Peran aceh dalam perang kemerdekaan republik indonesia
1. 1
PERAN ACEH DALAM PERANG KEMERDEKAAN REPUBUBLIK INDONESIA
oleh;
Dede Yusuf
Pendidikan Sejarah 2011-Universitas Pendidikan Indonesia
A. PERAN ACEH DALAM PERANG KEMERDEKAAN RI
Perjuangan Rakyat Aceh di Medan Area. Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan di
Aceh pasukan angkatan perang Aceh tidak hanya berjuang di Aceh saja akan tetapi juga
terus-menerus dikirim ke Medan atau pun ke tempat-tempat lain di Sumatera
Timur(sekarang:Sumatera Utara). Di sana pasukan Aceh berjuang di Medan Area dan
berbagai medan pertumpuran yang hendak dicaplok musuh. Menghadapi tentara Belanda
yang bersenjata mutakhir, panglima tentara RI Mayor Jenderal R. Suharjo Harjowardoyo
menumpahkan harapan besar kepada pasukan Aceh.[1]
Dalam sebuah telegramnya, panglima meminta kepada pemimpin rakyat Aceh supaya
menyediakan terus kekuatan dari Aceh ke Medan. Pengembalian kota Medan terletak di
tangan saudara-saudara segenap penduduk Aceh.
Akibat agresi pertama Belanda ini menyebabkan negara republik Indonesia
dihadapkan kepada suatu tantangan besar. Dalam situasi yang krisis itu wakil Presiden
Muhammad Hatta mengangkat Tgk. Muhammad Daud Breu-eh menjadi gubernur militer
untuk daerah Aceh, Langkat dan Tanah Karo dengan pangkat Jenderal Mayor. Akibat agresi
Belanda pertama banyak pasukan dan rakyat Sumatera Timur mengungsi ke Aceh yang
masih aman dari tekanan pihak Belanda.[2]
Pada masa Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh menjadi Gubernur Militer Daerah Aceh,
Langakat dan Tanah Karo; terjadilah agresi Belanda kedua. Pada hari pertama agresi tersebut
tanggal 19 Desember 1948 Ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta dapat di duduki oleh
Belanda, Presiden Soekarno dan Wakil Prsiden Muhammad Hatta beserta beberapa menteri
dan beberapa tokoh lainnya dapat ditawan oleh Belanda. Tanggal 19 Desember 1948
pemerintah memberikan kuasa kepada Mr. Syarifuddin Prawiranegara yang ketika itu berada
di Bukit Tinggi untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia yang lebih dikenal
dengan PDRI, sedangkan di Jawa dibentuk Komisariat Pemerintahan yang terdiri dari Mr.
Sukiman. Mr. Susanto Tirtiprodjo.[3]
Dengan agresi Belanda yang kedua dapat dilakatakan, bahwa hampir seluruh wilayah
di Sumatera telah berada di bawah kekuasaan Belanda. Satu-satunya daerah yang masih utuh
belum dimasuki Belanda adalah Daerah Aceh.
Untuk mengahadapi kekuatan Belanda di Sumatera Timur(Sumatera Utara) dan
didasarkan kepada pertimbangan, bahwa lebih baik pasukan Aceh menyerang Belanda dari
pada bertahan di Aceh, Laskar berjumlah 60 orang yang diperbantukan pada batalion TRI
Devisi juga dikirimkan ke kesatuan laskar Aceh dari Devisi Tgk. Chik Di Tiro, Divisi
Direncong, Devisi Tgk. Chik Paya Bakong dan Tentara Pelajar. Oleh karena semakin hari
semakin banyak yang datang ke Medan Area, maka terpaksa dibentuk suatu badan koordinasi
yang disebut dengan RIMA (Resimen Istimewa Medan Area) yang terdiri dari 4 batalion
yaitu batalion Wiji Alfisah, batalion Altileri Devisi Rencong, Devisi Tgk. Chik Di Tiro, dan
Devisi Tgk. Chik Paya Bakong.[4]
Tugas pertama dari pasukan tersebut adalah untuk merebut kembali daerah yang
diduduki Belanda. Namun hal ini kurang berhasil karena kurang terkoordinirnya pasukan
bersenjata Republik Indonesia, bahkan sering terjadi pasukan komando itu tidak dapat
2. 2
menjalin kerjasama, sehingga tidak dapat menggerakkan suatu serangan yang serentak
terhadap Belanda.
Walaupun tugas utamanya tidak berhasil, namun untuk menghalau gerak maju
pasukan Belanda ke Aceh cukup berhasil. Ini dapat dilihat karena tidak ada satu daerah pun
di Aceh dapat di duduki kembali oleh Belanda.[5]
B. SUMBANGAN RAKYAT ACEH
Daerah Aceh merupakan daerah yang tidak pernah dikuasai oleh musuh dan
merupakan modal utama Republik Indonesia dalam perjuangan kemerdekaannya. Pernyataan
ini didukung kenyataan, bahwa satu-satunya daerah dalam wilayah Republik Indonesia pada
waktu itu yang tidak pernah diduduki oleh Belanda adalah daerah Aceh.[6] Hal ini pulalah
yang dijadikan modal utama utusan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KBM) di Den
Haag itu, bahwa Republik Indonesia masih memiliki wilayah bebas penguasaan Belanda.
Selain itu ucapan Presiden diatas berhubungan dengan berbagai sumbangan yang
telah diberikan rakyat Aceh kepada perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan
kemerdekaannya, seperti sumbangan sebuah pesawat. Mengenai antusias rakyat Aceh dalam
membantu pembelian pesawat udara ini di ceritakan oleh beberapa informan, bahwa rakyat
begitu rela pintu rumah mereka digedor di waktu malam hari untuk menyumbangi sebagian
dari emas atau barang lainnya demi untuk negara.
Pesawat yang dibeli dengan sumbangan rakyat Aceh ini diberi nama “Seulawah”
yaitu nama sebuah gunung yang terdapat di perbatasan Aceh Besar dan Kabupaten Pidie, dan
pesawat ini diberi nimor RI-001.
Bahwa uang yang disumbangkan rakyat Aceh untuk membeli pesawat udara jenis
Dakota tersebut cukup untuk dua pesawat. Namun sebuah diantaranya masih merupakan
teka-teki, karena menurut kenyataan yang ada hanya sebuah pesawat (RI-001). Menurut A.
Hasjmy, bahwa penyelewengan ini dilakukan di Singapura, tetapi pelakunya belum
diketahui. Namun sebuah sumber lain menyebutkan bahwa pesawat yang satu lagi telah
dihadiahkan kepada pemerintah Birma, sebagai tanda terima kasih atas semua fasilitas yang
diberikan perwakilan Garuda beroperasi di Birma.[7]
Pada mulanya pesawat ini merupakan jajaran dalam angkatan udara Republik
Indonesia dan rute luar negeri, yaitu Birma dan Calkutta. Sedangkan fungsinya didalam
negeri selain dapat menjembatani pulau Sumatera dan Jawa; juga untuk menerobos blokade
Belanda menerbangkan tokoh-tokoh politik bangsa Indonesia.
Kemudian pada tanggal 26 Januari 1949 RI-001 menjadi pesawat komersil yang
dicarter oleh Indonesia Airways, yang kemudian dikenal dengan Garuda Indonesia Airways.
Adapun menagernya yang pertama adalah Wiweko Supeno.[8]
Selain telah menyumbang pesawat udara untuk kepentingan perjuangan bangsa
Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya, rakyat Aceh juga menyumbang kepada
pemerintah Republik Indonesia berupa senjata, makanan, pakaian dan lain-lain untuk
membantu perjuangan menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan di Sumatera Timur.
Pada tahun 1948 rakyat Aceh telah mengirimkan ke daerah Medan Area sebanyak 72 ekor
kerbau.[9]
C. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil isi paper diatas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
Aceh merupakan salah satu wilayah Republik yang setia pada pemerintah Indonesia. Daerah
Aceh merupakan Modal utama dalam perjuangan kemerdekaann Republik Indonesia, karena
tidak pernah dikuasai oleh musuh dan masih utuh sepenuhnya. Aceh merupakan juga daerah
yang selalu menyumbang atau selalu memberi bantuan kepada Republik Indonesia; baik
3. 3
berupa senjata, makanan, dan pakaian untuk membantu perjuangan dalam menegakkan
kemerdekaan.
D. DAFTAR PUSTAKA
Alfian, Teuku Ibrahim. Revolusi Kemerdekaan di Aceh (1945-1949), Proyek permuseuman
Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh, 1982.
Zamzami, Amran, Jihad Akbar di Medan Area. Jakarta : Bulan Bintang, 1990.
______. Peranan Rakyat Aceh Dalam Perang Kemerdekaan (1945-1949). Jakarta: Beuna,
1990.
Sardjono. V. dan GL. Marsadji, Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)-Penyelamat
Negara dan Bangsa Indonesia. Jakarta : Penerbit Tontamas, Sumatera, 1982
Ibrahim, Muhammad. Sejarah Daerah Propinsi Daerahi Istimewa Aceh. Banda Aceh:
Depdikbud., 1978
Abdullah Ali, Sejarah Perjuangan Rakyat Aceh Dalam Perang Kemerdekaan(1945-1945),
Depdikbud., Banda Aceh ,1985.
Amin, S.M… Kenang-kenangan di Masa Lampau, Jakarta : Pradnya Paramita, 1978
Jakobi, A. K., Aceh Daerah Modal. Jakarta : Yayasan Seulawah RI-001,1992.
––––––––––––––––––––––––––––––––
[1] Teuku Ibrahim Alfian, op. cit., p.86.
[2] Amran Zamzami, op cit., p. 297
[3] V. Sardjono dan GL. Marsadji, Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)-
Penyelamat Negara dan Bangsa Indonesia (Jakarta : Penerbit Tontamas, Sumatera, 1982), p.
Vi.
[4] Muhammad Ibrahim, Ibrahim, Muhammad, (1978). Sejarah Daerah Propinsi Daerah
Istimewa Aceh, Depdikbud., Banda Aceh, 1978), p. 183
[5] Abdullah Ali, Sejarah Perjuangan Rakyat Aceh Dalam Perang Kemedekaan(1945-1945)
(Banda Aceh : Depdikbud., 1985), p. 268
[6] S.M. Amin, op.cit., p. 102.
[7] A.K. Jakobi, op.cit., p. 249
[8] Amran Zamzami, op.cit., p. 278.
[9] Muhammad Ibrahim, op. cit., p. 278.