Developing enterprise performance management solutions with PerformancePoint ...
Dari Orde Baru ke Indonesia Baru lewat Reformasi Total - K A T A S A M B U T A N & P E N G A N T A R
1. KATA SAMBUTAN
Saya percaya, bahwa tidak ada calon presiden yang mampu memperbaiki
kesejahteraan rakyat Indonesia tanpa melakukan perubahan terhadap system. Perubahan
terhadap system inilah yang kemudian saya sebut dengan Tujuh Pilar Reformasi.
Kita tentu saja ingin mengubah system Orde Baru. Pada masa lalu kita melihat
“kuningisasi” di mana-mana. Saya kira sebagian besar para pemimpin partai kita ini
masih terjebak dalam alam pikiran yang sama: suka bikin “merahisasi” di mana apa-apa
bikin merah. Suka bikin “hijaunisasi”, “birunisasi” dan macam-macamlah. Yang menurut
saya, ini suatu pembodohan terhadap masyarakat. Yang seharusnya dijual adalah ide,
konsep, atau pikiran-pikiran yang matang. Bukan bendera. Bukan symbol. Bukan pula
pengerahan masa.
KATA PENGANTAR
Kalau majelis tidak mampu menjalankan kedaulatan rakyat, maka rakyatlah yang
harus mengambilnya kembali. Oleh sebab itu, pemilihan presiden dan waki presiden pun
bisa dikembalikan kepada kedaulatan rakyat melalui suatu pemilihan yang
diselenggarakan secara langsung dan demokratis.
Dengan demikian, rakyat akhirnya akan bisa memilih seorang presiden yang baru
manakala rakyat menghendaki. Dan mungkin saja, rakyat keliru memilik seorang
pemimpin yang ‘lebih jelek’. Akan tetapi, dengan adanya jaminan pembatasan masa
kepemimpinan, rakyat tidak perlu kehilangan harapan akan datangnya pemimpin baru.
Dan betapapun ‘baiknya’ seorang Presiden, dia tidak boleh diberi kesempatan untuk
membangun absolutisme: dia harus berhenti sesuai dengan kontraknya, tidak lebih dari
dua kali periode.
Produk-produk yang dibuat Indonesia dengan menggunakan mesin-mesin dan
teknologi asing, dengan tenaga kerja yang lemah dan tidak produktif, telah menjadi
produk-produk yang mahal di dunia, yang mengakibatkannya idak mampu bersaing di
pasar global. Maka, sebagai akibatnya, justru produk-produk asinglah yang masuk ke
Indonesia. Mekea lebih bagus, lebih berkualitas, dan lebih murah. Hanya dengan tingkat
perlindungan yang tinggi yang juga membebani rakyat dan ekonomi rakyat, maka
produk-produk yang mahal itu terpaksa dimakan sendiri oleh bangsa Indonesia untuk
menghindarkan parbrik-pabrik milik para konglomerat itu dari kebangkrutan.
Di lembaga perwakilan rakyat nyata sekali penyelewengan terhadap UUD 1945
telah terjadi. Para wakil rakyat di majelis yang dinyatakan sebagai pelaksana
‘sepenuhnya’ kedaulatan rakyat ternyata hanya sebagian kecil saja yang dipilih oleh
rakyat. Selebihnya ditetapkan oleh kekuasaan sendiri. Belum lagi system seleksi oleh
kekuasaan terhadap para calon wakil rakyat yang akan dipilih, tidak lain adalah upaya
untuk ‘menjaring’ mereka yang ‘pro-kekuasaan’. Sebagai akibatnya, selain lembagaini
tidak mampu menjalankan fungsi pengawasan terhadap pemerintah, lembaga ini juga ikut
serta mendukung, dalam melestarikan kekuasaan dnegan menolak adalanya calon presien
lebih dari satu.
Turut sertanya penguasa dalam melaksanakan Pemilu, dengan bantuan para jaksa
sebagai Pengawas Pemilu, dan para alat negara, polisi dan militer, telah memberikan
2. kejelasan tersendiri, bahwa memang pemilu telah direkayasa untuk memenangkan
kendaraan politik penguasa.
Di sini ada dua unsure yang bekerja bersama-sama, yaitu totaliterisme dan
sentralisme.
1. Totaliterisme, semua kelompok kekuatan masyarakat harus tunduk kepada
kekuasaan, dan mereka yang tidka tunduk harus dimusuhi. Mereka yang tidak
tunduk dan berbeda pendapat harus dianggap sebagai musuh kekuasaan, baik
secara pidana maupun secara perdata.
2. Sentralisme, semua kebijaksanaan harus mengikuti ‘perintah’ dari pusat
kekuasaan, tidka ada kemerdekaan daerah untuk berbeda dari perintah pusat.
Dengan sentralisme, tidak mungkin kebijaksanaan pemerintah puat mampu
menjangkau seluruh wilayah negeri pada saat yang tepat. Apalagi negeri ini
sangat luas dan terbagi-bagi atas berbagai adat-istiadat, potensi kekayaan alam
dan keadaan geografi.
Hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi dan otonomi. Justru persatuan dan
kesatuan ini muncuul secara alamiah karena ada saling ketergantungan di antara daerah-
daerah. Tiadanya saling ketergantungan antardaerah selain kepada pusat kekuataan justru
akan menimbullam perpecahan. Soviet Uni ‘runtuh’ karena sentralisme. Demikian pula
Jerman Timur, Yugoslavia, dan banyak negara Eropa Timur lainnhya ‘runtuh’ gara-gara
sentralisme.
PERLUNYA GERAKAN REFORMASI TOTAL KEDUA.
Pikiran-pikiran tentang reformsai system Ode Baru yang dibawa oleh gerakan
reformasi total hanya berhasil memaksa Presiden Soeharto mundur pada tangal 1 Mei
1998. akan tetapi gerakan reformasi telah melakukan kesalahan besar, ketika harus
memilih antara menolak kepemimpinan Habibie, karena Habibie adalah bagian dari Orde
Baru dan Soeharto, dan memberi kesempatan kepada Habibie sebgai sosok
kepemimpinan baru. Pilihan terhadap alternative kedua mengakibatkan gerakan reformasi
menjadi terhenti, dan bahkan terpecah, dan mulai kehilangan arah.
Gebyar pembangunan Soeharto ternyata hanya fatamorgana, kerena harus
membayar mahal dengan hutang asing yang sulit dibayar kembali, dengan kekayaan alam
Indonesia yang rusak dan semakin menipis, serta dengan kemiskinan dan
keterbelakangan yan gmenyatu dengan kehidupan sebagian besar bangsa. Gemerlapnya
pembanguan Soeharto hancur karena tidak dibangun di atas dasar fondasi kebangsaan
yang kuat dan benar.
DPR/ MPR hasil pemilu 1999 tidak lebih baik daripada DPR/ MPR pada masa
Soeharto. Bukan “wakil rakyat” yang terpilih, tetapi sekali lagi “wakil partai”.
Pemilihan presiden/ wakil presiden oleh MPR itu dinilai sangat tidak demokratis
dan berindikasi rekayasa, karena sengaja menghilangkan beberapa persyaratan pemilihan,
“sehat jasmani-rohani” dan perlunya “perdebatan visi dan misi di antara calon-calon.”
Bahkan, cara pemilihan mereka bertentangan dengan konstitusi (Pasal 6 ayat 2 dan Pasal
8 UUD 1945), karen adilakukan secara bertahap (presiden dulu, lalu wakil presiden),
sehingga mereka bukan satu pasangan dan bukan dalam satu paket.
3. Menyadari ini, mestinya Orde Baru dan para pemimpinnya menyadari
kesalahannya dengan tidak tampil(mungkin untuk sementara) dalam panggung politik,
sampai reformasi terwujud. Para elit politik Jerman Timur juga melakukan tindakan
“ksatria” tersebut dengan tidak tampil dalam panggung politik, paling tidak untuk
sementara waktu, dan menyerahkan kepemimpinan Jerman Bersatu kepada para elit
politik Jerman Barat. Mereka menyadari kesalahannya selama 55 tahun menggunakan
system sentralisme Blok Timur yang ternyata salah.