Tiga kalimat:
Dokumen ini membahas dampak perlambatan ekonomi terhadap industri buku di Yogyakarta, di mana penjualan buku menurun namun beberapa penerbit kecil dapat tumbuh dengan beradaptasi, seperti dengan mengurangi biaya dan memperbanyak pameran.
2. PINDAI.ORG – Anomali Industri Buku / 16 November 2015
H a l a m a n 2 | 8
Anomali Industri Buku
oleh Aufannuha Ihsani
Tetap kecil, bergerilya, dan buku bagus. Tiga jurus selamat dari krisis ekonomi dalam industri
buku.
YOGYA di siang terakhir bulan Oktober 2015 terasa lambat. Hujan seperti lupa datang membuat
siang yang terik terasa panjang. Hawa panas menjalar hingga ke dalam ruang kafe Djendelo
Koffie yang berada di lantai dua toko buku Togamas, Jalan Affandi. Tidak ada pendingin udara,
sementara kipas yang dipasang tidak cukup membantu. Di sana, siang itu, saya, Sheny Wardani,
dan Ade Ma’ruf berbincang tentang ekonomi Indonesia belakangan yang, seperti bagaimana hari
ini terasa berjalan, melambat.
Sheny adalah manajer Togamas, jaringan toko buku yang ada di sembilan belas kota. Ade sendiri
pemilik penerbit bernama Octopus. Saya berjanji temu dengan keduanya siang itu untuk mencari
tahu dampak perlambatan ekonomi terhadap industri perbukuan di Yogyakarta.
Menurut Sheny, waktu jual buku menjadi lebih pendek untuk buku dan alat tulis sekolah.
Biasanya sejak mulainya tahun ajaran baru hingga dua bulan kemudian menjadi masa jual toko
buku untuk kebutuhan sekolah. Tahun ini masa jual tersebut hanya berlaku sebulan.
Perlambatan ekonomi membuat kebutuhan orang-orang bergeser atau, dalam istilah ekonomi,
daya beli menurun. Mereka akan mengerem konsumsi yang tak penting-penting amat dan
memprioritaskan konsumsi elementer. Toko buku tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengatasi
perlambatan ekonomi. Jadi yang ia lakukan ialah menjaga agar pelanggannya tidak lari ke toko
lain.
Saya segera menyangka keuntungan Togamas di Yogyakarta menurun tahun ini. Ternyata tidak.
Ada dua Togamas di Yogyakarta, satu lagi berada di bilangan Kotabaru yang terhitung pusat
kota. Keuntungan Togamas Affandi masih tumbuh di atas 20%, sedangkan cabang Kotabaru
bahkan tumbuh 37%. Namun, pertumbuhan pendapatan Togamas secara nasional memang turun,
menjadi kurang dari 10%.
Kata Ade, penurunan tersebut juga terjadi di jaringan toko buku terbesar di Indonesia, Gramedia.
Dua hari sebelumnya, para penerbit dan distributor buku diundang bertemu oleh Gramedia
cabang Yogyakarta. Ade sendiri menolak datang. Dari cerita rekan-rekannya yang datang,
Gramedia melaporkan bahwa keuntungan dari penjualan buku tiap tahunnya menurun sekitar
2˗3%. Yang meningkat justru penjualan barang-barang nonbuku seperti tas, alat tulis kantor, dan
lain-lain.
3. PINDAI.ORG – Anomali Industri Buku / 16 November 2015
H a l a m a n 3 | 8
“Wajar kalau kemudian Gramedia ke depannya menjadi Toko Gramedia, bukan lagi Toko Buku
Gramedia,” ujar Ade.
Dalam pertemuan itu Gramedia mengusulkan agar para penerbit memperbanyak judul terbitan
mereka, tetapi mengurangi jumlah eksemplar tiap judulnya. Ade menilai usul ini akan
mematikan penerbit besar. Sementara penerbit sekelas Octopus masih bisa bertahan karena
semua pekerjanya freelance. Mulai dari editor hingga desainer sampul buku.
BEBERAPA menyebutnya perlambatan ekonomi, beberapa lainnya memakai istilah kelesuan
ekonomi. Istianto Ari Wibowo, peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (Pustek) Universitas
Gadjah Mada, memilih kata yang tak kalah muram: krisis.
Tiga kata itu dipakai untuk melukiskan penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini.
Tahun 2014 lalu, ekonomi Indonesia tumbuh 6,46%. Pada kuartal pertama tahun ini,
pertumbuhan ekonomi hanya sebesar 4,72%. Lalu menjadi 4,67% di kuartal kedua
Inflasi dalam definisi krisis, menurut Anto, merupakan “sesuatu yang sewajarnya”. Neraca
perdagangan selalu tidak berimbang. Indonesia mengekspor barang mentah dan mengimpor
barang jadi. Akibatnya, devisa terkuras. Jumlah dolar yang beredar di Indonesia berkurang—
membuat nilai dolar menguat dan rupiah melemah.
Dalam situasi macam ini, perusahaan-perusahaan besarlah yang terkena dampaknya karena
mereka banyak berurusan dengan dolar, tak terkecuali industri perbukuan. Harga bahan baku
sangat sensitif pada naik turunnya dolar.
Kenaikan bahan baku membuat harga produk hilir juga melambung selama krisis. Konsumen
menjadi selektif dalam memilih konsumsi. Skala prioritas diterapkan mulai dari kebutuhan
terpenting. Masalahnya, buku bukan barang konsumsi pilihan. “Sekunder jelas enggak. Dia
barang yang jelas enggak masuk list,” kata Edi Mulyono, pemilik penerbit Diva Press.
Diva Press termasuk yang terimbas krisis. Tahun ini pemasukan mereka turun 10% dibanding
tahun lalu. Penyebab mulanya adalah biaya produksi yang membengkak, akibat dolar mahal.
Harga kertas naik. Terutama jenis book paper yang selalu impor. Plastik pembungkus buku dan
laminasi sampul pun demikian, juga tinta. “Tinta itu sensitif sama dolar,” cetus Edi.
Biaya produksi naik, tetapi sulit menaikkan harga buku. Rentan tidak laku. Strateginya kemudian
adalah dengan mengategorikan buku-buku yang “pantas” dinaikkan harganya. Buku-buku yang
minim kompetitor dinaikkan harganya 10%. Buku-buku lain temanya disesaki penerbit lain,
harganya tetap.
4. PINDAI.ORG – Anomali Industri Buku / 16 November 2015
H a l a m a n 4 | 8
Tahun ini, sekitar empat puluh karyawan tetap Diva Press mengundurkan diri. Alasannya
macam-macam: menikah dan ikut pasangannya atau ingin bekerja di tempat lain. Suasana
ekonomi yang tidak sedang bersahabat membuat Edi tak ingin langsung mencari karyawan baru.
Tenaga-tenaga freelance juga dihentikan untuk sementara waktu. Diva Press merasa perlu untuk
memprioritaskan karyawan tetapnya. Akibatnya, target terbitan dan oplah berkurang. Tahun lalu,
Edi bisa memasang target hingga enam puluh judul buku per bulan. Tahun ini, hanya empat
puluh sampai empat puluh lima judul saja.
Mata rantai industri buku yang tak hanya melibatkan penerbit dan toko buku membuat pihak lain
ikut terkena dampaknya, yaitu distributor. Pihak yang satu ini menjembatani penerbit dan toko
buku. Akibatnya, kondisi ekonomi mereka tak bisa lepas dari suka dan duka penerbit.
Ifa, pemimpin CV Solusi Distribusi, ikut mengeluhkan kondisi ini. Selain mengonfirmasi apa
yang Ade ceritakan soal Gramedia, ia juga menuturkan bahwa tahun ini pertumbuhan
keuntungan perusahannya tak lebih dari 10%. Menurun drastis dari tahun lalu yang mencapai
hampir 35%. Alur sebabnya sederhana: suplai dari penerbit yang berkurang membuat suplai
mereka ke toko buku juga berkurang. Tambahan, daya beli masyarakat menurun.
“10% itu belum dimakan inflasi juga, kan? Makanya untuk tahun ini kita agak stuck,” tuturnya.
Penerbit-penerbit kecil tak begitu merasakan dampak krisis. Octopus milik Ade Ma’ruf yang
hanya menerbitkan 25 judul buku per tahun, dengan pekerja-pekerja freelance, sampai
berseloroh pada saya bahwa ekonomi melambat atau tidak “sebenarnya ya begini-begini saja”.
Hal tersebut juga berlaku bagi penerbit-penerbit independen. Irwan Bajang misalnya, pemimpin
redaksi Indie Book Corner, mengatakan bahwa dampak inflasi hanya sebentar saja ia rasakan.
Penjualan buku mereka dari tahun ke tahun terus saja meningkat.
Bajang dan Indie Book Corner-nya bekerja dalam sebuah tim kecil yang hanya beranggotakan
tujuh orang. Selain Bajang sebagai pemimpin redaksi dan istrinya sebagai kepala editor,
penerbitan itu memiliki tiga orang editor, seorang desainer, seorang tenaga pemasaran, dan
seorang lagi sebagai administrator. Jumlah judul buku yang mereka terbitkan dari tahun ke tahun
terbilang stabil. Tahun 2013 mereka menerbitkan 91 judul, tahun berikutnya 87 judul, dan tahun
ini hingga akhir Oktober terhitung 84 judul telah mereka terbitkan.
“Karena kami kecil,” kata Bajang, “jadi lebih bisa beradaptasi.”
“SAYA sih termasuk orang yang enggak percaya kalau masyarakat itu enggak suka buku,” tegas
Edi. Persoalannya sekarang, menurutnya, adalah daya beli orang-orang. Ketika ruang dan masa
pajang dalam toko buku terbatas sementara stok belum terjual habis, penerbit harus mencari
alternatif agar produknya sampai ke tangan konsumen. Solusinya, jemput bola. Diva Press
5. PINDAI.ORG – Anomali Industri Buku / 16 November 2015
H a l a m a n 5 | 8
masuk ke berbagai acara dan pameran untuk buka lapak. Untuk soal ini, salah seorang mitra
Diva Press adalah Imam.
Imam khusus memasarkan buku-buku Diva Press ke lembaga-lembaga pendidikan layaknya
kampus, sekolah, dan pesantren. Ia dan beberapa orang kawannya berkeliling dari satu kota ke
kota lainnya, ke Malang, Banyuwangi, Semarang, Jember, sebut saja namanya. Mereka
membawa buku-buku Diva Press, mendirikan tenda, dan menjajakan buku-buku itu di sana.
Tak kurang dari dua belas pameran dilakoni Imam setiap tahunnya. Biaya operasional untuk
berkeliling dan menyebarkan informasi ditanggung bersama oleh Imam dan pihak Diva Press. Ia
enggan menyebutkan nominal pembagiannya. Di tiap tempat yang ia datangi, rata-rata ia
mendapatkan laba kotor sebanyak Rp15 juta, bersihnya sekitar 20%. Jumlah itulah yang harus ia
bagi dengan kawan-kawannya. Sekali waktu, ia pernah dapat omzet sekitar Rp40 juta.
Ketika saya tanya apakah kondisi ekonomi sekarang ini berpengaruh pada hasil jualannya, ia
bilang tidak. Konsumen Imam adalah pelajar atau mahasiswa yang kebanyakan masih minta
uang pada orang tua mereka.
“Coba kamu pas jadi mahasiswa, apa pengaruh?”
Saya menggeleng.
Ia bilang lagi bahwa musuhnya hanyalah siklus bulanan. Ketika ia mengunjugi satu per satu
kampus yang ada di Malang, misalnya dalam waktu dua bulan, ia harus menyadari bahwa
kampus yang didatanginya pada akhir bulan tak akan seramai lapaknya di awal bulan.
Sempurnakah strategi Diva Press? Bagi Sheny tidak. Ia bilang, penjualan buku-buku terbitan
Diva Press di Togamas menurun sebab kebijakannya yang banyak obral. Dengan banyak
pameran, banyak obral, orang-orang kemudian hanya akan menunggu buku-buku Diva Press di
acara-acara tertentu dan menolak membelinya di toko buku konvensional.
“Cuma aku enggak tahu, Pak Edi sadar enggak, ya?”
Ketika saya konfirmasikan hal ini dengan Edi, ia hanya bilang bahwa memang penerbit tidak
dapat sepenuhnya bergantung pada toko buku. “Penerbit yang hanya menggantungkan
penjualannya pada toko,” kata Edi, “lama-lama akan habis.”
Ia juga tak sembarangan membawa semua buku terbitannya ke pameran atau obral. Ada
klasifikasinya. Edi membaginya menjadi dua macam buku, reguler dan nonreguler. Buku-buku
reguler adalah buku-buku yang masih dijual di toko buku, sementara yang nonreguler adalah
buku-buku yang nyaris atau sama sekali tidak lagi terpajang di sana.
6. PINDAI.ORG – Anomali Industri Buku / 16 November 2015
H a l a m a n 6 | 8
Buku-buku nonreguler inilah yang dibawa oleh Diva Press ke berbagai pameran untuk dijual.
Memang ada buku-buku reguler yang turut diangkut, tapi jumlahnya hanya 10% dan harganya
pun mengikuti harga toko diskon seperti Togamas atau Social Agency. Buku-buku reguler itu,
kendati jumlahnya kecil, harus dibawa ke pameran “untuk memperlihatkan kepada masyarakat
bahwa ‘kami punya buku baru, lo!’.”
SAYA mengunjungi satu lagi penerbit di Yogyakarta, Bentang Pustaka. Di bangunan semacam
saung, di taman di sebelah utara kantor redaksi penerbit itu, Salman Faridi, CEO Bentang,
menemui saya.
Pada awal perbincangan, Salman yang baru saja pulang dari Festival Buku Frankfurt itu
memiliki kisah yang sama seperti Edi dan Sheny. Bahwa bahan baku naik, daya beli masyarakat
menurun, dan sebagainya. Bahkan, pada saat inflasi, Bentang sedang berada dalam proses
negosiasi untuk membeli hak terjemah beberapa buku dari penerbit-penerbit luar negeri.
Akan tetapi, Bentang menjadi anomali. Ketika saya tanya berapa persen keuntungannya turun,
Salman menjawab bahwa tahun ini pertumbuhan keuntungan Bentang justru naik sebesar 30%.
Padahal, tahun lalu, penerbit ini hanya naik sekitar 2% saja.
Sejak tahun 2012, Salman sudah merasakan tanda-tanda bahwa ekonomi akan semakin
memburuk. Sejak saat itu ia bereksperimen dengan persoalan produktivitas buku. Ia akhirnya
menemukan bahwa jumlah judul yang diproduksi bukanlah sesuatu yang mesti dinomorsatukan.
Bentang, menurutnya, bisa saja memproduksi seratus judul buku per bulan. Namun, masalahnya
bukan pada produksinya, melainkan soal penjualannya.
Penjualan Bentang berfokus pada toko buku, berbeda dengan gerilya Diva Press. Menurut
Salman, tantangan untuk menjual buku di luar toko buku teramat besar, sementara hasilnya bagi
Bentang begitu kecil.
“Yang lebih realistis sebenarnya adalah menambah jaringan distribusi buku, terutama di luar
Jawa.”
Bentang tidak mematok jumlah judul buku sebagai target, melainkan jumlah halaman. Tahun ini,
rata-rata setiap bulannya Bentang menerbitkan buku setebal tiga ribu halaman. Dengan ketebalan
yang demikian, buku yang diterbitkan berjumlah sekitar tiga belas hingga empat belas judul.
Tiga ribu halaman itu pun tak selalu bisa dicapai 100%, kadang hanya 70% atau 80%-nya saja.
Bentang juga membuat kampanye melalui jejaring sosial dan memperbaiki kualitas buku.
“Konten itu harus bagus. Itu tidak bisa ditawar. Tidak ada kategori lumayan satu atau lumayan
dua. Harus bagus!” tegasnya. Seleksi pun menjadi hal yang sangat ketat dalam redaksi Bentang.
7. PINDAI.ORG – Anomali Industri Buku / 16 November 2015
H a l a m a n 7 | 8
Naskah-naskah yang tidak sempurna diterima Bentang akan langsung dikembalikan kepada
penulisnya.
Penerbit yang diakuisisi Grup Mizan sejak 2004 ini tidak memiliki percetakan sendiri. Urusan
cetak-mencetak mereka serahkan kepada pihak luar. Redaksinya hanya berjumlah dua puluh
delapan orang. Semuanya pemain inti sehingga tidak terlalu dipusingkan dengan beban
menggaji. Mereka juga cukup diuntungkan dengan basis penulis yang secara nasional sudah
terkenal. Sesuatu yang, menurut Salman, tidak mereka bangun dalam waktu semalam.
Salman mengklaim bahwa Bentang menerbitkan buku bagus, bukan buku laku. Larisnya produk
bukan jaminan bahwa ia bagus secara kualitas. Membaca pasar dan mengedukasi pasar adalah
dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Ia mengisahkan salah satu penjualan terbaik Bentang, Laskar Pelangi. Buku tersebut muncul di
tengah demam teenlit, cerita-cerita cinta remaja. Laskar Pelangi kemudian justru menciptakan
tren baru.
Ia juga bercerita tentang pertemuannya dengan salah satu penerbit di Jerman, S. Fischer Verlag.
Verlag menerbitkan buku-buku nonfiksi “berat”, yang menurut Salman berkualitas baik, dengan
ketebalan di atas 400 halaman. Salman bertanya, bagaimana mereka bisa memasarkan buku
tersebut? Jawaban dari Verlag, mereka diuntungkan oleh penerbit lain yang menerbitkan buku-
buku komersil.
Apakah maksud Salman adalah bahwa buku-buku berat selalu punya pasar? Tidak, poinnya
bukan itu.
“Poinnya adalah, ketika Anda menerbitkan buku dengan konten yang bagus dan mungkin tidak
terserap di pasar begitu banyak, setidaknya buku yang Anda lahirkan adalah buku yang
berkualitas. Tidak ada keraguan tentang itu. Berbeda halnya dengan Anda menerbitkan sampah
dan berharap laku. Ketika buku itu tidak laku, yang Anda dapatkan cuma sampah saja
sebenarnya.”
Keyakinan Salman serupa dengan Sheny. Mereka optimis mengenai omzet penjualan buku selagi
penerbit-penerbit di Yogyakarta masih memproduksi buku-buku bermutu. Sebab buku bermutu,
menurut Sheny, “akan jadi candu.”[]
----
Aufannuha Ihsani. Jurnalis lepas.