau kita akan duduk di sini
saling

mem-bandingkan penyakit?"

"Bersyukurlah kita berdua masih hidup sampai saat ini!" timpal Takeo. Ia melihat ke sekeliling
rumah

yang dibangun begitu kuat dengan langit-langit tinggi, pilar kayu cedar dan beranda serta
penutup



Halaman 455 dari 455

jendela dari kayu cemara cypress. Rumah ini penuh kenangan. "Ruangan ini amat jauh lebih
nyaman

ketimbang lemari terkutuk tempat aku dikurung!"

Kenji tertawa lagi. "Itu hanya karena kau bertingkah bak hewan liar! Keluarga Muto

selalu menyukai kemewahan. Dan kini bertahun-tahun dalam kedamaian, per¬mintaan akan
produk

buatan kami membuat kami sangat kaya raya, berkat kau, Lord Otoriku tercinta." Dinaikkan

cangkirnya ke arah Takeo; mereka berdua minum lagi, kemudian mengisi lagi wadah mereka
masingmasing.

"Rasanya aku akan menyesal meninggal¬kan semua ini, Aku sangsi masih bisa menyaksikan
Tahun

Baru." kata Kenji. Tapi kau—kau tahu orang bilang kalau kau tak bisa mati!"
Takeo tertawa. "Tidak ada manusia yang tidak bisa mati. Kematian menantiku sama halnya
seperti

semua orang. Hanya saja waktuku belum tiba."

Kenji adalah salah satu dari sedikit orang yang tahu isi ramalan tentang Takeo, ter¬masuk
bagian

yang dirahasiakannya: bahwa ia aman dari kematian kecuali di tangan putranya sendiri.
Semua sisa

ramalannya telah menjadi kenyataan, sampai tahap ini: lima pertempuran telah membawa

kedamai¬an di Tiga Negara, dan Takeo berkuasa dari ujung laut ke ujung laut lainnya. Gempa
bumi

yang menyengsarakan mengakhiri pertempuran terakhir serta menyapu habis pasukan Arai
Daiichi,

bisa digambarkan sebagai memenuhi keinginan Surga. Dan sejauh ini, tak seorang pun bisa

membunuh Takeo, membuat ramalan yang terakhir ini semakin bisa di percaya.

Takeo berbagi banyak rahasia dengan Kenji, yang dulu pernah menjadi gurunya di Hagi.
Dengan

bantuan Kenji, Takeo berhasil menembus kastil di Hagi dan membalaskan dendam atas
kematian

Shigeru. Kenji orang yang pintar, cerdik tanpa perasaan senti¬mentil. Kenji adalah utusan dan
juru

runding yang baik, dan membuat Takeo sangat mengandalkannya. Kenji tidak punya hasrat
lain di

luar kegemarannya yang abadi pada sake dan perempuan dari rumah bordil setempat. Tampak
tidak

peduli pada harta benda, kekayaan maupun status. Mengabdi¬kan hidupnya pada Takeo dan

bersumpah untuk melayaninya; memiliki kasih sayang istimewa atas Lady Otori, yang
dikaguminya;

amat menyayangi keponakannya sendiri, Shizuka; dan rasa hormat pada putra Shizuka, Taku,
ahli

mata-mata; namun sejak kematian putrinya, Kenji semakin terasing¬kan dari istrinya, Seiko,
yang
meninggal beberapa tahun lalu, dan tak memiliki baik ikatan cinta maupun kebencian dengan
orang

lain.

Semenjak kematian Arai dan para lord Otori enam belas tahun yang lalu, Kenji bekerja dengan

kesabaran dan cerdik terhadap tujuan Takeo: menarik semua sumber daya dan perangkat
kekerasan

ke tangan pemerintahan, mengendalikan

kekuatan prajurit perseorangan dan kelompok bandit yang tak mengenal hukum. Kenjilah
yang tahu

keberadaan kelompok rahasia masyarakat kuno yang tidak diketahui Takeo—Kesetiaan pada
Burung

Bangau, Amarah Macan Putih, Jalan Sempit Ular— petani dan penduduk desa menggabungkan
diri

dalam kelompok masyarakat ini selama masa-masa anarkis. Kelompok ini kini dimanfaatkan
dan terus

dibangun agar masyarakatnya bisa mengatur masalah mereka sendiri di tingkat desa dan
memilih

sendiri pemimpinnya untuk mewakili mereka dan mengajukan tuntutan atas ketidakpuasan
atau

keluhan mereka di pengadilan tingkat propinsi.

Pengadilan diatur oleh klas ksatria; anak laki-laki mereka dengan pola pikir yang tidak terlalu
militer,

dan terkadang juga anak perempuan, dikirim ke sekolah-sekolah besar di Hagi, Yamagata dan

Inuyama untuk mempelajari etika pelayanan, pembukuan dan ekonomi, sejarah serta bahasa
dan

kesusastraan klasik. Saat kembali ke daerah asal, mereka memegang jabatan tertentu, diberi
status

dan penghasilan yang cukup: mereka bertanggung jawab langsung kepada tetua dari setiap
klan,

tanggung jawab yang sama juga dipikul pemimpin klan; para pemimpin klan ini bertemu Takeo
dan

Kaede secara teratur untuk membahas soal kebijakan, menentukan besarnya pajak serta
mempertahankan pelatihan dan perlengkapan pasukan. Setiap daerah harus menyediakan
sejumlah

orang icrbaik untuk pasukan pusat: separuh tentara, dan sepa-ruh lagi petugas keamanan yang

bertugas menangani bandit dan penjahat lainnya.

Kenji menangani semua administrasi dengan trampil, mengatakan kalau cara ini mirip hirarki
Tribe—

hanya saja ada per¬bedaan yang mendasar: kekerasan dilarang, dan membunuh serta
menerima

suap di-ancam hukuman mati. Aturan yang terakhir terbukti paling sulit dilaksanakan. Tribe
mendapat

cara untuk menghindar, tapi mereka tidak bertransaksi dalam jumlah besar atau memamerkan

kekayaan. Makin kuatnya usaha Takeo membasmi korupsi membawa hasil, korupsi dan suap
makin

berkurang. Lalu bentuk praktik yang lain berjalan: praktik tukar menukar hadiah dalam
bentuk



Halaman 456 dari 456

keindahan dan selera, di mana nilainya tersembunyi. Hal ini menyebabkan datang¬nya para
perajin

dan seniman ke Tiga Negara, bukan hanya mereka yang berasal dari Delapan Pulau tapi juga
dari

negeri¬negeri di daratan utama, Silla, Shin dan Tenjiku. Setelah gempa mengakhiri perang di
Tiga

Negara, para ketua dari keluarga dan klan yang masih hidup bertemu di Inuyama dan
menerima Otori

Takeo sebagai pemimpin mereka. Semua pertikaian karena hubungan darah yang menentang
Takeo

maupun per¬cekcokan antara mereka sendiri dinyatakan berakhir. Terjadi pemandangan yang

meng¬harukan saat para ksatria saling berdamai setelah puluhan tahun bermusuhan. Namun
Takeo

dan Kenji menyadari bahwa ksatria terlahir untuk bertarung: masalahnya, mereka akan
bertarung
melawan siapa? Dan jika mereka tidak bertarung, bagaimana menyibukkan mereka?

Beberapa prajurit menjaga perbatasan di wilayah Timur, tapi hanya terjadi sedikit peristiwa
dan musuh

utama mereka adalah rasa jenuh; beberapa yang lainnya men¬dampingi Terada Fumio dan
tabib

Ishida dalam perjalanan penjelajahan mereka, melindungi kapal dagang di laut dan toko serta
gudang

mereka di pelabuhan yang jauh; yang lainnya mengikuti lomba yang dibuat Takeo untuk
keahlian

berpedang dan memanah; sedang yang lainnya dipilih untuk mengikuti jalan utama dari
pertarungan:

penguasaan diri, Ajaran Houou.

Ajaran Houou bermarkas di Biara Terayama yang dipimpin kepala biara Matsuda Shingen dan
Kubo

Makoto. Ajaran ini hanya dapat diikuti segelintir laki-laki— dan perempuan—dengan kekuatan
fisik

dan mental yang hebat. Keahlian Tribe adalah bakat dari lahir—pendengaran dan peng¬lihatan
yang

sangat kuat, kemampuan menghilang, penggunaan sosok kedua—tapi sebagian besar manusia

memiliki kemampu¬an seperti ini namun belum terasah. Menemukan dan memurnikan
kemampuan

seperti inilah yang menjadi inti Ajaran Houou, mengambil nama burung suci yang bersarang
jauh di

dalam hutan-hutan di sekitar Terayama.

Sumpah pertama yang dilakukan para ksatria yang terpilih ini yaitu tidak mem¬bunuh, baik
nyamuk

atau pun manusia, bahkan demi membela diri. Kenji meng¬anggap itu aturan yang gila karena
dia

sering menikam jantung orang, membunuh dengan garotte, menyisipkan racun ke dalam
cangkir,

mangkuk atau bahkan langsung ke orang yang tidur dengan mulut menganga. Berapa banyak?
Dia
tak bisa menghitungnya lagi. Tak ada penyesalan atas mereka yang telah dikirimnya ke alam
baka—

cepat atau lambat manusia juga akan mati. Dia melihat bahwa larangan membunuh ternyata
jauh

lebih berat daripada keputusan untuk membunuh. Dia tak kebal dengan kedamaian dan
kekuatan

spiritual Terayama. Akhir-akhir ini kesenangan terbesarnya yaitu menemani Takeo di sana dan

menghabiskan waktu bersama Matsuda dan Makoto.

Disadarinya kalau akhir hidupnya sudah dekat. Ia sudah tua; kesehatan dan kekuatan¬nya
makin

memburuk: selama berbulan bulan paru-parunya terasa makin lemah dan seringkali muntah
darah.

Takeo berhasil menjinakkan baik Tribe maupun para ksatria: hanya Kikuta yang masih
bertahan

menentangnya. Kikuta bukan hanya berusaha membunuhnya tapi juga bersekutu dengan
ksatria yang

kurang puas, melakukan pembunuhan secara acak dengan harapan menggoyahkan kestabilan

masyarakat, menyebarkan desas-desus.

Takeo angkat bicara lagi, lebih serius. "Serangan yang terakhir ini membuatku jauh lebih
waspada

karena ditujukan pada keluargaku, bukan diriku. Jika istri atau anakku mati, itu akan
menghancurkan

diriku, dan Tiga Negara."

"Kurasa itulah tujuan Kikuta," sahut Kenji ringan.

"Kapan mereka akan berhenri?"

"Akio takkan berhenri. Kebenciannya padamu hanya akan berakhir dengan kematiannya—atau

kematianmu. Dia telah mengabdikan hidupnya demi tujuannya itu." Wajah Kenji berubah
tenang dan

bibimya berkerut menggambarkan kegetiran. Ia minum lagi. "Tapi Gosaburo seorang pedagang
dan
pragmatis: dia akan ketakutan setengah mati bila kehilangan anak¬anaknya—satu putranya
telah

tewas, dan nasib dua lainnya ada di tanganmu. Mungkin kita bisa memberinya sedikit
tekanan."

"Kupikir juga begitu. Kita akan biarkan dua anaknya yang tersisa tetap hidup hingga musim
semi,

kemudian melihat apakah ayah mereka siap untuk berunding."

"Mungkin sementara ini kita juga bisa mengorek keterangan yang berguna dari keduanya,"
gerutu

Kenji.

Takeo menaikkan pandangannya ke arah Kenji melalui pinggiran cangkir.



Halaman 457 dari 457

"Baiklah, baiklah, lupakan saja aku pernah mengatakannya," gerutu laki-laki tua itu. "Tapi kau
bodoh

bila tidak menggunakan cara sama seperti yang digunakan musuh¬musuhmu." Digelengkan

kepalanya. "Aku berani bertaruh kalau kau masih juga menyelamatkan laron dari lilin.
Kelembutan itu

tidak pernah hilang."

Takeo tersenyum tipis tapi tidak mem¬bantahnya. Sulit rasanya untuk keluar dari apa yang
pernah

diajarkan padanya sewaktu ia masih kecil. Hasil didikan di antara kaum Hidden telah
membuatnya

teramat sangat

enggan untuk mencabut nyawa manusia. Namun sejak berusia enam belas tahun nasib

membimbingnya ke jalan hidup ksatria: menjadi pewaris sebuah klan besar dan sekarang
menjadi

pemimpin Tiga Negara; ia harus belajar menjalani hidup dengan ajaran pedang. Lebih jauh
lagi, Tribe,

Kenji sendiri, mengajarkan padanya berbagai cara untuk membunuh dan pernah berusaha
memadam¬kan sifat welas asih dalam dirinya. Dalam perjuangannya membalaskan dendam
Shigeru

dan menyatukan Tiga Negara dalam kedamaian, ia melakukan begitu banyak tindak
kekerasan,

banyak di antaranya amat disesalinya, sebelum belajar cara menyeimbangkan antara
kekerasan dan

welas asih, sebelum kemakmuran dan stabilitas negara serta peraturan hukum memberikan
pilihan

dengan cara yang diinginkan pada konflik kekuasaan yang buta antar klan.

"Aku ingin bertemu dengan bocah itu lagi," ujar Kenji tiba-iiba. "Mungkin ini akan menjadi
kesempatan

terakhir bagiku." Ditatapnya Takeo lekat-lekat. "Kau telah memutuskan apa yang harus kita
lakukan

padanya?"

Takeo menggeleng. "Aku tidak bias mengambil keputusan. Apa yang bisa kulakukan?
Kemungkinan

besar keluarga Muto—kau— menginginkannya kembali, kan?"

"Tentu. Tapi Akio mengatakan pada istri¬ku, yang berhasil menghubunginya sebelum mati,
bahwa

lebih baik dia yang bunuh anak itu ketimbang menyerahkannya, baik ke tangan Muto atau ke

tanganmu."

"Bocah yang malang. Didikan apa yang didapatkannya!" seru Takeo.

"Ya, Tribe membesarkan anak-anak mereka dengan didikan yang sangat keras," sahut Kenji.

"Apakah dia tahu kalau aku ayahnya?"

"Itu salah satu hal yang bisa kucari tahu."

"Kau kurang sehat untuk misi semacam ini," kata Takeo dengan nada enggan, karena ia tak
bisa

memikirkan ada orang lain yang bisa melakukannya.

Kenji menyeringai. "Kesehatanku yang buruk justru menjadi alasan mengapa aku harus pergi.
Bila
aku tidak sempat melihat tahun ini berakhir, maka sekalian saja kau manfaatkan diriku ini!
Lagipula,

aku ingin bertemu dengan cucuku sebelum aku mati. Aku akan berangkat saat salju mulai
men¬cair."

Sake, penyesalan dan kenangan meluapkan perasaan haru Takeo. Ia berdiri lalu me¬rangkul
gurunya

yang sudah tua itu.

"Sudah, sudah!" ujar Kenji, menepuk¬nepuk bahunya. "Kau tahu betapa bencinya aku bila

menunjukkan perasaan seperti ini. Sering-seringlah datang dan temui aku sepanjang musim
dingin ini.

Kita akan masih punya kesempatan untuk adu minum sake bersama. "*

Anak laki-laki itu, Hisao, kini telah berusia enam belas tahun. Wajahnya tidak mirip orang
yang

dipercaya sebagai ayahnya, Kikuta Akio, maupun ayah kandungnya yang belum pernah
dilihatnya.

Tidak mewarisi ciri fisik Muto, keluarga ibunya, maupun keluarga Kikuta—dan kian lama kian
jelas

terlihat kalau dia tak mewarisi kemampuan magis Tribe. Pendengarannya tak lebih peka
dibandingkan

anak seusianya; dia pun tak memiliki kemampuan menghilang. Pelatihan sejak kecil membuat
fisiknya

kuat dan gesit, namun tak bisa melompat atau pun terbang seperti ayahnya. Satu-satunya
cara yang

bisa dilakukannya agar orang tertidur yaitu rasa bosan karena dia jarang bicara. Andai dia
buka mulut,



Halaman 458 dari 458

bicaranya pelan, tersendat¬sendat, tanpa ada tanda-tanda kecerdasan atau kreativitas.

Akio adalah Ketua Kikuta, keluarga ter¬besar dalam Tribe, yang menguasai berbagai
kemampuan

serta bakat yang kini mulai lenyap. Sejak kecil Hisao sudah menyadari kekecewaan ayahnya
pada
dirinya.

Karena Tribe membesarkan anak mereka dengan cara sangat keras, melatih mereka dengan

kepatuhan mutlak, bertahan me¬nahan lapar, haus, panas, dingin dan rasa sakit yang luar
biasa,

serta melenyapkan semua perasaan, simpati maupun welas asih. Akio sangat keras pada putra

tunggalnya itu dan tak pernah menunjukkan pengertian maupun kasih sayang. Perlakuan Akio
yang

kejam, bahkan mengejutkan kerabatnya sendiri. Tapi Akio adalah Ketua keluarga, penerus

pamannya, Kotaro, yang mati di Hagi oleh Otori Takeo dan Muto Kenji. Dan sebagai Pimpinan,
Akio

bisa bertindak sesuka hati; tak seorang pun bisa meng-kritiknya.

Akio tumbuh menjadi laki-laki sinis dan susah ditebak. Dia selalu menyalahkan Otori Takeo
atas

terpecah-belahnya Tribe, kematian Kotaro yang disayangi, serta kematian pesumo tangguh,
Hajime,

serta banyak kematian lainnya. Keluarga Kikuta

dikejar-kejar sehingga mereka keluar dari Tiga Negara untuk pindah ke Utara, meninggalkan
usaha

mereka yang meng¬hasilkan banyak uang.

Anak-anak Kikuta tidur dengan kaki mengarah ke Barat, dan saling menyapa dengan kalimat,

"Apakah Otori sudah mati?" dan dibalas dengan, "Belum, tapi tak lama lagi."

Konon kabarnya kematian istrinya, Muto Yuki, dan kematian Kotaro yang membuat Akio begitu
penuh

dendam dan hidup dalam kebencian. Para tetua mengatakan kalau Yuki meninggal karena
demam

setelah melahir-kan, tapi tampaknya Hisao sudah tahu yang sebenarnya: ibunya mati diracun.
Dapat

dilihatnya kejadian itu dengan jelas, seolah menyaksikan dengan mata bayinya yang masih
belum

fokus. Keputusasaan dan kemarahan ibunya, kesedihan karena harus meninggalkan putranya;
penolakan ibunya saat dipaksa menelan pil racun; jerit dan tangis ibunya; seringai puas Akio
karena

sebagian dendamnya terlaksana; penderitaan dan kenikmatan keji yang dirasakan Akio
menjadi awal

mula tenggelamnya dia dalam kekejaman.

Hisao merasakan ini seiring ia tumbuh dewasa; tapi lupa bagaimana ia tahu itu. Apakah ia

memimpikannya, atau ada yang menceritakannya? Ia ingat ibunya lebih jelas dari yang
seharusnya—

usianya baru beberapa hari saat ibunya meninggal—dan menyadari adanya hubungan dirinya
dengan

sang ibu. Seringkali ia merasakan kalau ibunya meng¬inginkan sesuatu darinya, tapi ia takut

men¬dengarkan karena itu berarti ia membuka diri memasuki alam baka. Antara kemarahan si
hantu

dan rasa enggan dalam dirinya, kepala¬nya terasa seperti terbelah karena rasa sakit.

Itu sebabnya dia mengetahui kemarahan ibunya dan sakit hati ayahnya, dan itu membuat ia
benci

sekaligus iba pada Akio. Hal-hal buruk yang terjadi di antara mereka berdua yang setengah

menakutkan, setengah diharapkan, karena hanya saat itulah ada orang yang memeluknya atau

kelihaian membutuhkan dirinya.

Hisao tidak pernah menceritakannya sehingga tak seorang pun tahu satu bakat Tribe yang
telah

hilang selama beberapa generasi ternyata ada pada dirinya. Kemampuan mengarungi dua
dunia,

men¬jadi penghubung antara arwah dengan orang yang masih hidup. Anugerah semacam ini

semestinya diasah dan pemiliknya akan ditakuti serta dihormati; tapi Hisao tak tahu cara
mengatur

bakatnya ini; apa yang dilihatnya di alam baka tampak berkabut dan sulit dimengerti: ia tidak

mengetahui simbol dan bahasa untuk berkomunikasi dengan arwah.

Ia hanya tahu kalau hantu itu adalah ibunya yang mati dibunuh.
Meskipun Hisao suka membuat kerajinan tangan, dan menyukai hewan, namun ia
merahasiakannya.

Sekali dia terlihat meng¬elus seekor kucing, yang kemudian ia lihat hewan malang itu digorok

ayahnya di hadapannya. Roh kucing itu juga sesekali seperti menjerat Hisao dari dunianya,
dan

lolongan yang memusingkan terdengar makin keras hingga ia tak percaya kalau orang lain tak

mendengarnya. Ketika alam baka membuka jalan dan mengajaknya masuk, kepalanya luar
biasa

sakit, dan satu sisi matanya menjadi gelap. Satu-satunya cara meredakan rasa sakit dan
suara-suara

si kucing serta si hantu perempuan adalah membuat benda-benda dengan tangannya. Ia
membangun

kincir air dan orang-orangan dari bambu untuk menakuti rusa, seolah pengetahuan itu sudah
ada

dalam darahnya. Ia dapat membuat ukiran kayu berbentuk hewan yang begitu hidup hingga
tampak

seperti hewan yang disihir menjadi patung. Ia menyukai semua aspek penempaan: mem¬buat
besi

dan baja, pedang, pisau serta ber¬bagai peralatan.



Halaman 459 dari 459

Keluarga Kikuta ahli membuat senjata, terutama sen-jata rahasia Tribe—pisau lempar, jarum,
belati

kecil dan sebagainya— tapi mereka tak tahu cara membuat senjata yang disebut senjata api.
Senjata

yang digunakan Otori begitu dirahasiakan cara buatnya hingga membuat orang iri. Keluarga
Kikuta

terpecah untuk memiliki senjata itu.

Ada yang beranggapan senjata itu meng¬hilangkan semua kemampuan dan ke¬nikmatan
dalam

membunuh, kalau cara tradisional lebih bisa diandalkan; sementara yang lainnya beranggapan
kalau
ingin menyingkirkan Otori, mereka harus me¬nyeimbangkan kekuatan dengan memiliki
senjata yang

sama.

Namun usaha mereka untuk mendapatkan senjata api selalu gagal. Otori membatasi
penggunaan

senjata ini hanya untuk sekelompok kecil orang: setiap pucuk senjata api yang ada di negara
ini

dihitung. Jika ada yang hilang, si pemilik harus membayar dengan nyawanya. Senjata ini
pernah

sekali digunakan orang barbar. Sejak itu semua orang barbar digeledah ketika datang,
senjata-senjata

mereka dirampas dan mereka hanya boleh berdagang di pelabuhan Hofu. Tapi berbagai
laporan

tentang pembunuhan yang memakan banyak korban jiwa terbukti sama efektifnya dengan
senjata itu

sendiri: semua musuh Otori, termasuk Kikuta, berusaha mendapatkan senjata itu dengan cara

mencuri, berkhianat, atau mencari sendiri.

Senjata-senjata milik Otori bentuknya panjang, berat serta tidak praktis: kurang prakris
menurut cara

pembunuhan yang dibanggakan Kikuta. Senjata-senjata itu tak bisa disembunyikan dan
digunakan

dengan cepat; bila terkena air maka senjata itu tak berguna. Hisao mendengar ayahnya dan
seorang

laki-laki yang lebih tua membahas benda ini, dan ia membayangkan senjata api yang kecil dan
ringan,

yang bisa di-sembunyikan di balik pakaian dan tak ber¬suara, senjata yang bahkan tak mampu

dilawan Otori Takeo.

Setiap tahun ada saja pemuda yang ingin menjadi pahlawan, atau orang tua yang ingin mati
terhormat

yang pergi hendak mem¬bunuh Otori Takeo untuk membalaskan kematian Kikuta Kotaro dan
anggota
Tribe lainnya. Mereka tak pernah kembali: kabar tentang tertangkapnya mereka datang
beberapa

bulan kemudian. Mereka disidang di depan umum yang disebut sebagai pengadilan Otori, dan

dieksekusi.

Ada kalanya Otori Takeo dilaporkan ter¬luka sehingga harapan mereka membumbung tinggi,
tapi dia

selalu sembuh, bahkan dari racun, seperti pulihnya dia dari belati beracun milik Kotaro.
Mendengar

desas¬desus kalau Otori tak bisa mati membuat kebencian serta kegeriran Akio semakin
ber¬tambah.

Akio mulai bersekutu dengan musuh Takeo lainnya, menyerangnya melalui istri atau anak-
anaknya.

Tapi cara ini juga terbukti gagal. Keluarga Muto yang sudah bersumpah setia pada Otori telah
menggandeng

keluarga Tribe lainnya: Imai, Kuroda dan Kudo. Sejak keluarga Tribe melakukan perkawinan

campuran, banyak pengkhianat yang memiliki darah Kikuta, diantaranya adalah Muto Shizuka
serta

kedua putranya, Taku dan Zenko. Taku seperti ibu dan paman buyutnya, mempunyai banyak

kemampuan, memimpin jaringan mata-mata dan melindungi Otori; sementara Zenko, yang
kurang

berbakat, bersekutu dengan Otori melalui pernikahan: mereka bersaudara ipar.

Belakangan sepupu Akio, dua putra Gosaburo, diutus bersama saudari perempuan mereka ke

Inuyama tempat keluarga Otori merayakan Tahun Baru. Mereka berbaur dalam kerumunan di
biara

dan mencoba menikam Lady Otori dan putri-putrinya. Apa yang terjadi setelah itu tidak jelas,
lapi

ternyata para perempuan yang menjadi sasaran berhasil mempertahan¬kan diri dengan
kekejaman

yang tak terduga: salah satu penyerang, putra sulung Gosaburo, terluka dan dipukuli sampai
mati oleh

kerumunan orang. Sedang yang lainnya berhasil ditangkap dan dibawa ke kastil Inuyama. Tak
ada
yang tahu apakah mereka masih hidup atau sudah mati.

Kehilangan tiga anggota muda yang ada hubungan erat dengan sang Ketua merupa¬kan
pukulan

berat. Karena hingga musim semi tiba masih belum ada kabar tentang kedua orang yang
ditawan,

Kikuta menduga mereka sudah mati. Ritual pemakaman mulai diatur dalam kedukaan yang

mendalam karena tak ada jenazah yang bisa dibakar dan tak ada abu jenazah.

Suatu sore Hisao bekerja seorang diri di sepetak kecil sawah, jauh di kedalaman pegunungan.

Selama malam-malam di musim dingin yang panjang, ia telah me¬mikirkan cara mengaliri
sawah

dengan me¬manfaatkan kincir air. Ia menghabiskan musim dingin membuat ember dan tali:
embernya

dibuat dari bambu yang paling ringan dan talinya diperkuat dengan batang tanaman rambat
yang

cukup kaku untuk bisa mengangkat ember kincir.

Hisao tengah berkonsentrasi penuh pada pekerjaannya, tiba-tiba katak terdiam. Ia tengok
kanan-kiri.

Tak ada orang, tapi ia tahu ada orang yang menggunakan kemampuan menghilang Tribe.



Halaman 460 dari 460

Mengira itu hanya salah satu anak yang datang membawa pesan, dia berseru, "Siapa di sana?"

Tiba-tiba muncul seorang laki-laki dengan usia tak bisa diperkirakan dan berpenampilan biasa
berdiri

di hadapannya. Tangan Hisao segera bergerak ke arah pisaunya karena yakin ia belum
mengenal

orang itu. Sosok laki-laki itu bergoyang-goyang selagi meng¬hilang. Hisao merasakan jari-jari
yang

tak terlihat memiting pergelangan tangannya dan ototnya langsung terasa lumpuh saat
telapak

tangannya terbuka dan pisaunya terjatuh.
"Aku takkan menyakitimu," ujar orang itu, dan menyebut namanya dengan cara yang membuat
Hisao

percaya padanya, dan dunia ibunya menyelubungi ambang batas dunianya; dirasakan
kebahagiaan

dan pendcritaan ibunya dan pertanda pertama dari sakit kepalanya serta kemampuan melihat
separuh

dari dua dunia yang ber¬beda.

"Siapa kau?" bisiknya, segera menyadari kalau orang mi dikenal ibunya.

"Kau bisa melihatku?" sahut laki-laki itu. "Tidak. Aku tak memiliki kemampuan menghilang,
maupun

mengenalinya."

"Tapi tadi kau mendengarku mendekat, kan?"

"Hanya dari katak. Aku mendengarkan mereka. Tapi aku tak bisa mendengar dari jauh. Aku
tidak tahu

orang yang bias melakukannya di kalangan Kikuta saat ini." Ia heran telah bersikap biasa dan
bebas

pada orang yang belum dikenalnya.

Orang itu kembali menampakkan diri dalam jarak serentangan tangan dari wajah Hisao. Sorot

matanya tajam dan kelihatan penuh selidik.

"Kau tidak memiliki satu pun kemampuan Tribe?" tuturnya.

Hisao mengangguk, kemudian mengalih¬kan pandangannya ke seberang lembah.

"Kau bcrnama Kikuta Hisao, putra Akio?"

"Ya, dan ibuku bemama Muto Yuki."

Ekspresi wajah orang itu agak berubah, dan dirasakan reaksi penyesalan serta rasa iba ibunya.

"Sudah kuduga. Kalau begitu, aku kakek¬mu: Muto Kenji."

Hisao menyerap semua keterangan ini. Sakit kepalanya kian menjadi-jadi: Muto Kenji adalah

pengkhianat, kebencian Kikuta pada orang ini hampir sama besarnya seperti kebencian pada
Otori

Takeo, namun kehadiran ibunya terasa membebani dirinya dan bisa dirasakan ibunya
memanggil,
"Ayah!"

"Apa itu?" tanya Kenji.

"Bukan apa apa. Kadang-kadang kepalaku sakit. Aku sudah biasa. Mengapa kau kemari? Kau
akan

dibunuh. Seharusnya aku mem¬bunuhmu, tapi kau bilang kalau kau kakek¬ku, lagipula aku
tidak ahli

membunuh." Pandangannya turun menatap ke konstruksi yang tengah dikerjakannya. "Aku
lebih suka

membuat benda-benda."

Betapa anehnya, pikir orang tua itu. Dia tidak punya kemampuan apa pun, baik dari ayah
maupun dan

ibunya. Rasa kecewa dan lega menyapu dirinya. Mirip siapa dia? Tidak mirip Kikuta, Muto,
maupun

Otori. Dia pasti mirip ibunya Takeo, berkulit gelap dan berwajah lebar.

Kenji menatap bocah di hadapannya dengan tatapan iba, tahu betapa kerasnya masa kanak-
kanak di

Tribe, apalagi pada mereka yang tak berbakat. Jelas sekali Hisao punya beberapa
kemampuan:

benda itu dibuat dengan kreatif dan dengan keahlian tinggi. Dan ada sesuatu yang lain pada
dirinya,

gerakan matanya yang cepat menun¬jukkan kalau dia bisa melihat hal lain. Apa yang bisa
dilihatnya?

Pemuda ini berbadan sehat, agak lebih pendek dari Kenji sendin tapi kuat, dengan kulit mulus
tanpa

cacat dan rambut tebal serta mengkilap, mirip rambut Takeo.

"Mari kita temui Akio," ajak Kenji. "Ada yang aku sampaikan padanya."

Ia tidak bersusah payah menyembunyikan sosoknya selagi mengikuti bocah itu menuruni jalan

setapak dari atas gunung menuju desa. Sadar kalau akhirnya ia akan dikenali juga—siapa lagi
yang

bisa sampai sejauh ini, menghindari para penjaga di gerbang, bergerak tak terlihat dan tak
terdengar
melewati hutan?—dan juga Akio harus tahu kalau ia datang sebagai utusan Takeo.



Halaman 461 dari 461

Perjalanan itu membuat napasnya terasa sesak, dan saat berhenti sebentar di tepi sawah yang
penuh

air, terasa ada darah di tenggorokannya. Tubuhnya terasa lebih panas dari yang semestinya.
Langit

berubah keemasan saat mentari mulai tenggelam di ufuk barat. Pematang sawah berwarna
cerah

dengan bunga liar, vicia, buttercup, dan bunga krisan, dan cahaya matahari jatuh di sela-sela
hijaunya

dedaunan. Suasana terasa dipenuhi musik musim semi, nyanyian burung, katak serta jangkrik.

Bila hari ini memang ditakdirkan menjadihari terakhir hidupku, maka tak ada hari yang lebih
indah

daripada hari ini, pikir kenji dengan sedikit bersyukur, dan merasakan dengan lidahnya kapsul

beracun yang terselip rapi di bekas rongga gigi gerahamnya yang sudah tanggal.

Kenji belum tahu tempat istimewa ini sebelum Hisao lahir, enam belas tahun lalu— dan butuh
waktu

lima tahun untuk menemukannya. Sejak saat itu, sesekali ia mengunjungi tempat ini tanpa
diketahui

penghuninya, dan mendapatkan laporan tentang Hisao dari Taku, keponakan buyutnya.
Tempat ini

sama seperti kebanyakan desa Tribe: tersembunyi di dalam lembah seperti lipatan kecil dalam

barisan pegunungan. Pada kunjungan yang pertama ia sempat terkejut melihat ada lebih dari
dua

ratus orang di desa itu. Tapi kemudian ia tahu kalau keluarga Kikuta mundur ke tempat ini
sejak

dikejar Takeo. Mereka membangun desa di utara ini sebagai markas, jauh dari jangkauan
Takeo,

walaupun tidak di luar jangkauan mata¬matanya.
Hisao tidak berbicara pada siapa pun saat mereka berjalan di antara rumah kayu beratap
rendah, dan

meskipun beberapa anjing melompat-lompat penuh semangat ke arahnya, dia tak berhenti.
Ketika

sampai di bangunan yang paling besar, orang ber¬kumpul di belakang mereka; Kenji
men¬dengar

bisik-bisik dan tahu kalau ia telah dikenali.

Rumah itu jauh lebih nyaman dan mewah ketimbang rumah-rumah di sekelilingnya, dengan
beranda

dari kayu runjung serta pilar kokoh dari kayu cedar. Seperti kuilnya, yang bisa dilihat dari
kejauhan,

atapnya terbuat dari rusuk atap yang tipis, dengan lekukan luwes yang sama indahnya seperti

kediaman para ksatria. Seraya melepaskan sandal, Hisao naik ke beranda dan berseru ke
dalam

rumah. "Ayah! Kita kedatangan tamu!"

Selang beberapa saat, seorang perempuan muda muncul, membawa air untuk membasuh kaki
sang

tamu. Kerumunan orang di belakang Kenji terdiam. Saat melangkah masuk ke dalam rumah, ia

seperti mendengar tarikan napas tiba-tiba, seolah semua orang yang berkumpul di luar
menarik napas

di saat bersamaan. Dadanya terasa nyeri seperti ditusuk-tusuk dan rasanya tak tahan ingin
batuk.

Betapa lemah tubuh¬nya saat ini! Teringat dengan rasa penyesalan kalau semua kemampuan
yang ia

miliki kini hanya menjadi bayang-bayang. Ia ingin sekali meninggalkan raganya lalu pindah ke
alam

baka, kehidupan yang lain, kehidupan apa pun yang ada di sana. Andai ia bisa menyelamatkan
bocah

itu... tapi siapa yang bisa menyelamatkan orang dari takdir?

Semua pikiran ini melintas di benaknya saat duduk di lantai berlapis karpet sambil menunggu
Akio.

Ruangan itu remang¬remang: ia nyaris tidak bisa melihat gulungan yang tergantung di dinding
sebelah kanan¬nya. Perempuan muda yang sama datang membawa semangkuk teh. Hisao
sudah

pergi, namun terdengar olehnya anak itu sedang bicara dengan pelan di belakang rumah.
Aroma

minyak wijen merebak dari arah dapur dan didengarnya desis makanan di penggorengan. Lalu

terdengar langkah kaki; pintu banian dalam bergeser terbuka dan Kikuta Akio melangkah
masuk. Dia

diikuti dua laki-laki yang lebih tua, yang satu bertubuh gempal dengan raut wajah halus yang
dikenal

Kenji sebagai Gosaburo, pedagang dari Matsue, adik Kotaro, paman Akio. Sedang yang satunya
lagi

pasti Imai Kazuo, yang menurut kabar telah menentang keluarga Imai untuk tinggal bersama
Kikuta,

keluarga dari pihak istrinya. Semua orang ini, setahunya, sudah bertahun-tahun mengincar
dirinya.

Mereka berusaha menyembunyikan keter¬kejutan dengan kemunculannya. Mereka duduk di
ujung

lain ruangan seraya meng¬amati. Tak seorang pun membungkuk normal maupun memberi
salam.

Kenji pun diam saja.

Akhirnya Akio angkat bicara, "Letakkan senjatamu."

"Aku tak membawa senjata," sahut Kenji. "Aku datang dengan membawa misi yang damai."

Gosaburo tertawa sinis tidak percaya. Sedang dua laki-laki lainnya tersenyum, tapi tanpa rasa
riang.

"Benar, seperti serigala di musim dingin," ujar Akio. "Kazuo yang akan menggeledah¬mu."

Kazuo mendekati Kenji dengan hati-hati dan agak malu-malu. "Maaf, Ketua,"gumamnya. Kenji

membiarkan orang itu meraba pakaiannya dengan jari-jarinya yang panjang dan cekatan.

"Dia berkata jujur. Dia tidak membawa senjata."



Halaman 462 dari 462
"Mengapa kau kemari?" sera Akio. "Rupa¬nya kau sudah bosan hidup!"

Kenji menatap tajam. Selama bertahun¬tahun ia bermimpi berhadapan dengan orang yang
telah

menikahi dan terlibat dalam kematian putrinya. Tampak ada kerutan¬kerutan di wajah Akio,

rambutnya pun mulai memutih. Tapi badannya tampak sekuat baja; temyata usia tak mampu

melunakkan maupun melembutkan sikapnya.

"Aku datang membawa pesan dari Lord Otori," tutur Kenji tenang.

"Kami tidak memanggilnya Lord Otori. Dia dikenal dengan nama Otori si Anjing. Kami tak ingin

mendengar pesan apa pun darinya!"

"Aku khawatir salah satu putramu sudah mati," Kenji bicara pada Gosaburo. "Putra sulungmu,
Kunio.

Tapi yang lainnya masih hidup, termasuk putrimu."

Gosaburo menelan ludah. "Biarkan dia bicara," katanya pada Akio."Kita tak mau beranding
dengan Si

Anjing," sahut Akio.

"Dengan mengutus pembawa pesan itu telah menunjukkan kelemahan," kata Gosaburo dengan
nada

memohon. "Dia sedang memohon pada kita. Setidaknya kita dengar dulu apa yang akan Muto

sampai¬kan." Gosaburo mencondongkan badan lalu bertanya pada Kenji. "Putriku? Dia tidak

terluka?"

"Tidak, dia baik-baik saja." Tapi putriku sudah mati enam belas tahun lalu.

"Dia tidak disiksa?"

"Kau harus tahu kalau penyiksaan kini dilarang. Anak-anakmu akan diadili dengan tuduhan
percobaan

pembunuhan, dan bisa dihukum mati, tapi mereka tidak disiksa. Kau tentu pernah mendengar
bahwa

Lord Otori memiliki sifat welas asih."

"Satu lagi kebohongan dari Si Anjing," ejek Akio. "Tinggalkan kami, paman. Kesedihan
membuatmu
lemah. Aku akan bicara dengan Muto berdua saja."

"Anak-anak itu akan tetap hidup jika kau setuju untuk berdamai," sahut Kenji cepat, sebelum

Gosaburo berdiri.

"Akio!" Gosaburo memohon, air matamulai berlinang.

"Tinggalkan kami!" Akio juga berdiri, gusar, seraya mendorong tubuh orang tua itu ke pintu,

menyuruhnya agar cepat keluar dari ruangan itu.

"Sejujurnya," katanya saat kembali duduk. "Tua bangka bodoh itu tidak berguna lagi! Dia
sudah mis

kin, dan yang kini dia lakukan hanyalah meratap dan menyesali nasibnya. Biarkan Otori
membunuh

anak-anak itu, dan aku akan menghabisi ayahnya: kita akan menyingkirkan orang lemah."

"Akio," tutur Kenji. "Kita bicara sebagai sesama Ketua, sesuai cara Tribe menyelesai¬kan
masalah.

Dengar dulu apa yang akan kusampaikan. Setelah itu baru kau putuskan apa yang terbaik bagi
Kikuta

dan Tribe, bukan berdasarkan kebencian dan amarah pribadimu, karena ini akan
menghancurkan

mereka dan dirimu. Mari kita ingat lagi sejarah Tribe, bagaimana kita bisa bertahan sejak dulu
kala.

Kita selalu bekerjasama dengan para bangsawan yang hebat: jangan¬lah kita menentang
Otori. Apa

yang dilaku¬kannya di Tiga Negara baik adanya: disetujui masyarakat, baik petani ataupun
ksatria.

Masyarakat yang dibentuknya berjalan lancar; rakyat bahagia; tak ada yang mati kelaparan
dan tak

ada penyiksaan. Hentikan permusuhanmu. Sebagai imbalannya, keluar¬ga Kikuta akan
dimaafkan:

Tribe akan ber¬satu lagi. Menguntungkan bagi kita semua."

Nada suaranya seakan mengandung sihir yang membuat ruangan senyap dan semua orang yang

berada di luar bungkam. Kenji tahu kalau Hisao sudah kembali dan sedang berlutut tepat di
balik
pintu. Saat ia berhenti bicara, dikumpulkan tenaga lalu membiarkan gelombang tenaganya
mengalir

memenuhi ruangan itu. Dirasakannya ketenangan menyapu semua orang, mereka duduk
dengan

mata setengah terpejam.

"Dasar penyihir tua bangka." Akio me¬mecahkan kesunyian dengan teriakan penuh amarah.
"Tua

bangka licik. Kau tak bisa menjebakku dengan kebohonganmu. Tadi kau mengatakan Si Anjing

melakukan hal baik! Rakyat gembira! Apa untungnya semua ini bagi Tribe? Kau sudah lemah
seperti

Gosaburo. Ada apa dengan kalian, orang¬orang tua? Apakah Tribe membusuk dari dalam? Andai

Kotaro masih hidup! Tapi Si Anjing membunuhnya—dia membunuh pemimpin keluarganya
sendiri,

pada siapa dia harus menyerahkan hidupnya atas kejahatan yang dia lakukan. Kau saksinya:
kau

men¬dengar sumpah si Anjing saat di Inuyama. Dia melanggar sumpah itu jadi dia sudah



Halaman 463 dari 463

sepantasnya mati. Tapi dia malah mem¬bunuh Kotaro, Ketua dari keluarganya— dengan

bantuannmu. Dia tidak bisa dimaaf¬kan. Dia harus mati!"

"Aku takkan berdebat tentang mana tindakannya yang salah dan yang benar," sahut Kenji. "Dia

melakukan apa yang harus dilakukan saat itu, dan yang pasti, hidupnya dijalani lebih baik
sebagai

Otori ketimbang sebagai Kikuta. Tapi semua itu telah berlalu. Kumohon kau hentikan
perlawananmu

agar Kikuta bisa kembali ke Tiga Negara— Gosaburo bisa menjalankan lagi bisnisnya!— dan

menikmati hidup selayaknya. Jika tetap tak mau berdamai, maka menyerahlah: kau takkan
berhasil

membunuhnya."

"Semua orang pasti mati," sahut Akio.
"Tapi dia takkan mati di tanganmu," ujar Kenji. "Betapa pun kau menginginkannya. Aku bisa

meyakinkanmu akan hal itu."

Akio menatapnya dengan memicingkan mata. "Pengkhianatanmu pada Tribe harus dihukum."

"Aku telah melindungi keluargaku dan Tribe. Kau yang menghancurkannya. Aku kemari sebagai

utusan, dan aku akan kembali dengan cara yang sama. Akan kusampaikan pesanmu yang patut

disesalkan pada Lord Otori."

Kenji begitu berwibawa sehingga Akio membiarkannya berdiri lalu berjalan keluar ruangan.
Sewaktu

lewat Hisao masih berlutut di luar, Kenji berkata, seraya membalikkan badan, "Ini putramu?
Kurasa

dia tidak memiliki kemampuan Tribe. Ijinkan dia menemaniku sampai ke gerbang. Mari,
Hisao." Kenji

bicara ke belakang dalam bayang-bayang. "Kau tahu di mana bisa menemukan kami bila kau
berubah

pikiran."

Baiklah, pikimya saat melangkah keluar dari beranda dan kerumunan memberi jalan padanya,

ternyata aku masih hidup lebih lama. Begitu sampai di tempat terbuka dan di luar jangkauan
tatapan

Akio, ia bisa saja menghilang lalu melenyapkan diri ke pedesaan. Tapi adakah peluang ia
membawa

bocah itu?

Penolakan Akio tidak mengejutkannya. Tapi ia senang Gosaburo dan yang lainnya juga
mendengar.

Selain rumah utama, desa itu kelihatan menyedihkan. Pasti sulit men¬jalani hidup di sini,
apalagi di

musim dingin. Kebanyakan penghuninya pasti mendamba¬kan, seperti halnya Gosaburo, hidup

nyaman di Matsue dan Inuyama. Kepatuhan mereka pada Akio, dirasakan oleh Kenji, lebih
karena

ketakutan ketimbang rasa hormat; ada kemungkinan anggota lain Kikuta me¬nentang
keputusannya,
apalagi jika itu berarti sandera akan dibiarkan hidup.

Saat Hisao muncul dari belakang dan berjalan di sampingnya, Kenji menyadari ada kehadiran
lain

yang mengambil tempat setengah tubuh dan pikiran bocah itu. Dahi¬nya berkerut, dan
sesekali

menaikkan tangan-nya memegangi pelipis kirinya dengan ujung jari. "Kepalamu sakit?"

"Mmm." Dia mengangguk tanpa bicara.

Mereka sudah separuh jalan. Bila berhasil sampai di tepi sawah, lalu berlari di pematang ke
hutan

bambu....

"Hisao," bisik Kenji. "Aku ingin kau ikut denganku ke Inuyama. Temui aku di tempat tadi kita
bertemu.

Kau mau?"

"Aku tak bisa pergi dari sini! Aku tak bisa meninggalkan ayahku!" Lalu ia berseru kesakitan,
lalu

terjatuh.

Hanya tinggal lima puluh langkah lagi. Kenji tidak berani berbalik, tapi ia yakin tak ada yang

mengikutinya. la terus berjalan dengan tenang, tanpa tergesa-gesa, tapi Hisao berjalan
terseok-seok

di belakangnya.

Saat berbalik untuk memberi Hisao semangat, Kenji melihat kerumunan orang masih
memerhatikan.

Tiba-tiba ada yang menyeruak dari sela-sela mereka. Akio, diikuti oleh Kazuo: keduanya sudah

menarik belati.

"Hisao, temui aku," katanya, lalu meng¬hilang, tapi ketika sosok tubuhnya menghilang, Hisao

menangkap lengannya dan berteriak, "Bawa aku! Mereka takkan membiarkanku pergi! Tapi dia
ingin

ikut denganmu!"

Mungkin karena Kenji sedang dalam keadaan menghilang dan berada di antara dua dunia,
mungkin
juga karena perasaan Hisao yang meledak-ledak, tapi saat itu Kenji melihat apa yang Hisao
lihat....



Halaman 464 dari 464

Putrinya, Yuki. Meninggal enam belas tahun lalu....

Lalu menyadari dengan rasa takjub kemampuan sebenarnya bocah itu.

Seorang penguasa alam baka.

Kenji belum pernah bertemu orang dengan kemampuan ini: dia hanya tahu dari hikayat-
hikayat Tribe.

Hisao sendiri tidak mengetahuinya, begitu juga Akio. Akio tidak boleh tahu.

Tak heran kalau bocah itu sering sakit kepala. Ia ingin tenawa, sekaligus menangis.

Kenji masih merasakan cengkeraman Hisao di tangannya saat ia menatap wajah arwah
putrinya,

melihat putrinya saat masih kanak-kanak, remaja. Kian lama wajah putrinya kian melemah
dan samarsamar.

Dilihat bibir putrinya bergerak-gerak dan berkata, "Ayah," walaupun Yuki tidak pernah lagi

memanggilnya dengan sebutan itu sejak berusia sepuluh tahun.

Saat ini Yuki membuatnya terpesona, seperti yang selalu dilakukannya.

"Yuki," katanya tak berdaya, dan mem¬biarkan dirinya terlihat lagi.

***

Terbukti mudah bagi Akio dan Kazuo untuk mendekati Keji. Tak satu pun kemampuan
menghilangkan

diri maupun menggunakan sosok kedua yang dapat menyelamatkan dirinya dari mereka
berdua.

"Dia tahu bagaimana menangkap Otori," seru Akio. "Kita akan tahu itu darinya, kemudian Hisao
harus

membunuhnya."

Tapi Kenji sudah menggigit racun lalu mencerna dalam perutnya: ramuan yang pernah
dipaksakan
pada putrinya untuk ditelan. Kenji mati dengan cara yang sama, penuh penderitaan dan
penyesalan

karena misinya gagal dan juga karena meninggalkan cucunya. Di saat-saat terakhir dia berdoa
agar

bisa tinggal bersama arwah putrinya, agar Hisao memanfaatkan kekuatan dirinya untuk
menjaganya:

Tak terbayangkan betapa hebat¬nya diriku sebagai hantu, pikirnya. Lalu ia tertawa: hidupnya
yang

penuh penderitaan dan kebahagiaan telah berakhir. Tugasnya di dunia sudah selesai, dan dia
mati

atas keinginannya sendiri. Rohnya bebas bergerak memasuki siklus abadi dari kelahiran,
kematian

dan kelahiran kembali.*

Musim dingin di Inuyama terasa panjang dan berat, walau ada kesenangan tersendiri: selama
itu

Kaede menghabiskan waktu dengan membacakan puisi dan dongeng untuk ketiga putrinya.
Takeo

menghabiskan waktu dengan melihat-lihat catatan adminis¬trasi bersama Sonoda. Saat ingin

bersantai, ia mempelajari lukisan bersama seorang seniman beraliran tinta hitam, dan minum

bersama Kenji di malam harinya: Ketiga putrinya disibukkan dengan belajar dan berlatih, ada
juga

rekreasi saat Setsu bun, perayaan yang ramai dan semarak saat setan diusir keluar dari rumah
dan

menyambut nasib baik. Juga ada perayaan usia akil balik Shigeko karena pada Tahun Baru dia

berusia lima belas tahun. Perayaannya tidak mewah karena pada bulan kesepuluh nanti dia
akan

diserahkan wilayah Maruyama. Wilayah itu diwariskan melalui garis perempuan dan telah
diwariskan

kepada ibunya, Kaede, setelah kematian Maruyama Naomi.

Kelak Shigeko akan menjadi penguasa Tiga Negara, dan kedua orangtuanya sepakat bahwa dia

harus memimpin wilayah Maruyama tahun ini karena saat ini dia telah dewasa. Di sana dia
harus
membuktikan diri sebagai penguasa dan belajar secara langsung tentang prinsip-prinsip

pemerintahan. Upacara di Maruyama nanti akan dilakukan dengan khidmat sekaligus megah,

menguat¬kan tradisi dan, Takeo berharap, memantap¬kan keputusan baru: perempuan dapat

me¬warisi wilayah atau menjadi pemimpin desa, sederajat dengan laki-laki.

Takeo teringat, saat keluarganya ter¬lindungi dari kedinginan dan rasa bosan selama musim
dingin

yang panjang, dua pemuda yang tidak terlalu berbeda jauh usianya dengan putrinya, ditahan
di kastil

Inuyama. Meskipun diperlakukan dengan baik, namun tetap saja mereka adalah tawanan.



Halaman 465 dari 465

Setelah salju mencair, dan Kenji berangkat melaksanakan misinya, Kaede serta putri¬putrinya
pergi

ke Hagi bersama Shizuka. Takeo melihat kegelisahan istrinya pada si kembar semakin
bertambah. Ia

memikirkan kemungkinan Shizuka mengajak salah satu dari mereka, mungkin Maya, ke desa

ter¬sembunyi Muto, Kagemura selama beberapa minggu. Takeo pun menunda waktu untuk

meninggalkan Inuyama, berharap mendapat kabar dari Kenji di bulan ini. Namun ketika hingga
bulan

keempat muncul dan masih belum ada kabar, dengan enggan ia pergi ke Hofu. Ia memberi
instruksi

agar Taku mengirimkan semua pesan kepadanya di sana.

Selama berkuasa, ia sering melakukan per¬jalanan, membagi hari-hari dalam setahun dari
satu kota

ke kota lainnya di Tiga Negara. Kadang ia melakukan perjalanan dengan semua kemegahan
yang

diharapkan dari seorang penguasa besar, kadang ia menyamar untuk dapat berbaur dengan
rakyat

biasa dan mengetahui pendapat, kegembiraan serta kebahagiaan mereka. Takeo tidak akan

melupakan kata-kata Otori Shigeru kepadanya: Karena Kaisar yang begitu lemah sehingga
bangsawan seperti Iida bisa merajalela. Sebenarnya kaisar berkuasa atas Delapan Pulau,
namun

dalam pelaksanaannya, berbagai daerah mengurus

masalah mereka sendiri: Tiga Negara dilanda konflik akibat para bangsawan berebut wilayah
dan

kekuasaan. Kini ia dan Kaede telah membawa kedamaian dan memper¬tahankannya dengan
penuh

perhatian pada seluruh wilayah dan berbagai aspek ke¬hidupan rakyatnya.

Hasil dari semua itu terlihat saat ia ber¬kuda ke wilayah Barat. Didampingi para pengawal,
dua

pengawal terpercaya dari Tribe— saudara sepupu Kuroda: Junpei dan Shinsaku, yang dikenal

sebagai Jun dan Shin—serta jurutulisnya. Selama perjalanan ia memerhatikan tanda-tanda
negeri

yang damai: anak-anak yang sehat, desa yang makmur, sedikit pengemis serta tidak ada
bandit.

Tujuannya untuk membuat negara ini sangat aman hingga gadis belia pun bisa memegang

kekuasaan, dan ketika tiba di Hofu, ia bangga dan puas bahwa Tiga Negara telah sesuai
dengan

tujuannya itu.

Ia tidak menduga apa yang menantinya di kota pelabuhan itu, ataupun curiga kalau di sana
nanti

kepercayaan dirinya akan goyah dan kekuasaannya terancam.

Tampaknya begitu ia tiba di kota mana pun di Tiga Negara, utusan bermunculan di gerbang
kastil

atau kediaman ia tinggal: ingin mengadakan pertemuan, meminta bantuan, membutuhkan
keputusan

yang hanya bisa diputuskan olehnya. Beberapa dari masalah ini sebenarnya dapat disampaikan
pada

petugas setempat, tapi terkadang ada keluhan atas para petugas itu sehingga hakim-hakim
yang adil

harus didatangkan. Musim semi ini, di Hofu, ada tiga mau empat kasus semacam ini, lebih dari
yang
Takeo harap¬kan. Hal ini membuatnya mempertanyakan keadilan dari administrasi setempat.
Bahkan

dua petani mengeluh kalau putra mereka dipaksa menjadi prajurit, dan seorang pedagang
memberi

informasi bahwa para prajurit menyita sejumlah besar batu bara, kayu, belerang dan nitrat.
Zenko

tengah menghimpun kekuatan dan senjata, pikirnya. Aku harus bicara padanya.

Takeo mengatur untuk mengirim kurir ke Kumamoto. Namun, keesokan harinya Arai Zenko—
yang

telah diberi bekas wilayah ayahnya di bagian Barat dan juga Hofu— datang dari Kumamoto
dengan

alasan hendak menyambut Lord Otori. Istrinya, Shirakawa Hana, adik bungsu Kaede, ikut

bersamanya. Hana sangat mirip dengan kakak sulungnya, bahkan bila diperhatikan lebih lama
lagi

kelihatan lebih cantik di¬bandingkan Kaede saat masih muda. Ia tidak suka maupun percaya
pada

Hana. Sepanjang tahun yang sulit setelah kelahiran si kembar, saat empat belas tahun, Hana
selalu

mencari kesempatan untuk menggoda dirinya agar menjadikannya istri kedua atau selir. Hana

menjadi lebih dari sekadar godaan yang bisa diakui Takeo, dengan paras yang sama persis
seperti

Kaede muda, sebelum kecantikannya tercoreng. Bahkan Hana pernah menawarkan diri ketika

kesehatan Kaede memburuk. Penolakan mantap Takeo untuk menganggap serius tawarannya
telah

melukai dan mem-permalukan Hana: keinginan Takeo untuk menikahkannya dengan Zenko
justru

mem¬buat Hana kian gusar. Tapi Takeo memaksa: mereka menikah ketika Zenko berusia
delapan

belas tahun dan Hana enam belas tahun. Zenko sangat senang: persekutuan itu merupakan

kehormatan besar baginya; Hana bukan hanya cantik, tapi juga segera mem¬berinya tiga
putra,
semuanya sehat. Rasa tergila-gilanya pada Takeo segera digantikan rasa dendam padanya dan
iri

pada kakaknya. Dia pun bertekad untuk mengambil alih kedudukan mereka.

Takeo tahu niat ini karena adik iparnya lupa kalau ia memiliki pendengaran yang sangat peka.

Pendengarannya memang tidak setajam saat masih tujuh belas tahun, tapi masih cukup baik
untuk

menguping per-cakapan rahasia, menyadari segala sesuatu yang ada di sekelilingnya, di mana
posisi

tiap orang di kastil, kegiatan mereka yang ada di pos jaga dan istal, siapa mengunjungi siapa
di

malam hari dan untuk tujuan apa. Ia juga dapat membaca niat orang itu dari cara ber¬diri
hingga

gerakan tubuh.



Halaman 466 dari 466

Saat ini ia mengamati Hana yang sedang membungkuk di hadapannya, dengan rambut
menjuntai ke

lantai, sedikit tersibak hingga menampakkan tengkuknya yang putih sempurna. Hana bergerak

dengan luwes, terlepas dari kenyataan bahwa dia adalah ibu dari tiga orang anak: orang akan

mengira usianya tak lebih dari delapan belas tahun, tapi sebenarnya dia seumur dengan adik
Zenko,

Taku: dua puluh enam tahun.

Suaminya, di usia dua puluh delapan tahun, tampak sangat mirip dengan ayahnya bertubuh
besar,

gagah perkasa, bertenaga besar, ahli menggunakan panah dan pedang. Pada usia dua belas
tahun

dia menyaksikan ayahnya mati ditembak dengan senjata api, orang ketiga di Tiga Negara yang
mati

dengan cara begitu. Dua orang lainnya adalah para bandit. Ia menyadari bila semua ini
dijadikan satu
maka bisa menimbulkan sakit hati yang mendalam pada pemuda itu, dan bisa berubah
menjadi

kebencian.

Kedua orang ini tidak menunjukkan tanda-tanda kedengkian. Sambutan dan pertanyaan
mereka

mengenai kesehatan diri juga keluarganya terasa berlebihan. Ia menjawab dengan sikap yang
sama

sopannya, menutupi kenyataan kalau ia merasa lebih kesakitan ketimbang biasanya karena
udara

yang lembap.

"Kalian tidak perlu repot-repot datang," katanya. "Aku hanya akan berada di Hofu selama satu
atau

dua hari."

"Oh, tapi Lord Takeo harus tinggal lebih lama." Hana angkat bicara, seperti yang sering dia
lakukan

sebelum suaminya sempat bicara. "Anda harus tinggal di sini sampai musim hujan selesai.
Anda tidak

bisa bepergian dalam keadaan cuaca seperti ini."

"Aku pernah melakukan perjalanan dalam cuaca yang lebih buruk," sahut Takeo sambil
tersenyum.

"Kami senang bisa menghabiskan waktu bersama kakak ipar," kata Zenko.

"Baiklah, ada satu atau dua hal yang perlu kita bicarakan," sahut Takeo, memutuskan untuk

menanggapi basa-basi ini. "Tidak ada kebutuhan, pastinya, untuk meningkatkan jumlah
pasukan, dan

aku ingin tahu lebih banyak tentang kekuatan apa yang sedang kau himpun."

Keterusterangannya yang keluar tepat setelah sopan-santun tadi, mengejutkan mereka. Takeo

tersenyum lagi. Mereka pasti tahu, tak banyak hal yang bisa luput dari perhatiannya di seluruh
Tiga

Negara.

"Kebutuhan senjata selalu ada," tutur Zenko. "Tombak, pedang, panah dan sebagainya."
"Berapa banyak orang yang kau kumpul¬kan? Paling banyak lima ribu orang. Catatan kami

menunjukkan mereka semua diper¬senjatai. Bila senjata mereka hilang atau rusak, maka
mereka

harus menggantinya dengan biaya sendiri. Keuangan wilayah bisa dijalankan dengan baik."

"Dari Kumamoto dan distrik selatan, ya, benar lima ribu orang. Tapi ada banyak orang yang
tidak

terlatih dengan usia cukup untuk bertempur di wilayah Seishuu lainnya. Tampaknya ini
kesempatan

emas untuk memberi mereka pelatihan dan senjata, bahkan jika mereka kembali ke sawahnya
untuk

panen."

"Klan Seishuu kini tunduk pada Maruyama," sahut Takeo dengan nada ringan. "Bagaimana
pendapat

Sugita Hiroshi tentang rencanamu?"

Hiroshi dan Zenko tidak menyukai satu sama lain. Takeo tahu Hiroshi memendam hasrat untuk

menikahi Hana, dan kecewa ketika perempuan idamannya itu menikah dengan Arai Zenko,
walaupun

Hiroshi tidak pernah mengatakannya. Kedua pemuda itu tidak saling menyukai sejak pertama
kali

mereka bertemu bertahun-tahun silam semasa perang saudara. Hiroshi dan Taku, adik Zenko,
adalah

teman dekat, jauh lebih dekat ketimbang. Kedua kakak beradik yang semakin dingin.

"Aku belum sempat bicara dengan Sugita," aku Zenko.

"Baiklah, kelak kita bicarakan masalah ini dengannya.

Nanti kita semua akan bertemu di Maruyama pada bulan kesepuluh dan meng¬kaji ulang
kebutuhan

pasukan di wilayah Barat."

"Kita menghadapi ancaman dari kaum barbar," tutur Zenko. "Wilayah Barat terbuka lebar bagi

mereka: Klan Snshuu belum pernah menghadapi serangan dari laut. Kami tidak siap."
Halaman 467 dari 467

"Tujuan orang-orang asing itu sebenarnya hanyalah berdagang," sahut Takeo. "Mereka berada
jauh

dari kampung halaman mereka, kapal-kapal mereka kecil. Mereka mestinya jera dengan
serangan di

Mijima; maka sekarang mereka harus berurusan dengan kita melalui diplomasi. Pertahanan
terbaik

kita melawan mereka adalah berdagang dengan damai."

"Tapi mereka selalu membual tentang pasukan hebat raja mereka," timpal Hana. "Seribu orang

bersenjata api. Lima puluh ribu kuda. Satu ekor kuda mereka lebih besar dibandingkan dua
ekor kuda

kita, kata mereka. Dan pasukan pejalan kaki mereka menyandang senjata api."

"Semua ini, seperti yang kau katakan, hanyalah bualan," Takeo mengamati. "Aku berani
katakan

kalau Terada Fumio mem¬buat pernyataan serupa tentang keunggulan kita di kepulauan
wilayah

Barat dan pelabuhan di Tenjiku dan Shin." Dilihatnya ekspresi wajah Zenko berkerut saat nama
Fumio

disebut. Fumio yang menembak ayah Zenko saat gempa mengguncang dan meng¬hancurkan

pasukan Arai. Takeo menghela napas panjang, ingin tahu apakah mungkin menghapuskan
keinginan

balas dendam Zenko.

Zenko berkata, "Di sana kaum barbar juga menggunakan perdagangan sebagai alasan untuk

menjejakkan kaki. Lalu mereka melemahkan dari dalam dengan agama mereka, dan serangan
dari

luar. Mereka akan mengubah kita semua menjadi budak mereka."

Zenko mungkin benar, pikir Takeo. Orang¬orang asing itu sebagian besar terkurung di Hofu,
dan

Zenko bertemu dengan lebih banyak orang-orang itu ketimbang ksatria¬nya sendiri. Kendati

menyebut dengan kata kaum barbar, Zenko tampak terkesan dengan senjata dan kapal
mereka.
Seandainya mereka bergabung di wilayah Barat...

"Kau tahu kalau aku menghormati pendapatmu dalam masalah ini," sahutnya. "Akan kita
tingkatkan

pengawasan terhadap orang-orang asing itu. Apabila nanti diperlu¬kan lebih banyak pasukan,
akan

kuberitahu¬kan kepadamu. Dan nitrat hanya boleh dibeli langsung oleh klan."

Takeo memerhatikan selagi Zenko mem¬bungkuk dengan enggan, segaris rona warna di
lehernya

menandakan kekesalannya atas peringatan keras tadi. Takeo teringat saat menempelkan pisau
di

leher Zenko. Kalau saja saat itu ia menggunakan pisau dengan baik, ia bisa terhindar dari
banyak

masalah. Namun kala itu Zenko hanyalah bocah kecil; ia belum pernah membunuh anak-anak
dan

berdoa semoga tidak akan pernah. Zenko adalah bagian dari takdirku, pikirnya. Aku harus
hadapi dia

dengan hati-hati. Apa lagi yang bisa kulakukan untuk menjinakkan dirinya?

Hana berkata dengan suara selembut madu. "Kami takkan melakukan apa pun tanpa
berkonsultasi

dengan Lord Otori. Sesungguhnya kami hanya menaruh per¬hatian pada Anda sekeluarga serta

kemak¬muran Tiga Negara. Anda sehat-sehat saja, kurasa. Bagaimana dengan kakak sulungku,
juga

ketiga putri Anda yang cantik-cantik?"

"Terima kasih: mereka semua sehat-sehat saja."

"Satu kesedihan yang mendalam bagiku karena tidak punya anak perempuan," lanjut Hana,
tatapan

matanya lenang, serius dan agak malu-malu. "Seperti yang Lord Otori ketahui, kami hanya
punya

anak laki-laki."

Mau ke mana arah pembicaraannya? Takeo penasaran.
Zenko yang kurang memiliki kehalusan dalam berbicara dibandingkan istrinya lalu bicara
dengan

nada datar.

"Lord Otori pasti sangat ingin memiliki putra."

Ah! pikir Takeo, lalu berkata, "Karena sepertiga negara kiia sudah diwariskan melalui garis
keturunan

perempuan, hal itu tak menjadi masalah. Putri sulung kami pada akhirnya akan menjadi
penguasa

Tiga Negara."

"Tapi Anda harus tahu kebahagiaan memiliki anak laki-laki," seru Hana. "Ijinkan kami
memberikan

salah satu putra kami."

"Kami ingin Anda mengangkat salah satu putra kami," ujar Zenko, tanpa basa-basi.

"Sungguh itu suatu kehormatan besar serta membawa kebahagiaan tak terbilang bagi kami,"
gumam

Hana.



Halaman 468 dari 468

"Kalian sangat murah hati dan penuh pengertian," sahut Takeo. Kebenarannya adalah: ia tak
ingin

anak laki-laki. Ia lega Kaede tidak melahirkan lagi dan berharap istrinya tidak hamil lagi.
Ramalan

bahwa ia akan mati di tangan putranya sendiri tidaklah menakutkan, namun menorehkan
kesedihan

mendalam pada dirinya. Saat itu Takeo berdoa, seperti yang sering dilakukannya, kalau
kematiannya

seperti kematian Shigeru, bukan seperti pemimpin Otori yang lain, Masahiro, yang mati
digorok oleh

anak haramnya. Ia juga berdoa dibiarkan hidup hingga tugasnya selesai dan putrinya telah
cukup

dewasa untuk memerintah negeri ini.
Karena tak ingin menghina mereka dengan langsung menolak tawaran itu. Sesungguh¬nya
amat

pantas mengangkat keponakan istrinya: bahkan mungkin kelak ia bisa menjodohkan anak itu
dengan

salah satu putrinya.

"Mohon kami diberi kehormatan dengan menerima dua putra tertua kami," tutur Hana. Ketika
Takeo

mengangguk setuju, Hana bangkit dan berjalan ke pintu dengan luwes, sangat mirip dengan
Kaede.

Lalu masuk kembali bersama kedua anaknya: usia mereka delapan dan enam tahun, mengena-
kan

jubah resmi, diam terpaku dengan khidmat dalam pertemuan itu. Rambut mereka ditata
dengan

bagian rambut yang panjang di bagian depan.

"Yang sulung bernama Sunaomi, sedang adiknya, Chikara," tutur Hana selagi kedua bocah itu

membungkuk sampai ke lantai di hadapan paman mereka.

"Ya, aku ingat," sahut Takeo. Sudah tiga tahun ia belum bertemu kedua bocah ini, dan belum
pernah

bertemu putra bungsu Hana yang lahir tahun lalu. Kedua anak itu tampan: yang sulung mirip
dengan

Shira¬kawa bersaudara, dengan tulang punggung yang panjang serta struktur tulang yang
ramping.

Sedangkan adiknya lebih bulat dan kekar, lebih mirip ayahnya. Takeo ingin tahu apakah salah
satu

dari mereka mewarisi kemampuan Tribe dari neneknya, Shizuka. Nanti akan ditanyakannya
pada

Taku atau Shizuka. Akan menyenangkan, renungnya, bagi Shizuka untuk mengasuh cucunya.

"Duduk tegak, anak-anak," kata Takeo.

"Biarkan paman melihat wajah kalian."

Takeo tertarik pada si sulung yang amat mirip Kaede. Usianya hanya tujuh tahun lebih muda
dari
Shigeko, dan lima tahun lebih muda dari Maya dan Miki: perbedaan ini bukanlah masalah
dalam

perkawinan. Diajukannya pertanyaan tentang pelajaran, kemajuan berpedang dan memanah,
dan

senang dengan jawaban mereka yang cerdas serta jelas. Apa pun ambisi tersembunyi dan
motif

terselubung dari orangtua mereka, kedua bocah ini telah dididik dengan baik.

"Kalian sangat murah hati," ujar Takeo lagi. "Aku akan membicarakannya dengan istriku."

"Anak-anak akan bergabung bersama kita saat makan malam," ujar Hana. "Anda bisa lebih
mengenal

mereka nanti. Tentu saja, Sunaomi sudah menjadi kesayangan kakak sulungku."

Kini Takeo ingat kalau ia pernah men¬dengar Kaede memuji Sunaomi karena kecerdasannya.
Ia tahu

istrinya iri pada Hana dan menyesal karena tidak punya anak laki¬laki. Mengangkat
keponakannya

mungkin bisa menjadi kompensasi, tapi jika Sunaomi menjadi putranya...

Disingkirkannya pikiran itu jauh-jauh. Ia harus memutuskan yang terbaik saat ini: jangan
sampai ia

terpengaruh oleh ramalan yang mungkin saja tidak akan terjadi.

Ketika Hana pergi bersama kedua anak¬nya, Zenko berkata, "Aku ingin ulangi kalau ini akan
menjadi

kehormatan bagi kami bila Anda mengangkat Sunaomi—atau Chikara: Anda harus memilih."

"Kita bicarakan ini pada bulan kesepuluh." "Bolehkah aku mengajukan satu permohonan lagi?"

Ketika Takeo mengangguk, Zenko melanjutkan, "Aku tak ingin menyinggung perasaan dengan

mengingat masa lalu, tapi— Anda ingat Lord Fujiwara?"

"Tentu saja," jawab Takeo, menahan rasa kaget dan marah. Lord Fujiwara adalah bangsawan
yang

telah menculik istrinya. Bangsawan itu mati dalam bencana gempa tapi Takeo tidak pernah

memaafkannya. Kaede telah bersumpah bahwa bangsawan itu tak pernah tidur dengannya,
namun
ada semacam ikatan aneh antara mereka berdua; Fujiwara telah memikat dan
menyanjungnya;

Kaede telah membuat perjanjian dengan laki¬laki itu dan menceritakan rahasia paling pribadi
tentang

cinta Takeo. Juga pernah membantu keluarga Kaede dengan uang, makanan, juga banyak
hadiah.

Fujiwara menikahi Kaede dengan restu Kaisar. Fujiwara pernah berusaha agar Kaede mati



Halaman 469 dari 469

bersamanya: Kaede berhasil lolos walaupun rambutnya terbakar, menyebabkan bekas luka,

kehilangan kecantikannya.

"Putranya berada di Hofu dan ingin ber¬temu secara resmi dengan Anda."

Takeo tidak berkata sepatah kata pun, enggan untuk mengakui kalau ia tidak mengetahuinya.

"Dia menggunakan nama keluarga ibunya, Kono. Tiba dengan kapal beberapa hari lalu,
berharap bisa

bertemu Anda. Kami telah ber¬hubungan melalui surat tentang hana warisan ayahnya.
Ayahku,

seperti yang Anda tahu, berhubungan baik dengan ayahnya—aku mohon maaf telah membuat
Anda

teringat masa-masa yang tak menyenangkan—dan Lord Kono membicarakan tentang masalah

penyewaan dan pajak."

"Sepanjang ingatanku, harta Fujiwara telah digabungkan dengan wilayah Shira¬kawa."

"Secara hukum Shirakawa juga merupakan milik Fujiwara, setelah pernikahannya, maka kini
menjadi

milik putranya. Karena Fujiwara diwariskan melalui garis keturunan laki-laki. Jika wilayah itu
bukan

hak Kono, maka seharusnya diteruskan pada pewaris laki-laki berikutnya."

"Yaitu putra sulungmu, Sunaomi," timpal Takeo.

Zenko menunduk tanpa bicara.
"Enam belas tahun telah berlalu sejak kematian ayahnya. Mengapa kini dia tiba¬tiba muncul?"
tanya

Takeo.

"Waktu berlalu dengan cepat di ibukota," sahut Zenko. "Dia utusan Yang Mulia Kaisar."

Atau barangkali karena seseo rang punya rencana jahat, kau atau istrimu—hampir pasti
istrimu—

melihat bagaimana Kono bisa dimanfaatkan untuk lebih menekanku, maka Kono dihubungi
melalui

surat, pikir Takeo, menyembunyikan kemarahannya.

Hujan semakin deras menerpa atap, dan bau tanah yang basah mengapung di depan taman.

"Dia boleh datang dan bertemu denganku besok," kata Takeo akhirnya.

"Ya. Keputusan yang bijaksana," sahut Zenko. "Lagi pula jalan terlalu becek dan berlumpur
untuk

meneruskan perjalanan."

***

Pertemuan ini semakin menambah ke¬gelisahan Takeo, mengingatkannya betapa Arai Zenko
sangat

perlu diawasi: betapa mudahnya ambisi mereka dapat menggiring Tiga Negara kembali perang

saudara. Sore berlalu dengan suasana cukup menyenang¬kan: ia minum sake secukupnya
untuk

menyembunyikan rasa sakit, dan kedua anak laki-laki itu menghidupkan suasana dan
menghibur.

Meteka baru saja bertemu dengan dua orang asing di ruangan ini dan sangat bersemangat
dengan

pertemuan itu: bagaimana Sunaomi bicara pada mereka dengan menggunakan bahasa mereka
yang

telah dipelajari bersama ibunya; bagaimana orang-orang asing itu kelihatan seperti goblin
dengan

hidung panjang dan janggut lebat¬nya, yang satu berambut merah sedangkan yang lainnya
berambut

hitam, tapi Chikara sama sekali tidak takut. Mereka memerintah¬kan para pelayan untuk
mengambilkan salah satu kursi yang dibuat oleh orang asing dari

kayu eksotis, jati, dibawa dari pelabuhan pedagangan besar yang dikenal dengan nama
Fragrant

Harbour dalam kekuasaan kapal nana milik Terada yang juga membawa mangkuk jasper, lapis
lazuli,

kulit macan, gading dan giok menuju kota-kota di Tiga Negara.

"Sangat nyaman," ujar Sunaomi, mem¬peragakan.

"Agak mirip tahta Kaisar," kata Hana, tertawa.

"Tapi mereka tidak makan menggunakan tangan!" kata Chikara, kecewa. "Aku ingin
melihatnya."

"Mereka belajar sopan santun dari bangsa kita," tutur Hana. "Mereka berusaha keras, sama
kerasnya

dengan usaha Lord Joao mem¬pelajari bahasa kita."

Takeo agak merinding mendengar nama itu, sangat mirip dengan nama gelandangan Jo-An. Ia
begitu

menyesali tindakannya yang telah memenggal Jo-An, dan pengemis itu sering hadir dalam
mimpinya.

Orang-orang asing itu memiliki kepercayaan yang serupa dengan kepercayaan kaum Hidden
dan

ber¬doa pada Tuhan Rahasia. Bedanya, orang¬orang asing itu mempraktikannya secara
terbuka,



Halaman 470 dari 470

hingga membuat orang lain gelisah dan malu. Mereka memperlihatkan lambang Hidden, salib,
pada

untaian kalung yang menggantung di dada pakaian mereka yang aneh dan tidak nyaman.
Bahkan di

hari yang paling panas pun mereka tetap memakai pakaian ketat dengan kerah tinggi dan
sepatu bot,

dan mereka memiliki ketakutan yang tidak wajar untuk mandi.
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN
OTORI KLAN

More Related Content

Featured

2024 State of Marketing Report – by Hubspot
2024 State of Marketing Report – by Hubspot2024 State of Marketing Report – by Hubspot
2024 State of Marketing Report – by HubspotMarius Sescu
 
Everything You Need To Know About ChatGPT
Everything You Need To Know About ChatGPTEverything You Need To Know About ChatGPT
Everything You Need To Know About ChatGPTExpeed Software
 
Product Design Trends in 2024 | Teenage Engineerings
Product Design Trends in 2024 | Teenage EngineeringsProduct Design Trends in 2024 | Teenage Engineerings
Product Design Trends in 2024 | Teenage EngineeringsPixeldarts
 
How Race, Age and Gender Shape Attitudes Towards Mental Health
How Race, Age and Gender Shape Attitudes Towards Mental HealthHow Race, Age and Gender Shape Attitudes Towards Mental Health
How Race, Age and Gender Shape Attitudes Towards Mental HealthThinkNow
 
AI Trends in Creative Operations 2024 by Artwork Flow.pdf
AI Trends in Creative Operations 2024 by Artwork Flow.pdfAI Trends in Creative Operations 2024 by Artwork Flow.pdf
AI Trends in Creative Operations 2024 by Artwork Flow.pdfmarketingartwork
 
PEPSICO Presentation to CAGNY Conference Feb 2024
PEPSICO Presentation to CAGNY Conference Feb 2024PEPSICO Presentation to CAGNY Conference Feb 2024
PEPSICO Presentation to CAGNY Conference Feb 2024Neil Kimberley
 
Content Methodology: A Best Practices Report (Webinar)
Content Methodology: A Best Practices Report (Webinar)Content Methodology: A Best Practices Report (Webinar)
Content Methodology: A Best Practices Report (Webinar)contently
 
How to Prepare For a Successful Job Search for 2024
How to Prepare For a Successful Job Search for 2024How to Prepare For a Successful Job Search for 2024
How to Prepare For a Successful Job Search for 2024Albert Qian
 
Social Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie Insights
Social Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie InsightsSocial Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie Insights
Social Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie InsightsKurio // The Social Media Age(ncy)
 
Trends In Paid Search: Navigating The Digital Landscape In 2024
Trends In Paid Search: Navigating The Digital Landscape In 2024Trends In Paid Search: Navigating The Digital Landscape In 2024
Trends In Paid Search: Navigating The Digital Landscape In 2024Search Engine Journal
 
5 Public speaking tips from TED - Visualized summary
5 Public speaking tips from TED - Visualized summary5 Public speaking tips from TED - Visualized summary
5 Public speaking tips from TED - Visualized summarySpeakerHub
 
ChatGPT and the Future of Work - Clark Boyd
ChatGPT and the Future of Work - Clark Boyd ChatGPT and the Future of Work - Clark Boyd
ChatGPT and the Future of Work - Clark Boyd Clark Boyd
 
Getting into the tech field. what next
Getting into the tech field. what next Getting into the tech field. what next
Getting into the tech field. what next Tessa Mero
 
Google's Just Not That Into You: Understanding Core Updates & Search Intent
Google's Just Not That Into You: Understanding Core Updates & Search IntentGoogle's Just Not That Into You: Understanding Core Updates & Search Intent
Google's Just Not That Into You: Understanding Core Updates & Search IntentLily Ray
 
Time Management & Productivity - Best Practices
Time Management & Productivity -  Best PracticesTime Management & Productivity -  Best Practices
Time Management & Productivity - Best PracticesVit Horky
 
The six step guide to practical project management
The six step guide to practical project managementThe six step guide to practical project management
The six step guide to practical project managementMindGenius
 
Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...
Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...
Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...RachelPearson36
 

Featured (20)

2024 State of Marketing Report – by Hubspot
2024 State of Marketing Report – by Hubspot2024 State of Marketing Report – by Hubspot
2024 State of Marketing Report – by Hubspot
 
Everything You Need To Know About ChatGPT
Everything You Need To Know About ChatGPTEverything You Need To Know About ChatGPT
Everything You Need To Know About ChatGPT
 
Product Design Trends in 2024 | Teenage Engineerings
Product Design Trends in 2024 | Teenage EngineeringsProduct Design Trends in 2024 | Teenage Engineerings
Product Design Trends in 2024 | Teenage Engineerings
 
How Race, Age and Gender Shape Attitudes Towards Mental Health
How Race, Age and Gender Shape Attitudes Towards Mental HealthHow Race, Age and Gender Shape Attitudes Towards Mental Health
How Race, Age and Gender Shape Attitudes Towards Mental Health
 
AI Trends in Creative Operations 2024 by Artwork Flow.pdf
AI Trends in Creative Operations 2024 by Artwork Flow.pdfAI Trends in Creative Operations 2024 by Artwork Flow.pdf
AI Trends in Creative Operations 2024 by Artwork Flow.pdf
 
Skeleton Culture Code
Skeleton Culture CodeSkeleton Culture Code
Skeleton Culture Code
 
PEPSICO Presentation to CAGNY Conference Feb 2024
PEPSICO Presentation to CAGNY Conference Feb 2024PEPSICO Presentation to CAGNY Conference Feb 2024
PEPSICO Presentation to CAGNY Conference Feb 2024
 
Content Methodology: A Best Practices Report (Webinar)
Content Methodology: A Best Practices Report (Webinar)Content Methodology: A Best Practices Report (Webinar)
Content Methodology: A Best Practices Report (Webinar)
 
How to Prepare For a Successful Job Search for 2024
How to Prepare For a Successful Job Search for 2024How to Prepare For a Successful Job Search for 2024
How to Prepare For a Successful Job Search for 2024
 
Social Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie Insights
Social Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie InsightsSocial Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie Insights
Social Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie Insights
 
Trends In Paid Search: Navigating The Digital Landscape In 2024
Trends In Paid Search: Navigating The Digital Landscape In 2024Trends In Paid Search: Navigating The Digital Landscape In 2024
Trends In Paid Search: Navigating The Digital Landscape In 2024
 
5 Public speaking tips from TED - Visualized summary
5 Public speaking tips from TED - Visualized summary5 Public speaking tips from TED - Visualized summary
5 Public speaking tips from TED - Visualized summary
 
ChatGPT and the Future of Work - Clark Boyd
ChatGPT and the Future of Work - Clark Boyd ChatGPT and the Future of Work - Clark Boyd
ChatGPT and the Future of Work - Clark Boyd
 
Getting into the tech field. what next
Getting into the tech field. what next Getting into the tech field. what next
Getting into the tech field. what next
 
Google's Just Not That Into You: Understanding Core Updates & Search Intent
Google's Just Not That Into You: Understanding Core Updates & Search IntentGoogle's Just Not That Into You: Understanding Core Updates & Search Intent
Google's Just Not That Into You: Understanding Core Updates & Search Intent
 
How to have difficult conversations
How to have difficult conversations How to have difficult conversations
How to have difficult conversations
 
Introduction to Data Science
Introduction to Data ScienceIntroduction to Data Science
Introduction to Data Science
 
Time Management & Productivity - Best Practices
Time Management & Productivity -  Best PracticesTime Management & Productivity -  Best Practices
Time Management & Productivity - Best Practices
 
The six step guide to practical project management
The six step guide to practical project managementThe six step guide to practical project management
The six step guide to practical project management
 
Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...
Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...
Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...
 

OTORI KLAN

  • 1. KISAH KLAN OTORI 4: THE HARSH CRY OF THE HERON Copyrigth@Lian Hearn Associates Pty Ltd 2006 All rights reserved Hak terjemahan ada pada Penerbit Matahati Diterbitkan oleh Penerbit Matahati Judul asli: TALES OF THE OTORI: The Harsh Cry of the Heron by Lian Hearn Simbol Klan oleh Claire Aher Terjemah “Tales of the Heiki” adalah dari Helen Craig McCullough, dan diterbitkan oleh Stanford University Press, 1988 Dentang genta Gion Shoja mengumandangkan ketidakabadian segalanya. Warna bunga sala mengungkapkan kebenaran bahwa kemakmuran akan mengalami kemunduran. Keangkuhan tak akan bertahan lama, layaknya mimpi di malam musim semi Kekuasaan pada akhirnya akan jatuh,
  • 2. layaknya debu yang tertiup angin. THE TALE OF THE HEIKI Halaman 446 dari 446 THE HARSH CRY OF THE HERON TOKOH UTAMA : Otori Takco penguasa Tiga Negara Otori Kaede istrinya Shigeko putri sulung mereka, pewaris Maruyama Maya putri Kembar mereka Miki Arai Zenko pemimpin Klan Arai, penguasa Kumomoto Arai Hana istrinya, adik Kaede Sunaomi dan Chikara anak mereka MutoKenji ketua keluarga Muto dan Tribe Muro Shizuka pengganti dan keponakan Kenji, ibu dari Zenko dan Taku Muto Taku mata-mata Takeo Sada anggota Tribe sahabat Maya Mai adik dari Sada Yuki (Yusetyu) putri Kenji, ibu dari Hisao Muto Yasu pedagang Imai Bunta informan Shizuka Tabib Ishida suami Shizuka, tabibnya Takco Sugita Hiroshi pengawal senior Maruyama Miyoshi Kahei panglima perang Takeo,penguasa Yamagata Miyoshi Gemba saudaranya
  • 3. Sonoda Mitsuru penguasa Inuyama Matsuda Shingen Kepala biara Terayama Kubo Makoto (Eiken) penggantinya,sahabat Takeo Minoru jurutulis Takeo Kurado Junpei Kurado Shinsaku pengawal Takeo Terada Fumio pemimpin angkatan laut Lord Kono putra Lord Fujiwara Saga Hideki jenderal Kaisar Don Joao orang asing, pedagang Don Carlo orang asing, pendeta Madaren penerjemah mereka Kikuta Akio ketua keluarga Kikuta Kikuta Hisao anaknya Kikuta Gosaburo paman Akio Halaman 447 dari 447 KUDA : Tenba kuda hitam pemberian Shigeko untuk Taeko Dua anak Raku, surai dan ekor mereka berwarna abu¬abu Ryume kuda tunggangan Taku Keri kuda tunggangan Hiroshi Ashiege kuda tunggangan Shigeko "Cepat kemari! Ayah dan Ibu sedang bertarung!" Otori Takeo mendengar putrinya memanggil adik-adik-nya dari kediaman mereka di kastil Inuyama, dengan cara yang sama ia
  • 4. mendengarkan semua hiruk-pikuk baik di dalam kastil dan juga dari kota di luar kastil. Namun dia mengabaikan suara-suara itu, sama seperti ia mengabaikan nyanyian yang mengalun dari nightingale floor di bawah kakinya. Ia hanya berkonsentrasi pada lawannya: Kaede, istrinya. Mereka bertarung menggunakan tongkat: ia memang lebih tinggi, tapi istrinya terlahir kidal dan mampu menggunakan tangan kanan dengan sama baiknya. Sementara jari tangan kanannya putus karena tebasan belati bertahun-tahun lalu dan harus belajar meng¬gunakan tangan kiri. Saat ini hari terakhir di tahun ini, hawa dingin menusuk, langit pucat kelabu, matahari musim dingin meredup. Mereka sering berlatih dengan cara ini di musim dingin: menghangatkan tubuh dan membuat sendi-sendi tetap lentur, dan Kaede suka putri-putrinya melihat bagaimana perem¬puan mampu bertarung layaknya laki-laki. Ketiga putri mereka berlarian: Shigeko, si sulung. yang akan berusia lima belas lahun pada tahun baru ini, kedua adiknya tiga belas tahun. Papan lantai melantunkan nyanyian di bawah langkah kaki Shigeko, tapi si kembar menjejakkan kaki mereka begitu ringan dengan cara Tribe. Mereka sudah sering berlarian melintasi nightingale floor sejak kecil, dan tanpa menyadari belajar untuk membuatnya tidak bersuara. Kepala Kaede ditutupi selendang sutra merah yang dililitkan menutupi wajahnya, maka Takeo hanya bisa melihat matanya. Mata yang penuh dengan energi bertarung, dan gerakan-gerakannya masih cepat serta kuat. Sulit dipercaya Kaede adalah ibu dari tiga anak: dia masih bergerak dengan
  • 5. kekuatan dan kebebasan seorang gadis. Serangannya membuat Takeo menyadari akan usia dan kelemahan fisiknya. Hentakan serangan Kaede pada tongkat miliknya mem¬buat tangannya terasa nyeri. "Aku mengaku kalah," ujar Takeo. "Ibu menang!" seru ketiga putrinya dengan bangga. Shigeko lari menghampiri ibunya dengan membawa handuk. "Untuk sang pemenang," ujarnya seraya mem¬bungkuk dan menyodorkan handuk dengan dua tangan. "Kita harus bersyukur karena hidup dalam damai," tutur Kaede, seraya tersenyum dan menyeka wajahnya. "Ayah kalian belajar keahlian berdiplomasi dan tak perlu lagi ber¬tarung mempertaruhkan nyawanya!" "Setidaknya kini aku sudah mendapat peringatan!" sahut Takeo, memberi isyarat pada salah satu penjaga, yang tengah menyaksikan dari taman untuk mengambil longkatnya. Halaman 448 dari 448 "Ijinkan kami bertarung melawan Ayah!" ujar Miki, si bungsu, dengan nada me¬mohon. Dia berjalan ke tepian beranda dan mengacungkan kepalan tangan ke arah ayah¬nya. Takeo berhati-hati untuk tidak menatap langsung mata atau menyentuh putrinya itu selagi memberikan tongkatnya. Takeo sadar akan rasa enggan dalam dirinya. Bahkan orang dewasa dan prajurit tangguh sekalipun, takut pada si kembar— bahkan, batinnya dengan hati pilu, ibunya sendiri juga takut. "Ayah ingin lihat apa saja yang telah dipelajari Shigeko," sahutnya. "Kalian berdua boleh menjajal kebolehannya."
  • 6. Selama beberapa tahun putri sulungnya menghabiskan sebagian besar waktu di Terayama, di bawah pengawasan mantan Kepala Biara, Matsuda Shingen, mantan guru Takeo, untuk mempelajari Ajaran Houou. Shigeko tiba di Inuyama sehari sebelumnya, untuk merayakan Tahun Baru bersama keluarganya, juga perayaan me¬masuki usia akil balik. Kini Takeo memer¬hatikan putrinya selagi mengambil tongkat yang tadi digunakannya serta meyakinkan kalau Miki menggunakan tongkat yang lebih ringan. Secara fisik, Shigeko mirip ibunya: bentuk tubuh ramping yang sama serta kerapuhan yang jelas terlihat, namun me¬miliki karakter, berpengetahuan luas berkat latihan dan pengalaman, periang serta tegas dan tidak mudah berubah pendirian. Ajaran Houou amat keras dalam pengajarannya, dan guru-gurunya tidak membuat pengecualian untuk usia dan jenis kelamin, namun ia tetap menerima ajaran dan latihan yang diberikan, hari-hari panjang dalam kesendirian serta kcsunyian, dengan sepenuh hati. Dia ke Terayama atas kemnuannya sendiri, karena Ajaran Houou merupakan ajaran jalan kedamaian, dan sejak kecil Shigeko telah diajarkan ayahnya tentang pandangan untuk mewujudkan wilayah yang damai tempat kekcrasan tak pernah merajalela. Cara bertarungnya agak berbeda dari cara yang diajarkan kepada Takeo, dan dia sangat suka memerhatikan putrinya itu, menikmati bagaimana gerakan-gerakan tradisional menyerang diubah menjadi gerakan beladiri, dengan tujuan melemahkan lawan tanpa menyakiti. "Jangan curang," kata Shigeko pada Miki, karena si kembar memiliki semua kemampuan Tribe — bahkan lebih, Takeo curiga. Saat ini, kemampuan mereka ber¬kembang pesat, dan meskipun dilarang menggunakannya dalam kehidupan sehari¬hari, terkadang godaan untuk memper¬mainkan guruguru
  • 7. serta mengelabui para pelayan sulit untuk dibendung. "Mengapa aku tidak boleh memperlihatkan apa yang sudah kupelajari?" tanya Miki, karena dia juga baru kembali dari pelatihan—di desa Tribe bersama keluarga Muto. Kakaknya Maya akan kembali ke sana setelah perayaan. Akhir-akhir ini jarang sekali seluruh anggota keluarga bisa berkumpul bersama: pendidikan yang berbeda bagi tiap anak, tuntutan pada orangtua untuk mem¬beri perhatian yang sama besarnya untuk seluruh Tiga Negara berarti perjalanan tanpa henti serta sering berjauhan. Tuntutan dalam pemerintahan kian meningkat: perundingan dengan orang asing; penjelajahan dan per¬dagangan; pengembangan persenjataan; pengawasan distrik lokal yang mengatur sendiri administrasinya; percobaan pertanian; impor perajin asing dan teknologi baru; pengadilan untuk mendengarkan keluhan serta ketidakpuasan. Takeo dan Kaede memikul beban ini bersama. Kaede lebih banyak menangani wilayah Barat, sedang Takeo Negara Tengah dan keduanya bekerja¬sama menangani wilayah timur, tempat adik Kaede, Ai beserta suaminya, Sonoda Mitsuru, memegang bekas wilayah Tohan. Miki setengah kepala lebih pendek dari kakaknya, tapi sangat kuat dan cepat; Shigeko tampak nyaris tak mampu meng¬imbangi gerakannya, tapi adiknya tak mampu menembus pertahanannya. Dalam beberapa saat Miki sudah kehilangan tongkatnya, yang tampak seperti terbang melayang dari jemarinya, dan sewaktu tongkat itu membumbung tinggi Shigeko menangkapnya dengan mudah. "Kau curang!" Miki terengah-engah. "Lord Gemba yang mengajari," sahut Shigeko dengan bangga.
  • 8. Adik kembarnya yang satu lagi, Maya, mengambil giliran selanjutnya juga kalah dengan cara yang sama. Shigeko berkata, pipinya bersemu merah, "Ayah, ayo bertarung denganku!" "Baiklah," Takeo setuju karena terkesan dengan apa yang telah dipelajari putrinya dan ingin tahu sampai di mana kemampuannya menghadapi ksatria yang terlatih. Takeo menyerang putrinya dengan cepat, tanpa menahan tenaga, dan serangan pertama mengejutkan gadis itu. Tongkat ayahnya mengenai dadanya; Takco menahan tikamannya agar tidak menyakiti putrinya. Halaman 449 dari 449 "Jika ini pedang, nyawamu pasti sudah melayang," ujarnya. "Lagi," sahut Shigeko dengan tenang, dan kali ini siap bersiap menghadapi serangan yang akan dilancarkan ayahnya; bergerak dengan kecepatan tanpa banyak tenaga, mengelak dari dua pukulan dan berhasil masuk ke sisi kanan ayahnya tempat tangan yang lebih lemah, menghentak sedikit, cukup untuk menggoyahkan keseimbangan ayah¬nya, kemudian meliukkan tubuhnya. Tongkat milik Takeo jatuh ke tanah. Didengarnya helaan napas si kembar, dan para penjaga terperangah. "Bagus sekali," ujarnya. "Ayah tidak berusaha sekuat tenaga," sahut Shigeko kecewa. "Tentu saja ayah berusaha sekuat tenaga. Sama kuatnya seperti yang pertama tadi. Tapi, ayah sudah dibuat lelah oleh ibumu, juga karena sudah tua dan tidak sekuat dulu lagi!" "Tidak," pekik Maya. "Shigeko menang!"
  • 9. "Tapi itu sama saja kau curang," timpal Miki dengan serius. "Bagaimana kau melaku¬kannya?" Shigeko tersenyum, menggelengkan kepala. "Itu yang harus kau lakukan dengan pikiran, jiwa serta tangan di saat bersamaan. Butuh waktu berbulan-bulan untuk bisa menguasainya. Aku tidak bisa memperlihat¬kannya begitu saja pada kalian." "Kau melakukannya dengan sangat baik," ujar Kaede. "Aku bangga." Nada suaranya terdengar penuh kasih sayang dan kekaguman, seperti biasa hanya tertuju pada putri sulungnya. Si kembar saling benukar pandang. Mereka iri, pikir Takeo. Mereka tahu ibunya tidak memiliki kasih sayang yang sama kuatnya pada mereka. Dan dirasakan¬nya debaran perasaan ingin melindungi yang tak asing lagi atas kedua putri kembarnya. Sepertinya ia selalu berusaha menjauhkan mereka dari segala yang bahaya—sejak mereka lahir, ketika Chiyo ingin menyingkir¬kan bayi kedua, Miki, lalu membiarkannya mati. Ini tindakan yang biasa lakukan pada anak kembar karena anak kembar dianggap tidak wajar bagi manusia, membuat mereka kelihatan lebih mirip hewan, kucing atau anjing. "Mungkin tampak kejam bagi Anda, Lord Takeo," Chiyo memeringatkannya. "Tapi lebih baik bertindak sekarang daripada menanggung malu dan sial, sebagai ayah dari anak kembar, rakyat akan percaya kalau Anda menjadi sasarannya." "Bagaimana mereka bisa berhenti percaya pada takhayul dan kekejaman semacam itu bila bukan kita yang memberi contoh?" sahutnya dengan gusar karena bagi orang yang terlahir di kalangan kaum Hidden, ia sangat menghargai nyawa manusia lebih dari apa pun, dan tak percaya kalau
  • 10. memper¬tahankan nyawa anak akan mendatangkan hinaan atau nasib buruk. Kemudian ia terkejul oleh kekuatan takhayul ini. Kaede pun bukannya tidak ter¬pengaruh, dan sikapnya pada putri kembar¬nya menggambarkan kegelisahannya yang bercabang. Dia lebih memilih mereka tinggal terpisah, satu atau yang lainnya biasanya tinggal bersama Tribe; dan Kaede tak meng¬inginkan kehadiran mereka saat perayaan usia akil balik sang kakak, takut kalau kehadiran mereka akan mendatangkan nasib sial bagi Shigeko. Tapi Shigeko, yang sama protektifnya terhadap si kembar seperti ayah¬nya, memaksa mereka harus hadir. Takeo senang dengan hal itu, tidak ada yang lebih membahagiakan selain melihat semua anggota keluarga berkumpul bersama, berada dekat dengannya. Dipandanginya mereka semua dengan penuh kasih sayang, dan sadar kalau perasaan itu diambil alih oleh sesuatu yang lebih menggairahkan: hasrat untuk ber¬baring bersama dan merasakan kulit istrinya. Pertarungan tongkat tadi telah membangkit¬kan kenangannya saat pertama kali jatuh cinta pada Kaede, pertama kali mereka bertanding di Tsuwano sewaktu ia masih berusia tujuh belas tahun sedangkan Kaede lima belas tahun. Adu tanding itu ber¬langsung di Inuyama, tepat di tempat yang sama hari ini, untuk pertama kalinya mereka tidur bersama, terdorong hasrat yang timbul dari keputusasaan juga kesedihan. Rumah yang lama, kastil milik Iida, nightingale floor yang pertama habis terbakar ketika Inuyama jatuh namun Arai Daiichi membangunnya kembali dengan cara yang hampir sama, dan kini menjadi salah satu dari Empat Kota yang termasyhur di penjuru Tiga Negara.
  • 11. Halaman 450 dari 450 "Anak-anak harus segera beristirahat," ujar Takeo, "karena perayaan di biara dimulai tengah malam, lalu ada Jamuan Makan Tahun Baru. Acara baru akan selesai pada Waktu Macan*. Aku juga ingin berbaring sebentar." "Akan kuminta agar tungku disiapkan di kamar," sahut Kaede, "sebentar lagi aku akan bergabung denganmu." *** Sinar matahari telah memudar saat Kaede mendatangi Takeo, dan malam musim dingin mulai menjelang. Meskipun ada tungku, hembusan napas Kaede membentuk kabut putih di tengah dinginnya udara. Selesai mandi, aroma kulit padi dan aloe dari air masih melekat di kulitnya. Di balik jubah tebal musim dingin tubuhnya terasa hangat. Takeo melepas sabuk istrinya lalu menyelinakan tangan ke balik pakaiannya, menarik tubuh Kaede agar berdekatan dengannya. Kemudian dilepasnya syal yang menutupi kepala Kaede lalu menarik, meng¬usapkan tangannya di atas kulit lembut ber¬bulu halus. "Jangan," ujar Kaede. "Buruk sekali." Takeo tahu kalau istrinya tak rela kehilangan rambut panjangnya yang indah, maupun bekas luka di tengkuk lehernya yang putih, yang mencoreng kecantikan yang pernah menjadi legenda sekaligus takhayul; tapi tidak nampak olehnya ketidaksempumaan tubuh istrinya, yang tampak hanyalah makin bertambahnya kerapuhan yang justru di matanya membuat sang istri semakin terlihat memesona.
  • 12. "Aku menyukainya. Seperti pemain sandiwara. Membuatmu kelihatan seperti laki-laki sekaligus perempuan, juga orang dewasa sekaligus anak-anak." "Kau juga harus perlihatkan bekas luka¬mu." Kaede menarik sarung tangan sutra yang biasa dikenakan Takeo di tangan kanannya, lalu membawa sisa bekas jarinya yang putus ke bibirnya. "Apakah tadi aku menyakitimu?" "Tidak juga. Hanya sisa rasa sakit— pukulan seperti apa pun menyakitkan persendian dan membangkitkan rasa sakit¬nya." Takeo bicara lagi dengan suara pelan, "Saat ini aku merasa kesakitan, tapi karena alasan lain." "Rasa sakit semacam itu bisa kusembuh¬kan," bisik Kaede, seraya menarik tubuh suaminya, membuka diri pada Takeo, membawanya memasuki dirinya, memper¬temukan hasrat mereka. "Kau selalu menyembuhkan diriku," ujar Takeo kemudian. "Kau membuat diriku utuh ." Kaede berbaring dalam dekapan Takeo, dengan kepala bersandar di bahunya. Pandangannya menjelajahi setiap sudut kamar. Cahaya lampu bersinar dari pegangan best, tapi di balik daun penutup jendela langit tampak kelam. "Mungkin tadi kau sudah memberiku seorang putra," ujar Kaede, tidak mampu menyembunyikan kerinduan dalam nada suaranya. "Kuharap tidak!" seru Takeo. "Dua kali hamil nyaris merenggut nyawamu. Lagipula kita tidak perlu anak laki-laki," imbuhnya dengan ringan. "Kita sudah punya tiga anak perempuan." "Aku pernah mengatakan hal yang sama pada ayahku," aku Kaede. "Aku percaya kalau diriku bernilai sama dengan laki-laki." "Begitu pula dengan Shigeko," sahut Takeo. "Dia akan mewarisi Tiga Negara, juga anak- anaknya kelak."
  • 13. "Anak-anaknya! Shigeko masih anak-anak. tapi sudah cukup dewasa untuk ditunangkan. Siapa orang yang bisa kita calonkan dengan¬nya?" "Jangan terburu-buru. Shigeko seperti piala, perhiasan yang nyaris tak ternilai harganya. Kita takkan melepasnya dengan percuma." Kaede kembali pada pokok pembicaraan sebelumnya seolah hal itu menggerogoti dirinya. "Aku ingin memberimu anak laki¬laki." "Meskipun dengan adanya pewarisanmu sendiri serta contoh dari Lady Maruyama! Kau masih saja bicara layaknya putri dari keluarga ksatria!" Halaman 451 dari 451 Kegelapan dan ketenangan membawa Kaede menyuarakan kecemasannya lebih jauh lagi. "Kadang aku berpikir si kembar menutup rahimku. Aku merasa andai mereka tidak dilahirkan aku akan dikaruniai anak laki-laki." "Kau terlalu banyak mendengar takhayul!" "Mungkin kau benar. Tapi apa yang akan terjadi pada anak kembar kita? Mereka tidak bisa mewarisi, kalau-kalau terjadi sesuatu pada Shigeko, semoga Surga tidak mem¬biarkan itu terjadi. Maka siapa yang akan dinikahkan? Tidak satu pun keluarga bangsawan atau ksatria mau menerima si kembar, terutama yang ternoda—maaf oleh darah Tribe serta kemampuan yang mirip ilmu sihir." Takeo tak bisa menyangkal bahwa hal yang sama juga mengganggu pikirannya, namun ia berusaha menyingkirkannya. Putri kembarnya masih amat muda: siapa yang tahu apa yang disiapkan nasib
  • 14. untuk mereka? Setelah beberapa saat, Kaede berkata pelan, "Tapi mungkin kita memang sudah terlalu tua. Semua orang penasaran mengapa kau tidak mengambil istri muda, atau selir, agar bisa punya lebih banyak anak." "Aku hanya menginginkan satu istri," sahut Takeo dengan sungguh-sungguh. "Perasaan apa pun yang pernah kuperlihat¬kan untuk berpura-pura, peran apa pun yang kumainkan, cintaku padamu sederhana dan sejatj adanya—aku takkan bercinta dengan siapa pun selain kau. Pernah kukatakan padamu, aku pernah bersumpah pada Kannon di Ohama. Aku tidak melanggar sumpah itu selama enam belas tahun. Dan aku tak akan melanggamya sekarang." "Kurasa aku bisa mati cemburu," aku Kaede. "Namun perasaanku tidaklah penting dibandingkan kepentingan negara." "Aku percaya kita dipersatukan dalam cinta yang merupakan landasan pemerin¬tahan kita yang baik. Aku tak akan merusak¬nya," sahutnya. Takeo merengkuh Kaede lebih dekat lagi, mengusapkan tangannya di atas bekas luka leher istrinya, merasakan tulang rusuk yang mengeras dari jaringan yang tertinggal bekas luka bakar. "Selama kita bersatu, negara kita akan tetap damai dan kuat." Setengah mengantuk Kaede berkata, "Kau ingat saat kita berpisah di Terayama? Kau menatap mataku lalu aku jatuh tertidur. Aku tidak pernah menceritakan ini padamu. Aku bermimpi tentang Dewi Putih: dia berbicara padaku. Bersabarlah, katanya: dia akan menjemputmu. Kemudian satu kali lagi di Gua Suci kudengar suaranya mengatakan hal yang sama. Itu satu-satunya hal yang membuatku
  • 15. bertahan selama dikurung di kediaman Lord Fujiwara. Di sana aku belajar bersabar. Aku terpaksa belajar bagaimana harus menunggu, tidak melakukan apa-apa, agar ia tidak punya alasan untuk mencabut nyawaku, Setelah itu, saat dia mati, satu¬satunya tempat yang terpikir olehku hanya¬lah kembali ke gua suci, kembali pada sang dewi. Bila kau tidak datang, mungkin aku akan terus tinggal di sana melayani sang dewi sepanjang sisa hidupku. Lalu kau datang: aku melihatmu, begitu kurus, racun masih ber¬sarang di tubuhmu, tangan indahmu hancur. Aku tak pernah melupakan saat itu; tangan¬mu di atas leherku, salju turun, jeritan pilu sang bangau...." "Aku tak layak mendapatkan cintamu," bisik Takeo. "Cintamu adalah anugerah terindah dalam hidupku, dan aku tak bisa hidup tanpa dirimu. Kau tahu, hidupku di¬bimbing oleh ramalan..." "Kau pernah bilang. Dan kita sudah melihatnya terpenuhi: Lima Peperangan, campur tangan Surga— " Akan kuceritakan sisanya sekarang, pikir Takeo. Akan kukatakan mengapa aku tidak menginginkan anak laki-laki, karena si peramal buta itu mengatakan hanya putraku yang bisa membawa kematian padaku. Akan kukatakan padanya tentang Yuki, dan anak yang dilahirkannya, putraku, yang kini berusia enam belas tahun. Namun ia tak ingin menyakiti istrinya. Untuk apa mengorek-ngorek masa lalu? Lima pertempuran telah menjadi bagian dari mitologi Otori, walaupun Takeo sadar hahwa ia yang memilih bagaimana menghitung semua pertempuran itu: bisa saja jumlah mencapai enam, empat atau tiga. Kata- kata bisa diubah dan dimanipulasi agar terkesan sarat makna. Bila suatu ramalan dipercaya, seringkali
  • 16. terpenuhi. Maka ia takkan mengeluarkan ramalan yang satu itu dalam kata-kata, karena dengan begitu justru meng-hidupkan ramalan itu. Dilihatnya Kaede hampir tertidur. Terasa hangat di bawah selimut, meskipun udara di wajahnya terasa dingin menusuk. Tak lama lagi ia sudah harus bangun, mandi serta ber¬pakaian resmi dan menyiapkan diri untuk upacara menyambut datangnya Tahun Baru. Malam ini akan jadi malam yang panjang. Tubuhnya mulai terasa rileks, dan akhirnya ia pun tertidur.* Halaman 452 dari 452 Ketiga putri Lord Otori senang jalan ke kuil di Inuyama karena terdapat deretan patung anjing putih yang diselingi deretan batu tempat ratusan lampu dinyalakan di malam¬malam perayaan besar. Kelap-kelip cahaya lampu menyinari patung-patung anjing hingga terlihat hidup. Udara cukup dingin hingga membuat wajah, jari tangan, dan kaki mati rasa, dan penuh dengan asap serta aroma dupa dan kayu pinus yang baru ditebang. Para peziarah pertama di Tahun Baru ini berkerumun di anak tangga curam menanjak menuju kuil. Lonceng besar berdentang, membuat Shigeko bergidik. Ibunya berada beberapa langkah di depan, berjalan ber-dampingan dengan Muto Shizuka, pen- damping kesayangannya. Suami Shizuka, tabib Ishida, sedang ke daratan utama. Sang tabib diperkirakan takkan kembali hingga musim semi. Shigeko senang Shizuka akan bersama mereka selama musim dingin karena dia salah satu dari sedikit orang yang di¬hormati si kembar; dan Shigeko pikir, Shizuka pun menyayangi dan memahami mereka berdua.
  • 17. Si kembar berjalan mengapit Shigeko; sesekali beberapa orang dari kerumunan yang berada di sekeliling mereka menatap lalu menjauh, tak ingin tersentuh; tapi umumnya mereka tidak terlalu jelas terlihat di bawah sinar remang-remang. Shigeko tahu para penjaga ada di depan dan belakang mereka, dan putra Shizuka, Taku, bertugas menjaga ayahnya. Ia tahu kalau Shizuka dan ibunya membawa pedang pendek, dan ia pun menyembunyikan sebuah tongkat di balik jubahnya. Ia selalu mem¬bawa tongkat karena berguna untuk me¬lumpuhkan orang tanpa membunuh, seperti yang diajarkan Lord Miyoshi Gemba, salah seorang gurunya di Terayama. Setengah berharap ia akan sempat mencobanya, tapi sepertinya mereka takkan diserang di jantung Inuyama. Namun ada sesuatu di malam ini yang membuatnya waspada: bukankah guru¬gurunya sering mengatakan bahwa ksatria harus selalu siaga agar kematian, baik kematian dirinya maupun lawannya, bisa terhindar? Mereka tiba di aula utama kuil, tempat Shigeko bisa melihat ayahnya yang tampak kerdil di antara atap tinggi dan patung raksasa dewa-dewa langit. Sulit dipercaya orang yang duduk resmi di depan altar adalah orang yang bertarung dengannya sore tadi di atas nightingale floor. Rasa sayang dan hormat yang mendalam pada ayahnya mengalir dalam diri Shigeko. Setelah mempersembahkan sesajian dan berdoa di depan Sang Pencerah, para perempuan berjalan ke kiri lalu berjalan lebih tinggi ke arah gunung menuju ke kuil sang maha pengampun, Kannon. Di sini para penjaga tetap berada di luar gerbang karena hanya perempuan yang diijinkan masuk ke pelataran.
  • 18. Ketika Shigeko berlutut di atas anak tangga kayu di depan patung yang berkilat, Miki menyentuh lengan kakaknya. "Shigeko," bisiknya. "Apa yang dilakukan laki-laki itu di sini?" "Di sini itu di mana?" Miki menunjuk ke ujung beranda, tempat seorang perempuan muda berjalan ke arah mereka dengan membawa semacam bingkisan: perempuan itu berlutut di hadapan Kaede lalu mengulurkan nampannya. "Jangan disentuh!" seru Shigeko. "Miki, ada berapa orang?" "Dua," jerit Miki. "Dan mereka membawa belati!" Saat itulah Shigeko melihat dua orang itu muncul dari udara, melompat ke arah mereka. Shigeko berteriak memeringatkan sambil mengeluarkan tongkatnya. "Mereka ingin membunuh Ibu!" pekik Miki. Tapi Kaede telah siaga pada seruan Shigeko yang pertama. Pedang sudah di tangannya. Gadis itu melempar nampan di depannya sambil menarik senjata miliknya, tapi Shizuka yang juga bersenjata, mem-belokkan serangan pertama, mematikan serangan gadis itu dengan membuat senjata¬nya Halaman 453 dari 453 melayang di udara, kemudian berbalik menghadapi para penyerang laki-laki. Kaede mendekati perempuan itu dan meng-hempaskannya ke tanah, seraya mengunci lengannya. "Maya, di dalam mulutnya," seru Shizuka. "Jangan biarkan dia menelan racunnya." Perempuan itu melancarkan serangan dan tendangan, tapi Maya dan Kaede membuka paksa mulutnya dan Maya memasukkan jari ke dalam mulut, mencari-cari pil beracun lalu mengeluarkannya. Sabetan pedang Shizuka melukai salah satu penyerang laki-laki, dan darahnya berceceran di atas
  • 19. anak tangga dan di lantai. Shigeko memukul penyerang yang satunya lagi di bagian samping lehernya, seperti yang pernah dicontohkan Gemba, dan selagi si penyerang itu terhuyung, dihujamkannya tongkat ke arah selangkangannya, tepat ke bagian alat vitalnya. Tubuhnya melekuk, muntah karena kesakitan. "Jangan bunuh mereka," teriaknya pada Shizuka, tapi si penyerang yang terluka itu keburu kabur ke arah kerumunan. Para penjaga berhasil menangkapnya tapi tidak berhasil menyelamatkannya dari kemarahan kerumunan. Shigeko tidak terlalu kaget dengan serangan itu tapi lebih merasa heran dengan serangan yang ceroboh juga gagal itu. Ia mengira para pembunuh bayaran akan lebih mematikan, tapi ketika penjaga dating menghampiri ke pelataran untuk mengikat dua penyerang yang masih hidup dengan tali kemudian menggiring mereka pergi, tampak olehnya wajah mereka di bawah cahaya lentera. "Mereka masih muda! Tak jauh lebih tua dari usiaku!" Tatapan gadis itu beradu pandang dengan¬nya. Tidak akan dilupakannya tatapan penuh kebencian itu. Itulah pertama kalinya Shigeko tersadar betapa ia sudah hampir melakukan pembunuhan, dan sekaligus lega dan bersyukur karena tidak mencabut nyawa kedua orang yang masih muda ini, yang nyaris sebaya dengan dirinya.* "Mereka putra-putrinya Gosaburo," kata Takeo tak Lama setelah memerhatikan mereka. Terakhir aku lihat mereka di Matsue, mereka masih bayi." Nama mereka tertulis dalam silsilah keluarga Kikuta, ditambahkan ke catatan Tribe yang dikumpul¬kan Shigeru. Si pemuda, putra kedua Gosaburo bernama Yuzu, sedangkan yang perempuan bernama Ume. Dan yang tewas bernama Kunio, anak sulung,
  • 20. salah satu anak laki-laki yang pernah menjalani pelatihan bersama Takeo. Saat itu merupakan hari pertama di tahun baru. Para tawanan dibawa menghadap Takeo di dalam salah satu ruang tahanan di lantai paling bawah kastil Inuyama. Mereka berlutut di hadapannya, dengan wajah pucat tapi tanpa ekspresi. Tangan mereka diikat kencang ke belakang, tapi bisa dia lihat kalau pun lapar atau haus, tapi mereka tidak diperlakukan dengan kasar. Sekarang ia harus memutuskan apa yang harus dilakukan dengan mereka. Kemarahan sebelumnya atas serangan terhadap keluarganya diredakan oleh harapan bahwa kemungkinan situasi bisa berbalik menguntungkan baginya: kegagalan terbaru ini, setelah kegagalankegagalan yang se-belumnya, mungkin akhirnya bisa mem¬bujuk keluarga Kikuta untuk menyerah, untuk bisa berdamai. Aku sudah terlalu berpuas diri, pikirnya. Aku yakin kalau aku kebal terhadap serangan mereka: aku tidak memperhitungkan mereka akan menyerang keluargaku. Ketakutan baru menyelimutinya saat teringat kata-katanya pada Kaede pada hari sebelumnya. Ia tak mampu mcmbayangkan bisa bertahan hidup jika istrinya tiada, kehilangannya; begitu pula dengan negara¬nya. "Apakah mereka mengatakan sesuatu padamu?" tanyanya pada Muto Taku yang kini berusia dua puluh enam tahun, anak bungsu Muto Shizuka. Ayahnya dulu meru¬pakan bangsawan besar, sekutu dan saingan Takeo, Arai Daiichi. Kakak Taku, Zenko, mewarisi wilayah kekuasaan ayahnya diBarat, dan Takeo ingin memberi Taku warisan dengan cara yang sama; tapi ditolaknya, seraya mengatakan
  • 21. Halaman 454 dari 454 bahwa dia tak ingin memiliki wilayah kekuasaan dan kehormatan. Dia lebih memilih bekerja dengan paman dari ibunya. Kenji, dalam mengendalikan jaringan mata-mata yang telah Takeo bangun melalui Tribe. Dia menerima pernikahan politis dengan gadis Tohan yang disukainya dan telah memberi¬nya seorang putra dan seorang putri. Orang cenderung meremehkannya, yang justru disukainya. Sosok dan wajah Taku menurun dari keluarga Muto sedangkan Arai mewarisi keberanian dan kegagahannya, serta pada dasarnya menganggap hidup itu menyenang¬kan dan pengalaman yang mengasyikkan. Taku tersenyum saat menjawab. "Tidak. Mereka menolak bicara. Aku hanya terkejut mereka masih hidup; kau tahu kalau Kikuta bunuh diri dengan menggigit lidah mereka sendiri! Tentu saja, aku belum berusaha sebegitu kerasnya untuk membujuk mereka." "Aku tidak harus mengingatkanmu kalau kekerasan dilarang di Tiga Negara." "Tentu saja tidak. Tapi apakah peraturan itu juga berlaku bahkan untuk Kikuta?" "Peraturan itu berlaku bagi semua orang," sahut Takeo ringan. "Mereka bersalah atas percobaan pembunuhan dan akan dieksekusi atas kesalahan itu pada akhirnya nanti. Untuk saat ini mereka tidak boleh diperlaku-kan dengan kasar. Akan kita lihat seberapa kuat keinginan ayah mereka agar anak¬anaknya bisa kembali." "Mereka berasal dari mana?" selidik Sonoda Mitsuru, yang menikah dengan adik Kaede, Ai, dan meskipun keluarganya, Akita, dulunya adalah pengawal Arai, ia diyakinkan untuk bersumpah setia
  • 22. pada Otori dalam perdamaian besar-besaran setelah gempa. Sebagai imbalannya, dia dan Ai diberikan wilayah Inuyama. "Di mana bisa kau menemukan Si Gosaburo ini?" "Kukira di pegunungan di luar perbatasan wilayah timur," tutur Taku, dan Takeo melihat si gadis sedikit memicingkan mata. Sonoda berkata, "Maka untuk sementara waktu tidak mungkin mengadakan perundingan, karena salju pertama akan turun dalam minggu ini." "Musim semi nanti kita akan kirim surat pada ayah mereka," sahut Takeo. "Tidak ada salahnya membuat batin Gosaburo menderita memikirkan nasib anaknya. Bahkan mungkin membuatnya semakin ingin menyelamatkan mereka. Sementara itu, tetap rahasiakan identitas mereka dan jangan biarkan mereka berhubungan dengan orang lain selain kau." Didekatinya Taku. "Pamanmu berada di kota, kan?" "Ya; paman akan bergabung dengan kita di kuil untuk perayaan Tahun Baru, tapi kesehatannya sedang tidak baik, dan udara malam yang dingin menimbulkan kejang otot yang membuatnya batukbatuk." "Besok aku akan memanggilnya. Apakah dia berada di rumah lama?" Taku mengangguk. "Paman menyukai aroma pabrik pembuatan sake. Menurutnya udara di sana lebih mudah dihirup." "Kurasa sakenya juga ikut membantu." *** "Hanya ini kesenangan yang tersisa untuk¬ku," ujar Muto Kenji, seraya mengisi cangkir Takeo dan memberikan botol sake kepada¬nya. "Ishida memintaku mengurangi minum, mengatakan kalau alkohol buruk bagi paru paru, tapi... sake membuatku tetap ber¬semangat dan membantuku agar bisa tidur."
  • 23. Takeo menuang sake yang bening serta keras ke cangkir gurunya yang sudah tua itu. "Ishida juga memintaku mengurangi minum sake," akunya saat mereka berdua menenggak habis minumannya. "Tapi bagiku sake meredakan rasa sakitku. Dan Ishida pun hampir tidak mengikuti sarannya sendiri, lalu mengapa kita harus mengikuti anjurannya?" "Kita adalah dua orang laki-laki tua," sahut Kenji, tertawa. "Siapa yang bisa mengira, melihatmu mencoba membunuhku tujuh belas tahun yang lalu di rumah ini, kalau kita akan duduk di sini saling mem-bandingkan penyakit?" "Bersyukurlah kita berdua masih hidup sampai saat ini!" timpal Takeo. Ia melihat ke sekeliling rumah yang dibangun begitu kuat dengan langit-langit tinggi, pilar kayu cedar dan beranda serta penutup Halaman 455 dari 455 jendela dari kayu cemara cypress. Rumah ini penuh kenangan. "Ruangan ini amat jauh lebih nyaman ketimbang lemari terkutuk tempat aku dikurung!" Kenji tertawa lagi. "Itu hanya karena kau bertingkah bak hewan liar! Keluarga Muto selalu menyukai kemewahan. Dan kini bertahun-tahun dalam kedamaian, per¬mintaan akan produk buatan kami membuat kami sangat kaya raya, berkat kau, Lord Otoriku tercinta." Dinaikkan cangkirnya ke arah Takeo; mereka berdua minum lagi, kemudian mengisi lagi wadah mereka masingmasing. "Rasanya aku akan menyesal meninggal¬kan semua ini, Aku sangsi masih bisa menyaksikan Tahun Baru." kata Kenji. Tapi kau—kau tahu orang bilang kalau kau tak bisa mati!"
  • 24. Takeo tertawa. "Tidak ada manusia yang tidak bisa mati. Kematian menantiku sama halnya seperti semua orang. Hanya saja waktuku belum tiba." Kenji adalah salah satu dari sedikit orang yang tahu isi ramalan tentang Takeo, ter¬masuk bagian yang dirahasiakannya: bahwa ia aman dari kematian kecuali di tangan putranya sendiri. Semua sisa ramalannya telah menjadi kenyataan, sampai tahap ini: lima pertempuran telah membawa kedamai¬an di Tiga Negara, dan Takeo berkuasa dari ujung laut ke ujung laut lainnya. Gempa bumi yang menyengsarakan mengakhiri pertempuran terakhir serta menyapu habis pasukan Arai Daiichi, bisa digambarkan sebagai memenuhi keinginan Surga. Dan sejauh ini, tak seorang pun bisa membunuh Takeo, membuat ramalan yang terakhir ini semakin bisa di percaya. Takeo berbagi banyak rahasia dengan Kenji, yang dulu pernah menjadi gurunya di Hagi. Dengan bantuan Kenji, Takeo berhasil menembus kastil di Hagi dan membalaskan dendam atas kematian Shigeru. Kenji orang yang pintar, cerdik tanpa perasaan senti¬mentil. Kenji adalah utusan dan juru runding yang baik, dan membuat Takeo sangat mengandalkannya. Kenji tidak punya hasrat lain di luar kegemarannya yang abadi pada sake dan perempuan dari rumah bordil setempat. Tampak tidak peduli pada harta benda, kekayaan maupun status. Mengabdi¬kan hidupnya pada Takeo dan bersumpah untuk melayaninya; memiliki kasih sayang istimewa atas Lady Otori, yang dikaguminya; amat menyayangi keponakannya sendiri, Shizuka; dan rasa hormat pada putra Shizuka, Taku, ahli mata-mata; namun sejak kematian putrinya, Kenji semakin terasing¬kan dari istrinya, Seiko, yang
  • 25. meninggal beberapa tahun lalu, dan tak memiliki baik ikatan cinta maupun kebencian dengan orang lain. Semenjak kematian Arai dan para lord Otori enam belas tahun yang lalu, Kenji bekerja dengan kesabaran dan cerdik terhadap tujuan Takeo: menarik semua sumber daya dan perangkat kekerasan ke tangan pemerintahan, mengendalikan kekuatan prajurit perseorangan dan kelompok bandit yang tak mengenal hukum. Kenjilah yang tahu keberadaan kelompok rahasia masyarakat kuno yang tidak diketahui Takeo—Kesetiaan pada Burung Bangau, Amarah Macan Putih, Jalan Sempit Ular— petani dan penduduk desa menggabungkan diri dalam kelompok masyarakat ini selama masa-masa anarkis. Kelompok ini kini dimanfaatkan dan terus dibangun agar masyarakatnya bisa mengatur masalah mereka sendiri di tingkat desa dan memilih sendiri pemimpinnya untuk mewakili mereka dan mengajukan tuntutan atas ketidakpuasan atau keluhan mereka di pengadilan tingkat propinsi. Pengadilan diatur oleh klas ksatria; anak laki-laki mereka dengan pola pikir yang tidak terlalu militer, dan terkadang juga anak perempuan, dikirim ke sekolah-sekolah besar di Hagi, Yamagata dan Inuyama untuk mempelajari etika pelayanan, pembukuan dan ekonomi, sejarah serta bahasa dan kesusastraan klasik. Saat kembali ke daerah asal, mereka memegang jabatan tertentu, diberi status dan penghasilan yang cukup: mereka bertanggung jawab langsung kepada tetua dari setiap klan, tanggung jawab yang sama juga dipikul pemimpin klan; para pemimpin klan ini bertemu Takeo dan Kaede secara teratur untuk membahas soal kebijakan, menentukan besarnya pajak serta
  • 26. mempertahankan pelatihan dan perlengkapan pasukan. Setiap daerah harus menyediakan sejumlah orang icrbaik untuk pasukan pusat: separuh tentara, dan sepa-ruh lagi petugas keamanan yang bertugas menangani bandit dan penjahat lainnya. Kenji menangani semua administrasi dengan trampil, mengatakan kalau cara ini mirip hirarki Tribe— hanya saja ada per¬bedaan yang mendasar: kekerasan dilarang, dan membunuh serta menerima suap di-ancam hukuman mati. Aturan yang terakhir terbukti paling sulit dilaksanakan. Tribe mendapat cara untuk menghindar, tapi mereka tidak bertransaksi dalam jumlah besar atau memamerkan kekayaan. Makin kuatnya usaha Takeo membasmi korupsi membawa hasil, korupsi dan suap makin berkurang. Lalu bentuk praktik yang lain berjalan: praktik tukar menukar hadiah dalam bentuk Halaman 456 dari 456 keindahan dan selera, di mana nilainya tersembunyi. Hal ini menyebabkan datang¬nya para perajin dan seniman ke Tiga Negara, bukan hanya mereka yang berasal dari Delapan Pulau tapi juga dari negeri¬negeri di daratan utama, Silla, Shin dan Tenjiku. Setelah gempa mengakhiri perang di Tiga Negara, para ketua dari keluarga dan klan yang masih hidup bertemu di Inuyama dan menerima Otori Takeo sebagai pemimpin mereka. Semua pertikaian karena hubungan darah yang menentang Takeo maupun per¬cekcokan antara mereka sendiri dinyatakan berakhir. Terjadi pemandangan yang meng¬harukan saat para ksatria saling berdamai setelah puluhan tahun bermusuhan. Namun Takeo dan Kenji menyadari bahwa ksatria terlahir untuk bertarung: masalahnya, mereka akan bertarung
  • 27. melawan siapa? Dan jika mereka tidak bertarung, bagaimana menyibukkan mereka? Beberapa prajurit menjaga perbatasan di wilayah Timur, tapi hanya terjadi sedikit peristiwa dan musuh utama mereka adalah rasa jenuh; beberapa yang lainnya men¬dampingi Terada Fumio dan tabib Ishida dalam perjalanan penjelajahan mereka, melindungi kapal dagang di laut dan toko serta gudang mereka di pelabuhan yang jauh; yang lainnya mengikuti lomba yang dibuat Takeo untuk keahlian berpedang dan memanah; sedang yang lainnya dipilih untuk mengikuti jalan utama dari pertarungan: penguasaan diri, Ajaran Houou. Ajaran Houou bermarkas di Biara Terayama yang dipimpin kepala biara Matsuda Shingen dan Kubo Makoto. Ajaran ini hanya dapat diikuti segelintir laki-laki— dan perempuan—dengan kekuatan fisik dan mental yang hebat. Keahlian Tribe adalah bakat dari lahir—pendengaran dan peng¬lihatan yang sangat kuat, kemampuan menghilang, penggunaan sosok kedua—tapi sebagian besar manusia memiliki kemampu¬an seperti ini namun belum terasah. Menemukan dan memurnikan kemampuan seperti inilah yang menjadi inti Ajaran Houou, mengambil nama burung suci yang bersarang jauh di dalam hutan-hutan di sekitar Terayama. Sumpah pertama yang dilakukan para ksatria yang terpilih ini yaitu tidak mem¬bunuh, baik nyamuk atau pun manusia, bahkan demi membela diri. Kenji meng¬anggap itu aturan yang gila karena dia sering menikam jantung orang, membunuh dengan garotte, menyisipkan racun ke dalam cangkir, mangkuk atau bahkan langsung ke orang yang tidur dengan mulut menganga. Berapa banyak? Dia
  • 28. tak bisa menghitungnya lagi. Tak ada penyesalan atas mereka yang telah dikirimnya ke alam baka— cepat atau lambat manusia juga akan mati. Dia melihat bahwa larangan membunuh ternyata jauh lebih berat daripada keputusan untuk membunuh. Dia tak kebal dengan kedamaian dan kekuatan spiritual Terayama. Akhir-akhir ini kesenangan terbesarnya yaitu menemani Takeo di sana dan menghabiskan waktu bersama Matsuda dan Makoto. Disadarinya kalau akhir hidupnya sudah dekat. Ia sudah tua; kesehatan dan kekuatan¬nya makin memburuk: selama berbulan bulan paru-parunya terasa makin lemah dan seringkali muntah darah. Takeo berhasil menjinakkan baik Tribe maupun para ksatria: hanya Kikuta yang masih bertahan menentangnya. Kikuta bukan hanya berusaha membunuhnya tapi juga bersekutu dengan ksatria yang kurang puas, melakukan pembunuhan secara acak dengan harapan menggoyahkan kestabilan masyarakat, menyebarkan desas-desus. Takeo angkat bicara lagi, lebih serius. "Serangan yang terakhir ini membuatku jauh lebih waspada karena ditujukan pada keluargaku, bukan diriku. Jika istri atau anakku mati, itu akan menghancurkan diriku, dan Tiga Negara." "Kurasa itulah tujuan Kikuta," sahut Kenji ringan. "Kapan mereka akan berhenri?" "Akio takkan berhenri. Kebenciannya padamu hanya akan berakhir dengan kematiannya—atau kematianmu. Dia telah mengabdikan hidupnya demi tujuannya itu." Wajah Kenji berubah tenang dan bibimya berkerut menggambarkan kegetiran. Ia minum lagi. "Tapi Gosaburo seorang pedagang dan
  • 29. pragmatis: dia akan ketakutan setengah mati bila kehilangan anak¬anaknya—satu putranya telah tewas, dan nasib dua lainnya ada di tanganmu. Mungkin kita bisa memberinya sedikit tekanan." "Kupikir juga begitu. Kita akan biarkan dua anaknya yang tersisa tetap hidup hingga musim semi, kemudian melihat apakah ayah mereka siap untuk berunding." "Mungkin sementara ini kita juga bisa mengorek keterangan yang berguna dari keduanya," gerutu Kenji. Takeo menaikkan pandangannya ke arah Kenji melalui pinggiran cangkir. Halaman 457 dari 457 "Baiklah, baiklah, lupakan saja aku pernah mengatakannya," gerutu laki-laki tua itu. "Tapi kau bodoh bila tidak menggunakan cara sama seperti yang digunakan musuh¬musuhmu." Digelengkan kepalanya. "Aku berani bertaruh kalau kau masih juga menyelamatkan laron dari lilin. Kelembutan itu tidak pernah hilang." Takeo tersenyum tipis tapi tidak mem¬bantahnya. Sulit rasanya untuk keluar dari apa yang pernah diajarkan padanya sewaktu ia masih kecil. Hasil didikan di antara kaum Hidden telah membuatnya teramat sangat enggan untuk mencabut nyawa manusia. Namun sejak berusia enam belas tahun nasib membimbingnya ke jalan hidup ksatria: menjadi pewaris sebuah klan besar dan sekarang menjadi pemimpin Tiga Negara; ia harus belajar menjalani hidup dengan ajaran pedang. Lebih jauh lagi, Tribe, Kenji sendiri, mengajarkan padanya berbagai cara untuk membunuh dan pernah berusaha
  • 30. memadam¬kan sifat welas asih dalam dirinya. Dalam perjuangannya membalaskan dendam Shigeru dan menyatukan Tiga Negara dalam kedamaian, ia melakukan begitu banyak tindak kekerasan, banyak di antaranya amat disesalinya, sebelum belajar cara menyeimbangkan antara kekerasan dan welas asih, sebelum kemakmuran dan stabilitas negara serta peraturan hukum memberikan pilihan dengan cara yang diinginkan pada konflik kekuasaan yang buta antar klan. "Aku ingin bertemu dengan bocah itu lagi," ujar Kenji tiba-iiba. "Mungkin ini akan menjadi kesempatan terakhir bagiku." Ditatapnya Takeo lekat-lekat. "Kau telah memutuskan apa yang harus kita lakukan padanya?" Takeo menggeleng. "Aku tidak bias mengambil keputusan. Apa yang bisa kulakukan? Kemungkinan besar keluarga Muto—kau— menginginkannya kembali, kan?" "Tentu. Tapi Akio mengatakan pada istri¬ku, yang berhasil menghubunginya sebelum mati, bahwa lebih baik dia yang bunuh anak itu ketimbang menyerahkannya, baik ke tangan Muto atau ke tanganmu." "Bocah yang malang. Didikan apa yang didapatkannya!" seru Takeo. "Ya, Tribe membesarkan anak-anak mereka dengan didikan yang sangat keras," sahut Kenji. "Apakah dia tahu kalau aku ayahnya?" "Itu salah satu hal yang bisa kucari tahu." "Kau kurang sehat untuk misi semacam ini," kata Takeo dengan nada enggan, karena ia tak bisa memikirkan ada orang lain yang bisa melakukannya. Kenji menyeringai. "Kesehatanku yang buruk justru menjadi alasan mengapa aku harus pergi. Bila
  • 31. aku tidak sempat melihat tahun ini berakhir, maka sekalian saja kau manfaatkan diriku ini! Lagipula, aku ingin bertemu dengan cucuku sebelum aku mati. Aku akan berangkat saat salju mulai men¬cair." Sake, penyesalan dan kenangan meluapkan perasaan haru Takeo. Ia berdiri lalu me¬rangkul gurunya yang sudah tua itu. "Sudah, sudah!" ujar Kenji, menepuk¬nepuk bahunya. "Kau tahu betapa bencinya aku bila menunjukkan perasaan seperti ini. Sering-seringlah datang dan temui aku sepanjang musim dingin ini. Kita akan masih punya kesempatan untuk adu minum sake bersama. "* Anak laki-laki itu, Hisao, kini telah berusia enam belas tahun. Wajahnya tidak mirip orang yang dipercaya sebagai ayahnya, Kikuta Akio, maupun ayah kandungnya yang belum pernah dilihatnya. Tidak mewarisi ciri fisik Muto, keluarga ibunya, maupun keluarga Kikuta—dan kian lama kian jelas terlihat kalau dia tak mewarisi kemampuan magis Tribe. Pendengarannya tak lebih peka dibandingkan anak seusianya; dia pun tak memiliki kemampuan menghilang. Pelatihan sejak kecil membuat fisiknya kuat dan gesit, namun tak bisa melompat atau pun terbang seperti ayahnya. Satu-satunya cara yang bisa dilakukannya agar orang tertidur yaitu rasa bosan karena dia jarang bicara. Andai dia buka mulut, Halaman 458 dari 458 bicaranya pelan, tersendat¬sendat, tanpa ada tanda-tanda kecerdasan atau kreativitas. Akio adalah Ketua Kikuta, keluarga ter¬besar dalam Tribe, yang menguasai berbagai kemampuan serta bakat yang kini mulai lenyap. Sejak kecil Hisao sudah menyadari kekecewaan ayahnya pada
  • 32. dirinya. Karena Tribe membesarkan anak mereka dengan cara sangat keras, melatih mereka dengan kepatuhan mutlak, bertahan me¬nahan lapar, haus, panas, dingin dan rasa sakit yang luar biasa, serta melenyapkan semua perasaan, simpati maupun welas asih. Akio sangat keras pada putra tunggalnya itu dan tak pernah menunjukkan pengertian maupun kasih sayang. Perlakuan Akio yang kejam, bahkan mengejutkan kerabatnya sendiri. Tapi Akio adalah Ketua keluarga, penerus pamannya, Kotaro, yang mati di Hagi oleh Otori Takeo dan Muto Kenji. Dan sebagai Pimpinan, Akio bisa bertindak sesuka hati; tak seorang pun bisa meng-kritiknya. Akio tumbuh menjadi laki-laki sinis dan susah ditebak. Dia selalu menyalahkan Otori Takeo atas terpecah-belahnya Tribe, kematian Kotaro yang disayangi, serta kematian pesumo tangguh, Hajime, serta banyak kematian lainnya. Keluarga Kikuta dikejar-kejar sehingga mereka keluar dari Tiga Negara untuk pindah ke Utara, meninggalkan usaha mereka yang meng¬hasilkan banyak uang. Anak-anak Kikuta tidur dengan kaki mengarah ke Barat, dan saling menyapa dengan kalimat, "Apakah Otori sudah mati?" dan dibalas dengan, "Belum, tapi tak lama lagi." Konon kabarnya kematian istrinya, Muto Yuki, dan kematian Kotaro yang membuat Akio begitu penuh dendam dan hidup dalam kebencian. Para tetua mengatakan kalau Yuki meninggal karena demam setelah melahir-kan, tapi tampaknya Hisao sudah tahu yang sebenarnya: ibunya mati diracun. Dapat dilihatnya kejadian itu dengan jelas, seolah menyaksikan dengan mata bayinya yang masih belum fokus. Keputusasaan dan kemarahan ibunya, kesedihan karena harus meninggalkan putranya;
  • 33. penolakan ibunya saat dipaksa menelan pil racun; jerit dan tangis ibunya; seringai puas Akio karena sebagian dendamnya terlaksana; penderitaan dan kenikmatan keji yang dirasakan Akio menjadi awal mula tenggelamnya dia dalam kekejaman. Hisao merasakan ini seiring ia tumbuh dewasa; tapi lupa bagaimana ia tahu itu. Apakah ia memimpikannya, atau ada yang menceritakannya? Ia ingat ibunya lebih jelas dari yang seharusnya— usianya baru beberapa hari saat ibunya meninggal—dan menyadari adanya hubungan dirinya dengan sang ibu. Seringkali ia merasakan kalau ibunya meng¬inginkan sesuatu darinya, tapi ia takut men¬dengarkan karena itu berarti ia membuka diri memasuki alam baka. Antara kemarahan si hantu dan rasa enggan dalam dirinya, kepala¬nya terasa seperti terbelah karena rasa sakit. Itu sebabnya dia mengetahui kemarahan ibunya dan sakit hati ayahnya, dan itu membuat ia benci sekaligus iba pada Akio. Hal-hal buruk yang terjadi di antara mereka berdua yang setengah menakutkan, setengah diharapkan, karena hanya saat itulah ada orang yang memeluknya atau kelihaian membutuhkan dirinya. Hisao tidak pernah menceritakannya sehingga tak seorang pun tahu satu bakat Tribe yang telah hilang selama beberapa generasi ternyata ada pada dirinya. Kemampuan mengarungi dua dunia, men¬jadi penghubung antara arwah dengan orang yang masih hidup. Anugerah semacam ini semestinya diasah dan pemiliknya akan ditakuti serta dihormati; tapi Hisao tak tahu cara mengatur bakatnya ini; apa yang dilihatnya di alam baka tampak berkabut dan sulit dimengerti: ia tidak mengetahui simbol dan bahasa untuk berkomunikasi dengan arwah. Ia hanya tahu kalau hantu itu adalah ibunya yang mati dibunuh.
  • 34. Meskipun Hisao suka membuat kerajinan tangan, dan menyukai hewan, namun ia merahasiakannya. Sekali dia terlihat meng¬elus seekor kucing, yang kemudian ia lihat hewan malang itu digorok ayahnya di hadapannya. Roh kucing itu juga sesekali seperti menjerat Hisao dari dunianya, dan lolongan yang memusingkan terdengar makin keras hingga ia tak percaya kalau orang lain tak mendengarnya. Ketika alam baka membuka jalan dan mengajaknya masuk, kepalanya luar biasa sakit, dan satu sisi matanya menjadi gelap. Satu-satunya cara meredakan rasa sakit dan suara-suara si kucing serta si hantu perempuan adalah membuat benda-benda dengan tangannya. Ia membangun kincir air dan orang-orangan dari bambu untuk menakuti rusa, seolah pengetahuan itu sudah ada dalam darahnya. Ia dapat membuat ukiran kayu berbentuk hewan yang begitu hidup hingga tampak seperti hewan yang disihir menjadi patung. Ia menyukai semua aspek penempaan: mem¬buat besi dan baja, pedang, pisau serta ber¬bagai peralatan. Halaman 459 dari 459 Keluarga Kikuta ahli membuat senjata, terutama sen-jata rahasia Tribe—pisau lempar, jarum, belati kecil dan sebagainya— tapi mereka tak tahu cara membuat senjata yang disebut senjata api. Senjata yang digunakan Otori begitu dirahasiakan cara buatnya hingga membuat orang iri. Keluarga Kikuta terpecah untuk memiliki senjata itu. Ada yang beranggapan senjata itu meng¬hilangkan semua kemampuan dan ke¬nikmatan dalam membunuh, kalau cara tradisional lebih bisa diandalkan; sementara yang lainnya beranggapan kalau
  • 35. ingin menyingkirkan Otori, mereka harus me¬nyeimbangkan kekuatan dengan memiliki senjata yang sama. Namun usaha mereka untuk mendapatkan senjata api selalu gagal. Otori membatasi penggunaan senjata ini hanya untuk sekelompok kecil orang: setiap pucuk senjata api yang ada di negara ini dihitung. Jika ada yang hilang, si pemilik harus membayar dengan nyawanya. Senjata ini pernah sekali digunakan orang barbar. Sejak itu semua orang barbar digeledah ketika datang, senjata-senjata mereka dirampas dan mereka hanya boleh berdagang di pelabuhan Hofu. Tapi berbagai laporan tentang pembunuhan yang memakan banyak korban jiwa terbukti sama efektifnya dengan senjata itu sendiri: semua musuh Otori, termasuk Kikuta, berusaha mendapatkan senjata itu dengan cara mencuri, berkhianat, atau mencari sendiri. Senjata-senjata milik Otori bentuknya panjang, berat serta tidak praktis: kurang prakris menurut cara pembunuhan yang dibanggakan Kikuta. Senjata-senjata itu tak bisa disembunyikan dan digunakan dengan cepat; bila terkena air maka senjata itu tak berguna. Hisao mendengar ayahnya dan seorang laki-laki yang lebih tua membahas benda ini, dan ia membayangkan senjata api yang kecil dan ringan, yang bisa di-sembunyikan di balik pakaian dan tak ber¬suara, senjata yang bahkan tak mampu dilawan Otori Takeo. Setiap tahun ada saja pemuda yang ingin menjadi pahlawan, atau orang tua yang ingin mati terhormat yang pergi hendak mem¬bunuh Otori Takeo untuk membalaskan kematian Kikuta Kotaro dan anggota
  • 36. Tribe lainnya. Mereka tak pernah kembali: kabar tentang tertangkapnya mereka datang beberapa bulan kemudian. Mereka disidang di depan umum yang disebut sebagai pengadilan Otori, dan dieksekusi. Ada kalanya Otori Takeo dilaporkan ter¬luka sehingga harapan mereka membumbung tinggi, tapi dia selalu sembuh, bahkan dari racun, seperti pulihnya dia dari belati beracun milik Kotaro. Mendengar desas¬desus kalau Otori tak bisa mati membuat kebencian serta kegeriran Akio semakin ber¬tambah. Akio mulai bersekutu dengan musuh Takeo lainnya, menyerangnya melalui istri atau anak- anaknya. Tapi cara ini juga terbukti gagal. Keluarga Muto yang sudah bersumpah setia pada Otori telah menggandeng keluarga Tribe lainnya: Imai, Kuroda dan Kudo. Sejak keluarga Tribe melakukan perkawinan campuran, banyak pengkhianat yang memiliki darah Kikuta, diantaranya adalah Muto Shizuka serta kedua putranya, Taku dan Zenko. Taku seperti ibu dan paman buyutnya, mempunyai banyak kemampuan, memimpin jaringan mata-mata dan melindungi Otori; sementara Zenko, yang kurang berbakat, bersekutu dengan Otori melalui pernikahan: mereka bersaudara ipar. Belakangan sepupu Akio, dua putra Gosaburo, diutus bersama saudari perempuan mereka ke Inuyama tempat keluarga Otori merayakan Tahun Baru. Mereka berbaur dalam kerumunan di biara dan mencoba menikam Lady Otori dan putri-putrinya. Apa yang terjadi setelah itu tidak jelas, lapi ternyata para perempuan yang menjadi sasaran berhasil mempertahan¬kan diri dengan kekejaman yang tak terduga: salah satu penyerang, putra sulung Gosaburo, terluka dan dipukuli sampai mati oleh kerumunan orang. Sedang yang lainnya berhasil ditangkap dan dibawa ke kastil Inuyama. Tak ada
  • 37. yang tahu apakah mereka masih hidup atau sudah mati. Kehilangan tiga anggota muda yang ada hubungan erat dengan sang Ketua merupa¬kan pukulan berat. Karena hingga musim semi tiba masih belum ada kabar tentang kedua orang yang ditawan, Kikuta menduga mereka sudah mati. Ritual pemakaman mulai diatur dalam kedukaan yang mendalam karena tak ada jenazah yang bisa dibakar dan tak ada abu jenazah. Suatu sore Hisao bekerja seorang diri di sepetak kecil sawah, jauh di kedalaman pegunungan. Selama malam-malam di musim dingin yang panjang, ia telah me¬mikirkan cara mengaliri sawah dengan me¬manfaatkan kincir air. Ia menghabiskan musim dingin membuat ember dan tali: embernya dibuat dari bambu yang paling ringan dan talinya diperkuat dengan batang tanaman rambat yang cukup kaku untuk bisa mengangkat ember kincir. Hisao tengah berkonsentrasi penuh pada pekerjaannya, tiba-tiba katak terdiam. Ia tengok kanan-kiri. Tak ada orang, tapi ia tahu ada orang yang menggunakan kemampuan menghilang Tribe. Halaman 460 dari 460 Mengira itu hanya salah satu anak yang datang membawa pesan, dia berseru, "Siapa di sana?" Tiba-tiba muncul seorang laki-laki dengan usia tak bisa diperkirakan dan berpenampilan biasa berdiri di hadapannya. Tangan Hisao segera bergerak ke arah pisaunya karena yakin ia belum mengenal orang itu. Sosok laki-laki itu bergoyang-goyang selagi meng¬hilang. Hisao merasakan jari-jari yang tak terlihat memiting pergelangan tangannya dan ototnya langsung terasa lumpuh saat telapak tangannya terbuka dan pisaunya terjatuh.
  • 38. "Aku takkan menyakitimu," ujar orang itu, dan menyebut namanya dengan cara yang membuat Hisao percaya padanya, dan dunia ibunya menyelubungi ambang batas dunianya; dirasakan kebahagiaan dan pendcritaan ibunya dan pertanda pertama dari sakit kepalanya serta kemampuan melihat separuh dari dua dunia yang ber¬beda. "Siapa kau?" bisiknya, segera menyadari kalau orang mi dikenal ibunya. "Kau bisa melihatku?" sahut laki-laki itu. "Tidak. Aku tak memiliki kemampuan menghilang, maupun mengenalinya." "Tapi tadi kau mendengarku mendekat, kan?" "Hanya dari katak. Aku mendengarkan mereka. Tapi aku tak bisa mendengar dari jauh. Aku tidak tahu orang yang bias melakukannya di kalangan Kikuta saat ini." Ia heran telah bersikap biasa dan bebas pada orang yang belum dikenalnya. Orang itu kembali menampakkan diri dalam jarak serentangan tangan dari wajah Hisao. Sorot matanya tajam dan kelihatan penuh selidik. "Kau tidak memiliki satu pun kemampuan Tribe?" tuturnya. Hisao mengangguk, kemudian mengalih¬kan pandangannya ke seberang lembah. "Kau bcrnama Kikuta Hisao, putra Akio?" "Ya, dan ibuku bemama Muto Yuki." Ekspresi wajah orang itu agak berubah, dan dirasakan reaksi penyesalan serta rasa iba ibunya. "Sudah kuduga. Kalau begitu, aku kakek¬mu: Muto Kenji." Hisao menyerap semua keterangan ini. Sakit kepalanya kian menjadi-jadi: Muto Kenji adalah pengkhianat, kebencian Kikuta pada orang ini hampir sama besarnya seperti kebencian pada Otori Takeo, namun kehadiran ibunya terasa membebani dirinya dan bisa dirasakan ibunya memanggil,
  • 39. "Ayah!" "Apa itu?" tanya Kenji. "Bukan apa apa. Kadang-kadang kepalaku sakit. Aku sudah biasa. Mengapa kau kemari? Kau akan dibunuh. Seharusnya aku mem¬bunuhmu, tapi kau bilang kalau kau kakek¬ku, lagipula aku tidak ahli membunuh." Pandangannya turun menatap ke konstruksi yang tengah dikerjakannya. "Aku lebih suka membuat benda-benda." Betapa anehnya, pikir orang tua itu. Dia tidak punya kemampuan apa pun, baik dari ayah maupun dan ibunya. Rasa kecewa dan lega menyapu dirinya. Mirip siapa dia? Tidak mirip Kikuta, Muto, maupun Otori. Dia pasti mirip ibunya Takeo, berkulit gelap dan berwajah lebar. Kenji menatap bocah di hadapannya dengan tatapan iba, tahu betapa kerasnya masa kanak- kanak di Tribe, apalagi pada mereka yang tak berbakat. Jelas sekali Hisao punya beberapa kemampuan: benda itu dibuat dengan kreatif dan dengan keahlian tinggi. Dan ada sesuatu yang lain pada dirinya, gerakan matanya yang cepat menun¬jukkan kalau dia bisa melihat hal lain. Apa yang bisa dilihatnya? Pemuda ini berbadan sehat, agak lebih pendek dari Kenji sendin tapi kuat, dengan kulit mulus tanpa cacat dan rambut tebal serta mengkilap, mirip rambut Takeo. "Mari kita temui Akio," ajak Kenji. "Ada yang aku sampaikan padanya." Ia tidak bersusah payah menyembunyikan sosoknya selagi mengikuti bocah itu menuruni jalan setapak dari atas gunung menuju desa. Sadar kalau akhirnya ia akan dikenali juga—siapa lagi yang bisa sampai sejauh ini, menghindari para penjaga di gerbang, bergerak tak terlihat dan tak terdengar
  • 40. melewati hutan?—dan juga Akio harus tahu kalau ia datang sebagai utusan Takeo. Halaman 461 dari 461 Perjalanan itu membuat napasnya terasa sesak, dan saat berhenti sebentar di tepi sawah yang penuh air, terasa ada darah di tenggorokannya. Tubuhnya terasa lebih panas dari yang semestinya. Langit berubah keemasan saat mentari mulai tenggelam di ufuk barat. Pematang sawah berwarna cerah dengan bunga liar, vicia, buttercup, dan bunga krisan, dan cahaya matahari jatuh di sela-sela hijaunya dedaunan. Suasana terasa dipenuhi musik musim semi, nyanyian burung, katak serta jangkrik. Bila hari ini memang ditakdirkan menjadihari terakhir hidupku, maka tak ada hari yang lebih indah daripada hari ini, pikir kenji dengan sedikit bersyukur, dan merasakan dengan lidahnya kapsul beracun yang terselip rapi di bekas rongga gigi gerahamnya yang sudah tanggal. Kenji belum tahu tempat istimewa ini sebelum Hisao lahir, enam belas tahun lalu— dan butuh waktu lima tahun untuk menemukannya. Sejak saat itu, sesekali ia mengunjungi tempat ini tanpa diketahui penghuninya, dan mendapatkan laporan tentang Hisao dari Taku, keponakan buyutnya. Tempat ini sama seperti kebanyakan desa Tribe: tersembunyi di dalam lembah seperti lipatan kecil dalam barisan pegunungan. Pada kunjungan yang pertama ia sempat terkejut melihat ada lebih dari dua ratus orang di desa itu. Tapi kemudian ia tahu kalau keluarga Kikuta mundur ke tempat ini sejak dikejar Takeo. Mereka membangun desa di utara ini sebagai markas, jauh dari jangkauan Takeo, walaupun tidak di luar jangkauan mata¬matanya.
  • 41. Hisao tidak berbicara pada siapa pun saat mereka berjalan di antara rumah kayu beratap rendah, dan meskipun beberapa anjing melompat-lompat penuh semangat ke arahnya, dia tak berhenti. Ketika sampai di bangunan yang paling besar, orang ber¬kumpul di belakang mereka; Kenji men¬dengar bisik-bisik dan tahu kalau ia telah dikenali. Rumah itu jauh lebih nyaman dan mewah ketimbang rumah-rumah di sekelilingnya, dengan beranda dari kayu runjung serta pilar kokoh dari kayu cedar. Seperti kuilnya, yang bisa dilihat dari kejauhan, atapnya terbuat dari rusuk atap yang tipis, dengan lekukan luwes yang sama indahnya seperti kediaman para ksatria. Seraya melepaskan sandal, Hisao naik ke beranda dan berseru ke dalam rumah. "Ayah! Kita kedatangan tamu!" Selang beberapa saat, seorang perempuan muda muncul, membawa air untuk membasuh kaki sang tamu. Kerumunan orang di belakang Kenji terdiam. Saat melangkah masuk ke dalam rumah, ia seperti mendengar tarikan napas tiba-tiba, seolah semua orang yang berkumpul di luar menarik napas di saat bersamaan. Dadanya terasa nyeri seperti ditusuk-tusuk dan rasanya tak tahan ingin batuk. Betapa lemah tubuh¬nya saat ini! Teringat dengan rasa penyesalan kalau semua kemampuan yang ia miliki kini hanya menjadi bayang-bayang. Ia ingin sekali meninggalkan raganya lalu pindah ke alam baka, kehidupan yang lain, kehidupan apa pun yang ada di sana. Andai ia bisa menyelamatkan bocah itu... tapi siapa yang bisa menyelamatkan orang dari takdir? Semua pikiran ini melintas di benaknya saat duduk di lantai berlapis karpet sambil menunggu Akio. Ruangan itu remang¬remang: ia nyaris tidak bisa melihat gulungan yang tergantung di dinding
  • 42. sebelah kanan¬nya. Perempuan muda yang sama datang membawa semangkuk teh. Hisao sudah pergi, namun terdengar olehnya anak itu sedang bicara dengan pelan di belakang rumah. Aroma minyak wijen merebak dari arah dapur dan didengarnya desis makanan di penggorengan. Lalu terdengar langkah kaki; pintu banian dalam bergeser terbuka dan Kikuta Akio melangkah masuk. Dia diikuti dua laki-laki yang lebih tua, yang satu bertubuh gempal dengan raut wajah halus yang dikenal Kenji sebagai Gosaburo, pedagang dari Matsue, adik Kotaro, paman Akio. Sedang yang satunya lagi pasti Imai Kazuo, yang menurut kabar telah menentang keluarga Imai untuk tinggal bersama Kikuta, keluarga dari pihak istrinya. Semua orang ini, setahunya, sudah bertahun-tahun mengincar dirinya. Mereka berusaha menyembunyikan keter¬kejutan dengan kemunculannya. Mereka duduk di ujung lain ruangan seraya meng¬amati. Tak seorang pun membungkuk normal maupun memberi salam. Kenji pun diam saja. Akhirnya Akio angkat bicara, "Letakkan senjatamu." "Aku tak membawa senjata," sahut Kenji. "Aku datang dengan membawa misi yang damai." Gosaburo tertawa sinis tidak percaya. Sedang dua laki-laki lainnya tersenyum, tapi tanpa rasa riang. "Benar, seperti serigala di musim dingin," ujar Akio. "Kazuo yang akan menggeledah¬mu." Kazuo mendekati Kenji dengan hati-hati dan agak malu-malu. "Maaf, Ketua,"gumamnya. Kenji membiarkan orang itu meraba pakaiannya dengan jari-jarinya yang panjang dan cekatan. "Dia berkata jujur. Dia tidak membawa senjata." Halaman 462 dari 462
  • 43. "Mengapa kau kemari?" sera Akio. "Rupa¬nya kau sudah bosan hidup!" Kenji menatap tajam. Selama bertahun¬tahun ia bermimpi berhadapan dengan orang yang telah menikahi dan terlibat dalam kematian putrinya. Tampak ada kerutan¬kerutan di wajah Akio, rambutnya pun mulai memutih. Tapi badannya tampak sekuat baja; temyata usia tak mampu melunakkan maupun melembutkan sikapnya. "Aku datang membawa pesan dari Lord Otori," tutur Kenji tenang. "Kami tidak memanggilnya Lord Otori. Dia dikenal dengan nama Otori si Anjing. Kami tak ingin mendengar pesan apa pun darinya!" "Aku khawatir salah satu putramu sudah mati," Kenji bicara pada Gosaburo. "Putra sulungmu, Kunio. Tapi yang lainnya masih hidup, termasuk putrimu." Gosaburo menelan ludah. "Biarkan dia bicara," katanya pada Akio."Kita tak mau beranding dengan Si Anjing," sahut Akio. "Dengan mengutus pembawa pesan itu telah menunjukkan kelemahan," kata Gosaburo dengan nada memohon. "Dia sedang memohon pada kita. Setidaknya kita dengar dulu apa yang akan Muto sampai¬kan." Gosaburo mencondongkan badan lalu bertanya pada Kenji. "Putriku? Dia tidak terluka?" "Tidak, dia baik-baik saja." Tapi putriku sudah mati enam belas tahun lalu. "Dia tidak disiksa?" "Kau harus tahu kalau penyiksaan kini dilarang. Anak-anakmu akan diadili dengan tuduhan percobaan pembunuhan, dan bisa dihukum mati, tapi mereka tidak disiksa. Kau tentu pernah mendengar bahwa Lord Otori memiliki sifat welas asih." "Satu lagi kebohongan dari Si Anjing," ejek Akio. "Tinggalkan kami, paman. Kesedihan membuatmu
  • 44. lemah. Aku akan bicara dengan Muto berdua saja." "Anak-anak itu akan tetap hidup jika kau setuju untuk berdamai," sahut Kenji cepat, sebelum Gosaburo berdiri. "Akio!" Gosaburo memohon, air matamulai berlinang. "Tinggalkan kami!" Akio juga berdiri, gusar, seraya mendorong tubuh orang tua itu ke pintu, menyuruhnya agar cepat keluar dari ruangan itu. "Sejujurnya," katanya saat kembali duduk. "Tua bangka bodoh itu tidak berguna lagi! Dia sudah mis kin, dan yang kini dia lakukan hanyalah meratap dan menyesali nasibnya. Biarkan Otori membunuh anak-anak itu, dan aku akan menghabisi ayahnya: kita akan menyingkirkan orang lemah." "Akio," tutur Kenji. "Kita bicara sebagai sesama Ketua, sesuai cara Tribe menyelesai¬kan masalah. Dengar dulu apa yang akan kusampaikan. Setelah itu baru kau putuskan apa yang terbaik bagi Kikuta dan Tribe, bukan berdasarkan kebencian dan amarah pribadimu, karena ini akan menghancurkan mereka dan dirimu. Mari kita ingat lagi sejarah Tribe, bagaimana kita bisa bertahan sejak dulu kala. Kita selalu bekerjasama dengan para bangsawan yang hebat: jangan¬lah kita menentang Otori. Apa yang dilaku¬kannya di Tiga Negara baik adanya: disetujui masyarakat, baik petani ataupun ksatria. Masyarakat yang dibentuknya berjalan lancar; rakyat bahagia; tak ada yang mati kelaparan dan tak ada penyiksaan. Hentikan permusuhanmu. Sebagai imbalannya, keluar¬ga Kikuta akan dimaafkan: Tribe akan ber¬satu lagi. Menguntungkan bagi kita semua." Nada suaranya seakan mengandung sihir yang membuat ruangan senyap dan semua orang yang berada di luar bungkam. Kenji tahu kalau Hisao sudah kembali dan sedang berlutut tepat di balik
  • 45. pintu. Saat ia berhenti bicara, dikumpulkan tenaga lalu membiarkan gelombang tenaganya mengalir memenuhi ruangan itu. Dirasakannya ketenangan menyapu semua orang, mereka duduk dengan mata setengah terpejam. "Dasar penyihir tua bangka." Akio me¬mecahkan kesunyian dengan teriakan penuh amarah. "Tua bangka licik. Kau tak bisa menjebakku dengan kebohonganmu. Tadi kau mengatakan Si Anjing melakukan hal baik! Rakyat gembira! Apa untungnya semua ini bagi Tribe? Kau sudah lemah seperti Gosaburo. Ada apa dengan kalian, orang¬orang tua? Apakah Tribe membusuk dari dalam? Andai Kotaro masih hidup! Tapi Si Anjing membunuhnya—dia membunuh pemimpin keluarganya sendiri, pada siapa dia harus menyerahkan hidupnya atas kejahatan yang dia lakukan. Kau saksinya: kau men¬dengar sumpah si Anjing saat di Inuyama. Dia melanggar sumpah itu jadi dia sudah Halaman 463 dari 463 sepantasnya mati. Tapi dia malah mem¬bunuh Kotaro, Ketua dari keluarganya— dengan bantuannmu. Dia tidak bisa dimaaf¬kan. Dia harus mati!" "Aku takkan berdebat tentang mana tindakannya yang salah dan yang benar," sahut Kenji. "Dia melakukan apa yang harus dilakukan saat itu, dan yang pasti, hidupnya dijalani lebih baik sebagai Otori ketimbang sebagai Kikuta. Tapi semua itu telah berlalu. Kumohon kau hentikan perlawananmu agar Kikuta bisa kembali ke Tiga Negara— Gosaburo bisa menjalankan lagi bisnisnya!— dan menikmati hidup selayaknya. Jika tetap tak mau berdamai, maka menyerahlah: kau takkan berhasil membunuhnya." "Semua orang pasti mati," sahut Akio.
  • 46. "Tapi dia takkan mati di tanganmu," ujar Kenji. "Betapa pun kau menginginkannya. Aku bisa meyakinkanmu akan hal itu." Akio menatapnya dengan memicingkan mata. "Pengkhianatanmu pada Tribe harus dihukum." "Aku telah melindungi keluargaku dan Tribe. Kau yang menghancurkannya. Aku kemari sebagai utusan, dan aku akan kembali dengan cara yang sama. Akan kusampaikan pesanmu yang patut disesalkan pada Lord Otori." Kenji begitu berwibawa sehingga Akio membiarkannya berdiri lalu berjalan keluar ruangan. Sewaktu lewat Hisao masih berlutut di luar, Kenji berkata, seraya membalikkan badan, "Ini putramu? Kurasa dia tidak memiliki kemampuan Tribe. Ijinkan dia menemaniku sampai ke gerbang. Mari, Hisao." Kenji bicara ke belakang dalam bayang-bayang. "Kau tahu di mana bisa menemukan kami bila kau berubah pikiran." Baiklah, pikimya saat melangkah keluar dari beranda dan kerumunan memberi jalan padanya, ternyata aku masih hidup lebih lama. Begitu sampai di tempat terbuka dan di luar jangkauan tatapan Akio, ia bisa saja menghilang lalu melenyapkan diri ke pedesaan. Tapi adakah peluang ia membawa bocah itu? Penolakan Akio tidak mengejutkannya. Tapi ia senang Gosaburo dan yang lainnya juga mendengar. Selain rumah utama, desa itu kelihatan menyedihkan. Pasti sulit men¬jalani hidup di sini, apalagi di musim dingin. Kebanyakan penghuninya pasti mendamba¬kan, seperti halnya Gosaburo, hidup nyaman di Matsue dan Inuyama. Kepatuhan mereka pada Akio, dirasakan oleh Kenji, lebih karena ketakutan ketimbang rasa hormat; ada kemungkinan anggota lain Kikuta me¬nentang keputusannya,
  • 47. apalagi jika itu berarti sandera akan dibiarkan hidup. Saat Hisao muncul dari belakang dan berjalan di sampingnya, Kenji menyadari ada kehadiran lain yang mengambil tempat setengah tubuh dan pikiran bocah itu. Dahi¬nya berkerut, dan sesekali menaikkan tangan-nya memegangi pelipis kirinya dengan ujung jari. "Kepalamu sakit?" "Mmm." Dia mengangguk tanpa bicara. Mereka sudah separuh jalan. Bila berhasil sampai di tepi sawah, lalu berlari di pematang ke hutan bambu.... "Hisao," bisik Kenji. "Aku ingin kau ikut denganku ke Inuyama. Temui aku di tempat tadi kita bertemu. Kau mau?" "Aku tak bisa pergi dari sini! Aku tak bisa meninggalkan ayahku!" Lalu ia berseru kesakitan, lalu terjatuh. Hanya tinggal lima puluh langkah lagi. Kenji tidak berani berbalik, tapi ia yakin tak ada yang mengikutinya. la terus berjalan dengan tenang, tanpa tergesa-gesa, tapi Hisao berjalan terseok-seok di belakangnya. Saat berbalik untuk memberi Hisao semangat, Kenji melihat kerumunan orang masih memerhatikan. Tiba-tiba ada yang menyeruak dari sela-sela mereka. Akio, diikuti oleh Kazuo: keduanya sudah menarik belati. "Hisao, temui aku," katanya, lalu meng¬hilang, tapi ketika sosok tubuhnya menghilang, Hisao menangkap lengannya dan berteriak, "Bawa aku! Mereka takkan membiarkanku pergi! Tapi dia ingin ikut denganmu!" Mungkin karena Kenji sedang dalam keadaan menghilang dan berada di antara dua dunia, mungkin
  • 48. juga karena perasaan Hisao yang meledak-ledak, tapi saat itu Kenji melihat apa yang Hisao lihat.... Halaman 464 dari 464 Putrinya, Yuki. Meninggal enam belas tahun lalu.... Lalu menyadari dengan rasa takjub kemampuan sebenarnya bocah itu. Seorang penguasa alam baka. Kenji belum pernah bertemu orang dengan kemampuan ini: dia hanya tahu dari hikayat- hikayat Tribe. Hisao sendiri tidak mengetahuinya, begitu juga Akio. Akio tidak boleh tahu. Tak heran kalau bocah itu sering sakit kepala. Ia ingin tenawa, sekaligus menangis. Kenji masih merasakan cengkeraman Hisao di tangannya saat ia menatap wajah arwah putrinya, melihat putrinya saat masih kanak-kanak, remaja. Kian lama wajah putrinya kian melemah dan samarsamar. Dilihat bibir putrinya bergerak-gerak dan berkata, "Ayah," walaupun Yuki tidak pernah lagi memanggilnya dengan sebutan itu sejak berusia sepuluh tahun. Saat ini Yuki membuatnya terpesona, seperti yang selalu dilakukannya. "Yuki," katanya tak berdaya, dan mem¬biarkan dirinya terlihat lagi. *** Terbukti mudah bagi Akio dan Kazuo untuk mendekati Keji. Tak satu pun kemampuan menghilangkan diri maupun menggunakan sosok kedua yang dapat menyelamatkan dirinya dari mereka berdua. "Dia tahu bagaimana menangkap Otori," seru Akio. "Kita akan tahu itu darinya, kemudian Hisao harus membunuhnya." Tapi Kenji sudah menggigit racun lalu mencerna dalam perutnya: ramuan yang pernah dipaksakan
  • 49. pada putrinya untuk ditelan. Kenji mati dengan cara yang sama, penuh penderitaan dan penyesalan karena misinya gagal dan juga karena meninggalkan cucunya. Di saat-saat terakhir dia berdoa agar bisa tinggal bersama arwah putrinya, agar Hisao memanfaatkan kekuatan dirinya untuk menjaganya: Tak terbayangkan betapa hebat¬nya diriku sebagai hantu, pikirnya. Lalu ia tertawa: hidupnya yang penuh penderitaan dan kebahagiaan telah berakhir. Tugasnya di dunia sudah selesai, dan dia mati atas keinginannya sendiri. Rohnya bebas bergerak memasuki siklus abadi dari kelahiran, kematian dan kelahiran kembali.* Musim dingin di Inuyama terasa panjang dan berat, walau ada kesenangan tersendiri: selama itu Kaede menghabiskan waktu dengan membacakan puisi dan dongeng untuk ketiga putrinya. Takeo menghabiskan waktu dengan melihat-lihat catatan adminis¬trasi bersama Sonoda. Saat ingin bersantai, ia mempelajari lukisan bersama seorang seniman beraliran tinta hitam, dan minum bersama Kenji di malam harinya: Ketiga putrinya disibukkan dengan belajar dan berlatih, ada juga rekreasi saat Setsu bun, perayaan yang ramai dan semarak saat setan diusir keluar dari rumah dan menyambut nasib baik. Juga ada perayaan usia akil balik Shigeko karena pada Tahun Baru dia berusia lima belas tahun. Perayaannya tidak mewah karena pada bulan kesepuluh nanti dia akan diserahkan wilayah Maruyama. Wilayah itu diwariskan melalui garis perempuan dan telah diwariskan kepada ibunya, Kaede, setelah kematian Maruyama Naomi. Kelak Shigeko akan menjadi penguasa Tiga Negara, dan kedua orangtuanya sepakat bahwa dia harus memimpin wilayah Maruyama tahun ini karena saat ini dia telah dewasa. Di sana dia harus
  • 50. membuktikan diri sebagai penguasa dan belajar secara langsung tentang prinsip-prinsip pemerintahan. Upacara di Maruyama nanti akan dilakukan dengan khidmat sekaligus megah, menguat¬kan tradisi dan, Takeo berharap, memantap¬kan keputusan baru: perempuan dapat me¬warisi wilayah atau menjadi pemimpin desa, sederajat dengan laki-laki. Takeo teringat, saat keluarganya ter¬lindungi dari kedinginan dan rasa bosan selama musim dingin yang panjang, dua pemuda yang tidak terlalu berbeda jauh usianya dengan putrinya, ditahan di kastil Inuyama. Meskipun diperlakukan dengan baik, namun tetap saja mereka adalah tawanan. Halaman 465 dari 465 Setelah salju mencair, dan Kenji berangkat melaksanakan misinya, Kaede serta putri¬putrinya pergi ke Hagi bersama Shizuka. Takeo melihat kegelisahan istrinya pada si kembar semakin bertambah. Ia memikirkan kemungkinan Shizuka mengajak salah satu dari mereka, mungkin Maya, ke desa ter¬sembunyi Muto, Kagemura selama beberapa minggu. Takeo pun menunda waktu untuk meninggalkan Inuyama, berharap mendapat kabar dari Kenji di bulan ini. Namun ketika hingga bulan keempat muncul dan masih belum ada kabar, dengan enggan ia pergi ke Hofu. Ia memberi instruksi agar Taku mengirimkan semua pesan kepadanya di sana. Selama berkuasa, ia sering melakukan per¬jalanan, membagi hari-hari dalam setahun dari satu kota ke kota lainnya di Tiga Negara. Kadang ia melakukan perjalanan dengan semua kemegahan yang diharapkan dari seorang penguasa besar, kadang ia menyamar untuk dapat berbaur dengan rakyat biasa dan mengetahui pendapat, kegembiraan serta kebahagiaan mereka. Takeo tidak akan melupakan kata-kata Otori Shigeru kepadanya: Karena Kaisar yang begitu lemah sehingga
  • 51. bangsawan seperti Iida bisa merajalela. Sebenarnya kaisar berkuasa atas Delapan Pulau, namun dalam pelaksanaannya, berbagai daerah mengurus masalah mereka sendiri: Tiga Negara dilanda konflik akibat para bangsawan berebut wilayah dan kekuasaan. Kini ia dan Kaede telah membawa kedamaian dan memper¬tahankannya dengan penuh perhatian pada seluruh wilayah dan berbagai aspek ke¬hidupan rakyatnya. Hasil dari semua itu terlihat saat ia ber¬kuda ke wilayah Barat. Didampingi para pengawal, dua pengawal terpercaya dari Tribe— saudara sepupu Kuroda: Junpei dan Shinsaku, yang dikenal sebagai Jun dan Shin—serta jurutulisnya. Selama perjalanan ia memerhatikan tanda-tanda negeri yang damai: anak-anak yang sehat, desa yang makmur, sedikit pengemis serta tidak ada bandit. Tujuannya untuk membuat negara ini sangat aman hingga gadis belia pun bisa memegang kekuasaan, dan ketika tiba di Hofu, ia bangga dan puas bahwa Tiga Negara telah sesuai dengan tujuannya itu. Ia tidak menduga apa yang menantinya di kota pelabuhan itu, ataupun curiga kalau di sana nanti kepercayaan dirinya akan goyah dan kekuasaannya terancam. Tampaknya begitu ia tiba di kota mana pun di Tiga Negara, utusan bermunculan di gerbang kastil atau kediaman ia tinggal: ingin mengadakan pertemuan, meminta bantuan, membutuhkan keputusan yang hanya bisa diputuskan olehnya. Beberapa dari masalah ini sebenarnya dapat disampaikan pada petugas setempat, tapi terkadang ada keluhan atas para petugas itu sehingga hakim-hakim yang adil harus didatangkan. Musim semi ini, di Hofu, ada tiga mau empat kasus semacam ini, lebih dari yang
  • 52. Takeo harap¬kan. Hal ini membuatnya mempertanyakan keadilan dari administrasi setempat. Bahkan dua petani mengeluh kalau putra mereka dipaksa menjadi prajurit, dan seorang pedagang memberi informasi bahwa para prajurit menyita sejumlah besar batu bara, kayu, belerang dan nitrat. Zenko tengah menghimpun kekuatan dan senjata, pikirnya. Aku harus bicara padanya. Takeo mengatur untuk mengirim kurir ke Kumamoto. Namun, keesokan harinya Arai Zenko— yang telah diberi bekas wilayah ayahnya di bagian Barat dan juga Hofu— datang dari Kumamoto dengan alasan hendak menyambut Lord Otori. Istrinya, Shirakawa Hana, adik bungsu Kaede, ikut bersamanya. Hana sangat mirip dengan kakak sulungnya, bahkan bila diperhatikan lebih lama lagi kelihatan lebih cantik di¬bandingkan Kaede saat masih muda. Ia tidak suka maupun percaya pada Hana. Sepanjang tahun yang sulit setelah kelahiran si kembar, saat empat belas tahun, Hana selalu mencari kesempatan untuk menggoda dirinya agar menjadikannya istri kedua atau selir. Hana menjadi lebih dari sekadar godaan yang bisa diakui Takeo, dengan paras yang sama persis seperti Kaede muda, sebelum kecantikannya tercoreng. Bahkan Hana pernah menawarkan diri ketika kesehatan Kaede memburuk. Penolakan mantap Takeo untuk menganggap serius tawarannya telah melukai dan mem-permalukan Hana: keinginan Takeo untuk menikahkannya dengan Zenko justru mem¬buat Hana kian gusar. Tapi Takeo memaksa: mereka menikah ketika Zenko berusia delapan belas tahun dan Hana enam belas tahun. Zenko sangat senang: persekutuan itu merupakan kehormatan besar baginya; Hana bukan hanya cantik, tapi juga segera mem¬berinya tiga putra,
  • 53. semuanya sehat. Rasa tergila-gilanya pada Takeo segera digantikan rasa dendam padanya dan iri pada kakaknya. Dia pun bertekad untuk mengambil alih kedudukan mereka. Takeo tahu niat ini karena adik iparnya lupa kalau ia memiliki pendengaran yang sangat peka. Pendengarannya memang tidak setajam saat masih tujuh belas tahun, tapi masih cukup baik untuk menguping per-cakapan rahasia, menyadari segala sesuatu yang ada di sekelilingnya, di mana posisi tiap orang di kastil, kegiatan mereka yang ada di pos jaga dan istal, siapa mengunjungi siapa di malam hari dan untuk tujuan apa. Ia juga dapat membaca niat orang itu dari cara ber¬diri hingga gerakan tubuh. Halaman 466 dari 466 Saat ini ia mengamati Hana yang sedang membungkuk di hadapannya, dengan rambut menjuntai ke lantai, sedikit tersibak hingga menampakkan tengkuknya yang putih sempurna. Hana bergerak dengan luwes, terlepas dari kenyataan bahwa dia adalah ibu dari tiga orang anak: orang akan mengira usianya tak lebih dari delapan belas tahun, tapi sebenarnya dia seumur dengan adik Zenko, Taku: dua puluh enam tahun. Suaminya, di usia dua puluh delapan tahun, tampak sangat mirip dengan ayahnya bertubuh besar, gagah perkasa, bertenaga besar, ahli menggunakan panah dan pedang. Pada usia dua belas tahun dia menyaksikan ayahnya mati ditembak dengan senjata api, orang ketiga di Tiga Negara yang mati dengan cara begitu. Dua orang lainnya adalah para bandit. Ia menyadari bila semua ini dijadikan satu
  • 54. maka bisa menimbulkan sakit hati yang mendalam pada pemuda itu, dan bisa berubah menjadi kebencian. Kedua orang ini tidak menunjukkan tanda-tanda kedengkian. Sambutan dan pertanyaan mereka mengenai kesehatan diri juga keluarganya terasa berlebihan. Ia menjawab dengan sikap yang sama sopannya, menutupi kenyataan kalau ia merasa lebih kesakitan ketimbang biasanya karena udara yang lembap. "Kalian tidak perlu repot-repot datang," katanya. "Aku hanya akan berada di Hofu selama satu atau dua hari." "Oh, tapi Lord Takeo harus tinggal lebih lama." Hana angkat bicara, seperti yang sering dia lakukan sebelum suaminya sempat bicara. "Anda harus tinggal di sini sampai musim hujan selesai. Anda tidak bisa bepergian dalam keadaan cuaca seperti ini." "Aku pernah melakukan perjalanan dalam cuaca yang lebih buruk," sahut Takeo sambil tersenyum. "Kami senang bisa menghabiskan waktu bersama kakak ipar," kata Zenko. "Baiklah, ada satu atau dua hal yang perlu kita bicarakan," sahut Takeo, memutuskan untuk menanggapi basa-basi ini. "Tidak ada kebutuhan, pastinya, untuk meningkatkan jumlah pasukan, dan aku ingin tahu lebih banyak tentang kekuatan apa yang sedang kau himpun." Keterusterangannya yang keluar tepat setelah sopan-santun tadi, mengejutkan mereka. Takeo tersenyum lagi. Mereka pasti tahu, tak banyak hal yang bisa luput dari perhatiannya di seluruh Tiga Negara. "Kebutuhan senjata selalu ada," tutur Zenko. "Tombak, pedang, panah dan sebagainya."
  • 55. "Berapa banyak orang yang kau kumpul¬kan? Paling banyak lima ribu orang. Catatan kami menunjukkan mereka semua diper¬senjatai. Bila senjata mereka hilang atau rusak, maka mereka harus menggantinya dengan biaya sendiri. Keuangan wilayah bisa dijalankan dengan baik." "Dari Kumamoto dan distrik selatan, ya, benar lima ribu orang. Tapi ada banyak orang yang tidak terlatih dengan usia cukup untuk bertempur di wilayah Seishuu lainnya. Tampaknya ini kesempatan emas untuk memberi mereka pelatihan dan senjata, bahkan jika mereka kembali ke sawahnya untuk panen." "Klan Seishuu kini tunduk pada Maruyama," sahut Takeo dengan nada ringan. "Bagaimana pendapat Sugita Hiroshi tentang rencanamu?" Hiroshi dan Zenko tidak menyukai satu sama lain. Takeo tahu Hiroshi memendam hasrat untuk menikahi Hana, dan kecewa ketika perempuan idamannya itu menikah dengan Arai Zenko, walaupun Hiroshi tidak pernah mengatakannya. Kedua pemuda itu tidak saling menyukai sejak pertama kali mereka bertemu bertahun-tahun silam semasa perang saudara. Hiroshi dan Taku, adik Zenko, adalah teman dekat, jauh lebih dekat ketimbang. Kedua kakak beradik yang semakin dingin. "Aku belum sempat bicara dengan Sugita," aku Zenko. "Baiklah, kelak kita bicarakan masalah ini dengannya. Nanti kita semua akan bertemu di Maruyama pada bulan kesepuluh dan meng¬kaji ulang kebutuhan pasukan di wilayah Barat." "Kita menghadapi ancaman dari kaum barbar," tutur Zenko. "Wilayah Barat terbuka lebar bagi mereka: Klan Snshuu belum pernah menghadapi serangan dari laut. Kami tidak siap."
  • 56. Halaman 467 dari 467 "Tujuan orang-orang asing itu sebenarnya hanyalah berdagang," sahut Takeo. "Mereka berada jauh dari kampung halaman mereka, kapal-kapal mereka kecil. Mereka mestinya jera dengan serangan di Mijima; maka sekarang mereka harus berurusan dengan kita melalui diplomasi. Pertahanan terbaik kita melawan mereka adalah berdagang dengan damai." "Tapi mereka selalu membual tentang pasukan hebat raja mereka," timpal Hana. "Seribu orang bersenjata api. Lima puluh ribu kuda. Satu ekor kuda mereka lebih besar dibandingkan dua ekor kuda kita, kata mereka. Dan pasukan pejalan kaki mereka menyandang senjata api." "Semua ini, seperti yang kau katakan, hanyalah bualan," Takeo mengamati. "Aku berani katakan kalau Terada Fumio mem¬buat pernyataan serupa tentang keunggulan kita di kepulauan wilayah Barat dan pelabuhan di Tenjiku dan Shin." Dilihatnya ekspresi wajah Zenko berkerut saat nama Fumio disebut. Fumio yang menembak ayah Zenko saat gempa mengguncang dan meng¬hancurkan pasukan Arai. Takeo menghela napas panjang, ingin tahu apakah mungkin menghapuskan keinginan balas dendam Zenko. Zenko berkata, "Di sana kaum barbar juga menggunakan perdagangan sebagai alasan untuk menjejakkan kaki. Lalu mereka melemahkan dari dalam dengan agama mereka, dan serangan dari luar. Mereka akan mengubah kita semua menjadi budak mereka." Zenko mungkin benar, pikir Takeo. Orang¬orang asing itu sebagian besar terkurung di Hofu, dan Zenko bertemu dengan lebih banyak orang-orang itu ketimbang ksatria¬nya sendiri. Kendati menyebut dengan kata kaum barbar, Zenko tampak terkesan dengan senjata dan kapal mereka.
  • 57. Seandainya mereka bergabung di wilayah Barat... "Kau tahu kalau aku menghormati pendapatmu dalam masalah ini," sahutnya. "Akan kita tingkatkan pengawasan terhadap orang-orang asing itu. Apabila nanti diperlu¬kan lebih banyak pasukan, akan kuberitahu¬kan kepadamu. Dan nitrat hanya boleh dibeli langsung oleh klan." Takeo memerhatikan selagi Zenko mem¬bungkuk dengan enggan, segaris rona warna di lehernya menandakan kekesalannya atas peringatan keras tadi. Takeo teringat saat menempelkan pisau di leher Zenko. Kalau saja saat itu ia menggunakan pisau dengan baik, ia bisa terhindar dari banyak masalah. Namun kala itu Zenko hanyalah bocah kecil; ia belum pernah membunuh anak-anak dan berdoa semoga tidak akan pernah. Zenko adalah bagian dari takdirku, pikirnya. Aku harus hadapi dia dengan hati-hati. Apa lagi yang bisa kulakukan untuk menjinakkan dirinya? Hana berkata dengan suara selembut madu. "Kami takkan melakukan apa pun tanpa berkonsultasi dengan Lord Otori. Sesungguhnya kami hanya menaruh per¬hatian pada Anda sekeluarga serta kemak¬muran Tiga Negara. Anda sehat-sehat saja, kurasa. Bagaimana dengan kakak sulungku, juga ketiga putri Anda yang cantik-cantik?" "Terima kasih: mereka semua sehat-sehat saja." "Satu kesedihan yang mendalam bagiku karena tidak punya anak perempuan," lanjut Hana, tatapan matanya lenang, serius dan agak malu-malu. "Seperti yang Lord Otori ketahui, kami hanya punya anak laki-laki." Mau ke mana arah pembicaraannya? Takeo penasaran.
  • 58. Zenko yang kurang memiliki kehalusan dalam berbicara dibandingkan istrinya lalu bicara dengan nada datar. "Lord Otori pasti sangat ingin memiliki putra." Ah! pikir Takeo, lalu berkata, "Karena sepertiga negara kiia sudah diwariskan melalui garis keturunan perempuan, hal itu tak menjadi masalah. Putri sulung kami pada akhirnya akan menjadi penguasa Tiga Negara." "Tapi Anda harus tahu kebahagiaan memiliki anak laki-laki," seru Hana. "Ijinkan kami memberikan salah satu putra kami." "Kami ingin Anda mengangkat salah satu putra kami," ujar Zenko, tanpa basa-basi. "Sungguh itu suatu kehormatan besar serta membawa kebahagiaan tak terbilang bagi kami," gumam Hana. Halaman 468 dari 468 "Kalian sangat murah hati dan penuh pengertian," sahut Takeo. Kebenarannya adalah: ia tak ingin anak laki-laki. Ia lega Kaede tidak melahirkan lagi dan berharap istrinya tidak hamil lagi. Ramalan bahwa ia akan mati di tangan putranya sendiri tidaklah menakutkan, namun menorehkan kesedihan mendalam pada dirinya. Saat itu Takeo berdoa, seperti yang sering dilakukannya, kalau kematiannya seperti kematian Shigeru, bukan seperti pemimpin Otori yang lain, Masahiro, yang mati digorok oleh anak haramnya. Ia juga berdoa dibiarkan hidup hingga tugasnya selesai dan putrinya telah cukup dewasa untuk memerintah negeri ini.
  • 59. Karena tak ingin menghina mereka dengan langsung menolak tawaran itu. Sesungguh¬nya amat pantas mengangkat keponakan istrinya: bahkan mungkin kelak ia bisa menjodohkan anak itu dengan salah satu putrinya. "Mohon kami diberi kehormatan dengan menerima dua putra tertua kami," tutur Hana. Ketika Takeo mengangguk setuju, Hana bangkit dan berjalan ke pintu dengan luwes, sangat mirip dengan Kaede. Lalu masuk kembali bersama kedua anaknya: usia mereka delapan dan enam tahun, mengena- kan jubah resmi, diam terpaku dengan khidmat dalam pertemuan itu. Rambut mereka ditata dengan bagian rambut yang panjang di bagian depan. "Yang sulung bernama Sunaomi, sedang adiknya, Chikara," tutur Hana selagi kedua bocah itu membungkuk sampai ke lantai di hadapan paman mereka. "Ya, aku ingat," sahut Takeo. Sudah tiga tahun ia belum bertemu kedua bocah ini, dan belum pernah bertemu putra bungsu Hana yang lahir tahun lalu. Kedua anak itu tampan: yang sulung mirip dengan Shira¬kawa bersaudara, dengan tulang punggung yang panjang serta struktur tulang yang ramping. Sedangkan adiknya lebih bulat dan kekar, lebih mirip ayahnya. Takeo ingin tahu apakah salah satu dari mereka mewarisi kemampuan Tribe dari neneknya, Shizuka. Nanti akan ditanyakannya pada Taku atau Shizuka. Akan menyenangkan, renungnya, bagi Shizuka untuk mengasuh cucunya. "Duduk tegak, anak-anak," kata Takeo. "Biarkan paman melihat wajah kalian." Takeo tertarik pada si sulung yang amat mirip Kaede. Usianya hanya tujuh tahun lebih muda dari
  • 60. Shigeko, dan lima tahun lebih muda dari Maya dan Miki: perbedaan ini bukanlah masalah dalam perkawinan. Diajukannya pertanyaan tentang pelajaran, kemajuan berpedang dan memanah, dan senang dengan jawaban mereka yang cerdas serta jelas. Apa pun ambisi tersembunyi dan motif terselubung dari orangtua mereka, kedua bocah ini telah dididik dengan baik. "Kalian sangat murah hati," ujar Takeo lagi. "Aku akan membicarakannya dengan istriku." "Anak-anak akan bergabung bersama kita saat makan malam," ujar Hana. "Anda bisa lebih mengenal mereka nanti. Tentu saja, Sunaomi sudah menjadi kesayangan kakak sulungku." Kini Takeo ingat kalau ia pernah men¬dengar Kaede memuji Sunaomi karena kecerdasannya. Ia tahu istrinya iri pada Hana dan menyesal karena tidak punya anak laki¬laki. Mengangkat keponakannya mungkin bisa menjadi kompensasi, tapi jika Sunaomi menjadi putranya... Disingkirkannya pikiran itu jauh-jauh. Ia harus memutuskan yang terbaik saat ini: jangan sampai ia terpengaruh oleh ramalan yang mungkin saja tidak akan terjadi. Ketika Hana pergi bersama kedua anak¬nya, Zenko berkata, "Aku ingin ulangi kalau ini akan menjadi kehormatan bagi kami bila Anda mengangkat Sunaomi—atau Chikara: Anda harus memilih." "Kita bicarakan ini pada bulan kesepuluh." "Bolehkah aku mengajukan satu permohonan lagi?" Ketika Takeo mengangguk, Zenko melanjutkan, "Aku tak ingin menyinggung perasaan dengan mengingat masa lalu, tapi— Anda ingat Lord Fujiwara?" "Tentu saja," jawab Takeo, menahan rasa kaget dan marah. Lord Fujiwara adalah bangsawan yang telah menculik istrinya. Bangsawan itu mati dalam bencana gempa tapi Takeo tidak pernah memaafkannya. Kaede telah bersumpah bahwa bangsawan itu tak pernah tidur dengannya, namun
  • 61. ada semacam ikatan aneh antara mereka berdua; Fujiwara telah memikat dan menyanjungnya; Kaede telah membuat perjanjian dengan laki¬laki itu dan menceritakan rahasia paling pribadi tentang cinta Takeo. Juga pernah membantu keluarga Kaede dengan uang, makanan, juga banyak hadiah. Fujiwara menikahi Kaede dengan restu Kaisar. Fujiwara pernah berusaha agar Kaede mati Halaman 469 dari 469 bersamanya: Kaede berhasil lolos walaupun rambutnya terbakar, menyebabkan bekas luka, kehilangan kecantikannya. "Putranya berada di Hofu dan ingin ber¬temu secara resmi dengan Anda." Takeo tidak berkata sepatah kata pun, enggan untuk mengakui kalau ia tidak mengetahuinya. "Dia menggunakan nama keluarga ibunya, Kono. Tiba dengan kapal beberapa hari lalu, berharap bisa bertemu Anda. Kami telah ber¬hubungan melalui surat tentang hana warisan ayahnya. Ayahku, seperti yang Anda tahu, berhubungan baik dengan ayahnya—aku mohon maaf telah membuat Anda teringat masa-masa yang tak menyenangkan—dan Lord Kono membicarakan tentang masalah penyewaan dan pajak." "Sepanjang ingatanku, harta Fujiwara telah digabungkan dengan wilayah Shira¬kawa." "Secara hukum Shirakawa juga merupakan milik Fujiwara, setelah pernikahannya, maka kini menjadi milik putranya. Karena Fujiwara diwariskan melalui garis keturunan laki-laki. Jika wilayah itu bukan hak Kono, maka seharusnya diteruskan pada pewaris laki-laki berikutnya." "Yaitu putra sulungmu, Sunaomi," timpal Takeo. Zenko menunduk tanpa bicara.
  • 62. "Enam belas tahun telah berlalu sejak kematian ayahnya. Mengapa kini dia tiba¬tiba muncul?" tanya Takeo. "Waktu berlalu dengan cepat di ibukota," sahut Zenko. "Dia utusan Yang Mulia Kaisar." Atau barangkali karena seseo rang punya rencana jahat, kau atau istrimu—hampir pasti istrimu— melihat bagaimana Kono bisa dimanfaatkan untuk lebih menekanku, maka Kono dihubungi melalui surat, pikir Takeo, menyembunyikan kemarahannya. Hujan semakin deras menerpa atap, dan bau tanah yang basah mengapung di depan taman. "Dia boleh datang dan bertemu denganku besok," kata Takeo akhirnya. "Ya. Keputusan yang bijaksana," sahut Zenko. "Lagi pula jalan terlalu becek dan berlumpur untuk meneruskan perjalanan." *** Pertemuan ini semakin menambah ke¬gelisahan Takeo, mengingatkannya betapa Arai Zenko sangat perlu diawasi: betapa mudahnya ambisi mereka dapat menggiring Tiga Negara kembali perang saudara. Sore berlalu dengan suasana cukup menyenang¬kan: ia minum sake secukupnya untuk menyembunyikan rasa sakit, dan kedua anak laki-laki itu menghidupkan suasana dan menghibur. Meteka baru saja bertemu dengan dua orang asing di ruangan ini dan sangat bersemangat dengan pertemuan itu: bagaimana Sunaomi bicara pada mereka dengan menggunakan bahasa mereka yang telah dipelajari bersama ibunya; bagaimana orang-orang asing itu kelihatan seperti goblin dengan hidung panjang dan janggut lebat¬nya, yang satu berambut merah sedangkan yang lainnya berambut hitam, tapi Chikara sama sekali tidak takut. Mereka memerintah¬kan para pelayan untuk
  • 63. mengambilkan salah satu kursi yang dibuat oleh orang asing dari kayu eksotis, jati, dibawa dari pelabuhan pedagangan besar yang dikenal dengan nama Fragrant Harbour dalam kekuasaan kapal nana milik Terada yang juga membawa mangkuk jasper, lapis lazuli, kulit macan, gading dan giok menuju kota-kota di Tiga Negara. "Sangat nyaman," ujar Sunaomi, mem¬peragakan. "Agak mirip tahta Kaisar," kata Hana, tertawa. "Tapi mereka tidak makan menggunakan tangan!" kata Chikara, kecewa. "Aku ingin melihatnya." "Mereka belajar sopan santun dari bangsa kita," tutur Hana. "Mereka berusaha keras, sama kerasnya dengan usaha Lord Joao mem¬pelajari bahasa kita." Takeo agak merinding mendengar nama itu, sangat mirip dengan nama gelandangan Jo-An. Ia begitu menyesali tindakannya yang telah memenggal Jo-An, dan pengemis itu sering hadir dalam mimpinya. Orang-orang asing itu memiliki kepercayaan yang serupa dengan kepercayaan kaum Hidden dan ber¬doa pada Tuhan Rahasia. Bedanya, orang¬orang asing itu mempraktikannya secara terbuka, Halaman 470 dari 470 hingga membuat orang lain gelisah dan malu. Mereka memperlihatkan lambang Hidden, salib, pada untaian kalung yang menggantung di dada pakaian mereka yang aneh dan tidak nyaman. Bahkan di hari yang paling panas pun mereka tetap memakai pakaian ketat dengan kerah tinggi dan sepatu bot, dan mereka memiliki ketakutan yang tidak wajar untuk mandi.