Grebeg Maulud Surakarta adalah acara rutin setiap tahun di Keraton Surakarta yang memperingati hari Maulud Nabi Muhammad SAW. Acara ini menampilkan iring-iringan Gunungan Tumpeng Raksasa dari Keraton menuju Masjid Agung Surakarta diikuti ribuan warga. Grebeg Maulud diprakarsai Sunan Kalijaga awalnya sebagai pengajian besar untuk memperingati Maulud Nabi di Masjid Demak.
2. Grebeg Mulud adalah salah satu acara rutin tiap tahun di
Keraton Surakarta.
Acara ini memperingati hari Maulud Nabi Muhammad
SAW. Pada moment ini akan dikirab Gunungan Tumpeng
Raksasa dari Keraton Surakarta menuju Masjid Agung
Surakarta.
3. Pada hari itu ribuan warga Surakarta dan sekitarnya
tumplek blek untuk ngalap berkah. Banyak yang berasal
dari Sragen, Karanganyar, Wonogiri dan daerah-daerah
lain yang lebih jauh.
Dalam acara ini berkumpul semua abdi dalem Keraton
Surakarta, juga kerabat keraton.
4. The history of grebeg maulud
Jika kita menelisik sejarah, kata “grebeg” berasal dari kata
“gumrebeg” artinya riuh, ribut dan ramai. Istilah grebeg
awalnya berarti “gerak bersama”, kemudian menjadi
“jalan maja”, “iring-iringan”. Upacara grebeg merupakan
upacara terpenting karena mengungkapkan pada tingkat
tertinggi, yaitu tindakan raja yang menggerakkan dunia.
Grebeg Maulud adalah suatu acara yang diprakarsai
Sunan Kalijaga. Aslinya, acara ini adalah tabligh atau
pengajian akbar yang diselenggarakan para wali di depan
masjid Demak untuk memperingati Maulud Nabi.
5. Tata cara grebeg maulud
1). Penyerahan kelengkapan “Jamasan Pusaka” atau minyak untuk
membersihkan pusaka diterimakan kepada sesepuh Kadilangu (Ahli waris
Sunan Kalijaga). Minyak diserahkan, yaitu lisah sepuh, lisah cendana dan
kembang.
2). Dikeluarkannya ajad dalem “Pareden”atau gunungan pada +/- jam
10.00 WIB. Tatacara yang dilaksanakan adalah seperti pada Grebeg Pasa
Dari ketiga jenis Grebeg tersebut, Grebeg Muludlah yang prospeknya
cerah dan banyak mengundang para pengunjung, oleh karena itu akan
dibahas lebih lanjut sebagai berikut.
Setelah perayaan sekaten berlangsung 7 hari, maka tepat tanggal 12
Rabiulawal, yakni hari lahirnya Nabi Muhammad SAW, diadakan upacara
selamatan dengan sesaji “Gunungan” yang diselenggarakan oleh Sinuhun
Paku Buwana. Puncak perayaan sekaten itu berbarengan dengan Grebeg
Mulud Nabi, serta dipusatkan di Masjid Agung yang terletak di sebelah
barat Alun-Alun utara.
6. Peresmian selamatan ini dimulai dengan pasewakan, Ingkang
Sinuhun memerintahkan Pepatih Dalem untuk menyampaikan
perintah kepada Kyai Penghulu Tapsiranom agar memimpin upacara
selamatan Mulud Nabi Muhammad SAW serta membacakan doa
seperlunya. Perjalanan rombongan pembawa sesaji “gunungan” dari
Karaton serta didahuluioleh tarian. Ini dilakukan oleh para
Brahmana dengan maksud untuk menguji kesungguhan iman
Pepatih dalem di dalam mengemban perintah Ingkang Sinuhun.
Kalau dalam menjalankan tugas tertawa itu tandanya masih bisa
tergoda.
Tentang sesaji gunungan ini KGPH Hadiwijaya menjelaskan sebagai
berikut: Gunungan (asal kata gunung) itu terdiri dari 24 jodang
besar, yaitu 12 buah jodang gunungan laki-laki dan 12 buah jodang
gunungan perempuan. Disela-sela itu terdapat anak-anak (saradan)
dan 24 buah ancak-canthaka.
7. Gunung laki-laki yang berbentuk tumpengan , lingga atau
meru itu tingginya melebihi tinggi ornag berdiri, dipundaknya
ditaruh ento-ento (sejenis makanan yang bentuknya bulat)
sebanyak 4 buah dan diatasnya 1 buah. Ini melambangkan rasa
sejati, perlambang yang dapat kita saksikan pada tugu batu
dari candi Sukuh (Sukuh, Tawangmangu) yang kini
ditancapkan bendera kecil gula klapa (putih merah) yang
dibalik, yang juga melambangkan laki-laki perempuan.
Gunungan bentuknya seperti tubuh gender ialah yoni. Oleh
sebab itu dinamakan “gegenderan”. Segala sesuatu tidak
berbeda dengan gunungan laki-laki di atas. Antara gunungan
laki-laki tersebut terdapat anak-anakan yang dinamakan
“saradan”
8. Pelaksanaan
Dalam iring-iringan dari halaman Kamandungan menuju
Masjid Besar, berjalan paling depan gunungan laki-laki
berselang dengan gunungan perempuan, sedang diantaranya
terdapat anak-anak (saradan). Di belakangnya adalah ancakcanthoka dalam formasi berjajar dua-dua. Perjalan diapit oleh
abdidalem panewu mantri. Dibelakang sendiri berjalan
seorang Bupati Pangreh Praja sebagai penutupnya.
Iring-iringan gunungan itu berjalan lewat di depan Ingkang
Sinuhun di Sitinggil, lewat alun-alun utara dan seterusnya
menuju masjid Besar. Perjalanan iring-iringan sesaji gunungan
tersebut mendapat penghormatan gending Mungga.
Sesampainya pada rombongan ancak-canthoka gending
berubah menjadi kodhok ngorek.
9. Selanjutnya mengenai jum`lah (hitungan) 12-24-2 di atas
masing-masing mempunyai arti sibolis sama dengan
hitungan khusus 3 = trimurti, 4 = keblat, 2 =
loro, loroning atunggal, dan sebagainya. Dikalangan
ilmiah barat disebutnyatweedeling dan perkalianangkaangka di atas apabila berikutnya 12 x 2 – 24 adalah
perputaran bumi mengelilingi matahari satu hari satu
malam selama 24 jam.
10. Setelah rombongan sampai di serambi Masjid Besar maka
Pepatih Dalem memberitahukan hajat Ingkang Sinuhun
kepada Kyai Penghulu Tafsiranom serta minta dibacakan
doa menurut semestinya. Kyai penghulu Tafsiranom
menerima penyerahan itu selanjutnya memimpin jalannya
upara sampai selesai. Kemudian sesudah upacara selesai,
maka gunungan dan tumpeng sewu dibagikan kepada
semua yang hadir, tidak ketinggalan dikirimkan kepada
Ingkang Sinuhun dan para pembesar yang dianggap perlu.