SlideShare a Scribd company logo
1 of 7
Download to read offline
Kereta Sudah Bukan untuk Kami
Oleh:
Rusdi Mathari
Situsweb: pindai.org | Surel: redaksi@pindai.org
Twitter: @pindaimedia | FB: facebook.com/pindai.org
Sudut Pandang/PINDAI.ORG – Kereta Sudah Bukan untuk Kami / 27 April 2015
H a l a m a n 2 | 7
Kereta Sudah Bukan untuk Kami
oleh Rusdi Mathari
Manajemen kereta rel listrik (KRL) di Jakarta mengalami ‘moderenisasi’ sembari menyingkirkan
pedagang kaki lima, pedagang buah, dan penjual kursi bambu—untuk menyebut di antaranya; satu
lanskap kekerasan simbolik dari rezim politik dan rezim estetik yang bertaut mesra.
NAIK KRL DARI Stasiun Bogor hingga Stasiun Kota, dan turun di hampir setiap stasiun di antara dua
stasiun besar itu, akan terlihat wajah stasiun KRL yang berubah. Pagar-pagar hingga tiang listrik yang
menancap di peron di setiap stasiun berwarna ceria seperti warna permen. Ada yang dicat jingga, hijau,
biru, dan lain-lain.
Halaman luar di hampir semua stasiun disulap jadi areal parkir berbayar mirip tempat parkir di pusat-
pusat belanja atau hotel. Penuh mobil dan sepedamotor yang seharian terpanggang matahari atau terguyur
air bila musim hujan. Di Stasiun Citayam, helm-helm yang bertengger di kaca spion sepeda motor
dibungkus plastik warna-warni. Tidak ada pilihan, karena bahkan tempat parkir pun tidak beratap.
Pintu masuk menuju peron sudah menggunakan sistem elektronik dan entah kenapa menggunakan bahasa
Inggris: Commuter Electronic Ticketing (disingkat Commet). Lewat Commet, penumpang cukup
menempelkan tiket ke mesin pencatat yang membuka pintu masuk berupa tiga batang besi berputar. Mirip
pintu masuk di Dunia Fantasi. Tak ada batas waktu penggunaan tiket kecuali saldo berkurang.
Penumpang dengan saldo tiket yang masih mencukupi untuk stasiun tujuan, tidak perlu lagi mengantre ke
loket. Mereka mengisi kembali saldo itu atau menukarnya dengan uang Rp 5 ribu.
Sistem Commet meniru atau mirip dengan ‘ez-link MRT’ di Singapura dan konon akan benar-benar
dibuat seperti tiket ez-link: satu tiket untuk banyak keperluan. Bisa digunakan naik MRT (mass rapid
transit), bus, LRT (light rail transit), dan keluar-masuk areal parkir. Sementara ini, tiket KRL hanya bisa
digunakan untuk naik kereta dan keluar-masuk areal parkir di stasiun. Sistem terpadu yang mulai
menyingkirkan tenaga manusia.
Toilet-toilet di hampir semua stasiun sudah makin bersih dan tidak mampat. Tak ada pungutan. Tak ada
preman yang dulu selalu menyetor kepada kepala stasiun. Petugas kebersihan berseragam merah-hitam
dari perusahaan alih-daya Ristra dilarang menerima tip. Mereka juga menyapu lantai peron dan gerbong
pada jam-jam sepi penumpang, dan mencuci kereta bahkan hingga larut malam di Stasiun Bogor.
Sudut Pandang/PINDAI.ORG – Kereta Sudah Bukan untuk Kami / 27 April 2015
H a l a m a n 3 | 7
Sebagian toilet mudah diakses. Sebagian lain terletak di sudut-sudut yang jauh dari peron sehingga
penumpang harus jalan berputar, menyeberang perlintasan rel. Di Stasiun Bogor, penumpang yang masuk
di pintu selatan harus menyeberangi rel Jalur 1 untuk ke toilet di ujung bangunan stasiun lama yang kini
banyak kiosnya disewakan untuk kepentingan komersial.
Di Stasiun Cikini hingga Mangga Besar, penumpang harus turun melewati lantai berundak dari peron di
lantai tiga ke toilet di lantai dua, lalu keluar pintu masuk dan menempelkan kembali tiket mereka, bahkan
seandainya mereka sudah terkencing-kencing di celana.
Siksaan macam itu melengkapi usaha penumpang mencapai peron di Stasiun Bogor. Mereka bisa keluar-
masuk ke areal stasiun, setelah berputar sejauh kurang-lebih satu kilometer. Melintasi taman-taman yang
dibuat untuk ornamen keindahan yang terlepas dari realitas, berjalan di atas koridor tanpa atap dan lantai
yang licin bila hujan. Tak ada koridor untuk penyandang cacat. Satpam dan marinir yang berjaga juga
akan mengabaikan para orang tua atau ibu-ibu hamil yang kesulitan menapak tangga peron setinggi
semeter. Keadaan yang kurang-lebih sama bisa dijumpai di Stasiun Pasar Senen: loket-loket KRL dengan
ruang antre yang sempit, diletakkan di sudut paling ujung, jauh dari pintu keluar-masuk stasiun.
Tak ada lagi pedagang kaki lima. Tak ada lagi kios-kios buku seperti yang pernah ada di Stasiun
Universitas Indonesia. Tak ada pedagang lontong sayur dan penjual kopi di Stasiun Manggarai. Ibu-ibu
yang biasa menjulurkan bungkusan gorengan dari balik pagar Stasiun Cawang atau Tebet untuk sarapan
pegawai-pegawai perempuan yang tergesa-gesa—tak terdengar lagi teriakannya. Di Stasiun Pasar
Minggu, laki-laki tua penjual kacamata baca sudah lama menghilang. Tukang servis blender di Stasiun
Lenteng Agung, entah di mana kini membuka kios.
Sebagai gantinya, di ujung-ujung peron dibangun minimarket: Indomaret atau Alfamart. Gerai Roti Boy
dan Dunkin Donuts berjajar di Stasiun Bogor menempati bangunan tua stasiun. Kios Starbucks di Stasiun
Kota menyambut penumpang yang kelelahan dan kebingungan: apa beda rasa kopi di warung kopi
bermerek itu dengan kopi-kopi yang dulu dijajakan anak-anak muda dari Kuningan, Jawa Barat, kepada
penumpang di dalam kereta.
Di peron, penumpang dipersilakan duduk di bangku yang terbuat dari potongan rel. Bila musim hujan,
bangku panjang itu terasa dingin di pantat, dan menyengat bila musim kemarau.
Lantai peron adalah lantai yang berlubang.
Di Stasiun Bojong Gede, lubang-lubang itu dipenuhi air hujan yang mengucur deras dari atap peron yang
berbentuk V. Di Stasiun Gondangdia, Juanda dan seterusnya, lantai ubin stasiun ditambal seadanya. Di
Stasiun Cilebut, sebagian peron tidak beratap. Sementara peron di enam jalur Stasiun Bogor, seluruhnya
bahkan tak beratap. Bila sedang hujan atau terik, peron-peron itu penuh dengan penumpang berpayung.
Sudut Pandang/PINDAI.ORG – Kereta Sudah Bukan untuk Kami / 27 April 2015
H a l a m a n 4 | 7
Lalu turunlah di Stasiun Depok Baru. Tak ada lagi gelandangan dan pengamen yang biasa memenuhi
peron. Namun, di areal stasiun sebelah timur, terlihat beberapa kolam pemancingan dan gubuk-gubuk reot
dipenuhi pemancing. Menyusuri rel dari stasiun ini menuju ke Stasiun Pondok Cina, mata disergap
bangunan kios pasar dan gunungan sampah yang menjorok hingga ke rel.
Lebih setengah juta penumpang setiap hari melintasi Stasiun Bogor-Kota dan stasiun-stasiun KRL di
Jakarta dan sekitarnya. Di pagi hari, mereka adalah penumpang yang wangi, menenteng ransel atau tas
warna-warni, menyuntuki perangkat komunikasi dengan kabel-kabel menjuntai sejak sebelum naik ke
kereta. Menjelang petang, mereka adalah penumpang yang kelelahan.
Tidak ada lagi bapak-bapak penjual jambu dan daun pisang dari Bogor yang berhenti di Stasiun Pasar
Minggu. Tidak ada lagi penjual kembang taman yang biasa turun di Stasiun Pancasila atau Lenteng
Agung. Tidak ada lagi penjual kursi bambu dari Cilebut.
KRL sudah bukan angkutan untuk mereka lagi.
NAIK KRL DI JAKARTA yang banyak dipuji orang sebagai angkutan yang kini mulai nyaman, telah
mengubur ingatan banyak penumpang bahwa jalur dari kereta yang mereka tumpangi, dibuat oleh
pemerintah kolonial Belanda justru bukan hanya untuk mengangkut manusia. Melainkan juga
mengangkut palawija, hasil kebun, dan ternak dari wilayah di sekitar Jakarta. Sejak jalur kereta di wilayah
ini dibuat kali pertama oleh Staats Spoorwegen pada 1923 dan mulai dipergunakan dua tahun kemudian,
pemerintah Hindia Belanda bermaksud memudahkan pengangkutan hasil perkebunan semisal kopi dan
tembakau, dan karena itu jalur pertama dibuat dari Jatinegara (dulu bernama Meester Cornelis) ke Stasiun
Tanjung Priok (pelabuhan).
Jalur itu kemudian diperluas hingga melingkari Jakarta; semuanya bermuara di Stasiun Tanjung Priok.
Ditarik dari Bogor, Bekasi, Tangerang, bahkan hingga Rangkasbitung. Setelah Proklamasi 1945,
Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia tidak pernah mampu menambah jalur dan pelayanan kereta.
Beberapa jalur kereta bahkan dimatikan, dan yang baru dibuka kembali adalah rute ke Stasiun Tanjung
Priok.
Hingga Orde Baru, seluruh manajemen kereta di bawah kendali PJKA yang berubah nama jadi PT KAI.
Menyusul ledakan penumpang di Jakarta dan sekitarnya, pengelolaan KRL lalu diserahkan kepada PT
KAI Commuter Jabodetabek (KCJ). Perusahaan yang disebut terakhir, semula mengelola 37 rute kereta di
wilayah Jakarta dan sekitarnya. Tahun 2011, rute-rute itu disederhanakan dan hanya menjadi lima rute
Sudut Pandang/PINDAI.ORG – Kereta Sudah Bukan untuk Kami / 27 April 2015
H a l a m a n 5 | 7
dengan antara lain menghapus KRL cepat, menerapkan gerbong khusus wanita, dan mengubah nama
KRL menjadi Kereta Commuter—sekali lagi memakai istilah bahasa Inggris.
Manajemen KRL di Jakarta dan sekitarnya, kata orang-orang, mengalami revolusi. Namun kereta yang
dipergunakan adalah evolusi: bagian dari kereta masa lalu yang sebagian besar, untuk tidak menyebut
seluruhnya, adalah kereta bekas; sedekah dari Jepang. Jepang punya kepentingan untuk memberi banyak
kereta bekas, agar industri otomotif mereka terus menerima keuntungan langsung dari pesatnya
perkembangan infrastruktur jalan raya yang lebih banyak lagi dibiayai oleh Tokyo termasuk dengan
memberi utangan pada Jakarta.
Sedekah KRL dari Jepang sekaligus mengakhiri rezim kereta yang seharusnya disediakan oleh negara. Ia
mengubah sejarah KRL yang awal kisahnya banyak menggunakan kereta dari Belanda, Jerman dan
Swiss, seperti lokomotif listrik seri 3000 buatan pabrik Swiss Locomotive & Machine Works–Brown
Baverie Cie, atau lokomotif listrik seri 3100 buatan pabrik Allgemeine Elektricitäts-Gesellschaft Jerman.
Pemerintah untuk kali pertama mendatangkan KRL bekas Jepang untuk kelas ekonomi sebanyak 56 unit
pada awal 1976, atau dua tahun setelah kerusuhan yang dikenal Malari (‘Malapetaka 15 Januari’) yang
menolak kedatangan PM Jepang Kakuei Tanaka dan investasi asing.
Kedatangan KRL jenis reostastik, untuk mengganti armada lokomotif listrik dan kereta kayu itu, dipakai
melayani rute Jakarta-Bogor, Jakarta-Bekasi, Tenabang-Serpong dan Jakarta-Tangerang. Setahun setelah
reformasi, gelombang besar KRL bekas Jepang datang di Pelabuhan Tanjung Priok. Pemerintah Kota
Tokyo memberikan 72 unit KRL berpendingan udara dari bekas Biro Transportasi Pemerintah Daerah
Tōkyō (Tōei).
Sejak itu, Jakarta punya KRL ber-AC, dan gelombang kereta bekas dari Jepang terus berdatangan kendati,
di sisi lain, mobil dan sepedamotor jauh lebih banyak diproduksi dan dipasarkan di sini. Kereta-kereta
yang telah berumur 30 tahun itu diperbaiki di depo Bogor atau Jatinegara. Pendingin udaranya yang sudah
tersumbat dibetulkan. Kaca-kacanya yang kusam dibersihkan. Dan sambungan rangkaiannya yang
berderit bila kereta berjalan mengingatkan bunyi bangku-bangku bambu yang hendak ambruk. Cerita
sampirannya: meski hibah atau hadiah dari Jepang, kereta-kereta itu telah memunculkan dugaan korupsi
dan menyeret nama Hatta Rajasa.
Ada 11 jenis seri KRL bekas termasuk dari East Japan Railway Company (JR East)—berputar di lintasan
rel di Jakarta dan sekitarnya. Paling baru adalah KRL seri 205 yang dioperasikan sejak Mei 2014. Kereta
jenis ini pernah digunakan di Yokohama dan dulunya dioperasikan oleh Depo Kamakura. Seri yang sama,
setahun sebelumnya, didatangkan dari bekas JR East yang pernah beroperasi di jalur Saikyo. Adapun
KRL buatan PT. INKA dioperasikan ke kota-kota lain menjadi KRD, kereta diesel.
Sudut Pandang/PINDAI.ORG – Kereta Sudah Bukan untuk Kami / 27 April 2015
H a l a m a n 6 | 7
Apa yang disebut ‘revolusi’ itu berlanjut ke ‘renovasi’ stasiun dan KRL, penataan ulang keberangkatan,
dan pembaruan peron dan halaman stasiun.
Sejak Juli 2013, KCJ menerapkan sistem Commet dan perubahan sistem tarif kereta. Stasiun menjadi
steril, kendati untuk semua itu, diperlukan ratusan satpam dan marinir yang menganggur, yang berjaga
dari ujung ke ujung setiap stasiun. Ada yang membunuh waktu dengan memencet-mencet ponsel, ada
yang melamun bersandar di pagar, ada yang bergaya dengan handy talky. Sebagian dari mereka berjaga di
perlintasan rel di areal beberapa stasiun, meniup peluit yang bunyinya menjerit-jerit seperti mengabarkan
suatu keadaan gawat.
Mereka sigap berlari memukuli penumpang yang dituduh mencopet, membentak penumpang yang
kehilangan tiket, atau dengan galak menegur penumpang yang ketahuan merokok bahkan jika itu
dilakukan di peron paling ujung yang tidak beratap, seperti di Stasiun Bogor atau Cilebut. Papan nama
atau stiker bertuliskan “Dilarang Merokok,” dengan gambar dua garis lurus yang di ujungnya ada garis
melengkung—simbol rokok berasap—dipalang dengan warna merah, dipasang atau ditempelkan di
pagar-pagar, tembok, dan tiang-tiang listrik. Peron seakan telah berubah jadi bangsal-bangsal rumahsakit
atau Puskesmas. Sementara para satpam ceking yang mengenakan penutup kepala mirip topi baja yang
kedodoran dan marinir yang berseragam tempur berlagak perawat dan dokter.
Tak ada ruang yang disediakan bagi perokok meski hal itu adalah amanat undang-undang. Tak ada
“Smoking Area” sekalipun hanya berupa tempat paling ujung di peron stasiun-stasiun yang terbuka
seperti yang bisa dijumpai di bandara termasuk di Changi, Singapura. Merokok di stasiun dianggap
sebagai perilaku haram dan perbuatan ilegal. Perokok dianggap pengganggu.
Di Stasiun Bogor, para satpam dan marinir yang kelelahan, biasa mengaso dan menyelipkan badan
mereka di antara peron dan KRL atau duduk di sekitar toilet, hanya sekadar untuk minum kopi dan
merokok, di antara anak-anak muda petugas kebersihan yang kelelahan membersihkan kereta. Bila ada
penumpang yang mencoba ikut merokok, mereka akan segera meletakkan rokok, dan sigap berdiri untuk
melarang hanya dengan penjelasan singkat, seolah sudah diprogram, “Dilarang merokok di seluruh areal
stasiun.”
Ignatius Jonan, mantan direktur utama PT KAI dan kini menteri perhubungan, berhasil menanamkan
kepercayaan sinting: stasiun bukan tempat merokok, kendati kios-kios minimarket di hampir setiap
stasiun (dan membayar sewa), menjual rokok. Keputusannya yang membuat seluruh kawasan stasiun
steril dari asap rokok hanya didasari oleh perda. Namun mengabaikan ketentuan undang-undang yang
lebih tinggi yang mewajibkan setiap kawasan tanpa rokok termasuk stasiun harus menyediakan tempat
khusus untuk merokok atau perokok.
Sudut Pandang/PINDAI.ORG – Kereta Sudah Bukan untuk Kami / 27 April 2015
H a l a m a n 7 | 7
Jonan telah menempatkan PT KAI seperti peserta kampanye anti-rokok, dan Jonan yang perokok berat
memakai alasan bahwa asap rokok mengganggu kenyamanan penumpang yang tidak merokok.
Dan dari balik kaca kereta yang dilapisi aneka reklame, para penumpang menyaksikan banyak bangunan
liar yang dirubuhkan. Teronggok di tepi rel seperti sisa-sisa runtuhan bangunan akibat perang. Tambahan
lagi: pedagang kaki lima adalah bakteri yang harus dimatikan.
Para penumpang yang berdiri dan berdesakan setiap pagi dan petang di dalam gerbong, mematung dengan
wajah kesepian. Di deretan tempat duduk, bapak-bapak dan anak-anak muda menutup mulut dan mata,
membiarkan ibu-ibu tua bergelantungan di depan mereka. Di ujung rangkaian, yang tempat duduknya
diperuntukkan penumpang tak berdaya, sesak dengan laki-laki dan perempuan yang sibuk memainkan
ponsel mereka. Tak ada yang menegur.
Semua penumpang sibuk dengan urusan dan khayalan masing-masing, seolah mereka menikmati
angkutan yang akan membawa mereka ke Tanah Penuh Harapan. Mereka disuguhi iklan-iklan yang
ditempel di dalam dan di luar gerbong, dan di layar LCD yang kaku. Kereta api telah berubah menjadi
alat menangguk untung paling efektif dan penumpang terus dipaksa bermimpi.
Turun di Stasiun Cilebut, Anda akan menyaksikan para pembuat kursi bambu seperti Pak Agun antre
menunggu truk yang bersedia mengangkut mereka ke Jakarta. Dia terpaksa beralih menumpang truk, dan
tentu saja harus membayar ongkos lebih mahal ketimbang ongkos naik KRL. Turun di Depok, dia
berjalan hingga Lenteng Agung, memikul kursi bambu yang dibuat bersama anaknya. Matanya bersaput
peluh.
Di bibir Stasiun Citayam, Pak Jum penjual rumput terpaksa menumpang ojek hingga Stasiun UI, lalu
memikul dua karung rumput dan aneka bunga, melangkahkan kaki menyusuri jalan penuh asap knalpot ke
Srengsengsawah atau Jagakarsa.
“Kereta di Jakarta sudah bukan untuk kami lagi,” kata Pak Jum.[]
---
Rusdi Mathari, wartawan dan penulis, tinggal di Jakarta. Blog: www.rusdimathari.wordpress.com
Twitter: @rusdirusdi

More Related Content

Viewers also liked (20)

Fotosíntesis
FotosíntesisFotosíntesis
Fotosíntesis
 
Juknis baru
Juknis baruJuknis baru
Juknis baru
 
Kondisi, prinsip, syarat berpikir (4)
Kondisi, prinsip, syarat berpikir (4)Kondisi, prinsip, syarat berpikir (4)
Kondisi, prinsip, syarat berpikir (4)
 
Robin Garceau Lila's Lifestyle Launch
Robin Garceau Lila's Lifestyle LaunchRobin Garceau Lila's Lifestyle Launch
Robin Garceau Lila's Lifestyle Launch
 
Bobot
BobotBobot
Bobot
 
Kelompok puput cover
Kelompok puput coverKelompok puput cover
Kelompok puput cover
 
Reward hebat versi email
Reward hebat versi emailReward hebat versi email
Reward hebat versi email
 
Chirita In Provintie
Chirita In ProvintieChirita In Provintie
Chirita In Provintie
 
Bop email okt12 ipl
Bop email okt12 iplBop email okt12 ipl
Bop email okt12 ipl
 
Slaid berbau tidak berbau
Slaid berbau tidak berbauSlaid berbau tidak berbau
Slaid berbau tidak berbau
 
Sbk kelas 7
Sbk kelas 7Sbk kelas 7
Sbk kelas 7
 
Tajwid nun mati
Tajwid nun matiTajwid nun mati
Tajwid nun mati
 
5 Conversation Process
5 Conversation Process5 Conversation Process
5 Conversation Process
 
Ajakan tafakur 01
Ajakan tafakur 01Ajakan tafakur 01
Ajakan tafakur 01
 
Wayang : Dewi Kuntinalibrata
Wayang : Dewi Kuntinalibrata Wayang : Dewi Kuntinalibrata
Wayang : Dewi Kuntinalibrata
 
Kelas 2 s2
Kelas 2 s2Kelas 2 s2
Kelas 2 s2
 
Garai
GaraiGarai
Garai
 
Kajian fabrik shilinku
Kajian fabrik shilinkuKajian fabrik shilinku
Kajian fabrik shilinku
 
Go And Chess
Go And ChessGo And Chess
Go And Chess
 
BUAYA
BUAYABUAYA
BUAYA
 

Similar to KRL Sudah Tidak untuk Mereka

SISTEM TRANSPORTASI PUBLIK DI SINGAPURA DAN MALAYSIA.pdf
SISTEM TRANSPORTASI PUBLIK DI SINGAPURA DAN MALAYSIA.pdfSISTEM TRANSPORTASI PUBLIK DI SINGAPURA DAN MALAYSIA.pdf
SISTEM TRANSPORTASI PUBLIK DI SINGAPURA DAN MALAYSIA.pdfRatih Sofian
 
Traffic Management : Case Study of Lempuyangan Yogyakarta
Traffic Management : Case Study of Lempuyangan YogyakartaTraffic Management : Case Study of Lempuyangan Yogyakarta
Traffic Management : Case Study of Lempuyangan YogyakartaVempi Satriya
 
TRANSPORTASI MASSAL TRUNK AND FEEDER DI BANYUWANGI - NARIS
TRANSPORTASI MASSAL TRUNK AND FEEDER DI BANYUWANGI - NARISTRANSPORTASI MASSAL TRUNK AND FEEDER DI BANYUWANGI - NARIS
TRANSPORTASI MASSAL TRUNK AND FEEDER DI BANYUWANGI - NARISNaris Hito
 
Bahagian 4 Amalan Terbaik dalam Pembangunan Bandar Mapan
Bahagian 4   Amalan Terbaik dalam Pembangunan Bandar MapanBahagian 4   Amalan Terbaik dalam Pembangunan Bandar Mapan
Bahagian 4 Amalan Terbaik dalam Pembangunan Bandar MapanAsyraaf Afandi
 
Rute angkutan terintegrasi busway jakarta - blog.mamikos.com
Rute angkutan terintegrasi busway jakarta - blog.mamikos.comRute angkutan terintegrasi busway jakarta - blog.mamikos.com
Rute angkutan terintegrasi busway jakarta - blog.mamikos.commamikos
 
pembangunan sistem pengangkutan di Pendang (projek akhir)
pembangunan sistem pengangkutan di Pendang (projek akhir)pembangunan sistem pengangkutan di Pendang (projek akhir)
pembangunan sistem pengangkutan di Pendang (projek akhir)sara623465
 
Laporan pengangkutan bandar di bandar Kuala Terengganu
Laporan pengangkutan bandar di bandar Kuala TerengganuLaporan pengangkutan bandar di bandar Kuala Terengganu
Laporan pengangkutan bandar di bandar Kuala TerengganuNURAININASYAIRAHBINT
 
Tugasan 4 Amalan Terbaik (LMCP1532 Pembangunan Bandar Mapan)
Tugasan 4  Amalan Terbaik (LMCP1532 Pembangunan Bandar Mapan)Tugasan 4  Amalan Terbaik (LMCP1532 Pembangunan Bandar Mapan)
Tugasan 4 Amalan Terbaik (LMCP1532 Pembangunan Bandar Mapan)JyinxWong
 

Similar to KRL Sudah Tidak untuk Mereka (13)

Stasiun Jember
Stasiun JemberStasiun Jember
Stasiun Jember
 
SISTEM TRANSPORTASI PUBLIK DI SINGAPURA DAN MALAYSIA.pdf
SISTEM TRANSPORTASI PUBLIK DI SINGAPURA DAN MALAYSIA.pdfSISTEM TRANSPORTASI PUBLIK DI SINGAPURA DAN MALAYSIA.pdf
SISTEM TRANSPORTASI PUBLIK DI SINGAPURA DAN MALAYSIA.pdf
 
Traffic Management : Case Study of Lempuyangan Yogyakarta
Traffic Management : Case Study of Lempuyangan YogyakartaTraffic Management : Case Study of Lempuyangan Yogyakarta
Traffic Management : Case Study of Lempuyangan Yogyakarta
 
Sistem transportasi ppt
Sistem transportasi pptSistem transportasi ppt
Sistem transportasi ppt
 
TRANSPORTASI MASSAL TRUNK AND FEEDER DI BANYUWANGI - NARIS
TRANSPORTASI MASSAL TRUNK AND FEEDER DI BANYUWANGI - NARISTRANSPORTASI MASSAL TRUNK AND FEEDER DI BANYUWANGI - NARIS
TRANSPORTASI MASSAL TRUNK AND FEEDER DI BANYUWANGI - NARIS
 
PA 6
PA 6PA 6
PA 6
 
Bahagian 4 Amalan Terbaik dalam Pembangunan Bandar Mapan
Bahagian 4   Amalan Terbaik dalam Pembangunan Bandar MapanBahagian 4   Amalan Terbaik dalam Pembangunan Bandar Mapan
Bahagian 4 Amalan Terbaik dalam Pembangunan Bandar Mapan
 
Rute angkutan terintegrasi busway jakarta - blog.mamikos.com
Rute angkutan terintegrasi busway jakarta - blog.mamikos.comRute angkutan terintegrasi busway jakarta - blog.mamikos.com
Rute angkutan terintegrasi busway jakarta - blog.mamikos.com
 
pembangunan sistem pengangkutan di Pendang (projek akhir)
pembangunan sistem pengangkutan di Pendang (projek akhir)pembangunan sistem pengangkutan di Pendang (projek akhir)
pembangunan sistem pengangkutan di Pendang (projek akhir)
 
Scm intermoda by ragil
Scm intermoda by ragilScm intermoda by ragil
Scm intermoda by ragil
 
Laporan pengangkutan bandar di bandar Kuala Terengganu
Laporan pengangkutan bandar di bandar Kuala TerengganuLaporan pengangkutan bandar di bandar Kuala Terengganu
Laporan pengangkutan bandar di bandar Kuala Terengganu
 
Kualitas pelayanan
Kualitas pelayananKualitas pelayanan
Kualitas pelayanan
 
Tugasan 4 Amalan Terbaik (LMCP1532 Pembangunan Bandar Mapan)
Tugasan 4  Amalan Terbaik (LMCP1532 Pembangunan Bandar Mapan)Tugasan 4  Amalan Terbaik (LMCP1532 Pembangunan Bandar Mapan)
Tugasan 4 Amalan Terbaik (LMCP1532 Pembangunan Bandar Mapan)
 

More from Pindai Media

Ditimang Irama Bang Haji
Ditimang Irama Bang HajiDitimang Irama Bang Haji
Ditimang Irama Bang HajiPindai Media
 
Aroma Cengkeh di Kaki Menoreh
Aroma Cengkeh di Kaki MenorehAroma Cengkeh di Kaki Menoreh
Aroma Cengkeh di Kaki MenorehPindai Media
 
Poncke Princen, Pembela Kemanusiaan Paripurna
Poncke Princen, Pembela Kemanusiaan ParipurnaPoncke Princen, Pembela Kemanusiaan Paripurna
Poncke Princen, Pembela Kemanusiaan ParipurnaPindai Media
 
Ugur Mumcu dan Mereka yang Dilenyapkan
Ugur Mumcu dan Mereka yang DilenyapkanUgur Mumcu dan Mereka yang Dilenyapkan
Ugur Mumcu dan Mereka yang DilenyapkanPindai Media
 
Paranoid indonesia, nestapa papua phelim kine
Paranoid indonesia, nestapa papua   phelim kineParanoid indonesia, nestapa papua   phelim kine
Paranoid indonesia, nestapa papua phelim kinePindai Media
 
Media dalam Terorisme
Media dalam TerorismeMedia dalam Terorisme
Media dalam TerorismePindai Media
 
Orang-Orang Tegaldowo
Orang-Orang TegaldowoOrang-Orang Tegaldowo
Orang-Orang TegaldowoPindai Media
 
Menari di Medan yang Riuh
Menari di Medan yang RiuhMenari di Medan yang Riuh
Menari di Medan yang RiuhPindai Media
 
Sengketa tanah di bumi mataram anang zakaria
Sengketa tanah di bumi mataram   anang zakariaSengketa tanah di bumi mataram   anang zakaria
Sengketa tanah di bumi mataram anang zakariaPindai Media
 
Pak Raden dan Buku Dongeng
Pak Raden dan Buku DongengPak Raden dan Buku Dongeng
Pak Raden dan Buku DongengPindai Media
 
Putu Wijaya Berputar di Planet
Putu Wijaya Berputar di PlanetPutu Wijaya Berputar di Planet
Putu Wijaya Berputar di PlanetPindai Media
 
Semangat Anti-Tank
Semangat Anti-TankSemangat Anti-Tank
Semangat Anti-TankPindai Media
 
Senjakala Media Cetak
Senjakala Media CetakSenjakala Media Cetak
Senjakala Media CetakPindai Media
 
Merumahkan Orang Rimba
Merumahkan Orang RimbaMerumahkan Orang Rimba
Merumahkan Orang RimbaPindai Media
 
Serikat Buruh dan Media Propaganda
Serikat Buruh dan Media PropagandaSerikat Buruh dan Media Propaganda
Serikat Buruh dan Media PropagandaPindai Media
 
Anomali Industri Buku
Anomali Industri BukuAnomali Industri Buku
Anomali Industri BukuPindai Media
 
Orhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara Buku
Orhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara BukuOrhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara Buku
Orhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara BukuPindai Media
 

More from Pindai Media (20)

Ditimang Irama Bang Haji
Ditimang Irama Bang HajiDitimang Irama Bang Haji
Ditimang Irama Bang Haji
 
Aroma Cengkeh di Kaki Menoreh
Aroma Cengkeh di Kaki MenorehAroma Cengkeh di Kaki Menoreh
Aroma Cengkeh di Kaki Menoreh
 
Poncke Princen, Pembela Kemanusiaan Paripurna
Poncke Princen, Pembela Kemanusiaan ParipurnaPoncke Princen, Pembela Kemanusiaan Paripurna
Poncke Princen, Pembela Kemanusiaan Paripurna
 
Ugur Mumcu dan Mereka yang Dilenyapkan
Ugur Mumcu dan Mereka yang DilenyapkanUgur Mumcu dan Mereka yang Dilenyapkan
Ugur Mumcu dan Mereka yang Dilenyapkan
 
Paranoid indonesia, nestapa papua phelim kine
Paranoid indonesia, nestapa papua   phelim kineParanoid indonesia, nestapa papua   phelim kine
Paranoid indonesia, nestapa papua phelim kine
 
Media dalam Terorisme
Media dalam TerorismeMedia dalam Terorisme
Media dalam Terorisme
 
Orang-Orang Tegaldowo
Orang-Orang TegaldowoOrang-Orang Tegaldowo
Orang-Orang Tegaldowo
 
Menari di Medan yang Riuh
Menari di Medan yang RiuhMenari di Medan yang Riuh
Menari di Medan yang Riuh
 
Sengketa tanah di bumi mataram anang zakaria
Sengketa tanah di bumi mataram   anang zakariaSengketa tanah di bumi mataram   anang zakaria
Sengketa tanah di bumi mataram anang zakaria
 
Pak Raden dan Buku Dongeng
Pak Raden dan Buku DongengPak Raden dan Buku Dongeng
Pak Raden dan Buku Dongeng
 
Putu Wijaya Berputar di Planet
Putu Wijaya Berputar di PlanetPutu Wijaya Berputar di Planet
Putu Wijaya Berputar di Planet
 
Semangat Anti-Tank
Semangat Anti-TankSemangat Anti-Tank
Semangat Anti-Tank
 
Senjakala Media Cetak
Senjakala Media CetakSenjakala Media Cetak
Senjakala Media Cetak
 
Merumahkan Orang Rimba
Merumahkan Orang RimbaMerumahkan Orang Rimba
Merumahkan Orang Rimba
 
Serikat Buruh dan Media Propaganda
Serikat Buruh dan Media PropagandaSerikat Buruh dan Media Propaganda
Serikat Buruh dan Media Propaganda
 
Anomali Industri Buku
Anomali Industri BukuAnomali Industri Buku
Anomali Industri Buku
 
Hikayat Virginia
Hikayat VirginiaHikayat Virginia
Hikayat Virginia
 
Perang Balon
Perang BalonPerang Balon
Perang Balon
 
Mario
MarioMario
Mario
 
Orhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara Buku
Orhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara BukuOrhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara Buku
Orhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara Buku
 

KRL Sudah Tidak untuk Mereka

  • 1. Kereta Sudah Bukan untuk Kami Oleh: Rusdi Mathari Situsweb: pindai.org | Surel: redaksi@pindai.org Twitter: @pindaimedia | FB: facebook.com/pindai.org
  • 2. Sudut Pandang/PINDAI.ORG – Kereta Sudah Bukan untuk Kami / 27 April 2015 H a l a m a n 2 | 7 Kereta Sudah Bukan untuk Kami oleh Rusdi Mathari Manajemen kereta rel listrik (KRL) di Jakarta mengalami ‘moderenisasi’ sembari menyingkirkan pedagang kaki lima, pedagang buah, dan penjual kursi bambu—untuk menyebut di antaranya; satu lanskap kekerasan simbolik dari rezim politik dan rezim estetik yang bertaut mesra. NAIK KRL DARI Stasiun Bogor hingga Stasiun Kota, dan turun di hampir setiap stasiun di antara dua stasiun besar itu, akan terlihat wajah stasiun KRL yang berubah. Pagar-pagar hingga tiang listrik yang menancap di peron di setiap stasiun berwarna ceria seperti warna permen. Ada yang dicat jingga, hijau, biru, dan lain-lain. Halaman luar di hampir semua stasiun disulap jadi areal parkir berbayar mirip tempat parkir di pusat- pusat belanja atau hotel. Penuh mobil dan sepedamotor yang seharian terpanggang matahari atau terguyur air bila musim hujan. Di Stasiun Citayam, helm-helm yang bertengger di kaca spion sepeda motor dibungkus plastik warna-warni. Tidak ada pilihan, karena bahkan tempat parkir pun tidak beratap. Pintu masuk menuju peron sudah menggunakan sistem elektronik dan entah kenapa menggunakan bahasa Inggris: Commuter Electronic Ticketing (disingkat Commet). Lewat Commet, penumpang cukup menempelkan tiket ke mesin pencatat yang membuka pintu masuk berupa tiga batang besi berputar. Mirip pintu masuk di Dunia Fantasi. Tak ada batas waktu penggunaan tiket kecuali saldo berkurang. Penumpang dengan saldo tiket yang masih mencukupi untuk stasiun tujuan, tidak perlu lagi mengantre ke loket. Mereka mengisi kembali saldo itu atau menukarnya dengan uang Rp 5 ribu. Sistem Commet meniru atau mirip dengan ‘ez-link MRT’ di Singapura dan konon akan benar-benar dibuat seperti tiket ez-link: satu tiket untuk banyak keperluan. Bisa digunakan naik MRT (mass rapid transit), bus, LRT (light rail transit), dan keluar-masuk areal parkir. Sementara ini, tiket KRL hanya bisa digunakan untuk naik kereta dan keluar-masuk areal parkir di stasiun. Sistem terpadu yang mulai menyingkirkan tenaga manusia. Toilet-toilet di hampir semua stasiun sudah makin bersih dan tidak mampat. Tak ada pungutan. Tak ada preman yang dulu selalu menyetor kepada kepala stasiun. Petugas kebersihan berseragam merah-hitam dari perusahaan alih-daya Ristra dilarang menerima tip. Mereka juga menyapu lantai peron dan gerbong pada jam-jam sepi penumpang, dan mencuci kereta bahkan hingga larut malam di Stasiun Bogor.
  • 3. Sudut Pandang/PINDAI.ORG – Kereta Sudah Bukan untuk Kami / 27 April 2015 H a l a m a n 3 | 7 Sebagian toilet mudah diakses. Sebagian lain terletak di sudut-sudut yang jauh dari peron sehingga penumpang harus jalan berputar, menyeberang perlintasan rel. Di Stasiun Bogor, penumpang yang masuk di pintu selatan harus menyeberangi rel Jalur 1 untuk ke toilet di ujung bangunan stasiun lama yang kini banyak kiosnya disewakan untuk kepentingan komersial. Di Stasiun Cikini hingga Mangga Besar, penumpang harus turun melewati lantai berundak dari peron di lantai tiga ke toilet di lantai dua, lalu keluar pintu masuk dan menempelkan kembali tiket mereka, bahkan seandainya mereka sudah terkencing-kencing di celana. Siksaan macam itu melengkapi usaha penumpang mencapai peron di Stasiun Bogor. Mereka bisa keluar- masuk ke areal stasiun, setelah berputar sejauh kurang-lebih satu kilometer. Melintasi taman-taman yang dibuat untuk ornamen keindahan yang terlepas dari realitas, berjalan di atas koridor tanpa atap dan lantai yang licin bila hujan. Tak ada koridor untuk penyandang cacat. Satpam dan marinir yang berjaga juga akan mengabaikan para orang tua atau ibu-ibu hamil yang kesulitan menapak tangga peron setinggi semeter. Keadaan yang kurang-lebih sama bisa dijumpai di Stasiun Pasar Senen: loket-loket KRL dengan ruang antre yang sempit, diletakkan di sudut paling ujung, jauh dari pintu keluar-masuk stasiun. Tak ada lagi pedagang kaki lima. Tak ada lagi kios-kios buku seperti yang pernah ada di Stasiun Universitas Indonesia. Tak ada pedagang lontong sayur dan penjual kopi di Stasiun Manggarai. Ibu-ibu yang biasa menjulurkan bungkusan gorengan dari balik pagar Stasiun Cawang atau Tebet untuk sarapan pegawai-pegawai perempuan yang tergesa-gesa—tak terdengar lagi teriakannya. Di Stasiun Pasar Minggu, laki-laki tua penjual kacamata baca sudah lama menghilang. Tukang servis blender di Stasiun Lenteng Agung, entah di mana kini membuka kios. Sebagai gantinya, di ujung-ujung peron dibangun minimarket: Indomaret atau Alfamart. Gerai Roti Boy dan Dunkin Donuts berjajar di Stasiun Bogor menempati bangunan tua stasiun. Kios Starbucks di Stasiun Kota menyambut penumpang yang kelelahan dan kebingungan: apa beda rasa kopi di warung kopi bermerek itu dengan kopi-kopi yang dulu dijajakan anak-anak muda dari Kuningan, Jawa Barat, kepada penumpang di dalam kereta. Di peron, penumpang dipersilakan duduk di bangku yang terbuat dari potongan rel. Bila musim hujan, bangku panjang itu terasa dingin di pantat, dan menyengat bila musim kemarau. Lantai peron adalah lantai yang berlubang. Di Stasiun Bojong Gede, lubang-lubang itu dipenuhi air hujan yang mengucur deras dari atap peron yang berbentuk V. Di Stasiun Gondangdia, Juanda dan seterusnya, lantai ubin stasiun ditambal seadanya. Di Stasiun Cilebut, sebagian peron tidak beratap. Sementara peron di enam jalur Stasiun Bogor, seluruhnya bahkan tak beratap. Bila sedang hujan atau terik, peron-peron itu penuh dengan penumpang berpayung.
  • 4. Sudut Pandang/PINDAI.ORG – Kereta Sudah Bukan untuk Kami / 27 April 2015 H a l a m a n 4 | 7 Lalu turunlah di Stasiun Depok Baru. Tak ada lagi gelandangan dan pengamen yang biasa memenuhi peron. Namun, di areal stasiun sebelah timur, terlihat beberapa kolam pemancingan dan gubuk-gubuk reot dipenuhi pemancing. Menyusuri rel dari stasiun ini menuju ke Stasiun Pondok Cina, mata disergap bangunan kios pasar dan gunungan sampah yang menjorok hingga ke rel. Lebih setengah juta penumpang setiap hari melintasi Stasiun Bogor-Kota dan stasiun-stasiun KRL di Jakarta dan sekitarnya. Di pagi hari, mereka adalah penumpang yang wangi, menenteng ransel atau tas warna-warni, menyuntuki perangkat komunikasi dengan kabel-kabel menjuntai sejak sebelum naik ke kereta. Menjelang petang, mereka adalah penumpang yang kelelahan. Tidak ada lagi bapak-bapak penjual jambu dan daun pisang dari Bogor yang berhenti di Stasiun Pasar Minggu. Tidak ada lagi penjual kembang taman yang biasa turun di Stasiun Pancasila atau Lenteng Agung. Tidak ada lagi penjual kursi bambu dari Cilebut. KRL sudah bukan angkutan untuk mereka lagi. NAIK KRL DI JAKARTA yang banyak dipuji orang sebagai angkutan yang kini mulai nyaman, telah mengubur ingatan banyak penumpang bahwa jalur dari kereta yang mereka tumpangi, dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda justru bukan hanya untuk mengangkut manusia. Melainkan juga mengangkut palawija, hasil kebun, dan ternak dari wilayah di sekitar Jakarta. Sejak jalur kereta di wilayah ini dibuat kali pertama oleh Staats Spoorwegen pada 1923 dan mulai dipergunakan dua tahun kemudian, pemerintah Hindia Belanda bermaksud memudahkan pengangkutan hasil perkebunan semisal kopi dan tembakau, dan karena itu jalur pertama dibuat dari Jatinegara (dulu bernama Meester Cornelis) ke Stasiun Tanjung Priok (pelabuhan). Jalur itu kemudian diperluas hingga melingkari Jakarta; semuanya bermuara di Stasiun Tanjung Priok. Ditarik dari Bogor, Bekasi, Tangerang, bahkan hingga Rangkasbitung. Setelah Proklamasi 1945, Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia tidak pernah mampu menambah jalur dan pelayanan kereta. Beberapa jalur kereta bahkan dimatikan, dan yang baru dibuka kembali adalah rute ke Stasiun Tanjung Priok. Hingga Orde Baru, seluruh manajemen kereta di bawah kendali PJKA yang berubah nama jadi PT KAI. Menyusul ledakan penumpang di Jakarta dan sekitarnya, pengelolaan KRL lalu diserahkan kepada PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ). Perusahaan yang disebut terakhir, semula mengelola 37 rute kereta di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Tahun 2011, rute-rute itu disederhanakan dan hanya menjadi lima rute
  • 5. Sudut Pandang/PINDAI.ORG – Kereta Sudah Bukan untuk Kami / 27 April 2015 H a l a m a n 5 | 7 dengan antara lain menghapus KRL cepat, menerapkan gerbong khusus wanita, dan mengubah nama KRL menjadi Kereta Commuter—sekali lagi memakai istilah bahasa Inggris. Manajemen KRL di Jakarta dan sekitarnya, kata orang-orang, mengalami revolusi. Namun kereta yang dipergunakan adalah evolusi: bagian dari kereta masa lalu yang sebagian besar, untuk tidak menyebut seluruhnya, adalah kereta bekas; sedekah dari Jepang. Jepang punya kepentingan untuk memberi banyak kereta bekas, agar industri otomotif mereka terus menerima keuntungan langsung dari pesatnya perkembangan infrastruktur jalan raya yang lebih banyak lagi dibiayai oleh Tokyo termasuk dengan memberi utangan pada Jakarta. Sedekah KRL dari Jepang sekaligus mengakhiri rezim kereta yang seharusnya disediakan oleh negara. Ia mengubah sejarah KRL yang awal kisahnya banyak menggunakan kereta dari Belanda, Jerman dan Swiss, seperti lokomotif listrik seri 3000 buatan pabrik Swiss Locomotive & Machine Works–Brown Baverie Cie, atau lokomotif listrik seri 3100 buatan pabrik Allgemeine Elektricitäts-Gesellschaft Jerman. Pemerintah untuk kali pertama mendatangkan KRL bekas Jepang untuk kelas ekonomi sebanyak 56 unit pada awal 1976, atau dua tahun setelah kerusuhan yang dikenal Malari (‘Malapetaka 15 Januari’) yang menolak kedatangan PM Jepang Kakuei Tanaka dan investasi asing. Kedatangan KRL jenis reostastik, untuk mengganti armada lokomotif listrik dan kereta kayu itu, dipakai melayani rute Jakarta-Bogor, Jakarta-Bekasi, Tenabang-Serpong dan Jakarta-Tangerang. Setahun setelah reformasi, gelombang besar KRL bekas Jepang datang di Pelabuhan Tanjung Priok. Pemerintah Kota Tokyo memberikan 72 unit KRL berpendingan udara dari bekas Biro Transportasi Pemerintah Daerah Tōkyō (Tōei). Sejak itu, Jakarta punya KRL ber-AC, dan gelombang kereta bekas dari Jepang terus berdatangan kendati, di sisi lain, mobil dan sepedamotor jauh lebih banyak diproduksi dan dipasarkan di sini. Kereta-kereta yang telah berumur 30 tahun itu diperbaiki di depo Bogor atau Jatinegara. Pendingin udaranya yang sudah tersumbat dibetulkan. Kaca-kacanya yang kusam dibersihkan. Dan sambungan rangkaiannya yang berderit bila kereta berjalan mengingatkan bunyi bangku-bangku bambu yang hendak ambruk. Cerita sampirannya: meski hibah atau hadiah dari Jepang, kereta-kereta itu telah memunculkan dugaan korupsi dan menyeret nama Hatta Rajasa. Ada 11 jenis seri KRL bekas termasuk dari East Japan Railway Company (JR East)—berputar di lintasan rel di Jakarta dan sekitarnya. Paling baru adalah KRL seri 205 yang dioperasikan sejak Mei 2014. Kereta jenis ini pernah digunakan di Yokohama dan dulunya dioperasikan oleh Depo Kamakura. Seri yang sama, setahun sebelumnya, didatangkan dari bekas JR East yang pernah beroperasi di jalur Saikyo. Adapun KRL buatan PT. INKA dioperasikan ke kota-kota lain menjadi KRD, kereta diesel.
  • 6. Sudut Pandang/PINDAI.ORG – Kereta Sudah Bukan untuk Kami / 27 April 2015 H a l a m a n 6 | 7 Apa yang disebut ‘revolusi’ itu berlanjut ke ‘renovasi’ stasiun dan KRL, penataan ulang keberangkatan, dan pembaruan peron dan halaman stasiun. Sejak Juli 2013, KCJ menerapkan sistem Commet dan perubahan sistem tarif kereta. Stasiun menjadi steril, kendati untuk semua itu, diperlukan ratusan satpam dan marinir yang menganggur, yang berjaga dari ujung ke ujung setiap stasiun. Ada yang membunuh waktu dengan memencet-mencet ponsel, ada yang melamun bersandar di pagar, ada yang bergaya dengan handy talky. Sebagian dari mereka berjaga di perlintasan rel di areal beberapa stasiun, meniup peluit yang bunyinya menjerit-jerit seperti mengabarkan suatu keadaan gawat. Mereka sigap berlari memukuli penumpang yang dituduh mencopet, membentak penumpang yang kehilangan tiket, atau dengan galak menegur penumpang yang ketahuan merokok bahkan jika itu dilakukan di peron paling ujung yang tidak beratap, seperti di Stasiun Bogor atau Cilebut. Papan nama atau stiker bertuliskan “Dilarang Merokok,” dengan gambar dua garis lurus yang di ujungnya ada garis melengkung—simbol rokok berasap—dipalang dengan warna merah, dipasang atau ditempelkan di pagar-pagar, tembok, dan tiang-tiang listrik. Peron seakan telah berubah jadi bangsal-bangsal rumahsakit atau Puskesmas. Sementara para satpam ceking yang mengenakan penutup kepala mirip topi baja yang kedodoran dan marinir yang berseragam tempur berlagak perawat dan dokter. Tak ada ruang yang disediakan bagi perokok meski hal itu adalah amanat undang-undang. Tak ada “Smoking Area” sekalipun hanya berupa tempat paling ujung di peron stasiun-stasiun yang terbuka seperti yang bisa dijumpai di bandara termasuk di Changi, Singapura. Merokok di stasiun dianggap sebagai perilaku haram dan perbuatan ilegal. Perokok dianggap pengganggu. Di Stasiun Bogor, para satpam dan marinir yang kelelahan, biasa mengaso dan menyelipkan badan mereka di antara peron dan KRL atau duduk di sekitar toilet, hanya sekadar untuk minum kopi dan merokok, di antara anak-anak muda petugas kebersihan yang kelelahan membersihkan kereta. Bila ada penumpang yang mencoba ikut merokok, mereka akan segera meletakkan rokok, dan sigap berdiri untuk melarang hanya dengan penjelasan singkat, seolah sudah diprogram, “Dilarang merokok di seluruh areal stasiun.” Ignatius Jonan, mantan direktur utama PT KAI dan kini menteri perhubungan, berhasil menanamkan kepercayaan sinting: stasiun bukan tempat merokok, kendati kios-kios minimarket di hampir setiap stasiun (dan membayar sewa), menjual rokok. Keputusannya yang membuat seluruh kawasan stasiun steril dari asap rokok hanya didasari oleh perda. Namun mengabaikan ketentuan undang-undang yang lebih tinggi yang mewajibkan setiap kawasan tanpa rokok termasuk stasiun harus menyediakan tempat khusus untuk merokok atau perokok.
  • 7. Sudut Pandang/PINDAI.ORG – Kereta Sudah Bukan untuk Kami / 27 April 2015 H a l a m a n 7 | 7 Jonan telah menempatkan PT KAI seperti peserta kampanye anti-rokok, dan Jonan yang perokok berat memakai alasan bahwa asap rokok mengganggu kenyamanan penumpang yang tidak merokok. Dan dari balik kaca kereta yang dilapisi aneka reklame, para penumpang menyaksikan banyak bangunan liar yang dirubuhkan. Teronggok di tepi rel seperti sisa-sisa runtuhan bangunan akibat perang. Tambahan lagi: pedagang kaki lima adalah bakteri yang harus dimatikan. Para penumpang yang berdiri dan berdesakan setiap pagi dan petang di dalam gerbong, mematung dengan wajah kesepian. Di deretan tempat duduk, bapak-bapak dan anak-anak muda menutup mulut dan mata, membiarkan ibu-ibu tua bergelantungan di depan mereka. Di ujung rangkaian, yang tempat duduknya diperuntukkan penumpang tak berdaya, sesak dengan laki-laki dan perempuan yang sibuk memainkan ponsel mereka. Tak ada yang menegur. Semua penumpang sibuk dengan urusan dan khayalan masing-masing, seolah mereka menikmati angkutan yang akan membawa mereka ke Tanah Penuh Harapan. Mereka disuguhi iklan-iklan yang ditempel di dalam dan di luar gerbong, dan di layar LCD yang kaku. Kereta api telah berubah menjadi alat menangguk untung paling efektif dan penumpang terus dipaksa bermimpi. Turun di Stasiun Cilebut, Anda akan menyaksikan para pembuat kursi bambu seperti Pak Agun antre menunggu truk yang bersedia mengangkut mereka ke Jakarta. Dia terpaksa beralih menumpang truk, dan tentu saja harus membayar ongkos lebih mahal ketimbang ongkos naik KRL. Turun di Depok, dia berjalan hingga Lenteng Agung, memikul kursi bambu yang dibuat bersama anaknya. Matanya bersaput peluh. Di bibir Stasiun Citayam, Pak Jum penjual rumput terpaksa menumpang ojek hingga Stasiun UI, lalu memikul dua karung rumput dan aneka bunga, melangkahkan kaki menyusuri jalan penuh asap knalpot ke Srengsengsawah atau Jagakarsa. “Kereta di Jakarta sudah bukan untuk kami lagi,” kata Pak Jum.[] --- Rusdi Mathari, wartawan dan penulis, tinggal di Jakarta. Blog: www.rusdimathari.wordpress.com Twitter: @rusdirusdi