2. JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2014, Volume 2 (2), 193-203
194
lah mulai dari teguran lisan sampai dengan
membuat perjanjian dengan wali kelasnya. Na-
mun, metode tersebut tampaknya belum cukup
efektif untuk menekan jumlah siswa terlambat.
Terbukti, kasus tersebut terus saja terjadi se-
tiap hari. Beberapa siswa bahkan tetap saja
datang terlambat meskipun sudah beberapa
kali diberikan peringatan.
Untuk itu, diperlukan strategi baru untuk
menangani permasalahan tersebut, dalam hal
ini, pihak sekolah harus melibatkan pihak ke-
luarga. Hal ini sejalan dengan pendapat Terry
(2002), Canfield et al., (2004), Rayburn (2004),
Bryan (2005), dan Kean-Davis (2005), bahwa
penanganan siswa bermasalah bukan tang-
gung jawab sekolah semata, tetapi juga meru-
pakan tanggung jawab bersama antara sekolah
dan keluarga. Terkait dengan hal tersebut,
maka salah satu metode layanan yang dapat
diberikan kepada siswa terlambat adalah kon-
seling keluarga. Menurut Deslandes (2001),
Carter (2008), Carter & Perluss (2008), dan
Glass et al., (2010), pelibatan keluarga dalam
penanganan siswa bermasalah merupakan
bentuk kolaborasi konselor sekolah dengan
pihak keluarga sebagai sebuah sistem.
Pemilihan konseling keluarga sebagai
strategi penanganan siswa terlambat didasari
beberapa pertimbangan, diantaranya: 1) per-
tama, relasi orang tua-anak merupakan salah
satu subsistem yang terdapat dalam sistem
keluarga (McLeod, 2010; Sri Lestari, 2012); 2)
kedua, keterlambatan siswa datang ke sekolah
tidak semata-mata disebabkan oleh kelalaian
siswa tetapi orang tua juga ikut berperan ka-
rena merekalah yang mengantar anaknya ke
sekolah; 3) ketiga, keluarga memiliki kekuatan
untuk mendorong/menghambat usaha yang
telah dilakukan oleh konselor/guru BK (Lati-
pun, 2011); 4) keempat, penanganan siswa ter-
lambat secara kolaboratif antara konselor dan
orang tua diyakini akan lebih efektif dibanding-
kan jika dilakukan oleh konselor secara sepi-
hak, karena orang tua merupakan guru per-
tama siswa, sehingga pelibatannya diharapkan
akan meningkatkan partisipasi siswa dalam
program di sekolah (Hara & Burke, 1998;
Kahraman & Derman, 2012); 5) kelima, hasil
belajar siswa di sekolah lebih banyak dipen-
garuhi oleh permasalahan di rumah daripada
permasalahan yang dihadapinya di sekolah
(Hinkle & Wells, 1995). Diharapkan, pelibatan
orang tua di sekolah secara nyata dapat men-
ingkatkan akselerasi dan keseimbangan hasil
belajar siswa (Hara & Burke, 1998).
Beberapa ahli telah mempublikasikan
hasil penelitian terdahulu, yang berkaitan den-
gan penerapan konseling keluarga dalam me-
nangani siswa bermasalah di sekolah melalui
pola School-Based Family Conseling. Namun,
karena merupakan topik baru, sehingga pub-
likasinya masih terbatas dan kajiannya hanya
baru dilakukan di beberapa negara. Publikasi
beberapa artikel dan hasil penelitian terdahulu
menunjukkan bahwa pola tersebut telah di-
lakukan di Afrika Selatan (Marchetti-Mercer,
2008), di Selandia Baru (Evert, 2008; Smith,
2011; Smith, 2012); di Australia (Reupert &
Maybery, 2010); di Macao (van Schalkwyk,
2011), dan di Amerika Serikat (Morroti, 2010;
Sung, 2012; Tisone & Godell, 2012).
Berdasarkan informasi yang peneliti per-
oleh dari Guru BK di MTsN 1 Mataram, diketa-
hui bahwa pola penanganan seperti ini meru-
pakan sesuatu yang baru dan belum pernah
dilakukan sebelumnya. Oleh karena itu, tu-
juan penelitian ini adalah: untuk mengetahui
peningkatan kemampuan siswa menyesuaikan
waktu dengan tata tertib sekolah setelah per-
lakuan konseling keluarga, dan mengetahui
peningkatan ketepatan siswa datang ke se-
kolah setelah konseling keluarga.
Tinjauan Pustaka
Disiplin diartikan sebagai kesadaran untuk mel-
akukan sesuatu pekerjaan dengan tertib dan
teratur sesuai dengan peraturan yang berlaku
dengan penuh tanggung jawab tanpa paksaan
dari siapapun (Mas’udi, 2000; Sumarno, 2008).
Apabila peraturan tersebut diberlakukan di se-
kolah berarti kedisiplinan dimaksudkan seba-
gai perilaku dalam mentaati aturan yang ber-
laku di sekolah (Murdiono, 2010).
Berdasarkan batasan di atas, maka makna
disiplin dalam penelitian ini difokuskan seba-
gai kesadaran siswa MTs 1 Mataram dalam
mentaati tata tertib sekolah, khususnya terkait
dengan jam datang ke sekolah dengan penuh
tanggung jawab. Kesadaran tersebut diharap-
kan tumbuh sebagai dorongan dari dalam diri
siswa tanpa paksaan, sehingga dalam pelak-
sanaannya mereka tidak merasa terbebani.
Pembentukan sikap disiplin ditentukan
oleh tujuh syarat, tiga diantaranya yaitu ke-
sadaran diri, tersedianya tata tertib/peratu-
ran, dan adanya sanksi/hukuman (Sumarno,
2008). Oleh karena itu, ciri-ciri siswa yang
disiplin, antara lain dapat dikaji dari aspek
ketaatan terhadap tata tertib dan bentuk tang-
gung jawabnya dalam menjalankan sanksi jika
melakukan pelanggaran. Ketaatan terhadap
tata tertib sekolah, antara lain ditunjukkan
dengan dijalankannya peraturan tersebut atas
3. JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2014, Volume 2 (2), 193-203
195
dasar kesadaran sendiri dan dirasakan seba-
gai suatu kebutuhan. Jika diberikan sanksi,
akan dijalankan dengan penuh rasa tanggung
jawab, tanpa paksaan dan tidak merasa terbe-
bani, serta tidak dianggap sebagai hukuman
semata, tetapi sebagai suatu bentuk pembela-
jaran dari pihak sekolah.
Tujuan penerapan disiplin adalah menum-
buhkan rasa tanggung jawab, melalui proses
pembiasaan agar siswa dapat menyesuaikam
diri dengan norma-norma yang berlaku di se-
kolah, keluarga, maupun masyarakat (Soeharto
et al, 2012). Kedisiplinan biasanya akan terkait
dengan adanya peraturan sebagai pedoman
perilaku, konsistensi dalam melaksanakan
peraturan, cara yang digunakan untuk me-
nanamkannya, dan penghargaan (reward) un-
tuk perilaku yang sejalan dengan peraturan
yang berlaku (Murdiono, 2007). Hilangnya
salah satu bagian penting dalam penanaman
kedisiplinan akan menyebabkan munculnya
sikap yang kurang menguntungkan pada diri
siswa dan akan terjadi ketidaksesuaian dengan
standar dan harapan sosial.
Melalui penanaman nilai moral kedisipli-
nan diharapkan mampu mendidik siswa un-
tuk berperilaku sesuai dengan standar yang
ditetapkan oleh kelompok sosial mereka. Den-
gan berbekal sikap disiplin yang ada pada diri
seorang siswa akan berpengaruh terhadap
aspek kepribadian siswa yang positif pada as-
pek lainnya. Kepribadian yang positif tersebut,
menurut Murdiono (2007) akan tercapai den-
gan beberapa alasan, yaitu a) aturan yang dit-
erapkan kepada siswa akan membatasi siswa
untuk bisa menahan diri dan tidak bersifat im-
pulsif; b) siswa akan belajar bahwa tidak semua
keinginannya itu selalu bisa dipenuhi, mengin-
gat apa yang menjadi keinginannya selalu ada
batasnya; c) siswa juga akan memiliki komit-
men atas apa yang dilakukannya, taat pada
aturan dan tidak bersikap semaunya sendiri.
Berdasarkan pemahaman dan alasan
tersebut, maka tujuan penerapan disiplin,
tidak hanya diarahkan untuk kepentingan
siswa, tetapi juga untuk kepentingan sekolah.
Bagi siswa, tujuannya adalah agar dalam diri
siswa terbentuk sikap disiplin. Selanjutnya,
sikap disiplin tersebut dapat diterapkan, baik
di sekolah, di rumah, maupun di lingkungan
masyarakat. Bagi sekolah, tujuannya adalah
agar kondisi sekolah menjadi kondusif seh-
ingga semua program sekolah dapat berjalan
lancar.
Faktor penyebab siswa datang terlambat
ke sekolah yang banyak terindentifikasi, di-
antaranya: tidak suka kepada gurunya (ka-
rena model pembelajarannya kurang kreatif
dan inovatif), belum siap mengikuti kegiatan
pembelajaran (belum mengerjakan PR) (Sumar-
no, 2008); jarak rumah yang jauh, terkendala
transportasi (Sudiyo, 2009); kurang suka terh-
adap pelajaran tertentu, kondisi keluarga yang
broken home (Syavanah & Naqiyah, 2010).
Dalam hal penegakan disiplin, sekolah
tidak dapat melakukannya sendiri, tetapi harus
melibatkan keluarga. Alasannya, karena kelu-
arga merupakan lembaga pertama dan utama
dalam pembentukan disiplin seorang anak. Le-
stari (2012) menyatakan bahwa pendisiplinan
yang dilakukan oleh keluarga dimaksudkan
agar anak dapat menguasai suatu kompeten-
si, melakukan pengaturan diri, dapat menaati
aturan, dan mengurangi perilaku-perilaku me-
nyimpang atau berisiko.
Pihak sekolah membutuhkan upaya yang
terus menerus untuk meningkatkan disiplin
siswa, agar secara sadar berupaya untuk me-
nyesuaikan perilakunya sendiri. Diharapkan
dengan teknik penyesuaian perilaku maka
siswa dapat menggantinya dengan perilaku
yang benar guna meningkatkan disiplin wak-
tunya (Zahrifah & Darminto, 2010). Sumarno
(2008) menyatakan bahwa ada tujuh hal yang
membentuk sikap disiplin, yaitu: kesadaran
diri, peraturan/tata tertib, alat pendidikan,
keteladanan, hukuman, lingkungan yang disi-
plin, latihan dan pembiasaan.
Aplikasi Konseling Keluarga untuk Meningkatkan Ke-
displinan Siswa
Konseling keluarga adalah pemberian kon-
seling yang bersifat khusus dan termasuk
salah satu contoh terapi sistemik, bertujuan
untuk memfasilitasi perubahan pada level sis-
tem, yakni menjadikan keluarga sebagai unit
terapi sehubungan dengan masalah yang diha-
dapi oleh anggota keluarga tersebut (McCleod,
2010; Latipun, 2011).
Tujuan konseling keluarga oleh para ahli
dirumuskan secara berbeda (Latipun, 2011).
Tujuan konseling keluarga antara lain men-
gubah struktur dalam keluarga, dengan jalan
menyusun kembali kesatuan dan menyem-
buhkan perpecahan di dalam dan di antara
anggota keluarga. Sementara itu, Ellis-Chris-
tensen (2012) menyebutkan bahwa konseling
keluarga ditujukan untuk membantu keluarga
yang anggotanya mengalami gangguan mental
atau psikis sehingga memiliki kebiasan atau
berperilaku negatif.
Tahapan pelaksanaan konseling keluarga
di sekolah mengacu pada teori yang dikemu-
4. JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2014, Volume 2 (2), 193-203
196
kakan oleh Crane (1995), dan Latipun (2011),
yakni terdiri atas empat tahapan. Keempat
tahapan tersebut adalah: (a) orang tua perlu
diberitahukan tentang perilaku-perilaku al-
ternatif, dapat dilakukan melalui tugas mem-
baca dan sesi pengajaran, (b) setelah orang tua
memperoleh pemahaman, selanjutnya konse-
lor menunjukkan kepada orang tua bagaimana
cara menerapkan ide tersebut kepada anak,
(c) selanjutnya orang tua mencoba mengimple-
mentasikan prinsip-prinsip yang telah dipela-
jarinya menggunakan situasi sesi terapi, (d)
setelah mempelajarinya dalam situasi terapi,
selanjutnya orang tua dapat mencoba mener-
apkannya di rumah. Pada tahap ini, konselor
dapat melakukan kunjungan untuk mengama-
ti kemajuan yang diperoleh.
Kondisi psikologis siswa di Sekolah Lanju-
tan Tingkat Pertama merupakan masa transisi,
baik dari lembaga pendidikan sekolah dasar
menuju SLTA, maupun dari masa perkem-
bangan anak-anak menuju remaja, maka keg-
iatan konseling yang utama adalah bagaimana
menyikapi dan membantu siswa menjalani ma-
sa-masa transisi tersebut. Gibson & Mitchell
(2011) mengemukakan beberapa kasus yang
banyak terjadi pada siswa di SLTP, diantara-
nya:
Konflik di antara teman sebaya, problem
keluarga yang mengimbas pada rasa percaya
diri, problem semangat dan harga diri, problem
lingkungan yang harus diselesaikan melalui
kerjasama dengan pihak-pihak terkait (mis-
alnya polisi, dokter, dan lain-lain), masalah ke-
sulitan belajar (menasehatkan metode belajar
tertentu), ada suasana dan atmosfir pengajaran
guru-guru yang perlu disikapi (misalnya me-
nyikapi perasaan siswa jika guru tertentu tidak
menyukainya), ada kelemahan dan batasan
fisik yang perlu dikuatkan, dan sejumlah per-
soalan yang terkait dengan persoalan ekonomi
keluarga.
Sebagai lembaga pendidikan yang mem-
bina anak didik dengan latar sosial budaya
dan psikologis yang beraneka ragam, maka
layanan konseling di sekolah diarahkan un-
tuk membantu siswa mengatasi permasalahan
yang terkait dengan masalah pribadi, sosial,
ekonomi, agama, moral, belajar, dan vokasion-
al (Willis, 2009; Latipun, 2011). Berdasarkan
uraian tersebut, dapat dipahami bahwa untuk
melakukan penyesuaian waktu anak dengan
tata tertib sekolah, diperlukan peran serta dari
keluarga. Oleh karena itu, pelibatan keluarga
dalam menangani permasalahan siswa MTs
Negeri 1 Mataram (khususnya yang terkait
dengan siswa yang datang terlambat), adalah
pendekatan yang logis karena mereka merupa-
kan bagian dari keluarga sebagai sebuah sis-
tem.
Intervensi untuk Peningkatan Displin dan Penyesuaian
Waktu Siswa
Masa transisi yang dialami siswa sekolah me-
nengah pertama ditandai oleh terjadinya gese-
kan antara sistem nilai yang coba dibangun
sendiri oleh siswa dengan norma-norma atau
peraturan yang dibuat oleh sekolah (Gibson &
Mitchell, 2011), membuat sebagian siswa MTs
menjadi terkekang dan merasa dibatasi (dia-
tur). Respon mereka terhadap penerapan tata
tertib sekolah tidak semua positif, bahkan di-
anggapnya terlalu kaku. Untuk itu, mereka
perlu diberikan layanan konseling agar dapat
memahami tujuan diberlakukannya tata tertib
sekolah.
Pemilihan konseling keluarga sebagai
strategi untuk menangani masalah siswa ter-
lambat didasari beberapa alasan utama, di-
antaranya, yaitu: (1) Keterbatasan mobilitas
anak. Usia siswa MTs yang masih di bawah
17 tahun, tidak memungkinkan mereka mem-
bawa motor sendiri karena belum dibolehkan
membuat SIM, akibatnya peran keluarga un-
tuk antar jemput ke sekolah sangat dibutuh-
kan. Oleh karena itu, terlambat tidaknya siswa
tiba di sekolah, sangat tergantung pada ketepa-
tan waktu selama proses pengantaran ke se-
kolah oleh pihak keluarga (orang tua). Dalam
hal ini, dibutuhkan pengertian orang tua un-
tuk senantiasa mengantar anaknya lebih awal
agar tidak terlambat tiba di sekolah. (2) Peran
orang tua yang sangat sentral dalam pendisi-
plinan anak, karena menurut Hansen & Cal-
lender (2005 dalam Coyne & Beckman, 2012:
109) waktu anak untuk berinteraksi di sekolah
relatif lebih singkat dibandingkan dengan
waktu yang dihabiskannya bersama orang tua
dalam keluarga. Hasil penelitian Erlendsdottir
(2010) juga menunjukkan bahwa keterlibatan
orang tua dalam pendidikan anak berpengaruh
positif terhadap prestasi belajarnya di sekolah.
Oleh karena itu, maka wajar jika orang tua
lebih banyak waktu untuk menanamkan dan
mengawasi proses pendisiplinan, termasuk pe-
nanaman nilai-nilai untuk mentaati tata tertib
sekolah. (3) Salah satu penyebab terjadinya
pelanggaran terhadap tata tertib di sekolah
adalah kurangnya dukungan dan partisipasi
orang tua dalam menangani disiplin sekolah
(Brown, 2007; Rachmawati, 2011). Oleh karena
itu, melalui pola penanganan yang kolaboratif
(family-school-collaboration), yakni dengan ber-
5. JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2014, Volume 2 (2), 193-203
197
bagi tugas dan tanggung jawab bersama orang
tua dalam menangani masalah siswa (Mul-
wanda et al., 1995; Christenson, 2002; Roffey,
2004; Hudson et al., 2005; USDE, 2009; Minke,
2010), terutama dalam hal ketepatan datang
siswa di sekolah, diharapkan dapat menekan
frekuensi keterlambatan siswa MTs.
Metode Penelitian
Desain Penelitian
Penelitian ini didesain menggunakan metode
eksperimen dengan desain perlakuan ulang.
Perlakuan yang diberikan adalah konseling
keluarga pada satu kelompok dan tanpa per-
lakuan di kelompok yang kedua.
Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah siswa yang memiliki
frekuensi terlambat ≥ 6 kali. Dari sejumlah
siswa yang terlambat, selanjutnya terpilih 7
orang siswa yang memenuhi kriteria tersebut,
dengan rincian 4 orang kelas IX dan 3 orang
kelas VIII; 5 orang laki-laki dan 2 orang pe-
rempuan.
Lama Penanganan
Lama penanganan untuk setiap siswa dibatasi
antara 2-3 kali (sekali penanganan per ming-
gu). Adapun pertimbangannya bahwa peneliti
hanya membatasi untuk menangani 1-2 orang
siswa beserta orang tuanya per hari.
Tahapan Pelaksanaan Konseling Keluarga
Tahapan pelaksanaan konseling keluarga di
sekolah mengacu pada teori yang dikemuka-
kan oleh Crane (1995), dan Latipun (2011),
yakni terdiri atas empat tahapan. Berdasarkan
teori tersebut, dan setelah menyesuaikan den-
gan kondisi yang ada di sekolah, maka tahapan
konseling keluarga yang dilakukan untuk me-
nangani kasus siswa terlambat dalam peneli-
tian ini juga dibagi menjadi 4 tahapan. Keg-
iatan yang dilakukan pada ke empat tahapan
tersebut ditunjukkan pada Tabel 2.
Kegiatan pada ke empat tahap konseling
dilakukan selama 3 kali pertemuan, dengan
alokasi waktu 90 menit untuk setiap perte-
muan. Rincian alokasi waktu adalah sebagai
berikut: 1 kali pertemuan untuk tahap 1, 1 kali
pertemuan untuk tahap 2 dan tahap 3, dan 1
kali pertemuan untuk tahap 4.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data penelitian, yaitu
menggunakan dokumentasi, observasi, dan
wawancara. Teknik dokumentasi digunakan
untuk menelusuri dan menentukan identitas
siswa yang terlambat. Data identitas siswa
diperoleh dari Guru Piket atau pun dari Wali
Kelas.
Teknik observasi digunakan untuk menga-
mati perubahan kehadiran dan perilaku siswa
di sekolah sebelum dan sesudah perlakuan.
Kegiatan observasi dilakukan selama 3 minggu
(18 hari) untuk mengetahui jam datang siswa
sebelum perlakuan. Setelah dilakukan per-
lakuan selama 2 minggu (12 hari), dilakukan
lagi observasi selama 3 minggu (18 hari) untuk
mengetahui perubahan jam datang siswa sesu-
dah perlakuan. Untuk menghindari kecurigaan
siswa (siswa tidak merasa diamati), peneliti me-
minta bantuan Satpam sekolah dan guru piket
untuk mencatat jam datang siswa responden di
sekolah selama kegiatan penelitian.
Teknik wawancara digunakan untuk mem-
peroleh informasi dari siswa tentang faktor
penyebab datang terlambat ke sekolah. Selain
itu, teknik ini juga digunakan dalam pemberian
konseling keluarga selama kegiatan penelitian.
Teknik Analisis Data
Ada 2 variabel yang diamati dalam penelitian
ini, yaitu data kemampuan penyesuaian wak-
tu siswa, dan data peningkatan kedisiplinan
siswa.
Data tentang kemampuan penyesuaian
waktu siswa dianalisis secara deskriptif, pen-
yajian data dalam bentuk tabel, ataupun grafik,
dan tidak digunakan untuk menguji hipotesis.
Muchson (2006) menyatakan bahwa ana-
lisis deskriptif hanya berupa akumulasi data
dasar dalam bentuk deskripsi, dan tidak di-
gunakan untuk mencari atau menerangkan
saling hubungan, menguji hipotesis, membuat
Tabel 1.
Identitas subjek penelitian
Siswa Kelas Jenis kelamin
Jumlah kali
terlambat
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
A.N.M.
A.P.
A.A.T.
F.H.
G.F.M.
M.N.
Z.
IX.3
IX.3
IX.4
IX.4
VIII.4
VIII.7
VIII.7
Laki-laki
Laki-laki
Laki-laki
Laki-laki
Laki-laki
Perempuan
Perempuan
6
7
6
5
8
6
7
6. JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2014, Volume 2 (2), 193-203
198
ramalan, atau melakukan penarikan kesimpu-
lan.
Untuk data tentang peningkatan kedisipli-
nan siswa, terdiri atas frekuensi siswa terlam-
bat, dan jumlah siswa terlambat. Kedua data
ini dianalisis dengan uji tanda Wilcoxon, dan
digunakan untuk menguji hipotesis.
Deskripsi Data
Faktor penyebab siswa terlambat
Faktor penyebab dan jumlah kasus berbeda
sebelum dan sesudah perlakuan. Jumlah fak-
tor penyebab dan kasus terlambat sebelum
perlakuan relatif lebih banyak, yaitu 4 dan 60,
berbanding 3 dan 6 setelah perlakuan. Terjadi
penurunan sebesar 25% terhadap faktor pe-
nyebab dan 90% terhadap jumlah kasus ter-
lambat setelah perlakuan.
Rata-rata jam datang siswa
Rata-rata jam datang siswa berbeda sebelum
dan setelah perlakuan. Terjadi peningkatan
rata-rata jam datang siswa setelah perlakuan,
baik pada masing-masing siswa responden
maupun secara keseluruhan. Rata-rata jam
datang siswa menjadi lebih awal, yakni dari
7:20 sebelum perlakuan menjadi 6:37 setelah
perlakuan. Data tersebut dapat dilihat pada ta-
bel 4.
Frekuensi siswa terlambat
Frekuensi siswa terlambat berbeda sebelum
dan setelah perlakuan. Terjadi penurunan
frekuensi siswa terlambat 10 kali, yaitu dari
total 60 kali menjadi 6 kali; atau dari rata-rata
8,57 sebelum perlakuan menjadi 0,857. setelah
perlakuan (Gambar 1). Hasil uji tanda Wilcoxon
terhadap frekuensi siswa terlambat sebelum
dan sesudah perlakuan menunjukkan bahwa
nilai J hitung adalah 0, sehingga H1 diterima.
Jumlah siswa terlambat per hari
Jumlah siswa terlambat per hari berbeda sebe-
lum dan setelah perlakuan. Jumlah siswa ter-
lambat per hari bervariasi, namun secara kes-
eluruhan terjadi penurunan setelah diberikan
perlakuan (Gambar 2). Hasil uji tanda Wilcoxon
terhadap jumlah siswa terlambat per hari se-
belum dan sesudah perlakuan menunjukkan
bahwa nilai J hitung adalah 0 sehingga H1 di-
terima.
Pengujian Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini,
yaitu “Konseling keluarga dapat meningkat-
Tabel 3.
Faktor penyebab siswa terlambat sebelum dan sesudah perlakuan
Sebelum perlakuan
Jumlah
Sesudah perlakuan
Jumlah
Telattidur
Telatbangun
Tunggupengantar
Macetdijalan
Telattidur
Telatbangun
Tunggupengantar
Macetdijalan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
A.N.M.
A.P.
A.A.T.
F.H.
G.F.M.
M.N.
Z.
4
1
4
1
1
1
4
2
5
4
4
3
4
1
3
-
-
1
3
3
2
2
2
2
2
1
11
8
9
7
8
8
9
-
-
-
-
-
-
-
1
-
-
1
1
-
-
-
-
-
-
-
-
1
1
-
-
-
1
-
-
2
0
0
1
2
0
1
Jumlah 12 26 11 11 60 - 3 1 2 6
Tabel 4.
Rata-rata jam datang siswa responden sebelum dan setelah
perlakuan
Nama siswa
Rata-rata jam datang
Sebelum
perlakuan
Setelah
perlakuan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
A.N.M.
A.P.
A.A.T.
F.H.
G.F.M.
M.N.
Z.
7:22
7:21
7:22
7:21
7:20
7:18
7:20
6:42
6:37
6:31
6:42
6:42
6:29
6:36
Rata-rata 7:20 6:37
7. JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2014, Volume 2 (2), 193-203
199
kan kedisiplinan siswa melalui peningkatan
ketepatan siswa datang di MTsN. 1 Mataram
tahun pelajaran 2013/2014”. Ada 2 indikator
yang dianalisis terkait dengan hipotesis ini,
yaitu frekuensi siswa terlambat, dan jumlah
siswa terlambat per hari.
a. Hasil analisis terhadap frekuensi siswa ter-
lambat, menunjukkan bahwa nilai J hitung
(0) lebih kecil dari nilai J tabel (2); sehingga
Ho ditolak, dan Ha diterima. Artinya frek-
uensi siswa terlambat sebelum dan setelah
perlakuan berbeda nyata.
b. Hasil analisis terhadap jumlah siswa
terlambat per hari, menunjukkan bahwa nilai
J hitung (0) lebih kecil dari nilai J tabel (40);
sehingga Ho ditolak, dan Ha diterima. Artinya
jumlah siswa terlambat per hari sebelum dan
setelah perlakuan berbeda nyata.
Berdasarkan hasil analisis kedua indika-
tor tersebut, maka hipotesis yang menyatakan
bahwa konseling keluarga dapat meningkatkan
kedisiplinan siswa melalui peningkatan ketepa-
tan siswa datang di sekolah dapat diterima.
Pembahasan
Secara umum, hasil analisis data menunjuk-
kan bahwa penanganan dengan konseling
keluarga dapat meningkatkan kemampuan
siswa menyesuaikan waktu dengan tata tert-
ib sekolah. Peningkatan ini ditunjukkan oleh
berkurangnya faktor penyebab siswa terlam-
bat, dan berkurangnya kasus terlambat. Se-
lain itu, konseling keluarga juga dapat men-
ingkatkan ketepatan siswa datang ke sekolah.
Hal ini ditunjukkan oleh berkurangnya frekue-
nsi siswa terlambat, dan berkurangnya jumlah
siswa terlambat per hari.
Penanganan dengan konseling keluarga
dapat mengurangi jumlah faktor penyebab
terlambat dan jumlah kasus terlambat. Jum-
lah faktor penyebab dan jumlah kasus terlam-
bat sebelum perlakuan dari semula 4 dan 60,
masing-masing berkurang menjadi 3 dan 6
setelah perlakuan. Melalui konseling keluarga,
diperoleh informasi, baik dari siswa responden
maupun orang tua, bahwa penyebab terlambat
sebelum perlakuan didominasi oleh faktor in-
ternal keluarga (berasal dari dalam diri siswa
dan keluarganya). Dari empat faktor penyebab
keterlambatan, 3 diantaranya merupakan fak-
tor internal, yaitu telat tidur 12 kasus (20,00%),
telat bangun 26 kasus (43,33%), dan tunggu
pengantar 11 kasus (18,33%), sedangkan ma-
cet di jalan yang merupakan faktor eksternal
sebanyak 11 kasus (18,33%).
Berdasarkan hasil analisis terhadap faktor
penyebab, maka siswa dan orang tua menya-
dari bahwa penyebab utama kasus keterlam-
batan adalah telat tidur, telat bangun, dan
menunggu pengantar. Oleh karena itu, solus-
inya adalah dilakukan penanganan intensif
terhadap ketiga faktor penyebab tersebut. Hal
ini didasari asumsi bahwa terjadinya kasus
macet di jalan merupakan dampak langsung
dari ketiganya.
Telat tidur dan telat bangun merupakan
dua faktor penyebab yang dominan. Kedu-
anya, merupakan penyumbang terbesar, ka-
Gambar 1. Frekuensi siswa terlambat sebelum dan sesudah konseling keluarga
Tabel 4.
Rata-rata jam datang siswa responden sebelum dan
setelah perlakuan
No. Nama siswa
Rata-rata jam datang
Sebelum
perlakuan
Setelah
perlakuan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
A.N.M.
A.P.
A.A.T.
F.H.
G.F.M.
M.N.
Z.
7:22
7:21
7:22
7:21
7:20
7:18
7:20
6:42
6:37
6:31
6:42
6:42
6:29
6:36
Rata-rata 7:20 6:37
8. JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2014, Volume 2 (2), 193-203
200
rena perannya lebih dari setengah (38 kasus)
atau 63,33% sebagai penyebab keterlam-
batan siswa. Menurut informasi dari siswa
responden, bahwa mereka telat tidur bukan
karena kegiatan belajar, tetapi karena kegia-
tan non akademik, misalnya main PS, inter-
netan, dan menonton sepakbola. Terjadinya
kasus telat tidur, dengan kegiatan yang tidak
produktif, menunjukkan lemahnya penga-
wasan orang tua, padahal tidur larut malam
bagi anak, berarti akan memotong sebagian
waktu yang seharusnya digunakan otak untuk
istirahat. Menurut Amelia (2013) waktu tidur
terbaik untuk usia remaja antara pukul 9-12
malam, dengan asumsi tidur 7 jam, maka akan
terbangun pukul 4-5 pagi. Jika kurang, akan
berdampak terhadap berkurangnya konsentra-
si, kewaspadaan, penalaran, dan kemampuan
menganalisis masalah.
Solusi penanganan yang dilakukan orang
tua adalah mengatur pola tidur anak, melalui
pembiasaan waktu tidur yang teratur. Peng-
aturan ini, dilakukan dengan mempercepat
waktu tidur dan mencukupi kebutuhan istira-
hat harian sehingga siswa tidak merasa terlalu
berat saat akan bangun dan tidak mengantuk
di sekolah. Caranya, dengan mengurangi ak-
tivitas non akademik, dan menjadwalkan tidur
di siang hari.
Penanganan terhadap kasus telat tidur
dan telat bangun saja, tidak cukup tanpa dii-
kuti oleh penanganan terhadap kasus men-
unggu pengantar. Alasannya, anak yang sudah
siap sejak pagi, tidak serta merta dapat lang-
sung berangkat, karena harus menunggu lagi
kesiapan pihak pengantar (orang tua/anggota
keluarga yang lain) yang akan mengantarnya
ke sekolah. Di sini juga masih sering terken-
dala, karena orang tua yang akan mengantar
masih menyesuaikan waktu dengan jadwal
keberangkatannya ke kantor. Jika kakaknya
yang mengantar, mereka menyesuaikan waktu
dengan jadwalnya di sekolah/kampus. Lebih
berisiko lagi untuk terlambat, jika yang akan
diantar lebih dari satu orang dengan lokasi se-
kolah yang berbeda.
Waktu keberangkatan siswa dari rumah
yang lebih awal, menghindarkan siswa dari
risiko macet, karena suasana jalan masih sepi
dan lancar, sehingga siswa lebih cepat sampai
di sekolah. Macet biasanya akan terjadi pada
jam-jam sibuk, yaitu saat karyawan masuk ke
kantor dan siswa berangkat ke sekolah. Oleh
karena itu, pilihan orang tua untuk berangkat
lebih awal merupakan salah satu solusi men-
gatasi permasalahan keterlambatan siswa. Ini
membuktikan bahwa peran aktif orang tua
dapat membantu siswa dalam mengatasi per-
masalahan yang berkaitan dengan jam datang
mereka di sekolah. Hal ini sesuai dengan pern-
yataan Brown (2007), dan Rachmawati (2011)
bahwa salah satu penyebab terjadinya pelang-
garan terhadap tata tertib di sekolah adalah
kurangnya dukungan dan partisipasi orang tua
dalam menangani disiplin sekolah. Kusdiyati
et al., (2011) juga mengemukakan bahwa ke-
mampuan siswa menerima tata tertib sekolah,
salah satunya dipengaruhi oleh lingkungan di
rumah, terutama pola asuh orang tua.
Menurunnya frekuensi siswa terlambat
merupakan indikasi terbinanya kerjasama
yang baik antara siswa, orang tua dan pihak
sekolah. Sebelumnya, orang tua kurang men-
gawasi aktivitas anak, sehingga berdampak
kurang baik terhadap kegiatan pembelajaran
di sekolah, maka dengan perlakuan konseling
keluarga, mereka mulai menyadari sekaligus
melakukan bimbingan dan pengawasan terkait
dengan aktivitas belajar, bermain, dan jadwal
tidur anak. Hal tersebut, direspon positif oleh
anak, karena terpenuhinya kebutuhan psikis
mereka, dalam hal perhatian, kasih sayang,
arahan, dorongan, dan penumbuhan rasa
percaya diri. Dampaknya, anak mulai dapat
menyesuaikan aktivitasnya dengan tuntu-
tan pemenuhan terhadap kebutuhan pribadi,
harapan orang tua, dan tuntutan tata tertib se-
kolah. Di sinilah pentingnya keterlibatan orang
tua, karena selain mencukupi kebutuhan fisik
(fasilitas pembelajaran), mereka juga berke-
wajiban memberikan dukungan moral. Baik
dukungan fisik maupun moral, keduanya san-
gat menentukan kelancaran aktivitas pemb-
elajaran anak di sekolah. Hal ini menguatkan
pernyataan Kahraman & Derman (2012) bahwa
orang tua merupakan guru pertama siswa, se-
hingga menurut Carter & Perluss (2008), dan
Glass et al., (2010), apabila dilibatkan secara
kolaboratif dalam menangani permasalahan
siswa di sekolah, maka akan dapat meningkat-
kan akselerasi dan keseimbangan hasil belajar
siswa.
Berkurangnya jumlah siswa terlambat per
hari menunjukkan betapa pentingnya keter-
libatan orang tua dalam proses pembiasaan
disiplin anak. Jika sebelumnya, perhatian
orang tua tidak terlalu fokus terhadap jadwal
keberangkatan anak ke sekolah, maka dengan
konseling keluarga, orang tua menjadi semak-
in peduli. Komunikasi di antara mereka juga
menjadi lebih intens. Artinya, terjadi pening-
katan harmonisasi hubungan antara orang tua
dan anak. Dengan adanya perhatian dan ter-
penuhinya kebutuhan belajar dari orang tua,
9. JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2014, Volume 2 (2), 193-203
201
maka motivasi siswa dalam melaksanakan
kegiatan pembelajaran di sekolah akan me-
ningkat. Fakta ini membuktikan bahwa peran
orang tua sangat sentral dalam pendisiplinan
anak. Hal ini wajar, karena menurut Hansen
& Callender (2005 dalam Coyne & Beckman,
2012: 109) bahwa waktu anak untuk berinter-
aksi di sekolah relatif lebih singkat dibanding-
kan dengan waktu bersama orang tua dalam
keluarga.
Secara keseluruhan dapat dijelaskan
bahwa layanan konseling keluarga melalui
pengaturan pola tidur yang diikuti dengan jad-
wal pengantaran yang lebih awal merupakan
langkah solutif dalam mengatasi permasalah-
an keterlambatan siswa di MTsN 1 Mataram.
Solusi tersebut, berdampak secara langsung
terhadap berkurangnya faktor penyebab keter-
lambatan siswa, dan meningkatnya rata-rata
jam datang siswa, serta berkurangnya secara
nyata frekuensi, dan jumlah siswa terlambat
per hari.
Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pemba-
hasan, disimpulkan: Konseling keluarga dapat
meningkatkan kemampuan siswa menyesuai-
kan waktu dengan tata tertib sekolah. Hal ini
ditunjukkan oleh berkurangnya faktor pe-
nyebab terlambat dan kasus terlambat, serta
lebih cepatnya rata-rata jam datang siswa,
dan Konseling keluarga dapat meningkatkan
ketepatan siswa datang ke sekolah. Hal ini di-
tunjukkan oleh berkurangnya frekuensi siswa
terlambat dan jumlah siswa terlambat per hari.
Daftar Pustaka
Amelia, M., (2013). Waktu Tidur yang Sehat Bagi
Remaja dan Dewasa. Diakses 15 Desember
2013 dari http://id.omg.yahoo.com/news/
pacaran-beda-agama-franda-dan-bisma-saling-
menghormati-181400592.html.
Brown, T. M., (2007). Lost and turned out: academic,
social, and emotional experiences of students
excluded from school. Urban Education, 42 (5),
432-455.
Bryan, J., (2005). Fostering educational resilience
and achievement in urban schools through
school-family-community partnerships. Profes-
sional School Counseling, 8 (3), 219-227.
Canfield, B. S., Ballard, M. B., Osmon, B. C. & Mc-
Cune, C., (2004). School and family counselors
work together to reduce fighting at school. Pro-
fessional School Counseling, 8 (1), 40-46.
Carter, M. J. & Evans, W. P., (2008). Implementing
school-based family counseling: strategies, ac-
tivities, and process considerations. Internation-
al Journal for School-Based Family Counseling,
1 (1), 1-21.
Carter, M. J. & Perluss, E., (2008). Development in
training school-based family counselors: The
school-based family counseling (SBFC) Gradu-
ate Program at California State University, Los
Angeles. International Journal for School-Based
Family Counseling, 1 (1), 49-56.
Carter, M. J., (2011). The School-Based Family
Counseling Symposium: A happy union and
the 7-year itch. International Journal for School-
Based Family Counseling, 3, 1-6.
Carter, M. J., Evans, W. P., Zapata, J. & Taifa, A.,
(2011). School-Based Family Counseling Evalu-
ation: warm feelings, perilous paradigms & em-
pirical hopes. International Journal for School-
Based Family Counseling, 3, 1-11.
Christenson, S. L., (2002). Collaborative family-
school relationship for children’s learning: belief
and practices. Virginia Department of Educa-
tion.
Coyne, R. & Beckman, T. O., (2012). Loss of parent
by death: determining student impact. Interna-
tional Journal of Psychology: A Biopsychosocial
Approach, 10, 109-123.
Crane, D. R., (1995). Introduction to behavioral fam-
ily therapy for family with young children. Jour-
nal of Family Therapy, 17, 229-242.
Depdikbud, (1991). Kamus Besar Bahasa Indone-
sia. Jakarta: Balai Pustaka.
Deslandes, R., (2001). A vision of home-school
partnership: three complementary conceptual
frameworks. Paper was presented at the ER-
NAPE Conference 2001 and published in the
proceedings: “A Bridge to the Future - Collabo-
ration between Parents, Schools and Communi-
ties” (2001) ed. F. Smit, K. van der Wolf & P.
Sleegers. ITS Stichting Katholieke Universiteit
to Nijmegen NL. Its accessible online at http://
www.its.kun.nl/web/publikaties/pdf-files/rap-
porten/aBridgetothefuture.pdf
Erlendsdottir, G., (2010). Effect of parental involve-
ment in education: a case study in Namibia.
M.Ed. thesis, Faculty of Education Studies, Uni-
versity of Iceland.
Everts, H., (2008). Integrating supportive care in
schools with the enhancement of family resil-
ience-a New Zealand project for immigrant fami-
lies. International Journal for School-Based Fam-
ily Counseling, 1 (1), 1-13.
Gerrad, B., (2008). School-based family counseling:
overview, trends, and recommendations for fu-
ture research. International Journal for School-
Based Family Counseling, 1 (1), 6-24.
10. JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2014, Volume 2 (2), 193-203
202
Gibson, R. L. & Mitchell, M. H., (2011). Bimbingan
dan konseling (terjemahan oleh Santoso, Y.). Yo-
gyakarta: Pustaka Pelajar.
Glass, J. S. & Dotson-Blake, K. P., (2010). Adven-
ture based counseling and school-based family
counseling: incorporating experiential educa-
tion into the school. International Journal for
School-Based Family Counseling, 2, 1-16.
Hamidi, (2010). Metode penelitian kualitatif. Ceta-
kan 2. Malang: UMM Press.
Hara, S. R. & Burke, D. J., (1998). Parent involve-
ment: the key to improved student achievement.
School Community Journal, 8 (2), 219-228.
Hudson, P. E., Windham, R. C. & Hooper, L. M.,
(2005). Characteristics of school violence and
the value of family-school therapeutic alliances.
Journal of School Violence, 4 (2), 133-146.
Hinkle, J. S. & Wells, M. E., (1995). Family coun-
seling in the school: effective strategies and inter-
ventions for counselors, physchologists and ther-
apists. School of Education, University of North
Carolina, Greensboro. North Carolina: ERIC/
CASS Publications.
Kahraman, P. B. & Derman, M. T., (2012). The view
of primary and preschool education teachers
about home visiting: a study in Turkey. The On-
line Journal of Counseling and Education, 1 (3),
107-117.
Kean-Davis, P. E., (2005). The influence of parent
education and family income on child achieve-
ment: the indirect role of parental expectations
and the home environment. Journal of Family
Psychology, 19 (2), 294-304.
Kusdiyati, S., Halimah, L. & Faisaluddin, 2011. Pe-
nyesuaian Diri di Lingkungan Sekolah pada
Siswa Kelas XI SMA Pasundan 2 Bandung. Hu-
manitas, 8 (2), 172-194.
Latipun, (2010). Psikologi eksperimen, Edisi II. Ma-
lang: UMM Press.
Latipun, (2011). Psikologi konseling. Edisi III. Ma-
lang: UMM Press
Mas’udi, A., (2000). Pendidikan pancasila dan ke-
warganegaraan. Yogyakarta: PT Tiga Serangkai.
Marchetti-Mercer, M. C., (2008). The value of us-
ing a school-based family counseling approach
following an incident of school violence: A case
study. International Journal for School-Based
Family Counseling, 1 (1), 1-15
McLeod, J., (2003). Pengantar konseling: teori dan
studi kasus (terjemahan oleh Anwar, A.K ).
Jakarta: Kencana.
Minke, K., (2010). Helping teachers develop pro-
ductive working relationship with families: the
CORE model of family-school collaboration.
International Journal for School-Based Family
Counseling, 2, 1-13.
Morotti, A., (2010). The Copper River Project: laying
the foundation for School-Based Family Coun-
seling with Alaska’s indegenous populations.
International Journal for School-Based Family
Counseling, 2, 1-14.
Muhson, A., 2006. Teknik analisis kuantitatif. Di-
akses 10 Desember 2013 dari http://staff.uny.
ac.id/
Mulwanda, V, D., Thornburg, K. R., Filbert, L. &
Klein, T., (1995). Collaboration of services for
children and families: a synthesis of recent re-
search and recommendations. Family Relations,
44 (2), 219-223.
Murdiono, M., (2007). Penanaman nilai moral ke-
disiplinan pada siswa SMP melalui mata pelaja-
ran pendidikan kewarganegaraan. Jurusan PKn
dan Hukum, FISE UNY. Diakses 25 Februari
2013 dari http://staff.uny.ac.id
Rachmawati, R. F., (2011). Sistem pengambilan
keputusan terhadap ketidakdisiplinan siswa
SMP di SMP YZA 1 Kota Bogor. Jurnal Ilmiah
Teknologi dan Informasi, 2, 1-10.
Rayburn, C., (2004). Assessing students for moral-
ity education: a new role for school counselors.
Professional School Counseling, 7 (5), 356-362.
Reupert, A. & Maybery, D., (2010). Families af-
fected by parental mental illness: Australian
programs, strategies and issues. The (missing)
role of schools. International Journal for School-
Based Family Counseling, 2, 1-16.
Roffey, S., (2004). The home-school interface for
behavior: a conceptual framework for co-con-
structing reality. Educational and Child Psy-
chology, 21 (4), 95-108.
Soeharto, Mardiyati, S., Jannah, W., Chodijah, H.A.,
& Muslim, M., (2012). Tingkat pencapaian tu-
gas-tugas perkembangan siswa ditinjau dari
berbagai faktor yang dapat mempengaruhinya,
pada siswa-siswa SMP Negeri di Kota Surakarta
tahun 2012. Universitas Sebelas Maret, Sura-
karta. Diakses 20 Februari 2013 dari http://
soeharto.staff.fkip.uns.ac.id/2012/02/04/hello-
world/
Smith, A., (2011). The experience and reflections
of parents whose teenagers are excluded from
school, with particular attention to the place
of counseling. International Journal for School-
Based Family Counseling, 3, 1-14.
Smith, A., (2012). Critical reflections on a New Zea-
land school from a school-based family coun-
seling perspective. International Journal for
School-Based Family Counseling, 4, 1-13.
Sri Lestari, (2012). Psikologi keluarga: penanaman
nilai dan penanganan konflik dalam keluarga.
Edisi Pertama. Jakarta: Kencana.
Sudarso, (2007). Prosedur penelitian. Suyanto, B.
dan Sutinah (Ed.), Metode penelitian sosial: ber-
bagai alternatif pendekatan. (2007). Cetakan 3.
11. JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2014, Volume 2 (2), 193-203
203
Jakarta: Kencana.
Sudiyo, (2009). Upaya peningkatan kedisiplinan
masuk sekolah pada jam pertama melalui
hukuman berjenjang siswa kelas VIIC SMP2
Randublatung semester gasal tahun pelajaran
2008/2009. 2 (6), 18-24. Diakses 20 Desember
2012 dari http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/ jur-
nal/26091824.pdf
Sugiyono, (2011). Metode Penelitian Pendidikan:
pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R & D.
Bandung: Alfabeta.
Sumarno, J., (2008). Minimalisasi pelanggaran disi-
plin di sekolah melalui efektivitas kinerja tim
kedisiplinan. Widyagama, 5 (2), 23-30.
Sung, H. Y., (2012). Nurturing emotional intelligence
through a home-school partnership: using
teacher training as basis for school-based fam-
ily counseling. International Journal for School-
Based Family Counseling, 4, 1-10.
Sutrisno, H., (2009). Kasus perilaku pelanggaran
disiplin siswa di sekolah, ditinjau dari kerang-
ka teori sosiologi fungsionalisme. Diakses 20
Nopember 2012 dari http://jurnaljpi.files.word-
press.com/ 2009/09/vol-4-no-2-heru-sutrisno.
pdf,
Suyitno, I., (2011). Karya tulis ilmiah: panduan,
teori, pelatihan dan contoh. Bandung: Refika
Aditama.
Syavanah, E. N. & N. Naqiyah, (2010). Penerapan
konseling kelompok realita untuk meningkat-
kan disipin belajar siswa. Diakses 20 Nopember
2012 dari ppb.jurnal.unesa.ac.id/
Terry, L. L., (2002). Family counseling in the school:
a graduate course. The Family Journal: Coun-
seling and Theraphy for Couples and Families,
10 (4), 419-428.
Tisone, D. & Goodell, J., (2012). The interaction be-
tween human development and social media:
implications for school-based family counselors.
International Journal for School-Based Family
Counseling, 4, 1-13.
USDE, (2009). Strategies for effective collaboration
with parents, school and community members.
Unsafe School Choice Option Training and
Technical Assistance Project of New Jersey De-
partment of Educaton, United States Depart-
ment of Education.
van Sclhalkwyk, G. J., (2011). Saving faces: Hierar-
chical positioning in family school relationships
in Macao. International Journal for School-Based
Family Counseling, 3, 1-12.
Willis, S. S., (2009). Konseling individual: teori dan
praktik. Bandung: Alfabeta.
Wulandari, F. D. & Muhari, (2008). Penerapan kon-
seling kelompok dengan strategi self modelling
untuk meningkatkan disiplin belajar siswa.
Diakses 20 Nopember 2012 dari ppb.jurnal.un-
esa.ac.id/..../ Penerapan Konseling Kelompok
Realita untuk.....
Zahrifah, F. L. & E. Darminto, (2010). Penggunaan
strategi pengelolaan diri untuk meningkatkan
disiplin belajar siswa. Diakses 20 Nopember
2012 dari ppb.jurnal.unesa.ac.id/..../ Penggu-
naan Strategi Pengelolaan Diri untuk...