SlideShare a Scribd company logo
1 of 5
Pendidikan Karakter Antikorupsi:
                            Upaya Menyikapi Realita
                             Oleh I Putu Mas Dewantara


       Korupsi    merupakan     sebuah   masalah    pelik   yang    tiada   habisnya
diperbincangkan di negeri rupiah ini. Mulai dari pemahaman mengenai apa itu
korupsi, bentuk-bentuk tindakan korupsi sampai pada sanksi hukum tindakan
korupsi. Namun, perbincangan dari waktu ke waktu itu belum berbuah maksimal.
Masih sangat mudah dijumpai praktek-praktek korupsi di sekitar kita. Bahkan jika
mau jujur, korupsi sudah dilakukan secara terang-terangan (masyarakat menyebutnya
“rahasia umum [?]”). Mengadili orang-orang yang terlibat korupsi ternyata juga tidak
mudah. Sebab para koruptor ternyata memiliki kekuatan yang luar biasa. Betapa
terkejutnya publik saat seorang koruptor bisa ke luar tahanan dan menonton
pertandingan olah raga di Bali. Hal ini menunjukkan bahwa korupsi telah melanda
tempat-tempat yang diharapkan mampu memberi efek jera pada para koruptor.
Begitu besar kekuatan uang untuk membeli kebebasan para koruptor. Sebelum kasus
ke luarnya koruptor dari balik jeruji besi, negari ini juga pernah dihebohkan dengan
ruang tahanan yang disulap bak hotel berbintang. AC, TV, DVD, dan perlengkapan
lain menghiasi ruangan yang semestinya menciptakan renungan atas perbuatan yang
telah dilakukan. Melihat maraknya aksi korupsi siapa yang patut dipersalahkan?
Pemerintah, lembaga hukum, ataukah dunia pendidikan yang belum mampu
memberikan bekal ‘keberanian’ dan ‘kesetiaan’ akan kejujuran? Di sini pendidikan
sering menjadi komponen yang paling disoroti.
       Jika tujuan akhir pendidikan adalah membentuk manusia cerdas, berakhlak
mulia, terampil dan seterusnya, maka semestinya rumusan itu dijadikan patokan atau
alat ukur, sejauh mana bisa dicapai. Jika ternyata para lulusan pada jenjang tertentu
masih menggambarkan penampilan yang belum sebagaimana dirumuskan dalam
tujuan, maka apa salahnya segera dilakukan perbaikan dan bahkan perubahan. Apa
yang telah terjadi sudah selayaknya dijadikan renungan untuk memperbaiki kualitas
pendidikan di negeri ini.




                                                                                   1
Menyikapi fenomena korupsi yang marak terjadi. Pendidikan pun melakukan
pembenahan-pembenahan untuk menjawab tantangan derasnya arus korupsi. Salah
satu upaya yang dilakukan adalah perubahan kurikulum. Perubahan kurikulum yang
gencar dibicarakan belakangan ini adalah masuknya pendidikan karakter antikorupsi
pada tingkat pendidikan prasekolah hingga perguruan tinggi pada tahun ajaran 2011
ini. Kurikulum tersebut, menurut Mendiknas, Muhammad Nuh, nantinya akan masuk
dalam silabus-silabus mata pelajaran. Sedangkan pengajarnya adalah guru-guru yang
telah diberi training bagaimana mengajarkan pendidikan karakter antikorupsi.
Penyebaran pendidikan antikorupsi ini pun akan dilakukan secara bertahap.
       Dalam pelaksanaannya, pendidikan karakter antikorupsi tidak berdiri sendiri
sebagai sebuah mata pelajaran, tetapi dengan memberikan penguatan pada masing-
masing mata pelajaran yang selama ini dinilai sudah mulai kendur. Mendiknas
menganalogikan pendidikan budaya dan karakter bangsa sebagai zat oksigen yang
menjadi bagian dari manusia hidup. Manusia tidak akan hidup tanpa oksigen. Begitu
juga dengan pendidikan budaya dan karakter bangsa, kita seakan mati jika tidak
berlaku sesuai dengan budaya dan karakter bangsa. Karakter dan budaya bangsa itu
begitu melekat dalam diri seseorang.
       Pendidikan antikorupsi sesungguhnya abstrak, bukan melalui logika saja.
Pendidikan ini memerlukan tahap penalaran, internalisasi nilai dan moral, sehingga
mata pelajarannya didesain tidak hanya menekankan aspek kognitif, melainkan lebih
pada aspek afektif dan psikomotorik (http://www.riaumandiri.net). Menekankan
bagaimana agar anak didik melakukan sesuatu atau menghindari sesuatu untuk
mendapat pengharagaan sosial dari orang lain. Bagi anak-anak, proses penalaran
moral berkembang sejalan dengan proses belajar sendiri dan belajar dari lingkungan.
Melalui pendidikan antikorupsi yang terarah dan efektif, terbuka kemungkinan
internalisasi nilai-nilai. Peran guru, orang tua, dan orang-orang di sekitar menjadi
kunci. Mereka harus memberi teladan berperilaku antikorupsi, terutama berperilaku
jujur sebagai dasar pembentukan karakter secara dini.
       Korupsi adalah masalah bersama yang penuntasannya tidak dapat dilakukan
seketika. Kekuatan hukum dalam menimbulkan efek jera pun terkesan belum
maksimal. Banyak pelaku tindak korupsi yang mendapat hukuman minim dan
bahkan lolos dari jerat hukum. Untuk itu, jalur pendidikan ditilik sebagai wahana



                                                                                  2
terbaik untuk memutus arus korupsi dengan peningkatan moral generasi penerusnya.
Rencana masuknya pendidikan karakter antikorupsi dalam kurikulum tentunya
mendapat tanggapan beragam dari masyarakat. Ada yang pro dan ada juga yang
kontra terhadap pelaksanaan program ini.
         Memerangi korupsi bukan cuma menangkapi koruptor. Sejarah mencatat, dari
sejumlah kejadian terdahulu, sudah banyak usaha menangkapi dan menjebloskan
koruptor ke penjara. Era orde baru, yang berlalu, kerap membentuk lembaga
pemberangus korupsi. Mulai Tim Pemberantasan Korupsi di tahun 1967, Komisi
Empat pada tahun 1970, Komisi Anti Korupsi pada 1970, Opstib di tahun 1977,
hingga Tim Pemberantas Korupsi. Nyatanya, penangkapan para koruptor tidak
membuat jera yang lain. Koruptor junior terus bermunculan bak jamur di musim
hujan.
         Hasil survei bisnis yang dirilis Political & Economic Risk Consultancy atau
PERC menyebutkan Dalam survei tahun 2010, Indonesia menempati peringkat
pertama sebagai negara terkorup dengan mencetak skor 9,07 dari nilai 10. Angka ini
naik dari 7,69 poin tahun lalu. Posisi kedua ditempati Kamboja, kemudian Vietnam,
Filipina, Thailand, India, China, Malaysia, Taiwan, Korea Selatan, Makao, Jepang,
Amerika Serikat, Hongkong, Australia, dan Singapura sebagai negara yang paling
bersih (www.bisniskeuangan.kompas.com).
         Upaya pemerintah, dalam hal ini Kementrian Pendidikan Nasional
(Kemendiknas) yang bekerja sama dengan KPK menyikapi realita korupsi yang
menjamur di negeri ini patutlah kita apresiasi positif. Pendidikan sebagai usaha sadar
yang sistematis dan sistemis memang harus selalu bertolak dari sejumlah landasan
atau azas-azas tertentu guna mewujudkan masa depan yang lebih baik (Tirtaraharja
dan La Sulo, 2005). Lembaga pendidikan pun ditilik sebagai tempat terbaik
menyiapkap SDM yang bermoralitas tinggi. Hal ini sejalan dengan pandangan
Socrates (469-399 SM) yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan yang paling
mendasar adalah membentuk individu menjadi lebih baik dan cerdas. Dengan kata
lain, pendidikan hendaknya diarahkan kepada kebajikan atau nilai individu yang
mencakup dua aspek, yaitu intelektual dan moral (Aristoteles 348-322 SM).
         Memang sudah saatnya pendidikan kita disentuh oleh masalah-masalah real
yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat. Ketika korupsi menjalar bagai akar



                                                                                    3
di setiap bidang kehidupan, maka sudah sepatutnya peserta didik yang akan menjadi
penerus kehidupan bangsa diperkenalkan dengan permasalahan korupsi. Agar mereka
tahu betapa bahayanya tindakan korupsi bagi kelangsungan hidup bangsa sehingga
mereka memiliki sikap tidak tergoda dengan tindak korupsi.
       Penanaman nilai-nilai luhur sejak dini diharapkan mampu menjadi pondasi
yang kokoh bagi peserta didik dalam menyikapi realita kemerosotan moral yang
terjadi di tengah masyarakat. Melalui pendidikan karakter antikorupsi juga
diharapkan munculnya rasa tanggung jawab untuk memberantas korupsi dan
memberikan contoh pada masyarakat luas tidak hanya dari tuturan, tetapi juga
melalui perbuatan yang mencerminkan karakter yang ulet, jujur, toleran, dan lain
sebagainya.
       Selama ini pendidikan mengenai nilai-nilai luhur sebenarnya telah terangkum
dalam mata pelajaran agama dan pendidikan kewarganegaraan. Namun, hasil yang
digapai hanya sebatas kemampuan kognitif yang berfokuskan pada pencapaian nilai
dalam selembar kertas. Pemahaman mengenai nilai luhur tersebut akan hilang ketika
anak didik ke luar dari pagar sekolah. Banyak kejadian dalam masyarakat yang
mereka jumpai tidak sejalan dengan teori-teori yang ditanamkan sekolah, dan anak
didik tidak mampu menyumbangkan pemikirannya dalam mengatasi persoalan itu.
J.H. Gunning (dalam Tirtaraharja dan La Sulo, 2005) berpendapat bahwa seharusnya
pendidikan yang sehat mampu menunjukan titik temu atau menjembatani antara teori
dan praktek.
       Abduhzen (2010) berpendapat bahwa strategi pendidikan kita pada berbagai
tingkatannya sangat kurang menghiraukan pengembangan nalar sebagai basis sikap
dan perilaku. Pembelajaran di sekolah kita lebih cenderung pada mengisi atau
mengindoktrinasi pikiran. Akibatnya, apa yang diperoleh di sekolah seperti tidak
berkorelasi dengan kehidupan nyata. Pendidikan harus mampu menciptakan
keseimbangan dalam kehidupan peserta didiknya. Hal ini sejalan dengan ajaran
filsafat I Ching (kristalisasi marxisme di Tiongkok) yang memandang bahwa nilai
yang paling tinggi dalam kehidupan manusia adalah keseimbangan (Artadi, 2004).
       Agar pendidikan karakter antikorupsi dapat mencapai sasaran, beberapa
langkah dapat dilakukan pemerintah dan Kemendiknas, seperti pelatihan-pelatihan
kepribadian kepada guru-guru untuk menanamkan sikap antikorupsi. Hasilnya nanti



                                                                                 4
terlihat dalam sikap keseharian guru dalam menjalankan tugasnya. Sikap-sikap
antikorupsi yang ditunjukkan oleh guru tentu akan lebih ‘tajam’ pemikiran siswa
mengenai korupsi dibandingkan dengan teori-teori hapalan mengenai tindak korupsi.
Langkah lain yang dapat diambil untuk memaksimalkan tujuan pendidikan karakter
antikorupsi adalah memberikan sanksi tegas kepada guru dan pegawai-pegawai dinas
pendidikan yang melakukan tindakan korupsi. Sehingga dunia pendidikan terlepas
dari tindakan korupsi yang akan berdampak pada penciptaan kondisi yang
mendukung pelaksanaan pendidikan karakter antikorupsi.
       Melihat berbagai kendala yang membentang dalam pelaksanaan pendidikan
karakter antikorupsi ini, maka sudah sepatutnyalah dilakukan perbaikan dalam tubuh
institusi pendidikan terlebih dahulu. Agar jangan sampai rencana manis hanya
berbuah tawar atau tiada berguna. Guru sebagai ujung tombak pendidikan karakter
antikorupsi haruslah merefleksi diri. Penanaman sikap luhur ini akan tercapai apabila
guru sanggup menjadi contoh sikap jujur, baik, bertanggung jawab, dan adil bagi
siswanya. Bukan hanya pemberian teori mengenai ciri-ciri sikap jujur, baik,
bertanggung jawab, dan adil yang sasaranya hanya hapalan semata. Edith Wharton
(dalam Lewis, 2004) mengatakan bahwa ada dua cara untuk menyebarkan terang:
menjadi lilinnya atau menjadi cermin yang memantulkannya. Lewis (2004)
menyebut pemberian contoh-contoh sikap luhur itu sebagai kepemimpinan lewat
teladan. Dalam kepemimpinan ini, seorang guru akan menjadi tolak ukur di mana
peserta didik akan mengukur diri mereka sendiri. Guru akan menjadi inspirasi bagi
peserta didiknya.
       Untuk dapat menjadi pemimpin yang mampu menerangi jalan peserta
didiknya, seorah guru hendaknya kembali memegang teguh trilogi kepemimpinan
yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara, yakni ing ngarso sung tulodo, ing madyo
mangun karso, dan tut wuri handayani. Artinya, ‘di depan guru sebagai pemimpin
mesti memberi teladan’, ‘di tengah-tengah peserta didik, guru membangun semangat
serta menciptakan peluang untuk berswakarsa’, ‘dari belakang guru mendorong dan
mengarahkan peserta didiknya’. Trilogi inilah yang mungkin terlupakan dalam
sistem pendidikan penanaman nilai di negeri ini.




                                                                                   5

More Related Content

Viewers also liked (7)

Teori dan filsafat politik pemerintahan
Teori dan filsafat politik pemerintahanTeori dan filsafat politik pemerintahan
Teori dan filsafat politik pemerintahan
 
Multidimensi perkembangan peserta didik
Multidimensi perkembangan peserta didikMultidimensi perkembangan peserta didik
Multidimensi perkembangan peserta didik
 
Pendidikan Anti Korupsi - Pengertian, Ruang Lingkup, Ciri dan Sejarah Korupsi
Pendidikan Anti Korupsi - Pengertian, Ruang Lingkup, Ciri dan Sejarah KorupsiPendidikan Anti Korupsi - Pengertian, Ruang Lingkup, Ciri dan Sejarah Korupsi
Pendidikan Anti Korupsi - Pengertian, Ruang Lingkup, Ciri dan Sejarah Korupsi
 
makalah psikologi perkembangan
makalah psikologi perkembanganmakalah psikologi perkembangan
makalah psikologi perkembangan
 
Makalah Statistika Dasar
Makalah Statistika DasarMakalah Statistika Dasar
Makalah Statistika Dasar
 
Makalah ISBD(manusia dan lingkungan)
Makalah ISBD(manusia dan lingkungan)Makalah ISBD(manusia dan lingkungan)
Makalah ISBD(manusia dan lingkungan)
 
Multidimensi Perkembangan Peserta Didik (kelompok 4)
Multidimensi Perkembangan Peserta Didik (kelompok 4)Multidimensi Perkembangan Peserta Didik (kelompok 4)
Multidimensi Perkembangan Peserta Didik (kelompok 4)
 

Pendidikan karakter antikorupsi

  • 1. Pendidikan Karakter Antikorupsi: Upaya Menyikapi Realita Oleh I Putu Mas Dewantara Korupsi merupakan sebuah masalah pelik yang tiada habisnya diperbincangkan di negeri rupiah ini. Mulai dari pemahaman mengenai apa itu korupsi, bentuk-bentuk tindakan korupsi sampai pada sanksi hukum tindakan korupsi. Namun, perbincangan dari waktu ke waktu itu belum berbuah maksimal. Masih sangat mudah dijumpai praktek-praktek korupsi di sekitar kita. Bahkan jika mau jujur, korupsi sudah dilakukan secara terang-terangan (masyarakat menyebutnya “rahasia umum [?]”). Mengadili orang-orang yang terlibat korupsi ternyata juga tidak mudah. Sebab para koruptor ternyata memiliki kekuatan yang luar biasa. Betapa terkejutnya publik saat seorang koruptor bisa ke luar tahanan dan menonton pertandingan olah raga di Bali. Hal ini menunjukkan bahwa korupsi telah melanda tempat-tempat yang diharapkan mampu memberi efek jera pada para koruptor. Begitu besar kekuatan uang untuk membeli kebebasan para koruptor. Sebelum kasus ke luarnya koruptor dari balik jeruji besi, negari ini juga pernah dihebohkan dengan ruang tahanan yang disulap bak hotel berbintang. AC, TV, DVD, dan perlengkapan lain menghiasi ruangan yang semestinya menciptakan renungan atas perbuatan yang telah dilakukan. Melihat maraknya aksi korupsi siapa yang patut dipersalahkan? Pemerintah, lembaga hukum, ataukah dunia pendidikan yang belum mampu memberikan bekal ‘keberanian’ dan ‘kesetiaan’ akan kejujuran? Di sini pendidikan sering menjadi komponen yang paling disoroti. Jika tujuan akhir pendidikan adalah membentuk manusia cerdas, berakhlak mulia, terampil dan seterusnya, maka semestinya rumusan itu dijadikan patokan atau alat ukur, sejauh mana bisa dicapai. Jika ternyata para lulusan pada jenjang tertentu masih menggambarkan penampilan yang belum sebagaimana dirumuskan dalam tujuan, maka apa salahnya segera dilakukan perbaikan dan bahkan perubahan. Apa yang telah terjadi sudah selayaknya dijadikan renungan untuk memperbaiki kualitas pendidikan di negeri ini. 1
  • 2. Menyikapi fenomena korupsi yang marak terjadi. Pendidikan pun melakukan pembenahan-pembenahan untuk menjawab tantangan derasnya arus korupsi. Salah satu upaya yang dilakukan adalah perubahan kurikulum. Perubahan kurikulum yang gencar dibicarakan belakangan ini adalah masuknya pendidikan karakter antikorupsi pada tingkat pendidikan prasekolah hingga perguruan tinggi pada tahun ajaran 2011 ini. Kurikulum tersebut, menurut Mendiknas, Muhammad Nuh, nantinya akan masuk dalam silabus-silabus mata pelajaran. Sedangkan pengajarnya adalah guru-guru yang telah diberi training bagaimana mengajarkan pendidikan karakter antikorupsi. Penyebaran pendidikan antikorupsi ini pun akan dilakukan secara bertahap. Dalam pelaksanaannya, pendidikan karakter antikorupsi tidak berdiri sendiri sebagai sebuah mata pelajaran, tetapi dengan memberikan penguatan pada masing- masing mata pelajaran yang selama ini dinilai sudah mulai kendur. Mendiknas menganalogikan pendidikan budaya dan karakter bangsa sebagai zat oksigen yang menjadi bagian dari manusia hidup. Manusia tidak akan hidup tanpa oksigen. Begitu juga dengan pendidikan budaya dan karakter bangsa, kita seakan mati jika tidak berlaku sesuai dengan budaya dan karakter bangsa. Karakter dan budaya bangsa itu begitu melekat dalam diri seseorang. Pendidikan antikorupsi sesungguhnya abstrak, bukan melalui logika saja. Pendidikan ini memerlukan tahap penalaran, internalisasi nilai dan moral, sehingga mata pelajarannya didesain tidak hanya menekankan aspek kognitif, melainkan lebih pada aspek afektif dan psikomotorik (http://www.riaumandiri.net). Menekankan bagaimana agar anak didik melakukan sesuatu atau menghindari sesuatu untuk mendapat pengharagaan sosial dari orang lain. Bagi anak-anak, proses penalaran moral berkembang sejalan dengan proses belajar sendiri dan belajar dari lingkungan. Melalui pendidikan antikorupsi yang terarah dan efektif, terbuka kemungkinan internalisasi nilai-nilai. Peran guru, orang tua, dan orang-orang di sekitar menjadi kunci. Mereka harus memberi teladan berperilaku antikorupsi, terutama berperilaku jujur sebagai dasar pembentukan karakter secara dini. Korupsi adalah masalah bersama yang penuntasannya tidak dapat dilakukan seketika. Kekuatan hukum dalam menimbulkan efek jera pun terkesan belum maksimal. Banyak pelaku tindak korupsi yang mendapat hukuman minim dan bahkan lolos dari jerat hukum. Untuk itu, jalur pendidikan ditilik sebagai wahana 2
  • 3. terbaik untuk memutus arus korupsi dengan peningkatan moral generasi penerusnya. Rencana masuknya pendidikan karakter antikorupsi dalam kurikulum tentunya mendapat tanggapan beragam dari masyarakat. Ada yang pro dan ada juga yang kontra terhadap pelaksanaan program ini. Memerangi korupsi bukan cuma menangkapi koruptor. Sejarah mencatat, dari sejumlah kejadian terdahulu, sudah banyak usaha menangkapi dan menjebloskan koruptor ke penjara. Era orde baru, yang berlalu, kerap membentuk lembaga pemberangus korupsi. Mulai Tim Pemberantasan Korupsi di tahun 1967, Komisi Empat pada tahun 1970, Komisi Anti Korupsi pada 1970, Opstib di tahun 1977, hingga Tim Pemberantas Korupsi. Nyatanya, penangkapan para koruptor tidak membuat jera yang lain. Koruptor junior terus bermunculan bak jamur di musim hujan. Hasil survei bisnis yang dirilis Political & Economic Risk Consultancy atau PERC menyebutkan Dalam survei tahun 2010, Indonesia menempati peringkat pertama sebagai negara terkorup dengan mencetak skor 9,07 dari nilai 10. Angka ini naik dari 7,69 poin tahun lalu. Posisi kedua ditempati Kamboja, kemudian Vietnam, Filipina, Thailand, India, China, Malaysia, Taiwan, Korea Selatan, Makao, Jepang, Amerika Serikat, Hongkong, Australia, dan Singapura sebagai negara yang paling bersih (www.bisniskeuangan.kompas.com). Upaya pemerintah, dalam hal ini Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) yang bekerja sama dengan KPK menyikapi realita korupsi yang menjamur di negeri ini patutlah kita apresiasi positif. Pendidikan sebagai usaha sadar yang sistematis dan sistemis memang harus selalu bertolak dari sejumlah landasan atau azas-azas tertentu guna mewujudkan masa depan yang lebih baik (Tirtaraharja dan La Sulo, 2005). Lembaga pendidikan pun ditilik sebagai tempat terbaik menyiapkap SDM yang bermoralitas tinggi. Hal ini sejalan dengan pandangan Socrates (469-399 SM) yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan yang paling mendasar adalah membentuk individu menjadi lebih baik dan cerdas. Dengan kata lain, pendidikan hendaknya diarahkan kepada kebajikan atau nilai individu yang mencakup dua aspek, yaitu intelektual dan moral (Aristoteles 348-322 SM). Memang sudah saatnya pendidikan kita disentuh oleh masalah-masalah real yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat. Ketika korupsi menjalar bagai akar 3
  • 4. di setiap bidang kehidupan, maka sudah sepatutnya peserta didik yang akan menjadi penerus kehidupan bangsa diperkenalkan dengan permasalahan korupsi. Agar mereka tahu betapa bahayanya tindakan korupsi bagi kelangsungan hidup bangsa sehingga mereka memiliki sikap tidak tergoda dengan tindak korupsi. Penanaman nilai-nilai luhur sejak dini diharapkan mampu menjadi pondasi yang kokoh bagi peserta didik dalam menyikapi realita kemerosotan moral yang terjadi di tengah masyarakat. Melalui pendidikan karakter antikorupsi juga diharapkan munculnya rasa tanggung jawab untuk memberantas korupsi dan memberikan contoh pada masyarakat luas tidak hanya dari tuturan, tetapi juga melalui perbuatan yang mencerminkan karakter yang ulet, jujur, toleran, dan lain sebagainya. Selama ini pendidikan mengenai nilai-nilai luhur sebenarnya telah terangkum dalam mata pelajaran agama dan pendidikan kewarganegaraan. Namun, hasil yang digapai hanya sebatas kemampuan kognitif yang berfokuskan pada pencapaian nilai dalam selembar kertas. Pemahaman mengenai nilai luhur tersebut akan hilang ketika anak didik ke luar dari pagar sekolah. Banyak kejadian dalam masyarakat yang mereka jumpai tidak sejalan dengan teori-teori yang ditanamkan sekolah, dan anak didik tidak mampu menyumbangkan pemikirannya dalam mengatasi persoalan itu. J.H. Gunning (dalam Tirtaraharja dan La Sulo, 2005) berpendapat bahwa seharusnya pendidikan yang sehat mampu menunjukan titik temu atau menjembatani antara teori dan praktek. Abduhzen (2010) berpendapat bahwa strategi pendidikan kita pada berbagai tingkatannya sangat kurang menghiraukan pengembangan nalar sebagai basis sikap dan perilaku. Pembelajaran di sekolah kita lebih cenderung pada mengisi atau mengindoktrinasi pikiran. Akibatnya, apa yang diperoleh di sekolah seperti tidak berkorelasi dengan kehidupan nyata. Pendidikan harus mampu menciptakan keseimbangan dalam kehidupan peserta didiknya. Hal ini sejalan dengan ajaran filsafat I Ching (kristalisasi marxisme di Tiongkok) yang memandang bahwa nilai yang paling tinggi dalam kehidupan manusia adalah keseimbangan (Artadi, 2004). Agar pendidikan karakter antikorupsi dapat mencapai sasaran, beberapa langkah dapat dilakukan pemerintah dan Kemendiknas, seperti pelatihan-pelatihan kepribadian kepada guru-guru untuk menanamkan sikap antikorupsi. Hasilnya nanti 4
  • 5. terlihat dalam sikap keseharian guru dalam menjalankan tugasnya. Sikap-sikap antikorupsi yang ditunjukkan oleh guru tentu akan lebih ‘tajam’ pemikiran siswa mengenai korupsi dibandingkan dengan teori-teori hapalan mengenai tindak korupsi. Langkah lain yang dapat diambil untuk memaksimalkan tujuan pendidikan karakter antikorupsi adalah memberikan sanksi tegas kepada guru dan pegawai-pegawai dinas pendidikan yang melakukan tindakan korupsi. Sehingga dunia pendidikan terlepas dari tindakan korupsi yang akan berdampak pada penciptaan kondisi yang mendukung pelaksanaan pendidikan karakter antikorupsi. Melihat berbagai kendala yang membentang dalam pelaksanaan pendidikan karakter antikorupsi ini, maka sudah sepatutnyalah dilakukan perbaikan dalam tubuh institusi pendidikan terlebih dahulu. Agar jangan sampai rencana manis hanya berbuah tawar atau tiada berguna. Guru sebagai ujung tombak pendidikan karakter antikorupsi haruslah merefleksi diri. Penanaman sikap luhur ini akan tercapai apabila guru sanggup menjadi contoh sikap jujur, baik, bertanggung jawab, dan adil bagi siswanya. Bukan hanya pemberian teori mengenai ciri-ciri sikap jujur, baik, bertanggung jawab, dan adil yang sasaranya hanya hapalan semata. Edith Wharton (dalam Lewis, 2004) mengatakan bahwa ada dua cara untuk menyebarkan terang: menjadi lilinnya atau menjadi cermin yang memantulkannya. Lewis (2004) menyebut pemberian contoh-contoh sikap luhur itu sebagai kepemimpinan lewat teladan. Dalam kepemimpinan ini, seorang guru akan menjadi tolak ukur di mana peserta didik akan mengukur diri mereka sendiri. Guru akan menjadi inspirasi bagi peserta didiknya. Untuk dapat menjadi pemimpin yang mampu menerangi jalan peserta didiknya, seorah guru hendaknya kembali memegang teguh trilogi kepemimpinan yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara, yakni ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut wuri handayani. Artinya, ‘di depan guru sebagai pemimpin mesti memberi teladan’, ‘di tengah-tengah peserta didik, guru membangun semangat serta menciptakan peluang untuk berswakarsa’, ‘dari belakang guru mendorong dan mengarahkan peserta didiknya’. Trilogi inilah yang mungkin terlupakan dalam sistem pendidikan penanaman nilai di negeri ini. 5