Teks tersebut membahas tentang kehancuran yang menjadi takdir alam semesta dan semua makhluk hidup. Ia menjelaskan bahwa upaya manusia untuk bertahan hidup sebenarnya tidak ditujukan untuk menghentikan kehancuran, tetapi hanya untuk bertahan. Teks ini juga menekankan pentingnya kesadaran akan keterbatasan diri sebagai makhluk hidup agar dapat memaknai hidup dengan lebih bermakna, bukan hanya untuk di
Unlocking the Power of ChatGPT and AI in Testing - A Real-World Look, present...
NARASI KEHANCURAN
1. NARASI KEHANCURAN
Apa saja di dunia ini tidak ada yang abadi, semuanya akan musnah. Kemusnahan
adalah sebuah kemestian untuk penghuni Alam semesta ini. Perjuangan makluk,
seberapapun hebat dan sempurnanya,tidak akan pernah mampu menghentikan
monster mengerikan bernama Kemusnahan. Artinya, perjuangan, upaya dan usaha
makluk hidup sejatinya tidak pernah bertujuan untuk mengentikan kemusnahan,
namun “Hanya” berjuang bertahan.
Kesadaran akan kehancuran adalah baik. Bukan untuk menghentikan gelora
perjuangan mempertahankan kehidupan, namun untuk menyadari dengan rendah hati
dan tulus bahwa makluk hidup ini adalah ciptaan yang terbatas. Keterbatasan ini yang
menjadi fondasi kesadaran. Semakin manusia, sebagai bagian dari para makluk
penghuni semesta sadar bahwa dirinya adalah terbatas dan pasti akan musnah,
seharusnya menariknya pada sebuah refleksi, bahwa perjuangan di dalam hidupnya,
bukan sekedar untuk hidup, namun justru untuk mengaktualisasi diri.
Jika ada yang berpikiran bahwa hidup dengan segala serbanekanya, baik senang-
susah, baik-buruk, panjang-pendek,sehat-sakit dan seterusnya ini, adalah sekedar
sebuah takdir, dan karenanya, manusia berjuang hanya untuk dirinya, selesailah dia
sebagai manusia. Perjuangan dalam hidup manusia adalah perjuangan sejati mengerti
hakekat hidup. Jika hidup hanya dipahami untuk sekedar ada, samalah ia dengan
makluk lain yang tak bermartabat seperti manusia.
Kembali ke persoalan kehancuran. Semuanya adalah narasi. Hidup ini sejatinya adalah
narasi kehancuran. Semua makluk, sejatinya semenjak ada, sedang berjalan menuju
kehancuran. Sakit,sudah,derita menjadi sama artinya saat manusia sadar bahwa
semuanya itu adalah kelengkapan hidupnya sebagai manusia, yang-sekali lagi- menuju
kehancuran. Lalu, sia-siakah upaya dan perjuangan manusia, jika semuanya hanya
menuju pada kehancuran?Jawabnya tidak!
Seperti yang saya tuliskan di atas, dasar pengertiannya adalah kesadaran dan
pemahaman diri. Jika manusia sadar ia akan hancur,dan kemudian ia berupaya
memaknai hidup dan kehidupannya supaya lebih bermakna, bukan saja untuk dirinya
melainkan untuk sesama, sejatinya dia telah melukis narasi kehancuran yang indah.
Sering, atau bahkan selalu, manusia menjadi makluk yang kaku dan bodoh terkait
kehidupannya. Ia hanya mengerti bahwa hidupnya adalah hak sepenuhnya untuk
dirinya. Manusia (Kita di dalamnya, terkhusus yang membaca tulisan ini), lupa bahwa
keberadaannya sebagai manusia yang sejati justru karena ada makluk yang lain.
Kegagalan manusia menghargai dirinya berimbas pada penghargaan terhadapyang lain.
Disinilah ironi narasi itu sedang tergoreskan.
Saat manusia hanya berjuang untuk dirinya, karena beranggapan bahwa dirinya yang
paling penting untuk hidupnya, dan karenanya memperlakukan yang lain semena-
mena, sejatinya iatidak sedang menahan kehancuran,malahan ia sedang mempercepat
kehancuran itu. Narasi kehancuran sedang masuk ke perseneleng 5, semakin cepat.
Namun manusia tidak segera sadar.
Justru manusia semakin giat bertahan hidup untuk dirinya, dan dengan itu mereka
menguras alam,menggunduli hutan,mengeruk uang yang bukan miliknya, menindas
2. yang lain. Tujuan mereka baik namun baik untuk dirinya, mereka tidak sadar bahwa
sesama penghuni semesta banyak yang terluka?Selalu, kesukaan akan berbanding
lurus dengan kedukaan. Saat pembangunan jalan tol di mulai misalnya, banyak yang
tersenyum karena akan berpengaruh pada laju pertumbuhan ekonomi. Namun adalah
yang berpikir bahwa pembebasan tanah, pengerukan tanah dan juga penimbunannya
itu merusak ekosistem, merusak lingkungan/suka bagi pelaku ekonomi, namun
lonceng kematian bagi makluk-makluk kecil tak terhitung.
Kehadiran pabrikpun setali tiga uang. Sama saja! Hanya memberi kabar bahagia untuk
segelinitir penghuni semesta, sementara yang lain meraung-raung dalam tangisan sepi.
Saat pembangunan pabrik dimulai, banyak yang berharap akan mendapatkan
lapangan kerja. Mungkin benar, namun justru dengan demikian membuat gairah wira
usaha mandiri impoten. Pemuda-pemudi secara terstruktur dan masif dikebiri
semangat kemandiriannya, mereka suka diperbudak dan diperbudak sepanjang hayat.
Dan....Narasi kehancuran semakin jelas...
Pabrik menggantikan sawah..Petani dikerdilkan,tidak dihargai...desa dan kampung sepi
sementara kota, berjubel laksana semut mengerubungi gula beracun. Tapi itulah
realita, itulah fakta yang sedang bermain dalam narasi panjang kehancuran. Siapa
yang akan sadar terlebih dahulu?
Belum lagi persoalan relasi, budi pekerti, tindakan baik. Semua sudah kronis, dan
sekali lagi..narasi Kehancuran itu mendekati episode terakhirnya.
Perhatikan dengan seksama,jangan jauh-jauh, di sekitar kita saja. Seberapa saling
menghargai dan menghormati itu masih tersisa?Pemerintah pontang-panting berhutang
ke luar negeri untuk membangun infrastruktur, semisal pasar. Namun setalah jadi, apa
pedagang mau menempatinya?Tidak, mereka lebih suka berjualan di pinggir jlan,
mereka lebih suka mengganggu karena mungkin hidupnya sudah terlalu sering
diganggu. Akibatnya macet, waktu tergadaikan,amarah meledak dan seterusnya..
Narasi Kehancuran itu semakin mendekati tahap akhir...
Bersambung..