SlideShare a Scribd company logo
1 of 7
KERANCUAN DALAM PENGHITUNGAN TARIP
     PELAYANAN DI RUMAH SAKIT
                                        * Heru Kusumanto
Pendahuluan
Selama ini dalam menentukan tarip pelayanan di Rumah Sakit, kita selalu meng-
hadapi kesulitan. Pertama, kesulitan dalam menghitung unit cost, selain karena
sulitnya menentukan faktor apa saja yang harus dihitung, juga mengenai bagai-
mana cara menghitungnya. Kedua, pada waktu menentukan besaran tarip, kita
kesulitan dalam menentukan berapa margin yang kita inginkan dan mungkin kita
dapatkan. Ketiga, banyak peraturan (dari Pemerintah misalnya) ataupun referensi,
yang sifatnya teoritis dan sulit dipraktekkan (termasuk pengajaran di Perguruan
Tinggi), kadang-kadang terasa tidak sreg dengan pikiran kita, bahkan sepertinya
tidak masuk akal, tetapi mau mengkritik juga tidak ada referensinya.
Pada akhirnya, apa yang dilakukan dalam menetapkan tarip? Sesudah menghi-tung
unit cost dengan susah payah, bahkan sampai menggunakan konsultan yang tidak
murah, akhirnya dalam menentapkan tarip, hanya didasarkan besaran tarip yang
berlaku di Rumah Sakit lain/pesaing. Tergantung positioning kita, apakah kita
menempatkan diri diatas atau dibawah RS pesaing kita.
Satu hal yang sering membuat rancu atau menyulitkan kita dalam menghitung unit
cost adalah, kita selalu berorientasi kepada cara menghitung unit cost produk
barang fisik. Seperti misalnya menghitung harga sebuah mobil, maka dalam
menghitung unit costnya didasarkan pada biaya komponen bahan yang
dipergunakan untuk membuat mobil tersebut. Atau dalam membuat kue, maka
yang dihitung adalah berapa biaya yang telah dikeluarkan untuk membeli bahan
pembuat kue tersebut, kemudian dibagi dengan jumlah kue yang dihasilkan. (Lihat
tulisan kami tentang kerancuan penerapan teori ekonomi dalam mana-jemen
Rumah Sakit)


Kerancuan penentuan satuan unit jasa.
Selama ini, yang ada direferensi maupun bahan ajaran/kuliah, dalam menghitung
unit cost, selalu didahului dengan menghitung berapa jumlah biaya keseluruhan
yang disebut dengan Total Cost, kemudian dibagi dengan, nah ini yang sering jadi
masalah, yaitu untuk rawat jalan dibagi dengan jumlah pengunjung rawat jalan
misalnya (aktual) atau dibagi jumlah menurut perhitungan normatif.
Yang repot adalah dalam menentukan total cost, mana yang dihitung sebagai total
cost untuk rawat jalan, total cost rawat inap, total cost gawat darurat, total cost
instalasi penunjang dan sebagainya. Yang selama ini kita selalu diajarkan oleh
pengajar atau referensi, bahwa biaya listrik, telepon air, sumberdaya manusia,
Kerancuan dalam penghitungan Tarip RS. Heru Kusumanto/Persi/122005                1
bahan habis pakai (termasuk idle stock) dan lain-lain dihitung sebagai total cost.
Pertanyaan yang timbul adalah, listrik yang mana yang dihi tung untuk pelayanan
apa, SDM mana yang dihitung? Kalau keseluruhan gaji karyawan dihitung dan
dimasukan dalam menghitung unit cost, berapa standar gaji yang akan dipakai?
Padahal kita tahu yang ada standar hanya gaji pegawai negeri, yang tidak realistis
tentunya.
Kalau kita melihat ke teori ekonomi, dalam menghitung unit cost adalah dengan
cara membagi total cost dengan jumlah produksi, bukan membagi dengan produk
yang terjual. Kalau untuk produk fisik, yang nyata dapat dilihat dan diamati, mu
dah untuk menentukan jumlah produksinya. Tapi kalau untuk jasa, mana yang di
hitung sebagai produk yang dihasilkan dan mana produk yang terjual, sulit untuk
menjelaskan. Sehingga ditetapkan (sementara ini oleh berbagai kalangan yang
dianggap pakar) jumlah yang terjual ya sama dengan yang diproduksi.
Kerancuan berfikir tersebut menimbulkan kesulitan dalam menghitung unit cost,
dan ternyata sumber masalahnya adalah belum adanya ketegasan dan kesamaan
pemahaman baik dalam pemikiran maupun rumusan, apa satuan unit untuk
pelayanan medis/kesehatan di RS? Satuannya apa untuk jasa? Kalau produk fisik
mudah, satuannya biji, buah, unit atau set. Kalau sudah tahu dengan jelas
satuannya, tentunya tidak akan sulit dalam menghitung unit costnya.


Pemahaman Produk Jasa Pelayanan Medis
Oleh karena itu, dalam bisnis apapun, langkah pertama yang harus dilakukan
adalah melakukan pengenalan terhadap produk yang diproduksi dan dijual.
Dengan katalain, kita harus mempunyai product knowledge yang memadai. Ini
berlaku baik untuk produk yang berupa barang/fisik yang dapat dilihat, diraba
ataupun jasa yang tidak nyata, tidak terlihat.
Kalau kita melihat referensi tentang marketing, baik dari buku maupun sumber
yang lain, pasti disebutkan, ciri jasa antara lain adalah tidak dapat dilihat
(intangible), tidak dapat disimpan, mudah berubah, tidak dapat dimiliki, produksi
dan konsumsinya simultan, tidak dapat dipisahkan, artinya diproduksi dan
dikonsumsi pada saat yang sama.
Ciri yang terakhir inilah yang sebenarnya menjadi sumber masalah, dan sudah sa
lah kaprah, namun kita menerima hal itu apa adanya. Dengan demikian, banyak
orang yang menjadi berpendapat bahwa jasa yang terjual jumlahnya sama dengan
yang diproduksi. Atau, jumlah produksi adalah sama dengan volume penjualan.
Dampak yang paling nyata dari pemahaman seperti ini adalah pada penghitungan
unit cost, yaitu dengan membagi total cost dengan jumlah jasa yang terjual (jumlah
pengunjung/jumlah yang dirawat inap dst). Pasti jadi tidak tepat hitung-
hitungannya. Belum waktu menentukan total cost, biaya apa saja yang masuk dan
harus dihitung, mana yang tidakharus dihitung.
Kerancuan dalam penghitungan Tarip RS. Heru Kusumanto/Persi/122005               2
Sebetulnya, jasa itu tidak diproduksi dan dikonsumsi pada saat yang sama, tetapi
lebih tepatnya disajikan dan dikonsumsi pada saat yang sama. Ini berbeda
sekali. Karena tiak dapat disimpan, maka produk yang tidak terjual otomatis men
jadi hilang. Ini yang sering lupa diperhitungkan. Contoh padanan yang mirip
dengan jasa ini adalah arus enersi listrik (biasa disebut setrum). Pada saat kita
merubah posisi switch dari off menjadi on, maka listrik akan mengalir, lampu
menyala, komputer, televisi, dll, pasti menyala dan siap dipakai, berarti ada
setumnya. Nah, kalau pada posisi off, apa enersi listrik tadi tidak ada? Coba saja,
pegang kabelnya, atau colokan jari kita ke rumah bola lampu, pasti kesetrum. Pada
posisi off, berarti produk tetap ada tetapi tidak dimanfaatkan.
Kalau meminjam istilah di PLN atau pabrik produk apapun, ada yang dinamakan :
                                o    Kapasitas Produksi
                                o    Kapasitas Terpasang
                                o    Kapasitas Terpakai
Oleh karena itu pada saat kita berhitung dengan produk jasa pelayanan medispun
seharusnya juga harus bisa menjelaskan bagaimana menghitung kapasitas
produksi, kapsitas terpasang dan kapasitas terpakai di Rumah Sakit.
Selain dampak pada penghitungan unit cost, perlunya pemahaman satuan unit nya
adalah untuk memahami bagaimana menentukan mutu / kualitas produk.
Kapan kita menetapkan indikator kepuasan pelanggan sebagai salah satu indika
tor mutu jasa? Setelah terjadi transaksi atau sebelum transaksi? Memang ada sa tu
kata yang membuat bias, yaitu kata ‘pelayanan’, pelayanan medis sebagai produk
yang akan disajikan, atau pelayanan medis sebagai proses transaksi.
Kita sering tidak hati-hati dan sembrono, menggunakan istilah yang mempunyai
arti berbeda tersebut. Mengatakan pelayanan medis sebagai produk, tetapi dalam
pikiran membayangkan sebagai proses transaksi. Sehingga seringkali dicampur,
bicara kualitas jasa pelayanan medis, ya dua-duanya, baik sebagai produk maupun
sebagai proses transaksi. Akibatnya, pada waktu membicarakan kualitas produk,
langsung saja menyebut salah satu indikatornya adalah kepuasan pelang gan. Puas
atau kecewanya pelanggan itu tentunya setelah terjadi transaksi, pada hal kualitas
produk tentunya sebelum terjadi transaksi.
Dalam pemasaran, lebih gawat lagi, menggunakan segmentasi pasar dengan pen
dekatan yang menyamakan produk jasa pelayanan medis seperti produk fisik yang
diproduksi untuk memenuhi kebutuhan. Malah dikaitkan dengan ATP (ability to
pay) dan WTP (willingness to pay). Atau dikaitkan dengan teori elastisitas.
Runyam jadinya. Memang, sebagaimana ilmunya, Ekonomi adalah mempelajari
upaya manusia dalam memenuhi kebutuhan dengan sumberdaya yang terbatas.
Kondisi sakit itu kebutuhan atau resiko? Kalau sakit itu bukan kebutuhan, ya
jangan menggunakan ekonomi yang umum. Kita terjebak.

Kerancuan dalam penghitungan Tarip RS. Heru Kusumanto/Persi/122005                3
Ini menandakan belum ada pemahaman yang memadai mengenai apa yang sebe-
narnya jasa pelayanan medis itu, karena tidak/belum mengetahui satuan unitnya.
Belum ada rumusan yang jelas mengenai stuan unitnya.
Maaf saja, selama kita mempersepsikan jasa pelayanan medis di RS hanya untuk
melayani orang sakit (sesuai penamaan yang berasal sari zuiken huis), maka se
benarnya jasa yang dijual RS adalah sama dengan Jasa Pemadam Kebakaran, atau
Jasa Pemakaman. Mengapa? Karena sakit itu sebenarnya adalah Resiko, bukan
kebutuhan. Kalau Sehat, ya, itu kebutuhan.
Padahal semua orang tahu kalau yang namanya ilmu ekonomi itu adalah ilmu yang
mempelajari upaya manusia memenuhi kebutuhan dengan sumberdaya yang
terbatas. Sehingga wajar jika teori ekonomi tidak dapat begitu saja untuk
diterapkan dalam manajemen perumah sakitan, yang masih berorientasi pada
upaya pengobatan (yang terkategori sebagai unsought product).


Bagaimana menghitung Tarip ?
Kalau barang fisik, mudah membicarakan. Ambil contoh yang mudah, membuat
kue lemper (atau apa saja silahkan), apa yang kita hitung untuk mencari unit
costnya? Katakanlah kita akan memproduksi seratus buah lemper, untuk bahan
mentah, minyak untuk kompor dll, termasuk upah satu orang yang mengerjakan
pembuatan lemper adalah Rp. 100.000,-. Kemudian lemper kita jual, ternyata
hanya laku 50 buah, berapa unit cost per buah lemper?
Pertanyaannya, apakah untuk menghitung ini kita harus menghitung listrik diru
mah kita, kemudian kita hitung biaya telepon, air serta gaji pembantu yang lain
dirumah? Apa juga termasuk harga rumah, atau penyusutannya juga? Biaya apa
saja yang akan kita hitung menjadi total cost untuk membuat 100 lemper tersebut?
Katakanlah setelah ketemu total cost, untuk mencari unit cost apakah kemudian
akan dibagi dengan 100 lemper atau dibagi dengan 50?
Maaf, mahasiswa penulis di S2 MARS, ada yang menjawab unit cost perbuah
lemper adalah Rp. 2.000,- (karena dibagi 50, yang laku. Yang tidak laku dihitung
sebagai keuntungan). Ada yang menjawab unit costnya adalah Rp. 1000,- (karena
dibagi 100) Mana yang benar? Menghitung unit cost itu sebenarnya sebelum
barang dijual atau setelah dijual? Barangkali karena di perguruan tinggi harus
ilmiah sehingga cara berfikirnya harus ilmiah juga, dan takut salah maka ada yang
menjawab Rp. 2000,-. Masya Allah. Bagaimana kalau yang terjual 10?
Secara awampun, kalau biaya keseluruhan untuk memproduksi 100 lemper =
Rp.100.000,- tentunya biaya untuk per buah lemper adalah Rp. 1000,-. Nah
tinggal mau ambil untung berapa, untuk menentukan harga jualnya. Katakanlah
karena jualnnya di Mall Kelapa Gading, agar dapat menutup biaya pajak dll, harga
jual lemper dibuat Rp. 2000,- perbuah.

Kerancuan dalam penghitungan Tarip RS. Heru Kusumanto/Persi/122005              4
Dari keuntungan RP. 1000,- per buah lemper, setelah dikurangi pajak dan tip
untuk orang yang menjual, keuntungan bersih per buah menjadi Rp.600,-.
Misalnya setiap hari kita memproduksi lemper 100, berarti setiap bulan, pada hari
kerja, diproduksi 2.500 buah. Keuntungan per bulan = Rp 1.500.000,-. Nah dari
keuntungan sebesar Rp 1,5 juta inilah baru difikirkan penggunaannya, apakah mau
dipakai untuk membayar listrik, sekolah anak, gaji pembantu dll, tergantung kita.
Inipun dapat dihitung terlebih dulu dalam perencanaan.
Dengan cara pikir yang sama, tentunya menghitung cost untuk pelayanan medis di
RS tidak akan sulit. Asal diketahui rumusan satuan unitnya. Kalau sudah ketemu
biaya satuan, tinggal ditentukan margin/keuntungan yang diinginkan. Atau
bahkan untuk jenis pelayanan tertentu ada yang dijual dibawah unit cost, sebagai
loosing post misalnya, dalam strategi penetapan harga.
Sebelum masuk ke unit cost pelayanan medis, sekarang dicari contoh tentang jasa.
Mau salon, atau massage? Sama saja, yang penting upah kapster atau
massaseurnya berapa per klien, itu yang kita hitung dulu. Setelah dihitung bahan
habis pakai untuk operasional pijat atau salon ketemu, tambahkan dengan upah
kapster atau pemijat, kemudian tambahkan margin yang kita inginkan, baru dike
tahui tarip pelayanan. Dari keuntungan inilah, secara kumulatif setiap bulan, yang
kita jadikan sumber untuk pembayaran pengeluaran lain, sehubungan dengan
kegiatan membuka salon atau panti pijat, termasuk untuk pemeliharaan dan atau
investasi alat baru. Untuk pijat, pelayanannya biasa dihitung per jam. Artinya
untuk transaksi jasa diperlukan waktu rata2 satu jam/orang. Sedangkan untuk
salon, mungkin berbeda2 tergantung pekerjaannya, apakah hanya potong rambut
atau dengan creambath, atau luluran, atau rebonding dansebagainya, masing2 di
hitung waktu yang dibutuhkan untuk satu jenis pelayanan (rata2).
Nah, sekarang bicara soal Jasa Pelayanan Medis. Kita harus pahami terlebih
dahulu, apa saja yang merupakan faktor pembentuk jasa tersebut :
           1.   Sumber daya manusianya (SDM), terutama dokter (baik yang
                umum, gigi, maupun spesialis), diruang pemeriksaan. Dalam
                memeriksa pasien, untuk menetapkan diagnosa sampai
                memberikan resep obat ataupun rekomendasi tindakan medis
                lanjut (termasuk ke pemeriksaan penunjang) bisa saja perlu
                menggunakan atau tidak menggunakan peralatan medis yang
                canggih. Ilmu dan ketrampilan dokter inilah yang sebenarnya
                dijual, mulai anamnese, diagnosa sampai memberi resep dan saran
                tindak lanjut. Mengapa demikian? Karena tidak semua pasien
                perlu diperiksa dengan alat canggih, tidak semua pasien perlu
                diberi obat dan tidak semua pasien perlu tindakan medik lanjut.
                Dalam pemeriksaan ini, barangkali diperlukan tenaga perawat
                untuk membantu dokter, terutama untuk spesialisasi tertentu
                seperti dokter anak misalnya.

Kerancuan dalam penghitungan Tarip RS. Heru Kusumanto/Persi/122005               5
2.   Methode dan Tehnologi, yaitu pendekatan yang digunakan
                 untuk melakukan pemeriksaan, yaitu kegiatan ilmiah sesuai
                 dengan ilmu kedokteran dan tehnologi yang mendukung (dan
                 relevan)
            3.   Peralatan, yaitu barang yang dipergunakan untuk melakukan
                 kegiatan profesinya (aspek kualitas). Ada yang standard tetapi juga
                 ada yang canggih. Yang standard misalnya stetoskop, spatula, atau
                 senter. Sedangkan yang canggih (sifatnya optional) misalnya USG,
                 EKG, dan ini ditaripkan tersendiri.
            4.   Perlengkapan, yaitu sarana dan prasarana, yang pada prinsipnya
                 un tuk meningkatkan produktifitas dan kinerja, seperti ruangan
                 yang berpendingin, penerangan yang memadai, kebersihan,
                 tersedia air untuk cuci tangan, tersedia telepon intern (kadang
                 yang ekstern juga).
            5.   Bahan Logistik, yaitu semua bahan habis pakai yang digunakan
                 un-tuk operasional. Mencakup bahan farmasi dan non farmasi
                 seperti obat, reagens, alat medis habis pakai dan film, alat tulis
                 kantor, barang cetakan, bahan gizi, alat perlengkapan rumah
                 tangga dan kebersihan, suku cadang pemeliharaan.
            6.   Informasi, yaitu informasi yang diperlukan berkaitan dengan
                 kegiatan pemeriksaan kepada pasien. Informasi tentang pasien
                 dan segala keterangannya, informasi tentang ketersediaan obat di
                 apotik RS, ketersediaan ruang rawat inap, dan segala hal lainnya.
                 Sehingga dokter dalam mengambil keputusan sudah well
                 informed.
            7.   Dana atau anggaran atau uang, yang dialokasikan untuk
                 operasio-nal, investasi maupun pengembangan. Termasuk disini
                 gaji/upah, insentif, tunjangan dan jasa produksi.
            8.   Waktu, yaitu rata2 waktu yang diperlukan dalam melakukan satu
                 kali pemeriksaan per pasien.
Kalau kita perhatikan faktor produksi tersebut diatas, maka ada yang namanya
inti produk yang langsung memenuhi kebutuhan pasien (pengobatan) yaitu
dokter, perawat dan bahan habis pakai. Dan ada yang berupa kemasan, yaitu
sarana, prasarana dan sumberdaya lainnya.
Dengan demikian, maka sebenarnya sudah dapat dirumuskan apa yang
merupakan satuan unit pelayanan medis, seperti yang dicontohkan diatas untuk
kegiatan di rawat jalan atau poliklinik. Yaitu kesiapan dokter (termasuk peralatan
standar dan perawat jika diperlukan) untuk melakukan pemeriksaan terhadap seorang pasien
secara profesional dalam durasi waktu tertentu. Kesiapan yang dimaksud disini adalah

Kerancuan dalam penghitungan Tarip RS. Heru Kusumanto/Persi/122005                     6
kondisi yang memadai, baik dari segi ilmiah, standar profesi, kelayakan dan
peraturan maupun etika.
Oleh karena itu, dalam menentukan tarip seyogyanya :
           1.   Yang dihitung terlebih dahulu adalah berapa nilai imbalan jasa
                seorang dokter untuk melakukan pemeriksaan dalam durasi
                waktu tertentu. Karena ini adalah inti produk.
           2.   Berapa nilai kemasan yang diperlukan dalam durasi waktu tertentu
                tersebut.
           3.   Berapa nilai margin yang diinginkan RS.
Nilai kemasan dan margin inilah yang harus ditetapkan oleh manajemen Rumah
Sakit, yang akan diperhitungkan untuk membiayai baik kegiatan operasional
maupun investasi dan pengembangan, sehingga tarip pemeriksaan menjadi
bervariasi dari satu RS ke RS yang lain.
Namun untuk imbalan dokter, seharusnya dapat distandarkan, tentunya oleh
profesi, dan akan lebih baik lagi bila ditetapkan oleh Pemerintah Pusat/Daerah
berdasarkan usulan dari ikatan profesi. Penetapan standar imbalan jasa dokter ini
juga dapat dibuat dengan klasifikasi, sehingga seorang doker yang baru lulus
dengan yang lebih senior, dengan yang laris (bisa dihitung dari laporan pajak, atau
rekam medis), dengan spesialis akan berbeda.
Untuk penghitungan unit cost dan pentaripan di rawat inap, maupun di instalasi
penunjang, dapat digunakan dengan pendekatan yang sama. Yang penting harus
diketahui dulu satuan unitnya, mana yang terkategori inti produk dan mana yang
terkategori kemasan.
Penutup
Demikianlah sekedar wacana mengenai restrukturisasi pentaripan di RS. Dan
dibalik ini semua sebenarnya ada keinginan untuk memenuhi kebutuhan perlunya
standarisasi imbalan untuk dokter, dimanapun dia bekerja dan melakukan
profesinya. Kalau tidak ada atau belum ada referensinya, kenapa kita tidak
membuat sesuatu agar dipergunakan sebagai referensi oleh orang lain? Semoga
kita makin kreatif dan inovatif agar tidak ketinggalan


Jakarta, 1 Januari 2006
Heru Kusumanto.




Kerancuan dalam penghitungan Tarip RS. Heru Kusumanto/Persi/122005                7

More Related Content

Similar to OPTIMASI PENGHITUNGAN TARIP RS

Microeconomy compilation
Microeconomy compilationMicroeconomy compilation
Microeconomy compilationThalia Frederik
 
213983128 modul-remuneration-system
213983128 modul-remuneration-system213983128 modul-remuneration-system
213983128 modul-remuneration-systemBASILIUSYWEU
 
KONSEP-KONSEP DASAR AKUNTANSI MANAJEMEN
KONSEP-KONSEP DASAR AKUNTANSI MANAJEMEN KONSEP-KONSEP DASAR AKUNTANSI MANAJEMEN
KONSEP-KONSEP DASAR AKUNTANSI MANAJEMEN YOHANIS SAHABAT
 
Panduan presentasi
Panduan presentasiPanduan presentasi
Panduan presentasiAdi Adi
 
SIM, Aflita Anggraini, Hapzi Ali, Penggunaan Conceptual Framework di Perusaha...
SIM, Aflita Anggraini, Hapzi Ali, Penggunaan Conceptual Framework di Perusaha...SIM, Aflita Anggraini, Hapzi Ali, Penggunaan Conceptual Framework di Perusaha...
SIM, Aflita Anggraini, Hapzi Ali, Penggunaan Conceptual Framework di Perusaha...Aflita Anggraini
 
270160122 makalah-ekonomi-mikro
270160122 makalah-ekonomi-mikro270160122 makalah-ekonomi-mikro
270160122 makalah-ekonomi-mikroYulia Dwijayanti
 
Value proposition canvas_-_ringkasan
Value proposition canvas_-_ringkasanValue proposition canvas_-_ringkasan
Value proposition canvas_-_ringkasanpurnomo doang
 
Pertemuan 3- RISET PASAR.pptx
Pertemuan 3-  RISET PASAR.pptxPertemuan 3-  RISET PASAR.pptx
Pertemuan 3- RISET PASAR.pptxalifahidayati
 
Manual khanza simrs
Manual khanza simrsManual khanza simrs
Manual khanza simrsAyah Kia
 
Mini riset puskesmas griya antapani
Mini riset puskesmas griya antapaniMini riset puskesmas griya antapani
Mini riset puskesmas griya antapaniastryariyanti
 
Bab 6 estimasi dan studi kelayakan
Bab 6 estimasi dan studi kelayakanBab 6 estimasi dan studi kelayakan
Bab 6 estimasi dan studi kelayakanRif'at Hm
 
Perilaku konsumen (mikro)
Perilaku konsumen (mikro)Perilaku konsumen (mikro)
Perilaku konsumen (mikro)irfan firdaus
 
Silabus Pelatihan _"Case Manager for HOSPITAL (Manajer Pelayanan di RS)".
Silabus Pelatihan _"Case Manager for HOSPITAL (Manajer Pelayanan di RS)".Silabus Pelatihan _"Case Manager for HOSPITAL (Manajer Pelayanan di RS)".
Silabus Pelatihan _"Case Manager for HOSPITAL (Manajer Pelayanan di RS)".Kanaidi ken
 
Bab 6 estimasi dan studi kelayakan
Bab 6 estimasi dan studi kelayakanBab 6 estimasi dan studi kelayakan
Bab 6 estimasi dan studi kelayakanRif'at Hm
 
Bab 6 estimasi dan studi kelayakan
Bab 6 estimasi dan studi kelayakanBab 6 estimasi dan studi kelayakan
Bab 6 estimasi dan studi kelayakanRobby Octaryan Ardy
 
manajemen pemasaran Chapter 13 merancang dan mengelola jasa
manajemen pemasaran Chapter 13 merancang dan mengelola jasamanajemen pemasaran Chapter 13 merancang dan mengelola jasa
manajemen pemasaran Chapter 13 merancang dan mengelola jasaCn Beng
 
BMP EKMA4215 Manajemen Operasi
BMP EKMA4215 Manajemen OperasiBMP EKMA4215 Manajemen Operasi
BMP EKMA4215 Manajemen OperasiMang Engkus
 

Similar to OPTIMASI PENGHITUNGAN TARIP RS (20)

Microeconomy compilation
Microeconomy compilationMicroeconomy compilation
Microeconomy compilation
 
213983128 modul-remuneration-system
213983128 modul-remuneration-system213983128 modul-remuneration-system
213983128 modul-remuneration-system
 
Makalah pelayanan prima
Makalah pelayanan primaMakalah pelayanan prima
Makalah pelayanan prima
 
KONSEP-KONSEP DASAR AKUNTANSI MANAJEMEN
KONSEP-KONSEP DASAR AKUNTANSI MANAJEMEN KONSEP-KONSEP DASAR AKUNTANSI MANAJEMEN
KONSEP-KONSEP DASAR AKUNTANSI MANAJEMEN
 
Angelina rendang
Angelina rendangAngelina rendang
Angelina rendang
 
Panduan presentasi
Panduan presentasiPanduan presentasi
Panduan presentasi
 
Audit efisiensi
Audit efisiensiAudit efisiensi
Audit efisiensi
 
SIM, Aflita Anggraini, Hapzi Ali, Penggunaan Conceptual Framework di Perusaha...
SIM, Aflita Anggraini, Hapzi Ali, Penggunaan Conceptual Framework di Perusaha...SIM, Aflita Anggraini, Hapzi Ali, Penggunaan Conceptual Framework di Perusaha...
SIM, Aflita Anggraini, Hapzi Ali, Penggunaan Conceptual Framework di Perusaha...
 
270160122 makalah-ekonomi-mikro
270160122 makalah-ekonomi-mikro270160122 makalah-ekonomi-mikro
270160122 makalah-ekonomi-mikro
 
Value proposition canvas_-_ringkasan
Value proposition canvas_-_ringkasanValue proposition canvas_-_ringkasan
Value proposition canvas_-_ringkasan
 
Pertemuan 3- RISET PASAR.pptx
Pertemuan 3-  RISET PASAR.pptxPertemuan 3-  RISET PASAR.pptx
Pertemuan 3- RISET PASAR.pptx
 
Manual khanza simrs
Manual khanza simrsManual khanza simrs
Manual khanza simrs
 
Mini riset puskesmas griya antapani
Mini riset puskesmas griya antapaniMini riset puskesmas griya antapani
Mini riset puskesmas griya antapani
 
Bab 6 estimasi dan studi kelayakan
Bab 6 estimasi dan studi kelayakanBab 6 estimasi dan studi kelayakan
Bab 6 estimasi dan studi kelayakan
 
Perilaku konsumen (mikro)
Perilaku konsumen (mikro)Perilaku konsumen (mikro)
Perilaku konsumen (mikro)
 
Silabus Pelatihan _"Case Manager for HOSPITAL (Manajer Pelayanan di RS)".
Silabus Pelatihan _"Case Manager for HOSPITAL (Manajer Pelayanan di RS)".Silabus Pelatihan _"Case Manager for HOSPITAL (Manajer Pelayanan di RS)".
Silabus Pelatihan _"Case Manager for HOSPITAL (Manajer Pelayanan di RS)".
 
Bab 6 estimasi dan studi kelayakan
Bab 6 estimasi dan studi kelayakanBab 6 estimasi dan studi kelayakan
Bab 6 estimasi dan studi kelayakan
 
Bab 6 estimasi dan studi kelayakan
Bab 6 estimasi dan studi kelayakanBab 6 estimasi dan studi kelayakan
Bab 6 estimasi dan studi kelayakan
 
manajemen pemasaran Chapter 13 merancang dan mengelola jasa
manajemen pemasaran Chapter 13 merancang dan mengelola jasamanajemen pemasaran Chapter 13 merancang dan mengelola jasa
manajemen pemasaran Chapter 13 merancang dan mengelola jasa
 
BMP EKMA4215 Manajemen Operasi
BMP EKMA4215 Manajemen OperasiBMP EKMA4215 Manajemen Operasi
BMP EKMA4215 Manajemen Operasi
 

OPTIMASI PENGHITUNGAN TARIP RS

  • 1. KERANCUAN DALAM PENGHITUNGAN TARIP PELAYANAN DI RUMAH SAKIT * Heru Kusumanto Pendahuluan Selama ini dalam menentukan tarip pelayanan di Rumah Sakit, kita selalu meng- hadapi kesulitan. Pertama, kesulitan dalam menghitung unit cost, selain karena sulitnya menentukan faktor apa saja yang harus dihitung, juga mengenai bagai- mana cara menghitungnya. Kedua, pada waktu menentukan besaran tarip, kita kesulitan dalam menentukan berapa margin yang kita inginkan dan mungkin kita dapatkan. Ketiga, banyak peraturan (dari Pemerintah misalnya) ataupun referensi, yang sifatnya teoritis dan sulit dipraktekkan (termasuk pengajaran di Perguruan Tinggi), kadang-kadang terasa tidak sreg dengan pikiran kita, bahkan sepertinya tidak masuk akal, tetapi mau mengkritik juga tidak ada referensinya. Pada akhirnya, apa yang dilakukan dalam menetapkan tarip? Sesudah menghi-tung unit cost dengan susah payah, bahkan sampai menggunakan konsultan yang tidak murah, akhirnya dalam menentapkan tarip, hanya didasarkan besaran tarip yang berlaku di Rumah Sakit lain/pesaing. Tergantung positioning kita, apakah kita menempatkan diri diatas atau dibawah RS pesaing kita. Satu hal yang sering membuat rancu atau menyulitkan kita dalam menghitung unit cost adalah, kita selalu berorientasi kepada cara menghitung unit cost produk barang fisik. Seperti misalnya menghitung harga sebuah mobil, maka dalam menghitung unit costnya didasarkan pada biaya komponen bahan yang dipergunakan untuk membuat mobil tersebut. Atau dalam membuat kue, maka yang dihitung adalah berapa biaya yang telah dikeluarkan untuk membeli bahan pembuat kue tersebut, kemudian dibagi dengan jumlah kue yang dihasilkan. (Lihat tulisan kami tentang kerancuan penerapan teori ekonomi dalam mana-jemen Rumah Sakit) Kerancuan penentuan satuan unit jasa. Selama ini, yang ada direferensi maupun bahan ajaran/kuliah, dalam menghitung unit cost, selalu didahului dengan menghitung berapa jumlah biaya keseluruhan yang disebut dengan Total Cost, kemudian dibagi dengan, nah ini yang sering jadi masalah, yaitu untuk rawat jalan dibagi dengan jumlah pengunjung rawat jalan misalnya (aktual) atau dibagi jumlah menurut perhitungan normatif. Yang repot adalah dalam menentukan total cost, mana yang dihitung sebagai total cost untuk rawat jalan, total cost rawat inap, total cost gawat darurat, total cost instalasi penunjang dan sebagainya. Yang selama ini kita selalu diajarkan oleh pengajar atau referensi, bahwa biaya listrik, telepon air, sumberdaya manusia, Kerancuan dalam penghitungan Tarip RS. Heru Kusumanto/Persi/122005 1
  • 2. bahan habis pakai (termasuk idle stock) dan lain-lain dihitung sebagai total cost. Pertanyaan yang timbul adalah, listrik yang mana yang dihi tung untuk pelayanan apa, SDM mana yang dihitung? Kalau keseluruhan gaji karyawan dihitung dan dimasukan dalam menghitung unit cost, berapa standar gaji yang akan dipakai? Padahal kita tahu yang ada standar hanya gaji pegawai negeri, yang tidak realistis tentunya. Kalau kita melihat ke teori ekonomi, dalam menghitung unit cost adalah dengan cara membagi total cost dengan jumlah produksi, bukan membagi dengan produk yang terjual. Kalau untuk produk fisik, yang nyata dapat dilihat dan diamati, mu dah untuk menentukan jumlah produksinya. Tapi kalau untuk jasa, mana yang di hitung sebagai produk yang dihasilkan dan mana produk yang terjual, sulit untuk menjelaskan. Sehingga ditetapkan (sementara ini oleh berbagai kalangan yang dianggap pakar) jumlah yang terjual ya sama dengan yang diproduksi. Kerancuan berfikir tersebut menimbulkan kesulitan dalam menghitung unit cost, dan ternyata sumber masalahnya adalah belum adanya ketegasan dan kesamaan pemahaman baik dalam pemikiran maupun rumusan, apa satuan unit untuk pelayanan medis/kesehatan di RS? Satuannya apa untuk jasa? Kalau produk fisik mudah, satuannya biji, buah, unit atau set. Kalau sudah tahu dengan jelas satuannya, tentunya tidak akan sulit dalam menghitung unit costnya. Pemahaman Produk Jasa Pelayanan Medis Oleh karena itu, dalam bisnis apapun, langkah pertama yang harus dilakukan adalah melakukan pengenalan terhadap produk yang diproduksi dan dijual. Dengan katalain, kita harus mempunyai product knowledge yang memadai. Ini berlaku baik untuk produk yang berupa barang/fisik yang dapat dilihat, diraba ataupun jasa yang tidak nyata, tidak terlihat. Kalau kita melihat referensi tentang marketing, baik dari buku maupun sumber yang lain, pasti disebutkan, ciri jasa antara lain adalah tidak dapat dilihat (intangible), tidak dapat disimpan, mudah berubah, tidak dapat dimiliki, produksi dan konsumsinya simultan, tidak dapat dipisahkan, artinya diproduksi dan dikonsumsi pada saat yang sama. Ciri yang terakhir inilah yang sebenarnya menjadi sumber masalah, dan sudah sa lah kaprah, namun kita menerima hal itu apa adanya. Dengan demikian, banyak orang yang menjadi berpendapat bahwa jasa yang terjual jumlahnya sama dengan yang diproduksi. Atau, jumlah produksi adalah sama dengan volume penjualan. Dampak yang paling nyata dari pemahaman seperti ini adalah pada penghitungan unit cost, yaitu dengan membagi total cost dengan jumlah jasa yang terjual (jumlah pengunjung/jumlah yang dirawat inap dst). Pasti jadi tidak tepat hitung- hitungannya. Belum waktu menentukan total cost, biaya apa saja yang masuk dan harus dihitung, mana yang tidakharus dihitung. Kerancuan dalam penghitungan Tarip RS. Heru Kusumanto/Persi/122005 2
  • 3. Sebetulnya, jasa itu tidak diproduksi dan dikonsumsi pada saat yang sama, tetapi lebih tepatnya disajikan dan dikonsumsi pada saat yang sama. Ini berbeda sekali. Karena tiak dapat disimpan, maka produk yang tidak terjual otomatis men jadi hilang. Ini yang sering lupa diperhitungkan. Contoh padanan yang mirip dengan jasa ini adalah arus enersi listrik (biasa disebut setrum). Pada saat kita merubah posisi switch dari off menjadi on, maka listrik akan mengalir, lampu menyala, komputer, televisi, dll, pasti menyala dan siap dipakai, berarti ada setumnya. Nah, kalau pada posisi off, apa enersi listrik tadi tidak ada? Coba saja, pegang kabelnya, atau colokan jari kita ke rumah bola lampu, pasti kesetrum. Pada posisi off, berarti produk tetap ada tetapi tidak dimanfaatkan. Kalau meminjam istilah di PLN atau pabrik produk apapun, ada yang dinamakan : o Kapasitas Produksi o Kapasitas Terpasang o Kapasitas Terpakai Oleh karena itu pada saat kita berhitung dengan produk jasa pelayanan medispun seharusnya juga harus bisa menjelaskan bagaimana menghitung kapasitas produksi, kapsitas terpasang dan kapasitas terpakai di Rumah Sakit. Selain dampak pada penghitungan unit cost, perlunya pemahaman satuan unit nya adalah untuk memahami bagaimana menentukan mutu / kualitas produk. Kapan kita menetapkan indikator kepuasan pelanggan sebagai salah satu indika tor mutu jasa? Setelah terjadi transaksi atau sebelum transaksi? Memang ada sa tu kata yang membuat bias, yaitu kata ‘pelayanan’, pelayanan medis sebagai produk yang akan disajikan, atau pelayanan medis sebagai proses transaksi. Kita sering tidak hati-hati dan sembrono, menggunakan istilah yang mempunyai arti berbeda tersebut. Mengatakan pelayanan medis sebagai produk, tetapi dalam pikiran membayangkan sebagai proses transaksi. Sehingga seringkali dicampur, bicara kualitas jasa pelayanan medis, ya dua-duanya, baik sebagai produk maupun sebagai proses transaksi. Akibatnya, pada waktu membicarakan kualitas produk, langsung saja menyebut salah satu indikatornya adalah kepuasan pelang gan. Puas atau kecewanya pelanggan itu tentunya setelah terjadi transaksi, pada hal kualitas produk tentunya sebelum terjadi transaksi. Dalam pemasaran, lebih gawat lagi, menggunakan segmentasi pasar dengan pen dekatan yang menyamakan produk jasa pelayanan medis seperti produk fisik yang diproduksi untuk memenuhi kebutuhan. Malah dikaitkan dengan ATP (ability to pay) dan WTP (willingness to pay). Atau dikaitkan dengan teori elastisitas. Runyam jadinya. Memang, sebagaimana ilmunya, Ekonomi adalah mempelajari upaya manusia dalam memenuhi kebutuhan dengan sumberdaya yang terbatas. Kondisi sakit itu kebutuhan atau resiko? Kalau sakit itu bukan kebutuhan, ya jangan menggunakan ekonomi yang umum. Kita terjebak. Kerancuan dalam penghitungan Tarip RS. Heru Kusumanto/Persi/122005 3
  • 4. Ini menandakan belum ada pemahaman yang memadai mengenai apa yang sebe- narnya jasa pelayanan medis itu, karena tidak/belum mengetahui satuan unitnya. Belum ada rumusan yang jelas mengenai stuan unitnya. Maaf saja, selama kita mempersepsikan jasa pelayanan medis di RS hanya untuk melayani orang sakit (sesuai penamaan yang berasal sari zuiken huis), maka se benarnya jasa yang dijual RS adalah sama dengan Jasa Pemadam Kebakaran, atau Jasa Pemakaman. Mengapa? Karena sakit itu sebenarnya adalah Resiko, bukan kebutuhan. Kalau Sehat, ya, itu kebutuhan. Padahal semua orang tahu kalau yang namanya ilmu ekonomi itu adalah ilmu yang mempelajari upaya manusia memenuhi kebutuhan dengan sumberdaya yang terbatas. Sehingga wajar jika teori ekonomi tidak dapat begitu saja untuk diterapkan dalam manajemen perumah sakitan, yang masih berorientasi pada upaya pengobatan (yang terkategori sebagai unsought product). Bagaimana menghitung Tarip ? Kalau barang fisik, mudah membicarakan. Ambil contoh yang mudah, membuat kue lemper (atau apa saja silahkan), apa yang kita hitung untuk mencari unit costnya? Katakanlah kita akan memproduksi seratus buah lemper, untuk bahan mentah, minyak untuk kompor dll, termasuk upah satu orang yang mengerjakan pembuatan lemper adalah Rp. 100.000,-. Kemudian lemper kita jual, ternyata hanya laku 50 buah, berapa unit cost per buah lemper? Pertanyaannya, apakah untuk menghitung ini kita harus menghitung listrik diru mah kita, kemudian kita hitung biaya telepon, air serta gaji pembantu yang lain dirumah? Apa juga termasuk harga rumah, atau penyusutannya juga? Biaya apa saja yang akan kita hitung menjadi total cost untuk membuat 100 lemper tersebut? Katakanlah setelah ketemu total cost, untuk mencari unit cost apakah kemudian akan dibagi dengan 100 lemper atau dibagi dengan 50? Maaf, mahasiswa penulis di S2 MARS, ada yang menjawab unit cost perbuah lemper adalah Rp. 2.000,- (karena dibagi 50, yang laku. Yang tidak laku dihitung sebagai keuntungan). Ada yang menjawab unit costnya adalah Rp. 1000,- (karena dibagi 100) Mana yang benar? Menghitung unit cost itu sebenarnya sebelum barang dijual atau setelah dijual? Barangkali karena di perguruan tinggi harus ilmiah sehingga cara berfikirnya harus ilmiah juga, dan takut salah maka ada yang menjawab Rp. 2000,-. Masya Allah. Bagaimana kalau yang terjual 10? Secara awampun, kalau biaya keseluruhan untuk memproduksi 100 lemper = Rp.100.000,- tentunya biaya untuk per buah lemper adalah Rp. 1000,-. Nah tinggal mau ambil untung berapa, untuk menentukan harga jualnya. Katakanlah karena jualnnya di Mall Kelapa Gading, agar dapat menutup biaya pajak dll, harga jual lemper dibuat Rp. 2000,- perbuah. Kerancuan dalam penghitungan Tarip RS. Heru Kusumanto/Persi/122005 4
  • 5. Dari keuntungan RP. 1000,- per buah lemper, setelah dikurangi pajak dan tip untuk orang yang menjual, keuntungan bersih per buah menjadi Rp.600,-. Misalnya setiap hari kita memproduksi lemper 100, berarti setiap bulan, pada hari kerja, diproduksi 2.500 buah. Keuntungan per bulan = Rp 1.500.000,-. Nah dari keuntungan sebesar Rp 1,5 juta inilah baru difikirkan penggunaannya, apakah mau dipakai untuk membayar listrik, sekolah anak, gaji pembantu dll, tergantung kita. Inipun dapat dihitung terlebih dulu dalam perencanaan. Dengan cara pikir yang sama, tentunya menghitung cost untuk pelayanan medis di RS tidak akan sulit. Asal diketahui rumusan satuan unitnya. Kalau sudah ketemu biaya satuan, tinggal ditentukan margin/keuntungan yang diinginkan. Atau bahkan untuk jenis pelayanan tertentu ada yang dijual dibawah unit cost, sebagai loosing post misalnya, dalam strategi penetapan harga. Sebelum masuk ke unit cost pelayanan medis, sekarang dicari contoh tentang jasa. Mau salon, atau massage? Sama saja, yang penting upah kapster atau massaseurnya berapa per klien, itu yang kita hitung dulu. Setelah dihitung bahan habis pakai untuk operasional pijat atau salon ketemu, tambahkan dengan upah kapster atau pemijat, kemudian tambahkan margin yang kita inginkan, baru dike tahui tarip pelayanan. Dari keuntungan inilah, secara kumulatif setiap bulan, yang kita jadikan sumber untuk pembayaran pengeluaran lain, sehubungan dengan kegiatan membuka salon atau panti pijat, termasuk untuk pemeliharaan dan atau investasi alat baru. Untuk pijat, pelayanannya biasa dihitung per jam. Artinya untuk transaksi jasa diperlukan waktu rata2 satu jam/orang. Sedangkan untuk salon, mungkin berbeda2 tergantung pekerjaannya, apakah hanya potong rambut atau dengan creambath, atau luluran, atau rebonding dansebagainya, masing2 di hitung waktu yang dibutuhkan untuk satu jenis pelayanan (rata2). Nah, sekarang bicara soal Jasa Pelayanan Medis. Kita harus pahami terlebih dahulu, apa saja yang merupakan faktor pembentuk jasa tersebut : 1. Sumber daya manusianya (SDM), terutama dokter (baik yang umum, gigi, maupun spesialis), diruang pemeriksaan. Dalam memeriksa pasien, untuk menetapkan diagnosa sampai memberikan resep obat ataupun rekomendasi tindakan medis lanjut (termasuk ke pemeriksaan penunjang) bisa saja perlu menggunakan atau tidak menggunakan peralatan medis yang canggih. Ilmu dan ketrampilan dokter inilah yang sebenarnya dijual, mulai anamnese, diagnosa sampai memberi resep dan saran tindak lanjut. Mengapa demikian? Karena tidak semua pasien perlu diperiksa dengan alat canggih, tidak semua pasien perlu diberi obat dan tidak semua pasien perlu tindakan medik lanjut. Dalam pemeriksaan ini, barangkali diperlukan tenaga perawat untuk membantu dokter, terutama untuk spesialisasi tertentu seperti dokter anak misalnya. Kerancuan dalam penghitungan Tarip RS. Heru Kusumanto/Persi/122005 5
  • 6. 2. Methode dan Tehnologi, yaitu pendekatan yang digunakan untuk melakukan pemeriksaan, yaitu kegiatan ilmiah sesuai dengan ilmu kedokteran dan tehnologi yang mendukung (dan relevan) 3. Peralatan, yaitu barang yang dipergunakan untuk melakukan kegiatan profesinya (aspek kualitas). Ada yang standard tetapi juga ada yang canggih. Yang standard misalnya stetoskop, spatula, atau senter. Sedangkan yang canggih (sifatnya optional) misalnya USG, EKG, dan ini ditaripkan tersendiri. 4. Perlengkapan, yaitu sarana dan prasarana, yang pada prinsipnya un tuk meningkatkan produktifitas dan kinerja, seperti ruangan yang berpendingin, penerangan yang memadai, kebersihan, tersedia air untuk cuci tangan, tersedia telepon intern (kadang yang ekstern juga). 5. Bahan Logistik, yaitu semua bahan habis pakai yang digunakan un-tuk operasional. Mencakup bahan farmasi dan non farmasi seperti obat, reagens, alat medis habis pakai dan film, alat tulis kantor, barang cetakan, bahan gizi, alat perlengkapan rumah tangga dan kebersihan, suku cadang pemeliharaan. 6. Informasi, yaitu informasi yang diperlukan berkaitan dengan kegiatan pemeriksaan kepada pasien. Informasi tentang pasien dan segala keterangannya, informasi tentang ketersediaan obat di apotik RS, ketersediaan ruang rawat inap, dan segala hal lainnya. Sehingga dokter dalam mengambil keputusan sudah well informed. 7. Dana atau anggaran atau uang, yang dialokasikan untuk operasio-nal, investasi maupun pengembangan. Termasuk disini gaji/upah, insentif, tunjangan dan jasa produksi. 8. Waktu, yaitu rata2 waktu yang diperlukan dalam melakukan satu kali pemeriksaan per pasien. Kalau kita perhatikan faktor produksi tersebut diatas, maka ada yang namanya inti produk yang langsung memenuhi kebutuhan pasien (pengobatan) yaitu dokter, perawat dan bahan habis pakai. Dan ada yang berupa kemasan, yaitu sarana, prasarana dan sumberdaya lainnya. Dengan demikian, maka sebenarnya sudah dapat dirumuskan apa yang merupakan satuan unit pelayanan medis, seperti yang dicontohkan diatas untuk kegiatan di rawat jalan atau poliklinik. Yaitu kesiapan dokter (termasuk peralatan standar dan perawat jika diperlukan) untuk melakukan pemeriksaan terhadap seorang pasien secara profesional dalam durasi waktu tertentu. Kesiapan yang dimaksud disini adalah Kerancuan dalam penghitungan Tarip RS. Heru Kusumanto/Persi/122005 6
  • 7. kondisi yang memadai, baik dari segi ilmiah, standar profesi, kelayakan dan peraturan maupun etika. Oleh karena itu, dalam menentukan tarip seyogyanya : 1. Yang dihitung terlebih dahulu adalah berapa nilai imbalan jasa seorang dokter untuk melakukan pemeriksaan dalam durasi waktu tertentu. Karena ini adalah inti produk. 2. Berapa nilai kemasan yang diperlukan dalam durasi waktu tertentu tersebut. 3. Berapa nilai margin yang diinginkan RS. Nilai kemasan dan margin inilah yang harus ditetapkan oleh manajemen Rumah Sakit, yang akan diperhitungkan untuk membiayai baik kegiatan operasional maupun investasi dan pengembangan, sehingga tarip pemeriksaan menjadi bervariasi dari satu RS ke RS yang lain. Namun untuk imbalan dokter, seharusnya dapat distandarkan, tentunya oleh profesi, dan akan lebih baik lagi bila ditetapkan oleh Pemerintah Pusat/Daerah berdasarkan usulan dari ikatan profesi. Penetapan standar imbalan jasa dokter ini juga dapat dibuat dengan klasifikasi, sehingga seorang doker yang baru lulus dengan yang lebih senior, dengan yang laris (bisa dihitung dari laporan pajak, atau rekam medis), dengan spesialis akan berbeda. Untuk penghitungan unit cost dan pentaripan di rawat inap, maupun di instalasi penunjang, dapat digunakan dengan pendekatan yang sama. Yang penting harus diketahui dulu satuan unitnya, mana yang terkategori inti produk dan mana yang terkategori kemasan. Penutup Demikianlah sekedar wacana mengenai restrukturisasi pentaripan di RS. Dan dibalik ini semua sebenarnya ada keinginan untuk memenuhi kebutuhan perlunya standarisasi imbalan untuk dokter, dimanapun dia bekerja dan melakukan profesinya. Kalau tidak ada atau belum ada referensinya, kenapa kita tidak membuat sesuatu agar dipergunakan sebagai referensi oleh orang lain? Semoga kita makin kreatif dan inovatif agar tidak ketinggalan Jakarta, 1 Januari 2006 Heru Kusumanto. Kerancuan dalam penghitungan Tarip RS. Heru Kusumanto/Persi/122005 7