SlideShare a Scribd company logo
1 of 23
Download to read offline
DAMPAK PERUBAHAN IKLIM GLOBAL`
Sebagai Tugas Kelompok Pada
Mata Kuliah Masalah Pembangunan Dan Lingkungan
DOSEN PENGAMPU:
Dr. Ir. ADI JAYA, M.Si
Disusun
Oleh Kelompok 6:
ETHELBERT DAVITSON PHANIAS
MUHAMMAD RUM
DENOVAN SAMURAI TEWENG
RIO MARINDA
PROGRAM STUDI
PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PALANGKARAYA
2018
ii
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan Puji Syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua, sehingga kami Kelompok 6
mendapat kemampuan untuk menyelesaikan makalah pada ini dengan judul
“Dampak Perubahan Iklim Global” disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Masalah Pembangunan Dan Lingkungan.
Ucapan terima kasih yang dalam tak terhingga kami sampaikan kepada
seluruh komponen yang memberikan bantuan kepada kami sehingga makalah ini
tersusun dengan baik. Ucapan terima kasih kami terutama disampaikan kepada :
1. Bapak Dr.Ir. ADI JAYA, M.Si sebagai dosen pengampu mata kuliah
Masalah Pembangunan dan Lingkungan yang telah memeberikan tugas
beserta pengasuhan dalam pembuatan makalah ini.
2. Teman-teman PSAL angkatan 2017 yang telah memberikan dukungan
baik itu berupa moril maupun materill.
Dalam penulisan makalah ini, kami sebagai penyusun tidak menutup
kemungkinan adanya membuat kesalahan dan kekeliruan. Oleh sebab itu kami
berharap untuk diberi kritikan dan saran yang membangun agar makalah ini dapat
lebih bagus lagi kedepannya.
Atas perhatian dan partisipasinya kami kelompok 6 selaku penyusun
makalah ini mengucapkan banyak-banyak terima kasih. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat dan berguna sehingga dapat menambah pengetahuan bagi kita semua,
khususnya bagi para penerus bangsa ini kedepannya. Amin.
Palangka Raya, Juli 2018
Tim Penulis,
iii
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul..................................................................................................... i
Kata Pengantar ................................................................................................... ii
Daftar Isi ............................................................................................................. iii
Daftar Gambar .................................................................................................... iv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................ 3
1.4 Manfaat Penulisan.......................................................................... 3
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Pemanasan Global......................................................................... 4
2.2 Efek Rumah Kaca .......................................................................... 5
2.3 Dampak Perubahan Iklim Global .................................................. 6
2.3.1 Dampak terhadap cuaca..................................................... 6
2.3.2 Tinggi Permukaan Air Laut ............................................... 7
2.3.3 Pertanian............................................................................. 7
2.3.4 Hewan dan Tumbuhan ....................................................... 8
2.3.5 Kesehatan Manusia ............................................................ 8
2.4 Dampak Perubahan Iklim Bagi Indonesia .................................... 8
2.4.1 Peningkata suhu dan ketidakteraturan musim.................... 9
2.4.2 Peningkatan Permukaan Air Laut ...................................... 9
2.4.3 Dampak Terhadap Sektor Perikanan.................................. 9
2.4.4 Dampak terhadap sektor Kehutanan .................................. 10
2.4.5 Dampak terhadap sektor Pertanian .................................... 10
2.4.6 Dampak terhadap Kesehatan.............................................. 11
2.5 Miigasi dan Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim ........................ 11
2.5.1 Mitigasi .............................................................................. 12
2.5.2 Adaptasi ............................................................................. 13
2.6 Konferensi Perubahan Iklim......................................................... 14
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan ................................................................................... 18
3.2 Saran ............................................................................................. 18
Daftar Pustaka .................................................................................................... 19
Lampiran ...................................................................................................... 20
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Temperatur rata-rata global selama periode 1995 – 1999 dan
proyeksi sampai dengan tahun 2100............................................ 4
Gambar 2. Ilustrasi Efek Rumah Kaca.......................................................... 5
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perubahan iklim merupakan fenomena global, dimana dampaknya akan
dirasakan pula secara global oleh seluruh umat manusia di seluruh belahan bumi.
Terlepas dari apakah daerah tersebut memberikan kontribusi terhadap terjadinya
perubahan iklim atau tidak. Perubahan iklim pada kenyataannya sangat berdampak
terhadap kelangsungan hidup umat manusia. Dampak ekstrim dari perubahan iklim
terutama adalah terjadinya kenaikan temperatur serta pergeseran musim. Kenaikan
temperatur menyebabkan es dan gletser di Kutub Utara dan Selatan mencair.
Peristiwa ini menyebabkan terjadinya pemuaian massa air laut dan kenaikan
permukaan air laut. Hal ini akan menurunkan produksi tambak ikan dan udang serta
mengancam kehidupan masyarakat pesisir pantai.
Sementara pergeseran musim serta perubahan pola curah hujan memberikan
dampak yang sangat merugikan bagi sektor pertanian dan perikanan. Hujan akan
turun dengan intensitas yang tinggi, namun dalam periode yang lebih pendek
sehingga berpotensi menyebabkan banjir dan longsor. Sementara musim panas
terjadi dalam masa yang lebih panjang, sehingga menyebabkan kekeringan. Musim
yang tidak menentu akan menyebabkan meningkatnya peristiwa gagal panen,
sehingga kita akan mengalami krisis pangan.
Namun demikian, tidak semua ilmuwan setuju tentang pemanasan global
(global warming) yang memicu terjadinya perubahan iklim (climate change).
Beberapa pengamat masih mempertanyakan apakah temperatur benar-benar
meningkat. Yang lainnya mengakui perubahan telah terjadi tetapi tetap membantah
bahwa masih terlalu dini untuk membuat prediksi tentang keadaan di masa depan.
Kritikan seperti ini juga dapat membantah bukti-bukti yang menunjukkan
kontribusi manusia terhadap pemanasan global dengan berargumen bahwa siklus
alami dapat juga meningkatkan temperatur. Mereka juga menunjukkan fakta-fakta
bahwa pemanasan berkelanjutan dapat menguntungkan di beberapa daerah
(kawasan). Para ilmuan yang mempertanyakan pemanasan global cenderung
menunjukkan tiga perbedaan yang masih dipertanyakan antara prediksi model
pemanasan global dengan perilaku sebenarnya yang terjadi pada iklim. Pertama,
pemanasan cenderung berhenti selama tiga dekade pada pertengahan abad ke-20.
Bahkan ada masa pendinginan sebelum naik kembali pada tahun 1970-an. Kedua,
jumlah total pemanasan selama abad ke-20 hanya separuh dari yang diprediksi oleh
model. Ketiga, troposfer, lapisan atmosfer terendah, tidak memanas secepat
prediksi model.
Akan tetapi, pendukung adanya pemanasan global menjawab dua dari tiga
pertanyaan tersebut. Kurangnya pemanasan pada pertengahan abad disebabkan oleh
besarnya polusi udara yang menyebarkan partikulat-partikulat, terutama sulfat, ke
atmosfer. Partikulat ini, juga dikenal sebagai aerosol, memantulkan sebagian sinar
matahari kembali ke angkasa luar. Pemanasan berkelanjutan akhirnya mengatasi
efek ini, sebagian lagi karena adanya kontrol yang ketat terhadap polusi yang
menyebabkan udara menjadi lebih bersih.
2
Keadaan pemanasan global sejak 1900 yang tidak seperti diprediksi ternyata
disebabkan oleh penyerapan panas secara besar oleh lautan. Pada tahun 2000,
United States National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA)
memberikan hasil analisis baru tentang temperatur air yang diukur oleh para
pengamat di seluruh dunia selama 50 tahun terakhir. Hasil pengukuran
tersebutmemperlihatkan adanya kecenderungan pemanasan di laut tersebut.
Temperatur laut dunia pada tahun 1998 ternyata lebih tinggi 0,2 derajat Celsius (0,3
derajat Fahrenheit) daripada temperatur rata-rata 50 tahun terakhir. Dengan
demikian terbukti ada sedikit perubahan tetapi cukup berarti. Pertanyaan ketiga
masih membingungkan. Satelit mendeteksi lebih sedikit pemanasan di troposfer
dibandingkan prediksi model. Meskipun demikian, pada bulan Januari 2000,
sebuah panel yang ditunjuk oleh National Academy of Sciences untuk membahas
masalah ini mengakui bahwa pemanasan permukaan bumi adalah benar terjadi dan
tidak dapat diragukan lagi.
Sebagai negara kepulauan dan terletak di khatulistiwa, Indonesia. memiliki
lebih dari 17.500 pulau serta tercatat sebagai negara dengan jumlah pulau terbanyak
di dunia. Banyaknya jumlah pulau (sebagian besar daerah pesisirnya landai) yang
dimiliki oleh Indonesia menjadikan negara kita dikenal sebagai negara yang
memiliki garis pantai urutan kedua terpanjang di dunia, atau sekitar 14% dari garis
pantai dunia. Sementara luas laut Indonesia mencapai 5,8 juta km2
atau mencapai
hampir 70% luas wilayah Indonesia secara keseluruhan.
Dengan posisi geografis dan kondisi topografis yang demikian menjadikan
Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim yang terjadi dengan cepat.
Meningkatnya permukaan air laut akan berdampak sangat luas bagi sumberdaya
alam dan segala sendi kehidupan masyarakat khususnya masyarakat pesisir di
Indonesia. Pada sisi lain, pola curah hujan dan musim yang tidak menentu akan
berdampak sangat luas terhadap sektor pertanian dan ketersediaan pangan di
Indonesia. Curah hujan yang berlebihan akan meningkatkan potensi banjir dan
longsor di beberapa daerah. Sebaliknya pada daerah yang lain dapat mengalami
musim kering yang lebih panjang akan memicu gagal panen dan kesulitan dalam
memperoleh air. Musim kering yang berlangsung lama akan meingkatkan intensitas
kebakaran hutan dan lahan di Indonesia serta masih banyak lagi dampak ikutan lain
yang potensial terjadi.
Kerentanan pada dasarnya merupakan fungsi besarnya perubahan dan dampak
serta variasi perubahan iklim terhadap suatu sistem atau sub sistem. Sistem yang
rentan tidak akan mampu mengatasi dampak yang kecil sekalipun, apalagi
perubahan yang terjadi sangat besar, ekstrim dan sangat bervariasi. Tantangannya
saat ini adalah mengatasi efek yang timbul sambil melakukan langkah-langkah
untuk mencegah perubahan iklim secara ekstrim di masa depan. Permasalahannya
adalah sejauh mana pemahaman dan kesiapan serta upaya sinergi kita dalam
menghadapi kondisi tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini, berdasarkan latar belakang di atas
adalah sebagai berikut:
1. Apa saja dampak dari perubahan iklim secara global?
3
2. Apa saja strategi yang yang dapat dilakukan terhadap perubahan iklim?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini berdasarkan rumusan masalah di atas adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui dampak dari perubahan iklim secara global.
2. Untuk mengetahui strategi yang dapat dilakukan terhadap perubahan
iklim.
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan ini adalah memberikan informasi kepada pembaca
mengenai isu perubahan iklim yang ada saat ini, tenang bagaimana sumber,
dampak, dan solusinya dapat kita ketahui bersama.
4
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pemanasan Global
Pemanasan global (global warming) adalah peristiwa dimana terjadinya
peningkatan temperatur rata-rata atmosfer, laut dan daratan bumi. Dalam
sejarahnya planet bumi telah menghangat dan juga mendingin berkali-kali selama
kurun waktu 4,65 milyar tahun. Pada saat ini, Bumi menghadapi pemanasan yang
cepat, yang oleh para ilmuwan dianggap disebabkan aktivitas manusia. Penyebab
utama pemanasan ini adalah pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara,
minyak bumi, dan gas alam, yang melepas karbondioksida dan gas-gas lainnya yang
dikenal sebagai gas rumah kaca (GRK) ke atmosfer. Ketika atmosfer semakin
dipenuhi oleh gas-gas rumah kaca ini, maka atmosfer semakin menjadi penghalang
panas (insulator) yang akan menahan lebih banyak panas dari matahari yang
dipancarkan ke bumi.
Para ahli mengemukakan bahwa rata-rata temperatur permukaan bumi
adalah sekitar 15°C (59°F). Dalam kurun waktu seratus tahun terakhir (1900 –
2000), rata-rata temperatur ini telah mengalami peningkatan sebesar 0,6 derajat
Celsius (1 derajat Fahrenheit). Dengan memperhatikan fenomena peningkatan
tersebut para ilmuwan memperkirakan bahwa pemanasan lebih jauh dapat terjadi
hingga 1,4 - 5,8 derajat Celsius (2,5 - 10,4 derajat Fahrenheit) pada tahun 2100
seperti diilustrasikan pada Gambar 1.
Kenaikan temperatur ini akan mengakibatkan mencairnya es di kutub dan
menghangatkan lautan, yang mengakibatkan meningkatnya volume lautan.
Meningkatnya volume air laut akan menaikkan permukaannya sekitar 9 - 100 cm
(4 - 40 inchi). Hal ini berpotensi menimbulkan banjir di daerah pantai, bahkan dapat
menenggelamkan pulau-pulau, terutama dataran rendah yang memiliki topografi
landai (BBC-Indonesia, 21 Mei 2009).
Gambar 1. Temperatur rata-rata global selama periode 1995 – 1999 dan
proyeksi sampai dengan tahun 2100
5
Beberapa daerah dengan iklim yang hangat akan menerima curah hujan
yang lebih tinggi, tetapi tanah juga akan lebih cepat kering. Kekeringan tanah ini
akan merusak tanaman bahkan menghancurkan suplai makanan di beberapa tempat
di dunia. Hewan dan tanaman akan bermigrasi ke arah kutub yang lebih dingin dan
spesies yang tidak mampu berpindah akan musnah. Potensi kerusakan yang
ditimbulkan oleh pemanasan global ini sangat besar sehingga ilmuwan-ilmuwan
ternama dunia menyerukan perlunya kerjasama internasional serta reaksi yang
cepat untuk mengatasi masalah ini (Warsi, 21 Mei 2007).
2.2 Efek Rumah Kaca
Matahari merupakan pensuplai energi bagi bumi. Sebagian besar energy
yang membanjiri planet kita ini adalah radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya
tampak (visible). Pada saat energi ini mengenai permukaan bumi, energi tersebut
berubah dari cahaya menjadi panas dan menghangatkan bumi. Namun demikian,
tidak semua energi tersebut diserap oleh bumi, sebagian dari panas akan
dipantulkan kembali oleh permukaan bumi (daratan dan air) sebagai radiasi infra
merah gelombang panjang ke angkasa luar (stratosfer) dan sebagian lagi tetap
terperangkap di atmosfer bumi (troposfer). Gas-gas tertentu di atmosfer seperti uap
air, karbondioksida (CO2), nitro oksida (N2O), metana (CH4) dan lain-lain menjadi
perangkap terhadap radiasi ini. Gas-gas tersebut menyerap dan memantulkan
kembali radiasi gelombang yang dipancarkan bumi sehingga panas tersebut akan
tersimpan kembali di permukaan bumi. Inilah yang dikenal sebagai Efek Rumah
Kaca (Greenhouse Effect) dan gas-gas ini dikenal sebagai gas rumah kaca(GRK)
(MenLH, 21 Mei 2007).
Semua kehidupan di bumi tergantung pada efek rumah kaca ini, karena
tanpanya, planet ini akan sangat dingin sehingga es akan menutupi seluruh
permukaan bumi. Akan tetapi, bila gas-gas ini semakin meningkat konsentrasinya
di atmosfer, maka semakin banyak panas yang terperangkap di bawahnya dan bumi
menjadi semakin panas. Pemanasan yang terus-menerus inilah yang mengakibatkan
terjadinya pemanasan global. Oleh karena suhu merupakan salah satu parameter
iklim, maka peningkatan suhu akan turut mempengaruhi iklim bumi. Inilah yang
sekarang dikenal dengan perubahan iklim secara global.
Gambar 2. Ilustrasi Efek Rumah Kaca
6
Para ilmuan juga telah lama menduga bahwa iklim global semakin
menghangat. Hanya saja pada waktu itu mereka belum mampu memberikan bukti-
bukti yang tepat. Temperatur terus bervariasi dari waktu ke waktu dan dari lokasi
yang satu ke lokasi lainnya. Perlu bertahun-tahun pengamatan iklim untuk
memperoleh data-data yang menunjukkan suatu kecenderungan (trend) yang jelas.
Sejak 1957, data-data diperoleh dari stasiun cuaca terpercaya serta dari satelit telah
memberikan hasil pengukuran yang lebih akurat, terutama pada 70 persen
permukaan bumi yang tertutup lautan. Data-data ini menunjukkan bahwa
kecenderungan menghangatnya permukaan bumi benar-benar terjadi. Jika dilihat
pada akhir abad ke-20, tercatat bahwa sepuluh tahun terhangat selama seratus tahun
terakhir terjadi setelah tahun 1980, dan tiga tahun terpanas terjadi setelah tahun
1990, dimana 1998 menjadi tahun yang paling panas.
2.3 Dampak Perubahan Iklim Global
Pada awal 1896, para ilmuwan beranggapan bahwa membakar bahan bakar
fosil akan mengubah komposisi atmosfer dan dapat meningkatkan temperatur rata-
rata global. Hipotesis ini dikonfirmasi tahun 1957 ketika para peneliti yang bekerja
pada program penelitian global yaitu International Geophysical Year, mengambil
sampel atmosfer dari puncak gunung Mauna Loa di Hawaii. Hasil pengukurannya
menunjukkan terjadi peningkatan konsentrasi karbondioksida di atmosfer. Setelah
itu, komposisi dari atmosfer terus diukur dengan cermat. Data-data yang
dikumpulkan menunjukkan bahwa memang terjadi peningkatan konsentrasi dari
gas-gas rumah kaca di atmosfer. Konsekuensi selanjutnya dari peningkatan
konsentrasi gas rumah kaca adalah peningkatan temperatur bumi baik di daratan,
lautan maupun atmosfer bumi.
Seiring dengan semakin berkembangnya teknologi komputer, para ilmuwan
menggunakan model komputer dari temperatur, pola presipitasi dan sirkulasi
atmosfer untuk mempelajari pengaruh pemanasan global. Berdasarkan model
tersebut, para ilmuwan telah membuat beberapa prakiraan mengenai dampak
pemanasan global terhadap kesehatan manusia, pertanian, hutan, sumber daya air,
daerah pantai serta kelangsungan hidup spesies dan kawasan alamiah lainnya.
2.3.1 Dampak Terhadap Cuaca
Selama pemanasan global, para ilmuwan memperkirakan bahwa daerah
bagian Utara dari belahan bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih
dari daerah-daerah lain di bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan
daratan akan mengecil. Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan,
mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis,
bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair.
Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Temperatur pada musim dingin
dan malam hari akan cenderung untuk meningkat.
Sementara itu, daerah yang hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih
banyak air yang menguap dari lautan. Para ilmuan belum begitu yakin apakah
kelembaban tersebut malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang
terjadi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga
keberadaannya berpotensi meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi,
uap air yang lebih banyak juga akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga
7
akan memantulkan cahaya matahari kembali ke angkasa luar, di mana akan
menurunkan proses pemanasan (siklus air). Kelembaban yang tinggi akan
meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat
Fahrenheit pemanasan. Badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih
cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering
dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang
berubah-ubah pula. Kontradiktif dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode
yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Dengan kenyataan ini, maka pola cuaca
menjadi semakin sulit diprediksi dan lebih ekstrim dari semula.
2.3.2 Tinggi Permukaan Air Laut
Apabila suhu atmosfer meningkat, maka dampak peningkatan suhu tersebut
akan didistribusikan ke seluruh permukaan bumi termasuk pada permukaan laut.
Dengan demikian, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga
volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan juga
akan mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar Greenland, yang juga
berdampak akan memperbanyak volume air di laut. Gambaran sejumlah factor yang
dapat menyebabkan terjadinya perubahan tinggi muka air laut.
Selama abad ke – 20, tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat
sebesar 10 - 25 cm (4 - 10 inchi). Para ilmuwan dari IPCC memprediksi peningkatan
lebih lanjut menjadi 9 - 88 cm (4 - 35 inchi) pada abad ke-21. Perubahan tinggi
muka laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan 100
cm (40 inchi) akan menenggelamkan banyak pulau dan daerah pesisir pantai. Erosi
dari tebing, pantai, dan bukit pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai
muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan. Meskipun sedikit,
kenaikan tinggi muka laut akan sangat potensial mempengaruhi ekosistem pantai
dan rawa-rawa. Hal ini akan berimplikasi mulai dari gangguan terhadap rantai
makanan sampai pada hilangnya spesies biota tertentu dan seterusnya sehingga
merusak tatanan kehidupan di bumi secara global.
2.3.3 Pertanian
Secara umum mungkin banyak orang beranggapan bahwa bumi yang hangat
akan menghasilkan lebih banyak makanan dari sebelumnya. Akan tetapi hal ini
sebenarnya tidak sama di beberapa tempat di permukaan bumi. Bagian Selatan
Kanada, misalnya mungkin akan mendapat keuntungan dari lebih tingginya curah
hujan serta lebih lamanya masa tanam. Demikian pula halnya dengan mencairnya
es abadi yang menutupi sebagian besar daratan di belahan bumi utara seperti di
Rusia, Greenland dan tempat lainnya, pada satu sisi akan memperluas areal
pertanian (yang tidak ditutupi lapisan es).
Sedangkan pada belahan bumi yang lain seperti di daerah tropis semi kering
pada beberapa bagian Afrika mungkin tanaman tidak dapat tumbuh di areal
pertanian. Daerah pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari gunung-
gunung yang jauh dapat menderita jika kumpulan salju (snowpack) musim dingin
yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum puncak masa tanam.
Disamping itu, perubahan iklim yang tidak menentu dapat menyebabkan tanaman
pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan penyakit yang lebih
hebat.
8
2.3.4 Hewan dan Tumbuhan
Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari
efek pemanasan global ini karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia.
Akibat dari pemanasan global, hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub
atau ke atas pegunungan yang suhunya lebih dingin. Tumbuhan akan mengubah
arah pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat lamanya menjadi
terlaluhangat. Akan tetapi, aktivitas dan pembangunan yang dilakukan manusia
akan menghalangi perpindahan ini. Spesies-spesies yang bermigrasi ke utara atau
selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau lahan-lahan pertanian mungkin akan
mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu secara cepat berpindah menuju
daerah yang lebih sejuk (kutub) mungkin juga akan musnah.
2.3.5 Kesehatan Manusia
Para ilmuan memprediksi bahwa dalam dunia yang hangat akan lebih
banyak orang yang terkena penyakit atau meninggal karena stress panas. Wabah
penyakit yang biasa ditemukan di daerah tropis, seperti penyakit yang diakibatkan
nyamuk dan hewan pembawa penyakit lainnya, akan semakin meluas karena
mereka dapat berpindah ke daerah yang sebelumnya terlalu dingin bagi mereka.
Saat ini, 45 persen penduduk dunia tinggal di daerah di mana mereka dapat tergigit
oleh nyamuk pembawa parasit malaria. Persentase itu akan meningkat menjadi
sekitar 60 persen jika temperatur terus mengalami peningkatan. Penyakit-penyakit
tropis lainnya juga dapat menyebar seperti malaria, adalah demam berdarah
(dengue), demam kuning, dan encephalitis. Para ilmuan juga memprediksi bahwa
meningkatnya insiden alergi dan penyakit pernafasan karena udara yang lebih
hangat akan memperbanyak spora mold, serbuk sari debu dan polutan lainnya
sehingga sangat potensial untuk mempengaruhi derajat kesehatan manusia.
2.4 Dampak Perubahan Iklim Bagi Indonesia
Indonesia adalah negara kepulauan yang terletak di khatulistiwa dan
terbentang dari 60
Lintang Utara (LU) sampai dengan 110
Lintang Selatan (LS) serta
dari 90
Bujur Timur (BT) sampai dengan 1410
Bujur Timur (BT). Memiliki
sebanyak 17. dan tercatat sebagai negara dengan jumlah pulau terbanyak di dunia.
Dari jumlah tersebut, baru sekitar 6.000 pulau yang berpenghuni. Sedangkan
sisanya merupakan pulau yang tidak berpenghuni dan hanya didominasi oleh
vegetasi serta menjadi habitat satwa liar. Banyaknya jumlah pulau yang 500 pulau
dimiliki oleh Indonesia menjadikan negara kita dikenal sebagai negara yang
memiliki garis pantai urutan kedua terpanjang di dunia, yaitu sekitar 81.000 km. Ini
berarti bahwa garis pantai Indonesia merupakan 14% dari garis pantai dunia.
Sementara luas laut Indonesia mencapai 5,8 juta km2
atau mencapai hampir 70%
luas wilayah Indonesia secara keseluruhan.
Dengan posisi geografis yang demikian membuat Indonesia tidak luput
bahkan menjadi sangat rentan terhadap perubahan iklim yang terjadi dengan cepat.
Pola curah hujan akan berubah dan musim kering akan bertambah panjang. Banyak
pulau yang terancam tenggelam akibat kenaikan permukaan air laut dan masih
banyak lagi dampak lain yang akan timbul. Berbagai dampak yang telah dan akan
dirasakan oleh masyarakat Indonesia sebagai akibat perubahan iklim antara lain
sebagai berikut :
9
2.4.1 Peningkatan Suhu dan Ketidakteraturan Musim
Pemanasan global diperkirakan menyebabkan terjadinya kenaikan suhu
bumi rata-rata sebesar 1°C pada tahun 2025 dibanding suhu saat ini, atau 2°C lebih
tinggi dari jaman pra industri, tahun 1750 - 1800 (IPCC, 2001). Pada jaman pra
industri (sebelum tahun 1850), konsentrasi karbondioksida tercatat sekitar 290 ppm.
Namun pada tahun 1990, konsentrasi CO2 telah meningkat hingga mencapai 353
ppm. Dengan pola konsumsi energi seperti sekarang, diperkirakan pada tahun 2100
konsentrasi karbondioksida akan meningkat hingga dua atau tiga kali lipat
dibanding jaman pra industri, yaitu sebesar 580 ppm.
Menurut IPCC (2007a dan 2007b), dengan peningkatan konsentrasi karbon
dioksida sebanyak dua kali lipat, maka diperkirakan peningkatan suhu bumi yang
akan terjadi adalah sebesar 1,4 - 5,8°C. Di Indonesia sendiri telah terjadi
peningkatan suhu udara sebesar 0,3°C sejak tahun 1990. Sementara di tahun 1998,
suhu udara mencapai titik tertinggi, yaitu sekitar 1°C di atas suhu rata-rata tahun
1961 - 1990.
Beberapa skenario proyeksi kenaikan suhu udara di Indonesia menunjukan
bahwa peningkatan konsentrasi karbon dioksida sebesar dua kali lipat akan diikuti
oleh peningkatan suhu udara rata-rata sebesar 3 - 4,2°C. Dampak lain yang
diperkirakan terjadi akibat perubahan iklim adalah tidak menentunya pola curah
hujan. Di beberapa tempat curah hujan akan meningkat tajam, yang kemudian akan
berdampak pada terjadinya banjir dan longsor. Sementara di sebagian tempat lain
curah hujan justru menurun secara ekstrim, sehingga berdampak pada terjadinya
kekeringan.
2.4.2 Peningkatan Permukaan Air Laut
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memperkirakan bahwa pada
kurun waktu 100 tahun terhitung mulai tahun 2000 permukaan air laut akan
meningkat setinggi 15 - 90 cm dengan kepastian peningkatan mencapai setinggi 48
cm. Dari sejumlah penelitian dan diskusi yang motori oleh IPCC
memperlihatkanbahwa telah terjadi kenaikan permukaan air laut sebesar 1 - 2 meter
dalam 100 tahun terakhir. Pada tahun 2030, IPPC memperkirakan permukaan air
laut akan bertambah 8 - 29 cm dari kondisi saat ini.
2.4.3 Dampak Terhadap Sektor Perikanan
Pemanasan global menyebabkan memanasnya air laut, sebesar 2 - 3°C.
Akibatnya, alga yang merupakan sumber makanan terumbu karang akan mati
karena tidak mampu beradaptasi dengan peningkatan suhu air laut. Hal ini
berdampak pada menipisnya ketersediaan makanan terumbu karang. Akhirnya,
terumbu karang pun akan berubah warna menjadi putih (coral bleaching) dan mati.
Memanasnya air laut mengakibatkan menurunnya jumlah terumbu karang termasuk
di Indonesia seperti diindikasikan oleh Gambar 3.1. Padahal kepulauan Indonesia
saat ini memiliki 14.000 unit terumbu karang dengan luasan total sekitar 85.700
km2 atau sekitar 14% dari terumbu karang dunia (WRI dalam Armely et al. , 2004).
Peristiwa El Nino, biasa juga disebut ENSO (El Nino Southern Oscillation)
yang terjadi setiap 2 - 13 tahun sekali, pada tahun 1997-1998 menyebabkan naiknya
suhu air laut sehingga memicu peristiwa pemutihan karang yang paling luas,
terutama di wilayah barat Indonesia. Pemutihan karang terjadi di bagian timur
10
Sumatera, Jawa, Bali dan Lombok. Menurut Wilkinson di Indonesia sudah terjadi
pemutihan karang sebesar 30% (Murdiyarso dalam Armely et al, 2004).
Setelah El Nino berlalu, terumbu karang yang rusak sebenarnya akan punya
kesempatan untuk tumbuh kembali. Seperti halnya yang terjadi pada terumbu
karang di Kepulauan Seribu yang membaik sekitar 20-30% dalam waktu 2 tahun.
Dengan adanya perubahan iklim, pemutihan karang akan terjadi secara terus
menerus, sehingga tak ada lagi kesempatan bagi terumbu karang untuk tumbuh dan
memperbaiki dirinya. Pemutihan karang berdampak pada punahnya berbagai jenis
ikan karang yang bernilai ekonomi tinggi (contohnya, ikan kerapu macan, kerapu
sunu, napoleon dan lain-lain) karena tak ada lagi tempat hidup dan sebagai sumber
makanan. Padahal Indonesia memiliki lebih dari 1.650 jenis ikan karang, itupun
hanya yang terdapat di wilayah Indonesia bagian timur saja belum terhitung yang
berada wilayah lainnya (Armely et al, 2004).
2.4.4 Dampak terhadap Sektor Kehutanan
Peningkatan suhu yang terjadi dalam masa yang cukup lama, seperti musim
kemarau panjang, mengakibatkan mudah terbakarnya ranting-ranting atau daun-
daun akibat gesekan yang ditimbulkan. Hal ini menyebabkan kebakaran hutan dapat
terjadi dalam waktu singkat dimana api melahap sekian hektar luasan hutan dan
berbagai macam keanekaragaman hayati yang berada di dalamnya. Dengan
demikian, peningkatan suhu meningkatkan peluang terjadinya kebakaran hutan.
Oleh karena itu perubahan iklim yang berdampak pada meningkatnya suhu,
dipastikan akan meningkatkan potensi kebakaran hutan. Kebakaran hutan
bersumber pada tiga hal, yaitu kesengajaan manusia, kelalaian manusia dan karena
faktor alam. Kebakaran hutan yang kita bahas pada bagian ini adalah yang
disebabkan oleh faktor alam. Kebakaran hutan yang disebabkan oleh faktor alam,
umumnya disebabkan oleh terjadinya peningkatan suhu udara di lingkungan sekitar
hutan (KLH dan UNDP, 1998).
Musim kemarau pada tahun 1994, telah menyebabkan hutan Indonesia
seluas 5 juta ha habis terbakar. Sementara pada peristiwa El-Nino tahun 1997-1998,
kawasan yang rusak akibat kebakaran hutan hampir seluas 10 juta hektar,
termasukdi dalamnya pertanian dan padang rumput. Selain hilangnya sejumlah
kawasan hutan, kebakaran hutan juga menyebabkan hilangnya berbagai
keanekaragaman hayati, terutama yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Dari
sekitar 10 juta hektar lahan yang rusak atau terbakar, kerugian untuk Indonesia
terhitung mencapai 3 milyar dollar Amerika. Belum termasuk keugian sosial
lainnya. Kejadian ini sekaligus melepaskan emisi gas rumah kaca (GRK) sebanyak
0,81-2,57 Gigaton karbon ke atmosfer (setara dengan 13 - 40% total emisi karbon
dunia yang dihasilkan dari bahan bakar fosil per tahunnya) yang berarti menambah
kontribusi terhadap perubahan iklim dan pemanasan global (WWF, 21 Mei 2007).
2.4.5 Dampak terhadap Sektor Pertanian
Dampak paling merugikan akan melanda sektor pertanian di Indonesia
akibat pergeseran musim dan perubahan pola hujan. Pada umumnya semua bentuk
sistem pertanian sangat sensitif terhadap variasi iklim. Terjadinya keterlambatan
musim tanam atau panen akan memberikan dampak yang besar baik secara
langsung maupun tak langsung, seperti ketahanan pangan, industri pupuk,
transportasi dan lain-lain. Iklim yang cenderung berubah dengan tidak menentu
11
berdampak pada turunnya produksi pangan di Indonesia. Dampak yang paling nyata
dan kita alami saat ini adalah Indonesia harus mengimpor beras kembali.
Perubahan iklim yang berdampak pada tingginya intensitas hujan dalam
periode yang pendek akan menimbulkan banjir yang kemudian menyebabkan
produksi padi menurun karena sawah terendam air. Akibatnya dana simpanan milik
petani seharusnya untuk modal tanam digunakan untuk biaya hidup. Sehingga pada
saat musim tanam tiba, petani sudah tidak lagi memiliki modal.
Sebagai gambaran, pada 1995 hingga 2005, total tanaman padi yang
terendam banjir berjumlah 1.926.636 hektar. Dari jumlah itu, 471.711 hektar di
antaranya mengalami puso. Sawah yang mengalami kekeringan pada kurun waktu
tersebut berjumlah 2.131.579 hektar, yang 328.447 hektar di antaranya gagal panen.
Tahun 2006, 189.773 hektare tanaman padi mengalami gagal panen, dari 577.046
hektare sawah yang terkena banjir dan kekeringan. Dengan rata-rata produksi 5 ton
gabah per hektare, gabah yang terbuang akibat kekeringan dan banjir pada 2006
mencapai 948.865 ton (Busyairi, 2007).
2.4.6 Dampak terhadap Kesehatan
Perubahan iklim di Indonesia juga berimplikasi pada meningkatnya
intensitas penyakit tropis, seperti malaria dan demam berdarah. Hal ini disebabkan
oleh naiknya suhu udara yang menyebabkan masa inkubasi nyamuk semakin
pendek. Konsekuensinya, nyamuk malaria dan demam berdarah akan berkembang
biak dengan lebih cepat. Balita, anak-anak dan usia lanjut sangat rentan terhadap
perubahan iklim. Jika kita tak berupaya menghambat terjadinya perubahan iklim,
maka kasus malaria di Indonesia akan naik dari 2.705 kasus, pada tahun 1989,
menjadi 3.246 kasus pada tahun 2070. Sedangkan kasus demam berdarah akan
meningkat 4 kali lipat, dari 6 kasus menjadi 26 kasus per 10.000 penduduk, pada
periode waktu yang sama (ALGAS, 1997).
Disamping itu, kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia juga telah
menyebabkan kualitas udara menjadi semakin tidak sehat. Dampaknya adalah
menurunnya derajat kesehatan penduduk bukan hanya di sekitar lokasi terjadinya
kebakaran tetapi juga daerah lain bahkan sampai ke negara tetangga.
Peristiwakebakaran hutan tahun 1997 mengakibatkan sekitar 12,5 juta populasi (di
delapan provinsi) terpapar asap dan debu (PM10). Penyakit yang timbul adalah
asma, bronkhitis dan ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut). Diduga kebakaran
hutan juga menghasilkan racun dioksin yang dapat menyebabkan kanker dan
kemandulan bagi wanita. Menurunnya kesehatan penduduk mengakibatkan
kerugian berupa hilangnya 2,5 juta hari kerja (Armely, Diah dan Moekti, 2004).
2.5 Mitigasi Dan Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim
Saat ini sebagian besar penduduk dunia telah menyadari bahwa pemanasan
global yang mendorong terjadinya perubahan iklim global sedang berlangsung.
Perubahan iklim yang dicirikan oleh peningkatan suhu udara serta perubahan
besaran dan distribusi curah hujan membawa dampak yang sangat luas terhadap
segi kehidupan manusia. Perubahan suhu dan curah hujan secara langsung dan tidak
langsung mempengaruhi sistem produksi pangan, sumberdaya air,pemukiman,
kesehatan, energi serta sistem keuangan dan sebagainya. Dampak kondisi ini akan
12
semakin besar dirasakan oleh bagian dunia yang sangat rentan terhadap perubahan
yang terjadi.
Murdiyarso (2003) menyatakan bahwa kerentanan (vulnerability)
didefinisikan sebagai kemampuan suatu sistem termasuk ekosistem, sosial ekonomi
dan kelembagaan untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Kerentanan
merupakan fungsi besarnya perubahan dan dampak serta variasi perubahan iklim.
Sistem yang rentan tidak akan mampu mengatasi dampak yang kecil sekalipun,
apalagi perubahan yang terjadi sangat besar, ekstrim dan sangat bervariasi.
Tantangannya saat ini adalah mengatasi efek yang timbul sambil melakukan
langkah-langkah untuk mencegah perubahan iklim secara ekstrim di masa depan.
Ada dua pendekatan utama untuk mengatasi dan pengantisipasi perubahan iklim
secara global, yaitu upaya mitigasi dan upaya adaptasi.
2.5.1 Mitigasi
Salah satu cara menahan laju perubahan iklim adalah mengurangi emisi gas
rumah kaca yang dihasilkan oleh aktivitas manusia. Ini bisa dilakukan antara lain
dengan menggunakan bahan bakar dari sumber energi yang lebih bersih, seperti
beralih dari batu bara ke gas, atau menggunakan sumber energi terbarukan seperti
tenaga matahari atau biomassa. Selain itu, mengurangi penggunaan bahan bakar
untuk kendaraan bermotor dan menghemat listrik juga mengurangi emisi gas rumah
kaca. Usaha-usaha seperti ini disebut mitigasi.
Upaya mengurangi dan memperlambat semakin bertambahnya gas rumah
kaca di udara dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, adalah dengan
mengurangi produksi gas rumah kaca itu sendiri. Para ahli berpendapat bahwa cara
yang paling mudah untuk menghilangkan karbondioksida di udara adalah dengan
memelihara pepohonan serta menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama
yang muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbondioksida yang sangat
banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya.
Dengan demikian, upaya penanaman pohon an penghutanan kembali akan sangat
berperan dalam mengurangi emisi gas rumah kaca.
Cara kedua adalah mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan
menyimpan gas tersebut atau komponen karbon-nya di tempat lain. Cara ini disebut
menghilangkan karbon (carbon sequestration). Gas karbondioksida juga dapat
dihilangkan secara langsung. Caranya dengan menyuntikkan (menginjeksikan) gas
tersebut ke sumur-sumur minyak untuk mendorong agar minyak bumi keluar ke
permukaan. Hal ini telah dilakukan di salah satu anjungan pengeboran lepas pantai
Norwegia, di mana karbondioksida yang terbawa ke permukaan bersama gas alam
ditangkap dan diinjeksikan kembali ke aquifer sehingga tidak dapat kembali ke
permukaan (IPCC, 2005)
Belajar dari pengalaman 100 tahun yang lalu, orang menyadari bahwa
betapa buruknya planet bumi ini telah diperlakukan sehingga iklimnya berubah
secara ekstrim. Jika pola hidup seperti itu berlanjut dengan kecenderungan seperti
sekarang, maka dalam 100 tahun yang akan datang, bumi tidak akan mampu
mendukung kehidupan di atasnya. Karena itu diperlukan kesepakatan secara global
mengenai tata cara pengurangan emisi gas rumah kaca. Kerjasama internasional
diperlukan untuk mensukseskan pengurangan emisi gas-gas rumah kaca tersebut.
Pada tahun 1992, dalam Earth Summit di Rio de Janeiro Brazil, 150 negara berikrar
13
untuk menghadapi masalah gas rumah kaca dan setuju untuk
menterjemahkanmaksud ini dalam suatu perjanjian yang mengikat. Pada tahun
1997 di Jepang, 160 negara merumuskan persetujuan yang dikenal dengan Protokol
Kyoto. Melalui Protokol Kyoto, usaha-usaha mitigasi dilakukan secara global.
Protokol Kyoto mengamanatkan agar negara-negara maju menurunkan emisi rata-
ratanya sebesar 5% dari tingkat emisi tahun 1990 pada periode 2008 – 2012
(Murdiyarso, 2003).
Dickson (2004) dan Sanjay (2006) mengemukakan bahwa banyak orang
mengkritik Protokol Kyoto terlalu lemah. Bahkan jika perjanjian ini dilaksanakan
segera, ia hanya akan sedikit mengurangi bertambahnya konsentrasi gas-gas rumah
kaca di atmosfer. Suatu tindakan yang keras akan diperlukan nanti, terutama karena
negara-negara berkembang yang dikecualikan dari perjanjian ini akan
menghasilkan separuh dari emisi gas rumah kaca pada 2035. Penentang protokol
ini memiliki posisi yang sangat kuat. Penolakan terhadap perjanjian ini di Amerika
Serikat terutama dikemukakan oleh industri minyak, industri batubara dan
perusahaan-perusahaan lainnya yang produksinya tergantung pada bahan bakar
fosil. Para penentang ini mengklaim bahwa biaya ekonomi yang diperlukan untuk
melaksanakan Protokol Kyoto dapat menjapai 300 milyar dollar AS, terutama
disebabkan oleh biaya energi.
2.5.2 Adaptasi
Perubahan iklim yang sedang terjadi dengan segala dampaknya adalah suatu
keniscayaan dan tidak dapat dihindari. Usaha mengurangi gas rumah kaca sebaik
apapun tidak akan mampu menghindarkan kita sepenuhnya dari dampak perubahan
iklim. Oleh karena itu, harus dilakukan upaya adaptasi, yaitu mempersiapkan diri
dan hidup dengan berbagai perubahan akibat perubahan iklim, baik yang telah
terjadi maupun mengantisipasi dampak yang mungkin terjadi.
Contoh adaptasi terhadap kejadian ekstrim adalah dengan mengantisipasi
bencana alam yang bisa semakin sering terjadi karena adanya perubahan iklim. Ini
bisa dilakukan dengan membuat sistem peringatan dini di daerah yang dinilai rawan
bencana serta memberi petunjuk mengenai apa yang harus dilakukan masyarakat
bila bencana tersebut terjadi. Sedangkan salah satu contoh tindakan adaptasi
terhadap dampak perubahan iklim yang berlangsung atau akan dirasakan
pengaruhnya secara perlahan adalah membuat perlindungan bagi masyarakat yang
tinggal di pesisir dengan cara menanam hutan bakau. Adanya hutan bakau
mengurangi kemungkingan erosi pantai dan intrusi air laut ke dalam sumber air
bersih akibat naiknya permukaan air laut serta bahaya akibat terjadinya gelombang
pasang. Secara lebih global, beberapa tindakan adaptasi sudah mulai dilakukan,
namun masih sangat terbatas. Contoh-contoh adaptasi yang ditemui adalah
pembuatan infrastuktur untuk melindungi pantai di Maldives dan Belanda, serta
dibuatnya kebijakan dan strategi manajemen air di Australia.
Mitigasi sudah sering dilakukan untuk mempelajari dampak perubahan ikim
ini, namun usaha untuk merencanakan strategi adapatsi secara terintegrasi belum
dilakukan. Para pakar dan Pemerintah harus bahu-membahu untuk menyiapkan
sistem peringatan dini, baik untuk memprediksi kemungkinan terjadinya fenomena
alam maupun dampak jangka panjang yang terjadi secara bertahap. Namun
demikian, untuk menyusun strategi adaptasi yang terintegrasi memang bukan
14
pekerjaan yang gampang. Perlu data dan informasi yang akurat mengenai dampak
potensial dan menentukan lokasi-lokasi yang rawan terkena dampak dari perubahan
iklim (Wahono, 2006 dan Walhi, 21 Mei 2007).
Selain komitmen dari Pemerintah, upaya menyusun strategi adaptasi juga
harus melibatkan masyarakat. Salah satunya adalah dengan meningkatkan
kepedulian masyarakat melalui berbagai bentuk sosialisasi, termasuk menetapkan
program lingkungan hidup sebagai bagian kurikulum pendidikan nasional.
Mungkin upaya ini sudah dilakukan, tetapi akan lebih baik jika kesadaran ini
dibangun secara nasional. Sudah saatnya semua sektor tidak lagin berpikir secara
sektoral,namun bersinergi membuat sutau mekanisme satu atap untuk merancang
strategi adaptasi dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim secara global.
2.6 Konferensi Perubahan Iklim
Sebelum Konferensi Stockholm diselenggarakan, masyarakat internasional
melakukan kerjasama internasional pertama kali terkait dengan isu-isu yang
berhubungan dengan iklim sudah ada dalam Organisasi Meteorologi Internasional
(International Meteorological Organization/IMO) pada tahun 1853, yang terbentuk
saat Kongres Meteorologi Internasional (International Meteorological Congress)
di Brussel. Selanjutnya IMO berubah menjadi WMO pada tahun 1947. WMO
selanjutnya disusun dalam dua bidang. Pertama, Program Riset Atmosfer Global
(Global Atmospheric Research Program/GARP), yang dibentuk tahun 1967. GARP
bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan ilmiah mendasar sebagai dasar
untuk meningkatkan pelayanan yang disediakan WWW (World Weather Watch)
dan menyajikan pemahaman ilmiah tentang iklim. Kedua, pembentukan WWW
tahun 1968 bertujuan untuk membantu pelayanan meteorologi nasional dalam
bidang ramalan cuaca. Karakter agenda lingkungan hidup internasional sebelum
tahun 1972 berkisar pada isu konversi hutan belantara dan satwa liar, polusi laut
dan penyebaran senjata nuklir (Elliot, 2004).
Pada pertengahan tahun 1950-an, kerusakan lingkungan telah memunculkan
perjanjian seputar perlindungan lingkungan, atau setidaknya membuat aturan
pengontrolan. Misalnya tentang polusi laut yang disebabkan oleh minyak tumpah.
Perwujudannya ada dalam International Convention for the Prevention of The Sea
by Oil pada tahun 1954, dan pada tahun 1958 ditandatangani Convention on The
High Seas. Konvensi ini adalah pelopor dari konvensi hukum laut (Convention on
the Law of the Sea) (Elliot, 2004).
Pada tahun 1960-an organisasi konservasi lingkungan dan organisasi non
pemerintah/NGO (Non-Governmental Organization) yang bergerak di bidang
lingkungan telah mendorong berkembangnya kegiatan para aktivis lingkungan
dalam isu lingkungan hidup internasional. Selain itu debat intelektual sebelum
Konferensi Stockholm juga berkembang. Salah satu yang paling berpengaruh
adalah tulisan yang dibuat para ilmuwan biologi, yang telah membuka pandangan
tentang dampak aktifitas manusia terhadap lingkungan dan dampak degradasi
lingkungan ke dalam kehidupan manusia. Publikasi yang dibuat oleh Rachel Carson
pada tahun 1962, adalah buku yang berjudul Silent Spring. Buku ini telah memberi
perhatian secara khusus terhadap dampak pemakaian pestisida terhadap kehidupan
burung. Silent Spring telah memunculkan perdebatan tentang dampak aktivitas
15
manusia terhadap lingkungan. Tahun 1968, Garret Hardin menulis The Tragedy of
Commons yang dipublikasikan dalam Science. Hardin berpendapat bahwa aktivitas
manusia sejak zaman pra-industri telah berdampak terhadap atmosfer, dan dapat
membawa tragedi bagi manusia. Selain tulisan yang dibuat Carson dan Hardin, Paul
Ehrlich mempublikasikan tulisannya yang berjudul The Population Bomb. Dalam
tulisannya, Ehrlich berpendapat bahwa pertumbuhan penduduk yang cepat
jugaberdampak terhadap lingkungan. Pada akhir tahun 1960-an, bentuk kepedulian
lingkungan hidup muncul dari kawasan-kawasan negara-negara Barat (North).
Konferensi Stockholm membahas berbagai permasalahan lingkungan
hidup. Dari perencanaan dan pengaturan dalam penyelesaian masalah dan
identifikasi polusi. Selain itu juga menjadi forum untuk menyuarakan tema-tema
yang penting. Misalnya ketidakmampuan negara dalam menangani isu lingkungan
yang seringkali melewati batas negara. Pendekatan umum dalam Konferensi
Stockholm adalah mencari pemecahan permasalahan lingkungan melalui kemajuan
teknologi. Gagasan ini dimunculkan oleh gerakan-gerakan pro lingkungan seperti
Socio Ecologist dan Deep Ecologist dari Amerika Serikat dan German Greens dari
Jerman yang menekankan bahwa teknologi dapat menanggulangi krisis lingkungan
hidup. Secara keseluruhan, dampak dari penyelenggaraan Konferensi Stockholm
telah menjadi tanda bahwa dibutuhkan institusi (institusionalisasi) dalam mengatasi
kerusakan lingkungan hidup.
Pada tahun 1974, diadakan simposium para ilmuwan di Cocoyoc, Mexico,
dan diketuai oleh Barbara Ward. Simposium ini diselenggarakan oleh UNEP dan
UNCTAD (United Nations of Commission on Trade and Development). Simposium
ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor sosial dan ekonomi akibat kerusakan
lingkungan hidup. Hasil akhirnya diberi nama Deklarasi Cocoyoc (The Cocoyoc
Declaration). Deklarasi ini mampu mengubah perspektif para ahli lingkungan
hidup. Deklarasi Cocoyoc berisi ajakan untuk membangun struktur sosial yang
mengekspresikan hak fundamental manusia, memanfaatkan kemajuan teknologi,
dan membuat model pembangunan yang dapat melindungi dan meningkatkan
kelestarian alam.
Peralihan masalah perubahan iklim dari wacana akademik ke dalam agenda
politik tidak terlepas dari peran komunitas epistemis yang tergabung dalam
organisasi dan institusi internasional. Seperti pada awal tahun 1978, International
Institute for Applied Systems Analysis (IIASA), WMO, UNEP, dan Scientific
Committee On Problems of the Environment (SCOPE) membuat pelatihan kerja
dalam membahas strategi energi terkait dengan pemanasan global. Beberapa
ilmuwan juga menulis buku untuk mendapatkan perhatian dari kalangan politisi.
Seperti buku Climatic Change and World Affairs yang ditulis oleh Crispin Tickell,
lalu Stephen Schneider yang menulis The Genesis Strategy dan buku Least-Cost
Energy: Solving the CO2 Problem yang ditulis oleh Amory Lovin. Selanjutnya
Konferensi Iklim Dunia (Conference Climate World) di Jenewa tahun 1979 yang
diadakan oleh WMO mengeluarkan pernyataan bahwa pembakaran BBF,
deforestasi, telah menambah jumlah karbondioksida di atmosfer, dan
karbondioksida sangat berpengaruh terhadap suhu bumi, sehingga menyebabkan
pemanasan terus-menerus.
16
Salah satu capaian paling maju dalam negosiasi Konvensi Perubahan Iklim
adalah diadopsinya Protokol Kyoto sebagai mekanisme pengurangan emisi.
Terlepas dari kontroversi mekanisme Protokol Kyoto ini, dinamika perubahan iklim
global telah masuk ke dalam agenda politik global yang mendapat perhatian serius
dari negara maju maupun dari negara berkembang. Pada bagian ini akan dijelaskan
kronologi terbentuknya Protokol Kyoto dilanjutkan dengan gambaran tentang sikap
dari negara-negara maju dan negara-negara berkembang terhadap pengurangan
emisi yang diatur dalam Protokol Kyoto ini. Harapan negara berkembang agar
negara maju segera melakukan pengurangan emisi terhambat sikap negara-negara
maju yang enggan meratifikasi Protokol Kyoto karena khawatir ekonominya
terganggu. Amerika Serikat sebagai negara penghasil emisi terbesar dunia justru
menolak keras untuk meratifikasi dan menarik diri dari Protokol Kyoto ini.
Pertarungan kepentingan antara Amerika Serikat dengan negara-negara Pihak
lainnya sudah berlangsung sejak penyusunan draft Protokol dalam sesi-sesi
perundingan Ad-Hoc Working Group on Berlin Mandate (AGBM).
Penyelenggaraan (Conference of Parties) CoP-3 merupakan salah satu
konferensi tentang lingkungan yang paling besar dan mempunyai pengaruh luas
dalam dinamika politik internasional. Mengingat hasilnya mempunyai dimensi
yang berdampak luas bagi kehidupan umat manusia di muka bumi, maka perhelatan
ini menjadi arena diplomasi lingkungan internasional tingkat tinggi. Isu perubahan
iklim bukan lagi monopoli para ahli lingkungan karena spektrum cakupannya sudah
melampaui kewenangan seorang pakar lingkungan. Masalah perubahan iklim
adalah masalah bersama umat manusia. Seorang kepala negara atau kepala
pemerintahan sekalipun tidak akan sanggup mengendalikan permasalahan
perubahan iklim seorang diri. Oleh karena itu dibutuhkan kerja sama global antara
negara maju dan negara berkembang untuk melakukan tindakan mitigasi dan
adaptasi terhadap perubahan iklim, salah satunya melalui pelaksanaan CoP sebagai
badan tertinggi pengambil keputusan strategis dalam UNFCCC.
Melalui lembaga-lembaga yang telah dibentuk serta dengan fungsi dan
kewajibannya masing-masing tersebut, maka masalah lingkungan hidup khususnya
isu perubahan iklim global, mulai menjadi isu utama dalam setiap pertemuan para
kepala negara baik dalam forum bilateral, regional, maupun dalam forum
multilateral. Karena adanya persamaan persepsi antara semua pihak akan
pentingnya keselamatan lingkungan dan bahaya yang akan ditimbulkan jika
masalah lingkungan tidak diperhatikan oleh masing-masing negara. Pembangunan
yang dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan akan terkait dengan persoalan
lingkungan hidup, ekonomi, teknologi, sosial, budaya, bahkan masuk ke wilayah
politik. Karena itu, pemerintah perlu mempunyai mainstream yang jelas dimana
pembangunan berkelanjutan tersebut harus diarahkan pada pembangunan yang
memperhatikan lingkungan, melestarikan fungsi ekosistem yang mendukungnya,
pemanfaatan kegiatan untuk berkembang secara bersama-sama dan terus menerus.
Yang menjadi perhatian utama dari semua pelaksanaan CoP tersebut, adalah
pada saat pelaksanaan CoP-13 di Denpasar, Bali pada Desember 2007. Konferensi
ini juga dikenal sebagai Konferensi Perubahan Iklim (United Nations Framework
Conference on Climate Change – UNFCCC) karena pada periode inilah peran
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, yang juga termasuk dalam Non
17
Annex I mulai menunjukkan peranannya. Di masa pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono ini, isu lingkungan hidup, khususnya isu perubahan iklim mendapat
perhatian yang besar dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Isu perubahan iklim
mempunyai keterkaitan luas dengan berbagai macam sektor. Sektor perekonomian
menjadi taruhan besar dalam setiap pembahasan dan perundingan perubahan iklim.
Setiap langkah mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim dapat berakibat
langsung pada perekonomian di suatu negara. Tidak dapat dipungkiri bahwa
penghasil emisi terbesar adalah di negara-negara maju. Sehingga ketika ada
tuntutan agar negara maju segera menetapkan target pengurangan emisi, maka
muncul reaksi dari negara-negara maju.
Sampai CoP yang terakhir adalah CoP 23 yang diselenggarakan di Bonn 6-
17 November 2017, dihasilkannya Draft text untuk agenda Review of the effective
implementation of the Climate Technology Centre and Network, draft
conclusions untuk 4 agenda yaitu Report of the SBSTA, Report of the SBI, Reporting
from and review of Parties included in Annex I to the Convention, and agenda
Proramme budget for the biennium 2018-2019.
18
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan, maka kesimpulan yang didapat adalah
sebagai berikut:
1. Ada beberapa dampak perubahan iklim global seperti perubahan cuaca,
meningkatnya tinggi permukaan air laut, tanaman pangan mudah hama, spesies
akan bermigrasi, banyak orang mudah terkena penyakit, memanasnya air laut
akan membuat menipisnya makanan terumbu karang sehingga ketersediaan
ikan juga akan menipis dan karena kekeringan akan memudahkan terjadinya
kebakaran hutan.
2. Beberapa solusi atas terjadinya perubahan iklim adalah mengurangi emisi gas
rumah kaca yang dihasilkan oleh aktivitas manusia, seperti beralih dari batu
bara ke gas, atau menggunakan sumber energi terbarukan seperti tenaga
matahari atau biomassa. Selain itu, mengurangi penggunaan bahan bakar untuk
kendaraan bermotor dan menghemat listrik juga mengurangi emisi gas rumah
kaca dan memelihara pepohonan serta menanam pohon lebih banyak lagi
3.2 Saran
Dalam penulisan makalah ini banyak hal yang dapat disampaikan, seperti
dampak dan solusinya terhadap perubahan iklim dan untuk konferensi tentang isu
perubahan iklim juga dapat dijelaskan lebih lengkap lagi.
19
DAFTAR PUSTAKA
Armely M., R. S. Diah dan H. S. Moekti. 2004. Bumi Makin Panas : Ancaman
Perubahan Iklim di Indonesia.
Asian Least-Cost Greenhouse Gas Abatement Strategy (ALGAS). 1997.
Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca. ADB dan AED. Jakarta.
BBC INDONESIA. 2009. Jika Laut Makin Panas.
Busyairi, M. A. 2007. Global Warming dan Kemanan Pangan Indonesia.
Dickson, D., 2004. What Next After Kyoto?
Elliot, Lorraine., The Global Politics of the Environment, New York University
Press, Washington Square, New York, 2004.
Inter-governmental Panel on Climate Change (IPCC). 2001. Climate Change :
Impacts, Adaptation, and Vulnerability. Summary for Policymakers and
Technical Summary of the Working Group II Report. WMO-UNEP. New
York.
Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia dan UNDP. 1998. Executive Summary
Forest and Land Fires In Indonesia. Jakarta.
Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia. 1998. Indonesia Country Study on
Climate Change: Vulnerability and Adaptation Assesments of Climate
Change in Indonesia. Jakarta.
Murdiyarso, D. 2003. Protokol Kyoto : Implikasinya Bagi Negara Berkembang.
Kompas. Jakarta.
Sanjay, S., 2006. Climate Change : Looking to Life After Kyoto.
Wahono, T. 2006. Perlu Strategi Adaptasi Hadapi Pemanasan Global.
www.kompas.com. (21 Mei 2018)
Warsi. 2007. Pemanasan Global.

More Related Content

What's hot

Viskositas, hukum stokes, hukum bernouli
Viskositas, hukum stokes, hukum bernouliViskositas, hukum stokes, hukum bernouli
Viskositas, hukum stokes, hukum bernouliBella Andreana
 
Laporan praktikum agroklimatologi hujan ferli
Laporan praktikum agroklimatologi hujan ferliLaporan praktikum agroklimatologi hujan ferli
Laporan praktikum agroklimatologi hujan ferliFerli Dian SAputra
 
PowerPoint Pemanasan Global (Global Warming) kelas 11
PowerPoint Pemanasan Global (Global Warming) kelas 11PowerPoint Pemanasan Global (Global Warming) kelas 11
PowerPoint Pemanasan Global (Global Warming) kelas 11Thasya Riesthiara Putri
 
ITP UNS SEMESTER 1 Praktikum fisika Dinamika fluida
ITP UNS SEMESTER 1 Praktikum fisika Dinamika fluidaITP UNS SEMESTER 1 Praktikum fisika Dinamika fluida
ITP UNS SEMESTER 1 Praktikum fisika Dinamika fluidaFransiska Puteri
 
Laporan praktikum agroklimatologi
Laporan praktikum agroklimatologi Laporan praktikum agroklimatologi
Laporan praktikum agroklimatologi Febrina Tentaka
 
Bab 4. suhu, tekanan, kelembaban udara dan pengaruhnya thd tanaman
Bab 4. suhu, tekanan, kelembaban udara dan pengaruhnya thd tanamanBab 4. suhu, tekanan, kelembaban udara dan pengaruhnya thd tanaman
Bab 4. suhu, tekanan, kelembaban udara dan pengaruhnya thd tanamanPurwandaru Widyasunu
 
PPT Peristiwa Alam Beserta Dampaknya
PPT Peristiwa Alam Beserta DampaknyaPPT Peristiwa Alam Beserta Dampaknya
PPT Peristiwa Alam Beserta DampaknyaSinta18
 
Agroklimatologi Tekanan udara dan angin
Agroklimatologi Tekanan udara dan anginAgroklimatologi Tekanan udara dan angin
Agroklimatologi Tekanan udara dan anginJoel mabes
 
Laporan fisika dasar (tekanan hidrostatik)
Laporan fisika dasar (tekanan hidrostatik)Laporan fisika dasar (tekanan hidrostatik)
Laporan fisika dasar (tekanan hidrostatik)Rezki Amaliah
 
Bab 7 Tekanan Zat dan Penerapannya dalam Kehidupan Sehari-hari
Bab 7 Tekanan Zat dan Penerapannya dalam Kehidupan Sehari-hariBab 7 Tekanan Zat dan Penerapannya dalam Kehidupan Sehari-hari
Bab 7 Tekanan Zat dan Penerapannya dalam Kehidupan Sehari-hariLin Hidayati
 
kumpulan soal hukum-hukum gas
kumpulan soal hukum-hukum gaskumpulan soal hukum-hukum gas
kumpulan soal hukum-hukum gasRfebiola
 
Makalah termodinamika
Makalah termodinamikaMakalah termodinamika
Makalah termodinamikaIntan Dwisari
 
analisis prinsip kerja open pan evaporimeter
analisis prinsip kerja open pan evaporimeteranalisis prinsip kerja open pan evaporimeter
analisis prinsip kerja open pan evaporimeterAhmad Kanzu Firdaus
 

What's hot (20)

Viskositas, hukum stokes, hukum bernouli
Viskositas, hukum stokes, hukum bernouliViskositas, hukum stokes, hukum bernouli
Viskositas, hukum stokes, hukum bernouli
 
PPT Suhu dan Kalor
PPT Suhu dan KalorPPT Suhu dan Kalor
PPT Suhu dan Kalor
 
Laporan praktikum agroklimatologi hujan ferli
Laporan praktikum agroklimatologi hujan ferliLaporan praktikum agroklimatologi hujan ferli
Laporan praktikum agroklimatologi hujan ferli
 
PowerPoint Pemanasan Global (Global Warming) kelas 11
PowerPoint Pemanasan Global (Global Warming) kelas 11PowerPoint Pemanasan Global (Global Warming) kelas 11
PowerPoint Pemanasan Global (Global Warming) kelas 11
 
Pemanasan global
Pemanasan globalPemanasan global
Pemanasan global
 
ITP UNS SEMESTER 1 Praktikum fisika Dinamika fluida
ITP UNS SEMESTER 1 Praktikum fisika Dinamika fluidaITP UNS SEMESTER 1 Praktikum fisika Dinamika fluida
ITP UNS SEMESTER 1 Praktikum fisika Dinamika fluida
 
Contoh makalah pemanasan global
Contoh makalah pemanasan globalContoh makalah pemanasan global
Contoh makalah pemanasan global
 
Makalah pemanasan global..
Makalah pemanasan global..Makalah pemanasan global..
Makalah pemanasan global..
 
Laporan praktikum agroklimatologi
Laporan praktikum agroklimatologi Laporan praktikum agroklimatologi
Laporan praktikum agroklimatologi
 
Contoh makalah pemanasan globa1
Contoh makalah pemanasan globa1Contoh makalah pemanasan globa1
Contoh makalah pemanasan globa1
 
Bab 4. suhu, tekanan, kelembaban udara dan pengaruhnya thd tanaman
Bab 4. suhu, tekanan, kelembaban udara dan pengaruhnya thd tanamanBab 4. suhu, tekanan, kelembaban udara dan pengaruhnya thd tanaman
Bab 4. suhu, tekanan, kelembaban udara dan pengaruhnya thd tanaman
 
PPT Peristiwa Alam Beserta Dampaknya
PPT Peristiwa Alam Beserta DampaknyaPPT Peristiwa Alam Beserta Dampaknya
PPT Peristiwa Alam Beserta Dampaknya
 
Power point global warming
Power point global warmingPower point global warming
Power point global warming
 
Agroklimatologi Tekanan udara dan angin
Agroklimatologi Tekanan udara dan anginAgroklimatologi Tekanan udara dan angin
Agroklimatologi Tekanan udara dan angin
 
Laporan fisika dasar (tekanan hidrostatik)
Laporan fisika dasar (tekanan hidrostatik)Laporan fisika dasar (tekanan hidrostatik)
Laporan fisika dasar (tekanan hidrostatik)
 
Bab 7 Tekanan Zat dan Penerapannya dalam Kehidupan Sehari-hari
Bab 7 Tekanan Zat dan Penerapannya dalam Kehidupan Sehari-hariBab 7 Tekanan Zat dan Penerapannya dalam Kehidupan Sehari-hari
Bab 7 Tekanan Zat dan Penerapannya dalam Kehidupan Sehari-hari
 
kumpulan soal hukum-hukum gas
kumpulan soal hukum-hukum gaskumpulan soal hukum-hukum gas
kumpulan soal hukum-hukum gas
 
Makalah termodinamika
Makalah termodinamikaMakalah termodinamika
Makalah termodinamika
 
viskositas bola jatuh
viskositas bola jatuhviskositas bola jatuh
viskositas bola jatuh
 
analisis prinsip kerja open pan evaporimeter
analisis prinsip kerja open pan evaporimeteranalisis prinsip kerja open pan evaporimeter
analisis prinsip kerja open pan evaporimeter
 

Similar to DAMPAK PERUBAHAN IKLIM

Makalah bahaya pemanasan global sutamin
Makalah bahaya pemanasan global sutaminMakalah bahaya pemanasan global sutamin
Makalah bahaya pemanasan global sutaminSeptian Muna Barakati
 
Makalah bahaya pemanasan global sutamin
Makalah bahaya pemanasan global sutaminMakalah bahaya pemanasan global sutamin
Makalah bahaya pemanasan global sutaminWarnet Raha
 
Makalah bahaya pemanasan global hernawati
Makalah bahaya pemanasan global hernawatiMakalah bahaya pemanasan global hernawati
Makalah bahaya pemanasan global hernawatiWarnet Raha
 
Makalah bahaya pemanasan global hernawati
Makalah bahaya pemanasan global hernawatiMakalah bahaya pemanasan global hernawati
Makalah bahaya pemanasan global hernawatiSeptian Muna Barakati
 
Makalah bahaya pemanasan global hernawati
Makalah bahaya pemanasan global hernawatiMakalah bahaya pemanasan global hernawati
Makalah bahaya pemanasan global hernawatiSeptian Muna Barakati
 
Makalah bahaya pemanasan global sutamin
Makalah bahaya pemanasan global sutaminMakalah bahaya pemanasan global sutamin
Makalah bahaya pemanasan global sutaminSeptian Muna Barakati
 

Similar to DAMPAK PERUBAHAN IKLIM (20)

Makalah bahaya pemanasan global sutamin
Makalah bahaya pemanasan global sutaminMakalah bahaya pemanasan global sutamin
Makalah bahaya pemanasan global sutamin
 
Makalah bahaya pemanasan global sutamin
Makalah bahaya pemanasan global sutaminMakalah bahaya pemanasan global sutamin
Makalah bahaya pemanasan global sutamin
 
Makalah bahaya pemanasan global sutamin
Makalah bahaya pemanasan global sutaminMakalah bahaya pemanasan global sutamin
Makalah bahaya pemanasan global sutamin
 
Makalah ekologi umum hamria harisi
Makalah ekologi umum hamria harisiMakalah ekologi umum hamria harisi
Makalah ekologi umum hamria harisi
 
Global warming
Global warmingGlobal warming
Global warming
 
Makalah bahaya pemanasan global hernawati
Makalah bahaya pemanasan global hernawatiMakalah bahaya pemanasan global hernawati
Makalah bahaya pemanasan global hernawati
 
Makalah bahaya pemanasan global hernawati
Makalah bahaya pemanasan global hernawatiMakalah bahaya pemanasan global hernawati
Makalah bahaya pemanasan global hernawati
 
Makalah bahaya pemanasan global hernawati
Makalah bahaya pemanasan global hernawatiMakalah bahaya pemanasan global hernawati
Makalah bahaya pemanasan global hernawati
 
Makalah bahaya pemanasan global hernawati
Makalah bahaya pemanasan global hernawatiMakalah bahaya pemanasan global hernawati
Makalah bahaya pemanasan global hernawati
 
Makalah bahaya pemanasan global hernawati
Makalah bahaya pemanasan global hernawatiMakalah bahaya pemanasan global hernawati
Makalah bahaya pemanasan global hernawati
 
Makalah bahaya pemanasan global sutamin
Makalah bahaya pemanasan global sutaminMakalah bahaya pemanasan global sutamin
Makalah bahaya pemanasan global sutamin
 
Makalah ekologi global warming masra
Makalah ekologi global warming masraMakalah ekologi global warming masra
Makalah ekologi global warming masra
 
Makalah (2)
Makalah (2)Makalah (2)
Makalah (2)
 
Pemanasan global 1 AKPER PEMKAB MUNA
Pemanasan global 1 AKPER PEMKAB MUNA Pemanasan global 1 AKPER PEMKAB MUNA
Pemanasan global 1 AKPER PEMKAB MUNA
 
Pemanasan global 1
Pemanasan global 1Pemanasan global 1
Pemanasan global 1
 
Global warming KABUPATEN MUNA
Global warming KABUPATEN MUNAGlobal warming KABUPATEN MUNA
Global warming KABUPATEN MUNA
 
Cara mencegah pemanasan global
Cara mencegah pemanasan globalCara mencegah pemanasan global
Cara mencegah pemanasan global
 
Pemanasan global 1
Pemanasan global 1Pemanasan global 1
Pemanasan global 1
 
Makalah (2)
Makalah (2)Makalah (2)
Makalah (2)
 
Makalah dampak pemanasan global
Makalah dampak pemanasan globalMakalah dampak pemanasan global
Makalah dampak pemanasan global
 

More from Ethelbert Phanias

Mengurangi Daya Dukung Sampah Penghasil Gas Metana Terhadap Pemanasan Global
Mengurangi Daya Dukung Sampah Penghasil Gas Metana Terhadap Pemanasan GlobalMengurangi Daya Dukung Sampah Penghasil Gas Metana Terhadap Pemanasan Global
Mengurangi Daya Dukung Sampah Penghasil Gas Metana Terhadap Pemanasan GlobalEthelbert Phanias
 
Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) Berbasis Ramah Lingkungan Pad...
Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) Berbasis Ramah Lingkungan Pad...Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) Berbasis Ramah Lingkungan Pad...
Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) Berbasis Ramah Lingkungan Pad...Ethelbert Phanias
 
Pengelolaan Gambut Secara Berkelanjutan
Pengelolaan Gambut Secara BerkelanjutanPengelolaan Gambut Secara Berkelanjutan
Pengelolaan Gambut Secara BerkelanjutanEthelbert Phanias
 
PENGGUNAAN SENSOR LIGHT DEPENDENT RESISTOR (LDR) PADA SISTEM PENGGERAK PANEL...
PENGGUNAAN SENSOR LIGHT DEPENDENT RESISTOR (LDR)  PADA SISTEM PENGGERAK PANEL...PENGGUNAAN SENSOR LIGHT DEPENDENT RESISTOR (LDR)  PADA SISTEM PENGGERAK PANEL...
PENGGUNAAN SENSOR LIGHT DEPENDENT RESISTOR (LDR) PADA SISTEM PENGGERAK PANEL...Ethelbert Phanias
 
Pemanfaatan Teknologi Hybrid Berbasis Energi Surya dan Angin
Pemanfaatan Teknologi Hybrid Berbasis Energi Surya dan AnginPemanfaatan Teknologi Hybrid Berbasis Energi Surya dan Angin
Pemanfaatan Teknologi Hybrid Berbasis Energi Surya dan AnginEthelbert Phanias
 
ANGIN SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIF
ANGIN SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIFANGIN SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIF
ANGIN SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIFEthelbert Phanias
 
SEJARAH FISIKA WRIGHT BERSAUDARA
SEJARAH FISIKA WRIGHT BERSAUDARASEJARAH FISIKA WRIGHT BERSAUDARA
SEJARAH FISIKA WRIGHT BERSAUDARAEthelbert Phanias
 
Makalah OSN PERTAMINA 2011 ( Transmisi Cahaya Melalui Serat Optis)
Makalah OSN PERTAMINA 2011 ( Transmisi Cahaya Melalui Serat Optis)Makalah OSN PERTAMINA 2011 ( Transmisi Cahaya Melalui Serat Optis)
Makalah OSN PERTAMINA 2011 ( Transmisi Cahaya Melalui Serat Optis)Ethelbert Phanias
 
MAKALAH OSN PERTAMINA 2012 (Pemanfaatan Energi Surya Melalui Teknologi Non-Ph...
MAKALAH OSN PERTAMINA 2012 (Pemanfaatan Energi Surya Melalui Teknologi Non-Ph...MAKALAH OSN PERTAMINA 2012 (Pemanfaatan Energi Surya Melalui Teknologi Non-Ph...
MAKALAH OSN PERTAMINA 2012 (Pemanfaatan Energi Surya Melalui Teknologi Non-Ph...Ethelbert Phanias
 

More from Ethelbert Phanias (10)

Mengurangi Daya Dukung Sampah Penghasil Gas Metana Terhadap Pemanasan Global
Mengurangi Daya Dukung Sampah Penghasil Gas Metana Terhadap Pemanasan GlobalMengurangi Daya Dukung Sampah Penghasil Gas Metana Terhadap Pemanasan Global
Mengurangi Daya Dukung Sampah Penghasil Gas Metana Terhadap Pemanasan Global
 
Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) Berbasis Ramah Lingkungan Pad...
Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) Berbasis Ramah Lingkungan Pad...Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) Berbasis Ramah Lingkungan Pad...
Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) Berbasis Ramah Lingkungan Pad...
 
Pengelolaan Gambut Secara Berkelanjutan
Pengelolaan Gambut Secara BerkelanjutanPengelolaan Gambut Secara Berkelanjutan
Pengelolaan Gambut Secara Berkelanjutan
 
PENGGUNAAN SENSOR LIGHT DEPENDENT RESISTOR (LDR) PADA SISTEM PENGGERAK PANEL...
PENGGUNAAN SENSOR LIGHT DEPENDENT RESISTOR (LDR)  PADA SISTEM PENGGERAK PANEL...PENGGUNAAN SENSOR LIGHT DEPENDENT RESISTOR (LDR)  PADA SISTEM PENGGERAK PANEL...
PENGGUNAAN SENSOR LIGHT DEPENDENT RESISTOR (LDR) PADA SISTEM PENGGERAK PANEL...
 
Pemanfaatan Teknologi Hybrid Berbasis Energi Surya dan Angin
Pemanfaatan Teknologi Hybrid Berbasis Energi Surya dan AnginPemanfaatan Teknologi Hybrid Berbasis Energi Surya dan Angin
Pemanfaatan Teknologi Hybrid Berbasis Energi Surya dan Angin
 
ANGIN SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIF
ANGIN SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIFANGIN SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIF
ANGIN SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIF
 
SEJARAH FISIKA WRIGHT BERSAUDARA
SEJARAH FISIKA WRIGHT BERSAUDARASEJARAH FISIKA WRIGHT BERSAUDARA
SEJARAH FISIKA WRIGHT BERSAUDARA
 
Medan vektor
Medan vektorMedan vektor
Medan vektor
 
Makalah OSN PERTAMINA 2011 ( Transmisi Cahaya Melalui Serat Optis)
Makalah OSN PERTAMINA 2011 ( Transmisi Cahaya Melalui Serat Optis)Makalah OSN PERTAMINA 2011 ( Transmisi Cahaya Melalui Serat Optis)
Makalah OSN PERTAMINA 2011 ( Transmisi Cahaya Melalui Serat Optis)
 
MAKALAH OSN PERTAMINA 2012 (Pemanfaatan Energi Surya Melalui Teknologi Non-Ph...
MAKALAH OSN PERTAMINA 2012 (Pemanfaatan Energi Surya Melalui Teknologi Non-Ph...MAKALAH OSN PERTAMINA 2012 (Pemanfaatan Energi Surya Melalui Teknologi Non-Ph...
MAKALAH OSN PERTAMINA 2012 (Pemanfaatan Energi Surya Melalui Teknologi Non-Ph...
 

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM

  • 1. DAMPAK PERUBAHAN IKLIM GLOBAL` Sebagai Tugas Kelompok Pada Mata Kuliah Masalah Pembangunan Dan Lingkungan DOSEN PENGAMPU: Dr. Ir. ADI JAYA, M.Si Disusun Oleh Kelompok 6: ETHELBERT DAVITSON PHANIAS MUHAMMAD RUM DENOVAN SAMURAI TEWENG RIO MARINDA PROGRAM STUDI PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS PALANGKARAYA 2018
  • 2. ii KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan Puji Syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua, sehingga kami Kelompok 6 mendapat kemampuan untuk menyelesaikan makalah pada ini dengan judul “Dampak Perubahan Iklim Global” disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Masalah Pembangunan Dan Lingkungan. Ucapan terima kasih yang dalam tak terhingga kami sampaikan kepada seluruh komponen yang memberikan bantuan kepada kami sehingga makalah ini tersusun dengan baik. Ucapan terima kasih kami terutama disampaikan kepada : 1. Bapak Dr.Ir. ADI JAYA, M.Si sebagai dosen pengampu mata kuliah Masalah Pembangunan dan Lingkungan yang telah memeberikan tugas beserta pengasuhan dalam pembuatan makalah ini. 2. Teman-teman PSAL angkatan 2017 yang telah memberikan dukungan baik itu berupa moril maupun materill. Dalam penulisan makalah ini, kami sebagai penyusun tidak menutup kemungkinan adanya membuat kesalahan dan kekeliruan. Oleh sebab itu kami berharap untuk diberi kritikan dan saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih bagus lagi kedepannya. Atas perhatian dan partisipasinya kami kelompok 6 selaku penyusun makalah ini mengucapkan banyak-banyak terima kasih. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan berguna sehingga dapat menambah pengetahuan bagi kita semua, khususnya bagi para penerus bangsa ini kedepannya. Amin. Palangka Raya, Juli 2018 Tim Penulis,
  • 3. iii DAFTAR ISI Halaman Halaman Judul..................................................................................................... i Kata Pengantar ................................................................................................... ii Daftar Isi ............................................................................................................. iii Daftar Gambar .................................................................................................... iv BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah.......................................................................... 2 1.3 Tujuan Penulisan............................................................................ 3 1.4 Manfaat Penulisan.......................................................................... 3 BAB 2 PEMBAHASAN 2.1 Pemanasan Global......................................................................... 4 2.2 Efek Rumah Kaca .......................................................................... 5 2.3 Dampak Perubahan Iklim Global .................................................. 6 2.3.1 Dampak terhadap cuaca..................................................... 6 2.3.2 Tinggi Permukaan Air Laut ............................................... 7 2.3.3 Pertanian............................................................................. 7 2.3.4 Hewan dan Tumbuhan ....................................................... 8 2.3.5 Kesehatan Manusia ............................................................ 8 2.4 Dampak Perubahan Iklim Bagi Indonesia .................................... 8 2.4.1 Peningkata suhu dan ketidakteraturan musim.................... 9 2.4.2 Peningkatan Permukaan Air Laut ...................................... 9 2.4.3 Dampak Terhadap Sektor Perikanan.................................. 9 2.4.4 Dampak terhadap sektor Kehutanan .................................. 10 2.4.5 Dampak terhadap sektor Pertanian .................................... 10 2.4.6 Dampak terhadap Kesehatan.............................................. 11 2.5 Miigasi dan Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim ........................ 11 2.5.1 Mitigasi .............................................................................. 12 2.5.2 Adaptasi ............................................................................. 13 2.6 Konferensi Perubahan Iklim......................................................... 14 BAB 3 PENUTUP 3.1 Kesimpulan ................................................................................... 18 3.2 Saran ............................................................................................. 18 Daftar Pustaka .................................................................................................... 19 Lampiran ...................................................................................................... 20
  • 4. iv DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Temperatur rata-rata global selama periode 1995 – 1999 dan proyeksi sampai dengan tahun 2100............................................ 4 Gambar 2. Ilustrasi Efek Rumah Kaca.......................................................... 5
  • 5. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim merupakan fenomena global, dimana dampaknya akan dirasakan pula secara global oleh seluruh umat manusia di seluruh belahan bumi. Terlepas dari apakah daerah tersebut memberikan kontribusi terhadap terjadinya perubahan iklim atau tidak. Perubahan iklim pada kenyataannya sangat berdampak terhadap kelangsungan hidup umat manusia. Dampak ekstrim dari perubahan iklim terutama adalah terjadinya kenaikan temperatur serta pergeseran musim. Kenaikan temperatur menyebabkan es dan gletser di Kutub Utara dan Selatan mencair. Peristiwa ini menyebabkan terjadinya pemuaian massa air laut dan kenaikan permukaan air laut. Hal ini akan menurunkan produksi tambak ikan dan udang serta mengancam kehidupan masyarakat pesisir pantai. Sementara pergeseran musim serta perubahan pola curah hujan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi sektor pertanian dan perikanan. Hujan akan turun dengan intensitas yang tinggi, namun dalam periode yang lebih pendek sehingga berpotensi menyebabkan banjir dan longsor. Sementara musim panas terjadi dalam masa yang lebih panjang, sehingga menyebabkan kekeringan. Musim yang tidak menentu akan menyebabkan meningkatnya peristiwa gagal panen, sehingga kita akan mengalami krisis pangan. Namun demikian, tidak semua ilmuwan setuju tentang pemanasan global (global warming) yang memicu terjadinya perubahan iklim (climate change). Beberapa pengamat masih mempertanyakan apakah temperatur benar-benar meningkat. Yang lainnya mengakui perubahan telah terjadi tetapi tetap membantah bahwa masih terlalu dini untuk membuat prediksi tentang keadaan di masa depan. Kritikan seperti ini juga dapat membantah bukti-bukti yang menunjukkan kontribusi manusia terhadap pemanasan global dengan berargumen bahwa siklus alami dapat juga meningkatkan temperatur. Mereka juga menunjukkan fakta-fakta bahwa pemanasan berkelanjutan dapat menguntungkan di beberapa daerah (kawasan). Para ilmuan yang mempertanyakan pemanasan global cenderung menunjukkan tiga perbedaan yang masih dipertanyakan antara prediksi model pemanasan global dengan perilaku sebenarnya yang terjadi pada iklim. Pertama, pemanasan cenderung berhenti selama tiga dekade pada pertengahan abad ke-20. Bahkan ada masa pendinginan sebelum naik kembali pada tahun 1970-an. Kedua, jumlah total pemanasan selama abad ke-20 hanya separuh dari yang diprediksi oleh model. Ketiga, troposfer, lapisan atmosfer terendah, tidak memanas secepat prediksi model. Akan tetapi, pendukung adanya pemanasan global menjawab dua dari tiga pertanyaan tersebut. Kurangnya pemanasan pada pertengahan abad disebabkan oleh besarnya polusi udara yang menyebarkan partikulat-partikulat, terutama sulfat, ke atmosfer. Partikulat ini, juga dikenal sebagai aerosol, memantulkan sebagian sinar matahari kembali ke angkasa luar. Pemanasan berkelanjutan akhirnya mengatasi efek ini, sebagian lagi karena adanya kontrol yang ketat terhadap polusi yang menyebabkan udara menjadi lebih bersih.
  • 6. 2 Keadaan pemanasan global sejak 1900 yang tidak seperti diprediksi ternyata disebabkan oleh penyerapan panas secara besar oleh lautan. Pada tahun 2000, United States National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) memberikan hasil analisis baru tentang temperatur air yang diukur oleh para pengamat di seluruh dunia selama 50 tahun terakhir. Hasil pengukuran tersebutmemperlihatkan adanya kecenderungan pemanasan di laut tersebut. Temperatur laut dunia pada tahun 1998 ternyata lebih tinggi 0,2 derajat Celsius (0,3 derajat Fahrenheit) daripada temperatur rata-rata 50 tahun terakhir. Dengan demikian terbukti ada sedikit perubahan tetapi cukup berarti. Pertanyaan ketiga masih membingungkan. Satelit mendeteksi lebih sedikit pemanasan di troposfer dibandingkan prediksi model. Meskipun demikian, pada bulan Januari 2000, sebuah panel yang ditunjuk oleh National Academy of Sciences untuk membahas masalah ini mengakui bahwa pemanasan permukaan bumi adalah benar terjadi dan tidak dapat diragukan lagi. Sebagai negara kepulauan dan terletak di khatulistiwa, Indonesia. memiliki lebih dari 17.500 pulau serta tercatat sebagai negara dengan jumlah pulau terbanyak di dunia. Banyaknya jumlah pulau (sebagian besar daerah pesisirnya landai) yang dimiliki oleh Indonesia menjadikan negara kita dikenal sebagai negara yang memiliki garis pantai urutan kedua terpanjang di dunia, atau sekitar 14% dari garis pantai dunia. Sementara luas laut Indonesia mencapai 5,8 juta km2 atau mencapai hampir 70% luas wilayah Indonesia secara keseluruhan. Dengan posisi geografis dan kondisi topografis yang demikian menjadikan Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim yang terjadi dengan cepat. Meningkatnya permukaan air laut akan berdampak sangat luas bagi sumberdaya alam dan segala sendi kehidupan masyarakat khususnya masyarakat pesisir di Indonesia. Pada sisi lain, pola curah hujan dan musim yang tidak menentu akan berdampak sangat luas terhadap sektor pertanian dan ketersediaan pangan di Indonesia. Curah hujan yang berlebihan akan meningkatkan potensi banjir dan longsor di beberapa daerah. Sebaliknya pada daerah yang lain dapat mengalami musim kering yang lebih panjang akan memicu gagal panen dan kesulitan dalam memperoleh air. Musim kering yang berlangsung lama akan meingkatkan intensitas kebakaran hutan dan lahan di Indonesia serta masih banyak lagi dampak ikutan lain yang potensial terjadi. Kerentanan pada dasarnya merupakan fungsi besarnya perubahan dan dampak serta variasi perubahan iklim terhadap suatu sistem atau sub sistem. Sistem yang rentan tidak akan mampu mengatasi dampak yang kecil sekalipun, apalagi perubahan yang terjadi sangat besar, ekstrim dan sangat bervariasi. Tantangannya saat ini adalah mengatasi efek yang timbul sambil melakukan langkah-langkah untuk mencegah perubahan iklim secara ekstrim di masa depan. Permasalahannya adalah sejauh mana pemahaman dan kesiapan serta upaya sinergi kita dalam menghadapi kondisi tersebut. 1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam makalah ini, berdasarkan latar belakang di atas adalah sebagai berikut: 1. Apa saja dampak dari perubahan iklim secara global?
  • 7. 3 2. Apa saja strategi yang yang dapat dilakukan terhadap perubahan iklim? 1.3 Tujuan Penulisan Tujuan penulisan ini berdasarkan rumusan masalah di atas adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui dampak dari perubahan iklim secara global. 2. Untuk mengetahui strategi yang dapat dilakukan terhadap perubahan iklim. 1.4 Manfaat Penulisan Manfaat penulisan ini adalah memberikan informasi kepada pembaca mengenai isu perubahan iklim yang ada saat ini, tenang bagaimana sumber, dampak, dan solusinya dapat kita ketahui bersama.
  • 8. 4 BAB 2 PEMBAHASAN 2.1 Pemanasan Global Pemanasan global (global warming) adalah peristiwa dimana terjadinya peningkatan temperatur rata-rata atmosfer, laut dan daratan bumi. Dalam sejarahnya planet bumi telah menghangat dan juga mendingin berkali-kali selama kurun waktu 4,65 milyar tahun. Pada saat ini, Bumi menghadapi pemanasan yang cepat, yang oleh para ilmuwan dianggap disebabkan aktivitas manusia. Penyebab utama pemanasan ini adalah pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam, yang melepas karbondioksida dan gas-gas lainnya yang dikenal sebagai gas rumah kaca (GRK) ke atmosfer. Ketika atmosfer semakin dipenuhi oleh gas-gas rumah kaca ini, maka atmosfer semakin menjadi penghalang panas (insulator) yang akan menahan lebih banyak panas dari matahari yang dipancarkan ke bumi. Para ahli mengemukakan bahwa rata-rata temperatur permukaan bumi adalah sekitar 15°C (59°F). Dalam kurun waktu seratus tahun terakhir (1900 – 2000), rata-rata temperatur ini telah mengalami peningkatan sebesar 0,6 derajat Celsius (1 derajat Fahrenheit). Dengan memperhatikan fenomena peningkatan tersebut para ilmuwan memperkirakan bahwa pemanasan lebih jauh dapat terjadi hingga 1,4 - 5,8 derajat Celsius (2,5 - 10,4 derajat Fahrenheit) pada tahun 2100 seperti diilustrasikan pada Gambar 1. Kenaikan temperatur ini akan mengakibatkan mencairnya es di kutub dan menghangatkan lautan, yang mengakibatkan meningkatnya volume lautan. Meningkatnya volume air laut akan menaikkan permukaannya sekitar 9 - 100 cm (4 - 40 inchi). Hal ini berpotensi menimbulkan banjir di daerah pantai, bahkan dapat menenggelamkan pulau-pulau, terutama dataran rendah yang memiliki topografi landai (BBC-Indonesia, 21 Mei 2009). Gambar 1. Temperatur rata-rata global selama periode 1995 – 1999 dan proyeksi sampai dengan tahun 2100
  • 9. 5 Beberapa daerah dengan iklim yang hangat akan menerima curah hujan yang lebih tinggi, tetapi tanah juga akan lebih cepat kering. Kekeringan tanah ini akan merusak tanaman bahkan menghancurkan suplai makanan di beberapa tempat di dunia. Hewan dan tanaman akan bermigrasi ke arah kutub yang lebih dingin dan spesies yang tidak mampu berpindah akan musnah. Potensi kerusakan yang ditimbulkan oleh pemanasan global ini sangat besar sehingga ilmuwan-ilmuwan ternama dunia menyerukan perlunya kerjasama internasional serta reaksi yang cepat untuk mengatasi masalah ini (Warsi, 21 Mei 2007). 2.2 Efek Rumah Kaca Matahari merupakan pensuplai energi bagi bumi. Sebagian besar energy yang membanjiri planet kita ini adalah radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak (visible). Pada saat energi ini mengenai permukaan bumi, energi tersebut berubah dari cahaya menjadi panas dan menghangatkan bumi. Namun demikian, tidak semua energi tersebut diserap oleh bumi, sebagian dari panas akan dipantulkan kembali oleh permukaan bumi (daratan dan air) sebagai radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar (stratosfer) dan sebagian lagi tetap terperangkap di atmosfer bumi (troposfer). Gas-gas tertentu di atmosfer seperti uap air, karbondioksida (CO2), nitro oksida (N2O), metana (CH4) dan lain-lain menjadi perangkap terhadap radiasi ini. Gas-gas tersebut menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan bumi sehingga panas tersebut akan tersimpan kembali di permukaan bumi. Inilah yang dikenal sebagai Efek Rumah Kaca (Greenhouse Effect) dan gas-gas ini dikenal sebagai gas rumah kaca(GRK) (MenLH, 21 Mei 2007). Semua kehidupan di bumi tergantung pada efek rumah kaca ini, karena tanpanya, planet ini akan sangat dingin sehingga es akan menutupi seluruh permukaan bumi. Akan tetapi, bila gas-gas ini semakin meningkat konsentrasinya di atmosfer, maka semakin banyak panas yang terperangkap di bawahnya dan bumi menjadi semakin panas. Pemanasan yang terus-menerus inilah yang mengakibatkan terjadinya pemanasan global. Oleh karena suhu merupakan salah satu parameter iklim, maka peningkatan suhu akan turut mempengaruhi iklim bumi. Inilah yang sekarang dikenal dengan perubahan iklim secara global. Gambar 2. Ilustrasi Efek Rumah Kaca
  • 10. 6 Para ilmuan juga telah lama menduga bahwa iklim global semakin menghangat. Hanya saja pada waktu itu mereka belum mampu memberikan bukti- bukti yang tepat. Temperatur terus bervariasi dari waktu ke waktu dan dari lokasi yang satu ke lokasi lainnya. Perlu bertahun-tahun pengamatan iklim untuk memperoleh data-data yang menunjukkan suatu kecenderungan (trend) yang jelas. Sejak 1957, data-data diperoleh dari stasiun cuaca terpercaya serta dari satelit telah memberikan hasil pengukuran yang lebih akurat, terutama pada 70 persen permukaan bumi yang tertutup lautan. Data-data ini menunjukkan bahwa kecenderungan menghangatnya permukaan bumi benar-benar terjadi. Jika dilihat pada akhir abad ke-20, tercatat bahwa sepuluh tahun terhangat selama seratus tahun terakhir terjadi setelah tahun 1980, dan tiga tahun terpanas terjadi setelah tahun 1990, dimana 1998 menjadi tahun yang paling panas. 2.3 Dampak Perubahan Iklim Global Pada awal 1896, para ilmuwan beranggapan bahwa membakar bahan bakar fosil akan mengubah komposisi atmosfer dan dapat meningkatkan temperatur rata- rata global. Hipotesis ini dikonfirmasi tahun 1957 ketika para peneliti yang bekerja pada program penelitian global yaitu International Geophysical Year, mengambil sampel atmosfer dari puncak gunung Mauna Loa di Hawaii. Hasil pengukurannya menunjukkan terjadi peningkatan konsentrasi karbondioksida di atmosfer. Setelah itu, komposisi dari atmosfer terus diukur dengan cermat. Data-data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa memang terjadi peningkatan konsentrasi dari gas-gas rumah kaca di atmosfer. Konsekuensi selanjutnya dari peningkatan konsentrasi gas rumah kaca adalah peningkatan temperatur bumi baik di daratan, lautan maupun atmosfer bumi. Seiring dengan semakin berkembangnya teknologi komputer, para ilmuwan menggunakan model komputer dari temperatur, pola presipitasi dan sirkulasi atmosfer untuk mempelajari pengaruh pemanasan global. Berdasarkan model tersebut, para ilmuwan telah membuat beberapa prakiraan mengenai dampak pemanasan global terhadap kesehatan manusia, pertanian, hutan, sumber daya air, daerah pantai serta kelangsungan hidup spesies dan kawasan alamiah lainnya. 2.3.1 Dampak Terhadap Cuaca Selama pemanasan global, para ilmuwan memperkirakan bahwa daerah bagian Utara dari belahan bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil. Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Temperatur pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat. Sementara itu, daerah yang hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari lautan. Para ilmuan belum begitu yakin apakah kelembaban tersebut malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang terjadi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya berpotensi meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga
  • 11. 7 akan memantulkan cahaya matahari kembali ke angkasa luar, di mana akan menurunkan proses pemanasan (siklus air). Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. Badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berubah-ubah pula. Kontradiktif dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Dengan kenyataan ini, maka pola cuaca menjadi semakin sulit diprediksi dan lebih ekstrim dari semula. 2.3.2 Tinggi Permukaan Air Laut Apabila suhu atmosfer meningkat, maka dampak peningkatan suhu tersebut akan didistribusikan ke seluruh permukaan bumi termasuk pada permukaan laut. Dengan demikian, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar Greenland, yang juga berdampak akan memperbanyak volume air di laut. Gambaran sejumlah factor yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan tinggi muka air laut. Selama abad ke – 20, tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat sebesar 10 - 25 cm (4 - 10 inchi). Para ilmuwan dari IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut menjadi 9 - 88 cm (4 - 35 inchi) pada abad ke-21. Perubahan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan banyak pulau dan daerah pesisir pantai. Erosi dari tebing, pantai, dan bukit pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan. Meskipun sedikit, kenaikan tinggi muka laut akan sangat potensial mempengaruhi ekosistem pantai dan rawa-rawa. Hal ini akan berimplikasi mulai dari gangguan terhadap rantai makanan sampai pada hilangnya spesies biota tertentu dan seterusnya sehingga merusak tatanan kehidupan di bumi secara global. 2.3.3 Pertanian Secara umum mungkin banyak orang beranggapan bahwa bumi yang hangat akan menghasilkan lebih banyak makanan dari sebelumnya. Akan tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa tempat di permukaan bumi. Bagian Selatan Kanada, misalnya mungkin akan mendapat keuntungan dari lebih tingginya curah hujan serta lebih lamanya masa tanam. Demikian pula halnya dengan mencairnya es abadi yang menutupi sebagian besar daratan di belahan bumi utara seperti di Rusia, Greenland dan tempat lainnya, pada satu sisi akan memperluas areal pertanian (yang tidak ditutupi lapisan es). Sedangkan pada belahan bumi yang lain seperti di daerah tropis semi kering pada beberapa bagian Afrika mungkin tanaman tidak dapat tumbuh di areal pertanian. Daerah pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari gunung- gunung yang jauh dapat menderita jika kumpulan salju (snowpack) musim dingin yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum puncak masa tanam. Disamping itu, perubahan iklim yang tidak menentu dapat menyebabkan tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan penyakit yang lebih hebat.
  • 12. 8 2.3.4 Hewan dan Tumbuhan Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek pemanasan global ini karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia. Akibat dari pemanasan global, hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas pegunungan yang suhunya lebih dingin. Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat lamanya menjadi terlaluhangat. Akan tetapi, aktivitas dan pembangunan yang dilakukan manusia akan menghalangi perpindahan ini. Spesies-spesies yang bermigrasi ke utara atau selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau lahan-lahan pertanian mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu secara cepat berpindah menuju daerah yang lebih sejuk (kutub) mungkin juga akan musnah. 2.3.5 Kesehatan Manusia Para ilmuan memprediksi bahwa dalam dunia yang hangat akan lebih banyak orang yang terkena penyakit atau meninggal karena stress panas. Wabah penyakit yang biasa ditemukan di daerah tropis, seperti penyakit yang diakibatkan nyamuk dan hewan pembawa penyakit lainnya, akan semakin meluas karena mereka dapat berpindah ke daerah yang sebelumnya terlalu dingin bagi mereka. Saat ini, 45 persen penduduk dunia tinggal di daerah di mana mereka dapat tergigit oleh nyamuk pembawa parasit malaria. Persentase itu akan meningkat menjadi sekitar 60 persen jika temperatur terus mengalami peningkatan. Penyakit-penyakit tropis lainnya juga dapat menyebar seperti malaria, adalah demam berdarah (dengue), demam kuning, dan encephalitis. Para ilmuan juga memprediksi bahwa meningkatnya insiden alergi dan penyakit pernafasan karena udara yang lebih hangat akan memperbanyak spora mold, serbuk sari debu dan polutan lainnya sehingga sangat potensial untuk mempengaruhi derajat kesehatan manusia. 2.4 Dampak Perubahan Iklim Bagi Indonesia Indonesia adalah negara kepulauan yang terletak di khatulistiwa dan terbentang dari 60 Lintang Utara (LU) sampai dengan 110 Lintang Selatan (LS) serta dari 90 Bujur Timur (BT) sampai dengan 1410 Bujur Timur (BT). Memiliki sebanyak 17. dan tercatat sebagai negara dengan jumlah pulau terbanyak di dunia. Dari jumlah tersebut, baru sekitar 6.000 pulau yang berpenghuni. Sedangkan sisanya merupakan pulau yang tidak berpenghuni dan hanya didominasi oleh vegetasi serta menjadi habitat satwa liar. Banyaknya jumlah pulau yang 500 pulau dimiliki oleh Indonesia menjadikan negara kita dikenal sebagai negara yang memiliki garis pantai urutan kedua terpanjang di dunia, yaitu sekitar 81.000 km. Ini berarti bahwa garis pantai Indonesia merupakan 14% dari garis pantai dunia. Sementara luas laut Indonesia mencapai 5,8 juta km2 atau mencapai hampir 70% luas wilayah Indonesia secara keseluruhan. Dengan posisi geografis yang demikian membuat Indonesia tidak luput bahkan menjadi sangat rentan terhadap perubahan iklim yang terjadi dengan cepat. Pola curah hujan akan berubah dan musim kering akan bertambah panjang. Banyak pulau yang terancam tenggelam akibat kenaikan permukaan air laut dan masih banyak lagi dampak lain yang akan timbul. Berbagai dampak yang telah dan akan dirasakan oleh masyarakat Indonesia sebagai akibat perubahan iklim antara lain sebagai berikut :
  • 13. 9 2.4.1 Peningkatan Suhu dan Ketidakteraturan Musim Pemanasan global diperkirakan menyebabkan terjadinya kenaikan suhu bumi rata-rata sebesar 1°C pada tahun 2025 dibanding suhu saat ini, atau 2°C lebih tinggi dari jaman pra industri, tahun 1750 - 1800 (IPCC, 2001). Pada jaman pra industri (sebelum tahun 1850), konsentrasi karbondioksida tercatat sekitar 290 ppm. Namun pada tahun 1990, konsentrasi CO2 telah meningkat hingga mencapai 353 ppm. Dengan pola konsumsi energi seperti sekarang, diperkirakan pada tahun 2100 konsentrasi karbondioksida akan meningkat hingga dua atau tiga kali lipat dibanding jaman pra industri, yaitu sebesar 580 ppm. Menurut IPCC (2007a dan 2007b), dengan peningkatan konsentrasi karbon dioksida sebanyak dua kali lipat, maka diperkirakan peningkatan suhu bumi yang akan terjadi adalah sebesar 1,4 - 5,8°C. Di Indonesia sendiri telah terjadi peningkatan suhu udara sebesar 0,3°C sejak tahun 1990. Sementara di tahun 1998, suhu udara mencapai titik tertinggi, yaitu sekitar 1°C di atas suhu rata-rata tahun 1961 - 1990. Beberapa skenario proyeksi kenaikan suhu udara di Indonesia menunjukan bahwa peningkatan konsentrasi karbon dioksida sebesar dua kali lipat akan diikuti oleh peningkatan suhu udara rata-rata sebesar 3 - 4,2°C. Dampak lain yang diperkirakan terjadi akibat perubahan iklim adalah tidak menentunya pola curah hujan. Di beberapa tempat curah hujan akan meningkat tajam, yang kemudian akan berdampak pada terjadinya banjir dan longsor. Sementara di sebagian tempat lain curah hujan justru menurun secara ekstrim, sehingga berdampak pada terjadinya kekeringan. 2.4.2 Peningkatan Permukaan Air Laut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memperkirakan bahwa pada kurun waktu 100 tahun terhitung mulai tahun 2000 permukaan air laut akan meningkat setinggi 15 - 90 cm dengan kepastian peningkatan mencapai setinggi 48 cm. Dari sejumlah penelitian dan diskusi yang motori oleh IPCC memperlihatkanbahwa telah terjadi kenaikan permukaan air laut sebesar 1 - 2 meter dalam 100 tahun terakhir. Pada tahun 2030, IPPC memperkirakan permukaan air laut akan bertambah 8 - 29 cm dari kondisi saat ini. 2.4.3 Dampak Terhadap Sektor Perikanan Pemanasan global menyebabkan memanasnya air laut, sebesar 2 - 3°C. Akibatnya, alga yang merupakan sumber makanan terumbu karang akan mati karena tidak mampu beradaptasi dengan peningkatan suhu air laut. Hal ini berdampak pada menipisnya ketersediaan makanan terumbu karang. Akhirnya, terumbu karang pun akan berubah warna menjadi putih (coral bleaching) dan mati. Memanasnya air laut mengakibatkan menurunnya jumlah terumbu karang termasuk di Indonesia seperti diindikasikan oleh Gambar 3.1. Padahal kepulauan Indonesia saat ini memiliki 14.000 unit terumbu karang dengan luasan total sekitar 85.700 km2 atau sekitar 14% dari terumbu karang dunia (WRI dalam Armely et al. , 2004). Peristiwa El Nino, biasa juga disebut ENSO (El Nino Southern Oscillation) yang terjadi setiap 2 - 13 tahun sekali, pada tahun 1997-1998 menyebabkan naiknya suhu air laut sehingga memicu peristiwa pemutihan karang yang paling luas, terutama di wilayah barat Indonesia. Pemutihan karang terjadi di bagian timur
  • 14. 10 Sumatera, Jawa, Bali dan Lombok. Menurut Wilkinson di Indonesia sudah terjadi pemutihan karang sebesar 30% (Murdiyarso dalam Armely et al, 2004). Setelah El Nino berlalu, terumbu karang yang rusak sebenarnya akan punya kesempatan untuk tumbuh kembali. Seperti halnya yang terjadi pada terumbu karang di Kepulauan Seribu yang membaik sekitar 20-30% dalam waktu 2 tahun. Dengan adanya perubahan iklim, pemutihan karang akan terjadi secara terus menerus, sehingga tak ada lagi kesempatan bagi terumbu karang untuk tumbuh dan memperbaiki dirinya. Pemutihan karang berdampak pada punahnya berbagai jenis ikan karang yang bernilai ekonomi tinggi (contohnya, ikan kerapu macan, kerapu sunu, napoleon dan lain-lain) karena tak ada lagi tempat hidup dan sebagai sumber makanan. Padahal Indonesia memiliki lebih dari 1.650 jenis ikan karang, itupun hanya yang terdapat di wilayah Indonesia bagian timur saja belum terhitung yang berada wilayah lainnya (Armely et al, 2004). 2.4.4 Dampak terhadap Sektor Kehutanan Peningkatan suhu yang terjadi dalam masa yang cukup lama, seperti musim kemarau panjang, mengakibatkan mudah terbakarnya ranting-ranting atau daun- daun akibat gesekan yang ditimbulkan. Hal ini menyebabkan kebakaran hutan dapat terjadi dalam waktu singkat dimana api melahap sekian hektar luasan hutan dan berbagai macam keanekaragaman hayati yang berada di dalamnya. Dengan demikian, peningkatan suhu meningkatkan peluang terjadinya kebakaran hutan. Oleh karena itu perubahan iklim yang berdampak pada meningkatnya suhu, dipastikan akan meningkatkan potensi kebakaran hutan. Kebakaran hutan bersumber pada tiga hal, yaitu kesengajaan manusia, kelalaian manusia dan karena faktor alam. Kebakaran hutan yang kita bahas pada bagian ini adalah yang disebabkan oleh faktor alam. Kebakaran hutan yang disebabkan oleh faktor alam, umumnya disebabkan oleh terjadinya peningkatan suhu udara di lingkungan sekitar hutan (KLH dan UNDP, 1998). Musim kemarau pada tahun 1994, telah menyebabkan hutan Indonesia seluas 5 juta ha habis terbakar. Sementara pada peristiwa El-Nino tahun 1997-1998, kawasan yang rusak akibat kebakaran hutan hampir seluas 10 juta hektar, termasukdi dalamnya pertanian dan padang rumput. Selain hilangnya sejumlah kawasan hutan, kebakaran hutan juga menyebabkan hilangnya berbagai keanekaragaman hayati, terutama yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Dari sekitar 10 juta hektar lahan yang rusak atau terbakar, kerugian untuk Indonesia terhitung mencapai 3 milyar dollar Amerika. Belum termasuk keugian sosial lainnya. Kejadian ini sekaligus melepaskan emisi gas rumah kaca (GRK) sebanyak 0,81-2,57 Gigaton karbon ke atmosfer (setara dengan 13 - 40% total emisi karbon dunia yang dihasilkan dari bahan bakar fosil per tahunnya) yang berarti menambah kontribusi terhadap perubahan iklim dan pemanasan global (WWF, 21 Mei 2007). 2.4.5 Dampak terhadap Sektor Pertanian Dampak paling merugikan akan melanda sektor pertanian di Indonesia akibat pergeseran musim dan perubahan pola hujan. Pada umumnya semua bentuk sistem pertanian sangat sensitif terhadap variasi iklim. Terjadinya keterlambatan musim tanam atau panen akan memberikan dampak yang besar baik secara langsung maupun tak langsung, seperti ketahanan pangan, industri pupuk, transportasi dan lain-lain. Iklim yang cenderung berubah dengan tidak menentu
  • 15. 11 berdampak pada turunnya produksi pangan di Indonesia. Dampak yang paling nyata dan kita alami saat ini adalah Indonesia harus mengimpor beras kembali. Perubahan iklim yang berdampak pada tingginya intensitas hujan dalam periode yang pendek akan menimbulkan banjir yang kemudian menyebabkan produksi padi menurun karena sawah terendam air. Akibatnya dana simpanan milik petani seharusnya untuk modal tanam digunakan untuk biaya hidup. Sehingga pada saat musim tanam tiba, petani sudah tidak lagi memiliki modal. Sebagai gambaran, pada 1995 hingga 2005, total tanaman padi yang terendam banjir berjumlah 1.926.636 hektar. Dari jumlah itu, 471.711 hektar di antaranya mengalami puso. Sawah yang mengalami kekeringan pada kurun waktu tersebut berjumlah 2.131.579 hektar, yang 328.447 hektar di antaranya gagal panen. Tahun 2006, 189.773 hektare tanaman padi mengalami gagal panen, dari 577.046 hektare sawah yang terkena banjir dan kekeringan. Dengan rata-rata produksi 5 ton gabah per hektare, gabah yang terbuang akibat kekeringan dan banjir pada 2006 mencapai 948.865 ton (Busyairi, 2007). 2.4.6 Dampak terhadap Kesehatan Perubahan iklim di Indonesia juga berimplikasi pada meningkatnya intensitas penyakit tropis, seperti malaria dan demam berdarah. Hal ini disebabkan oleh naiknya suhu udara yang menyebabkan masa inkubasi nyamuk semakin pendek. Konsekuensinya, nyamuk malaria dan demam berdarah akan berkembang biak dengan lebih cepat. Balita, anak-anak dan usia lanjut sangat rentan terhadap perubahan iklim. Jika kita tak berupaya menghambat terjadinya perubahan iklim, maka kasus malaria di Indonesia akan naik dari 2.705 kasus, pada tahun 1989, menjadi 3.246 kasus pada tahun 2070. Sedangkan kasus demam berdarah akan meningkat 4 kali lipat, dari 6 kasus menjadi 26 kasus per 10.000 penduduk, pada periode waktu yang sama (ALGAS, 1997). Disamping itu, kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia juga telah menyebabkan kualitas udara menjadi semakin tidak sehat. Dampaknya adalah menurunnya derajat kesehatan penduduk bukan hanya di sekitar lokasi terjadinya kebakaran tetapi juga daerah lain bahkan sampai ke negara tetangga. Peristiwakebakaran hutan tahun 1997 mengakibatkan sekitar 12,5 juta populasi (di delapan provinsi) terpapar asap dan debu (PM10). Penyakit yang timbul adalah asma, bronkhitis dan ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut). Diduga kebakaran hutan juga menghasilkan racun dioksin yang dapat menyebabkan kanker dan kemandulan bagi wanita. Menurunnya kesehatan penduduk mengakibatkan kerugian berupa hilangnya 2,5 juta hari kerja (Armely, Diah dan Moekti, 2004). 2.5 Mitigasi Dan Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim Saat ini sebagian besar penduduk dunia telah menyadari bahwa pemanasan global yang mendorong terjadinya perubahan iklim global sedang berlangsung. Perubahan iklim yang dicirikan oleh peningkatan suhu udara serta perubahan besaran dan distribusi curah hujan membawa dampak yang sangat luas terhadap segi kehidupan manusia. Perubahan suhu dan curah hujan secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi sistem produksi pangan, sumberdaya air,pemukiman, kesehatan, energi serta sistem keuangan dan sebagainya. Dampak kondisi ini akan
  • 16. 12 semakin besar dirasakan oleh bagian dunia yang sangat rentan terhadap perubahan yang terjadi. Murdiyarso (2003) menyatakan bahwa kerentanan (vulnerability) didefinisikan sebagai kemampuan suatu sistem termasuk ekosistem, sosial ekonomi dan kelembagaan untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Kerentanan merupakan fungsi besarnya perubahan dan dampak serta variasi perubahan iklim. Sistem yang rentan tidak akan mampu mengatasi dampak yang kecil sekalipun, apalagi perubahan yang terjadi sangat besar, ekstrim dan sangat bervariasi. Tantangannya saat ini adalah mengatasi efek yang timbul sambil melakukan langkah-langkah untuk mencegah perubahan iklim secara ekstrim di masa depan. Ada dua pendekatan utama untuk mengatasi dan pengantisipasi perubahan iklim secara global, yaitu upaya mitigasi dan upaya adaptasi. 2.5.1 Mitigasi Salah satu cara menahan laju perubahan iklim adalah mengurangi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh aktivitas manusia. Ini bisa dilakukan antara lain dengan menggunakan bahan bakar dari sumber energi yang lebih bersih, seperti beralih dari batu bara ke gas, atau menggunakan sumber energi terbarukan seperti tenaga matahari atau biomassa. Selain itu, mengurangi penggunaan bahan bakar untuk kendaraan bermotor dan menghemat listrik juga mengurangi emisi gas rumah kaca. Usaha-usaha seperti ini disebut mitigasi. Upaya mengurangi dan memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca di udara dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, adalah dengan mengurangi produksi gas rumah kaca itu sendiri. Para ahli berpendapat bahwa cara yang paling mudah untuk menghilangkan karbondioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan serta menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbondioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya. Dengan demikian, upaya penanaman pohon an penghutanan kembali akan sangat berperan dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Cara kedua adalah mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen karbon-nya di tempat lain. Cara ini disebut menghilangkan karbon (carbon sequestration). Gas karbondioksida juga dapat dihilangkan secara langsung. Caranya dengan menyuntikkan (menginjeksikan) gas tersebut ke sumur-sumur minyak untuk mendorong agar minyak bumi keluar ke permukaan. Hal ini telah dilakukan di salah satu anjungan pengeboran lepas pantai Norwegia, di mana karbondioksida yang terbawa ke permukaan bersama gas alam ditangkap dan diinjeksikan kembali ke aquifer sehingga tidak dapat kembali ke permukaan (IPCC, 2005) Belajar dari pengalaman 100 tahun yang lalu, orang menyadari bahwa betapa buruknya planet bumi ini telah diperlakukan sehingga iklimnya berubah secara ekstrim. Jika pola hidup seperti itu berlanjut dengan kecenderungan seperti sekarang, maka dalam 100 tahun yang akan datang, bumi tidak akan mampu mendukung kehidupan di atasnya. Karena itu diperlukan kesepakatan secara global mengenai tata cara pengurangan emisi gas rumah kaca. Kerjasama internasional diperlukan untuk mensukseskan pengurangan emisi gas-gas rumah kaca tersebut. Pada tahun 1992, dalam Earth Summit di Rio de Janeiro Brazil, 150 negara berikrar
  • 17. 13 untuk menghadapi masalah gas rumah kaca dan setuju untuk menterjemahkanmaksud ini dalam suatu perjanjian yang mengikat. Pada tahun 1997 di Jepang, 160 negara merumuskan persetujuan yang dikenal dengan Protokol Kyoto. Melalui Protokol Kyoto, usaha-usaha mitigasi dilakukan secara global. Protokol Kyoto mengamanatkan agar negara-negara maju menurunkan emisi rata- ratanya sebesar 5% dari tingkat emisi tahun 1990 pada periode 2008 – 2012 (Murdiyarso, 2003). Dickson (2004) dan Sanjay (2006) mengemukakan bahwa banyak orang mengkritik Protokol Kyoto terlalu lemah. Bahkan jika perjanjian ini dilaksanakan segera, ia hanya akan sedikit mengurangi bertambahnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Suatu tindakan yang keras akan diperlukan nanti, terutama karena negara-negara berkembang yang dikecualikan dari perjanjian ini akan menghasilkan separuh dari emisi gas rumah kaca pada 2035. Penentang protokol ini memiliki posisi yang sangat kuat. Penolakan terhadap perjanjian ini di Amerika Serikat terutama dikemukakan oleh industri minyak, industri batubara dan perusahaan-perusahaan lainnya yang produksinya tergantung pada bahan bakar fosil. Para penentang ini mengklaim bahwa biaya ekonomi yang diperlukan untuk melaksanakan Protokol Kyoto dapat menjapai 300 milyar dollar AS, terutama disebabkan oleh biaya energi. 2.5.2 Adaptasi Perubahan iklim yang sedang terjadi dengan segala dampaknya adalah suatu keniscayaan dan tidak dapat dihindari. Usaha mengurangi gas rumah kaca sebaik apapun tidak akan mampu menghindarkan kita sepenuhnya dari dampak perubahan iklim. Oleh karena itu, harus dilakukan upaya adaptasi, yaitu mempersiapkan diri dan hidup dengan berbagai perubahan akibat perubahan iklim, baik yang telah terjadi maupun mengantisipasi dampak yang mungkin terjadi. Contoh adaptasi terhadap kejadian ekstrim adalah dengan mengantisipasi bencana alam yang bisa semakin sering terjadi karena adanya perubahan iklim. Ini bisa dilakukan dengan membuat sistem peringatan dini di daerah yang dinilai rawan bencana serta memberi petunjuk mengenai apa yang harus dilakukan masyarakat bila bencana tersebut terjadi. Sedangkan salah satu contoh tindakan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim yang berlangsung atau akan dirasakan pengaruhnya secara perlahan adalah membuat perlindungan bagi masyarakat yang tinggal di pesisir dengan cara menanam hutan bakau. Adanya hutan bakau mengurangi kemungkingan erosi pantai dan intrusi air laut ke dalam sumber air bersih akibat naiknya permukaan air laut serta bahaya akibat terjadinya gelombang pasang. Secara lebih global, beberapa tindakan adaptasi sudah mulai dilakukan, namun masih sangat terbatas. Contoh-contoh adaptasi yang ditemui adalah pembuatan infrastuktur untuk melindungi pantai di Maldives dan Belanda, serta dibuatnya kebijakan dan strategi manajemen air di Australia. Mitigasi sudah sering dilakukan untuk mempelajari dampak perubahan ikim ini, namun usaha untuk merencanakan strategi adapatsi secara terintegrasi belum dilakukan. Para pakar dan Pemerintah harus bahu-membahu untuk menyiapkan sistem peringatan dini, baik untuk memprediksi kemungkinan terjadinya fenomena alam maupun dampak jangka panjang yang terjadi secara bertahap. Namun demikian, untuk menyusun strategi adaptasi yang terintegrasi memang bukan
  • 18. 14 pekerjaan yang gampang. Perlu data dan informasi yang akurat mengenai dampak potensial dan menentukan lokasi-lokasi yang rawan terkena dampak dari perubahan iklim (Wahono, 2006 dan Walhi, 21 Mei 2007). Selain komitmen dari Pemerintah, upaya menyusun strategi adaptasi juga harus melibatkan masyarakat. Salah satunya adalah dengan meningkatkan kepedulian masyarakat melalui berbagai bentuk sosialisasi, termasuk menetapkan program lingkungan hidup sebagai bagian kurikulum pendidikan nasional. Mungkin upaya ini sudah dilakukan, tetapi akan lebih baik jika kesadaran ini dibangun secara nasional. Sudah saatnya semua sektor tidak lagin berpikir secara sektoral,namun bersinergi membuat sutau mekanisme satu atap untuk merancang strategi adaptasi dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim secara global. 2.6 Konferensi Perubahan Iklim Sebelum Konferensi Stockholm diselenggarakan, masyarakat internasional melakukan kerjasama internasional pertama kali terkait dengan isu-isu yang berhubungan dengan iklim sudah ada dalam Organisasi Meteorologi Internasional (International Meteorological Organization/IMO) pada tahun 1853, yang terbentuk saat Kongres Meteorologi Internasional (International Meteorological Congress) di Brussel. Selanjutnya IMO berubah menjadi WMO pada tahun 1947. WMO selanjutnya disusun dalam dua bidang. Pertama, Program Riset Atmosfer Global (Global Atmospheric Research Program/GARP), yang dibentuk tahun 1967. GARP bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan ilmiah mendasar sebagai dasar untuk meningkatkan pelayanan yang disediakan WWW (World Weather Watch) dan menyajikan pemahaman ilmiah tentang iklim. Kedua, pembentukan WWW tahun 1968 bertujuan untuk membantu pelayanan meteorologi nasional dalam bidang ramalan cuaca. Karakter agenda lingkungan hidup internasional sebelum tahun 1972 berkisar pada isu konversi hutan belantara dan satwa liar, polusi laut dan penyebaran senjata nuklir (Elliot, 2004). Pada pertengahan tahun 1950-an, kerusakan lingkungan telah memunculkan perjanjian seputar perlindungan lingkungan, atau setidaknya membuat aturan pengontrolan. Misalnya tentang polusi laut yang disebabkan oleh minyak tumpah. Perwujudannya ada dalam International Convention for the Prevention of The Sea by Oil pada tahun 1954, dan pada tahun 1958 ditandatangani Convention on The High Seas. Konvensi ini adalah pelopor dari konvensi hukum laut (Convention on the Law of the Sea) (Elliot, 2004). Pada tahun 1960-an organisasi konservasi lingkungan dan organisasi non pemerintah/NGO (Non-Governmental Organization) yang bergerak di bidang lingkungan telah mendorong berkembangnya kegiatan para aktivis lingkungan dalam isu lingkungan hidup internasional. Selain itu debat intelektual sebelum Konferensi Stockholm juga berkembang. Salah satu yang paling berpengaruh adalah tulisan yang dibuat para ilmuwan biologi, yang telah membuka pandangan tentang dampak aktifitas manusia terhadap lingkungan dan dampak degradasi lingkungan ke dalam kehidupan manusia. Publikasi yang dibuat oleh Rachel Carson pada tahun 1962, adalah buku yang berjudul Silent Spring. Buku ini telah memberi perhatian secara khusus terhadap dampak pemakaian pestisida terhadap kehidupan burung. Silent Spring telah memunculkan perdebatan tentang dampak aktivitas
  • 19. 15 manusia terhadap lingkungan. Tahun 1968, Garret Hardin menulis The Tragedy of Commons yang dipublikasikan dalam Science. Hardin berpendapat bahwa aktivitas manusia sejak zaman pra-industri telah berdampak terhadap atmosfer, dan dapat membawa tragedi bagi manusia. Selain tulisan yang dibuat Carson dan Hardin, Paul Ehrlich mempublikasikan tulisannya yang berjudul The Population Bomb. Dalam tulisannya, Ehrlich berpendapat bahwa pertumbuhan penduduk yang cepat jugaberdampak terhadap lingkungan. Pada akhir tahun 1960-an, bentuk kepedulian lingkungan hidup muncul dari kawasan-kawasan negara-negara Barat (North). Konferensi Stockholm membahas berbagai permasalahan lingkungan hidup. Dari perencanaan dan pengaturan dalam penyelesaian masalah dan identifikasi polusi. Selain itu juga menjadi forum untuk menyuarakan tema-tema yang penting. Misalnya ketidakmampuan negara dalam menangani isu lingkungan yang seringkali melewati batas negara. Pendekatan umum dalam Konferensi Stockholm adalah mencari pemecahan permasalahan lingkungan melalui kemajuan teknologi. Gagasan ini dimunculkan oleh gerakan-gerakan pro lingkungan seperti Socio Ecologist dan Deep Ecologist dari Amerika Serikat dan German Greens dari Jerman yang menekankan bahwa teknologi dapat menanggulangi krisis lingkungan hidup. Secara keseluruhan, dampak dari penyelenggaraan Konferensi Stockholm telah menjadi tanda bahwa dibutuhkan institusi (institusionalisasi) dalam mengatasi kerusakan lingkungan hidup. Pada tahun 1974, diadakan simposium para ilmuwan di Cocoyoc, Mexico, dan diketuai oleh Barbara Ward. Simposium ini diselenggarakan oleh UNEP dan UNCTAD (United Nations of Commission on Trade and Development). Simposium ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor sosial dan ekonomi akibat kerusakan lingkungan hidup. Hasil akhirnya diberi nama Deklarasi Cocoyoc (The Cocoyoc Declaration). Deklarasi ini mampu mengubah perspektif para ahli lingkungan hidup. Deklarasi Cocoyoc berisi ajakan untuk membangun struktur sosial yang mengekspresikan hak fundamental manusia, memanfaatkan kemajuan teknologi, dan membuat model pembangunan yang dapat melindungi dan meningkatkan kelestarian alam. Peralihan masalah perubahan iklim dari wacana akademik ke dalam agenda politik tidak terlepas dari peran komunitas epistemis yang tergabung dalam organisasi dan institusi internasional. Seperti pada awal tahun 1978, International Institute for Applied Systems Analysis (IIASA), WMO, UNEP, dan Scientific Committee On Problems of the Environment (SCOPE) membuat pelatihan kerja dalam membahas strategi energi terkait dengan pemanasan global. Beberapa ilmuwan juga menulis buku untuk mendapatkan perhatian dari kalangan politisi. Seperti buku Climatic Change and World Affairs yang ditulis oleh Crispin Tickell, lalu Stephen Schneider yang menulis The Genesis Strategy dan buku Least-Cost Energy: Solving the CO2 Problem yang ditulis oleh Amory Lovin. Selanjutnya Konferensi Iklim Dunia (Conference Climate World) di Jenewa tahun 1979 yang diadakan oleh WMO mengeluarkan pernyataan bahwa pembakaran BBF, deforestasi, telah menambah jumlah karbondioksida di atmosfer, dan karbondioksida sangat berpengaruh terhadap suhu bumi, sehingga menyebabkan pemanasan terus-menerus.
  • 20. 16 Salah satu capaian paling maju dalam negosiasi Konvensi Perubahan Iklim adalah diadopsinya Protokol Kyoto sebagai mekanisme pengurangan emisi. Terlepas dari kontroversi mekanisme Protokol Kyoto ini, dinamika perubahan iklim global telah masuk ke dalam agenda politik global yang mendapat perhatian serius dari negara maju maupun dari negara berkembang. Pada bagian ini akan dijelaskan kronologi terbentuknya Protokol Kyoto dilanjutkan dengan gambaran tentang sikap dari negara-negara maju dan negara-negara berkembang terhadap pengurangan emisi yang diatur dalam Protokol Kyoto ini. Harapan negara berkembang agar negara maju segera melakukan pengurangan emisi terhambat sikap negara-negara maju yang enggan meratifikasi Protokol Kyoto karena khawatir ekonominya terganggu. Amerika Serikat sebagai negara penghasil emisi terbesar dunia justru menolak keras untuk meratifikasi dan menarik diri dari Protokol Kyoto ini. Pertarungan kepentingan antara Amerika Serikat dengan negara-negara Pihak lainnya sudah berlangsung sejak penyusunan draft Protokol dalam sesi-sesi perundingan Ad-Hoc Working Group on Berlin Mandate (AGBM). Penyelenggaraan (Conference of Parties) CoP-3 merupakan salah satu konferensi tentang lingkungan yang paling besar dan mempunyai pengaruh luas dalam dinamika politik internasional. Mengingat hasilnya mempunyai dimensi yang berdampak luas bagi kehidupan umat manusia di muka bumi, maka perhelatan ini menjadi arena diplomasi lingkungan internasional tingkat tinggi. Isu perubahan iklim bukan lagi monopoli para ahli lingkungan karena spektrum cakupannya sudah melampaui kewenangan seorang pakar lingkungan. Masalah perubahan iklim adalah masalah bersama umat manusia. Seorang kepala negara atau kepala pemerintahan sekalipun tidak akan sanggup mengendalikan permasalahan perubahan iklim seorang diri. Oleh karena itu dibutuhkan kerja sama global antara negara maju dan negara berkembang untuk melakukan tindakan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, salah satunya melalui pelaksanaan CoP sebagai badan tertinggi pengambil keputusan strategis dalam UNFCCC. Melalui lembaga-lembaga yang telah dibentuk serta dengan fungsi dan kewajibannya masing-masing tersebut, maka masalah lingkungan hidup khususnya isu perubahan iklim global, mulai menjadi isu utama dalam setiap pertemuan para kepala negara baik dalam forum bilateral, regional, maupun dalam forum multilateral. Karena adanya persamaan persepsi antara semua pihak akan pentingnya keselamatan lingkungan dan bahaya yang akan ditimbulkan jika masalah lingkungan tidak diperhatikan oleh masing-masing negara. Pembangunan yang dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan akan terkait dengan persoalan lingkungan hidup, ekonomi, teknologi, sosial, budaya, bahkan masuk ke wilayah politik. Karena itu, pemerintah perlu mempunyai mainstream yang jelas dimana pembangunan berkelanjutan tersebut harus diarahkan pada pembangunan yang memperhatikan lingkungan, melestarikan fungsi ekosistem yang mendukungnya, pemanfaatan kegiatan untuk berkembang secara bersama-sama dan terus menerus. Yang menjadi perhatian utama dari semua pelaksanaan CoP tersebut, adalah pada saat pelaksanaan CoP-13 di Denpasar, Bali pada Desember 2007. Konferensi ini juga dikenal sebagai Konferensi Perubahan Iklim (United Nations Framework Conference on Climate Change – UNFCCC) karena pada periode inilah peran Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, yang juga termasuk dalam Non
  • 21. 17 Annex I mulai menunjukkan peranannya. Di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono ini, isu lingkungan hidup, khususnya isu perubahan iklim mendapat perhatian yang besar dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Isu perubahan iklim mempunyai keterkaitan luas dengan berbagai macam sektor. Sektor perekonomian menjadi taruhan besar dalam setiap pembahasan dan perundingan perubahan iklim. Setiap langkah mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim dapat berakibat langsung pada perekonomian di suatu negara. Tidak dapat dipungkiri bahwa penghasil emisi terbesar adalah di negara-negara maju. Sehingga ketika ada tuntutan agar negara maju segera menetapkan target pengurangan emisi, maka muncul reaksi dari negara-negara maju. Sampai CoP yang terakhir adalah CoP 23 yang diselenggarakan di Bonn 6- 17 November 2017, dihasilkannya Draft text untuk agenda Review of the effective implementation of the Climate Technology Centre and Network, draft conclusions untuk 4 agenda yaitu Report of the SBSTA, Report of the SBI, Reporting from and review of Parties included in Annex I to the Convention, and agenda Proramme budget for the biennium 2018-2019.
  • 22. 18 BAB 3 PENUTUP 3.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan, maka kesimpulan yang didapat adalah sebagai berikut: 1. Ada beberapa dampak perubahan iklim global seperti perubahan cuaca, meningkatnya tinggi permukaan air laut, tanaman pangan mudah hama, spesies akan bermigrasi, banyak orang mudah terkena penyakit, memanasnya air laut akan membuat menipisnya makanan terumbu karang sehingga ketersediaan ikan juga akan menipis dan karena kekeringan akan memudahkan terjadinya kebakaran hutan. 2. Beberapa solusi atas terjadinya perubahan iklim adalah mengurangi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh aktivitas manusia, seperti beralih dari batu bara ke gas, atau menggunakan sumber energi terbarukan seperti tenaga matahari atau biomassa. Selain itu, mengurangi penggunaan bahan bakar untuk kendaraan bermotor dan menghemat listrik juga mengurangi emisi gas rumah kaca dan memelihara pepohonan serta menanam pohon lebih banyak lagi 3.2 Saran Dalam penulisan makalah ini banyak hal yang dapat disampaikan, seperti dampak dan solusinya terhadap perubahan iklim dan untuk konferensi tentang isu perubahan iklim juga dapat dijelaskan lebih lengkap lagi.
  • 23. 19 DAFTAR PUSTAKA Armely M., R. S. Diah dan H. S. Moekti. 2004. Bumi Makin Panas : Ancaman Perubahan Iklim di Indonesia. Asian Least-Cost Greenhouse Gas Abatement Strategy (ALGAS). 1997. Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca. ADB dan AED. Jakarta. BBC INDONESIA. 2009. Jika Laut Makin Panas. Busyairi, M. A. 2007. Global Warming dan Kemanan Pangan Indonesia. Dickson, D., 2004. What Next After Kyoto? Elliot, Lorraine., The Global Politics of the Environment, New York University Press, Washington Square, New York, 2004. Inter-governmental Panel on Climate Change (IPCC). 2001. Climate Change : Impacts, Adaptation, and Vulnerability. Summary for Policymakers and Technical Summary of the Working Group II Report. WMO-UNEP. New York. Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia dan UNDP. 1998. Executive Summary Forest and Land Fires In Indonesia. Jakarta. Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia. 1998. Indonesia Country Study on Climate Change: Vulnerability and Adaptation Assesments of Climate Change in Indonesia. Jakarta. Murdiyarso, D. 2003. Protokol Kyoto : Implikasinya Bagi Negara Berkembang. Kompas. Jakarta. Sanjay, S., 2006. Climate Change : Looking to Life After Kyoto. Wahono, T. 2006. Perlu Strategi Adaptasi Hadapi Pemanasan Global. www.kompas.com. (21 Mei 2018) Warsi. 2007. Pemanasan Global.