Harry van Jogja adalah supir becak dari Yogyakarta yang menggunakan Facebook dan media sosial lain untuk berkomunikasi dengan pelanggan. Ia mulai menjadi supir becak selama kuliah untuk membiayai pendidikannya, dan sekarang menggunakan keterampilan berbahasa Inggris dan online-nya untuk menarik wisatawan. Ia telah menjadi supir becak selama hampir 20 tahun dan menghasilkan penghasilan sekitar Rp1
1. History of Harry van Jogja
Haryadi adalah seorang pengemudi becak asal Yogyakarta yang menggunakan Facebook sebagai
sarana berkomunikasi dengan calon penumpangnya. Bahkan calon penumpang dari luar
negeripun bisa “ membooking “ dia jauh hari sebelumnya. Nama sebutannya adalah“Harry Van
Yogya”, seorang lelaki dengan 3 orang anak, dia harus membesarkan anak anaknya sendiri
karena isterinya meninggal saat gempa besar melanda Jogja di tahun 2006 yang lalu. Ternyata
berkat bantuan Facebook, dia menjadi mudah berkomunikasi dengan pelanggan pelanggannya.
Mengapa saya senang? Karena berarti Facebook yang selama ini dicaci maki bahkan hampir
hampir dilarang ini ternyata juga mempunyai manfaat yang membanggakan. Kalau saja si Mark
si penemu Facebook juga mendengar “khasiat” Facebooknya ini sangat manjur untuk
berkomunikasi dan “menjual” jasa maka pasti ia pun akan senang. Nah dengan adanya manfaat
positif ini semoga saja semakin terbukalah mata mereka yang membenci dan antipati dengan
Facebook.
Sejarah harry Van Jogja
Haryadi was a pedicab driver from Yogyakarta who use Facebook as a means
of communicating with prospective passengers. Even passengers from abroad could
be booking. The name they call is "Harry Van Yogya", a man with 3 children,
he must raise his own children because his wife died during the massive
earthquake struckYogyakarta in 2006 ago. Apparently thanks to the help of Facebook,
he became easily communicate with his customers. Why am I happy?
Because this means Facebook is for even the most reviled almost forbidden, it is
also has the benefit of the plume. If only the inventor of Facebook's Mark also heard
the "efficacy" Facebook is very effective to communicate and "sell" services,
then surely he would be happy. Well with the existence of these positive
benefits may be more opened their eyes that hate and antipathy with Facebook.
2. Mengayuh Becak Menyusuri Dunia Maya
Kalau Anda hendak datang ke Yogyakarta, cobalah pesan becak sejak jauh-jauh hari pada Blasius
Haryadi.
Anda bisa mencarinya lewat Facebook, Twitter, atau masuk ke blog pribadinya.
Harry van Jogja, begitu dia lebih banyak dikenal.
Jebolan Jurusan Matematika Universitas Sanata Dharma Yogyakarta ini sehari-hari mengakrabi
internet, sembari mengayuh becak.
Reporter KBR68H Suryawijayanti berbincang panjang dengan Harry van Jogja soal becak dan dunia
maya.
Tengah hari di Yogyakarta, yang masih berselimut abu vulkanik dari Gunung Merapi. Sejumlah tukang becak
tampak menunggu penumpang. Masih sepi, terutama pasca letusan Gunung Merapi.
Harry van Jogja mengambil telfon selularnya, lantas memperbarui status di akun Facebook-nya.
“Bangun tidur disambut hujan dan suruh antar seorang ibu ke pasar. Lumayan ada olahraga ringan.”
Siapakah Harry van Jogja ini?
“Good morning! Hallo, my name is Harry. My complete name is Blasius Haryadi, but people called me just
Harry. I'm 42 years old and I work as a becak driver in Yogyakarta.”
Laki-laki ini bukan orang Belanda, tapi asli kelahiran Bantul, Yogyakarta. Sehari-hari mengayuh becak,
mangkal di kampung turis Prawirotaman, ujung selatan Yogyakarta. Ia sengaja mencantumkan „Van Jogja‟ di
belakang namanya, karena ia mengaku suka berbahasa Belanda.
“Saya mulai narik becak itu tahun 1990, waktu masih tercatat sebagai mahasiswa MIPA jurusan Matematika
IKIP Sanatadarma. Saya menjadi supir becak karena permasalahan biaya. Jadi saya berpikir bagaimana
mencari solusi atau jalan bagaimana bisa mendapat uang tanpa mengganggu aktivitas kuliah. Satu-satunya
jalan mbecak. Jadi kalau kuliah kuliah, trus malamnya mbecak.”
Lulusan SMA Kolese de Britto, Yogyakarta, ini pernah menjadi mahasiswa Jurusan Matematika di Universitas
Sanata Dharma.
Biaya kuliah sekitar 20 tahun lalu itu Rp 10 ribu per bulan. Ayahnya yang juga tukang becak, tak kuat
menopang biaya kuliah Harry. Terpaksalah, ia ikut menggenjot becak ke jalan raya demi mencari tambahan
biaya sekolah.
“Bapak saya tukang becak juga, tapi meski demikian saya belum pernah memegang, menyentuh becak
apalagi mencoba mengendarainya. Sama sekali belum pernah. Karena pertama kali, saya bingung, makanya
dari persewaan becak. Saya ambil lalu saya tuntun, saya dorong sampai di jalan raya. Setelah sampai di jalan
raya, saya duduk pinggir jalan. Bertanya-tanya bisa gak ya..bisa gak ya...”
“ Waktu itu untuk sewa becak sehari masih 250 rupiah. Pendapatan pertama kali berkisar antara 8000 sampai
10 ribu. Waktu itu sudah lumayan banyak di tahun 90an.. Uang kuliah saya itu gak per semester tapi per bulan.
Dan sebulannya 10 ribu.”
Bangku kuliah ia tinggalkan ketika baru setahun bergelar mahasiswa. Tak punya uang, kata dia. Harry muda
memutuskan untuk menekuni profesi menjadi tukang becak, yang awalnya hanya sambilan.
3. “Karena sebulan 60 ribu, ternyata dari narik becak, kadang dapet, kadang tidak, lalu kebutuhan juga banyak,
sehingga gak bisa menyisihkan uang. Lalu minta ke orangtua nggak bisa, akhirnya saya memutuskan tak
melanjutkan. Dan saya tak mengajukan pemberitahuan secara resmi, jadi cuti nggak, keluar juga nggak.
Pokoknya tak ada konfirmasi sampai sekarang. Khan otomatis di DO.”
Kemampuannya berbahasa Inggris, ia manfaatkan untuk menarik para turis yang berwisata di Yogyakarta.
Hingga pada sekitar 1994, seorang turis bule asal Amerika Serikat meminta agar Harry membuat sebuah akun
surat elektronik untuk mempermudah komunikasi.
“Pertama kali saya dikenalkan sebatas email, supaya untuk memudahkan komunikasi dengan bule Amerika,
langganan saya. Karena kalau pakai telepon mahal dan kalau pakai surat terlalu lama. Akhirnya saya diajari
dan diberi account email. Pertama kali yang saya akses ya email. Kalau saya masuk warnet dan cek email,
paling-paling habis 1000 rupiah doang. Lalu saya mencoba untuk lebih lama di warnet, dan mengandalkan
history yang dipakai user sebelumnya. Dan akhirnya jadi tau.”
Turis asal Amerika Serikat itulah yang membuka cakrawala Harry untuk bersentuhan dengan dunia maya.
Lewat internet, Harry mulai jeli menjaring pelanggan baru. Nyaris semua situs jejaring sosial diikuti, mulai dari
Friendster, Facebook hingga Twitter. Kalau mau sewa becak Harry Van Jogja, cukup tinggalkan pesan di sana.
Sejak itu pula, hidup Harry berubah.
Bermodalkan telfon selular, Harry kini punya hampir empat ribuan teman di Facebook. Beragam hal ia
ungkapkan di dunia maya lewat situs jejaring sosial.
“Dalam keseharian untuk ngakses internet, di mana pun juga dengan handphone. Misalnya saya nganter
penumpang ke Malioboro, disuruh nunggu. Begitu penumpang turun, saya buka HP, liat status atau update
kasus saya sedang di sini, di sana, lagi ini, lagi itu dan sebagainya.”
Bapak tiga anak ini pun rajin mampir ke warung internet untuk mengecek email dari pelanggan becaknya.
Harry membuat dua grup di Facebook, yaitu Becak Jogja dan Bellongg Independent Tour. Dari situ, ia banyak
dapat permintaan untuk berwisata di sekitar Yogya dengan becak.
Harry juga sering membuat tulisan panjang saat mampir ke warung internet. Sebagian besar dipublikasikan di
blog pribadinya harryjgj.multiply.com dan schrijfen.blogspot.com.
“Sebenarnya dalam kehidupan di masyarakat kita banyak yang bisa kita tampilkan dalam bentuk tulisan, tapi
karena saya bukan penulis, ada kendala untuk mengungkapkan, kalau melihat sebuah kejadian untuk
menceritakan ke orang lain tak gampang. Sering saya menulis, coret-coret lalu dibuang. Menulis itu
membutuhkan ide, kadang ngalir terus, tapi kadag mentok.”
Tulisan Harry seringkali masuk ke surat kabar, seperti Kompas, Suara Merdeka, Harian Jogja dan Kedaulatan
Rakyat.
“Yang terakhir saya tulis, di koran lokal, Harian Jogjakarta. Dengan judul „Membangun Pariwisata Jogja‟.
Tentunya saya menyorot pelaku pariwisata, baik tukang becak termasuk pedagang. Karena saya melihat
banyak yang perlu dikoreksi dan diperbaiki, termasuk pedagang asongan yang menjual barang dagangan
sembarangan entah di trotoar terus di depan-depan hotel. Khan becak juga dirugikan, ketika di depan hotel
sudah berubah menjadi pasar, khan turis tinggal nyari barang depan hotel. Saya juga menyoroti lesehan di
Malioboro.”
Sudah hampir 20 tahun, Harry van Jogja mengayuh becak, juga berselancar di dunia maya.
Berkat pergaulannya di internet, ia dihadiahi rumah oleh wisatawan Inggris yang dikenalnya di situs jejaring
sosial, Facebook. Di rumah itu, Harry sendirian membesarkan ketiga anaknya, setelah istrinya meninggal
akibat gempa Yogyakarta 2006.
Dari membecak, Harry bisa mengantongi penghasilan sekitar 1,5 juta rupiah per bulan.
Harry mengaku bakal terus jadi tukang becak. Karena ia ingin jadi manusia merdeka, kata dia.
4. “Saya termasuk orang yang tak suka diatur-atur. Beda kalau kerja di kantor, berangkat jam 7 lalu pulang jam 3
sore dan saya selalu di situ, setia dan harus laksanakan pemerintah. Menjadi tukang becak itu