Disertasi ini membahas relevansi dekonsentrasi di era desentralisasi dengan fokus pada efektivitas pengelolaan dekonsentrasi di bidang sosial. Penelitian menggunakan studi kasus Kalimantan Tengah untuk menganalisis program, anggaran, kelembagaan, perencanaan, dan regulasi dekonsentrasi bidang sosial. Hasilnya menunjukkan bahwa dekonsentrasi masih relevan di era desentralisasi asalkan pengelolaannya diting
RELEVANSI DEKONSENTRASI DI ERA DESENTRALISASI: STUDI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN DEKONSENTRASI BIDANG SOSIAL
1. RELEVANSI DEKONSENTRASI DI ERA
DESENTRALISASI: STUDI EFEKTIVITAS
PENGELOLAAN DEKONSENTRASI BIDANG SOSIAL
THE RELEVANCE OF DECONCENTRATION IN THE
DECENTRALIZATION ERA: STUDY ON THE EFFECTIVENESS
OF DECONCENTRATION MANAGEMENT IN SOCIAL SECTOR
DISERTASI
Diajukan oleh:
Tri Widodo Wahyu Utomo
07/264426/SMU/493
PROGRAM PASCA SARJANA
PENDIDIKAN DOKTOR ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015
2. RELEVANSI DEKONSENTRASI DI ERA DESENTRALISASI:
STUDI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN DEKONSENTRASI
BIDANG SOSIAL
Disertasi untuk memperoleh derajat Doktor
Dalam Ilmu Administrasi Publik
Universitas Gadjah Mada
Dipertahankan dihadapan Dewan Penguji
Program Doktoral
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada
Pada tanggal Juli 2015
Oleh:
Tri Widodo Wahyu Utomo
07/264426/SMU/493
PROGRAM PASCA SARJANA
PENDIDIKAN DOKTOR ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015
3.
4. PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Disertasi initidak terdapat
karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di
sutu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak
terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh
orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan
disebutkan dalam daftar pustaka.
Yogyakarta, Agustus 2015
Yang Menyatakan,
Tri Widodo W. Utomo
5. i
KATA PENGANTAR
Puji syukur yang tak terhingga penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT, Dzat Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha
Pemberi Rezeki, Maha Besar, Maha Penyantun, Maha Pemberi
Kecukupan, Maha Benar, Maha Mulia, dan Maha Mengabulkan.
Sungguh hanya atas ridho, bimbingan dan izin-Nyalah penulis bisa
merampungkan penulisan disertasi ini. Permasalahan disertasi ini
sering penulis bawa menghadap Sang Khaliq di tengah malam buta,
penulis sisipkan dalam doa-doa, dan bahkan penulis mohonkan
dengan nadzar-nadzar tertentu.
Bagi penulis, studi S3 dan penulisan disertasi merupakan
salah satu milestone yang sangat penting dalam hidup dan karir
penulis. Ini bukan sekedar keinginan meraih gelar terhormat dalam
jenjang pendidikan, namun juga sebagai upaya untuk memberi contoh
bagi anak-anak penulis bahwa pendidikan itu penting dan harus
dikejar karena merupakan anak tangga menuju kesuksesan dunia dan
kemuliaan akherat. Bagi penulis, menyelesaikan pendidikan juga
adalah wujud bakti selaku anak kepada orang tua dan mertua. Semoga
di masa tuanya, kemampuan penulis menyelesaikan studi akan
memberi segurat kebahagiaan dan sejumput kebanggaan di hati orang
tua penulis, Ibunda R.Ngt. Lestari Sedyati.
Tentu, penyelesaian disertasi ini telah memakan “korban”.
Waktu kebersamaan bagi istri dan anak-anak yang terlalu banyak
tersita, janji yang sering tertangguhkan, kesempatan bercengkerama
yang banyak tidak kesampaian, serta aneka perasaan yang mungkin
tidak terpuaskan. Oleh karenanya, dari palung hati yang terdalam
penulis ingin mempersembahkan karya sederhana ini sebagai wujud
cinta penulis kepada belahan jiwa penulis dunia akherat, R. Kania,
S.Sos, serta anak-anak penulis yang hebat lagi penurut: Nurusyifa
Widia Syafrisna, Rasyanda Zalfanur Nidatama, Najlanur Tria
Mardyanita, Muh. Mizan Abdurrahman, dan Muh. Nizam
Abdurrahim. Merekalah masa depan penulis. Merekalah spirit dan
energi yang terus mengobarkan hasrat penulis untuk berbuat lebih
baik dalam segala hal, lagi dan lagi.
Dukungan moril dan doa dari para senior, guru, sesepuh,
6. ii
dan pimpinan yang terus menanyakan progres studi penulis seperti
pak Noorsyamsa Djumara, pak Sunarno, pak Bhenyamin Hoessein,
pak Mimtah Thoha, dan ustadz Djam’an yang hampir setiap minggu
mengirim sms kepada penulis, benar-benar menjadi motivasi yang
sangat kuat bagi penulis untuk segera menyelesaikan studi ini, meski
harus terseok-seok. Sungguh penulis malu dan tidak tega untuk
mengecewakan harapan beliau-beliau. Khusus kepada Prof. Dr.
Bhenyamin Hoessein dan Prof. Dr. Miftah Thoha yang sekaligus
merupakan responden kunci dalam penelitian ini, penulis
melipatgandakan rasa berhutang budi pengetahuan yang mendalam.
Juga kepada teman-teman seperjuangan di LAN yang tidak
dapat disebutkan satu per satu, yang telah bersama-sama berdiskusi
tentang topik disertasi penulis atau memikirkan masa depan republik
tercinta, penulis sampaikan apresiasi sebesar-besarnya disertai
harapan semoga soliditas dan integritas selaku insan pemikir akan
terus kita perkokoh dan darmabaktikan untuk kebaikan ibu pertiwi.
Khusus untuk sahabat penulis, Suripto Asli Wong Kebumen yang
dengan tulus ikhlas menunggui penulis hingga larut malam dan
membantu proses pencetakan dokumen, penulis sampaikan terima
kasih yang tidak terhingga.
Akhirnya, disertasi ini tidak pernah akan selesai tanpa
arahan, bimbingan, dukungan, dan kepercayaan dari Promotor
penulis, Prof. Dr. Agus Dwiyanto, MPA beserta co-Promotor Prof. Dr.
Agus Pramusinto, MDA. Dengan kelebihan pengalaman, superioritas
keilmuan, dan kesabaran yang luar biasa dari beliau berdua, maka
lahirlah karya tulis sederhana ini. Kemurahhatian beliau berdua
terutama disaat-saat akhir penulisan disertasi ini, sungguh
memberikan motivasi dan kekuatan bagi penulis untuk tetap metrus
mengukir mimpi. Kesederhanaan dan kedangkalan disertasi ini
semata-mata terjadi karena kebodohan penulis yang tidak mampu
menangkap pemikiran-pemikiran kelas wahid dari promotor. Untuk
itu, penulis mohon maaf jika tidak mampu memenuhi ekspektasi
promotor untuk menghasilkan sebuah karya yang bernas dan cerdas.
Ucapan terima kasih dan pengahrgaan yang
setinggi-tingginya juga penulis haturkan kepada kaum terpelajar di
lingkungan MAP UGM, Prof. Sofian Effendi, Prof. Warsito Utomo,
7. iii
Prof. Wahyudi Komurotomo, Dr, Erwan Agus Purwanto, Dr. Agus
Heruanto Hadna, serta mbak Rini, yang secara langsung maupun
tidak langsung sudah banyak mewarnai pemikiran dan jalur hidup
penulis.
Kekurangan, kesalahan, dan kekhilafan adalah milik
penulis. Dengan kesadaran penuh, penulis mengakui bahwa disertasi
ini teramat jauh dari atribut baik, apalagi sempurna. Bagi penulis,
disertasi ini bukanlah terminal akhir dari perjalanan intelektual,
namun justru menjadi awal dari perjalanan panjang yang harus
penulis tapaki secara konsisten. Untuk itu, dengan kerendahan hati
penulis memohon sumbangan kritik dan saran untuk menjadikan
karya ini lebih layak bagi kehidupan.
Ditengah banyaknya kelemahan, penulis tetap berharap
kiranya karya tulis ini ada manfaatnya bagi dunia keilmuan
administrasi publik serta bagi praktek tata negara di era desentralisasi,
sekecil apapun itu.
Jakarta, 11 Juli 2015
Tri Widodo WU
8. iv
DAFTAR ISI
Halaman Judul ............................................................................ o
Lembar Persetujuan ................................................................... i
Kata Pengantar ............................................................................. ii
Daftar Isi ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, v
Daftar Tabel ................................................................................ viii
Daftar Box ................................................................................... x
Daftar Gambar ............................................................................ x
Abstrak ...................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................. 1
B. Fenomena Empiris Dekonsentrasi .................... 9
C. Rumusan Masalah / Problematika Penelitian … 21
D. Pertanyaan Penelitian (Research Question) ,,,,,,, 24
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian (Research
Objectives) …………………………………… 25
F. Keaslian Ide dan Originalitas Studi ................. 26
G. Sistematika Penulisan ....................................... 33
BAB II KERANGKA PIKIR DAN METODOLOGI
PENELITIAN
A. Kerangka Pikir Penelitian (Logical Framework
of Research) …………………………………. 37
B. Metodologi Penelitian ....................................... 40
1. Metode yang Digunakan ............................ 40
2. Operasionalisasi variabel ............................ 42
3. Teknik Pengumpulan Data .......................... 43
4. Responden / Sumber Informasi ................... 45
5. Jenis Data / Informasi ................................. 45
6. Teknik Analisis dan Interpretasi ................. 46
7. Pemilihan Lokus dan Fokus Penelitian ....... 48
BAB III REVIEW TEORETIK TENTANG
DEKONSENTRASI
9. v
A. Konsep Dasar Dekonsentrasi ........................... 51
B. Manfaat Dekonsentrasi ................................... 52
C. Relasi Desentralisasi – Dekonsentrasi ............. 53
D. Dua Sisi Desentralisasi – Dekonsentrasi dan
Kebutuhan Sinergi ............................................ 60
E. Pemencaran Kewenangan sebagai Esensi
Desentralisasi dan Dekonsentrasi ..................... 63
F. Konsep Otonomi Dalam Negara Kesatuan dan
Negara Federal ………………………………. 68
G. Dekonsentrasi di Antara Paradigma Sentralisasi
dan Desentralisasi ............................................. 72
H. Praktek Dekonsentrasi Negara Kesatuan:
Perspektif Internasional .................................. 82
1. China .......................................................... 83
2. Jepang ......................................................... 92
3. Negara-Negara Timur Tengah dan Afrika
Utara (MENA) ............................................ 100
4. Asia Tenggara ............................................. 103
5. Inggris dan Perancis .................................... 104
6. Yunani ........................................................ 106
I. Lessons Learned Penataan Dekonsentrasi untuk
Indonesia Berdasarkan Pengalaman
Internasional ..................................................... 108
BAB IV TINJAUAN NORMATIF DAN EMPIRIS
PELAKSANAAN DEKONSENTRASI DI
INDONESIA
A. Tinjauan Normatif Dekonsentrasi ..................... 113
B. Tinjauan Empiris Dekonsentrasi ....................... 134
C. Tinjauan Tentang Perangkat Dekonsentrasi ...... 150
BAB V KONTEKS DEKONSENTRASI DALAM
PEMBANGUNAN BIDANG SOSIAL DAN
PEMBANGUNAN DAERAH
A. Pembangunan Kesejahteraan Sosial ................. 160
B. Proritas Pembangunan Darah di Kalimantan
Tengah .............................................................. 168
C. Pembangunan Kesejahteraan Sosial di
Kalimantan Tengah ........................................... 175
10. vi
BAB VI RELEVANSI DEKONSENTRASI BIDANG
SOSIAL BERDASARKAN EFEKTIVITAS
PENGELOLAANNYA
A. Dimensi Program dan Kegiatan Dekonsentrasi ..183
B. Dimensi Anggaran/Pembiayaan Dekonsentrasi.. 205
C. Dimensi Kelembagaan Dekonsentrasi ……… 223
D. Dimensi Mekanisme Perencanaan
Dekonsentrasi ………………………………… 229
E. Dimensi Regulasi …………………………… 233
F. Relevansi Dekonsentrasi Bidang Sosial ........... 239
BAB VII PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................... 247
B. Rekomendasi dan Policy Agenda ..................... 253
Daftar Pustaka ......................................................................... 262
LAMPIRAN
1. Matriks Instrumentasi Penelitian: Daftar Responden dan
Jenis Informasi yang Dibutuhkan
2. Pedoman Wawancara
3. Kesimpulan dan Rumusan Hasil FGD
11. vii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Operasionalisasi Variabel Penelitian ...................... 43
Tabel 3.1. Ragam Definisi dan Interpretasi Desentralisasi –
Dekonsentrasi ........................................................ 54
Tabel 3.2. Komparasi Desentralisasi – Dekonsentrasi ............ 59
Tabel 3.3. Sharing Tanggungjawab Antar Level Pemerintahan
(Kasus Beberapa Negara) ………………………… 66
Tabel 3.4. Perbandingan Desentralisasi, Sentralisasi dan
Sentripelatism ......................................................... 82
Tabel 3.5. Model Dekonsentrasi – Desentralisasi di Beberapa
Negara .................................................................... 107
Tabel 4.1. Pengaturan Dekonsentrasi Dalam Berbagai Produk
Hukum tentang Pemerintahan Daerah di Indonesia
(1948-2004) ............................................................ 113
Tabel 4.2. Pengaturan lebih lanjut yang dibutuhkan dalam
rangka pelaksanaan PP No. 39/2001 dan PP No.
7/2008 ..................................................................... 120
Tabel 4.3. Perbandingan Pengaturan Dekonsentrasi Dalam PP
No. 39/2001 dan PP No. 7/2008 ............................. 123
Tabel 4.4. Perangkat Dekonsentrasi di Indonesia (1948-2004). 154
Tabel 5.1. Jumlah PMKS Tahun 2008 .................................... 161
Tabel 5.2. Jumlah Anak Bermasalah Kesejahteraan Sosial
yang Telah Dilayani (2005-2009) ........................... 162
Tabel 5.3. Program dan Sub-Program Kementerian Sosial …. 164
Tabel 5.4. Sasaran Strategis, IKU, dan Keterkaitan Program
Kementerian Sosial ……………………………… 165
Tabel 5.5. Lima Prioritas Tertinggi Pembangunan Provinsi
12. viii
Kalimantan Tengah 2011-2015 …………………... 174
Tabel 5.6. Kemiskinan di Kalimantan Tengah ………………. 176
Tabel 5.7. Data PMKS Kalimantan Tengah dan Perbandingan
dengan Total PMKS se-Indonesia ………………... 178
Tabel 5.8. 17 Program Pembangunan Bidang Sosial Provinsi
Kalimantan Tengah 2010-2015 dan Indikator
Kinerjanya ……………………………………….. 180
Tabel 6.1. Program Dekonsentrasi Sosial yang Dilimpahkan .. 184
Tabel 6.2. Rincian Kegiatan Dekonsentrasi Kementerian
Sosial Tahun 2014 ……………………………….. 185
Tabel 6.3. Persandingan Program/Kegiatan Dekonsentrasi
Dengan Program/Kegiatan Provinsi Kalimantan
Tengah Sebagai Daerah Otonom Dalam Bidang
Kesejahteraan Sosial yang Berpotensi Tumpang
Tindih ……………………………………………. 194
Tabel 6.4. Persandingan Program/Anggaran Dekonsentrasi
dengan Program/Anggaran Tugas Pembantuan
Bidang Kesejahteraan Sosial di Prov. Kalimantan
Tengah …………………………………………… 199
Tabel 6.5. Beberapa Contoh Cross-Cutting Issues Program
Kesejahteraan Sosial …………………………….. 202
Tabel 6.6. Perkembangan Anggaran Kementerian Sosial dan
Alokasi Dana Dekonsentrasi 2010-2014 ………… 205
Tabel 6.7. Distribusi Dana Dekonsentrasi Kementerian Sosial
per Provinsi Tahun 2015 (dalam ribu rupiah), dan
Jumlah PMKS Korban Bencana Alam dan Korban
Bencana Sosial Tahun 2012 ……………………… 207
Tabel 6.8. Jumlah dan Distribusi Dana Dekonsentrasi yang
Diterima Provinsi Kalimantan Tengah Tahun
2010-2014 (dalam ribu rupiah) ………………….. 211
Tabel 6.9. Jumlah dan Distribusi Dana Tugas Pembantuan
yang Diterima Provinsi Kalimantan Tengah Tahun
13. ix
2010-2014 (dalam ribu rupiah) …………………… 217
Tabel 6.10. Program Kerja dan Jumlah Dana Tugas
Pembantuan yang Diterima Dinas Sosial
Kalimantan Tengah Tahun 2010-2014 (dalam ribu
rupiah) ………………………………………….. 219
Tabel 6.11. Perbandingan Jumlah Dana Dekonsentrasi dan
Dana Tugas Pembantuan yang Diterima Provinsi
Kalimantan Tengah dengan APBD Kalimantan
Tengah Tahun 2010-2014 ………………………… 221
Tabel 6.12. Unit Kerja di Lingkungan Kemensos yang
Berkedudukan di Daerah ………………………… 224
DAFTAR BOX
Box 6.1. Tumpang Tindih Program Dekonsentrasi dengan
Program Daerah Otonom (Desentralisasi) ……… 198
Box 6.2. Tumpang Tindih Program Dekonsentrasi dengan
Program Tugas Pembantuan ……………………. 200
Box 6.3. Ketergantungan Daerah terhadap Dana
Dekonsentrasi dan Melemahnya Fungsi
Dekonsentrasi Sosial ………………………….. 222
Box 6.4. Kerancuan Kelembagaan Dekonsentrasi ………. 229
Box 6.5. Inefektivitas Perencanaan Dekonsentrasi ……… 233
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Kerangka Pikir Disertasi ...................................... 39
Gambar 6.1. Empat Bentuk Tumpang Tindih Dalam Program
Dekonsentrasi …………………………………... 204
14. i
Disertasi S-3
RELEVANSI DEKONSENTRASI DI ERA DESENTRALISASI:
STUDI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN DEKONSENTRASI
BIDANG SOSIAL
Abstrak:
Disertasi ini menganalisis relevansi dekonsentrasi dalam
mendukung kepentingan pusat di daerah, ditelaah dari aspek
efektivitas pengelolaan dekonsentrasi dalam dimensi
program/kegiatan, penganggaran, mekanisme, kelembagaan,
dan regulasi dekonsentrasi. Argumen pokok dari disertasi ini
adalah bahwa efektivitas pengelolaan dekonsentrasi akan
menentukan relevansi dekonsentrasi dalam sistem
penyelenggaraan pemerintahan yang terdesentralisasi.
Studi ini penting secara teoretik maupun empirik. Secara
teoretik, berbagai referensi menyatakan tentang kemanfaatan
dekonsentrasi di negara kesatuan yang terdesentralisasi.
Namun dalam praktek penyelenggaraan dekonsentrasi di
Indonesia banyak tuntutan untuk mengalihkan program dan
anggaran dekonsentrasi kedalam skema desentralisasi, karena
dekonsentrasi dipandang tidak banyak membawa manfaat
baik bagi pemerintah pusat maupun daerah. Disertasi ini
menegaskan thesis sebelumnya tentang kemanfaatan
dekonsentrasi dengan syarat dapat dikelola dengan efektif.
Adapun secara empirik, disertasi ini berkontribusi untuk
membuktikan dimensi-dimensi pengelolaan dekonsentrasi
yang kurang efektif, sehingga dapat diusulkan rekomendasi
pembenahannya.
Hasil penelitian menunjukkan masih adanya tumpang tindih
program/kegiatan dekonsentrasi dengan program/kegiatan
kementerian maupun program/kegiatan provinsi. Pemerintah
gagal melakukan pembedaan antara program dekonsentrasi
dengan program desentralisasi. Kesamaan program/kegiatan
tadi menjadikan daerah menggantungkan pada kucuran dana
dekonsentrasi untuk membiayai urusan-urusan yang
15. ii
sebenarnya sudah didesentralisasikan.
Sementara itu, aspek mekanisme pengelolaan dekonsentrasi
juga kurang efektif karena menjadi program rutin yang tidak
memiliki kebaruan, kurang berbasis pada analisis kebutuhan,
dan tidak didukung dengan instrumen monev yang matang.
Demikian pula aspek perangkat kelembagaan mengalami
kerancuan dengan banyaknya unit pusat di daerah.
Keberadaan perangkat daerah yang menjalankan tugas
dekonsentrasi semakin memperumit sistem kelembagaan
dekonsentrasi. Adapun dari sisi regulasi, meskipun fungsi
pemerintah pusat dalam menyediakan seperangkat norma,
standar, prosedur dan kebijakan (NSPK) sudah baik, namun
masih ada kecederungan pusat ingin melakukan sendiri
fungsi-fungsi yang sudah dilimpahkan dengan alasan daerah
belum cukup mampu untuk melaksanakan seluruh urusan
dekonsentrasi.
Temuan utama dari penelitian ini adalah bahwa relevansi
dekonsentrasi melemah akibat tidak efektifnya pengelolaan
asas dekonsentrasi dalam penyelenggaran pemerintahan. Oleh
karena itu, dalam rangka memperkuat relevansi dekonsentrasi,
disertasi ini merekomendasikan untuk dilakukan redefinisi
terhadap konsep dekonsentrasi, dengan mengembalikan
kepada standar internasional namun disesuaikan dengan
konteks Indonesia, dimana dekonsentrasi hanya berlaku untuk
urusan absolut pusat. Pada saat yang sama, diperlukan juga
penegasan kembali tentang apa yang dimaksud dengan
kepentingan pusat di daerah.
Disertasi ini juga merekomendasikan pembagian area yang
lebih jelas antara urusan desentralisasi, dekonsentrasi, tugas
pembantuan, serta urusan pemerintahan umum. Akhirnya,
disertasi ini mengajukan rekomendasi bahwa sesuai
karakteristik dasar negara kesatuan, maka kebijakan
desentralisasi maupun dekonsentrasi harus bersifat
integralistik. Artinya, keberhasilan kedua asas pemerintahan
tersebut menjadi tanggungjawab bersama seluruh tingkatan
pemerintahan dari yang tertinggi hingga yang terendah.
16. iii
Doctoral Dissertation
THE RELEVANCE OF DECONCENTRATION
IN THE DECENTRALIZATION ERA: STUDY ON THE
EFFECTIVENESS OF DECONCENTRATION
MANAGEMENT IN SOCIAL SECTOR
Abstract:
This dissertation analyses the relevance of deconcentration
based on the effectiveness of deconcentration management in
terms of its programs/activities, budgeting, mechanism,
institutional arrangement, and regulation. It argues that the
effectiveness of deconcentration management will lead to the
relevance of deconcentration in the framework of
decentralized governance.
Theoretically and empirically, this study is important. From
theoretical perspective, many studies show that
deconcentration provides benefits in the decentralized unitary
state. In the Indonesian context, however, there is growing
demand to integrate deconcentration program and budget
into decentralization scheme due to disability of
deconcentration in producing positive impacts to central and
local government. This study support the previous thesis
regarding the benefits of deconcentration, but only if it’s
effectively managed. From empirical perspective, this study
contributes to explain some dimensions of ineffective
deconcentration management, and proposes some
recommendation of improvement.
The study shows that there is overlapping between
deconcentration programs/activities and ministerial and
provincial programs/ activities. The government has failed to
differentiate between deconcentration and decentralization
program. This situation, in turn, leads to the perplexity of
budget alocation system.
Meanwhile, the mechanism of deconcentration is also
17. iv
ineffective as it becomes a routine job with very limited
novelty, lack of needs analysis, as well as poor of monitoring
system. In the institutional aspect, some confusion have
emerged since there are so many central government units in
the local level. The local agencies that are managing
deconcentration functions have complicated the situation.
From the regulation perspective, the function of central
institution in providing standard, norms, and procedures is
relatively well managed. However, based on reason of local
incapability, there is a tendency that central institution wants
to conduct deconcentration programs by themself.
The main finding of the research is that the relevance of
deconcentration tends to weaken as a result of
less-effectiveness of deconcentration management. Therefore,
in order to strengthen the relevance of deconcentration, this
dissertation proposes to redefine the concept of
deconcentration. It should be compatible with international
standard, but with local adjusment where deconcentration
only fits with absolute functions of central government.
Simultaneously, clarification on the scope of national interest
in the local level is also needed.
This dissertation also advocates to clarify the area of
decentralization, deconcentration, medebewind /
co-administration, and general affairs of government. Finally,
this dissertation suggests that decentralization and
deconcentration should be integratedly designed. It means
that the success of the two priciples should be proportionally
borne by different level of government.
18. - 1 -
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan ketentuan UU Nomor 32/2004, dalam
penyelenggaraan pemerintahan, Pemerintah menggunakan asas
desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekonsentrasi. Sedangkan dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah
menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 20 ayat 2 dan
3). Ketentuan ini dipertegas dalam UU No. 23/2014 tentang
Pemerintahan Daerah, khususnya pasal 5 ayat (4). Keseluruhan asas
tersebut secara filosofis dimaksudkan untuk mewujudkan efektivitas
dan efisiensi tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam
proses mencapai tujuan mensejahterakan rakyat.
Secara eksplisit, klausul Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) UU No.
32/2004 jo. Pasal 5 ayat (4) UU No. 23/2014 diatas menegaskan bahwa
asas desentralisasi dan dekonsentrasi melekat pada sistem
pemerintahan negara, yang merupakan prinsip dasar dalam
penyelenggaraan pemerintahan secara nasional. Ini berarti bahwa asas
desentralisasi dan dekonsentrasi bukan merupakan asas dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah, sebagaimana banyak dipahami
secara keliru selama ini. Oleh karena melekat pada sistem
pemerintahan negara, maka baik asas desentralisasi maupun asas
dekonsentrasi didesain sepenuhnya oleh pemerintah pusat, termasuk
dimensi pengawasan dan pertanggung jawabannya dilakukan oleh
(aparat) pemerintah pusat.
19. - 2 -
Sebagai implikasi logis dari berlakunya kerangka kebijakan
desentralisasi yang baru, kewenangan dan urusan pemerintah daerah
(khususnya kabupaten/kota) semakin luas sedangkan kewenangan dan
urusan unsur pemerintah pusat semakin mengecil. Meskipun demikian,
demi mempertahankan eksistensi, integritas dan ”hak kedaulatan”
suatu negara bangsa (nation-state), maka pemerintah pusat masih
memiliki hak-hak tertentu di daerah, atau dapat melakukan intervensi
dalam bentuk supervisi, pembinaan, pengawasan, dan penilaian kinerja
otonomi di daerah. Hak ”intervensi” Pemerintah atas Daerah ini dapat
dijalankan secara langsung oleh instansi tingkat Pusat (K/L), maupun
secara tidak langsung melalui aparatnya di daerah. Menurut UU
Nomor 5/1974 dan UU tentang pemerintahan daerah pada masa
sebelumnya, alat kelengkapan Pusat di Daerah dijalankan oleh instansi
vertikal yang dibentuk sebagai kepanjangan tangan instansi
pemerintah di tingkat Pusat. Sedangkan menurut UU Nomor 22/1999
dan UU Nomor 32/2004, perangkat / wakil pemerintah Pusat di daerah
adalah Gubernur, disamping instansi vertikal yang khusus menjalankan
urusan-urusan absolut (eksklusif) Pemerintah.1
Ini berarti pula bahwa propinsi dalam koridor otonomi daerah
memiliki 2 (dua) kedudukan, yakni sebagai wakil pemerintah pusat
(aparat dekonsentrasi), namun pada saat yang bersamaan juga sebagai
1
Berdasarkan UU No. 23/2014 provinsi dan kabupaten/kota selain berstatus sebagai
daerah otonom juga merupakan wilayah administratif. Bedanya, wilayah
administratif provinsi adalah wilayah kerja gubernur sebagai wakil pemerintah
pusat dan wilayah kerja dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan umum,
sedangkan wilayah administratif kabupaten/kota adalah wilayah kerja bupati/
walikota dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan umum saja.
20. - 3 -
pelaksana otonomi daerah itu sendiri (aparat desentralisasi);
sedangkan pada kabupaten/kota tidak lagi melekat fungsi
dekonsentrasi.
Mengingat tugas desentralisasi provinsi semakin mengecil,
maka fungsi-fungsi koordinasi, pembinaan, dan pengawasan
(implikasi tugas dekonsentrasi) harus diperkuat. Salah satu manifestasi
dari bekerjanya peran Pemerintah dalam sistem penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah adalah penetapan norma, standar, prosedur dan
kriteria (NSPK) oleh Pemerintah. Hal ini dimaksudkan untuk
menjamin agar roda otonomi daerah yang bergulir di tingkat provinsi
dan kabupaten/kota tidak salah arah atau menimbulkan ekses-ekses
yang tidak diinginkan. Dalam kaitan ini, fungsi dekonsentrasi menjadi
faktor kunci terhadap sukses atau gagalnya implementasi desentralisasi
politik yang seluas-luasnya (devolution).
Pengalaman internasional mengilustrasikan bahwa
pelaksanaan desentralisasi yang kebablasan justru memberikan
dampak sosial ekonomi yang merugikan bagi masyarakat daerah.
Disatu sisi, harus diakui bahwa desentralisasi memberi manfaat tinggi
bagi daerah dan masyarakat (Litvack, Ahmad, dan Bird, 1998;
Rondinelli dan Cheema, 1983; McLean dan King, 1999; Anne Mills
dalam Kolehmainen-Aitken, 1999; Jessica Seddon, 1999; IRDA, 2002).
Disisi lain, sebagaimana diungkapkan oleh Work (2002) atau Moore
dan Putzel (1999), tingkat keberhasilan desentralisasi juga sangat
bervariatif di setiap negara/daerah. Bahkan tidak tertutup kemungkinan
desentralisasi juga membawa dampak buruk yang tidak diinginkan
(Hadiz, 2003; Utomo, 2004).
21. - 4 -
Dalam rangka mencapai keseimbangan sekaligus mengontrol
dampak negatif yang mungkin muncul dari pelaksanaan desentralisasi
tersebut, maka logis bila pemerintah Pusat masih memainkan peran
dalam siklus kebijakan pembangunan di daerah melalui implementasi
fungsi dekonsentrasi. Dengan kata lain, dekonsentrasi dapat dipandang
sebagai sebuah komponen yang terintegrasi dengan desentralisasi. Hal
ini bertujuan agar daerah yang menyelenggarakan fungsi desentralisasi
tidak menjadi semakin selfish atau memiliki ego yang berlebihan
dalam memikirkan daerahnya sendiri. Dengan penguatan
dekonsentrasi, kebijakan pembangunan sebuah daerah dapat selalu
ditempatkan dalam konteks pembangunan yang lebih luas dan strategis
(embedding local policy into broader context of national development
and interest). Disinilah manfaat dekonsentrasi sebagai penyeimbang
arus desentralisasi yang begitu deras.
Hasil penelitian Mark Turner (2002) menunjukkan bahwa
dekonsentrasi di Kamboja memberikan manfaat yang sangat bervariasi,
sementara desentralisasi gagal memenuhi harapan yang ditetapkan
sebelumnya. Beberapa keuntungan dari dekonsentrasi ini menurut
Turner (2002: 354) adalah sebagai berikut:
Accessibility of officials. Officials are available for
consultation, advice, and complaint. As local officials can
exercise decentralized authority, they make the decisions
and do not need to pass them up the line to distant central
offices.
Mobilization of local resources. It is easier for locally based
officials to identify local resources, both human and
physical, and then mobilize them in the pursuit of locally
determined developmental purposes. Officials should also
be familiar with specific local constraints and the dynamics
of local politics.
22. - 5 -
Rapid response to local needs. Officials are better placed to
respond rapidly to local needs as they are in the territory
and fully aware of local conditions.
Orientation to the specific local needs. Because officials
know the local conditions, they are well placed to make
decisions and allocate resources which fit with the specific
conditions prevailing in a particular territory. Each sub-
national territory may have some unique features which can
be taken into account when planning and allocating
resources.
Motivation of field personnel. Appointed government
officials are more motivated to perform well when they have
greater responsibility for programs they manage.
Inter-office coordination. Coordination between offices
dealing with different functions is more easily achieved at
the local level where officials are physically close together
and are often familiar with each other.
Central agencies. The decentralization of service functions
relieves central agencies of routine tasks. Responsibility for
these has been passed down to the local level. Central
agencies can thus focus on improving the quality of policy.
Monitoring local-level performance and providing
assistance to sub-national units are key element of this
reformulated central government role.
Dengan demikian, pentingnya fungsi dekonsentrasi ini bukan
hanya sebagai perekat antara kepentingan nasional dengan kepentingan
daerah, namun lebih dari itu adalah menjamin terlaksananya
penyelenggaraan pemerintahan dalam bidang pembangunan dan
pelayanan secara lebih efektif dan efisien. Dan untuk menopang
pelaksanaan tugas-tugas dekonsentrasi tadi, maka wajar jika
pemerintah pusat mengalokasikan sejumlah dana (Dana
Dekonsentrasi) kepada pemerintah provinsi (cq. Gubernur) selaku
Wakil Pemerintah yang mengemban fungsi dekonsentrasi. Artinya,
dana dekonsentrasi adalah instrumen finansial yang disediakan untuk
menjalankan fungsi-fungsi dekonsentrasi yang telah ditetapkan atau
23. - 6 -
direncanakan sebelumnya (money follows function).
Dekonsentrasi sendiri merupakan sebuah mekanisme
pembagian tanggungjawab antar level pemerintahan (sharing of
responsibility among multi-tiered of government) yang terjadi
diseluruh negara. Menurut OECD (1997), tidak ada satupun negara di
dunia yang tidak menerapkan prinsip dekonsentrasi, dengan
menegaskan bahwa “deconcentrated administrations exist in all
countries”. Pada pertemuan tingkat Menteri negara-negara OECD
tentang pelayanan publik masa depan (Ministerial Symposium on the
Future of Public Services) bulan Maret 1996, di Paris, pimpinan OECD,
Alice Rivlin, menyatakan sebagai berikut:
Developments are forcing, as well as enabling, changes in the
structure and boundaries of government. There has long been
a debate about the size of government, as well as whether to
centralize or decentralize. We must now be willing to move in
both directions -- decentralizing some functions while
centralizing other critical policy-making responsibilities. Such
changes are under way in all countries.
Dalam prakteknya, upaya membagi tanggung jawab antar level
pemerintahan tadi dapat dilakukan melalui model desentralisasi politik
atau devolusi (penyerahan tanggung jawab), atau melalui model
dekonsentrasi (pelimpahan wewenang / tanggungjawab). Dengan kata
lain, wacana desentralisasi dan dekonsentrasi harus dipandang sebagai
bagian integral dari proses pembangunan bangsa (nation building),
sehingga adanya kejelasan fungsi antara pemerintah Pusat, Pemerintah
daerah, dan Wakil Pemerintah Pusat di daerah, menjadi sebuah
keniscayaan. Dalam konteks penelitian ini, maka perlu lebih penegasan
tentang pembagian tugas, peran dan tanggung jawab antara Pemerintah
24. - 7 -
Pusat dengan pemerintah Provinsi (cq. Gubernur) selaku wakil /
representasi pemerintah Pusat.
Dalam konteks pemencaran kewenangan tadi, maka urusan
pemerintahan dapat dilakukan dengan beberapa pola atau mekanisme.
Menurut pasal 10 UU Nomor 32/2004, pola-pola penyelenggaraan
urusan tadi dapat diaktualisasikan melalui 3 (tiga) modus, yakni:
1. Pemerintah menyelenggarakan sendiri, atau
2. Dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan
kepada perangkat Pemerintah atau wakil Pemerintah di
daerah, atau
3. Dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah
dan/atau pemerintahan desa.2
Pola pertama pada hakekatnya adalah manifestasi asas
sentralisasi, dimana urusan pemerintahan tertentu dilaksanakan sendiri
oleh pemerintah, dan tidak diserahkan ataupun dilimpahkan kepada
pihak lain. Selanjutnya, pola kedua adalah penceminan dari
pelaksanaan asas dekonsentrasi, sedangkan pola ketiga adalah
penjabaran asas tugas pembantuan. Selain ketiga pola
penyelenggaraan urusan tersebut, sesungguhnya masih dapat ditambah
1 (satu) pola lagi yakni penyerahan urusan sepenuhnya kepada unit
pemerintahan otonom, yakni Pemerintah Daerah. Pola terakhir ini
sering dikenal sebagai asas desentralisasi.
Secara teoretik, tidak ada satupun artikel atau berani
menyatakan bahwa model yang satu lebih baik atau lebih efektif
dibanding model lainnya. Pilihan kebijakan tentang model
2
Dalam UU No. 23/2014 tidak ada lagi pengaturan tentang tiga bentuk/model
penyelenggaraan urusan tersebut. Meskipun demikian, ketiga bentuk tersebut
masih berlaku dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia saat ini.
25. - 8 -
penyelenggaraan urusan mana yang dianggap paling baik, tentulah
didasarkan pada kondisi obyektif dan kebutuhan pemerintah dan
masyarakat, serta manfaat terbesar yang dapat dihasilkan masing-
masing model. Itulah sebabnya, praktek penyelenggaraan
pemerintahan di berbagai negara menunjukkan adanya kecenderungan
untuk menggabungkan pola desentralisasi dengan dekonsentrasi (lebih
detil baca Bab III dan IV).
Apapun model / pola yang dipilih, satu hal harus mendapat
jaminan, yakni bahwa kebijakan, kepentingan dan target-target
pembangunan yang ditetapkan oleh pemerintah (Pusat) harus dapat
berjalan dengan baik dan optimal di seluruh wilayah negara. Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa asas desentralisasi atau dekonsentrasi
bukanlah sebuah tujuan, namun hanya merupakan instrumen untuk
mendukung agar kebijakan dan program nasional dapat mencapai
tujuan yang ditetapkan.
Di Indonesia sendiri, pemerintah nampaknya masih terus
mencari model terbaik penyelenggaraan pemerintahan serta pola
hubungan pusat dengan daerah. Hal ini terlihat dari upaya yang belum
tuntas untuk melakukan revisi terhadap UU Nomor 32/2004 dan
peraturan terkait lainnya. Proses pencarian bentuk ini mengilustrasikan
bahwa derajat kontribusi asas desentralisasi dan dekonsentrasi bagi
penyelenggaraan pemerintahan selama ini belum terpetakan secara
jelas. Selain itu, keseimbangan konseptual antara desentralisasi dan
dekonsentrasi juga belum tergambar dengan gamblang.
Dewasa ini, dekonsentrasi justru sering dipandang sebagai
pelengkap belaka dari asas desentralisasi. Tingkat urgensi dan
26. - 9 -
relevansi dekonsentrasi belum mendapat pengakuan yang memadai.
Malahan dalam implementasi sehari-hari, ditemukan banyak sekali
kelemahan mendasar dalam praktek dekonsentrasi. Ironisnya, hingga
saat ini belum ada langkah-langkah konkrit untuk mengatasi berbagai
permasalahan dalam implementasi dekonsentrasi tersebut. Akibatnya,
keluhan tentang praktek dekonsentrasi dan temuan-temuan
penyimpangan dari pengelolaan program dan dana dekonsentrasi, terus
terjadi dan berulang setiap tahun (lihat sub-bab B dibawah).
Mengingat situasi yang demikian kompleks sebagaimana
paparan diatas, serta hasrat intelektual untuk lebih mempejelas pola
kebijakan di Indonesia tentang hubungan desentralisasi dan
dekonsentrasi dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, maka
penulis tertarik untuk mengangkat issu tentang relevansi fungsi
dekonsentrasi dalam mendukung kebijakan nasional di daerah
sekaligus mendukung kebijakan dan pembangunan daerah otonom,
kedalam sebuah penelitian Disertasi.
B. Fenomena Empiris Dekonsentrasi
Selain didasarkan pada kerangka berpikir teoretis sebagaimana
dikemukakan diatas, pentingnya penelitian tentang dekonsentrasi juga
dilandasi oleh berbagai fenomena empiris yang berkembang dewasa
ini. Beberapa fenomena dibawah ini mengilustrasikan bahwa
dekonsentrasi belum terdefinisikan secara konkrit dan operasional.
Masih terdapat kebingungan dan kekaburan tentang makna yang
sebenarnya dari dekonsentrasi, sehingga dalam tataran
implementasinya juga menjadi kabur. Adapun beberapa fenomena
27. - 10 -
tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
1. Urusan atau wewenang yang dilimpahkan Pemerintah kepada
Gubernur sampai sekarang belum terdefinisi secara limitatif,
sehingga menyebabkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan
program dekonsentrasi menjadi sangat rendah. Hal ini juga
membuka kemungkinan terjadinya pembiayaan program / proyek
secara rangkap baik oleh APBN maupun APBD (double financing),
yang menyebabkan terjadinya inefisiensi besar dalam sistem
penganggaran publik. Situasi seperti ini misalnya ditandaskan oleh
Menteri Keuangan sendiri bahwa dalam kenyataannya dana
dekonsentrasi dan dana tugas perbantuan kerap kali terjadi
tumpang tindih dengan dana desentralisasi, karena ketidakjelasan
mengenai pembagian urusan pemerintahan antara Pusat dan
Daerah (Portal Depkominfo, 05-04-2006).
2. Sebagai implikasi logis dari peran Gubernur selaku Wakil
Pemerintah, maka Lemhanas menyarankan agar sistem pemilihan
Gubernur diubah, dimana Presiden menunjuk langsung Gubernur.
Pilkada langsung hanya dilaksanakan untuk level bupati/walikota.
Selain menghemat biaya Pilkada, penunjukan Gubernur langsung
oleh presiden untuk memperkuat kinerja pemerintahan. Dengan
kata lain, penghapusan pilkada Gubernur merupakan konsekuensi
dari posisi Gubernur sebagai perwakilan Presiden di daerah (Detik,
Media Indonesia, Kompas, 6-12-07). Pernyataan ini nampaknya
memiliki korelasi dengan pernyataan Presiden SBY yang
menyatakan bahwa biaya demokrasi tinggi. Selain biaya yang
mencapai triliunan, rakyat juga dirugikan oleh penggunaan biaya
28. - 11 -
yang sangat tinggi tersebut (Tempo, 6-12-07). Selain
menggambarkan adanya silang pendapat yang tajam tentang
kedudukan Gubernur selalu wakil pemerintah (perangkat
dekonsentrasi), pernyataan Presiden dan usulan Lemhanas diatas
juga sering dipandang sebagai kritik – jika bukan gugatan –
terhadap desentralisasi yang dinilai berjalan terlalu jauh atau
kebablasan, sehingga perlu direm dengan mengembalikan
kewenangan pemilihan Gubernur kepada Presiden. Apabila ide ini
diterima, jelas berimplikasi pada perubahan mendasar tentang
peran, wewenang, dan tanggungjawab seorang Gubernur.
3. BKKSI (Badan Kerjasama Kabupaten Seluruh Indonesia)
menyatakan bahwa selama ini dekonsentrasi disalahgunakan baik
oleh Pemda maupun Departemen Teknis. Selain itu, dana
dekonsentrasi yang dikeluarkan untuk membiayai urusan
dekonsentrasi sangat besar, dimana ada daerah memiliki dana
dekonsentrasi lebih besar dari APBD-nya. Hal ini dipandang
sebagai permainan Pusat yang terselubung dan berpotensi korupsi
besar-besaran (Kompas, 24-12-2007). Pada saat yang bersamaan,
Tim Penertiban Rekening Departemen Keuangan menemukan
adanya ribuan satuan kerja (dulu disebut pemimpin proyek) yang
mengelola dana dekonsentrasi atau tugas pembantuan, tetapi tidak
melaporkan realisasinya. Dana ini seperti hilang begitu saja karena
diserahkan melalui departemen teknis, tetapi tidak ada laporan
pertanggungjawabannya (Kompas, 18-12-2007).
Senada dengan temuan Tim Penertiban Rekening Depkeu diatas,
temuan Auditor Utama BPK Soekoyo juga mengindikasikan
29. - 12 -
bahwa dana dekonsentrasi yang sudah dialirkan pemerintah pusat
ke daerah sejak tahun 2000 ternyata penggunaannya tidak
dilaporkan di APBN, neraca pemerintah pusat, atau di APBD.
Akibatnya, ada potensi dana yang mencapai sekitar Rp 28,75 triliun
tersebut menjadi sarana untuk pencucian aset dan berpotensi tindak
pidana (Sumut Pos, 11-02-2007). Berdasarkan temuan tersebut,
BPK memberikan pendapat bahwa pengelolaan dana dekonsentrasi
dan dana tugas pembantuan belum memenuhi standard dan prinsip
pengelolan keuangan negara yang baik dan benar sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, dan temuan ini juga menjadi salah satu
penyebab opini disclaimer-nya Laporan Keuangan Pemerintah
Pusat.
4. Fungsi dekonsentrasi masih sering disikapi sebagai ”tugas kelas
dua” setelah penyelenggaraan fungsi desentralisasi. Akibatnya,
kurang ada perhatian yang serius untuk mengkaji berbagai
persoalan yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi dekonsentrasi
oleh provinsi (cq. Gubernur). Selain itu, penyikapan yang kurang
proporsional ini juga berdampak pada kurang adanya upaya yang
sistematis untuk menyempurnakan dan memperkuat fungsi
dekonsentrasi. Hal ini jelas merupakan kelemahan dari praktek
kebijakan otonomi daerah di Indonesia yang memberikan otonomi
seluas-luasnya kepada kabupaten/kota.
Fenomena diatas antara lain dikuatkan dengan pernyataan
Gubernur Jawa Tengah, Ali Mufiz yang mengatakan bahwa saat ini
masih terdapat kontroversi antara kewenangan perangkat
pemerintah pusat di provinsi seperti unit pelaksana teknis (UPT)
30. - 13 -
dengan kewenangan Gubernur selaku wakil pemerintah pusat
(Kompas, 22-10-2008). Pernyataan serupa diungkapkan Gubernur
Kalimantan Tengah, Teras Narang tentang masih banyaknya
kecenderungan program pemerintah yang ditujukan bagi daerah
tanpa melibatkan Gubernur. Dampaknya, pembangunan di daerah
menjadi tidak fokus dan anggaran banyak yang tidak efisien karena
tumpang tindih (Kompas, 1/12/2009).
Beberapa tahun sebelumnya, Gubernur Kalimantan Tengah juga
menyampaikan kririk serupa dan menyoroti posisi Gubernur yang
seolah-olah lepas dari program dan dana dekonsentrasi, sehingga
menjadi sangat dilematis bagi daerah, karena jika terjadi kesalahan
dalam implementasinya kepala daerah juga ikut menanggungnya
(Tempo Interaktif, 24-08-2006). Selain itu, pemerintah seharusnya
mempercayakan pengelolaan dana dekonsentrasi ke Gubernur agar
lebih bermanfaat. Sebab, kepercayaan pusat kepada daerah akan
memacu Kepala Daerah membangun wilayahnya, dan daerah akan
mengimbangi dengan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas
(Tempo Interaktif, 05-09-2006).
Keluhan yang sama juga dikemukakan oleh mantan Gubernur Jawa
Barat, Danny Setyawan yang menyatakan bahwa penyaluran dana
dekonsentrasi selama ini langsung ditangani oleh departemen
sektoral di pusat kepada dinas, mencerminkan bahwa departemen
sektoral masih mengobsesikan dinas-dinas di provinsi seperti
Kanwil (Pikiran Rakyat, 13-04-2005). Sejalan dengan sinyalemen
Gubernur Jabar tersebut, Ketua DPRD Jabar menyesalkan
turunnya dana dekonsentrasi (tahun 2007) karena tidak disertai
31. - 14 -
kejelasan mekanisme pertanggung jawabannya oleh SKPD yang
menerima. Pemerintah dinilai telah melakukan kesalahan karena
tidak memberitahukan kepada DPRD terkait program-program
menyangkut dana dekonsentrasi, sehingga DPRD tidak dapat
melakukan pengawasan (Pikiran Rakyat, 10-01-2007). Ternyata,
setelah tujuh tahun berjalan, masalah mis-komunikasi dan mis-
koordinasi pusat-daerah masih terjadi. Hal ini nampak dari
pernyataan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan yang
menyebutkan kurangnya koordinasi dalam pelaksanaan program
pemerintah, salah satunya dalam kebijakan impor sejumlah
komoditas pangan atau kebutuhan pokok. Pemerintah pusat sering
tidak bicara dengan daerah, sehingga kebijakan impor diterapkan,
harga komoditas lokal jatuh. Selain itu ada komoditas tertentu yang
tidak perlu diimpor karena persediaan di daerah mencukupi
(Kompas, 5-07-2014).
Keluhan tentang kebijakan dan praktek dekonsentrasi juga terjadi
di Provinsi NTB. Gubernur NTB menyatakan bahwa:
“penyelenggaraan koordinasi kegiatan dekonsentrasi dan tugas
pembantuan di daerah hingga kini masih belum optimal, baik dari
aspek administrasi pemerintahan maupun pengendalian secara
kualitatif atas pelaksanaan kegiatan. Hal ini disebabkan antara lain
penguatan peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di
daerah belum terlaksana secara ideal, misalnya dalam hal
pembinaan dan pengawasan dan evaluasi penyelenggaraan
pemerintahan daerah di kabupaten/kota, gubernur belum diberi
kewenangan represif untuk membatalkan kebijakan daerah
32. - 15 -
kabupaten/kota yang dinilai bertentangan dengan kebijakan pusat”
(Gaung NTB, Maret 2011, Penyelenggaraan Dekonsentrasi
Pembantuan Belum Optimal).
Fakta terbaru tentang kelemahan fungsi dekonsentrasi
diungkapkan oleh Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho,
yang menyatakan bahwa gubernur belum menjadi perpanjangan
pemerintah pusat. Bupati/walikota banyak mengajukan proposal
dan audiensi ke kementerian tanpa melewati gubernur. Unit
pelaksana teknis (UPT) pusat di daerah tidak berkoordinasi dengan
gubernur, sementara gubernur tidak memiliki kewenangan
memberi masukan terkait penempatan personel. Untuk itu, Gatot
menyarankan penguatan peran gubernur, dimana instansi vertikal
harus berada dibawah koordinasi gubernur, sedangkan kementerian
hanya sebagai koordinator (Kompas, 27-06-2014). Hal senada
diungkapkan Gubernur Sumatera Selatan, Alex Nurdin, yang
menginginkan pemerintah pusat dapat menjadi navigator
pembangunan daerah, namun memberi keleluasaan pemerintah
daerah untuk mengembangkan dan membangun daerahnya sesuai
potensi, kondisi sosial, dan geografi daerah masing-masing. Saat
ini menurut Nurdin, pembangunan infrastruktur dan potensi daerah
terbengkalai, seperti kasus NTT yang sangat potensial untuk
peternakan sapi namun justru mengimpor daging sapi dari luar
negeri. Untuk itu disarakan agar pendekatan sektoral dalam
pembangunan diganti dengan pendekatan wilayah. Dengan
pendekatan wilayah ini, kondisi daerah yang berbeda akan
membutuhkan pendekatan dan program pembangunan yang
33. - 16 -
berbeda pula (Kompas, 1-07-2014).
Selain permasalahan diatas, implementasi dekonsentrasi yang
belum optimal juga dapat dilihat dari adanya kesenjangan pada dimensi
regulasi. Artinya, fungsi dekonsentrasi akan berjalan baik apabila
konsisten dengan kerangka aturan yang telah ditetapkan. Adapun
beberapa hal yang belum sesuai antara kondisi ideal dengan kondisi
faktual adalah sebagai berikut:
1. Pasal 108 UU No. 33/2004 menyatakan: Dana Dekonsentrasi dan
Dana Tugas Pembantuan yang merupakan bagian dari anggaran
kementerian negara/lembaga yang digunakan untuk melaksanakan
urusan yang menurut peraturan perundang-undangan menjadi
urusan Daerah, secara bertahap dialihkan menjadi Dana Alokasi
Khusus. Namun, hingga saat ini belum ada peraturan yang
mengatur tentang pengalihan dana dekonsentrasi menjadi DAK.
2. Pasal 2 PP No. 7/2008 menyatakan: Penyelenggaraan
dekonsentrasi dilakukan melalui pelimpahan sebagian urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan kementerian/ lembaga.
Selanjutnya, Kementerian/lembaga menetapkan norma, standar,
prosedur, dan kriteria pelaksanaan kegiatan dekonsentrasi dan
tugas pembantuan. Namun, rincian detil tentang urusan yang
dilimpahkan oleh kementerian / lembaga beserta mekanisme dan
tata kelolanya belum ada, dan kalaupun ada tidak seragam antar
kementerian / lembaga. Akibatnya, prinsip money follows function
tidak berjalan karena dana dekonsentrasi dikucurkan tanpa
mengacu kepada tugas-tugas dekonsentrasi yang telah dilimpahkan
kepada Gubernur.
34. - 17 -
3. Pasal 15 PP No. 7/2008 menyatakan: Perencanaan program dan
kegiatan dekonsentrasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari sistem perencanaan pembangunan nasional. Namun, UU No.
25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
(SPPN) hanya memuat pengaturan yang sangat minim tentang
dekonsentrasi, yang tertuangg dalam Pasal 32 yang berbunyi
Gubernur selaku wakil Pemerintah Pusat mengkoordinasikan
pelaksanaan perencanaan tugas-tugas Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan. Ketentuan ini hanya memberi penugasan kepada
Gubernur selaku koordinator, namun integrasi program
dekonsentrasi dalam SPPN sendiri sama sekali tidak tergambar
dengan jelas.
4. Meskipun telah ada PP No. 23/2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur
Sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi, sebagaimana
diamanatkan Pasal 37-38 UU No. 32/2004, namun faktanya belum
dapat diimplementasikan dengan sepenuhnya. Sebagai contoh,
pembentukan kelompok kerja sebagai perangkat Sekretaris
Gubernur (yang secara ex-officio dirangkap oleh Sekretaris Daerah
Provinsi) belum terbentuk di seluruh provinsi. Jikapun ada
kelompok kerja seperti Kelompok Kerja Bidang Hubungan Pusat-
Daerah dan Antar Daerah sebagaimana tertuang dalam Keputusan
Gubernur DKI Jakarta No. 750/2013, ternyata ini bukan kelompok
kerja seperti yang dimaksud oleh PP No. 23/2011 dan Permendagri
No. 66/2012 tentang Pelaksanaan PP No. 23/2011. Dapat dikatakan
demikian karena PP No. 23/2011 maupun Permendagri No.
35. - 18 -
66/2012 tidak dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam
Keputusan Gubernur DKI Jakarta ini. Selain itu, PP ini hanya
menyebutkan secara jelas mengenai 9 (Sembilan) tugas urusan
pemerintahan, namun memberikan urusan pemerintahan di
wilayah provinsi yang menjadi kewenangan Pemerintah tanpa
perincian yang jelas. Akibatnya, tetap saja belum nampak batas-
batas tugas dan wewenang Gubernur di bidang yang
didekonsentrasikan Pemerintah.
5. Pola belanja dekonsentrasi dan tugas pembantuan masih di
dominasi dengan jenis belanja bantuan sosial. Jenis belanja bantuan
sosial tidak tepat digunakan untuk mendanai kegiatan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan sebagaimana temuan BPK
atas hasil audit pengelolaan dana dekonsentrasi dan dana tugas
pembantuan di beberapa Kementerian/Lembaga dan Pemerintah
Daerah. Ketidaktepatan penggunaan jenis belanja bantuan sosial
tersebut disebabkan karena tidak secara konsisten menerapkan
aturan, baik aturan terkait dengan penyelenggaran dekonsentrasi
dan tugas pembantuan (PP Nomor 7/2008 serta Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 156/2008 dan perubahannya), maupun aturan
terkait dengan sistem penganggaran (PP Nomor 21/2004 tentang
Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian
Negara/Lembaga). Selain itu, kebijakan pengalokasian dana
dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan untuk Provinsi T.A2011
belum sepenuhnya memperhatikan keseimbangan pendanaan di
daerah sebagaimana tertuang dalam rekomendasi Menteri
Keuangan tahun 2010, karena yang diutamakan dalam
36. - 19 -
pengalokasian adalah prioritas 2, dan porsi untuk non prioritas
tidak berbeda jauh dengan yang prioritas (Kementerian Keuangan,
Rekomendasi Menteri Keuangan Tentang Keseimbangan
Pendanaan di Daerah Dalam Rangka Perencanaan Dekonsentrasi
dan Tugas Pembantuan Tahun 2012, Lampiran Surat Menteri
Keuangan No. S-156/MK.07/2011, Tanggal 23 Januari 2011).
6. Sampai saat ini masih terjadi tumpang tindih belanja antar unit
maupun antar tingkatan. Masih sering terjadi belanja pemerintah
pusat melalui anggaran kementerian, baik secara langsung ke
daerah maupun melalui mekanisme dekonsentrasi dan tugas
pembantuan, digunakan untuk mendanai kegiatan-kegiatan yang
seharusnya menjadi urusan daerah yang telah didesentralisasikan.
Hal ini juga diperparah dengan rendahnya mekanisme koordinasi
antara pusat dan daerah dalam pengalokasian dana-dana tersebut,
sehingga tidak hanya tidak tepat guna tapi juga tumpang tindih. Di
samping itu, sistem perencanaan nasional juga belum sepenuhnya
dapat mengkoordinasikan program-program di pusat maupun
daerah, yang didorong oleh ego sektoral dari masing-masing unit
di semua tingkatan. Akibatnya, sering terjadi ketidakjelasan siapa
mengerjakan apa, sehingga berbagai program saling berbenturan.
Tumpang tindih antara belanja pusat dan daerah ditenggarai
sebagai salah satu faktor yang mendorong tingginya belanja
pegawai baik di tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah (DJPK Kementerian Keuangan, Grand Design
Desentralisasi Fiskal Indonesia, 2009).
Jika dilakukan analisis lebih dalam, maka munculnya berbagai
37. - 20 -
fenomena tersebut bersumber pada beberapa prasyarat yang tidak
dipenuhi agar dekonsentrasi berjalan dengan optimal. Prasyarat
pertama adalah kelengkapan instrumen yuridis. Sebagaimana dapat
kita simak, materi substantif dalam PP tentang dekonsentrasi (PP No.
39/2001 dan PP No. 7/2008) belumlah operasional dan membutuhkan
pengaturan yang lebih rinci dalam bentuk peraturan perundangan yang
lebih rendah, misalnya Keputusan Presiden, Peraturan Mendagri,
Peraturan Menkeu, dan sebagainya. Ketiadaan landasan hukum ini
jelas akan berdampak negatif dalam implementasi dekonsentrasi.
Prasyarat kedua yang juga harus dipenuhi adalah adanya
hubungan yang harmonis antar lembaga di tingkat pusat, khususnya
antara Depdagri dan Depkeu. Koordinasi ini terutama dibutuhkan
untuk merancang jenis-jenis kewenangan yang akan dilimpahkan
kepada wakil pemerintah di daerah, serta model pembiayaannya. Oleh
karena koordinasi diantara kedua instansi ini kurang terjalin harmonis,
maka model pelimpahan kewenangan dekonsentrasi dan model
pendanaan dekonsentrasi juga masih bermasalah hingga saat ini.
Adanya kejelasan lembaga / perangkat penyelenggara fungsi
dekonsentrasi juga menjadi prasyarat penting. Selama ini (sejak
lahirnya UU No. 22/1999), perangkat dekonsentrasi berupa kantor
wilayah menjadi hapus, kecuali perangkat yang melaksanakan lima
urusan absolut pemerintah pusat. Dampaknya, urusan
dekonsentrasi ”dititipkan” kepada perangkat desentralisasi, yakni
dinas dan lembaga teknis daerah. Selain kurang efektif, hal ini juga
membuka kemungkinan terjadinya overlap (tumpang tindih) atau
duplikasi tugas desentralisasi dan tugas dekonsentrasi. Oleh sebab itu,
38. - 21 -
penataan kelembagaan dekonsentrasi menjadi salah satu kebutuhan
mendesak untuk mewadahi fungsi-fungsi yang dilimpahkan dari
pemerintah pusat.
C. Rumusan Masalah / Problematika Penelitian
Dari latar belakang dan fenomena-fenomena empiris diatas,
secara sederhana dapat diidentifikasi inti masalahnya,
yakni ”rendahnya relevansi dekonsentrasi dalam mendukung
kepentingan pusat di daerah, yang disebabkan oleh rendahnya
efektivitas pengelolaan dekonsentrasi”.
Tidak efektifnya pengelolaan dekonsentrasi itu sendiri
bersumber dari beberapa masalah yang lebih spesifik, antara lain:
1. Lemahnya fungsi pemrograman dekonsentrasi. Penamaan program
dekonsentrasi cenderung sama dengan program K/L dan program
pemerintah daerah, sehingga menimbulkan tumpang tindih
program. Mengingat dekonsentrasi adalah bagian dari fungsi
pemerintah pusat yang didelegasikan kepada pemerintah daerah,
maka kesamaan nama antara program dekonsentrasi dengan
program K/L merupakan suatu keniscayaan. Namun by nature
program dekonsentrasi sangat berbeda dengan program
desentralisasi yang dijalankan oleh pemerintahan daerah. Jika
masih terjadi kesamaan program ini menunjukkan adanya
kelemahan dan ketidakefektivan dalam fungsi pemrograman
dekonsentrasi.
2. Lemahnya manajemen penganggaran dekonsentrasi. Temuan BPK
atau Tim Penertiban Rekening Depkeu tentang penggunaan dana
39. - 22 -
dekonsentrasi yang tidak dipertanggungjawabkan, pernyataan
Menteri Keuangan tentang dana dekonsentrasi dan dana tugas
perbantuan yang sering tumpang tindih dengan dana desentralisasi,
adalah bukti yang sangat meyakinkan akan lemahnya manajemen
keuangan dekonsentrasi.
3. Lemahnya mekanisme perencanaan dekonsentrasi. Meskipun ada
forum-forum pembahasan di tingkat kementerian, namun program
dan anggaran dekonsentrasi cenderung monoton setiap tahunnya
dengan mengulang-ulang aktivitas yang sama, dan tidak ada
kebaruan dan kekhasan antar daerah. Selain itu, perencanaan
dekonsentrasi terlalu ministerial-oriented, dalam arti program dan
anggaran sudah dialokasikan oleh kementerian tanpa didahului
oleh analisis kebutuhan atau usulan dari daerah. Mekanisme
perencanaan hingga pertanggungjawaban program dekonsentrasi
juga kurang mendudukkan gubernur dalam peran sentral dalam
kapasitasnya selaku wakil pemerintah.
4. Tidak adanya perangkat kelembagaan dekonsentrasi yang memadai.
Gubernur selaku Wakil pemerintah saat ini menghadapi dua macam
dilema sekaligus. Dilihat dari perangkat pendukungnya,
berdasarkan Permendagri Nomor 66/2012, gubernur semestinya
memiliki perangkat terdiri dari Sekretaris Gubernur yang secara ex-
officio dirangkap oleh Sekda Provinsi, dan Sekretaris Gubernur
memiliki perangkat berupa Kelompok Kerja yang dipimpin oleh
pada Staf Ahli Gubernur. Minimnya sumberdaya aparatur (SDM,
anggaran, sarana) yang dimiliki Staf Ahli, menjadikan tugas
tambahan selaku koordinator kelompok kerja tidak berjalan
40. - 23 -
optimal. Pada saat yang bersamaan, tugas-tugas dan wewenang
Gubernur sebagai wakil Pemerintah juga belum ditetapkan secara
jelas dan tegas. Dengan kedua kendala tersebut, ditambah dengan
tugas dekonsentrasi yang harus dilaksanakan cukup banyak, dapat
dibayangkan bahwa fungsi dekonsentrasi tidak mungkin berjalan
maksimal. Mengingat kondisi seperti ini, maka wajarlah apabila
banyak gubernur yang mengeluh atau merasa tidak berdaya.
Dengan tidak adanya perangkat kelembagaan dekonsentrasi tadi,
maka program dekonsentrasi masih dijalankan oleh SKPD, yang
semestinya lebih fokus menjalankan urusan pemerintahan yang
telah didesentralisasikan.
5. Lemahnya fungsi regulasi. Meskipun sudah ada Peraturan Menteri
tentang Pelimpahan Kewenangan Dekonsenrasi, namun dalam
implementasinya sering menimbulkan kebingungan, misalnya
dalam hal ketidakjelasan pihak penerima pelimpahan wewenang
(addressat norm), tidak tegasnya rincian kewenangan
dekonsentrasi yang dilimpahkan, dan sebagainya.
Rumusan masalah dan rincian masalah yang lebih spesifik
sebagaimana tersebut diatas mencerminkan adanya problematika
konsepsi dan implementasi dekonsentrasi, yakni adanya indikasi
ketidakseriusan pemerintah dalam mendesain kebijakan dekonsentrasi.
Ketidakseriusan tadi boleh jadi mencerminkan adanya pandangan para
pengambil kebijakan bahwa dekonsentrasi adalah sebuah prinsip yang
tidak penting dan bukan prioritas dalam penyelenggaraan
pemerintahan, terutama di level daerah. Jika terbukti benar bahwa
dekonsentrasi dipandang tidak penting, muncul problematika
41. - 24 -
berikutnya yakni untuk apa dekonsentrasi tetap dijalankan sebagai
salah satu prinsip penyelenggaraan pemerintahan? Berbagai
problematika sekitar eksistensi dan relevansi dekonsentrasi ini juga
dapat dikembangkan dengan mengkaitkannya kepada prinsip
desentralisasi, misalnya dengan mengemukakan pertanyaan apakah
dengan adalah desentralisasi luas berdasarkan UU No. 32/2004 maka
dekonsentrasi sesungguhnya tidak lagi diperlukan? Pertanyaan terakhir
ini akan membawa kepada diskusi teoretik (theoretical debate) antara
desentralisasi dan dekonsentrasi.
Dengan kata lain, inefektivitas pengelolaan dekonsentrasi dari
kelima dimensi diatas akan membawa pada kesimpulan tentang
urgensi dan/atau relevansi dekonsentrasi sebagai instrumen pemerintah
pusat untuk menjamin berfungsinya kepentingan pusat di daerah.
D. Pertanyaan Penelitian (Research Question)
Berdasarkan permasalahan atau problematika yang dipaparkan
diatas tentang rendahnya efektivitas implementasi kebijakan dan
program dekonsentrasi, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian
(research question) sebagai berikut: Bagaimanakah relevansi
dekonsentrasi berdasarkan tingkat efektivitas pengelolaannya?, serta
Mengapa implementasi dekonsentrasi belum menunjukkan efektivitas
dalam pengelolaannya?.
Pertanyaan penelitian ini selanjutnya dijabarkan dalam
pertanyaan yang lebih rinci, sebagai berikut:
1. Bagaimanakah efektivitas program dan kegiatan dekonsentrasi?
42. - 25 -
2. Bagaimanakah efektivitas penganggaran / pembiayaan
dekonsentrasi?
3. Bagaimanakah efektivitas perangkat kelembagaan dekonsentrasi?
4. Bagaimanakah efektivitas mekanisme perencanaan dekonsentrasi?
5. Bagaimanakah efektivitas regulasi terkait dengan implementasi
fungsi dekonsentrasi?
Kelima pertanyaan inilah yang akan dijawab pada analisis yang
dituangkan pada Bab V. Jawaban terhadap relevan atau tidaknya asas
dekonsentrasi dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan tersebut
sangat penting untuk dapat menentukan strategi yang tepat dalam
pembenahan berbagai problematika implementasi dekonsentrasi saat
ini. Apabila dekonsentrasi dinilai tidak memiliki relevansi yang cukup,
maka program-program dan dana dekonsentrasi yang ada selama ini
lebih baik dialihkan menjadi program dan dana desentralisasi. Namun
apabila dekonsentrasi masih dipandang relevan, maka pembenahan
sistemik meliputi 5 (lima) aspek yang diuraikan dalam rumusan
masalah, menjadi sebuah keniscayaan.
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian (Research Objectives)
Berdasarkan permasalahan penelitian tersebut diatas, maka
tujuan pokok dari penelitian dalam rangka penulisan disertasi ini
adalah terdeskripsikannya tingkat relevansi dekonsentrasi berdasarkan
tingkat efektiviats pengelolaan dekonsentrasi sehingga dapat
dirumuskan rekomendasi rekomendasi tentang model kebijakan
dekonsentrasi yang lebih tepat untuk mendukung penyelenggaraan
pemerintahan yang ideal dan efektif di Indonesia berdasarkan
43. - 26 -
pengalaman historis maupun pengalaman negara-negara lain.
Rekomendasi tersebut diharapkan berupa sebuah konsep yang relatif
matang untuk menuju kepada suatu konstruksi keseimbangan antara
asas desentralisasi dan dekonsentrasi, keseimbangan dan kejelasan
peran antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi, serta
keharmonisan hubungan pemerintah Pusat dan Daerah
(Kabupaten/Kota) dengan Provinsi sebagai unit intermediasinya.
Secara praktis, kegunaan / manfaat yang diharapkan dari hasil
penelitian ini adalah meningkatnya kualitas praktek penyelenggaraan
pemerintahan daerah, baik yang bersumber dari asas desentralisasi
maupun asas dekonsentrasi. Hal ini antara lain dapat dicapai dengan
penyempurnaan UU dan peraturan perundang-undangan sebagai
pelaksanaan UU tentang Pemerintahan Daerah (UU Nomor 32 Tahun
2004). Sementara secara akademik, penelitian ini diharapkan dapat
berkontribusi dalam pengembangan teori desentralisasi dan
manajemen pemerintahan daerah, sekaligus membawa manfaat untuk
mengisi kebutuhan literatur yang sangat minim tentang filosofi,
formulasi, model-model, dan praktek / implementasi dekonsentrasi di
negara kesatuan (unitary state) pada umumnya, dan di Indonesia pada
khususnya.
F. Keaslian Ide dan Originalitas Studi
Keinginan awal penulis untuk mengkaji persoalan
dekonsenstrasi timbul dari bincang-bincang dengan para pejabat di
daerah, terutama di lingkup Biro / Bagian Organisasi dan Pemerintahan
serta Bappeda. Pada Biro Pemerintahan terdapat Bagian Dekonsentrasi,
44. - 27 -
namun mereka menyatakan bahwa perencanaan program dan anggaran
dekonsentrasi dilakukan oleh Bappeda. Namun pejabat Bappeda pada
umumnya juga mengaku tidak menangani urusan dekonsentrasi secara
spesifik, karena sudah ditangani oleh masing-masing Dinas. Demikian
pula Biro Organisasi yang memiliki tugas untuk mengkaji persoalan
tatalaksana organisasi, sering menyiratkan adanya mis-koordinasi
dalam penyelenggaraan dekonsentrasi di daerah.
Dari hasil bincang-bincang tadi, penulis menarik sebuah
kesimpulan sementara bahwa kebijakan dan pola implementasi
dekonsentrasi belum cukup efektif, bahkan cenderung menjadi sumber
inefisiensi pemerintahan. Dari ketertarikan awal ini, penulis kemudian
melakukan penelusuran berita media cetak dan elektronik, dan
menemukan banyak sekali keluhan para Kepala Daerah dan pimpinan
DPRD tentang segala sesuatu yang menyangkut praktek dekonsentrasi
ini. Hasil penelusuran ini semakin menguatkan dugaan penulis tentang
terjadinya mis-manajemen dekonsentrasi.
Selanjutnya, penulis melakukan telaah yuridis dengan
mempelajari produk-produk hukum yang terkait dengan dekonsentrasi,
misalnya PP No. 39/2001 dan PP No. 7/2008 tentang Penyelenggaraan
Dekonsentrasi. Dari telaah ini penulis memandang bahwa pengaturan
dekonsentrasi belum lengkap sehingga membuka peluang terjadinya
multi interpretasi dan kekaburan dalam implementasinya. Selain itu,
penulis beranggapan telah terjadi pengaturan secara asimetris
(asymmetrical regulation), dimana fungsi desentralisasi diatur oleh
produk hukum setingkat Undang-Undang, sedangkan fungsi
dekonsentrasi hanya diatur oleh Peraturan Pemerintah (instrumen
45. - 28 -
pelaksanaan UU). Padahal, baik desentralisasi maupun dekonsentrasi
sama-sama merupakan asas penyelenggaraan pemerintahan (Pasal 20
ayat 2 dan 3, UU No. 32/2004), sehingga memiliki kedudukan yang
sejajar, dan semestinya diatur dengan level kebijakan yang sejajar pula.
Studi literatur tentang dekonsentrasi sendiri ternyata juga
masih sangat terbatas, bahkan cenderung langka. Kalaupun ada teori,
analisis atau kasus-kasus kajian penerapan dekonsentrasi, mayoritas
dikaitkan dengan studi tentang desentralisasi. Dengan kata lain,
dekonsentrasi hanyalah disiplin kecil (minor study) dari kajian
desentralisasi yang sangat banyak. Namun dari penelusuran penulis,
ada beberapa publikasi yang khusus mengulas tentang dekonsentrasi,
yakni:
1. Buku karangan Prof. Dr. Ateng Syafrudin, SH.,
berjudul ”Pemahaman Tentang Dekonsentrasi”, terbitan PT.
Refika Aditama, Bandung, 2006, terjemahan langsung dari
makalah Prof. F.A.M. Stroink berjudul ”Het Leerstuk der
Deconcentratie” (The Doctrine of Deconcentration), Bestuurlijke
Verkenningen, Nr. 27, 1978. Buku terjemahan ini berisi tentang
aneka ragam penerapan dekonsentrasi di Negeri Belanda pada
masa silam. Untuk praktek dekonsentrasi di Belanda pada saat ini
sendiri penulis tidak menemukan sumber atau referensi yang
memadai, sehingga sulit untuk menyimpulkan apakah praktek
dekonsentrasi yang lama masih berjalan hingga saat ini, ataukah
sudah ada perubahan kebijakan yang cukup mendasar.
2. Artikel Mark Turner dalam Jurnal Public Administration and
Development (Vol. 22, halaman 353–364, Canberra, 2002),
46. - 29 -
berjudul “Whatever happened to deconcentration: Recent
Initiatives in Cambodia”. Artikel ini berisi tentang praktek
desentralisasi di Kamboja yang dinilai gagal, sehingga
memunculkan kesadaran untuk memperkuat desentralisasi
administratif (dekonsentrasi) dalam rangka meningkatkan
pelayanan publik dan partisipasi masyarakat.
3. Artikel John M. Cohen dan Stephen B. Peterson berjudul
Administrative Decentralization: A New Framework for Improved
Governance, Accountability and Performance (Discussion Paper
No. 582, Harvard Institute of International Development, Mei
1997). Dalam artikel ini disebutkan bahwa di negara berkembang
dan negara transisi, administrative decentralization menjadi
strategi baru dalam menjawab kebutuhan kritis pemerintahan,
antara lain peningkatan transparansi dan akuntabilitas, pelayanan
yang lebih efektif dan efisien, serta peningkatan kinerja pemerintah.
Sayangnya, selama ini tidak ada pedoman dan kerangka analisis
yang dapat membantu mendesain strategi yang ditujukan
mengukur dan meningkatkan hal-hal tersebut. Untuk itu, penulis
mengajukan kerangka analisis yang disebut sebagai administrative
design framework.
4. Artikel Paul Smoke dan Johan Bastin berjudul Decentralizing
Regional Infrastructure Planning and Finance in Indonesia:
Progress to Date and a Strategy for the Future (Discussion Paper
No. 469, Harvard Institute of International Development, 1993).
Artikel lawas ini menceritakan tentang inefisiensi dan
ketidakberlanjutan pelayanan publik terutama penyediaan
47. - 30 -
infrastruktur. Hal ini disebabkan oleh adanya fragmentasi dan
konflik kelembagaan antar kementerian, program lembaga donor
yang tidak sesuai dengan tujuan desentralisasi, koordinasi yang
buruk, pengembangan kapasitas yang tidak terarah, dan lemahnya
akuntabilitas.
Meskipun artikel ini menjelaskan situasi pada masa berlakunya UU
No. 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, namun
masih relevan untuk melihat kemungkinan situasi yang serupa
masih dijumpai pada saat ini dengan berlakunya UU Pemerintahan
Daerah yang baru.
5. Artikel Bernard Bizet berjudul Deconcentration versus
Decentralisation of Administration in France: A Centre-Periphery
Dilemma (Canadian Journal of Regional Science, 2002). Artikel ini
menceritakan sejarah desentralisasi dan dekonsentrasi di Perancis
sejak tahun 1960-an. Pada awal 1960, dekonsentrasi dilakukan
dengan merelokasi instansi pusat ke provinsi sebagai ekspresi
rasionalisasi dan modernisasi organisasi. Hal ini dilakukan sebagai
alternatif dari desentralisasi penuh, dan bertujuan mentransfer
kewenangan – besar atau kecil – kepada pejabat lokal yang dipilih.
Semenjak awal 1980, dekonsentrasi ditempuh sebagai komplemen
dari desentralisasi, dengan maksud agar pemerintah lebih sensitif
dalam membuat kebijakan yang berkaitan dengan rakyat lokal.
Meskipun demikian, hingga tahun 2000-an masih ada pertanyaan
tentang fungsi yang semestinya masih dipegang oleh pusat atau
dilimpahkan kepada daerah.
Salah satu manfaat dekonsentrasi di Perancis adalah
48. - 31 -
mengorganisasikan kegiatan yang dilakukan bersama-sama oleh
pemerintah pusat dan daerah. Dalam hal ini, tumpang tindih
(redundancies) masih terus terjadi antar tingkatan pemerintahan.
Walaupun ada tumpang tindih, namun ada keuntungan lain yakni
kadar fleksibilitas yang dimiliki otoritas daerah dalam menjalankan
program dekonsentrasi, meski masih dikontrol secara ketat oleh
pusat.
Tumpang tindih antara fungsi desentralisasi dan dekonsentrasi di
Perancis ini cukup memberi gambaran bahwa kedua fungsi tadi
memang tidak dapat dipisahkan secara tegas, dan hal ini sangat
bermanfaat untuk menjadi dasar analisis dari disertasi ini. Hal yang
terpenting adalah bahwa meskipun ada tumpang tindih, namun
harus ada kemanfaatan yang terukur dari kedua fungsi tersebut.
6. Ronald Adamtey dalam disertasi berjudul Devolution and
Deconcentration in Action: A Comparative study of Five Municipal
Health Directorates in Ghana (Institute of Development Study,
University of Sussex, 2012). Publikasi ini menjelaskan proses
dekonsentrasi kesehatan di Ghana. Sampai dengan tahun 1980,
sistem pemerintahan Ghana sangat sentralistis. Pelayanan
kesehatan sangat buruk disebabkan oleh kurangnya SDM
professional dan anggaran yang sangat minim. Dibawah skema
structural adjustment loan pertengahan 1980-an, Ghana
melakukan reformasi dengan melimpahkan kewenangan bidang
kesehatan kepada provinsi. Kewenangan yang dilimpahkan itu
meliputi upaya pencegahan, pengobatan, rehabilitasi, dan promosi
kesehatan, baik di level provinsi, distrik, sub-distrik, bahkan level
49. - 32 -
komunitas.
7. Artikel Paul Bernard berjudul Decentralisation and
Deconcentration: The French Experience (2005). Artikel ini
menjelaskan tentang sejarah dekonsentrasi di Perancis. Revolusi
tahun 1789 membentuk negara kesatuan Perancis yang modern dan
sentralistis. Namun semenjak Konstitusi ke-3 dan ke-4 (3rd
and 4th
Republic), Perancis melakukan desentralisasi dengan memberi
kekuasaan kepada anggota dewan yang terpilih dari Department
dan Commune. Selanjutnya, berdasarkan konstitusi ke-5 (5th
Republic), dekonsentrasi dikembangkan sebagai konsekuensi logis
dari desentralisasi.
Atas dasar review literatur tentang dekonsentrasi tersebut,
maka penulis dapat menegaskan bahwa disertasi ini memiliki
originalitas yang tinggi. Obyek penelitian tentang tingkat relevansi
dekonsentrasi ini belum diteliti secara spesifik oleh penelitian
sebelumnya sehingga menjadi pembeda antara disertasi ini dengan
publikasi lain tentang dekonsentrasi. Selain itu, selama ini ada
kecenderungan bahwa dekonsentrasi dikaji tanpa memperhatikan
implikasi terhadap fungsi desentralisasi. Sedangkan disertasi ini berani
mengkaitkan antara dekonsentrasi dengan desentralisasi, yakni
ketidakefektivan dalam pengelolaan program dekonsentrasi dapat
berimplikasi pada kebutuhan untuk pengalihan anggaran dari anggaran
pusat (cq. kementerian) menjadi anggaran daerah otonom selaku
pelaksana fungsi desentralisasi. Sebaliknya, jika fungsi dekonsentrasi
tetap ingin dipertahankan, maka diperlukan pembenahan yang serius
terhadap manajemen dekonsentrasi (perencanaan, penganggaran,
50. - 33 -
kelembagaan, dan seterusnya) agar lebih efektif dan tidak overlap
dengan manajemen desentralisasi.
G. Sistematika Penulisan
Dalam rangka menjawab pertanyaan besar penelitian serta
pertanyaan derivatifnya sebagaimana disebutkan diatas, akan
dilakukan dengan melakukan pengerangkaan (structuring) kedalam
batang tubuh disertasi. Hal ini dilakukan untuk memudahkan dalam
menguraikan permasalahan sekaligus memberikan gambaran besar
tentang hasil akhir yang ingin diwujudkan dalam penelitian ini.
Jika dalam tahap analisis digunakan pola penalaran induktif,
maka struktur penelitian dan sistematika pelaporan menggunakan
penalaran deduktif. Artinya, dari bab pendahuluan hingga bab penutup
muatan yang ada didalamnya dimulai dari yang bersifat umum dan
lebar untuk kemudian dikerucutkan menjadi lebih padat dan sempit.
Pola deduktif dalam sistematika tadi dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Bab I Pendahuluan.
Bab ini berisi tentang fenomena-fenomena umum tentang
dekonsentrasi yang menjadi titik awal yang menarik minat peneliti
untuk menelusuri lebih lanjut. Selain itu, bab ini juga memberikan
penekanan tentang pokok permasalahan yang menjadi intisari dari
penelitian ini. Hal penting lain dari bab ini adalah kerangka pikir
yang memberikan guidance tentang dimensi-dimensi yang akan
diteliti serta pentahanapnnya.
2. Bab II Kerangka Pikir dan Metode Penelitian.
Bab ini dimaksudkan untuk memberi cara dan alur berpikir untuk
51. - 34 -
menjawab pertanyaan penelitia, pendekatan yang digunakan, dan
hubungan antar aspek yang menggambarkan bagaimaan tujuan
penelitian dapat terjawab. Selanjutnya dipaparkan juga aspek
metodologis yang meliputi metode yang digunakan, teknik
pengumpulan data, pemilihan responden dan instrumentasi, teknik
analisis dan interpretasi data, serta alasan pemilihan lokus dan
fokus penelitian.
3. Bab III Review Teoretik Tentang Dekonsentrasi.
Bab ini mencoba mengembangkan perdebatan teoretik tentang
dekonsentrasi, dengan lebih mengarahkan pada praktek
dekonsentrasi di negara berkembang. Teori-teori yang akan
diangkat dalam bab ini antara lain konsep dasar desentralisasi dan
dekonsentrasi dan sistem otonomi dalam negara kesatuan dan
negara federal. Selain itu, Bab ini juga akan mengelaborasi praktek
dekonsentrasi di beberapa negara berbentuk kesatuan (unitary
states). Dari penelusuran lintas negara ini diharapkan dapat ditarik
sebuah kerangka perbandingan, untuk selanjutnya dapat
diidentifikasikan lesson learned dari setiap pola dekonsentrasi di
negara yang dikaji.
4. Bab IV Tinjauan Normatif dan Empiris Pelaksanaan
Dekonsentrasi di Indonesia
Bab ini sudah sangat spesifik dengan khusus membahas tentang
implementasi dekonsentrasi di Indonesia, baik dilihat dari konteks
historis, normatif, maupun empirisnya. Selain itu, dalam bab ini
juga akan diuraikan tentang dimensi manajerial dan dimensi
substansial kebijakan dekonsentrasi, serta perkembangan
52. - 35 -
perangkat pemerintah pusat yang menjalankan fungsi
dekonsentrasi.
5. Bab V Konteks Dekonsentrasi dalam Pembangunan Bidang
Sosial dan Pembangunan Daerah
Bab ini memaparkan tentang setting/konteks dekonsentrasi dalam
hubungannya dengan sistem/kebijakan pembangunan bidang
kesejahteraan sosial dan pembangunan daerah. Termasuk dalam
bab ini adalah informasi terkait karakteristik daerah lokus secara
umum, misalnya menyangkut indikator-indikator makro
pembangunan seperti kondisi geografis dan demografis; potensi
sektor-sektor perekonomian; kinerja pemerintahan daerah dalam
pembangunan manusia (human development); serta prestasi dalam
sektor-sektor lainnya seperti penarikan investasi, perbaikan
infrastruktur, peningkatan kualitas pelayanan publik, dan
sebagainya. Selain itu, akan disajikan juga berbagai data yang
berhubungan dengan aspek penyelenggaraan pemerintahan,
misalnya perkembangan anggaran daerah (PAD maupun dana
perimbangan). Urgensi paparan tentang setting atau
kontekstualisasi dekonsentrasi ini adalah untuk mencoba menarik
keterkaitan antara kebijakan dan implementasi dekonsentrasi
dengan hasil-hasil nyata pembangunan pada sektor tertentu.
6. Bab VI Relevansi Dekonsentrasi Bidang Sosial Berdasarkan
Efektivitas Pengelolaannya
Bab ini berisi analisis kasus tentang praktek dekonsentrasi di
bidang sosial, untuk melihat apakah kondisi kesenjangan
sebagaimana dipaparkan pada kerangka pikir benar-benar terjadi
53. - 36 -
atau tidak. Jika benar terjadi, apa yang menyebabkan hal tersebut
dan langkah antisipasi apa yang diperlukan untuk mengatasi
kondisi saat ini atau menyempurnakan pada masa yang akan datang.
Dengan demikian, analisis kasus ini sekaligus berfungsi sebagai
alat uji teori dalam prakteknya.
7. Bab VII Penutup
Bab ini dapat dikatakan sebagai produk atau hasil akhir dari
rangkaian panjang penelitian. Pola dekonsentrasi (normatif dan
empiris) yang ada saat ini akan dicoba untuk dibangun / didesain
kembali dengan menawarkan beberapa rekomendasi yang disertai
dengan keunggulan dan kelemahannya. Selanjutnya, rekomendasi
disertasi ini diharapkan menjadi policy agenda untuk
menyempurnakan implementasi dekonsentrasi maupun regulasi di
bidang pemerintahan daerah pada umumnya.
54. - 37 -
BAB II
KERANGKA PIKIR DAN METODOLOGI PENELITIAN
A. Kerangka Pikir Penelitian (Logical Framework of Research)
Ide dasar disertasi ini sangat sederhana, yakni mencermati
praktek kebijakan dekonsentrasi yang berlangsung selama ini, dan
keinginan untuk melakukan perubahan dan/atau penyempurnaan untuk
masa yang akan datang. Dengan demikian, langkah pertama dalam
membangun konsep yang utuh tentang dekonsentrasi adalah dengan
mengidentifikasikan fenomenal-fenomena dan fakta-fakta empiris
dekonsentrasi (existing condition). Selanjutnya, untuk menjelaskan
mengapa fenomena itu terjadi atau mengapa fakta tersebut muncul,
maka digunakanlah 3 (tiga) pendekatan yaitu:
1. Pendekatan akademik / teoretik. Pendekatan ini mencoba
mengelaborasi konsep dasar dekonsentrasi dan kaitannya dengan
dekonsentrasi, serta model penerapan dekonsentrasi di negara
berbentuk kesatuan (unitary states). Meskipun Indonesia -- sebagai
locus dan obyek penelitian -- adalah negara kesatuan, namun telaah
teoretik dalam disertasi ini tidak secara spesifik memfokuskan pada
pengembangan dekonsentrasi di negara kesatuan. Sebab,
desentralisasi dan dekonsentrasi sesungguhnya bersifat umum dan
dapat diterapkan di berbagai bentuk negara manapun, baik
kesatuan, federal / serikat, maupun konfederasi.
2. Pendekatan komparasi dan experimental. Pendekatan ini
digunakan untuk melihat dan membandingkan pelaksanaan
dekonsentrasi di beberapa negara. Penelitian ini ingin
55. - 38 -
memfokuskan pada beberapa negara berbentuk kesatuan. Dari
pengalaman berbagai negara tadi diharapkan dapat diketahui sisi-
sisi positif yang mungkin dapat direplikasikan untuk konteks
Indonesia.
3. Pendekatan normatif empirik. Pendekatan ini dimaksudkan untuk
menguraikan kaidah-kaidah yuridis dalam tata peraturan
perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang
dekonsentrasi, baik pada level undang-undang, peraturan
pemerintah, atau aturan yang lebih rendah.
Dari ketiga pendekatan diatas, diasumsikan akan ditemukan
sejumlah kondisi kesenjangan (gap condition), yakni kesenjangan
antara praktek saat ini dengan dasar teoretis (conceptual gap), variasi
dan perbedaan penerapan dekonsentrasi antar negara (experiential
variation), serta kesenjangan antara ketentuan yuridis formal dengan
penerapannya (implementation gap). Dengan diketahuinya
kesenjangan (gap) tersebut, diharapkan dapat dilakukan diagnosa atau
pendeteksian tentang titik-titik atau celah-celah yang masih lemah dan
harus dibenahi untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi
penyelenggaraan pemerintahan.
Tiga pendekatan dan tiga kondisi kesenjangan diatas pada
gilirannya akan dijadikan sebagai bahan untuk merumuskan atau
mendesain konsep dekonsentrasi yang lebih tepat untuk sebuah negara
kesatuan seperti Indonesia. Dan hasil rekonstruksi konsep
dekonsentrasi tadi selanjutnya diharapkan membawa dua manfaat
utama, yakni memperkaya khazanah akademik tentang teori-teori
dekonsentrasi, serta menawarkan model-model alternatif
56. - 39 -
dekonsentrasi di Indonesia dalam rangka penyempurnaan kebijakan di
bidang Management pemerintahan secara umum dan kebijakan
otonomi daerah pada khususnya.
Dengan demikian, produk akhir dari proses rekonstruksi
dekonsentrasi sesungguhnya masih merupakan embrio yang tidak
memiliki makna jika tidak terinternalisasi dalam substansi kebijakan
pemerintah. Dalam hubungan ini, keseriusan para pemangku kebijakan
(policy holder) untuk mengevaluasi praktek penyelenggaraan
dekonsentrasi secara komprehensif menjadi kebutuhan yang señalan
dengan penelitian ini. Secara diagramatis, kerangka pikir sebagaimana
dijelaskan diatas dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 2.1.
Kerangka Pikir Disertasi
57. - 40 -
B. Metodologi Penelitian
1. Metode yang Digunakan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif. Sesuai dengan karakteristik pertanyaan penelitian dan
tujuan yang ingin dicapai, maka penelitian ini lebih bersifat
exploratif, yakni ingin menggali sebanyak mungkin dan sedalam
mungkin informasi yang dapat mengungkap atau menjawab
permasalahan penelitian. Oleh karena metode yang digunakan
adalah penelitian kualitatif, maka instrumen dan pedoman
wawancara yang disusun dalam penelitian ini bersifat terbuka dan
umum. Dari sifatnya yang terbuka dan umum tadi akan terus
dikembangkan dan muncul pertanyaan-pertanyaan baru, issu-issu
baru, atau aspek-aspek baru yang relevan dengan tema besar
penelitian, seiring dengan proses yang berjalan (snowball). Dengan
demikian, metode kualitatif ini diharapkan dapat menggambarkan
realitas obyek penelitian (yakni dekonsentrasi) yang kompleks,
untuk selanjutnya memberikan penafsiran dan pemaknaan, disusul
dengan mengkaitkan hasil analisis dengan teori yang sudah ada. Ini
berarti bahwa metode kualitatif akan memiliki kontribusi terhadap
pengembangan teori dan konsep dari obyek yang diteliti (dalam hal
ini adalah dekonsentrasi).
Dilihat dari kasus yang diteliti yakni dekonsentrasi bidang
sosial, serta lokus terpilih yakni Provinsi Kalimantan Tengah, maka
penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian studi kasus
(case study). Sebagai sebuah studi kasus, maka temuan dan hasil
58. - 41 -
analisis dalam disertasi ini tidak berlaku dan tidak dapat
digeneralisasikan untuk bidang lain atau daerah lain. Sebab,
karakteristik dekonsentrasi pada bidang atau daerah lain sangat
mungkin berbeda dengan yang ditemukan di bidang sosial dan di
Kalimantan Tengah. Namun mengingat pola pengelolaan
dekonsentrasi bersifat top down yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan, maka antar daerah memiliki kemungkinan
kesamaan yang cukup banyak. Oleh karenanya, rekomendasi
disertasi ini dapat dipertimbangkan untuk membenahi
problematika pengelolaan dekonsentrasi pada bidang atau daerah
lain, meskipun masih membutuhkan kajian yang lebih spesifik.
Selain itu, dilihat dari pemanfaatan hasil penelitian untuk
perbaikan kebijakan, maka metode penelitian ini dapat pula
dikatakan sebagai penelitian evaluasi. Sebagaimana dikatakan oleh
Arikunto (2007), evaluasi merupakan kegiatan untuk
mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang
selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan
alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan. Fungsi utama
evaluasi dalam hal ini adalah menyediakan informasi-informasi
yang berguna bagi pihak decision maker untuk menentukan
kebijakan yang akan diambil berdasarkan evaluasi yang telah
dilakukan. Meskipun demikian, perlu ditegaskan disini bahwa
peneltian ini tidak dimaksudkan untuk mengevaluasi dampak dari
pelaksanaan dekonsentrasi, namun lebih ingin membuktikan
tingkat efektivitas pengelolaan dekonsentrasi untuk kemudian
dianalisis tingkat relevansinya sebagai instrumen untuk
59. - 42 -
menegakkan kepentingan pusat dalam sistem penyelenggaraan
pemerintahan di level daerah.
2. Operasionalisasi Variabel
Disertasi ini pada dasarnya hanya mengeksplorasi satu variabel
yakni relevansi dekonsentrasi. Namun untuk menjelaskan tentang
relevansi tersebut, dipergunakan 1 (satu) variabel penjelas yakni
efektivitas pengelolaan dekonsentrasi. Dengan demikian,
“relevansi” merupakan variabel utama atau variabel tunggal
penelitian, sedangkan efektivitas pengelolaan menjadi explaining
variable (variabel yang menjelaskan variabel tunggal). Karena
“efektivitas pengelolaan” menjelaskan “relevansi”, maka semakin
tinggi pengelolaan dekonsentrasi dalam berbagai dimensinya akan
meningkatkan kadar relevansi dekonsentrasi. Sebaliknya, semakin
buruk pengelolaan dekonsentrasi, maka semakin rendah
urgensinya.
Selanjutnya, variabel penjelas ini dijabarkan kembali dalam 5
(lima) dimensi, yakni program dan kegiatan, anggaran/pembiayaan,
kelembagaan, mekanisme perencanaan, dan regulasi. Masing-
masing dimensi memiliki kriteria tersendiri untuk disimpulkan
tingkat efektivitasnya. Tentu saja, kadar efektivitas pengelolaan
dekonsentrasi berdasarkan kelima dimensinya akan sangat
tergantung pada kondisinya masing-masing.
Dalam bentuk tabel, operasionalisasi variabel ini dapat diurai
sebagai berikut:
60. - 43 -
Tabel 2.1.
Operasionalisasi Variabel Penelitian
Variabel
Utama
Variabel
Penjelas
Dimensi Kriteria
Relevansi
Dekon-
sentrasi
Efektivitas
Pengelolaan
Dekon-
sentrasi
Program/
Kegiatan
• Adanya kesamaan/
tumpang tindih antar
program
Anggaran/
Pembiayaan
• Kemampuan dalam
membangun kinerja
• Ketergantungan daerah
• Tren proporsi dana
dekon dengan dana TP
Kelembagaan • Keberadaan “instansi
vertikal”
• Beban kerja perangkat
daerah
Mekanisme
Perencanaan
• Proses pengusulan dan
penetapan program
Regulasi • Fungsi NSPK
• Substansi kebijakan
pelimpahan wewenang
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendukung kerangka penelitian kualitatif sebagaimana
disebutkan diatas, maka dalam penelitian ini akan dipergunakan
teknik pengumpulan data sebagai berikut:
• In-depth interview (wawancara mendalam).
Teknik ini dimaksudkan untuk mendapatkan informasi yang
mendalam, berupa persepsi, pengalaman, atau pengakuan dari
tokoh-tokoh kunci (key informants). Data dan informasi yang
diperoleh dari wawancara mendalam ini biasanya tidak terdapat
pada dokumen atau data sekunder lainnya. Dalam kaitan
dengan obyek disertasi, maka wawancara akan dilakukan
61. - 44 -
terhadap pakar-pakar dibidang administrasi publik, manajemen
pemerintahan, dan desentralisasi atau dekonsentrasi secara
lebih spesifik. Selain itu, pejabat-pejabat kunci pemerintahan
baik yang masih menjabat maupun yang telah melepaskan
jabatannya diharapkan dapat dijadikan sebagai responden
kunci untuk memberikan pengalaman selama bekerja di tempat
tugasnya masing-masing.
• Observasi (pengamatan). Teknik ini diterapkan dengan cara
melihat langsung secara insidental praktek penyelenggaraan
dekonsentrasi, serta dengan menggali pengalaman dari
pegawai di tingkat operasional (pelaksana). Teknik yang sama
juga akan diterapkan dengan cara mengikuti pertemuan terkait
dekonsentrasi.
• Telaah literatur dan dokumentasi, yang digunakan untuk
menggali informasi yang bersifat teoretis dan terdapat di
berbagai jurnal, hasil kajian, laporan penelitian, atau publikasi
lainnya. Mengingat sumber yang tidak terbatas, maka dalam
menerapkan telaah ini dilakukan seleksi terhadap informasi-
informasi atau teori-teori yang relevan dengan tema di.sertasi.
Teori-teori yang diperoleh selanjutnya dipergunakan sebagai
alat analisis (analysis tool) untuk menguraikan dan/atau
menjelaskan pertanyaan dan masalah penelitian. Termasuk
dalam teknik ini adalah penggalian data-data berupa berita di
media cetak dan elektronik, baik yang tersaji di internet (online
edition) maupun secara tercetak (printed edition).
62. - 45 -
4. Responden / Sumber Informasi
Dengan demikian, penetapan sumber data (sample) untuk
menggali berbagai informasi yang dibutuhkan tidak bersifat
representative melainkan purposive, khususnya dalam penetapan
responden kunci yang akan diwawancara. Dalam kaitan ini, jumlah
responden juga bisa mengalami penambahan (snow-ball) sesuai
kebutuhan sepanjang proses penelitian berlangsung.
Meskipun demikian, untuk memberikan panduan awal,
rancangan tentang karakteristik responden beserta jenis data yang
dibutuhkan, jelas akan sangat membantu kelancaran penggalian
data serta keakurasian informasi yang diperlukan untuk analisis
selanjutnya. Untuk itu, penulis mengusulkan daftar responden
sebagai nara sumber kunci dalam penulisan disertasi ini, seperti
dapat dilihat pada Lampiran 1.
5. Jenis Data / Informasi
Pada dasarnya, penulisan dan analisis dalam disertasi ini akan
memanfaatkan seluruh data sepanjang memiliki relevansi dengan
substansi dan metodologi yang diinginkan. Adapun jenis-jenis data
tersebut dapat dirinci menjadi 3 (tiga) kelompok sebagai berikut:
a. Data primer, ditempuh melalui wawancara mendalam (indepth
and semi-structured interview) dengan nara sumber kunci (key
person), baik pengambil kebijakan, pakar, maupun pelaku
kebijakan. Data primer ini digali dengan menggunakan
instrumen berupa Pedoman Wawancara. Bentuk data yang
digali antara lain meliputi persepsi tentang urgensi
63. - 46 -
dekonsentrasi, model-model kelembagaan dan mekanisme
perencanaan dekonsentrasi, dan butir-butir sebagaimana
dielaborasi pada Tabel 2.1.
b. Data sekunder, antara lain berupa dokumentasi kebijakan pada
masa silam yang berkenaan dengan implementasi
dekonsentrasi. Selain itu, laporan-laporan tahunan pelaksanaan
program dekonsentrasi atau pertanggungjawaban pengelolaan
dana dekonsentrasi, juga menjadi target dokumentasi yang
harus diperoleh untuk mendukung proses analisis dan
interpretasi data. Beberapa bentuk konkrit dari data sekunder
ini antara lain Peratutran Menteri yang mengatur tentang
pelimpahan wewenang kepada gubernur atau substansi NSPK
lainnya, data tentang rincian program dan kegiatan
dekonsentrasi, data kelembagaan, rincian anggaran
dekonsentrasi maupun anggara DIPA dan APBD bidang sosial,
dan sebagainya.
c. Data tersier, misalnya berupa publikasi berbentuk jurnal, buku-
buku, berita koran, atau publikasi online di internet. Jenis data
ini terutama penting untuk memperkuat kerangka konseptual,
analisis teoretik dan literature review untuk menopang
penulisan disertasi.
6. Teknik Analisis dan Interpretasi
Teknik analisis yang digunakan adalah teknik deskriptif dengan
pola penalaran induktif, artinya penelitian ini dimulai dari proses
pengumpulan fakta yang berserakan, kemudian dilakukan
64. - 47 -
penyeleksian terhadap relevansi dengan substansi, dan selanjutnya
dicari kesesuaian diantara fakta-fakta tersebut sehingga fakta-fakta
tersebut memiliki keterkaitan satu sama lain. Hal ini dilakukan
secara berulang-ulang sejak tahap awal hingga tersusunnya hasil
penelitian secara lengkap. Dengan kata lain, pola penalaran
induktif ini tidak berjalan linier, tetapi lebih banyak bekerja secara
siklistis dan berputar (sirkuler). Dalam penelitian kualitatif yang
bersifat eksploratif dan menggunakan pola penalaran induktif ini,
penelitian dianggap selesai jika tidak ada lagi fakta-fakta dan
informasi yang dianggap baru (jenuh). Adapun hasil dari pola
penalaran induktif ini adalah terbangunnya model, pola, atau
bahkan juga teori.
Untuk menguji keabsahan data dan instrumen yang digunakan,
serta akurasi analisis data, maka penulis akan menerapkan teknik
triangulasi, dalam hal ini dengan melakukan focused group
discussion (FGD) atau expert panel dengan mengundang beberapa
pakar, kolega, dan narasumber yang dipandang memiliki
pengetahuan dan keahlian dibidang yang relevan. FGD / expert
panel sebagai teknik triangulasi ini akan dilakukan minimal dua
kali dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Pada tahap pengumpulan data. FGD pada tahap ini sekaligus
merupakan bagian dari pengumpulan data, dan berfungsi untuk
memverifikasi policy issues dan research questions. FGD akan
difokuskan pada pemetaan masalah dan hubungan
kausalitasnya, untuk kemudian akan digabung dengan data
sekunder dan hasil wwancara untuk memperkuat validitas data
65. - 48 -
penelitian.
2. Pada tahap setelah dihasilkan analisis dan interpretasi data.
FGD pada tahap ini lebih berfungsi untuk memverifikasi hasil
analisis, temuan, dan rekomendasi, serta difokuskan pada hasil
penelitian untuk memperkuat validitas hasil dan rekomendasi,
sehingga memperkuat probabilitas untuk implementasi yang
lebih baik.
Dengan melakukan FGD / expert panel ini diharapkan
kesimpulan dan rekomendasi akhir penelitian ini memiliki kadar
verifikasi ilmiah yang lebih baik sehingga memiliki kemungkinan
untuk diimplementasikan secara lebih baik pula.
7. Pemilihan Lokus dan Fokus Penelitian
Penelitian ini secara bertujuan (purposive) menetapkan
Provinsi Kalimantan Tengah sebagai lokus analisis. Alasan spesifik
memilih Kalimantan Tengah sebagai lokus adalah adanya
pertimbangan bahwa semenjak 2005 Gubernur telah mengeluarkan
pernyataan yang berisi keluhan dan pemikiran tentang penerapan
dekonsentrasi di daerah. Beberapa keluhan yang dilontarkan ke
berbagai media antara lain meliputi tidak dilibatkannya Gubernur
dalam penyusunan program pemerintah yang ditujukan bagi daerah,
tidak fokusnya pembangunan daerah, banyaknya anggaran yang
tidak efisien karena tumpang tindih, serta kurangnya kepercayaan
pusat kepada daerah.
Pernyataan Gubernur tadi bagi penulis merupakan sebuah
konfirmasi mengenai aktualitas permasalahan yang ada, sehingga
66. - 49 -
penulis tidak perlu melakukan penelitian pendahuluan (preliminary
study) tentang daerah-daerah yang memiliki masalah dalam
implementasi kebijakan dekonsentrasi. Berbagai hal yang
dikeluhkan dan pemikiran-pemikiran alternatif dari Gubernur dan
perangkat daerah itulah yang akan dielaborasi lebih jauh dalam
penelitian disertasi ini.
Selain lokus pada level daerah, penelitian ini juga menetapkan
Kementerian Sosial sebagai lokus sekaligus fokus analisis.
Pertimbangan dalam menetapkan instansi tersebut karena urusan
sosial merupakan urusan pemerintahan yang tidak banyak menarik
perhatian pemerintah, sehingga sering tidak menjadi prioritas
dalam rencana pembangunan baik pada jangka pendek, menengah,
maupun panjang. Karena tidak menjadi prioritas, maka alokasi
anggaran yang bersumber dari APBD juga relatif kecil, sehingga
pelayanan kepada masyarakat dengan kebutuhan sosial tertentu,
seperti penyakit masyarakat (PSK, anak terlantar, gelandangan dan
pengemis), penduduk jompo/manula, korban bencana alam, dan
sebagainya, kurang tertangani dengan baik. Perhatian yang tidak
seimbang terhadap sektor tertentu ini akan berimplikasi pada
besaran anggaran yang dialokasikan pada sektor tersebut, dan
berpeluang membuat kesenjangan antar sektor menjadi semakin
lebar. Untuk itulah, mengkaji tingkat efektivitas program (cq.
Dekonsentrasi) pada sektor yang bukan primadona menjadi
penting.
Dalam konteks Kalimantan Tengah, sangat kebetulan bahwa
sektor sosial juga bukan merupakan prioritas dalam RPJMD, dan
67. - 50 -
sering muncul sinyalemen untuk mengandalkan pembiayaan sektor
sosial dari pemerintah pusat. Padahal, permasalahannya bukan
pada sumber pembiayaannya, namun lebih pada bagaimana
mengelola program dan anggaran (bidang sosial) secara benar dan
efektif dapat mencapai tujuan strategis yang diharapkan.
Atas dasar pemikiran diatas, maka pemilihan lokus dan fokus
ini diharapkan dapat menghasilkan analisis keterkaitan antara
keduanya, yakni antara sektor sosial dengan praktek di daerah
lokus, sehingga dapat memberikan hasil yang saling mengoreksi
atau saling mengkonfirmasi.
Dengan pemilihan locus dan focus ini, maka dapat dikatakan
penelitian ini sebagai sebuah study kasus (case study) yang hanya
valid analisis maupun temuan dan rekomendasinya untuk sektor
sosial dan Kalimantan Tengah saja. Dengan demikian, disertasi ini
mengabaikan atau tidak meneliti daerah lain dan sektor lain,
sementara hasilnya juga tidak dapat dijadikan untuk digeneralisasi
pada sektor lain dan daerah lain.
68. - 51 -
BAB III
REVIEW TEORETIK TENTANG DEKONSENTRASI
A. Konsep Dasar Dekonsentrasi
Menurut World Bank (www1.worldbank.org/publicsector/
decentralization), dekonsentrasi adalah bentuk terlemah dari
desentralisasi yang pada umumnya digunakan di negara kesatuan.
Dekonsentrasi mendistribusikan kewenangan pengambilan keputusan,
keuangan, dan tanggungjawab kepada pemerintah daerah di berbagai
tingkatan (Deconcentration is the weakest form of decentralization and
is used most frequently in unitary states – redistributes decision making
authority and financial and management responsibilities among
different levels of the national government). Dekonsentrasi dapat
berwujud peralihan tanggungjawab dari pejabat di pusat kepada
pejabat yang berada di daerah (provinsi maupun kabupaten/kota), dan
dapat menciptakan pemerintahan wilayah yang kuat (strong field
administration) dibawah pengawasan instansi pusat.
Sementara itu Robertson Work (2002: 6) mengemukakan
pendapat bahwa Deconcentration refers to the transfer of authority and
responsibility from one level of the central government to another while
maintaining the same hierarchical level of accountability from the
local units to the central government ministry or agency, which has
been decentralized. Atas dasar hal ini, Work menegaskan bahwa
dekonsentrasi dapat dilihat sebagai tahap awal terbentuknya
pemerintahan yang terdesentralisasi untuk meningkatkan pelayanan
publik.
69. - 52 -
Senada dengan pendapat Work, Hellmut Wollman (2007: 9-10)
menulis bahwa dekonsentrasi dapat dilihat sebagai “munisipalisasi
terbatas” (limited municipalisation). Artinya, pejabat di daerah dan
instansi induknya di pusat dapat berlaku sebagai “instansi lokal” bagi
urusan pemerintahan (local “agents” of state administration).
Diantara beberapa pendapat diatas, kajian Jesse Ribot (2004)
dan Hutchcroft (2001) mungkin dapat menjadi referensi mengenai arti
dekonsentrasi. Menurut Ribot (2004: 9), dekonsentrasi berkaitan
dengan transfer kewenangan dari aparat pusat kepada pejabatnya di
tingkat “cabang”, misalnya prefect, administrator, agen lini di daerah
lainnya. Sedangkan Hutchcroft menyatakan bahwa dekonsentrasi
berkaitan dengan transfer antar unit dalam internal organisasi
(intraorganizational transfer) dari pemerintah pusat kepada unit atau
pejabatnya di daerah. Instansi induk tetap memegang sebagian besar
kewenangan atas isi kebijakan, meskipun kepada pejabat dan unit di
daerah tadi telah dilimpahkan kewenangan tertentu.
Dari berbagai pandangan para pakar dapat disimpulkan bahwa
dekonsentrasi adalah konsep kewilayahan, geografis, atau lokasional.
Sebagaimana ditegaskan oleh Boeckenfoerde et.al. (2007: 7),
dekonsentrasi meliputi upaya memencarkan pejabat untuk
menjalankan fungsi administratif atau manajerial dari satu atau
beberapa lokasi ke beberapa atau banyak lokasi, namun tugas-tugas
administratif tersebut masih merupakan bagian dari pemerintah pusat.
B. Manfaat Dekonsentrasi
Selain tujuh manfaat yang dikemukakan Turner diatas,